JURNAL IDE

Download Tema yang diangkat dalam edisi ke-8 ini yaitu, “Menakar Peran Ideal Partai ... Hadirnya jurnal Ide dengan tema Menakar Peran Ideal Parpol d...

0 downloads 710 Views 8MB Size
Suara KPU Jawa Timur

KPU JAWA TIMUR

Jurnal IDe

Inspirasi Demokrasi

Mengawal Demokrasi Membangun Negeri

edisi Juni 2016

08

Dari Redaksi

P

uji syukur kehadirat Allah SWT. sehingga Komisi Pemilihan Umum Jawa Timur (KPU Jatim) dapat menerbitkan kembali Jurnal Ide (Inspirasi Demokrasi) Edisi bulan Juni Tahun 2016. Dimana kali ini sudah memasuki edisi ke-8. Ucapan terima kasih Kami sampaikan kepada Komisioner, Sekretaris, dan seluruh Staf KPU Jatim yang terlibat dalam penyusunan Jurnal Ide edisi ke-8 ini. Terima kasih Kami ucapkan juga kepada KPU kabupaten/kota yang telah berpartisipasi. Tema yang diangkat dalam edisi ke-8 ini yaitu, “Menakar Peran Ideal Partai Politik (parpol) dalam Pemilu (pemilihan umum) dan Demokrasi.” Parpol, pemilu dan demokrasi, seakan menjadi entitas yang tak terpisahkan. Demokrasi adalah sistem pemerintahan yang dianut Indonesia saat ini. Sistem pemerintahan yang bertujuan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat. Sedangkan Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Pada saat pemilu dijadikan manifestasi prinsip kedaulatan rakyat, maka rakyat diberikan kebebasan untuk dipilih dan memilih calon-calon wakil rakyat yang dipercaya dalam parpol. Karenanya menjadi penting bagi partai politik untuk menjaga kepercayaan dan amanah dari konstituen dan rakyat. Sebab jika hal ini diabaikan begitu saja akan menurunkan kepercayaan publik kepada partai politik, dan secara tidak langsung akan berdampak kepercayaan terhadap pemilu. Mengingat partai politik adalah peserta pemilu dan memiliki kontribusi besar dalam setiap penyelenggaraan pesta demokrasi. Hadirnya jurnal Ide dengan tema Menakar Peran Ideal Parpol dalam Pemilu dan Demokrasi, bertujuan dapat menjadi media bagi KPU selaku penyelenggara pemilu yang berhubungan langsung dengan parpol, untuk menyampaikan pemikiran ataupun gagasan. Harapannya melalui pemikiran-pemikiran yang terwadahi di dalam jurnal ini, dapat menjadi masukan yang membangun segala pihak, khususnya parpol. Sehingga dapat membantu memberikan sumbangsih mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap parpol, membantu mewujudkan penerapan perpolitikan yang baik, serta proses demokrasi yang ideal di Indonesia. Akhirnya, Kami tetap menyadari jurnal Ide ini tentunya masih terdapat banyak kekurangan. Dengan demikian, segala saran dan kritik yang membangun bagi proses perbaikan sangat Kami harapkan. r

Suara KPU Jawa Timur

Juni 2016

1

Daftar Isi Hal 3 Menakar Peran Ideal Partai Politik Dalam Pemilu dan Demokrasi

Hal 6 Kesadaran Pluralisme Dalam Praktik Demokrasi Pancasila

Hal 9 Partai Politik, Pilihan Demokrasi atau Kekuasaan

Hal 15 Demokrasi Yang Dipuja dan Diterapkan di Indonesia

Hal 24

Hal 12 Fenomena Relawan Politik Dalam Pemilu

Hal 20 Partai Politik, Gas Pol Rem Pol Dalam Demokratisasi

KPU: Penguatan Kelembagaan Untuk Demokrasi Berintegritas

Hal 28

Hal 31

Partai Politik, Demokrasi dan Pemilu: Mewujudkan Pemimpin Yang Berkualitas dan Berintegritas

Menggugat Peran Parpol Dalam Pendidikan Politik

Hal 34 Peran Partai Politik Dalam Mewujudkan Pemilu Berintegritas

Pengarah: Eko Sasmito, Gogot Cahyo Baskoro, Choirul Anam, Dewita Hayu Shinta, Muhammad Arbayanto. Penanggungjawab: HM. E. Kawima. Pemimpin Redaksi: Slamet Setijoadji. Redaktur: Azis Basuki. Sekretaris Redaksi: Dina Lestari. Kontributor: Keluarga Besar KPU se-Jawa Timur. Alamat Redaksi: Badan Hukum, Teknis, Hupmas Sekretariat KPU Provinsi Jawa Timur Jl. Raya Tenggilis No. 1-3 Surabaya.

2

Jurnal IDe

MUHAMMAD ARBAYANTO, SH,. MH. Divisi Hukum, Pengawasan SDM dan Organisasi KPU Jawa Timur

Menakar Peran Ideal Partai Politik

Dalam Pemilu dan Demokrasi

S

ecara bahasa, konsep demokrasi memakai istilah yang menurut asal kata berarti rakyat berkuasa atau government by the people1 berasal dari Kata Yunani demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa. Pada mula pertumbuhannya demokrasi mencakup beberapa azas dan nilai yang diwariskan dari masa lampau, yaitu gagasan mengenai demokrasi dari kebudayaan Yunani Kuno dan gagasan mengenai kebebasan beragama yang dihasilkan oleh aliran Reformasi serta perang agama yang men­yusulnya.2 Gagasan demokrasi Yunani Kuno boleh dikatakan hilang dari pera­ daban dunia Barat saat Bangsa Romawi dikalahkan bangsa Eropa Barat, dan benua Eropa memasuki Abad Pertengahan (600-1400).3 Masyarakat abad pertengahan dicirikan oleh struktur sosial yang feodal (hubungan antara vassal dan lord); yang kehidupan sosial serta spiritualnya dikuasai oleh Paus dan pejabat agama lainnya, serta kehidupan politiknya ditandai oleh perebutan kekuasaan antara para bangsawan. Renaissance adalah aliran yang meng­ hidupkan kembali minat kepada kesusastraan dan kebudayaan Yunani Kuno yang selama Abad Pertengahan telah disisihkan. Hadir­ nya kembali gagasan demokrasi di Eropa tidak lepas dari situasi pemerintahan abad

pertengahan yang teokratik, otokratik atau oligarkis yang dirasakan menindas rakyat.4 Kondisi tersebut melahirkan sejumlah pemikiran tentang bagaimana negara dengan sistem pemerintahannya bermanfaat bagi kepentingan umum. Marsiligilo (1270-1340) dikenal dengan pendapatnya tentang pentingnya hukum harus berasal dari rakyat melalui lembaga legislatif. Dia mungkin merupakan filsuf pertama yang menyatakan dengan tegas bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan sumber undang-undang ini ialah rakyat sebagai keseluruhan.”5 Konsep demokrasi yang kemudian berkembang pesat pada abad ke-20 berawal dari buah pikiran sejumlah filsuf seperti Montesquieu (16881755) sebagai pelopor konsep Trias Politika, yakni pemisa­han kekuasaan antara lembaga legislatif, lembaga eksekutif, dan lembaga yudikatif. Pemikiran Montesquieu merupakan pengembangan dari pemikiran filsuffilsuf sebelumnya, seperti Thomas Hobbes (1588-1679), tentang hukum positif Negara dan John Locke (1632-1704) tentang pembatasan kekuasaan. Ide demokrasi diperkaya oleh pemikir besar Jean Jackues Rousseau (1712-1778) yang mendasarkan pahamnya pada hukum alam yang bersifat rasionalistik individualis dan logis.6

1 Naskah Pidato Abraham Lincoln dalam peresmian Makam Nasional Gettisburg tahun 1863. Dalam dokumen Merin Urofski., Prof. 2 Bertenz, K., Dr., Sejarah Filsafat Yunani, Penerbit Kanisius, Cetakan Ke-empat, 1984. 3 Ibid.

4 Ranadireksa, Ilmdarman., Arsitektur Konstitusi Demokratik, Penerbit Fokus Media, 2007. 5 Sjachran Basah, Dr, S.H., C.N., Ilmu Negara, Penerbit Alumni Bandung– 1987. 6 Franz Magnis-Suseno (2003), Dalam Bayang-Bayang Lenin,

Suara KPU Jawa Timur

Juni 2016

3

Secara kronologis, bisa disimpulkan bahwa era modern ketatanegaraan ditandai tiga tonggak konstitusi demokratik yakni, model Inggris (parlementer, terjadi melalui proses evolusi cukup panjang sejak magna charta, 1215), Amerika Serikat (sistem presidensial dan federalisme, buah perang kemerdekaan, 1776) dan Perancis (buah revolusi Perancis, 1789). Kendati ketiganya memiliki predikat yang sama sebagai sistem demokrasi, namun adanya latar belakang yang berbeda, maka terjadi perbedaan pula pada bentuk, sifat dan karakter konstitusinya. Demokrasi dengan sistem parlementer model Inggris lebih se­ring digunakan sebagai acuan dibandingkan dengan sistem parlementer lainnya karena proses penyempurnaan sistemnya berlangsung evolutif, sehingga lebih memudahkan untuk mengkaji dan menelusurinya.7 Konstitusi parlementer model Inggris, dan konstitusi Presidensial model Amerika Serikat se­ring dipakai acuan dalam memperbandingkan kedua sistem. Partai Politik dalam Pendekatan Ilmu Politik Partai Politik, megacu Miriam Budiardjo, adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggotanya mempunyai orientasi, nilainilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik-biasanya) dengan cara konstitusional-untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.8 Sedangkan Carl Friedrich, memaknai partai politik sebagai sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terha­dap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan, berdasarkan pengu­ asaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil. Partai politik secara akademik ditegaskan sebagai alat untuk meraih kekuasaan demi kesejahteraan rakyat, yaitu adanya peningkatan kemampuan masyarakat dalam enam pemikir Marxisme dari Lenin sampai Tan Malaka, Gramedia Pustaka Utarna, Jakarta, 2005. 7 Ranadireksa, Liendarman.. Arsitektur Konstitusi Demokratik, Penerbit Fok-us Media, 2007. 8 Budiardjo, Miriam, Prof., Dasar-Dasar Ilmu Politik, Penerbit Gramedia- Jakarta. 2008.

