IDENTIFIKASI MOLEKULER SPESIES BTM 11, ISOLASI, KARAKTERISASI, DAN UJI AKTIVITAS INHIBISI PROTEIN LEKTIN
RHESTU ISWORO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Identifikasi Molekuler Spesies BTM 11, Isolasi, Karakterisasi, dan Uji Aktivitas Inhibisi Protein Lektin” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada IPB dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor, Desember 2016
Rhestu Isworo NRP C351130331
RINGKASAN RHESTU ISWORO. Identifikasi Molekuler Spesies BTM 11, Isolasi, Karakterisasi, dan Uji Aktivitas Inhibisi Protein Lektin. Dibimbing oleh MALA NURILMALA dan APON ZAENAL MUSTOPA. BTM 11 merupakan kode untuk mikroalga yang diisolasi dari perairan laut Batam, dengan lokasi spesifik yaitu pada titik/stasiun ke-11 di area pengamatan. BTM 11 telah dikembangkan oleh Laboratorium Biorekayasa Lingkungan Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI Cibinong Bogor. Mikroalga ini memiliki senyawa bioaktif polisakarida dan flavonoid. Salah satu protein yang terdapat dalam mikroalga adalah protein lektin. Lektin merupakan protein non-imunoglobulin (bukan antibodi) yang mengikat secara spesifik bagian karbohidrat tertentu. Hasil penelitian sebelumnya melaporkan bahwa lektin mampu bersifat antikarsinogenik dan antivirus. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi spesies BTM 11, mengisolasi, mengkarakterisasi, dan menguji aktivitas inhibisi enzim RNA helikase hepatitis C serta antibakteri potein lektin. Kultivasi pada media Sea Water Batam (SWBT) 10 L menghasilkan biomassa kering 7.24 gram selama 7 hari. Biomassa kering digunakan sebagai sampel untuk identifikasi molekuler melalui tahapan isolasi DNA dan amplifikasi DNA menggunakan gen 16S-rRNA. Produk PCR yang diamplifikasi dengan primer 16S-rRNA menunjukkan ukuran 1500 bp. Tahapan selanjutnya adalah purifikasi gel dan proses sekuensing. Hasil analisis data sekuensing menunjukkan BTM 11 memiliki homologi terhadap Geitlerinema sp sebesar 98%. Biomassa kering hasil kultivasi BTM 11 diisolasi protein lektinnya. Isolasi protein lektin menggunakan pengendapan amonium sulfat 75%. Ekstrak kasar hasil pengendapan amonium sulfat dimurnikan menggunakan kolom filtrasi gel Sephadex G-50. Hasil kromatogram terbaik adalah fraksi 6 dan 7. Hasil isolasi protein lektin menunjukkan nilai aktivitas hambat paling tinggi terdapat pada metabolit ekstraksi yaitu 439.6 mm2/mL. Total protein tertinggi juga terdapat pada metabolit ekstraksi yaitu 288 mg. Aktivitas spesifik tertinggi 11.32 AU/mg dengan kelipatan kemurnian 7.42 pada tahap purifikasi Sephadex G-50. Aktivitas spesifik menunjukkan jumlah aktivitas hambat dalam 1 mg. Nilai kelipatan kemurnian meningkat selama proses ekstraksi sampai dengan purifikasi. Karakterisasi protein lektin dengan Sodium Dodesil Sulfat Poliakrilamid Gel (SDS-PAGE) menunjukkan bobot molekul sebesar 17 kDa. Uji hemaglutinasi bertujuan mengetahui aktivitas aglutinasi protein terhadap darah yang menunjukkan adanya protein lektin. Hasil uji hemaglutinasi dengan sampel darah golongan O menunjukkan nilai titer uji 64 (tanpa dilusi). Aktivitas protein lektin stabil pada suhu 50 oC. Perlakuan penambahan MgCl2 dan CaCl2 menunjukkan aktivitas inhibisi protein lektin tetap stabil. Aktivitas inhibisi diuji menggunakan penghambatan enzim RNA helikase hepatitis C dan antibakteri. Hasil uji penghambatan enzim RNA helikase hepatitis C adalah sebesar 57.90% (dilusi 40x) dan 27.55% (dilusi 80x). Uji antibakteri menunjukkan protein lektin mampu menghambat bakteri Staphylococcus aureus ATCC 6538 dan Salmonella typhii ATCC 25241. Kata kunci: mikroalga BTM 11, 16S-rRNA, lektin, RNA helikase hepatitis C, antibakteri
SUMMARY RHESTU ISWORO. Molecular Identification of BTM 11, Isolation, Characterization, and Inhibition Activity of Lectin. Supervised by MALA NURILMALA and APON ZAENAL MUSTOPA BTM 11 is a code for microalga isolated from Batam sea, with a specific location of station number 11 in observation area. Research of BTM 11 has been developing by the Laboratory of Environmental Bioengineering, Research Center for Biotechnology, Indonesian Institute of Science, Cibinong, Bogor. It has bioactive compounds such as polysaccharides and flavonoids. One of proteins produced by microalgae is a lectin which is non-immunoglobulin protein having ability to specifically bind carbohydrate molecules. Lectin is reported as anti-carcinogenic and antiviral properties. Therefore, this study is aimed to identify microalga BTM 11 species using molecular approach, to isolate, and characterize lectin protein as well as to test its inhibitory activity. Cultivation conducted on 10 L SWBT produced dry biomass approximately 7.24 gram for 7 days. Dry biomass was used as sample for molecular identification through DNA isolation and DNA amplification by 16S-rRNA gene. The PCR product with size of 1500 bp was purified and sequenced to obtain its genetics information. Microalga BTM 11 depicted species homology with Geitlerinema sp (98%). Protein lectin was isolated from dry biomass of microalga BTM 11. Protein isolation was precipitized by ammonium sulfate 75%. The crude extract was purified by gel filtration chromatography using Sephadex G-50. The best result were 6 and 7 fractions. The stage of protein isolation showed the highest inhibitory activity in the metabolites extraction of 439.6 mm2/mL. The highest total protein was obtained from metabolite extraction of 288 mg. The highest specific activity of 11.32 AU/mg with a purity level of 7.42 was obtained from purification Sephadex G-50. Spesific activities illustrated the number of inhibitory activity in 1 mg. The degree of purity has been increased started from extraction until the purification steps. Lectin characterization by SDS-PAGE showed that molecular weight was 17 kDa. Lectin protein of BTM 11 had hemagglutination activity which the highest hemagglutination activity on O blood type of 64 titer test (without dilution). The titer values indicated the presence of lectin protein. Characterization of lectin protein showed stable with temperature treatment at 50 oC. The addition of metal treatment MgCl2 and CaCl2 showed inhibitory activity of protein lectin remaining stable. Inhibitory activity was analyzed by RNA helicase hepatitis C enzyme and antibacterial. The results of RNA helicase enzyme inhibition amounted to 57.90% (40x dilution) and 27.55% (80x dilution). Antibacterial tests showed lectin protein was able to inhibit Staphylococcus aureus ATCC 6538 and Salmonella typhii ATCC 25241. Keywords: microalga BTM 11, 16S-rRNA, lectin, RNA helicase hepatitis C, antibacterial
© Hak Cipta Milik IPB dan LIPI, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB dan LIPI Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB dan LIPI
IDENTIFIKASI MOLEKULER SPESIES BTM 11, ISOLASI, KARAKTERISASI, DAN UJI AKTIVITAS INHIBISI PROTEIN LEKTIN
RHESTU ISWORO
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Asadatun Abdullah, SPi MSi MSM
Judul Tesis: Identifikasi Molekuler Spesies BTM I 1, Isolasi, Karakterisasi, dan Uji Aktivitas krhibisi Protein Lektin Nama : Rhesfu Isworo NIM : c3s1r30331
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
(,.4 . Dr MalaNurilmala.
SPi
MSi
Dr Apon Zaenal Mustopa. SPt MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan
Pascasarjana
Dr Ir Wini Trilaksani, MSc
Tanggal Ujian: 2 September 2016 (tanggal pelaksanaan ujian tesis)
ranggal r*us: {J 1 DEC 2016 (tanggal penandatmganan tesis Dekan Sekolah Pascasarjana) f: ir I' I
Iil
I
lr' t: i I
I i
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya, sehingga penyusunan karya ilmiah ini dapat terselesaikan dengan baik. Tema yang dipilih pada penelitian ini adalah “Identifikasi Molekuler Spesies BTM 11, Isolasi, Karakterisasi, dan Uji Aktivitas Inhibisi Protein Lektin”. Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Mala Nurilmala SPi MSi dan Dr Apon Zaenal Mustopa SPt MSi selaku komisi pembimbing, atas bimbingan, arahan, dan masukan sehingga penelitian ini dapat diselesaikan dengan baik. Selain itu, terimakasih penulis ucapkan kepada ketua Departemen THP dan Dr Ir Wini Trilaksani, MSc selaku ketua program studi S2 THP. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dr Kustiariyah Tarman, SPi MSi selaku perwakilan dari Gugus Kendali Mutu dan Dr Asadatun Abdullah, SPi MSi MSM selaku dosen penguji luar komisi pada sidang tesis. Terima kasih kepada Dr Ir Bambang Sunarko sebagai Kepala Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI yang sudah mengijinkan penulis untuk melakukan penelitian di Laboratorium Rekayasa Genetika dan Desain Protein, Puslit Bioteknologi LIPI. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua serta seluruh keluarga atas doa dan dukungannya. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang perikanan dan kelautan.
