jurnal geologi indonesia - Universitas PGRI Palembang

23 Mar 2009 ... 1970an. Peta Geologi memuat informasi mengenai data geologi seperti litologi, umur batuan, struktur geologi, dan perkembangan tektonik...

10 downloads 654 Views 4MB Size
 W a r t a

Geologi September 2009

Pengantar Redaksi Pembaca yang budiman

Artikel ketiga merupakan sumbangan salah

Dalam Warta Geologi edisi nomor 3 tahun

seorang Profesor Riset Badan Geologi, Hamdan

2009 ini, dewan redaksi menyuguhkan tiga

Z. Abidin bersama rekan Baharudin. Tulisan

artikel utama dalam rubrik “Geologi Populer”,

berjudul “Peta Geologi Indonesia, Proses dan

dua artikel dalam rubrik “Lintasan Geologi”,

Manfaatnya” mengupas mengenai proses

sebuah artikel dalam rubrik “Geofakta”,

pembuatan Peta Geologi oleh Pusat Survei

sebuah “profil”, dan sebuah artikel dalam

Geologi - Badan Geologi sejak awal tahun

“Layanan Informasi Geologi”. Selain itu

1970an. Peta Geologi memuat informasi

disajikan pula beberapa berita dalam “Seputar

mengenai data geologi seperti litologi, umur

Geologi”.

batuan, struktur geologi, dan perkembangan tektonik daerah bersangkutan yang sangat

Artikel pertama dalam rubrik “Geologi

berguna bagi kepentingan potensi sumber

Populer” berjudul “Suka Duka ‘Berburu’

daya,

Batugamping Tersier di Pegunungan Duabelas,

pekerjaan-pekerjaan teknik sipil, dan mitigasi

Jambi” dan merupakan bagian pertama dari

bencana geologi. Namun sayang sekali, sejak

dua tulisan sumbangan Rian Koswara dan

adanya regulasi Otonomi Daerah, pekerjaan

Nana Suwarna. Tulisan ini merupakan catatan

pembuatan Peta Geologi ini terhenti karena

pengalaman para penulisnya saat bertugas di

terkendala oleh tidak tersedianya sarana dan

lapangan mencari singkapan batugamping

sumber daya manusia di daerah-daerah.

usaha

pertambangan,

pertanian,

Formasi Baturaja di tahun 2006. Dalam Peta Geologi Lembar Muarabungo (Simanjuntak

Pembaca yang budiman,

drr., 1996) atau laporan geologi lainnya

Artikel-artikel dalam rubrik “Lintasan Geologi”

kehadiran

mengupas

Duabelas

batugamping belum

di

pernah

Pegunungan

mengenai

peristiwa

Gempa

diinformasikan.

Bumi Tasikmalaya tanggal 2 September

Penemuan ini serta suka duka perjalanannya

2009 dan dampaknya. Donny Hermana

kiranya bisa menggambarkan seperti apa

melaporkan peristiwa longsor yang terjadi

pekerjaan seorang geolog di lapangan.

di Bukit Urug Hanafi di Kampung Babakan Caringin, Kecamatan Cibinong, Kabupaten

Artikel kedua berjudul “Hubungan antara

Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Sementara

Letusan Gunung Api dengan Salah Satu

Rudy Suhendar drr. menguraikan analisis

Penyebab

Tulisan

kerusakan bangunan-bangunan di berbagai

dan

lokasi gempa dikaitkan dengan geologi

sumbangan

Proses

Karstifikasi”.

Wawan

Hermawan

Hermawan ini menyatakan bahwa penyebab

lingkungan.

proses karstifikasi di daerah Sukolila dan Tuban adalah hujan asam yang disebabkan

Selanjutnya rubrik “Profil” mengangkat profil

oleh gas-gas vulkanik hasil letusan gunung

seorang pegawai UPT Museum Geologi

api.

di lingkungan Badan Geologi bernama Iwan Kurniawan. Dewan Redaksi sengaja Pengantar Redaksi 

Pengantar Redaksi mewawancarai

Iwan

atas

prestasinya

Raya Idul Fitri 1 Syawal 1430 H kepada

menemukan fosil gajah purba “elephas sp”

para pembaca Warta Geologi, mohon maaf

di Dusun Sunggun, Kelurahan Medalem,

lahir batin kiranya apabila dewan redaksi

Kradenan, Kabupaten Blora, Provinsi Jawa

melakukan kesalahan pemberitaan dalam

Tengah. Penemuan fosil ini terhitung penting

media Warta Geologi terbitan Badan Geologi

karena

ini.

memberikan

informasi

untuk

melengkapi “missing link” evolusi gajah purba di Asia Tenggara.

Akhir kata, selamat menikmati Warta Geologi edisi 3 Tahun 2009.n Redaksi

Terakhir rubrik “Layanan Informasi Geologi” Warta Geologi mengupas Jurnal Geologi Indonesia sebagai jurnal ilmiah kebumian terbitan Badan Geologi yang menjadi wadah tulisan ilmiah bagi para pejabat fungsional di lingkungan Badan Geologi dan instansi lainnya. Kiprah Jurnal Geologi Indonesia terhitung penting setelah pada tahun 2008 menggagas terbentuknya Forum Komunikasi Editor Jurnal Kebumian (ejb). Forkom ejb ini memiliki tujuan untuk menjalin komunikasi antar pengelola dan dewan redaksi jurnal kebumian dalam pengelolaan jurnal masingmasing. Pembaca yang budiman, Dewan Redaksi Warta Geologi mengucapkan terima kasih atas sumbangan tulisan pada edisi ini dan senantiasa mengajak para pembaca

khususnya

para

peneliti

dan

pengamat bidang geologi dari dalam dan luar lingkungan Badan Geologi untuk menulis. Mari kita menumbuhkan budaya menulis dan membaca dengan mulai menyemarakkan Warta Geologi ini dengan tulisan-tulisan ilmiah populer anda. Dengan ini juga segenap Dewan Redaksi Warta Geologi mengucapkan Selamat Hari  W a r t a

Geologi September 2009

Editorial

Fosil, Menyambung Mata Rantai yang Hilang Suatu kaidah yang dikemukakan oleh James Hutton kemudian dipegang teguh oleh para ahli geologi, yaitu “Present is The Key to The Past”, yang maknanya adalah fenomena yang tampak pada masa kini adalah kunci masa lalu.

di beberapa tempat di Pulau Jawa, Sulawesi dan Flores menjadi suatu temuan yang dapat merangkai cerita bahwa gajah adalah binatang yang tangguh dan berhasil mengembara melintasi Garis Wallace.

Salah satu kunci masa lalu adalah fosil. Sebagaimana yang kita ketahui bahwa secara definisi fosil diartikan sebagai bukti kehidupan organisme yang terawetkan pada lapisan batuan dalam kurun waktu yang sangat lama, puluhan ribu hingga jutaan tahun. Dengan demikian sejarah dan lingkungan kehidupan pada masa lalu dapat diketahui dengan menelusuri dan menemukan keberadaan fosil pada suatu wilayah. Kata fosil sendiri berasal dari bahasa Latin, yaitu fossa yang berarti “menggali keluar dari dalam tanah”.

Suatu kisah yang menarik untuk disimak adalah kebiasaan orang Flores (masih berlaku sampai saat ini) dalam hal pernikahan. Seorang calon pengantin pria diharuskan menyediakan gading gajah sebagai mas kawin bagi calon mempelai wanita yang dikenal dengan “belis”. Untuk saat ini kebiasaan tersebut terasa ganjil karena pada masa sekarang diketahui secara luas bahwa gajah hanya hidup di Pulau Sumatera. Dari penjelasan di atas dengan ditemukannya fosil gajah antara lain di Flores, sedikit membuka cakrawala berfikir bahwa boleh jadi kebiasaan tersebut sudah berlaku sejak dahulu kala yang ketika itu sangat memungkinkan karena memang ada binatang gajah yang hidup di Tanah Flores. Memang tidak mudah meninggalkan kebiasaan nenek moyang yang sudah berlaku turun-temurun meskipun secara nalar tidak masuk akal.

Seorang naturalis berkebangsaan Inggris bernama Alfred Russel Wallace yang memproklamirkan biogeografi, pada tahun 1865 membagi wilayah Indonesia atas dua bagian berdasarkan keberadaan fauna dan flora, ternyata kemudian juga dari sisi geologi, menjadi bagian barat dan bagian timur. Bagian barat dimulai dari Sumatera, berlanjut ke Jawa dan berakhir di Kalimantan. Adapun bagian timur dimulai dari Pulau Sulawesi, merambah ke selatan mencapai Nusa Tenggara, berbelok ke Maluku dan berakhir di Papua. Garis batas antara kedua wilayah tersebut dimulai dari Sangihe, Sulawesi Utara melalui Selat Makassar dan berujung di Timor, Nusa Tenggara Timur sepanjang 5000 km yang kemudian dikenal dengan “Garis Wallace” (Wallace’s Line). Korelasi antara penemuan suatu fosil dengan Garis Wallace adalah pembuktian bahwa garis biogeografi adalah suatu kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Meskipun demikian, beberapa makhluk hidup di masa lalu ternyata berhasil melampaui garis tersebut, salah satunya adalah gajah. Ditemukannya fosil binatang besar tersebut

Pada 23 Maret 2009 secara tidak sengaja seorang peneliti dari Museum Geologi, Badan Geologi terperanjat melihat seonggok gading yang sudah membatu menyembul dari longsoran penggalian pasir penduduk di Dusun Sunggun, Desa Mendalem, Kecamatan Kradem, Kabupaten Blora, Jawa Tengah. Dari penggalian yang dilakukan lebih lanjut, ternyata fosil gajah tersebut adalah fosil vertebrata yang terlengkap (90% utuh) sejak perburuan yang sudah dilakoni oleh para ahli paleontolog sejak tahun 1850. Penemuan tersebut tentu merupakan hal yang luar biasa dan patut diacungi jempol. Fosil gajah tersebut adalah jenis Elephas hysudrindicus, Mbahnya gajah purba.n Salam Redaksi

Editorial 

Geologi Populer

Suka Duka “Berburu” Batu Gamping Tersier di Pegunungan Duabelas, Jambi (Bagian 1)

Oleh: Rian Koswara dan Nana Suwarna

M

eskipun sama-sama di hutan, tidak seperti pemburu binatang yang dilengkapi dengan senapan,

panah, atau pun golok panjang, pemburu batugamping hanya dilengkapi dengan peralatan standar geologi lapangan, yakni kompas dan palu geologi, loupe, GPS, kamera, dan alat ukur jarak, serta buku catatan. Yang diburu pun bukanlah makhluk hidup yang harus dikejar karena bisa berlarian, namun singkapan batugamping yang diam di tempat. Batugamping ini merupakan batugamping Formasi Baturaja berumur Miosen, yang di wilayah Cekungan Sumatra Selatan dianggap sebagai batuan waduk (reservoir) minyak

bumi.

Episode

kesatu

pelaksanaan

perburuan ini berlangsung pada 2006..

 W a r t a

Geologi September 2009

Tim terpaksa memotong pohon tumbang yang menghalangi lintasan Sungai ­Kejasung. (Foto: N. Suwarna).

Peta lokasi dan geologi daerah perburuan (Simanjuntak drr., 1996).

Mendorong dan Menekan Perahu agar bisa masuk melalui sela-sela pohon tumbang. (Foto: R. Koswara).

Lokasi perburuan terletak di kaki timur laut Pegunungan Duabelas, hulu Sungai Kejasung dan sekitarnya yang secara administratif termasuk Desa Batusawar, Kecamatan Maro Sebo Ulu, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi. Wilayah kaki dan lereng Pegunungan Duabelas ini merupakan kawasan hutan lindung/suaka Taman Nasional Pegunungan Duabelas dan dihuni oleh suku Anak Dalam.

mereka, yakni Temenggung Jelitai. Alasan lain penghadangan itu adalah faktor balas dendam. Porter kami yang berasal dari Desa Peninjauan bukan suku Anak Dalam, akan ditangkap. Kejadian ini dilandasi oleh keinginan balas dendam pemuda suku Anak Dalam terhadap sebagian pemuda desa, karena beberapa waktu lalu saat mereka pergi ke Desa Peninjauan, mereka dianiaya oleh pemuda desa tersebut.

Lokasi batugamping dapat dicapai dari Desa Batusawar melalui sungai dengan menggunakan perahu dayung, diselingi jalan kaki atau menarik perahu tersebut pada bagian-bagian sungai yang dangkal atau arusnya deras atau yang alirannya tertutup oleh balok-balok kayu hasil penebangan liar.

Setelah dijelaskan duduk perkaranya dan semua pihak mengerti, kami diperkenankan melanjutkan perjalanan. Seluruh perlengkapan kami yang tadinya dirampas dikembalikan semua, kecuali seperiuk nasi beserta lauknya dan seperiuk bubur kacang hijau.

Suka Duka Perjalanan Kengerian, duka, dan suka bercampur aduk dalam perburuan pertama ini. Ketika rombongan sedang melintasi sungai, perahu kami dihadang oleh sekelompok Suku Anak Dalam. Suku Anak Dalam ini dalam istilah lama disebut Suku Kubu. Kami dilarang melanjutkan perjalanan oleh mereka, karena belum ada izin dari kepala suku

Hambatan ini sebenarnya dapat diatasi jika kami sebelumnya meminta izin dari Temenggung (Kepala Suku) lainnya yang berada di tepi barat Pegunungan Duabelas, yakni di wilayah Air Hitam, Kabupaten Sarolangun. Namun hal ini tidak mungkin kami lakukan, sebab kami berada di bagian timur Pegunungan Duabelas. Akibat adanya hambatan-hambatan teknis maupun­ non teknis dalam perjalanan berburu lewat ­ sungai Geologi Populer 

Geologi Populer ini, maka kami tidak dapat mencapai sasaran perburuan. Sukanya, adalah kami dapat menemukan pengalaman baru, yakni dalam perjalanan lewat sungai ini, penulis kesatu, selain melaksanakan tugas utama berburu batugamping, juga harus siap menjadi pendayung perahu, akibat kurangnya tenaga bantuan setempat. Selain itu, dicegat dan dilarang serta sedikit diancam untuk melanjutkan perjalanan oleh Suku Anak Dalam, maupun tidur di tenda tepi sungai dengan perasaan waswas, trauma didatangi oleh Suku Anak Dalam malammalam, merupakan pengalaman berharga.

Penulis ke-1 yang berfungsi ganda menjadi juru dayung. (Foto: N. Suwarna).

Penulis ke-1 menarik perahu di air agak dangkal, tapi cukup deras, di S. Kejasung Besar, bersamasama dengan tenaga setempat. (Foto: N. Suwarna).

Tumpukan balok-balok kayu (log) sisa pembalakan liar, yang menutupi aliran Sungai Kejasung. (Foto: A. K. Permana).

 W a r t a

Geologi September 2009

Pengalaman unik lainnya, yakni saat kami berniat melakukan hajat besar atau pun kecil di sungai maka kami diharuskan berteriak-teriak terlebih dahulu untuk memberitahu warga suku Anak Dalam, terutama kaum perempuannya, di sekitar tempat tersebut bahwa kami sedang melaksanakan hajat. Ada ketentuan yang tidak tertulis, apabila “kepunyaan laki-laki” kaum pendatang terlihat oleh perempuan suku Anak Dalam atau sebaliknya, maka si pendatang akan kena denda. Dendanya berupa seekor kambing dewasa atau kain sarung batik sebanyak dua puluh lima lembar. Hal lain, jangan coba-coba berani memotret perempuan suku Anak Dalam, bila larangan ini dilanggar anda bisa disandera suku Anak Dalam. Sementara itu, yang paling utama adalah dukanya, karena sudah lewat tujuh hari perjalanan kami merasa bekerja sia-sia, akibat tidak mendapatkan apa yang kami buru. Penyebab lainnya yang merupakan hambatan perjalanan ini adalah adanya rombongan pencari harta karun yang didampingi oleh seorang penduduk desa yang memutarbalikkan fakta agar mereka bebas dan lancar kerja. Penunjuk jalan tersebut menginformasikan kepada penduduk yang dilewati, baik orang desa maupun suku Anak Dalam, bahwa mereka adalah para geolog petugas dari Jakarta yang sedang melakukan survei, sedangkan rombongan kami diberitakan sebagai pencari harta karun. Untuk mencapai sasaran perburuan, taktik pun perjalanan diubah. Sekarang kami laksanakan lewat darat. Pertama, dari Desa Batusawar kami menggunakan sepeda motor sampai batas hutan tempat pemukiman Suku Anak Dalam, dengan melewati jalan bekas perusahaan kayu, yang sangat becek dan lengket karena sedang musim penghujan, namun sangat berdebu di musim kemarau. Selanjutnya masuk jalan setapak, yang di beberapa tempat terhalangi oleh bergelimpangannya batang-batang kayu, sehingga kami kadang-kadang terpaksa memikul bersamasama kendaraan motor tersebut. Sehubungan perjalanan selanjutnya harus dilaksanakan dengan

jalan kaki, maka kendaraan-kendaraan roda dua yang kami pakai, kami sembunyikan di ceruk-ceruk tebing yang rimbun. Kami berjalan kaki sampai Sungai Kejasung dan menyusuri sungai itu sampai ke lokasi perburuan. Perjalanan melalui darat ini menghabiskan waktu empat hari. Alhamdulillah, kami hampir tidak menemukan lagi hambatan dari Suku Anak Dalam, malahan Temenggungnya, yakni Temenggung Meladang sangat wellcome dan membantu kami. Ada satu anak buah Temenggung yang agak menghambat. Namun hal itu dapat kami tanggulangi, karena kami membawa surat khusus dari Kepala Desa dan juga membawa telepon satelit, sehingga ketika kami dihadang oleh anak buah Temenggung tersebut, dia dapat melakukan kontak langsung dengan kepala desa (mereka sangat respek terhadap kepala desa).

