HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DEMOKRATIS DENGAN

Download HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DEMOKRATIS DENGAN. KEMANDIRIAN DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN. Laila Listiana Ulya. Lisnawati Ruhaena. Fakultas Ps...

0 downloads 534 Views 754KB Size
HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DEMOKRATIS DENGAN KEMANDIRIAN DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN

NASKAH PUBLIKASI

Oleh : LAILA LISTIANA ULYA F 100100157

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2013

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DEMOKRATIS DENGAN KEMANDIRIAN DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN

NASKAH PUBLIKASI

Oleh : LAILA LISTIANA ULYA F 100100157

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2013

i

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DEMOKRATIS DENGAN KEMANDIRIAN DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN

NASKAH PUBLIKASI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S-1) Psikologi

Oleh : LAILA LISTIANA ULYA F 100100157

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2013

ii

1

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DEMOKRATIS DENGAN KEMANDIRIAN DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN

Laila Listiana Ulya Lisnawati Ruhaena Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Email : [email protected]

Abstrak. Masa remaja adalah masa dimana pengambilan keputusan semakin meningkat sehingga kepemilikan kemandirian dalam pengambilan keputusan sangat penting agar dapat memenuhi tugas perkembangan di tahap selanjutnya. Femonenanya saat ini remaja kurang memiliki kemandirian dalam pengambilan keputusan. Pemikiran remaja praktis dan mengalami kebingungan jika dihadapkan pada pilihan hidup sehingga cenderung mengikuti keputusan orang lain. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara pola asuh demokratis dengan kemandiran dalam pengambilan keputusan, mengetahui tingkat kemandiran dalam pengambilan keputusan, mengetahui tingkat pola asuh demokratis, dan mengetahui sumbangan efektif pola asuh demokratis terhadap kemandiran dalam pengambilan keputusan. Metode pendekatan menggunakan metode kuantitatif. Pengambilan data menggunakan skala kepada 90 remaja yang berusia 15-18 tahun, masih memiliki orangtua (ayah dan ibu), dan tinggal bersama orangtua dalam satu rumah. Analisis data dilakukan dengan analisis regresi menggunakan program bantu SPSS 19,0 For Windows Program. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan positif antara pola asuh demokratis dengan kemandiran dalam pengambilan keputusan sebesar 0,480 dengan signifikansi 0,000 (p<0,05). Artinya semakin tinggi pola asuh demokratis maka semakin tinggi pula kemandiran dalam pengambilan keputusan, begitu pula sebaliknya. Tingkat kemandiran dalam pengambilan keputusan tergolong tinggi sebesar 64,52. Tingkat pola asuh demokratis tergolong tinggi sebesar 38,14. Sumbangan efektif pola asuh demokratis terhadap kemandiran dalam pengambilan keputusan sebesar 23,6%, artinya masih ada 76,4% faktor-faktor lain yang mempengaruhi kemandiran dalam pengambilan keputusan. Kata kunci : kemandirian dalam pengambilan keputusan, pola asuh demokratis

2

PENDAHULUAN Bangsa Indonesia membutuhkan manusia berkompeten untuk mengolah kekayaan sumber daya alam di masa depan. Karakter positif seperti mandiri sangat penting dimiliki generasi muda, khusunya remaja untuk menghadapi persaingan era globalisasi. Mu’tadin (2002) berpendapat bahwa kemandirian remaja lebih bersifat psikologis seperti membuat keputusan sendiri tanpa pengaruh orang lain. Menurut Santrock (2012), masa remaja adalah masa dimana pengambilan keputusan semakin meningkat, seperti tentang masa depan, teman-teman mana yang dipilih, apakah harus kuliah, apakah harus membeli mobil, dan seterusnya. Tuti, Tjahjono, dan Kartika (2006) menambahkan bahwa masalah pengambilan keputusan yang sering terjadi di sekolah menengah atas adalah permasalahan akademik dan keputusan karier, serta beragam aktivitas sosial. Informasi yang didapat dari artikel Majalah Psikologi Plus (edisi VII NO 4 Oktober 2012) bahwa banyak remaja bersikap manja sehingga menjadi sulit dalam mandiri berfikir, diberi masukan, berempati, melihat kebaikan orang lain, cenderung egois. berpemikiran praktis dan mengalami kebingungan jika dihadapkan pada pilihan hidup sehingga cenderung mengikuti keputusan orang lain. Remaja menjauhi dunia nyata dan takut memilih jalan hidup selain tak mampu mandiri karena orangtua terlalu melindungi. Menurut penelitian Brena, Updegraff, dan Talylor (2012) pada keluarga Meksiko, ayah dan ibu adalah orang yang berpengaruh dalam

