ICT - OFFICIAL SITE OF BUDI SANTOSO

Download ekonomi-politik media dan fenomena ICT di Indonesia dari perspektif politik- ... ekonomi politik komunikasi, dengan mengeksplorasi teori-te...

0 downloads 575 Views 300KB Size
INFORMATION DAN COMMUNICATION TECHNOLOGY (ICT) DALAM PERSPEKTIF EKONOMI-POLITIK MEDIA Budi Santoso Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Gunadarma [email protected] ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan ICT dari perspektif ekonomi-politik media dan fenomena ICT di Indonesia dari perspektif politikekonomi komunikasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan cara Diskriptif Analitis. Hasil penelitian ini didapat bahwa pandangan kaum developmentalistik setiap penemuan baru dalam ilmu pengetahuan dan teknologi akan dimanfaatkan untuk mengatasi berbagai permasalahan dalam upaya meningkatkan kualitas hidup manusia. Sementara pengembangan ICT di Indonesia, mengikuti asumsi-asumsi kaum developmentalistik. Bahwa dengan ICT diyakini akan mendorong terjadi pemerintahan demokratis, sementara di dunia perekonomian, adopsi ICT akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Kata kunci: perspektif, fenomena, developmentalistik PENDAHULUAN Kehadiran ICT bagi perkembangan media massa itu sendiri juga semakin fenomenal. Proliferasi komputer personal di industri media, baik di newsroom mapun di proses produksi, termasuk pula di media elektronik, besar pula peranannya dalam proses kerja. Sejak itu para pekerja media tidak lagi menggunakan mesin ketik manual, berangsur-angsur berganti menggunakan komputer, dan bahkan terhubung lewat jaringan sehingga jarak teritorial pun dapat dijembatani dengan pengiriman berita secara digital. Distribusi dan pengiriman surat kabar pun semakin cepat karena menggunakan prisip cetak jarak jauh. Sementara dalam hal isi, hampir semua media massa cetak juga membuka rubrik ICT, dan sekaligus penawaran iklan dalam bisnis ICT semakin meningkat seiring dengan meningkatnya volume bisnis ICT yang kian ekspansif. Bersamaan dengan itu, ketika Internet mulai familier bagi masyarakat, beberapa penerbit surat kabar telah mengintrodusir media online sebagai solusi kombinasi atas penetrasi kemajuan ICT. Kehadiran media online ini terus mengalami perkembangan luar biasa dan bahkan mulai mencemaskan eksistensi jurnalisme cetak itu sendiri. Media online itu kemudian menjadi unit bisnis tersendiri ditandai dengan kesediaan sejumlah vendor teknologi informasi memasang iklan di situs web. Bahkan kemudian para pemasang iklan hampir semua komoditas ekonomi juga bersedia menggunakan sebagai instrumen promisinya. Penelitian ini akan mencoba melihat fenomena ICT di Indonesia dari perspketif ekonomi politik komunikasi, dengan mengeksplorasi teori-teori kritis yang memang menjadi basis dari analisis ekonomi politik media. Tujuannya adalah agar 1

berkembang pemikiran alternatif yang memberi perimbangan terhadap dominanya pemikiran developmentalistik yang selama ini menjadi dasar bagi pengembangan ICT di Indonesia. Lebih dari itu, ICT sebagai genre media baru, yang telah merambah secara meluas di segala aspek kehidupan akan memperoleh penjelasan dan pemahaman secara kritis. METODOLOGI PENELITIAN Metodologi penelitian yang dipakai adalah Analisis Kritis dengan mengacu pada teori ICT sebagai faktor yang dominan dan memiliki potensi besar sebagai variabel independen terhadap perubahan sosial budaya masyarakat. Pandangan ini pula yang sering dipakai oleh Pemerintah Indonesia sekarang dalam memanfaatkan ICT yang diyakini akan mendorong upaya peningkatan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu Pemerintah secara terus menerus memperluas dan meningkatkan anggaran pembangunan infrastruktur bagi beroperasinya ICT. Teknik Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, yang menurut Bogdan dan Taylor (1974) adalah penelitian yang menggunakan prosedur penelitian yang bertujuan mengumpulkan dan menganalisis data deskriptif yang berupa tulisan, ungkapan lisan dari orang dan perilakunya yang dapat diamati. Sementara itu menurut Mulyana, penelitian kualitatif merupakan penelitian yang bertujuan untuk menggunakan sebuah fenomena sosial yang terjadi di masyarakat, penelitian ini tidak mendasarkan pada bukti berdasar logika matematis, prinsip angka, atau analisa data statistik. (Mulyana, 2001). Lexi Moleong, menyatakan bahwa beberapa fungsi dan pemanfaatan penelitian kualitatif adalah: 1. Digunakan untuk meneliti tentang hal-hal yang berkaitan dengan latar belakang subyek penelitian 2. Digunakan untuk menemukan perspektif baru tentang hal-hal yang sudah banyak diketahui. 3. Digunakan oleh peneliti dengan maksud untuk mendapatkan hasil yang lebih mendalam. (Moleong, 1990). Berdasarkan karakteristiknya, penelitian kualitatif bersifat deskriptif, yakni data yang didapat berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka. Dengan demikian laporan penelitian akan berisi kutipan-kutipan data untuk memberi gambaran penyajian laporan yang mungkin berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan dan dokumen resmi lainnya. Teknik Analisis Data Data yang terkumpul dianalisa berdasarkan konsep Moleong yang menjelaskan bahwa metode penelitian kualitatif memiliki latar alamiah, manusia sebagai alat instrumen, menelaah fenomena yang diteliti, analisa data secara induktif, menggunakan teori dasar (grounded theory), bersifat deskriptif analisis, lebih mementingkan konsep daripada hasil. 2