Sepeda motor yang dipakai selama perburuan, melewati jalan berlumpur lengket yang licin dan berlubang-lubang. (Foto: R. Koswara).

Selama perjalanan ke tempat sasaran, kami yang dibantu oleh sejumlah tenaga setempat dari desa, jika hari sudah petang membangun tenda terbuka di tepi sungai untuk melepaskan penat dan tidur semalam, persiapan untuk melanjutkan perjalanan hari esoknya. Dalam perjalanan darat ini, kami yang berangkat terburu-buru dari desa, sehubungan dengan terbatasnya waktu untuk mengejar buruan dan juga masih trauma atas penghadangan ketika dalam perjalanan sungai, menyebabkan kurangnya perhitungan dalam persiapan logistik, sehingga pada hari keempat, yakni hari terakhir, rombongan hanya sempat makan pagi saja, karena bekal makanan sudah habis. Hasil Perburuan Pada hari keempat atau terakhir ini, pukul 7 pagi, kami berlima pergi menyusur Sungai Kejasung untuk mengejar buruan yang jaraknya cukup jauh, kira-kira 11 km dari kemah. Dalam perjalanan ini kami hanya membawa bekal nasi 2 bungkus, yang akan kami bagi nanti makan siang untuk berlima, karena persediaan logistik sudah habis. Tiga porter kami tinggalkan untuk membereskan tenda dan peralatan, karena untuk pulang kami harus melewati lagi tempat berkemah. Meskipun dalam perburuan ini satu porter terpaksa kami tinggalkan dulu di setengah perjalanan karena kakinya luka, namun Alhamdulillah, akhirnya kami sampai juga ke lokasi perburuan. Sepanjang lintasan yang kami lewati, sebelum mencapai batugamping yang kami buru, batuan sedimen klastika halus Formasi Gumai yang berlapis baik dan segar tersingkap dengan baik. Batuan sedimen ini yang umumnya terdiri atas batulempung gampingan dan napal, dengan beberapa selingan atau nodul batugamping di tempat-tempat tertentu, kami ambil percontohnya dan diukur pula posisi perlapisannya. Selewat

Beberapa rintangan yang ada di jalan setapak, sehingga sepeda motor kadang-kadang harus digotong untuk melewatinya. (Foto: R. Koswara).

Di dalam tenda dalam suasana makan pagi penulis ke-1 (keempat dari kiri) bersama Temenggung Meladang (Kepala Suku Anak Dalam; kedua dari kiri), di S. Kejasung Besar. (Foto: N. Suwarna). Geologi Populer 

Napal Formasi Gumai, berlapis baik, yang tersingkap di tepi dan dasar­ S. Kejasung Besar. (Foto: R. Koswara)

Penulis kesatu berdiri di atas singkapan batugamping berlapis. Lokasi: S. Kejasung Besar. (Foto: N. Suwarna).

Kriteria penentuan KP untuk RTRW kabupaten/kota sebelum UU No.4 Tahun 2009 terbit. Setiap kriteria terdiri atas indikator-indikotor yang memiliki bobot nilai tertentu.

Nodul batugamping yang tersisip di dalam lapisan napal Formasi Gumai. Lokasi: S. Kejasung Besar. (Foto: N. Suwarna).

Penulis kesatu sedang mengambil percontoh dan mengukur posisi perlapisan batugamping Formasi Baturaja. Lokasi: S. Kejasung Besar. (Foto: N. Suwarna).

batuan Formasi Gumai, kami menemukan singkapan batugamping, yang selama ini dalam Peta Geologi Lembar Muarabungo (Simanjuntak drr., 1996) maupun laporan geologi lainnya belum pernah diinformasikan. Singkapan batugamping yang kami buru di Pegunungan Duabelas ini, secara geologis adalah batugamping Formasi Baturaja. Kami sangat bergembira, karena yang selama ini kami cari dan kejar dalam kurun waktu sepuluh hari perjalanan, dapat kami tangkap.

motor. Dengan melewati jalan setapak di bawah rimbunnya pepohonan, kami berjalan beriringan dengan cepat, tanpa minum, tanpa penerangan yang memadai. Meskipun hausnya tidak ketulungan, karena tak adanya lagi persediaan air minum, kami terus berjalan. Namun, tubuh tidak dapat dibohongi, sehingga sesampainya di pondok Temenggung Meladang, kami akhirnya sedikit ambruk, sehingga rombongan berhenti dulu sebentar untuk penyegaran.

Kami tidak dapat lama-lama meneliti buruan ini, karena hari sudah mulai petang, sementara jarak yang akan kami tempuh untuk pulang masih jauh. Batugamping yang kami buru tersebut secara cepat kami ukur posisi perlapisannya, lokasinya, dan diambil percontohnya.

Begitu badan agak sedikit bertenaga, kami semua berangkat lagi, menyusur sungai, kemudian mendaki bukit dan menuruni lembah di hutan yang cukup rimbun. Seringkali beberapa anggota rombongan jatuh-bangun, terjerembab, sampai sobek-sobek pakaiannya, karena gelapnya jalan yang dilewati, apalagi kalau terkena duri rotan yang malang-melintang, ditambah lagi mereka membawa beban yang cukup berat.

Berangkat dari lokasi perburuan sekitar jam 3 petang, sehingga kami beserta rombongan kecil ini harus jalan secara cepat agar tidak kemalaman sampai ketempat berkemah malam sebelumnya. Kami tidak sempat makan, pertama karena makanan tidak mencukupi, kedua karena hari petang. Begitu kami bertemu teman yang sedang menunggu di tempat bekas bertenda, semuanya langsung bergerak menuju ke tempat penyimpanan 10 W a r t a

Geologi September 2009

Pukul 23.30 sampailah rombongan ke tempat motor-motor disembunyikan. Persiapan di sini memerlukan waktu yang cukup lama juga, karena beberapa motor mogok, tidak bisa dihidupkan, sehubungan kehujanan dan ditinggalkan selama 3 hari. Kami berangkat dengan gembira pukul

Pompong yang digunakan pengangkut rombongan dan sepeda motor dari desa ke tempat awal lintasan geologi. (Foto: R. Koswara).

1.00 malam, dengan harapan dapat secepatnya sampai ke kampung. Namun sesampainya di bekas jalan perusahaan kayu, hambatan menghadang lagi, kegembiraan menghilang seketika. Jalan tanah yang becek bekas hujan semalam sangat mengganggu kelancaran perjalanan; roda motor tidak bisa berputar sama sekali, karena lengket oleh lumpur. Kedua penulis yang bersama-sama menaiki satu motor, berapa puluh kali jatuh bangun terlempar ke semak-semak, dan berulangulang berhenti hanya untuk membuang lengketan tanah di roda sepeda motor. Lagi-lagi tubuh tidak dapat dibohongi, ketahanan fisik manusia terbatas, apalagi tanpa minum dan makan sejak siang hari. Kami berdua saking letihnya, bergeletak saja di tanah becek tanpa memperdulikan ancaman bahaya, di tengah-tengah hutan, sementara rekanrekan lainnya berceceran sepanjang perjalanan, tanpa menghiraukan satu sama lainnya. Sejumlah jembatan kayu yang licin oleh lumpur, dan hanya merupakan kumpulan kayu bulat dan papan kecil-kecil yang melintang di atas sungai yang dalam dan sedang meluap airnya terpaksa kami lewati dengan hati-hati, karena kami berdua ingin segera sampai di kampung. Sesudah mengalami jatuh bangun selama perjalanan malam yang cukup melelahkan dan menegangkan, baik selama jalan kaki maupun naik sepeda motor, hampir tanpa makan dan minum, akhirnya pukul 5.00 pagi kami berdua sampai di tepi Sungai Kejasung,

tempat pompong (perahu kayu) menunggu sejak siang hari. Dengan setengah berlari kami mendekati pompong itu. Saking gembiranya melihat pompong itu kami tidak melihat bahwa di jalan yang akan kami lewati ada batang kayu bulat melintang. Kami berdua sekali lagi terjerembab dan jatuh terlempar ke semak-semak. Penutup Meskipun cukup sakit karena sering jatuh dari sepeda motor yang sedang berlari kencang dan juga perjalanan seharian yang melelahkan, kami merasa bahagia dan gembira karena perjalanan ini tidak sia-sia. Apa yang kami buru sudah kami dapatkan. Perburuan 2006 yang merupakan episode kesatu ini belum selesai sepenuhnya, karena penyelesaiannya dilaksanakan pada 2007, dan ceritanya akan dipaparkan pada episode kedua. Pekerjaan ini dilaksanakan dalam rangka kerja sama antara Pusat Survei Geologi (Badan Geologi) dan MEDCO, pada 2006.n Penulis adalah mantan petugas lapangan yang sekarang berkiprah di Dewan Redaksi Jurnal Geologi Indonesia. Badan Geologi

Geologi Populer 11

Geologi Populer

Hubungan antara Letusan Gunung Api dengan Salah Satu Penyebab Proses Karstifikasi Oleh: Wawan Hermawan dan Hermawan

K

eberadaan

pebukitan

batugamping

di daerah Pati dan Tuban menyisakan pertanyaan besar, mengapa sebagian

besar gua batugamping di daerah Pati banyak dijumpai di bagian utara, sedangkan di bagian selatan tidak? Apakah hal ini ada kaitannya dengan keberadaan Gunung Muria yang berada di sebelah utara? Sementara itu, sebagian besar gua batugamping di daerah Tuban banyak dijumpai di bagian selatan, sedangkan di bagian utara tidak. Apakah hal ini ada kaitannya pula dengan keberadaan Gunung Semeru, Arjuno, dan lain-lainnya yang berada di sebelah selatan? Satu hipotesa mengaitkan kenyataan tersebut dengan pelarutan kimiawi sebagai salah satu proses karstifikasi yang membentuk kenampakan endokarst

dan

eksokarst

pebukitan

batugamping

di

kedua

tersebut.

daerah Pelarutan

kimiawi tersebut erat kaitannya dengan terjadinya hujan asam akibat meterial letusan gunung api. 12 W a r t a

Geologi September 2009

Skema proses karstifikasi yang salah satunya dipengaruhi oleh hujan asam yang jatuh di daerah pebukitan batugamping

Pelarutan Batu Gamping Prawoto (2001) dan Kiraly (2003) menyatakan bahwa hujan asam yang terjadi di suatu daerah batugamping dapat menyebabkan proses pelarutan pada batugamping tersebut dan akan menghasilkan larutan gamping (CaCO3) dengan kepekatan tertentu sesuai dengan kepekatan hujan asam. Larutan gamping tersebut suatu saat akan mengalami kristalisasi dan presipitasi menjadi bentukan-bentukan endokarst dan eksokarst. Proses tersebut dikenal sebagai karstifikasi. Seperti kita ketahui bahwa hujan asam yang terjadi pada masa lampau bukan diakibatkan

oleh aktivitas pabrik atau kendaraan berbahan bakar fosil seperti sekarang ini, tetapi lebih banyak diakibatkan oleh gejala alamiah seperti pengaruh nitrit dan nitrat yang dihasilkan oleh tumpukan humus pada hutan tropis atau akibat letusan gunung api yang menghasilkan beberapa gas-gas vulkanik. Gas-gas vulkanik yang terlarutkan oleh air hujan akan menghasilkan hujan asam yang berpotensi menyebabkan pelarutan kimiawi pada pebukitan batugamping. Kepekatan larutan CaCO3 tergantung dari kepekatan hujan asam yang terjadi. Geologi Populer 13

Geologi Populer Semakin pekat air larutan CaCO3 hasil pelarutan yang terbentuk, semakin mudah terbentuknya endokarst dan eksokarst di pebukitan batugamping. Apabila kepekatan larutan rendah atau tidak terjadi lagi pelarutan, maka tidak akan terjadi endokarst dan eksokarst, artinya proses karstifikasi tidak aktif atau untuk sementara berhenti hingga tersedia kembali larutan asam yang pekat (berasal dari hujan asam). Struktur sesar, retakan dan kekar Pada kekar, rekahan dan retakan akibat struktur geologi berupa perlipatan dan sesar yang terjadi sepanjang deretan pebukitan batugamping akan mempercepat pelarutan tersebut, karena air hujan yang bersifat asam tersebut akan melarutkan batugamping melalui struktur-struktur tersebut hingga suatu saat akan terbentuk gua-gua akibat keruntuhan dinding-dinding sepanjang struktur.

DATA DAN ASUMSI Karst Sukolilo dan Tuban Peta sebaran gua-gua berair dan gua-gua kering menunjukkan kondisi karst di daerah Sukolilo, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah. Dari peta tersebut dapat diamati bahwa sebagian besar gua-gua berair dan gua-gua kering terdapat pada sayap batugamping di sebelah utara yang relatif lebih dekat jaraknya dengan letak Gunung Api Muria, sehingga kemungkinan besar sayap bagian utara tersebut terpengaruh oleh gas-gas vulkanik hasil letusan Gunung Api Muria. Sedangkan untuk karst Tuban belum banyak data yang diperoleh secara lengkap kondisi karstifikasi di daerah tersebut.