pengambilan keputusan remaja di delapan area seperti tugas, penampilan, uang, teman, hubungan percintaan, aktivitas waktu luang, jam malam, dan tugas sekolah. Jika orangtua selalu mengendalikan sedangkan remaja ingin terlepas dari pengaruh orangtua maka konflik akan terjadi. Akibat dari konflik tersebut adalah adanya kekecewaan yang dialami remaja terhadap orangtua karena tidak mendapatkan kemandirian dalam pengambilan keputusan. Seperti yang terjadi di ruang konseling di website epsikologi.com, dilaporkan banyak keluh kesah remaja karena aspek kehidupan mereka yang masih diatur oleh orangtua, seperti dalam pemilihan jurusan di SMA. Orangtua ingin anaknya masuk ke jurusan yang dikehendaki meskipun anak sama sekali tidak berminat. Akibatnya remaja tersebut tidak memiliki motivasi belajar, kehilangan gairah sekolah dan tidak jarang justru berakhir dengan drop out (Mu’tadin, 2002). Remaja bingung memilih gaya rambut, pakaian, kegiatan, dan pendidikan karena kesulitan menentukan prioritas dan tidak percaya diri pada kemampuannya dalam menentukan keputusan sehingga sering terpengaruh keputusan orang lain (http://sosbud.kompasiana.com). Kemandirian dalam pengambilan keputusan adalah kemampuan mengatur tingkah laku dengan adanya kebebasan, inisiatif, percaya diri, kontrol diri, ketegasan diri, serta tanggung jawab tanpa pengaruh orang lain (Suryadi dan Damayanti, 2006).

3

Baller (dalam Nihayati dan Fauzan, 2000) mengatakan bahwa kemandirian dalam pengambilan keputusan sebagai kemampuan mengambil inisiatif ketika dihadapkan pada pilihan, bebas membuat penilaian, memberikan pendapat tanpa dipengaruhi orang lain, dan bertanggung jawab. Perilaku diarahkan agar masalah yang dihadapi dapat diselesaikan. Area pengambilan keputusan remaja adalah tugas rumah maupun sekolah, penampilan seperti model rambut dan model baju, penggunaan uang, pemilihan teman, hubungan lawan jenis, aktivitas mengisi waktu luang, dan adanya jam malam. Aspek kemandirian dalam pengambilan keputusan adalah bebas yaitu membuat keputusan sendiri, ulet yaitu membuat keputusan berprestasi dan tekun, inisiatif yaitu berfikir dan bertindak membuat keputusan sendiri, pengendalian diri yaitu mengendalikan tindakan mengambil keputusan sesuai keinginannya sendiri, kemampuan diri yaitu rasa percaya terhadap kemampuan mencari penyelesaian terhadap masalah (Masrun, 1986). Faktor-faktor kemandirian dalam pengambilan keputusan yaitu faktor fisiologis, seperti jenis kelamin, kondisi fisik, dan urutan kelahiran, faktor psikologis seperti kecerdasan, faktor pengalaman hidup dan faktor pola asuh orangtua. Dari fenomena itu menunjukan bahwa kemandirian dalam pengambilan keputusan remaja rendah. Ada orangtua yang bersikap otoriter, remaja dikontrol harus mengikuti segala keputusan orangtua dan tidak diberi kesempatan

