INDONESIAN JOURNAL OF SOCIAL AND CULTURAL ANTHROPOLOGY

Download (JAI) diakui sebagai jurnal nasional terakreditasi, berlaku sejak 13 Desember 2012 – 13 Desember 2017. .... merasa superior dengan kebudaya...

0 downloads 694 Views 812KB Size
ISSN: 1693-167X

ANTROPOLOGI INDONESIA Indonesian Journal of Social and Cultural Anthropology

Tentang Kata Korupsi yang Datang Silih Berganti: Suatu Penjelasan Budaya

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 Januari-Juni 2013

Totua Ngata dan Konflik (Studi atas Posisi Totua Ngata sebagai Lembaga Adat di Kecamatan Marawola)

Vol. 34 No. 1 Januari-Juni 2013

Sekerei Mentawai: Keseharian dan Tradisi Pengetahuan Lokal yang Digerus oleh Zaman

Departemen Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013 Dewan Penasihat

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Ketua Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia Ketua Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia

Pemimpin Redaksi

Semiarto Aji Purwanto

Redaksi Pelaksana

Dave Lumenta, Dian Sulistiawati, Ezra M. Choesin, Irwan M. Hidayana, Sri Paramita Budi Utami.

Manajer Tata Laksana

Ni Nyoman Sri Natih

Administrasi dan Keuangan

Dewi Zimarny

Distribusi dan Sirkulasi

Ni Nyoman Sri Natih

Pembantu Teknis

Rendi Iken Satriyana Dharma

Dewan Redaksi

Achmad Fedyani Saifuddin, Universitas Indonesia Birgit Bräuchler,, University of Frankfurt Boedhi Hartono, Universitas Indonesia Engseng Ho, Duke University Greg Acciaioli, University of Western Australia Heddy Shri Ahimsa Putra, Gadjah Mada University Martin Slama, Austrian Academy of Sciences Meutia F. Swasono, Universitas Indonesia Kari Telle, Chr. Michelsen Institute Ratna Saptari, University of Leiden Semiarto Aji Purwanto, Universitas Indonesia Suraya Afiff, Universitas Indonesia Timo Kaartinen, University of Helsinki Yasmine.Z. Shahab, Universitas Indonesia Yunita.T. Winarto, Universitas Indonesia

ISSN 1693-167X

ANTROPOLOGI INDONESIA is a refereed international journal

Daftar Isi ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 34 NO. 1 2013

Tentang Kata Korupsi yang Datang Silih Berganti: Suatu Penjelasan Budaya Muhammad Nasrum

1

Totua Ngata dan Konflik (Studi atas Posisi Totua Ngata sebagai Lembaga Adat di Kecamatan Marawola) Hendra

15

Sekerei Mentawai: Keseharian dan Tradisi Pengetahuan Lokal yang Digerus oleh Zaman Lucky Zamzami

29

Kebangkitan Identitas Orang Bajo di Kepulauan Wakatobi Tasrifin Tahara

41

Marapu: Konstruksi Identitas Budaya Orang Sumba, NTT Purwadi Soeriadiredja

59

‘Memanusiakan Manusia’ dalam Lingkungan yang Tangguh: Mengapa ‘Jauh Panggang dari Api’? Yunita T. Winarto

75

Budaya Penjara: Arena Sosial Semi Otonom di Lembaga Pemasayarakatan “X” A. Josias Simon Runturambi

91

Berdasarkan Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik lndonesia Nomor: 80/DIKTI/ Kep/2012 tanggal 13 Desember 2012 tentang “Hasil Akreditasi Terbitan Berkala llmiah Periode II Tahun 2012,” Jurnal Antropologi Indonesia (JAI) diakui sebagai jurnal nasional terakreditasi, berlaku sejak 13 Desember 2012 – 13 Desember 2017.

Kebangkitan Identitas Orang Bajo di Kepulauan Wakatobi

Tasrifin Tahara1 Jurusan Antropologi FISIP Universitas Hasanuddin

Abstrak Artikel ini merupakan hasil penelitian kami tentang kehidupan Orang Bajo di Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara sebagai komunitas yang memiliki sejarah dan kebudayaan dengan laut sebagai bagian dari kehidupannya. Dalam proses interaksi dengan kelompok masyarakat di sekitar pemukimannya di Wakatobi, Orang Bajo sering disematkan stereotip sebagai kelompok perampok, orang bodoh, dan memiliki ciri-ciri fisik yang berbeda dengan komunitas lain. Pada kenyataannya, selama ini mereka terabaikan dari proses pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Sebagai kelompok yang termarginalkan, Orang Bajo membangun kesadaran kelompok dengan melakukan gerakan-gerakan yang membangun negosiasi pada berbagai event politik dalam tingkat lokal (Pilkada) dan membentuk KEKAR BAJO dan mengangkat Ir Abdul Manan, MSc sebagai presiden dengan mengidentifikasi Orang Bajo sebagai anggota tanpa melihat batas-batas wilayah negara. Kata Kunci: Bajo dan Identitas Abstract This article is the research on Bajonese life in Wakatobi regency of the Southeast Sulawesi Province as a community with a maritime history and culture as part of their life. In the interactional process with other communities in its surroundings in Wakatobi, The Bajonese are often stereotyped as pirates, stupid, and with physical characteristics that are different from other communities. In fact, for so long they have been neglected from the process of development implemented by either the central government or the regency government. As a marginal ethnic group, the Bajonese develop their own awareness to do morenients to negotiate at local political elements (bupati election=pilkada) and formed the “kekar Bajo” organization, and appointing Ir Abdul Manan, MSc as president of this organization, and identifying all Bajonese as members without regard to state borders. Key-words: Bajonese and Identity

1 Tasrifin Tahara, staf pengajar pada Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanudin, Makassar. E-mail: tf_tahara@ yahoo.com

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013

41

Pengantar Si Nursim putra Bajo baru saja menginjakkan kaki di Kampung Mola sebuah desa terbesar komunitas orang Bajo di Pulau WangiWangi Kabupaten Wakatobi.2 Lelah karena perjalanan jauh dari Kendari melewati Kota Baubau dengan menggunakan kapal seakan tiada terasa dikarenakan rasa girangnya saat membayangkan dirinya akan kembali bersua dengan sanak saudara. Ia ingin membagi kebahagiaan kepada keluarganya karena sudah menjadi mahasiswa Fakultas Perikanan dan Kelautan Universitas Haluoleo Kendari. Ia adalah pemuda Bajo yang tengah berjuang menunjukkan identitas kelompoknya bukan lagi sebagai komunitas yang hanya bisa menangkap ikan atau penyelam teripang, tetapi jauh lebih maju lagi bahwa pengetahuan tentang kelautan yang menjadi “miliki” komunitasnya kini lebih digeluti dalam dunia pendidikan tinggi layaknya kelompok lain karena selama ini orang Bajo sangat minim yang bisa menempuh pendidikan formal apalagi bisa menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Selain sebagai sebuah kebahagiaan tersendiri, tetapi apa yang dilakukan oleh Si Nursim merupakan pergulatan identitas orang Bajo yang selalu disematkan stereotipesebagai kelompok yang bodoh yang tidak memiliki pendidikan. Lain lagi dengan kisah kesuksesan Abdul Manan yang saat ini sebagai Presiden Bajo, pada tahun 1976 dia merantau ke Baubau melanjutkan SMP hingga SMA. Kemudian mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikan pada salah satu perguruan tinggi negeri di Kota Kendari ibukota Provinsi Sulawesi Tenggara. Setelah menamatkan studi S1 dan diterima sebagai staf dosen pada Universitas Haluoleo Kendari. Kemudian ia mendapat beasiswa Program Magister di Thailand Jurusan Manajemen Tropika. Abdul Manan merupakan 2 Saat ini, populasi orang Bajo di Kepulauan Wakatobi kini 12 ribu orang, yang tersebar di beberapa kampung. Selain Mola Selatan, ada Desa Mantigola dan Sampela di Pulau Kaledupa serta Desa Lamanggau di Tomia. Mola terbanyak penduduknya, 7.000 orang. Kampung ini juga paling “modern” dibanding Kampung Bajo lain. Beberapa rumah terbuat dari tembok, sebagian beratap seng, menunjukkan sisa-sisa “kejayaan” Suku Bajo.

42

putra Bajo yang satu-satunya memiliki pendidikan magister dan kini dipercayakan sebagai Kepala Badan Perencanaan Pembangunan (Bappeda) Kabupaten Wakatobi Provinsi Sulawesi Tenggara dan Presiden Bajo Indonesia. Saya memulai artikel ini dengan dengan tuturan tentang Si Nursim dan Abdul Manan sebagai pintu awal untuk memasuki detak jantung kehidupan orang Bajo. Pengalaman mereka adalah titik awal untuk mengetahui bahwa selama ini orang Bajo diperlakukan dengan cara yang direndahkan dan perlakukan tersebut, tersimpan rapi dalam benak mereka. Sebagaimana lazimnya dalam etnografi, kisah kedua orang tersebut menjadi jendela awal untuk melihat kebudayaan orang Bajo, bagaimana interaksi mereka dengan etnis di sekitar komunitasnya, serta bagaimana mereka membangun strategi serta negosiasi makna, di tengah situasi hubungan yang direndahkan dan hanya dikenal sebagai suku penangkap ikan, penyelam teripang, melawan perampok-perampok yang berbahaya, bahkan konon sebagai perompak di laut. Bajo: Sejarah yang Terabaikan Dari manakah asal kata Bajo? Menurut Anna Tsing (1993), biasanya pertanyaan ini adalah awal untuk memulai sebuah etnografi. Bajo, Bajau atau Sama Bajo juga merupakan salah satu suku di Indonesia yang menyebar ke berbagai penjuru negeri. Konon nenek moyang mereka berasal dari Johor, Malaysia. Mereka adalah keturunan orang-orang Johor yang dititahkan raja untuk mencari putrinya yang melarikan diri. Orang-orang tersebut diperintahkan mencari ke segala penjuru negeri hingga Pulau Sulawesi. Menurut cerita, sang puteri memilih menetap di Sulawesi, sedangkan orang-orang yang mencarinya lambat laun memilih tinggal dan tidak lagi kembali ke Johor. Dan konon menurut satu versi, sang puteri yang menikah dengan pangeran Bugis kemudian menempatkan rakyatnya di daerah yang sekarang bernama Bajoe. Sedangkan versi lainnya

