INDONESIAN JOURNAL OF SOCIAL AND CULTURAL ANTHROPOLOGY

Download Kep/2012 tanggal 13 Desember 2012 tentang “Hasil Akreditasi Terbitan Berkala llmiah Periode II Tahun 2012,” Jurnal Antropologi Indonesia. (...

0 downloads 638 Views 852KB Size
ISSN: 1693-167X

ANTROPOLOGI INDONESIA Indonesian Journal of Social and Cultural Anthropology

Tentang Kata Korupsi yang Datang Silih Berganti: Suatu Penjelasan Budaya

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 Januari-Juni 2013

Totua Ngata dan Konflik (Studi atas Posisi Totua Ngata sebagai Lembaga Adat di Kecamatan Marawola)

Vol. 34 No. 1 Januari-Juni 2013

Sekerei Mentawai: Keseharian dan Tradisi Pengetahuan Lokal yang Digerus oleh Zaman

Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013 Dewan Penasihat

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Ketua Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Ketua Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Pemimpin Redaksi

Semiarto Aji Purwanto

Redaksi Pelaksana

Dave Lumenta, Dian Sulistiawati, Ezra M. Choesin, Irwan M. Hidayana, Sri Paramita Budi Utami.

Manajer Tata Laksana

Ni Nyoman Sri Natih

Administrasi dan Keuangan

Dewi Zimarny

Distribusi dan Sirkulasi

Ni Nyoman Sri Natih

Pembantu Teknis

Rendi Iken Satriyana Dharma

Dewan Redaksi

Achmad Fedyani Saifuddin, Universitas Indonesia Birgit Bräuchler,, University of Frankfurt Boedhi Hartono, Universitas Indonesia Engseng Ho, Duke University Greg Acciaioli, University of Western Australia Heddy Shri Ahimsa Putra, Gadjah Mada University Martin Slama, Austrian Academy of Sciences Meutia F. Swasono, Universitas Indonesia Kari Telle, Chr. Michelsen Institute Ratna Saptari, University of Leiden Semiarto Aji Purwanto, Universitas Indonesia Suraya Afiff, Universitas Indonesia Timo Kaartinen, University of Helsinki Yasmine.Z. Shahab, Universitas Indonesia Yunita.T. Winarto, Universitas Indonesia

ISSN 1693-167X

ANTROPOLOGI INDONESIA is a refereed international journal

Daftar Isi ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 34 NO. 1 2013

Tentang Kata Korupsi yang Datang Silih Berganti: Suatu Penjelasan Budaya Muhammad Nasrum

1

Totua Ngata dan Konflik (Studi atas Posisi Totua Ngata sebagai Lembaga Adat di Kecamatan Marawola) Hendra

15

Sekerei Mentawai: Keseharian dan Tradisi Pengetahuan Lokal yang Digerus oleh Zaman Lucky Zamzami

29

Kebangkitan Identitas Orang Bajo di Kepulauan Wakatobi Tasrifin Tahara

41

Marapu: Konstruksi Identitas Budaya Orang Sumba, NTT Purwadi Soeriadiredja

59

‘Memanusiakan Manusia’ dalam Lingkungan yang Tangguh: Mengapa ‘Jauh Panggang dari Api’? Yunita T. Winarto

75

Budaya Penjara: Arena Sosial Semi Otonom di Lembaga Pemasayarakatan “X” A. Josias Simon Runturambi

91

Berdasarkan Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik lndonesia Nomor: 80/DIKTI/ Kep/2012 tanggal 13 Desember 2012 tentang “Hasil Akreditasi Terbitan Berkala llmiah Periode II Tahun 2012,” Jurnal Antropologi Indonesia (JAI) diakui sebagai jurnal nasional terakreditasi, berlaku sejak 13 Desember 2012 – 13 Desember 2017.

‘Memanusiakan Manusia’ dalam Lingkungan yang Tangguh: Mengapa ‘Jauh Panggang dari Api’?1 Yunita T. Winarto2 Departemen Antropologi FISIP Universitas Indonesia Abstrak Merupakan suatu realita empiris bahwa kondisi lingkungan tempat kita menggantungkan hidup telah semakin terdegradasi oleh berbagai kegiatan pengelolaan sumber daya alam yang dilandasi berbagai kepentingan tanpa mempertimbangkan ketangguhan ekosistem jangka panjang. Terutama, tanpa melibatkan pengampu budaya habitat itu yang secara turun temurun telah mengembangkan berbagai pranata sosial-budaya untuk menjaga ketangguhan lingkungan dan kesejahteraan mereka. Pengampu budaya itu, seperti petani, tergantikan posisi dan perannya oleh mereka yang memiliki kekuasaan dan kewenangan dalam program-program “pembangunan” berlandaskan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk kepentingan negara dan masyarakat luas. Petani pun semakin lama semakin “terasing” secara ekologis dan budaya di lahannya sendiri. Tidak terjalin keterhubungan dengan proses-proses fisik-alamiah yang terjadi akibat praktik pengelolaan sumber daya di luar pengetahuan empirisnya. Pendekatan lintas-disiplin mutlak perlu dilaksanakan. Antropologi sebagai ilmu yang mengaji manusia dapat memberikan sumbangsih yang bermakna sebagai ‘pengait’ jejaring ilmiah-teknologi-kebijakan di satu sisi, dan kehidupan masyarakat di sisi lain. Tidak hanya pendekatan lintas-disiplin, tetapi juga penelitian dan kolaborasi trans-disiplin dengan penduduk lokal sebagai subjek yang berpartisipasi aktif dalam penelitian dan program pembelajaran sudah saatnya dikembangkan. Antropologi dapat berperan sebagai ‘penerjemah budaya’ dari berbagai pihak yang memiliki ranah pengetahuan, budaya, perspektif, dan strategi yang berbeda dalam pengelolaan sumber daya. Tulisan ini memperlihatkan petani di Indonesia yang terasing di lahannya sendiri sejak dimulainya Revolusi Hijau dan bagaimana dapat berkontribusi untuk mengembalikan martabat dan kreatifitas petani. Kata Kunci: Keterasingan petani, memanusiakan manusia, kolaborasi inter- dan multi-disiplin, penghubung dan penerjemah budaya, “Warung Ilmiah Lapangan” Abstract It is a reality that our environment has become degraded due to various human activities without any concerns for the long-term sustainable implication on both nature and the people who have for generations developed social-cultural institutions to protect their environment in a sustainable manner. The problems have been more severe due to the alienation of local people in their own habitat and the replacement of their roles by those who have power and authority in introducing various kinds of development programmes. There have been no linkages between the physical and natural processes as the consequences of those programmes with people’s empirical knowledge. It is now high time to “humanize people” again in their own environment. An interdisciplinary approach is indeed necessary. Anthropology can play a significant role in providing the “knot” in the network of science-technology-policy on the one hand, and people’s lives on the other hand. Trans-disciplinary research and collaboration with local people have to be developed further. Anthropologists can be the “cultural translators” for various parties who have different objectives, knowledge, perspectives, and strategies in resource management. This inauguration paper addresses this issue by exemplifying the problems faced by farmers in Indonesia who have been alienated in their own lands since the onset of the Green Revolution in food crop production and how an anthropologist can contribute to the return of farmers’ dignity and creativity. Key-words: farmers’ alienation, humanizing people, inter- and trans-disciplinary collaboration, cultural mediator and translator, Science Field Shop. 1 Tulisan ini merupakan versi revisi dari naskah asli yang disajikan dalam Kuliah Inaugurasi sebagai anggota Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia di Jakarta pada tanggal 19 April 2013. 2 M.A. Yunita T. Winarto, Ph.D., guru besar pada Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. E-mail: [email protected] atau [email protected]

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013

75

Secuplik ujaran seorang petani di Indramayu yang terekam dalam film etnografi Bisa Dèwèk (2007) yang disutradarai oleh Rhino Ariefiansyah, antropolog muda, selalu terngiang-ngiang di telinga saya: “Yuk kita perbaiki pertanian kita. Bumi iki wis semakin rusak. ... Kula ndeleng dèwèk, akèhé obat-obatan, akèhé penyakit (Saya melihat sendiri, banyaknya ‘obat-obatan’, banyaknya penyakit).” Itulah ajakan seorang petani di Indramayu yang memprihatinkan kondisi “bumi kita” saat ini (lihat Film Bisa Dèwèk, Ariefiansyah 2007).

