HUKUM KEWARISAN ISLAM SUMBER HUKUM KEWARISAN

Download mengenai pembagian warisan, dalam beberapa hal masih diperlukan adanya ijtihad terhadap ... Ahli waris merupakan pengganti untuk menguasai ...

0 downloads 605 Views 2MB Size
HUKUM KEWARISAN ISLAM SUMBER HUKUM KEWARISAN ISLAM A. Al-Qur’an Beberapa ayat Al-qur’an yang langsung mengatur pembagian harta warisan adalah sebagai berikut : Q.S. IV : 7 Mengatur penegasan bahwa laki-laki dan perempuan dapat mewaris Q.S. IV : 11 Mengatur perolehan anak, perolehan ibu dan bapak serta soal wasiat dan utang Q.S. IV : 12 Mengatur perolehan duda, janda, saudara-saudara dalam hal kalaalah dan soal wasiat serta utang Q.S. IV : 33 Mengatur mengenai mawali seseorang yang mendapat harta peninggalan dari ibu-bapaknya, aqrabunnya dan tolam seperjanjiannya serta perintah agar pembagian bagian tersebut dilaksanakan Q.S. IV : 176 Menerangkan mengenai arti kalaalah dan mengatur mengenai perolehan saudara dalam hal kalaalah. B. Sunnah Rasul Hadits-hadits Rasul di sini termasuk juga atsar sahabat Rasulullah akan sangat membantu di dalam pemecahan pembagian harta peninggalan sepanjang ada kaitannya dengan hukum kewarisan yang tidak disebutkan dalam al-Qur’an Hadits-hadits tersebut adalah sebagai berikut : 1. Jaabir bin Abdullah dalam hubungan turunnya Q.S. IV : 176 yang mengatur soal kalaalah. 2. Zaid bin Tsabit yang mengatur perolehan anak dari anak laki-laki (cucu melalui anak laki-laki). 3. Abu Bakar yang mengatur bagian datuk. 4. Ali bin Abi Thalib yang membahas mengenai utang dan wasiat. 5. Saad bin Abi Waqqas mengenai batas wasiat. 6. Ali bin Abi Thalib yang membahas mengenai ‘Awl. 7. Ibnu Abbas yang membahas mengenai keutamaan sesama ahli waris dan soal hijab menghijab yang didasarkan kepada hadits Ibnu Abbas dan Zaid bin Tsait.

8. Abu Hurairah dan Jabir mengenai perkataan Rasulullah bahwa bayi yang dilahirkan menangis berhak mewaris. 9. Abu Hurairah mengenai ketentuan Rasulullah bahwa ahli waris hanya bertanggung jawab setingg-tingginya sejumlah harta peninggalan pewaris. C. Ijtihad Meskipun al-Qur’an dan Hadits Rasul telah memberi ketentuan terperinci mengenai pembagian warisan, dalam beberapa hal masih diperlukan adanya ijtihad terhadap hal-hal yang tidak ditentukan dalam al-Qur’an atau hadits Rasul. Misalnya mengenai bagian ibu apabila hanya mewaris dengan bapak dan suami atau istri.

SEBAB-SEBAB MEWARIS A. Rukun Mewaris 1. Harus ada muwarrits Yaitu orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta peninggalan. Syaratnya adalah bahwa muwarrits itu harus benar-benar telah meninggal dunia. Mati hakiki adalah mati yang dapat dibuktikan dengan panca indra atau pembuktian menurut ilmu kedokteran. Mati hukmy maksudnya adalah seseorang yang dinyatakan atau dianggap telah meninggal dunia, disebabkan karena hilang dan tidak diketahui kabar beritanya. Mati taqdiri maksudnya, seseorang diduga kuat mati karena sesuatu sebab seperti minum racun, dipaksa minum racun, terminum racun, dibunuh, bunuh diri atau terbunuh. 2. Harus ada al-waris atau ahli waris 3. Harus ada al-mauruts atau al-mirats B. Syarat-syarat Mewaris 1. Adanya orang yang meninggal dunia baik secara hakiki atau secara hukumnya. 2. Ahli Waris masih hidup secara jelas pada saat pewaris meninggal dunia. Ahli waris merupakan pengganti untuk menguasai warisan yang ditinggalkan oleh pewaris. Perpindahan hak tersebut diperoleh melalui jalan kewarisan. Oleh karena itu sesudah pewaris meninggal dunia, ahli warisnya harus benar-benar hidup. Termasuk dalam pengertian ini adalah bayi di dalam kandungan (al-haml). Meskipun masih berupa janin, apabila dapat dipastikan hidup, melalui gerakan (kontraksi) atau cara lainnya, baginya berhak mendapat warisan. Untuk itu perlu diketahui batasan yang tegas mengenai paling sedikit dan paling lama usia kandungan. Ini dimaksudkan untuk mengetahui kepada siapa janin tersebut akan dinasabkan. 3. Mengetahui golongan ahli waris. Hubungan antar pewaris dengan ahli waris harus jelas, hal ini untuk mengetahui apakah ahli waris tersebut

sebagai anak kandung, suami atau istri, saudara dan sebagainya. Dengan demikian dapat ditentukan besarnya bagian masing-masing ahli waris.

PENGGOLONGAN AHLI WARIS A. Menurut Ajaran Kewarisan Bilateral Hazairin Menurut Prof. Dr. Hazairin, SH, bila dilihat dari sudut orang yang menerima bagian harta peninggalan, maka ahli waris dapat dikelompokkan dalam tiga golongan yaitu : 1. Dzul faraaidh Dzul faraaidh berarti ahli waris tertentu yang mendapat bagian tertentu dalam keadaan tertentu. Yang dimaksud dengan bagian tertentu di sini adalah bagian ahli waris yang sudah jelas-jelas disebutkan dalam Al-qur’an. Seperti 1/8, 1/6, 1/4, 1/3, 1/2 dan 2/3. 2. Dzul qarabat Yaitu ahli waris yang mendapat bagian warisan tidak tertentu jumlahnya atau mendapat bagian sisa atau disebut juga mendapat bagian terbuka, yaitu : a. Anak laki-laki b. Anak perempuan yang didampingi anak laki-laki c. Bapak d. Saudara laki-laki dalam hal kalaalah e. Saudara perempuan yang didampingi saudara laki-laki dalam hal kalah. 3. Mawali (Ahli waris pengganti) Yaitu ahli waris yang mendapat bagian menggantikan kedudukan orang tuanya yang telah meninggal dunia terlebih dahulu. B. Menurut Ajaran Kewarisan Patrilineal Syafi’i Ahli waris dapat dikelompokkan menjadi tiga golongan : 1. Dzawul faraaidh yaitu ahli waris tertentu yang mendapat bagian tertentu dalam keadaan tertentu 2. Ashabah yaitu ahli waris yang : a. tidak ditentukan bagiannya tetapi dia akan menerima seluruh harta warisan apabila tidak ada ahli waris yang dzawul faraaid sama sekali atau b. jika ada ahli waris yang dzawul faraaidh, dia akan menerima sisanya atau

c. apabila tidak ada sisa sama sekali karena harta peninggalan sudah habis terbagi kepada para ahli waris yang dzawul faraaidh maka dia tidak mendapat bagian apa-apa. Ahli waris ashabah ini ada tiga macam : 2.1 Ashabah binafsih yaitu ahli waris yang berkedudukan sebagai ashabah dengan sendirinya atau secara otomatis, artinya tidak karena ditarik oleh ahli waris (ashabah) lain atau tidak karena bersama-sama dengan ahli waris lain. 2.2 Ashabah bilghari yaitu ahli waris yang berkedudukan sebagai ashabah karena ditarik oleh ahli waris ashabah yang lain. 2.3 Ashabah ma’al ghairi yaitu ahli waris yang berkedudukan sebagai ashabah karena bersama-sama dengan ahli waris lain. 3. Dzawul arham yaitu ahli waris yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris melalui garis penghubung anak perempuan, tetapi tidak termasuk golongan ahli waris dzawul furudl dan ashabah. Yang termasuk ahli waris dzawul arham ialah: a. Cucu laki-laki dan atau perempuan melalui anak perempuan b. Kemenakan laki-laki atau perempuan, yaitu anak dari saudara perempuan sekandung, seayah atau seibu c. Kemenakan perempuan yaitu anak perempuan dari saudara laki-laki sekandung atau seayah d. Saudara sepupu perempuan yaitu anak perempuan paman (saudara lakilaki ayah) e. Paman seibu (saudara laki-laki ayah seibu) f. Paman (saudara laki-laki ibu) g. Bibi (saudara perempuan ayah maupun saudara perempuan ibu) h. Kakek, (ayah ibu) i. Nenek buyut, (ibu kakek) j. Kemenakan seibu, (anak-anak saudara laki-laki seibu)

KEUTAMAAN SESAMA AHLI WARIS Prof. Dr. Hazairin, S.H., yang merupakan pemula sistem kewarisan bilateral Islam Indonesia merumuskan kelompok keutamaan dalam hukum kewarisan bilateral sebagai berikut: 1. Kelompok keutamaan pertama : a. Anak-anak, laki-laki dan perempuan sebagai dzul faraaidh atau sebagai dzul qarabot beserta mewalinya b. Orang tua (ayah dan ibu) sebagai dzul faraidh c. Janda atau duda sebagai dzul faraidh 2. Kelompok keutamaan kedua : a. Saudara laki-laki dan perempuan sebagai dzul faraaidh atau dzul qarabat beserta mewalinya b. Ibu sebagai dzul faraaidh c. Bapak sebagai dzul qarabat dalam hal kalaalah d. Janda atau duda sebagai dzul faraidh 3. Kelompok keutamaan ketiga : a. Ibu sebagai dzul faraaidh b. Bapak sebagai dzul qarabat c. Janda atau duda sebagai dzul faraaidh 4. Kelompok keutamaan keempat : a. Janda atau duda sebagai dzul faraaidh b. Mawali untuk ibu c. Mawali untuk bapak

BAGIAN WARISAN UNTUK ANAK Dalam Q.S. IV : 11 ada 3 garis hukum yang mengatur bagian warisan untuk anak. 1. Q.S. IV : 11a Untuk seorang anak laki-laki sebanyak bagian 2 (dua) orang anak perempuan. Bila kita gambarkan adalah sebagian berikut : Gambar I

P

A

Keterangan : P = Pewaris meninggalkan seorang anak laki-laki bernama A dan seorang anak perempuan bernama B.

B

Pembagian A dan B mendapat seluruh harta peninggalan dengan perbandingan 2 : 1. A = 2/3 x HP B = 1/3 x HP A + B = 2/3 + 1/3 = 3/3. = 1 (Seluruh HP) Gambar II Keterangan : Pewaris meninggalkan ahli waris seorang anak laki-laki bernama A dan dua orang anak perempuan bernama B dan C.

P

A

B

C

Pembagian : A, B dan C memperoleh seluruh HP dengan perbandingan 2:1:1 A = 2/4 B = 1/4 C = 1/4 A + B + C = 2/4 + 1/4 + 1/4 = 4/4 = 1

Gambar III Keterangan : Pewaris meninggalkan dua orang anak lakilaki bernama A dan B serta dua orang anak perempuan bernama C dan D

P

A

B

C

D

Pembagian : A, B, C, D memperoleh seluruh HP dengan perbandingan 2:2:1:1 A = 2/6 B = 2/6 C=1/6 D=1/6 A+B+C+D = 2/6 + 2/6 + 1/6 + 1/6 = 6/6 = 1 Kalau dilihat ketiga gambar tersebut di atas, perolehan masing-masing ahli waris baik menurut kewarisan Bilateral (Hazairin), kewarisan patrilineal (Syafi’i) maupun Kompilasi Hukum Islam (dalam pasal 176) adalah sama. 2. Q.S. IV : 11 b Jika anak-anak itu perempuan saja dan jumlahnya dua orang atau lebih, maka mereka mendapat 2/3 dari harta peninggalan. Gambar IV

P

A

B

Keterangan : Pewaris meninggalkan ahli waris dua orang anak perempuan bernama A dan B

Pembagian : A dan B memperoleh 2/3 secara bersyarikat (bersama-sama) dengan perbandingan 1:1 A = 1/2 x 2/3 = 2/6. df (Q.S. IV : IIb) B = 1/2 x 2/3 = 2/6. df (Q.S. IV : IIb) A + B = 2/6 + 2/6 = 4/6 Sisa = 1 – 4/6 = 2/6

Gambar V

P

A

B

C

D

E

Keterangan : Pewaris meninggalkan ahli waris lima orang anak perempuan masingmasing bernama A, B, C, D dan E.

Pembagian : A, B, C, D dan E memperoleh 2/3 secara bersyarikat (bersama-sama) dengan perbandingan 1:1:1:1:1. Bagian masing-masing ahli waris: A = 1/5 x 2/3 = 2/15. df (Q.S.IV : 11B) B = 1/5 x 2/3 = 2/15. df (Q.S.IV : 11B) C = 1/5 x 2/3 = 2/15. df (Q.S.IV : 11B) D = 1/5 x 2/3 = 2/15. df (Q.S.IV : 11B) E = 1/5 x 2/3 = 2/15. df (Q.S.IV : 11B) A + B + C + D + E + = 2/15 + 2/15 + 2/15 + 2/15 + 2/15 = 10/15 Sisa = 1 – 10/15 = 5/15 3. Q.S. IV : 11 c Jika anak perempuan itu hanya satu orang saja maka bagiannya seperdua dari harta peninggalan. Gambar VI

P Keterangan : Pewaris meninggalkan perempuan bernama A.

seorang

anak

A Pembagian : A mendapat bagian 1/2 dari HP sebagai df dan masih ada sisa = 1/2. Kalau kita lihat gambar IV, V dan VI tersebut di atas perolehan masingmasing ahli waris baik menurut kewarisan Bilateral (Hazairin), kewarisan patrilineal (Syafi’i) maupun Kompilasi Hukum Islam adalah sama.

BAGIAN WARISAN UNTUK ORANG TUA (BAPAK DAN IBU) A. Bapak Kedudukan bapak dalam hal mewaris ada 2 kemungkinan sesuai dengan ketentuan yang ada dalam al-Qur’an khususnya Q.S. IV : 11 yaitu sebagai dzul faraaidh. Kedudukan bapak sebagai ahli waris dalam pasal 177 Kompilasi Hukum Islam ditentukan sebagai berikut : “Ayah mendapat 1/3 bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak ayah mendapat 1/6 bagian.” “Pasal 177 yang menetapkan bagian ayah adalah 1/3 bila pewaris tidak meninggalkan anak dan 1/6 bila ada anak agaknya memerlukan hukum yang jelas.” Tapi melalui SEMA No. 2/1994 yang menjelaskan maksud pasal tersebut adalah sebagai berikut : “Ayah mendapat 1/3 bagian apabila tidak meninggalkan anak tetapi meninggalkan suami atau istri dan ibu tapi bila ada anak ayah mendapat 1/6”. Jadi yang dimaksud dalam pasal tersebut adalah bila ayah mewaris bersama suami atau istri dan ibu. Walaupun SEMA tersebut sudah menjelaskan sedemikian rupa, namun tetap saja pada akhirnya bapak berkedudukan sebagai dzul faraaidh karena bagiannya sudah ditetapkan sebesar 1/3 padahal al-Qur’an sama sekali tidak menegaskan bahwa bapak mendapat bagian 1/3 jika si pewaris tidak meninggalkan anak.” B. Ibu Dalam ajaran kewarisan bilateral, kedudukan ibu dalam hal mewaris tetap sebagai dzul faraaidh sesuai dengan ketentuan yang ada di dalam Q.S. IV : 11. Yang mempengaruhi bagian ibu dalam perolehan harta peninggalan adalah anak baik anak laki-laki maupun perempuan termasuk juga mawalinya jika anak pewaris telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris.

1. Q.S. IV : 11d Bagi dua orang ibu dan bapak, masing-masingnya mendapat seperenam dari harta peninggalan kalau si pewaris meninggalkan anak (walad) Gambar I A

B Keterangan : Pewaris meninggalkan ahli waris seorang bapak bernama A, seorang ibu bernama B dan dua orang anak laki-laki bernama C dan D.

P

C

D

Pembagian : A = 1/6.df (Q.S. IV : 11d) B = 1/6.df (Q.S. IV : 11d) Sisa = 1 – (1/6 + 1/6) = 4/6 diberikan kepada C dan D dengan perbanding 1:1 C = 1/2 x 4/6 = 4/12 (Q.S. IV : 11) D = 1/2 x 4/6 = 4/12 (Q.S. IV : 11) A + B + C + D = 1/6 + 1/6 + 4/12 + 4/12 = 2/12 + 2/12 + 4/12 + 4/12 = 12/12 = 1 Gambar II A

B

P

Keterangan : Pewaris meninggalkan ahli waris seorang bapak bernama A, seorang ibu bernama B dan seorang anak laki-laki bernama C

C Pembagian : A = 1/6.df (Q.S. IV : 11d) B = 1/6.df (Q.S. IV : 11d) Sisa = 1 – (1/6 + 1/6) = 4/6 diberikan kepada C (Q.S. IV : 7a)

Jika kita lihat gambar I dan II, maka bagian masing-masing ahli waris baik menurut ajaran kewarisan bilateral (Hazairin), menurut ajaran kewarisan patrilineal (Syafi’i) maupuh KHI adalah sama, hanya berbeda istilahnya saja. Gambar I C

D Keterangan : Pewaris meninggalkan

bapak

bernama C, dan seorang ibu bernama D, seorang anak laki-laki bernama A dan seorang anak perempuan bernama B.

P

A

seorang

B

Pembagian : C = 1/6.df (Q.S. IV : 11d) D = 1/6.df (Q.S. IV : 11d) Sisanya = 1 – (1/6 + 1/6) = 4/6 diberikan kepada A dan B dengan perbanding 2:1 A = 2/3 x 4/6 = 8/18. (Q.S. IV : 11a) B = 1/3 x 4/6 = 4/18. (Q.S. IV : 11a) A + B + C + D = 8/18 + 4/18 + 1/6 + 1/6 = 8/18 + 4/18 + 3/18 + 3/18 = 18/18 = 1 Gambar IV E

F Keterangan : Pewaris meninggalkan

B

bapak

bernama E, dan seorang ibu bernama F, 2 orang anak laki-laki bernama A dan B serta 2 orang anak perempuan bernama C dan D.

P

A

seorang

C

Pembagian : E = 1/6. df (Q.S. IV : 11 d) F = 1/6. df (Q.S. IV : 11 d)

D

Sisa = 1 – (1/6 + 1/6) = 4/6 diberikan kepada A, B, C, dan D dengan perbandingan 2:2:1:1 A = 2/6 x 4/6 = 8/36 (Q.S. IV : 11 a) B = 2/6 x 4/6 = 8/36 (Q.S. IV : 11 a) C = 1/6 x 4/6 = 4/36 (Q.S. IV : 11 a) D = 1/6 x 4/6 = 4/36 (Q.S. IV : 11 a) A+B+ C+D+E+F = 8/36 + 8/36 + 4/36 + 4/36 + 1/6 + 1/6 = 8/36 + 8/36 + 4/36 + 4/36 + 6/36 + 6/36 =

36/36 = 1

Jika kita melihat gambar III dan IV, bagian masing-masing ahli waris menurut ajaran kewarisan bilateral, ajaran kewarisan patrilineal (Syafi’i) dan Kompilasi Hukum Islam adalah sama. Gambar V A

B Keterangan : Pewaris meninggalkan seorang bapak bernama A, seorang ibu bernama B dan 4 orang anak perempuan masing-masing bernama C, D, E dan F.

P

C

D

E

F

Pembagian : A = 1/6. df (Q.S. IV : 11 d) B = 1/6. df (Q.S. IV : 11 d) C, D, E, F = 2/3 secara berserikat dengan perbanding 1:1:1:1 C = 1/4 x 2/3 = 2/12.df (Q.S. IV : 11b) C = 1/4 x 2/3 = 2/12.df (Q.S. IV : 11b) C = 1/4 x 2/3 = 2/12.df (Q.S. IV : 11b) C = 1/4 x 2/3 = 2/12.df (Q.S. IV : 11b) A+B+ C+D+E+F = 1/6 + 1/6 + 2/12 + 2/12 + 2/12 + 2/12 = 2/12 + 2/12 + 2/12 + 2/12 + 2/12 + 2/12 = 2/12 = 1

Gambar VI C

D Keterangan : Pewaris meninggalkan ahli waris seorang bapak bernama C, seorang ibu bernama D dan dua orang anak perempuan bernama A

P

dan B.

A

B

Pembagian : C = 1/6. df (Q.S. IV : 11 d) D = 1/6. df (Q.S. IV : 11 d) A & B = 2/3 secara berserikat dengan perbandingan 1:1 A = 1/2 x 2/3 = 2/6. df (Q.S. IV : 11b) B = 1/2 x 2/3 = 2/6. df (Q.S. IV : 11b) A + B + C + D = 2/6 + 2/6 + 1/6 + 1/6 = 6/6 = 1 Gambar VII A

B

P

Keterangan : Pewaris meninggalkan seorang bapak bernama A, seorang ibu bernama B, dan seorang anak perempuan bernama C

C Pembagian : Menurut ajaran kewarisan bilateral (Hazairin) A = 1/6.df (Q.S. IV : 11d) B = 1/6.df (Q.S. IV : 11d) C = 1/2.df (Q.S. IV : 11c) A + B + C = 1/6 + 1/6 + 1/2 = 1/6 + 1/6 + 3/6 = 5/6

Masih ada sisa sebesar = 1/6 Sisa ini akan kita bicarakan dalam Bab tentang Radd dan Awl. Menurut ajaran kewarisan Patrilineal (Syafi’i) sisa sebesar 1/6 diberikan kepada A (bapak) sebagai ashabah binafsihi sesuai dengan hadits Ibnu Abbas. Jadi A (bapak) memperoleh 1/6 + 1/6 = 2/6. Gambar VIII A Keterangan : Pewaris meninggalkan ahli waris seorang bapak bernama A, dan tiga orang anak perempuan bernama B, C dan D.

P

B

C

D

Pembagian : Menurut ajaran kewarisan Bilateral (Hazairin) A = 1/6.df (Q.S. IV : 11d) B, C, D = 2/3 secara berserikat dengan perbandingan 1:1:1 B = 1/3 x 2/3 = 2/9.df (Q.S. IV : 11d) C = 1/3 x 2/3 = 2/9.df (Q.S. IV : 11d) D = 1/3 x 2/3 = 2/9.df (Q.S. IV : 11d) A+B+C+D 1/6 + 2/9 + 2/9 + 2/9 = 3/18 + 4/18 + 4/18 + 4/8 = 15/18 Sisa = 1 – 15/18 = 3/18 Sisa akan kita bicarakan dalam bab tentang radd dan awl. Menurut ajaran patrilineal (Syafi’i) A = 1/6.df (Q.S. IV : 11d_ B = 2/3 secara berserikat dengan perbandingan 1:1:1 B = 1/3 x 2/3 = 2/9.df (Q.S. IV : 11b) C = 1/3 x 2/3 = 2/9.df (Q.S. IV : 11b) D = 1/3 x 2/3 = 2/9.df (Q.S. IV : 11b) A + B + C + D = 1/6 + 4/18 = 15/18

Sisa = 1-(3/18+4/18+4/18+4/18+4/18) = 3/18 diberikan kepada A (bapak) sebagai ashabah binafsihi sesuai dengan hadits Ibnu Abbas. Jadi A memperoleh 1/6 + 3/18 + 3/18 = 6/18 Menurut ajaran kewarisan patrilineal (Syafi’i) bila kita lihat gambar VII dan VIII sisanya sebesar 1/6 dan 3/18 diberikan kepada bapak sebagai ahli waris laki-laki yang terdekat dengan sipewaris dalam kedudukannya sebagai ashabah binafsihi sesuai dengan hadits Ibnu Abas yang mengatakan: “… dan sisanya adalah bagi laki-laki yang laki-laki yang terdekat (aulaa)”. Sehingga bapak memperoleh 1/6+1/6=2/6, 1/6+3/18 jadi bapak disini dalam satu kasus berkedudukan sebagai dzul faraiidh dan ashabah (sebagai penerima sisa harta peninggalan). 2. Q.S.IV : 11e Jika sipewaris tidak meninggalkan anak (walad) dan mewarisinya ibu bapaknya maka bagian ibunya 1/3 yaitu jika tidak ada baginya saudara (ikhwatun). Gambar IX A

B

P

Keterangan : Pewaris meninggalkan ahli waris seorang bapak bernama A, dan seorang ibu bernama B.

Pembagian : B = 1/3.df (Q.S.IV : 11e) dalam Q.S.IV : 11e bagian bapak tidak ditentukan seperberapa, berarti bapak mendapat bagian tidak tertentu atau sebagai dzul qarabat yaitu mendapat bagian terbuka atau sisa. Jadi dalam Q.S.IV : 11e bapak berkedudukan sebagai dzul qarabat. Sehingga dalam kasus tersebut di atas bapak memperoleh sisa sebesar 2/3 sebagai dzul qarabat atau asabah binafsihi. Bagian bapak dan ibu tersebut di atas baik menurut ajaran kewarisan bilateral (Hazairin), ajaran kewarisan patrilineal (Syafi’i) maupun Kompilasi Hukum Islam adalah sama.

3. Q.S IV 11f. Jika ibumu mewaris bersama sama bapakmu tidak ada anak-anak tetapi ada saudara maka ibumu mendapat 1/6 dari harta peninggalan. Gambar X A

A

B

P

B

A

P C

B

P C

D

C

D

Dari gambar-gambar tersebut di atas menurut ajaran kewarisan bilateral, ibu memperoleh sebesar 1/6 sedangkan bagian saudara akan dibicarakan pada bab tentang bagian warisan untuk saudara.

RADD DAN ‘AWL Dalam suatu kasus kewarisan terdiri dari ahli waris yang berkedudukan sebagai dzul faraidh saja (tidak ada ahli waris yang berkedudukan sebagai dzul qarabat atau ashabah) mungkin pembagian harta peninggalan pada tingkat pertama akan habis semua atau mungkin pembagian harta peninggalan pada tingkat pertama masih terdapat sisa atau mungkin pembagian pada tingkat pertama akan terjadi ketekoran. Pembagian Harta Peninggalan Masih Tersisa pada Tingkat Pertama A

B

P

C

Keterangan : Pewaris meninggalkan ahli waris seorang bapak bernama A, seorang ibu bernama B, dan seorang anak perempuan bernama C.

Pembagian Menurut ajaran kewarisan bilateral (Hazairin) A = 1/6.df (Q.S. IV : 11d) B = 1/6.df (Q.S. IV : 11d) C = 1/2.df (Q.S. IV : 11c) Sisa = 1 – (1/6+1/6+1/2) = 1 – (1/6+1/6+3/6 = 1/6, sisa ini namanya sisa bagi. Sisa 1/6 ini di raddkan (dikembalikan) secara berimbang kepada bagian masing-masing, inilah artinya radd sehingga bagian masing-masing ahli waris adalah sebagai berikut : Perbandingan perolehan A : B : C = 1 : 1 : 3 A = 1/6+(1/5x1/6) = 1/6+1/30 = 5/30+1/30 = 6/30 B = 1/6+(1/5x1/6) = 1/6+1/30 = 5/30+1/30 = 6/30 C = 1/2+(3/5x1/6) = 1/2+3/30 = 15/30+3/30 = 18/30 A+B+C = 6/30+6/30+18/30 = 30/30 = 1 Atau 1/5 + 1/5 + 3/5 = 5/5 = 1 Pendapat Ali bin Abi Thalib : Pembagian : A = 1/6.df. (Q.S.IV : 11d) B = 1/8.df. (Q.S.IV : 12e) C, D = 2/3.df. (Q.S.IV : 11b) Sisa = 1-(1/6+1/8+2/3) = 1-(4/24+3/24+16/24) = 1/24 diraddkan kepada A dan C, D dengan perbandingan 4:16 A = 1/6+(4/20x1/24)=1/6+1/120=20/120+1/120 = 21/120 = 7/40 C, D = 2/3+(16/20x1/24)=2/3+4/120=80/120+4/120 = 84/120 = 28/40 B = 1/8 = 15/120 = 5/40 A+B+C+D = 7/40+5/40+28/40 = 40/40 = 1 Tetapi Kholifah Usman bin Affan berpendapat bahwa suami dan istri juga berhak mendapat bagian dari radd, dengan alasan karena pada waktu terjadi Awl

(tekor) hak mereka ikut dikurangi, maka sudah sewajarnyalah apabila terdapat kelebihan (sisa bagi) mereka juga mendapat tambahan. Disamping itu suami atau istri juga mempunyai peranan penting terhadap perolehan atau pemeliharaan keselamatan harta masing-masing, lebih-lebih apabila harta suami atau istri yang meninggal berasal dari pemberian yang satu kepada yang lainnya. Zaid bin Tsabit, Az-Zuhry, Malik, Syafi’i dan Ibnu Hazm berpendapat lain lagi. Menurut mereka ahli waris yang sudah ditentukan bagiannya dalam AlQur’an atau sunah Rasul tidak dapat menerima tambahan lagi. Maka jika harta warisan yang tidak habis terbagi menurut ketentuan al-Qur’an dan sunah Rasul, sisanya diserahkan kepada baitul maal yang akan dibelanjakan untuk kepentingan masyarakat Islam. Akan tetapi para pengikut mereka dikemudian hari termasuk Fukoha Syafiiah dan Malikiyah setelah melihat kenyatakan bahwa baitul maal fungsinya tidak sebagaimana mestinya, mereka juga menyetujui adanya radd. Kesimpulan yang dapat kita ambil mengenai radd, syaratnya adalah : 1. Ada ahli waris yang berkedudukan sebagai dzul faraiid 2. Tidak ada ahli waris yang berkedudukan sebagai dzul qarabat (ashabah) 3. Ada sisa harta peninggalan Pembagian Harta Peninggalan pada Tingkat Pertama Terjadi Ketekoran

B

A

P C D Pembagian : A = 1/6.df (Q.S. IV : 11d) B = 1/6.df (Q.S. IV : 11d) C = 1/4.df (Q.S. IV : 12b) D = 1/2.df (Q.S. IV : 11c)

Keterangan : Pewaris meninggalkan ahli waris seorang ibu bernama A, seorang bapak bernama B, seorang suami bernama C, dan seorang anak perempuan bernama D.

Jumlah peroleh mereka adalah A = 1/6 = 2/12 menjadi 2/13 B = 1/6 = 2/12 menjadi 2/13 C = 1/4 = 3/12 menjadi 3/13 D = 1/2 = 6/12 menjadi 6/13 13/12 13/13 = 1 (- 1/12) berarti hartanya kurang 1/12, sehingga bagian para ahli waris dikurangi secara berimbang sesuai dengan perbandingan besar kecilnya bagian masingmasing ahli waris. Pengurangan secara berimbang ini disebut “Awl”. Jadi Awl terjadi apabila angka pembilang lebih besar dari angka penyebut. Caranya adalah dengan menyamakan penyebutnya dengan pembilangnya seperti contoh tersebut di atas. Awl adalah kebalikan dari Radd. Jadi Awl adalah suatu keadaan di mana bagian yang harus diterima oleh para ahli waris adalah lebih banyak (besar) dari pada jumlah harta warisan yang ada. Pengurangan berimbang ini diperlakukan baik terhadap ahli waris yang mempunyai hubungan darah dengan pewaris maupun ahli waris yang mempunyai hubungan semenda dengan pewaris seperti janda dan duda.