Tahara, Kebangkitan Identitas orang Bajo...

menyebutkan karena tidak dapat menemukan sang puteri, akhirnya orang-orang asal Johor ini memilih menetap di kawasan Teluk Tomini, baik di Gorontalo maupun Kepulauan Togian. Sejak penulis Eropa pertama kali menyebut Bugis sebagai pelaut, hingga kini, mereka masih sering tidak dapat membedakan orang Bugis dengan orang Bajo. Sejak 1511, Tome Pires, seorang Portugis, menyamakan pedagang Bugis yang berlayar ke Malaka dari tempat yang dia sebut Pulau “Macacar”, dengan orang Bajo yang dianggap sebagai perampok. Dari sejarah diketahui bahwa suku Bajo bukan sekedar suku pengembara laut yang hanya tahu menangkap ikan. Mereka pun merupakan pemasok berbagai komoditi pasar internasional. Mereka sangat aktif mencari komoditi laut seperti kerang mutiara, teripang, sisik penyu, mutiara, kerang, karang, dan rumput laut. Orang Bajo juga menyediakan berbagai komoditi pantai terutama dari hutan bakau seperti akar-akaran, kulit, dan kayu bakau yang digunakan sebagai bahan celup, serta kayu garu, damar, madu, lilin tawon lebah, dan sarang burung, baik yang terdapat di sekitar tempat mereka tinggal atau pun dari tempat-tempat yang mereka kunjungi (Andaya 1984:36). Aktivitas ini melibatkan mereka dalam hubungan perdagangan dan barter dengan Kerajaan Bugis dan Makassar. Orang Bajo dikenal sebagai pelaut-pelaut yang tangguh. Namun, sejarah lebih mengenal Suku Makassar, Suku Bugis, atau Suku Mandar, sebagai raja di lautan. Padahal, orang Bajo pernah disebut-sebut pernah menjadi bagian dari Angkatan Laut Kerajaan Sriwijaya. Sehingga, ketangguhan dan keterampilannya mengarungi samudera jelas tidak terbantahkan. Sejumlah antropolog mencatat, orang Bajo lari ke laut karena mereka menghindari perang dan kericuhan di darat. Sejak itu, bermunculan manusia-manusia perahu yang sepenuhnya hidup di atas air. Nama Bajo diberikan oleh warga lain di Pulau Sulawesi sendiri atau di luar Pulau Sulawesi. Sedangkan orang Bajo menyebut dirinya sebagai orang Same dan

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013

menyebut orang di luar mereka sebagai orang Bagai. Bahasa Bajo (baong sama), memperlihatkan sesuatu yang khas dalam masyarakat ini. Apabila mereka berada di antara sesama mereka, mereka menggunakan kata “sama” sebagai istilah rujukan dan untuk menunjukkan kelompok mereka. Istilah “sama” ini beroposisi dengan bagai yang artinya semua masyarakat lain, di luar orang Bajo. Sama adalah orang Bajo yang keberadaannya berhubungan dengan sama-sama lainnya. Istilah ini mendukung gagasan untuk membuat orangorang Bajo menjadi sebuah masyarakat, sebab istilah itu mengingatkan setiap orang bahwa ia merupakan warga dan termasuk di dalam kelompoknya. Arti istilah tersebut sangat jauh melampaui arti yang diberikan dalam Bahasa Indonesia, seperti “serupa”, “sama”, “setara”. Sejak kapan orang Bajo meninggalkan kampung halamannya, sampai sekarang tidak ada yang mengetahui pasti. Namun satu hal yang pasti, berkat keterpencilan mereka selama sejarah, orang Bajo membawa jejak-jejak perpindahan penduduk yang menghuni Asia Tenggara sekitar dua ribu tahun yang lalu3. Selama ini dalam memahami budaya masyarakat bahari, penafsiran sejarah Bajo kerap dilihat hanya berdasarkan cara pandang kelompok maritim di Nusantara seperti Bugis, Makassar, Mandar, dan Buton. Padahal Sahlins (1985) mengatakan, perbedaan waktu dan tempat akan merefleksikan perbedaan sejarah juga.4 Semua tempat memiliki sejarahnya masingmasing sebab sejarah tumbuh sebagai bagian dari kebudayaan. Jika penafsiran Sahlins (1985) digunakan untuk melihat konteks ini, sejarah Bajo masih dilihat sebagai sejarah pulau-pulau yang terabaikan (history of neglected islands) 3 Robert dalam penelitiannya di Desa Torosiaje penulis meriwayatkan bahwa orang Bajo berbondong-bondong pindah tanpa tujuan yang pasti. Armada-armada bido (soppe) mulai menjelajahi ribuan kilometer melewati lautan-lautan Asia. Beberapa orang Bajo masih mengikuti petualang itu yang sekarang tampaknya merupakan nasib mereka. (Zacot 2008). 4 Sahlins mengatakan, “The different cultural orders have their own modes of historical actions, conciousness, and determinations – their own historical practice. Other times, other customes, and according to otherness of the custom, the distinctive anthropology that is needed to understand any given human course.” (Sahlins 1985)

43

yang dianggap tidak penting dalam peta sejarah maritim di Nusantara. Akibatnya, orang Bajo tidak banyak bersuara atau didengarkan suaranya sebab selalu dilihat dengan cara pandang kebudayaan dominan. Stereotip terhadap Suku Bajo Sebagai negara kepulauan, Indonesia yang memiliki wilayah laut sekitar tiga perempat seluas 7,9 juta km2 yang mempersatukan 17.504 pulau dengan 95.161 km garis pantai, sejak dahulu dikenal adanya kelompok-kelompok cikal bakal budaya bahari, yakni orang Bajo (sea gypsies), Bugis, Makassar, Mandar, Buton, dan Madura (Horridge 1986). Di antara sukusuku maritim tersebut, tampaknya kehadiran Suku Bajo sebagai suatu komunitas bahari belum banyak terungkap oleh para sejarahwan khususnya hubungan antara kelompok etnik tertentu dengan orang Bajo. Padahal interaksi antara orang Bajo dengan masyarakat maritim merupakan kajian menarik. Sebagai contoh, di gugusan Pulau Buton dan sekitarnya seperti Tiworo dan Kepulauan Tukang Besi (sekarang Wakatobi) banyak dijumpai komunitas Suku Bajo (Sama) yang sepenuhnya berkaitan dengan laut. Kedekatan antara orang Buton dan orang Bajo dapat dilihat dari adanya daerah yang bernama Pasar Wajo.5 Tempat ini merupakan interaksi antara orang Buton dan Bajo. Wajo, bagi masyarakat Buton merupakan sebutan bagi Bajo (Zuhdi 2010). Walaupun orang Bajo merasa superior dengan kebudayaan maritim terhadap orang yang tinggal di darat, di sisi lain mereka juga inferior ketika berinterkasi dengan orang darat. Orang-orang darat memiliki peradaban dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi dibandingkan dengan orang Bajo yang hanya bergelut dengan laut. Kondisi ini, sudah tidak bisa disangkal jika ada stereotip yang berkembang pada masyarakat yang bermukim di darat bahwa Orang Bajo sebagai 5 Pasar Wajo merupakan wilayah penambangan aspal yang terkenal di Pulau Buton sejak masa penjajah Belanda. Saat ini, wilayah ini menjadi ibukota Kabupaten Buton, setelah Kota Baubau menjadi daerah otonomi baru

44

masyarakat yang terasing, terbelakang dan tertutup. Nama “Bajo” bagi kelompok lain sering merupakan label atau stereotip sebagai perompak atau bajak laut. Menurut cerita tutur yang berkembang di beberapa wilayah yang wilayahnya berdekatan dengan perkampungan orang Bajo menganggap bahwa kalangan perompak di zaman dulu diyakini berasal dari orang Sama. Sejak itu, banyak kalangan menyebut orang Sama sebagai orang Bajo yang berarti kelompok perompak. Oleh karena orang Bajo terkenal sebagai kelompok yang mendiami laut dan menyebar hingga ke seluruh nusantara khususnya di Kawasan Timur Indonesia, sehingga orang memberi stereotip kepada semua suku tersebut sebagai Suku Bajo yang berlabel suku perampok. Belakangan, stereotip ini menimbulkan polemik sebagai bentuk perlawanan dari kalangan masyarakat Bajo yang tidak menyetujui dan membantah arti “bajo” sebagai perompak atau bajak laut. Selain label Bajo berkonotasi negatif, stereotip lain mengacu pada ciri-ciri fisik seperti kulit yang hitam legam, rambut kekuning-kuningan, bahkan tidak jarang orang Bajo sebagai pembom dan pembius sumberdaya laut, bahkan dianggap bodoh karena tidak berpendidikan.6 Di Wakatobi, khususnya orang-orang Buton Kaledupa yang menempatkan orang-orang Bajo sebagai golongan lapis bawah dalam struktur sosialnya.7 Masyarakat Kaledupa menempatkan orang Bajo atau disebut oleh orang Kaledupa dengan istilah amai wa’du sebagai golongan masyarakat yang terendah yakni setara dengan kelompok papara atau golongan masyarakat budak. Bagi masyarakat 6 Orang Bajo sebagai orang laut memiliki penghasilan yang besar, namun tingkat pendidikan sangat rendah, tercatat hanya 0,5% dari 46% angka partisipasi sekolah di Sulawesi Tenggara. Dahulu dalam kebudayaan Orang Bajo, sekolah bukan kebutuhan utama, karena sekolah dianggap menghabiskan waktu dan tidak mendatangkan uang. Bagi Orang Bajo, hamparan laut di sekitar pemukiman mereka sudah sumber rezeki yang tidak habis dan bisa diakses setiap saat tanpa membutuhkan sekolah. 7 Pulau Kaledupa pada masa Kesultanan Buton merupakan wilayah Barata sebagai wilayah penting dalam pemerintahan kesultanan sehingga masyarakat yang mendiami Pulau Kaledupa sangat kental dengan kehidupan sosial budaya Kesultanan Buton dibandingkan pulau lain di Wakatobi (Rudyansjah, 1997, 2009; Schrool, 2005; Tahara, 2010)

Tahara, Kebangkitan Identitas orang Bajo...