menyampaikan keinginannya. Di sisi lain, ada orang tua yang bersikap permisif yaitu cenderung tidak peduli dan membiarkan remaja bertindak sesuai keinginannya, namun orangtua tidak memberi kontrol dan arahan. Segala perilaku remaja bersumber pada didikan orangtua. Berbeda cara didiknya maka berbeda pula sikap yang dimiliki remaja. Menurut Lestari (2012) menyatakan bahwa pola asuh demokratis adalah orangtua mengarahkan perilaku anak secara rasional, memberikan penjelasan terhadap maksud dari aturan-aturan yang diberlakukan. Orangtua mendorong anak mematuhi aturan dengan kesadaran sendiri dan bersikap tanggap terhadap kebutuhan anak. Orangtua menghargai anak sebagai pribadi yang unik. Pengasuhan demokratis merupakan pendekatan yang paling berhasil yang melibatkan penerimaan dan keterlibatan tinggi, teknik pengendalian adaptif, dan pemberian otonomi sewajarnya. Orangtua demokratis itu hangat, penuh perhatian, dan peka dengan kebutuhan anaknya. Orangtua memberikan perilaku matang, memberikan alasan bagi pengecualian yang mereka berikan, dan menggunakan disiplin sepbagai masa pembelajaran agar anak bisa mengatur dirinya. Pemberikan otonomi secara bertahap, sepantasnya dan membiarkan anak mengambil keputusan sendiri dalam bidang yang dikuasainya menjadikan anak mandiri (Kuczynski & Lollis, 2002; Russel, Mize. & Bissaker, 2004 dalam Berk, 2012). Crandell, Crandell, dan Zanden (2012), pola asuh demokratis adalah gaya pengasuhan yang menyediakan arahan bagi keseluruhan

4

aktivitas anak, tetapi memberikan kebebasan besar anak dalam batas wajar. Orangtua memberikan alasan kebijakan dan terlibat di proses memberi dan menerima dengan anak, sementara memperhatikan kebutuhan anak. Elaine dan Terri (2003) menyatakan bahwa pola asuh demokratis adalah adanya harapan orangtua untuk berperilaku jelas dan memantau perilaku. Orangtua tegas dan mereka cenderung disiplin dalam mendukung daripada mamakai cara hukuman. Remaja yang dibesarkan dalam lingkungan tersebut akan lebih berkompeten. Menurut Baumrind (dalam Spraitz, 2012), aspek pola asuh demokratis adalah kontrol, tuntutan komunikasi, dan kasih sayang. Watson (dalam Windyastati, 2001) berpendapat tentang faktor-faktor dalam pola asuh demokratis yaitu nilai yang dianut orangtua, kepribadian, sosial ekonomi, dan tingkat pendidikan. Menurut Berk (2012), pada pola asuh demokratis, orangtua hangat, terbuka, memberi arahan dengan komunikasi. Dalam hal pengambilan keputusan, remaja dibimbing mandiri karena ada hubungan positif remaja dengan orangtua. Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalahnya adalah apakah ada hubungan antara pola asuh demokratis dengan kemandirian dalam pengambilan keputusan ? Peneliti tertarik melakukan penelitian berjudul “Hubungan Antara Pola Asuh Demokratis dengan Kemandirian Dalam Pengambilan Keputusan”.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara pola asuh demokratis dengan kemandirian dalam pengambilan keputusan, mengetahui tingkat kemandirian dalam pengambilan keputusan, mengetahui tingkat pola asuh demokratis, dan mengetahui sumbangan efektif pola asuh demokratis terhadap kemandirian dalam pengambilan keputusan. METODE PENELITIAN Metode dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan variabel tergantung kemandirian dalam pengambilan keputusan dan variabel bebas pola asuh demokratis. Subjek penelitiannya adalah remaja berusia 15-18 tahun, masih memiliki orangtua (ayah dan ibu), dan tinggal serumah dengan orangtua. Alat pengumpul datanya berupa skala yaitu skala kemandirian dalam pengambilan keputusan dan skala pola asuh demokratis. Penelitian ini menggunakan try out terpisah untuk mencari kualitas alat ukur yang baik. Evaluasi kualitas aitem menggunakan daya beda aitem dan reliabilitas. Data dari 90 subjek yang diperoleh kemudian diskoring berdasarkan sifat aitem favourable dan unfavourable lalu dianalisis dengan teknik regresi pada program bantu SPSS 19,0 For Windows. Penelitian dilakukan pada tanggal 31 Oktober 2013 sampai 22 November 2013 di SMA Islam Al Azhar 7 dan SMA Al Firdaus Surakarta. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan hasil analisis regresi, diketahui bahwa ada hubungan positif dan searah yang sangat signifikan antara pola asuh demokratis dengan