Letusan Gunung Bromo menghasilkan debu dan gas (Sumber Self drr, 2007) 14 W a r t a

Geologi September 2009

Letusan Gunung Api Letusan gunung api yang dimaksud dalam tulisan ini adalah letusan dahsyat yang menghasilkan sejumlah besar debu dan gas yang dilontarkan ke udara dan berpengaruh terhadap iklim global dunia. Pengaruhnya terhadap iklim dunia berupa tutupan debu dan sebaran gas vulkanik hingga radius yang sangat luas. Sebaran Debu dan Gas-Gas Vulkanik Beget, drr. (1993) menyatakan bahwa sebaran debu dan gas vulkanik sangat tergantung pada besarnya letusan, arah, dan kekuatan angin, sehingga jarak

Letusan G. Pinatubo di Filipina yang dahsyat terbawa angin ke arah barat daya (Sumber Self dkk, 2007)

Sebaran debu dan gas vulkanik di sekitar tubuh gunungapi apabila letusan berlangsung kecil dan tersebar luas mengikuti arah angin apabila letusan besar.

tempuh debu dan gas sangat bervariasi dari yang dekat atau hanya di sekitar tubuh gunung api hingga berkilo-kilo meter jauhnya. Dari kedua besaran letusan gunung api tersebut di atas dapat diketahui bahwa bukan saja pebukitan batugamping di dekat gunung api yang terpengaruh debu dan gas yang berasal dari suatu letusan, tetapi pebukitan batugamping yang jaraknya sangat jauh pun terpengaruh. Oleh sebab itu bukan hal yang mustahil apabila pebukitan batugamping yang tidak berdekatan dengan gunung api pun dapat mengalami proses karstifikasi yang sangat intensif bersamaan

dengan letusan gunung api dahsyat di belahan bumi yang lain seperti Gunung Api Pinatubo, Gunung Api Tobapurba, Gunung Api Tambora, dan Gunung Api Krakatau. Tiupan angin akan membawa debu dan gas vulkanik ke daerah pebukitan batugamping di sekitar pusat letusan gunung api maupun yang amat jauh dari pusat letusan gunung api. Apabila terjadi hujan maka terbentuklah hujan asam, kepekatan asam yang terbentuk sangat tergantung pada media air yang akan mengencerkannya. Semakin pekat asam yang terbentuk dan bersentuhan dengan batugamping, maka segera terjadi proses pelarutan batugamping tersebut dan menghasilkan larutan gamping pekat mengikuti struktur geologi yang ada. Letusan gunung api yang besar menghasilkan debu dan gas vulkanik dalam jumlah yang sangat besar, dan segera setelah itu akan bereaksi dengan air hujan menjadi hujan asam. Jenis asam yang terbentuk, antara lain: H2SO4, H2CO3, HCl, HNO3, dan HF. Diantara asam-asam tersebut ada yang sangat reaktif terhadap batugamping sehingga akan menjadi pemicu proses pelarutan batugamping yang merupakan salah satu faktor di dalam proses karstifikasi. Geologi Populer 15

Grafik total SO2 versus Waktu setelah letusan. (Sumber Self dkk, 2007)

Debu dan gas vulkanik letusan G. Pinatubo menyebar ke sepanjang ­katulistiwa. ­(Sumber Self dkk, 2007)

Pelamparan debu dan gas-gas vulkanik, serta perbandingan massa campuran dan ketinggian debu dan gas-gas vulkanik versus waktu setelah letusan. (Sumber Self dkk, 2007)

Gas-gas vulkanik yang dihasilkan oleh letusan gunung api berupa SO2, CO2, HCl, HF dan debu vulkanik menyebar mengikuti arah angin, akan menghasilkan hujan asam (Sumber Beget, 1993). 16 W a r t a

Geologi September 2009

Total gas SO2 yang dilontarkan keluar pada saat letusan Gunung Api Pinatubo versus sehabis waktu letusan di dalam hari terlihat pada grafik di bawah. Terlihat bahwa total gas SO2 akan berkurang cukup signifikan dari waktu setelah letusan hingga sekitar 170 hari, dari total di atas 10,00 hingga 20,00 megaton menjadi sekitar 0,10 hingga 1,00 megaton. Sehingga terbentuknya hujan asam dengan kepekatan tinggi sangat tergantung kepada intensitas curah hujan pada saat letusan terjadi. Pelamparan (surface area) debu, gas-gas vulkanik dan ketinggian debu dan gas-gas vulkanik Gunung Api Laramie, Lauder, dan Kiruna versus waktu setelah letusan terlihat pada salah satu gambar. Pada umumnya berada di bawah maksimum ketinggian stratospherik, sehingga kemungkinan besar masih dapat bereaksi dengan hujan hingga 2 - 3 tahun. Pengaruh Curah Hujan Curah hujan akan mempengaruhi pembentukan hujan asam, semakin besar curah hujan yang terjadi pada saat letusan atau mendekati setelah letusan, maka akan terjadi pengenceran asam yang terbentuk, sebaliknya semakin kecil curah

Pembentukan CaCO3 versus kesetimbangan CO2 pada perbedaan temperatur dari 00 - 400 C, merupakan larutan sangat jenuh atau di bawah larutan jenuh tetapi ­bersifat agresif. (Sumber Self dkk, 2007)

hujan yang terjadi maka akan semakin pekat hujan asam yang terbentuk. Hujan asam dapat terjadi pada saat atau setelah letusan gunung api berlangsung kemudian menjadi media yang melarutkan batugamping. Perubahan gas CO2 dari fase gas menjadi cairan berupa hujan asam yang berpotensi menjadi pemicu pelarutan batugamping kemudian akan berubah bentuk padat setelah melewati proses pengkristalan dan pengendapan. Demikian juga berlaku analogi terhadap gas-gas vulkanik lainnya. Dengan semakin banyak kekar, retakan dan rekahan pada lapisan batugamping maka akan semakin mudah terbentuk proses karstifikasi, yakni pembentukan gua-gua, endokarst dan esksokarst, serta meninggalkan bentukan eksokarst berupa sisa-sisa tubuh batugamping berupa Sinkhole, Pinacle dengan lubang-lubang pelarutan oleh hujan asam. Kastning dkk (1999) Sinkhole terbentuk secara perlahan-lahan sejalan dengan pelarutan oleh media pada batuan dasar di bawah permukaan. Proses pelarutan oleh asam bikarbonat (H2CO3) adalah sebagai berikut: CO2 + H2O + CaCO3 -------> (CaHCO3)2 Terlarut dalam aliran, dengan mekanisme sebagai berikut: 2H2O + 2CO2 -------> 2H2CO3 2H2CO3 -------> 2H2 + 2(HCO3) 2H2+ + 2(HCO3)- + CaCO3 ------> H2O + CO2 + Ca2 + 2(HCO3)(sebagai larutan bikarbonat)

Grafik perubahan phase gas vulkanik dari bentuk gas-cairan-padat. (­ Sumber Prawoto, 2001) Geologi Populer 17

Pinacle merupakan bagian luar bentuk karstifikasi yang diduga mengalami pelarutan setelah tertimbun debu vulkanik dan tertimpa hujan asam (sumber Anon, 2005).

Endokarst yang terbentuk oleh larutan gamping dengan kepekatan yang tinggi,hal ini hanya dapat dihasilkan dari pelarutan batu gamping oleh media asam yang sangat pekat atau hujan asam (sumber Anon, 2005).

Pelarutan terjadi sepanjang zona lemah, retakan, rekahan atau celahan rambut. Maka peranan geotektonik menjadi sangat penting dalam proses karstifikasi, di samping larutan asam pekat dari hujan asam yang terjadi akibat letusan gunung api, demikian juga analog pada gas-gas vulkanik yang lainnya. Semakin kuat (kepekatan tinggi) asam yang terbentuk akan semakin cepat terjadi pelarutan batugamping dan terbawa oleh aliran air, 18 W a r t a

Geologi September 2009

sehingga larutan gamping (CaCO3) pekat - sangat pekat tersebut setelah melewati retakan, rekahan dan kekar akan membentuk kristal-kristal gamping berupa Stalagtit, Stalagmit, dan Flowstone. Proses terjadinya bentukan-bentukan endokarst tersebut sangat dipengaruhi oleh larutan gamping (CaCO3) saat melewati bukaan retakan, rekahan dan kekar dari yang sangat sempit hingga lebar. Pada bukaan sangat sempit akan membentuk stalagmit dan stalagtit melalui pengendapan

3. Gas-gas vulkanik yang berasal dari Gunung Api Muria terletak di utara deretan pebukitan batugamping Sukolilo berpengaruh terhadap proses karstifikasi di sayap utara dengan menghasilkan pelarutan yang sangat pekatpekat sehingga menyebabkan bentukan indokarst berupa: Stalagmit, Flowstone, dan bentukan-bentukan lain yang hanya mungkin dibentuk oleh larutan batugamping sangat pekat - pekat. 4. Gas-gas vulkanik yang berasal dari Gunung Api Semeru, Arjuno, Welirang dan Penanggungan di selatan deretan pebukitan gamping Tuban kurang berpengaruh terhadap proses karstifikasi di daerah Tuban karena letaknya terlampau jauh, sehingga di daerah Tuban kerang banyak dijumpai bentukan-bentukan indokarst, hanya berupa gua-gua. Saran Dari uraian di atas maka dapat direkomendasikan bahwa penelitian karstifikasi harus dilakukan secara terintegrasi antara ketiga kelompok kerja program di lingkungan Pusat Lingkungan Geologi dengan kegiatan antara lain: Sayatan endokarst yang menunjukkan umur perlapisan, dapat dilakukan ­carbon dating untuk setiap perlapisan apakah ada kaitannya dengan letusan gunung api pada saat itu. Di samping itu unsur-unsur pembentuk perlapisan itu perlu diketahui guna memprediksi jenis asam yang berfungsi sebagai media pelarut batu gamping.

larutan gamping yang membentuk lapisan kristal warna-warni tergantung pengotoran larutan dan jenis asam yang melarutkan batugamping. Pada bukaan yang cukup lebar akan terjadi bentukan berupa pengendapan dan pengkristalan gamping (CaCO3) dari larutan yang sangat pekat yang meleleh atau mengalir sangat lambat membentuk flowstone dan bentukan-bentukan endokarst lain yang sangat aneh, hal tersebut hanya dapat dibentuk oleh larutan yang sangat pekat dan larutan tersebut hanya diperoleh pada pelarutan batugamping oleh asam yang pekat - sangat pekat.

1. Kajian air tanah di daerah karst guna pemanfaatan sumber daya alam, pengujian kandungan kimia air tanah terutama (CaCO3) terlarut dan unsur-unsur penting lainnya, arah aliran dan kuantitas/kualitas air tanah. 2. Kajian umur absolut perlapisan pembentuk endokarst dengan carbon dating, berkaitan dengan penentuan masih aktif atau tidaknya proses karstifikasi sudah berhenti akibat tidak terjadi pasokan gas-gas yang menyebabkan hujan asam. Pengujian unsur-unsur pembentuk warna pada perlapisan endokarst dan hipotesa pembentukan Pinacle serta lubang-lubang pada eksokarst.n Penulis adalah Penyelidik Bumi Pusat Lingkungan Geologi Badan Geologi

Kesimpulan 1. Penyebab salah satu proses karstifikasi batugamping di daerah Sukolilo diakibatkan oleh hujan asam yang disebabkan oleh gas-gas vulkanik hasil letusan Gunung Api Muria. 2. Penyebab salah satu proses karstifikasi batugamping di daerah Tuban diakibatkan oleh hujan asam yang disebabkan oleh gasgas vulkanik hasil letusan Gunung Api Arjuno, Welirang, Semeru dan Pananggungan. Geologi Populer 19

Geologi Populer

Peta Geologi Indonesia, Proses dan Manfaatnya Oleh: Hamdan Z. Abidin & Baharuddin

D

alam Era Orde Baru dikenal adanya program PELITA (Pembangunan Lima Tahun). Program ini berlaku untuk

pembangunan dalam segala bidang termasuk pembangunan geologi (kebumian). Salah satu institusi

yang

menangani

bidang

kebumian

adalah Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi (P3G) yang sebelumnya berada di bawah Dirjen Geologi, dan kemudian di bawah Badan Litbang Geologi. Sekarang, institusi ini bernama Pusat Survei Geologi (PSG) dan berada di bawah Badan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Saat era Orde Baru, tugas utamanya adalah mengeksekusi pemetaan geologi skala 1:50.000 hingga 1:250.000, dengan nama kegiatan “Proyek Pemetaan Geologi dan Interpretasi Foto Udara/Geofisika”. 20 W a r t a

Geologi September 2009

Sekali waktu berjuang melawan arus Sungai Kapuas, Kalimantan di lain waktu memanfaatkan kuda membawa segala kebutuhan di Padang Lawas, ­Sumetera Utara

Pelaksanaan proyek tersebut dimulai pada awal tahun 1970-an, awal PELITA I, dan berakhir pada PELITA V tahun 1990-an. Total waktu selama lebih kurang 25 tahun (78% dari 32 tahun masa Orde Baru) dihabiskan untuk melaksanakan pemetaan geologi. Hasil akhir dari proyek ini berupa peta geologi berskala 1:250.000 (181 lembar), 1:100.000 (58 lembar), 1:50.000, dan skala 1:1.000.000. Pemetaan geologi dengan skala 1:250.000 dilakukan di seluruh wilayah Indonesia, sedangkan peta skala 1:100.000 terutama dilakukan di Pulau Jawa dan Madura, dengan sebagian kecil di Kalimantan dan Sumatra bagian selatan dan utara. Selain itu, di sejumlah kawasan terpilih di Jawa, dilaksanakan pula pemetaan geologi skala 1:50.000. Peluncuran hasil pemetaan geologi seluruh Indonesia yang berskala 1:250.000 (yang sudah dianggap sempurna) dilakukan pada 17 Agustus 1995 sebagai kado Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI yang ke-50. Sejak itu kegiatan pemetaan geologi bersistem Indonesia tidak dilanjutkan lagi kecuali menyelesaikan penerbitan sebagian peta dengan skala 1:100.000 dan 1:1000.000. Sejak dilaksanakannya otonomi daerah, kegiatan pemetaan geologi berskala 1:100.000 dilimpahkan kepada pemerintah daerah. Namun sampai saat ini, tidak satu pun peta geologi yang diterbitkannya, karena tidak tersedianya sarana dan sumber daya manusia (baca tenaga ahli geologi). PROSES PEMBUATAN PETA GEOLOGI Untuk menghasilkan sebuah peta geologi, diperlukan beberapa tahapan, dimulai dari olah perpustakaan, analisis foto udara dan citra landsat, pekerjaan lapangan, pengolahan data dan laboratorium, pembuatan peta permulaan, penelaahan/kartografi, dan yang terakhir pencetakan peta dan laporannya untuk diterbitkan.

Persiapan Persiapan meliputi penentuan lokasi/daerah yang akan dipetakan, proposal tentang kegiatan pemetaan geologi menyangkut latar belakang, kondisi penduduk, pencapaian daerah pemetaan, dan personil yang akan terlibat dalam kegiatan pemetaan. Selain itu perlu dilakukan studi literatur (perpustakaan) mengenai data geologi dari para peneliti terdahulu. Yang tidak kalah penting adalah membuat peta geologi tafsiran yang dikompilasi dari interpretasi foto udara (sesuai dengan judul proyek) dan citra landsat. Penekanan interpretasi foto udara selain geologi tafsiran (litologi dan struktur) juga penggambaran pola aliran sungai. Pola aliran ini berguna untuk merencanakan lintasan geologi yang akan dilewati di lapangan. Selanjutnya menyiapkan peta dasar, baik dari hasil interpretasi foto udara atau peta topografi yang sudah tersedia. Biasanya, untuk melakukan pemetaan geologi skala 1:250.000, digunakan peta topografi berskala 1:100.000. Dalam peta dasar ini, semua indikasi geologi diplot (lokasi, struktur, litologi, indikasi tambang, cebakan mineral, batubara, indikasi fosil, rembesan minyak, dll.). Tentu hal yang tidak boleh dilupakan adalah peralatan pemetaan geologi seperti kompas, palu, loupe, kamera, GPS, dan tenda. Hal terakhir adalah menyiapkan surat-surat untuk pemerintah daerah tempat kegiatan pemetaan akan dilakukan. Apabila persiapan awal ini dapat dibuat dengan sempurna, maka pekerjaan lapangan akan berjalan dengan baik. Kegiatan Lapangan Pekerjaan lapangan merupakan tahapan inti pemetaan geologi. Tujuan utama dalam kegiatan lapangan adalah untuk melakukan pendataan semua jenis batuan, pengambilan percontoh batuan, pengukuran jurus/kemiringan lapisan dan struktur geologi, dan lain-lain. Dalam melakukan Geologi Populer 21

Geologi Populer

Menyeberangi lembah sedalam puluhan meter dengan jembatan gantung di Taput, Sumatra Utara atau diangkut helicopter menyusuri Sungai Mahakam, K­ alimantan.