Kaledupa, orang Bajo dianggap sebagai “pendatang” dan golongan masyarakat di luar sistem sosial masyarakat Kaledupa. Penyematan label rendahan terhadap Bajo juga karena pengalaman keterlibatan mereka terhadap gerombolan DI/TII. Oleh karena itu orang Kaledupa sering melakukan intimidasi terhadap orang Bajo. Tidak jarang dalam interaksi sehari-hari orang Kaledupa sering menghina dan mengejek orang Bajo dengan simbol-simbol Bahasa Bajo. Dalam hal akses terhadap sumberdaya alam, orang Bajo seperti di Kampung La Hoa, Kampung Sampela, dan Kampung Mantigola Umala tidak diberikan hak untuk memiliki tanah (kebun) di wilayah darat Pulau Kaledupa. Dalam hal akses terhadap sumberdaya alam, orang Bajo hanya menjadi buruh kebun dengan tugas membersihkan dan merawat tanaman kelapa milik orang Kaledupa. Tidak hanya stereotipe dan posisi hubungan kerja, perlakuan yang tidak manusiawi juga terkadang diperoleh orang Bajo dari orang Kaledupa yang menyebabkan keengganan orang Bajo ikut aktif menggeliatkan perekonomian di Pulau Kaledupa. Salah satu bentuk perlakuan orang darat (orang Kaledupa) yang tidak manusiawi, misalnya pada saat orang Bajo menjual ikan di Pasar Sampoawatu, kemudian orang darat yang membeli ikan menawar harganya, dan orang Bajo tidak sepakat dengan harga ikan yang ditawarkan oleh darat, ikan biasanya dirampas, kemudian orang darat akan memakimaki orang Bajo, bahkan ada yang dipukuli dan ikan tidak dibayar oleh orang darat yang sedang mabuk. Hubungan antara orang Bajo dengan orang darat di Pulau Kaledupa maupun di Pulua Wangiwangi Wakatobi sesungguhnya adalah hubungan yang mutualisme. Selama puluhan tahun, orang Bajo selama ini banyak menyediakan ikan dan hasil tangkapan laut bagi orang darat yang hidup di Pulau Kaledupa dan Pulau Wangiwangi. Begitupun bagi orang Bajo, mereka memperoleh kebutuhan sehari-hari terutama kebutuhan sandang dan papan dari orang darat. Jika dilihat pola pertemuan antara orang Bajo

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013

dengan orang darat, seringkali yang menjadi titik bertemu untuk melakukan transaksi/pertukaran barang-barang di antara mereka menjadi cikal bakal tumbuhnya pasar lokal. Sebagai contoh Pasar Sampuawatu yang merupakan pasar paling ramai di Kaledupa saat ini. Pasar tersebut terbentuk setelah datangnya orangorang Bajo yang membawa produk perikanan dan hasil tangkapan laut mereka untuk dijual ke orang-orang darat. Dengan datangnya orangorang Bajo tersebut, kemudian bermunculan warung-warung dan kios yang dibuka oleh orang darat yang menyediakan bahan makanan dan pakaian. Begitu pun dengan Pasar Sentral di Wangiwangi yang juga diawali dari tempat orang-orang Bajo menjajakan hasil perikanan tangkapan mereka. Menarik untuk mencermati relasi yang terjalin antara orang Bajo dengan orang darat diluar relasi ekonomi. Jika hubungan ekonomi antara orang Bajo – orang darat yang saling timbal balik dan membutuhkan, maka pola hubungan sosial maupun kultural orang Bajoorang darat tidak sesimetris hubungan ekonomi diantara keduanya. Prasangka orang darat terhadap orang Bajo di Wakatobi masih menjadi tembok yang membuat hubungan sosial dan kultural di antara mereka masih tidak berimbang. Prasangka negatif orang darat pada orang Bajo seringkali menjadi benih konflik yang memantik disharmonisasi di antara mereka. Konflik-konflik kecil di antara dua kelompok ini baik yang terjadi pada skala kelompok maupun yang terjadi pada skala individu seringkali terjadi. Konflik antara orang Bajo dengan orang darat yang paling besar dan paling dikenang oleh orang Bajo adalah peristiwa DI/TII (lokal: gerombolan) di tahun 1956. Dimana pada tahun tersebut di Kaledupa berhembus isu bahwa orang Bajo yang ada di Kampung Mantigola, Kaledupa, merupakan bagian dari kelompok gerombolan DI/TII. Berawal dari isu itu, terjadilah intimidasi, teror dan kekerasan yang dilakukan oleh orang darat, Kaledupa, kepada etnik Bajo yang berdomisili di Mantigola. Merasa kehidupannya tidak tenteram,

45

terjadilan migrasi besar-besaran orang Bajo keluar dari perkampungan Mantigola. Pengalaman kekerasan yang dialami oleh orang Bajo di Mantigola hingga membuat mereka harus berpindah keluar dari Mantigola menjadi catatan kelam atas hubungan antar etnik di Wakatobi. Pengalaman kekerasan tersebut menjadi pengalaman traumatik yang sampai sekarang masih tersimpan dalam memori kolektif banyak orang Bajo baik mereka yang ada di Sampela maupun yang ada di Mola. Pak Rustam, seorang masyarakat Bajo yang ada di Sampela menceritakan bahwa sekitar tahun 1960-an, sudah ada orang Bajo di Kaledupa, tetapi tempatnya di Mantigola, kemudian pindah ke Sampela. Berdasarkan versi orang Kaledupa, orang Bajo yang di Mantigola adalah gerombolan. “Karena yang pertama, yang sering, kan kalau ada yang fanatik dengan agama menurut versi orang Kaledupa itu gerombolan” tutur Pak Rustam menceritakan kenapa orang Bajo dituduh sebagai gerombolan pada saat itu. Sementara Pak Natsir, warga Desa Mola Samaturu mengungkapkan, ”Sebenarnya kan kampung Bajo pertama di Mantigola. Karena pergolakan DI/TII dulu, tahun 56 57, orang Bajo tersingkir dari sana, sebagian ke Sampela, sebagian yang dari Mantigola lari semua ke sini (Mola).” Alasan mengapa orang-orang Bajo berpindah dari Kampung Mantigola diceritakan lebih detail oleh Pak Tjangking, “Iya orang darat, bukan juga polisi. Artinya dulu kan yang berbicara kekuasaan. Ah... karena sudah memakan korban beberapa orang dipotong kepalanya pak, di Mantigola diintimidasi, pindahlah mereka ke Mantigola, eh, ke Sampela”. Setelah meninggalkan Kampung Mantigola, orang-orang Bajo menuju ke Kampung Sampela, sebuah perkampungan kecil orang Bajo di pesisir Desa Laulua, Pulau Kaledupa. Setelah di Kampung Sampela, orang Bajo Mantigola masih dihantui oleh sejumlah teror dan intimidasi dari orang darat sehingga berpindah lagi menuju ke Pulau Wangiwangi. Pak Tjangking

46

mengisahkan proses perpindahan itu, “Tetapi kan intimidasi itu tetap ada. Artinya mereka takut dibayang-bayangi ketakutan. Akhirnya, tokoh-tokoh masyarakat yang ada di Mantigola datanglah minta perlindungan di Wanci ini, bagaimana supaya mereka itu, artinya bisa diselamatkan dari gangguan itu, apalagi berhadapan dengan pemerintah, kan begitu. Pemerintah dan masyarakat biasa, menuduh mereka bahwa mereka ini adalah gerombolan semua.”

Setelah tiba di Pulau Wangiwangi, orang Bajo Mantigola tetap harus berjuang mendapatkan perlindungan dari tokoh masyarakat dan tokoh adat setempat. Proses untuk mendapatkan perlindungan tersebut rupanya tidak berjalan mudah seperti apa yang dibayangkan oleh orang Bajo. Mereka harus mengalami dua kali perpindahan tempat yakni dari wilayah adat Liya dan wilayah adat Wanci dikarenakan adanya penolakan dari para pemimpin adat (sara) setempat. Pada akhirnya mereka diterima dengan terbuka ketika meminta izin untuk bertempat di wilayah adat Mandati. Oleh Sara Mandati, mereka diberikan tempat untuk mendiami lokasi yang disebut Molii, yang kemudian berkembang penyebutannya menjadi Mola. “Karena ini kan, Wanci, Liya dan Mandati ini kan masing-masing adalah masyarakat persekutuan adat. Itu dulu toh yang anu, masyarakat persekutuan hukum adat. Nah pertama orang Bajo ini mendarat di Liya diusir. Setelah itu lari ke Wanci, di daerah Oguu, itu diusir. Terakhir datang ke Mandatii baru diterima sebagai saudara. Itu waktu jaman kakek saya, jaman Bapaknya Pak Usman Baga,” Kisah Pak Ediarto ketika menceritakan proses diterimanya orang Bajo di daerah yang sekarang disebut Mola.

Klaim Pak Ediarto bahwa orang Bajo diterima sebagai saudara di wilayah adat Mandati kiranya tidak berlebihan. Pak Tjangking menceritakan, “Bahkan juga orang darat pertama disini, dia simpati dengan kita. Dia menyiapkan, membantu kita dengan tiang-tiang

Tahara, Kebangkitan Identitas orang Bajo...

rumah apa semua.” Kemudian di tempat dan masa yang baru ini, orang Bajo perlahan kembali membangun mimpi dan masa depan mereka. Namun pun begitu, nampaknya ada penerimaan yang berbeda antara orang darat di Kaledupa dengan orang darat di Wangiwangi terhadap kehadiran orang Bajo di tempat mereka. Orang darat di Wangiwangi nampaknya lebih terbuka menerima kehadiran orang Bajo di sekitar wilayah mereka dibandingkan orang darat di Kaledupa. Saat bersekolah misalnya, Pak Natsir menceritakan bahwa saat bersekolah dulu dia cukup akrab dengan teman-temannya di sekolah. “Kalau kita dulu, orang Mandati teman-teman dari sana, kadang-kadang tidur di Mola nda ada masalah. Kita juga kadang-kadang dipanggil teman-teman tidur di darat, tidak ada juga masalah,” tutur Pak Natsir mengenang masa sekolahnya dulu. Bahkan keuletannya bersekolah dulu mendapat dukungan dari teman-temannya di saat orang-orang di Bajo sendiri ragu tentang pentingnya sekolah. “Kalau diremehkan atau dipandang enteng di sekolah mungkin tidak ada. Bahkan mereka salut itu. Mereka saya lihat tidak anu juga. Hanya dari kita sendiri, dari masyarakat Bajo sendiri. Mereka ragu, mereka pandang enteng bahwa orang Bajo bisa sekolah. Tidak mungkin orang Bajo bisa dapat jabatan.”