4

Jurnal IDe

memenuhi kebutuhan hidupnya. Maka keberadaan partai politik membawa harapan yang besar dari masyarakat. Oleh karena itu, tidak salah jika partai politik ditempatkan sebagai instrumen penting dalam mempermudah terciptanya iklim demokrasi sebagai jalan yang dianggap paling mudah mencapai kesejahteraan tersebut. Maka menjadi tugas dan tanggungjawab partai politik untuk senantiasa sensitif, setidaknya melalui kemampuannya, dapat menyerap dan memahami berbagai keluhan serta kepentingan masyarakat, sekaligus berusaha untuk memperbaikinya. Partai politik juga merupakan perwujudan kekuatan politik utama di dalam ne­ gara, Merupakan perhimpunan rakyat yang kehadi­rannya dan kemampuan serta perjuangannya, secara internal ditentukan oleh pelembagaan organisasi, kepemimpinan, ideologis dan strategi-taktik dari kelompok yang berhimpun tersebut. Sinergi diantara keempat elemen wujud partai itulah yang menjamin keberhasilan partai dari dalam.9 Hadirnya partai politik bukan sekadar sebagai alat demokrasi, namun harus diletakkan sebagai wadah peningkatan kualitas hidup. Prof Miriam Budiardjo10 menerangkan, fungsi partai politik sebagai: sarana komunikasi politik, sosialisasi politik, rekrutmen politik, pengatur konflik (conflict management), artikulasi dan agregasi kepentingan, jembatan antara rakyat dan pemerintah.11 Partai Politik dalam Struktur Kekuasaan di Indonesia Jika mengacu kepada sejarah Indonesia, sebenarnya bangsa Indonesia sudah mengenal bentuk-bentuk institusi politik modern sejak awal abad 19, seperti misalnya partai¬partai politik, organisasi massa, surat kabar, konsep machtvorming (merebut kekuasaan) en machtwending (mempertahankan kekuasaan), demonstrasi dan pemogokah, dan seterusnya.12 Dari berbagai institusi tersebut, maka partai politik merupakan salah satu unsur penting yang menopang keberlangsu­ ngan republik ini pada pasca kemerdekaan. 9 Ibid 10 Budiardjo, Miriam, Pengantar Ilmu Polilik. Gramedia, Jakarta, 2000. 11 Budiardjo, Miriam., Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta. 2008. 12 Mintohardjo, Sukowaluyo, Artikel : Analisis Dalam Ketatanegaraan UUD 1945, 2002

Partai-partai politik itu hidup pada hampir seluruh sistem demokrasi di Indonesia. Harus diakui bahwa sejak Indonesia merdeka, kritik kepada sistem demokrasi yang diterapkan Indonesia adalah sistem demokrasi yang merupakan demokrasi artifisial atau quasidemocracy, bukanlah demokrasi substansial. Dalam perjalanan sejarah Indonesia, sistem demokrasi jika tidak jatuh kepada suasana tirani kepemimpinan (Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru), maka jatuh kepada tirani partai-partai (Demokasi Parlementer).13 Posisi strategis partai politik dalam demokrasi di lndonesia termanifestasikan melalui Pasal 28 UUD 1945 yang berbunyi: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.” Melalui norma dasar tersebut menjadi landasan lahirnya UndangUndang Republik Indonesia No 31 Tahun 2002 yang kemudian diperbarui lagi dengan UndangUndang No 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dan terakhir melalui Undang Undang No 2 Tahun 2011 yang mengatur tentang Perubahan terhadap UU No 2 Tahun 2008. Ketika otoritarianisme Orde Baru jatuh, maka negeri ini memasuki suatu periode transisi demokrasi.14 Mulailah banyak dibicarakan tentang pentingnya konsolidasi de­mok­rasi. Dalam berbagai kajian, periode ini biasanya terjadi di banyak negara berkembang, dari rezim oligarki militer yang berkuasa secara otoriter menuju kepada suatu rezim sipil-demokratis. Seperti juga di banyak negara berkembang lainnya, maka di Indonesia pun pasca-kekuasaan otoritaria­ nisme, seluruh infrastruktur lembaga-lembaga yang menunjang ke arah demokratisasi segera memperoleh hak-haknya atas kebebasan berserikat, bersuara dan berkumpul. Banyak Surat kabar terbit, organisasi masa didirikan, serikat buruh bermunculan, dan ratusan partai baru didirikan. Dari berbagai institusi demokrasi tersebut, maka partai politik merupakan salah satu institusi yang paling krusial untuk mengawal proses transisi dan konsolidasi demokrasi ini.15 Paling tidak ada beberapa alasan mengapa partai politik 13 Idem 14 Setiawan, Asep, Artikel : Basis Ideologi Orde Baru, 2007. 15 Mintohardjo, Sukowaluyo, Artikel : Analisis Dalam Ketatanegaraan UUD 1945, 2002.

memiliki peran penting di dalam mengawal transisi demokrasi tersebut, salah satunya secara fungsional partai politik itu didirikan agar bisa memberikan kontribusi untuk mengisi jabatan strategis di pemerintahan. Selanjutnya, adanya perubahan UUD 1945 menegaskan bahwa Partai Politik sebagai salah satu pilar demokrasi memiliki fungsi yang sangat penting dalam rangka membangun kehidupan politik nasional.16 Partai politik sebagai wahana demokrasi tak bisa diabaikan eksistensinya, karena rekruitmen kepemimpinan dan anggota lembaga kenega­raan nasional dan lokal pada cabang kekuasaan eksekutif dan legislatif hanya dapat dilakukan melalui Partai Politik.17 Saat ini Partai Politik terus menuai kritik menyangkut tidak artikulatifnya terhadap aspirasi konstituen, maupun untuk mendukung peningkatan kualitas demokrasi. Intensitas kritik yang mengemuka menunjukkan bahwa Partai Politik belum mampu menunjukkan progresivitas kinerja demokrasinya. Hal ini semakin mempertegas bahwa partai politik belum siap melahirkan kader-kader yang berkualitas. Di tengah kritikan terhadap partai politik, kini malah bermunculan partai-partai politik baru. Meskipun pendirian partai politik tidak dilarang dan bahkan mendapat perlindungan hukum, namun patut dihitung baik buruknya. Kondisi ini jelas sangat mempengaruhi proses konsolidasi demokrasi di Indonesia. Partaipartai politik yang ada cenderung berjalan menjauhi pusat atau hendak mengembangkan sistem tersendiri (centrifugal). Kecen­ derungan ini disebut sebagai proses radika­ lisasi yang akan berujung kepada perpecahan yang tak teratasi.18 Tantangan era demokrasi menuju terbentuk format pelembagaan demokrasi secara lebih baik tentu menjadi sebuah persoalan tersendiri bagi Bangsa Indonesia saat ini. Persoalan Partai Politik adalah salah satu dari sekian banyak faktor yang harus dibenahi dalam rangka proyek pelembagaan demokrasi tersebut. r 16 Mintohardjo, Sukowaluyo, Artikel : Analisis Dalam Ketatanegaraan UUD 1945. 2002. 17 Gunanjar Sudarsa, Agus, Drs., Bc.,IP., M.Si., Sistem Multipartai di Indonesia, 2008. 18 Salim, Zafrullah, Drs., MA., Dampak Sistem Multipartai Dalam Kehidupan Politik Indonesia, 2005.

Suara KPU Jawa Timur

Juni 2016

5

Kesadaran Pluralisme Dalam Praktik Demokrasi Pancasila

1 juni 2016, Presiden Republik Indonesia telah mengumumkan dan menetapkan menjadi hari lahir Pancasila yaitu 1 juni dan selanjutnya hari tersebut diperingati sebagai hari libur Nasional.

