HAND OUT EPIDEMIOLOGI MALNUTRISI PADA

Download konsumsi terhadap salah satu atau beberapa zat gizi esensial. Malnutrisi pada anak dapat berupa Kekurangan Energi dan Protein (KEP), Anemia...

0 downloads 530 Views 196KB Size
EPIDEMIOLOGI MALNUTRISI PADA ANAK Oleh: R. Dwi Budiningsari Garis Besar Topik: 1. Distribusi dan Determinan Masalah Malnutrisi Pada Anak. 2. Penyebab Masalah Malnutrisi Pada Anak. 3. Implikasi Masalah Malnutrisi Pada Anak. 4. Identifikasi Masalah Malnutrisi Pada Anak Menurut Tempat, Waktu, dan Orang. 5. Penanganan dan Pencegahan Masalah Malnutrisi Pada Anak.

Sasaran Belajar: Setelah mengikuti kuliah ini, mahasiswa diharapkan dapat: a. Mengetahui distribusi dan determinan masalah malnutrisi pada anak. b. Mengetahui penyebab masalah malnutrisi pada anak. c. Mengetahui implikasi masalah malnutrisi pada anak. d. Mengidentifikasi masalah malnutrisi pada anak menurut tempat, waktu, dan orang. e. Mengetahui cara penanganan dan pencegahan masalah malnutrisi pada anak.

Pusat Pengembangan Pendidikan - Universitas Gadjah Mada 1

1 Distribusi dan Determinan Masalah Malnutrisi Pada Anak Malnutrisi

diartikan

sebagai

kondisi

kelebihan

maupun

konsumsi terhadap salah satu atau beberapa zat gizi esensial.

kekurangan

Malnutrisi pada

anak dapat berupa Kekurangan Energi dan Protein (KEP), Anemia Gizi Besi, Kekurangan Vitamin A (KVA), serta Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY). Topik ini hanya akan memfokuskan pada masalah malnutrisi Kekurangan Energi dan Protein (KEP). Di antara seluruh penyebab utama kematian di antara anak di bawah umur lima tahun, sebanyak 60% berhubungan erat dengan kejadian malnutrisi Kekurangan Energi dan Protein.

Penyebab-penyebab kematian tersebut terdiri

dari pneumonia (20%), diare (12%), malaria (8%), campak (5%), HIV/AIDS (4%), perinatal (22%), serta lain-lain (29%). Lebih jelasnya terlihat pada Gambar 1.

100% 80% 60% 40% 20% 0% Diarrhoea

Malaria

Pneumonia

Measles

All-cause

Proportion of deaths associated with undernutrition

All Deaths

Gambar 1. Kontribusi Masalah Kurang Energi Protein terhadap Kematian Anak Balita Berdasarkan Penyebab

Pusat Pengembangan Pendidikan - Universitas Gadjah Mada 2

Kekurangan Energi dan Protein (KEP) pada anak dibedakan menjadi dua macam, yaitu marasmus dan kwashiorkor.

Marasmus merupakan kekurangan

energi pada tingkat berat yang telah dimanifestasikan ke dalam gejala klinis. Biasanya gejala klinis ini dicirikan oleh kulit yang hanya terbalut tulang, rambut tipis, serta wajah menyerupai orang tua (monkey face). Selain itu, pada anak yang menderita marasmus juga kerap terjadi hipoglikemia (kadar gula darah yang rendah) dan hipotermia (suhu tubuh yang rendah). Kwashiorkor merupakan kekurangan protein pada tingkat berat yang juga telah dapat diamati dari gejala-gejala klinis yang timbul. Gejala klinis pada anak yang menderita kwashiorkor antara lain terjadinya edema yang dimulai di kaki dan telapak kaki; kulit luka dan kering dengan hiperkeratosis dan hiperpigmentasi; rambut rontok dan kering; serta anoreksia dengan muntah dan diare. Kejadian malnutrisi pada anak merupakan masalah yang serius dan banyak terjadi di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang. Pada tahun 2001, sebanyak 36% anak di seluruh dunia menderita underweight (berat badan yang rendah menurut umur), 43% lainnya menderita stunted (tinggi badan yang rendah menurut tinggi badan), serta 9% anak di seluruh dunia menderita wasted (berat badan yang rendah menurut tinggi badan). Kecenderungan terjadinya malnutrisi pada anak berdasarkan tahun di berbagai wilayah di seluruh dunia yang terdiri dari wilayah Afrika, Asia, dan Amerika, ditunjukkan pada Gambar 2.