BAGIAN WARISAN UNTUK SUAMI DAN ISTERI (DUDA DAN JANDA) A. Bagian Warisan untuk Suami dan Isteri Surah an-Nisa ayat 12 (Q.4:12) sebagai dasar hukum kewarisan bagi suami dan isteri (duda dan janda karena ditinggal mati pasangannya) menentukan: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta ditinggalkan oleh isteriisterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapatkan seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu…”

A

D

B

C

Penyelesaian atas kasus tersebut: A = isteri = 1/8 sebagai zul-fara’id (Q.4:12e) B + C = anak-anak perempuan = 2/3 sebagai zul-fara’id (Q.4:11b) D = saudara laki-laki = sisa, berdasarkan hadits Rasulullah saw (pada waktu belum turun surah an-Nisa ayat 176). An-Nisa ayat 11 dan ayat 12, seperti tersebut di atas, maka ditetapkan besar bagian harta warisan bagi para ahli waris dari Tsa’labah (ada yang menyebut “Aus bin Samit” ada pula yang menyebut “Aus bin Tsabit”) sebagai berikut :

A

E

B

C

F

D

Penyelesaian kasus kewarisan tersebut: A = isteri = 1/8 sebagai zul-fara’id (Q.4:12e) B+C+D = anak-anak perempuan = 2/3 sebagai zul-fara’id (Q.4:11b) E+F = saudara-saudara sepupu laki-laki = sisa, berdasarkan hadits Rasulullah saw.

Hazairin membuat beberapa haris hukum kewarisan bagi duda dan janda karena ditinggal mati pasangan perkawinannya (Q.4:12) sebagai berikut : a. Duda karena kematian isteri mendapatkan seperdua (1/2) harta peninggalan isterinya jika isteri tidak meninggalkan anak (Q.4:12 a). Gambar:

A Penyelesaian kasus kewarisan: A (duda) = 1/2 sebagai zul-fara’id (Q.4:12a) Sisa = 1/2 dibagikan secara radd kepada ahli waris zul-fara’id (radd untuk suami atau isteri dijelaskan dalam pembahasan selanjutnya). b. Duda karena kematian isteri mendapat seperempat (1/4) harta peninggalan isterinya jika isteri meninggalkan anak (Q.4:12 b). Gambar:

A

B

C

Penyelesaian kasus kewarisan : A (duda) = 1/4, sebagai zul-fara’id (Q.4:12b) B ( anak laki-laki) + C (anak perempuan) = sisa = 3/4 , sebagai zul-qarabat (menurut Hazairin), atau sebagai ‘asabah (menurut Syafi’i dan KHI), berdasarkan Q.4.11a dan Pasal 176 KHI. B:C = 2:1; B (anak laki-laki) = 2/3 x 3/4 = 6/12 = 1/2; C (anak perempuan) = 1/3 x 3/4 = 3/12 = 1/4 c. Pelaksanaan pembagian harta warisan dalam garis hukum a dan b dilakukan sesudah wasiat dan/atau utang pewaris dibayarkan (Q.4:12 c)

d. Janda karena kematian suami mendapatkan seperempat (1/4) harta peninggalan isterinya jika suami tidak meninggalkan anak (Q.4:12 d). Gambar: A Penyelesaian kasus kewarisan: A (janda) = 1/4 sebagai zul-fara’id (Q.4:12d) Sisa = 3/4 dibagikan secara radd kepada ahli waris zul-fara’id (radd untuk suami atau isteri dijelaskan dalam pembahasan selanjutnya). e. Janda karena kematian suami mendapat seperdelapan (1/8) jika suami meninggalkan anak (Q.4:12 e). Gambar:

A

B

C

Penyelesaian kasus kewarisan : A (janda) = 1/8 = 3/24, sebagai zul-fara’id (Q.4:12e) B (anak laki-laki) + C (anak perempuan) = sisa = 7/8, sebagai zul-qarabat (menurut Hazairin), atau sebagai ‘asabah (menurut Syafi’i dan KHI), berdasarkan Q.4.11a, sedangkan KHI berdasarkan Pasal 176.. B:C = 2:1; B (anak laki-laki) = 2/3 x 7/8 = 14/24 C (anak perempuan) = 1/3 x 7/8 = 7/24 f. Pelaksanaan pembagian harta warisan dalam garis hukum d dan e dilakukan sesudah wasiat dan/atau utang pewaris dibayarkan (Q.4:12 f)

Ketentuan besar bagian duda dan janda yang terdapat dalam an-Nisa ayat 12 a, 12 b, 12 d, 12 e, dirumuskan dalam Pasal 179 KHI yang menentukan besar bagian warisan bagi duda, dan Pasal 180 KHI yang menentukan besar bagian warisan bagi janda. Menurut Pasal 179 KHI, “Duda mendapat separo bagian, bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian.” Pasal 180 KHI menentukan, bahwa, “Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka janda mendapat seperdelapan.”

B. Radd bagi suami atau isteri 1. Menurut ajaran hukum kewarisan Islam Patrilineal Syafi’i Pendapat Ibnu Mas’ud ra yang menyatakan bahwa radd dapat diberikan kepada semua ahli waris zawil-furud, kecuali terhadap enam golongan yaitu : 1. Suami; A

A = Suami, tidak dapat menerima radd

A

A = Isteri, tidak dapat menerima radd

2. Isteri;

3.

Cucu perempuan melalui anak laki-laki yang menjadi ahli waris bersama anak perempuan kandung pewaris (dalam kasus takmilah, penulis); Gambar :

B = A B

Tidak mendapat radd

4. Saudara perempuan seayah yang menjadi ahli waris bersama saudara perempuan kandung pewaris (dalam kasus takmilah, penulis); Gambar:

B = Tidak dapat menerima radd

A 5. Anak-anak ibu yang menjadi ahli waris bersama ibu pewaris (yaitu, saudara-saudara seibu pewaris yang menjadi ahli waris bersama ibu pewaris yang menggunakan surah an-Nisa ayat 12 g atau 12 h dalam hal pewaris meninggal dunia dalam keadaan kalaalah menurut hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i, penulis); Gambar:

A

B+C = Tidak dapat menerima radd

B

C

6. Nenek pewaris yang menjadi ahli waris bersama dengan ahli waris zawulfurud lainnya (yang dimaksud adalah nenek sahibah maupun nenek gairu sahibah menurut hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i, penulis).

Gambar:

A

B A+B = Tidak dapat menerima radd

C

D

Jadi, menurut Ibnu Mas’ud ra, suami atau istri tidak dapat menerima radd (sisa bagi), di samping para ahli waris zawul-furud lainnya yang disebut dari angka 3 sampai dengan angka 6 juga tidak dapat menerima radd. 2. Menurut hukum kewarisan Islam ajaran Bilateral Hazairin Hazairin berpendapat bahwa, suami atau isteri itu bukan zawul-qarabat, maka mereka tidak menerima radd. Surah an-Nisa ayat 12 g dan ayat 12 h, menurut hkum kewarisan Islam ajaran Bilateral Hazairin, digunakan untuk kasus kewarisan yang penyelsaiannya tidak memerlukan lembaga radd, karena ayat ini dapat digunakan apabila pewaris meninggal dunia dalam keadaan kalalah tetapi ayah masih hidup yang berkedudukan sebagai zul-qarabat dan berhak menerima sisa. Dalam kelompok keutamaan kedua ini-pun, meskipun suami atau isteri tampil sebagai ahli waris bersama ibu pewaris (Q.4.11f) dan saudara-saudara perempuan pewaris ataupun mawali mereka (Q.4:176 jo. Q.4:33b), namun menurut Hazairin, suami atau isteri tidak dapat menerima radd, seperti telah dijelaskan di atas. Pendapat tersebut berbeda dengan pendapat murid beliau, Sajuti Thalib, yang berpendapat bahwa duda atau janda dapat menerima radd, berdasarkan qiyas (analog) terhadap ‘awl. Pada kelompok keutamaan ketiga, menurut Hazairin, sisa bagi hanya diberikan kepada ibu sebagai zul-fara’id. Hazairin tampak konsisten dengan pendapatnya, bahwa, pada kelompok keutamaan ketiga yang menjadi kriteria

utamanya adalah orang tua pewaris sebagai zul-qarabat (Q.4:11e). Maka, ahli waris yang berhak menerima radd pada kelompok keutamaan ketiga adalah ibu pewaris. Jadi, jika pewaris meninggalkan ahli waris yang terdiri dari ibu, isteri atau suami pewaris, maka yang berhak menerima radd, menurut Hazairin adalah hanya ibu pewaris saja. Karena itu, suami atau isteri sebagai zul-fara’id tetap tidak dapat menerima radd. Gambar: A B Penyelesaian kasus kewarisan menurut Hazairin: A (ibu) = 1/3 = 4/12 sebagai zul-fara’id (Q.4:11e); B (isteri) = 1/4 = 3/12 sebagai zul-fara’id (Q.4:11d); Sisa = 1 – (1/3 + 1/4) = 1 – (4/12 + 3/12) = 1 – 7/12 = 5/12 di radd-kan kepada ibu pewaris saja, yaitu A. Pendapat ini berbeda dengan Sajuti Thalib, murid Hazairin. Menurut Sajuti Thalib, sisa bagi diraddkan kepada ibu (A) dan isteri (B) secara berimbang, yaitu : A = 4/7; B = 3/7 Gambar: A B

Penyelesaian kasus kewarisan menurut Hazairin: A (ibu) = 1/3 = 2/6 sebagai zul-fara’id (Q.4:11e); B (suami) = 1/2 = 3/6 sebagai zul-fara’id (Q.4:12a); Sisa = 1 – (1/3 + 1/2) = 1 – (2/6 + 3/6) = 1 – 5/5 = 1/6 di-radd-kan kepada ibu pewaris saja, yaitu A. Pendapat ini berbeda dengan Sajuti Thalib, murid Hazairin. Menurut Sajuti Thalib, sisa bagi diraddkan kepada ibu (A) dan suami (B) secara berimbang, yaitu : A = 2/5;

B = 3/5 Demikian pula dalam kelompok keutamaan keempat yang kriteria utamanya adalah suami atau isteri, pada kelompok keutamaan keempat inipun, suami atau isteri tidak dapat menerima radd, karena sisa kecil dari pembagian harta warisan yang telah diberikan kepada suami ialah sebesar setengah (1/2), atau sisa kecil setelah dibagikan kepada isteri ialah sebesar tiga-per-empat (3/4) adalah dibagikan kepada ahli waris yang berkedudukan sebagai zawul-qarabat. 3. Kompilasi Hukum Islam Seperti telah dikemukakan, bahwa Kompulasi Hukum Islam mengakomodir pendapat yang menerima radd dalam Pasal 193 Kompilasi Hukum Islam yang menentukan, bahwa, “Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli waris zaqilfurud menunjukkan bahwa angka pembilang lebih kecil dari angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris asabah, maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara radd, yaitu sesuai dengan hak masingmasing ahli waris sedangkan sisanya dibagi secara berimbang di antar mereka.” Dalam Pasal tersebut tidak ditentukan, apakah suami atau isteri berhak menerima radd atau tidak. Tetapi, kemungkinan untuk menentukan suami atau isteri dapat menerima radd adalah berpeluang, karena Pasal 193 Kompilasi Hukum Islam tidak menentukan secara eksplisit tentang kedudukan suami atau isteri sebagai ahli waris zawul-furud yang dapat menerima radd atau tidak. Sajuti Thalib, bahwa suami atau isteri dapat tampil sebagai ahli waris zawul-furud yang berhak menerima radd. C. “Awl bagi Suami atau Isteri Gambar

A

B

C

Penyelesaian kasus: A = Suami, sebagai zul-fara’id = 1/2 = 3/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:12a) B + C = dua orang saudara perempuan kandung = 2/3 = 4/6 sebagai zul-fara’id (Q.4:176d); Jumlah seluruhnya = 3/6 + 4/6 = tujuh per-enam (7/6), karena itu terjadi ketekoran harta warisan atau ‘awl sebesar 7/6 – 6/6 = 1/6. Masing-masing bagian ahli waris diawlkan dengan cara pembilang dijadikan penyebut. A = 3/6 menjadi 3/7; B + C = 4/6 menjadi 4/7 ; B = 2/7;C = 2/7 Umar bin Khattab ra memutuskan bahwa peroleh harta warisan yang diterima oleh masing-masing ahli waris, yaitu suami dan dua orang saudara perempuan kandung pewaris, besar bagian mereka masing-masing di-‘awl-kan. Maka besar bagian A (suami) = 3/7; dan besar bagian harta warisan bagi dua orang audara perempuan kandung B dan C = 4/7. Kasus kewarisan yang disampaikan kepada Ali bin Abi Thalib Gambar: E

D

A

B

C

Penyelesaian kasus: A = Isteri (janda), sebagai zul-fara’id = 1/8 = 3/24 (Q.4:12e); B + C = dua orang anak perempuan, sebagai zul-fara’id = 2/3 = 16/24 (Q.4:11b) D = ibu, sebagai zul-fara’id = 1/6 = 4/24 (Q.4:11d); E = ayah, sebagai zul-fara’id = 1/6 = 4/24 (Q.4:11d); Jumlah seluruhnya = 3/24 + 16/24 + 4/24 + 4/24 = 27/24. Karena itu terjadi ketekoran harta warisan, yaitu 27/24 – 24/24 = 3/24

Ali bin Abi Thalib ra menyelesaikan agar diberikan kepada janda sebanyak sepersembilan (1/9). Setelah dihitung ternyata solusi berdasarkan ijtihad Ali bin Abi Thalib ra adalah dengan cara ‘awl, yaitu angka penyebut sebesar 24 disesuaikan dengan angka pembilang yaitu 27. Jadi, besar perolehan bagi isteri 1/8 = 3/24 di ‘awl-kan menjadi 3/27 = 1/9. Demikian pula untuk perolehan harta warisan bagi dua orang anak perempuan kandung sebesar 2/3 = 16/24 menjadi 16/27, ibu pewaris memperoleh 1/6 = 4/24 diawl-kan = 4/27, dan ayah pewaris memperoleh 1/6 = 4/24 diawlkan = 4/27. Mengenai ‘awl ini, tidak ada perbedaan pendapat antara hukum kewarisan Islam ajarn Patrilineal Syafi’i dengan hukum kewarisan Islam ajaran Bilateral Hazairin dan Kompilasi Hukum Islam yang menentukan ‘awl dalam Pasal 192, bahwa, “Apabila dalam pembagian harta warisan di antara para ahli waris dzawilfurud menunjukkan bahwa angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang, dan baru sesudah itu harta warisan dibagi secara ‘awl menurut angka pembilang.” Jadi, ketiga sistem hukum kewarisan yang berlaku di Indonesia itu seluruhnya berpendapat sama.

BAGIAN WARISAN UNTUK ANAK DARI ANAK (CUCU) A. Menurut Hukum Kewarisan Islam Ajaran Bilateral Hazairin Al-Qur’an tidak menentukan secara langsung mengenai besar bagian harta warisan bagi cucu (anak dari anak) pewaris. Menurut Hazairin dan Sajuti Thalib, cucu melalui anak laki-laki maupun melalui anak perempuan adalah ahli waris pengganti (mawali) yang termasuk dalam kelompok keutamaan pertama. Dengan demikian selama masih ada keturunan dari anak pewaris sejauh apapun keturunanya, maka saudara pewaris tidak dapat tampil sebagai ahli waris. Cucu, baik melalui anak laki-laki maupun anak perempuan pewaris, menurut Hazairin, berkedudukan sebagai mawali (ahli waris pengganti) berdasarkan surah an-Nisa ayat 33 (Q.4:33a) yang menentukan, “Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari ibu-bapaknya dan kerabatnya, Kami jadikan mawali (ahli waris pengganti). Dan (jika ada) orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka (tolan seperjanjian), maka

berilah pada mereka bagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.” Hazairin merumuskan beberapa garis hukum dari surah an-Nisa ayat 33 sebagai berikut : 1. Garis Hukum Q.4:33a: a. Bagi setiap orang, Kami (Allah) telah menjadikan mawali (ahli waris pengganti) dari harta peninggalan ibu-bapaknya (Q.4:33a) Gambar dikutip dari Sajuti Thalib halaman 30:

A’

B’

A

B

Penjelasan : A’ = anak laki-laki pewaris yang telah meninggal dunia terlebih dahulu sebelum pewaris wafat, yang semula akan menerima warisan dari pewaris, karena itu, hara warisan yang semula harus diberikan kepada A’ kemudian diberikan kepada A sebagai mawali dan A’, A = mawali dari A’ B’ = anak perempuan pewaris yang telah meninggal dunia terlebih dahulu sebelum pewaris wafat, yang semula akan menerima

B

=

warisan dari pewaris, karena itu, harga warisan yang semula harus diberikan kepada B’ kemudian diberikan kepada B sebagai mawali dari B’, mawali dari B’

2. Garis hukum Q.4:33b: b. Bagi setiap orang, Kami (Allah) telah menjadikan mawali (ahli waris pengganti) dari harta peninggalan kerabatnya (aqrabunnya) (Q.4:33 b).

Gambar dikutip dari Sajuti Thalib halaman 31:

A’

A Penjelasan : A’ = aqrabun laki-laki = saudara laki-laki pewaris yang telah meninggal dunia terlebih dahulu sebelum pewaris wafat, yang semula akan menerima warisan dari pewaris, karena itu, harta warisan yang semula harus diberikan kepada A’ kemudian diberikan kepada A sebagai mawali dari A’; A = mawali dari A’ 3. Garis hukum Q.4:33 c c. Bagi setiap orang, Kami (Allah) telah menjadikan mawali (ahli waris pengganti) dari harta peninggalan tolan seperjanjiannya (Q.4:33 c). Gambar dikutip dari Sujati Thalib halaman 31

A’

A Penjelasan : A’ = tolan seperjanjian pewaris yang telah meninggal dunia terlebih dahulu sebelum pewaris, yang semula akan menerima harga pewaris berdasarkan perjanjian di antara mereka (atau wasiat ikhtiyariyah, penulis), karena itu, harta yang semula harus diberikan kepada A’ kemudian diberikan kepada A sebagai mawali dari A’;

A =

mawali dari A’

4. Garis hukum Q.4:33d: Apabila cucu-cucu terdiri dari cucu laki-laki dan cucu perempuan, maka harta warisan yang mereka peroleh sebagai mawali dibagikan kembali kepada mereka sesuai Q.4:11a, yaitu dua bagian untuk laki-laki berbanding satu bagian untuk perempuan. Dalam hal ini mereka berkedudukan sebagai zul-qarabat. Gambar:

A’

A

C’

B

C

D

Penyelesaian kasus kewarisan : A’ dan C’ = anak laki-laki dan anak perempuan pewaris yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris, mereka mendapat seluruh harta warisan sebagai zul-qarabat, berdasarkan Q.4:11a. A’ : C’ = 2:1 berdasarkan Q.4:11a; A’ = anak laki-laki pewaris = 2/3 harta warisan sebagai zul-qarabat (Q.4:11a), diberikan kepada anak-anaknya A’, yaitu A dan B sebagai mawali dari A’ (Q.4:33a), berhubung A’ telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris. A : B = 2 : 1 sebagai mawali dari A’, sebagai zul-qarabat (Q.4:11a jo. Q.33a) A = anak laki-laki A’ atau cucu laki-laki melalui anak laki-laki pewaris = 2/3 x 2/3 = 4/9 sebagai mawali (Q.4:11a jo. Q.4:33a); B = anak perempuan A’ atau cucu perempuan melalui anak laki-laki pewaris = 1/3 x 2/3 = 2/9 sebagai mawali (Q.4:11a jo. Q.4:33a); C = anak perempuan pewaris = 1/3 harga warisan sebagai zul-qarabat (Q.4:11a), diberikan kepada anak-anaknya C’, yaitu C dan D sebagai mawali dari C’ (Q.4:33a), berhubung C’ telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris. C : D = 2:1 sebagai mawali dari C’ dai zul-qarabat (Q.4:11a jo.Q.33a); C = anak laki-laki C’ = cucu laki-laki melalui anak perempuan pewaris = 2/3 x 1/3 = 2/9 sebagai mawali (Q.4:11a jo. Q.4:33a);

D = anak perempuan C’ atau cucu perempuan melalui anak perempuan pewaris = 1/3 x 1/3 = 1/9 sebagai mawali (Q.4:11a jo. Q.4:33a); Apabila cucu-cucu terdiri dari dua cucu perempuan atau lebih, maka harta warisan yang mereka peroleh sebagai mawali dibagikan kembali kepada mereka sesuai Q.4:11b sebagai zul-fara’id, yaitu menerima dua pertiga (2/3), Sisa bagi diradd-kan kepada mereka. Gambar:

A

B

D

C

E

Penyelesaian kasus kewarisan: A dan D = anak-anak laki-laki pewaris yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris, mereka mendapat seluruh harta warisan sebagai zul qarabat (Q.4:11a) A : D = 1 : 1 sebagai zul-qarabat (Q.4:7 jo Q.4:11a); A = anak laki-laki pewaris = 1/2 harta warisan sebagai zul-qarabat (Q.4:7 jo. Q.4:11a), diberikan kepada anak-anaknya A, yaitu dua orang anak perempan, B dan C, sebagai mawali dari A (Q.4:33a), berhubung A telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris. B + C = 2/3 sebagai zul-fara’id dan mawali dari A (Q.4:11b jo. Q.33a) = 2/3 x 1/2 = 2/6(1/3) ; B : C = 1 : 1; Sisa = 1/2 – 2/6 = 3/6 – 2/6 = 1/6; B = anak perempuan A, atau cucu perempuan melalui anak laki-laki pewaris = 1/2 x 1/3 = 1/6 sebagai mawali (Q.4:11b jo. Q.4:33a); C = anak perempuan A, atau cucu perempuan melalui anak laki-laki pewaris = 1/2 x 1/3 = 1/6 sebagai mawali (Q:4:11b jo. Q.4:33a) Sisa = 1/2 – (1/6 + 1/6) = 3/6 – 2/6 = 1/6 di-radd-kan kepada B dan C; B = 1/6 + (1/2 x 1/6) = 1/6 + 1/12 = 2/12 + 1/12 = 3/12 = 1/4; C = 1/6 + (1/2 x 1/6) = 1/6 + 1/12 = 2/12 + 1/12 = 3/12 = 1/4;

Jumlah seluruhnya = B + C = 1/4 + 1/4 = 1/2, sebesar jumlah harta warisan yang diterima A. D = anak laki-laki pewaris = 1/2 harta warisan sebagai zul-qarabat (Q.4:7 jo. Q.4:11a), diberikan kepada anak perempuan B, yaitu E, sebagai mawali dari D (Q.4:33a), berhubung B telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris. E = 1/2 sebagai zul-fara’id dan mawali dari D (Q.4:11c jo. Q.33a) = 1/2 x 1/2 = 1/4; Sisa = 1/2 – 1/4 = 2/4 – 1/4 = 1/4 di-radd-kan kepada E. E = 1/4 + 1/4 = 1/2, sebesar jumlah harta warisan yang diterima D. Apabila cucu terdiri dari satu orang cucu perempuan, maka harta warisan yang ia peroleh sebagai mawali dibagikan kembali kepadanya sesuai Q.4:11c sebagai zul-fara’id, yaitu sebesar setengah (1/2). Sisa bagi dibagikan kembali kepadanya berdasarkan radd. Contoh kasus kewarisan ini telah dijelaskan dalam gambar dan penyelesaian kasus di atas.

B. Menurut Hukum Kewarisan Islam Ajaran Patrilineal Syafi’i Pengertian “cucu” menurut hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i adalah keturunan melalui anak lak-laki saja. Cucu laki-laki adalah anak laki-laki melalui anak laki-laki pewaris. Cucu perempuan adalah anak perempuan melalui anak laki-laki pewaris. Sedangkan anak laki-laki dan/atau anak perempuan melalui anak perempuan pewaris tesebut zul-arbam yang tidak dapat tampil sebagai ahli waris. Dasar hukum yang digunakan adalah hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan Ahmad, Bukhari dan Muslim dan Ibnu “Abbas ra dan Nabi saw, beliau bersabda: “Serahkan bagian ini kepada yang berhak, kemudian sisanya adalah untuk lakilaki yang telah didekat (kepada mayit); (selanjutnya untuk memudahkan disebut hadis Ibnu ‘Abbas) 1. Cucu Laki-laki melalui Anak Laki-laki Zaid bin Sabit merumuskan besar bagian cucu sebagai berikut. “Cucu-cucu pancar laki-laki menduduki derajat anak-anak laki-laki bila si mati tidak meninggalkan anak-anak. Kelaki-lakian mereka (cucu-cucu) seperti kelaki-lakian anak-anak mereka, dan keperempuan mereka (cucucucu) seperti keperempuan anak-anak, yakni mereka mewarisi

sebagaimana halnya anak-anak mewarisi dan dapat menghijab sebagaimana halnya anak-anak menghijab dan cucu-cucu pancar laki-laki tidak dapat mewarisi bersama dengan anak laki-laki. Oleh karena itu bila seorang meninggalkan seseorang anak perempuan dan cucu laki-laki pancar laki-laki, maka untuk anak perempuan mendapat separoh dan untuk cucu laki-laki mendapat sisanya. Garis-garis hukum dari Hadis Zaid bin Sabit: a. Cucu laki-laki melalui anak laki-laki menempati tempat anak laki-laki, jika tidak ada anak laki-laki dan perempuan. Gambar:

A = cucu laki-laki b. Cucu perempuan melalui anak laki-laki menempati tempat anak perempuan, jika tidak ada anak laki-laki dan anak perempuan. Gambar:

A = cucu perempuan c. Cucu laki-laki melalui anak laki-laki yang menempati anak laki-laki, jika tidak anak laki-laki dan anak perempuan, mewaris dan menghijab seperti anak laki-laki. d. Cucu perempuan melalui anak laki-laki yang menempati anak perempuan, jika tidak anak laki-laki dan anak perempuan, mewaris dan menghijab seperti anak perempuan.

e. Cucu laki-laki melalui anak laki-laki tidak mewarisi jika ada anak lakilaki. Gambar:

A = cucu laki-laki mahjub oleh B (anak laki-laki) f. Jika ahli waris terdiri dari seorang anak perempuan dan seorang cucu lakilaki melalui anak laki-laki, maka anak perempuan mendapat 1/2 (setengah) harta warisan dan cucu laki-laki melalui anak laki-laki mendapat sisa. Gambar: B=

anak perempuan = ½, sebagai zul fara’id

A=

cucu laki-laki sebagai ‘asabah = sisa = ½

2. Cucu Perempuan Melalui Anak Laki-laki Dalam ajaran patrilineal Syafi’i, perolehan cucu perempuan tersebut di atur dalam hadits Rasulullah saw yang berbunyi : “Rasulullah saw pernah hukumkan untuk seorang anak perempuan separoh (1/2) dan untuk seorang cucu perempuan seperenam (1/6) buat mencakupkan dua-per-tiga (takmilah) dan selebihnya itu buat saudara perempuan (sebagai asabah maalgairi, penulis).

Gambar:

C

A

B Penjelasan: A = anak perempuan = 1/2 (Q.4{11c); B = cucu perempuan melalui anak laki-laki pewaris yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris = 1/6 sebagai takmilah (melengkapi) jumlah 2/3 berdasarkan hadis Ibnu Mas’ud; C = saudara perempuan kandung pewaris = sisa berdasarkan hadis Ibnu Mas’ud = 1 – (1/2 + 1/6) = 1-2/3 = 1/3 C. Menurut Kompilasi Hukum Islam Kompilasi Hukum Islam menentukan besar bagian cucu atau ahli waris pengganti dalam Pasal 185: (1) “Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.” (2) “Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.” Ketentuan-ketentuan dalam KHI sebagai berikut:

D A

B C

Penyelesaian kasus tersebut dilakukan melalui tiga tahap. Tahap I A + B + D (anggap D masih hidup) = seluruh harta warisan (Pasal 176 KHI), dengan perbandingan A : B : D = 2 : 1 : 2. A = anak laki-laki = 2/5; B = anak perempuan = 1/5; D = mendiang anak laki-laki = 2/5, bagiannya diberikan kepada C sebagian ahli waris pengganti D (Pasal 185 KHI), karena D telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris. Tetapi jumlah 2/5 bagian yang diterima C lebih besar dari bagian yang diterima anak perempuan B, yaitu hanya sebesar 1/5 bagian, sedangkan kedudukan B adalah sederajat dengan D sebagai ahli waris yang kedudukannya digantikan oleh C. Oleh karena itu, besar bagian yang diterima C sebesar 2/5 adalah tidak memenuhi syarat yang ditentukan Pasal 185 ayat (2) KHI. Untuk mengatasi masalah tersebut, maka cara penyelesaian kasus tersebut dilakukan dalam dua tahap lagi; Tahap II: Bagian warisan anak laki-laki yang masih hidup (A) sebesar 2/5 (Pasal 176 KHI) diberikan terlebih dahulu kepadanya Sisa = 2/3 harta warisan Tahap III Sisa harta warisan sebesar 3/5 dibagi ulang kepada B dan C, seolah-olah hanya merekalah yang menjadi ahli waris, dengan menggunakan ketentuan yang dirumuskan Zaid bin Sabit: B = anak perempuan = 1/2 x 3/5 = 3/10; Sisa = 3/5 – 3/10 = 6/10 – 3/10 = 3/10, diberikan kepada C = cucu laki-laki melalui anak laki-laki pewaris (hadis Zaid bin Sabit). Hasil akhir: A = anak laki-laki = 2/5 = 4/10 (Pasal 176 KHI); B = anak perempuan = 3/10 (Pasal 176 jo. Pasal 185 jo. Pasal 229 KHI); C = cucu laki-laki melalui anak laki-laki = 3/10 (Pasal 176 jo. Pasal 185 jo. Pasal 229 KHI).

Kasus kedua, jika pewaris meninggalkan anak perempuan (A), cucu perempuan (B) melalui anak laki-laki (C) yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris. Gambar:

C A B

B = cucu perempuan melalui anak laki-laki = 1/6 + 1/12 = 2/12 + 1/12 = 3/12 = 1/4 (Pasal 176 jo. Pasal 193 jo. hadis Ibnu Mas’ud melalui Pasal 229 KHI) Atau dapat dihitung secara cepat melalui cara menghitung sebagai berikut : A = 1/2 = 3/6; B = 1/6 A + B = 3/6 + 1/6 = 4/6. Angka pembilang 4 digunakan sebagai angka penyebut, dan angka penyebut 6 tidak digunakan lagi (Pasal 193 KHI). Besar bagian A dan B sesuai dengan besar bagian masing-masing A = 3/6 menjadi 3/4 B = 1/6 menjadi 1/1 Kasus ketiga, pewaris meninggalkan ibu (E), isteri (F), anak laki-laki (A), anak perempuan (B), dan cucu laki-laki (C) melalui anak laki-laki (D) yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris.