S

SYAIFULLOH Divisi Tehnik Penyelenggaraan dan Data KPU Kabupaten Ponorogo 6

Jurnal IDe

ebagaimana isi pidato beliau, “Dengan mengucap syukur ke hadirat Allah, Keppres tanggal 1 Juni ditetapkan, diliburkan dan diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila”, kata Jokowi dalam peringatan Pidato Bung Karno di Gedung Merdeka, Bandung, Jawa Barat, 1 Juni 2016. Selanjutnya Presiden Jokowi menandatangani Keppres No. 24 tahun 2016 tentang hari lahir Pancasila. Perjalanan panjang Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia sudah semestinya memberikan pengaruh terhadap kesadaran pemahaman tentang keberagaan dan tole­ ransinya yang tinggi bagi bangsa ini, meski

demikian tantangan akan terorisme, radikalisme dan intoleransi sudah semestinya dibentengi dengan keteguhan dan kekokohan pancasila sebagai satu-satunya ideologi dan dasar negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Indonesia termasuk salah satu negara yang paling majemuk di dunia bila dilihat dari segi etnis, bahasa, agama, dan sebagainya,. Hal ini disadari betul oleh para founding fathers kita, sehingga mereka merumuskan konsep pluralisme ini dengan semboyan “Bhineka Tunggal Ika.” Munculnya Sumpah Pemuda pada tahun 1928 merupakan suatu kesadaran akan perlunya mewujudkan pluralisme ini yang sekaligus dimaksudkan untuk membina persatuan dalam menghadapi penjajah Belanda, yang kemudian dikenal sebagai cikal-bakal munculnya wawasan kebangsaan Indonesia melahirkan sebuah masyarakat majemuk yang terbuka, multikultural dan demokratis. Kehidupan demokrasi di Indonesia yang tercakup dalam kehidupan berbhineka tunggal ika menjadi suatu realitas sekaligus memberikan pemahaman terhadap plura­ lisme yang makin matang bagi bangsa untuk mencapai cita-cita luhurnya. Cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia untuk mencapai perikehidupan yang lebih baik tercermin dari realitas sosial masyarakat yang plural baik berdasar agama, suku, etnis dan kelompokkelompok masyarakat yang senantiasa menjungjung tinggi sikap toleran, hidup yang damai dan saling menghormati atas perbedaan. Sejalan dengan hal tersebut dalam pluralisme politik nilai demokrasi Pancasila disandarkan pada keragaman kepentingan dan penyebaran kekuasaan, dimana hak dan kewajiban warga negara yang plural telah diatur melalui kekuasaan negara dalam mekanisme politik dan diatur sesuai hukum konstitusi dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian keberadaan kekuasaan negara tidak terpisahkan dan bahkan berhubungan secara langsung dengan kekuasaan rakyat. Penyaluran kekuasaan rakyat dari berbagai jalur pada akhirnya bermuara pada dua jalur inti yaitu jalur partai politik dan non partai politik. Hirarki nilai demokrasi pada puncak tertinggi adalah pluralisme poli-

tik. Intinya rakyat dengan berbagai kelompok dan beragam kepentingannya diperkenankan untuk menguasai negara melalui berbagai jalur kekuasaan yang telah dibentuk dan dimiliki oleh negara. Seluruh jalur kekuasaan yang telah membentuk kekuatan negara pada prinsipnya paralel dengan jalur kekuasaan yang dimiliki rakyat. Demokrasi dalam Pluralisme politik setelah era reformasi politik 1998 sudah seharusnya mampu membuka sumbatansumbatan agar kekuasaan dari berbagai ke­ lompok rakyat dapat mengalir dengan bebas menuju penguasaan rakyat terhadap negara. Demokrasi dapat menjamin bahwa plura­ lisme politik dalam sebuah negara tidak akan melahirkan negara totaliter, tidak akan menciptakan sentra kekuasaan pada golongan tertentu (seperti pada masa orde lama dan orde baru Indonesia). Tidak boleh ada niat apalagi tindakan dari kelompok rakyat tertentu untuk mendominasi kelompok rakyat yang lain dalam sebuah sistem kekuasaan negara, baik kekuasaan negara di tingkat nasional (pemerintah pusat) atau kekuasaan negara di daerah (pemda). Dalam dimensi pluralisme politik, se­ suai dengan dasar konstitusi UUD 1945 pe­ngakuan hak-hak dalam kebebasan berpendapat, dan berserikat tercermin dalam UUD 1945 pada Pasal 28E ayat (3) “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Dalam mengimplementasikan pasal ini berbagai cara yang da­pat dilakukan tentunya dengan cara-cara yang sesuai dengan peraturan yang berlaku. Seluruh rakyat melalui berbagai jalur “entitas” dan komunitasnya harus diberi jalan untuk mengendalikan kekuasaan atau mempenga­ruhi kekuasaan. Melalui jalan tersebut rakyat dapat mengirim orang-orang yang telah dipilih untuk masuk ke lembaga legislatif dan eksekutif. Sebagaimana hari ini Indonesia telah memberi hak kepada rakyatnya untuk dapat masuk ke dalam lembaga pemerintahan baik melalui jalur parpol dan non parpol. Disam­ping rakyat parpol, rakyat non parpol bisa masuk parlemen sebagai anggota DPD RI, dan rakyat non parpol juga bisa jadi gubernur, bupati/walikota melalui jalur perseorangan. Kedua kelompok rakyat Suara KPU Jawa Timur

Juni 2016

7

ini telah diberi hak yang sama oleh negara untuk masuk ke dalam sistem kekuasaan, sehingga dapat menempatkan diri untuk ikut andil dalam penyelenggaraan pemerintahan. Mekanisme demokrasi yang secara prosedur harus melalui pemilu secara demokratis dan berikut keberadaan partai politik sebagai media penyaluran aspirasi hak politik rakyat dalam pemilu maupun hak rakyat non partai (perseorangan) dalam kepentingan bersamanya akan membentuk pemerinta­ han yang demokratis. Terlaksananya pemilu yang demokratis diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap dan mandiri, sebagaimana diatur dalam pasal 22E UUD 1945. Penyelenggaraan pemilu menghasilkan pemerintahan yang demokratis baik dilembaga le­ gislatif maupun eksekutif. Dalam uraian tersebut diatas menggambarkan bahwa paham kedaulatan demokrasi berada ditangan rakyat yaitu pemilik kekuasaan tertinggi adalah rakyat. Kekuasaan rakyat disalurkan dan diselenggarakan menurut mekanisme prosedur konstitusi UUD 1945 dengan membentuk pemerintahan yang demokratis. Kekuasaan pemerintah pada dasarnya adalah kekuasan rakyat sebagai amanah untuk mengatur dan menjamin hakhak kedaulatannya. Rakyat Indonesia dengan keberagaman etnis, budaya dan kepentingan baik individu maupun kelompok adalah sebagai realitas kekuasaan. Dengan demikian suatu pemerintahan yang demokratis adalah pengakuan hakikat manusia yang mempunyai kemampuan sama dalam hubungan sosial, yaitu pengakuan partisipasi rakyat dalam membentuk pemerintahan dan pengakuan hakikat dan martabat manusia yang dilin­dungi oleh pemerintah terhadap hak-hak asasi manusia demi kepentingan bersama. Sehingga kesadaran pluralisme dan semangat demokrasi Pancasila dalam me­ ngelola kekuasaan jelas menjadi keniscayaan untuk mewujudkan kepentingan bersama. Pluralisme dapat dikatakan sebagai jalan terbaik untuk melayani, atau sebuah proses yang mendorong lahirnya demokrasi paling ideal dalam masyarakat yang semakin mo­ dern dan kompleks, agar setiap individu atau kelompok dapat berpartisipasi dalam setiap 8

Jurnal IDe

pengambilan keputusan. Adapun prinsip pluralisme adalah perlindungan terhadap hak individu dan kelompok melalui peraturan dan perundang-undangan dengan memberikan kemungkinan terjadinya check and balances. Ini adalah sebagai gambaran bahwa budaya demokratis dan pluralisme sesungguhnya telah terbangun dengan kokoh pada rakyat Indonesia sejak lama seiring dengan kokohnya Pancasila sebagai ideologi bangsa. Oleh karena itu, pluralisme mengklaim bahwa dalam masyarakat dimana kita hidup bersama, tidak ada kebudayaan yang tidak setara. Karenanya, setiap kebudayaan harus diakui, dihargai secara sosial oleh penduduk yang beragam. Menjadi sangat penting untuk mengajak kita semua betapa proses demokrasi tidak hanya berjalan sesuai dengan prosedur hukum dan aturan perundang-undangan yang tertulis, namun nilai-nilai subtantif dalam pelaksanaan proses demokrasi di Indonesia juga harus disemangati dengan pemahaman terhadap nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia berdasarkan pancasila dan UUD 1945. Sebagaimana disampaikan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie pakar hukum tata negara dalam bukunya; Konstitusi dan Konstitusio­ nalisme Indonesia, hal 31, “….yang terpen­ting adalah semangat dan kemauan politik (political will) para penyelenggara negara. Meskipun dirumuskan bahwa undang-undang dasar mengandung azas kedaulatan rakyat dan demokrasi, jika para penyeleng­gara negara tidak berjiwa demokrasi dan tidak mempunyai tekad dan komitmen mewujudkan demokrasi itu dalam kenyataan atau hanya menjadikan demokrasi hanya sebagai retorika semata, maka pasal yang jelas menentukan demokrasi itu tidak akan terwujud dalam praktek. Sebaliknya, meskipun perumusan undang-undang dasar tidak sempurna tetapi semangat para penyelenggara bersih dan tulus dalam menjalankan konstitusi, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, maka perumusan yang kurang dalam pasal undang-undang dasar tidak akan merintangi jalannya penyelenggaraan negara dengan sebaik-baiknya menuju terwujudnya cita-cita bangsa berdasarkan kelima sila pancasila yang dirumuskan dalam pembukaan undang-undang dasar 1945.r

MH. FATKHUR ROHMAN, SH.I Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih dan Pengembangan Informasi KPU Kabupaten Lamongan

PARTAI POLITIK,

Pilihan Demokrasi atau Kekuasaan? Partai politik adalah organisasi yang dibentuk untuk melakukan kaderisasi pada seluruh keanggotaannya serta media pemberdayaan pada masyarakat. Partai politik adalah media terpenting dalam pengawalan demokrasi di Negara ini, pengawalan terhadap kebijakan yang diambil oleh Pemerintah, pengawalan terhadap proses demokrasi dan produk undang-undang. Partai Politik merupakan sarana partisipasi politik masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi untuk menjunjung tinggi kebebasan yang bertanggung jawab.