Ajakan petani itu ternyata bertolak belakang dari kenyataan yang dijumpai di kalangan ratusan petani lain yang masih juga “getol menyemprot tanaman dengan pestisida yang disebut petani dengan obat”, “mencampur berbagai bahan kimia yang tidak diketahui khasiatnya”, tidak mengenali beragam musuh alami yang rentan pada penyemprotan pestisida secara tidak bijaksana, dan tidak memahami risiko dari perilakunya itu pada kondisi ekosistem lahannya (lihat film Wereng di Sawah Petani, Ariefiansyah 2011; dan trailer singkat petani penyemprot di Indramayu 2013; lihat pula Winarto 1998, 2004; Winarto dkk. 2012b). Pertanda apakah yang dinyatakan dan dilakukan petani-petani di berbagai lokasi berbeda di tanah air? (lihat Winarto dkk. 2012b). Seperti telah saya nyatakan sebelumnya dalam orasi Memorial Lecture untuk alm. Frans Hűsken dalam Open Science Meeting SPIN-AIPI tahun 2011 (lihat From Land Exclusion to Ecocultural Alienation: How could the Farmers Survive? Winarto 2011b), itulah pertanda dari “keterasingan manusia dalam ekosistemnya sendiri yang sudah dan semakin rentan”. Keterasingan Manusia dalam Ekosistem yang Rentan: Mengapa itu Terjadi? Subandriyo dalam harian KOMPAS tanggal 6 Maret 2013 menyuarakan isi hatinya dalam

76

tajuk berjudul: “Hentikan Marjinalisasi Petani”. Beragam peristiwa telah semakin menyudutkan dan memarjinalkan petani, a.l. maraknya impor dan penyelundupan bawang putih, perilaku korupsi pengadaan benih di Kementerian Pertanian, 400 kasus penyelewengan pupuk bersubsidi, penyerobotan tanah-tanah petani, konf lik agraria struktural antara petani, pemodal, dan/atau instrumen negara, dan sebanyak 156 petani ditahan tanpa proses hukum. Sebanyak 147 akademisi dari sejumlah perguruan tinggi dan lembaga penelitian pun mengirimkan petisi ke Presiden SBY di awal tahun 2013 ini agar konflik agraria itu segera diselesaikan (Subandriyo 2013:7). Yudistira (2013) dalam Kompas tanggal 13 Maret 2013 juga menyajikan fakta semakin tidak berfungsinya subak di Bali yang sarat dengan nilai budaya, norma, aturan sosial, dan tradisi pengelolaan air karena alih fungsi lahan dan dampak pembangunan pariwisata. Dengan beragam peristiwa yang memprihatinkan itu, masihkah kita patut berbangga sebagai warga suatu negara agraria dengan para petani yang makmur sejahtera dan hidup berbahagia? Secara tegas saya pribadi menyatakan: tidak!! Bahkan, rasa trenyuh yang mendalamlah yang menggores di hati. Menyimak perilaku dan pengetahuan petani di berbagai lokasi yang tidak memahami perihal dampak penggunaan pestisida secara berlebihan pada kondisi ekosistem, tidak hanya beragam peristiwa yang dipaparkan Subandriyo (2013) yang menjadi penyebab termarjinalisasinya petani di lahannya sendiri. Berbagai kebijakan dan program pemerintah tidak hanya menjadikan ekosistem sawah semakin rentan, teapi juga meningkatkan “ketidakpahaman” petani tentang kondisi ekosistem lahannya. Petani pun menjadi “semakin terasing” dalam habitatnya sendiri. Sang petani di Klaten (Ariefiansyah 2011) hanya mengetahui bahwa “katak sajalah yang ada di sawah, dan katak tidak mau memangsa wereng”. Sang petani di Indramayu tidak merasa salah mencampurkan insektisida “Buldog” dengan “Autan” yang

Winarto, ‘Memanusiakan Manusia’ dalam...

diproduksi untuk melindungi tubuh manusia dari “gigitan nyamuk”. Tidak pula ia merasa salah menyemprotkan pestisida sekali dalam 3 hari, karena musuh alami seperti laba-laba tidak akan terbunuh oleh semprotan itu. Yang penting baginya adalah “keberhasilan panen padi serta kacang panjang yang mulus dan ‘sehat’ dalm perspektif emik petani”. Realita objektif tentang konsekuensi dari perilakunya itu tidaklah menjadi bagian dari skema berbudi daya tanaman. Mengapa terjadi ketidakpahaman tentang berbagai hal terkait dengan perilakunya dan akibat dari perilaku pada kondisi ekosistem lahannya itu? Dalam pidato inaugurasi saya selaku pengampu Academy Professorship Indonesia bidang Ilmu Sosial dan Humaniora di Universitas Gadjah Mada di penghujung tahun 2007, telah saya rujuk kritik dari Amar tya Sen (1999) tentang pembangunan yang tidak bertujuan “memerdekakan manusia”. Paradigma yang berlaku menyederhanakan makna pembangunan itu pada pertumbuhan industri, modernisasi sosial, pendapatan, dan penghasilan devisa negara (lihat Winarto 2007). Pembangunan pertanian dengan paradigma Revolusi Hijau merupakan salah satu contohnya. Di satu sisi, peningkatan hasil panen pun meningkat secara signifikan melalui program intensifikasi pangan. Demikian pula penghasilan petani. Namun, di sisi lain, tercipta berbagai konsekuensi pada perubahan kondisi ekosistem sawah secara drastis (lihat Hardjono 1991; Fox 1991; Conway and Pretty 1991; Brookfied 2001). Ironisnya, posisi petani pun berubah dari pengampu budaya cocok tanam padi serta pengambil keputusan yang “merdeka”, menjadi target introduksi beragam program dan asupan teknologi serta pelaksana kebijakan pemerintah (lihat Winarto 2004). Degradasi dalam skema pengetahuan mereka pun menjadi salah satu akibatnya (lihat Shiva 1988, 1991, 1993, 1997; Winarto 2011a). Dua ledakan populasi hama wereng batang coklat (WBC) di pertengahan tahun 1980-an dan di tahun 2010 - 2011 menjadi bukti “berulangnya

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013

sejarah” oleh peningkatan populasi hama yang tidak terkendalikan oleh sang musuh alami dan rentannya varietas padi oleh hama yang menjadi semakin kebal (Winarto dkk. 2011, 2012a, 2012b). Petani yang hanya menjadi “pelaku” dan “target pembangunan pertanian” tidak memahami bahwa perilakunya dalam menanam varietas tertentu dan menyemprot pestisida menyebabkan semakin rentannya kondisi ekosistem sawah, suatu kondisi yang kondusif bagi meledaknya serangan hama dan gagalnya panen mereka secara beruntun. Hasil penelitian saya berkolaborasi dengan James J. Fox, antropolog dari the Australian National University dan Kees Stigter, agrometeorolog dari Agromet Vision (Belanda dan Indonesia) beserta antropolog muda dan mahasiswa pada tahun 2011—saat terjadi ledakan wereng batang coklat (WBC) di berbagai wilayah di Jawa—menunjukkan keterkaitan berbagai faktor. Pangkal “berulangnya sejarah” itu adalah perlakuan oleh petani yang merupakan hasil dari penerapan kebijakan pemerintah dalam situasi perubahan iklim yang kondusif (lihat Winarto dkk. 2011, 2012a, 2012b; Fox 2012; Stigter 2012; Sudhiastiningsih 2012; Kinasih 2012; Rahayu 2012; Ratnawati 2012). Dalam artikel yang diterbitkan oleh Badan Penelitian dan Pembangunan Pertanian, Kementerian Pertanian (2012b), saya dan kawan-kawan menyatakan adanya berbagai faktor yang saling memengaruhi, bukan hanya karena faktor iklim yang kondusif, yakni: kerentanan varietas padi, penanaman secara tidak serempak, penyalahgunaan dan penggunaan pestisida secara berlebihan dan tidak bijaksana oleh petani untuk mengendalikan hama/penyakit, punahnya musuh alami, resistensi-resurjensikeperidian WBC yang meningkat oleh penyemprotan pestisida dalam intensitas tinggi. Kompleksitas dari keterkaitan berbagai faktor itu memang menampilkan suatu “untaian benang ruwet”. Dari manakah kita mulai menguraikan kekusutan itu? Menurut saya, suatu ref leksi menyeluruh kini amat diperlukan oleh akademisi dalam mencermati keterasingan 77

petani dalam ekosistem yang menjadi semakin rentan. Alam dan Kebudayaan: Semakin Terpisah? Bennett (1980) menyatakan bahwa masalah yang muncul dari hubungan manusia dengan alam seperti kasus berulangnya “sejarah s e r a n g a n hama WBC” dan “keterasingan petani” itu merupakan akumulasi kuantitatif dari solusi tanggap petani yang diasumsikannya terwujud dari: “...the needs or wants which emerge in the process of social living without relationship to the state of physical nature or resources. This detachment or alienation of humans from the physical processes and feedback which control the behavior of other species, and maintain balanced (though changing) systems for those species, is the most general cause of our mounting ecological problems” (Bennet 1980:251).