Hal ini berbeda dengan pengalaman Pak Rustam ketika bersekolah di Kaledupa di tahun 1970-an hingga 1980-an. Saat bersekolah mereka pernah mendapat perlakuan yang tidak mengenakkan dari teman-temannya dulu. “Kalau kita dulu, kadang kita dimaki. Kadang kita dimusuhi sama teman-teman di darat, ya dulu. Baik pun yang teman-teman (sesama orang Bajo) kita begitu ceritanya juga,” tutur Pak Rustam ketika menceritakan pengalamannya ketika masih bersekolah dulu. Bahkan orang darat punya istilah whadhu untuk menyebut orang Bajo yang kemudian membawa rasa minder dalam diri orang-orang Bajo pada waktu itu. “Etnis Bajo!!! Kan sering kalau ada

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013

orang bajo lewat, “ah, kaatumo na whadu.” Kan bahasa-bahasa itu yang dulu yang sering dipakai. Pada akhirnya kita juga orang bajo karena sering disebut begitu, eh, kita minder. Merasa minder, merasa, merasa, merasa diri kita kecil,” sambung Pak Rustam ketika ditanya arti dari Whadhu. Bahkan sindiran atau ejekan itu masih dirasakan oleh orang Bajo yang bersekolah di darat di tahun 90 hingga era 2000-an. La Toni misalnya, orang Bajo di Sampela yang bersekolah dari SD sampai SMA di Pulau Kaledupa. Meski dia jarang mendapat perlakuan kasar atau ejekan dari teman-temannya karena bapaknya dari darat, La Toni sering melihat teman-temannya dari Bajo mendapat ejekan atau gangguan dari teman-teman yang dari darat. Bukan hanya di sekolah, perbedaan penerimaan orang darat Kaledupa dan orang darat Wangiwangi terhadap orang Bajo juga dirasakan ketika sedang digelar acara-acara hiburan. Bagi orang Bajo yang tinggal di Wangiwangi, mereka dapat bebas menghadiri acara hiburan dimana pun dan kapan pun di Pulau Wangiwangi. Pak Natsir menceritakan bagaimana leluasanya mereka dulu ketika menghadiri acara hiburan, “...Dulu itu kita sampai dari sini (Mola) kalau mau nonton Lariangi8 kita jalan kaki ke Liya sana, tidak ada masalah. Kita malah bermalam di sana...” Sementara apa yang dialami oleh para pemuda Bajo di Sama Bahari menurut informasi dari Pak Rustam dan Pak Rujui justru berkebalikan adanya. Anakanak muda Bajo tidak berani menghadiri acaraacara hiburan di darat karena bisa menjadi sasaran olok-olok bahkan seringkali mengalami tindak kekerasan dari orang darat. Ketika berhadapan dengan sikap-sikap yang merendahkan dari orang darat terhadap orang Bajo, nampaknya ada respons yang berbeda ditampilkan oleh orang Bajo generasi tahun 1970-an hingga generasi tahun 2000-an. Jika di masa Pak Rustam bersekolah sekitar tahun 1970 sampai 1980-an, tidak banyak yang dapat 8 Lariangi merupakan tarian yang terdapat di Pulau Kaledupa yang biasanya merupakan persembahan bagi kelompok bangsawan.

47

dilakukan oleh orang Bajo selain mengabaikan dan mengalah. “Kita kan karena, kadang kita takut, karena kita itu kan merasa minder, kita takut karena kapan kita melawan maka kita dikeroyok. Terlebih lagi banyak urusan di darat. Jadi kita mengalah saja. Karena kita kan biasa ketergantungan hidup kita di darat. Jadi kita mengalah.” cerita Pak Rustam. Namun respons ini berbeda dengan generasi yang bersekolah di tahun 1990-an seperti di masa La Toni bersekolah. Ketika SD, teman-temannya dari Bajo sering berkelahi dengan orang orang-orang di darat ketika diejek. Bahkan ketika di SMA, La Toni yang jarang diejek karena bapaknya berasal dari darat bahkan terlibat perkelahian dengan teman SMA-nya untuk membela kehormatan orang Bajo. “Saya sudah kasitaumi temanku eh kita dihinami ini, orang bajo katanya dia marah itu dia punya anu, yang lain itu yang perempuan, bagi perempuan. Nah itumi katanya. Kita baku pukulmi disitu. Kita dikeroyok betul, di satu ruangan!!” cerita La Toni mengisahkan perkelahiannya sewaktu SMA. Selain mengabaikan, membalas ejekan ataupun mengadakan perkelahian, bentuk respons yang diberikan oleh orang Bajo dalam menghadapi sikap-sikap yang merendahkan dari orang darat adalah dengan meningkatkan usaha belajar dan mengejar pendidikan hingga ke jenjang yang lebih tinggi. Misalnya saja alasan yang diungkapkan La Toni tentang kenapa dia mau terus bersekolah meski dalam keadaan sulit, “Kan dulunya sering dia bilang orang di Kaledupa, kalau kita apa ini, orang Bajo itu sering terbuang. Makanya saya berusaha untuk sekolah juga. Kenapa orang darat berhasil, kenapa kita orang Bajo ini tidak berhasil. Makanya kita harus berusaha juga. Orang darat berhasil, kita harus berusaha.”

Meski orang Bajo seringkali mendapat ejekan atau gangguan dari orang darat, namun hal itu tidak menimbulkan dendam ataupun kebencian mendalam dari orang Bajo. Mereka tetap berinteraksi dan menjalin komunikasi

48

dengan orang-orang darat. Untuk memudahkan mereka berkomunikasi dengan orang darat, banyak dari mereka mempelajari dan mampu menguasai bahasa orang darat yakni Bahasa Kaledupa dan Bahasa Indonesia yang meskipun jarang digunakan dalam lingkungan orang Bajo sehari-hari. Selain itu, mereka terbuka terhadap orang darat ketika melakukan pernikahan dengan orang Bajo. Sementara di saat ini, mereka sangat terbuka dengan kehadiran orang-orang darat yang datang membawa dagangan mereka ke perkampungan mereka. Tak ada sedikitpun tindakan balasan atau sikap tidak suka yang ditunjukkan oleh orang Bajo. Konstruksi Identitas Orang Bajo Menjadi penting untuk memahami bagaimana orang darat melihat dan mengonstruksi identitas orang Bajo serta bagaimana orang Bajo sendiri melihat diri atau identitasnya dalam konteks relasi-relasi sosial yang saat ini dijalin dengan dunia luar. Saat masyarakat Bajo yang mendiami Kampung Mola dan orang Bajo yang tinggal di Sampela masih berumah diatas air laut dan terpisah dari daratan, kerap kali mereka terpinggirkan dan diposisikan sebagai kelompok subordinat dalam struktur masyarakat Wakatobi. Stereotipe terhadap orang Bajo sebagai pendatang yang memilih hidup terpisah dengan orang darat membuat mereka dipandang sebagai orang asing oleh sebagian masyarakat Wakatobi. Apalagi setelah Peristiwa pemberontakan DI/TII yang ikut menyebar ke Pulau Wakatobi pada 1956 berakibat sangat serius dalam mempengaruhi hubungan orang Bajo dengan orang darat di Wakatobi. Pelabelan (stereotip) bahwa orang Bajo di Mantigola ikut terlibat mendukung gerakan DI/TII yang berpusat di Sulawesi Selatan disatu sisi menjadi luka bersama bagi orang Bajo, dan di sisi lain mereka senantiasa terperangkap untuk mengingat masa-masa suram yang penuh ancaman dari orang darat dan keinginan untuk melupakan penderitaan yang mereka alami

Tahara, Kebangkitan Identitas orang Bajo...

selama proses teror tersebut berlangsung. Orang Bajo di Kabupaten Wakatobi hidup sebagai kelompok minoritas. Dalam bahasa Bourdieu, mereka menjadi kelompok terdominasi dalam masyarakat dominan (Bourdieu 2010). Mereka sering mengalami diskriminasi dan prasangka dalam pekerjaan mereka sebagai nelayan yang menggantungkan hidup sepenuhnya hanya dengan memanfaatkan sumber daya laut sekalipun banyak juga masyarakat Wakatobi di daratan yang mencari rezeki sebagai nelayan. Mereka juga banyak mengalami rintangan ketika hendak masuk dalam arena politik atau bekerja pada instansi pemerintahan. Berbeda halnya dengan orang darat Wakatobi sebagai etnis mayoritas di Wakatobi yang selama ini mendapatkan privelese dalam berbagai bentuk, sementara orang Bajo yang tidak memiliki back-up mengalamai marginalisasi. Konstruksi identitas terhadap orang Bajo sampai saat ini masih dibayangi oleh idealitas terhadap budaya dan cara pandang yang menganggap orang darat memiliki peradaban dan kebudayaan lebih tinggi daripada orang Bajo sebagai suku laut. Penegasan tentang adanya kebudayaan tinggi (high culture) tersebut oleh Ernest Gellner (1983) ditenggarai sebagai upaya untuk membedakan diri dari kelompok lainnya. Di luar komunitas yang memiliki budaya tinggi merupakan individu-individu yang sering ditempatkan di daerah pinggiran dari suatu negara, disisihkan dari pusat dengan alasan keturunan ataupun kelas. Belum lagi jika merujuk pada sejarah masa silam saat Wakatobi masih menjadi bagian dari imperium Kesultanan Buton dimana masyarakatnya diklasifikasikan kedalam tiga klasifikasi status sosial masyarakat yaitu kelompok kaomu sebagai kelas bangsawan, kelompok walaka sebagai kelas menengah, dan kelompok Papara sebagai kelas bawah, maka kita akan kerumitan untuk menempatkan orang Bajo dalam tiga klasifikasi tersebut. Orang Wakatobi terutama orang Liya dan Kaledupa sebagian merupakan keturunan kelompok Kaomu dan