5

kemandirian dalam pengambilan keputusan. Hal ini ditunjukan oleh nilai korelasi yang positif 0,480 dengan signifikansi 0,000 (p<0,05). Model regresi ini memprediksi nilai kemandirian dalam pengambilan keputusan. Jadi variabel bebas pola asuh demokratis mempengaruhi variabel tergantung kemandirian dalam pengambilan keputusan. Hipotesis ada hubungan positif antara pola asuh demokratis dengan kemandirian dalam pengambilan keputusan diterima. Artinya adalah semakin tinggi pola asuh demokratis maka semakin tinggi pula kemandirian dalam pengambilan keputusan dan semakin rendah pola asuh demokratis maka semakin rendah pula kemandirian dalam pengambilan keputusan. Nilai F sebesar 27,603 dengan signifikansi 0,000 (p<0,05) yang artinya model regresi ini layak untuk memprediksi nilai kemandirian dalam pengambilan keputusan. Variabel pola asuh demokratis mempengaruhi atau prediktor variabel kemandirian dalam pengambilan keputusan. Perilaku optimal individu dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Begitu pula dengan kemandirian pengambilan keputusan dapat dipengaruhi oleh lingkungan, termasuk dipengaruhi oleh pola asuh demokratis yang orangtua berikan kepada remaja di dalam keluarga. Menurut Feldman (2012), jika remaja diberikan penguat positif oleh orangtua maka akan berperilaku positif pula sebab penguat akan meningkatkan perilaku yang diharapkan. Menurut asumsi dasar perilaku manusia yaitu enviromentalisme bahwa tingkah laku manusia dibentuk oleh lingkungan.

Manusia dilahirkan dalam keadaan polos dan lingkunganlah yang mewarnainya. Orangtua sebagai lingkungan pertama dan terdekat, memberikan pendidikan nilai dan karakter pada anak agar anak dapat mengembangkan kemampuannya dalam menjalani kehidupan. Menurut Lestari (2012), keluarga adalah berperan dalam penanaman nilai pertama pada anak melalui proses pengasuhan yang dipercaya memiliki dampak pada perkembangan individu. Ada tuga jenis pola asuh orangtua, yaitu otoriter, otoritatif atau demokratis, dan permisif. Setiap pola asuh memiliki karakter tersendiri. Remaja dengan orangtua demokratis cenderung periang, memiliki rasa tanggung jawab sosial, percaya diri, berorientasi prestasi, dan kooperatif. Remaja dengan orangtua otoriter cenderung kurang bahagia, mudah tersinggung, dan tidak bersahabat. Remaja dengan orangtua permisif cenderung agresif, kurang kontrol diri, dan kurang mandiri. Pola asuh demokratis diaggap paling baik. Orangtua memberikan kebebasan untuk dapat berkarya dan berpendapat, namun tetap dengan menjunjung tinggi sikap tanggung jawab atas apa yang dilakukannya. Remaja merasa dihargai dan berusaha tidak mengecewakan orangtua. Selaras yang dikemukakan oleh Baumrind (dalam Bee, 2000) bahwa anak yang diasuh secara demokratis menunjukan rata-rata kemandirian dalam pengambilan keputusan yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak-anak yang tidak diasuh secara demokratis. Kemudian menurut Erikson (dalam Santrock, 2012), pola asuh demokratis