P

artai politik adalah bagian terpenting dalam kehidupan berdemokrasi, bernegara dan berpolitik. Makna Partai Politik dibenak sebagian orang akan berbeda pendapat ketika membincang Partai Politik, masayarakat akan berpendapat berbeda-beda, ada yang memaknai bahwa Negara bisa diatur oleh Partai Politik, ada juga yang berpendapat bahwa partai politik adalah media pemberdayaan dimasyarakat, penyalur aspirasi masyarakat, elemen terpenting dalam pengawalan produk undangundang. Adapula yang berpendapat bahwa Partai Politik identik dengan kekuasaan, seni berperan dan memainkan peran. Itulah sebagian pendapat dari persepsi masyarakat ketika waktu santai sembari meminum kopi diwarung kopi dalam obrolan tanpa maksud apapun selain rutinitas penikmat kopi. Peran serta Partai Politik dalam kebebasan berkumpul, berserikat, berhak mengeluarkan pendapat dan pandangan umum tentang perkembangan dinamika kenegaraan adalah peran

optimal yang diinginkan dalam melahirkan kepemimpinan lokal, regional dan nasional. Undang-undang Partai Politik nomor 31 tahun 2002 telah digubah menjadi UU nomor 02 tahun 2008, ini adalah wujud aktualisasi Peran Partai Politik dalam berserikat, berkumpul dan tentunya juga terorientasi dalam pengembangan pemberdayaan dimasyarakat agar peran partai politik bisa lebih optimal dalam kehidupan demokrasi dibangsa ini. Kegiatan partai politik dalam kehidupan berdemokrasi, juga melahirkan kepemimpinan sebagai sarana aspirasi masyarakat dan partai dalam pengembangan visi, misi serta program partai yang tersingkronisasi pada orientasi kebijakan pemerintah serta peningkatan kehidupan sosial masyarakat. Lebih lanjut bahwa partai politik bukan hanya mesin pengepul suara dalam momentum pemilihan kepala daerah saja, namum lebih dari itu bahwa peran partai politik adalah media kehidupan organisasi yang modernyang mampu menjadi “public policy” mempengaruhi 9 Suara KPU Jawa Timur

Juni 2016

9

kebijakan pemerintah serta membangun visi kebangsaan dengan pola governance culture yang demokratis. Seharusnya, visi, misi dan program partai politik adalah elaborasi organisasi mo­ dern yang juga harus melakukan pengelolaan pemberdayaan berbasis kepentingan publik dan masyarakat berdasarkan prinsipprinsip keadilan, transparansi, akuntabilitas dan res­ponsibilitas. Dengan demikian partai politik akan menjadi organisasi yang sehat dan mampu memainkan peranannya dalam kehidupan politik. Dinamika politik adalah dinamika demorasi dan kekuasaan. Demokrasi yang sehat melahirkan kepemimpinan yang tanpa tendensi politik balas budi. Orientasi yang diarahkan bukan hanya kekuasaan berpolitik dan membangun dinasti kebijakan, namun lebih terarah pada pendidikan politik dengan memperhatikan keadilan dan kese­ taraan yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran akan hak dan kewajiban, meningkatkan kemandirian dan kedewasaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara agar iklim demokrasi dinegara Indonesia ini bukan iklim orientasi kekuasaan semata. Kehidupan demokrasi dinegara Indonesia mengalami alur panjang dinamika dan berpolitik, decade kepemimpinan melahirkan kebijakan untuk kepentingan masyarakat. Namun, mampukah kehidupan bernegara tanpa terbayang-bayangi kepenti­ngan partai politik, tanpa terbayang-bayang bingkai kepentingan politik sekelompok elit pemangku kebijakan? Sumber kekuasaan bukan hanya semata berorientasi pada kepentingan politik praktis, namun juga harus memikirkan efek sosial kepemimpinan yang akan berjalan. Kepentingan, kekuasaan, dinamika kebijakan, akan bersinergi dalam alur penciptaan demokrasi pemerintahan yang good governance dan clean governance. Egaletarian Dalam Demokrasi Pemilu Untuk Melahirkan Kepemimpinan Pemilihan umum memilliki sakral dalam kehidupan berdemokrasi, pesta momentum rakyat ini adalah hiruk pikuk kebebasan berpendapat dan berpolitik serta menggunakan hak pilihnya yang diatur dalam undang-undang. Publik menginginkan penyelenggara pemilunya harus jujur, adil, proporsional, pro10

Jurnal IDe

fesional dan tidak memihak. Partai politik sebagai peserta pemilu juga dituntut oleh masyarakat harus melahirkan kader serta kepemimpinan yang sesuai dengan orientasi perhatian program-program pemberdayaan pada masyarakat yang berbasis arus bawah (harus mengakar pada peningkatan pertumbuhan ekonomi masyarakat), bukan atas dasar pencitraan publik semata. Peran penyelenggara pemilu, peserta pemilu (partai politik, gabungan partai politik dan perseorangan), pemilih, adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam kesetaraan demokrasi. Egaliterian dalam demokrasi adalah proses momentum dalam menciptakan dan melahirkan kepemimpinan daerah serta kepemimpinan nasional. Ketika sebagian kepentingan politik tidak lagi terakomodir maka kudeta politik pun akan terjalankan, tentunya melalui seni mempengaruhi kebijakan dan kepentingan publik. Peran serta kiprahnya pun tentunya memiliki perannya masing-masing yang disesuaikan pada dinamika momentum politik nasional. Demokrasi yang mengedepankan public policy bukan mengambil makna kuasa kekuasaan, namun lebih diarahkan pada strategi kebijakan tanpa terpengaruhi kekuatan kekuasaan semata. Namun, dalam paradigma melahirkan kepemimpinan egaliter antara partai politik, penyelenggara pemilu dan masyarakat memiliki peran yang sama dalam penciptaan tatanan demokrasi yang lebih obyektif, lebih mengedepankan sistem kebijakan yang lebih transparan, terukur dan tidak terdramatisir oleh kepentingan politik. Pendidikan politik untuk publik dan masyarakat sangat diperlukan guna me­ ning­katkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Peningkatan partisipasi politik dan inisiatif dari masyarakat juga merupakan pendidikan moral of force dalam pengembangan peningkatan kemandirian, kedewasaan berpolitik dan berdemokrasi serta untuk membangun kesatuan elemen bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bernegara dan berbangsa, menjunjung tinggi nilai-nilai pancasila dan UUD 1945. Lebih obyektif lagi publik dapat menilai bahwa proses menuju egaliterian dalam demokrasi yang melahirkan kepemimpi-

nan kedaerahan dan nasional adalah wujud tanggungjawab bersama, yeng memiliki nilai kontrol yang kuat dalam kancah konstitusi. Demokrasi, adalah media yang obyektif, pilihan yang dinamis agar pola kepemimpinan tidak semata menjunjung tinggi dinasti kuasa kekuasaan saja. Namun, lebih terarah pada pendidikan politik bagi rakyat, pendidikan pemilihan bagi masyarakat, sikap profesional dan berintegritas bagi seluruh elemen bangsa dalam menyambut suksesi demokrasi yang lebih obyektif. Negara sudah menjamin secara konstitusional bagi warga negara dan partai politik untuk menciptakan sistem pemilu yang efektif dan juga efisien. Kekuasaan, Bingkai Demokrasi Yang Terselubung Proses demokrasi yang telah terlewati adalah dinamika politik yang bergulir. Kepentingan umum, kepentingan kelompok atau golongan bukan dijadikan sebagai struggle of power semata, namun; lahirnya kekuasaan adalah proses alamiah yang lahir dengan sendirinya atas dasar konsistensi, integritas, profesionalitas yang sebanding lurus dengan nilai dedikasi pemberdayaan pada masyarakat. Elektabilitas yang sudah dibangun tidak serta merta muncul begitu saja, namun atas proses panjang perjalanan liku-liku jatuh bangun kepercayaan publik. Proses politik, dinamika politik, bersandingan dalam koalisi kekuasaan adalah kepentingan yang terjustifikasi untuk kepentingan bersama masyarakat. Mengacu Undang-undang Nomor 08 tahun 2015 tentang perubahan atas Undangundang nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota adalah proses dinamika dalam melahirkan kebijakan undang-undang untuk dipatuhi serta dijalankan. Ini adalah jalan panjang dinamika demokrasi di republik Indonesia, yang penyelenggara pemilu, pemangku kebijakan, partai politik, lembaga Negara dan seluruh elemen masyarakat berperan aktif dalam melahirkan undang-undang ini. Ini adalah salah satu contoh proses demokrasi kebijakan yang dapat diterima oleh seluruh