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013

kelompok Walaka (kelompok bangsawan) yang berasal dari Keraton Wolio, sedangkan orang Bajo termasuk kelompok masyarakat atau orang-orang yang tidak jelas asal-usulnya (kamia9). Seseorang dimasukkan ke dalam salah satu dari kategori sosial yang ada dalam masyarakat itu berdasarkan pada kamia (asal-usulnya). Dengan demikian pembagian masyarakat ke dalam kaomu, walaka, dan papara sebagai satu struktur sosial yang berdasarkan pada asal-usul seseorang. Menurut konsepsi budaya masyarakat Buton, orang-orang dari kaomu dan walaka dibedakan dari orang-orang papara, karena kedua kelompok yang pertama dapat diketahui asal-usulnya, sedangkan kelompok yang terakhir susah untuk dirunut asal usulnya. Jika menggunakan konsepsi di atas, maka orang Bajo bisa dikelompokkan sebagai kelompok papara. Orang Bajo sebagai kelompok papara dibedakan oleh masyarakat Wakatobi dengan diri mereka karena orang Bajo dianggap tidak pertalian dengan pendiri komunitas maupun pendiri Kerajaan Wolio dan Wakatobi merupakan bagian dari imperium Kesultanan Buton di masa silam. Kesimpulannya bahwa orang Bajo adalah orang yang tidak bisa diketahui kamia atau asal usulnya10. Orang Bajo di Mola maupun orang Bajo di Sampela sudah sejak lama berdiam diri dan menerima saja identitas yang disematkan terhadap mereka meskipun tidak mereka kehendaki. Identitas yang dipaksakan oleh budaya dominan di luar kehendak diri mereka dan sering kali adalah identitas yang merugikan. Selama 9 Kamia adalah konsep tentang asal usul darah (keturunan) pada orang Buton untuk menjelaskan siapa diri mereka. Orang Buton (Wakatobi) selalu merujuk pada asal usul atau nenek moyang mereka yang mendirikan kerajaan/kesultanan Wolio. Bagi mereka yang mendiami Pulau-pulau di Jazirah Buton maupun Wakatobi yang tidak bisa menunjukan pertalian darahnya dengan pendiri kerajaan/kesultanan Buton dianggap sebagai orang asing. 10 Menurut Rudyansjah (1997), Papara, dengan demikian, merupakan istilah denotatif dan bersifat derogatif. Anggapan bahwa orang Papara sebagai orang pedalaman tidak bisa diartikan bahwa orang Papara merupakan penduduk asli (native) sedangkan masyarakat Wolio (Wakatobi) sebagai pendatang. Sejarah masyarakat di wilayah bekas Kesultanan Buton lebih dilandasi pada colonization myth daripada creation myth. Fenomena yang ada di Wakatobi malah mesti dipandang dengan logika terbalik bahwa orang darat di Wakatobi adalah penduduk asli dan orang Bajo lah sebagai pendatang di pulau tersebut.

49

ini, stereotip yang dilekatkan pada orang Bajo adalah orang-orang sebagai kelompok subordinat, kelompok manusia antah berantah yang selalu hidup berpindah-pindah dan berumah di atas laut, kelompok tak terdidik karena jarang yang bersekolah dengan small narrative dalam peta sosial-budaya masyarakat Wakatobi makin menegaskan citra orang Bajo sebagai orang primitif dan terbelakang. Namun, mereka jarang sekali diminta untuk berbicara untuk diri mereka sendiri tentang kehidupan mereka, aspirasi, kecemasan, kekecewaan mereka, perjuangan dan prestasi yang mereka ukir dalam memberi warna pada identitas kewakatobian. Meminjam gagasan Singh bahwa konstruksi sosial atas budaya tinggi (high culture) dan budaya rendah (low culture) sering hadir dalam peta sosial-budaya sebuah masyarakat atau bangsa. Ideologi kelompok dominan menjadi mapan sebagai norma, dan segala sesuatu yang ada di luar mereka dianggap berbeda dan perifer. Hal ini biasanya terjadi melalui wacana yang secara eksplisit menciptakan pertentangan antara kami dan mereka, sehingga muncul pelabelan dan stereotipe yang negatif (Singh, dalam Linda Thomas 2004). Kebudayaan dalam masyarakat seringkali dipandang dari sisi kelompok mayoritas saja sehingga terkadang mengabaikan dinamika yang tumbuh serta kearifan lokal yang ada pada etnis atau kelompok minoritas sehingga sering muncul stereotip yang negatif terhadap kelompok minoritas oleh kelompok mayoritas, sehingga tidak jarang kebudayaan yang ada pada etnis minoritas dianggap sebagai budaya pinggiran saja. Identitas orang Bajo di Mola maupun orang Bajo di Sampela sebagai orang asing membuahkan konsekuensi yang tidak ringan dengan efek psikologis dan sosial yang masih terasa hingga kini. Secara etnisitas, orang Bajo di Mola Samaturu maupun orang Bajo di Sampela yang ada di Wakatobi lebih memilih mengidentifikasi diri mereka sebagai orang Bajo – bukan Wakatobi – karena dalam praktik kebudayaannya, mereka dapat menunjukkan sebagai kelompok

yang berbeda terkait sejarah, praktik budaya dan afiliasi bahasa dengan orang Wakatobi di darat. Walaupun ada sebagian orang Bajo yang mengakui punya ikatan dengan etnis lainnya di waktu yang berbeda dengan menyebut diri mereka sebagai orang Wakatobi. Dalam hal ini, identitas selalu berubah dari lingkungan yang satu ke lingkungan yang lain menurut ruang dan waktu. Dalam pandangan Giddens, identitas adalah mode berpikir tentang diri kita sendiri dan apa yang kita pikirkan itu selalu berubah dari satu situasi ke situasi lainnya menurut ruang dan waktu (Giddens 1991: 52). Argumen Giddens tentang identitas adalah apa yang kita pikirkan tentang identitas diri tersebut dalam kapasitas sebagai person. Selain itu ia juga berargumen bahwa identitas bukan sekumpulan sifat-sifat yang kita miliki; bukan sesuatu yang kita miliki ataupun entitas atau benda yang bisa kita tunjuk. Dengan demikian identitas adalah mode berpikir tentang diri kita sendiri. Namun apa yang kita pikirkan itu senantiasa berubah dari lingkungan yang satu ke lingkungan lain menurut ruang dan waktu. Itulah sebabnya, mengapa Giddens mendeskripsikan identitas sebagai suatu proyek. Maksudnya adalah bahwa identitas adalah suatu yang kita ciptakan, sesuatu yang senantiasa berproses, yang terus maju ke depan dari pada tetap. Terkait pengidentifikasian identitas di kalangan orang Bajo, ada sejumlah persoalan yang menarik untuk ditelaah lebih jauh sebab pengidentifikasian orang Bajo yang ada di Kaledupa maupun di Wangi-Wangi Selatan sebagai orang Wakatobi bukan tanpa masalah, sebab di arena yang lain, juga sering muncul penolakan dari masyarakat Wakatobi yang ada di dua pulau tersebut tentang orang Bajo. Di dua pulau tersebut, sebagai contoh, mereka enggan mengakui orang Bajo sebagai bagian dari orang Wakatobi sekalipun telah terjadi perkawinan diantara mereka. Beberapa orang Bajo yang mengidentifikasi diri mereka secara etnisitas merupakan bagian dari masyarakat Wakatobi menganggap bahwa mereka memiliki

50

Tahara, Kebangkitan Identitas orang Bajo...

ikatan kekerabatan dan tempat tinggal yang cukup dekat dan malah saat ini sudah mulai terhubung langsung dengan masyarakat yang tinggal di daratan. Etnisitas mestinya dipahami sebagai proses konstruksi formasi terbatas dan dilestarikan oleh kondisi-kondisi sosio-historis yang spesifik. Etnisitas bukanlah tentang perbedaan kebudayaan yang pre-given, tetapi merupakan formasi terbatas yang terus dilestarikan dan bukan berarti perbedaan demikian tak dapat dikonstruksikan secara sosial terkait penanda yang berkonotasi universalitas, teritori dan pemurnian, misalnya saja melalui penanda tentang darah, kekerabatan dan tanah air. Identitas Orang Bajo dalam Perubahan Karena adanya usaha-usaha komunikasi yang terus dijalankan oleh orang-orang Bajo terhadap orang darat, sedikit demi sedikit orang darat di Kaledupa mulai menerima kehadiran orang Bajo sebagai bagian dari komunitas besar orang Wakatobi. Menurut Pak Rustam, perilaku orang darat terhadap orang Bajo itu perlahan-lahan mengalami perubahan 20 – 10 tahun yang lalu karena tumbuhnya kesadaran dalam benak orang-orang darat bahwa kebutuhan mereka juga ada pada orang Bajo. Sehingga saat ini, secara umum orang Bajo dan orang darat Kaledupa bisa dikatakan telah membaur. Orang Bajo sudah tidak mengalami ejekan-ejekan atau gangguan dari orang darat saat mereka beraktivitas di darat. “Kalau perasaan kita dengan orang darat saya rasa sudah biasa-biasa. Malah kalau dia lihat kita dia sering panggil kita. Malah sekarang kan banyak sudah yang kita kenal. Kalau seperti saya, saya tuh nda asing lagi di darat. Dimanapun di bagian Kaledupa ini orang tau saya.” tutur Pak Rustam menggambarkan perasaannya saat ini. Pak Rustam juga menambahkan bahwa saat ini orang Bajo pun sudah diundang ketika ada kenalan atau sanak keluarganya yang meninggal dunia, menyelenggarakan pernikahan, ataupun menyelenggarakan acara hiburan joget. Orang