PEMBAHASAN Perspektif Kritis terhadap ICT Dari hasil beberapa macam sumber di dalam wawancara „bahwa kaum ”Cyberpesimists” merupakan pendukung perspektif kritis berargumen sebaliknya. Dalam pandangan mereka, penyebaran akses terhadap teknologi informasi (i.e. internet) akan mengikuti pembelahan status sosial ekonomi. Mereka yang termasuk kalangan miskin tetap tidak akan mampu membangun akses terhadap kemajuan teknologi informasi. Akibatnya, berlawanan dari kaum ”cyber-optimists”, kelompok yang percaya pada pandangan kedua ini berargumen bahwa gap informasi yang sudah muncul sebelum jaman internet akan tetap lebar atau bahkan semakin melebar. Mereka yang kaya dan mampu mengikuti perkembangan teknologi akan memiliki sumber daya baru, yakni penguasaan informasi digital. Sedangkan mereka yang karena kondisi sosial ekonominya tetap atau semakin tertinggal dan semakin jauh dari kemampuan untuk menguasai informasi. Socio-economic divide, pembelahan sosial dan ekonomi yang bisa menyebabkan problem demokrasi, dalam pandangan yang pesimistis ini, akan dikuti dan diperkuat dengan munculnya digital divide atau pembelahan dan ”kesenjangan digital” Di bidang politik, kaum ”cyber-optimists” yang merupakan penganut developmentalistik yakin bahwa perkembangan teknologi informasi akan menghasilkan pendataran piramida penguasaan informasi sehingga setiap warganegara akan memiliki informasi yang memadai untuk mengambil keputusan politik. Ada tiga alasan pokok yang menyertai optimisme ini. Pertama, teknologi informasi ini akan membuka akses lebar-lebar pada semua lapisan masyarakat karena teknologi informasi ini akan mengurangi secara drastis biaya untuk memperoleh informasi. Harga komputer setiap tahun semakin murah dan akses terhadap internet pun semakin mudah. Alasan kedua, sekali seseorang memiliki sambungan internet, informasi yang diperlukan untuk keperluan pembuatan kebijakan politik dan individual akan dengan mudah didapatkan melalui internet. Ketiga, sifat interaktif media baru ini juga akan memperbaiki tingkat responsiveness dan akuntabilitas berbagai lembaga politik (termasuk pemerintah) karena warga dan berbagai kelompok sosial yang ada dalam masyarakat bisa berpartisipasi secara lebih efisien dalamm berbagai bentuknya. Pandangan developmentalistik mempunyai keyakinan bahwa berdasarkan asumsi tersebut maka gap informasi yang mengikuti dengan gap sosial ekonomi antara lapisan yang kaya dan miskin akan menyurut dan akhirnya menghilang. Pendeknya, internet secara revolusioner akan mengakibatkan pendataran piramida penguasaan informasi; sehingga, dengan demikian, partisipasi politik akan lebih efektif dan lebih bermakna. Kesetaraan dalam penguasaan informasi akan menghasilkan perbaikan terhadap kualitas pengambilan keputusan berbagai lapisan mkasyarakat. Jadi, kualitas demokrasi pun akan dengan dengan sendirinya mengikuti. Sementara itu, asumsi kaum yang mendukung rezim transmisi juga menjadi bagian dari kaum developmentalisme yang meyakini media berpengaruh besar terhadap khalayak. Pendukung ini meyakini bahwa media dapat dipakai sebagai instrumen 3

untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kemajuan pada masyarakat. Sedangkan mereka yang karena kondisi sosial ekonominya tetap atau semakin tertinggal dan semakin jauh dari kemampuan untuk menguasai informasi. Socioeconomic divide, pembelahan sosial dan ekonomi yang bisa menyebabkan problem demokrasi, dalam pandangan yang pesimistis ini, akan dikuti dan diperkuat dengan munculnya digital divide atau pembelahan dan ”kesenjangan digital”. Perspektif develomentalstik yang menempatkan teknologi sebagai faktor menentukan juga mendapat perlawan dari apa yang dikenal sebagai perspektif social-determinism atau social shaping. Pandangan ini mengatakan bahwa pada dasarnya teknologi adalah merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri, sebuah hasil konstruksi rekayasa masyarakat, bukan sebuah fenomena yang terpisah dari konteks social. Diterminisme social merupakan proses yang mutual di mana perkembangan teknologi dan praktik social saling menentukan kehidupan social (Lievrouw dan Livingstone, 2006). Perspektif diterminisme social ini kemudian menjadi perpektif alternatif dalam penelitian komunikasi, kajian budaya, dan kajian informasi sejak decade 1990-an, dan bahkan kemudian menjadi perspektif yang dominant dalam kajian budaya. Senada dengan itu bahwa pencapaian kemajuan masyarakat, demokratisasi, dan percepatan pertumbuhan ekonomi ternyata tidak dengan serta merta berjalan seiring dengan pemanfaatan ICT, terutama di Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Hasil studi Francois Fortier menemukan kenyataan yang berbeda dan bahkan sebaliknya. Ia menguji sejumlah perspektif teoretik dalam hubungan antara teknologi informasi dengan masyarakat, yang ia klasifikasikan ke dalam 4 kelompok, yaitu fungtional neutrality, instrumentalis, ahistorical inherence, dan historical inherence. Fortier menemukan bahwa ternyata kehadiran teknologi komunikasi dan informasi dalam hubungan proses kerja tidak meningkatkan produktivitas, tetapi justru pengaruhnya dalam produktivitas perlu dipertanyakan. Ia berpendapat bahwa penekanan pada produktivitas, pada kenyataannya teknologi komunikasi dan informasi juga merupakan alat mengontrol buruh dengan memasukkan tenaga kerja dalam proses hubungan produksi, sehingga terjadi justru peningkatan perampasan surplus-labour dan keuntungan, serta mengabaikan produktivitas. Dalam berbagai kesempatan, teknologi komunikasi dan informasi dikatakan mampu mengurangi ongkos transaksi dan memperkuat konsumen dengan memperbolehkan friction-free capitalism. Akan tetapi Fortier menunjukan bahwa pola-pola pemasaran dan perilaku monopolistik ekonomi kuno memproduksi secara penuh ke dalam ekonomi baru, yang membuat pengguna ICT menjadi konsumen yang ditaklukan daripada diberdayakan. Dalam kaitan dengan penguatan demokratisasi, Fontier juga menemukan bahwa terutama dalam penggunaan internet, terjadi peningkatan dominasi melalui nilai tambah tinggi (high-value-added) media yang oligopolistik yang terus mengontrol dan mengkondisikan terjadinya mekanisme perampingan peran media konvensional sebelumnya. Akhirnya, diskusi santer mengklaim bahwa teknologi komunikasi dan 4

informasi dan jaringan komputer mampu mencegah pensensoran dan monitoring informasi, mengikis kemampuan negara yang otoriter, korporasi yang monopolistic dan penjaga ideologi yang mengontrol wacana dan menekan perbedaan pendapat. Pada kenyataannya klaim tersebut tidak terbukti, Fortier berpendapat bahwa memang teknologi komunikasi dan informasi mampu membuat pengawasan yang lebih ketat dan efisien, tetapi hasilnya, baik teknologi dan isi informasi jaringan komputer justru telah disensor, diawasi, dan diatur oleh kekuatan dominan untuk memaksakan ideologi politik dominan yang dikehendakinya. Singkatnya, Fortier menunjukkan bahwa teknologi komunikasi dan informasi, dalam konteks ekonomi politik tidak seperti yang dikatakan oleh banyak literatur yang dengan penuh keyakinan bahwa teknologi komunikasi dan informasi akan banyak membantu kemajuan umat manusia, seperti peningkatan produktivitas dalam proses hubungan kerja, mempermudah dan bahkan melindungi konsumen, dan memberdayakan rakyat. Dalam pandangan Fortier justru sebaliknya, pada kenyataanya teknologi komunikasi dan informasi hanyalah pelayan kaum kapitalis yang menundukan kaum buruh, merekayasa konsumen, menghegemoni wacana, memperbudak warga masyarakat, dan merepresi adanya perbedaan pendapat. Oleh karena itu, teknologi komunikasi dan informasi hanya sedikit memberikan kontribusi terhadap persamaan dan demokrasi. Revolusi informasi dan teknologi komunikasi dan informasi hanya menyengsarakan kaum miskin, menyebabkan ketidakadilan social.Gramsci menyimpulkan bahwa budaya Barat sangat dominan terhadap budaya di negara-negara berkembang, sehingga negara berkembang terpaksa mengadopsi budaya Barat. Dalam konteks pembangunanisme, konsep Gramsci memang sangat dekat dengan dasar pemikiran teori dependensi (Cardoso), termasuk imperialisme struktural (Johan Galtung) dan imperialisme kultural (Herbert Schiller). James D. Halloran, salah seorang penasehat komisi MacBride 20 tahun yang lalu, berpendapat bahwa riset terhadap perkembangan di Dunia Ketiga cenderung justru mempertajam ketergantungan negara-negara berkembang pada Barat. Lalu dia bertanya, apakah imperialisme kultural dan imperialisme media diikuti imperialisme penelitian? (Halloran, 1998). Studi ekonomi politik berkembang sebagai respons atas ekspansi negara produsen, distributor, konsumen dan regulator komunikasi. Kebanyakan aktivitasnya itu timbul dari desakan untuk mengatur sektor penerimaan yang konfliktual dari pertumbuhan domistik dan bisnis internasional. Hasilnya dapat digunakan dalam ekspansi intelijen pemerintah, pengumpulan informasi, propaganda, penyiaran, dan sistem telekomunikasi. Pada khususnya, hubungan antara militer dan media, telekomunikasi, dan komputer telah menempatkan beberapa generasi ahli ekobomi politik (Mosco, 1996). Perhatian studi ekonomi politik komunikasi tidak hanya tertuju pada perkembangan di negara-negara maju, tetapi juga mempunyai perhatian pada fenomena 5