Base Camp di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalbar dan suasana di dalamnya.

pemetaan geologi, tidak ada pekerjaan individu kecuali kerja tim. Dalam satu tim dibutuhkan personil sekitar 15 orang, mulai ahli geologi, asisten ahli geologi, surveyor/teknisi, pengemudi, dan pemandu lokal. Umumnya kegiatan lapangan untuk satu lembar peta skala 1:250.000 dilakukan dalam 2 sesi (tergantung tingkat kesulitan lapangan). Pada kegiatan lapangan sejak 1968 hingga 1978, setiap sesi dilakukan selama 3 bulan, bahkan jika dianggap perlu bisa dilakukan sampai 4 bulan, dengan jumlah keseluruhan per tahun 6 – 7 bulan. Namun sejak 1979 – 1989, setiap sesi hanya dilaksanakan selama 2 bulan, bahkan dalam kurun waktu 1990 – 1996 hanya 1 bulan. Dalam melakukan pekerjaan lapangan, tim dibagi menjadi beberapa subtim yang masing-masing terdiri atas 2 – 4 orang dengan susunan 1 ahli geologi dan 1 surveyor, atau 2 asisten ahli geologi, ditambah tenaga setempat. Kegiatan lapangan ini dilaksanakan dengan 2 cara, yaitu bertempat tinggal tetap (base camp) apabila lokasi pemetaan dapat dicapai dalam sehari pulang pergi, dan dengan cara berpidah-pindah (fly camp) apabila lintasannya panjang. 22 W a r t a

Geologi September 2009

Analisis Laboratorium Analisis laboratorium merupakan salah satu bagian penting dalam penyelesaian peta geologi. Sejumlah percontoh batuan yang terpilih yang mewakili setiap kelompok batuan dianalisis secara petrografis (mineralogi batuan), geokimia batuan, pentarikhan, kandungan fosil dll. Dari hasil analisis laboratorium ini dapat diketahui jenis, komposisi, umur batuan, lingkungan pengendapan, serta jenis fosil yang terdapat di dalamnya. Dengan demikian akan memudahkan mengkompilasi satuan unit geologi yang mempunyai karakter sama (kimiawi, komposisi, umur dll.) ke dalam peta geologi, sedangkan percontoh batuan yang merupakan “hand specimen” disimpan sebagai koleksi Museum Geologi. Kompilasi Peta Geologi Data yang diperoleh di lapangan tidak serta-merta bisa menghasilkan peta geologi yang memenuhi persyaratan. Seperti telah disebutkan di atas, pekerjaan pemetaan geologi merupakan pekerjaan tim. Oleh karena itu, seseorang yang bertanggung jawab dalam penyelesaian peta geologi tersebut (Kepala Tim) harus berkomunikasi dengan anggota

Plotting data awal (primer) lapangan dalam peta topografi.

tim. Semua data lapangan yang diperoleh dari anggota tim dikumpulkan dan didiskusikan serta diplot ke dalam peta dasar yang telah tersedia. Data awal yang harus diplot dalam peta dasar adalah lokasi pengambilan setiap percontoh, jenis litologi (batuan sedimen, batuan beku/terobosan, batuan gunung api, batuan malihan, maupun alluvial), struktur geologi (sesar dan lipatan), serta jurus dan kemiringan lapisan batuan. Pekerjaan selanjutnya adalah membuat kompilasi data subtim dan diplot berupa peta geologi kompilasi. Pada tingkat ini sudah tergambar batas litologi, struktur dan lainnya. Selanjutnya, runtunan beberapa litologi baik berdasarkan litologi sejenis, maupun umur, disatukan sehingga membentuk suatu unit batuan yang dikenal dengan “formasi”, dan lebih tinggi dari formasi disebut “kelompok”. Oleh karena itu, dalam peta geologi banyak ditemukan nama formasi yang terdiri atas beberapa unit litologi. Peta yang dihasilkan dari kompilasi dari data lapangan dan interpretasi foto udara berupa peta dua warna (belum diwarnai secara standar tetapi setiap unit batuan sudah diberi notasi/simbol). Sampai tahap ini, kondisi peta geologi masih terbuka untuk diperbaiki atau diedit oleh ahli lainnya (penyunting) sehingga masih disebut peta open file (terbuka untuk menerima perbaikan dan saran serta tambahan data lainnya). Peta

open file tersebut adalah peta dua dimensi yang menggambarkan tentang pelamparan litologi/formasi secara lateral. Untuk mengetahui posisi runtunan batuan secara vertikal (tegak) dibuat beberapa irisan penampang tegak, yang memberikan gambaran hubungan antara batuan dan ketebalan setiap litologi/formasi (takselaras/ selaras) serta hubungan antara batuan yang diterobos maupun batuan yang menerobos. Proses Penerbitan Peta Sentuhan terakhir setelah peta disunting adalah pewarnaan standar, misalnya unit batu granit diberi warna merah, batupasir diberi warna kuning, dan batugamping warna biru. Peta tersebut sudah dilengkapi dengan data umur, petrografi, kimia, kandungan fosil, dan sumber daya geologi. Sebelum dikirim ke percetakan, dilakukan dulu pengecekan terakhir oleh tim pemetaan untuk dikoreksi kemudian dicetak dan diterbitkan. MANFAAT PETA GEOLOGI Sebagai peta yang memuat beragam informasi geologi semisal jenis litologi, umur batuan, struktur geologi, perkembangan tektonik daerah bersangkutan, keberadaan fosil, dan sumber daya geologi, maka peta geologi sangat berguna bagi usaha pertambangan, pertanian, teknik sipil, dan mitigasi bencana geologi. Sebagai institusi, Geologi Populer 23

Salah satu produk peta geologi skala 1:250.000

Contoh peta plotting struktur (jurus/kemiringan), sebelum dipindahkan ke dalam peta ­open file (terbuka). Bagian Lembar Putussibau, Klabar skala 1:250.000.

Pusat Survei Geologi (dahulu Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi) identik dengan Peta Geologi yang dikenal sangat luas di dalam dan luar negeri. Sangat disayangkan pemetaan geologi Indonesia belum tuntas dikerjakan karena proyek semacam itu tidak ada lagi di masa Era Reformasi ini. 24 W a r t a

Geologi September 2009

Contoh peta dua warna (open file), bagian Lembar Putussibau, Kalbar skala 1:250.000

KERJA SAMA PEMETAAN GEOLOGI Untuk menyelesaikan peta geologi Indonesia pada masanya, Pusat Survei Geologi telah bekerja sama dengan beberapa lembaga asing seperti Jepang (JICA), Australia (BMR/AGSO), Amerika (USGS), Inggris (BGS), Perancis (BRGM), Inggris (Proyek CTA-36), dan South Sumatra Geological

Indeks Peta Geologi Indonesia skala 1:250.000 dan 1:100.000.

Mapping and Exploration Project (SSGMEP), dll. Proyek kerjasama pemetaan geologi ini tersebar di seluruh Indonesia seperti di Sumatra (BGSUSGS), Kalimantan (JICA-IAGMP-BRGM) dan Irian Jaya (IAGMP). Dengan adanya kerja sama ini di samping mempercepat penyelesaian pemetaan geologi juga sebagai pelatihan dan penambahan wawasan bagi para ahli geologi Indonesia. PENUTUP Tidak diragukan lagi bahwa peta geologi merupakan bahan dasar utama untuk kegiatan geologi berikutnya, baik untuk ilmiah (penelitian) maupun untuk terapan. Selain itu, peta geologi juga bermanfaat bagi ilmu multidisiplin seperti pertanian, pertanahan, pembangunan jalan raya, waduk, bangunan raksasa, dan pembangunan kota. Pusat Survei Geologi, satu-satunya lembaga pemerintah di bawah Badan Geologi yang telah mengeksekusi pelaksanaan pemetaan geologi di seluruh Indonesia selama lebih kurang 25 tahun dalam pemerintahan Orde Baru. Peta geologi berskala 1:250.000 dan 1:100.000 telah diterbitkan. Peta geologi skala 1:250.000 telah selesai dilaksanakan di seluruh Indonesia, sedangkan peta geologi skala 1:100.000 hanya

terbatas di Pulau Jawa dan di sebagian kecil Sumatra Utara dan Selatan, serta Kalimantan Selatan. Selebihnya adalah pekerjaan yang tertunda dan menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah sebagai amanat dari otonomi daerah. Sesungguhnya masih banyak pekerjaan pemetaan yang tertunda bahkan belum tersentuh sama sekali, misalnya peta geologi yang lebih rinci (skala kecil, 1:50.000 atau 1:25.000). Selain itu wilayah perbatasan antara negara (Kalimantan - Malaysia, Irian Jaya - Papua Nugini) merupakan daerah yang sangat kritis yang perlu dilakukan penelitian terpadu termasuk pemetaan geologi karena hal tersebut menyangkut kedaulatan NKRI.n Kedua Penulis adalah Pejabat Fungsional Peneliti Pusat Survei Geologi Badan Geologi

Geologi Populer 25

Lintasan Geologi

Bukit Urug Hanafi Longsor Kembali Oleh: Donny Hermana

R

abu siang (2 September 2009, pukul 14.55 wib) saat mentari masih menyisakan terik panasnya dan mulai bergeser ke

ufuk barat, tanah tempat penulis berpijak tibatiba berguncang. Guncangan terasa berlangsung beberapa

menit

dengan

kekuatan

semakin

lama semakin besar. Penulis dengan spontan menyelamatkan diri, begitu pula beberapa teman di sekitar penulis. Belakangan penulis mengetahui bahwa guncangan tersebut merupakan gempa bumi tektonik berkekuatan 7,3 skala Richter yang terjadi akibat berbenturnya dua lempeng di bawah permukaan bumi. Pusat gempa berada di dasar laut pada kedalaman 30 km, sekitar 142 km arah barat daya Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Gempa tersebut menggoyang hampir seluruh pantai selatan Pulau Jawa dengan pengaruh paling besar terjadi di bagian barat Pulau Jawa. 26 W a r t a

Geologi September 2009

Bukit Urug Hanafi yang mengalami longsor untuk kedua kalinya, kali ini menelan korban yang lebih banyak.

Gempa bumi yang berskala besar ini tentu berdampak besar terutama bagi penduduk yang berdomisili tidak jauh dari pusat gempa. Salah satu akibatnya adalah kerusakan bangunan rumah penduduk, gedung perkantoran, sarana ibadah, dan prasarana lainnya. Berdasarkan data yang dihimpun oleh Satkorlak PBP Provinsi Jawa Barat sampai 5 September 2009, kerusakan yang terjadi akibat gempa bumi tanggal 2 September tersebut adalah sebagai berikut:

Data Kerusakan dan Korban KOTA/ KABUPATEN

Bangunan

Meninggal dunia

Luka-luka

Hilang

Mengungsi

Kab Tasikmalaya

827

5

90

-

450

Kota Tasikmalaya

26

5

22

-

3.387

Kab Garut

44

7

135

-

8.195

Kab Bandung

53

11

355

-

5.661

Kab Bandung Barat

70

1

21

-

-

Kab Sukabumi

211

3

18

-

60

Kab Cianjur

53

26

5

26

11.787

Kab Kuningan

23

-

-

-

287

Kab Bogor

-

2

9

-

663

Kab Ciamis

733

6

158

-

473

Data Kerusakan dan korban jiwa akibat gempabumi 2 September 2009

Wilayah yang terkena dampak cukup besar adalah Kabupaten Cianjur (26 meninggal dunia dan 11.787 mengungsi). Oleh karena itu penulis berencana mengunjungi lokasi bencana di kabupaten itu. Dua hari pasca gempa, penulis menelusuri wilayah Kabupaten Cianjur menuju Kampung Babakan Caringin, Desa Cikangkareng, Kecamatan Cibinong. Lokasi tersebut berada 167 km dari Kota Bandung, atau 24 km dari Kota Kecamatan Cibinong. Untuk mencapai wilayah tersebut diperlukan perjuangan ekstra karena sarana jalan masih berupa jalan bebatuan, dengan kiri kanannya diapit oleh perbukitan, serta lembah dan jurang yang cukup dalam. Salah satu perbukitan itu adalah Bukit Urug Hanafi yang masuk dalam wilayah RT 01 RW 04, Kampung Babakan Caringin. Bukit tersebut menjadi terkenal karena pada tahun 1957 mengalami longsor sehingga menutupi (mengurug) areal sekitarnya. Peristiwa ini menewaskan seorang tokoh masyarakat yang bernama Haji Hanafi. Untuk mengenang peristiwa mengenaskan tersebut, masyarakat setempat memberi nama pada sisa bukit tersebut dengan “Bukit Urug Hanafi” yang berarti bukit yang menimbun Haji Hanafi. (Sumber: Tokoh Masyarakat Desa Cikangkareng). Menurut penuturan penduduk di lokasi kejadian, sekitar tiga puluh menit sesudah getaran gempa mereda, tepatnya pada pukul 15.32 wib, Bukit Urug Hanafi seakan terbelah dan melongsorkan jutaan Lintasan Geologi 27

Lintasan Geologi

Tinggal di lembah, di bawah bukit yang tidak stabil adalah keputusan yang tidak tepat. Jangan pernah berhenti belajar.

28 W a r t a

Geologi September 2009

Bebatuan berbagai ukuran menimbun pemukiman. Manusia memang kecil dan tidak berdaya, oleh karena itu sebaiknya berbagi dengan alam.

meter kubik bebatuan berbagai ukuran. Longsor kering yang tidak diawali oleh hujan tersebut disertai suara gemuruh kuat dan kepulan asap putih yang membumbung tinggi bergerak menuju wilayah pemukiman RT 04 RW 01, Kampung Babakan Caringin. Sebanyak 53 jiwa di dalam 17 rumah tidak dapat menghindari terjangan bebatuan yang mengalir sangat kuat. Dalam sekilat rumah-rumah itu digulung bongkah bebatuan hingga rata dengan tanah. Material longsor sekaligus menimbun jalan menuju Pamoyanan dan menimbun seperempat Rawa Hideung yang berada tidak jauh dari lokasi tersebut. Hamparan material berupa bebatuan berbagai ukuran diperkirakan sepanjang 250 m, lebar 50 m, dan tinggi 10 m. Sangat disayangkan peristiwa longsor puluhan tahun yang lalu hanya mengabadikan nama seorang tokoh, tetapi belum memberikan pelajaran bagaimana menata lingkungan hidup dengan benar. Peristiwa gempa bumi 2 September 2009 membuktikan bahwa Bukit Urug Hanafi longsor kembali karena digoyang gempa dan kali ini, bukan hanya seorang yang menjadi korban, tetapi puluhan warga yang meninggal karena tertimbun (terurug) bebatuan. Untung tidak dapat

diraih, malang tidak dapat ditolak, peristiwa naas tersebut memang tidak bisa dihindari, tetapi yang harus menjadi pelajaran adalah bahwa bermukim di suatu lembah di bawah suatu bukit yang tidak stabil adalah keputusan yang tidak tepat.n Penulis adalah Pranata Humas Madya Pusat Survei Geologi Badan Geologi

Lintasan Geologi 29

Lintasan Geologi

Dampak Gempa Tasikmalaya, 2 September 2009 Ditinjau dari Sisi Lingkungan Geologi Oleh: Rudy Suhendar, Oki Oktariadi, Agus Kustaman

T

anggal

2

September

2009,

pukul

14.54 WIB terjadi gempa bumi yang menggoyang sebagian besar Pulau Jawa.

Gempa bumi tersebut berpusat pada lokasi 8,24o LS – 107,32o BT atau 115 km (Badan Geologi) atau 142 km (BMKG) sebelah barat daya Tasikmalaya dengan kedalaman 49,5 km (Badan Geologi) atau 30 km (BMKG) berkekuatan 7,3 pada Skala Richter. Menurut Badan Geologi, penyebab gempa tersebut adalah pergerakan sesar aktif yang berada di bawah dasar laut dengan mekanisme sesar naik. Gempa tersebut tidak menimbulkan tsunami karena tidak mempunyai energi yang cukup untuk meretakkan dasar laut. 30 W a r t a

Geologi September 2009

Gempa bumi Tasikmalaya tersebut menggoncang dan merusak wilayah selatan dan tengah Pulau Jawa bagian barat, seperti wilayah Sukabumi, Cianjur, Bandung, Garut, Tasikmalaya, Ciamis, sebagian Kuningan, dan Cilacap. Sedangkan getarannya dirasakan hingga bagian utara Pulau Jawa. Kerusakan yang terjadi lebih diperparah karena memicu tejadinya gerakan tanah. Pusat Lingkungan Geologi (PLG) sebagai unit di bawah Badan Geologi yang memiliki fungsi melaksanakan penilaian terhadap terjadinya perubahan fenomena geologi yang terkait dengan faktor lingkungan guna memberikan arahan pengelolaan lingkungan dan penataan ruang, perlu melakukan suatu identifikasi untuk mengetahui hubungan antara kerusakan akibat gempabumi dan lingkungan geologi. Berkaitan dengan itu, pada 4, 5, dan 9 September 2009, PLG mengirimkan tim untuk melakukan peninjauan ke beberapa lokasi yang mengalami kerusakan, yaitu Cikole (Kabupaten Ciamis), Kota Tasikmalaya, Manonjaya, Cigalontang, Cibalong, Cipatujah (Kabupaten Tasikmalaya), Pameungpeuk (Kabupaten Garut), dan Rancabali, Pangalengan (Kabupaten Bandung). Dalam tulisan ini diuraikan keadaan lingkungan yang diakibatkan oleh kejadian bencana gempa bumi di beberapa lokasi yang didatangi secara terpilih oleh Tim. Uraian menyangkut faktor geologi lingkungan, seperti kondisi topografi, batuan dasar, ketebalan tanah pelapukan dan keberadaan struktur geologi serta terjadinya retakan-retakan pada permukaan tanah. Dari hal tersebut akan terlihat kedepan peranan geologi lingkungan dalam memberikan masukan penataan ruang pemukiman di wilayah perkotaan dan pedesaan. a.Cikole, Kabupaten Ciamis Kampung Cikole, masuk dalam wilayah Kecamatan Cihaurbeuti, Kabupaten Ciamis. Secara topografi lokasi yang dilanda kerusakan berupa pedataran yang disusun oleh batuan endapan vulkanik. Tanah pelapukannya diperkirakan berupa pasir lempungan dengan ketebalan > 5 m, tidak ditemukan indikasi struktur geologi disekitar permukaan. Kerusakan fisik sebagian besar adalah bangunan rumah tinggal dan rumah ibadah berupa terlepasnya ikatan struktur bangunan, sehingga runtuhnya dinding bangunan. Bangunan yang memiliki tulang beton hampir tidak terjadi kerusakan. Tidak dijumpai retakan tanah di permukaan sehingga kerusakan terjadi karena getaran gempa yang cukup tinggi.