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013

darat pun sudah sering mengunjungi pemukiman orang Bajo di Sampela untuk berbagai macam urusan seperti datang membeli ikan, menjual, menikmati hiburan dan mencari kebutuhan peralatan menangkap ikan. Keterbukaan dan penerimaan orang darat terhadap orang Bajo tidak hanya dialami oleh mereka yang ada di Pulau Kaledupa tetapi juga dialami oleh mereka yang tinggal di Pulau Wangiwangi. Meski dulunya kehadiran mereka ditolak oleh orang darat yang bermukim di wilayah adat Wanci dan Liya, perlahan-lahan penolakan itu juga sudah mengalami pengikisan sedikit demi sedikit. Orang Bajo saat ini sudah bebas berdomisili dimanapun mereka inginkan asal memenuhi persyaratan untuk tinggal. Tak heran, di Pulau Wangiwangi, orang bajo sudah ada yang berdomisili di Desa Patuno, Desa Patuno, Desa Waha, Desa Sombu, Desa Matahora yang merupakan desa-desa orang darat di Wangiwangi. Puncak dari penerimaan orang darat terhadap orang Bajo di Wakatobi terlihat ketika Ir. Hugua yang berpasangan dengan salah seorang putra Wakatobi yang memiliki keturunan Bajo, Ediarto Rusmin, BAE, memenangkan Pemilihan Kepala Daerah Wakatobi dan terpilih menjadi Bupati dan Wakil Bupati Wakatobi Periode 2006 – 2011. Keterbukaan dan penerimaan orang darat terhadap orang Bajo pada akhirnya memunculkan gelombang kebangkitan orang Bajo di berbagai aspek pembangunan. Kebangkitan orang Bajo di Wakatobi bisa kita rekam melalui beberapa arena sosial seperti pendidikan, aktivitas ekonomi dan apresiasi terhadap seni budaya orang Bajo. Habitus linguistik yang membedakan orang Bajo dengan orang darat utamanya orang Kaledupa menjadi problem tersendiri dalam komunikasi antar budaya dua kelompok tersebut. Masalah perbedaan habitus linguistik tersebut tergambar dari teman-teman sekolah La Toni sesama orang Bajo yang tak bisa berbahasa orang darat (Kaledupa) berakses hingga pada perkelahian yang melibatkan mereka dengan

51

orang darat hanya karena bahasa dan dialek orang Bajo dianggap aneh dan sering mendapat ejekan dari orang darat. Perlakuan orang darat terhadap orang Bajo kerapkali tidak diterima oleh pelajar dari kalangan Bajo hingga mereka terlibat perkelahian. Bahkan ketika kelas 3 SMA, La Toni, yang dalam kesehariannya di sekolah menggunakan bahasa orang darat sampai harus berkelahi dengan teman sekolahnya sendiri karena ada ejekan dari temannya terhadap Orang Bajo yang dianggapnya sudah sangat keterlaluan. Karena adanya ejekan-ejekan dari orang darat juga yang membuat banyak anakanak usia SMP dari Sampela bersekolah di Madrasah Tsanawiyah karena di sekolah itu, tidak terlalu disukai oleh orang darat. Kalaupun ada orang darat yang bersekolah MTsN, sudah pasti tidak nakal. Namun seiring dengan kian banyaknya pihak yang memberikan penyadaran dan informasi kepada orang Bajo, kenyataan saat ini menunjukkan perubahan ke arah yang lebih baik. Tantangan seperti yang dihadapi oleh La Toni dan Pak Natsir meski belum sepenuhnya hilang, namun sudah sangat jauh berkurang. Saat ini makin banyak masyarakat Bajo yang memandang sekolah merupakan sesuatu yang penting dijalani anak-anak mereka. Juga jarak antara sekolah dengan pemukiman mereka sudah tidak jauh lagi seperti dulu karena didirikan di tengah-tengah pemukiman mereka. Sebagai contoh, di Desa Sama Bahari sendiri saat ini telah berdiri dua unit TK, dua Unit SD, satu Unit SMP dan satu Unit SMA. Olehnya itu pada tidak heran saat ini di Desa Sama Bahari sudah terdapat 85 orang siswa SD, 37 orang siswa menengah pertama, 18 orang siswa menengah atas dan yang sedang menjalani pendidikan tinggi ada 10 orang. Perkembangan masyarakat Bajo saat era tahun 1980–1990-an generasinya sudah tidak berorientasi ke laut semata. Mereka mengalihkan orientasi sama dengan orientasi orang darat. Ada yang mau jadi PNS, lanjut sekolahnya smpai ke perguruan tinggi, ada yang jadi pengusaha, dagang, bahkan ada juga yang

52

terjun dalam dunia politik. Oleh karena itu, saat ini di Wakatobi kita dapat menemukan orang Bajo yang menjadi PNS, tukang ojek, pekerja di resort wisata, anggota parpol, anggota legislatif, dan aktivis LSM. Selain dari adanya perubahan orientasi pekerjaan dari yang semata-mata menjadi nelayan, kebangkitan orang-orang Bajo juga dapat ditelusuri pada kegiatan kenelayanan yang sudah menjadi trade mark orang Bajo selama ini. Nelayan-nelayan di Sampela banyak yang tidak lagi menjual langsung hasil tangkapannya ke pasar lokal seperti dulu. Mereka saat ini cukup menjual hasil tangkapannya ke papalele (pedagang pengumpul) yang datang dari daratan sehingga mereka masih dapat melakukan kegiatan lain yang mendatangkan uang seperti membuka warung atau kios. Bahkan di Mola, sudah ada enam orang Bajo yang menjadi pengumpul yang menjual ikan-ikan hasil tangkapan ke Surabaya dan Makassar. Selain itu, nelayan yang tinggal di Bajo Mola sudah lebih memiliki kuasa dalam menentukan harga ikan. Ini karena semenjak masuknya listrik ke perkampungan mereka, mereka tidak khawatir lagi ikannya akan busuk. Beda halnya dahulu saat es balok masih langka, saat hari menjelang sore, mereka terpaksa menjual ikannya dengan harga yang sangat murah karena tidak ingin ikannya busuk dan tidak dapat dijual lagi. Menarik untuk mengulas bagaimana kini orang Bajo memandang dan memaknai serta mendefenisikan identitasnya di masa kini? Jika puluhan tahun silam orang Bajo harus berhadapan dengan sejumlah ejekan dari orang darat yang berbuah pada mentalitas anak-anak Bajo yang menjadi pemalu dan minder ketika mengaku berasal dari Bajo saat berinteraksi dengan orang darat, apalagi jika ada sebagian anak-anak dari komunitas Bajo yang hendak bercita-cita sekolah setinggi-tinngginya harus berhadapan dengan berbagai tantangan baik itu yang berasal dari kelompoknya sendiri maupun dari masyarakat darat di Wakatobi. Dengan identitas sebagai suku laut yang tidak tersentuh pendidikan memadai telah melahir-

Tahara, Kebangkitan Identitas orang Bajo...

kan akibat psikologis yang aneh bagi orang Bajo Wakatobi. Mereka terjangkit kompleks keterasingan, kecenderungan pengucilan dan kurang percaya diri. Tetapi itu dulu. Sekarang situasinya mulai berubah semenjak pemukiman masyarakat Bajo yang mendiami Kampung Mola dan orang Bajo yang tinggal di Sampela mulai terhubung secara langsung dengan masyarakat di daratan Kepulauan Wakatobi. Relasi sosial orang Bajo – orang darat kini memasuki babak baru yang akan memberi warna tersendiri dalam dinamika masyarakat Wakatobi utamanya dalam kerangka integrasi sosial dan kultural. Perlahan-lahan orang Bajo yang sebelumnya asing dengan kehidupan di darat mulai belajar beradaptasi dengan caracara hidup orang darat. Sedangkan pada aras yang berbeda, orang darat akan lebih terbuka terhadap berbagai upaya yang dilakukan oleh orang Bajo untuk menyatu dengan masyarakat lainnya di Wakatobi. Tentunya, ketika intensitas interaksi orang Bajo dan orang darat makin intens, orang Bajo juga dihadapan oleh sejumlah tantangan (tanpa mengatakannya sebagai pembuktian) bahwa mereka bukanlah individu dengan citra yang dikonstruksi oleh orang luar selama ini. Mereka hendak melakukan transendensi diri keluar dari sekat-sekat menuju pada pembentukan identitas yang fleksibel. Orang Bajo hendak menjadi diri sendiri di tengah dinamika dan dialektika kebudayaan beserta relasi-relasi sosial yang mereka jalin dengan orang darat saat ini. Sebagai kelompok yang didominasi dan disematkan stereotip di masa silam, kini orang Bajo dengan modal kultural dan modal sosial yang dimiliki secara kreatif melakukan berbagai upaya untuk menyatu dengan orang darat. Dalam struktur masyarakat Wakatobi sebagai arena kontestasi, dalam rangka menunjukkan eksistensi kelompoknya maupun dalam upaya integrasi bangsa, maka orang Bajo mulai memanfaatkan relasi yang dijalinnya dengan orang darat saat ini sebagai strategi untuk membangun posisi tawar dengan

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013

kelompok atau kelas sosial lainnya di masyarakat sehingga mereka tidak harus hidup lagi dalam bayang-bayang sebagaimana stereotip yang disematkan pada kelompoknya di masa silam. Menurut T.K. Oommen (2009), dalam mendefinisikan sebuah entitas11, seseorang haruslah mempertanyakan dan sekaligus menjawab dua hal: apa kondisi minimal yang harus dipenuhi sebuah entitas untuk bertahan? Apakah ketiadaan atribut-atribut tertentu akan membahayakan eksistensi tersebut atau tidak? Dalam hal kalkulasi budaya yang dilakukan oleh orang Bajo demi menemukan ruang sosial baru di masyarakat, tentu mereka harus menghitung sumber daya yang mereka miliki sebagai kekuatan untuk bergerak lebih maju sembari merombak budaya yang selama ini membelenggu dan membuat orang Bajo susah berkembang dan maju. Identitas orang Bajo kini terus berdialektika, menjadi lebih terbuka dan kini bergerak berakulturasi dengan kebudayaan orang darat di Wakatobi. Dalam pandangan Giddens, diskursus identitas diri dan identitas sosial terus mengalami perubahan. Bagi Giddens, identitas diri tidak diwariskan atau statis, melainkan menjadi suatu proyek reflektif yang menjadi sebuah nilai dalam kehidupan seseorang. Identitas seseorang tidak dapat ditemukan dalam perilaku, maupun dalam reaksi orang lain, tetapi pada kemampuan untuk menjaga akan narasi tertentu. Kita membuat, memelihara dan merevisi sekumpulan narasi biografi, peran sosial dan gaya hidup serta cerita tentang siapa kita, dan bagaimana kita hadir dan hidup di situasi sekarang. Penjara identitas yang dilingkupi stereotipesebagai suku laut yang asing, tradisional dan masyarakat tak berpendidikan serta pernah terlibat dalam menyokong gerakan DI/TII yang 11 Dalam pandangan Oommen (1991), etnisitas adalah hasil dari tarik menarik antara teritori dan budaya. Jika suatu etnis berusaha dan sukses dalam membangun klaim terhadap teritori yang ditempatinya dan dengan teritori itu etnis tersebut menganggapnya sebagai tanah air, maka etnis itu bisa dianggap sebagai bangsa. Bangsa adalah kolektifitas yang telah berhasil membangun klaim terhadap teritori yang ditempatinya; bangsa adalah gabungan antara teritori dan budaya yang kemudian melahirkan perasaan satu bangsa. Dan bahasa adalah komponen penting dalam pembentukan suatu bangsa.