Pusat Pengembangan Pendidikan - Universitas Gadjah Mada 3

Child Malnutrition

60 40 20 0

1975

1985

1995

Year SS Africa

Asia/Naf

C/S Americ

Gambar 2. Kecenderungan Kejadian Malnutrisi Pada Anak Berdasarkan Wilayah

Berdasarkan Gambar 2, dapat diketahui bahwa di wilayah Afrika, kejadian malnutrisi pada anak cenderung meningkat dari tahun ke tahun mulai 1975, 1985, dan 1995. Adapun di wilayah Asia dan Amerika, kejadian malnutrisi pada anak cenderung menurun pada kurun waktu tersebut. Kejadian malnutrisi pada anak yang paling banyak pada tahun 1975 terjadi di wilayah Asia (45%), sedangkan di wilayah Afrika dan Amerika relatif sama yaitu sebesar 25%. Pada tahun 1995, angka kejadian malnutrisi pada anak di wilayah Asia dan Afrika relatif sama yaitu sebesar 29%. Sebaliknya di wilayah Amerika, kejadian malnutrisi pada anak menurun tajam menjadi 10% di tahun 1995.

Pusat Pengembangan Pendidikan - Universitas Gadjah Mada 4

2. Penyebab Masalah Malnutrisi Pada Anak Timbulnya masalah malnutrisi pada anak disebabkan oleh berbagai penyebab yang kompleks. Penyebab masalah malnutrisi pada anak terdiri dari penyebab mendasar (basic causes), penyebab yang mendasari (underlying causes), serta penyebab langsung (immediate causes).

Lebih jelasnya dapat

dilihat pada Gambar 3. Child Malnutrition

outcome

Asupan makanan yang tidak cukup

Penyebab langsung

Penyakit

Sanitasi Praktek pengasuhan anak yanglingkungan kurang baikdan pelayanan kesehatan Akses terhadap makanan yang tidak memadai yang buruk Penyebab

yang

health services mendasari

Jumlah/mutu dan cara pengendalian sumberdaya aktual & the way

they are controlled

Sumberdaya potensial: lingkungan, teknologi, manusia

Penyebab mendasar

environment,

Technology, people Gambar 3. Penyebab Malnutrisi Pada Anak

Pusat Pengembangan Pendidikan - Universitas Gadjah Mada 5

3. Implikasi Masalah Malnutrisi Pada Anak Masalah malnutrisi pada anak mempunyai implikasi yang sangat berat bagi masa depan anak tersebut karena menyangkut pertumbuhan, perkembangan, dan intelektualitas. Lebih jauh lagi, implikasi ini bersifat tidak dapat diperbaiki lagi pada saat anak sudah mencapai usia tertentu (irreversible). Oleh karena itu kejadian malnutrisi pada anak sering disebut sebagai ancaman generasi yang hilang (the lost generation) mengingat kualitas anak, baik kecerdasan maupun perkembangan fisik mereka, jauh menurun dibandingkan generasi sebelumnya. Implikasi malnutrisi pada anak yaitu tinggi badan yang rendah menurut umur (stunting), berat badan yang rendah menurut tinggi badan (wasting), berat badan yang rendah menurut umur (underweight), serta rawan terhadap berbagai penyakit infeksi, seperti pneumonia, diare, malaria, HIV/AIDS, dan sebagainya. Lebih jauh lagi, implikasi malnutrisi pada anak menyebabkan tingkat intelektualitas anak menjadi rendah.