Beberapa ilmuwan antropologi ekologi/lingkungan yang dirujuk oleh Dove dan Carpenter (2009: 58), seperti Ingold dan Bateson pun menyatakan argumen yang serupa dengan Bennet bahwa tingginya tingkat keterasingan manusia dari dunia yang melingkupinya itu merupakan sumber beragam masalah lingkungan. Saya sependapat dengan Bennet (1980) dan sejumlah ilmuwan itu (lihat Dove dan Carpenter 2009) perihal teralienasinya—atau tidak adanya keterhubungan—manusia dengan proses-proses fisik dan umpan balik dari apa yang terjadi dalam lingkungan atau sumber daya yang dikelolanya. Tanpa adanya umpan balik tentang proses-proses fisik yang diterima manusia, tidak pula terjadi pengayaan dalam skema pengetahuannya (lihat tentang skema dalam D’Andrade 1995; Strauss dan Quinn 1997). Tanpa pengayaan pengetahuan dan pemahaman tentang apa yang sebenarnya terjadi, mampukah manusia mengevaluasi kembali apa yang sudah dilakukannya serta akibatnya pada lingkungan sebagai salah satu sarana pembelajaran? Saya setuju dengan Bennet bahwa hal itu tidak terjadi, dan itulah penyebab utama dari munculnya beragam

78

masalah ekologis. Itu pulalah yang terwujud dengan berulangnya sejarah ledakan hama WBC dan keterpurukan petani. Merujuk pada argumentasi Bennet (1980) itu berarti bahwa petani adalah pelaku pengelola budi daya tanaman pangan yang tidak dapat mengakses proses-proses fisik yang terjadi di lahan sebagai hasil dari perilakunya sendiri. Cara belajar petani bertumpu pada kemampuan pengamatan empiris dengan panca inderanya. Hal-hal yang berada di luar jangkauan pengamatan tidaklah menjadi bagian dari skema pengetahuan, termasuk hal-hal yang secara budaya tidaklah bermakna penting (lihat Bentley 1989, 1992; Winarto 2004). Tentunya hal itu terjadi bukan hanya pada masa kini, atau pada periode setelah pembangunan pertanian berdasarkan paradigma Revolusi Hijau diperkenalkan, melainkan juga semenjak nenek moyang mereka menjadi petani. Jika demikian, mengapa masalah-masalah ekologis pada masa sebelum Revolusi Hijau tidaklah semarak saat ini? Menyimak kisah-kisah yang dituturkan oleh petani yang mengalami cara bertani di Jaman Bengèn ([Indramayu], jaman dahulu, lihat Ariefiansyah 2007; Winarto 2004, 2011a), sekalipun umpan balik tentang proses-proses fisik dalam lingkungannya juga terkendala oleh kemampuan pengamatan dan panca inderanya serta apa yang dinilai penting secara budaya (lihat Bentley 1989, 1992; Winarto 2004), keharmonisan hubungan petani, tanaman padi, dan sawahnya tidak memunculkan masalah ekologis sedemikian rupa yang menyebabkan petani terpuruk. Petani “merdeka dan bebas” menentukan jenis padi yang ditanam dengan hasil terpeliharanya tingkat keragaman hayati yang tinggi. Pengetahuan tentang puluhan dan bahkan lebih dari seratus jenis padi itu beserta benihnya pun terpelihara dan diwariskan turun temurun. Mereka juga terikat oleh berbagai tabu, pantangan, dan ritual yang perlu dilakukan agar pertumbuhan tanaman berlangsung sehat dan panen padi mencukupi kebutuhan pangan sehari-hari. Tanaman padi dipelihara

Winarto, ‘Memanusiakan Manusia’ dalam...

pertumbuhannya sebagaimana mereka memelihara diri sendiri. Tahap-tahap pertumbuhan padi dinamai seperti halnya mereka menyebutkan tahap-tahap pertumbuhan diri manusia. “Nglilir, Meteng, Mijil” adalah beberapa tahap pertumbuhan padi sebagaimana halnya pertumbuhan seorang “perempuan”. Terpelihara pula jati diri sebagai petani dan kecintaan pada sawah dan tanaman padi. “Terasa nikmat dan senang ke sawah melihat pertumbuhan padi,” kata seorang petani. Pranata budaya dan sosial tidak hanya menyediakan aturan yang patut mereka taati, tetapi juga solusi dalam menanggulangi masalah yang terjadi. Alam dan budaya pun menyatu, tidak terpisahkan. Kini, habitat sawah petani bukanlah “miliknya” sendiri. Berbagai pihak b e r ke pe nt i nga n at a s kebe rha sila n pa ne n dan peningkatan produ ksi padi. Pemeri n t a h menjadi pihak yang merasa amat bertanggung jawab dalam mengupayakan pemenuhan kebutuhan pangan rakyatnya dan peningkatan devisa negara. Sawah yang selama ini menjadi bagian dari lingkungan alam dan kebudayaan petani yang “menyatu”, yang berada dalam kendali petani, kini menjadi bagian dari “hak negara” beserta kewenangan dan kekuasaan yang dimilikinya dalam mengubah ekosistem sawah melalui kebijakan dan program pembangunan pertanian. Sang “alam” menjadi objek rancangan dan pelaksanaan program pemerintah. Sang “budaya cocok tanam yang telah menjadi milik diri petani selama bertahun-tahun” bukanlah menjadi bagian dari tanggung jawab negara. Akan tetapi, sang petani berkewajiban—melalui pemaksaan—menjadi “pelaksana budaya cocok tanam Revolusi Hijau yang di saat awal merupakan hal yang asing”. Dalam situasi itu, apakah umpan balik dari proses-proses fisik yang terjadi dalam ekosistem sawah yang telah mengalami perubahan signifikan itu juga terjadi dalam diri petani? Apakah budaya cocok tanam Revolusi Hijau itu menjadi semakin kaya oleh umpan balik itu? Jika tidak, apakah yang dilakukan negara dalam memperkaya pengetahuan petani atas

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013

beragam proses fisik dalam habitat sawah yang telah berubah itu? Ledakan WBC pada medio 1980 membuktikan tidak adanya proses umpan balik itu yang terjadi dalam diri petani. Tercipta suatu kesenjangan antara petani, pengetahuan dan tradisi yang dimilikinya, dengan ekosistem yang telah berubah dengan berbagai konsekuensi yang tidak terduga. Para petugas penyuluh lapangan yang direkrut semenjak pencanangan program intensifikasi padi tidaklah memiliki kapasitas dalam menjembatani kesenjangan itu. Tugas utama mereka adalah merekomendasikan berbagai sarana produksi dan asupan teknologi yang baru. Upaya penanggulangan masalah ledakan WBC yang berdampak signifikan pada menurunnya produksi beras di medio 1980 itu pun akhirnya terbantu oleh gerakan yang ditempuh sejumlah ilmuwan mancanegara bekerja sama dengan ilmuwan di beberapa perguruan tinggi dalam mengupayakan perubahan kebijakan negara. Tanpa keputusan Presiden RI waktu itu (Soeharto) dengan penerbitan Inpres No.3/1986 untuk melarang penggunaan 57 pestisida berspektrum luas, menetapkan Pengendalian Hama Terpadu sebagai strategi nasional pengendalian hama, dan menjembatani kesenjangan pengetahuan petani dan petugas dengan pembelajaran melalui “Sekolah-sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu” (SLPHT), tidak akan terjadi penanggulangan masalah secara mendasar (lihat Fox 1991; Dilts dan Hate 1996; Pontius dkk. 2002; Winarto 2004). Namun, berulangnya sejarah ledakan WBC yang meluas dan intens pada tahun 2010 - 2011 menyentak berbagai pihak. Timbul tanda tanya yang besar tentang kemunculan peristiwa yang sama dengan apa yang terjadi pada medio 1980-an. Apakah gerangan sebabnya? Pengamatan saya selama kurun waktu lebih dari 20 tahun memperkuat argumentasi saya bahwa budaya cocok tanam padi yang kini ditumbuhkembangkan petani yang mengadopsi nilai budaya Revolusi Hijau—yakni yang mengutamakan tercapainya hasil panen yang