53

melekat pada orang Bajo oleh sejumlah narasi di masa lalu, kini perlahan berusaha dikikis oleh orang Bajo melalui ranah pendidikan, sosial dan ekonomi. Orang Bajo kini makin sadar betapa pentingnya anak-anak mereka untuk mengenyam dunia pendidikan guna memutus rantai kebodohan yang selama ini membelenggu mereka. Orang Bajo juga mulai belajar menemukan pekerjaan lain untuk bertahan hidup yang mana sebelumnya mereka sangat bergantung pada pemanfaatan sumberdaya yang ada di laut. Mereka perlahan mulai merambah sektor-sektor ekonomi informal. Kini orang Bajo juga mulai membiasakan diri untuk menyisihkan sebagian pendapatannya untuk keperluan di hari esok, dimana sebelumnya mereka terbiasa menghabiskan pendapatan yang mereka dapat setelah seharian bekerja di laut untuk dipertukarkan dengan kebutuhan sehari-hari tanpa menyisihkan sedikitpun untuk ditabung. Kekar Bajo: Reposisi Kelembagaan Orang Bajo Sebagai suku bangsa yang memiliki kebudayaan maritim yang tangguh dan laut sebagai totalitas hidupnya, orang Bajo memilih hidup di pulau- pulau di tengah lautan dari pada harus bersosialisasi di darat. Kondisi yang menyebabkan orang Bajo sering diidentikkan dengan kemiskinan dan ketertinggalan. Bagi orang Bajo, pendidikan belum dipandang sebagai prioritas hidup, meskipun akhir-akhir ini kesadaran akan pendidikan sudah ada. Betapa sulitnya orang Bajo menghadapi kehidupan sosialnya, mereka mampu bertahan dengan kerasnya hidup di lautan dengan menjadi nelayan. Pulau Sama Bahari, pulau yang dihuni 364 keluarga Bajo cukup menggambarkan bentuk kehidupan mereka. Di Pulau Karang yang terletak di antara gugusan pulau-pulau Kabupaten Wakatobi, terlihat rumah-rumah penduduk terbuat dari bambu. Kemiskinan orang Bajo terpancar nyata yang hanya bekerja sebagai nelayan tradisional. Dari segi pendidikan pun tertinggal

54

jauh. Di Pulau Sama Bahari, hanya berdiri satu sekolah dasar. Kalau hendak masuk kesekolah lanjutan, harus menyeberang ke pulau terdekat dan kondisi inilah yang menyebabkan Orang Bajo sulit untuk maju karena tradisi sebagai nelayan turun-temurun sangat kuat dan pekerjaan utama dengan keterbatasan pengetahuan. Sebagai putra Bajo yang telah memiliki pendidikan tinggi dan posisi penting di pemerintah Abdul Manan, berkeinginan untuk memajukan Suku Bajo khususnya dalam hal pendidikan dan mengangkat derajat Suku Bajo yang saat ini masih tertinggal. Sebagai bentuk nyata untuk memajukan Suku Bajo dari ketertinggalan dengan suku lain, mereka mementuk “Kekar Bajo” atau Kerukunan Keluarga Bajo yang anggotanya tersebar di seluruh Indonesia bahkan menjalin hubungan dengan orang Bajo yang terpencar di tiga negara lainnya, Malaysia, Thailand, dan Filipina dengan membentuk The Bajau International Communities Confederation (BICC). Untuk memajukan orang Bajo di Indonesia, ia harus mendapatkan bantuan dari Suku Bajo di negara lain yang lebih maju. Keeratan orang Bajo empat negara ini tidak terlepas dari asalusul etnik ini. Abdul Manan sebagai Presiden Bajo Indonesia menjelaskan bahwa dalam salah satu versi disebutkan orang Bajo berasal dari Johor, Malaysia yang terdampar di Sulawesi Selatan saat melaut. Itu sebabnya di daerah pesisir Bone, Sulawesi Selatan, terdapat Desa Bajo. Tapi ada juga versi lain yang berkembang yang menyebutkan Suku Bajo berasal dari Palopo, Sulawesi kemudian berkembang hingga ke seluruh wilayah Indonesia. Di Indonesia, pemukiman Orang Bajo selain di Sulawesi Selatan ada juga di Flores, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Kalimantan, Sumatera, dan Gorontalo. Meski demikian, lebih banyak yang menerima versi asal-usul Orang Bajo dari Johor. Hal itu juga melihat keberadaan orang Bajo di Malaysia yang berkembang luas. Kesadaran bahwa orang Bajo bukan suku yang berasal dari satu negara, dan mereka sepakat

Tahara, Kebangkitan Identitas orang Bajo...

mengklaim sebagai suku dunia. Orang Bajo sudah mencatatkan diri mereka sebagai putra dunia di UNESCO, PBB dan orang Bajo bukan suku milik suatu negara. Pembentukan BICC diupayakan untuk membantu kesejahteraan orang Bajo secara ekonomi, memajukan pendidikan serta melestarikan budaya. BICC harus bisa memberi beasiswa kepada anak-anak Bajo. BICC diketuai salah satu anggota Parlemen Sabah, Datuk Sri Saleh Keruak yang juga merupakan anak Bajo. Dibandingkan empat negara itu, orang Bajo di Indonesia paling tertinggal. Orang Bajo di Malaysia, meski nelayan sama seperti di Indonesia tapi bukan lagi nelayan tradisional karena nelayan Bajo Malaysia sudah maju. Bahkan di wilayah Phuket tempat wisata terkenal di Thailand adalah salah satu bisnis orang Bajo. Kondisi inilah yang mendorong Presiden Bajo Indonesia bertekad kuat untuk memajukan Orang Bajo di Indonesia harus bisa sebanding dengan orang Bajo di negara lain. Penutup Pasca reformasi di Indonesia, banyak kalangan yang mewacanakan tentang bangkitnya kembali kesadaran identitas budaya dan identitas etnik di Indonesia, khususnya pada berkembangnya gerakan-gerakan sosial yang berupaya untuk memunculkan kembali eksistensi masyarakat lokal maupun identitas budaya lokal. Manifestasinya pun beragam, sepertinya adanya gerakan sosial yang mengartikulasikan kembali proses pembentukan suatu identitas dengan tujuan untuk menegaskan kembali keberadaan suatu entitas sosial yang khas, atas dasar adanya kesamaan budaya, asal usul, kekerabatan, bahasa, agama, territorial, dan setimen primordial. Pada taraf yang paling ekstrim, gerakan-gerakan sosial kadang berkembang menjadi sebuah perlawanan terhadap negara yang mengancam integrasi bangsa dan harmoni sosial dalam tatanan kehidupan bersama di tanah air ini. Meskipun berbagai upaya dan strategi telah dilakukan oleh pemerintah, namun upaya tersebut belum juga dapat menghilangkan perasaan sentimen etnis,

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013

prasangka, stereotip, dan bahkan mengarah pada konflik sosial. Dalam proses interaksi antar etnik di berbagai arena sosial, masih ada prasangka dan stereotipe etnik 4terhadap orang Bajo sebagai orang kotor, bodoh, dan bahkan sebagai kelompok perampok di laut. Sebagai kelompok yang disematkan stereotip, Suku Bajo mengembangkan strategi dengan mengembangkan politik identitas sebagai bentuk pengakuan atas etnik yang sejajar dengan kelompok lain. Jika prasangka dan stereotipe ini terus direproduksi maka akan terjadi konflik yang berkepanjangan antar etnik dan mengancam stabilitas bangsa. Kebangkitan identitas orang Bajo di Wakatobi merupakan relasi mereka atas kelompok lain. Seperti istilah Murray Li (2012) kebangkitan ini merupakan “pengarahan perilaku” yang bekerja dengan mengarakan minat, membentuk kebiasaan, cita-cita dan kepercayaan. Dalam hal memperbaiki kehidupan kelompoknya, mereka sadar atas rasional yang khas yakni “jalan penting untuk menata kehidupan”. Dengan munculnya politik identitas orang Bajo dalam bentuk gerakan-gerakan konstruksi identitas etnik, semestinya pemerintah memahami dan memberi ruang bagi orang Bajo dan memperkuat pemahaman multikulturisme. Di sisi lain, perlu menciptakan kondisi struktural yang menjamin heterogenitas komunitas, terutama mengurangi rasisme institusional dengan tidak membatasi ruang gerak suatu kelompok tertentu dalam aspek sosial, ekonomi, budaya, ataupun politik. Identitas etnik dan hidup harmoni berdampingan antaretnik berfungsi sebagai norma regulasi interaksi. Dengan memberi ruang kultural (bahari) orang Bajo, maka kondisi ini menjadi perekat bangsa Indonesia sebagai negara yang multietnik dan beragam budaya. Selain itu, pemerintah mestinya memanfaatkan potensi sosial budaya orang Bajo dalam menunjang proses pembangunan khususnya pembangunan kelautan.