4 Identifikasi Masalah Malnutrisi Pada Anak Menurut Tempat, Waktu, dan Orang Informasi adanya masalah malnutrisi pada anak diketahui dari sistem informasi kesehatan yang rutin di masyarakat, mulai dari tingkat posyandu, puskesmas, maupun rumah sakit. Sistem informasi epidemiologi ini umumnya menyediakan informasi tentang frekuensi dan distribusi penyebab utama masalah malnutrisi pada anak dan kematian akibat masalah gizi tersebut di daerah setempat.

Pusat Pengembangan Pendidikan - Universitas Gadjah Mada 6

Dalam mengidentifikasi adanya masalah malnutrisi pada anak, perlu didasarkan pada tempat, waktu, dan populasi yang terkena malnutrisi.

Dalam

hubungannya dengan tempat, perlu diketahui dengan jelas di manakah masalah malnutrisi terjadi, baik tempat tinggal, distribusi geografi, maupun tempat timbulnya paparan. Tempat tinggal suatu keluarga dapat menunjukkan sebagian dari masalah malnutrisi yang diderita anak dalam keluarga tersebut, maupun manfaat yang telah diperoleh dari pelayanan gizi yang ada di daerah tersebut. Variabel yang terkait dapat berupa seberapa jauh jarak tempat tinggal ke posyandu, puskesmas, maupun rumah sakit. Demikian pula dapat diselidiki kemungkinan tempat tinggal tersebut termasuk dalam daerah endemis masalah malnutrisi atau tidak, berhubungan dengan masalah ketersediaan pangan atau tidak, dan sebagainya. Dalam hubungannya dengan waktu, perlu diketahui dengan jelas kapankah masalah malnutrisi terjadi, dilihat dari satuan hari, bulan, musim, atau tahun. Penting diketahui kapan masalah malnutrisi pada anak terlihat paling gawat, atau kapan insidens kasus menunjukkan puncaknya. Untuk menunjukkan hal ini, maka kasus, episode, atau kejadian dapat dikelompokkan menurut kasus baru per hari, per minggu, per bulan, atau per tahun. Periode waktu yang dipilih tergantung pada jenis kasus yang akan dianalisis, misalnya kasus baru Kurang Energi Protein (KEP) anak balita per minggu. Dalam hubungannya dengan populasi, perlu diketahui dengan jelas siapakah yang terkena, berdasarkan umur, jenis kelamin, pendidikan, jumlah

Pusat Pengembangan Pendidikan - Universitas Gadjah Mada 7

anggota keluarga, keadaan gizi, suku bangsa, pekerjaan, keturunan, dan kebiasaan perseorangan. Status gizi anak dapat diukur dengan berbagai cara. Pengukuran antropometri seperti berat badan menurut umur, berat badan menurut tinggi badan, maupun tinggi badan menurut umur sering digunakan untuk menilai status gizi anak. Kejadian malnutrisi di suatu daerah ditunjukkan dari persentase anak yang termasuk dalam kategori kurang gizi ringan, sedang, dan berat. Contoh identifikasi malnutrisi pada anak menurut tempat, waktu, dan orang adalah seperti yang telah dilakukan di Korea Selatan pada tahun 2002. Tujuan penelitian adalah untuk mengukur status gizi dari sample representatif anak di bawah usia 7 tahun dan ibu-ibu mereka di 7 provinsi dan 3 kota di Korea Selatan. Penelitian dilakukan dengan rancangan time series dengan membandingkan status gizi anak pada tahun 1998 dengan tahun 2002. Distribusi usia anak yang diikutsertakan pada penelitian ini yaitu usia kurang dari 1 tahun sebanyak 23,7%, usia antara 1 hingga 2 tahun sebanyak 24,1%, usia antara 2 hingga 3 tahun sebanyak 18,2%, usia antara 3 hingga 4 tahun sebanyak 12%, usia antara 4 hingga 5 tahun sebanyak 9,8%, usia antara 5 hingga 6 tahun sebanyak 7,1%, serta usia antara 6 hingga 7 tahun sebanyak 5%. Lebih jelasnya terlihat pada Gambar 4.