79

tinggi dengan asupan sarana produksi apa pun, termasuk pestisida sebagai asuransi panen yang berhasil—tetap mencerminkan alienasi petani dari proses-proses alamiah dan umpan balik dalam ekosistemnya (lihat Bennet 1980:251; Winarto 2006, 2011a; Winarto dkk. 2012b). Pembelajaran petani dalam kurun waktu satu musim tanam melalui program SLPHT, tanpa pemantaban pranata pembelajaran dan perubahan nilai budaya bercocok tanam padi, dengan tugas penyuluh pertanian tetap sebagai pembawa pesan pemerintah, dengan tetap dipromosikannya berbagai asupan produksi secara gencar oleh pengusaha, semakin banyaknya produk pestisida yang diperkenalkan, dan diintroduksikannya berbagai teknologi budi daya tanaman yang merupakan hasil produksi ilmuwan peneliti pertanian, menjadikan petani semakin tergantung pada pihak lain. Petani tidak bertumbuh kembang menjadi manusia yang mandiri dan yang semakin “cerdas” dan “tangkas” dalam menanggulangi masalah yang timbul di lahannya. Mereka pun tetap semakin “terasingkan” di habitatnya sendiri yang juga menjadi semakin rentan. Bila “sejarah terulang kembali”, berulangkah peran signifikan dari ilmuwan dalam memengaruhi kebijakan negara dan dalam menjembatani kesenjangan yang terjadi antara petani di satu pihak dan kondisi ekosistem serta proses-proses fisik yang berlangsung di lain pihak? Peran Ilmuwan dalam mengatasi Degradasi Lingkungan “Antropolog itu tidak usahlah melakukan penelitian dan menulis tentang ‘hal-hal teknis’. Hal-hal teknis itu adalah tanggung jawab kami. Bantu sajalah kami dengan mengupayakan agar petani mau menanam padi secara ‘berjamaah’ (serempak),” itulah salah satu teguran yang dilontarkan oleh pejabat Kementerian Pertanian pada saya dan kawan-kawan di tahun 2011.

Di tahun itulah saya dan antropolog muda

80

serta mahasiswa mengamati dan menulis tentang peristiwa meledaknya WBC di sejumlah tempat di Jawa. Teguran itu mencerminkan adanya persepsi tentang “pemilahan” tugas kewajiban tidak hanya antara aparat pemerintah dan ilmuwan, tetapi juga antara sesama aparat dari berbagai segmen/sektor yang berbeda, dan sesama ilmuwan dari berbagai bidang ilmu yang beragam. Teguran itu mengingatkan saya pada keluhan petani di Subang—tempat penelitian saya di awal tahun 1990-an—bahwa petani harus menghadapi berbagai masalah yang terjadi di lahannya dan mencari solusinya, sedangkan ilmuwan yang menjadi tumpuan untuk bertanya hanya menguasai bidang tertentu saja dari seluruh kegiatan pertanian dan masalah yang dihadapi petani. “Generalis versus Spesialis”, mungkin itulah frasa yang tepat menggambarkan situasi itu. Sang “generalis” tentulah para petani. Sang “spesialis” adalah ilmuwan yang terkotak-kotak dan terpilah-pilah menurut disiplin ilmu dan bidang-bidang kajian dalam satu disiplin ilmu seperti pertanian. Itulah realitanya. Setiap ilmuwan terkungkung dalam bidang kajian yang ditekuninya. Sang ahli tanah tentulah tidak merasa berhak menjawab pertanyaan petani mengenai hama/penyakit dan sebaliknya. Apalagi ilmuwan sosial yang tidak dibekali oleh pengetahuan dan ketrampilan terkait hal-hal yang dinyatakan pejabat pertanian sebagai “hal-hal teknis pertanian”. Terutama, bila hal itu terkait dengan keahlian khusus, misalnya “teknis cara pengendalian hama/ penyakit tanaman padi”. Sebagai ilmuwan sosial-budaya, antropolog mencoba memahami dan mampu menjelaskan apa yang diketahui dan tidak diketahui petani dan apa perilaku yang diwujudkan dari kondisi “tahu dan tidak tahu” itu, apa akibatnya pada kondisi lahan dan dirinya sendiri, serta umpan balik yang terjadi pada pengetahuan dan perilakunya. Dalam memahami dan menjelaskan itu, mungkinkah antropolog atau ilmuwan sosial-budaya yang lain meminggirkan “hal-hal teknis” dari perilaku petani karena bukan menjadi arena

Winarto, ‘Memanusiakan Manusia’ dalam...

dari bidang kajiannya? Bagaimanakah saya dapat mengabaikan produk pestisida apakah yang digunakan, bagaimanakah petani menggunakan produk itu, apa implikasinya pada pertumbuhan tanaman dan perkembangan populasi hama/penyakit, dan bagaimana petani menginterpretasikan hal itu, hanya karena masalah pengendalian hama/penyakit itu menjadi bidang kajian seorang entomolog dan bukan seorang antropolog? Saya menyadari hal itu, tetapi itulah salah satu wujud perilaku petani. Oleh karena itu, dengan keterbatasan pengetahuan yang dimiliki sang antropolog, tentu diperlukan sejumlah pengetahuan yang bersumber dari disiplin ilmu yang lain. Untuk itulah, suatu pendekatan lintas-disiplin amat diperlukan. Saya menyadari hal itu, dan pendekatan lintas-disiplin itulah yang selama ini saya upayakan, misalnya dalam membantu petani beradaptasi secara lebih baik pada kondisi perubahan iklim yang semakin tidak menentu dewasa ini. Namun, sudahkah penelitian lintas-disiplin dikembangkan oleh rekanrekan ilmuwan dari disiplin ilmu-ilmu alamiah? Teguran pejabat pertanian itu sebenarnya merupakan cermin dari batasan “tugas-pokokfungsi” (Tupoksi) yang melekat pada setiap jabatan dalam struktur birokrasi pemerintahan yang wajib ditaati. Acapkali saya memperoleh jawaban dari pejabat apabila saya menanyakan atau membahas masalah di luar bidang tanggung-jawabnya: “Oh itu, bukan ‘Tupoksi’ saya bu, itu ‘Tupoksi’ bagian lain.” Tentunya hal itu terkait dengan penggunaan uang negara yang harus sesuai dengan peruntukannya dan untuk menghindari tumpang tindih kewajiban dan tanggung jawab antarjabatan struktural dan fungsional. Jika para ilmuwan juga menerapkan pemilahan tanggung jawab dan bidang kajian semacam itu, mungkinkah pemahaman yang komprehensif dan holistik tentang berbagai permasalahan degradasi lingkungan dan kemerosotan kesejahteraan petani, nelayan, pedagang kecil, buruh, dan lain-lain akan tercapai? Bagaimanakah solusi terbaik untuk menghindari semakin terjadinya