6

dimana orangtua bersikap peduli sehingga mendorong remaja berpastisipasi mengambil keputusan sendiri tanpa pengaruh orang, seperti memilih teman, pendidikan, dan kegiatan sehari-hari. Dari hasil kategorisasi data terhadap 90 subjek, tingkat kemandirian dalam pengambilan keputusan subjek adalah 64,52 yang tergolong kategori tinggi. Tidak ada subjek yang masuk ketegori sangat rendah, 1 subjek masuk kategori rendah, 47 subjek masuk kategori sedang, 40 subjek masuk kategori tinggi, dan 2 subjek masuk kategori sangat tinggi. Hal ini sesuai pendapat Davey (2011) bahwa adanya komunikasi dan kesediaan dari orangtua untuk mendengarkan menjadikan remaja merasa diterima, didukung dan diberi kesempatan untuk belajar membuat keputusan secara bebas menurut keinginannya sendiri, seperti dalam menentukan kegiatan akademik, pemilihan teman dan aktivitas sosialnya. Selaras dengan pendapat Hurlock (2012) bahwa remaja akan berkembang kemandiriannya bila diberi kesempatan berlatih dengan dukungan orangtua untuk memperoleh kemandirian. Kesempatan mandiri adalah pengalaman berharga, proses awal mengenal realita kehidupan. Dari hasil kategorisasi data terhadap 90 subjek, tingkat pola asuh demokratis subjek adalah 38,14 dan tergolong kategori tinggi. Tidak ada subjek yang masuk ketegori sangat rendah, 1 subjek masuk kategori rendah, 12 subjek masuk kategori sedang, 48 subjek masuk kategori tinggi, dan 29 subjek masuk kategori sangat tinggi.

Selaras dengan penyataan Crandell, Crandell, dan Zanden (2012) bahwa pola asuh demokratis adalah gaya pengasuhan yang menyediakan arahan bagi aktivitas anak, tetapi memberikan kebebasan besar dalam batas yang wajar. Orangtua memberikan alasan kebijakan dan terlibat di proses memberi dan menerima dengan anak. Kemudian Kuczynski & Lollis dalam Berk (2012) berpendapat bahwa orangtua demokratis akan memberikan kasih sayang, sikap hangat, penuh perhatian, peka dengan kebutuhan anaknya, memberikan tuntutan sewajarnya namun tetap memberi alasan atas aturan menjadikan remaja merasa dihargai, berani mengemukakan pendapat, percaya diri membuat keputusan, dan bertanggung jawab atas keputusan. Selaras dengan hasil penelitian Suparmi dan Sumijati (2005) bahwa parental responsiveness dimana orangtua membimbing kepribadian anak, dan memberi kesempatan belajar membuat keputusan sendiri, berkorelasi positif membentuk kemandirian emosi, perilaku, dan nilai pada remaja. Orangtua demokratis sebagai individu yang matang secara emosional selalu mengajak anak untuk berpartisipasi membuat keputusan dan bersikap objektif dalam mengasuh anak sehingga anak dihargai sebagai individu, dimunculkan kepercayaan dirinya mengemukakan pendapatnya dan keputusan mereka sendiri tanpa ada tekanan dari pihak orang dewasa lainnya (Cole, 2002). Sumbangan efektif pola asuh demokratis terhadap kemandirian dalam pengambilan keputusan adalah sebesar 23,6 % yang ditunjukan oleh nilai R

7

Square sebesar 0,236. Artinya, pola asuh demokratis mempengaruhi kemandirian dalam pengambilan keputusan sebesar 23,6 % sehingga masih ada 76,4 % faktor-faktor lain yang mempengaruhi kemandirian dalam pengambilan keputusan selain pola asuh demokratis yaitu faktor internal berupa kondisi fisiologis yang berasal dari dalam diri individu baik secara fisiologis dan psikologis, serta faktor pengalaman hidup. Menurut Walgito (2000), fisiologis yaitu kesehatan jasmani dapat mempengaruhi kemandirian dalam pengambilan keputusan. Anak yang sakit lebih bersikap tergantung daripada anak yang tidak sakit sebab anak sehat dianggap bisa melakukan kegiatan tanpa bantuan orangtua. Selanjutnya Prasetyo dan Sutoyo (2003) menambahkan bahwa sering dan lamanya anak sakit pada usia bayi menjadikan orang tua sangat memperhatikannya, anak yang menderita sakit mengundang kasihan berlebihan sehingga mendapatakan pemeliharaan yang lebih. Menurut Adler (dalam Feist dan Feist, 2012), urutan kelahiran juga mempengaruhi. Sering dijumpai anak sulung dan anak tengah lebih mandiri daripada anak bungsu. Anak sulung lebih banyak diberi tanggung jawab dan lebih diharapkan mandiri. Perbedaan kesempatan perlakuan orangtua memberikan pengaruh berbeda pada anak dalam kepribadian, sikap, dan pola tingkah lakunya. Faktor kondisi psikologis seperti kecerdasan berpengaruh terhadap pencapaian kemandirian seseorang (Basri, 2000). Faktor pengalaman dalam kehidupan dimana pembentukan