Pusat Pengembangan Pendidikan - Universitas Gadjah Mada 8

50 45 40 35 30

23.7

25

24.1 18.2

20

12

15

9.8

10

7.1

5

5 0

<1

1<2

2<3

3<4

4<5

5<6

6+

Gambar 4. Distribusi Usia Anak yang Diikutsertakan dalam Penelitian

Seluruh anak yang termasuk ke dalam sampel penelitian diukur berat badan dan tinggi badan mereka. Indikator status gizi yang digunakan adalah tinggi badan menurut umur (stunted), berat badan menurut umur (underweight), dan berat badan menurut tinggi badan (wasted). Prevalensi anak stunted, underweight, dan wasted yang diperoleh berturut-turut adalah sebanyak 39,22% , 20,15%, serta 8,12%. Prevalensi keseluruhan wasting yang paling berat adalah sebanyak 2,7%, bervariasi di tiap provinsi yang dijadikan lokasi penelitian.

Provinsi dengan

prevalensi wasting paling berat terbanyak adalah di Hamgyong (4%) dan yang paling sedikit adalah di Nampo (1,2%).

Derajat kejadian stunting meningkat

secara terus menerus dari 17,3% pada 6 bulan pertama kehidupan menjadi 41,6% pada tahun kedua kehidupan dan kemudian menjadi konstan di angka sekitar 47% Pusat Pengembangan Pendidikan - Universitas Gadjah Mada 9

pada usia 3 - 4 tahun. Derajat kejadian underweight meningkat dari 7,6% pada semester pertama, mencapai 25% pada semester kedua kehidupan dan kemudian menjadi sekitar 20-25% hingga anak berusia 7 tahun. Derajat kejadian wasting meningkat dari 5% pada semester pertama menjadi 12% pada tahun kedua kehidupan dan kemudian menurun kembali menjadi sekitar 5% di tahun-tahun berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa derajat kejadian malnutrisi di antara anakanak usia lebih dari dua tahun merefleksikan secara nyata seberapa bagus pertumbuhan mereka pada dua tahun pertama kehidupan, dimulai sejak dalam kandungan. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5.

50

45.6

47.6 47.5

45 41.6

40

46.7 44.2 39.2 Stunting (H/A)

35

Underweight (W/A)

30 24.9

25

Wasting (W/H) 25.5

22.8

20

20.2

21

19.6

7.4

6.3

5.6

21.7

20.2

17.3

15 10 5

12 7.6 5.3

11.9 8.4

6.7

6.7

8.1

0 0 to 5

6 to 11

12 to 23 24 to 35 36 to 47 48 to 59 60 to 71

72+

TOTAL

Gambar 5. Prevalensi Malnutrisi pada Anak Menurut Kelompok Umur Berbeda di Antara Anak yang Diikutsertakan sebagai Sampel Penelitian

Pusat Pengembangan Pendidikan - Universitas Gadjah Mada 10

Peningkatan situasi gizi anak pada tahun 2002 dibandingkan dengan tahun 1998 berbeda-beda menurut kategori stunting, wasting, dan underweight. Selengkapnya ditampilkan pada Gambar 6.

70

62.3

60.6

60 50 41.6

40 30 21

20

15.6 8.5

10

1998

0 Stunted

Wasting

Underweight

2002

Gambar 6. Prevalensi Malnutrisi Pada Tahun 1998 dan 2002

Anak dengan kategori stunting walaupun prevalensinya menurun pada tahun 2002, namun penurunannya tidak sebanyak penurunan prevalensi anak dengan kategori wasting maupun underweight. Hal ini disebabkan karena stunting terjadi karena kondisi kronis, yaitu kekurangan gizi telah timbul jauh sebelumnya sehingga menjadi sulit untuk diperbaiki dibandingkan wasting dan underweight yang merupakan kekurangan gizi yang timbul pada masa yang baru-baru ini terjadi atau kondisi akut. Kesimpulan penelitian yang diperoleh adalah bahwa tingkat prevalensi malnutrisi pada anak yang ditemukan oleh penelitian pada 10 propinsi/kota di Pusat Pengembangan Pendidikan - Universitas Gadjah Mada 11