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013

degradasi lingkungan karena ketidakmampuan ilmuwan untuk menjembatani “keterasingan” manusia dengan alam tempatnya hidup? Terutama, pada saat ini ketika beragam masalah degradasi lingkungan menantang kita untuk kembali menempatkan dan menjadikan manusia sebagai pengampu budaya yang handal dalam relung hidupnya? Saya tetap yakin dan percaya atas peran ilmu pengetahuan dalam meningkatkan kemampuan manusia melalui perangkat teknologi dan pengetahuan unt uk dapat mengelola s u mb e r d ay a secara lebih efisien dalam memenuhi kebutuhan hajat hidup dan menghasilkan kehidupan umat manusia yang lebih sejahtera. Itulah kontribusi utama dari setiap bidang ilmu. Namun, saya juga sepakat dengan kekhawatiran sejumlah ilmuwan antropologi ekologi perihal terjadinya peningkatan “kesombongan ilmiah” seperti yang disitir oleh Bateson (1972:437 dalam Dove dan Carpenter 2009:59). “Kesombongan ilmiah” itulah yang menurut Bateson menjadi pangkal terjadinya bencana paling utama dari revolusi industri, termasuk revolusi di bidang pertanian tentunya. Bencana itu muncul karena disiplin ilmu yang dominan dalam bidang tertentu hanya memfokus pada upaya mengubah proses-proses fisik dan alamiah terkait dengan aspek pembangunan sejalan dengan bidang kajiannya. Sejauhmanakah perubahan proses-proses fisik dan alamiah itu menuntut perubahan dalam alam pikir, persepsi, dan perilaku manusia pengguna atau yang menjadi objek kajian, tidaklah menjadi bagian dari tugas-pokokfungsi yang diembannya. Disiplin ilmu yang berkaitan dengan “sang manusia” seyogianya mendukung pencapaian tujuan perubahan proses-proses fisik dan alamiah itu, dan bukan mencampuri jalannya perubahan proses-proses yang ditargetkan itu. Bila hal itu terus terjadi dan degradasi lingkungan serta bencana yang akan terjadi, sepatutnyalah kini kita merenungkan: mampukah kita menghindari “kesombongan ilmiah” itu? Pertama, mampukah kita membuka diri

81

terhadap kepakaran ilmuwan lain, termasuk disiplin ilmu yang tidak bisa digolongkan mengkaji “hal-hal teknis di luar kepakarannya”, bila kajian lintas-disiplin memang diperlukan? Kedua, terbukakah kita pada kenyataan bahwa petani tidak hanya “pelaksana” kebijakan dan program pemerintah, pelaku beragam teknologi yang diintroduksikan, tetapi juga “pengampu budaya pertanian yang memiliki potensi dan talenta dalam ranah pengetahuan dan relung kehidupannya yang terhubung secara erat dan dekat dengan realita empiris, tetapi yang menjadi semakin terasing dalam habitatnya”? Ketiga, bersediakah kita untuk meninggalkan “Technology First Paradigm” dan mengadopsi “Farmer First Paradigm” dalam program pembangunan pertanian dan rehabilitasi kerentanan ekosistem sejalan dengan paradigma pembangunan “untuk memerdekakan manusia” seperti yang didengungkan Amartya Sen? (lihat Chambers dkk. 1980; Sen 1999; Scoones dan Thompson 1994; Scoones dan Thompson 2009) “Memanusiakan Manusia”: Dapatkah menjadi suatu Keniscayaan? “Nguwongké uwong”, suatu ujaran bahasa Jawa untuk “memanusiakan manusia”, dipopulerkan saat program nasional Pengendalian Hama Terpadu (PHT) diwujudkan dalam sekolah-sekolah lapangan (SL) PHT (lihat tentang pembahasan hal Nguwongké Uwong itu dalam film Bisa Dèwèk, Ariefiansyah 2007). SLPHT itu menjadi arena pembelajaran bagi petani untuk meninggalkan kebiasaannya “membunuh hama dengan pestisida agar bisa panen”. Arena pembelajaran itu menjadi pelopor pelaksanaan Farmer First Paradigm di Indonesia, karena upaya untuk menggurui atau memaksa petani melaksanakan suatu strategi dihindari. Sebaliknya, petani diajak menemukan sendiri apa yang sebelumnya tidak diketahui, mengenali, mengaitkan temuan dengan komponen-komponen lain dalam ekosistem lahan sawah, dan mengambil keput usan berdasarkan analisisnya sendiri (lihat Winarto 1994, 1995,

82

2004, 2007; Dilts dan Hate 1996; Pontius dkk. 2002). Program itulah awal dari upaya menjembatani kesenjangan dan keterasingan petani di lahannya. Melalui upaya itu pula diharapkan agar petani tidak lagi melakukan tindakan yang menyebabkan terdegradasinya kondisi ekosistem sawahnya. Sekalipun pada saat ini, petani-petani alumni SLPHT itu tidak lagi memperoleh panduan dan bimbingan dari pemerintah, mereka masih mengenang program itu sebagai arena “pembelajaran”, sebagai sarana untuk “mencerdaskan” mereka. Dengan tegas mereka membedakan program pembelajaran itu dari program pemerintah yang juga menggunakan istilah Sekolah Lapang yang disebut dengan Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT), tetapi yang dilaksanakan dengan tujuan agar petani menerapkan perangkat teknologi yang diintroduksikan oleh ilmuwan Kementerian Pertanian. Ironisnya, dalam program yang mengadopsi metode sekolah lapangan PHT itu, pada periode 2009—2011, pemerintah justru mengintroduksikan benih hibrida yang hanya dapat ditanam satu kali dan rentan pada hama/ penyakit. Petani di berbagai wilayah yang terkena serangan WBC mengklaim sumber ledakan dari lahan pengamatan yang ditanami benih hibrida (lihat Winarto dkk. 2012; Kinasih 2012). “Petani hanya bisa menangis karena gagal panen, terserang wereng,” itulah tutur seorang petani di Indramayu pada awal tahun 2011. “Tolong beritahu petani di Jawa Timur agar mereka menolak benih hibrida, kasihan mereka, karena nanti pasti gagal panen,” teriak seorang petani di Subang secara spontan pada saya dan kawan-kawan saat mengetahui bahwa benih hibrida masih akan dibagikan ke petani di Jawa Timur. Petani di Subang mengalami derita itu karena bermigrasinya populasi WBC dari lahan tempat benih hibrida dibudidayakan ke wilayahnya. Petani lain mengumpamakan SL Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) itu sebagai “kendang”. Kedua sisi kendang yang ditabuh itu diibaratkan sebagai kegiatan pembuka dan penutup SL. Ruang kosong dan

Winarto, ‘Memanusiakan Manusia’ dalam...

hampa di tengah kendang itu mencerminkan pelaksanaan SL tanpa kegiatan mingguan yang dijanjikan. Dengan lain perkataan, petani tidak memperoleh pembelajaran apa pun dari program itu sebagaimana telah mereka rasakan dari program SLPHT. Pertanda apakah itu? Dalam konteks pembangunan pertanian dan berbagai sektor yang lain, People or Farmer First Paradigm nampaknya belum mampu berkompetisi dengan program-program pembangunan yang dinyatakan Sen (1999) amat menyederhanakan maksud dan tujuan pembangunan yang senyatanya, yakni Development for Freedom. Dominasi dan hegemoni salah satu sub-disiplin ilmu membawa ilmuwannya pada kesimpulan bahwa program yang membawa petani mengenali ekosistemnya itu justru dipandang hanya sebagai bagian saja dari program yang lebih komprehensif yang dirancangnya. Manfaat nyata dari pembelajaran, dan bukan introduksi teknologi semata bagi petani, tidaklah menjadi pertimbangan utama. Terlebih lagi, asal usul kelahiran SLPHT itu dipandang sebagai dibidani oleh ilmuwan perguruan tinggi, bukan ilmuwan badan penelitian Kementerian Pertanian itu sendiri. Program SLPTT lahir dari ilmuwan yang tersebut terakhir. Jati diri, pembedaan, dan arogansi institusi mengorbankan nilai luhur dari upaya “menyatukan kembali alam dan budaya pertanian”, dan yang terutama “mengorangkan orang”. “Memanusiakan manusia” ternyata masih “jauh panggang dari api”. Apakah kini yang dapat dilakukan ilmuwan sosial-budaya seperti antropologi? Apakah beringsut-ingsut menyingkir karena tidak sepatutnya ilmuwan sosial-budaya mencampuri hal-hal teknis pertanian? Jawaban saya secara tegas: Tidak!! Jika tidak, apakah yang dapat dilakukan ilmuwan non-pertanian? Pembangunan berlandaskan Kemanusiaan demi Ketangguhan Alam dan Kesejahteraan Manusia: Suatu Impian? Sudah tentu ilmuwan non-pertanian tidaklah kompeten dalam mengintroduksikan asupan