perkembangan komunikasi di negara-negara dunia ketiga. Melalui perspektif kritis, para ahli ekonomi politik komunikasi juga melakukan studi di berbagai negara berkembang. Demikian pula dalam kaitannya dengan perkembangan ICT, melahirkan sejumlah ahli ekonomi politik komunikasi yang cenderung menggunakan perspektif kritis. Para pendukung perspektif kritis ini anatara lain adalah para teoretisi yang mendasarkan analisisnya pada teori ketergantungan (depedency theory). Pelopor teori ini antara lain Cardoso, Faleto, Ande Gunder Frank, Samir Amin, dan Dos Santos. Kebanyakan mereka datang dari Amerika Latin. Dengan pendekatan teori ketergantungan itu, para sarjana Amerika Latin menerpakan perspektif ekonomi politik untuk melakukan studi struktur media. Misalnya termasuk studi-studi tentang ekonomi politik periklanan (Janus, 1986), sistem berita internasional (Reyes Matta, 1979), televisi (Beltran dan Fox Carodona, 1980), dan peran umum media dalam transformasi politik Amerika Latin (Fox, 1988). Sekarang ini para sarjana Amerika Latin juga melakukan analisis ekonomi politik dari perspektif teori ketergantungan terhadap fenomena maraknya perkemabangan komputer dan teknologi komunikasi baru. Studi itu menarik sebab mereka mendemonstrasikan bagaimana teknologi baru (ICT), adalah menjadi pusat mengintegrasikan aktivita bisnis dan juga produksi budaya komersial. Berdasarkan hasil studi di Brasil, Oleveira menyimpulkan bahwa sistem media nasional dikontrol ooleh elite nasional yang ada hubungannya dengan kapital Barat, bergantung pada teknologi Barat, danmengkondisikan berkembangnya nilai konsumtif di mana penduduk Amerika Latin tidak dapat menghindarinya. Situasi ini melahirkan hubungan ketergantungan, di mana posisi Amerika Latin hanya sebagai pasar dari perluasan produk teknologi negara Barat (Mosco, 1996:126-128). .Sementara itu, studi yang berangkat dari perspektif kritis juga dilakukan di negaranegara Asia. Moris Suzuki misalnya, ia telah melakukan studi dari pandangan kritis terhadap fenomena ekonomi politik komputerisasi. Studi Moris sangat penting untuk mendiskusikan studi komunikasi di Dunia Ketiga sebab studi itu mengembangkan pegangan penting pengaruh utama kedua pada pengembangan riset di Asia, mengintegrasikan bangsa Asia yang miskin ke dalam pembagian kerja internasional baru yang diatur oleh komunikasi komputer. Moris Suzuki dan bebeapa sarjana ekonomi politik komunikasi Barat seperti John Lent, Lenny Siegal, Mechael Traber, dan Gerald Sussman menyerang pandangan kaun developmentalis yang yakin bahwa pembangunan ICT di negara-negara berkembang akan mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pada akhirnya meningkat kesejahteraan rakyatnya. Lent telah secara luas dan mendalam melakukan studi dan menulis media di Asia dengan menggunakan perspektif kritis. Melalui pusat studinya dan Global Elecronic Information Newsletter, Siegal telah mendokumentasikan kemajuan industri mikroelektronik di Asia dan kaitannya dengan kepentingan Amerika Serikat. Mealalui World Association for Christian Communication di London, Traber mendukung karya kritis di Asia lewat tulisannya di majalah Meida Development. Sementara itu, Sussman telah secara ekstensif menulis komunikasi, informasi, dan perkembangan di Asia. Umumnya mereka ini 6

