ijma' sebagai sumber hukum islam - Portal Garuda

pengertian ijma', kehujahan ijma' sebagai salah satu sumber hukum, dan jenis ijma' serta apakah ... dari seluruh masyarakat muslim sejak kedatangan Is...

34 downloads 603 Views 2MB Size
IJMA‘ SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM M. Jafar

Dosen Prodi Ahwal al-Syakhsyiyyah, Jurusan Syari’ah, STAIN Malikussaleh Lhokseumawe Aceh E-Mail: [email protected] Abstrak Ada beragam pendapat ulama pakar usul al-fiqh dalam memberikan definisi ijma‘, baik secara etimologis maupun secara terminologis. Tetapi secara khusus mengenai definisi terminologisnya setelah dirumuskan dari berbagai pendapat, pengertiannya adalah kesepakatan semua mujtahid dalam satu masa tentang hukum suatu masalah yang memerlukan ketetapan hukumnya. Ijma‘ menjadi sandaran hukum yang qat‘i bagi mujtahid sesudahnya. Hal ini berdasarkan kehujahan dari Alquran dan Hadis. Ijma‘ terbagi kepada ijma‘ sarih dan sukuti. Khusus mengenai ijma‘ sukuti sebagai hujah ada tiga pendapat ulama. Pertama, ijma‘ sukuti menjadi hujah, tetapi tidak diakui sebagai ijma‘. Alasannya, ijma‘ harus ada kesepakatan yang jelas. Kedua, menjadi hujah dan diakui sebagai ijma‘. Ketiga, tidak dapat menjadi hujah dan tidak dapat dikatakan ijma‘. Dalam realitasnya, ijma‘ memang sudah terjadi dan fakta yang tak terbantahkan. Kata Kunci: ijma‘, kehujahan.

Abstract There are a variety of ulema expert opinions in giving the definition of ijma‘; both etymologically and terminologically. But specifically concerning the terminology after being formulated from various understanding that the meaning is consensus of all mujtahids within a period upon a legal matter requiring law provisions. ijma‘ then become qat‘i law abutment of mujtahid afterward. It is based on the Qur’an and Hadith evidence. ijma‘ can be ‘divided as ijma‘ sarih and sukuti. Especially, concerning ijma‘ sukuti as an evidence that there are three scholarly opinions. First, ijma‘ sukuti become evidence, but is not recognized as ijma‘. The reason, ijma‘ must be a clear agreement. Second, the argument and be recognized as ijma‘. Third, the argument cannot be evidence and cannot be said as ijma‘. In reality, the ijma‘ is already happened and indisputable fact.

A. Pendahuluan Setelah berlalunya kepemimpinan para khalifah, suatu kekacauan muncul di berbagai bidang. Perbedaan-perbedaan timbul dalam hampir semua masalah hukum; masyarakat terpecah-pecah dalam beberapa madzhab teologis. Lalu muncullah ijma‘ untuk menyelamatkan masyarakat dari kekacauan.

I J M A ‘ S E BAGA I S UMB E R HU K UM I S LAM

Jadi, ijma‘ pada waktu itu menjadi suatu istilah rujukan. Konsep ijma‘ berkembang sejalan dengan munculnya kelompok mayoritas (ahl al-sunnah) dalam berbagai mazhab teologi.1 Namun dalam realitas perjalanan sejarahnya, ada segelintir orang yang berpendapat, ijma‘ tidak mungkin terjadi. Dengan kata lain, mereka termasuk dalam kelompok yang mengingkari adanya ijma‘. Tetapi mayoritas kaum muslimin mengakui adanya ijma‘. Bahkan, para ulama mujtahid sepakat untuk menjadikan ijma‘ sebagai sandaran hukum dalam berijtihad. Sebelum tulisan ini dibahas lebih lanjut, penulis ingin merumuskan dulu permasalahan yang akan dibahas di sini supaya menjadi jelas arahnya. Fokus pembahasan dalam tulisan ini mengenai pengertian ijma‘, kehujahan ijma‘ sebagai salah satu sumber hukum, dan jenis ijma‘ serta apakah ada kemungkinan wujudnya? Selanjutnya, tujuan dari pembahasan ini adalah untuk menjelaskan pengertian ijma‘, untuk mendeskripsikan kehujahan ijma‘ sebagai sumber hukum, dan untuk mengungkapkan macam-macam ijma‘ dan kemungkinan wujudnya. B. Pembahasan 1. Pengertian ijma‘ Secara etimologi, ijma‘ mengandung dua arti.2 Pertama berarti ketetapan hati untuk melakukan sesuatu, atau memutuskan berbuat sesuatu (al-‘azm ‘ala al-syay’). Ijma‘ dalam artian pengambilan keputusan ini dapat dilihat dalam firman Allah pada surat Yunus (10): 71: …karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku). (QS. Yunus [10]: 71) Ijma’ dalam arti ini juga dapat dilihat pada Hadis Nabi saw. yang bunyinya: Tidak ada puasa bagi orang yang tidak meniatkan puasa semenjak malam. Kedua, ijma‘ dengan arti sepakat. Dalam arti ini kata ijma‘ dapat dilihat penggunaannya dalam Alquran pada surat Yusuf (12): 15: Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia). (QS. Yusuf [12]: 15) Adapun menurut Ahmad Hasan, istilah ijma‘ dalam arti etimologisnya menunjukkan bahwa konsep ini tentunya muncul pada saat terjadi pertentangan di dalam Islam. Artinya, dasar dari kata ijma‘ adalah mengumpulkan, menyatukan, menghimpun, berkumpul, bersatu, berhimpun, atau menarik bersama-sama. Istilah ini mungkin sekali berasal dari idiom bahasa Arab: “ajma‘tu al-nahabi” (saya mengumpulkan dari setiap penjuru unta-unta yang merupakan barang rampasan dari orangorang yang sebelumnya adalah pemilik mereka, dan menggiring mereka pergi). Singkatnya, ia berarti 1 2