produksi atau teknologi budi daya tanaman pangan. Bukan hal itu yang sepatutnya ditangani ilmuwan sosial-budaya. Sebagai ilmuwan yang mempelajari manusia, kehidupan, dan kebudayaannya, sumbangsih utama adalah membangun “jembatan” yang menghubungkan alam, manusia, dan budayanya yang semakin terpisah dan terasing satu dengan yang lain. Bagaimanakah hal itu dapat diwujudkan? Saya ingin menyajikan sekilas kisah pengalaman berkolaborasi dengan sejumlah petani dan dengan ilmuwan lain melalui program pembelajaran agrometeorologi dalam arena yang disebut dengan “Warung Ilmiah Lapangan” atau Science Field Shops (Winarto dan Stigter 2011; Stigter dan Winarto 2012a, 2012b, 2012c; Winarto dkk. 2011) “Warung” bermakna suatu arena tempat bertemunya banyak orang yang datang untuk “membeli” suatu komoditas. Itulah arena tempat bertemunya petani dengan pihak-pihak lain, yakni ilmuwan dari berbagai disiplin, agen-agen pemerintah, lembaga donor, dan lain-lain. “Komoditas yang diperdagangkan” di arena itu adalah “ide-ide, informasi, pengetahuan” apa saja yang ingin diperoleh petani dan yang dapat disajikan oleh ilmuwan atau pihak lain, dan begitu pula sebaliknya. Karena petani memerlukan jawaban dan penjelasan atas berbagai masalah yang ditemukan di habitatnya, “penjelasan ilmiah” atas berbagai proses fisik dan alamiah yang terluput dari panca indera petani itulah yang disajikan di “warung” itu. Namun, kondisi alamiah dari habitat petani dan ekosistemnya bukanlah kondisi di ruang laboratorium atau ruang kelas, melainkan di “lapangan”, di hamparan sawah. Membawa “penjelasan ilmiah” ke “lapangan” dan ke “kehidupan nyata” petani itulah yang disajikan. Sebaliknya, berbagai pertanyaan dan masalah yang diajukan petani dapat menjadi masukan yang amat berharga bagi sang ilmuwan untuk dikaji, dicermati, diteliti, dan dipelajari lebih jauh. Hasil dari dialektika itu tentulah akan dikembalikan lagi ke penggunanya, petani.

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013

83

Sang petani tidak pula tinggal berpangku tangan, melontarkan pertanyaan untuk memperoleh jawaban. Mereka harus secara aktif mengenali kondisi ekosistem lahannya dalam situasi yang kini mengalami variasi perubahan yang tidak terduga karena perubahan iklim tingkat global yang semakin tidak menentu. Petani tidak hanya “berbisinis komoditas padi” dengan hasil panen melimpah melalui pemanfaatan teknologi yang canggih dan efektif, tetapi juga menjadi “petani peneliti”. Mereka perlu menjadi pengamat yang lebih handal dan cermat atas berbagai proses fisik dan alamiah yang secara signifikan akan memengaruhi pertumbuhan tanaman dan ketangguhan ekosistem lahan sawah yang mereka kelola. Memahami kondisi kerentanan ekosistem dan penyebabnya, itulah yang menjadi tujuan utama pembelajaran secara dialektika dan timbal-balik itu. Pembelajaran semacam itu memungkinkan petani untuk terus melakukan evaluasi dan refleksi atas tindakan yang telah ditempuh beserta akibatnya untuk mencari solusi yang lebih tepat dan jitu dalam bercocok tanam di masa datang. Kegiatan bertatap muka sesama petani dan dengan ilmuwan menyajikan kesempatan berharga untuk belajar pula dari sesamanya. Apakah peran ilmuwan sosial-budaya seperti antropologi dalam hal itu? Saya dan kawan-kawan hanyalah menjadi “jembatan” atau “penghubung” antara petani dan ilmuwan (lihat Winarto dan Stigter 2012). Dengan berawal dari pembelajaran agrometeorologi, yakni mengaitkan fenomena iklim dan cuaca dengan berbagai komponen dalam ekosistemnya, pembelajaran dapat berkembang meliputi berbagai aspek yang terkait dengan upaya membantu petani menangani kerentanan ekosistemnya itu. Juga dalam hal mengupayakan pulihnya ketangguhan ekosistemnya dalam jangka panjang. Dalam empat tahun terakhir, petani tidak hanya belajar dari agrometeorolog, tetapi juga dari ilmuwan sipil yang melakukan konservasi tanah dan air, ilmuwan biologi, geografi, hama/penyakit, dan dari sesama petani yang telah dididik menjadi petani pemandu 84

PHT, dan yang mahir melakukan persilangan tanaman. Ilmuwan yang telah menjadi “spesialis” itu membagikan ilmunya pada petani sang “generalis” yang harus seorang diri menangani berbagai masalah dan mencari jawabannya. Sebagai “penerjemah budaya”, sang antropolog pun perlu secara piawai menjadi mediator di antara kedua ranah budaya pengetahuan yang berbeda itu. Standarisasi ilmiah pengukuran curah hujan, pendokumentasian, dan analisis agroekosistem tidaklah mudah diadopsi oleh petani. Berbagai faktor memengaruhi kesiapan dan kemampuan petani melakukan “penelitian secara mandiri”. Mendampingi petani setahap demi setahap dalam menyempurnakan dan meningkatkan kepiawaian mereka menjadi “petani pengukur curah hujan” tidaklah dapat dilaksanakan hanya dalam satu rentang waktu tertentu, seperti satu musim tanam dalam sekolah-sekolah lapangan yang dikelola pemerintah. Membangkitkan semangat ingin tahu yang besar, menguatkan motivasi untuk belajar, berbagi pengalaman dan pengetahuan, memperteguh keyakinan dan jati diri sebagai “petani pengukur curah hujan dan petani peneliti”, mendorong semangat dan tekad untuk mau melakukan perubahan perilaku dalam memulihkan ketangguhan ekosistemnya, merupakan hal-hal yang saya lakukan bersama kawan-kawan. Memproses data yang dihimpun petani dan menerjemahkannya dalam piranti ilmiah, menyajikan kenyataan sosial-budaya yang kompleks beserta berbagai masalah, keluhan, dan pertanyaan petani ke ilmuwan non-sosial-budaya juga merupakan karya nyata yang dilakukan saya dan kawan-kawan (lihat Winarto dkk. 2011; Winarto dan Stigter 2012). Semuanya itu memerlukan kesabaran, keteguhan, dan tidak mudah putus asa, karena hasilnya tidaklah dapat dirasakan sekejap mata. Ternyata, upaya itu berbuah manis. Semangat dan tekad untuk terus belajar di kalangan petani terpupuk. Tidak segan-segan petani berbagi pengalaman. “Sharing pengalaman dan menambah pengetahuan” itulah yang tidak diperoleh petani dalam berbagai arena pertemuan

Winarto, ‘Memanusiakan Manusia’ dalam...

dengan pihak-pihak lain seperti pemerintah dan pengusaha. Dalam forum terakhir, “kami hanya menerima instruksi, di sini kami saling belajar”, itulah yang dipetik manfaatnya oleh petani. Dengan berbekal pengalaman itu, secara teguh dan yakin saya simpulkan bahwa pembangunan berlandaskan kemanusiaan demi ketangguhan alam dan kesejahteraan manusia bukanlah suatu impian. Namun, hal itu tidak akan terjadi apabila arogansi ilmu pengetahuan, serta keterkotakan dan keterpisahan setiap disiplin ilmu tetap berlangsung. Sudah saatnya ilmuwan dari beragam disiplin ilmu duduk bersama, melakukan refleksi, mencari solusi dan alternatif untuk dapat berperan lebih ber-

makna bagi kemaslahatan umat manusia dan ketangguhan lingkungan demi kelangsungan kehidupan generasi penerus masa depan bangsa. “Berburu ilmu tidaklah perlu ke Negeri Cina” nun jauh di sana. Di sini, di tempat kita berpijak, di bumi pertiwi ini, kita dapat berkarya dengan penuh kerendahhatian untuk bersedia membuka diri atas perbedaan dan kepakaran pihak lain, termasuk para petani, nelayan, pedagang, buruh, pengrajin, dan masyarakat luas yang selama ini menjadi target dan subjek beragam proyek pembangunan tanpa memahami berbagai risiko dan konsekuensinya.