sepakat bahwa dengan memanfaatkan ICT, memang mampu meningkatkan tingkat pertumbuhan ekonomi, akan tetapi semua itu sangat rapuh, karena mereka tergantung pada negara produsen inti, khususnya Jepang dan AS, terutama mereka sangat tergantung pada produk teknologi canggih (Mosco, 1996). Pandangan Developmentalistik Perspektif develomentalstik, berpendapat bahwa, kaum develomentalistik “menempatkan teknologi sebagai faktor menentukan juga mendapat perlawan dari apa yang dikenal sebagai perspektif social-determinism atau social shaping. Pandangan ini mengatakan bahwa pada dasarnya teknologi adalah merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri, sebuah hasil konstruksi rekayasa masyarakat, bukan sebuah fenomena yang terpisah dari konteks social. Diterminisme social merupakan proses yang mutual di mana perkembangan teknologi dan praktik social saling menentukan kehidupan social . Perspektif diterminisme social ini kemudian menjadi perpektif alternatif dalam penelitian komunikasi, kajian budaya, dan kajian informasi sejak decade 1990-an, dan bahkan kemudian menjadi perspektif yang dominant dalam kajian budaya. Senada dengan itu bahwa pencapaian kemajuan masyarakat, demokratisasi, dan percepatan pertumbuhan ekonomi ternyata tidak dengan serta merta berjalan seiring dengan pemanfaatan ICT, terutama di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Menemukan kenyataan yang berbeda dan bahkan sebaliknya. Ia menguji sejumlah perspektif teoretik dalam hubungan antara teknologi informasi dengan masyarakat, yang ia klasifikasikan ke dalam 4 kelompok, yaitu fungtional neutrality, instrumentalis, ahistorical inherence, dan historical inherence. Fortier menemukan bahwa ternyata kehadiran teknologi komunikasi dan informasi dalam hubungan proses kerja tidak meningkatkan produktivitas, tetapi justru pengaruhnya dalam produktivitas perlu dipertanyakan. Ia berpendapat bahwa penekanan pada produktivitas, pada kenyataannya teknologi komunikasi dan informasi juga merupakan alat mengontrol buruh dengan memasukkan tenaga kerja dalam proses hubungan produksi, sehingga terjadi justru peningkatan perampasan surplus-labour dan keuntungan, serta mengabaikan produktivitas. Dalam berbagai kesempatan, teknologi komunikasi dan informasi dikatakan mampu mengurangi ongkos transaksi dan memperkuat konsumen dengan memperbolehkan friction-free capitalism. Akan tetapi Fortier menunjukan bahwa pola-pola pemasaran dan perilaku monopolistik ekonomi kuno memproduksi secara penuh ke dalam ekonomi baru, yang membuat pengguna ICT menjadi konsumen yang ditaklukan daripada diberdayakan. Dalam kaitan dengan penguatan demokratisasi, Fontier juga menemukan bahwa terutama dalam penggunaan internet, terjadi peningkatan dominasi melalui nilai tambah tinggi (high-value-added) media yang oligopolistik yang terus mengontrol dan mengkondisikan terjadinya mekanisme perampingan peran media konvensional sebelumnya. Akhirnya, diskusi santer mengklaim bahwa teknologi komunikasi dan informasi dan jaringan komputer mampu mencegah pensensoran dan monitoring informasi, mengikis kemampuan negara yang otoriter, korporasi yang monopolistic dan penjaga ideologi yang mengontrol wacana dan menekan perbedaan pendapat. Pada kenyataannya klaim tersebut tidak terbukti, 7

Fortier berpendapat bahwa memang teknologi komunikasi dan informasi mampu membuat pengawasan yang lebih ketat dan efisien, tetapi hasilnya, baik teknologi dan isi informasi jaringan komputer justru telah disensor, diawasi, dan diatur oleh kekuatan dominan untuk memaksakan ideologi politik dominan yang dikehendakinya. Dalam pandangan kaum developmentalistik setiap penemuan baru dalam ilmu pengetahuan dan teknologi akan dimanfaatkan untuk mengatasi berbagai permasalahan dalam upaya meningkatkan kualitas hidup manusia. Lebih dari itu, setiap produk penemuan baru harus terus-menerus dikembangkan melalui serangkaian kegiatan penelitian pengembangan, dengan mengantisipasi berbagai ekses negatif yang akan ditimbulkan. Secara ekonomi, produk penemuan baru akan dipakai untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, dan menjadi komoditas yang memasuki pasar dunia dalam sekala luas. Ini juga berlaku dalam bidang ICT, khususnya Internet, dan bahkan telah mampu menggeser fondasi aktivitas ekonomi secara fundamental, dengan berubahnya basis ekonomi dari ekonomi barang dan jasa, menjadi ekonomi berbasis informasi yang menuju ekonomi kreatif. Potensi ICT yang luar biasa dalam mendorong pertumbuhan ekonomi kemudian dimanfaatkan oleh kaum pebisnis dan para pengambil kebijakan politik untuk terus mengembangkan ICT melalui pembentukan organisasi internasional dan mengeluarkan kesepakatankesepakatan baru. Sejumlah dana dalam jumlah besar terus dikucurkan untuk membiaya riset-riset pengembangan, pembentukan kelembagaan, dan perluasan industri ICT ke seluruh penjuru dunia. Hasilnya memang luar biasa, ICT kemudian menjadi ikon baru dalam wilayah ekonomi, politik, dan kebudayaan yang bergerak secara meyakinkan menuju ke masa depan peradaban baru. Sejumlah besar negara maju, lembaga donor, dan swasta menguncurkan dana dan bermacam-macam sumber daya lainnya bagai perluasan akses komputer dan internet, terutama bagi masyarakat miskin pedesaan di negara-negara berkembang. Pembelaan kaum developmentalistik Kaum pendukung perspektif kritis senantiasa berangkat dari tesis bahwa kegagalan pembangunan di negara berkembang senantiasa ada hubungannya dengan kesuksesan di negara maju. Jadi tidak berdiri sendiri, dalam arti bahwa berbagai eksperimen negara maju untuk memajukan negara berkembang melalui berbagai program pembangunan yang disuplai pendanaannya dari Barat, bukanlah tanpa kepentingan. Semuanya dilakukan dalam konteks perluasan pasar demi kepentingan Barat, melalui pemeliharaan relasi yang hegemonik, sebagaimana yang dasar teoretiknya menggunakan pandangan Marxian. Gramsci misalnya, menyimpulkan bahwa budaya Barat sangat dominan terhadap budaya di negara-negara berkembang, sehingga negara berkembang terpaksa mengadopsi budaya Barat. Dalam konteks pembangunanisme, konsep Gramsci memang sangat dekat dengan dasar pemikiran teori dependensi dari Cardoso, termasuk imperialisme strukturalnya Johan Galtung, dan imperialisme kultural dari Herbert Schiller. Kaum developmentalis memberikan tanggapan atas kritik dari kalangan yang mendukung perspektif kritis. Jawaban kaum developentalis terhadap pendukung teori 8