Ahmad Hasan, Ijma‘ (Bandung: Pustaka, t.t.), 6. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Edisi I, Cet. 4 (Jakarta: Kencana, 2009), 131-132. Volume XIII, No. 2, Februari 2014

93

m . j a fa r

penggiringan unta secara bersama-sama.3 Idiom bahasa Arab tersebut merupakan contoh yang tepat untuk menunjukkan arti kata ijma‘ secara etimologi. Ungkapan ini berarti suatu lapangan terbuka di mana orang-orang berkumpul, dan mereka tidak terpisah satu dari yang lain agar tidak tersesat. Lapangan itu dinamakan mujmi‘ah karena ia menyatukan mereka. Kata ijma‘ juga digunakan untuk mengikat jadi satu puting susu unta betina dengan sebuah tali. Ini membuktikan bahwa istilah itu mengandung akar makna menyatukan benda-benda yang terpisah.4 Di samping itu, istilah tersebut juga mempunyai arti lain. Ia juga berarti menyusun dan membereskan sesuatu yang sebelumnya tercerai berai, sebagai suatu pendapat yang diputuskan oleh seseorang. Karena itu ia berarti menentukan, menetapkan atau memutuskan suatu perkara agar menjadi benar-benar beres. Istilah ini mengandung dua arti yang telah dikemukakan, yaitu kesatuan dan keputusan hati.5 Adapun pengertian ijma‘ dalam istilah teknis hukum atau istilah syar‘i terdapat perbedaan rumusan. Perbedaan itu dapat dilihat dalam beberapa rumusan atau, antara lain definisi al-Ghazzali yang merumuskan ijma‘ sebagai:6 Kesepakatan umat Muhammad secara khusus atas suatu urusan agama. Bukti adanya ijma‘, menurut al-Ghazzali, misalnya kesepakatan umat Muhammad tentang kewajiban salat lima waktu dan puasa bulan Ramadan. Alasannya, karena seluruh umat Muhammad mengikuti nas dan dalil yang pasti dalam ibadah. Mereka menghindar dari siksaan akibat berseberangan dengan dalil-dalil tersebut. Hal ini sebagaimana kesepakatan mereka untuk makan dan minum karena dituntun oleh jiwa mereka, begitu juga kesepakatan untuk mengikuti kebenaran dan menjaga jiwa agar tidak terjerumus ke dalam neraka. Pendapat Imam al-Ghazzali ini mengikuti pandangan Imam al-Syafi‘i yang menetapkan ijma‘ itu sebagai kesepakatan umat. Hal ini tampaknya didasarkan pada keyakinan bahwa yang terhindar dari kesalahan hanyalah umat secara keseluruhan, bukan perorangan. Namun pendapat Imam alSyafi‘i ini mengalami perubahan dan perkembangan di tangan pengikut-pengikutnya di kemudian hari.7 Definisi sebagaimana dikemukakan oleh al-Ghazzali di atas—yang menetapkan kesepakatan dari seluruh masyarakat muslim sejak kedatangan Islam sampai hari kiamat—mendapat kritikan keras dari para ahli hukum. Alasannya karena—menurut mereka—ijma‘ seperti ini tidak mungkin terjadi dalam prakteknya8 Tetapi dalam penjelasan al-Ghazzali selanjutnya, yang dimaksud dengan umat Muhammad di sini ialah setiap mujtahid yang diterima fatwanya, yakni ahl al-hill wa al-‘aqd (para Ahmad Hasan, Ijma‘…, 19. Ahmad Hasan, Ijma‘…, 19. 5 Ahmad Hasan, Ijma‘…, 19. 6 Al-Ghazzali, Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul, Cet. 1 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2008), 219. 7 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh…, 132-133. 8 Ahmad Hasan, Ijma‘…, 82. 3 4

94

Jurnal Ilmiah Islam Futura

I J M A ‘ S E BAGA I S UMB E R HU K UM I S LAM

ahli yang berkompeten dalam mengurusi umat). Jadi di sini tidak termasuk anak-anak, orang gila dan orang pikun. Walaupun mereka juga termasuk umat tetapi tidak dimaksudkan oleh Rasulullah dalam sabdanya: “Umatku tidak pernah bersepakat untuk membuat kesesatan.”9 Tokoh lain yang pendapatnya dikutip di sini adalah al-Amidi (juga pengikut mazhab al-Syafi‘i), ia merumuskan ijma‘ sebagai beriku:

Ijma‘ adalah kesepakatan sejumlah ahlul hill wa al ‘aqd (para ahli yang berkompeten mengurusi umat) dari umat Muhammad pada suatu masa atas hukum suatu kasus. Kelihatannya Imam al-Amidi membatasi ijma‘ itu pada kesepakatan orang-orang tertentu dari umat Muhammad saw., yaitu orang-orang yang mempunyai fungsi sebagai pengurai dan pengikat, atau para ulama yang membimbing kehidupan keagamaan umat Islam. Dalam hal ini orang awam tidak diperhitungkan kesepakatannya. Namun, lebih lanjut terlihat bahwa al-Amidi masih memberikan kemungkinan masuknya orang awam dalam penetapan ijma‘ dengan ketentuan telah mampu berbuat hukum. Untuk maksud ini al-Amidi memberikan alternatif definisi ijma‘ sebagai berikut:

Kesepakatan para mukallaf dari umat Muhammad pada suatu masa atas hukum suatu kasus. Definisi yang dikemukakan oleh al-Amudi di atas dapat dikatakan mewakili pendapat ulama sunni, meski ada perbedaan dalam perumusannya secara redaksional, yaitu kesepakatan orang yang disebut ahl al-hill wa al-‘aqd.10 Definisi di atas mengandung lima komponen, yaitu kesepakatan, ahl al-hill wa al-‘aqd, umat Muhammad, pada suatu masa, dan masalah atau kasus yang muncul. Kata “kesepakatan” mencakup kesepakatan secara diam-diam. Istilah ahl al-hill wa al-‘aqd menunjukkan kesepakatan bulat dari para ahli hukum, atau ulama. Persyaratan “umat Muhammad” mengimplikasikan pengecualian orang-orang yang termasuk dalam umat lain. Ungkapan “pada suatu masa” berarti ulama yang hidup pada masa tertentu, tidak termasuk ulama yang hidup pada masa sebelumnya atau sesudahnya. Dan terakhir ungkapan menyangkut “masalah atau kasus yang muncul” mencakup aspek kesepakatan yang positif dan peraturan-peraturan mengenai masalahmasalah hukum.11 Rumusan yang lebih mencakup kepada pengertian ahl al-sunnah adalah apa yang dikemukakan ‘Abd al Wahhab Khallaf, yang juga dikutip ulama lainnya, yaitu:12 Konsensus semua mujtahid muslim pada suatu masa setelah Rasul wafat atas suatu hukum syara‘ mengenai suatu kasus. Al-Ghazzali, Al-Mustasfa…, 228. Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh…, 133. 11 Ahmad Hasan, Ijma‘…, 82-83. 12 ‘Abd al-Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (terj. Halimuddin), Cet. 3 (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), 49. 9

10

Volume XIII, No. 2, Februari 2014

95

m . j a fa r

Dari rumusan itu jelaslah bahwa ijma‘ itu adalah kesepakatan, dan yang sepakat di sini adalah semua mujtahid muslim, berlaku dalam suatu masa tertentu sesudah wafatnya Nabi. Di sini ditekankan “sesudah masa Nabi”, karena selama Nabi masih hidup, Alquran lah yang akan menjawab semua persoalan hukum karena ayat Alquran masih turun dan Nabi sebagai tempat untuk bertanya tentang hukum syarak, maka tidak diperlukan adanya ijma‘. Dari definisi di atas terlihat unsur pokok yang merupakan hakikat dari suatu ijma‘ yang sekaligus merupakan rukun ijma‘, yaitu:13 1. Saat berlangsungnya kejadian yang memerlukan adanya ijma‘, terdapat sejumlah orang yang berkualitas mujtahid; karena kesepakatan itu tidak berarti jika yang sepakat hanya satu orang. 2. Semua mujtahid itu sepakat tentang hukum suatu masalah, tanpa memandang kepada negeri asal, jenis, dan golongan mujtahid. Kalau yang mencapai kesepakatan itu hanya sebagian mujtahid, atau mujtahid kelompok tertentu, wilayah tertentu atau bangsa tertentu, maka kesepakatan itu tidak dapat disebut ijma‘, karena ijma‘ itu hanya tercapai dalam kesepakatan menyeluruh. 3. Kesepakatan itu tercapai setelah terlebih dahulu masing-masing mujtahid mengemukakan pendapatnya sebagai hasil dari usaha ijtihadnya, secara terang-terangan, baik pendapatnya itu dikemukakan dalam bentuk ucapan dengan mengemukakan fatwa tentang hukum kejadian itu; atau dalam bentuk perbuatan dengan memutuskan hukum dalam pengadilan dalam kedudukannya sebagai hakim. Penyampaian pendapat itu mungkin dalam bentuk perseorangan yang kemudian ternyata hasilnya sama; atau secara bersama-sama dalam satu majelis yang sesudah bertukar pikiran ternyata terdapat kesamaan pendapat. 4. Kesepakatan itu haruslah merupakan kesepakatan yang bulat dari seluruh mujtahid. Jadi, kalau kesepakatan itu hanya dari kebanyakan mujtahid saja sedang sebagian mujtahid lainnya terdapat perbedaan, maka bukanlah merupakan ijma‘ yang dapat dijadikan hujah syar‘iyyah.14 Apabila rukun-rukun ijma‘ tersebut telah terpenuhi, maka hukum hasil dari ijma‘ itu merupakan undang-undang syarak yang wajib ditaati, dan para mujtahid berikutnya tidak boleh menjadikan peristiwa yang telah disepakati itu sebagai tempat berijtihad baru. Sebab hukumnya sudah tetap atas dasar bahwa ijma‘ itu telah menjadi hukum syarak yang qat‘i, sehingga tidak dapat dihapus atau ditukar dengan ijtihad yang lain. Namun menurut satu pendapat, tidak mungkin terjadi ijma‘ pada kebiasaan. Ini dapat dilihat seperti pada penyataan Ibn Hazm yang mengatakan bahwa munculnya ijma‘ supaya jangan ada lagi orang yang berijtihad pada masalah tersebut, dan ijma‘ asumsi dasarnya adalah bohong. Adapun argumen orang yang berpendapat tidak mungkin terjadi ijma‘ adalah dengan dianalogikan seperti tidak mungkin sama selera semua orang dalam hal memakan makanan yang sama atau tidak mungkin mengucapkan kalimat yang sama dalam waktu yang sama oleh semua orang. Adapun menurut pendapat yang kuat, terjadinya ijma‘ sangat memungkinkan. Pernyataan tersebut (tidak mungkin terjadi ijma‘ dan argumennya) dibantah oleh Zakariyya’ al-Ansari dengan pernyataannya 13 14