Daftar Pustaka Ariefiansyah, R. 2007 Bisa Dèwèk. Film etnografi diproduksi oleh Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu dan Program Sarjana Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Depok. Ariefiansyah, R. 2011 Wereng di Sawah Petani. Dokumentasi video diproduksi oleh Pusat Kajian Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia; Academy Professorship Indonesia bidang Ilmu Sosial-Humaniora (KNAW-AIPI); dan The Australian National University. Depok. Bennet, J.W. 1980 “Human Ecology as Human Behavior: A Normative Anthropology of Resource Use and Abuse,” dalam I. Atman, A. Rapoport, dan J.E. Wohlwill (peny.) Human Behavior and Environment: Advances in Theory and Research. New York: Plenum Press. Hlm.234—78. 1989 “What Farmers Don’t Know, Can’t Help them: The Strength and Weaknesses of Indigenous Technical Knowledge in Hondruas”, Agriculture and Human Values 6(3):25—31. 1992 “Alternatives to Pesticides in Central America: Applied Studies of Local Knowledge”, Culture and Agriculture 44:10—13. Brookfied, H. 2001 Exploring Agrodiversity. New York: Columbia University Press. Chambers, R., A. Pacey, dan L.A. Thrupp (peny.). 1980 Farmer First: Farmer Innovation and Agricultural Research. London: Intermediate Technology Publications.

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013

85

Conway, G.R. dan J. Pretty 1991 Unwelcome Harvest: Agricultural Pollution. London: Earthscan Publication. D’Andrade, R. 1995 The Development of Cognitive Anthropology. Cambridge: Cambridge University Press. Dilts, R. dan S. Hate 1996 “IPM Farmers’ Field Schools: Changing Paradigms and Scaling-up”, Agricultural Research & Extension Network 59b:1—4. Dove, M.R. dan C. Carpenter 2009 “Introduction: Major Historical Currents in Environmental Anthropology”, dalam M.R. Dove dan C. Carpenter (peny.) Environmental Anthropology: A Historical Reader. Malden, Oxford and Victoria: Blackwell Publishing. Hlm.1—85. Fox, J.J. 1991 “Managing the Ecology of Rice Production in Indonesia”, dalam J. Hardjono (peny.) Indonesia: Resources, Ecology, and Environment. Singapore: Oxford University Press. Hlm.61—84. 2012 “The Brown Planthopper Infestation in Indonesia: A Summary of the Present Situation”. Presentasi Power-point tidak diterbitkan dalam Work-in-progress Seminar Responses to Pest/Disease Outbreaks in 2010—2011: Reducing or Increasing Threats to Rice Production? Universitas Indonesia, Depok. 1 Maret 2012. Hardjono, J. 1991 “Rural Development in Indonesia: The ‘Top-down: Approach’, dalam D.A.M. Leam dan D.P. Chaudhri (peny.) Rural Development and the State. London: Methuen. Hlm.38—65. Kinasih, M.A. 2012 Respons dan Strategi Petani dalam Menghadapi Kegagalan Panen akibat Ledakan Wereng Batang Coklat di Desa Sribit, Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten. Skripsi Sarjana tidak diterbitkan. Depok: Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Pontius, J., R. Dilts, dan A. Bartlett 2002 From Farrmer Field Schools to Community IPM: Ten Years of IPM Training in Asia. Bangkok: FAO Community IPM Programme, Food and Agriculture Organization of the United Nationas Regional Office for Asia and the Pacific. Rahayu, R.S. 2012 Penerapan Program “Top-down” Inpari 13 dalam Menanggulangi Ledakan Hama Wereng Batang Coklat di Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten. Skripsi Sarjana tidak diterbitkan. Depok: Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Ratnawati, S. 2012 Introduksi Sekolah Lapang(an) Pengendalian Hama Terpadu Pasca Ledakan Hama Wereng Batang Coklat: Apakah Terjadi Perubahan Praktik pada Petani di Desa Kebonharjo, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten? Skripsi Sarjana tidak diterbitkan. Depok: Departe-

86

Winarto, ‘Memanusiakan Manusia’ dalam...

men Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Sen, A. 1999 Development as Freedom. Oxford: Oxford University Press. Scoones, I. dan J. Thompson (peny.). 1994 Beyond Farmer First: Rural People’s Knowledge, Agricultural Research and Extension Practice. London: Intermediate Technology Publications. 2009 Farmer First Revisited: Innovation for Agricultural Research and Development. Rugby: Practical Action Publishings, Ltd. Shiva, V. 1988 “Reductionist Science as Epistemological Violence”, dalam A. Nandy (peny.) Science, Hegemony and Violence: A Requiem for Modernity. Oxford: Oxford University Press. Hlm.232—56. 1991 The Violence of the Green Revolution: Third World Agriculture, Ecology and Politics. London: Zed Books; Penang: Third World Network. 1993 Monocultures of the Mind: Perspectives on Biodiversity and Biotechnology. London: Zed Books; Penang: Third World Network. 1997 Biopiracy: The Plunder of Nature and Knowledge. Boston, M.A.: South End Press. Stigter, K. 2012 Unusual Climate Conditions of 2010/11 and Pest/Disease Outbreaks. Presentasi Powerpoint tidak dipublikasikan dalam Work-in-progress Seminar: Agrometeorological Learning and Farmers’ Responses to Unusual Climate Conditions of 2010—2011 and Pest/Disease Outbreaks. Universitas Indonesia, Depok, 3 Februari 2012. Stigter, K. and Y.T. Winarto 2012a “What climate change means to farmers in Asia”, Eartzine,http://www.earthzine. org/2012/04/04/what-climate-change-means-for-farmers-in-asia/ 2012b “Considerations of Climate and Society in Asia: Farmers in Indonesia”,' Earthzine, http:// www.earthzine.org/2012/04/17/considerations-of-climate-and-society-in-asia-farmers-in-in donesia/?shareadraft=baba368628_4f8cc748a5842 2012c “Extension Agrometeorology as a Contribution to Sustainable Agriculture”, New Clues in Sciences 2:59—63. Strauss, C. dan N. Quinn. 1997 A Cognitive Theory of Cultural Meaning. Cambridge: Cambridge University Press. Subandriyo, T. 2013 ”Hentikan Marjinalisasi Petani”, KOMPAS 6 Maret. Hlm.7. Sudhiastiningsih, N.N.S.N. 2012 Diversitas Respons Petani terhadap Program Inpari 13 di Desa Kahuman, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten. Skripsi Sarjana tidak diterbitkan. Depok: Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik, Universitas Indonesia.

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013

87

Winarto, Y.T. 1994 “Encouraging Knowledge Exchange: Integrated Pest Management in Indonesia”, dalam I. Scoones dan J. Thompson (peny.) Beyond Farmer First: People’s Knowledge, Agricultural Research and Extension Practice. London: Intermediate Technology Publications. Hlm.150—54. 1995 “State Intervention and Farmer Creativity: Integrated Pest Management among Rice Farmers in Subang, West Java”, Agriculture and Human Values 12(4):47—57. 1998 ”’Hama dan Musuh Alami’, ‘Obat dan Racun’: Dinamika Pengetahuan Petani Padi dalam Pengendalian Hama”, Jurnal Antropologi Indonesia 22(55): 53—68. 2004 Seeds of Knowledge: The Beginning of Integrated Pest Management in Java. Monograph #53. New Haaven: Yale Southeast Asian Studies. 2006 “Pengendalian Hama Terpadu setelah Limabelas Tahun Berlalu: Adakah Perubahan dan Kemandirian?”, Jurnal Analisis Sosial Indonesia 32(1):22—37. 2007 Menuju Paradigma Baru Pembangunan di Indonesia? Peranan Ilmuwan Sosial dan Humaniora. Orasi Ilmiah Academy Professorship Indonesia bidang Ilmu Sosial-Humaniora (KNAW-AIPI). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 21 Februari 2007. 2011a “Weaving the Diverse ‘Seeds’ of Knowledge”, The Asia Pacific Journal of Anthropology 12(3):274—87. 2011b “From Land Exclusion to Eco-cultural Alienation: How could Farmers Sruvive?” Memorial Lecture for the late Frans Hűsken, SPIN-AIPI Open Science Meeting, Serpong, 28—29 November 2011. Winarto, Y.T. dan K. Stigter. 2011 “Collaborating on Agrometeorological Learning in the Local Context: A Synthesis with a Proposed Extension Approach”, dalam Y.T. Winarto dan K. Stigter (peny.) Agrometeorological Learning: Coping Better with Climate Change. Saarbrűcken: LAP Lambert Academic Publishing. Hlm.216—24. 2012 “Science Field Shops to Better Articulate and Assess Farmer Vulnerabilities in a Changing Climate: An Inter- and Trans-disciplinary Educational Commitment. Paper presented in the panel of: Collaborative Processes across Disciplinary Boundaries in the Association of Australian Society Annual National Conference, University of Queensland, Brisbane, 26--29 September. Winarto, Y.T., K. Stiger, H. Prahara, E. Anantasari and Kristiyanto. 2011 “Collaborating on Establishing an Agro-meteorological Learning Situation among Farmers in Java”, Anthropological Forum 21(2):175—98. Winarto, Y.T., J.J. Fox, K. Stigter, B. Dwisatrio, M. Nurhaga, V.Y. Kinanti, A. Bowolaksono dan mahasiswa Program Sarjana Antropologi, FISIP-UI. 2012 Adaptation Options of Farmers to a Changing Climate in a Vulnerable Ecosystem. Laporan akhir diserahkan Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Indonesia, Depok. Winarto, Y.T., B. Dwisatrio, M.S. Nurhaga, V.Y. Kinanti, N.N.S.N. Sudhiastiningsih, R. Setyati, M.A. Kinasih dan W.R. Baskoro.