Bogor, Desember 2016 Rhestu Isworo
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Prosedur Kerja HASIL DAN PEMBAHASAN Kultur Mikroalga BTM 11 Hasil Identifikasi Secara Molekuler Spesies Mikroalga BTM 11 Hasil Konstruksi Pohon Filogeni Berdasarkan Analisis Gen 16S-rRNA Hasil Isolasi dan Purifikasi Protein Lektin Mikroalga BTM 11 Karakteristik Protein Lektin Mikroalga BTM 11 Aktivitas Inhibisi Protein Lektin Terhadap Enzim RNA Helikase Hepatitis C Aktivitas Antibakteri Protein Lektin Mikroalga BTM 11 SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xi xi xii 1 3 3 3 3 4 4 4 9 10 11 12 14 17 19 21 22 26 34
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Sistem reaksi enzim untuk satu sampel dengan volume total 175 µl Analisis homologi sekuen gen 16S-rRNA mikroalga BTM 11 menggunakan program BLASTn Matriks jarak genetik fragmen gen 16S-rRNA berdasarkan metode pairwise distance Pemurnian protein lektin Titer uji hemaglutinasi Karakteristik suhu protein mikroalga Karakteristik protein lektin terhadap logam Aktivitas antibakteri protein mikroalga BTM 11 Zona hambat aktivitas antibakteri
8 11 11 14 16 17 17 20 20
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8
Diagram alir penelitian Kultur mikroalga BTM 11 Hasil konfirmasi elektroforesis Hasil rekonstruksi pohon filogenetik berdasarkan gen 16S-rRNA menggunakan metode Maximum Likelihood bootstrap 500x Grafik purifikasi gel Sephadex G-50 protein lektin mikroalga BTM 11 SDS-PAGE protein lektin mikroalga BTM 11 SDS-PAGE pemurnian enzim RNA helikase HCV Struktur genom virus hepatitis C
5 10 10 12 13 15 18 19
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Komposisi media SWBT mikroalga BTM 11 Komposisi media nutrient broth Komposisi media nutrient agar Tabel konsentrasi amonium sulfat Komposisi gel SDS-PAGE (akrilamid 12%) Komposisi larutan elektroforesis SDS-PAGE Komposisi reagen BCA assay Analisis BLASTn data sekuensing DNA 16S-rRNA Kurva standar BSA Nilai absorbansi kolom filtrasi gel Kurva standar bobot molekul Karakteristik suhu protein lektin Gambar aktivitas antibakteri hasil karakterisasi suhu dan logam Karakteristik logam protein lektin Hasil uji ATPase Aktivitas antibakteri protein lektin mikroalga BTM 11
28 28 28 28 29 29 30 30 30 31 32 31 32 32 33 33
PENDAHULUAN Latar Belakang Kepastian taksonomi merupakan suatu langkah awal yang perlu diperhatikan dalam suatu kegiatan penelitian. Burja et al. (2001) menyatakan identifikasi morfologi merupakan langkah umum yang dilakukan dalam proses identifikasi makhluk hidup. Penggunaan sifat morfologi seringkali menimbulkan keraguan ataupun kesalahan, sehingga diperlukan dua pendekatan lain untuk menghilangkan keraguan dalam proses identifikasi tersebut. Schubart et al. (2001) menyatakan pendekatan secara molekuler merupakan salah satu metode yang dapat digunakan untuk meminimalkan peluang terjadinya kesalahan identifikasi. Penggunaan teknik molekuler untuk tujuan identifikasi suatu organisme memiliki keunggulan yaitu lebih akurat dan lebih cepat. Studi mengenai identifikasi molekuler suatu spesies dan hubungan kekerabatannya tidak terlepas dari isolasi DNA dan amplifikasi gen. Gen 16S-rRNA adalah gen dari genom mitokondria yang sering digunakan sebagai gen standar dalam studi identifikasi molekuler. Sekuen 16S-rRNA merupakan materi genetika yang terletak pada ribosom subunit kecil (Cole et al. 2013). Mikroalga adalah organisme mirip tumbuhan berukuran seluler yang tidak memiliki akar, batang, dan daun. Habitat hidup mikroalga di wilayah perairan. Beberapa mikroalga jenis cyanobacteria memiliki variasi morfologi dalam filament yang dipengaruhi oleh sedimen habitatnya (Hasler et al. 2012). Mikroalga memiliki klorofil sebagai pigmen fotosintesis untuk memproduksi senyawa makanan yang dibutuhkan selama pertumbuhan (Kawaroe et al. 2010). Ye et al. (2008) dan Sanchez et al. (2007) menjelaskan dalam mikroalga terdapat komposisi kimia yang potensial seperti protein, karbohidrat, pigmen (klorofil dan karotenoid), asam amino, lipid, dan hidrokarbon. Komponen bioaktif tersebut dapat dijadikan sebagai bahan baku untuk memproduksi produk turunannya. BTM 11 merupakan kode untuk mikroalga berwarna hijau yang diisolasi dari perairan laut Batam, dengan lokasi spesifik yaitu pada titik/stasiun ke-11 di area pengamatan. Pengamatan secara mikroskopis menunjukkan bahwa sel BTM 11 berbentuk filamen panjang berwana hijau. Mikroalga BTM 11 sedang dikembangkan karena diketahui memiliki komponen aktif polisakarida dan flavonoid yang memiliki banyak manfaat untuk bidang kesehatan. Terkait dengan potensi BTM 11 tersebut, belum dilakukan identifikasi spesies secara molekuler untuk mikroalga BTM 11. Penelitian BTM 11 telah dilakukan oleh Mustopa et al. (2015) yang menyatakan ekstrak BTM 11 dengan pengujian kolorimetri Adenosin Tri Phospate (ATP) menunjukkan aktivitas penghambatan yang tinggi terhadap aktivitas enzim RNA helikase virus hepatitis C (HCV). Selain itu BTM 11 memiliki komponen flavonoid yang berpotensi untuk terapi antivirus, khususnya sebagai anti HCV. Hasil purifikasi polisakarida BTM 11 menunjukkan aktivitas penghambatan terhadap enzim RNA helikase HCV sekitar 87.7% sedangkan pada ekstrak kasar sebesar 64,65%. Pada tahapan proses ekstraksi polisakarida yaitu dengan maserasi, deproteinasi Trichloroacetic acid (TCA), dan pemekatan freeze dryer menunjukkan aktivitas inhibisi enzim RNA helikase paling rendah dengan
2
perlakuan deproteinasi TCA. Penurunan aktivitas inhibisi tersebut dikarenakan lebih banyaknya senyawa yang mengendap (non polisakarida), termasuk kemungkinan di dalamnya adalah senyawa protein. Salah satu protein yang terdapat dalam mikroalga adalah protein lektin. Lektin merupakan protein non-imunoglobulin (bukan antibodi) yang mengikat secara spesifik atau mengaglutinasi pada bagian karbohidrat tertentu (Huskens dan Dominique 2012). Lektin ditemukan tersebar di berbagai organisme seperti spons, alga, prokariot, ikan, tanaman, fungi, serealia, sayuran, dan buah-buahan. Lektin pada mikroalga memiliki karakteristik umum yaitu bersifat monomerik, berat molekul proteinnya rendah, kandungan asam amino tinggi akan asam, tidak membutuhkan ion logam untuk aktivitas biologisnya, dan sebagian besar menunjukkan spesifitas untuk glikoprotein (Hori et al. 1990). Spesifitas lektin dalam mengikat karbohidrat membuat zat bioaktif ini digunakan dalam bidang biokimia dan biomedis. Nascimento et al. (2006) menyatakan bahwa struktur lektin mikroalga berukuran kecil dan memiliki ikatan disulfida sehingga digunakan sebagai alat untuk penanda sel dalam mendiagnosis suatu penyakit dan sebagai target obat. Lektin adalah protein yang banyak digunakan dalam penelitian biomedis. Protein lektin pada mikroalga memiliki banyak manfaat untuk biomedis diantaranya sebagai antitumor, anti Human Immunodeficiency of Virus (HIV), anti inflammantory, antijamur, antibakteri, dan antivirus (Nascimento et al. 2012; Teixera 2012; Hori et al. 2009). Lektin bekerja sebagai antivirus dengan cara mencegah fusi antara virus dengan membran sel dengan cara mengikat glikan yang kaya mannosa dan bagian glikoprotein virus (Moura et al. 2006). Lektin dari mikroalga laut diketahui banyak sebagai produk antivirus (Triveleka et al. 2003). Lektin dari cyanobacteria dan makroalga laut lainnya dapat digunakan untuk pencegahan proses transmisi dari berbagai macam virus dari permukaan selnya seperti HIV, influenza, HCV, Ebola, dan Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus (SARS-CoV) (Ziolkowska dan Wlodawer 2006). Beberapa penelitian lektin mikroalga hijau yang telah dilakukan yaitu pada Boodlea coacta sebagai anti-HIV (Sato et al. 2011). Lektin Kappaphycus alvarezii mampu menghambat kerja virus influenza. Griffithsia sp mampu menghasilkan lektin yang menghambat siklus hidup virus SARS. Lektin pada jenis alga yang bersifat antikarsinogenik adalah Enteromorpha (Ambrosio et al. 2003), Ulva lactuva (Wang et al. 2004), dan Codium barbatum (Praseptiangga et al. 2012) dengan mekanisme kerjanya mampu mengikat bagian monosakarida sel inang. Aktivitas protein lektin mikroalga juga dapat diterapkan sebagai antibakteri. Aplikasi protein sebagai antibakteri sangat bermanfaat sejak dapat diterima oleh tubuh dan hanya memiliki sedikit efek samping untuk kesehatan. Oleh karena itu penelitian menggunakan protein sebagai sumber antibakteri kesehatan terus berkembang. Lektin bersifat antibakteri karena mampu berinteraksi dan merusak sel permukaan membran dari bakteri dan membunuh sel dengan mekanisme yang kompleks. Mikroalga merah jenis Gellidium amansiii menghasilkan protein lektin yang mampu menghambat kerja bakteri Gram-negatif dan positif (Massi dan Ahmad 2012).
3
Perumusan Masalah Mikroalga di Indonesia adalah sumber alami yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai produk farmasi. Mikroalga BTM 11 telah ditemukan dan memiliki beberapa kandungan senyawa bioaktif. Namun demikian kepastian taksonomi dari mikroalga BTM 11 belum diketahui, oleh karena itu perlu dilakukan identifikasi spesies BTM 11 secara molekuler. Eksplorasi protein dari mikroalga belum banyak dilakukan di Indonesia, khususnya pada protein lektinnya. Karakteristik protein lektin mikroalga BTM 11 perlu diteliti lebih lanjut serta aktivitas penghambatannya terhadap beberapa bakteri patogen dan virus penyebab penyakit. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi secara molekuler spesies mikroalga BTM 11, mengisolasi, dan mengkarakterisasi protein lektin BTM 11, serta menguji aktivitas inhibisi protein lektinnya terhadap bakteri dan enzim RNA helikase HCV. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang jenis spesies mikroalga BTM 11, informasi mengenai karakteristik dan kemampuan aktivitas inhibisi protein lektin serta studi bioinformatika sebagai dasar pengembangan riset lanjutan dalam aplikasi bidang medis. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini dimulai dari identifikasi molekuler yang dilakukan untuk mendapatkan sampel DNA dan hasilnya disekuensing untuk mengkonfirmasi susunan gen dan penentuan identitas spesiesnya. Tahap selanjutnya isolasi ekstrak kasar protein lektin sampai tahap pemurnian. Kajian karakteristik isolasi protein lektin dilakukan untuk mengetahui sifat protein tersebut. Ekstrak kasar juga diujikan aktivitas inhibisinya terhadap enzim RNA helikase hepatitis C dan beberapa bakteri patogen.
4
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan dari bulan September 2015 sampai dengan bulan Mei 2016 di Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Cibinong. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan adalah isolat BTM 11 dari Laboratorium Biorekayasa Lingkungan Puslit Bioteknologi LIPI Cbinong Bogor , media SWBT, nitrogen cair, bufer Tris Buffer Saline (TBS), amonium sulfat (Merck), Sephadex G-50 (GE Healtcare), bufer Cetyltrimethyl Ammonium Bromide (CTAB), chloroform, isoamilalkohol, isopropanol, sodium asetat, etanol 70%, ddH2O, RNAase, primer forward dan reverse, tris-aminometana (Merck), kloramfenikol (Gold Bio), Sodium Dodesil Sulfat (SDS) (Sigma), metanol (Merck), etanol (Merck), asam asetat glasial (Merck), TEMED (Sigma), akrilamid (Bio Basic Inc), amonium persulfat (APS) (MP Biomedicals), alkohol teknis, DNA Leader Gene Ruler 1 kb (Thermo Scientific), SpectraTM Multicolor Low Range Protein Ladder (Thermo Scientific), dan akuades steril. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sentrifus (Hermle), set elektroforator SDS-PAGE (ATTO), shaker inkubator (N-Biotek Inc.), inkubator (Firlabo), rocker (N-Biotek Inc.) Laminar Air Flow (ESCO), pH meter (Eutech Instruments), neraca analitik (ACIS), microplate 96-well (Apogent), ELISA reader (Thermo multiscan ex), stirrer (Cimarec), magnetic stirrer (Scienceware), vorteks (Barnstead), capsulefuge (Tomy), mikropipet (Gilson), tip (Axygen), tabung sentrifus (Corning), dan alat-alat gelas lainnya (Pyrex). Prosedur Kerja Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap. Tahap pertama adalah kultivasi mikroalga BTM 11. Tahapan selanjutnya yaitu isolasi DNA mikroalga, konfirmasi hasil isolasi, dan dilanjutkan dengan PCR gen 16S-rRNA mikroalga BTM 11. Produk PCR dikonfirmasi dengan elektroforesis dan purifikasi gel kemudian disekuensing dan pengolahan data hasil sekuen. Bioamassa dari hasil kultivasi diisolasi protein lektin mikroalga dengan pengendapan amonium sulfat. Tahapan selanjutnya ekstrak yang diperoleh setelah pengendapan, dimurnikan lagi dengan kolom filtrasi gel. Ekstrak dan hasil pemurnian protein lektin BTM 11 di lakukan beberapa karakterisasi sifat protein. Pengujian aktivitas protein lektin mikroalga BTM 11 dengan cara uji inhibisi terhadap enzim RNA helikase HCV dan beberapa bakteri patogen. Gambar 1 adalah tahapan prosedur kerja dalam penelitian ini.