elemen kepentingan. Proses demokrasi yang tersentral pada kepentingan publik, kalah atau menang dalam argumentasi kepenti­ ngan dan peran konsep sudah terlampaui, semua terlebur dalam kepentingan bersama yaitu siap menyambut momemtum pemilihan umum. Kepentingan adalah hal keharusan dalam berpolitik, kebijakan yang diambil adalah hal keharusan untuk mensinergikan antara kepentingan partai Politik dengan kepentingan Pemerintah agar sistem demokrasi yang dibangun tidak tumpang tindih atas kebijakan yang telah dibuat serta tersyahkan dalam rapat paripurna DPR. Partai politik memiliki orientasi kekuasaan dan mampu menjadi mesin pendorong pengaruh kebijakan, konsepsi Power of Institution mengekspresikan kemampuan berkehendak yang terdistribusi secara massif oleh keterwakilan lembaga atau individu dari partai politik di parlemen dan pemerintahan. Unsur mempengaruhi kebijakan, pengawalan kebijakan ini adalah media politik yang dilakukan oleh partai politik. Pemangku kebijakan di partai politik menolak anggapan bahwa politik mempengaruhi kebijakan di organisasi serta orientasi kebijakan yang akan dilakukan oleh pemerintah, semua masih perlu ada kajian yang signifikan. Tetapi, menggunakaan kekuasaan dalam iming-iming membangun sistem yang demokratis, proses pengawalan kebijakan publik yang dibuat pemerintah guna kepentingan masyarakat adalah aspirasi yang mengindikasikan bahwa kekuasaan masih melekat dalam bingkai demokrasi. Kepentingan bersama adalah media kontrak politik yang di-sounding-kan, karena kekuasaan adalah orientasi yang terselubung dalam setiap organisasi manapun. Dengan kekuasaan, semua kebijakan akan diperan­kan, dengan kekuasaan maka dominasi kepen­tingan akan tersanding dengan setiap prog­ram yang telah direncanakan. Jadi, menurut penulis bahwa; kekuasaan adalah orientasi politik keharusan dari masing-masing partai politik sebagai media kontrol kebijakan dan program pemerintah dalam pengawalan pertumbuhan perekonomian bangsa. Demokrasi adalah jalan tengah dalam membangun sebuah civil society menuju pemerintahan yang good governance dan clean governance.r Suara KPU Jawa Timur

Juni 2016

1111

PRIMA AEQUINA S. Divisi Hukum, Pengawasan SDM dan Organisasi KPU Kabupaten Ngawi

Fenomena Relawan Politik

DALAM PEMILU

Demokrasi menjadi pilihan sebagian besar masyarakat dunia dalam bernegara. Dalam percaturan dunia sekarang ini, negara yang ‘demokratis’ adalah sebuah kebanggaan bahkan keharusan. Demokrasi di percaya sebagai sebuah upaya dan mekanisme untuk mewujudkan sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat yang akan mewujudkan kesejahteraan rakyat.

N

egara demokrasi modern mensyaratkan keterlibatan masyarakat dalam menentukan jalannya pemerintahan melalui sistem pemilihan umum (pemilu) sebagai sarana untuk membentuk pemerintahan. Pemilu merupakan ukuran penting bagi derajat partisipasi politik. Melalui pemilu yang dilaksanakan dalam satu periode tertentu, rakyat akan menyerahkan kedaulatannya kepada siapapun yang dianggap mampu mewujudkan harapan hidup sejahtera. Pe­ n­ye­rahan kedaulatan rakyat dalam pemilu dilakukan dalam bentuk pemberian suara kepada partai politik ( parpol )dan anggotanya untuk dipilih menjadi anggota legislatif (parlemen) serta sejumlah kedudukan politik lainnya. Pemilu merupakan arena kontestasi demokratis bagi kandidat dalam rangka memperoleh kepercayaan dan mandat politik publik, sehingga diharapkan Parpol mampu mewadahi pluralitas aspirasi dan kepentingan masyarakat luas. Tujuan utamanya adalah parpol mampu memenuhi harapan rakyat akan terbentukya pemerintahan yang 12

Jurnal IDe

mampu mewujudkan keinginan untuk hidup yang lebih baik. Pun demikian, Indonesia, negara yang telah menasbihkan diri sebagai negara demokrasi sejak merdeka. Sejak itu pula pemilu menjadi agenda yang wajib di laksanakan sebagai syarat sebuah negara demokrasi. Tercatat telah terlaksana 10 (sepuluh) kali pesta demokrasi sejak indonesia merdeka. Sekali pemilu dilaksanakan pada tahun 1955 (orde lama), 5 (lima) kali pemilu pada masa orba (1977,1082, 1987, 1992, 1997) dan 4 (empat) kali pemilu pada masa reformasi (1999, 2004, 2009, dan 2014). Sepuluh kali pelaksanaan pesta demokrasi/pemilu, semestinya sudah mampu membawa indonesia pada sebuah kematangan proses berpolitik dan berdemokrasi, yang pada gilirannya akan membawa kesejahte­ raan bangsa. Akan tetapi pada kenyataannya hal tersebut terasa masih jauh panggang dari api. Terdapat kelemahan dalam proses politik dan demokrasi di Indonesia. Kelemahan tersebut diantaranya adalah

masih diperdebatkannya model dan sistem kepartaian, sistem pemilu, akibatnya aturan penyelenggaraan pemilu selalu disusun menjelang pelaksanaan pemilu berlangsung. Hal ini berdampak pada kurang maksimalnya penyelenggaraan pemilu sebagai sarana perwujudan demokrasi substansial. Persoalan lainnya akibat dari perdebatan tentang sistem politik dan demokrasi yang masih selalu berbenah, menyebabkan tingkat konsentrasi partai politik dalam mewujudkan pendidikan politik masyarakat berkurang. Partai politik sibuk memperdebatkan wacana tentang sistem politik dan mengabaikan pera­nan pendidikan politik bagi anggota partai maupun masyarakat luas. Relawan Politik: Upaya Rakyat Bersuara Dalam beberapa pemilu terakhir di era reformasi, muncul kecenderungan menarik adanya relawan politik, yaitu sekumpulan orang yang bekerja untuk pemenangan peserta pemilu tertentu, baik itu partai, caleg ataupun calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Munculnya relawan politik ini bukan hanya karena faktor sinisme dan ketidakpercayaan politik, tetapi juga karena faktor kebosanan masyarakat terhadap perilaku politik yang kian formalistik dan elitis yang membuat pemerintah semakin tidak memahami keinginan rakyatnya. Gerakan relawan politik muncul dalam bentuk, penggalangan massa utk pencalonan kepala dae­ rah dari jalur perseorangan, pengawalan

pero­lehan suara, juga pengawasan pelanggaran aturan pemilu. Berbeda dengan tim sukses/tim kampanye yang terdiri dari anggota parpol,mereka para relawan politik ini pada umumnya adalah orang-orang merdeka yang tidak atau belum berafiliasi dengan parpol manapun, keterlibatan mereka menjadi relawan adalah murni karena ketertarikan mereka pada calon yang mereka dukung. Relawan bekerja atas dasar ikatan kesamaan tujuan untuk mengantar kandidatnya menduduki jabatan politik sehingga dapat menjalankan programnya. Pada umumnya kandidat yang didukung oleh para relawan ini adalah kandidat yang terpinggirkan oleh partai politik atau didukung oleh minoritas parpol, dalam hal ini relawan bergerak dalam upaya penggalangan massa dan dana. Gerakan relawan politik di indonesia muncul setelah beberapa kali pemilu era reformasi. Kran kebebasan berpolitik yang di buka membuat rakyat di suguhi banyak pilihan cara untuk menyalurkan hak politiknya. Era pemilihan presiden secara langsung tahun 2009 mulai membuka mata kita tentang keterlibatan relawan politik, dengan munculnya relawan yang bergerak untuk mendukung salah satu kandidat, pada waktu itu SBY-JK. Puncak kepopuleran relawan politik terjadi pada pilpres 2014 lalu, kemenangan pasangan Jokowi-JK tidak di pungkiri adalah juga keberhasilan ‘relawan Jokowi’. Pemilihan kepala daerah secara langsung yang membuka jalan calon dari jalur perseoranSuara KPU Jawa Timur