88

Winarto, ‘Memanusiakan Manusia’ dalam...

2012 “Keterasingan Petani di Lahan Sendiri: Kelanggengan Revolusi Hijau dan Paradigma Kimiawi?”, dalam E.E. Ananto, S. Pasaribu, M. Ariani, B. Sayaka, N.S. Saad, K. Suradisastra, K. Subagyono, H. Soeparno, F. Kasryno, E. Pasandaran, dan R. Hermawanto (peny.) Kemandirian Pangan Indonesia dalam Perspektif Kebijakan MP3EI. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Hlm.278—308. Yudistira, C. 2013 “Tatkala Subak Kehilangan Sumber Air”, Kompas 13 Maret. Hlm.1, 15.

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013

89

90

Winarto, ‘Memanusiakan Manusia’ dalam...

• Panduan Penulisan untuk Kontributor

• Guidelines for contributors

Antropologi Indonesia diterbitkan dengan tujuan ikut mengembangkan ilmu antropologi sosial dan budaya di Indonesia. Jurnal ini menggunakan sistem mitra bebestari (Peer-Review) dalam proses pemilihan naskah yang akan diterbitkan. Redaksi menerima sumbangan artikel baik yang bersifat teoretis, maupun hasil penelitian etnografi. Karangan tersebut tidak harus sejalan dengan pendapat redaksi. Kriteria artikel yang dapat dimuat dalam jurnal ini dapat dipisah menjadi empat bagian. Pertama, adalah artikel hasil penelitian etnografi atau kualitatif mengenai topik tertentu yang berkaitan dengan kelompok etnik/kelompok sosial di Indonesia; Kedua, Hasil penelitian terapan, kolaboratif, dan juga hasil penelitian yang dihasilkan dari pengalaman keterlibatan penulis dengan masyarakat/komunitas, semisal program-program intervensi yang berhubungan dengan relasi kebudayaan, politik, lingkungan, dan pembangunan; Ketiga, adalah Pembahasan/diskusi mengenai teori/metodologi dalam ilmu antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya yang berkaitan dengan diskursus teoritik di antropologi; dan terakhir adalah tinjauan buku terhadap buku teks antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya. Buku yang dikaji berlaku untuk buku yang diterbitkan dalam 3 tahun terakhir untuk terbitan dalam negeri dan 5 tahun terakhir untuk terbitan luar negeri. Artikel yang masuk masih akan disunting oleh Dewan Redaksi. Naskah dapat dikirimkan kepada Redaksi melalui email [email protected] dalam format program MS Word, spasi rangkap, dengan ukuran kertas letter dan margin normal. Panjang tulisan maksimal 5000 kata. Mohon agar disertakan abstrak maksimal 250 kata dalam bahasa Inggris dan sekaligus abstrak berbahasa Indonesia. Disertai dengan minimal tiga kata kunci dan maksimal enam kata kunci. Penulis juga diharapkan mengirimkan alamat kontak dan nomor telepon. Sistematika penulisan harus dibuat dengan mencantumkan pendahuluan, pembahasan/ulasan (jika artikel bersifat teoritik/metodologi bagian ini adalah ulasan yang mendukung argumen di sub bab pertama) , dan penutup /kesimpulan. Semua catatan dalam artikel hendaknya tersusun rapi dengan ketentuan penulisan ilmiah yang berlaku. Begitu pula dengan catatan kaki, agar ditulis di bagian bawah halaman, bukan pada bagian belakang artikel. Kemudian untuk daftar pustaka dibuat merujuk pada gaya penulisan AAA (American Anthropologist Association) Style, dengan beberapa modifikasi sebagaimana ditunjukan pada contoh berikut abjad sebagai berikut:

Antropologi Indonesia was published to develop and enrich scientific discussion for scholars who put interest on socio-cultural issues in Indonesia. These journals apply peer-reviewed process in selecting high quality article. Editors welcome theoretical or research based article submission. Author’s argument doesn’t need to be in line with editors. the criteria of the submitted article covers the following types of article: first, the article presents the results of an ethnographic/qualitative research in certain topic and is related with ethnic/social groups in Indonesia; second, the article is an elaborated discussion of applied and collaborative research with strong engagement between the author and the collaborator’s subject in implementing intervention program or any other development initiative that put emphasizes on social, political, and cultural issues; Third, a theoretical writing that elaborates social and cultural theory linked with the theoretical discourse of anthropology, especially in Indonesia anthropology; last, the article is a critical review of anthropological reference and other ethnography books that must be published at least in the last 3 years. Submitted article will be selected and reviewed by editorial boards. The submission should be in soft copy format and must be sent to journal.ai@gmail. com in Ms Word file format, double spaces, with letter size paper. The length of the article should not exceed 5000 word. Please also attach abstract with maximum of 250 words length in English and Bahasa, and six keywords. Author should write their institution postal address and also the phone contact in first part of the article. Article should meet the following structures: introduction, supporting data and the ground of author argument (for articles that are theoretical or methodological should include theoretical discussion and literature study), and conclusion. All references in the articles should be neatly put in a proper format. Footnotes should be written on the bottom part of every page, do not put them at the end of article. Bibliography should follow the AAA (American Anthropologist Association) Style, with some adjustment as follow:

Geertz, C. 1984 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, dalam Koentjaraningrat (peny.) Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hlm. 246–274. Koentjaraningrat. 1974 Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan. Manoppo-Watupongoh, G.Y.J. 1995 ‘Wanita Minahasa’, Antropologi Indonesia 18(51):64–74.

If it is a chapter in a book, or an article in a journal please give the title of book/journal and the page numbers. In the case of journal please give the Volume and issue number. e.g.

Gilmore, D. 1990 Manhood in the Making: Cultural Concepts of Masculinity. New Haven and London: Yale University Press.

Geertz, C. 1980 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, in Koentjaraningrat (ed.) Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pp.246–274.

Marvin, G. 1984 ‘The Cockfight in Andalusia, Spain: Images of the Truly Male’, Anthropological Quarterly 57(2):60–70. copyright © 2013 ANTROPOLOGI INDONESIA Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Lantai 1, Gedung B, Kampus Universitas Indonesia, Depok, 16424 Phone/Fax: +62 21 78881032 e-mail: [email protected]

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 34 NO. 1 2013

Tentang Kata Korupsi yang Datang Silih Berganti: Suatu Penjelasan Budaya Muhammad Nasrum

1

Totua Ngata dan Konflik (Studi atas Posisi Totua Ngata sebagai Lembaga Adat Di Kecamatan Marawola) Hendra

15

Sekerei Mentawai: Keseharian dan Tradisi Pengetahuan Lokal yang Digerus oleh Zaman Lucky Zamzami

29

Kebangkitan Identitas Orang Bajo di Kepulauan Wakatobi Tasrifin Tahara

41

Marapu: Konstruksi Identitas Budaya Orang Sumba, NTT Purwadi Soeriadiredja

59

‘Memanusiakan Manusia’ dalam Lingkungan yang Tangguh: Mengapa ‘Jauh Panggang dari Api’? Yunita T. Winarto

75

Budaya Penjara: Arena Sosial Semi Otonom di Lembaga Pemasayarakatan “X” A. Josias Simon Runturambi

91