55

Daftar Pustaka Abdilah S, Ubed 2002 Politik Identitas: Pergulatan Tanpa Identitas. Magelang: Indonesiatera. Abu-Lughod, Lila 1989 “The Romance of Resistance: Tracing Transformations of Power Through Bedouin Women”. American Ethnology, 32(27--39). Akamichi, Tomoya, and Dedi A Supriadi 1996 Marine Resource Use in the Bajo of Nort Sulawesi an Maluku Indonesia, “Senri Ethnological Studies” No. 42. Bourdieu, Pierre 2010 Arena Produksi Kultural: Sebuah Kajian Sosiologi Budaya, Terjemahan Yudi Santoso. Bantul, Kreasi Wacana. Eriksen, T. Hylland 1993 Ethnicity Nationalism; Anthropologycal Perspective. London: Pluto Press. Gelner, Ernest, 1983 Nations and Nationalism. Cornel University Press Giddens, Anthony 1991 Modernity and Self-Identity, Cambridge, Polity Press. Hamid, Abd Rahman 2010 Spirit Bahari Orang Buton, Yogyakarta, Penerbit Ombak. Horridge, Adrian 1986 Sailing Craft of Indonesia. Oxfor University Press, Oxford, New York. Lampe, Munsi dkk. 2010 Menggali Kelembagaan Lokal dan Wawasan Budaya Bahari yang Menunjang Bagi Penguatan Integrasi Bangsa dan Harmoni Sosial di Indonesia, Laporan Penelitian Strategi Nasional, Dikti Kementerian Pendidikan Nasional RI Lapian, Adrian B 1997 Research on Bajau Communities: Maritime People in Southeast Asia. Widyakarya Nasional Antropologi dan Pembangunan. Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Dirjen Kebudayaan Depdikbud, Jakarta. Leonard Y, Andaya 1984 Aquatic Population-Historical Links Between the Aquatic Populations and The Coastal Peoples of the Malay World and Celebes”, dalam Muhammad Abu Bakar dkk., Historia (Makalah yang ditulis untuk memperingati ulang tahun ke-25 Jurusan Sejarah, University of Malaya) Maunati, Yekti 2004 Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan. Yogyakarta: LKIS.

56

Tahara, Kebangkitan Identitas orang Bajo...

Murray Li, Tania 2012 The Will To Imprve: Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan di Indonesia, Jakarta, Margin Kiri. Oommen, TK 2009 Kewarganegaraan, Kebangsaan, dan Etnisitas: Mendamaikan Persaingan Identitas, Bantul, Kreasi Wacana Robert Zacot, Francois 2008 Orang Bajo Suku Pengembara Laut: Pengalaman Seorang Antropolog, Jakarta, Kepustakaan Populer Gramedia. Rudyansjah, Tony 1997 Kaomu, Walaka, dan Papara: Satu Kajian Mengenai Struktur Sosial dan Ideologi Kekuasaan di Kesultanan Wolio, Jurnal Antropologi Indonesia No. 52. Southon, M. 1995 The Navel of The Perahu: Meaning and Values in The Maritime Trading Economy of Butonese Vilage. Canberra: Dept. of Anthropology Australian National University. Suparlan, Parsudi. 2004 Hubungan Antara Sukubangsa, Jakarta: YPKIK. Tahara, Tasrifin 2010 Reproduksi Stereotipe dan Resistensi Orang Katobengke Dalam Struktur Masyarakat Buton, Disertasi Program Doktor Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indoesia, Depok. Thomas, Linda (Peny.). 2004 Language, Society, and Power an Introduction”, London, Routledge. Thung, Ju Lan 1997 Identities in Flux: Young Chinese in Jakarta. Karya Disertasi, Svhool of Sociology, Politics and Social Sciences, Latrobe University, Bundoora,Victoria, Australia. Tsing, Anna Lowenhaupt 1993 In The Realm of the Diamond Queen, Marginality in an Out the Way Place. Pricenton University Press. Woodward, Kathryn 1997 Identity and Difference. London: Sage Publications. Zuhdi, Susanto 2010 Budaya Maritim, Kearifan Lokal dan Diaspora Buton. Makalah yang dipresentasikan pada The 2nd ICSSSIS 2010 (International Conference on Indonesian Studies. 9 Agustus 2010 Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Depok.

ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 34 No. 1 2013

57

58

Tahara, Kebangkitan Identitas orang Bajo...

• Panduan Penulisan untuk Kontributor

• Guidelines for contributors

Antropologi Indonesia diterbitkan dengan tujuan ikut mengembangkan ilmu antropologi sosial dan budaya di Indonesia. Jurnal ini menggunakan sistem mitra bebestari (Peer-Review) dalam proses pemilihan naskah yang akan diterbitkan. Redaksi menerima sumbangan artikel baik yang bersifat teoretis, maupun hasil penelitian etnografi. Karangan tersebut tidak harus sejalan dengan pendapat redaksi. Kriteria artikel yang dapat dimuat dalam jurnal ini dapat dipisah menjadi empat bagian. Pertama, adalah artikel hasil penelitian etnografi atau kualitatif mengenai topik tertentu yang berkaitan dengan kelompok etnik/kelompok sosial di Indonesia; Kedua, Hasil penelitian terapan, kolaboratif, dan juga hasil penelitian yang dihasilkan dari pengalaman keterlibatan penulis dengan masyarakat/komunitas, semisal program-program intervensi yang berhubungan dengan relasi kebudayaan, politik, lingkungan, dan pembangunan; Ketiga, adalah Pembahasan/diskusi mengenai teori/metodologi dalam ilmu antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya yang berkaitan dengan diskursus teoritik di antropologi; dan terakhir adalah tinjauan buku terhadap buku teks antropologi atau ilmu-ilmu sosial lainnya. Buku yang dikaji berlaku untuk buku yang diterbitkan dalam 3 tahun terakhir untuk terbitan dalam negeri dan 5 tahun terakhir untuk terbitan luar negeri. Artikel yang masuk masih akan disunting oleh Dewan Redaksi. Naskah dapat dikirimkan kepada Redaksi melalui email [email protected] dalam format program MS Word, spasi rangkap, dengan ukuran kertas letter dan margin normal. Panjang tulisan maksimal 5000 kata. Mohon agar disertakan abstrak maksimal 250 kata dalam bahasa Inggris dan sekaligus abstrak berbahasa Indonesia. Disertai dengan minimal tiga kata kunci dan maksimal enam kata kunci. Penulis juga diharapkan mengirimkan alamat kontak dan nomor telepon. Sistematika penulisan harus dibuat dengan mencantumkan pendahuluan, pembahasan/ulasan (jika artikel bersifat teoritik/metodologi bagian ini adalah ulasan yang mendukung argumen di sub bab pertama) , dan penutup /kesimpulan. Semua catatan dalam artikel hendaknya tersusun rapi dengan ketentuan penulisan ilmiah yang berlaku. Begitu pula dengan catatan kaki, agar ditulis di bagian bawah halaman, bukan pada bagian belakang artikel. Kemudian untuk daftar pustaka dibuat merujuk pada gaya penulisan AAA (American Anthropologist Association) Style, dengan beberapa modifikasi sebagaimana ditunjukan pada contoh berikut abjad sebagai berikut:

Antropologi Indonesia was published to develop and enrich scientific discussion for scholars who put interest on socio-cultural issues in Indonesia. These journals apply peer-reviewed process in selecting high quality article. Editors welcome theoretical or research based article submission. Author’s argument doesn’t need to be in line with editors. the criteria of the submitted article covers the following types of article: first, the article presents the results of an ethnographic/qualitative research in certain topic and is related with ethnic/social groups in Indonesia; second, the article is an elaborated discussion of applied and collaborative research with strong engagement between the author and the collaborator’s subject in implementing intervention program or any other development initiative that put emphasizes on social, political, and cultural issues; Third, a theoretical writing that elaborates social and cultural theory linked with the theoretical discourse of anthropology, especially in Indonesia anthropology; last, the article is a critical review of anthropological reference and other ethnography books that must be published at least in the last 3 years. Submitted article will be selected and reviewed by editorial boards. The submission should be in soft copy format and must be sent to journal.ai@gmail. com in Ms Word file format, double spaces, with letter size paper. The length of the article should not exceed 5000 word. Please also attach abstract with maximum of 250 words length in English and Bahasa, and six keywords. Author should write their institution postal address and also the phone contact in first part of the article. Article should meet the following structures: introduction, supporting data and the ground of author argument (for articles that are theoretical or methodological should include theoretical discussion and literature study), and conclusion. All references in the articles should be neatly put in a proper format. Footnotes should be written on the bottom part of every page, do not put them at the end of article. Bibliography should follow the AAA (American Anthropologist Association) Style, with some adjustment as follow:

Geertz, C. 1984 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, dalam Koentjaraningrat (peny.) Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hlm. 246–274. Koentjaraningrat. 1974 Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan. Manoppo-Watupongoh, G.Y.J. 1995 ‘Wanita Minahasa’, Antropologi Indonesia 18(51):64–74.

If it is a chapter in a book, or an article in a journal please give the title of book/journal and the page numbers. In the case of journal please give the Volume and issue number. e.g.

Gilmore, D. 1990 Manhood in the Making: Cultural Concepts of Masculinity. New Haven and London: Yale University Press.

Geertz, C. 1980 ‘Tihingan: Sebuah Desa di Bali’, in Koentjaraningrat (ed.) Masyarakat Desa di Indonesia. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pp.246–274.

Marvin, G. 1984 ‘The Cockfight in Andalusia, Spain: Images of the Truly Male’, Anthropological Quarterly 57(2):60–70. copyright © 2013 ANTROPOLOGI INDONESIA Pusat Kajian Antropologi, Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Lantai 1, Gedung B, Kampus Universitas Indonesia, Depok, 16424 Phone/Fax: +62 21 78881032 e-mail: [email protected]

ANTROPOLOGI INDONESIA VOL. 34 NO. 1 2013

Tentang Kata Korupsi yang Datang Silih Berganti: Suatu Penjelasan Budaya Muhammad Nasrum

1

Totua Ngata dan Konflik (Studi atas Posisi Totua Ngata sebagai Lembaga Adat Di Kecamatan Marawola) Hendra

15

Sekerei Mentawai: Keseharian dan Tradisi Pengetahuan Lokal yang Digerus oleh Zaman Lucky Zamzami

29

Kebangkitan Identitas Orang Bajo di Kepulauan Wakatobi Tasrifin Tahara

41

Marapu: Konstruksi Identitas Budaya Orang Sumba, NTT Purwadi Soeriadiredja

59

‘Memanusiakan Manusia’ dalam Lingkungan yang Tangguh: Mengapa ‘Jauh Panggang dari Api’? Yunita T. Winarto

75

Budaya Penjara: Arena Sosial Semi Otonom di Lembaga Pemasayarakatan “X” A. Josias Simon Runturambi

91