96

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh…, 135-136. Lihat juga Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh…, 49-50. Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh Islam, Cet. 1 (Bandung: Alma‘arif, 1986), 60.

Jurnal Ilmiah Islam Futura

I J M A ‘ S E BAGA I S UMB E R HU K UM I S LAM

bahwa analogi semacam itu tidak sesuai (qiyas ma‘a al-fariq). Alasannya, karena berbeda keinginan dan kesukaan setiap orang dalam hal makanan dan ucapan yang ingin dikeluarkan. Hal ini berbeda dengan hukum syarak karena kesamaan dan kesepakatan yang terjadi (ijma‘) dimunculkan oleh dalil yang mereka sepakati dalam pemahamannya.15 2. Kehujahan ijma‘ Jumhur ulama berpendapat bahwa kedudukan ijma‘ menempati salah satu sumber atau dalil hukum sesudah Alquran dan Hadis. Sebagai bukti bahwa ijma‘ itu menjadi hujah adalah sebagai berikut:16 a. Alquran surat al-Nisa’ ayat 59 dan 116:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu... (QS. al-Nisa’ [4]: 59) L afaz “al-amr” (urusan) mencakup kepada urusan agama dan keduniaan dan lafaz “uli al-amr”

(pemegang urusan) mencakup kepada pemegang urusan duniawi, seperti kepala negara, anggota perwakilan rakyat, para menteri dan lain sebagainya dan mencakup pemegang urusan agama, seperti para mujtahid, para mufti dan para ulama. Oleh karena itu bila masing-masing golongan tersebut di atas telah sependapat dalam menetapkan hukum suatu peristiwa, wajib ditaati dan diikuti sebagaimana mentaati dan mengikuti nas-nas Alquran. Menurut Ahmad al-Sawi, ayat di atas secara menyeluruh mengisyaratkan kepada dalil-dalil fiqh yang empat, yakni Alquran, Hadis, ijma‘ dan qiyas. Taat kepada Allah, yakni Alquran, taat kepada Rasul, yaitu Hadis, dan taat kepada uli al-amr adalah ijma‘ (ketetapan hukum yang sudah menjadi kesepakatan).17 Logikanya, taat kepada Allah kita ketahui perintah-perintah-Nya untuk kita taati karena ada Alquran yang termuat semua petunjuk untuk ketaatan kita. Begitu juga taat kepada Rasul dengan adanya Hadis yang mengatur semua kehidupan mulai dari dunia sampai akhirat semua kita ketahui melalui Hadis yang beliau sabdakan. Adapun taat kepada uli al-amri, yang dalam hal ini adalah mujtahid tentu pada masalah-masalah yang sudah menjadi kesepakatan mereka (ijma‘). Karena kalau bukan seperti itu, maka kita tidak mungkin untuk taat kepada mereka. Jika terjadi pereselisihan atau perbedaan pendapat, kita taat kepada yang satu tidak mungkin taat kepada yang lainnya. Maka untuk dapat kita taati tentu pada masalah-masalah yang sudah menjadi kesepakatan (ijma‘) di kalangan mereka. Adapun surat al-Nisa’ ayat 115 berbunyi:

Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang Zakariyya’ al-Ansari, Ghayat al-Wusul Syarh Labb al-Usul (Semarang: Karya Toha Putra, t.t.), 109. Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan…, 60-63. 17 Ahmad al-Sawi, Tafsir al-Sawi, Jilid I (Sangkapurah: al-Haramayn, t.t.), 299. 15 16