kemandirian dapat terbentuk dari pengalaman berupa interaksi dengan teman, guru dan masyarakat (Haryadi dalam Rahmawati, 2005). Dalam penelitian ini masih memiliki beberapa kelemahan, diantaranya adalah idealnya pengambilan data pada pagi hari dimana fisik dan pikiran subjek masih baik sehingga hasil pengisian skala dapat merepresentasikan kondisi sesungguhnya, namun pada kenyataannya pengambilan data rata-rata dilakukan pada siang hari seusai jam istirahat siang dimana kosentrasi subjek mulai menurun akibat kelelahan setelah belajar setengah hari di sekolah sehingga hasilnya kurang merepresentasikan kondisi sebenarnya. Hal ini sesuai pula dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Faridi (2002) yang menunjukkan bahwa kadar glukosa siswa yang sarapan pagi lebih tinggi dibandingkan yang tidak sarapan pagi. Kadar glukosa darah mempengaruhi konsentrasi. Jadi ketika pagi hari setelah sarapan, kadar glukosa darah akan meningkatkan konsentrasi. Selain itu, udara pagi yang masih kaya akan oksigen membantu menciptakan energi di otak sehingga sehingga proses berpikir menjadi lebih lancar. Pada siang hari kadar oksigen berkurang dan kadar karbondioksida meningkat karena hasil asap kendaraan yang kurang baik untuk otak sehingga proses berpikir ikut lambat. Devi (2012) juga menyatakan bahwa sarapan pagi merupakan pasokan energi untuk otak yang paling baik agar dapat berkonsentrasi di sekolah. Idealnya pemberian instruksi dilakukan oleh peneliti sendiri agar

8

subjek lebih paham dan dapat memberi hasil yang merepresentasikan kondisi sebenarnya. Menurut Aiken dan Marnat (2008), tes psikologi akan memberikan hasil yang baik jika sesuai pedoman atau buku Standart for Educational and sychology Testing dari American Psychological Association, diantaranya yaitu mengenai administrasi tes, pemberian skor, pelaporan menekankan pada pentingnya memiliki petunjuk yang jelas dalam administrasi dan pemberian skor yang diikuti secara saksama. Penguji tes juga harus terstandarisasi, memiliki pengetahuan dan ketrampilan pengelolaan tes, seperti membacakan petunjuk tes dengan pelan dan jelas agar peserta tes paham dan memberikan hasil maksimal. Penguji tes senantiasa siap, hangat, membangun hubungan, dan objektif. Pada kenyataannya pengambilan data sebagian subjek tidak dilakukan secara langsung oleh peneliti, tetapi harus dititipkan kepada pihak sekolah. Pemberian skala tidak oleh peneliti langsung dapat menjadikan pemberian instruksi yang kurang sesuai sehingga memungkinkan terjadinya ketidakpahaman subjek. Dengan adanya sebagian proses metode penelitian yang kurang sesuai dengan standarisasi tes sehingga ada sebagian data yang kurang dapat mengungkapkan kondisi subjek sebenarnya. KESIMPULAN DAN SARAN 1.

Ada hubungan positif yang signifikan antara pola asuh demokratis dengan kemandirian dalam pengambilan keputusan. Artinya, semakin tinggi pola asuh demokratis maka semakin tinggi pula kemandirian dalam

2.

3. 4.

pengambilan keputusan dan sebaliknya. Tingkat kemandirian dalam pengambilan keputusan tergolong tinggi yaitu 64,52. Tingkat pola asuh demokratis tergolong tinggi sebesar 38,14. Sumbangan efektif pola asuh demokratis terhadap kemandirian dalam pengambilan keputusan sebesar 23,6% Artinya pola asuh demokratis mempengaruhi kemandirian dalam pengambilan keputusan sebesar 23,6% sehingga masih ada 76,4% faktor lain yang mempengaruhinya.