Gambar:

E F

A

D B C

Penyelesaian menurut KHI berdasarkan pendapat penulis: Tahap I E = Ibu = 1/6 = 4/24 = 40/240 (Pasal 178 KHI) F = Isteri = 1/8 = 3/24 = 30/240 (Pasal 180 KHI) Sisa = 1 – (414 + 3/24) = 24/24 – 7/24 = 17/24, diberikan kepada anak-anak pewaris, A, B, dan D (dianggap masih hidup) sebagai ‘asabah (Pasal 176 KHI). Tahap II: A:B:D=2:1:2 Menurut penulis, jika diselesaikan berdasarkan KHI diperoleh hasil pembagian harta warisan bagi masing-masing ahli waris sebagai berikut. A dan C (dianggap masih hidup) = seluruh harta, sebagai asabah (Pasal 176 KHI) dengan perbandingan A : C = 1 : 2; A = anak perempuan = 1/3, sebagai asabah bil-gairi (Pasal 176 KHI). C = mendiang anak laki-laki = 1/3, sebagai asabah binafsihi, diberikan kepada B (cucu perempuan melalui anak laki-laki) sebagai ahli waris pengganti dari C (Pasal 185 KHI), melalui proses pembagian harta warisan bagi seorang anak perempuan = 1/2 x 2/3 = 1/3 (Pasal 176 KHI), sisanya sebesar 1/3 dibagikan secara radd kepada anak perempuan C, yaitu B, berdasarkan. Pasal 193 KHI. Jadi B mendapat 2/3 bagian. Jumlah 2/3 bagian warisan yang diterima B sebagai ahli waris pengganti C adalah lebih besar dari jumlah bagian warisan yang diterima A sebagai ahli waris yang berkedudukan sederajat dengan ahli waris yang digantikan, yaitu C, yaitu hanya sebesar 1/3 bagian.

Jumlah bagian warisan sebesar 2/3 yang diterima B adalah tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 185 ayat (2) KHI. Oleh karena itu, pembagian harta warisan tersebut harus diselesaikan berdasarkan hadis Ibnu Mas’ud tentang takmilah, ajaran yang dianut patrilineal Syafi’i. Prosesnya sebagai berikut : A = anak perempuan 1/2 (Q.4;11c jo. Pasal 176 KHI). B = cucu perempuan melalui anak laki-laki = 1/6, sebagai takmilah 2/3 (hadis Ibnu Mas’ud). Sisa = 1 – (1/2 + 1/6) = 1/3 di-radd-kan kepada A dan B dengan perolehan berimbang A : B = 3/6 : 1/6 = 3 : 1 (yang dibandingkan angka pembilangnya). Bagian radd dari sisa bagi sebesar 1/3 bagi masing-masing ahli waris A = anak perempuan = 3/4 x 1/3 = 3/12 bagian B = cucu perempuan melalui anak lelaki = 1/4 x 1/3 = 1/12 Harta warisan yang diterima oleh masing-masing ahli waris A = anak perempuan 1/2 + 3/12 = 6/12 + 3/12 = 9/12 = 3/4 (Pasal 176 jo. Pasal 193 hadis Ibnu Mas’ud melalui Pasal 229 KHI); A = anak laki-laki = 2/5 x 17/24 (sisa) = 34/120 = 68/240, asabah binafsihi (Pasal 176 KHI) B = anak perempuan = 1/5 x 17/24 (sisa) = 17/120, ‘asabah bil-gairi (Pasal 176 KHI) D = anak laki-laki yang dianggap masih hidup = 2/5 x 17/24 = 34/120 diberikan kepada C. Tetapi jumlah 34/120 bagian itu tidak sesuai dengan Pasal 185 ayat (2) KHI, karena C menerima bagian warisan lebih besar dari B sebagai ahli waris yang kedudukannya sederajat dengan D, yaitu ahli waris yang kedudukannya digantikan oleh C. Oleh karena itu penyelesaiannya menggunakan hadis Zaid bin Sabit. Tahap III: Menurut Pasal 185 (2) KHI, bagian harta warisan yang diterima oleh C tidak boleh lebih bagian harta warisan yang diterima oleh B. Untuk mengatasi permasalah tersebut, maka keluarkan dulu bagian warisan A = anak laki-laki = 34/120 = 68/240; Sisa = 17/24 – 34/120 = 85/120 – 34/120 = 51/120 dibagikan kembali kepada B dan C sesuai hadis Zaid bin Tsabit.

Tahap IV: B = anak perempuan = 1/2 x 51/120 = 51/240 (Q.4:11 c jo. hadis Zaid bin Sabit); Sisa = 51/120 – 51/240 = 102/240 – 51/240 = 51/240 diberikan kepada cucu lelaki melalui anak, lelaki, yaitu C (hadis Zaid bin Sabit). C = cucu laki-laki = sisa = 51/240. Hasil akhir: A = 68/240 B = 51/240 C = 51/240 E = 40/240 F = 30/240 A + B + C + E + F = 68/240 + 51/240 + 51/240 + 40/240 + 30/240 = 240/240 = 1 Penyelesaian kasus-kasus tersebut tidak dapat diselesaikan menurut ajaran Bilateral Hazairin, karena hasil pembagian harta warisan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 185 KHI.

TABEL : PERBANDINGAN KEDUDUKAN CUCU Ahli Waris

Penerima WW

Bagian Besar

Dasar Hukum

No

Keterangan BH

1. Kasus Pertama A = Anak laki-laki B = Anak laki-laki F = Anak laki-laki yang wafat sebelum pewaris C, D, E = Cucu pewaris melalui F 2. Kasus Kedua A = Anak laki-laki B = Anak laki-laki E = Anak perempuan yang telah wafat C dan D = Cucu pewaris

z.q z.q

PSy

Asabah bilghairi Asabah bilghairi

KHI

BH

PSy

KHI

BH

PSy

KHI

BH

PSy

KHI

a.b.

-

-

-

1/3

1/2

1/3

Q.4:11a

Q.4:11a

Psl. 176

a.b.

-

-

-

1/3

1/2

1/3

Q.4:11a

Q.4:11a

Psl. 176

dianggap hidup = a.q

-

Dianggap hidup = a.b

-

-

-

1/3

mhj

1/3

Q.4:11a

-

Psl. 176

Mawali

Mahjub oleh A &B

Ahli waris pengganti

-

-

-

1/3

mhj

1/3

Q.4:11a jo. 33a

-

Psl. 176 jo. Psl 185

a.q.

a.b.

a.q.

-

-

-

2/5

1/2

2/5

Q.4:11a

Q.4:11a

Psl. 176

a.q.

a.b.

a.q.

-

-

-

2/5

1/2

2/5

Q.4:11a

Q.4:11a

Psl. 176

dianggap hidup = a.q

-

dianggap hidup = a.q

-

-

-

1/5

mhj

1/5

Q.4:11a

-

Psl. 176

Mawali

Mahjub oleh A & B zul arham

Ahli waris pengganti

-

-

-

1/5

mhj

1/5

Q.4:11a jo. 33a

-

Psl. 176 jo. Psl 185

B= Bilateral Hazairin PSy = Patrilineal Syafi’i KHI = Kompilasi Hukum Islam a.q. zul qarabat a.b. = asabah binafsihi a.bg. = asabah bilghairi ww=wasiat wajibah Mhj= mahjub

BAGIAN WARISAN UNTUK SAUDARA A. Pengertian Kalalah Saudara dapat tampil sebagai ahli waris apabila pewaris meninggal dunia dalam keadaan kalalah atau mati punah. 1. Menurut hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i Kalalah adalah orang yang meninggal dunia tanpa meninggalkan anak laki-laki dan keturunan laki-laki melalui anak laki-laki serta ayah pewaris telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris. Gambar:

Dalam ajaran patrilineal Syafi’i, eksistensi ayah sangat menentukan dan mempengaruhi kedudukan pewaris dalam keadaan kalalah atau tidak kalalah, yang berpengaruh terhadap tampilnya saudara sebagai ahli waris. Jadi, menurut hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i, saudara dapat tampil sebagai ahli waris, apabila pewaris tidak meninggalkan anak lakilaki atau keturunan laki-laki melalui anak laki-laki serta ayah telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris. Dengan demikian, apabila pewaris meninggal dunia dengan meninggalkan anak atau anak-anak perempuan saja berapapun jumlahnya, beserta keturunannya, maka menurut hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i, saudara dapat tampil sebagai ahli waris, baik saudara sekandung, saudara seayah, maupun saudara seibu. Karena yang menjadi standard kalalah, menurut hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i adalah anak laki-laki dan keturunan laki-laki melalui anak laki-laki dan ayah pewaris.

2. Menurut hukum kewarisan Islam ajaran Bilateral Hazairin: Menurut Hazairin kalalah adalah orang meninggal dunia tanpa meninggalkan anak laki-laki dan anak perempuan beserta keturunanya. Gambar:

Dalam ajaran bilateral Hazairin ini, eksistensi ayah tidak mempengaruhi dan tidak menentukan kedudukan pewaris dalam keadaan kalalah atau tidak kalalah. Tetapi eksistensi ayah berpengaruh terhadap tampilnya saudara pewaris dalam menggunakan ketentuan besar bagian harta warisan bagi saudara berdasarkan surah an-Nisa ayat 12 g dan 12 h (Q.4:12g dan Q.4:12h), atau an-Nisa ayat 176 (Q.4:176). Hal ini diperjelaskan di bawah. 3. Menurut Kompilasi Hukum Islam: Rumusan kalalah tidak diatur secara tegas dalam Kompilasi Hukum Islam. Kalalah yang disimpulkan berdasarkan rumusan beberapa pasal dalam Kompilasi Hukum Islam . Berdasarkan Pasal 176 jo. Pasal 185 jo. Pasal 181 dan Pasal 182 Kompilasi Hukum islam, adalah seorang meninggal dunia tanpa meninggalkan anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan beserta keturunanya, dan ayah pewaris telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris. Gambar:

Rumusan tersebut tampak mencakup rumusan kalalah menurut Hazairin yang didasarkan pada rumusan dalam surah an-Nisa ayat 176, bahwa kalalah adalah orang yang meninggal dunia tanpa meninggalkan anak, baik anak laki-

laki maupun anak perempuan, beserta keturunannya, dan rumusan kalalah dari kalangan Syafi’iyah, yang merumuskan kalalah adalah seorang meninggal dunia tanpa meninggalkan anak laki-laki dan keturunan laki-laki melalui anak laki-laki serta AYAH telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris. B. Surah an-Nisa Ayat 12 Hazairin merumuskan beberapa garis hukum kewarisan bagi saudara yang ditentukan dalam surah an-Nisa ayat 12 sebagai berikut : 1. Garis hukum mengenai ketentuan besar bagian bagi satu orang saudara berdasarkan Q.4:12g a… g. Jika ada seorang laki-laki atau perempuan diwarisi secara punah (kalalah) sedangkan baginya ada seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan, maka setiap mereka mendapat seperenam (1/6) (Q.4:12 g) a. Gambar penerapan Q.4:12 g menurut hukum kewarisan Islam Bilateral Hazairin:

Keterangan: Pewaris meninggalkan A (ayah), ibu (B), dan satu orang saudara laki-laki sekandung atau seorang saudara perempuan sekandung (C); atau saudara lakilaki seayah atau saudara perempuan seayah (C); atau saudara laki-laki seibu atau saudara perempuan seibu (C). Menurut hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’I dan Kompilasi Hukum Islam, gambar-gambar tersebut belum menunjukkan pewaris kalalah, karena ayah pewaris masih hidup yang berkedudukan sebagai asabah binafsih. Oleh karena itu, saudara-saudara pewaris belum dapat tampil sebagai ahli waris karena terhijab oleh ayah.

Penyelesaian kasus kewarisan menurut ajaran Bilateral Hazairin: B = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f) Berhubung ayah masih hidup, maka digunakan Q.4:12 g. Dengan demikian C= saudara laki-laki atau saudara perempuan sekandung atau seayah atau seibu = 1/6 (Q.4:12g); A = ayah = sisa = 1 – (1/6 + 1/6) = 4/6 = 2/3, sebagai zul-qarabat (Q.4:11f); (Kedudukan ayah sebagai ahli waris zul-qarabat digunakan Q.4:11f karena dalam garis hukum tersebut tidak ditentukan ayah sebagai ahli waris zulfara’id, tetapi hanya ibu yang berkedudukan sebagai ahli waris zul-fara’id). Penyelesaian kasus kewarisan menurut Hazairin tersebut dikembangkan oleh Sajuti Thalib. Kata “dikembangkan oleh Sajuti Thalib” perlu dikemukakan, karena murid Hazairin tersebut melanjutkan pemikiran Hazairin sebagai amanah Hazairin, di antaranya mengenai “saudara dan radd”. Hal itu dikemukakan Guru penulis, Bapak Sajuti Thalib (wafat tahun 1990), kepada penulis sekitar tahun 1989. Karena itu terdapat perbedaan pendapat antara Hazairin dengan Sajuti Thalib tentang jumlah saudara yang dapat meng-hijabnuqshan ibu (mengurangi jumlah bagian warisan ibu dari 1/3 menjadi 1/6). Hazairin berpendapat bahwa jumlah saudara yang dapat meng-hijabnuqshan ibu adalah dua orang saudara disertai dengan pengembangan pemikirannya yang juga tidak sama dengan hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i. Menurut Kompilasi Hukum Islam, berhubung ditentukan adanya “ahli waris pengganti” bagi ahli waris dalam Pasal 185 KHI, apakah ahli waris pengganti itu dari anak pewaris yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris, ataukah ahli waris pengganti itu dari saudara pewaris yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris. Jika pasal 185 itu dihubungkan dengan Pasal 178 KHI (mengatur besar bagian harta warisan bagi ibu), maka, mengenai jumlah saudara yang dapat meng-hijab-nuqshan ibu, tampaknya Kompilasi Hukum Islam sesuai dengan pendapat Hazairin, yaitu dua orang saudara, baik saudara-saudara itu masih hidup, atau satu orang saudara dan keturunan saudara yang masih hidup, atau keturunan-keturunan saudarasaudara yang masih hidup ketika pewaris meninggal dunia. Sedangkan Sajuti Thalib berpendapat bahwa jumlah saudara tidak dibatasi minimal dua orang, tetapi satu orang saudarapun sudah dapat meng-hijabnuqshan atau mengurangi besar bagian ibu dari 1/3 menjadi 1/6 bagian.

Penyelesaian kasus kewarisan menurut ajaran Patrilineal Syafi’i Apabila kasus tersebut diselesaikan menurut hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i, maka saudara laki-laki sekandung (C) tidak dapat tampil sebagai ahli waris karena mahjub atau terhijab oleh ayah pewaris sebagai ‘asabah. Penyelesaiannya sebagai berikut: B = ibu = 1/3, sebagai zul-dara’id (Q.4:11e); (Perolehan ibu 1/3 menggunakan Q.4:11e, karena jumlah saudara hanya satu orang, oleh karena itu ibu tidak ter-hijab-nuqshan menjadi 1/6 oleh seorang saudara pewaris) C = saudara (sekandung atau seayah atau seibu) terhijab oleh ayah, jadi pewaris belum kalalah karena ayah masih hidup, karena itu, saudara tidak dapat tampil sebagai ahli waris. A = ayah = sisa 2/3, sebagai ‘asabah binafsihi. Dilihat dari cara penyelesaian kasus tersebut berdasarkan huku kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i, maka ibu pewaris (B) mendapat 1/3 harta warisan, bukan 1/6. Sisa sebesar 2/3 diberikan kepada ayah pewaris (A) sebagai asabah binafsihi berdasarkan Q.4:11e. Demikianlah Pasal 179 Kompilasi Hukum Islam menentukan besar bagian ibu adalah 1/6 apabila ibu menjadi ahli waris bersama-sama dengan dua orang saudara atau lebih. Jadi, apabila ibu menjadi ahli waris bersama-sama dengan satu orang saudara, maka ibu mendapat 1/3 bagian harta warisan. Sehubungan dengan ketentuan Pasal 178 KHI mengenai besar bagian ibu, maka meskipun sub-Bab ini membahas tentang besar bagian ibu yang mewaris bersama-sama dengan saudara, maka dirasakan perlu untuk mengemukakan ketentuan Kompilasi Hukum Islam yang belum mengatur besar bagian ayah yang berkedudukan sebagai ‘asabah binafsihi. Pasal 177 Kompilasi Hukum Islam jo. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor II Tahun 1994 hanya mengatur tentang besar bagian ayah sebagai zul-fara’id, yaitu ayah mendapat seperenam (1/6) apabila pewaris meninggalkan anak, dan ayah mendapat sepertiga (1/3) apabila pewaris meninggalkan ahli waris yang terdiri dari suami, ibu, dan ayah (sulusul-baqi). Mengenai sulusul-baqi-pun, Pasal 177 Kompilasi Hukum Islam belum mengatur dengan lengkap, karena Kompilasi Hukum Islam belum menentukan besar bagian ayah, apabila ia menjadi ahli waris bersama isteri dan ibu pewaris, yang tentunya hasil akhir perhitungan yang diperoleh ayah adalah bukan sepertiga

(1/3), tetapi setengah (1/2) harta warisan. Lihat dalam Bab tentang Masalah Khusus. Meskipun demikian, Kompilasi Hukum Islam mempunyai ketentuan yang memungkinkan untuk diberlakukannya hukum kewarisan Islam yang belum diatur secara eksplisit dalam Kompilasi Hukum Islam, yaitu melalui Pasal 229 KHI. Karena itu, Pasal 229 KHI dapat digunakan sebagai dasar hukum penggunaan Q.4:11f bagi ayah sebagai ‘asabah binafsihi jo. hadis Umar bin Khattab yang berijtihad mengenai sulusul-baqi atau garrawain. Selain itu, Pasal 229 KHI juga memungkinkan diberlakukannya hukum kewarisan Islam ajaran Bilateral Hazairin sepanjang ketentuan-ketentuan kewarisan itu belum diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Penerapan hukum kewarisan Islam yang belum diatur dalam Kompilasi Hukum Islam juga tergantung kepada hasil pemikiran para Hakim di Pengadilan Agama (Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Agama) sepanjang hukum kewarisan Islam yang digunakan itu tidak bertentangan dengan syari’ah Islam, yaitu al-Qur’an dan Hadis (Sunnah Rasulullah saw). Pendapat Hazairin: Jumlah Saudara yang Mengurangi Bagian Ibu Menurut Hazairin ibu mendapat 1/3 harta warisan apabila: 1. Pewaris tidak berketurunan dan tidak pernah ada bersaudara, ibu = 1/3 Gambar: Ibu dan ayah, karena pewaris tidak berketurunan dan tidak bersaudara

2. Pewaris memang bersaudara tetapi semuanya berketurunan), ibu = 1/3 Gambar: ibu, ayah dan saudara mati punah

mati

punah

(tidak

Keterangan kedua gambar di atas: Ditinjau dari hukum kewarisan Islam Patrilineal Syafi’i dan KHI, perolehan bagian harta warisan ibu (A) dan ayah (B) adalah sama dengan besar bagian menurut Bilateral Hazairin, yaitu ibu = 1/3. 3. Pewaris hanya mempunyai seorang saudara yang masih hidup, baik saudara sekandung, atau seayah, atau seibu, sedangkan saudara-saudara yang lain mati punah, ibu = 1/3. Gambar 1: Ibu, ayah bersama seorang saudara sekandung, laki-laki atau perempuan, sedangkan saudara-saudara yang lain mati punah.

Gambar 2: Ibu, ayah bersama seorang saudara seayah, laki-laki atau perempuan, sedangkan saudara-saudara yang lain mati punah;

Gambar 3: Ibu, ayah bersama seorang saudara seibu, laki-laki atau perempuan, sedangkan saudara-saudara yang lain mati punah;

Keterangan gambar 1, gambar 2, dan gambar 3: Ditinjau dari hukum kewarisan Islam Patrilineal Syafi’i dan KHI, perolehan bagian harta warisan ibu (A) = 1/3 sebagai zul-fara’id. Pewaris belum kalalah, karena ayah masih hidup, maka ayah (B) = sisa = 2/3, sebagai asabah binafsihi. Pendapat tersebut tidak sama dengan pendapat Bilateral Hazairin bahwa pewaris kalalah, maka saudara dapat tampil sebagai ahli waris. 4. Pewaris hanya mempunyai seorang saudara yang masih hidup, atau seorang saudara yang telah meninggal dunia tetapi meninggalkan keturunan, baik saudara laki-laki maupun perempuan, baik sekandung, seayah, ataupun seibu, ibu = 1/3. Gambar 1: ibu, ayah bersama keturunan dari satu orang saudara perempuan sekandung yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris;

Gambar 2: ibu, ayah bersama keturunan dari satu orang saudara laki-laki sekandung yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris;

Gambar 3: ibu, ayah bersama keturunan dari satu orang saudara perempuan seayah yang telah meninggal dunia terlebih dahulu

Gambar 4: ibu bersama keturunan dari satu orang saudara laki-laki seayah yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris, serta ayah;;

Gambar 5: ibu, ayah bersama keturunan dari satu orang saudara perempuan seibu yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris;

Gambar 6: ibu bersama keturunan dari satu orang saudara laki-laki seibu yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris, serta ayah;

Keterangan gambar 1 sampai dengan gambar 6: Ditinjau dari hukum kewarisan Islam Patrilineal Syafi’i dan KHI, perolehan bagian harta warisan ibu (A) = 1/3 sebagai zul-fara’id, sama dengan Bilateral Hazairin, tetapi menurut Sajuti Thalib, ibu mendapat 1/6. Menurut Patrilineal Syafi’i dan KHI, pewaris belum kalalah, karena ayah masih hidup, maka ayah (B) = sisa = 2/3, sebagai asabah binafsihi. Sedangkan menurut Bilateral Hazairin pewaris adalah kalalah, maka saudara dapat tampil sebagai ahli waris. Karena ayah masih hidup, maka penyelesaian kasus kewarisan menggunakan Q.4:12g.

b. Gambar penerapan Q.4:12g menurut Patrilineal Syafi’i

Menurut hukum kewarisan Islam Patrilineal Syafi’i, Q.4:12g hanya untuk bagian saudara seibu pewaris, seperti dalam gambar kewarisan tersebut. c. Gambar penerapan Pasal 181 KHI: “Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga.”

B = 1/6 bagian

B + C = 1/3 bagian bersyarikat B : C = 1 : 1 B = 1/6; C = 1/6

2. Garis hukum: dua orang saudara atau lebih menurut Q.4:12h: a. … b. … h. Jika ada seorang laki-laki atau seorang perempuan diwarisi secara punah (kalalah) sedangkan baginya ada saudara-saudara yang jumlah dua orang (atau lebih, penulis), maka mereka bersekutu (syuraka) untuk sepertiga (1/3) (Q.4:12 h).

a. Gambar-gambar kasus kewarisan yang menggunakan W.4:12 h di bawah adalah berdasarkan ajaran Bilateral Hazairin Gambar 1: ibu, ayah bersama dua orang saudara sekandung, baik laki-laki maupun perempuan;

Gambar 2: ibu, ayah bersama dua orang saudara seayah, baik laki-laki maupun perempuan.

Gambar 3: ibu, ayah bersama dua orang saudara seibu, baik laki-laki maupun perempuan;

Gambar 4: ibu, ayah bersama seorang saudara sekandung, baik laki-laki ataupun perempuan, dan seorang saudara seayah, baik laki-laki ataupun perempuan;

Gambar 5: ibu, ayah bersama seorang saudara sekandung, baik laki-laki ataupun perempuan, dan seorang saudara seibu, baik laki-laki ataupun perempuan.

Gambar 6: ibu, ayah bersama seorang saudara seayah, baik laki-laki ataupun perempuan, dan seorang saudara seibu, baik laki-laki ataupun perempuan;

Keterangan gambar 1 sampai dengan gambar 6; Ditinjau dari hukum kewarisan Islam Patrilineal Syafi’i dan KHI, pewaris belum kalalah, karena ayah masih hidup sebagai asabah binafsihi, karena itu saudara pewaris terhijab oleh ayah, mereka tidak dapat tampil sebagai ahli waris. Pendapat tersebut tidak sama dengan pendapat Bilateral Hazairin, bahwa pewaris kalalah, maka saudara dapat tampil sebagai ahli waris.

Menurut ajaran Patrilineal Syafi’i dan Kompilasi Hukum Islam, apabila ayah masih hidup, saudara pewaris tidak dapat tampil sebagai ahli waris, karena mahjub atau terhijab (hijab hirman) oleh ayah pewaris. b. Gambar-gambar kasus kewarisan yang menggunakan Q.4:12 h di bawah adalah berdasarkan ajaran Patrilineal Syafi’i:

Menurut ajaran ini, Q.4:12 h digunakan untuk dua orang saudara seibu atau lebih. Pada gambar pertama, saudara-saudara seibu tampil sebagai ahli waris bersama-sama dengan dua orang anak perempuan dan ibu pewaris, karena pewaris kalalah, ia tidak meninggalkan anak laki-laki dan keturunan laki-laki melalui anak laki-laki serta ayah telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris. Ibu = 1/6; dua orang saudara seibu = 0 (terhijab), dua orang anak perempuan = 2/3. Pada gambar kedua, saudara-saudara seibu tampil sebagai ahli waris bersama-sama dengan ibu pewaris. Ibu = 1/6; dua orang saudara seibu = 1/3 = 2/6. Sisa = 1/2 di-radd-kan kepada ibu = 1/3; dan dua saudara seibu = 2/3 (menurut jumhur sahabat yang diikuti oleh Bilateral Hazairin dan Pasal 193 KHI, sedangkan menurut Ibnu Mas’ud, hanya ibu yang dapat menerima radd). c. Gambar-gambar kasus kewarisan yang menggunakan Q.4:12 h di bawah adalah berdasarkan KHI:

A = ibu = 1/6 (Pasal 178) B + C = saudara seibu = 1/3 = 2/6 (Pasal 181)

Sisa = 1 – (1/6 + 1/3) = 1/2 di-radd-kan kepada A, B, dan C A = 1/6 menjadi 1/3; B + C = 2/6 menjadi 2/3

3. Garis Hukum Q.4:12 lainnya: i. Pelaksanaan pembagian harta warisan tersebut dalam garis hukum g dan h sesudah dibayarkan wasiat/atau utang pewaris (Q.4:12i) j. Pembagian wasiat dan/atau pembayaran utang itu tidak boleh mendatangkan kemudaratan kepada ahli waris (Q.4:12j). k. Demikianlah ketentuan Allah l. Bahwa sesungguhnya Allah itu Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun

C. Surah an-Nisa ayat 176 Selain an-Nisa ayat 12 g dan 12 h (Q.4:12g dan Q.4:12h), besar bagian saudara juga diatur dalam an-Nisa ayat 176 (Q.4:176). “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak meninggalkan anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditingalkannya dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari hrata yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum itu) kepadamu, supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu (huruf miring dari penulis). Menurut Hazairin, saudara termasuk dalam kelompok keutamaan kedua, dengan tanpa membedakan jenis saudara, apakah ahli waris itu berkedudukan sebagai saudara sekandung, saudara seayah, atau saudara seibu, mereka secara bersama-sama dapat tampil sebagai ahli waris. Jika ayah masih hidup, menurut ajaran Bilateral Hazairin, saudara berkedudukan sebagai zul-fara’id semuanya, karena itu, dasar hukum yang

diterapkan adalah Q.4:12 g atau Q.4:12 h. Tetapi, apa bila ayah telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris, maka bagian harta warisan bagi saudara diselesaikan berdasarkan Q.4:176. Hazairin menyusun berapa garis hukum yang dirumuskan berdasarkan surah an-Nisa ayat 176: a. Mereka meminta fatwa kepada engkau hai Muhammad (mengenai kalalah), katakanlah bahwa Allah memberi fatwa kepadamu mengenai kalalah, yaitu jika seorang meninggal dunia tidak meninggalkan anak (atau mawali dari anak) (Q.4:176 a) 1. Garis hukum: seorang saudara perempuan menurut Q.4:176b: b. Jika seorang yang meninggal dunia dalam keadaan kalalah itu ada saudara perempuan, maka bagi saudara perempuan tersebut seperdua (1/2) harta peninggalan (Q.4:176 b) Gambar 1: seorang saudara perempuan sekandung pewaris bersama ibu. A

B Menurut Bilateral Hazairin dikembangkan Sajuti Thalib: A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f) B = saudara perempuan sekandung = 1/2, sebagai zul-fara’id (Q.4:176b); Sisa = 1 – (1/6 + 1/2) = 6/6 – (1/6 + 3/6) = 6/6 – 4/6 = 2/6 = 1/3, di-radd-kan kepada A dan B, dengan perbandingan A:B = 1:3; A = 1/6 + (1/4 x 1/3) = 1/6 + 1/12 = 2/12 + 1/12 = 3/12 = 1/4; B = 3/6 + (3/4 x 1/3) = 3/6 + 3/12 = 6/12 + 3/12 = 9/12 = 3/4; Jumlah = A + B = 1/4 + 3/4 = 4/4 = 1 Menurut Patrilineal Syafi’i: A = ibu = 1/3, sebagai zul-fara’id (Q.4:11e); B = saudara perempuan kandung = 1/2, sebagai zul-fara’id (Q.4:176b); Sisa = 1 – (1/3 + 1/2) = 6/6 – (2/6 + 3/6) = 6/6 – 5/6 = 1/6, di-radd-kan kepada A dan B, dengan perbandingan A:B = 2:3;

A = 1/3 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30; B = 3/6 + (3/5 x 1/6) = 15/30 + 3/30 = 18/30; Jumlah = A + B = 12/30 + 18/30 = 30/30 = 1 Menurut Kompilasi Hukum Islam: A = ibu = 1/3, sebagai zul-fara’id (Pasal 178); B = saudara perempuan kandung = 1/2, sebagai zul-fara’id (Pasal 182); Sisa = 1 – (1/3 + 1/2) = 6/6 – (2/6 + 3/6) = 6/6 – 5/6 = 1/6, di-radd-kan kepada A dan B, dengan perbandingan A : B = 2 : 3; A = 1/3 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 4/10; B = 3/6 + (3/5 x 1/6) = 15/30 + 3/30 = 18/30 = 6/10; Jumlah = A + B = 4/10 + 6/10 = 10/10 = 1 Gambar 2: seorang saudara perempuan seayah pewaris bersama ibu; A

B Menurut Bilateral Hazairin: A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f) B = saudara perempuan seayah= 1/2, sebagai zul-fara’id (Q.4:176b); Sisa = 1 – (1/6 + 1/2) = 6/6 – (1/6 + 3/6) = 6/6 – 4/6 = 2/6 = 1/3, di-radd-kan kepada A dan B, dengan perbandingan A:B = 1:3; A = 1/6 + (1/4 x 1/3) = 1/6 + 1/12 = 2/12 + 1/12 = 3/12 = 1/4; B = 3/6 + (3/4 x 1/3) = 3/6 + 3/12 = 6/12 + 3/12 = 9/12 = 3/4; Jumlah = A + B = 1/4 + 3/4 = 4/4 = 1 Menurut Patrilineal Syafi’i: A = ibu = 1/3, sebagai zul-fara’id (Q.4:11e); B = saudara perempuan seayah = 1/2, sebagai zul-fara’id (Q.4:176b); Sisa = 1 – (1/3 + 1/2) = 6/6 – (2/6 + 3/6) = 6/6 – 4/6 = 1/6, di-radd-kan kepada A dan B, dengan perbandingan A : B = 2 : 3; A = 1/3 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 4/10; B = 3/6 + (3/5 x 1/6) = 15/30 + 3/30 = 18/30 = 6/10;