Volume XIII, No. 2, Februari 2014

97

m . j a fa r

bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam jahannam, dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. al-Nisa’ [4]: 115) Dalam ayat ini, “jalan-jalan orang mukmin” diartikan sebagai apa-apa yang telah disepakati untuk dilakukan orang mukmin. Inilah yang disebut ijma‘ kaum mukminin. Orang yang tidak mengikuti jalan orang mukmin mendapat ancaman neraka jahanam. Dengan kata lain bahwa Allah menyamakan orang-orang yang melawan jalan yang ditempuh orang-orang mukmin (ijma‘) dengan orang yang melawan Rasulullah saw. Logikanya, dalam QS. al-Nisa’: 59 di atas Allah sudah memerintahkan kita agar taat kepada Allah (dengan mengikuti Alquran), Rasul-Nya (dengan mengikuti Hadis) dan uli al amr (dengan ijma‘ para ulama mujtahid), maka di sini ditegaskan bahwa orang yang tidak mau mengikuti Rasul dan tidak mau mengikuti jalan orang-orang mukmin (yang sudah disepakati) akan mendapat ancaman neraka dari Allah. Adapun jalan yang tidak disepakati tidak disuruh kepada kita untuk taat kepadanya. Dan yang dimaksud dengan jalan di sini adalah aturan-aturan agama.18 b. Hadis Nabi saw. Bahwa hukum yang telah mendapatkan kesepakatan dari seluruh mujtahid muslimin pada hakikatnya adalah hukum umat Islam seluruh dunia yang tercermin pada para mujtahid. Banyak sekali dalil-dalil Hadis dalam berbagai periwayatan yang berbeda rumusannya, namun sama maksudnya, yaitu umat Nabi Muhammad saw. tidak akan bersepakat dalam membuat kesalahan dan kesesatan. Antara lain sabda Nabi berikut: Umatku tidak sepakat untuk membuat kesalahan. (HR. Ibnu Majah) Dalam Hadis ini dijelaskan bahwa umat dalam kedudukannya sebagai umat yang sama-sama sepakat tetang sesuatu, tidak mungkin salah. Ini berarti ijma‘ itu terpelihara dari kesalahan, sehingga putusannya merupakan hukum yang mengikat umat Islam. c. Argumen bahwa ijma‘ berlandaskan syariat Ijma‘ terhadap hukum syarak harus dibina di atas sandaran syariat. Sebab setiap mujtahid muslim terikat oleh ketentuan-ketentuan yang tidak boleh dilampauinya. Jelasnya, jika di dalam menjalankan ijtihad dia mendapatkan suatu nas, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui pemahaman dari nas itu dan dia harus mengetahui benar-benar apa yang ditunjuknya. Akan tetapi jika di dalam kejadian yang diijtihadkan tidak ada nasnya, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui cara pengistimbatan suatu hukum. Ia dituntut untuk mengkiaskannya kepada yang ada nas, atau menyesuaikannya dengan kaidah-kaidah syariat dan dasar-dasar hukum umum atau dengan menggunakan dalil-dalil yang ditegakkan oleh syariat, seperti istihsan, istishab, memelihara ‘urf dan masalih al-mursalah. 18

98

Al-Sawi, Tafsir…, 326.