ketergantungan di seputar pembahasan gagalnya pembangunan di negara-negara berkembang, tidak seperti yang diasumsikan oleh teori depedensi. Menurut kaum developmentalis penerapan model-model pembangunan yang meniru sukses negara maju yang kapitalis mengalami kegagalan penerapannya di negara berkembang karena empat faktor: pertama , proses diferensiasi di dunia ketiga sendiri, terutama kesuksesan ekonomi beberapa negara berkembang dengan menggunakan strategi yang berorientasi pada pasar dunia, justru menentang kesimpulan-kesimpulan utama teori hegemoni dan dependensi (Rullmann 1996). Kedua , teori-teori tersebut memanfaatkan sebuah perspektif global dan dengan demikian tidak menyadari adanya ketidakseimbangan sosial, struktur patrimonial dan eksploitasi di negaranegara berkembang sendiri (Servaes, 1995). Ketiga , teori hegemoni dan dependensi ternyata gagal dalam mengusulkan solusi-solusi yang bermanfaat dalam konteks global. Keempat , referensi historis yang mengarah kepada masa penjajahan dan hegemoni ekonomi global sebagai sebab kemacetan perkembangan di sebagian Dunia Ketiga harus dilihat sebagai hal yang sangat problematis. Perlu kita ingat bahwa Afghanistan misalnya, yang tidak pernah dijajah oleh negara Barat, sampai sekarang tetap tidak mampu berkembang, dilihat tidak hanya dari perspektif model demokrasi Barat (Hanitzsch, 2001). Kaum developmentalis menilai bahwa perspektif kritis yang mengambil dari tradisi pemikiran Antonio Gramsci sudah tidak relevan. Mereka menilai bahwa persepsi terhadap Gramsci oleh pakar sosiologi di dunia ketiga yang sangat positif itu barangkali terjadi karena mereka sering dengan mudah dan tidak kritis mengadopsi model dan teori sosiologi Barat yang sudah ketinggalan jaman seperti modernisme, dependensi dan hegemoni. Dengan demikian, tanggung jawab atas segala kegagalan di Dunia Ketiga bisa dilempar ke negara-negara maju. Dalam kaitannya dengan media, kaum developmentalistik memandang bahwa media massa sebenarnya tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari masyarakat. Dalam bahasa teori sistem sosial yang terus menerus dikembangkan di Jerman, fungsi media massa adalah memungkinkan pengamatan diri masyarakat (Marcinkowski 1993). Fungsi media massa sebenarnya bukan 'merekonstruksikan realitas sosial', Dengan kata lain, media massa merupakan cermin kebaikan dan keburukan masyarakat, bukan mencerminkan (dalam arti meng- copy ) keadaan masyarakat. Menurut pandangan kaum developmentalistik, sebagian besar pakar cultural studies yang mendasarkan diri pada perspektif kritis, selama ini masih melihat konsumsi media massa sebagai proses penciptaan budaya yang berkaitan dengan kuasa (Ang, 1999) dan mengandung bahaya hegemoni Barat (Hepp, 1999). Walaupun demikian, suatu perubahan dalam pengertian cultural studies terhadap media massa sudah terlihat. Douglas Kellner misalnya menuntut pendekatan metateoretis dan multiperspektifis dalam menganalisis proses penyampaian pesan media (Kellner 1999). Demikian juga pakar-pakar sosiologi yang memanfaatkan potensi teori sistem sosial 9