Jumlah = A + B = 4/10 + 6/10 = 10/10 = 1

Menurut Kompilasi Hukum Islam: A = ibu = 1/3, sebagai zul-fara’id (Pasal 178); B = saudara perempuan seayah = 1/2, sebagai zul-fara’id (Pasal 182); Sisa = 1 – (1/3 + 1/2) = 6/6 – (2/6 + 3/6) = 6/6 – 4/6 = 1/6, di-radd-kan kepada A dan B, dengan perbandingan A : B = 2 : 3 (Pasal 193); A = 1/3 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 4/10; B = 3/6 + (3/5 x 1/6) = 15/30 + 3/30 = 18/30 = 6/10; Jumlah = A + B = 4/10 + 6/10 = 10/10 = 1 Gambar 3: seorang saudara perempuan seibu pewaris bersama ibu; A

B Menurut Bilateral Hazairin: A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f) B = saudara perempuan seibu= 1/2, sebagai zul-fara’id (Q.4:176b); Sisa = 1 – (1/6 + 1/2) = 6/6 – (1/6 + 3/6) = 6/6 – 4/6 = 2/6 = 1/3, di-radd-kan kepada A dan B, dengan perbandingan A:B = 1:3; A = 1/6 + (1/4 x 1/3) = 1/6 + 1/12 = 2/12 + 1/12 = 3/12 = 1/4; B = 3/6 + (3/4 x 1/3) = 3/6 + 3/12 = 6/12 + 3/12 = 9/12 = 3/4; Jumlah = A + B = 1/4 + 3/4 = 4/4 = 1 Menurut Patrilineal Syafi’i: A = ibu = 1/3, sebagai zul-fara’id (Q.4:11e); B = saudara perempuan seibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:12g); Sisa = 1 – (1/3 + 1/6) = 6/6 – (2/6 + 1/6) = 6/6 – 3/6 = 3/6 = 1/2, di-radd-kan kepada A dan B, dengan perbandingan A : B = 2 : 1; A = 1/3 + (2/3 x 1/2) = 2/6 + 2/6 = 4/6 = 2/3; B = 1/6 + (1/3 x 1/2) = 1/6 + 1/6 = 2/6 = 1/3;

Jumlah = A + B = 2/3 + 1/3 = 3/3 = 1

Menurut Kompilasi Hukum Islam: A = ibu = 1/3, sebagai zul-fara’id (Pasal 178); B = saudara perempuan seibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 181); Sisa = 1 – (1/3 + 1/6) = 6/6 – (2/6 + 1/6) = 6/6 – 3/6 = 1/2, di-radd-kan kepada A dan B, dengan perbandingan A : B = 2 : 1 (Pasal 193); A = 1/3 + (2/3 x 1/2) = 2/6 + 2/6 = 4/6 = 2/3; B = 1/6 + (1/3 x 1/2) = 1/6 + 1/6 = 2/6 = 1/3; Jumlah = A + B = 2/3 + 1/3 = 3/3 = 1 2. Garis hukum: saudara laki-laki menurut Q.4:176c: a. … c. Jika seorang yang meninggal dunia dalam keadaan kalalah seorang perempuan (atau seorang laki-laki) dan bagaimana ada saudara laki-laki, maka bagi saudara laki-lakinya itu seluruh hartanya tersebut (Q.4:176 c). Gambar 1: seorang saudara perempuan sekandung pewaris bersama ibu. A

B Menurut Bilateral Hazairin: A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f) B = saudara laki-laki sekandung = sisa, sebagai zul-fara’id (Q.4:176c); = 5/6. Menurut Patrilineal Syafi’i: A = ibu = 1/3, sebagai zul-fara’id (Q.4:11e) B = saudara laki-laki sekandung = sisa, sebagai ‘asabah binafsihi (Q.4:176c); = 2/3. Menurut Kompilasi Hukum Islam:

A = ibu = 1/3, sebagai zul-fara’id (Pasal 178) B = saudara laki-laki sekandung = sisa, sebagai ‘asabah binafsihi (Pasal 182); = 2/3. Gambar 2: ibu dan saudara laki-laki seayah pewaris. A

B Menurut Bilateral Hazairin: A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f) B = saudara laki-laki seayah = sisa, sebagai zul-fara’id (Q.4:176c); = 5/6. Menurut Patrilineal Syafi’i: A = ibu = 1/3, sebagai zul-fara’id (Q.4:11e) B = saudara laki-laki seayah = sisa, sebagai ‘asabah binafsihi (Q.4:176c); = 2/3. Menurut Kompilasi Hukum Islam: A = ibu = 1/3, sebagai zul-fara’id (Pasal 178) B = saudara laki-laki seayah = sisa, sebagai ‘asabah binafsihi (Pasal 182); = 2/3. Gambar 3: ibu dan saudara laki-laki seibu pewaris A

B Menurut Bilateral Hazairin: A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f) B = saudara laki-laki sekandung = sisa, sebagai zul-qarabat (Q.4:176c); = 5/6.

Menurut Patrilineal Syafi’i: A = ibu = 1/3, sebagai zul-fara’id (Q.4:11e); B = saudara laki-laki seibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:12g); Sisa = 1 – (1/3 + 1/6) = 6/6 – (2/6 + 1/6) = 6/6 – 3/6 = 3/6 = 1/2, di-radd-kan kepada A dan B, dengan perbandingan A : B = 2 : 1; A = 1/3 + (2/3 x 1/2) = 2/6 + 2/6 = 4/6 = 2/3; B = 1/6 + (1/3 x 1/2) = 1/6 + 1/6 = 2/6 = 1/3; Jumlah = A + B = 2/3 + 1/3 = 3/3 = 1 Menurut Kompilasi Hukum Islam: A = ibu = 1/3, sebagai zul-fara’id (Pasal 178); B = saudara laki-laki seibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 181); Sisa = 1 – (1/3 + 1/6) = 6/6 – (2/6 + 1/6) = 6/6 – 3/6 = 1/2, di-radd-kan kepada A dan B, dengan perbandingan A : B = 2 : 1 (Pasal 193); A = 1/3 + (2/3 x 1/2) = 2/6 + 2/6 = 4/6 = 2/3; B = 1/6 + (1/3 x 1/2) = 1/6 + 1/6 = 2/6 = 1/3; Jumlah = A + B = 2/3 + 1/3 = 3/3 = 1 3. Garis hukum: dua orang saudara perempuan menurut Q.4:176d: a. … d. Jika orang yang meninggal dunia dalam keadaan kalalah itu ada saudara perempuan dua orang (atau lebih), maka bagi keduanya dua per-tiga (2/3) harta peninggalan (Q.4:176 d). Gambar 1: ibu dan dua orang saudara perempuan sekandung A

B

C

Menurut Bilateral Hazairin: A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f) B + C = dua saudara perempuan sekandung = 2/3, sebagai zawul-furud (Q.4:176d); B = 1/3 = 2/6; C = 1/3 = 2/6; Sisa = 6/6 – (1/6 + 2/6 + 2/6) = 1/6, di-radd-kan kepada ibu dan dua orang saudara perempuan sekandung sebagai ahli waris zawul-furud, dengan perbandingan A:B:C = 1:2:2; A = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5; B = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5; C = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5; Jumlah = A + B + C = 1/5 + 2/5 + 2/5 = 5/5 = 1 Menurut Patrilineal Syafi’i: A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f) B + C = dua saudara perempuan sekandung = 2/3, sebagai zawul-furud (Q.4:176d); B = 1/3 = 2/6; C = 1/3 = 2/6; Sisa = 6/6 – (1/6 + 2/6 + 2/6) = 1/6, di-radd-kan kepada ibu dan dua orang saudara perempuan sekandung sebagai ahli waris zawul-furud, dengan perbandingan A:B:C = 1:2:2; A = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5; B = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5; C = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5; Jumlah = A + B + C = 1/5 + 2/5 + 2/5 = 5/5 = 1 Menurut Kompilasi Hukum Islam: A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 178) B + C = dua saudara perempuan sekandung = 2/3, sebagai zawul-furud (Pasal 182); B = 1/3 = 2/6; C = 1/3 = 2/6;

Sisa = 6/6 – (1/6 + 2/6 + 2/6) = 1/6, di-radd-kan kepada ibu dan dua orang saudara perempuan sekandung sebagai ahli waris zawul-furud, dengan perbandingan A:B:C = 1:2:2 (Pasal 193); A = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5; B = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5; C = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5; Jumlah = A + B + C = 1/5 + 2/5 + 2/5 = 5/5 = 1 Gambar 2: ibu dan dua orang saudara perempuan seayah A

B

C

Menurut Bilateral Hazairin: A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f) B + C = dua saudara perempuan seayah = 2/3, sebagai zawul-furud (Q.4:176d); B = 1/3 = 2/6; C = 1/3 = 2/6; Sisa = 6/6 – (1/6 + 2/6 + 2/6) = 1/6, di-radd-kan kepada ibu dan dua orang saudara perempuan seayah sebagai ahli waris zawul-furud, dengan perbandingan A:B:C = 1:2:2; A = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5; B = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5; C = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5; Jumlah = A + B + C = 1/5 + 2/5 + 2/5 = 5/5 = 1 Menurut Patrilineal Syafi’i: A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f) B + C = dua saudara perempuan seayah = 2/3, sebagai zawul-furud (Q.4:176d); B = 1/3 = 2/6; C = 1/3 = 2/6;

Sisa = 6/6 – (1/6 + 2/6 + 2/6) = 1/6, di-radd-kan kepada ibu dan dua orang saudara perempuan seayah sebagai ahli waris zawul-furud, dengan perbandingan A:B:C = 1:2:2; A = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5; B = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5; C = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5; Jumlah = A + B + C = 1/5 + 2/5 + 2/5 = 5/5 = 1 Menurut Kompilasi Hukum Islam: A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 178) B + C = dua saudara perempuan seayah = 2/3, sebagai zawul-furud (Pasal 182); B = 1/3 = 2/6; C = 1/3 = 2/6; Sisa = 6/6 – (1/6 + 2/6 + 2/6) = 1/6, di-radd-kan kepada ibu dan dua orang saudara perempuan seayah sebagai ahli waris zawul-furud, dengan perbandingan A:B:C = 1:2:2 (Pasal 193); A = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5; B = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5; C = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5; Jumlah = A + B + C = 1/5 + 2/5 + 2/5 = 5/5 = 1 Gambar 3: ibu dan dua saudara perempuan seibu A

B

C

Menurut Bilateral Hazairin: A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f) B + C = dua saudara perempuan seibu = 2/3, sebagai zawul-furud (Q.4:176d); B = 1/3 = 2/6; C = 1/3 = 2/6;

Sisa = 6/6 – (1/6 + 2/6 + 2/6) = 1/6, di-radd-kan kepada ibu dan dua orang saudara perempuan seibu sebagai ahli waris zawul-furud, dengan perbandingan A:B:C = 1:2:2; A = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5; B = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5; C = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5; Jumlah = A + B + C = 1/5 + 2/5 + 2/5 = 5/5 = 1 Menurut Patrilineal Syafi’i: A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f) B + C = dua saudara perempuan seibu = 1/3, sebagai zawul-furud (Q.4:12h); B = 1/6; C = 1/6; Sisa = 6/6 – (1/6 + 1/6 + 1/6) = 3/6 = 1/2, di-radd-kan kepada ibu dan dua orang saudara perempuan seibu sebagai ahli waris zawul-furud, dengan perbandingan A:B:C = 1:1:1; A = 1/6 + (1/3 x 1/2) = 1/6 + 1/6 = 2/6 = 1/3; B = 1/6 + (1/3 x 1/2) = 1/6 + 1/6 = 2/6 = 1/3; C = 1/6 + (1/3 x 1/2) = 1/6 + 1/6 = 2/6 = 1/3; Jumlah = A + B + C = 1/3 + 1/3 + 1/3 = 3/3 = 1 Menurut Kompilasi Hukum Islam: A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 178) B + C = dua saudara perempuan seibu = 1/3, sebagai zawul-furud (Pasal 181); B = 1/6; C = 1/6; Sisa = 6/6 – (1/6 + 1/6 + 1/6) = 3/6 = 1/2, di-radd-kan kepada ibu dan dua orang saudara perempuan seibu sebagai ahli waris zawul-furud, dengan perbandingan A:B:C = 1:1:1 (Pasal 193); A = 1/6 + (1/3 x 1/2) = 1/6 + 1/6 = 2/6 = 1/3; B = 1/6 + (1/3 x 1/2) = 1/6 + 1/6 = 2/6 = 1/3; C = 1/6 + (1/3 x 1/2) = 1/6 + 1/6 = 2/6 = 1/3; Jumlah = A + B + C = 1/3 + 1/3 + 1/3 = 3/3 = 1

Gambar 4: ibu bersama seorang saudara perempuan sekandung dan seorang saudara perempuan seibu A

B

C

Menurut Bilateral Hazairin: A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f) B + C = satu saudara perempuan sekandung (B) dan satu orang saudara perempuan seibu (C) = 2/3, sebagai zawul-furud (Q.4:176d); B = 1/3 = 2/6; C = 1/3 = 2/6; Sisa = 6/6 – (1/6 + 2/6 + 2/6) = 1/6, di-radd-kan kepada ibu dan dua orang saudara perempuan seibu sebagai ahli waris zawul-furud, dengan perbandingan A:B:C = 1:2:2; A = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5; B = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5; C = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5; Menurut Patrilineal Syafi’i: A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f) B = saudara perempuan sekandung = 1/2 = 3/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:176b); C = saudara perempuan seibu = 1/6 = sebagai zul-fara’id (Q.4:112g); Sisa = 6/6 – (1/6 + 3/6 + 1/6) = 1/6, di-radd-kan kepada ibu dan satu orang saudara perempuan sekandung serta saudara perempuan seibu sebagai ahli waris zawul-furud, dengan perbandingan A:B:C = 1:3:1; A = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5; B = 3/6 + (3/3 x 1/6) = 15/30 + 3/30 = 18/30 = 3/5; C = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5; Jumlah = A + B + C = 1/5 + 3/5 + 1/5 = 5/5 = 1

Menurut Kompilasi Hukum Islam: A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 178) B = saudara perempuan sekandung = 1/2 = 3/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 182); C = saudara perempuan seibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 181); Sisa = 6/6 – (1/6 + 3/6 + 1/6) = 1/6, di-radd-kan kepada ibu dan satu orang saudara perempuan sekandung serta saudara perempuan seibu sebagai ahli waris zawul-furud, dengan perbandingan A:B:C = 1:3:1 (Pasal 193); A = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5; B = 3/6 + (3/3 x 1/6) = 15/30 + 3/30 = 18/30 = 3/5; C = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5; Jumlah = A + B + C = 1/5 + 3/5 + 1/5 = 5/5 = 1 Gambar 5: ibu bersama seorang saudara perempuan sekandung dan seorang saudara perempuan seayah A

C

B

Menurut Bilateral Hazairin: A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f) B + C = satu saudara perempuan sekandung (B) dan satu orang saudara perempuan seayah (C) = 2/3, sebagai zawul-furud (Q.4:176d); B = 1/3 = 2/6; C = 1/3 = 2/6; Sisa = 6/6 – (1/6 + 2/6 + 2/6) = 1/6, di-radd-kan kepada ibu, seorang saudara perempuan sekandung dan seorang saudara perempuan seayah sebagai ahli waris zawul-furud, dengan perbandingan A:B:C = 1:2:2; A = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5; B = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5; C = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5;

Menurut Patrilineal Syafi’i: A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f) B = saudara perempuan sekandung = 1/2 = 3/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:176b); C = saudara perempuan seayah = 1/6, sebagai takmilah untuk melengkapi 2/3 (hadis Ibnu Mas’ud); Sisa = 6/6 – (1/6 + 3/6 + 1/6) = 1/6, di-radd-kan kepada ibu dan satu orang saudara perempuan sekandung sebagai ahli waris zawul-furud serta saudara perempuan seayah sebagai takmilah, dengan perbandingan A:B:C = 1:3:1; (Pembagian tersebut berdasarkan pendapat jumhur sahabat, fuqaha, dan Undang-Undang Mesir. Sedangkan menurut Ibnu Mas’ud, C [saudara perempuan seayah] tidak dapat memperoleh bagian sisa (radd) karena ia mewarisi bersama saudara perempuan sekandung (B)); A = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5; B = 3/6 + (3/5 x 1/6) = 15/30 + 3/30 = 18/30 = 3/5; C = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5; Menurut Kompilasi Hukum Islam: Kompilasi Hukum Islam belum mengatur secara tegas tentang besar bagian saudara perempuan seayah apabila menjadi ahli waris bersama saudara perempuan sekandung. Meskipun demikian, sebagaimana garis-garis hukum yang ditemukan penulis atas Pasal 182 KHI, maka Kompilasi Hukum Islam yang cenderung kepada hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i, maka dapat ditafsirkan bahwa besar bagian saudara perempuan seayah yang menjadi ahli waris bersama saudara perempuan sekandung mendapat 1/6 sebagai takmilah berdasarkan hadits Ibnu Mas’ud. Tetapi berdasarkan garis hukum yang ditemukan penulis, penerapan hukum kewarisan Islam ajaran Bilateral Hazairin juga sangat dimungkinkan, karena rumusan Pasal 182 KHI justru garis-garis hukumnya seluruhnya sesuai dengan ajaran hukum kewarisan Islam Bilateral Hazairin. Namun demikian, penyelesaian kasus tersebut juga dapat diselesaikan menurut hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’I berdasarkan Pasal 229 KHI. A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 178) B = saudara perempuan sekandung = 1/2 = 3/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 182);

C = saudara perempuan seayah = 1/6, sebagai takmilah untuk melengkapi 2/3 (Pasal 182 jo. Pasal 229 jo. hadis Ibnu Mas’ud); Sisa = 6/6 – (1/6 + 3/6 + 1/6) = 1/6, di-radd-kan kepada ibu dan satu orang saudara perempuan sekandung sebagai ahli waris zawul-furud serta saudara perempuan seayah sebagai takmilah, dengan perbandingan A:B:C = 1:3:1 (Pasal 193); A = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5; B = 3/6 + (3/3 x 1/6) = 15/30 + 3/30 = 18/30 = 3/5; C = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5; Gambar 6: ibu bersama saudara perempuan seayah dan saudara perempuan seibu A

B

C

Menurut Bilateral Hazairin: A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f) B + C = satu saudara perempuan seayah (B) dan satu orang saudara perempuan seibu (C) = 2/3, sebagai zawul-furud (Q.4:176d); B = 1/3 = 2/6; C = 1/3 = 2/6; Sisa = 6/6 – (1/6 + 2/6 + 2/6) = 1/6, di-radd-kan kepada ibu dan dua orang saudara seibu sebagai ahli waris zawul-furud, dengan perbandingan A:B:C = 1:2:2; A = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5; B = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5; C = 2/6 + (2/5 x 1/6) = 10/30 + 2/30 = 12/30 = 2/5; Menurut Patrilineal Syafi’i: A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f) B = saudara perempuan seayah = 1/2 = 3/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:176b);

C = saudara perempuan seibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:176b); Sisa = 6/6 – (1/6 + 3/6 + 1/6) = 1/6, di-radd-kan kepada ibu dan satu orang saudara perempuan seayah serta saudara perempuan seibu sebagai ahli waris zawul-furud, dengan perbandingan A:B:C = 1:3:1; (Pembagian tersebut berdasarkan pendapat jumhur sahabat, fuqaha, dan Undang-Undang Mesir. Sedangkan menurut Ibnu Mas’ud, C [saudara perempuan seibu] tidak dapat memperoleh bagian sisa (radd) karena ia mewarisi bersama ibu (A)); A = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5; B = 3/6 + (3/5 x 1/6) = 15/30 + 3/30 = 18/30 = 3/5; C = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5; Menurut Kompilasi Hukum Islam: A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 178) B = saudara perempuan seayah = 1/2 = 3/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 182); C = saudara perempuan seibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 181); Sisa = 6/6 – (1/6 + 3/6 + 1/6) = 1/6, di-radd-kan kepada ibu dan satu orang saudara perempuan sekandung serta saudara perempuan seibu sebagai ahli waris zawul-furud, dengan perbandingan A:B:C = 1:3:1 (Pasal 193); A = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5; B = 3/6 + (3/3 x 1/6) = 15/30 + 3/30 = 18/30 = 3/5; C = 1/6 + (1/5 x 1/6) = 5/30 + 1/30 = 6/30 = 1/5; Jumlah = A + B + C = 1/5 + 3/5 + 1/5 = 5/5 = 1 4. Garis hukum: saudara laki-laki dan saudara perempuan menurut Q.4:176e: a. … e. Dan jika orang yang meninggal dunia dalam keadaan kalalah itu ada saudara-saudara yang terdiri dari laki-laki dan perempuan, maka bagi seorang saudara laki-laki sebanyak dua bagian saudara perempuan (dua berbanding satu [2:1]) (Q.4:176 e) Gambar 1: Ibu bersama seorang saudara laki-laki dan seorang saudara perempuan sekandung A

B B

C

Menurut Bilateral Hazairin: A = ibu = 1/6 = 3/18, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f) Sisa = 1 = 1/6 = 5/6 B + C = saudara laki-laki dan saudara perempuan sekandung pewaris = sisa, sebagai zul-qarabat (Q.4:176e), dengan perbandingan perolehan B:C = 2:1; B = 2/3 x 5/6 = 10/18 C = 1/3 x 5/6 = 5/18 Jumlah = A + B + C = 3/18 + 10/18 + 5/18 = 18/18 = 1 Menurut Patrilineal Syafi’i: A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f) Sisa = 1 = 1/6 = 5/6 B + C = saudara laki-laki dan saudara perempuan pewaris = sisa, sebagai ‘asabah (Q.4:176e), dengan perbandingan perolehan B:C = 2:1; B = 2/3 x 5/6 = 10/18, sebagai ‘asabah binafsihi, C = 1/3 x 5/6 = 5/18, sebagai ‘asabah bil-gairi, Jumlah = A + B + C = 3/18 + 10/18 + 5/18 = 18/18 = 1 Menurut Kompilasi Hukum Islam: A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 178) Sisa = 1 = 1/6 = 5/6 B + C = saudara laki-laki dan saudara perempuan pewaris = sisa, sebagai ‘asabah (Pasal 182), dengan perbandingan perolehan B:C = 2:1; B = 2/3 x 5/6 = 10/18, sebagai ‘asabah binafsihi, C = 1/3 x 5/6 = 5/18, sebagai ‘asabah bil-gairi, Jumlah = A + B + C = 3/18 + 10/18 + 5/18 = 18/18 = 1

A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f) C = saudara perempuan seibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:12g); Sisa = 1 – (1/6 + 1/6) = 4/6 C = mahjub atau terhijab oleh B = 0, tidak mendapat apa-apa. Jumlah = A + B = 1/6 + 5/6 = 6/6 = 1 Menurut Bilateral Hazairin: A = ibu = 1/6 = 3/18, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f) Sisa = 1 = 1/6 = 5/6

B (saudara laki-laki sekandung) + C (saudara perempuan seayah) = sisa, sebagai zul-qarabat (Q.4:176e), dengan perbandingan perolehan B:C = 2:1; B = 2/3 x 5/6 = 10/18 C = 1/3 x 5/6 = 5/18 Jumlah = A + B + C = 3/18 + 10/18 + 5/18 = 18/18 = 1 Menurut Patrilineal Syafi’i: A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f) Sisa = 1 = 1/6 = 5/6 C = mahjub atau terhijab oleh B = 0, tidak mendapat apa-apa. Jumlah = A + B = 1/6 + 5/6 = 6/6 = 1 Menurut Kompilasi Hukum Islam: Penyelesaian menurut Kompilasi Hukum Islam, jika dilihat dari garis hukum yang dirumuskan penulis (Neng Djubaedah) atas rumusan Pasal 182 KHI, maka penyelesaian kasus tersebut justru lebih sesuai dengan ajaran hukum kewarisan Islam Bilateral Hazairin. Tetapi oleh karena KHI dalam hal menentukan bagian saudara lebih cenderung kepada ajaran hukum kewarisan Islam Patrilineal Syafi’i sebagaimana rumusan Pasal 181 KHI untuk saudara seibu dan rumusan Pasal 182 KHI untuk saudara sekandung dan/atau saudara seayah, maka penyelesaian kasus kewarisan tersebut dapat dianalogikan kepada hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i: A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 178) Sisa = 1 = 1/6 = 5/6 B = sisa, sebagai asabah binafsihi (Pasal 182); C = mahjub atau terhijab oleh B = 0, tidak mendapat apa-apa. (dianalogkan kepada ajaran Patrilineal Syafi’i [Pasal 182 jo. Pasal 229]) Jumlah = A + B = 1/6 + 5/6 = 6/6 = 1 Gambar 3: ibu bersama seorang saudara laki-laki sekandung dan seorang perempuan seibu A

B

C

Menurut Bilateral Hazairin: A = ibu = 1/6 = 3/18, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f) Sisa = 1 = 1/6 = 5/6 B (saudara laki-laki sekandung) + C (saudara perempuan seibu) = sisa, sebagai zul-qarabat (Q.4:176e), dengan perbandingan perolehan B:C = 2:1; B = 2/3 x 5/6 = 10/18 C = 1/3 x 5/6 = 5/18 Jumlah = A + B + C = 3/18 + 10/18 + 5/18 = 18/18 = 1 Menurut Patrilineal Syafi’i: A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f) C = saudara perempuan seibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:12g); Sisa = 1 – (1/6 + 1/6) = 4/6 C = mahjub atau terhijab oleh B = 0, tidak mendapat apa-apa. Jumlah = A + B = 1/6 + 5/6 = 6/6 = 1 Menurut Kompilasi Hukum Islam: Penyelesaian kasus menurut KHI dapat menerapkan ajaran hukum kewarisan Islam Bilateral Hazairin sebagaimana temuan penulis dalam merumuskan garis-garis hukum atas Pasal 182 KHI, tetapi dapat juga menerapkan ajaran hukum kewarisan Islam Patrilineal Syafi’i seperti di bawah ini:

A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 178 KHI) C = saudara perempuan seibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 181 KHI); Sisa = 1 – (1/6 + 1/6) = 4/6 B = saudara laki-laki sekandung = sisa = 4/6, sebagai ‘asabah binafsihi (Pasal 182); Gambar 4: Ibu bersama seorang saudara laki-laki dan seorang saudara perempuan serta saudara laki-laki seayah A

B D

B

C

Menurut Bilateral Hazairin: A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f) Sisa = 1 - 1/6 = 5/6 B (saudara laki-laki sekandung) + C (saudara perempuan sekandung) + D (saudara laki-laki seayah) = sisa = 5/6, sebagai zul-qarabat (Q.4:176e); B : C : D = 2 : 1 : 2; B = 2/5 x 5/6 = 10/30 = 2/6; C = 1/5 x 5/6 = 5/30 = 1/6; D = 2/5 x 5/6 = 10/30 = 2/6; Jumlah = A + B + C + D = 1/6 + 2/6 + 1/6 + 2/6 = 6/6 = 1 Menurut Patrilineal Syafi’i: A = ibu = 1/6 = 3/18, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f) Sisa = 1 = 1/6 = 5/6 D = saudara laki-laki seayah terhijab oleh B (saudara laki-laki sekandung) B + C = saudara laki-laki sekandung (B) dan saudara perempuan sekandung (C) = sisa = 5/6, sebagai ‘asabah (Q.4:176e); B :C = 2 : 1; B = 2/3 x 5/6 = 10/18, sebagai ‘asabah binafsihi; C = 1/3 x 5/6 = 5/18, sebagai ‘asabah binafsihi; Jumlah = A + B + C = 3/18 + 10/18 + 5/18 = 18/18 = 1

Menurut Kompilasi Hukum Islam: Penyelesaian kasus menurut KHI dapat menerapkan ajaran hukum kewarisan Islam Bilateral Hazairin sebagaimana temuan penulis dalam merumuskan garis-garis hukum atau Pasal 182 KHI, tetapi dapat juga menerapkan ajaran hukum kewarisan Islam Patrilineal Syafi’i seperti di bawah ini: A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 178) Sisa = 1 = 1/6 = 5/6; D = saudara laki-laki seayah terhijab oleh B (saudara laki-laki sekandung), dianalogkan kepada hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i (Pasal 182 jo. Pasal 229) B + C = saudara laki-laki sekandung (B) dan saudara perempuan sekandung (C) = sisa = 5/6, sebagai ‘asabah (Pasal 182); B : C = 2 : 1; B = 2/3 x 5/6 = 10/18, sebagai ‘asabah binafsihi; C = 1/3 x 5/6 = 5/18, sebagai ‘asabah binafsihi; Jumlah = A + B + C = 3/18 + 10/18 + 5/18 = 18/18 = 1 Gambar 5: ibu bersama saudara laki-laki dan saudara perempuan sekandung serta saudara perempuan seibu A

B

C

D

Menurut Bilateral Hazairin: A = ibu = 1/6 =4/24, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f) Sisa = 1 - 1/6 = 5/6 B (saudara laki-laki sekandung) + C (saudara perempuan sekandung) + D (saudara laki-laki seibu) = sisa = 5/6, sebagai zul-qarabat (Q.4:176e), dengan perbandingan peroleh B : C : D = 2 : 1 : 1; B = 2/4 x 5/6 = 10/24; C = 1/4 x 5/6 = 5/24; D = 1/4 x 5/6 = 5/24; Jumlah = A + B + C + D = 4/24 + 10/24 + 5/24 + 5/24 = 24/24 = 1

Menurut Patrilineal Syafi’i: A = ibu = 1/6 = 3/18, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f) D = saudara perempuan seibu = 1/6 = 3/18, sebagai zul-fara’id (Q.4:12g); Sisa = 1 – (1/6 + 1/6) = 4/6; B = (saudara laki-laki sekandung) + C (saudara perempuan sekandung) = sisa = sisa = 4/6, sebagai ‘asabah (Q.4:176e), dengan perbandingan peroleh B : C = 2 : 1; B = 2/3 x 4/6 = 8/18, sebagai ‘asabah binafsihi; C = 1/3 x 4/6 = 4/18, sebagai ‘asabah bil-gairi; Jumlah = A + B + C + D = 3/18 + 8/18 + 4/18 + 3/18 = 18/18 = 1 Menurut Kompilasi Hukum Islam: A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 178) D = saudara perempuan seibu = 1/6 = 3/18, sebagai zul-fara’id (Pasal 181); Sisa = 1 – (1/6 + 1/6) = 4/6; B = (saudara laki-laki sekandung) + C (saudara perempuan sekandung) = sisa = 4/6, sebagai ‘asabah (Pasal 182), dengan perbandingan peroleh B : C = 2 : 1; B = 2/3 x 4/6 = 8/18, sebagai ‘asabah binafsihi; C = 1/3 x 4/6 = 4/18, sebagai ‘asabah bil-gairi; Jumlah = A + B + C + D = 3/18 + 8/18 + 4/18 + 3/18 = 18/18 Gambar 6: ibu bersama saudara laki-laki dan saudara perempuan sekandung serta saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu A

B

C

D

E

Menurut Bilateral Hazairin: A = ibu = 1/6 = 6/36, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f) Sisa = 1 - 1/6 = 5/6 B (saudara laki-laki sekandung) + C (saudara perempuan sekandung) + D (saudara laki-laki seibu) + E (saudara perempuan seibu) = sisa = 5/6, sebagai zul-qarabat (Q.4:176e), dengan perbandingan peroleh B : C : D : E = 2:1:2:1;

B = 2/6 x 5/6 = 10/36; C = 1/6 x 5/6 = 5/36; D = 2/6 x 5/6 = 10/36; E = 1/6 x 5/6 = 5/36 Jumlah = A + B + C + D + E = 6/36 + 10/36 + 5/36 + 10/36 + 5/36 = 36/36 = 1 Menurut Patrilineal Syafi’i: A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f) D = (saudara perempuan seibu) + E (saudara perempuan seibu) = 1/3, sebagai zul-fara’id bersyuraka (Q.4:12h); Sisa = 1 – (1/6 + 1/6 + 1/6) = 3/6 = 1/2; B = (saudara laki-laki sekandung) + C (saudara perempuan sekandung) = sisa = 1/2, sebagai ‘asabah (Q.4:176e), dengan perbandingan perolehan B : C = 2 : 1; B = 2/3 x 1/2 = 2/6, sebagai ‘asabah binafsihi; C = 1/3 x 1/2 = 1/6, sebagai ‘asabah bil-gairi; Jumlah = A + B + C + D + E = 1/6 + 2/6 + 1/6 + 1/6 + 1/6 = 6/6 = 1 Menurut Kompilasi Hukum Islam: Penyelesaian kasus menurut KHI sesuai dengan ajaran hukum kewarisan Islam Patrilinera Syafi’i seperti di bawah ini: A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 178) D (saudara laki-laki seibu) + E (saudara perempuan seibu = 1/3, sebagai zulfara’id bersyuraka (Pasal 181); D = 1/2 x 1/3 = 1/6; E = 1/2 x 1/3 = 1/6; Sisa = 1 – (1/6 + 1/6 + 1/6) = 3/6 = 1/2; B = (saudara laki-laki sekandung) + C (saudara perempuan sekandung) = sisa = 1/2, sebagai ‘asabah (Pasal 182), dengan perbandingan perolehan B : C = 2 : 1; B = 2/3 x 1/2 = 2/6, sebagai ‘asabah binafsihi; C = 1/3 x 1/2 = 1/6, sebagai ‘asabah bil-gairi; Jumlah = A + B + C + D + E = 1/6 + 2/6 + 1/6 + 1/6 + 1/6 = 6/6 = 1.