5
Isolat Mikroalga BTM 11
Kultivasi pada media SWBT 10L
Biomassa kering
Isolasi DNA
Isolasi Protein Lektin
Konfirmasi kuantitatif dan kualitatif
Purifikasi Kolom Filtrasi Gel
Karakterisasi
PCR 16S-rRNA
Uji kualitas dan kuantitas protein
Uji Aktivitas Inhibisi
Purifikasi Gel
Uji Antibakteri
Bobot molekul, konsentrasi protein, hemaglutinasi protein, perlakuan suhu dan logam
Uji Enzim RNA Helikase Hepatitis C
Sekuensing
Analisis Sekuensing
Data Spesies mikroalga BTM 11
Gambar 1 Diagram Alir Penelitian Kultivasi Mikroalga BTM 11 (Mustopa et al. 2015) Isolat mikroalga BTM 11 dari Laboratorium Biorekayasa Lingkungan Puslit Bioteknologi LIPI dikulturkan selama 7 hari pada media SWBT sebanyak 10 L. Komposisi media SWBT dapat dilihat pada Lampiran 1. Proses kultur pada kondisi penyinaran matahari suhu ruang dengan aerasi. Kultur dipanen dengan bantuan sentrifugasi selama 10 menit dengan kecepatan 8500 g. Pelet diambil dan dikeringkan pada suhu 40 oC selama 24-48 jam. Biomassa kering disimpan pada -20 oC. Identifikasi Molekuler Mikroalga BTM 11 (Alvarez et al. 2006) Sampel 30 mg digerus dengan nitrogen cair dalam tabung 2 mL. Buffer CTAB ditambahkan 1 mL kemudian inkubasi 65 oC selama 1 jam. Sampel ditambahkan 1 mL kloroform-isoamil alkohol (24:1). Tabung divortex selama 1-5 menit sampai homogen. Proses selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 12000 rpm selama 15 menit. Fase paling atas dipindahkan ke dalam tabung baru 1.5 mL. Selanjutnya ditambahkan sodium asetat 3M dan isopropanol. Inkubasi dalam -20 oC selama 2 jam. Tabung disentrifugasi 12000 rpm selama 10 menit. Cuci pelet dengan etanol dingin 70% dan dilakukan sentrifugasi 12000 rpm
6
selama 5 menit. Pelet dikeringkan satu malam dan diresuspensi dengan ddH2O dan RNA-ase. Kemudian DNA diidentifikasi dengan primer 16S-rRNA. Kualitas hasil isolasi DNA dikonfirmasi dengan elektroforesis gel agarose 0.8% dilanjutkan menghitung konsentrasi dan kemurnian dengan spektrofotometer. Tahap selanjutnya produk DNA dilakukan PCR 16S-rRNA dengan pradenaturasi suhu 94 oC selama 3 menit. Denaturasi pada suhu 94 oC selama 1 menit, annealing pada suhu 50 oC selama 1 menit, extension pada suhu 72 oC selama 2 menit. Reaksi PCR tersebut dilakukan sebanyak 30 siklus dan terakhir ditambahkan dengan final extension pada suhu 72 oC selama 5 menit. Reaksi PCR dalam 10 µL menggunakan Mix Dream Taq terdiri 10 x Dream Taq Buffer, dNTPs (10 mM), Dream Taq DNA Polymerase, primer 16S-rRNA (Mustopa et al. 2014), dan ddH2O. Primer yang digunakan adalah primer foward 8F (5’-AGA GTTTGA TCA TGGCTC AG-3’) dan primer reverse 15R (5’-AAGGAG GTG ATC CAA CA-3’). Hasil PCR selanjutnya divisualisasi dengan teknik elektroforesis menggunakan gel agarose 1%. Tahap selanjutnya adalah purifikasi gel dan sekuensing. Data sekuensing yang didapatkan kemudian dianalisis nukleotidanya menggunakan beberapa software diantaranya MEGA5, ClustalW, Bioedit dan software tools NCBI dari data yang terdapat di Genbank. Isolasi dan Pemurnian Protein Lektin (Modifikasi Praseptiangga et al. 2012) Biomassa kering sebanyak 6 gram ditumbuk dengan bantuan nitrogen cair. Sampel distirer dalam 4 oC dengan 60 mL bufer Tris Buffer Saline (TBS). Perlakuan sonikasi pada amplitude 45%, cycle 0.5, waktu 20 detik selama tiga kali. Sampel disentrifugasi 13500 g selama 30 menit kemudian supernatan dilakukan pengendapan amonium sulfat 75%. Konsentrasi ammonium sulfat yang ditambahkan sebesar 75% dapat dilihat pada Lampiran 4. Supernatan hasil pengendapan disentrifugasi 13500 g selama 30 menit dan elusi dengan bufer TBS. Pelet pengendapan dimurnikan lagi dengan kromatografi gel filtrasi Sephadex G-50 yang sudah diekuilibrasi dengan eluen buffer TBS. Sebanyak 2 mL ekstrak ditambahkan secara perlahan ke dalam kolom dengan meneteskan pada bagian atas permukaan gel. Setiap fraksi kolom menampung ±2 mL sampai pada fraksi ke-21. Analisis Bobot Molekul dengan Sodium Dodesil Sulfat Poliakrilamid (SDS PAGE) (LaemmLi 1970) Sampel berupa metabolit, ekstrak kasar protein lektin, dan fraksi hasil kolom dianalisis bobot molekulnya dengan elektroforesis gel sodium dodesil sulfat poliakrilamid (SDS-PAGE). Gel poliakrilamid ukuran 12% (separating gel) dan 3.9% (stacking gel) dibuat dengan mencampurkan sukrosa, poliakrilamid, akuades, TEMED, dan amonium persulfat (Lampiran 5). Selanjutnya, sampel dicampurkan dengan loading dye dan didenaturasi pada suhu 95 °C selama 10 menit. Setelah perangkat elektroforesis disiapkan, sampel dan penanda bobot molekul (sebagai pembanding) dimasukkan ke sumur elektroforesis. Setelah elektroforesis selesai, gel diwarnai dengan commasie brilliant blue hingga muncul pita-pita yang menandakan bobot molekul (Lampiran 6). Uji Hemaglutinasi (Praseptiangga et al. 2012) Aktivitas hemaglutinasi menggunakan 2% eritrosit manusia (RBC) yang sudah dicuci dengan 0.85% NaCl. Pengenceran serial 0.85% NaCl sebanyak
7
25 µL pada plate dan ditambahkan 25µL RBC. Kemudian homogenkan perlahan selama 30 detik dan inkubasi suhu ruang selama 1 jam. Uji positif ditunjukkan dengan RBC menyebar di dasar well sedangkan negatif jika RBC mengendap satu titik di dasar well. Penentuan Kadar Protein (Pierce Biotechnology 2013) Sampel dari fraksi dengan aktivitas inhibisi tertinggi diukur kadar proteinnya secara kuantitatif menggunakan uji Bicinchoninic Acid (BCA) menggunakan kit bovine serume albumine (BSA). Konsentrasi BSA yang digunakan sebagai standar yaitu 0, 25, 125, 250, 500, 750, 1000, 1500, dan 2000 g/mL. Working reaction dibuat dengan mencampurkan reagen A dan B dengan perbandingan 50:1. Komposisi reagen uji BCA dapat dilihat pada Lampiran 7. Sampel dan working reaction ditambahkan dalam microplate 96-well dengan perbandingan sampel:working reaction (1:20). Microplate diinkubasi pada suhu 37 °C selama 30 menit, kemudian hasil reaksi dibaca pada panjang gelombang 540 nm dengan menggunakan EIA reader. Karakterisasi Suhu dan Logam Protein Lektin (Modifikasi Praseptiangga et al. 2012) Karakterisasi suhu dilakukan pada sampel dengan menggunakan perlakuan pemanasan suhu (30, 50, 70, 90 °C). Sampel diuji aktivitas inhibisinya dengan metode uji antibakteri. Penentuan pengaruh logam MgCl2 dan CaCl2 dengan menambahkan ke dalam sampel masing-masing volume yang sama. Inkubasi dalam suhu ruang selama 2 jam. Uji aktivitas penghambatan dengan uji antibakteri. Aktivitas Inhibisi Protein Lektin Mikroalga BTM 11 a. Ekspresi dan purifikasi RNA helikase HCV (Utama et al. 2000) Sebanyak 25 mL stok bakteri E. coli BL21 (DE3) pLysS yang membawa vektor ekspresi pET-21b/HCV NS3 helikase diinokulasi ke dalam 400 mL medium LB cair yang mengandung 400 μg/mL ampisilin, kemudian diinkubasi dalam inkubator goyang (shaker incubator) pada suhu 37 °C dengan kecepatan 150 rpm hingga OD600 mencapai ±0.3 maka ditambahkan 0.3 M isopropil β-D-thiogalaktopiranosidase (IPTG). Kultur diinkubasi kembali hingga OD600 mencapai ±1. Hasil kultur disentrifugasi 4 °C dengan kecepatan 4000 rpm selama 10 menit. Pelet yang diperoleh disimpan pada suhu -20 °C. Pelet dengan metode freeze & thaw sebanyak 3 kali kemudian diresuspensi dengan 20 mL larutan bufer B (Tris HCl 10 mM pH 8.5; NaCl 100 mM, Tween 20 0.25%). Kemudian disonikasi (Amplitudo 40; siklus 0.5; waktu 3x15 detik; interval waktu 1 menit). Suspensi sel disentrifugasi 10000 rpm suhu 4 °C selama 20 menit untuk mendapatkan supernatan. Enzim RNA helikase diduga dalam supernatan dipurifikasi menggunakan metode kromatografi afinitas (resin TALON) selama 3 jam dalam suhu 4 °C. Kemudian disentrifugasi 3500 rpm selama 7 menit. Pelet resin dicuci dengan buffer B sebanyak 2 kali. Hasil resin dielusi untuk melepaskan enzim dengan 150 μl larutan bufer elusi (imidazol 400 mM dalam buffer B), dalam rotator 4 °C selama satu malam. Sampel disentrifugasi pada suhu 4 °C dengan kecepatan 3000 rpm selama 1 menit. Supernatan sebagai enzim RNA
8