Korea Selatan menunjukkan penurunan pada tahun 2002 dibandingkan dengan tahun 1998. Tingginya tingkat prevalensi malnutrisi yang tercatat pada tahun 1998 mencerminkan kondisi rendahnya ketersediaan pangan dan krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1990-an. Walaupun terdapat peningkatan status gizi anak secara signifikan pada tahun 2002 dibandingkan pada tahun 1998, namun situasi gizi di Korea Selatan masih perlu perhatian dan dukungan yang terus menerus dari seluruh pihak. Jumlah anak yang menderita malnutrisi berat yang membutuhkan penanganan medis masih sangat tinggi. Anak-anak dengan malnutrisi berat yang akut membutuhkan rawat inap untuk kesembuhan dan pemulihan. Jika tidak demikian, kelangsungan hidup mereka dalam bahaya besar.

5. Penanganan dan Pencegahan Masalah Malnutrisi Pada Anak Penanganan masalah Kurang Energi Protein (KEP) dilakukan berdasarkan berat/ringannya KEP.

Pada keadaan ringan atau sedang, anak cukup

diperlakukan rawat jalan, sedangkan bila menderita KEP berat dengan komplikasi atau tanpa komplikasi sebaiknya dirawat inap di rumah sakit. Penanganan KEP pada anak berdasarkan berat/ringannya KEP adalah sebagai berikut:

A. Penanganan Gizi Anak KEP Ringan -

Penyulihan gizi dan nasehat pemberian makanan di rumah.

-

Pemberian ASI diteruskan.

-

Pasien KEP ringan yang dirawat karena penyakit lain, diberikan makanan sesuai penyakitnya untuk mencegah KEP sedang dan berat.

Pusat Pengembangan Pendidikan - Universitas Gadjah Mada 12

B. Penanganan Gizi Anak KEP Sedang -

Anak KEP sedang yang dirawat jalan perlu dipantau kenaikan berat badannya.

-

Anak KEP sedang yang dirawat inap perlu dilakukan: 

Pemberian makanan tinggi energi dan tinggi protein. Kebutuhan energi 20-50% di atas kebutuhan yang dianjurkan dan diet sesuai penyakitnya.



Pemantauan berat badan setiap hari.



Penyuluhan gizi.

C. Penanganan Gizi Anak KEP Berat -

Syarat pemberian diet pada KEP berat adalah sebagai berikut: 

Melalui 3 fase yaitu fase stabilisasi, fase transisi, dan fase rehabilitasi.



Kebutuhan energi mulai dari 100 sampai 200 kkal/kg BB/hari.



Kebutuhan protein mulai 1-6 gram/kg BB/hari.



Pemberian suplementasi vitamin dan mineral bila ada defisiensi.



Jumlah cairan 150-200 ml/kg BB/hari.



Cara pemberian per oral atau lewat pipa nasogastrik.



Porsi makanan kecil dan frekuensi makanan sering.



Terus memberikan ASI



Makanan fase stabilisasi harus hipoosmolar dan rendah laktosa, rendah serat.

Pusat Pengembangan Pendidikan - Universitas Gadjah Mada 13



Membedakan jenis makanan berdasarkan berat badan, yaitu: BB <7 kg diberikan kembali makanan bayi dan BB >7 kg dapat langsung diberikan makanan anak secara bertahap.



Mempertimbangkan hasil anamnesa riwayat gizi.