Gambar 7: ibu bersama saudara laki-laki dan saudara perempuan sekandung, saudara laki-laki dan saudara peremmpuan seayah, dan saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu. A

F

G

B

C

D

E

Menurut Bilateral Hazairin: A = ibu = 1/6 = 9/54, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f) Sisa = 1 - 1/6 = 5/6 B (saudara laki-laki sekandung) + C (saudara perempuan sekandung) + D (saudara laki-laki seibu) + E (saudara perempuan seibu) + F (saudara perempuan seayah) + G (saudara laki-laki seayah) = sisa = 5/6, sebagai zulqarabat (Q.4:176e), dengan perbandingan peroleh B : C : D : E : F : G = 2 : 1 : 2 : 1 : 1 : 2; B = 2/9 x 5/6 = 10/54; C = 1/9 x 5/6 = 5/54; D = 2/9 x 5/6 = 10/54; E = 1/9 x 5/6 = 5/54; F = 1/9 x 5/6 = 5/54 G = 2/9 x 5/6 = 10/54; Jumlah = A + B + C + D + E + F + G = 9/54+ 10/54 + 5/54 + 10/54 + 5/54 + 5/54 + 10/54 = 54/54 = 1 Menurut Patrilineal Syafi’i: A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f) D (saudara laki-laki seibu) + E (saudara perempuan seibu = 1/3, sebagai zulfara’id bersyuraka (Q.4:12b) D = 1/2 x 1/3 = 1/6 E = 1/2 x 1/3 = 1/6 Sisa = 1 – (1/6 + 1/6 + 1/6) = 3/6 = 1/2,

B (saudara laki-laki sekandung) + C (saudara perempuan sekandung) = sisa = 1/2, sebagai ‘asabah (Q.4:176e), dengan perbandingan peroleh B : C = 2 : 1; B = 2/3 x 1/2 = 2/6, sebagai ‘asabah binafsihi; C = 1/3 x 1/2 = 1/6, sebagai ‘asabah bil-gairi F (saudara perempuan seayah) + G (saudara laki-laki seayah) = terhijab atau mahjub oleh B = 0, tidak mendapat apa-apa; Jumlah = A + B + C + D + E = 1/6 + 2/6 + 1/6 + 1/6 + 1/6 = 6/6 = 1 Menurut Kompilasi Hukum Islam: Penyelesaian kasus menurut KHI, berdasarkan rumusan yang terkandung dalam Pasal 182 KHI dihubungkan dengan rumusan yang terdapat dalam Pasal 181 KHI, maka dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, cara yang sesuai dengan hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i, seperti di bawah ini. A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 178 KHI) D (saudara laki-laki seibu) + E (saudara perempuan seibu) = 1/3 sebagai zulfara’id bersyuraka (Pasal 181) D = 1/2 x 1/3 = 1/6 E = 1/2 x 1/3 = 1/6 Sisa = 1 – (1/6 + 1/6 + 1/6) = 3/6 = 1/2, B (saudara laki-laki sekandung) + C (saudara perempuan sekandung) = sisa = 1/2, sebagai ‘asabah (Pasal 182), dengan perbandingan peroleh B : C = 2 : 1; B = 2/3 x 1/2 = 2/6, sebagai ‘asabah binafsihi; C = 1/3 x 1/2 = 1/6, sebagai ‘asabah bil-gairi F (saudara perempuan seayah) + G (saudara laki-laki seayah) = terhijab atau mahjub oleh B = 0, tidak mendapat apa-apa (dianalogkan kepada Pasal 182 jo. Pasal 229; Jumlah = A + B + C + D + E = 1/6 + 2/6 + 1/6 + 1/6 + 1/6 = 6/6 = 1 Kedua, cara yang disesuaikan dengan garis hukum yang terkandung dalam Pasal 182 KHI dan Pasal 181 KHI: Tahap I: Bagian harta warisan dibagikan terlebih dahulu kepada ahli waris zul-fara’id: A = ibu = 1/6 = 2/12, sebagai zul-fara’id (Pasal 178 KHI)

Saudara seibu dibagi berdasarkan Pasal 181 KHI: D + E = 1/3, sebagai zul-fara’id (Q.4:12 h) D = 1/6 = 2/12 E = 1/6 = 2/12 Sisa = 1 – (1/6 + 1/3) = 6/6 – (1/6 + 2/6) = 3/6 = 1/2, Tahap II: Oleh karena KHI tidak merumuskan saudara laki-laki sekandung dapat menghijab saudara-saudara seayah, sebagaimana garis hukum yang ditemukan penulis atas Pasal 182 KHI, maka pembagian sisa harta warisan yang telah dibagikan kepada saudara seibu sebanyak 1/2 dapat dibagikan menurut ajaran hukum kewarisan Islam Bilateral Hazairin, yaitu saudara-saudara sekandung dapat tampil bersama-sama dengan saudara-saudara seayah. B + C + F + G = sisa = 1/2; B:C:F:G=2:1:1:2 B = saudara lelaki sekandung = 2/6 x 1/2 = 2/12 = 1/6; C = saudara perempuan sekandung = 1/6 x 1/2 = 1/12; F = saudara perempuan seayah = 1/6 x 1/2 = 1/12; G + saudara lelaki seayah = 2/6 x 1/2 = 2/12 = 1/6 A + B + C + D + E + F + G = 1/6 + 1/6 + 1/12 + 1/6 + 1/6 + 1/12 + 1/6 = 2/12 + 2/12 + 1/12 + 2/12 + 2/12 + 1/12 + 2/12 = 12/12 Gambar 8: ibu bersama seorang saudara perempuan sekandung, seorang saudara laki-laki seayah, dan seorang saudara laki-laki seibu A

D

B

Menurut Bilateral Hazairin: A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f) Sisa = 1 – 1/6 = 5/6

C

B = (saudara perempuan sekandung) + C (saudara laki-laki seibu) = sisa = 5/6, sebagai zul-qarabat (Q.4:176e), dengan perbandingan perolehan B:C:D = 1:2:2; B = 1/5 x 5/6 = 5/30 = 1/6; C = 2/5 x 5/6 = 10/30 = 2/6 D = 2/5 x 5/6 = 10/30 = 2/6 Jumlah = A + B + C + D = 1/6 + 1/6 + 2/6 + 2/6 = 6/6 = 1 Menurut Patrilineal Syafi’i: A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f) B = saudara perempuan sekandung) = 1/2 = 3/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:176b); C = saudara laki-laki seibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4:12g); Sisa = 1 – (1/6 + 3/6 + 1/6) = 1/6; D = saudara laki-laki seayah = sisa = 1/6, sebagai ‘asabah binafsihi, berdasarkan hadis Ibnu ‘Abbas; Jumlah = A + B + C + D = 1/6 + 3/6 + 1/6 + 1/6 = 6/6 = 1 Menurut Kompilasi Hukum Islam: Penyelesaian menurut Kompilasi Hukum Islam dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama penyelesaian menurut ajaran hukum kewarisan Islam Patrilineal Syafi’i. A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 178) B = saudara perempuan sekandung = 1/2 = 3/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 182) C = saudara laki-laki seibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Pasal 181); Sisa = 1 – (1/6 + 3/6 + 1/6) = 1/6, D = saudara laki-laki seayah = sisa = 1/6, sebagai ‘asabah binafsihi berdasarkan hadis Ibnu ‘Abbas jo. Pasal 182 jo. Pasal 229 KHI jo. Muhammad Jawad Mughniyah; Jumlah = A + B + C + D = 1/6 + 3/6 + 1/6 + 1/6 = 6/6 = 1 Kedua, sebagaimana temuan penulis (Neng Djubaedah) dalam menafsirkan Pasal 182 KHI, maka penyelesaian kasus tersebut dapat dilakukan melalui dua tahap.

Tahap I: Bagian harta warisan dibagikan terlebih dahulu kepada ahli waris zul-fara’id: A = ibu = 1/6 = 3/18, sebagai zul-fara’id (Pasal 178 KHI) C = saudara laki-laki seibu pewaris = 1/3 = 3/18, sebagai zul-fara’id (Pasal 181 KHI); Sisa = 1 – (1/6 + 1/6) = 1– 2/6 = 4/6 = 2/3, Tahap II: Oleh karena Kompilasi Hukum Islam tidak merumuskan secara tegas saudara perempuan sekandung berkedudukan sebagai ahli waris zul-fara’id jika ia menjadi ahli waris bersama-sama dengan saudara laki-laki seayah dan saudara laki-laki seayah mendapat sisa karena ia sebagai ‘asabah binafsihi sebagaimana ajaran hukum kewarisan Islam Patrilineal Syafi’i, maka penyelesaian kasus kewarisan tersebut dapat digabungkan dengan pendapat Hazairin dan para muridnya. Dengan demikian, sisa harta warisan sebanyak 2/3, yaitu setelah dibagikan kepada ibu = 1/6 (Pasal 178 KHI) dan saudara laki-laki seibu = 1/6 (Pasal 181 KHI), dibagikan kepada saudara perempuan sekandung (B) dan saudara laki-laki seayah (D) berdasarkan Pasal 182 KHI garis hukum g (temuan Neng Djubaedah), yaitu “Bila satu orang saudara perempuan kandung tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki seayah, maka bagian saudara laki-laki adalah dua berbanding satu dengan saudara perempuan.” Maka penyelesaian kasus kewarisan berikutnya sebagai berikut. Sisa = 2/3; B + D = sisa = 2/3; B : D = 1 : 2; B = saudara perempuan sekandung = 1/3 x 2/3 = 2/9 = 4/18; D = saudara laki-laki seayah = 2/3 x 2/3 = 4/9 = 8/18 Jumlah = A + B + C + D = 1/6 + 2/9 + 1/6 + 4/9 = 3/18 + 4/18 + 3/18 + 8/18 = 18/18 = 1 E. Kedudukan Saudara dalam Kompilasi Hukum Islam Kompilasi Hukum Islam merumuskan besar bagian saudara pewaris dalam dua pasal, yaitu Pasal 181 dan Pasal 182 Pasal 181 menentukan: “Bila seorang meninggal dunia tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat

seperenam (1/6) bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga (1/3) bagian. Pasal 182 menentukan : “Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak, sedang ia mempunyai satu orang saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat separo bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki adalah dua berbanding satu dengan saudara perempuan. F. Hubungan Saudara dengan Pewaris dalam Penerapan Q.4:12g, 12 h dan Q. 4:176 1. Penerapan Q.4:12 g, 12 h dan Q.4:176 menurut Hukum Kewarisan Islam Ajaran Bilateral Hazairin: Contoh-contoh kasus penerapan Q.4:12 g dan 12 g: 1. Apabila saudara (sekandung, seayah, maupun seibu) yang ditinggalkan pewaris terdiri dari seorang saudara laki-laki dan seorang saudara perempuan serta ayah masih hidup, maka masing-masing mendapat seperenam (1/6) (Q.4:12g). Gambar: 1.

Dalam gambar-gambar kewarisan tersebut, ayah masih hidup maka saudara kandung pewaris, laki-laki atau perempuan (gambar 1), mendapat 1/6, ibu = 1/6 (mengikuti pendapat Hazairin yang dikembangkan oleh muridnya, Sajuti Thalib), sisanya = 2/3, diberikan kepada ayah. Demikian pula penyelesaian kasus pada gambar 2: pewaris meninggalkan ayah, ibu dan satu orang saudara seayah, lakilaki atau perempuan; juga penyelesaian kasus pada gambar 3: pewaris meninggalkan ayah, ibu dan satu orang saudara seibu, laki-laki atau perempuan, adalah sama baik proses maupun hasil akhir pembagian harta warisan. Jika kasus-kasus tersebut diselesaikan menurut Patrilineal Syafi’i dan KHI, maka orang-orang yang dapat menjadi ahli waris adalah ibu = 1/3, sisanya 2=3 diberikan kepada ayah sebagai ‘asabah. Sedangkan saudara terhijab oleh ayah, karena pewaris belum kalalah. 2. Apabila saudara-saudara (sekandung, seayah, maupun seibu) yang ditinggalkan pewaris terdiri dari dua orang saudara atau lebih serta ayah masih hidup, maka secara bersama-sama (bersyuraka) mereka mendapat sepertiga (1/3) (Q.4:12h), dibagi rata di antara mereka, tanpa membedakan jenis kelamin dari saudara-saudara bersangkutan, apakah laki-laki atau perempuan. Gambar:

Menurut Bilateral Hazairin, penyelesaian kasus kewarisan tersebut adalah karena ayah masih hidup, maka diterapkan Q.4:12h. Ibu = 1/6, saudara-saudara pewaris, baik saudara kandung, saudara seayah dan saudara seibu, secara bersama-sama memperoleh 1/3, dibagi sama rata di antara mereka, tanpa membedakan jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Sisa harta warisan = 1/2, diberikan kepada ayah sebagai zul qarabat.

Contoh kasus penerapan Q.4:176: 3. Jika pewaris meninggal dunia dalam keadaan kalalah, yaitu tidak meninggalkan anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan beserta keturunannya sedangkan ayah pewaris-pun telah meninggal dunia terlebih dahuolu dari pewaris, maka, menurut Hazairin, digunakan an-Nisa ayat 176. Contoh kasus telah dikemukakan pada penjelasan di atas pada Bab ini. Gambar:

Menurut Bilateral Hazairin, oleh karena ayah telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris, maka dasar hukum yang digunakan adalah Q.4:176. Pada gambar 1: ibu = 1/6 sebagai zul-fara’id; saudara-saudara sekandung = sisa = 5/6, sebagai zul-qarabat, dengan perbandingan perolehan saudara laki-laki dua bagian saudara perempuan. Saudara laki-laki = 2/3 x 5/6 = 10/18; saudara perempuan = 1/3 x 5/6 = 5/18. Pada gambar 2: ibu = 1/6 sebagai zul-fara’id; saudara-saudara perempuan sekandung, seayah dan seibu bersama-sama mendapat 2/3 = 4/6, sebagai zul-fara’id; Sisa = 1/6, di-radd-kan kepada ibu dan saudara-saudara perempuan pewaris ibu = 1/5 = 3/15, saudara-saudara perempuan = 4/5 = 12/15, kemudian dibagi rata di antara mereka, sehingga masing-masing saudara memperoleh 1/3 x 4/5 = 4/15. Jika kasus tersebut diselesaikan menurut Patrilineal Syafi’i, maka orang-orang yang dapat menjadi ahli waris adalah ibu = 1/6; saudara perempuan seibu = 1/6; saudara perempuan sekandung = 1/2; saudara perempuan seayah = 1/6 sebagai takmilah. Kompilasi Hukum Islam belum mengatur tentang para ahli waris tersebut, sebagaimana tafsiran penulis terhadap Pasal 182 KHI tersebut

di atas. Meskipun demikian, dalam menyelesaikan kasus tersebut dapat menerapkan Pasal 181 jo. Pasal 182 jo, Pasal 229 KHI. 2. Penerapan Q.4:12 g, 12 h dan Q.4:176 menurut Hukum Kewarisan Islam Ajaran Patrilineal Syafi’i: Menurut hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i, an-Nisa ayat 12 (Q.4:12g; Q. 4:12h) digunakan untuk saudara seibu saja. Karena itu, menurut ajaran ini, kedudukan saudara seibu, selalu menjadi ahli waris zul-fara’id. a. Contoh-contoh kasus penerapan Q.4:12 g dan 12 h: 1. Jika saudara seibu pewaris itu hanya seorang, maka ia tidak pernah mendapat kurang dari seperenam, kecuali ‘awl (Q.4:12 g). Gambar : A

B Menurut Patrilineal Syafi’i, satu orang saudara seibu pewaris baik laki-laki ataupun perempuan, mendapat 1/6 (Q.4:12g). ibu = 1/3 = 2/6 (Q.4:11 e), karena pewaris meninggalkan satu orang saudara. Sisanya = 3/6 = 1/2, diradd-kan kepada ibu dan saudara seibu (menurut jumhur sahabat, sedangkan menurut Ibnu Mas’ud hanya dapat di-radd-kan kepada ibu saja). Jadi ibu = 2/3; dan saudara seibu = 1/3 (menurut jumhur sahabat). Menurut KHI satu orang saudara seibu pewaris, baik laki-laki ataupun perempuan mendapat 1/6, (Pasal 181). Ibu = 1/3 = 2/6 (Pasal 178), karena pewaris meninggalkan satu orang saudara. Sisanya = 3/6 = 1/2, di-radd-kan kepada ibu dan saudara seibu. Jadi ibu = 2/3 (Pasal 178 jo. Pasal 193); dan saudara seibu = 1/3 (Pasal 181 jo. Pasal 193)). Menurut Bilateral Hazairin, penyelesaian kasus tersebut berdasarkan Q.4:176, karena ayah telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris. Ibu = 1/6 (tafsiran Sajuti Thalib, Q.4:11 f); satu orang saudara laki-laki seibu = sisa = 5/6 (Q.4:176 c). Jika saudara yang menjadi ahli waris itu seorang saudara perempuan seibu, maka ia mendapat = 1/2 = 3/6 (Q. 4:176 b); ibu = 1/6. Sisa = 1/3, di-radd-kan

kepada ibu dan saudara perempuan seibu. Ibu = 1/4; satu orang saudara perempuan seibu 3/4. 2. Jika saudara seibu terdiri dari dua orang saudara atau lebih, baik lakilaki maupun perempuan, maka secara bersama-sama mereka bersyuraka dan berbagi rata dari sepertiga (1/3), dengan tidak membedakan antara saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu tersebut. Gambar : A

B

C

D

Menurut Patrilineal Syafi’i, ibu = 1/6 (Q.4:11 f) tiga orang saudara seibu = 1/3 = 2/6 (Q.4:12 h); sisa = 1/2 , di-radd-kan kepada ibu dan saudara-saudara seibu (menurut jumhur sahabat; sedangkan menurut Ibnu Mas’ud, hanya diradd-kan kepdaa ibu saja). Ibu = 1/3; saudara-saudara seibu = 2/3, dibagi rata di antara mereka, tanpa membedakan jenis kelamin. Masing-masing saudara seibu mendapat 1/3 x 2/3 = 2/9. Menurut KHI, saudara-saudara seibu pewaris, baik laki-laki ataupun perempuan mendapat 1/3, (Pasal 181). Ibu = 1/6 (Pasal 178), karena pewaris meninggalkan lebih dari dua orang saudara. Sisanya = 3/6 = 1/2, di-radd-kan kepada ibu dan saudara-saudara seibu. Jadi ibu = 1/3 (Pasal 178 jo. Pasal 193); dan saudara-saudara seibu = 2/3, dibagi rata di antara mereka, tanpa membedakan jenis kelamin. Masing-masing saudara seibu mendapat 1/3 x 2/3 = 2/9 (Pasal 181 jo. Pasal 193). Menurut Bilateral Hazairin, penyelesaian kasus tersebut berdasarkan Q.4:176, karena ayah telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris. Ibu = 1/6 (Q.4:11 f); saudara laki-laki seibu dan saudara perempuan seibu = sisa = 5/6 (Q.4:176 e), dengan perbandingan perolehan saudara laki-laki dua bagian saudara perempuan. Saudara laki-laki seibu = 2/4 x 5/6 = 10/24; masing-masing saudara perempuan seibu = ¼ x 5/6 = 5/24. b. Contoh-contoh kasus penerapan Q.4:176: Menurut Patrilineal Syafi’i

Surah an-Nisa ayat 176, menurut hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’I, digunakan untuk menentukan besar bagian harta warisan bagi saudara kandung atau saudara seayah, baik laki-laki maupun perempuan. 1. Apabila pewaris meninggalkan ahli waris seorang saudar perempuan sekandung (A) dan saudara atau saudara-saudara perempuan seayah (B dan C), maka saudara perempuan sekandung mendapat setengah (1/2) harta warisan (Q.4:176b) sebagai zul-fara’id dan saudara atau saudara-saudara perempuan seayah mendapat seperenam (1/6) sebagai takmilah atau melengkapi jumlah dua pertiga (2/3) (hadis Ibnu Mas’ud). Gambar :

B

C

A

Kompilasi Hukum Islam yang lebih cenderung kepada ajaran Patrilineal Syafi’i, belum menentukan secara tegas mengenai besar bagian satu orang saudara perempuan kandung jika ia mewaris bersama-sama dengan satu orang atau lebih saudara perempuan seayah, sebagaimana garis hukum yang dirumuskan penulis atas Pasal 182 KHI. Menurut ajaran Patrilineal Syafi’i, yang diterapkan juga di Mesir, satu orang saudara perempuan sekandung mendapat 1/2 jika mewarisi bersamasama dengan saudara perempuan seayah. Sedangkan saudara perempuan seayah berapa pun jumlahnya (jika tidak disertai oleh saudara laki-laki seayah sebagai ‘asabah) adalah memperoleh 1/6 sebagai takmilah. Hal tersebut belum ditentukan secara tegas KHI. Sisa harta warisan = 1/3, di-radd-kan kepada saudara perempuan sekandung dan saudara perempuan seayah pewaris (menuntut jumhur sahabat yang diikuti di Mesir; sedangkan menurut Ibnu Mas’ud, di-radd-kan kepada saudara sekandung saja). Saudara sekandung = ¾ (setelah ditambah radd); dua orang saudara seayah = 1/4.jadi masing-masing mendapat 1/8. Jika dilihat dari garis hukum huruf d yang dirumuskan penulis terhadap Pasal 182 KHI, bahwa. “Bila satu orang saudara perempuan kandung tersebut

bersama-sama dengan saudara perempuan seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian,” maka, garis hukum tersebut sesuai dengan ajaran Bilateral Hazairin. Menurut hukum kewarisan Islam bilateral Hazairin, jika pewaris meninggalkan saudara-saudara perempuan pewaris, baik sekandung dan/atau seayah dan/atau seibu, sedangkan ayah telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris, maka saudara-saudara perempuan tersebut mendapat 2/3, berdasarkan Q.4:176 d (KHI : Pasal 182 garis hukum d). Sisa harta warisan = 1/3 di-radd-kan kepada semua saudara perempuan tersebut Jadi masingmasing saudara perempuan mendapat 1/3 bagian (KHI: Pasal 182 jo. Pasal 193). Alasan penerapan Q.4:176d, menurut Bilateral Hazarin, disebabkan karena ayah pewaris telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris. Dan, alasan yang dimuat dalam Pasal 182 pun adalah karena pewaris meninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak. Perlu diingatkan kembali, bahwa alasan penerapan Q.4:12 g dan 12 h yang dirumuskan dalam Pasal 181 KHI, adalah terdapat perbedaan pengertian kalalah antara Bilateral Hazairin dengan KHI. Ajaran Bilateral Hazairin beralasan sebagai syarat ditetapkannya Q.4:12 g dan 12 h adalah karena ayah pewaris masih hidup sedangkan alasan yang dimuat sebagai syarat ditetapkannya Pasal 181 KHI adalah karena pewaris meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah/ 2. Apabila pewaris meninggalkan dua orang saudara perempuan sekandung atau lebih dan saudara perempuan seayah, maka saudara-saudara perempuan kandung (A dan B) mendapat dua pertiga (2/3) (Q.4:176d) sebagai zul-fara’id , sedangkan saudara perempuan seayah (C) terhijab (terhalang) oleh saudara-saudara perempuan kandung. Dalam kasus ini terjadi sisa bagi sebanyak sepertiga (1/3), maka sisa bagi itu di-radd-kan kepada saudarasaudara perempuan sekandung. Gambar :

C

A

B

Menurut Patrilineal Syafi’i: A + B = saudara-saudara perempuan sekandung = 2/3 sebagai zawil-furud (Q.4:176d); C = saudara perempuan seayah = mahjub oleh A + B = 0, tidak mendapat harta warisan, karena saudara perempuan seayah hanya berhak mendapat 1/6 sebagai takmilah untuk melengkapi jumlah saudara perempuan sekandung. Sisa = 1 – 2/3 = 1/3 di radd-kan kepada A dan B, masing-masing mendapat 1/2. Jika kasus kewarisan tersebut diselesaikan menurut Kompilasi Hukum Islam yang tampaknya lebih cenderung kepada ajaran Patrilineal Syafi’i, ternyata KHI belum menentukan masalah terhijabnya saudara perempuan seayah oleh dua orang saudara perempuan sekandung, sebagaimana ajaran Patrilineal Syafi’i. Bahkan, berdasarkan garis hukum yang dibuat oleh penulis pada huruf e terhadap Pasal 182 KHI, ditemukan bahwa penyelesaian terhadap kasus tersebut berdasarkan Pasal 182 KHI adalah lebih sesuai dengan ajaran Bilateral Hazairin. Garis hukum huruf e dari Pasal 182 KHI, bahwa, “Bila satu orang saudara perempuan seayah tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian.” Garis hukum yang bersumberkan Pasal 182 tersebut adalah hanya sesuai dengan Bilateral Hazairin saja. Maka, saudara-saudara pewaris, yang terdiri dari dua orang saudara perempuan kandung dan seseorang saudara perempuan seayah, 2/3 (Q.4:176 d), sisanya = 1/3, di-radd-kan kepada saudara-saudara perempuan tersebut. Jadi, masing-masing saudara perempuan, baik saudara sekandung ataupun saudara seayah, mendapat 1/3 bagian (KHI: garis hukum huruf e Pasal 182 jo. Pasal 193). 3. Apabila pewaris meninggalkan dua orang saudara perempuan kandung (A dan B) atau lebih bersama-sama dengan saudara laki-laki (D) dan saudara perempuan (C) seayah, maka saudara-saudara perempuan kandung mendapat dua-per-tiga (2/3) (Q.4:176d), sedangkan sisanya, yaitu sepertiga (1/3) diberikan kepada saudara laki-laki dan saudara perempuan seayah sebagai ‘asabah. Besar bagian antara saudara laki-laki seayah dengan saudara perempuan seayah adalah dua berbanding satu (2:1) (Q.176 e).

Gambar :

D

C

A

B

Menurut Patrilineal Syafi’i: A + B = saudara-saudara perempuan sekandung = 2/3, sebagai zawil-furud (Q.4:176d) Sisa = 1 – 2/3 = 1/3; D + C = saudara laki-laki dan saudara perempuan seayah = sisa = 1/3, sebagai asabah (Q.4: 176 e jo. hadis Ibnu ‘Abbas); D : C = 2 : 1; D = 2/3 x 1/3 = 2/9; C = 1/3 x 1/3 = 1/9. Jika kasus kewarisan tersebut diselesaikan menurut Kompilasi Hukum Islam yang tampaknya lebih cenderung kepada ajaran Patrilineal Syafi’i, ternyata KHI belum menentukan masalah saudara laki-laki seayah bersamasama dengan saudara perempuan seayah berkedudukan sebagai ‘asabah yang mendapat sisa, yaitu 1/3 (sepertiga) bagian, setelah harta warisan dibagikan sebanyak 2/3 bagian kepada saudara perempuan sekandung yang berjumlah dua orang atau lebih, sebagaimana ajaran Patrilineal Syafi’i. 4. Apabila pewaris meninggalkan satu orang atau dua orang saudara lakilaki sekandung atau lebih (A dan B), dan seorang saudara perempuan seayah (C), maka seluruh harta warisan diberikan kepada saudara laki-laki kandung tersebut (Q.4:176c) sebagai ‘asabah binafsihi, dan mereka menghijab saudara perempuan seayah. Gambar :

C

A

B

Menurut Patrilineal Syafi’i: A + B = saudara-saudara laki-laki sekandung = seluruh harta, sebagai asabah binafsihi (Q.4:176 c); C = saudara perempuan seayah, mahjib oleh saudara laki-laki sekandung. Jika kasus kewarisan tersebut diselesaikan menurut Kompilasi Hukum Islam yang tampaknya lebih cenderung kepada ajaran Patrilineal Syafi’i, ternyata Pasal 182 KHI juga belum menentukan saudara laki-laki sekandung sebagai ‘asabah dapat menghijab saudara perempuan seayah, jika mereka mewaris bersama-sama. sebagaimana ajaran Patrilineal Syafi’i, saudara lakilaki sekandung berkedudukan seabagai ‘asabah yang menghijab saudara perempuan seayah. Berdasarkan garis-garis hukum yang dibuat penulis terhadap Pasal 182 KHI, ternyata belum ditemukan bahwa, “Kedudukan saudara laki-laki sekandung dapat menghijab saudara-saudara laki-laki seayah jika mereka menjadi ahli waris bersama-sama”. Bahkan, pada garis hukum huruf h yang dibuat penulis untuk memahami Pasal 182 KHI dapat ditemukan, “Bila satu orang saudara perempuan seayah tersebut bersama-sama dengan saudara-saudara laki-laki kandung, maka bagian saudara laki-laki adalah dua berbanding satu dengan saudara perempuan”. Setelah di analisis ternyata, garis hukum tersebut sesuai dengan Bilateral Hazairin. Oleh sebab itu, dalam menyelesaikan kasus kewarisan tersebut dalam gambar, maka, Kompilasi Hukum Islam memungkinkan bagi sistem hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i maupun Bilateral Hazairin untuk diterapkan, berdasarkan Pasal 182 jo. Pasal 229 KHI. Menurut ajaran Bilateral Hazairin, dua orang saudara laki-laki sekandung bersama-sama dengan seorang saudara perempuan seayah mendapat seluruh, harta warisan sebagai zul-qarabat berdasarkan Q.4:176e. Maka, A : B : C = 2 : 2 : 1. A = saudara laki-laki sekandung = 2/5 bagian; B = saudara laki-laki sekandung = 2/5 bagian, C = saudara perempuan seayah = 1/5 bagian. 5. Apabila pewaris meninggalkan satu orang atau dua orang saudara lakilaki sekandung (A dan B) atau lebih, bersama-sama dengan saudara laki-laki seayah (C) dan saudara perempuan (D) seayah, maka dua orang saudara lakilaki sekandung mendapat seluruh harta (Q.4:176c), sebagai asabah binafsihi, dan menghijab saudara-saudara laki-laki dan perempuan seayah.