b. Uji Aktivitas ATPase RNA Helikase HCV (Utama et al. 2000) Sistem reaksi enzim selengkapnya untuk satu sampel dengan volume total 175 μL dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Sistem reaksi enzim untuk satu sampel dengan volume total 175 µl Blanko Enzim Kontrol (-) Sampel Sampel 5 Pelarut 5 H2O 43.5 38.5 33.5 Bufer (MOPS) 5 5 5 5 Kofaktor (MgCl2) 0.5 0.5 0.5 0.5 Substrat (ATP) 1 1 1 1 RNA helikase 5 5 5 Inkubasi pada suhu ruang selama 45 menit Dye Solution 100 100 100 100 Inkubasi pada suhu ruang selama 5 menit Na-Sitrat 25 25 25 25 *H2O : hijau malakit : polivinil alkohol : amonium molibdat (2 : 2 : 1 : 1) Persentase aktivitas penghambatan senyawa inhibitor terhadap RNA helikase ditentukan dengan rumus: % Inhibisi = A-1 x 100% A Keterangan : A = Absorbansi RNA helikase tanpa senyawa inhibitor I = Absorbansi RNA helikase dengan adanya senyawa inhibitor Aktivitas Antibakteri Protein Lektin Mikroalga BTM 11 (Arief et al. 2013) Uji aktifitas antibakteri terhadap patogen Staphylococcus aureus ATCC 6538 dan Salmonella typhii ATCC 25241 dilakukan dengan metode difusi agar (Arief et al. 2013). Patogen dikulturkan pada nutrient broth (NB) ditumbuhkan semalam 2). Patogen dengan molibdat menggunakan *H2(Lampiran O : hijau malakit : polivinildiencerkan alkohol : amonium (2 : 2 : 1larutan : 1) 8 fisiologis NaCl 0.85% mengandung 10 CFU/mL bakteri uji pada media nutrient agar (NA). Komposisi media dapat dilihat pada Lampiran 3. Sebanyak 50 μl sampel diteteskan pada papper disk berdiameter 6 mm dan kemudian diletakkan pada media agar. Petri disimpan pada suhu 4 °C selama 1 jam agar sampel sampel berdifusi ke agar dan kemudian diinkubasi pada suhu 37 °C. Pengamatan aktivitas antibakteri dilakukan dengan menghitung zona bening yang terbentuk pada jam ke-2, 4, 6, dan overnight. Aktivitas antimikroba protein lektin diekspresikan sebagai Arbitary Units per mL (AU/mL) (Simonova dan Leukova 2007). AU/mL merupakan luas daerah hambat per satuan volum sampel protein lektin (mm2/mL) dan dirumuskan oleh Tagg dan McGiven (1971) sebagai berikut: Aktivitas protein lektin (mm2/mL) = 1 AU/mL = Lz – Ls V 2 Keterangan: Lz = Luas zona bening (mm ) V = Volum sampel (mL) Ls= Luas paper disk (mm2)
9
Analisis data Data kuantitatif dari aktivitas protein lektin dari penelitian ini diolah menggunakan nilai rata-rata data perlakuan dan menggunakan standar deviasi. Data kualitatif diolah dengan menganalisis hasil pengamatan yang ada. Data tersebut kemudian dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kultur Mikroalga BTM 11 Nama BTM diambil dari tempat asal pengambilan mikroalga yaitu perairan laut Batam. Angka 11 merupakan kode lokasi pengambilan mikroalga. Mikroalga BTM 11 tumbuh pada media modifikasi yang mengandung mineral seperti NaNO3, Na2HPO4, KH2PO4, ferric ammonium citrate, Na2EDTA, asam sitrat, CaCl22H2O, dan air laut steril. Optimasi kultivasi BTM 11 telah dilakukan Mustopa et al. (2015) dengan kondisi lingkungan yang ekstrim cahaya, suhu, dan kadar garam. Ketersediaan kondisi pertumbuhan yang ekstrem meningkatkan produksi metabolit sekunder yang berpotensi memiliki aktivitas biologis. Mikroalga lebih mudah ditumbuhkan dalam skala laboratorium untuk menghasilkan senyawa bioaktif dibandingkan dengan tanaman darat, akan tetapi komposisi senyawa bioaktif tergantung pada jenis mikroalganya (Borowitzka dan Borowitzka 1988). Kultivasi mikroalga BTM 11 membutuhkan derajat keasaman sekitar 7-8 dengan bantuan proses aerasi. Aerasi menyebabkan pertukaran gas karbondioksida sehingga dapat menjaga stabilitas pH. Suhu selama pertumbuhan adalah 25-30 oC berada dalam kondisi cahaya ruang. Keberadaan cahaya menentukan kurva pertumbuhan mikroalga yang melakukan fotosintesis. Intensitas cahaya yang dibutuhkan dalam pertumbuhan mikroalga berbeda-beda. Mikroalga BTM 11 membutuhkan intensitas cahaya matahari dalam suhu ruang. Li et al. (2011) menjelaskan bahwa intensitas cahaya matahari dan suhu dipengaruhi oleh keadaan iklim selama kultivasi. Reynolds (1990) menyatakan nilai maksimum kecepatan proses fotosintesis terjadi pada kisaran suhu 25-40 oC. Berbagai proses dalam sel sangat tergantung pada suhu. Kecepatan suatu proses akan terus bertambah dengan peningkatan suhu. Temperatur tinggi yang melebihi temperatur maksimum akan menyebabkan proses metabolisme sel terganggu. Pertumbuhan mikroalga BTM 11 ditandai dengan terbentuknya sel yang berfilamen dan berwarna hijau (Gambar 2). Masa panen dilakukan pada waktu mendekati fase stasioner awal yaitu 7 hari. Kondisi fase tersebut mikroalga menghasilkan senyawa metabolit sekunder yang diperkirakan mempunyai aktivitas untuk inhibisi. Proses kultivasi mikroalga yang telah dilakukan dalam media sebanyak 10 L menghasilkan biomassa basah yang kemudian dikeringkan menjadi biomassa kering sebanyak ± 7.24 gram. Biomassa kering yang dihasilkan bewarna hijau (Gambar 2).
10
(a)
(b)
(c)
Gambar 2 Kultur mikroalga BTM 11 (a) BTM 11 kultivasi media 10 L (b) biomassa basah (c) biomassa kering Hasil Identifikasi Secara Molekuler Spesies Mikroalga BTM 11 Proses identifikasi molekuler mikroalga BTM 11 terlebih dahulu dilakukan dengan tahap isolasi DNA. Pengukuran konsentrasi DNA dengan spektrofotometer didapatkan nilai rasio OD260/OD280 1,80 dengan konsentrasi 67 ng/µL. DNA yang telah diisolasi dapat dikategorikan memiliki kemurnian yang tinggi apabila memiliki rentang rasio OD260/OD280 1,8-2,0. DNA terlihat sebagai pita tunggal yang berukuran >3000 bp apabila dielektroforesis dalam gel agarosa 0.8-1% (Gambar 3a). Sampel DNA dijadikan sebagai cetakan untuk amplifikasi gen 16S-rRNA menggunakan teknik PCR. Amplifikasi fragmen DNA gen 16S-rRNA (Mustopa et al. 2014) telah dilakukan dengan penempelan primers 8F (5’-AGA GTTTGA TCA TGGCTC AG-3’), dan 15R (5’-AAGGAG GTG ATC CAA CA-3’). Produk hasil PCR menunjukkan pita berukuran 1500 bp (Gambar 3b) kemudian dipurifikasi gel untuk dilanjutkan dengan sekuensing.
4000 bp
4000 bp
1500 bp
1500 bp
(a)
(b)
Gambar 3 Hasil konfirmasi elektroforesis (a) isolasi genom, (b) produk PCR 16s-rRNA Gen 16s-rRNA adalah gen dari genom mitokondria yang sering digunakan sebagai gen standar dalam studi identifikasi molekuler. Sekuen 16S ribosomal DNA merupakan materi genetika yang terletak pada ribosom subunit kecil (Cole et al. 2013). Mikroalga spesies sianobakteria umum dilakukan identifikasi
11
dengan gen 16S-rRNA. Amer et al. (2013) mengisolasi blue green alga yang diperoleh dari perairan sungai nil kemudian identifikasi dengan 16S-rRNA. Karakteristik fenotip mikroalganya berfilamen dan warna sesuai habitatnya. Spesies lain dari blue-green algae yang diidentifikasi dengan 16S-rRNA adalah Microcystis, Nostoc, Anabaena, Sytonema. Pohon Filogenetik Berdasarkan Analisis Gen 16S rRNA Konstruksi pohon filogenetik berdasarkan analisis data sekuen dari gen 16S-rRNA. Hasil BLASTn sekuensing gen 16S rRNA menunjukkan mikroalga BTM 11 memiliki hubungan kekerabatan dengan Geitlerinema sp yang dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil analisis data sekuen menggunakan software dapat dilihat pada Lampiran 8. Tabel 2 Analisis homologi sekuen gen 16S-rRNA mikroalga BTM 11 menggunakan program BLASTn Hasil Analisis Geitlerinema sp.
Homologi 98%
Kode Akses FJ042947.1
Daerah Penemuan Brasil, Spanyol
Tabel 2 menunjukkan homologi spesies mikroalga BTM 11 sebesar 98% dengan Geitlerinema sp. Sistem klasifikasi makhluk hidup menyebutkan spesies Geitlerinema masuk dalam phylum Cyanobacterium. Mikroalga BTM 11 dapat digolongkan dalam phylum Cyanobacterium dengan kemiripan pada Geitlerinema sp. Carmo et al. (2009) menyebutkan memiliki koleksi Geitlerinema sp termasuk dalam kelompok ganggang yang banyak hidup di perairan daerah Brazil dan Spanyol. Tabel 3 Matriks jarak genetik fragmen gen 16S rRNA berdasarkan metode pairwise distance BTM 11 Geitlerinema sp. Microcoleus sp. Oscillatoria sp. Phormidium sp. Phormidiaceae Lyngbya sp. Jaaginema sp. Scytonema sp. Spirulina sp. Dunaliella_
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0.00 0.05 0.05 0.05 0.05 0.07 0.08 0.17 0.10
0.04 0.04 0.05 0.05 0.07 0.08 0.16 0.10
0.00 0.00 0.01 0.07 0.07 0.16 0.10
0.01 0.01 0.06 0.08 0.16 0.09
0.01 0.07 0.07 0.16 0.10
0.07 0.07 0.16 0.10
0.09 0.15 0.10
0.17 0.08
0.15
1.37
1.38
1.30
1.31
1.30
1.32
1.31
1.34
1.46
10
1.28
Matriks jarak genetik dapat dilihat pada Tabel 3 yang digunakan untuk analisa hubungan kekerabatan berdasarkan pohon filogenetik. Jarak genetik mikroalga BTM 11 paling dekat dengan Geitlerinema sp. yaitu 0.00, sedangkan paling jauh dengan Dunaliella 1.37. Kedekatan BTM 11 juga pada Microcoleus sp., Oscillatoria sp., Phormidium sp., Phormidiaceae, Lyngbya sp., Jaaginema sp. Konstruksi pohon filogenetik dilakukan untuk mengetahui kelompok dan hubungan kekerabatan spesies. Pohon filogenetik dirancang menggunakan sekuen 16S-rRNA hasil BLASTn mikroalga BTM 11 dan spesies lain seperti
12
Scytonema sp., Spirulina sp., dan Dunaliella. Angka di setiap titik percabangan pohon filogenetik menunjukkan nilai bootstrap yang berfungsi untuk mengetahui stabilitas hasil dan selang kepercayaan (confidence intervals). Pohon filogenetik pada Gambar 4 menunjukkan bahwa mikroalga BTM 11 memiliki kekerabatan yang sangat dekat dengan Geitlerinema sp. Hal ini ditunjukkan dengan nilai bootstrap dalam percabangan pohon filogenetik antara mikroalga BTM 11 dengan Geitlerinema sp sebesar 100. Artinya antara BTM 11 dengan Geitlerinema sp sangat kuat dalam satu kelompok/kelas yang didukung oleh nilai konsistensi bootstrap sampai 100%. Semakin rendah nilai bootsrap menunjukkan hubungan kekerabatan/kelompok spesies semakin jauh (Dharmayanti, 2011).