Pada fase stabilisasi, dilakukan upaya-upaya secara cepat dan akurat untuk mengatasi kehilangan cairan dan elektrolit-elektrolit penting dalam tubuh. Hal ini dilakukan dengan memberi rehidrasi oral/nasogastris yang mengandung kalium dan magnesium untuk mengganti kehilangan yang terjadi, umumnya sebanyak 70100 mg/kg. Selain itu juga dilakukan terapi diet dengan formula khusus seperti FWHO 75 yang rendah laktosa dan hipoosmolar dengan porsi kecil dan sering. Kebutuhan energi dipenuhi sebesar 100 kkal/kg BB/hari, sedangkan kebutuhan protein sebesar 1-1,5 g/kg BB/hari. Bila asupan tidak mencapai 80 kkal/kg BB/hari, berikan formula melalui NGT, namun jangan memberi makan lebih dari 100 kkal/kg BB/hari. Fase transisi menitikberatkan pada upaya menghindari risiko gagal jantung dan intoleransi saluran cerna yang dapat terjadi bila anak mengkonsumsi makanan dalam jumlah banyak secara mendadak, setelah fase stabilisasi terlampaui. Ubah pemberian makanan dari formula 75 ke formula 100. Modifikasi bubur atau makanan keluarga dapat digunakan. Pada fase ini penting dilakukan pemberian motivasi agar asupan makanan anak dapat tercukupi. Setelah itu, fase berikutnya adalah fase rehabilitasi yang umumnya sudah dapat dilakukan di rumah.

Pada fase ini diupayakan pencapaian berat badan

Pusat Pengembangan Pendidikan - Universitas Gadjah Mada 14

menurut tinggi badan yang normal dan pemulihan kembali massa otot. Diharapkan tercapai asupan makanan yang tinggi dan pertambahan berat badan >50 g/kg BB/minggu. Peningkatan berat badan dikatakan normal apabila sebesar 25-75% berat badan menurut tinggi badan dan berkesinambungan selama satu bulan kemudian. Biasanya setelah 1-2 minggu dirawat, anak diberi asupan energi sebesar 150-200 kkal/kg BB/hari dan protein sebesar 4-6 g/kg BB/hari. Bila anak masih mendapat ASI, pemberian ASI diteruskan dan juga ditambah formula karena energi dan protein ASI tidak akan mencukupi untuk tumbuh kejar. Upaya pencegahan malnutrisi pada anak dilakukan berdasarkan hal-hal sebagai berikut:

a. Bidang Gizi Masyarakat 

Pemantauan berkesinambungan terhadap kondisi status gizi dan kesehatan anak balita melalui berbagai program, termasuk revitalisasi posyandu.



Pemberian pendidikan gizi pada masyarakat tentang pemilihan bahan pangan dan pengolahannya.



Pemberian

pendidikan

tentang

pentingnya

memperhatikan

sanitasi

lingkungan untuk menurunkan kejadian penyakit-penyakit infeksi.

b. Bidang Lintas Sektor 

Pemberian pelatihan utnuk meningkatkan keterampilan dan motivasi masyarakat untuk meningkatkan pendapatan.

Pusat Pengembangan Pendidikan - Universitas Gadjah Mada 15



Pemberian kredit modal kerja pada masyarakat untuk meningkatkan kemandirian dan pendapatan.



Pencanangan program gerakan kebersihan lingkungan.



Pengadaan air bersih.