Gambar :

D

C

A

B

Menurut Patrilineal Syafi’i: A + B = seluruh harta warisan sebagai asabah binafsihi (Q.4:176 c); C + D = saudara laki-laki seayah dan saudara perempuan seayah = mahjub oleh A dan B = 0. Jika kasus kewarisan tersebut diselesaikan menurut Kompilasi Hukum Islam yang tampaknya lebih cenderung kepada ajaran Patrilineal Syafi’i, ternyata Pasal 182 KHI juga belum menentukan saudara laki-laki sekandung sebagai ‘asabah dapat menghijab saudara laki-laki sekandung sebagai ‘asabah yang menghijab saudara laki-laki seayah dan/atau saudara perempuan seayah, jika mereka mewaris bersama-sama. Berdasarkan garis-garis hukum yang dibuat penulis terhadap Pasal 182 KHI, ternyata belum ditemukan bahwa, “Kedudukan saudara laki-laki sekandung dapat menghijab saudara-saudara laki-laki seayah jika mereka menjadi ahli waris bersama-sama”. Pada garis hukum huruf k yang dibuat penulis untuk memahami Pasal 182 KHI dapat ditemukan bahwa, “Bila satu orang saudara perempuan seayah tersebut bersama-sama dengan saudara-saudara laki-laki sekandung dan/atau saudara laki-laki seayah, maka bagian saudara laki-laki adalah dua berbanding satu dengan saudara perempuan. “Rumusan garis hukum tersebut sesuai dengan Bilateral Hazairin. Oleh sebab itu, dalam menyelesaikan kasus kewarisan tersebut dalam gambar, maka, Kompilasi Hukum Islam memungkinkan bagi sistem hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i maupun Bilateral Hazairin untuk diterapkan, berdasarkan Pasal 182 jo. Pasal 229 KHI. Menurut ajaran Bilateral Hazairin, dua orang saudara laki-laki sekandung bersama-sama dengan seorang saudara laki-laki seayah dan seorang saudara perempuan seayah mendapat seluruh harta warisan sebagai zul-qarabat berdasarkan Q.4:176 e. Maka, A : B : C : D = 2 : 2 : 2 : 1.

A = saudara laki-laki sekandung = 2/7 bagian; B = saudara laki-laki sekandung = 2/7 bagian; C = saudara laki-laki seayah = 27 bagian; D = saudara perempuan seayah = 1/7 bagian. 6. Apabila pewaris meninggalkan saudara laki-laki sekandung (A) dan saudara perempuan (B) sekandung, maka dua orang saudara sekandung tersebut mendapat seluruh harta sebagai asabah, dengan perbandingan saudara laki-laki berbanding saudara perempuan adalah dua berbanding satu (2:1) (Q.4:176e). Gambar :

A

B

Penyelesaian kasus kewarisan tersebut, baik menurut Patrilineal Syafi’i, Bilateral Hazairin, maupun Kompilasi Hukum Islam adalah sama, yaitu A dan B memperoleh seluruh harta warisan. A = saudara laki-laki kandung = 2/3 (Q.4:176 e; KHI: Pasal 182); B = saudara perempuan sekandung = 1/3 (Q.4:176 e; KHI: Pasal 182). a. Saudara Seayah Pembahasa khusus mengenai saudara seayah adlaah karena dalam hukum kewarisan Islam ajara Patrilineal Syafi’i dan Kompilasi Hukum Islam, kedudukan saudara seayah, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai kedudukan tersendiri, tidak sama dengan kedudukan saudara seibu, juga tidak sama dengan kedudukan saudara sekandung. Menurut ajaran Patrilineal Syafi’i, saudara seibu, baik laki-laki maupun perempuan, berkedudukan yang cenderung sama dengan ibu, yaitu mereka selalu menjadi zul-fara’id. Mereka juga memperoleh bagian harta warisan yang sama dengan ibu, yaitu tidak pernah kurang dari seperenam (1/6), kecuali ‘aul, dan tidak pernah lebih dari sepertiga, kecuali jika mereka mendapat bagian ditambah radd, jika mereka terdiri dari dua orang saudara seibu atau lebih. Saudara seayah pewaris, baik saudara laki-laki seayah maupun saudara perempuan seayah, menurut ajaran Patrilineal Syafi’i, kedudukan mereka sebagai ahli waris jika, (i) pewaris kalalah; (ii) tidak ada saudara perempuan sekandung yang menjadi ahli waris sebagai ma’al gairi; (iii) jenis kelamin

saudara kandung adalah perempuan; (iv) eksistensi saudara sekandung sebagai ahli awris terhalang sebagai ahli waris. 1. Apabila pewaris meninggalkan ahli waris seorang saudara perempuan saja (A), maka ia mendapat setengah (/2) harta warisan (Q.4:176 b) sebagai zul-fara’id, dan sisanya di-radd-kan kepada saudara perempuan seayah tersebut. Gambar :

A Penyelesaian: A = saudara perempuan seayah = 1/2, sebagai zul-fara’id (Q.4:176b); Sisa = 1 – 1/2 = 1/2 di-radd-kan kepada A. Jadi A = seluruh harta warisan.

Ditinjau dari sistem hukum kewarisan Islam ajaran Bilateral Hazairin dan Kompilasi Hukum Islam, perolehan harta warisan bagi saudara perempuan seayah tersebut adalah sama. 2. Apabila pewaris meninggalkan dua orang saudara perempuan seayah (A dan B), maka saudara-saudara perempuan seayah mendapat dua-per-tiga (2/3) (Q.4:176d) sebagai zul-fara’id, dan sisanya di-radd-kan kepada saudara perempuan seayah tersebut. Gambar :

A

B

Penyelesaian: A + B = saudara-saudara perempuan seayah = 2/3, sebagai zul-fara’id (Q.4:176b); Sisa = 1 – 2/3 = 1/3 di-radd-kan kepada A dan B.

Ditinjau dari sistem hukum kewarisan Islam ajaran Bilateral Hazairin dan Kompilasi Hukum Islam, perolehan harta warisan bagi saudara perempuan seayah tersebut adalah sama. 3. Apabila pewaris meninggalkan satu orang atau dua orang saudara lakilaki seayah (A dan B) atau lebih, maka saudara-saudara laki-laki seayah mendapat seluruh harta (Q.4:17 c) sebagai asabah binafsihi. Gambar :

A

B

Penyelesaian: A + B = saudara-saudara laki-laki seayah = seluruh harta, sebagai asabah binafsihi (Q.4:176c);

Ditinjau dari sistem hukum kewarisan Islam ajaran Bilateral Hazairin dan Kompilasi Hukum Islam, perolehan harta warisan bagi saudara perempuan seayah tersebut adalah sama. 4. Apabila pewaris meninggalkan saudara laki-laki seayah (A) dan saudara perempuan seayah (B), maka saudara-saudara seayah tersebut mendapat seluruh harta sebagai asabah, dengan perbandingan saudara laki-laki berbanding saudara perempuan adalah dua berbanding satu (2:1) (Q.4.176e) Gambar :

A

B

Penyelesaian: A + B = seluruh harga, sebagai asabah (Q.4:176e); A : B = 2 : 1; A = saudara laki-laki seayah = 2/3, sebagai asabah binafsihi (Q.4:176e) B = saudara perempuan seayah = 1/3, sebagai asabah bil-gairi (Q.4:176e)

Ditinjau dari sistem hukum kewarisan Islam ajaran Bilaeral Hazairin dan Kompilasi Hukum Islam, perolehan harta warisan bagi saudara perempuan seayah tersebut adalah sama. 5. Apabila pewaris meninggalkan ahli waris seorang saudara perempuan seayah saja (A) dan kemenakan laki-laki (B) melalui saudara laki-laki sekandung yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris, maka saudara perempuan seayah mendapat setengah (1/2) harta warisan (Q.4:176 b) sebagai zul-fara’id dan sisanya diberikan kepada kemenakan laki-laki (B). Gambar :

A B Penyelesaian menurut Patrilineal Syafi’i, seperti telah dikemukakan, bahwa A = saudara perempuan seayah pewaris mendapat harta warisan berdasarkan kedudukannya sebagai ahli waris zul fara’id dan B mendapat sisa 1/2. Menurut ajaran Bilateral Hazairin, B, kemenakan pewaris dapat tampil sebagai mawali ayahnya (saudara laki-laki sekandung pewaris). Jadi, pembagian harta warisan sebagai berikut, yaitu = A dan ayah B (saudara lakilaki sekandung dianggap masih hidup) = seluruh harta warisan, sebagai zul qurabat (Q.4:176 e); A : ayah B = 1 : 2; A = 1/3 Ayah B = 2/3, diberikan kepada B sebagai mawali (Q.4:11 a jo. Q.4 : 33 a) Kompilasi Hukum Islam belum mengatur secara tegas masalah kewarisan tersebut. meskipun demikian, dalam menyelesaikannya dapat menerapkan Pasal 182 dan Pasal 185 KHI, atau berdasarkan ajaran Patrilineal Syafi’i sebagai aliran yang diikuti KHI, meskipun tidak secara keseluruhan. Penyelesaiannya sebagaimana diuraiankan di atas, berdasarkan Pasal 182 jo. Pasal 229 KHI.

Cara penyelesaian lain pun dapat dilakukan, yaitu berdasarkan Pasal 182 jo. Pasal 185 KHI. Menurut Pasal 182, sebagaimana garis hukum yang ditemukan penulis, saudara perempuan seayah dapat tampil sebagai ahli waris bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung. Garis hukum huruf i dari Pasal 182, dirumuskan bahwa, “bila satu orang saudara perempuan seayah tersebut bersama-sama dengan saudara-saudara laki-laki kandung, maka bagian saudara laki-laki adalah dua berbanding satu dengan saudara perempuan.” Setelah dianalisis, ternyata garis hukum tersebut sesuai dengan hukum kewarisan Islam ajaran Bilateral Hazairin. Menurut ajaran Bilateral Hazairin, sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa saudara perempuan seayah dapat menjadi ahli waris bersama-sama dengan kemenakan pewaris, berdasarkan Q.4:176 e jo. Q.4:11 jo. Q.4 : 33a. Kompilasi Hukum Islam, juga merumuskan ahli waris pengganti dalam Pasal 185, bahwa; 1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173. 2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti. Menurut Bilateral Hazairin besar bagian yang diterima B, kemenakan pewaris melalui saudara laki-laki sekandung pewaris adalah lebih besar dari A, saudara perempuan seayah pewaris, yang kedudukannya sederajat dengan ahli waris yang digantikan, yaitu ayahnya B. A mendapat 1/3, sedangkan B mendapat 2/3. Oleh sebab itu, penyelesaian kasus kewarisan tersebut berbeda dengan ajaran Bilateral Hazairin tetapi cenderung sesuai dengan ajaran Patrilineal Syafi’i. b. ‘Asabah Maalgairi tidak berdasarkan Q.4:12 g, 12 h, dan Q.4:176 tetapi Hadis. Ahli waris ‘asabah ma’al-gairi terjadi, jika para ahli waris itu terdiri dari perempuan saja. Misalnya, anak perempuan bersama-sama dengan saudara perempuan sekandung atau saudara perempuan seayah pewaris; atau cucu

perempuan melalui anak laki-laki yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris menjadi ahli waris bersama-sama dengan saudara perempuan sekandung atau saudara perempuan seayah pewaris. Besar bagian yang diterima oleh ahli waris ‘asabah ma’al-gairi tidak berdasarkan surah an-Nisa ayat 12 maupun ayat 176, tetapi ia memperoleh sisa, berdasarkan hadis Mu’az bin Jabbal, diriwayatkan Abu Daud dan Bukhari, bahwa, “Sesungguhnya Mu’az bin Jabal bagikan pusaka bagi seorang saudara perempuan (sekandung) dan seorang anak perempuan. Ia beri tiap-tiap seorang dan mereka separoh, padahal ia di Yaman, sedang Nabi saw pada ketika itu masih hidup”. Ahli waris ‘asabah ma’al-gairi dikenal dalam hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i. Ajaran Bilateral Hazairin tidak mengenal ahli waris ‘asabah ma’al gairi, karena jika pewaris meninggalkan anak perempuan atau keturunan perempuan melalui anak laki-laki pewaris, maka saudara perempuan pewaris, baik sekandung atau seayah, atau seibu, tidak dapat tampil sebagai ahli waris. Hal itu disebabkan karena pewaris belum kalalah. Kompilasi Hukum Islam, menurut Pasal 181 jo. Pasal 182 jo. Pasal 185 KHI, saudara pewaris dapat tampil sebagai ahli waris jika pewaris tidak meninggalkan anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan, dan ayah. Contoh kasus kewarisan ahli waris ‘asabah ma’al gairi menurut ajaran hukum kewarisan Islam Patrilineal Syafi’i: 1. Apabila pewaris meninggalkan saudara perempuan sekandung (B) dan seorang perempuan (A). maka anak perempuan pewaris mendapat setengah (1/2) harta warisan (Q.4:11c), dan saudara perempuan kandung pewaris mendapat sisa, yaitu setengah (1/2) sebagai asabah ma’al gairi (hadis Ibnu Mas’ud). Gambar :

B

A

Menurut Bilateral Hazairin dan Kompilasi Hukum Islam, saudara perempuan sekandung tidak dapat tampil sebagai ahli waris, karena masih ada anak perempuan pewaris, A, sebagai zul-fara’id = 1/2 (Q.4:11 c; KHI : Pasal 176), sisanya = 1/2, di-radd-kan kepada A. Jadi A mendapat seluruh harta. 2. Apabila pewaris meninggalkan saudara perempuan kandung (C) dan dua anak perempuan kandung atau lebih (A dan B) maka dua orang anak perempuan pewaris mendapat dua per-tiga (2/3) harta warisan (Q.4:11b), dan saudara perempuan kandung pewaris mendapat sisa, yaitu sepertiga (1/3) sebagai asabah ma’al gairi (hadis Ibnu Mas’ud).

Gambar :

C

A

B

Penyelesaian menurut ajaran Bilateral Hazairin dan Kompilasi Hukum Islam adalah sama, yaitu saudara perempuan sekandung (C) tidak dapat tampil sebagai ahli waris, karena masih ada dua orang anak perempuan ( A dan B). A + B = 2/3, sebagai zul-fara’id (Q.4:11b; KHI: Pasal 176); Sisa = 1/3, di-radd-kan kepada A dan B (Pasal 193). A = 1/2; B = 1/2. 3. Apabila pewaris meninggalkan saudara perempuan sekandung (B) dan satu orang keturunan perempuan (A) melalui anak laki-laki yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris (cucu perempuan melalui anak laki-laki pewaris), maka cucu perempuan pewaris (A) mendapat setengah (1/2) harta warisan (Q.4:11c jo. hadis Zaid bin Sabit), dan saudara perempuan

sekandung pewaris (B) mendapat sisa, yaitu setengah (1/2) sebagai asabah ma’al-gairi (hadis Ibnu Mas’ud). Gambar :

B

A

4. Kedua Harta warisan yang diperoleh ayahnya A dan B, diberikan kepada A + B = cucu perempuan melalui anak laki-laki = 2/3 sebagai zulfara’id (Q.4: 11b; KHI : Pasal 176), sisanya = 1/3, di-radd-kan kepada A + B (Pasal 193). Jadi A = 1/2 bagian, B = 1/2 bagian. Gambar :

C

A

B

c. ‘Asabah maal-gairi dalam Kompilasi Hukum Islam Sebagaimana telah dikemukakan, Kompilasi Hukum Islam belum merumuskan secara tegas mengenai ‘asabah maal gairi. Menurut Kompilasi Hukum Islam, saudara perempuan sekandung atau saudara perempuan seayah pewaris tidak dapat tampil sebagai ahli waris, apabila pewaris meninggalkan anak perempuan atau anak laki-laki beserta keturunannya serta ayah masih hidup.

Jadi, menurut Kompilasi Hukum Islam, misalnya dalam contoh-contoh kasus ‘asabah maal-gairi di atas, saudara perempuan sekandung pewaris tidak dapat tampil sebagai ahli waris, karena pewaris tidak kalalah. Dalam contohcontoh kasus kewarisan tersebut, pewaris meninggalkan anak perempuan dan/atau keturunan perempuan melalui anak laki-laki pewaris yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris. Anak-anak perempuan dan cucu-cucu perempuan melalui anak laki-laki yang telah meninggal dunia menurut Pasal 176 jo. Pasal 181, Pasal 182 jo. Pasal 185 KHI, dapat menutup saudara perempuan sekandung atau saudara perempuan seayah, sehingga ia tidak dapat tampil sebagai ahli waris.

3. Penerapan Q.4:12 g, 12 h, dan Q.4:176 dalam Kompilasi Hukum Islam Sebagaimana telah dikemukakan, Pasal 181 Kompilasi Hukum Islam merupakan rumusan yang bersumber pada surah an-Nisa ayat 12 (Q.4:12g; Q.4:12b) yang ditafsirkan dalam hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i, yaitu hanya untuk saudara seibu. Pasal 182 Kompilasi Hukum Islam juga merupakan rumusan ulang dari pendapat Patrilineal Syafi’i atas penerapan an-Nisa ayat 176, tetapi tidak mutlak seluruhnya sesuai dengan ajaran tersebut. Karena, setelah penulis membuat garisgaris hukum berdasarkan Pasal 182, ditemukanlah beberapa garis hukum yang sesuai dengan hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i dan ajaran Bilateral Hazairin, ada pula yang hanya sesuai dengan hukum kewarisan Islam ajaran Bilateral Hazairin saja. Sedangkan ahli waris asabah ma’al gairi tidak diatur dalam Kompilasi Hukum Islam.

BAGIAN WARISAN UNTUK KAKEK A. Menurut Hukum Kewarisan Islam Ajaran Bilateral Hazairin: Ketentuan besar bagian bagi kakek tidak ditentukan secara qai’i dalam alQur’an. Menurut hukum kewarisan Islam bilateral Hazairin, kakek (sebagai mawali untuk mak atau mawali untuk ayah) termasuk dalam kelompok keutamaan keempat, bersama-sama dengan janda atau duda (Q.4:12a, Q.4:12d), berdasarkan

surah an-Nisa ayat 11e (Q.4:11e). Dengan demikian, menurut penulis besar bagian kakek, memuat ajaran Bilateral Hazairin ini, tergantung dari garis yang menghubungkan kakek dengan pewaris dalam garis lurus ke atas, apakah kakek dari ayah atau kakek dari ibu (mak). Apabila ada seorang meninggal dunia meninggalkan kakek dari ayah dan kakek dari ibu, maka besar bagian kakek dari ibu adalah sebesar yang diterima ibu seandainya ibu masih hidup, yaitu sepertiga (1/3) berdasarkan Q.4:11e sebagai zul-fara’id, yang diberikan kepada kakek melalui ibu sebagai mawali dari ibu. Kakek dari ayah menerima bagian harta warisan sebesar bagian ayah seandainya ayah masih hidup, yaitu mendapat sisa, yaitu sebesar dua per-tiga (2/3) harta warisan (Q.4:11e) sebagai zul-qarabat, yang kemudian diberikan kepada kakek melalui ayah sebagai mawali dari ayah. Dan begitu seterusnya dalam garis lurus ke atas: Gambar : B A

Menurut Bilateral Hazairin: A = kakek melalui ibu = mawali ibu = bagian ibu = 1/3, sebagai zul-fara’id (Q.4:11e); B = kakek melalui ayah = mawali ayah = bagian ayah = sisa, sebagai zul-qarabat = 1 – 1/3 = 2/3 (Q.4:11e) Menurut Patrilineal Syafi’i: A = kakek gairu sahih = zul-arham, tidak dapat menjadi ahli waris karena masih ada kakek sahih sebagai ‘asabah; B = kakek sahih = ‘asabah = mendapat seluruh harta Menurut Kompilasi Hukum Islam Kompilasi Hukum Islam belum mengatur besar bagian harta warisan bagi kakek. Berdasarkan Pasal 229 KHI, para Hakim dapat menerapkan hukum kewarisan

Islam ajaran Bilateral Hazairin atau hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’I dalam menyelesaikan masalah kakek, apabila terdapat perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama. Demikian pula masyarakat, para tokoh agama Islam, atau para ahli hukum Islam dapat menerapkan kedua sistem hukum kewarisan Islam itu, apabila terdapat anggota masyarakat yang memerlukan bantuan dalam menyelesaikan masalah kewarisan. Kedua sistem itu dikemukakan kepada para pihak yang bermasalah, kemudian baru dianjurkan untuk memilih, hukum kewarisan Islam yang mana yang disepakati oleh para ahli waris. Kesepakatan antara para ahli waris berdasarkan asas musyawarah adalah sesuai dengan Pasal 183 KHI, karena kedua-dua sistem hukum kewarisan Islam tersebut tidak bertentangan dengan syari’ah Islam, terutama surah an-Nisa ayat 59.

Pasal 183 KHI menentukan bahwa, “Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya.” B. Menurut Hukum Kewarisan Islam Ajaran Patrilineal Syafi’i: Menurut hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i, pengertian kakek ada dua macam, yaitu kakek sahih dan kakek gairu sahih. Kakek sahih atau kakek sejati, yaitu kakek yang hubungannya dengan cucu (pewaris) tidak melalui garis perempuan, tetapi dari ayahnya ayah, dan seterusnya ke atas melalui garis laki-laki. Kakek sahih termasuk golongan ahli waris karena hubungan darah. Kakek gairu sahih atau kakek tidak sejati adalah kakek yang hubungannya dengan cucu (pewaris) melalui garis perempuan, yaitu, ayahnya ibu, ayahnya nenek, baik nenek melalui ayah maupun nenek melalui ibu, dan seterusnya ke atas melalui garis perempuan. Kakek gairu sahih, menurut ajaran kewarisan Patrilineal Syafi’i, termasuk zul-arham, yang dapat tampil sebagai ahli waris apabila pewaris tidak meninggalkan ahli waris zul-fara’id karena hubungan darah dan ahli waris ‘asabah. Gambar: Kakek Sahih, Kakek Gairu Sahih, Nenek Sahihah, Nenek Gairu Sahihah

Keterangan: Kakek Sahih: A, B, C; Kakek Gairu Sahih: D, E, F, G, H, I, J, K, L, M, N; Nenek Sahihah: O, P, Q, R, S, T, Y, AA, BB Nenek Gairu Sahihah: U, V, W, X, Z; Jika kakek (C) menjadi ahli waris bersama-sama dengan anak laki-laki (A) atau cucu laki-laki melalui anak laki-laki pewaris (B) dan ayah pewaris telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris, maka kakek pewaris, C (kakek sahih) mendapat seperenam (1/6) harta warisan.

Apabila seorang meninggal dunia meninggalkan anak perempuan (A), atau cucu perempuan melalui anak laki-laki pewaris (B), dan tidak ada anak laki-laki maupun cucu laki-laki melalui anak laki-laki pewaris, juga ayah pewaris telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris, tetapi ahli-ahli waris lain masih ada, yaitu ibu pewaris (C), suami atau isteri pewaris (D), maka kakek sahih (E) mendapat seperenam (1/6) harta warisan.

Apabila sesudah dibagikan kepada para ahli waris zul-fara’id tersebut ternyata masih ada sisa bagi, maka sisa bagi tersebut diberikan kepada kakek sahih sebagai ‘asabah binafsihi. Dasar hukum dari ketentuan tersebut adalah Q.4:1 jo. Q. 4:11d jo. hadis Ibnu ‘Abbas tentang liaula rajulin zakarin. Apabila pewaris tidak meninggalkan anak, tidak meninggalkan cucu melalui anak laki-laki dan ayah telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris, tetapi pewaris meninggalkan para ahli waris lain, seperti ibu pewaris (A), suami atau isteri pewaris (B), maka setelah dibagikan kepada ibu dan suami atau isteri pewaris, sisa bagi diberikan kepada kakek sahih (C) sebagai asabah binafsihi. Dasar hukumnya, menurut Patrilineal Syafi’i adalah Q.4:11c jo. hadis Ibnu ‘Abbas tentang liaula rajulin zakarin. Gambar : C

A

B Penyelesaian menurut Patrilineal Syafi’i: Jika suami sebagai pewaris: A = ibu = 1/3, sebagai zul-fara’id (Q.4: 11 e); D = suami 1/2 , sebagai zul-fara’id (Q.4: 12 a);

C = kakek sahih = sisa = 1/6. Jika isteri sebagai pewaris: A = ibu = 1/3, sebagai zul-fara’id (Q.4:11 e) D = isteri = 1/4, sebagai zul-fara’id (Q.4:12 d); C = kakek sahih = sisa = 1 – (1/3 + 1/4) = 1 – (4/12 + 3/12) = 5/12 Menurut Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas’ud dan Zaid bin Sabit kakek sahih dapat menghijab saudara-saudara seibu dari pewaris, sebagaimana ayah, karena kakek sahih berkedudukan sebagai ayah. Tetapi kakek sahih tidak dapat menghijab saudara kandung atau saudara seayah pewaris, karena kedudukan kakek sahih dianggap setara dengan saudara sekandung atau seayah.

Gambar : C A

B Penyelesaian A = ibu = 1/3, sebagai zul-fara’id (Q.4: 11 e); B = saudara perempuan/laki-laki seibu = mahjub oleh kakek sahih (C); C = kakek sahih = sisa = 2/3. Karena itu, apabila kakek sahih menjadi ahli waris bersama saudarasaudara kandung atau seayah pewaris, pembagian harta warisan dilakukan secara muqasamah (merata), seolah-olah kakek sahih itu saudara pewaris. Zaid bin Sabit berpendapat: (1) Apabila kakek sahih menjadi ahli waris bersama saudara –saudara pewaris tetapi tidak bersama dengan ahli waris zul fara’id, maka jika kakek sahih akan memperoleh lebih banyak bila dilakukan muqasamah (bagi rata), atau

lebih besar dari sepertiga (1/3) dari seluruh harta warisan, maka pembagian warisan hendaknya berdasarkan muqasamah. Gambar : C

A

B

Penyelesaian dengan cara muqasamah: A + B (saudara laki-laki sekandung) + C (kakek sahih, seolah-olah kakek adalah saudara) = seluruh harta; A : B : C = 1 : 1 : 1 ; A = saudara laki-laki sekandung = 1/3 (Q.4 : 176 c) B = saudara laki-laki sekandung = 1/3 (Q.4 : 176 c) C = kakek sahih = 1/3 (hadis Zaid bin Sabit) (2) Apabila kakek sahih menjadi ahli waris bersama saudara-saudara kandung atau seayah pewaris dan ahli waris zul-fara’id, maka bagian harta warisan untuk kakek ada dua kemungkinan; Pertama, kakek sahih mendapat seperenam (1/6) secara fard dan saudara-saudara pewaris tidak mendapat bagian harta warisan sama sekali, apabila para ahli waris zul-fara’id lain telah menghabiskan seluruh harta warisan, atau masih ada sisa bagi sebesar seperenam (1/6), atau lebih kecil lagi. Gambar : C A

B

D

Penyelesaian: A = ibu = 1/6, sebagai zul-fara’id (Q.4: 11e); B + D = saudara perempuan sekandung = 2/3, sebagai zul-fara’id (Q.4 : 174 d); C = kakek sahih = 1/6 (hadis Rasulullah) Kedua, kakek sahih mendapat lebih besar jika dilakukan muqasamah (dibagi secara merata), atau sepertiga (1/3) sisa, atau seperenam (1/6) dari seluruh harta , jika setelah harta warisan dibagikan terdapat sisa bagi lebih besar dari seperenam (1/6) harta warisan.

Gambar : C A

B Penyelesaian: A = ibu = 1/3, sebagai zul-fara’id (Q.4: 11e); B = (saudara laki-laki sekandung) + C (kakek sahih) = sisa = 2/3, dibagi secara muqasamah; B = saudara laki-laki sekandung = 1/2 x 2/3 = 1/3; C = kakek sahih = 1/2 x 2/3 = 1/3 Kakek Gairu Sahih, menurut hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i, termasuk zawil-arham, yang baru dapat menjadi ahli waris, apabila pewaris tidak meninggalkan ahli waris zawil-furud karena nasabiyah (hubungan darah) dan ahli waris ‘asabah.