Saran a. Bagi orangtua : Orangtua diharapkan dapat mempertahankan penerapan pola asuh demokratis pada anak yaitu dengan memberi perhatian, kasih sayang, tuntutan disertai penjelasan yang rasional, mendengarkan keinginan anak, menjalin komunikasi dua arah sehingga anak merasa diterima, dipercaya, dan dihargai oleh orangtua. Hal itu akan mendorong anak mengembangkan kemampuan kemandirian dalam pengambilan keputusan yang semakin baik. Ketika anak dihadapkan pada permasalahan hidupnya maka akan mampu mengambil keputusan terbaiknya secara mandiri tanpa selalu bergantung pada orangtua. b. Bagi pihak sekolah : Guru diharapkan dapat memfasilitasi siswa mengembangkan kemampuan kemandirian dalam pengambilan keputusan. Adanya tingkat kemampuan kemandirian dalam

9

keputusan siswa yang sudah tergolong tinggi, guru dapat mengarahkan potensi tersebut untuk meraih prestasi optimal di sekolah, baik secara akademik maupun non akademik. Sekolah hendaknya menambah ragam ekstrakurikuler yang dapat menampung minat siswa, seperti bidang olahraga, kesenian, ilmu pengetahuan, keagamaan, debat, dan lain-lain. Adanya ekstrakurikuler yang beragam akan memperbesar kesempatan siswa untuk memilih. Dengan kemampuan kemandirian dalam pengambilan keputusan siswa yang tinggi maka siswa akan memilih ekstrakurikuler yang sesuai minat dan bakatya sendiri. Ketika siswa dapat memilih ekstrakurikuler yang sesuai minat dan bakatnya maka potensinya akan semakin berkembang. c. Bagi subjek : Berdasarkan kemampuan kemandirian dalam pengambilan keputusan subjek yang tergolong tinggi, hendaknya subjek dapat mengaplikasikan kemampuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari seperti dalam hal pemilihan teman, pemilihan aktivitas sosial, pemilihan jurusan pendidikan, dan lain-lain dengan cara berusaha menyelesaikan masalahnya dengan mempertimbangkan masukan dan

arahan dari orang lain, seperti orangtua, teman, dan guru mengenai sisi baik buruknya setiap pilihan yang tersedia, namun subjek tetap menentukan dan memilih pilihan yang dianggap terbaik bagi dirinya berdasarkan hasil pertimbangan dari berbagai informasi yang telah didapat. d. Bagi peneliti selanjutnya : Peneliti lain yang memiliki minat penelitian di bidang kemandirian hendaknya mengaitkannya dengan variabel lain selain pola asuh demokratis seperti kondisi fisiologis yang meliputi kesehatan jasmani dan urutan kelahiran, kondisi psikologis yang meliputi kecerdasan dan kondisi pengalaman dalam kehidupan. Selain itu, ketika melakukan pengambilan semua data hendaknya dilakukan secara langsung oleh peneliti sehingga subjek memahami petunjuk pengerjaan alat ukur dengan tepat. Lalu hendanya dilakukan ketika pagi hari dimana kondisi fisik dan pikiran subjek masih segar dan tidak mengalami kelelahan setelah setengah hari belajar di sekolah agar mendapatkan data penelitian yang maksimal dan dapat merepresentasikan kondisi subjek yang sebenarnya.

DAFTAR PUSTAKA Aiken, L.R. dan Marnat, G.G. (2008). Pengetesan dan Pemeriksaan Psikologi. Terjemahan: Widiastuti, H. Jakarta: Indeks Basri, H. (2000). Remaja Berkualitas (Problematika Remaja dan Solusinya). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