Jurnal Ilmiah Islam Futura

I J M A ‘ S E BAGA I S UMB E R HU K UM I S LAM

3. Macam-macam ijma‘ dan kemungkinan wujudnya Ditinjau dari cara-cara terjadinya, ijma‘ itu ada dua macam.19 Pertama, ijma‘ sarih, yaitu kesepakatan para mujtahid pada suatu masa terhadap hukum suatu peristiwa dengan jalan masingmasing dari mereka menyatakan pendapatnya dengan cara memfatwakannya atau mempraktekkannya. Yakni setiap mujtahid mengeluarkan perkataan atau perbuatan yang mencerminkan pendapatnya. Kedua, ijma‘ sukuti, yaitu sebagian mujtahid menyatakan pendapatnya dengan tegas dari hal hukum suatu peristiwa dengan memfatwakan atau mempraktikkannya, sedang sebagian mujtahid yang lain tidak menyatakan persetujuannya terhadap hukum itu dan tidak pula menentangnya. Ijma‘ macam pertama menurut jumhur adalah ijma‘ hakiki dan menjadi sumber hukum syariat. Sedang ijma‘ macam kedua adalah ijma‘ i‘tibari (masih relatif). Sebab orang yang berdiam diri itu belum tentu ia setuju. Karena itu kedudukan ijma‘ macam kedua ini masih diperselisihkan. Jumhur menetapkannya bukan sebagai hujah, lantaran masih dianggap sebagai pendapat perseorangan. Akan tetapi ulama Hanafiyyah berpendapat bahwa ijma‘ sukuti itu dapat dijadikan hujah, apabila mujtahid itu berdiam diri setelah disodorkan kepadanya peristiwa itu beserta pendapat mujtahid lain yang telah berijtihad dan telah dan telah cukup pula waktu untuk membahasnya serta tidak didapati suatu petunjuk bahwa ia berdiam diri itu karena takut atau mengambil muka atau lain sebagainya. Menurut al-Ghazzali, yang dimaksud dengan ijma‘ adalah kesepakatan ulama mujtahid dalam memfatwakan hukum suatu masalah dalam satu masa, baik masa itu telah lewat atau belum (masih dalam masa mujtahid yang terjadi kesepakatan itu). Fatwa mereka bersumber dari ijtihad atau bersumber dari nas Alquran atau Hadis, dan fatwa mereka terjadi secara jelas dengan ucapan. Dengan demikian, diam sebagian mujtahid atas hasil fatwa mujtahid yang lain tidak sama seperti ucapan. Adapun berlalunya masa itu bukan sebagai syarat untuk dijadikan ijma‘ sebagai hujah (sumber hukum).20 Dari pembahasan al-Ghazzali tersebut muncul persoalan bahwa, jika sebagian sahabat berfatwa, sedangkan yang lain diam saja (tidak mengeluarkan fatwanya), maka hal itu tidak disebut ijma‘ (sukuti). Dan tidak dapat dikatakan orang diam telah mengeluarkan ucapan (fatwa). Menurut sekelompok ulama, apabila suatu fatwa hukum dari seorang mujtahid (sahabat) telah tersiar luas, sedangkan yang lainnya diam saja, maka diam mereka sama seperti telah mengeluarkan fatwa yang sama, sehingga kejadian seperti itu disebut juga dengan ijma‘ (ijma‘ sukuti). Menurut sekelompok ulama lain, hal itu hanya menjadi hujah (sumber hukum) saja, tetapi tidak dapat dikatakan ijma‘. Menurut sekelompok ulama lainnya, hal itu tidak dapat dijadikan hujah dan bukan ijma‘ tetapi hanya sebagai dalil yang membolehkan mereka untuk berijtihad pada suatu masalah yang berkaitan dengan hukum.21 Dari beberapa pendapat di atas, al-Ghazzali lebih memilih dengan berpendapat bahwa hal itu (sukuti) tidak dapat dikatakan ijma‘ dan tidak dapat pula dijadikan hujah. Juga tidak dapat dijadikan dalil terhadap pembolehan berijtihad tentang suatu masalah, kecuali jika terindikasi dari kondisi Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-Dasar Pembinaan…, 65-66. Al-Ghazzali, Al-Mustasfa …, 240. 21 Al-Ghazzali, Al-Mustasfa …, 240. 19 20

Volume XIII, No. 2, Februari 2014

99

m . j a fa r

orang-orang (mujtahid) yang diam itu bahwa mereka diam karena rela dan setuju atas hasil fatwa sebagian mujtahid tersebut. Dan boleh mengambil hasil fatwa tersebut ketika sebagian yang lain diam serta menjadi dalil atas fatwa mereka. Diam mereka karena rela dan setuju atas fatwa sebagian hanya dapat diketahui melalui ucapan (pengakuan) mereka yang jelas dan pasti. Sebaliknya, jika tidak ada pengakuan apapun, maka tidak dapat diketahui secara pasti bahwa diam itu menunjukkan kepada rela dan setuju. Terkadang diam bukan karena rela dan setuju, dengan tujuh sebab berikut:22 1. Dalam hati mereka tidak mau mengeluarkan ucapan apapun, kita tidak bisa mengetahuinya. Kadang-kadang terdapat indikasi marah atas diam mereka. Dengan demikian diam mereka sebagai tanda tidak setuju atas fatwa sebagian mujtahid yang lain. 2. Diam karena mereka melihat hasil ijtihad telah sempurna ditetapkan oleh sebagian yang lain, walaupun mereka tidak sepakat atas hasil ijtihad itu, bahkan terkadang mereka menganggap hasil ijtihad tersebut salah. Maka diam seperti itu jelas tidak dapat dikatakan ijma‘. 3. Anggapan setiap mujtahid benar, maka tidak boleh dibantah dan tidak perlu dikomentari hasil ijtihad mujtahid lain. Karena berijtihad untuk menemukan ketetapan hukum atas suatu kasus yang muncul hukumnya fard kifayah. Maka sebagian yang lain diam saja walau menurut mereka hasilnya berbeda. Dengan demikian jelas bahwa diam tidak dapat dianggap ijma‘ sekali-kali. 4. Diam karena tidak setuju tetapi mujtahid yang diam itu menunggu kesempatan yang pas untuk membantahnya. Namun, sebelum kesempatan itu ada ternyata mereka meninggal dunia sehingga tidak sempat membantahnya. Berarti diam seperti ini tidak dapat dikatakan ijma‘. 5. Diyakini kalaupun dibantah, maka mujtahid yang telah mengeluarkan fatwanya tidak akan mau menerimanya, bahkan mujtahid yang membantah tersebut memperoleh celaan dan hinaan. Hal ini sebagaimana kata Ibn ‘Abbas dalam diamnya daripada membantah fatwa Umar tentang ‘awl pada masa hidupnya: “Umar merupakan seorang lelaki yang hebat, maka aku menghormatinya”. 6. Diam karena belum menemukan ketetapan hukum yang sesuai pada suatu masalah yang muncul dan masih memperdalam pemikirannya atas masalah tersebut. 7. Diam karena menyangka orang lain sudah memadai untuk membantahnya dan tidak mau menampakkan perbantahannya. Dari uraian al-Ghazzali di atas, maka dapat disimpulkan bahwa beliau tidak mengakui adanya ijma‘ sukuti, kecuali jika ada pernyataan yang jelas dan pasti dari sebagian mujtahid yang diam bahwa mereka mendukung terhadap fatwa hukum yang telah dikeluarkan oleh sebagian mujtahid. Menurut al-Jalal Syams al-Din Muhammad ibn Ahmad al-Mahalli, ijma‘ sukuti adalah sebagian mujtahid menyatakan pendapatnya mengenai hukum suatu kasus, sedangkan mujtahidmujtahid yang lain diam setelah mengetahui ketetapan hukum hasil ijtihad mujtahid tersebut tadi. Dalam hal ini (ijma‘ sukuti) muncul tiga pendapat yang berbeda di kalangan para ulama usul al-fiqh. Pertama, hal itu (ijma‘ sukuti) menjadi hujah dan dia bukan ijma‘ namanya. Alasannya, karena ijma‘ harus ada kesepakatan secara pasti dan meyakinkan (dengan adanya pengakuan secara lisan dari mujtahid yang diam tersebut). Kedua, menjadi hujah dan dikatakan ijma‘. Alasannya, karena diam 22