C. Menurut Kompilasi Hukum Islam; Kompilasi Hukum Islam tidak menentukan besar bagian harta warisan bagi kakek secara eksplisit. Kedudukan kakek sebagai ahli waris dapat ditafsirkan secara a contrario dari Pasal 185 KHI yang menentukan ahli waris pengganti. Apakah cucu dapat berkedudukan sebagai ahli waris pengganti dari anaknya kakek yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris (yaitu, kakek), maka, kedudukan kakek pun dapat menempati kedudukan anaknya yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari kakek dan cucu kakek bersangkutan yang berkedudukan sebagai pewaris bagi kakek. Besar bagian harta warisan yang dapat diterima kakek adalah tidak sama dengan besar bagian harta warisan yang diterima ahli waris pengganti sebagaimana ditentukan dalam Pasal 185 KHI, jika kedudukan kakek itu ditinjau dari ajaran Patrilineal Syafi’i. Menurut ajaran Patrilineal Syafi’i, kakek sahih mendapat 1/6 jika ia menjadi ahli waris bersama anak-anak pewaris, baik anak laki-laki maupun anak perempuan, atau cucu laki-laki melalui anak laki-laki pewaris, berdasarkan Q.4:11 d jo. Hadis Ma’qil bin Yasar Al-Muzanni yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud, bahwa “Rasulullah saw telah hukumkan datuk dapat seperenam.” Selain kakek dapat berkedudukan sebagai ahli waris zul-fara’id, kakek juga dapat berkedudukan sebagai ‘asabah, jika ia menjadi ahli waris bersamasama dengan ahli waris zul-fara’id. Misalnya, kakek menjadi ahli waris bersamasama dengan isteri. Isteri = 1/4, kakek = sisa = 3/4, selain itu dapat ditafsirkan melalui Pasal 185, Kompilasi Hukum Islam dapat berdasarkan Pasal 229 Kompilasi Hukum Islam yang menentukan. “Hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara yang diajukan kepadanya wajib memperhatikan dengan sesungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga putusannya sesuai dengan rasa keadilan.” Penerapan Pasal 229 Kompilasi Hukum Islam merupakan lahan ijtihad bagi para Hakim, apakah para Hakim di Pengadilan Agama akan menggunakan ajaran kewarisan Bilateral Hazairin atau ajaran kewarisan Patrilineal Syafi’i. Penerapan kedua ajaran atau aliran tersebut, tentunya tidak lepas dari faktor nilainilai hukum dan nilai-nilai rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat yang

ditentukan dalam Pasal 229 KHI yang harus dihubungkan dengan Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Hukum kewarisan Islam yang memenuhi nilai-nilai hukum dan nilai-nilai rasa keadilan bagi orang-orang yang beragama Islam di Indonesia adalah hukum kewarisan Islam, baik berdasarkan ajaran hukum kewarisan Islam Bilateral Hazairin maupun ajaran hukum kewarisan Islam Patrilineal Syafi’i, karena keduanya tidak bertentangan dengan syari’ah Islam sebagaimana ditentukan dalam surah an-Nisa ayat 59, meskipun ajaran hukum kewarisan Islam Bilateral Hazairin, masih diperdebatkan.

BAGIAN WARISAN UNTUK NENEK A. Menurut Hukum Kewarisan Islam Ajaran Bilateral Hazairin Nenek, menurut hukum kewarisan Islam ajaran Bilateral Hazairin, adalah ibunya ibu, ibunya dari ibunya ibu, ibunya dan ayahnya ibu, dan seterusnya ke atas. Selain itu, nenek juga ibunya ayah, ibunya dari ibunya ayah, ibunya dari ayahnya ayah, dan seterusnya ke atas. Menurut Hazairin, nenek menjadi ahli waris bersama para ahli waris lain yang termasuk dalam kelompok keutamaan keempat yaitu, (a) janda atau duda sebagai zawul-furud berdasarkan surah an-Nisa ayat 12; (b) mawali untuk mak berdasarkan surah an-Nisa ayat 11e; (c) mawali untuk ayah berdasarkan surah anNisa ayat 11e. Mawali untuk mak dan mawali untuk ayah adalah termasuk nenek dari pihak ibu maupun nenek dari pihak ayah secara bersama-sama dapat tampil sebagai ahli waris. Besar Bagian Harta Warisan bagi Nenek menurut Hazairin Besar bagian untuk nenek sebagai mawali dari ibu, menurut Hazairin, adalah sepertiga (1/3) harta warisan, yaitu sebanyak yang diterima ibu berdasarkan Q.4:11e. Kasus pertama, apabila pewaris meninggalkan ahli waris nenek mawali ibu, A, kakek mawali ibu, B, nenek mawali ayah, C, kakek mawali ayah, D, dan suami E.

Gambar :

D

C

B

A

E Penyelesaiannya: E = suami = 1/2 = 9/18, zul-fara’id (Q.4:12a); Ibu = seandainya ia masih hidup = 1/3 sebagai zul-faraid (Q.4:11e). Bagian harta warisan yang diperoleh ibu, karena ia telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris, maka diberikan kepada nenek (A) = nenek mawali ibu = 1/3 x 1/3 = 1/9 sebagai zul-faraid (Q.4:11e). B = kakek mawali ibu = sisa = 2/3 x 1/3 = 2/9 sebagai zul qarabat (Q.4:11e) Ayah = seandainya ia masih hidup = sisa = 1 – (1/2 + 1/3) = 1 – (3/6 + 2/6) = 6/6 – 5/6 = 1/6 sebagai zul-qarabat (Q.4:11e). Bagian harta warisan yang diperoleh ayah, karena ia telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris, maka diberikan kepada nenek (C) dan kakek pewaris (D) sebagai mawali ayah. C = nenek mawali ayah = 1/3 x 1/6 = 1/18, sebagai zul-faraid (Q.4:11e) D = kakek mawali ayah = sisa = 2/3 x 1/6 = 2/18 sebagai zul-qarabat (Q.4:11e). Kasus kedua, pewaris meninggalkan ahli waris nenek mawali ibu, A, kakek mawali ibu, B, nenek mawali ayah, C, kakek mawali ayah, D, dan isteri, E. Gambar :

D

C

B

A

E Penyelesaian : E = isteri = 1/4 = 3/12, zul-fara’id (Q.4:12d); Ibu = seandainya ia masih hidup = 1/3 sebagai zul-faraid (Q.4:11e).

Bagian harta warisan yang diperoleh ibu, karena ia telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris, maka diberikan kepada nenek (A) dan kakek (B) pewaris sebagai mawali ibu. A = nenek mawali ibu = 1/3 x 1/3 = 1/9 sebagai zul-fara’id (Q.4:11e); B = kakek mawali ibu = sisa = 2/3 x 1/3 = 2/9 sebagai zul qarabat (Q.4:11e) Ayah = seandainya ia masih hidup = sisa = 1 – (1/4 + 1/3) = 1 – (3/12 + 4/12) = 12/12 – 7/12 = 5/12 sebagai zul-qarabat (Q.4:11e). Bagian harta warisan yang diperoleh ayah, karena ia telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris, maka diberikan kepada nenek (C) dan kakek pewaris (D) sebagai mawali ayah. C = nenek mawali ayah = 1/3 x 5/12 = 5/36, sebagai zul-fara’id (Q.4:11e); D = kakek mawali ayah = sisa = 2/3 x 5/12 = 10/36 sebagai zul-qarabat (Q.4:11e) Kasus ketiga, pewaris meninggalkan ahli waris ibu, A, nenek mawali ayah, dan kakek mawali ayah. Gambar : B

C D

A

Penyelesaiannya: A = ibu = 1/3, zul-fara’id (Q.4:11e); ibu sebagai kategori utama kelompok keutamaan ketiga, karena pewaris tidak meninggalkan anak dan saudara; Sisa = 1 – 1/3 = 2/3 B = (nenek mawali ayah) + C (kakek mawali ayah) termasuk kelompok keutamaan keempat, karena itu, mereka tidak dapat tampil sebagai ahli waris, karena ada ibu pewaris yang menjadi kategori utama kelompok keutamaan ketiga; maka, sisa bagi sebesar 2/3 diberikan kepada ibu seluruhnya secara radd. Kasus keempat, pewaris meninggalkan ahli waris nenek mawali ibu, A, yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris, tetapi meninggalkan seorang anak perempuan, H; kemudian cucu perempuan, J, dari anak laki-laki (F) yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari A; cucu laki-laki, K, dari anak perempuan (G) yang telah memanggil dunia terlebih dahulu dari A; kakek mawali ibu, B; nenek mawali ayah, C; kakek mawali ayah, D, yang telah meninggalkan

dunia terlebih dahulu dari pewaris, tetapi meninggalkan cicit perempuan (N) dari cucu perempuan (M) melalui anak laki-laki (I) yang kedua-duanya telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris.

Gambar : D

C

B

A

F

I

G

H

M J

K

L

N Penyelesaiannya Harta warisan dibagikan terlebih dahulu kepada ibu, seolah-olah ia masih hidup: Ibu = 1/3, sebagai zul-fara’id (Q.4:11e); A = (nenek mawali ibu) + B (kakek mawali ibu) = bagian ibu = 1/3, A = 1/3 x 1/3 = 1/9; Sisa = 1/3 – 1/9 = 3/9 – 1/9 = 2/9, diberikan kepada kakek B; B = 2/3 x 1/3 = 2/9; Oleh karena nenek mawali ibu juga telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris, maka bagian nenek tersebut diberikan kepada para mawali-nya: A = 1/3 x 1/3 = 1/9 diberikan kepada F, G, dan H sebagai zul-qarabat A (Q.4:11a), dengan perbandingan F:G:H = 2:1:1; F = anak laki-laki nenek = 2/4 x 1/9 = 2/36 = 1/18 diberikan lagi kepada J sebagai mawal F, dengan cara : J = 1/2 x 1/18 = 1/36; sisa = 1/36 di-radd-kan kepada J = 1/36 + 1/36 = 2/36; G = anak perempuan nenek = 1/4 x 1/9 = 1/36 diberikan lagi kepada K, anak lakilaki G, sebagai zul-qarabat dan mawali G; H = anak perempuan nenek = 1/4 x 1/9 = 1/36, mawali dari nenek A.

Sisa harta warisan yang telah dibagikan kepada ibu dan dibagikan kembali kepada para mawali ibu = 2/3, diberikan kepada ayah pewaris, seolah-olah ayah pewaris masih hidup. Ayah = 2/3, sebagai zul-qarabat (Q.4:11e) diberikan kepada nenek (C) dan kakek (D) melalui ayah. C (nenek mawali ayah) + D (kakek mawali ayah) = sisa = 2/3 = 6/9, zul-qarabat (Q.4:11e) C = 1/3 x 2/3 = 2/9 (Q.4:11e) D = sisa = 2/3 – 2/9 = 6/9 – 2/9 = 4/9, zul qarabat (Q.4:11e) diberikan seluruhnya kepada I (anak laki-laki D) sebagai mawali D, diberikan lagi kepada M (anak perempuan I) sebagai mawali I, dengan cara : M = 1/2 x 4//9 = 2/9; Sisa = 2/9 diradd-kan kepada M = 2/9 + 2/9 = 4/9, diberikan kepada N sebagai mawali M, dengan cara: N = 1/2 x 4/ /9 = 2/9; Sisa = 2/9 di-radd-kan kepada N = 2/9 + 2/9 = 4/9. B. Menurut Hukum Kewarisan Islam Ajaran Patrilineal Syafi’i Nenek, menurut hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i, adalah terdiri dari nenek sahihah (nenek sejati), dan nenek gairu sahihah (nenek tidak sejati). Nenek sahihah atau nenek sejati adalah nenek yang ditarik dari garis keturunan ke atas dari orang yang meninggal dunia tanpa masukkan kakek gairu sahih, yaitu tanpa diselingi kakek gairu sahih sama sekali. Di antaranya, (1) ibunya Ibu, (2) ibunya ayah, (3) ibu dari ibunya ibu (ummu-ummil-ummu), dan (4) ibu dan ibunya ayah (ummu-ummi-ab), atau (5) ibu dari ayahnya ayah (ummi-abilab), yaitu nenek melalui garis lurus ke atas melalui ayah yang diselingi kakek sahih. Nenek Gairu Sahihah Nenek gairu sahihah atau nenek tidak setuju, oleh sebagian para ahli hukum kewarisan Islam disebut juga sebagai nenek fasidah, yaitu ibu (perempuan dalam garis lurus ke atas) yang dihubungkan garis keturunannya dengan orang yang meninggal dunia (pewaris) dengan memasukkan kakek gairu sahih, misalnya, ibu dari ayahnya ibu (umm abil-umm), atau ibu dari ibunya dari ayahnya ibu pewaris (ummi-ummi-abil-ummi), atau perempuan dalam garis lurus keatas yang dihubungkan garis keturunan kepada orang yang meninggal dunia

(pewaris) itu bukan melalui ‘asabah atau zarul furud. Lihat gambar pada pembahasan tentang kakek. Nenek gairu sahihah termasuk ahli waris zawil-arham, yaitu ahli waris yang baru dapat menerima harta warisan apabila para ahli waris yang berkedudukan sebagai ‘asabah maupun zawil-furud karena hubungan darah (nasabiyah) sudah tidak ada semuanya, kecuali ahli waris zawil-furud karena hubungan semenda atau perkawinan (sababriyah) yang tidak berhak menerima radd, yaitu suami (duda) atau isteri (janda) pewaris, meskipun tentang radd bagi suami atau isteri masih terdapat perbedaan pendapat di antara para fuqaha seperti telah dikemukakan pada sebelumnya. C. Menurut Kompilasi Hukum Islam Kompilasi Hukum Islam belum mengatur secara tegas mengenai kedudukan sebagai ahli waris dan besar bagian harta warisan bagi nenek pewaris. Tetapi sebagaimana telah dikemukakan dalam Bab tentang Kakek, Kompilasi Hukum Islam memberikan peluang dalam menyelesaikan masalah kewarisan bagi nenek berdasarkan Pasal 229 Kompilasi Hukum Islam. Namun perlu segera dikemukakan pula bahwa kedudukan nenek sebagai pewaris bagi cucu-cucunya telah diatur dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam. Dalam menyelesaikan masalah kewarisan yang berkaitan dengan nenek sebagai ahli waris, para penegak hukum, masyarakat, ataupun instansi-instansi terkait dapat menyelesaikan masalah kewarisan tersebut berdasarkan ajaran hukum kewarisan Patrilineal Syafi’i.

BAGIAN WARISAN UNTUK ZUL ARHAM A. Pengertian Zul-Arham Istilah zul-arham digunakan dalam hukum kewarisan Islam ajarah Patrilineal Syafi’i. Dalam hukum kewarisan Islam ajaran Bilateral Hazairin tidak menggunakan istilah zul-arham. Kompilasi Hukum Islam juga tidak menyebut istilah zul-arham, tetapi sebutan bagi keturunan dari ahli waris yang berjenis kelamin perempuan, baik keturunan anak perempuan pewaris atau keturunan saudara perempuan pewaris, dalam Pasal 185 disebut ahli waris pengganti. Nenek gairu sahihah sebagai ahli waris zul-arham dalam sistem hukum kewarisan Patrilineal Syafi’i, juga tidak

disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam sebagai zul-arham atau sebagai “ahli waris pengganti”. Bahkan, Kompilasi Hukum Islam, seperti telah dikemukakan, tidak menentukan secara tegas kedudukan nenek dan kakek sebagai ahli waris secara tegas dalam pasal-pasalnya, tetapi hanya dapat ditafsirkan dari Pasal 185 KHI, yang menentukan kedudukan ahli waris pengganti; B. Alasan Diberikannya Warisan kepada Zul-Arham 1. Surah al-Anfal ayat 75 Para fuqaha memberikan harta warisan kepada ahli waris zul-arham didasarkan kepada kalimat ‘wa ulu-l-arhaami ba’duhum aulaa biba’din fii kitaabillah (Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya [daripada yang bukan kerabat], 2. Hadis Rasulullah saw tentang Khal (Saudara Laki-laki dari Ibu Pewaris) Alasan berikutnya yang menentukan zawil arham sebagai ahli waris adalah berdasarkan hadis riwayat Tarmizi dari Ahmad yang meriwayatkan tentang Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah yang pernah mengirim surat kepada Umat bin Khattab r.a. untuk menanyakan tentang Sahal bin Hanif yang mati terbunuh dan tidak meninggalkan ahli waris, kecuali seorang khal (saudara laki-laki ibu)-nya. Umar menjawab pertanyaan tersebut sebagai berikut, “Sesunggunya saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: Khal (saudara laki-laki dari ibu pewaris, penulis) itu adalah pewaris orang yang tidak mempunyai ahli waris. Gambar :

A = Khal=zul-arham

Gambar : D

A

C

E

B Penyelesaian: Menurut Patrilineal Syafi’i: A = anak perempuan = 1/2, sebagai zul-fara’id (Q.4:11c); B = cucu perempuan melalui anak lelaki = 1/6, sebagai takmilah (hadis Ibnu Mas’ud) C = nenek sahih = 1/6, sebagai zul-fara’id (hadis Abu Bakar); D = nenek gairi sahihah = 0, zul-arham terhijab oleh para ahli waris zul-fara’id karena hubungan darah. Sisa = 1 – (1/2 + 1/6 + 1/6) = 6/6 – (3/6 + 1/6 + 1/6) = 1/6 di-radd-kan kepada A, B, dan C. A = 3/6 menjadi 3/5; B = 1/6 menjadi 1/5; C = 1/6 menjadi 1/5; Menurut Bilateral Hazairin: A dan B termasuk kelompok keutamaan pertama: C dan D (para nenek pewaris) termasuk kelompok keutamaan keempat, maka C dan D tidak dapat tampil sebagai ahli waris karena masih ada A dan B dari

kelompok keutamaan pertama A dan E (yang dianggap masih hidup) = seluruh harta warisan, sebagai zul-qarabat (Q.4:11a); A : E = 1/2; A = 1/3; E = mendiang anak lelaki = 2/3, diberikan kepada B sebagai mawali (Q.4:33a) B = cucu perempuan = 1/2 x 2/3 = 2/6 = 1/3; Sisa = 2/3 – 1/3 = 1/3 di-radd-kan kepada B B = 1/3 + 1/3 = 2/3 Menurut Kompilasi Hukum Islam: Pasal 185 KHI menentukan ahli waris pengganti bagi ahli waris yang meninggal terlbih dahulu dari pewaris, yaitu keturunan ahli waris yang meninggal itu. Jika ayah dari ahli waris yang meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris itu (kakek dari ahli waris pengganti), atau ibu dari ahli waris yang meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris itu (nenek dari ahli waris pengganti) dapat membagikan harta warisannya kepada ahli waris pengganti, maka tentunya ahli waris pengganti bersangkutan juga dapat membagikan harta warisannya kepada kakeknya atau kepada neneknya tersebut. Besar bagian yang dapat diterima kakek atau nenek bersangkutan dapat berdasarkan sistem hukum kewarisan Bilateral Hazairin, yaitu sebesar bagian ibu atau ayah pewaris yang menjadi penghubung kepada kakek dan/atau nenek bersangkutan, dapat pula berdasarkan hadis yang disampaikan Abu Bakar, bahwa besar bagian harta warisan yang dapat diterima oleh nenek adalah sebanyak 1/6 (seperenam) berapapun jumlah nenek (sahihah) yang tampil sebagai ahli waris. A = anak perempuan 1/2, sebagai zul-fara’id (Q.4:11c jo. Pasal 176); B = cucu perempuan melalui anak lelaki = 1/6, sebagai takimilah (Pasal 176 jo. Pasal 185 jo. hadis Ibnu Mas’ud); Ibu = seandainya masih hidup = 1/6 (Pasal 178), diberikan kepada ibunya ibu dan ayahnya ibu; Ibunya ibu (nenek pewaris melalui ibu) = 1/3 x 1/6 = 1/18, diberikan kepada nenek C (neneknya ibu pewaris melalui ibunya ibu pewaris). Ayah ibu (kakek pewaris melalui ibu) = sisa = 1/6 – 1/18 = 1/18 = 1/18 = 2/18, diberikan kepada nenek D (neneknya ibu pewaris melalui ayahnya ibu pewaris). Sisa = 1 – (A + B + C + D) = 1 – (1/2 + 1/6 + 1/18 + 2/18) = 18/18 – (9/18 + 3/18 + 1/18 + 2/18) = 18/18 – 15/18 = 3/18 di-radd-kan kepda A, B, C dan D (Pasal 193 KHI).

A = 9/8 menjadi 9/15 B = 3/18 menjadi 3/15 C = 1/18 menjadi 1/15 D = 2/18 menjadi 2/15 Cara lain yang dapat ditempuh adalah dengan cara memberikan wasiat atau wasiat wajibah dari pewaris kepada nenek D. D. Syarat-syarat Hak waris Zul-Arham 1. Pewaris sudah tidak meninggalkan ahli waris zawul-furud karena hubungan darah (nasabiyah) dan ahli waris ‘asabah. Menurut hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i, apabila pewaris meninggalkan ahli waris zul-fara’id, misalnya satu orang anak perempuan, di samping itu ia juga meninggalkan seorang cucu laki-laki dan seorang cucu perempuan (keturunan) dari anak perempuan yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris, oleh karena cucu-cucu tersebut keturunan pewaris melalui anak perempuan yang telah meninggal dunia, mereka adalah termasuk golongan zawul-arham. Oleh karena itu, cucu-cucu pewaris tersebut tidak dapat tampil sebagai ahli waris, mereka mahjub, karena masih ada anak perempuan pewaris yang berkedudukan sebagai zul-fara’id. Gambar :

A

B

C

B + C = zul-arham, mahjub oleh A 2. Golongan ahli waris zawul arham dapat tampil sebagai ahli waris bersama dengan ahli waris zawul-furud karena hubungan perkawinan, yang bersama-sama dengan suami (duda) atau isteri (janda) pewaris.

a. Contoh kasus kewarisan-kewarisan zul-arham dengan suami: Gambar : A D

B

C

Penyelesaian menurut Patrilineal Syafi’i: A = suami pewaris = 1/2, sebagai zul-fara’id (Q.4:12 a); Sisa = 1/2 B + C = cucu perempuan dan cucu laki-laki melalui anak perempuan yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris = zawil-arham = sisa, yang dibagikan kepada B dan C dengan perbandingan dua berbanding satu, B : C = 2:1 (Q.4:11 a); B = cucu laki-laki melalui anak perempuan = 2/3 x 1/2 = 2/6, sebagai zul-arham; C = cucu perempuan melalui anak perempuan = 1/3 x 1/2 = 1/6, sebagai zul-arham; Besar bagian harta warisan yang diterima para ahli waris tersebut akan berbeda jika diselesaikan menurut hukum kewarisan Islam Bilateral Hazairin dan Kompilasi Hukum Islam. Penyelesaian menurut Bilateral Hazairin Ditinjau dari hukum kewarisan Islam ajaran Bilateral Hazairin, cucu-cucu melalui anak perempuan pewaris yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris adalah bukan disebut sebagai zul-arham, tetapi disebut sebagai mawali dari anak perempuan pewaris tersebut. Dasar hukum yang digunakan untuk menyelesaikan kasus tersebut adalah ketentuan warisan yang diatur dalam Q.4:11 c jo. Q.4:33 a, yaitu seorang anak perempuan (D) mendapat 1/2 harta warisan, kemudian diberikan kepada cucu-

cucu pewaris (B dan C) sebagai mawali, dengan perbandingan cucu laki-laki berbanding cucu perempuan = 2:1 (Q.4:11a jo. Q.4:33 a). Suami (A) mendapat 1/4 berdasarkan (Q.4:12 b), karena pewaris meninggalkan keturunan, yaitu cucu-cucu tersebut. dalam kasus ini terjadi radd yang diberikan secara proporsional kepada seluruh ahli waris zawil-furud, yaitu suami dan anak perempuan yang kemudian diberikan kepada anak-anaknya sebagai mawali. A = suami = 1/4 , sebagai sul-fara’id (Q.4:12 b) D = anak perempuan yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris = 1/2, sebagai zul-fara’id (Q.4:11 c); Sisa = 1 – (1/4 + 1/2) = 1/4, di-radd-kan kepada A dan D; dengan perbandingan A : D = 1/4 : 2/4 = 1 : 2, pembilang = 3, dijadikan angka penyebut. A = 1/3 D = 2/3, diberikan kepada B dan C sebagai mawali D, dengan perbanding B : C = 2 : 1 (Q.4 : 11 a jo. Q.4 : 33 a); B = cucu laki-laki melalui anak perempuan = 2/3 x 2/3 = 4/9 C = cucu perempuan melalui anak perempuan = 1/3 x 2/3 = 2/9 Penyelesaian menurut Kompilasi Hukum Islam: Demikian pula menurut Kompilasi Hukum Islam, cucu-cucu pewaris melalui anak perempuan yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris adalah sebagai “ahli waris pengganti” berdasarkan Pasal 185 jo. Pasal 176 KHI. Sedangkan suami memperoleh 1/4 berdasarkan Pasal 179 KHI, karena pewaris meninggalkan keturunan. Penyelesaian menurut Kompilasi Hukum Islam hasilnya sama dengan penyelesaian menurut Bilateral Hazairin, dengan menggunakan Pasal 176 (yang menentukan besar bagian anak pewaris) jo. Pasal 185 (besar bagian ahli waris pengganti) jo. Pasal 193 (radd) Kompilasi Hukum Islam. A = suami 1/4 , sebagai sul-fara’id (Pasal 179 KHI); D = anak perempuan yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris = 1/2, sebagai zul-fara’id (Pasal 176 KHI); Sisa = 1 – (1/4 + 1/2) = 1/4 , di-radd-kan kepada A dan D; dengan perbandingan A : D = 1/4 : 2/4 = 1 : 2; pembilang = 3, dijadikan angka penyebut (Pasal 193 KHI) A = 1/3

D = 2/3, diberikan kepada B dan C sebagai ahli waris pengganti D, dengan perbandingan B : C = 2 : 1 (Pasal 176 jo. Pasal 185 KHI); B = cucu laki-laki melalui anak perempuan = 2/3 x 2/3 = 4/9 sebagai ahli waris pengganti D; C = cucu perempuan melalui anak perempuan = 1/3 x 2/3 = 2/9 sebagai ahli waris pengganti D. b. Contoh Kasus Kewarisan Zul-Arham Selain Cucu melalui Anak Perempuan Pewaris 1) Apabila pewaris meninggalkan ahli waris suami (duda, A) bersama dengan seorang saudara perempuan dari ibu pewaris (bibi pewaris melalui ibu [khalah], B) dan saudara laki-laki dari ibu pewaris (paman pewaris melalui ibu [khal], C) Maka, suami (A) mendapatkan setengah (1/2) berdasarkan Q.4:12 a, sisa bagi-nya diberikan kepada bibi (khalah, B) dan paman (khal, C) pewaris melalui ibu, sebagai zawul-arham. Gambar : E

D

B

C

A Penyelesaian menurut Patrilineal Syafi’i: A = suami pewaris = 1/2, sebagai zul-fara’id (Q.4:12 a); Sisa = 1/2 B (saudara perempuan dari ibu pewaris) + C (saudara laki-laki dari ibu pewaris) = zawil-arham = sisa, dibagikan kepada B dan C dengan perbandingan dua berbanding satu, B:C = 1:2; B = bibi melalui ibu, khalah = 1/3 x 1/2 = 1/6, sebagai zul-arham; C = paman melalui ibu, khalah = 2/3 x 1/2 = 2/6, sebagai zul-arham; Penyelesaian menurut Bilateral Hazairin: B dan C adalah mawali dari nenek yang berkedudukan sebagai mawali dari ibu, yaitu termasuk dalam kelompok keutamaan keempat. A = suami pewaris = 1/2, sebagai zul-fara’id (Q.4:12 a);

D = ibu pewaris, seandainya masih hidup = 1/3, sebagai zul-fara’id (Q.4:11 e); Sisa = 1- (1/2 + 1/3) = 1 – (3/6 + 2/6) = 1/6, di-radd-kan kepada A dan D dengan perbandingan, A : D = 3 : 2; jumlah pembilang = 5, dijadikan penyebut; A = 3/5; D = 2/5, diberikan kepada E (nenek mawali ibu). Oleh karena nenek pun telah meninggal dunia, diberikan kepada B (saudara perempuan ibu, mawali nenek) + C (saudara laki-laki dari ibu, mawali nenek) dengan perbandingan B : C = 1 : 2. B = bibi melalui ibu, mawali nenek = 1/3 x 2/5 = 2/15 C = paman melalui ibu, mawali nenek = 2/3 x 2/5 = 4/15 Penyelesaian menurut Kompilasi Hukum Islam: Kompilasi Hukum Islam belum mengatur kedudukan paman dan bibi (saudara-saudara sekandung atau seayah atau seibu dari ibu) pewaris secara tegas. Meskipun demikian, seperti telah dijelaskan, bahwa, jika anak kemenakan dimungkinkan memperoleh bagian harta warisan dari pamannya atau bibinya, baik saudara ibu maupun saudara ayah, berdasarkan Pasal 181 dan/atau Pasal 182 jo. Pasal 185 KHI, maka paman dan bibi pun ditafsirkan dapat menerima bagian harta warisan yang dapat diterima oleh paman atau bibi belum ditentukan secara pasti, sebagaimana ahli waris pengganti bagi anak pewaris maupun ahli waris pengganti bagi saudara pewaris dalam Pasal 185 KHI. 2) Contoh lain, apabila pewaris meninggalkan cicit perempuan (A) melalui cucu perempuan (G) melalui anak laki-laki (D) yang keduanya telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris. Pewaris juga meninggalkan cicit perempuan (B) melalui cucu laki-laki (H) melalui anak perempuan (E) yang keduanya telah meninggal dunia terlebih dahulu pula dari pewaris, dan pewaris meninggalkan cicit laki-laki (C) melalui cucu perempuan (I) melalui anak perempuan (F) yang keduanya juga telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris. Menurut ajaran Patrilineal Syafi’I, cicit yang berhak menerima harta warisan sebagai zul-arham hanya cicit A, karena hubungan kerabat cicit A melalui anak laki-laki pewaris (D) dinilai lebih kuat dibanding hubungan kekerabat cicit B dan cicit C melalui anak-anak perempuan pewaris, meskipun ketiganya sama-sama berkedudukan sebagai zawil-arham. Jadi, seluruh harta warisan pewaris diberikan kepada cicit A, sebagai zul-arham yang dinilai lebih kuat hubungan kekerabatannya dengan pewaris.