10

Bee, H. (2000). The Developing Child. Ninth Edition. New York: Pearson. Berk, L.E. (2012). Development Through The Lifespan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Brena, N.J.P., Updegraff, K.A. dan Taylor, A.J.U. (2012). Father and Mother Adolescent Decision Making in Mexican Origin Families. Journal Youth Adolescence. 41:460-473. Cole, L. (2002). Psychology of Adolescence. Edisi kesembilan. USA: Harper dan Collins Publishers. Crandell, T., Crandell, C., dan Zanden, J.V. (2012). Human Development. 10th Edition. New York: Mc. Graw Hill. Dagun, S.M. (2006). Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara. Davey, G. (2011). Applied Psychology. Chichester: BPS Blackwell Elaine, B.D dan Terri, F. (2003). Peer Referencing in Adolescence Decision Making As A Function of Perceived Parenting Style. Journal Adolescence, 38, 152 : 607621. Feist, J. dan Feist, G.J. (2012) Teori Kepribadian. Terjemahan : Handriatno. Edisi VII. Jakarta: Salemba Humanika. Feldman, R.S. (2012). Pengantar Psikologi. Terjemahan : Gayatri, P.G. dan Sofyan, P.N. Edisi kesepuluh. Jakarta: Salemba Humanika. Hidayatullah, F. (2010). Pendidikan Karakter : Membangun Peradaban Bangsa. Yuma Pustaka: Surakarta. Hurlock, E.B. (2012). Psikologi Perkembangan : Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Terjemahan : Istiwidayanti dan Soedjarwo. Edisi 5. Jakarta: Erlangga. Lestari, S. (2012). Psikologi Keluarga Penanaman Nilai dan Penanganan Konflik dalam Keluarga. Kencana: Jakarta. Majalah Psikologi Plus. Edisi VII. Oktober 2012. Anak Manja. Hal 25. Masrun, Martono, Haryanto, F.R, Hardjjito, Purbo, Sufiati, M., Bawari, A., Nuryati, A., Soetjipto, H.P. 1986. Studi Mengenai Kemandirian Pada Tiga Penduduk di Tiga Suku Bangsa (Jawa, Batak, Bugis). Laporan Penelitian Kantor Menteri Negara dan Lingkungan Hidup. Fakultas Psikologi. UGM. Mu’tadin, Z. (2002). Kemandirian sebagai Kebutuhan Psikologis pada Remaja. Online. http://www.e-psikologi.com/remaja/250602.htm. Diakses pada 16 Agustus 2013. Nihayati dan Fauzan, L. (2000). Hubungan antara Perilaku Mandiri dan Prestasi Belajar Mahasiswa PBB-FIP IKIP Malang. Laporan Penelitian. (Tidak Diterbitkan). Malang: UMM.

11

Rahmawati, H.S. (2005). Perbedaan Kemandirian Antara Anak Sulung Dengan Anak Bungsu Pada Siswa Kelas II SMA Negeri 11 Semarang Tahun Pelajaran 2004/2005. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Semarang : Universitas Negeri Semarang. Santrock, J.W. (2013). Life Span Development. Fourthteen Edition. New York: McGraw Hill Suparmi dan Sumijati, S. (2005). Kemandirian Pada Mahasiswa Ditinjau Dari Parental Responsiveness dan Parental Demandingness. Jurnal Proceeding Seminar Nasional. Semarang: Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata. Suryadi, D. dan Damayanti, C. (2006). Perbedaan Tingkat Kemandirian Remaja Puteri Yang Ibunya Bekerja dan Tidak Bekerja. Jurnal Penelitian. Jakarta: Fakultas Psikologi Universitas Taruma Negara. Tuti, M.D, Tjahjono, E. dan Kartika, A. (2006). Pola Pengambilan Putusan Karier Siswa Berbakat Intelektual. Jurnal Penelitian Anima Vol. 22, No. 1, Hal 58-73. Surabaya: Fakultas Psikologi Universitas Surabaya. Walgito, B. (2010). Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Offset. Widiasworo, T. (2013). Perilaku Agresi Siswa Ditinjau dari Pola Asuh Demokratis pada Orangtua Tunggal (Single Parent). Skripsi (Tidak Diterbitkan). Surakarta: Fakultas Psikologi UMS. Windyastati, F. (2001). Hubungan antara Persepsi Pola Asuh Demokratis Dengan Disiplin Diri pada Remaja. Skripsi. (Tidak Diterbitkan). Surakarta: Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta. .(2013). Bingung ? Siapa Takut !. Online. http://sosbud.kompasiana.com/2013/07/25/bingung-siapa-takut-579417.html. Online. Diakses tanggal 30 September 2013.