Gambar 4 Hasil rekonstruksi pohon filogenetik berdasarkan gen 16S-rRNA menggunakan metode Maximum Likelihood bootstrap 500x Hasil Isolasi dan Purifikasi Protein Lektin Mikroalga BTM 11 Teknik isolasi protein lektin yang digunakan mengacu kepada metode Praseptiangga et al. (2012) dengan modifikasi. Isolasi bertujuan untuk memisahkan satu atau lebih senyawa yang diinginkan dalam suatu larutan atau padatan yang mengandung campuran senyawa-senyawa tersebut. Sampel isolasi protein lektin mikroalga BTM 11 berbentuk biomassa kering. Sampel ditumbuk dengan nitrogen cair agar menjadi serbuk sehingga memudahkan kontak antara pelarut dengan sampel. Isolasi protein lektin dilakukan dengan cara maserasi pada suhu dingin untuk menghomogenkan sampel dengan pelarut TBS. Proses isolasi protein lektin dimodifikasi dengan perlakuan sonikasi untuk membantu memecah dinding sel mikroalga. Sani et al. (2014) menyatakan sonikasi membantu pemecahan sel dengan suara pada panjang gelombang tertentu. Proses isolasi protein lektin mikroalga dilakukan pada suhu 0-4 oC karena aktivitas protein sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan agar tidak terjadi kerusakan. Pemurnian menjadi tahapan yang penting sebelum proses karakterisasi. Pemurnian protein lektin bertujuan memisahkan protein lektin dari komponen karbohidrat, isoflavon, air, dan lain-lain. Penelitian ini menggunakan proses pemurnian protein dengan pengendapan garam ammonium sulfat dan kromatografi kolom filtrasi gel. Pengendapan protein menggunakan garam
13
ammonium sulfat telah banyak digunakan oleh para peneliti (Tokuyasu et al. 1996). Selain karena kelarutan ammonium sulfat yang tinggi, garam ini tidak toksik, dan ekonomis. Prinsip presipitasi ammonium sulfat berdasarkan kompetisi pengikatan air antara garam dan protein. Amonium sulfat terlarut akan terionisasi menjadi ion NH4+ dan SO42-. Ion garam menarik air yang berikatan dengan protein, sehingga kelarutan protein menurun. Protein selanjutnya membentuk agregat dan mengendap (Sinatari et al. 2013). Protein lektin dapat diendapkan menggunakan ammonium sulfat 75% (Lampiran 4). Diduga, protein lektin memiliki lebih banyak asam amino hidrofilik. Protein dengan asam amino hidrofilik membutuhkan garam ammonium sulfat yang lebih banyak untuk mengganggu interaksi yang kuat antara air dengan asam amino hidrofilik (Bintang, 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Praseptiangga et al. (2012) menyebutkan pengendapan amonium sulfat protein lektin alga hijau Barbatum codium efektif pada 75% ammonium sulfat. Hasil pengendapan amonium sulfat merupakan ekstrak kasar protein lektin kemudian dielusi dengan bufer TBS. Warna ekstrak kasar hasil isolasi protein adalah hijau pekat. Penentuan konsentrasi protein pada Tabel 4 ditentukan dengan uji asam bicinchoninat (BCA-bicinchoninic acid assay). BCA mudah digunakan, sensitifitasnya tinggi, dan toleran terhadap senyawa pengganggu dari lingkungan. Uji ini didasarkan pada dua reaksi kimia. Reaksi pertama adalah reduksi ion Cu2+ menjadi ion Cu+ oleh ikatan peptida dalam kondisi alkali (reaksi biuret). BCA dikenal sebagai reaksi biuret karena bentuk kompleksnya serupa dengan senyawa biuret organik (NH2-CO-NHCONH2) dan ion tembaga (Smith et al. 1985). Pengujian konsentrasi protein menggunakan kurva standar pada Lampiran 9.
Gambar 5 Grafik purifikasi gel Sephadex G-50 protein lektin mikroalga BTM 11 Pemurnian selanjutnya menggunakan kromatografi filtrasi gel. Berdasarkan pada Gambar 5 jumlah fraksi yang tertampung oleh kolom sebanyak 21 buah dengan volum masing-masing 2 mL (Lampiran 10). Purifikasi kolom filtrasi gel Sephadex G-50 menunjukkan kromatogram menunjukkan adanya dua puncak protein, yaitu pada fraksi 6 dan 7. Fraksi 6 dan 7 menunjukkan pita paling tebal saat uji bobot molekul SDS-PAGE dengan nilai total konsentrasi proteinnya
14
12.16 mg/mL. Hasil proses purifikasi dapat dilihat pada Tabel 4. Nilai aktivitas hambat paling tinggi terdapat pada metabolit ekstraksi yaitu 439.6 mm2/mL. Total protein paling tinggi juga terdapat pada metabolit ekstraksi yaitu 288 mg (penentuan total protein dengan metode BCA). Aktivitas spesifik tertinggi 11.32 AU/mg dengan kelipatan kemurnian 7.42 pada tahap purifikasi Sephadex G-50. Aktivitas speseifik menunjukkan jumlah aktivitas hambat dalam 1 mg. Tahapan isolasi sampai pemurnian menggambarkan kemurnian protein lektin telah mengalami peningkatan signifikan Tahap purifikasi Sephadex G-50 menunjukkan paling efektif dalam memberikan aktivitas hambat. Prinsip pemisahan protein menggunakan kromatografi kolom filtrasi gel adalah perbedaan bobot molekul protein. Kromatografi kolom filtrasi gel menggunakan gel Sephadex G-50 sebagai fasa diam. Sephadex adalah butiran gel makroskopis yang terbuat dari turunan polisakarida, yaitu dekstran. Sephadex G-50 mampu memisahkan molekul protein dengan BM 1.5-30 kDa. Penggunaan Sephadex G50 sudah sesuai untuk pemisahan protein lektin yang memiliki bobot molekul kurang dari 30 kDa (Soczewinski dan Wawrzynowicz 2003). Sampel protein yang dielusi dalam kolom filtrasi gel dipisahkan berdasarkan ukuran bobot molekul protein. Protein dengan bobot molekul besar akan terelusi pada fraksi awal. Protein dengan bobot molekul kecil akan tertahan dalam gel dan terelusi pada fraksi akhir. Eluen kromatografi yang terfraksinasi berdasarkan bobot molekul selanjutnya dihitung absorbansi dengan panjang gelombang 280 nm untuk menentukan konsentrasi protein. Kromatogram menunjukkan bahwa protein lektin terdapat pada fraksi awal (fraksi 6-7) diduga karena besarnya bobot molekul protein lektin mendekati ukuran 30 kDa yang selanjutnya dibuktikan dengan elektroforesis SDS-PAGE. Tabel 4 Pemurnian protein lektin Tahap Purifikasi
Total Aktivitas Aktivitas Vol Protein Kelipatan Rendemen Protein Unit Spesifik (mL) (mg/mL) Kemurnian (%) (mg) (AU) (AU/mg)
Metabolit Ekstraksi
30
9.60
288
439.60
1.52
1
100
Ekstrak pengendapan ammonium sulfat
7
7.51
52.57
317.95
6.04
3.96
72.32
Purifikasi Sephadex G-50
4
3.04
12.16
137.75
11.32
7.42
31.33
Karakteristik Protein Lektin Mikroalga BTM 11 Bobot Molekul Protein Analisis bobot molekul protein lektin mikroalga BTM 11 dilakukan dengan menggunakan metode elektroforesis gel poliakrilamid (SDS-PAGE). Metode ini memisahkan protein berdasarkan bobot molekulnya (Bintang, 2010). Gel akrilamid terbentuk akibat terjadinya proses polimerisasi akrilamida dan metilenbisakrilamida. Proses polimerisasi dikatalisis oleh ammonium persulfat
15
sebagai katalisator (Janson dan Ryden 1998). SDS berperan mengikat bagian hidrofobik pada protein, sehingga molekul terurai dari lipatannya dan muatan protein tersebut sama. Hal ini bertujuan agar protein terpisah berdasarkan perbedaan bobot molekul. Protein yang memiliki bobot molekul lebih kecil akan bermigrasi lebih cepat daripada protein yang berbobot molekul lebih besar. Proses pewarnaan gel menggunakan Commasie brilliant blue R-250. 260 kDa 140 kDa 95 kDa 72 kDa 52 kDa 42 kDa 34 kDa 26 kDa
17 kDa
17 kDa 10 kDa
Gambar 6 SDS-PAGE protein mikroalga BTM 11 (1: metabolit. 2: ekstrak kasar protein lektin hasil pengendapan 3: protein hasil purifikasi) Hasil penelitian Gambar 6 menunjukkan bahwa terdapat banyak pita protein pada metabolit ekstraksi, meski terlihat satu pita yang tebal. Nilai kurva standar bobot molekul uji SDS-PAGE dapat dilihat pada Lampiran 11. Begitu pula dengan hasil fraksinasi ammonium sulfat dan kolom filtrasi gel. Hal ini menunjukkan banyaknya protein lain selain protein target yang ikut terekstraksi selama isolasi protein lektin. Perbedaannya, metabolit ekstraksi memiliki pita yang smear lebih tebal. Banyaknya pengotor berupa mineral, karbohidrat, dan komponen lain menjadi salah satu penyebab. Protein lektin hasil fraksinasi ammonium sulfat dan kolom filtrasi gel memiliki tipe pita yang hampir sama. Hasil kolom filtrasi gel lebih jernih dan berkurang beberapa pita band pengotor selain protein target. Hal ini menunjukkan bahwa proses kromatografi kolom filtrasi gel masih memerlukan optimasi untuk memisahkan dengan protein lain. Lebarnya puncak kurva protein pada hasil kromatografi (fraksi 6-7), diperkirakan karena masih terdapat lebih dari satu protein. Keberadaan pita protein yang tebal dari metabolit ekstraksi, ekstrak kasar ammonium sulfat, dan protein purifikasi pada 17 kDa menguatkan dugaan bahwa pita tersebut merupakan target protein lektin. Purifikasi pada penelitian ini merupakan proses purifikasi parsial. Berdasarkan Hori et al. (2009) protein lektin pada beberapa mikroalga memiliki berat molekul rendah. Penelitian Praseptiangga et al. (2012) pada alga hijau Codium barbatum menunjukkan berat molekul protein lektin 9 kDa dengan perlakuan penambahan 2-merchaptoetanol dan 18 kDa tanpa penambahan 2merchaptoetanol. Han (2012) menyebutkan hasil purifikasi lektin alga hijau Bryopsis plumosa memiliki berat molekul 12.8 kDa. Berat molekul beberapa protein lektin alga hijau rendah tergantung dari spesies masing-masing alga.