Pusat Pengembangan Pendidikan - Universitas Gadjah Mada 16

STUDI KASUS EPIDEMIOLOGI MALNUTRISI PADA ANAK R. Dwi Budiningsari Diskusikan studi kasus per kelompok berdasarkan surat kabar di bawah ini. 24 Balita Tewas karena Gizi Buruk Purbalingga, Bernas Dampak krisis ekonomi yang terjadi beberapa tahun terakhir, mengakibatkan ratusan anak di Kabupaten Purbalingga mengalami kondisi gizi buruk (kwasiorkor). Kasus itu merupakan yang paling parah di wilayah Jawa Tengah. Sebanyak 24 balita, bahkan tidak tertolong nyawanya, karena minimnya bantuan. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten (DKK) Purbalingga, dr Dyah Retnani Basuki MKes, ketika dihubungi Bernas di sela-sela workshop kampanye penggunaan vitamin A pada balita di aula kantornya, Sabtu (26/8) lalu mengakui, pihaknya tidak bisa berbuat banyak terutama karena kasus-kasus gizi buruk terjadi pada keluarga miskin di pedesaan. Sejauh ini, lanjut Dyah Retnani, jumlah balita penderita gizi buruk kini terus bertambah. Hal itu karena bantuan yang diberikan pemerintah dan donatur lainnya, tidak mampu menopang terpuruknya kemampuan ekonomi masyarakat. Dipaparkan, kasus gizi buruk paling banyak dijumpai di wilayah cakupan Puskesmas Rembang, Puskesmas Karangmoncol, Puskesmas Pembantu Karangtengah (Karanganyar) dan Puskesmas Pembantu Kutawis (Bukateja). Sejumlah puskesmas lain di dalam kota seperti Puskesmas Bojong, Purbalingga kota dan Bobotsari tidak terdapat laporan gizi buruk. Menurut Dyah Retnani, tunggakan kasus gizi buruk sampai akhir tahun 1999 tercatat 468 kasus, dari sejumlah 263.455 anak. Pada tahun 2000 terhitung sejak Januari hingga 12 Agustus 2000 terdapat tambahan kasus sebanyak 85 orang. Diperkirakan sebanyak 45% anak dalam risiko tinggi mengalami gizi buruk. Setelah mendapat penanganan, bisa diperbaiki sebanyak 441 kasus, 88 dalam penanganan dan sisanya 24 balita dinyatakan meninggal dunia. Menurut Dyah Retnani, upaya penanganan kasus gizi buruk tak semudah menangani kasus penyakit lain. Balita yang mengalami gizi buruk bisa saja dinyatakan sehat ketika dirawat beberapa hari di rumah sakit. Namun, kasusnya bisa muncul kembali begitu pasien kembali ke rumah, karena kondisi ekonomi keluarga pasien yang memang kurang mampu. Pemda, lanjut dia, sudah mengambil langkah-langkah guna menekan kasus gizi buruk ini. Seperti menghimpun dan menyalurkan bantuan dari Kelompok Kerukunan Umat beragama Purbalingga, bantuan Menpangan Hortikultura, bantuan dari pihak swasta, melalui proyek APBN dan bantuan dari pemda sendiri. "Pemberian bantuan juga dilakukan kepada orang tua balita yang mengalami gizi buruk. Bantuan berupa modal kerja tersebut dimaksudkan untuk peningkatan taraf hidup melalui pekerjaan yang digelutinya," kata Dyah. Ada sebab lain mengenai tingginya kasus gizi buruk di Purbalingga, yakni pendataan yang dilakukan langsung kader kesehatan di puskesmas dan kader-kader kesehatan lainnya di tiap desa, sehingga tidak ada kasus yang terlewati. "Kami berharap, orang tua penderita gizi buruk jangan terlalu mengandalkan bantuan dari pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat tak mengalami guncangan begitu bantuanya distop," kata Dyah. Selain kasus gizi buruk, selama kurun waktu April 1999 hingga Maret 2000 terdapat sejumlah kasus penyakit. Kasus ituPertanyaan: diantaranya ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) sebanyak 3.182 kasus, diare 20.694 kasus dan campak (morbili) 54 kasus. "Kasus-kasus penyakit sebut semuanya bisa diatasi dan tidak ada laporan pasien yang meninggal karena salah satu penyakit itu," ujarnya. (yy)

Pusat Pengembangan Pendidikan - Universitas Gadjah Mada 17

Pertanyaan:

1. Identifikasilah masalah gizi buruk pada anak yang terjadi berdasarkan artikel tersebut. 2. Apa penyebab gizi buruk yang terjadi berdasarkan artikel?

3. Apa saja implikasi gizi buruk yang terjadi: a. berdasarkan artikel tersebut. b. berdasarkan diskusi kelompok. 3. Informasi apa saja yang berhubungan dengan pengukuran distribusi frekuensi dalam epidemiologi? 4. Bagaimana penanggulangan masalah gizi buruk: a. berdasarkan artikel tersebut. b. berdasarkan diskusi kelompok.

Pusat Pengembangan Pendidikan - Universitas Gadjah Mada 18