Sebuah rumah berdinding tembok di Kampung Cikole umumnya runtuh karena tidak memiliki struktur tulang-tulang beton.

Satu-satunya bangunan yang runtuh di Kota Tasikmalaya.

b.Kota Tasikmalaya Kota Tasikmalaya yang terletak di daerah yang hampir datar dengan batuan dasar endapan vulkanik dan aluvial. Tanah pelapukannya berupa pasir lempungan hingga pasir kerikilan dengan ketebalan bervariasi antara 1 hingga > 5 m. Tidak terdapat struktur geologi yang muncul di permukaan. Kerusakan yang signifikan hanya terlihat satu bangunan yang terletak di Jalan Cihideung yang secara visual berupa bangunan lama, sedangkan sisi kanan dan kiri yang relatif bangunan baru (dikategorikan berstruktur bangunan baik) tetap kokoh. Retakan dan rontok kecil pada pelapis dinding tembok (plesteran) merupakan hal yang umum terlihat. Lintasan Geologi 31

Lintasan Geologi c.Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya Manonjaya terletak sekitar 15 km sebelah selatan Kota Tasikmalaya dengan kondisi topografi berupa pedataran yang disusun oleh endapan vulkanik, tidak ditemukan struktur geologi yang muncul di sekitar permukaan. Kerusakan yang sangat signifikan adalah robohnya balok penyangga serambi mesjid yang mengakibatkan runtuhnya atap bangunan. Bangunan lain hanya retak bagian plesterannya, bahkan kebanyakan masih utuh. Mesjid Agung Manonjaya yang roboh bagian depannya.

Rumah panggung aman dari gempa di Cigalontang

d.Cigalontang, Kabupaten Tasikmalaya Secara topografi wilayah Kampung Jayapura, Desa Lengkong Jaya, Kecamatan Cigalontang terletak pada daerah perbukitan rendah yang disusun oleh batuan endapan gunungapi muda. Tanah pelapukannya berupa pasir lempungan hingga kerikilan. Daerah ini memiliki banyak lembah dan beberapa kelurusan-kelurusan yang diduga berupa patahan lokal berdimensi kecil. Kerusakan bangunan baik rumah maupun sarana umum yang diakibatkan oleh kejadian gempa bumi di wilayah Cigalontang ini hampir merata dengan tingkat kerusakan dari berat sampai ringan. Hampir semua bangunan yang berkonstruksi tembok umumnya mengalami kerusakan yang cukup signifikan, terutama yang letaknya sekitar lereng bukit (bagian atas tebing). Sedangkan bangunan yang terbuat dari kayu atau bambu yang berupa rumah panggung betul-betul utuh, tidak terpengaruh oleh gempa bumi. e.Cibalong, Kabupaten Tasikmalaya Cibalong terletak di bagian selatan Kota Tasikmalaya, topografinya berupa perbukitan dan sedikit pedataran bergelombang. Batuan penyusunannya endapan vulkanik dan sedimen, sedangkan ketebalan tanah pelapukannya relatif cukup tebal, terutama di daerah sekitar lembah.

Salah satu bangunan rumah yang roboh di Cibalong, berdinding tembok­ ­sederhana dan berada di sekitar lereng.

Kerusakan bangunan rumah yang terjadi di Desa Eureun palay, Kecamatan Cibalong, ini umumnya pada bangunan rumah bertembok sederhana tanpa penulangan beton dan berada di sekitar tebing atau lereng. f.Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya Topografi wilayah Cipatujah berupa perbukitan dan pedataran pantai yang disusun oleh batuan endapan sedimen, dengan tanah pelapukan yang relatif tipis.

Bangunan fasilitas wisata masih di pantai Cipatujah tetap kokoh 32 W a r t a

Geologi September 2009

Di daerah pantai tidak terlihat kerusakan bangunan akibat gempa. Bangunan cukup kokoh, terutama fasilitas umum (wisata) pantai. Getaan gempa hanya menjatuhkan atap genting. Tidak dijumpai adanya rekahan-rekahan dipermukaan.

Mesjid Agung di Kota Pameungpeuk tetap kokoh.

Bangunan rubuh ykarena tiang penyangganya patah.

g.Pameungpeuk, Kabupaten Garut Kota Kecamatan Pameungpeuk terletak di bagian selatan Kabupaten Garut. Topografi wilayah ini berupa pedataran bergelombang yang disusun oleh batuan sedimen. Ketebalan tanah pelapukannya relatif tipis dibandingkan dengan daerah di sekitar pedataran pantainya. Kerusakan bangunan umumnya terjadi retakan dan terlepasnya plesteran tembok dinding dan sebagian besar pada bangunan-bangunan lama. Banyak bangunan kokoh yang masih utuh, seperti mesjid dan beberapa bangunan lainnya.

Bangunan-bangunan yang roboh sepanjang jalan Cikelet - Pameungpeuk.

h.Cikelet, Kabupaten Garut Wilayah ini berupa pedataran pantai yang disusun oleh endapan aluvial dengan pelapukan cukup tebal, tidak dijumpai strukur geologi yang di permukaan. Kerusakan bangunan, khususnya rumah penduduk banyak dijumpai di Desa Pamalayan. Hampir seluruh rumah yang terbuat dari tembok mengalami kerusakan yang cukup berat, baik dinding maupun atap rumah yang hancur. Kerusakan di desa ini cukup homogen dibandingkan dengan di tempat lain. Lintasan Geologi 33

Dinding rumah pemukiman yang roboh di Rancabali.

Dengan struktur bangunan yang sesuai, rumah ini tetap kokoh berdiri. 34 W a r t a

Geologi September 2009

Rumah panggung yang telah berusia 90 tahun tetap berdiri kokoh. Kerusakan hanya beberapa plesteran dindingnya yang terkelupas.

i.Rancabali, Kabupaten Bandung Daerah ini merupakan wilayah Perkebunan Teh Rancabali berupa perbukitan bergelombang yang disusun oleh endapan vulkanik muda dengan tanah pelapukan yang cukup tebal. Banyak dijumpai kelurusan lereng yang diduga sebagai garis atau zona struktur geologi. Kerusakan bangunan terjadi pada rumah-rumah pemukiman perkebunan teh yang terbuat dari tembok, sedangkan bangunan pemukiman yang terbuat dari kayu tidak mengalami kerusakan. j.Pangalengan, Kabupaten Bandung Topografi wilayah Pangalengan berupa perbukitan bergelombang yang disusun oleh endapan vulkanik muda dengan pelapukan yang relatif tebal. Kerusakkan bangunan yang diakibatkan oleh gempa bumi 2 September 2009 hampir merata terutama yang berada di bagian lereng dan dasar lembah. Kerusakan yang terjadi berupa terlepasnya tahanan dinding bangunan, terutama pada bangunan bertembok sederhana (tanpa tulang beton), bahkan pada bangunan bertulang betonpun, terutama di yang posisinya berada disekitar lereng atau ujung lereng, juga mengalami kerusakan berat. Beberapa rumah dengan konstruksi yang sesuai dengan kaidah struktur bangunan terlihat kokoh, tidak ada satu retakanpun yang dijumpai pada bagian dindingnya.

Dengan struktur bangunan yang sesuai, rumah ini tetap kokoh berdiri Rumah panggung yang telah berusia 90 tahun tetap berdiri kokoh. Kerusakan hanya beberapa plesteran dindingnya yang terkelupas. Kesimpulan dan Saran Dari peninjauan singkat ini dapat disimpulkan bahwa, secara geologi lingkungan kerusakan bangunan yang terjadi akibat gempa bumi yang melanda bagian selatan dan tengah Pulau Jawa Bagian Barat adalah sebagai berikut : a.Topografi tempat berdirinya bangunan berpengaruh terhadap tingkat kerusakan b.Adanya kelurusan-kelurusan lembah yang diduga sebagai penguat getaran c.Ketebalan tanah pelapukan dan batuan induk dibawahnya berperan dalam kerusakan bangunan di atasnya d.Kualitas bangunan, terutama di wilayah pedesaan pada umumnya tidak sesuai dengan struktur bangunan yang tahan gempa e.Pusat Geologi Lingkungan perlu meningkatkan perannya dalam pengarahan tata ruang untuk pembangunan, terutama di daerah pedesaan.n Para Penulis adalah Penyelidik Bumi Pusat Lingkungan Geologi Badan Geologi Lintasan Geologi 35

Geo Fakta

Louis Agassiz Ahli Geologi

Jean Louis Rodolphe Agassiz 28 Mei 1807- 14 Desember 1873

Jean Louis Rodolphe Agassiz (28 Mei 1807- 14 Desember 1873) adalah seorang paleontologist, glaciologist, dan ahli geologi, dan merupakan pembaru yang menonjol dalam ilmu bumi dan alam. Ia dibesarkan di Swiss dan menjadi profesor sejarah alam di University of Neuchatel. Kemudian, ia menerima sebuah gelar profesor di Harvard University Amerika Serikat. Louis Agassiz dilahirkan di Môtier (sekarang bagian dari Haut-Vully) di distrik Fribourg, Swiss. Agassiz menyelesaikan studi SD-nya di Lausanne dan menghabiskan empat tahun di sekolah menengah Bienne. Setelah menggeluti profesi sebagai ahli obat, ia kemudian berturut-turut belajar di perguruan tinggi dari Zürich, Heidelberg dan Munich. Khususnya pengetahuan tentang sejarah alam dan botani. Pada tahun 1829 ia menerima gelar Doctor of Philosophy di Erlangen, dan pada tahun 1830 memperoleh Doctor of Medicine di Munich. Pindah ke Paris, ia mendapat bimbingan intensif di bawah pengawasan dari Alexander 36 W a r t a

Geologi September 2009

von Humboldt dan Georges Cuvier, itulah yang membuat karirnya bergeser untuk menggeluti geologi dan zoology. Pada tahap awal karirnya di Neuchatel, Agassiz juga membuat dirinya sebagai peneliti yang piawai untuk departemen ilmiah. Dibawah naungannya Universitas Neuchatel segera menjadi lembaga terdepan untuk penyelidikan ilmiah. Pada periode 1819-1820, von Johann Baptist Spix dan Carl Friedrich Philipp von Martius telah terlibat dalam sebuah ekspedisi ke Brasil, dan mereka kembali ke Eropa, antara lain berhasil mengkoleksi benda alam. Mereka membawa pulang satu set ikan air tawar yang penting dari Sungai Amazon. Spix, yang meninggal pada 1826, tidak hidup cukup lama untuk meneliti sejarah ikan ini, dan Agassiz (yang masih segar karena baru menyelesaikan sekolah) telah dipilih oleh martius untuk tujuan ini. Tugas menjelaskan ikan Amazon telah diselesaikan dan diterbitkan pada 1829.

Geofakta 37

Geo Fakta

Kemudian ini diikuti oleh penelitian sejarah ikan danau Neuchatel. Pada 1830 ia mengeluarkan prospektus a History of the Freshwater Fish of Central Europe. Pada 1832 ia ditunjuk sebagai profesor sejarah alam di University of Neuchatel. Ia kemudian tertarik mempelajari lebih mendalam tentang fosil ikan. Awal 1829, berhasil menerbitkan pekerjaan yang lebih dari yang lain, dan meletakkan dasar yang terkenal di seluruh dunia. Lima volume menghasilkan Recherches sur les poissons fossiles muncul pada interval 1833-1843. Dalam mengumpulkan bahan-bahan untuk pekerjaan ini, Agassiz mengunjungi museum utama di Eropa, dan bertemu Cuvier di Paris, ia menerima banyak dukungan dan bantuannya. Agassiz menemukan bahwa perlu dibuat klasifikasi palaeontologi berdasar ichthyologi. Terutama terdiri dari gigi, dan skala, bahkan tulang yang relatif sempurna diawetkan dalam beberapa kasus. Karena itu ia mengadopsi klasifikasi ikan yang dibagi menjadi empat grup: Ganoids, Placoids, Cycloids dan Ctenoids, berdasarkan sifat dari skala appendage yg berhubung dgn kulit dan lainnya. 38 W a r t a

Geologi September 2009

Sebanyak 1290 gambar asli yang dibuat untuk pekerjaannya yang telah dibeli dan disajikan dalam Geological Society of London. Pada 1836 Wollaston Medal telah diberikan kepada Agassiz untuk karyanya pada ilmu pengetahuan dan fosil tentang ikan, dan pada 1838 ia terpilih sebagai anggota kehormatan Royal Society. Pada 1837 ia mengeluarkan “Prodrome” dari monografi baru fosil Echinodermata, dan pada 1839-1840 ia menerbitkan dua quarto volume pada fosil Echinoderms dari Swiss, dan akhirnya ia meluncurkan Etudes sur les kritik mollusques fossiles tahun 1840-1845. Pada tahun 1837 Agassiz adalah yang pertama secara ilmiah untuk mengusulkan bahwa Bumi telah terganggu dari zaman es. Pada tahun 1860, satu tahun setelah Darwin menulis bukunya: “On the origin of species”, Agassiz telah menunjukkan sifat spekulatip dari buku Darwin. Data yang betul-betul ilmiah tidak mendukung teori evolusi. Sepanjang hidupnya Agassiz menentang teori evolusi.

Makam Louis Agassiz.

Karya-karya penting • Recherches sur les poissons fossiles (18331843) • History of the Freshwater Fishes of Central Europe (1839-1842) • Etudes sur les glaciers (1840) • Etudes critiques sur les mollusques fossiles (1840-1845) • Nomenclator Zoologicus (1842-1846) • Monographie des poissons fossiles du Vieux Gres Rouge, ou Systeme Devonien (Old Red Sandstone) des Iles Britanniques et de Russie (1844-1845) • Bibliographia Zoologiae et Geologiae (1848) • (with AA Gould ) Principles of Zoology for the use of Schools and Colleges (Boston, 1848) • Lake Superior: Its Physical Character, Vegetation and Animals, compared with those of other and similar regions (Boston: Gould, Kendall and Lincoln , 1850) • Natural History of the United States (Boston: Little, Brown, 1847-1862)

• Geological Sketches (Boston: Ticknor & Fields, 1866) • A Journey in Brazil (1868) • De l’espèce et de la classification en zoologie [Essay on classification] (Trans. Felix Vogeli. Paris: Bailière, 1869) De l’espèce et de la klasifikasi id zoologie • Geological Sketches (Second Series) (Boston: JR Osgood, 1876) • Essay on Classification, by Louis Agassiz (1962, Cambridge) • Numbers, Ronald L., “The Creationists: From Scientific Creationism to Intelligent Design”, 2nd ed., 2006. • Early Classics in Biography, Distribution, and Diversity Studies: to 1950.n Joko Parwata Penulis adalah Fungsional Perencana Sekretariat Badan Geologi Badan Geologi

Geofakta 39

PROFIL

“….rasa ­terhadap

kecintaan yang

besar

fosil yang membuat saya ­bertahan dengan segala

kondisi yang ada….”