Juni 2016

13

gan, membuat relawan politik diperlukan untuk memuluskan jalan calon yang akan menjadi peserta pemilihan dengan bekerja menghimpun dukungan dari rakyat bagi calon yang tidak melalui jalur partai politik. Dalam pilkada serentak 2015 yang lalu terdapat 2 pemenang dari jalur perseorangan, yaitu Nina Moerniani, Walikota Bontang dan Rita Widyasari, Bupati Kutai Kartanegara. Adalah fakta bahwa kandidat yang didukung oleh relawan politik biasanya adalah kandidat yang minim dukungan parpol. Hal ini menunjukkan bahwa rakyat mampu memilih alternatif kandidat yang sesuai dengan yang diharapkan dan sekaligus memenangkannya. Paradigma baru ‘kesukarelaan’ sebagai basis relasi antara pemilih dan kandidat akan menggantikan basis relasi transaksional yang selama ini jamak terjadi. kemunculan gerakan relawan politik ini mengesampingkan peran parpol dalam meraup suara dan merupakan bentuk perlawanan terhadap sistem politik yang ada. Dengan menjadi relawan politik, rakyat bersuara tidak hanya menjadi aktor politik yang pasif yang menggunakan hak politiknya, tetapi rakyat bergerak me­ ngorganisasi kekuatan dengan aktif, tanpa harus bergabung dalam parpol Relawan Politik: Mau Dibawa Kemana? Kehadiran relawan politik menjadi entitas baru dalam realitas politik kekinian di indonesia. Relawan politik juga menjadi pilihan banyak orang yang masih ragu berpolitik apalagi politik praktis dibawah naungan parpol tertentu. Kemunculan relawan politik menjadi rambu-rambu bagi parpol, untuk berbenah dan memperbaiki diri menjadi lebih transparan, profesional dan peka menangkap kehendak rakyat. Sudah jamak, setelah pemilu usai, kandidat yang menang akan memberikan balas jasa bagi siapa saja yang membantu, entah itu rela­wan, donatur, apalagi parpol. Balas jasa ini biasanya berupa jabatan ataupun proyek tertentu. “ Tidak ada makan siang gratis” kutipan ini kiranya cocok untuk menggambarkan hal tersebut. Adanya pihak lain yang masuk dalam daftar, membuat salah satu peran parpol sebagai sarana untuk memperoleh jabatan publik menjadi tereduksi. Kontestasi antara parpol dan relawan politik pada akh14

Jurnal IDe

irnya tidak dapat di hindari. Jika demikian apakah kemudian di indonesia relawan politik telah menggantikan peran parpol ? Eksistensi relawan politik itu sendiri hingga kini belum terwadahi secara hukum, malah dapat disebut sebagai organisasi tanpa bentuk (OTB), tidak jelas jenis kelaminnya, bukan parpol tetapi mempunyai aktivitas sama, khususnya dalam penggalangan massa. Menurut Martin Walecki, seorang ahli ilmu politik dari Oxford, relawan politik tidak ubahnya sebagai partai ke 3, orang yang mempengaruhi hasil pemilu tetapi bukan pelaku/parpol peserta pemilu. Tidak dapat dipungkiri bahwa relawan politik itu ada, memberi kontribusi dan telah menjadi salah satu aktor yang menentukan dalam dunia perpolitikan di indonesia, kiprahnya mampu menjadi salah satu penentu arah kepemimpinan bangsa, sehingga keberadaan dari relawan politik ini layak di pertahankan. Di dalam paket undang-undang politik dan kepemiluan kita sendiri belum diatur tentang relawan politik ini, sehingga perlu dibuatkan aturan mengenai bentuk dan domain para relawan politik ini, untuk tidak menimbulkan gesekan dengan peran dan fungsi parpol dalam pemilu dan bisa menjadi sebab munculnya elit baru yang tercipta dari upaya penggembosan parpol. Relawan politik bisa menjadi partner dari parpol untuk menjalankan fungsi chek and rechek, karena bagaimanapun membiarkan parpol berjuang sendiri untuk membangun ruang politik yang sehat, bukan saja tidak pada tempatnya melainkan juga kurang bijaksana. Fakta tentang relawan politik diatas merupakan gambaran dari potret politik demokrasi kepemiluan di negara kita. Keberadaan gerakan kerelawanan politik menjadi kekuatan politik baru. Maka hal ini menarik untuk kita kaji bersama untuk melengkapi khazanah sistem sistem demokrasi di Indonesia. Sikap yang bijaksana tentu tidak menafikan keberadaan relawan politik, tidak juga menganggap keberadaan relawan politik sebagai vis a vis Partai politik. Karena memang demokrasi formal meletakkan partai politik sebagai aktor utamanya. Tetapi bagaimana mengkaji posisi relawan politik dalam rangka penguatan sistem kepartaian.r

BINTANG FAJAR ADISATRIA, S.Kom Staff Teknis Hupmas KPU Kabupaten Kediri

Demokrasi Yang Dipuja dan

Diterapkan di Indonesia Sebagai sarana dalam melaksanakan kedaulatan rakyat, dan menjadi proses pergantian kekuasaan secara damai yang dilakukan secara berkala, Pemilu telah memiliki prinsip yang digariskan oleh konstitusi. Dimana pada prinsip tersebut terdapat kehidupan ketatanegaraan rakyat yang berdau­ lat, dimana dikenal sebagai demokrasi. Kedaulatan rakyat ini ditandai atas peran aktif warga negara yang turut serta dalam proses pengambilan keputusan kenegaraan.

J

eans Bodin ( 1536-1596 ) seorang ahli kenegaraan asal Perancis yang memperkenalkan istilah tentang kedaulatan mengatakan, “Kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Kedaulatan ini sifatnya tunggal, asli, dan tidak dapat dibagibagi.” Makna Tunggal berarti hanya ada satu kekuasaan tertinggi, sehingga kekuasaan itu tidak dapat dibagi-bagi. Asli berarti kekuasaan itu berasal atau tidak dilahirkan dari kekuasaan lain. Sedangkan abadi berarti kekuasaan negara itu berlangsung terusmenerus tanpa terputus-putus. Maksudnya pemerintah dapat berganti-ganti, kepala negara dapat berganti atau meninggal dunia, tetapi negara dengan kekuasaanya berlang-

sung terus tanpa terputus-putus. Adanya pemerintahan yang berkelanjutan dan berkesinambungan. Dari prinsip tersebut dapat dipahami bahwa Pemilu merupakan kegiatan politik yang sangat penting dalam proses penyelenggaraan kekuasaan dalam sebuah negara. Sebagai sebuah tatanan demokrasi yang bersifat universal, Pemilu merupakan sebuah kawah candradimuka terbentuknya pemerintahan perwakilan (representative government), wujud pemerintahan perwakilan ini diwujudkan dimana setiap masyarakat secara individu memiliki hak dipilih untuk dapat menjadi pemimpin atau wakil rakyat maupun hak memilih untuk dapat memilih pemimpin Suara KPU Jawa Timur

Juni 2016

15

atau wakilnya di lembaga legislatif. Di zaman modern seperti saat ini, Pemilu merupakan gambaran yang sangat ideal dimana menjadi parameter, apakah sebuah negara tersebut demokrasi atau tidak. Bahkan pengertian demokrasi sendiri secara sederhana tidak lain tidak bukan adalah sistem politik yang berisi para pembuat keputusan kolektif tertinggi didalam sistem tersebut, dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur, dan berkala. Disini sirkulasi elit pun terjadi. Sirkulasi elit yang terjadi dalam pemilu yakni baik antara elit politik satu dengan elit politik lainnya, maupun pergantian kelas dari kelas elit politik yang lebih rendah menjadi kelas elit politik yang lebih tinggi. Di Indonesia, sirkulasi tersebut menjadi begitu mulus dan berjalan sukses tanpa kekerasan. Ka­ rena diadakan begitu adil dan demokratis. Dengan kata lain, pemilu disebut sebagai aktivitas politik dimana selain menjadi lembaga, sekaligus juga menjadi praktik politik terjadinya sebuah pemerintahan perwakilan (representative government). Dalam sebuah negara yang berdemokrasi, pemilihan umum merupakan vital part, karena merupakan sebuah parameter untuk mengukur demokratis tidaknya sebuah negara dimana jalannya sebuah pemilihan umum di negara tersebut. Pemilu merupakan implementasi dari sebuah ungkapan yang dikatakan yakni, bentuk pemerintahan dibentuk oleh rakyat dan diperuntukkan kesehjateraan rakyat. Jadi pemilihan umum adalah salah satu cara untuk memilih wakil rakyat. Beberapa fungsi dari pemilu yang tidak dapat terpisahkan antara satu sama lain, yaitu: Pertama, dimana pemilu menjadi sarana sebuah legitimasi politik. Sudah menjadi kebutuhan pemerintah untuk mewadahi pemilu dalam sebuah sistem politik, menjadikan pemilu sebagai penegakkan keabsahan pemerintahan yang berkuasa, begitu pula dengan program dan kebijakan yang dihasilkan oleh pemerintahan tersebut. Dengan begitu, pemerintahan yang berkuasa tidak hanya memiliki otoritas saat berkuasa, namun memiliki untuk memberikan sanksi berupa hukuman dan ganjaran bagi mereka yang melanggar berdasarkan hukum yang telah disepakati bersama. Fungsi legitimasi menurut Ginsberg ialah sebuah konseku­ensi 16