pasca-Talcott Parsons. Proses penyampaian pesan dalam ilmu komunikasi kini dipandang sebagai proses yang dinamis dan transaksional. Artinya, khalayak juga aktif dalam proses tersebut. Publik tidak tinggal diam dan menerima pesan-pesan media massa begitu saja, melainkan paling tidak memilih pesan yang layak diterima. Sebaliknya, media juga sangat tergantung pada nilai-nilai kultural masyarakat pada umumnya. ICT di Indonesia Merujuk pada berbagai perspektif sebagaimana diuraikan di atas, maka perkembangan ICT, terutama yang dilakukan oleh pemerintah, mengikuti asumsiasumsi kaum developmentalistik. Semakin meluasnya jaringan internet, jaringan telepon, kemudian menyusul mobilephone, dan bersamaan dengan itu terjadi penemuan baru di bidang teknologi informasi secara susul-menyusul, maka kehadiran ICT menjadi semakin imperatif. Hampir semua sektor tidak bisa menghindar dari rambahan ICT, mulai dari sektor bisnis, politik, pertahanan, hingga kebudayaan. Pola-pola interaksi di semua sektor tersebut mengalami perubahan secara cukup signifikan sebagai konsekuensi perkembangan era jaringan. Pemerintah merespons perkembangan baru ini dengan satu sikap optimistik, dan menyambutnya secara terbuka kehadiran ICT dengan keyakinan penuh akan dapat menjadi sarana bagi upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pemerintah terus meningkatkan anggaran untuk pembangunan infrastruktur yang mendukung pemanfaatan ICT di berbagai bidang, dengan dibayangkan Indonesia akan siap memasuki dalam apa yang dikenal sebagai masyarakat informasi. Kesiapan memasuki masyarakat informasi didefinisikan sebagai kemampuan masyarakat untuk menggunakan dan menarik manfaat dari ICT, yang didukung oleh: (1) knowledge, yaitu pengetahuan minimal yang harus dimiliki untuk menjadi suatu masyarakat informasi. Selain itu semakin banyaknya pengguna bahasa asing yang dipakai oleh masyarakat, terutama Bahasa Inggris; (2) infrastruktur, yaitu ketersediaan sarana yang mendukung masyarakat informasi; dan (3) affortability, yaitu kemampuan yang kondusif dalam menggunakan berbagai teknologi Pemerintah Indonesia terobsesi dapat masuk dalam era informasi, dengan memperhatikan standar yang ditetapkan oleh International Telecommunication Union (ITU). Lembaga ini menetapkan standar kesiapan masyarakat informasi yang diukur dalam 100 orang penduduk dalam kaitannya dengan kepemilikan sambungan telepon, pesawat radio, televisi, langganan surat kabar, akses internet dan lain-lain. Obsesi ini mendorong terus meningkatkan anggaran bagi pembangunan ICT yang diarahkan agar mencapai target masyarakat informasi Indonesia. Pemerintah kemudian serius menyongsong kehadiran ICT ini terlihat pada kebijakan yang telah ditetapkan. Pada aspek kelembagaan misalnya, sejak dibubarkannya Departemen Penerangan, kemudian dihidupkan kembali dengan nama Departemen Komunikasi dan Informatika yang mengurusi regulasi ICT dan pemanfaatannya. 10

Setelah itu terbit Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 2006 tentang Dewan Teknologi dan Komunikasi Nasional yang mempunyai tugas antara lain: (1) merumuskan kebijakan umum dan arahan strategis pembangunan nasional, melalui pendayagunaan ICT; (2) melakukan pengkajian dalam menetapkan langkah-langkah penyelesaian permasalahan strategis yang timbul dalam rangka pengembangan ICT; dan (3) memberikan persetujuan atas pelaksanaan program ICT yang bersifat lintas departemen agar efektif dan efisien. Pembangunan infrastruktur pun terus digalakan bekerjasama dengan berbagai pihak yang dapat menanamkan investasi dalam pembangunan infrastruktur terutama fiber optik. Melalui Depkominfo, pemerintah telah mencanangkan pembangunan infrastruktur ICT baik infrastruktur teknis maupun jaringan. Secara umum infrastruktur ICT yang bersifat teknis meliputi: (1) infrastruktur jaringan, mencakup jaringan komunikasi fisik, teknis pendukung komunikasi data, sistem keamanan jaringan, jaringan sosial, dan manajemen jaringan; (2) infrastruktur informasi (content), mencakup struktur basis data, keamanan data, dan manajemen infrastruktur informasi; (3) infrastruktur aplikasi mencakup aplikasi e-goverment, sistem informasi keputusan (DSS); dan (4) infrastruktur media massa, yaitu media cetak, radio, televisi, film, dan media on-line. Sedangkan pengembangan infrastruktur jaringan, beberapa alternatif yang dikembangkan meliputi: (1) pemanfaatan teknologi Vertical Blanking Interval (VBI) dari sektor industri penyiaran, Power Line Communication (PLC), Internet/telepon melalui jaringan listrik dan pemanfaatan Voice over Internet Protocol (VoIP) secara lebih luas; (2) fasilitas peningkatan pengembangan Warnet, wartel, dan pusat-pusat Multi Media Depkominfo dan program 1 sekolah satu komputer (OSOL); (3) penggunaan teknologi tepat guna di bidang ICT untuk daerah-daerah terpencil dan Usaha Kecil Menengah; (4) pendirian lembaga yang akan mendukung sistem informasi nasional terutama terkait dengan keamanan, kendali jaringan, masalah komputer, pemulihan data, pusat data, audit, dan sistem kendali; dan (5) pembentukan organisasi yang melibatkan data provider, yaitu instansi-instansi terkait yang bertanggung jawab atas tiga data primer yang meliputi data penduduk, wilayah, dan pemerintah. Dunia ekonomi juga terambah oleh kemajuan ICT, ditandai dengan tumbuhnya berbagai bisnis yang dikemas dalam yargon new economy. Bisnis ini tidak didasarkan dengan pada business plan yang riil, sehingga yang lalu tercipta bukan new economy, tetapi buble economy, hingga bisnis internet atau sering disebut juga bisnis dotcom mengalami booming di tahun-tahun awal 2000. Transaksi e-commerce misalnya, telah menjadi bagian dari perniagaan nasional dan internasional. Sebagai contoh misalnya, orang membayar zakat atau berkurban pada saat Idul Adha, atau memesan obat-obatan yang bersifat sangat pribadi orang cukup melakukannya melalui Internet. Bahkan untuk membeli majalah, membayar berbagai rekening 11