D

E

F

G

H

I

A

B

C

Penyelesaian menurut Patrilineal Syafi’i: A = zul-arham = mendapat seluruh harta, karena hubungan kekerabatannya dinilai lebih dekat atau lebih kuat, melalui anak laki-laki pewaris, yaitu D. B dan C = zul-arham melalui anak-anak perempuan pewaris, E dan F, karena itu, dinilai hubungan kekerabatannya kurang kuat dibanding melalui anak laki-laki D, maka B dan C mahjub oleh A. Penyelesaian menurut Bilateral Hazairin: Hasil penyelesaiannya berbeda dengan penyelesaian menurut hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i. D, E, dan F = anak-anak pewaris yang telah meninggal dunia, seandainya mereka masih hidup, mereka sebagai zul-qarabat (Q.4:11 a); D : E : F = 2 : 1 : 1; D = 2/4 E = 1/4 F = 1/4 (1) Proses peroleh bagian harta warisan bagi A: D = 2/4 = 1/2, diberikan kepada G sebagai mawali D; G = anak perempuan D = 1/2 x 1/2 =1/4, sebagai mawali D (Q.4:11 c jo. Q.4:33a) Sisa = 1/2 – 1/4 = 1/4, di-radd-kan kepada G = 1/4 + 1/4 = 1/2, diberikan kepada A, mawali G. Anak = perempuan G = 1/2 x 1/2 = 1/4, sebagai mawali G (Q.4:11 c jo. Q.4:33 a)

Sisa = 1/2 - 1/4 = 1/4, di-radd-kan kepada A = 1/4 + 1/4 = 1/2, diberikan kepada A, mawali G (2) Proses perolehan bagian harta warisan bagi B: E = 1/4, diberikan kepada H sebagai mawali E; H = anak laki-laki E = 1/4, sebagai mawali D (Q.4:11 a jo. Q.4:33 a); diberikan kepada B, mawali H B = anak perempuan H = 1/2 x 1/4 = 1/8, sebagai mawali H (Q.4:11 c jo. Q.4:33 a) Sisa = 1/4 – 1/8 = 1/8, di-radd-kan kepada B = 1/8 + 1/8 = 1/4, diberikan kepada B, mawali H. (3) Proses perolehan bagian harta warisan bagi C: F = 1/4, diberikan kepada I sebagai mawali F: I = anak perempuan F = 1/2 x 1/4 = 1/8, sebagai mawali F (Q.4:11 c jo. Q.4:33 a) Sisa = 1/4 – 1/8 = 1/8, di-radd-kan kepada I = 1/8 + 1/8 = 1/4, diberikan kepada C, mawali I. C = anak laki-laki I = 1/4, sebagai mawali I (Q.4:11 jo. Q.4:33 a) Penyelesaian menurut Kompilasi Hukum Islam: Penyelesaian kasus kewarisan tersebut jika diselesaikan menurut Kompilasi Hukum Islam, hasilnya sama dengan penyelesaian menurut hukum kewarisan Islam Bilateral Hazairin. Harta pewaris dibagikan terlebih dahulu kepada anak-anak pewaris yang telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris, seolah-olah mereka masih hidup (anak-anak pewaris D, E, dan F) Kemudian hasil pembagian tersebut diberikan kepada cucu-cucu pewaris (G, H, I) sebesar bagian harta warisan yang diterima orang tua mereka (D, E, F). Kemudian dibagikan kepada A, B, dan C (cicit-cicit pewaris), sebesar bagian yang diterima orang tua mereka (cucu-cucu pewaris G, H, I). Perhitungannya sebagai berikut :

D, E, dan F = anak-anak pewaris yang telah meninggal dunia, seandainya mereka masih hidup, mereka sebagai asabah (Pasal 176 KHI);

D : E : F = 2 : 1 : 1; D = 2/4; E = 1/4 F = 1/4 (1) Proses peroleh bagian harta warisan bagi A: D = 2/4 = 1/2, diberikan kepada G sebagai ahli waris pengganti D (Pasal 176 jo. Pasal 185 KHI); G = anak perempuan D = 1/2 x 1/2 = 1/4, sebagai ahli waris pengganti D (Pasal 176 jo. Pasal 185 KHI); Sisa = 1/2 – 1/4 = 1/4, di-radd-kan kepada G = 1/4 + 1/4 = 1/2, diberikan kepada A, mawali G (Pasal 176 jo. Pasal 185 KHI jo. Pasal 193 KHI); Anak = perempuan G = 1/2 x 1/2 = 1/4, sebagai ahli waris pengganti G (Pasal 176 jo. Pasal 185 KHI); Sisa = 1/2 - 1/4 = 1/4, di-radd-kan kepada A = 1/4 + 1/4 = 1/2, diberikan kepada A, ahli waris pengganti G (Pasal 176 jo. Pasal 185 KHI jo. Pasal 193 KHI); (2) Proses perolehan bagian harta warisan bagi B: E = 1/4, diberikan kepada H sebagai ahli waris pengganti E (Pasal 176 jo. Pasal 185 KHI); H = anak laki-laki E = 1/4, sebagai ahli waris pengganti D (Pasal 176 jo. Pasal 185 KHI); diberikan kepada B, mawali H B = anak perempuan H = 1/2 x 1/4 = 1/8, sebagai ahli waris pengganti H (Pasal 176 jo. Pasal 185 KHI); Sisa = 1/4 – 1/8 = 1/8, di-radd-kan kepada B = 1/8 + 1/8 = 1/4, diberikan kepada B, ahli waris pengganti H (Pasal 176 jo. Pasal 185 KHI jo. Pasal 193 KHI); (3) Proses perolehan bagian harta warisan bagi C: F = 1/4, diberikan kepada I sebagai ahli waris pengganti F (Pasal 176 jo. Pasal 185 KHI); I = anak perempuan F = 1/2 x 1/4 = 1/8, sebagai ahli waris pengganti F (Pasal 176 jo. Pasal 185 KHI);

Sisa = 1/4 – 1/8 = 1/8, di-radd-kan kepada I = 1/8 + 1/8 = 1/4, diberikan kepada C, ahli waris pengganti I (Pasal 176 jo. Pasal 185 KHI jo. Pasal 193 KHI); C = anak laki-laki I = 1/4, sebagai ahli waris pengganti I (Pasal 176 jo. Pasal 185 KHI jo. Pasal 193 KHI);

MASALAH-MASALAH KHUSUS A. Sulutsul Baqi atau Garrawain (Umariyatain) Sulutsul-baqi atau sepertiga sisa merupakan masalah khusus bagi ibu yang menjadi ahli waris bersama suami atau isteri pewaris dan ayah pewaris. Besar bagian harta warisan yang dapat diterima ibu adalah sepertiga dari sisa harta warisan yang telah diberikan kepada suami atau isteri sebagai ahli waris zulfara’id. Menurut Umar bin Khattab ra, apabila pewaris meninggalkan suami, ibu, dan ayah, maka harta warisan diberikan terlebih dahulu kepada suami sebagai zulfara’id sebesar setengah (1/2 = 3/6) harta warisan berdasarkan Q.4:12a. Kemudian, besar bagian ibu sebagai zul-fara’id adalah sepertiga (1/3 = 2/6) karena pewaris tidak meninggalkan anak dan saudara berdasarkan Q.4:11e. Apabila besar bagian warisan bagi ibu diberikan sepertiga dari seluruh harta, maka ayah sebagai ‘asabah binafsihi mendapat sisa berdasarkan Q.4:11e, yaitu 1 – (3/6 + 2/6) = 6/6 – 5/6 = 1/6. Jadi ayah sebagai ‘asabah binafsihi mendapat bagian lebih kecil dari ibu, yaitu seperenam (1/6), sedangkan ibu mendapat sepertiga (1/3 = 2/6). Jadi, perolehan ibu jauh lebih besar dari ayah. Karena itu, perolehan ayah yang lebih kecil dari ibu, yaitu mendapat 1/6 dipermasalahkan. Hal itu muncul karena, apabila ahli waris hanya terdiri dari ibu dan ayah saja, maka ibu mendapat 1/3 sebagai zul-fara’id, dan ayah mendapat sisa, yaitu 2/3, sebagai ‘asabah binafsihi, atau ayah mendapat dua bagian dan ibu mendapat satu bagian (2:1). Ketentuan perbandingan ayah berbanding ibu adalah dua berbanding satu (2:1), menurut hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i, hendaknya tetap berlaku atau dipertahankan. Karena itu pula, Umar bin Khattab ra ber-ijtihad yang menentukan besar bagian harta warisan bagi ibu (B) adalah sepertiga (1/3) dari sisa harta yang telah dibagikan terlebih dahulu kepada suami (A) yang mendapat 1/2 sebagai zul-fara’id yaitu 1 – 1/2 = 1/2 = 3/6. Jadi ibu mendapat 1/3

x 1/2 (sisa) = 1/6. Dan ayah (C) sebagai asabah binafsihi mendapat sisa, yaitu 6/6 – (3/6 + 1/6) = 2/6 atau 1/3. Jadi perolehan ayah tetap lebih besar dari ibu (2/6 : 1/6) yaitu dua berbanding satu (2 : 1). Gambar : C

B

A Demikian pula apabila pewaris meninggalkan isteri, ibu dan ayah Gambar : C

B

A Berdasarkan teori sulusul-baqi yang dikemukakan Umar bin Khattab sebagai hasil ijtihad beliau, maka bagian harta warisan yang dapat diterima oleh ibu adalah sepertiga dari sisa (sulusul-baqi), yang tujuannya untuk mempertahankan kedudukan ayah agar mendapat bagian harta warisan anaknya (sebagai pewaris) selalu lebih besar dari ibu, yaitu dua (bagian ayah) berbanding satu (bagian ibu). Cara penyelesaiannya adalah sebagai berikut : isteri pewaris (A) sebagai zul-fara’id mendapat seperempat (1/4) berdasarkan Q.4:12d. Sisanya yaitu tiga perempat (3/4). Ibu (B) sebagai ahli waris zul-fara’id mendapat sepertiga sisa, yaitu 1/3 x 3/4 = 3/12 atau 1/4 berdasarkan Q.4:11e jo. hadis Umar bin Khattab. Ayah sebagai ahli waris ‘asabah binafsihi mendapat sisa berdasarkan Q.4:11e jo. hadis Umar bin Khattab, yaitu 1 – (1/4 + 1/4) = 4/4 – 2/4 = 2/4 (1/2). Jika perbandingan besar bagian yang diperoleh ayah (C) berbanding ibu (B) adalah tetap 1/2 berbanding 1/4 atau dua berbanding satu (2:1). Apabila besar bagian harta warisan bagi ibu diberikan sepertiga dari seluruh harta, maka besar bagian ayah sebagai ‘asabah binafsihi mendapat sisa adalah sebesar = 1 – (1/4 + 1/3) = 12/12 – (3/12 + 4/12) = 5/152.

Perbandingan peroleh ayah (C) yang memperoleh 5/12 berbanding ibu (B) yang memperoleh 1/3 atau 4/12 adalah lima berbanding empat (5:4), bukan dua berbanding satu (2:1). Karena itulah Umar bin Khattab ra berijtihad dalam menyelesaikan besar bagian harta warisan bagi ibu, baik ketika ibu menjadi ahli waris bersama suami dan ayah, maupun ibu bersama isteri dan ayah, perolehan bagian harta warisan bagi ibu adalah sepertiga dari sisa (sulusul-baqi), setelah diberikan kepada suami atau isteri pewaris. Kedua penyelesaian masalah khusus tersebut dikenal dengan istilah sulusul-baqi, atau garrawain (dua bintang yang cemerlang), atau Umarriyatain atau Garibatain. Meskipun demikian, Ibnu ‘Abbas ra tidak sependapat dengan Umar bin Khattab ra. Menurut Ibnu ‘Abbas, ibu mendapat sepertiga (1/3) dari seluruh harta, bukan dari sisa, berdasarkan surah an-Nisa ayat 11e (Q.4:11e) yang menentukan besar bagian bagi ibu adalah seperti harta warisan, bukan sepertiga sisa. Pendapat ini yang diikuti Hazairin. Kompilasi Hukum Islam menentukan besar bagian harta warisan bagi ayah dalam Pasal 177 jo. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor II/1994 tentang Pengertian Pasal 177. Pasal 177 menentukan, “Ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam bagian. “Ketentuan ini secara eksplisit menentukan ayah selalu menjadi ahli waris zulfara’id, padahal ayah tidak selalu berkedudukan sebagai ahli waris zul-fara’id, karena kadang-kadang ayah berkedudukan sebagai ahli waris ‘asabah binafsihi berdasarkan Q.4:11e dan Q.4:11 f. Karena itu dikeluarkanlah Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 11/1994 tentang “Pengertian Pasal 177” yang menentukan bahwa “Ayah mendapat sepertiga apabila pewaris tidak meninggalkan anak, tetapi meninggalkan suami dan ibu, bila ada anak, ayah mendapat seperenam”. Surat Edaran Mahkamah Agung tersebut tidak menyelesaikan masalah, karena tidak menentukan besar bagian ayah apabila ia menjadi ahli waris bersama isteri dan ibu pewaris. Selain itu, Kompilasi Hukum Islam jo. Surat Edaran Mahkamah Agung No. II tahun 1994 juga belum menentukan kedudukan ayah sebagai ‘asabah (menurut istilah Imam Syafi’i dan KHI) atau zul-qurabat (menurut istilah Hazairin).

Berbeda halnya dengan kedudukan ibu yang memang selalu menjadi ahli waris zul-fara’id Pasal 178 Kompilasi Hukum Islam menentukan, bahwa, (1) “Ibu mendapat seperenam bagian bila ada anak atau dua orang saudara atau lebih. Bila tidak anak atau dua orang saudara atau lebih, maka ibu mendapat sepertiga bagian.” (2) “Ibu mendapat sepertiga bagian dari sisa sesudah diambil oleh janda atau duda bersama dengan ayah." Jadi tampak dengan jelas, bahwa Kompilasi Hukum Islam menganut ajaran Patrilineal Syafi’i. Pasal 178 KHI tersebut telah mengakomodir pendapat Umar bin Khattab tentang sulusul-baqi, atau garrawain, atau Umariyatain. Dengan demikian, dapat dikemukakan pula bahwa, meskipun Pasal 177 jo. SEMA No. II Tahun 1994 tidak merumuskan secara tegas tentang perolehan ayah jika menjadi ahli waris bersama-sama dengan ibu dan janda atau duda pewaris, namun mmusan Pasal 178 KHI telah memuat pendapat Umar bin Khattab tentang kedua-dua sulusul-baqi atau garrawain itu, yaitu ibu mendapat sepertiga dari sisa sesudah dibagikan kepada janda atau duda jika mewaris bersama-sama dengan ayah. Jumlah bagian harta warisan yang diterima ayah, tentu tidak selalu 1/3 (sepertiga) seba-gaimana dirumuskan dalam Pasal 177 jo. SE MA No. II Tahun 1994 tersebut. B. Musyarakah atau Musyarikah Masalah musyarakah atau musyarikah disebut juga himarriyah atau hajariyah atau yammiyah adalah merupakan hasil ijtihad Umar bin Khattab ra juga, Pada masalah musyarakah, pewaris meninggalkan para ahli waris yang terdiri dari suami, ibu, dua orang saudara laki-laki seibu, dan saudara laki-laki sekandung. Gambar

Penyelesaian menurut hadis Umar bin Khattab: A = suami =1/2 = 3/6 sebagai zul-fara’id (Q.4:12a); B = ibu = 1/6 sebagai zul-fara’id (Q.4:11f); C + D = saudara laki-laki seibu = 1/3 = 2/6 sebagai zul-fara'id (Q.4:12h); E + F = sisa, sebagai 'asabah binafsihi (Q.4:176c); Sisa = 1 - (3/6 + 1/6 -f- 2/6) = 0; Berdasarkan ijtihad Umar bin Khattab, bagian harta waris bagi saudara-saudara laki-laki seibu dibagi secara sama rata dengan saudara-saudara laki-laki sekandung. Jadi bagian harta warisan sebagai berikut: C + D = saudara laki-laki seibu = 1/3 dibagi sama rata dengan E dan F (saudara laki-laki sekandung), dengan perbandingan ; C : D : E : F = 1 : 1 : 1 : 1; C = 1/4 x 1/3 = 1/12; D = 1/4 x 1/3 = 1/12; E = 1/4 x 1/3 = 1/12; F = 1/4 x 1/3 = 1/12. Menurut hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi'i, dua orang saudara seibu adalah ahli waris zawul-furud yang penyelesaiannya menggunakan surah an-Nisa ayat 12 h, yaitu sebesar sepertiga (1/3 = 2/6) harta warisan secara bersyarikah. Ibu sebagai ahli waris zul-fara'id mendapat seperenam (1/6) berdasarkan Q.4:11f; suami sebagai ahli waris zul-fara'id mendapat setengah (1/2 = 3/6) berdasarkan Q.4:12 a, karena pewaris tidak meninggalkan anak laki-laki dan keturunan laki-laki melalui anak laki-laki serta ayah telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris (kalalah), dan tidak meninggalkan anak perempuan pula. Saudara sekandung sebagai 'asabah mendapat sisa. Jika seluruh bagian harta warisan yang telah dibagikan kepada para ahli waris zawul-furud itu dijumlahkan, yaitu: dua orang saudara laki-laki seibu (2/6) + ibu (1/6) + suami (3/6) = 6/6, maka saudara sekandung sebagai 'asabah binafsihi tidak mendapat apa-apa, karena seluruh harta warisan telah terbagi habis. Oleh karena itu, kedua orang saudara laki-laki sekandung tersebut datang menghadap Umar bin Khattab ra untuk mengadukan permasalahannya, 'Wahai Amirul Mukminin, andaikanlah ayah kami itu khimar (keledai), bukankah kami ini semua berasal dari seorang ibu saja?"

Pada riwayat lain kasus kewarisan ini disebut hajariyah atau yammiyah berdasarkan riwayat berikut. "Andaikanlah ayah kami batu (hajar) yang dilemparkan di lautan (yammi), bukankah kami ini berasal dan ibu yang satu itu juga? Karena itu, Umar bin Khattab ra berijtihad untuk menyelesaikan masalah tersebut. Berdasarkan protes dari saudara-saudara kandung pewaris tersebut, maka Umar bin Khattab berpendapat dan menentukan bahwa, sepetiga (1/3) bagian yang diperoleh saudara-saudara seibu pewaris dibagi secara merata di antara mereka, yaitu, saudara-saudara seibu bersama saudara-saudara laki-laki sekandung pewaris. Pendapat Umar bin Khattab tentang musyarakah ini, kemudian diqiyaskan atau dianalogkan terhadap kasus kewarisan serupa. Misalnya, terhadap kasus kewarisan yang ahli warisnya terdiri dari suami, ibu, dua orang saudara perempuan seibu (atau satu orang saudara laki-laki seibu dan satu orang saudara perempuan seibu), dan satu orang saudara laki-laki sekandung dan satu orang saudara perempuan sekandung. Penyelesaian terhadap kasus ini adalah sama dengan penyelesaian kasus pada masa Umar bin Khattab tersebut Demikian juga, penyelesaian kasus berdasarkan musyarikah dapat diterapkan terhadap saudara-saudara laki-laki seayah, atau saudara laki-laki seayah dan saudara perempuan seayah, bersama-sama dengan dua orang saudara seibu, suami dan ibu. C. Tis'iniyah Zaid Masalah Tis'iniyab Zaid (masalah sembilan puluh Zaid) adalah kasus kewarisan yang ahli warisnya terdiri dari ibu (A), kakek sahih (kakek melalui ayah) (B), seorang saudara perempuan sekandung (Q, dua orang saudara laki-laki seayah (E dan F), dan seorang saudara perempuan seayah (D). Masalah khusus itu perlu dikemukakan. berhubung adanya perbedaan pendapat yang tajam antara hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i dan hukum kewarisan Islam ajaran Bilateral Hazairin.

Gambar:

Menurut Patrilineal Syafi'i A = ibu = 1/6 = 3/18 = 15/90, sebagai zul-fara'id (Q.4:11 f); Sisa = 1 - 1/6 = 5/6; B = kakek sahih = 1/3 sisa = 1/3 x 5/6 = 5/18 = 25/90; C = saudara perempuan kandung = 1/2 = 9/18 = 45/90, sebagai zul-fara’id (Q.4:176a) D + F + F = sisa, sebagai ‘asabah hadis Ibnu 'Abbas = 1 - (3/18 + 5/18 + 9/18) = 18/18 - 17/18 = 1/18; D : E : F = 1 : 2 : 2; D = 1/5 x 1/18 = 1/90, sebagai 'asabah bil-gairi; E = 2/5 x 1/18 = 2/90, sebagai 'asabah binafsihi; F = 2/5 x 1/18 = 2/90, sebagai ‘asabah binafsihi; Jumlah = A + B + C + D + E + F = 15/90 + 25/90 + 45/90 + 1/90 + 2/90 + 2/90 = 90/90 = 1. Penyelesaian dengan angka penyebut berjumlah sembilan puluh, maka disebutkan dengan istilah tis'iniyah Zaid. Menurut Bilateral Hazairin: Jika kasus Tis’iniyah Zaid diselesaikan menurut hukum kewarisan Islam ajaran Bilateral Hazairin, kondisi pewaris juga kalalah karena tidak mempunyai keturunan. Kedudukan kakek, menurut Hazairin, tidak dapat tampil sebagai ahli waris, karena kakek termasuk dalam kelompok keutamaan keempat, sedangkan dalam kasus Tis’iniyah Zaid masih ada kelompok keutamaan kedua, yaitu saudara-saudara pewaris sebagai kriteria utama dalam kelompok keutamaan kedua tersebut.

Menurut Hazairin, apabila kelompok keutamaan yang lebih tinggi masih ada, maka kelompok keutamaan berikutnya tidak dapat tampil sebagai ahli waris. Oleh karena saudara-saudara pewaris masih hidup, maka kakek belum dapat tampil sebagai ahli waris. Jadi, kasus Tis’iniyah Zaid jika diselesaikan menurut ajaran Hazairin adalah sebagai berikut. A = ibu = 1/6 = 6/36, sebagai zul-fara’id (Q.4:11f); B = kakek tidak dapat tampil sebagai ahli waris karena termasuk dalam kelompok keutamaan keempat; Sisa = 1 – 1/6 = 5/6; C + D + E + F = sisa, sebagai zul-qarabat (Q.4:176e) dengan perbandingan: C : D : E : F = 1 : 1: 2 : 2; (Mereka dapat bersama-sama tampil sebagai ahli waris tanpa membedakan hubungan saudara dengan pewaris berdasarkan Q.4:176e, karena ayah pewaris telah meninggal dunia terlebih dahulu dari pewaris). C = 1/6 x 5/6 = 5/36; D = 1/6 x 5/6 = 5/36; E = 2/6 x 5/6 = 10/36; F = 2/6 x 5/6 = 10/36; Jumlah = A + C + D + E + F= 6/36 + 5/36 + 5/36 + 10/36 + 10/36 = 36/36 = 1 Menurut Kompilasi Hukum Islam: Kompilasi Hukum Islam belum menentukan besar bagian bagi kakek secara tegas. Meskipun dapat menggunakan Pasal 185 KHI (menentukan cucu sebagai ahli waris pengganti) yang ditafsirkan secara a contrario terhadap kakek jo. Pasal 229 KHI, sebagaimana telah diuraikan terdahulu. Saudara perempuan sekandung yang menjadi ahli waris bersama-sama dengan saudara-saudara laki-laki seayah dan saudara perempuan seayah juga belum ditentukan secara tegas dalam Pasal 182. Meskipun demikian. seperti telah dikemukakan berulang kali, bahwa Hakim diberikan kesempatan untuk menggunakan hukum kewarisan Islam menurut ajaran Patrilineal Syafi’I atau hukum kewarisan Islam menurut ajaran Bilateral Hazairin berdasarkan Pasal 229 KHI.

Jika dilihat dan adanya rumusan ketentuan kewarisan yang dipisahkan antara ketentuan bagi saudara seibu (dalam Pasal 181 KHI) dengan ketentuan kewarisan bagi saudara sekandung atau seayah dalam Pasal 182 KHI, maka dapat dikemukakan bahwa Kompilasi Hukum Islam lebih cenderung menerapkan hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i. Meskipun demikian, jika Pasal 182 KHI diterapkan terhadap masalah Tisiniyah Zaid tampaknya terdapat kekosongan hukum dalam hal menentukan besar bagian saudara perempuan sekandung pewaris yang mewaris bersama-sama dengan saudara-saudara laki-laki seayah dan saudara perempuan seayah, sebagaimana garis-garis hukum yang ditafsirkan penulis terhadap Pasal 182 KHI yang dikemukakan dalam Bab tentang Saudara. Hal ini tidak berarti tidak ada solusi, karena, pasal-pasal Kompilasi Hukum Islam yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah tis’iniyah adalah Pasal 178 (bagian harta warisan untuk ibu), Pasal 182 (bagian harta warisan untuk saudara sekandung atau seayah) jo. Pasal 229 KHI yang memberikan keleluasaan kepada Hakim dalam menyelesaikan perkara wajib memperhatikan dengan sungguh-sungguh nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat., sehingga putusan Hakim sesuai dengan rasa keadilan. D. Minbariyah Masalah minbariyah disebut juga masalah bakbilab, yaitu tentang ‘aul yang merupakan hasil ijtihad Sayyidina Ali bin Abi Thalib r a. Ketika Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a. sedang di atas mimbar di mesjid Kuffah, beliau memberikan khutbah mengenai pembagian harta warisan, datanglah seseorang yang menanyakan penyelesaian masalah kewarisan yang para ahli warisnya terdiri dari isteri, ibu, ayah, dan dua orang anak perempuan. Orang tersebut berkata: “bukankah isteri mendapat seperdelapan, dalam masalah tersebut?". Secara spontanitas, Sayyidina Ali bin Abi Thalib r a menjawab, bahwa dalam kasus tersebut isteri mendapat sepersembilan. Khutbah beliau tetap berlangsung tanpa terganggu oleh adanya pertanyaan tersebut. Orang-orang yang hadir pada ketika itu, sangat keheranan (kagum) atas kecerdasan beliau. Karena itu, kasus atau masalah kewarisan tersebut diberi nama masalah minbariyah, sebab Sayyidina Ali bin Abi Thalib r a menyelesaikannya di atas mimbar mesjid.

Kasus minbariyah yang dihadapkan kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib, adalah pewaris meninggalkan isteri (A), ibu (B), ayah (C), dan dua orang anak perempuan (D dan E). Gambar:

Penyelesaian menurut Minbariyah. A = isteri = 1/8 = 3/24, sebagai zul-fara’id (Q.4:12 e); B = ibu = 1/6 = 4/24, sebagai zul-fara’id (Q.4:11 d); C = ayah = 1/6 = 4/24, sebagai zul-fara’id (Q.4:11 d); D + E = 2/3 = 16/24, sebagai zul-fara’id (Q.4:11 d); A + B + C + D + E= 3/24 + 4/24 + 4/24 + 16/24 = 27/24 = 9/8, terjadi ketekoran (‘aul) sebesar 1/9. Karena itu, besar bagian harta warisan masing-masing ahli waris dikurangai: A = 3/27 = 1/9; B = 4/27; C = 4/27; D + E = 16/27 dibagi dua; D = 8/27; E = 8/27. Selain masalah-masalah khusus yang telah diuraikan, perlu juga dikemukakan mengenai Mu’addah. E. Mu'addah Masalah mu'addah atau diperhitungkan" adalah masalah khusus yang berkaitan dengan besar bagian kakek sahih yang menjadi ahli waris bersamasama dengan seorang saudara laki-laki sekandung dan seorang saudara laki-laki seayah. Seperti telah diketahui, dalam hukum kewarisan Islam ajaran Patrilineal Syafi’i, saudara seayah, baik laki-laki maupun perempuan ter-hijab-hirman oleh saudara laki-laki sekandung. Namun, dalam masalah khusus mu'addah ini, untuk

memperkecil besar bagian yang diterima kakek sahih (yang besar bagiannya disamakan dengan saudara), maka saudara laki-laki seayah "diperhitungkan" (mu’addah) seolah-olah ia mendapat bagian harta warisan. Dengan demikian, besar bagian kakek sahih lebih kecil, yaitu mendapat 1/3 harta warisan, dibandingkan dengan jika saudara laki-laki seayah itu tidak "diperhitungkan", yaitu mendapat setengah (1/2) harta warisan. Gambar

Keterangan A = saudara laki-laki sekandung; B = kakek sahih, C = saudara laki-laki seayah, terhijab oleh A. (Tetapi untuk memperkecil perolehan bagian harta warisan kakek sahih, maka C [saudara laki-laki seayah] "diperhitungkan" atau mu'addah seolah-olah ia menerima harta warisan, padahal sebenarnya ia terhijab-hirman oleh A [saudara laki-laki sekandung]) Cara peayelesaiannya sebagai berikut A + B + C = seluruh harta dengan perbandingan perolehan A : B : C = 1:1:1; A = saudara laki-laki sekandung =1/3 ditambah bagian C (karena C terhijab oleh A); B = kakek sahih = disamakan dengan saudara = 1/3; C = saudara laki-iaki seayah = 1/3, kemudian diberikan kepada A, karena C terhijab oleh A; Jadi, A = saudara laki-laki sekandung = 1/3 + 1/3 = 2/3; B = kakek sahih = disamakan dengan saudara = 1/3. Seperti telah dikemukakan pada bab terdahulu, bahwa menurut hadis Zaid bin Sabit, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Mas'ud, dan pendapat empat Imam Mazhab, kecuali Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad, dan Undang-undang Warisan Mesir, bahwa kakek sahih dapat menghijab saudara-saudara seibu pewaris,

sebagaimana ayah menghijab mereka, karena kakek sahih berstatus sebagai ayah, kecuali terhadap saudara-saudara kandung atau saudara-saudara seayah, maka kakek sahih tidak dapat menghijab mereka, karena status kakek sahih dianggap setara atau sama dengan saudara-saudara tersebut. Karena itu, kakek sahih dapat menjadi ahli waris bersama dengan saudara sekandung atau saudara seayah, yang pembagiannya dilakukan secara merata atau muqasamah seolah-olah kakek sahih berkedudukan sebagai saudara. Karena itu pula, muncullah pemikiran dari para fuqaba dalam menyelesaikan masalah kewarisan yang disebut mu'addab ini. Namun perbedaan antara kakek sabih dengan ayah adalah ayah dapat meng-hijab-hirman seluruh saudara pewaris, baik saudara sekandung, saudara seayah, maupun saudara seibu. Sedangkan kakek sahih hanya dapat meng-hijab-hirman saudara seibu saja. Demikian ajarau hukum kewarisan Islam Patrilineal Syafi’i. Menurut Bilateral Hazairin: Bila ditinjau dari hukum kewarisan Islam ajaran Bilateral Hazairin, maka penyelesaian kasus mu'addab tersebut sebagai berikut: B = kakek = adalah termasuk ahli waris dalam kelompok keutamaan keempat, karena itu kakek tidak dapat tampil sebagai ahli waris bersama saudarasaudara pewaris yang termasuk dalm kelompok keutamaan kedua. Karena itu pula, dalam kasus kewarisan mu'addab, ahh waris yang dapat tampil sebagai ahli waris adalah A (saudara laki-iaki sekandung pewaris) dan C (saudara laki-laki seayah pewaris), yang berkedudukan sebagai zul-qarabat. Maka, A dan C mendapat seluruh harta warisan berdasarkan Q.4:176c. A + C = seluruh harta warisan, sebagai zul-qarabat (Q.4:176c); A = 1/2 sebagai zul-qarabat (Q.4:176c); C = 1/2 sebagai zul-qarabat (Q.4:176c). Menurut Kompilasi Hukum Islam: Kompilasi Hukum Islam belum mengatur masalah mu'addab baik tentang kakek sahib maupun tentang saudara laki-laki sekandung yang tampil sebagai ahli waris bersama-sama dengan saudara laki-laki seayah dalam Pasal 182 KHI, sebagaimana telah ditafsirkan penulis pada Bab tentang Saudara.

Meskipun demikian, sebagaimana penyelesaian kasus-kasus kewarisan lainnya yang ketentuannya belum dimuat secara tegas dalam Kompilasi Hukum Islam, penyelesaian masalah mu’addah dapat menggunakan Pasal 229 KHI yang memberi peluang kepada para Hakim atau para penegak hukum Islam lainnya untuk menerapkan hukum kewarisan Islam yang belum diatur secara tegas dalam Kompilasi Hukum Islam, baik berdasarkan mu’adah dari ajaran Patrilineal Syafi'i, ataupun berdasarkan hukum kewarisan Islam Bilateral Hazairin, sebagaimana telah dijelaskan dan diselesaikan pada halaman sebelumnya. Wallahu 'alam bi-sawab.