Jurnal IDe

logis yang dimiliki dari pemilihan umum, yaitu mengubah suatu keterlibatan politik massa dari yang bersifat sporadis dan dapat membahayakan, menjadi sumber utama bagi otoritas dan kekuatan politik nasional. Ada tiga alasan mengapa pemilu di Indonesia menjadi sarana legitimasi politik bagi pemerintah yang berkuasa. Pertama, melalui pemilu pemerintah dapat meyakinkan atau setidaknya memperbarui berbagai kesepa­ ka­tan politik dengan rakyat. Kedua, melalui pemilu perilaku rakyat atau warga negara dapat dipengaruhi oleh pemerintah untuk meningkatkan respon terhadap kebijakan yang dibuat. Ketiga, di era modern seperti saat ini pemerintah dapat mengandalkan kesepakatan (consent) secara sadar dari rakyat tanpa harus mengadakan pemaksaan (coercion) untuk mempertahankan legitimasinya, hal ini dapat menunjukkan bahwa melalui kesepakatan yang diperoleh melalui hegemoni pemerintah yang berkuasa ternyata lebih efektif dan bertahan lama sebagai sarana pengendali (control), pelestarian legitimasi dan otoritasnya daripada menggunakan kekerasan dan dominasi. Terkait hal ini, maka penting untuk mewujudkan sistem pemilu yang benar-benar mengarah pada nilai-nilai demokrasi. Pemilihan sistem pemilu ini sa­ ngat penting. Sistem pemilu ini bukan tercipta karena dipilih, namun kebanyakan tercipta karena kondisi yang ada didalam masyarakat serta sejarah yang mempengaruhinya. Kita merasakan begitu besarnya perubahan arus politik dimana pada tahun 1998, yang ditandai lengsernya presiden Soeharto memiliki dampak yang sangat luas. Salah satu diantaranya kembalinya demokrasi dalam kehidupan politik nasional. Pemilu kali ini benar-benar Luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia). Pada tahun 1999 de­ngan diikuti oleh 48 Partai politik menunjukkan demokratisasi ini membawa efek juga terhadap pola relasi konsekuensi antara Presiden dan DPR. Jika pada masa lalu DPR hanya menjadi “Tukang Stempel”, saat ini DPR beralih menjadi mengawasi segala kebijakan presiden. Disini dapat kita lihat format politik tidak lagi menjadi dominan (atau bahkan exceutive heavy) seperti pada saat orde baru tetapi juga tidak menjadi terlalu legislative heavy seperti saat orde lama maupun demokrasi parlementer

yang membawa citra negatif. Dengan beralihnya rezim presiden Soeharto yang digantikan oleh wakilnya BJ Habibie, membawa babak baru dalam proses demokratisasi di Indonesia. Pada saat itu Presiden BJ Habibie mendapatkan tuntutan dari berbagai pihak tertutama rakyat untuk segera mewujudkan pemerintahan baru yang terbebas dari legitimasi orde baru. Oleh karena itu, secara konstitusional BJ Habibie memiliki tugas utama untuk menyelenggarakan pemilu. Langkah awal saat itu adalah dengan membentuk Tim Tujuh yang bertugas untuk mempersiapkan pemilu dengan segera. Selain itu, Partai Golkar yang menjadi produk orde baru mempersiapkan diri menjadi partai politik baru serta perpecahan di dalam PPP menjadi banyak partai saat itu menandai langkah awal dari proses demokratisasi di Indonesia. Selama pemerintahan orde baru terjadi pemilu sebanyak 6 (enam) kali secara berkala dari tahun 1966 hingga 1997, begitu pula di era Reformasi, yang diikuti multipartai pada 7 Juni 1999 dan pemilu berikutnya 5 April 2004. Dari sistem multipartai dengan segmen dan ideologi yang beragam pada Pemilu 1999, menunjukan bahwa Indonesia sebenarnya tidak buta politik meskipun sistem Pemilunya masih proporsional tanpa menyer­takan nama calegnya dalam kartu suara. Tapi Pemilu di era Reformasi menjadi ajang kompetisi yang sehat bagi para kontestan Pemilu. Disini pula lembaga pelaksanaan Pemilu diawali de­ ngan adanya Komisi Pemilihan Umum (KPU). Meskipun pada awalnya terdapat kekurangan, satu hal bahwa pemilu tahun 1999 me­ rupakan cerminan dari keinginan masyarakat akan terwujudnya pemilu yang jujur, adil, akuntabel serta memunculkan pemimpin yang sesuai dengan harapan masyarakat. Hingga pada masa pemilu selanjutnya pemilu 2004, pemilu 2009 Hingga pemilu 2014 selalu bergulir dengan penuh demokratis, dan selalu menjadi harapan tumpuan masyarakat Indonesia untuk menyeleksi pemimpin yang benar-benar berkualitas dengan melibatkan seluruh kepentingan masyarakat. Meskipun terkadang tekanan publik baik itu dari pihak peserta pemilu sampai beberapa ormas maupun LSM sangat mudah mempengaruhi kredibilitas kebijakan KPU sehingga terkesan

KPU sebagai penyelenggara kurang kompatibel, kurang menjaga citra independensi profesionalnya. Kelemahan selanjutnya datang dari kesadaran hukum masyarakat untuk menggunakan hak Pilihnya masih kurang. Baik itu mengurus terdaftar atau tidak dirinya dalam DPS dan DPT sehingga karena kurangnya kesadaran akan hak pilihnya ini menimbulkan banyaknya pemilih yang belum terdaftar di DPT, meskipun pihak KPU sudah menggunakan sistem online melalui Sidalih. Tetapi percuma saja, kalau sistem online bekerja namun tidak ada kesadaran untuk menggunakan hak pilihnya, sama saja nol. Kemudian kelemahan terakhir adalah budaya siap menang dan kalah dalam Pemilu secara elegan masih belum dihayati oleh masing-masing peserta pemilu. Ikrar dan Janji berupa kontrak politik yang dipajang indah dan ditanda-tangani oleh pucuk pimpinan partai politik pun terkesan hanya cere­ monial belaka. Ujung-ujungnya tetap saja beberapa kejadian tidak mengenakan terjadi karena belum siap menerima kekalahan de­ ngan legowo. Oleh karena itu sukses berjalannya Pemilu yang demokratis di Indonesia menjadi peran segenap elemen didalamnya. Peran elit politik bangsa sangat dibutuhkan terkait konteks positif untuk menjaga lancarnya proses demokratisasi melalui pemilu bukan malah menjadikan pemilu serta pelembagaan pemilu itu sendiri menjadi tempat bertarung elit politik yang dapat berakibat kemunduran bagi proses demokratisasi di Indonesia. Pada tingkat aktor politik, kepentingan elite politik dan kepentingan partai saat ini hanya bersifat pendek dan masih mendominasi pada arah transisi demokrasi di Indonesia. Konsolidasi demokrasi tidak cukup hanya dengan terselenggaranya Pemilu secara prosedural, namun melembaganya komitmen demokrasi pada partai-partai dan pemimpin-pemimpin yang dihasilkannya. Dengan begitu, transisi demokrasi masih akan berlangsung dalam tarik-menarik kepentingan pribadi, partai dan kelompok. Sehingga cenderung me­ ngarah pada pelestarian status quo politik ketimbang menuju suatu demokrasi yang lebih baik serta pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab.r Suara KPU Jawa Timur

Juni 2016

17

KPU Jawa Timur

Kunjungan Ketua KPU RI Husni Kamil Manik ke KPU Jawa Timur, 18 Mei 2016.

Diskusi Kamisan di KPU Jawa Timur, 12 Mei 2016.

Pelantikan Sekretaris KPU Bojonegoro Moh. Sapiq di KPU Jawa Timur, 1 Juni 2016.

18 18

JurnalIDe IDe Jurnal

r Dalam Bingkai

KPU Kota Batu Koordinasi Persiapan Pelaksanaan Pilkada ke KPU Jawa Timur, 1 Juni 2016.

Workshop Jurnal Inspirasi Demokrasi (IDE) Suara KPU Jawa Timur, 26 Mei 2016.

Prosesi Pengambilan Sumpah/ Janji PNS (alih status) Pegawai di Lingkungan KPU Jawa Timur, 13 Mei 2016.

Suara KPU Jawa Timur 2016 Suara KPU Jawa Timur Juni Juni 2016

1919

MUHAMAD RIDHOL MUJIB Divisi Sosialisasi KPU Kabupaten Lumajang

PARTAI POLITIK, Gas Pol Rem Pol Dalam Demokratisasi Tak ada kawan dan lawan yang abadi dalam politik, yang abadi hanyalah kepentingan. Begitulah gambaran awal saat kita mencoba mengkaji dan mendiskusikan politik diantara peran dan eksisten partai politik hingga detik ini.