Iwan Kurniawan, Penemu Fosil Gajah di Blora tahun 2009 Bulan Maret tahun 2009 kemarin, Museum ­Geologi dan dunia penelitian vertebrata ­ dihebohkan ­dengan penemuan “spektakuler” berupa fosil ­ gajah purba “elephas sp” di Dusun Sunggun, ­Kelurahan Medalem, Kradenan, Kabupaten Blora, Jawa Tengah oleh tim penelitian vertebrata Museum Geologi, Badan Geologi, yang diketuai oleh Iwan Kurniawan. Temuan gajah purba “elephas sp” di Blora tersebut sangat penting karena dapat memberikan pencerahan terhadap upaya mengungkapkan “missing link” evolusi gajah purba di Asia Tenggara, perubahan iklim, dan vegetasi masa lalu pada perioda tersebut. Temuan ini pun merupakan hadiah terindah Tim Penelitian Vertebrata karena bertepatan dengan Ulang Tahun Museum Geologi yang ke-80 (Dasa Windu). Hal tersebut merupakan buah dari ketekunan dan keuletan Iwan bersama seluruh tim vertebrata yang dipimpinnya dalam melaksanakan tugas sebagai salah seorang ahli paleontologi vertebrata di Museum Geologi. Untuk mengetahui lebih dekat sosok 40 W a r t a

Geologi September 2009

seorang ahli paleontologi vertebrata yang tampil sederhana dan dikenal rendah hati tersebut, tim Warta Geologi berbincang-bincang dengan Iwan Kurniawan di sela-sela kesibukannya dalam mempreparasi temuan terbarunya itu di ruang ­kerjanya. WG berkepentingan melakukan wawancara mendalam ini untuk lebih memperkenalkan sosok seorang yang tekun dan memiliki kecintaan yang besar terhadap dunia fosil yang digelutinya selama ini. Pria berkumis tebal yang lahir di Bandung, 23 Juli 1967 merupakan pegawai Museum Geologi, Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, DESDM, memiliki 2 orang putri bernama Annisa Aprilia K. dan Elvira Octavida K. hasil buah cintanya bersama istri bernama Komariah. Iwan merupakan geologist yang mengawali pendidikan di AGP tahun 2003 – 2006 (sekarang Politeknik Jepang) lalu melanjutkan pendidikan S-1 Geologi di Universitas ­Pajajaran Bandung Tahun 2006 – Mei 2009. Awal karir di Institusi awalnya bekerja pada tahun 1988 di Puslitbang Geologi (sekarang Pusat Survei Ge-

Profil 41

PROFIL

Lokasi ditemukannya Fosil gajah purba yang ditemukan di Blora.

ologi) pada program paleontologi (vertebratanya), lalu masuk Museum Geologi pada tahun 2001 di bidang vertebrata dengan Prof. Fachrul Aziz. Jika dilihat dari pendidikan yang ditempuhnya, Iwan terbilang baru menyandang gelar sebagai sarjana geologi, namun berkat kecintaan, pengalaman, dan ketekunannya dalam mendalami bidang vertebrata selama beliau bekerja (1988 – sekarang) menjadikan beliau sebagai salah seorang ahli dalam fosil vertebrata yang dimiliki Badan Geologi yang diperhitungkan di Indonesia. Berikut adalah perbincangan tim Warta Geologi bersama Iwan; Tim Warta Geologi WG: Bagaimana awalnya Anda bisa tertarik untuk mendalami bidang vertebrata (fosil)? Iwan: Awalnya saya tidak terlalu terfokus pada vertebrata, bahkan saya sangat awam dan bingung dengan bidang vertebrata tersebut, saat itu terdapat beberapa pertanyaan dalam diri saya, yaitu seperti apa yang namanya “fosil” itu? Untuk apa fosil itu dipelajari dan diteliti? Namun kebetulan pada awal bekerja di Puslitbang Geologi tahun 1988 saya ditempatkan di bagian vertebrata untuk membantu pekerjaan Prof. Fachrul Aziz (sekarang). Dari sinilah saya mulai mengetahui sedikit demi sedikit dan mempelajari vertebrata dengan bimbingan beliau. Pengalaman pertama saya melakukan kegiatan 42 W a r t a

Geologi September 2009

lapangan tim vertebrata pada tahun 1989 ke Sulawesi yang merupakan kerjasama antara Puslitbang Geologi (P3G) dengan Universiteit Ultrecht – Belanda yang diketuai oleh Pa Fachrul selama 4 tahun. Dari situ saya mulai tertarik, memahami, dan merasakan bahwa bidang vertebrata ini merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang cukup rumit namun jika ditekuni dengan serius maka akan terasa mudah dan mengasyikkan. Tim WG: Nah, sekarang ini Anda dapat dikatakan sebagai seorang ahli di bidang Paleontologi Vertebrata. Apa hikmah yang bisa diambil selama menggeluti bidang vertebrata ini? Iwan: Hikmahnya banyak sekali yang dapat saya rasakan, baik itu hikmah bagi diri saya pribadi maupun untuk dunia ilmu pengetahuan. Hikmah bagi diri saya, salah satunya dalam pendidikan baik formal maupun informal, yang pada akhirnya saya dapat memahami bidang tersebut. Berdasarkan pengetahuan dan pengalaman tersebut, saya pernah dilibatkan dalam beberapa proyek internasional seperti penggalian Dinosaurus di Australia. Lalu pernah terlibat sebagai salah satu pembuat replika di salah satu museum di Jepang. Di samping itu kepuasan yang tidak ternilai harganya dalam melakukan setiap kegiatan penelitian vertebrata yang dilakukan. Selain itu, bagi dunia ilmu pengetahuan, banyak sekali sumbangsih dari berbagai hasil penelitian yang dilakukan sehingga

kita dapat setahap demi setahap memecahkan teka-teki yang selama ini ada khususnya bagi kehidupan pada masa yang lalu, baik itu jenis-jenis makhluk hidup yang pernah hidup pada masa itu, bagaimana lingkungannya, dan lainnya. Jadi sangat banyak hikmahnya yang saya dapat selama mendalami dan mempelajari bidang paleontologi vertebrata tersebut. Hanya saya sangat menyayangkan karena di Indonesia ini khususnya di Pusat Survei Geologi ini jarang sekali orang yang tertarik untuk mempelajari bidang Paleontologi Vertebrata, padahal bidang ini sangat penting sekali bagi kehidupan kita. Melalui bidang ini kita bisa mengetahui kehidupan masa lampau, lingkungannya seperti apa? Pola migrasi nya bagaimana? Asalusulnya bagaimana? Semua itu dapat diketehui/ dilihat dari bidang paleontologi vertebrata ini. Tim WG: Tadi Anda mengatakan bahwa ahli vertebrata di Indonesia ini dapat dikatakan langka karena sangat jarang sekali orang mendalami ilmu paleontologi vertebrata ini. Menurut Anda yang sudah selama 21 tahun bekerja dan mempelajari ilmu tersebut, apa sih permasalahan, hambatan atau tantangan sehingga orang itu jarang sekali tertarik untuk mendalami ilmu ini? Contohnya apakah karena bidang yang kurang ekonomis atau rumit dan sukar dalam mempelajarinya atau kurangnya perhatian dari pemerintah atau institusi mengenai bidang ilmu ini. Iwan: Jelas, kendala utamanya dapat dikatakan dari hal ekonomi/pendanaan. Selain itu, perhatian dari pemerintah kita sendiri baik itu sarana dan dana tidak begitu men-support, karena jelas jika kita ini (tim vertebrata) akan melakukan ekskavasi memerlukan dana yang cukup besar dan itu pun tidak dapat dijamin bahwa dalam penelitian yang dilakukan tersebut akan berhasil. Di sisi lain, kenapa jarang sekali orang tertarik untuk mendalami vertebrata karena bidang ini dapat dikatakan tidak

ekonomis (hasilnya tidak bisa dijual), hasil penelitian ini hanya untuk perkembangan ilmu pengetahuan (sains) saja, fosil vertebrata tidak bisa dijual. Lain halnya dengan bidang seperti minyak bumi dan batubara. Dengan terdapatnya kendala tersebut, kita pun harus memahami bahwa negara kita ini tergolong dalam negara berkembang dengan segala keterbatasan yang dimilikinya, namun kita harus mampu bertahan dengan segala kondisi yang ada untuk kemajuan bangsa kita sendiri, khususnya dalam hal ilmu pengetahuan. Saya sangat menyayangkan, sebetulnya Indonesia ini kaya akan peninggalan fosil vertebrata, tinggal bagaimana kita mensiasatinya dan memanfaatkannya sehingga dapat mengungkap tabir kehidupan pada masa lalu, serta sangat berpotensi dalam memberikan banyak sumbangsih bagi dunia ilmu pengetahuan, yang pada akhirnya dapat mengangkat dan mengharumkan bangsa Indonesia di dunia. Tim WG: Sangat jarang sekali orang mendalami ilmu paleontologi vertebrata karena alasan seperti Anda jelaskan tadi, lalu apa yang membuat Anda tekun dan setia dalam mempelajari serta mendalami dunia vertebrata ini? Iwan: Yang jelas, saya sangat mencintai dan sayang terhadap fosil, memiliki kepuasan tersendiri dalam mempelajarinya, dan dapat lebih memahami makna kehidupan pada masa yang lampau untuk menjalani kehidupan di masa yang akan datang sebagai tanda kebesaran Allah SWT, disamping itu saya berfikir jika bukan saya maka siapa lagi yang melanjutkan ilmu vertebrata ini khususnya di intitusi kita (Museum Geologi), yang Alhamdulillah saat ini mulai bermunculan kader-kader yang tertarik pada vertebrata ini namun masih bisa dihitung oleh jari sebelah tangan. Disamping itu, jika kita perhatikan pengunjung Museum Geologi ini, lebih tertarik untuk melihat fosil-fosil vertebrata Profil 43

PROFIL

dibandingkan dengan yang lainnya, bukan berarti yang lainnya kurang menarik. Justru sekarang, lebih banyak para peneliti dari luar Indonesia (Jepang, Australia, Prancis, Amerika, dll) yang ingin melakukan pencarian fosil di Indonesia ini, dan itu sangat banyak sekali. Tim WG: Apakah krisis minat ini terjadi di dunia atau hanya di Indonesia? Iwan: Tidak, krisis ini hanya di Indonesia, di negara-negara lain khususnya di negara-negara maju tidak terjadi krisis minat tersebut karena yang saya ketahui bahwa di negara lain satu institusi (katakan museum) dapat memberikan kontribusi ke instansi lain sehingga tercipta koordinasi yang baik antar institusi dan salah satu nya institusi yang bergerak di bidang fosil vertebrata dapat menentukan kebijakan pemerintah secara keseluruhan maupun secara sektoral. Contohnya: Departemen PU yang memiliki rencana pembuatan jalan baru. Nah, PU tersebut mensosialisasikan dan berkoordinasi terlebih dahulu untuk menentukan jalur yang akan dibuat jalan tersebut, sehingga tidak bersinggungan dengan lokasi fosil tersebut bahkan berkordinasi seandainya lokasi tersebut akan dibuat sebagai salah satu objek pariwisata, sehingga jalur baru tersebut akan mendukung aksesibilitas ke lokasi objek pariwisata tersebut. Nah, artinya disini, pemerintah sangat memperhatikan dan menganggap penting bidang fosil vertebrata. Dan 44 W a r t a

Geologi September 2009

tidak hanya orang yang berlatar belakang pendidikan formal yang mencintai dunia fosil namun dari masyarakat luas pun sudah memiliki kecintaan terhadap kekayaan negara tersebut, sehingga para ahli fosil vertebrata di negara-negara maju tidak begitu kesulitan untuk mencari pendanaan seandainya akan melakukan penelitian (research) atau pun penggalian fosil, banyak para pengusaha atau sponsor yang ingin terlibat dalam ekskavasi tersebut, nah hal tersebut diakibatkan tingginya kesadaraan dan kecintaan masyarakat di negara maju akan pentingnya fosil tersebut. Di Indonesia belum tercipta suatu iklim seperti itu, bahkan terkesan bahwa pemerintah menutup sebelah mata pada bidang fosil vertebrata. Tim WG: Terkait dengan penemuan spektakuler di tahun 2009 ini berupa penemuan fosil gajah purba yang tergolong utuh (80 %) di Blora, bisa diceritakan sedikit pengalaman dan asal mulanya sehingga dapat menemukan fosil gajah tersebut di Blora? Iwan: Awalnya waktu itu saya masih berada di Puslitbang Geologi (P3G) dan melakukan pekerjaan penjajakan paleontologi yang bekerjasama dengan UNE (University of New England) – Australia pada tahun 1996 di Flores. Lalu setelah Paleontologi Vertebrata pindah ke Museum Geologi, kerjasama tersebut masih berlanjut. Selama 10 tahun kerjasama tersebut, lokasi penelitian terjadi penggabungan tidak hanya di Flores, namun meluas ke

Kepala Badan Geologi (Dr.R. Sukyar) melakukan penjauan langsung ke lokasi ditemukannya Fosil gajah purba di Blora yang didampingi oleh Kepala Pusat Survei Geologi dan Kepala Museum Geologi.

Kegiatan penggalian Fosil gajah purba yang ditemukan di Blora, oleh tim vertebrata Museum Geologi yang diketuai oleh Iwan Kurniawan. Profil 45

PROFIL

...“kita harus ­melakukan pemetaan khusus untuk ­sebaran keterdapatan fosil di Indonesia ini”... Pulau Sulawesi, Timor, dan Pulau Jawa. Di Pulau Jawa sendiri salah satunya kita melakukan penggalian fosil di Blora, yaitu di Sembungan sejak tahun 2004 yang diketuai oleh Pak Eko Edi Susanto. Lalu pada tahun 2006, saya sebetulnya sudah menemukan keberadaan fosil gajah tersebut, namun pada saat itu karena kita hanya terfokus pada penggalian fosil di Sembungan dan keterbatasan waktu serta dana pada saat itu maka saya dan tim tidak melakukan apa-apa pada lokasi temuan tersebut. Akhirnya saya dengan Mike Morwood (Peneliti dari Australia) yang ikut mengecek lokasi tersebut berkali-kali merasa yakin bahwa fosil tersebut adalah fosil gajah, namun belum diketahui secara rinci tentang fosil tersebut. Setelah itu, lokasi tersebut setiap tahun saya survei, setiap tahun makin kelihatan singkapan fosil tersebut. Awal penggalian fosil gajah tersebut dilakukan awal tahun 2009, pada saat saya sedang menyelesaikan studi S-1 saya, yaitu melakukan pemetaan antara Blora dan Bojonegoro, kebetulan lokasi tersebut masuk dalam wilayah studi saya. Saya saat itu sedang melakukan survei pemetaan dengan Pak Sidarto. Pada saat saya melakukan survei, kebetulan teras (dengan tinggi 15 m) lokasi fosil itu runtuh, lalu nampak gading fosil gajah tersebut. Pada saat itu, karena keterbatasan dana dan waktu untuk menyelesaikan pemetaan terkait studi saya, maka saya biarkan begitu saja fosil tersebut. Tiga hari kemudian setelah itu, saya lapor ke Gert Van Den Bergh (peneliti Belanda) yang sedang melakukan penggalian di Sembungan, akhirnya dicek kembali lokasi tersebut bersama beliau dan ternyata makin kelihatan singkapan fosil tersebut, sudah nampak tengkoraknya. Nah mulai dari situ kita sepakat, jika tidak dilakukan penggalian, dikhawatirkan akan rusak, akhirnya kita dibagi dua, yaitu penggalian di sembungan dan penggalian di Blora. Setelah digali, ternyata yang tadinya kita tidak berfikir bahwa fosil gajah tersebut komplit (utuh) ternyata banyak sekali fosil/tulang yang ditemukan, akhirnya kami menyatakan bahwa fosil gajah tersebut komplit (80%). Alhamdulillah, kebetulan penemuan fosil tersebut bersamaan dengan Ulang Tahun Museum Geologi ke-80 (Dasa Windu), sehingga merupakan hadiah ulang tahun terindah, karena temuan ini dapat dikatakan spektakuler karena baru sekali ini ditemukan fosil gajah dengan jenis “elephas sp” 46 W a r t a

Geologi September 2009

ditemukan secara utuh. Dahulu pada tahun 1816 (kalau tidak salah) pernah ditemukan jenis fosil gajah yang sama oleh orang belanda, namun hanya berupa gigi gajahnya saja dengan tengkorak yang sekarang berada di Museum Leiden - Belanda. Tim WG: Sekarang ini sedang mencuat isu cagar geologi (salah satunya fosil) yang diamanatkan pada UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan regulasi implementasinya PP No. 26 Tahun 2008, menurut Anda, langkah-langkah apa dari kita dan institusi yang harus dilakukan untuk mendukung Cagar Lindung Geologi tersebut yang terkait dengan fosil? Iwan: Salah satunya kita harus melakukan pemetaan khusus untuk sebaran keterdapatan fosil di Indonesia ini, yang mana itupun kita tidak bisa dilakukan secara sendiri, diperlukan koordinasi dan kerjasama yang baik dengan pemerintah daerah dalam hal pengawasan dan terutama pembebasan lahan dengan tujuan untuk mengamankan lokasi fosil (kekayaan Negara yang tidak ternilai) tersebut dari tangan-tangan yang tidak bertanggungjawab. Sebetulnya kita sudah ada plot lokasi penyebaran situs-situs fosil vertebrata, khususnya untuk Pulau Jawa dapat dikatakan sudah lengkap, namun untuk dijadikan lokasi khususnya (smoothnya) belum terdefinisikan secara rinci. Kendalanya kembali lagi pada masalah dana namun secara garis besarnya kita sudah memiliki ploting daerah-daerah yang diduga mengandung banyak fosil terutama vertebrata ini. Namun semua itu kembali lagi pada kepedulian Pemerintah Daerah terkait dengan otonomi daerah yang sedang berjalan selama ini.