16
Aktivitas Hemaglutinasi Uji aktivitas hemaglutinasi merupakan cara untuk mendeteksi ada tidaknya lektin (Hori et al. 2007). Aktivitas hemaglutinasi dilakukan dengan menentukan titer hemaglutinasi, yaitu jumlah minimal sampel yang dapat menyebabkan aglutinasi pada darah (eritrosit) dan diamati secara makroskopis. Semakin banyak sampel yang digunakan untuk mengaglutinasi eritrosit menunjukkan aktivitas hemaglutinasinya semakin rendah. Pengamatan uji hemaglutinasi secara makrokopis yang dikatakan (+) ditandai dengan adanya karpet pada sumuran microplate, hasil (-) jika ditandai dengan eritrosit darah mengendap di bawah membentuk titik (Teixeria et al. 2012). Pengujian hemaglutinasi menggunakan sampel golongan darah O. Menurut Hung et al. (2012) eritrosit yang dapat digunakan adalah darah manusia golongan darah A, B, O, kelinci, domba, dan ayam. Setiap sampel darah memiliki sensitivitas aktivitas agglutinin yang berbeda. Hasil uji hemaglutinasi terdapat dalam Tabel 5. Tabel 5 Titer uji hemaglutinasi Sampel Ekstrak kasar Ekstrak kasar dilusi 2x Ekstrak kasar dilusi 3x
Aktivitas Hemaglutinasi 64 16 8
Keterangan + + +
Protein lektin BTM 11 menunjukkan aktivitas hemaglutinasi pada darah golongan O dengan nilai titer uji 64 (tanpa dilusi). Semakin tinggi pengencerannya nilai titer ujinya semakin menurun. Jumlah konsentrasi protein lektin akan mempengaruhi aktivitas hemaglutinasi. Lektin bersifat mengikat secara spesifik untuk golongan darah. Setiap darah memiliki susunan gula yang spesifik. Darah golongan O memiliki susunan gula spesifik dalam bentuk L-fukosa (Khan et al. 2002). Lektin adalah protein yang mengikat karbohidrat secara reversibel, menggumpalkan sel atau endapan polisakarida dan glikoprotein. Semua molekul lektin memiliki dua atau lebih tempat ikatan dengan karbohidrat, oleh karenanya sangat memungkinkan lektin mengaglutinasi sel darah merah dan bereaksi dengan struktur glikoprotein atau glikolipid pada keadaan fisiologi mau pun patologi (Spicer dan Schulte 1992). Peneliti Ambrosio et al. 2003 menyatakan lektin jenis EPL yang diisolasi dari alga hijau E. prolivera menunjukkan spesifitas tinggi pada penambahan manosa dan fukosa. Ikatan senyawa tersebut diketahui dengan adanya perubahan intrinsic fluorescence dari protein selama pengikatan dengan gula. Oleh karena itu protein lektin BTM 11 memiliki spesifitas tinggi terhadap gula fukosa pada darah golongan O ditunjukkan dengan adanya nilai titer uji hemaglutinasi. Karakteristik Suhu dan Logam Karakterisasi protein lektin dilakukan terhadap perlakuan suhu dan logam. Tujuan karakterisasi adalah mengetahui aktivitas optimum protein lektin sehingga mudah untuk aplikasi. Karakterisasi dilakukan pada berbagai perlakuan suhu dan logam. Karakterisasi suhu pada Tabel 6 menunjukkan protein pada suhu 30 oC dan 50 oC stabil memiliki aktivitas hambat sebesar 8.37±0.75 mm dan 8.00±0.00
17
mm (Lampiran 12). Kondisi tersebut merupakan suhu stabilitas dari aktivitas protein lektin mikroalga BTM 11. Gambar aktivitas antibakteri hasil karakterisasi suhu dan logam terdapat pada Lampiran 13. Menurut Han et al. (2012) menyatakan bahwa protein lektin alga hijau Bryopsis plumosa dapat stabil pada suhu 70 oC. Protein lektin BTM 11 stabil pada suhu maksimal 50 oC. Setiap mikroalga memiliki karakteristik suhu yang berbeda. Kerusakan ikatan protein terjadi pada suhu 60 oC. Tabel 6 Karakteristik suhu protein mikroalga Diameter zona hambat (mm)±SD Bakteri Kontrol (+) Kontrol (-) o 30 C 50 oC 70 oC 90 oC S. typhii
8.50±1.73
-
8.37±0.75
8.00±0.00
-
-
Keterangan: Diameter paper disk 6 mm
Hasil karakterisasi penambahan logam dapat dilihat pada Tabel 7. Perlakuan logam MgCl2 dan CaCl2 menunjukkan aktivitas hambatnya 8 mm dan 8.5 mm (Lampiran 14). Berdasarkan hasil data menunjukkan aktivitas protein lektin tetap stabil dengan penambahan dua logam tersebut. Fungsi penambahan logam adalah untuk membantu proses katalisasi protein. Logam CaCl2 dan MgCl2 tidak menghambat aktivitas protein lektin. Ca2+ dan Mg2+ merupakan ion divalen yang memiliki bilangan koordinasi yang lebih besar daripada ion logam monovalen. Praseptiangga et al. (2012) menyatakan protein lektin Codium barbatum tidak dipengaruhi dengan adanya divalent kation Ca2+ dan Mg2+ yaitu ditunjukkan dengan aktivitas tetap stabil dengan penambahan logam. Tabel 7 Karakteristik protein lektin terhadap logam Bakteri Kontrol (+) Kontrol (-) Diameter zona hambat (mm)±SD MgCl2 CaCl2 S. typhii
8.0 ± 0.0
-
8.0 ± 0.40
8.5 ± 0.0
Keterangan: Diameter paper disk 6 mm
Aktivitas Inhibisi Protein Lektin Terhadap Enzim RNA Helikase Hepatitis C Ekspresi dan Purifikasi Enzim RNA Helikase Ekspresi dan pemurnian RNA helikase Hepatitis C Virus (HCV) dilakukan untuk memperoleh RNA helikase HCV murni yang dapat digunakan dalam pengujian aktivitas protein lektin inhibitor terhadap aktivitas ATPase. Enzim RNA helikase virus hepatitis C rekombinan dari bakteri E. coli BL21 (DE3) pLysS berhasil dipurifikasi. Gambar 7 menunjukkan pita hasil SDS-PAGE RNA helikase HCV. Terlihat pada Gambar 7, adalah pita band proses pemurnian enzim RNA helikase mulai dari supernatant hingga diperoleh enzim RNA helikase. SN merupakan supernatan hasil lisis sel. P merupakan pelet sel. W1 dan W2 adalah hasil pencucian binding resin TALON yang tidak menunjukkan terdapatnya pita protein. Hal ini dikarenakan yang terdapat pada tahap tersebut hanya buffer B.
18
Lajur E yang tebal pada ukuran 54 kDa adalah enzim RNA helikase. Hasil pita protein ukuran 54 kDa ini sesuai dengan hasil penelitian Utama et al. (2000). Kultur bakteri E. coli BL21 (DE3) pLysS dapat tumbuh dengan baik dalam media Luria Bertani (LB) yang ditandai dengan perubahan warna media LB dari kuning cerah menjadi kuning kekeruhan. Penambahan ampisilin (100 mg/mL) ke dalam kultur bertujuan sebagai seleksi terhadap bakteri yang hidup pada media. M SN P 260 140 95 72 52
W1 W2 IV
E
54 kDa
42 34 26 17 10 Gambar 7 SDS-PAGE pemurnian enzim RNA helikase HCV (M : marker (260-10 kDa); SN: supernatan; P: pelet; W: washing; IV: inner volume; E: enzim) Ekpresi enzim RNA helikase virus hepatitis C dilakukan dengan penambahan Isopropyl-β-Dthiogalactopyranoside (IPTG) di awal fase logaritmik (OD600 = 0.3) hingga fase stasioner (OD600 = 1). Produksi enzim RNA helikase virus hepatitis C tidak selalu berjalan dengan baik. Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya dari bakteri E.coli BL21 (DE3) pLysS dan teknik purifikasi. Enzim RNA helikase virus hepatitis C selanjutnya diproduksi terus menerus selama penelitian dan digunakan sebagai target untuk pengujian aktivitas inhibisi ATPase dengan protein lekti mikrolaga BTM 11. Aktivitas Inhibisi Protein Lektin Terhadap RNA Helikase Hepatitis C Pengujian aktivitas inhibisi enzim RNA helikase virus hepatitis C menggunakan uji ATPase kolorimetri (Utama et al. 2000) yaitu dengan mengukur jumlah fosfat yang dilepaskan dari hidrolisis senyawa ATP menjadi ADP dan fosfat anorganik (Pi). Sampel uji aktivitas inhibisi menggunakan ekstrak kasar protein lektin. Hasil uji inhibisi protein lektin mikroalga BTM 11 menunjukkan pada sampel dilusi 40x mampu menghambat aktivitas RNA helikase Hepatitis C sebesar 57.90% sedangkan pada sampel dilusi 80x aktivitas inhibisinya mencapai 27.55%. Nilai absorbansi uji aktivitas inhibisi terhadap RNA helikase HCV dapat dilihat pada Lampiran 15. Semakin rendah konsentrasi protein lektin akan menyebabkan aktivitas inhibisinya menurun. Mustopa et al. (2015) menyatakan aktivitas inhibisi enzim RNA helikase HCV dari ekstrak kasar mikroalga BTM 11 mampu menghambat hingga 80% (dilusi 5x). Adapun hasil purifikasi kolom filtrasi gel senyawa polisakarida mampu menghambat 78% pada fraksi ke-13.