100

Al-Ghazzali, Al-Mustasfa …, 240-241.

Jurnal Ilmiah Islam Futura

I J M A ‘ S E BAGA I S UMB E R HU K UM I S LAM

ulama mujtahid pada hal semacam itu dianggap setuju pada kebiasaan. Ketiga, tidak dapat menjadi hujah dan tidak dapat dikatakan ijma‘. Alasannya, diam sebagian mujtahid ada kemungkinan tidak setuju atas hasil ijtihad sebagian lainnya, dan diamnya itu karena beberapa faktor, seperti takut membantahnya, menghormati mujtahid itu karena seorang yang punya kharisma tinggi, masih raguragu pada ketetapan hukum masalah tersebut, dan lain-lain. Pendapat yang ketiga ini merupakan pendapatnya Imam al-Syafi‘i karena dipahami dari ucapan beliau bahwa diam mujtahid tidak bisa dikatakan dia mengeluarkan pendapat.23 Menurut Imam al-Juwayni al-‘Iraqi al-Syafi‘i, ijma‘ adalah kesepakatan yang terjadi melalui ucapan para mujtahid atau perbuatan mereka. Atau, sebagian mereka menyatakan pendapatnya atau mengerjakan sesuatu yang berkaitan dengan hukum. Kemudian pernyataan atau perbuatan sebagian mujtahid tersebut tersiar luas sampai kepada mujtahid lainnya, tetapi mereka diam saja tanpa memberi komentar apapun. Hal seperti itu dinamakan ijma‘ sukuti.24 Tentang ijma‘ sukuti ini, al-Baydawi dan Qadi Husayn tidak menganggapnya sebagai ijma‘ dan tidak menjadikannya sebagai hujah. Pendapat ini sebagaimana yang dikutip dari Imam al-Syafi‘i. Adapun Imam al-Syafi‘i sendiri menjadikan ijma‘ sukuti sebagai dalil hukum pada beberapa masalah, itu karena diamnya sebagian mujtahid pada beberapa masalah tersebut terdapat indikasi yang menunjukkan kepada rela dan setuju atas pernyataan atau perbuatan sebagian mujtahid lainnya. Kalau seperti itu alasannya, maka ijma‘ sukuti sebagai dalil hukum tidak terbantahkan.25 Ini sama seperti pembahasan al-Ghazzali sebelumnya, yaitu indikasinya harus secara jelas melalui pengakuan secara lisan bahwa mujtahid yang diam itu setuju atas hasil ijtihad mujtahid lainnya. Dengan demikian, maka ijma‘ sukuti seperti inilah yang dapat dikatakan ijma‘ dan dapat dijadikan hujah. Ditinjau dari segi qat‘i (pasti) dan zanni (hipotetik) dalalah-nya, ijma‘ terbagi menjadi dua macam: a. Ijma‘ qat‘i al-dalalah terhadap hukumnya. Yakni hukum yang dihasilkan dari ijma‘ ini adalah qat‘i. Jadi, tidak ada jalan lain untuk menetapkan hukum peristiwa itu berbeda dengan hukum hasil ijma‘ tersebut, dan tidak ada jalan lain untuk berijtihad lagi terhadap peristiwa yang telah ditetapkan oleh ijma‘ itu. Ijma‘ yang qat‘i al-dalalah itu adalah ijma‘ sarih. b. Ijma‘ zanni al-dalalah terhadap hukumnya. Yakni hukum yang dihasilkan dari ijma‘ ini adalah zann (hipotetik) dan peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar ijma‘ ini masih mungkin bisa dijadikan sasaran ijtihad oleh mujtahid lain. Sebab ia baru merupakan hasil dari sebagian mujtahid, bukan seluruh mujtahid. Ijma‘ macam yang kedua ini adalah ijma‘ sukuti. Sebagian ulama, di antaranya al-Nazam dan sebagian pengikut Syi‘ah, berpendapat bahwa ijma‘ menurut ketentuan di atas tidak mungkin terjadi menurut lazimnya karena tidak mungkin merealisasikan rukun ijma‘ tersebut secara penuh. Alasannya ialah:26 Al-Jalal Syams al-Din Muhammad ibn Ahmad al-Mahalli, Syarh ‘ala Matn Jam‘ al-Jawami‘ Ibn al-Subki, Jilid II (Semarang: Usaha Keluarga, t.t.), 187-189. 24 Al-Juwayni, Al-Waraqat (Sangkapurah: al-Haramayn, t.t.), 123-124. 25 Ahmad ibn ‘Abd al-Latif al-Khatib, Al-Nufahat ‘ala Syarh al-Waraqat (Sangkapurah: al-Haramayn, t.t.), 124. 26 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh…, 136-137. 23