Fosil gajah purba yang ditemukan di Blora, dipamerkan untuk pertama kali kepada masyarakat luas di Hall Museum Geologi. Gajah Purba ini diperkirakan memiliki tinggi 3,75 – 4 m, panjang 5 m, berat 10 ton, dan panjang gading hingga 2 m.

Tim WG: Terkait dengan diatas, apakah kurang kepeduliannya Pemda terhadap keberadaan fosil ini disebabkan dengan kurangnya sosialisasi dan informasi yang dimiliki oleh pemda tentang plot lokasi tersebut atau ada hal lain?

Tim WG: Mengenai tantangan kedepan, setelah menemukan fosil gajah yang spektakuler di Blora, rencananya akan research dimana lagi yang kiranya sudah terdapat titik terang mengenai keberadaan fosil vertebrata di Indonesia ini?

Iwan: Sebetulnya kalo informasi, sebelum kita melakukan penelitan kan sudah lapor ke pemda setempat ­dengan menyerahkan proposal dan setelah melakukan aktivitas penelitian tersebut kita pun memberikan hasil laporan penelitian yang ­sudah dilakukan, namun kurang diperhatikan dengan baik. Minimal, pemda dapat memberikan ­ sosialisasi terhadap masyarakat tentang ­keberadaan fosil tersebut sehingga kawasan tersebut dapat terjaga dengan baik. Jika masyarakat sudah ­mengetahui informasi tersebut, minimal masyarakat jika ­ menemukan fosil dapat dengan segera melaporkan ke instansi terkait untuk ditindak lanjuti dengan baik dan benar.

Iwan: Yang jelas kita tidak akan berhenti melakukan penelitian karena penelitian dan ilmu pengetahuan itu bersifat dinamis dalam arti tidak akan berhenti melakukan beberapa penelitian khususnya dalam bidang fosil vertebrata mengingat ­kayanya ­ Indonesia akan keberadaan fosil vertebrata tersebut. Pada saat ini, kita dari tim vertebrata lebih memfokuskan dalam bidang hominit (fosil manusia), yang mana pada bulan ini pun kita akan melakukan penelitian lapangan di daerah Sopeng, Pulau Sulawesi yang merupakan suatu situs artefak yang sangat kaya. Lalu kita pun pada tahun ini akan melakukan penelitian di Pulau Jawa dan ­Atambua (Timor). Hal ini terkait dengan ­penemuan fosil Homo Floresiensis di Pulau Flores dengan tujuan untuk mengetahui pola penyebaran manusia tersebut.

Tim WG: Apa harapan Anda dalam mendalami vertebrata ini baik terhadap institusi maupun generasi penerus bangsa? Iwan: Harapan saya terhadap pemerintah, jangan menutup atau memandang sebelah mata (dalam arti memang dunia vertebrata ini tidak ekonomis namun sangat penting bagi ilmu pengetahuan) terhadap vertebrata karena fosil itu kan merupakan salah satu kekayaan Negara yang tak ternilai. Dan bagi geologist muda, harapannya akan banyak bermunculan para ahli vertebrata yang mencintai dunia fosil, karena ilmu ini tidak kalah pentingnya dengan ilmu-ilmu yang lainnya.

Demikianlah bincang-bincang tim Warta Geologi dengan Iwan Kurniawan yang merupakan salah satu ahli paleontologi vertebrata yang barubaru ini berhasil menemukan fosil gajah purba di Blora. Dari hasil perbincangan tersebut, tim dapat ­ mengambil beberapa hikmah dari perjalanan seorang pria yang berkumis tebal ini tentang ­makna ketekunan, kesetiaan, dan dedikasi yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan yang bermanfaat bagi kemajuan bangsa dan negara. Bagaimana dengan anda?n (Tim Warta Geologi)

Profil 47

Seputar Geologi

Sosialisasi Bidang Geologi di Provinsi ­Sumatra Utara

Kepala Badan Geologi Dr. Ir. R. Sukhyar (sebelah kanan) menyerahkan dokumen geologi kepada Ir. Washington Tambunan (Kepala Dinas Pertambangan Provinsi S­ umatera Utara)

Badan Geologi pada tanggal 30 Juli 2009 menyelenggarakan Sosialisasi Pemberdayaan dan Penyebarluasan Informasi Bidang Geologi di Provinsi Sumatera Utara. Acara yang lebih dikenal dengan kegiatan sosialisasi bidang geologi ini dilaksanakan di Kota Medan dan merupakan lanjutan kegiatan yang dilaksanakan di 7 Provinsi, yakni: Papua, Sulawesi Utara, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Gorontalo, Bengkulu, dan Kalimantan Timur.

Badan Geologi melalui acara itu diharapkan dapat menyampaikan pengalaman dan mendorong pengembangan potensi sumber daya masyarakat di daerah masing-masing dengan mengusahakan forum kemitraan untuk saling bekerjasama dalam suasana kebersamaan.

Sosialisasi bidang geologi dimaksudkan untuk mensosialisasikan data-data geologi termasuk kebijakan tentang perencanaan nasional secara makro mengenai pendayagunaan sumber daya alam. Sedangkan tujuannya adalah agar Pemerintah Daerah lebih awal memahami data dan informasi serta kebijakan dari Pemerintah Pusat, untuk selanjutnya mengidentifikasi kegiatan yang perlu dilakukan pada masa akan datang dalam mempersiapkan diri untuk pengelolaannya.

Selain itu sosialisasi ini diharapkan pula dapat memberikan pemahaman untuk meningkatkan kepercayaan diri dalam menghadapi permasalahan kebencanaan geologi yang harus berangkat dari pribadi dan komunitas sendiri dan tidak mengandalkan orang lain, yakni: pemahaman pentingnya pengembangan akal budi daya dan bersikap waspada hidup di daerah rawan bencana. Sebagai contoh, kehadiran gunung api di Indonesia yang yang merupakan terbanyak di dunia, meskipun membawa berkah berupa lahan yang subur dan alam yang indah untuk dimanfaatkan dalam pariwisata, namun juga mengandung potensi bencana.

Adapun tujuan dari kegiatan Pemberdayaan dan Penyebarluasan Informasi Bidang Geologi adalah untuk menyampaikan data dan Informasi kebumian serta kebijakan-kebijakan di bidang geologi.

Hadir pada acara tersebut Kepala Badan Geologi, Dr. R. Sukhyar; Sekretaris Badan Geologi, Dr. Ir. Djadjang Sukarna; serta utusan dari unit eselon 2 di lingkungan Badan Geologi. Acara dibuka oleh

48 W a r t a

Geologi September 2009

Sekretaris Badan Geologi Dr. Ir. Djadjang Sukarna dan Kepala Pusat Survei Geologi Dr. Ir. A. Djumarma Wirakusumah didampingi Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Sumatera Utara, Ir. Washington Tambunan

Suasana Sosiaslisasi Bidang Geologi di Provinsi Sumatera Utara

Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Sumatera Utara, Ir. Washington Tambunan, mewakili Gubernur Sumatera Utara. Kegiatan ini dihadiri oleh 106 peserta yang merupakan perwakilan dari Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi dan Kabupaten, Dinas Kehutanan, BMG, Dinas Bina Marga, BLH, ISTD, FT. USU, Dinas PSDA, FTM ITM, Badan Lingkungan Hidup Kota Medan, dan IAGI Sumatera Utara. Materi yang disampaikan presentasi sosialisasi adalah sebagai berikut: 1. Kebijakan dan Program Pembangunan Sub Sektor Geologi, disampaikan oleh Dr. Ir. Djadjang Sukarna,

2. Kondisi Geologi Daerah Sumatera Utara, disampaikan oleh Dr. Ir. A. Djumarma Wirakusumah, 3. Sistem Informasi Sumber Daya Geologi, disampaikan oleh Ir. Rina Wahyuningsih. 4. Geologi Lingkungan untuk Perencanaan Tata Ruang, disampaikan oleh Ir. Adang Perwira Kusuma, M.Sc. 5. Strategi Mitigasi Bencana Geologi, disampaikan oleh Dr. Ir. E. Kusdinar Abdurachman, DEA.n (M.M. Saphick Nurjaman)

Seputar Geologi 49

Liputan Khusus Gempa Bumi

Kepala Badan Geologi Dr. Ir. R. Sukhyar didampingi Jajaran Manajemen Badan Geologi saat melakukan kunjungan kerja ke Kmp. Caringin Desa Cikangkareng Kecamatan Cibinong Kab Cianjur yang terkena Bencana Longsor 2 September 2009.

Kepala Badan Geologi Dr. Ir. R. Sukhyar, Sekretaris Badan Geologi Dr.Ir. Djadjang Sukarna dan Kepala Pusat Survei Geologi Dr.Ir. A. Djumarma Wirakusumah saat ­ber koordinasi dengan petuhas Posko di Kmp. Caringin Desa Cikangkareng Kecamatan Cibinong Kab Cianjur yang terkena Bencana Longsor 2 September 2009. 50 W a r t a

Geologi September 2009

Kepala Pusat Survei Geologi Dr.Ir. A. Djumarma Wirakusumah saat melakukan kunjungan kerja ke Desa Margamukti Kecamatan Pangalengan yang terkena bencana Gempabumi, 2 September 2009.

Peneliti, Ahli Gempa Bumi Pusat Survei Geologi .Ir. Asdani Soehaimi saat melakukan kunjungan kerja ke Desa Margamukti Kecamatan Pangalengan yang terkena bencana Gempabumi, 2 September 2009.

Salah Satu Bangunan Balai Desa Margamukti Kecamatan Pangalengan yang porak poranda akibat bencana Gempabumi, 2 September 2009.

Salah Satu Bangunan Gedung Olahraga diwilayah Desa Margamukti Kecamatan Pangalengan yang porak poranda akibat bencana Gempabumi, 2 September 2009.

n(Pranata Humas Madya Drs. Donny Hermana) Seputar Geologi 51

Pelantikan Pejabat di Lingkungan Badan Geologi

Kepala Badan didampingi para Kepala Pusat melantik sejumlah Pegawai Badan Geologi.

Pada tanggal 7 Agustus 2009 bertempat di Auditorium Geologi Bandung Kepala Badan Geologi R. Sukhyar melantik para pejabat eselon III dan IV serta mengambil sumpah dan janji PNS di lingkungan Badan Geologi. Pada acara pelantikan tersebut Kepala Badan Geologi yang didampingi Sekretaris Badan Geologi dan para Kepala Pusat mengucapkan selamat menunaikan tugas kepada para pejabat yang baru dilantik. Dalam kesempatan tersebut Kepala Badan Geologi juga mengucapkan terimakasih atas dedikasi dan pengabdiannya selama menjadi pejabat struktural terutama Kepada Dr. Ir. Eddy Mulyadi (Kepala Bagian Rencana dan Laporan) dan Ir. Dadi Mulyadi (Kepala Bagian Umum) yang atas permohonan sendiri untuk beralih ke jabatan fungsional Perekayasa. 52 W a r t a

Geologi September 2009

Khusus kepada para istri atau suami yang mendampingi, Kepala Badan juga berpesan agar terus memberi semangat dan dorongan agar suami dan isterinya dapat terus meningkatkan kinerja dan prestasi kerja.n (Priatna)

No.

NAMA

JABATAN LAMA

JABATAN BARU

1.

Dr. Ir. Eddy Mulyadi

Kepala Bagian Rencana dan Laporan Sekretariat Badan Geologi

Fungsional Perekayasa

2.

Ir. Oman Abdurachman, M.T.

Kepala Sub Bagian Penyiapan Rencana Kerja Sekretariat Badan Geologi

Kepala Bagian Rencana dan Laporan Sekretariat Badan Geologi

3.

Ir. Dadi Mulyadi

Kepala Bagian Umum Sekretariat Badan Geologi

Fungsional Perekayasa

4.

Ir. Agung Pribadi, MSc.

Kepala Sub Bagian Hukum Sekretariat Badan Geologi

Kepala Bagian Umum Sekretariat Badan Geologi

5.

Ir. Ucu Takhmat Akus M.T,

Kepala Sub Bidang Sarana Penyelidikan Pusat Lingkungan ­Geologi

Kepala Bidang Sarana Teknik Pusat Lingkungan Geologi

6.

Dedi Budiman , SH

Pelaksana Kehumasan pada Sekretriat Badan Geologi

Kepala Sub Bagian Hukum Sekretariat Badan Geologi

7.

Ir. M. Rum Budi Susilo

Kepala Sub Bidang Kerja Sama Pusat Lingkungan Geologi

Kepala Sub Bidang Sarana Penyelidikan Pusat Lingkungan Geologi

8.

Ir. Hadi Setyanto

Penyelidik Geologi Pusat Lingkungan Geoloig

Kepala Sub Bidang Laboratorium Pusat Lingkungan Geologi

9.

Rusty Panggabean, B.A.

Analis Kepegawaian PenyeliaPusat Lingkungan Geologi

Kepala Sub Bidang Kerja Sama Pusat Lingkungan Geologi

Daftar jabatan baru para pegawai yang dilantik 7 Agustus 2009.

Para Pegawai Badan Geologi yang dilantik tanggal 7 Agustus 2009.

Seputar Geologi 53

Badan Geologi Pertahankan Gelar Juara Bridge - Porseni Sektor ESDM 2009

Tim Bridge Badan Geologi – PORSENI SEKTOR ESDM 2009.

Tim Bridge Geologi berhasil mempertahankan gelar juara bridge pada Pekan Olahraga dan Seni Sektor ESDM Tahun 2009 setelah pada babak final berhasil mengalahkan Tim IKAPEDE (Ikatan Pensiunan Departemen) 96-19 imp. Sebelum melangkah ke final Tim Bridge Badan Geologi yang menempati peringkat pertama babak penyisihan pada babak semi final mengalahkan Tim BP MIGAS 48-12 imp. Sementara Tim IKAPEDE yang dimotori oleh Ir. Anton Saboe (Mantan Pemain Badan Geologi) berhasil mengalahkan salah satu Tim unggulan PLN 40-25 imp. Tim PLN akhirnya harus puas di tempat ketiga setelah mengalahkan BP MIGAS 96-48 imp. Sementara itu penilaian pasangan dengan buttler terbaik diraih oleh Robby Lempoy-Jacky Tirayoh (PLN) 2,2 disusul di tempat kedua Nia Kurnia Praja54 W a r t a

Geologi September 2009

Dwi Agoes (Badan Geologi) 1,73 dan tempat ketiga Priatna-Fera Damayanti (Badan Geologi) 1,63. Pertandingan yang berlangsung tanggal 4-5 Agustus 2009 di Auditorium Geologi Bandung diikuti oleh 5 regu yakni; Badan Geologi, IKAPEDE, PLN, BP MIGAS, dan BALITBANG dimeriahkan dengan pertandingan pasangan untuk tim yang tidak lolos ke babak Semi final dan final ditambah dengan para pemain Bandung. Keluar sebagai Juara pasangan hiburan adalah Kikik Hikmat-Ansori 180, Apin- Komar 161, dan Ronny-Slamet 159. Pasangan ESDM terbaik diraih oleh Ardy-Gatot dari PLN.

Ir. Anton Saboe (Mantan Pemain Badan Geologi)berpasangan dengan Ir. Rasdan Siregar, MSc. pasangan andalan IKAPEDE.