19
Aktivitas inhibisi protein lektin dalam penelitian ini lebih tinggi dibandingkan pada hasil ekstrak kasar dan purifikasi polisakarida mikroalga BTM 11. Protein lektin BTM 11 mampu bersifat sebagai antivirus. Penelitian Huskens dan Dominique (2012) menyatakan hepatitis C mampu dihambat oleh protein lektin mikroalga. Proses replikasi virus terhambat oleh protein lektin yang mengikat bagian polisakarida virus seperti keterangan pada Gambar 8. Struktur genom virus HCV terdiri struktural protein dan non struktural protein. Struktural protein terdapat bagian E1 dan E2 yang merupakan glikoprotein selubung virusnya. Daerah E2 juga terdapat sisi pengikatan terhadap cluster of differentiation 81 (CD81), reseptor virus pada hepatosit dan sel limfosit B. Proses penghambatan terjadi karena interaksi lektin dengan permukan glikoprotein virus HCV (E1 dan E2). Permukaan sel HCV dalam bentuk glikoprotein yang tinggi glikosilat. Mekanisme kerja lektin dengan mengikat N-linked glikan permukaan virus. Aktivitas dilanjutkan dengan memblok interaksi diantara protein E2 dari struktur genom HCV dan CD81 yang merupakan molekul sel dalam permukaan virus HCV untuk proses transkripsi virus ke jaringan sel. Akibatnya indikator molekul antiviral kecil sebagai target glikan HCV dapat ditentukan untuk mengganggu mekanisme kerja virus (Takebe et al. 2013)
. Gambar 8 Struktur genom virus hepatitis C (sumber: Wong dan Cheng 2014) Aktivitas Antibakteri Protein Lektin Mikroalga BTM 11 Aktivitas protein protein lektin hasil presipitasi amonium sulfat diuji menggunakan bakteri Gram-positif dan Gram-negatif seperti yang ditunjukkan pada Tabel 8. Bakteri Staphylococcus aureus ATCC 6538 dan Salmonella typhii ATCC 25241 menunjukkan terbentuknya zona hambat karena penambahan ekstrak kasar protein lektin. Hasil observasi setelah 24 jam menunjukkan zona hambat yang cenderung menurun. Hasil ini menunjukkan bahwa protein lektin mempunyai aktivitas antibakteri pada bakteri Gram-positif dan Gram-negatif. Zona hambat protein lektin dapat dilihat pada Tabel 9. Sampel protein lektin apabila dibandingkan dengan kloramfenikol zona hambatnya lebih rendah. Kloramfenikol (CMP) merupakan antibiotik yang memiliki spektrum luas sehingga bisa digunakan sebagai kontrol pada bakteri gram positif maupun negatif. CMP mampu menunjukkan zona hambat pada semua bakteri dengan
20
konsentrasi 50 µg. Berdasarkan hasil uji aktifitas antibakteri, protein lektin mikroalga BTM 11 dapat dikategorikan sebagai protein antibakteri. Kemampuan protein lektin menghambat bakteri Gram-negatif termasuk dalam bakteristatik, sedangkan kemampuan menghambat bakteri Gram-positif termasuk dalam bakterisidal (Shannon dan Ghannam 2016). Holanda et al. (2005) menyatakan bahwa aktivitas protein lektin dari beberapa jenis alga terhadap bakteri patogen berbeda-beda. Lektin dari alga Solieria filiformis mampu menghambat pertumbuhan bakteri Gram-negatif seperti Serratia marcescens, Salmonella typhi, Klebsiella pneumoniae, Enterobacter aerogenes, dan Pseudomonas aeruginosa. Teixeira et al. (2007) menunjukkan ekstrak lektin dari alga Bryothamnion triquetrum (BTL) dan Bryothamnion seaforthii (BSL) menghambat aktivitas bakteri Gram-positif jenis Streptococcus sanguis, Streptococcus mitis, Streptococcus sobrinus, dan Streptococcus mutans. Tabel 8 Aktivitas antibakteri protein mikroalga BTM 11 Gram Diameter zona hambat (mm) Bakteri K+ (CMP) K- (TBS) Protein Staphylococcus + 20.5 7.5 aureus ATCC 6538 Salmonella typhii 23 7.5 ATCC 25241 Keterangan: Diameter paper disk 6 mm
Berdasarkan pada Tabel 8 protein lektin menunjukkan aktivitas penghambatan pada bakteri Staphylococcus aureus ATCC 6538 dan Salmonella typhii ATCC 25241 dengan diameter zona hambat masing-masing 7.5 mm. (diameter paper disk 6 mm). Data aktivitas antibakteri dapat dilihat pada Lampiran 16. Aktivitas zona hambat protein lektin tanpa diameter paper disk di atas tergolong kecil yaitu sebesar 1.5 mm. Namun demikian beberapa protein lektin mikroalga mampu menghambat aktivitas bakteri Gram positif dan negatif. Penelitian Massi dan Ahmad (2012) menyebutkan bioaktivitas protein lektin berikatan spesifik dengan bakteri Gram positif-negatif. Aktivitas penghambatan terjadi karena protein lektin mampu menghambat kerja bakteri dengan merusak sel membran. Menurut Singh et al. (2012) semua organisme memiliki komponen polisakarida. Kemungkinan polisakarida ini berada dalam ikatan kovalen. Protein lektin bersifat mengikat polisakarida dalam membran sel kemudian merusak susunan dinding sel bakteri. Tabel 9 adalah zona hambat aktivitas protein lektin pada beberapa bakteri. Tabel 9 Zona hambat aktivitas antibakteri Kontrol Kontrol + S.typhii
S.aureus
21
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Spesies mikroalga BTM 11 telah diidentifikasi secara molekuler sebagai Geitlerinema sp. BTM 11 memiliki komponen protein lektin dengan bobot molekul 17 kDa dan mampu menghambat aktivitas enzim RNA helikase hepatitis C sebesar 57.90 % (dilusi 40x) dan 27.55% (dilusi 80x). Protein lektin BTM 11 mampu bersifat antibakteri pada Staphylococcus aureus ATCC 6538 dan Salmonella typhii ATCC 25241. Karakteristik protein lektin stabil hingga suhu 50 oC dan tetap stabil dengan adanya penambahan logam Ca2+ serta Mg2. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk optimasi proses purifikasi protein lektin mikroalga BTM 11 sehingga diperoleh protein lektin yang kemurniannya yang tinggi.
22
DAFTAR PUSTAKA Alvarez EV, Andreas N, Leston AL, Marba N. 2006. Genomic DNA isolation from green and brown algae (Caulerpales and Fucales) for microsatellite library construction. Journal of Phycology 42(3):741–745. Ambrosio, Sanz L, Sanchez EI, Todel CW, Calvete J. 2003. Isolation of two novel mannan- and L-fucose-binding lectins from the green alga Enteromorpha prolifera: biochemical characterization of EPL-2. Archives of Biochemistry and Biophysics 415(2):245–250. Amer RA, Wahab AA, Fathy SMF, Salama OM, Demellawy MAE. 2013. Characterization of blue green algae isolated from Egyptian rice field with potential anti-hepatitis C active components. African Journal of Biotechnology 13(9):1086-1096. Arief II, Jakaria, Suryati T, Wulandari Z, Andreas E. 2013. Isolation and characterization of plantaricin produced by Lactobacillus plantarum strains (IIA-1A5, IIA-1B1, IIA-2B2). Media Peternakan. 36(2):91-100. Bintang M. 2010. Biokimia, Teknik Penelitian. Jakarta (ID): Erlangga. Borowitzka MA, Borowitzka LJ. 1988. Microalgal Biotechnology. Cambridge (UK): Cambridge University. Burja AM, Tamagnini P, Bustard MT, Wright PC. 2001. Identification of the green alga, Chlorella vulgaris (SDC1) using cyanobacteria derived 16S rDNA primers: targeting the chloroplast. FEMS Microbiology Letter 202:195-203. Cole JR, Wang Q, Fish JA, Chai B, McGarrell DM, Sun Y, Brown CT, PorrasAlfaro A, Kuske CR, Tiedje JM. 2013. Ribosomal database project : data and tools for high throughput rRNA analysis. Nucleic Acids Research 42:633-642. Dharmayanti NLPI. 2011. Filogenetika molekuler: metode taksonomi organisme berdasarkan sejarah evolusi. Wartazoa 21(1):1-7. Han JW, Jung MG, Kim MJ, Yoon KS, Lee KP, Kim GH. 2012. Purification and characterization of a D-mannose specific lectin from the green marine alga, Bryopsis plumosa. Phycological Research 58(2):143–150. Hasler P, Dvorak P, Johansen JR, Kitner M, Ondrej V, Poulickova A. 2012. Morphological and molecular study of epipelic filamentous genera Phormidium, Microcoleus, and Geitlerinema. Fottea 12(2):341-356. Helle F, Wychowskit C, Dact NV, Gustavon KR, Voisset C, Dubuisson J. 2006. Cyanovirin-N inhibits Hepatitis C Virus entry by binding to envelope protein glycans. The Journal of Biological Chemistry 281(35):25177–25183. Holanda ML, Melo VMM, Silva LMCM, Amorim RCN, Pereira MG, Benevides NMB. 2005. Differential activity of a lectin from Solieria filiformis against human pathogenic bacteria. Brazilian Journal of Medical and Biological Research 38(12):1769-1773. Hori K, Miyazawa K, Ito K. 1990. Some common properties of lectins from marine algae. Hydrobiologia 204(1):561–566.
23
Hori K, Okuyama S, Nakamura TS, Tateno H, Hirabayashi J, Matsubara K. 2009. Strict binding specificity of small-sized lectins from the red alga Hypnea japonica for core (α1-6) fucosylated n-glycans. Bioscience Biotechnology and Biochemistry 73(4):912-920. Hori K, Yuichiro S, Kaori I, Yoshifumi F, Yasumasa I, Hiroyuki M. 2007. Strict specificity for high mannose type n-glycans and primary structure of a red alga Euchema serra lectin. Glycobiology 17(5):479-491. Hung LD, Ly BM, Trang VTD, Ngoe NTD. 2012. A new screenning for hemagglutinins from Vietnamese marine macroalgae. Journal of Phycology 24(2):227-235. Huskens D, Dominique S. 2012. Algal lectin as potential HIV microbide candidates. Marine Drugs 10:1476-1497. Janson JC, Ryden L. 1998. Protein Purification: Principles, High Resolution Methods, and Applications. 2nd edn. New York (US):145-205. Kawaroe M, Partono T, Sunuddin A, Wulansari D, Augustine D. 2010. Mikroalga Potensi dan Pemanfaatannya untuk Produksi Bio Bahan Bakar. Bogor (ID): IPB Press. Khan F, Khan RH, Sherwani A. 2002. Lectins as markers for blood grouping. Medical Science Monitor 8(12):293–300. Laemmli UK. 1970. Cleavage of structural proteins during the assembly of the head of bacteriophage T4. Nature 227:680-685. Li Y, Wenguang Z, Bing H, Min M, PaulC, Roger R. 2011. Integration of algae cultivation as biodiesel production feedstock with municipal waste water treatment: strains screening and significance evaluation of environmental factors. Bioresource Technology Journal 102(23):10861–10867. Massi MN, Ahmad A. 2012. Cloning and in vitro anti-mycobacterial activity of lectin protein in combination with streptomycin to incerase sensitivity against Mycobacterium tuberculosis. Journal of Biotechnology and Biochemistry 8(2):101-117. Moura RM, Queiroz AFS, Fook JMSLL, Dias ASF, Monteiro NKV, Ribeiro JKC, Moura GEDD, Macedo LLP, Santos EA, Sales MP. 2006. CvL, a lectin from the marine sponge Cliona varians: Isolation, characterization, and its effects on pathogenic bacteria and Leishmania promastigotes. Comparative Biochemistry Physiology Molecular and Integrative Physiology 145:517–523. Mustopa AZ, Lages AC, Ridwan M, Sukmarini L, Susilaningsih D, Hasim, Delicia. 2015. Purification and characterization of polysaccaride from microalgae BTM 11 as inhibitor of Hepatitis C virus RNA helicase. Indonesian Journal Pharmacy 26(3):134-140. Mustopa AZ, Umami RN, Putri PH, Susilaningsih D, Farida H. 2015. Identification of bioactive compound from microalga BTM 11 as Hepatitis C virus RNA helicase inhibitor. Jurnal Biologi Indonesia 111(2):245-253. Nascimento KS, Cunha AI. 2012. An overview of lectins purification strategies. Journal Molecular Recognition 25(11):527–541. Nascimento KS, Nagano CS, Nunes EV, Rodrigues RF, Goersch V, Cavada BS, Calvete JJ, Sampaio SS, Farias WRL, Sampaio AH. 2006. Isolation and