Volume XIII, No. 2, Februari 2014

101

m . j a fa r

1. Tidak ada suatu ukuran tertentu untuk mengetahui dan menetapkan apakah seseorang telah mencapai tingkat pendidikan tertentu yang menyebabkan seseorang patut disebut mujtahid, karena secara formal tidak ada lembaga pendidikan yang menghasilkan mujtahid. 2. Kalaupun ada lembaga pendidikan mujtahid dan ada ukuran untuk menyatakan seseorang telah mencapai derajat mujtahid serta dapat pula diketahui mujtahid itu di seluruh dunia, namun untuk dapat menghimpun pendapat mereka semua mengenai suatu masalah yang memerlukan hukum, secara meyakinkan atau dekat kepada yakin, adalah tidak mungkin karena mereka berada dalam lokasi yang berjauhan, dalam tempat yang terpisah serta berbeda latar belakang sosial dan budaya mereka. 3. Kalaupun mujtahid yang ada itu dapat dikenal secara perorangan di seluruh dunia dan dapat menghimpun pendapat mereka menurut cara yang meyakinkan, namun siapa yang dapat menjamin bahwa setiap mujtahid yang telah mengemukakan pendapatnya tentang hukum suatu masalah itu tetap pada pendiriannya sampai terkumpul pendapat mereka semua, karena syarat melangsungkan ijma‘ itu ialah bahwa kesepakatan itu berlaku dalam satu masa tertentu ketika terjadinya peristiwa yang memerlukan ijma‘ tersebut. 4. Mencapai kebulatan pendapat di kalangan mujtahid secara massif itu adalah sesuatu yang sulit terjadi, sedangkan hakikat ijma‘ adalah kebulatan pendapat atau kesepakatan. Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma‘ mungkin dapat terlaksana dan memang telah terjadi dalam kenyataan. Umpamanya, pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah setelah wafatnya Nabi ditetapkan dengan ijma‘. Demikian pula haramnya lemak babi, berhaknya kakek atas seperenam harta warisan cucunya, terhalangnya cucu oleh anak dalam hak mewarisi, dan lain-lain hukum furu‘ sebagaimana tersebar dalam kitab-kitab fikih. C. Penutup Pengertian ijma‘ adalah kesepakatan mujtahid dari umat Muhammad Saw dalam satu masa pada suatu persoalan agama yang membutuhkan ketetapan hukumnya. Ijma‘ merupakan salah satu sumber hukum Islam yang wajib diikuti berdasarkan dalil nas Alquran dan Hadis. Ditinjau kepada cara-cara terjadinya, ijma‘ terbagi kepada ijma‘ sarih dan sukuti. Dan ditinjau kepada qat‘i (pasti) dan zanni (hipotetik) dalalah-nya, ijma‘ terbagi kepada dua, yaitu ijma‘ qat‘i al-dalalah terhadap hukumnya dan ijma‘ zanni al-dalalah terhadap hukumnya. Dan dalam kenyataannya ijma‘ memang sudah terjadi.

DAFTAR PUSTAKA Ahmad Hasan. Ijma‘. Bandung: Pustaka, t.t. Amir Syarifuddin. Ushul Fiqh, Edisi I, Cet. 4. Jakarta: Kencana, 2009. Al-Ansari, Zakariyya’. Ghayat al-Wusul Syarh Labb al-Usul. Semarang: Karya Toha Putra, t.t. Al-Ghazzali. Al-Mustasfa min ‘Ilm al-Usul, Cet. 1. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2008. 102

Jurnal Ilmiah Islam Futura

I J M A ‘ S E BAGA I S UMB E R HU K UM I S LAM

Al-Juwayni. Al-Waraqat. Sangkapurah: al-Haramayn, t.t. Khallaf, ‘Abd al-Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh, terj. Halimuddin, Cet. 3. Jakarta: Rineka Cipta, 1995. Al-Khatib. Ahmad ibn ‘Abd al-Latif. Al-Nufahat ‘ala Syarh al-Waraqat. Sangkapurah: al-Haramayn, t.t. Al-Mahalli, al-Jalal Syams al-Din Muhammad ibn Ahmad. Syarh ‘ala Matn Jam‘ al-Jawami‘ Ibn alSubki. Semarang: Usaha Keluarga, t.t. Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman. Dasar-Dasar Pembinaan Fiqh Islam, Cet. 1. Bandung: Alma‘arif, 1986. Al-Sawi, Ahmad. Tafsir al-Sawi. Sangkapurah: al-Haramayn, t.t.

Volume XIII, No. 2, Februari 2014

103