pelayanan publik, membeli tiket pesawat orang bisa langsung dengan mendebit pulsa telepon seluler melalui fasilitas SMS. KESIMPULAN DAN SARAN Merujuk pada berbagai perspektif sebagaimana diuraikan di atas, maka pengembangan ICT di Indonesia, mengikuti asumsi-asumsi kaum developmentalistik. Mengiringi maraknya perkembangan ICT itu, berbagai riset yang mengambil tema ini juga semakin marak. Berbagai riset telah dilakukan, tetapi lebih banyak yang menggunakan paradigma yang diterminisme teknologi, dengan menempatkan teknologi memiliki pengaruh yang menentukan terhadap perubahan masyarakat. Semua asumsi yang dibangun menuju ke satu kesimpulan, bahwa dengan mengadopsi ICT akan membawa kemajuan di segala bidang, dan sebaliknya jika tidak, akan menjadi ketinggalan. Kecenderungan seperti itu sangat terasa di kalangan lembaga pendidikan yang dengan antusias menggunakan ICT untuk kepentingan pengembangan kualitas pendidikan. Demikian pula yang terjadi dalam lingkungan pemerintahan, ICT diyakini akan mendorong terjadi pemerintahan demokratis, sementara di dunia perekonomian, adopsi ICT akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Bersamaan dengan itu, masih terasa minim studi yang melihat ICT dari sudut pandang ekonomi politik yang menggunakan perspektif kritis. Sebagaimana diketahui, kehadiran media massa, termasuk media genre baru yaitu media on-line, kemudian melahirkan disiplin baru yang dikenal dengan ilmu komunikasi, dan belakangan menyusul disiplin ekonomi politik media atau ekonomi politik komunikasi. Yang terakhir ini memusatkan perhatiannya pada pertumbuhan produksi dan bisnis media massa dan kaitannya dengan hubungan-hubungan sosial, ekonomi, maupun politik yang dilihat dari perspektif ekonomi politik. Studi tentang perkembangan komunikasi massa di Indonesia, masih belum terlalu banyak yang menggunakan perspektif ekonomi politik media. Begitulah, sikap pemerintah Indonesia yang sangat antusias terhadap pembangunan ICT yang berkolaborasi dengan kalangan industri ICT di negara-negara maju untuk menuju masyarakat informasi, merupakan indikasi dianutnya asumsi kaum developentalistik. Berangkat dari kesimpulan tersebut, jika dilihat dari perspektif kritis dapat diajukan proposisi sebagai berikut. Pengembangan ICT di Indonesia merupakan implikasi logis dari ekspansi kekuatan kapitalisme global yang mengendalikan pasar ICT, terutama yang berkaitan dengan media online. Oleh karena itu, pembangunan ICT di Indonesia menjadi sasaran dari strategi negara-negara kapitalisme global untuk perluasan pasar, yang membuat semakin tergantung. Memang harus diakui bahwa kehadiran ICT di Indonesia menyebabkan terjadinya perubahan yang signifikan dalam berbagai sektor, baik politik, ekonomi, dan sosialbudaya. Akan tetapi konstruksi perubahan itu terasa bias Barat, karena 12

berkembangnya asumsi positivistik yang membayangkan masyarakat Indonesia akan menjadi masyarakat ideal sebagaimana yang sekarang telah terjadi di Barat yang merupakan produsen ICT. Sementara kenyataannya Indonesia lebih berada dalam posisi tergantung, dan sekadar menjadi konsumen produk ICT yang datang dari negara-negara produsen. DAFTAR PUSTAKA Afrizal dkk., 2007, Media Rakyat: Mengorganisasi Diri Melalui Informasi, Yogyakarta: Combine Resource Institution. Cardoso, Fernando Henrique/Enzo Falletto (1979): Dependency and Development in Latin America , Berkeley. Fortier, Francois, 2001, Virtuality Check: Power Relations and Alternatif Strategies in Information Society, London:Verso. Giddens, Anthony, 1994, The Consequences of Modernity, Cambridge: Polity Press. Golding, Peter, dan Graham Murdock, 1997, The Political Economy of Media, Volume II, Cheltenham: Edward Elgar Publishing Co. Halloran, James D. (1998): "Social Science, Communication Research and the Third World", in: MEDIA DEVELOPMENT (1998)2, 43-46. Hanitzsch, Thomas, Realitas dan Kajian Media, Newsletter KUNCI No. 9, Maret 2001 Hepp, Andreas (1999): Cultural Studies und Medienanalyse, Eine Einführung, Opladen. Held, David, et.al., 1999, Global Transformations: Politics, Economy, and Culture. Stanford, California: Stanford University Press. Lievrouw, Leah and Sonia Livingstone, 2006, New Media, London: Sage Publications. Mosco, Vincent and Janet Wasko (1988), The Political Economy of Information, Medison, University of Wisconsin Press, 1988, pada kontribusi ICT dalam revolusi krisis Fordist. Straubhaar, Joseph and Robert LaRose, 2006, Media Now, Understanding Media, Culture, and Technology. United Stated, Australia: Thomson Wadswroth.

13

INFORMATION DAN COMMUNICATION TECHNOLOGY (ICT) DALAM PERSPEKTIF EKONOMI-POLITIK MEDIA

Oleh : Budi Santoso, ST. MMSi. M.I.Kom

UNIVERSITAS GUNADARMA JAKARTA OKTOBER 2012

14

15