24
characterization of a new agglutinin from the red marine alga Hypnea cervicornis. Biochemistry Cell Biology 84(1):49–54. Olieveira MCB, Moura AN, Olievera MC, Massola NS. 2009. Geitlerinema species (Oscillatoriales, Cyanobacteria) revealed by cellular morphology, ultrastructure, and DNA sequencing. Journal of Phycology 45(3):716-725. Pierce Biotechnology. 2013. PierceTM BCA Protein Assay Kit. Rockford (US): Thermo Fisher Scientific. Praseptiangga D, Makoto H, Kanji H. 2012. Purification, characterization, and cDNA cloning of a novel lectin from the green alga Codium barbatum. Bioscience Biotechnology Biochemistry 76(4):805-812. Reynolds CS. 1990. The Ecology of Fresh Water Phytoplankton. New York (US): Cambridge University Press. Sanchez JE, Garcia I, Garcia JC. 2007. Effect of temporalvariation of the seaweed Caulerpa prolifera cover on the associated crustacean community. Marine Ecology 28(2):324-337. Sani RN, Nisa FC, Andriani RD, Maligan JM. 2014. Analisis rendemen dan skrining fitokimia ekstrak etanol mikroalga laut Tetraselmis chuii. Jurnal Pangan dan Agroindustri 2(2):121-126. Sato Y, Hirayama M, Morimoto K. 2011. High mannose-binding lectin with preference for the cluster of a 1–2 mannose from green alga Boodlea coacta is a potent entry inhibitor of HIV-1 and influenza viruses. Journal Biology Chemistry 286(22):19446–19458. Schubart CD, Cuesta JA, Rodriguez A. 2001. Molecular phylogeny of the crab genus Brachyonotus (Brachyura: Varunidae) based on the 16s rRNA gene. Hydrobiologia 449:41-46. Shannon E, Ghannam NA. 2016. Antibacterial derivatives of marine algae: an overview of pharmacological mechanisms and applications. Marine Drugs 14(4):81-104. Simonova MP, Laukova A. 2007. Bacteriocin activity of enterococci from rabbits. Veterinary Research Communications. 31:143-152. Sinatari HM, Aminin ALN, Sarjono PR. 2013. Pemurnian selulase dari isolat KB kompos termofilik Desa Bayat Klaten menggunakan fraksinasi amonium sulfat. Chem Info 1(1):130-140. Singh RS, Shivani T, Parveen B. 2012. Algal lectins as promising biomolecules for biomedical research. Critical Review in Microbiology 41(1):1-12. Smith PK, Krohn RI, Hermanson GT, Mallia AK, Gartner FH, Provenzano MD, Fujimoto EK, Goeke NM, Olson BJ, Klenk DC. 1985. Measurement of protein using bicinchoninic acid. Analytical Biochemistry 150(1):76-85. Soczewinski E, Wawrzynowicz T. 2003. Gel Filtration Chromatography. Jack C, editor. New York (US): Marcel Dekker. Spicer SS, Schulte BA. 1992. Diversity of cell glycoconjugates shown histochemically: a prespective. Journal Histochemistry and Cytochemistry 40(1):1-38. Tagg JR, McGivven AR. 1971. Assay system for bacteriocins. Applied Microbiology 21(5):943. Takebe Y, Saucedo CJ, Lund G, Uenishi R, Hase S, Tsuchiura T, Kneteman N, Ramessar K, Tyrell DLJ, Shirakura M, Wakita T, McMahon JB, O’Keefe BR. 2013. Antiviral lectins from red and blue-green algae show potent in
25
vitro and in vivo activity against hepatitis C virus. Plos One Journal 8(5):1-10. Teixeira EH, Arruda FVS, Nascimento KS. 2012. Biological applications of plants and algae lectins: an overview. Chang CF, editor. Jepang (JP): Intech. Teixeira EH, Napimoga MH, Carneiro VA, Oliveira TMD, Nascimento KS, Nagano CS, Souza JB, Havt A, Pinto VPT, Gonçalves RB, Farias WRL, Sampaio SS, Sampaio AH, Cavada BS, 2007. In vitro inhibition of oral Streptococci binding to the acquired pellicle by algal lectins. Journal of Applied Microbiology 103(4):1001-1006. Tokuyasu K, Kameyame MO, Hayasi K. 1996. Purification and characterization of extracellular chitin deacetylase from Colletotrichum lindemuthianum. Bioscience Biotechnology Biochemistry 60(10):1598-1603. Tziveleka LA, Vagias C, Roussis V. 2003. Natural products with anti-HIV activity from marine organism. Current Topics Medicinal Chemistry 3(15):1512–1535. Utama A, Shimizu H, Morikawa S, Hasebe F, Morita K, Igarashi A, Hatsu M, Takamizawa K, Miyamura T. 2000. Identification and characterization of the RNA helicase activity of Japanese encephalitis virus NS3 protein. FEBS Letter 456(1):74-78. Wong MT, Chen SL. 2014. Emerging roles of interferon-stimulated genes in the innate immune response to hepatitis C virus infection. Cellular & Molecular Immunology 13(1):11–35. Ye H, Wang K, Zhou C, Liu J, Zeng X. 2008. Purification, antitumor and antioxidant activities in vitro of polysaccharide from the brown seaweed Sargassum pallidum. Food Chemistry 111(2):428-432. Ziolkowska NE, Wlodawer A. 2006. Structural studies of algal lectins with anti-HIV activity. Acta Biochemica Polonica 53(4):617–626.
26
LAMPIRAN
27
Lampiran 1 Komposisi media SWBT mikroalga BTM 11 NaNO3 Na2HPO4 KH2PO4 Fe amonium citrate Na2EDTA Asam Sitrat CaCl2.2H2O
0.2625 g 0.0020 g 0.0050 g 0.0030 g 0.0015 g 0.0540 g 0.0050 g
Lampiran 2 Komposisi media nutrient broth Bahan Beef extract Pepton NaCl Akuades
Komposisi (%) 0.36 1.2 0.6 97.84
Lampiran 3 Komposisi media nutrient agar Bahan Beef extract Pepton NaCl Akuades Agar
Komposisi (%) 0.36 1.2 0.6 96.34 1.5
Lampiran 4 Tabel konsentrasi amonium sulfat
28
Lampiran 5 Komposisi gel SDS PAGE (akrilamid 12%) Komposisi 1.5 x Tris HCl pH 8.8 – 0.4 % SDS 05 x Tris HCl pH 6.8 – 0.4 % SDS 30 % Akrilamid Akuades Sukrosa Ammonium persulfat 10 % Temed
Separating Gel 1.875 mL 3 mL 2.6 mL 0.678 25 L 2.25 L
Stacking Gel 0.625 mL 0.325 mL 1.525 mL 12.5 L 2.5 L
Lampiran 6 Komposisi larutan elektroforesis SDS PAGE Larutan Bufer separating
Bufer stacking
Bufer running (5x)
Bufer loading dye (3x) (sampel terdenaturasi)
Bufer loading dye (3x) (sampel native)
Pewarna commasie blue
Destaining
Komposisi Tris pH 8.8 SDS Akuades Tris pH 6.8 SDS Akuades Tris Glisin SDS Akuades Tris HCl pH 6.8 Gliserol SDS β-merkaptoetanol Bromphenol blue Tris HCl pH 6.8 Gliserol Bromphenol blue Akuades Commasive brilliant blue Metanol Asam asetat glasial Akuades Metanol Asam asetat glasial Akuades
Stok 91 g 2g 500 mL 6.09 g 0.4 g 100 7.5 g 36 g 2.5 g 500 mL 2.4 mL 1M 3 mL 20% 3 mL 1.6 mL 14.3 M 0.006 g 2.4 mL 1M 3 mL 0.006 g sd. volume 10 mL 0.25 g 200 mL 50 mL 250 mL 200 mL 50 mL 250 mL
Konsentrasi Akhir 1.5 M 0.4 % 500 mL 0.5 M 0.4 % 100 mL 0.12 M 0.95 M 0.5 % 500 mL 188 mM 30 % 3% 15 % 0.01 % 188 mM 30 % 0.01 % 0.5 % 0.4 % 0.1 % 0.5 % 0.4 % 0.1 % 0.5 %
29
Lampiran 7 Komposisi reagen BCA assay Reagen A Reagen B Na2CO3, NaHCO3, Asam bichinchoninat, 4 % CuSO4 Na2C4H4O6, dalam 0.1 M NaOH
Standar BSA 2 mg/mL BSA dalam 0.9% garam dan 0,05% NaN3
Lampiran 8 Analisis BLASTn data sekuensing DNA 16S-rRNA
30
Lampiran 9 Kurva Standar BSA
Lampiran 10 Nilai absorbansi kolom filtrasi gel
Fraksi F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8 F9 F10 F11 F12 F13 F14 F15 F16 F17 F18 F19 F20 F21
Absorbansi (280 nm) 0.176 0.247 0.268 0.327 0.356 0.46 0.426 0.162 0.086 0.058 0.06 0.04 0.014 0.023 0.005 0.048 0.033 0.021 0.042 0.021 0.021
31
Lampiran 11 Kurva standar bobot molekul
Lampiran 12 Karakteristik suhu protein lektin Perlakuan suhu Kontrol 30ºC, 30 menit 50ºC, 30 menit 70ºC, 30 menit 90ºC, menit30
Uji 1 Ulangan Ulangan 1 (mm) 2 (mm) 10 9 9 9 8 8 -
Uji 2 Ulangan 1 Ulangan 2 (mm) (mm) 8 7 8 7.5 8 8 -
Rataan (mm) 8.5 8 8 -
Lampiran 13 Gambar aktivitas antibakteri hasil karakterisasi suhu dan logam
Perlakuan Logam
Perlakuan Suhu
Lampiran 14 Karakteristik logam protein lektin Perlakuan Logam Kontrol MgCl2 CaCl2
Uji 1 Ulangan Ulangan 1 (mm) 2 (mm) 8 8 8 8 8.5 8.5
Uji 2 Ulangan 1 Ulangan 2 (mm) (mm) 8 8 7.5 8.5 8.5 8.5
Rataan (mm) 8 8 8.5
32
Lampiran 15 Hasil Uji ATPase Sampel 5x enzim + 40x sampel 5x enzim + 80x sampel
Abs (620-405)
Abs (SampelSampelSampel Enzim)/ Enzim -Blanko Enzim
Nilai % (Aktivitas Aktivitas Kontrol)
0.072
0.047
0.713
0.937
0.579
57.906
0.303
0.278
0.482
0.634
0.275
27.551
Lampiran 16 Aktivitas antibakteri protein lektin mikroalga BTM 11 Bakteri S. aureus
S. typii
Sampel K+ KProtein Lektin K+ KProtein Lektin
Ulangan 1 24 8 22 7
Zona hambat (mm) Ualangan 2 22 7 19 9
Rata-rata 23 7.5 20.5 7.5
33
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Purworejo, 18 Oktober 1988 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis melanjutkan kuliah S1 tahun 2007 di prodi Teknologi Hasil Pertanian Universitas Sebelas Maret. Penulis melaksanakan penelitian S1 di Balai Besar Teknologi Tepat Guna LIPI Subang. Selama masa kuliah S1 penulis aktif membantu kegiatan penelitian beberapa dosen dan aktif dalam beberapa kegiatan mahasiswa. Penulis menyelesaikan program sarjana (S1) pada tahun 2012 dan melanjutkan pendidikan S2 di sekolah pascasarjana prodi Teknologi Hasil Perairan Institut Pertanian Bogor. Penulis mendapatkan beasiswa unggulan dari Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI) untuk melanjutkan program sekolah pascasarjana.