JUARA1: BADAN GEOLOGI Nia Kurnia, Dwi Agoes, Priatna, Fera Damayanti, Uchtari Chandra. Djunaedi Rosadi (Manajer) JUARA 2: IKAPEDE Anton Saboe, Rasdan Siregar, Ahmadi, N. Yusuf, Yurizal, Kusuma Wiryawan. Johan Asmawi (Manajer) JUARA 3: PLN 1 CH Nurhamidin, Fachreza, Robby Lempoy, Jacky Tirayoh, Agus Lutfi, Amri Tanjung. Harry Susanto (Manajer).n (Priatna)

Seputar Geologi 55

Layanan Informasi Geologi

JURNAL GEOLOGI INDONESIA Wadah Tempat Menuangkan Hasil Penelitian Kebumian

Seiring dengan terbentuknya Badan Geologi pada tahun 2006 yang membawahi empat unit organisasi berbasis penelitian dan penyelidikan, maka salah satu syarat utama yang mutlak dipenuhi adalah menyediakan wadah bagi para pejabat fungsional untuk menuangkan hasil karya mereka berupa tulisan ilmiah. Penerbitan sebuah majalah, jurnal, dan buletin bagi Badan Geologi yang mempunyai tugas pelayanan bidang geologi menjadi sangat penting dengan meningkatnya kebutuhan ilmu pengetahuan dan teknologi, data, dan ­ informasi. Untuk maksud tersebut, Badan Geologi telah menyediakan suatu penerbitan ilmiah yang diberi judul “Jurnal Geologi Indonesia” disingkat JGI. Jurnal Geologi Indonesia pada kenyataannya selain dimanfaatkan oleh para pejabat fungsional di lingkungan Badan Geologi juga banyak ahli kebumian dari luar seperti dari LIPI, Perguruan Tinggi, mahasiswa dan lain-lain yang ikut berperan serta.

FORKOM ejb Dalam perkembangannya, pengelola jurnal ini menggagas suatu ide yaitu membentuk suatu forum komunikasi bagi semua dewan redaksi dan pengelola penerbitan ilmiah kebumian. Ide awal yang selenggarakan di Bandung tahun 2008 kini berkembang menjadi menasional. Forum tersebut diberi nama “Forum Komunikasi Editor Jurnal Kebumian” yang disingkat Forkom ejb. 56 W a r t a

Geologi September 2009

Tujuan utama dari terbentuknya forkom ini adalah untuk menjalin suatu komunikasi antar pengelola dan dewan redaksi jurnal ilmu kebumian untuk berbagi informasi mengenai suatu hasil karya makalah ilmiah kebumian, agar tidak terjadi tumpang tindih atau pengulangan suatu tulisan yang akan atau yang sudah diterbitkan. Selain itu keberadaan forkom ini juga dimaksudkan untuk berbagi informasi mengenai kompetensi

Logo Forkom ejb

seseorang yang layak menjadi reviewer sebuah makalah ilmiah. Dalam beberapa pertemuan berkembang berbagai diskusi berkaitan dengan kode etik kewajiban dan hak editor, reviewer, dan penulis serta juga masalah penerbitan, misalnya persyaratan untuk memperoleh atau meningkatkan akreditasi yang dikeluarkan oleh LIPI atau DIKTI. TEMU EDITOR JURNAL KEBUMIAN Pada Temu Editor publikasi Kebumian Mei 2008 diundang para pengelola, Dewan Redaksi (editor), dan Reviewer Jurnal Kebumian. Seluruh pengelola jurnal menyampaikan paparannya terutama yang berkaitan dengan Penerbitan. Untuk melengkapi acara tersebut diundang juga pembicara dari LIPI yakni Dr. LT. Handoko yang mempresentasikan tentang Jurnal Elektronik. Pada acara tersebut dilakukan juga serah terima dokumen berupa jurnal sesama pengelola jurnal kebumian. Peserta terdiri dari Para Editor dan Reviewer Jurnal Geologi Indonesia, para editor Jurnal dan Buletin lainnya yang berkaitan dengan geologi dan kebumian terkait sebagai berikut: 1. Jurnal Geologi Indonesia - Badan Geologi 2. Jurnal Sumber Daya Geologi - PSG Badan Geologi 3. Majalah Geologi Indonesia, IAGI 4. Jurnal Riset Geologi dan Pertambangan Geoteknologi LIPI

5. Buletin Tekmira - TEKMIRA 6. Jurnal Geologi Kelautan - PPPGL 7. Jurnal JTM - ITB 8. Geoaplika -ITB 9. Bulletin Scientific Contribution – UNPAD 10. Buletin Sumberdaya Geologi – Badan Geologi 11. Buletin Vulkanologi dan Bencana Geologi – Badan Geologi 12. Buletin Geologi Tata Lingkungan – Badan Geologi 13. .Buletin Berkala Merapi – Badan Geologi JGI TERAKREDITASI Salah satu pengakuan yang diterima bagi suatu penerbitan majalah, jurnal, atau buletin ilmiah adalah dengan memperoleh akreditasi dari pemerintah, dalam hal ini Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Berdasarkan hasil penilaian LIPI tentang Akreditasi Majalah Berkala Ilmiah, maka Jurnal Geologi Indonesia ditetapkan sebagai Majalah Berkala Ilmiah Terakreditasi B Plus. Pengakuan tersebut tertuang dalam sertifikat No. 109/AKRED-LIPI/P2MBI/10/2007 yang berlaku selama tiga tahun. Penilaian akreditasi menyangkut aspek-aspek seperti kelembagaan penerbit, penyunting, dewan penerbit, bentuk penampilan, gaya penulisan, konsistensi jadwal terbit, jumlah pencetakan setiap terbit, dan substansi isi yang konsisten. Layanan Geologi 57

Layanan Informasi Geologi

Sertifikatt Akreditasi Majalah Berkala ILmiah

Sebagai jurnal yang berusia muda memperoleh pengakuan dengan akreditasi B Plus menunjukkan bahwa JGI dikelola dengan serius. Posisi ini kemudian menempatkan JGI menjadi tempat bertanya dan konsultasi, terutama yang berkaitan dengan masalah penulisan ilmiah kebumian. Selain itu JGI mempunyai perpustakaan, sekretariat, ruang rapat dan jaringan yang luas yang memungkinkan terjalinnya komunikasi dengan banyak pihak. Fasilitas-fasilitas tersebut menjadi bagian yang dibenahi sangat serius oleh pengelola JGI bagi persyaratan untuk meningkatkan nilai akreditasi peringkat A di masa yang akan datang. APRESIASI UNTUK PARA PENULIS Jurnal Geologi Indonesia sejak pertama kali diterbitkan tahun 2006 hingga awal tahun 2009 telah terbit 13 kali dengan jumlah karya tulis sebanyak 70 makalah. Dewan Redaksi JGI 2009 menetapkan 12 makalah yang telah dimuat pada Jurnal Geologi Indonesia tahun 58 W a r t a

Geologi September 2009

penerbitan 2006 – 2009 untuk dipresentasikan. Acara ini diselenggarakan untuk memberikan apresiasi Badan Geologi kepada para penulis yang telah memiliki kualifikasi penulisan Karya Tulis Ilmiah di bidang kebumian dan secara substansi tulisannya mengandung nilai ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Secara tidak langsung Badan Geologi melalui kegiatan ini ingin menumbuhkembangkan minat dan motivasi para peneliti untuk senantiasa belajar dan berkarya dalam bentuk karya tulis ilmiah di Jurnal Geologi Indonesia. LAYANAN KONSULTASI JURNAL Walaupun tidak resmi membuka layanan konsultasi penerbitan makalah ilmiah namun dewan penerbit dan dewan redaksi JGI membantu memberikan pelayanan dalam bentuk konsultasi informasi yang berkaitan dengan penerbitan suatu majalah ilmiah, khususnya makalah kebumian dengan berbagai aturan yang dikeluarkan oleh LIPI dan DIKTI.

Sekretariat Jurnal Geologi Gd. E Lt. 2 Badan Geologi Jl. Diponegoro 57 Bandung.

Berkat keberhasilannya mengelola Jurnal Geologi Indonesia, Ketua Dewan Redaksi Jurnal Geologi, Dr. Nana Suwarna yang juga dalam kurun waktu 2004 – 2006 menjadi Ketua Dewan Redaksi Jurnal Sumber Daya Geologi, Pusat Survei Geologi, Badan Geologi, mendapat kepercayaan untuk mengelola Majalah Geologi Indonesia (MGI) milik IAGI. Saat ini MGI sedang dalam tahap pembenahan. Menurut rencana tahun depan Majalah Geologi Indonesia akan didaftarkan sebagai jurnal yang terakreditasi. Selain itu, Dewan Redaksi dan Dewan Penerbit JGI juga memberikan konsultasi, khususnya bagi penulis pemula, mengenai tata cara penulisan yang sesuai dengan kaidah Karya Tulisan Ilmiah (KTI).

2006 menjabat sebagai Ketua Dewan Redaksi selama 2 periode. Selain menjabat sebagai Ketua Dewan Redaksi JGI, Dr. Nana Suwarna pada tahun 2008 dipilih menjadi Ketua Forum Komunikasi Editor Jurnal Kebumian (forkom ejb). n (Tim Warta Geologi)

PENGELOLA JURNAL GEOLOGI INDONESIA Jurnal Geologi Indonesia – Badan Geologi dikelola oleh Bagian Rencana dan Laporan Sekretariat Badan Geologi bekerjasama dengan Tim Dewan Redaksi kebumian yang mayoritas berasal dari Badan Geologi. Dr. Nana Suwarna sejak tahun Layanan Geologi 59

Resensi Buku Geologi

TSUNAMI: Destructive Queen from the Sea

Judul buku : Tsunami Penulis : Sudandono Diposaptono & Budiman Penerbit : Penerbit Buku Ilmiah Populer Tahun terbit : Mei, 2005 Tebal : 300 hal. Buku ilmiah populer yang ditulis oleh seorang praktisi tsunami menjadi pilihan bacaan kita di triwulan ketiga tahun 2009 ini. Tsunami sebagaimana kita ketahui adalah salah satu ancaman terbesar di perairan laut Indonesia. Tragedi Aceh telah menyadarkan kita akan betapa pentingnya kita Bangsa Indonesia untuk lebih bersahabat dalam memahami fenomena bencana alam jenis Tsunami ini. Kedua penulis adalah ilmuwan yang pakar di bidang tsunami dan bekerja di LIPI. Hanya satu tahun setelah tragedi tsunami Aceh di tahun 2004, maka pada Mei 2005 buku ini diterbitkan. Penulis mengawali ceritanya dengan asal usul arti kata tsunami. Kemudian ia menggambarkan kronologis kejadian bencana tsunami yang menimpa Indonesia selama kurun waktu 2 abad terakhir. Beberapa bukti historis dan jumlah 60 W a r t a

Geologi September 2009

korban jiwa bencana penulis gambarkan sebagai perbandingan. Tinjauan tsunami ini penulis jabarkan dari berbagai perspektif baik itu yang menyangkut ilmiah maupun sosial kemasyarakatan. Dalam perspektif ilmiah, penulis memaparkannya dengan terperinci dalam bab khusus berjudul “proses terjadinya tsunami”. Menurutnya, kondisi geologi bawah permukaan menjadi penyebab utama bencana tsunami yang diakibatkan oleh gempa bumi dasar laut. Gempa ini bisa membuat permukaan air laut menyurut ke dasar laut untuk kemudian dimuntahkan kembali menjadi suatu gulungan ombak yang tingginya bisa melampaui pohon kelapa. Ditambah lagi, Indonesia secara geologis diapit oleh tiga lempeng benua besar yang saling berlawanan arahnya dan mendesak dari berbagai arah di kepulauan Indonesia (dibahas di dalam sub Proses terjadinya tsunami). Hal ini, membuat daerah-daerah pertemuan tiga lempeng penting itu menjadi sasaran gempa bumi yang mengakibatkan tsunami. Daerah-daerah seperti pesisir pantai barat Sumatra, pesisir pantai selatan Jawa dan Flores, Maluku, dan Sulawesi bagian

utara, direkam dalam sebuah tulisan yang apik dan kronologis dengan menampilkan rekamanrekaman kejadian bencana tsunami di daerahdaerah tersebut. Bukti historis lainnya yang menggambarkan kedahsyatan tsunami penulis rangkum dalam kejadian-kejadian alam tsunami di belahan bumi lain, seperti yang terjadi di Jepang, Chili, Mexico, dan Nicaragua pada kurun waktu 1983-1993. Rata-rata pemicu tsunami ini adalah gempa bumi yang berada di dasar laut. Penyebab lain adalah vulkanisme dasar laut yang memicu gempa bumi di laut dan membangkitkan gelombang tsunami sampai ke ujung pantai. Dalam bab ini terdapat beberapa ilustrasi menarik dan mudah dipahami tentang bagaimana proses pembangkitan gelombang tsunami dan ilustrasi terjadinya gempa vulkanis Gunung Anak Krakatau. Riset sosial bencana tsunami Riset mengenai tsunami dari segi ilmiah bisa pula menjadikan tinjauan menarik dari segi sosial. Jumlah korban yang banyak dari kalangan wanita dan anak-anak mengidentifikasikan bahwa berdasarkan riset psikologis, kaum laki-laki lebih menyelamatkan diri sendiri sementara para wanita lebih memikirkan nasib anak-anaknya. Maka, pada saat bencana tsunami datang korban pertama berada di pihak ibu dan anak-anak. Tentunya ini tidak bisa dijadikan alasan seratus persen benar. Kearifan lokal suatu daerah yang rawan tsunami menjadi kajian menarik dalam buku ini. Bencana tsunami telah bersatu menjadi bagian adat istiadat suatu daerah rawan terhadap tsunami, dan secara turun temurun menginformasikan bencana tsunami menjadi suatu legenda. Mereka yang hidup di daerah rawan bencana tsunami secara tradisional memiliki kepekaan yang tinggi untuk melihat fenomena alam yang akan mengakibatkan tsunami. Sehingga mereka mempunyai selang waktu untuk menyelamatkan diri dari terjangan ratu laut yang merusakkan ini.

berusaha menyelamatkan diri sendiri adalah sudah mengikuti nasihat Ten-Den-ko ini. Namun tentunya itu tidak sepenuhnya benar. Hal yang paling diutamakan adalah pentingnya pengetahuan tentang tsunami dan kesadaran setiap individu untuk menyelamatkan diri masing-masing apabila bencana tersebut datang. Hal-hal seperti mitigasi bencana tsunami pada saat sebelum, pada saat tsunami berlangsung, dan mitigasi pasca tsunami perlu menjadi perhatian baik dari pihak pemerintah maupun individu warga yang tinggal di sekitar daerah rawan bencana tsunami. Riset ilmiah tsunami terakhir Penambahan informasi riset mutakhir tentang penelitian yang berhubungan dengan tsunami penulis perbaharui dalam buku ini, khususnya penelitian yang melibatkan kerjasama dengan badan riset luar negeri setelah tsunami dasyat terjadi di Aceh 2004 lalu, seperti HMS Scoot antara navi Inggris dengan Dephankam Indonesia, Jerman, Perancis, dan Jepang. Penulis juga menginformasikan riset-riset terakhir yang dilakukan Indonesia terkait fenomena tsunami seperti penelitian daerah tsunami, perekaman data, pembuatan model tsunami, serta analisis data yang mengkaitkan data penunjang analisis bencana tsunami dengan metode Remote Sensing dan GIS. Hal tersebut tentunya dapat memutakhirkan data dan membantu dalam pengambilan keputusan terkait mitigasi bencana tsunami. Buku dengan total 300 halaman ini mudah dibaca, baik oleh kalangan umum maupun oleh masyarakat ilmiah yang bergelut dengan analisis tsunami. Bagi para geosain, buku ini menjadi referensi yang wajib karena bisa menambah wawasan kita tentang pengetahuan tsunami.n F. Agustin Penulis adalah Peneliti Survei Geologi Badan Geologi

Penulis juga menambahkan kondisi sosial masyarakat yang sering mengalami tsunami, yakni di Jepang tepatnya di daerah Sanriku. Masyarakat negara itu secara turun temurun mewariskan nasihat yang dapat mengurangi jumah korban tsunami, yaitu Tsunami Ten-Den-Ko sebuah nasehat lama yang kurang lebih artinya “dalam sebuah tsunami setiap orang adalah untuk dirinya sendiri”. Jadi, kalau dikaitkan dengan korban tsunami di daerah Flores, kaum laki-laki yang Resensi Buku Geologi 61

62 W a r t a

Geologi September 2009

Resensi Buku Geologi 63