M

eski sebenarnya kalau kita lihat dari perspektif definisinya, banyak pakar yang sepaham tentang partai politik tersebut sebagai wadah berkumpulnya sejumlah orang yang terorganisir dengan mempunyai cita-cita bersama dalam merebut dan mempertahankan kekuasaan melalui mekanisme konstitusional untuk melahirkan kebijakan yang berguna bagi masyarakat atau khalayak umum. Agar perebutan kekuasaan tersebut tidak karut marut negara mewadahi dalam sebuah bingkai pemilihan umum (Pemilu), yang didalamnya terbangun aturan sistem pemilihan, penyelenggaraan hingga aturan kepesertaannya. Hal ini merupakan sebuah siklus dalam tatanan bernegara yang berkiblat pada sistem demokrasi. Di Indonesia misalnya, pemilu digelar selama 5 tahun sekali untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, serta memilih Presiden dan Wakil Presiden sesuai amanah UUD 1945 pasal 22E. Dalam proses demokrasi ini partai politik merupakan bagian terpenting 20

Jurnal IDe

yang tak bisa dipandang sebelah mata atau ditiadakan. Dalam teori kelembagaan partai politik merupakan sarana mendorong pembangunan politik bagi semua warga negara. Partai politik mempunyai status dan peranan penting dalam demokrasi. Tak heran jika banyak yang berpendapat bahwa partai politiklah yang sebetulnya menentukan demokrasi, seperti dikatakan Schattscheider (1942), “Political parties created democracy.” Karena itu partai politik merupakan pilar penting untuk diperkuat derajat kelembagaannya (the degree of insti­ tutionalization) dalam setiap sistem politik yang demokratis. Meski demikian tak sedikit pula yang kritis dan skeptis terhadap partai politik. Bahkan ada yang paling serius diantaranya menyatakan bahwa partai politik itu sebenaranya tidak lebih sekedar menjadi kendaraan politik bagi sekelompok elit yang berkuasa atau berniat memuaskan “nafsu birahi” kekuasaannya sendiri. Partai politik hanyalah berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang yang kebetulan beruntung dan

berhasil memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabui, untuk memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan publik tertentu “at the expense of the general will” (Rousseau, 1762) atau kepentingan umum (Perot, 1992). Fenomena ini kemudian kita sepakat bahwa demokrasi tanpa partai politik ibarat sayur tanpa garam. Meski kepentingan menjadi tujuan dari sebuah partai, namum keberadan partai politik apa lagi dalam pemilu menjadi hal mutlak agar proses demokratisasi dalam sebuah pemilu bisa berjalan tanpa cacat. Sebenarnya, partai politik tak hanya sekedar ada disaat ada gawe demokrasi se­perti pemilu maupun pilkada, tapi partai politik harus ada setiap saat sebagai salah satu pilar demokrasi yang menjembatani kepentingan rakyat disaat berkeluh kesah terkiat permasalahan sosial yang ada. Namun faktanya, partai politik masih belum bisa bermain ganda dengan jadi penyambung lidah rakyatnya sekaligus menjadi sekumpulan orang-orang yang berhaluan sama dengan ideologi tertentu untuk mencapai kepentingan tertentu, melalui sebuah kekuasaan politik, sesuai

teori dasarnya. Nah! Disini lah sebenarnya peran ganda sebuah partai yang harus dimaksimalkan untuk bisa merebut hati rakyat tanpa melukai­ nya dengan janji-janji kampanye. Selama ini partai terkesan gas pol rem pol hanya membaktikan kepentingan pada sebuah janji politik yang kadang hanya menggelitik tapi tak berbuah simpatik. Apalagi di era multipartai ini tingkat skpetisme masyarakat terhadap keberadaan partai semakin meningkat. Hasil survey Cirus Surveyor Group tahun 2014 lalu yang melibatkan 2.200 responden tersebar di 33 provinsi menunjukkan angka prosenetase yang cukup fantastis, yakni 79,2% publik mengatakan tidak percaya lagi kepada partai politik karena tidak akan bisa membawa aspirasi rakyatnya. Hanya 9,4% publik masih menaruh harapan pada partai politik, sedang­kan sisanya 11,4% menyatakan tidak tahu atau tidak menjawab. Fakta inilah yang seharusnya menjadi autokritik bagi semua partai agar mampu merebut kembali hati rakyat dengan terus menggas programnya dan cepat mengerem jika dominasi kepen­ tingannya terlalu menonjol. Suara KPU Jawa Timur

Juni 2016

21

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang perubahan atas UndangUndang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Bahwa berdirinya parpol merupakan wujud dari pengakuan hak asasi bagi rakyat sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 A sampai J. Prof Miriam Budiarjo, dalam Dasar-Dasar Ilmu Politik: ”Partai Politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai dan cita-cita yang sama dengan tujuan memperoleh kekuasaan politik dengan cara konstitusional.” Fungsi parpol ialah sebagai sarana komunikasi politik, sosialisasi politik dan pendidikan politik, rekrutmen politik dan yang terakhir pengatur konflik. Fungsi pertama sebagai sarana komunikasi politik, parpol memiliki fungsi untuk merumuskan kebijakan yang telah dibuat, lalu dari kebijakan tersebut disampaikanlah informasi dari pemerintah kepada rakyat ataupun sebaliknya sehingga kebijakan strategis yang ada bisa saling terjadi sinergi antara pemerintah dan rakyat. Dalam implementasinya kita mengenal ajaran Trias poli­tica dari Montesquieu yang membagi kekuasaan menjadi tiga, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Parpol dalam hal ini, baik ketika menempatkan wakilnya sebagai eksekutif maupun legislatif haruslah mengedepankan kepentingan rakyat sebagai suatu kewajiban sehingga eksistensi parpol tetap terjaga dan upaya untuk menjadi wahana demokrasi bisa dituangkan secara nyata. Kemudian fungsi parpol yang kedua, yaitu sebagai sosialisasi politik dan pendidikan politik. Setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dan legislatif, tentu mempunyai harapan bahwa produk hukum tersebut bisa diterapkan secara nyata dimasyarakat. Untuk bisa diterima oleh masyarakat, maka parpol perlu memperkenalkan visi, misi, dan berbagai program kerja sehingga para pemilih bisa merasakan sebuah pendidikan politik. Ketiga, fungsi partai politik sebagai rekrutmen politik, parpol harus mampu mengakomodir setiap warga negara yang sudah mempunyai hak pilih agar bisa ikut berpartisipasi dalam setiap kerja organisasinya maupun menjadi bagian penting atau fungsionaris dalam partai. Sehingga fungsi keempat, yakni par22

Jurnal IDe

tai politik sebagai pengatur konflik mampu meminimalisir friksi-friksi kepentingan yang terkadang bisa memecah belah kepenti­ ngan yang lebih besar untuk kepentingan bangsa dan negara. Namun, pada kenyataannya masih sedikit parpol yang mengedukasi masyarakat tentang politik, kebanyakan justru melupakan fungsi bahwa parpol juga berperan untuk meningkatkan kualitas politik di Indonesia. Belum lagi dalam konteks kepemiluan, peran strategis parpol haruslah lebih diprio­ ritaskan. Tak hanya statusnya sebagai peserta pemilu tapi sebagai bagian dari sistem demokrasi kepartaian yang sekedar berbicara kepentingan partainya sendiri, namun lebih pada mengedepankan kepentingan bangsa dan negara. Maka sangat perlu kiranya ada sebuah perubahan konstruktif pada sebuah ralitas perang dan fungsinya, agar eksistensi dan program partai tak sekedar menajdi jargon dan lips service belaka. Hal ini harusnya bisa dibuktikan dalam kontestasi kepemimpinan negara dan pemerintahan baik di legislatif maupun eksekutif, parpol harus mampu memposisikan lebih dari sekedar menjadi peserta, namun bargaining position-nya menjadi pelangi demokratisasi di saat momen pemilu maupun di saat kekuasaan berada digenggamannya. Sehingga tudingan sederhana yang ditujukan ke partai politik yang hanya disibukkan dengan menyusun strategi pemenangan tapi tidak dalam rangka ikut memperbaiki sistem demokrasi yang ingin dibangun oleh negera ini, harus terbantahkan dengan pola dan skema yang sesuai de­ ngan arah dan kebijakan kepentingan besar bangsa ini. Sehingga memahami partai politik, demokrasi dan Pemilu akan utuh dalam memaknainya, utuh menjadi satu kesatuan yang tidak bisa terpisahkan. Demokrasi tanpa adanya pemilu dan partai politik, ibarat minuman tanpa pemanis, sedangkan partai politik dan pemilu tanpa demokrasi ibarat makanan tanpa resep. Jika ketiganya tak menyatu, maka akan terjadi sebuah kegaduhan politik berkepanjangan, dan tujuan good governance di negeri ini hanya akan menajdi cita-cita yang terus menggelantung di langit. Maka dari itulah dalam setiap momentum pemilu demokratisasi adalah harga mati yang

harus ditegakkan oleh semua stakeholder. Mulai dari penyelenggaranya, pesertanya (parpol) hingga dukungan pemerintah sebagai entitas yang punya gawe dalam siklus pergantian kepemimpinan eksekutif maupun legislatif. Menelisik setiap momen penyelenggaraan pemilu, tak jarang partai politik dan penyelenggara terkesan kurang bisa mengharmoniskan setiap tahapan yang seudah menjadi ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Hal yang sering terjadi “pertikaian” dalam menegakkan demokrasi dalam pemilu, yakni terkait peran dan fungsinya peserta dan penyelenggara, terkadang hanya saling mengusik sebuah aturan yang secara substansi sebenarnya kedua belah pihak memahami tafsir aturannya. Namun karena mengedepankan ego kepentingan akhirnya menomerduakan kepentingan bersama. Kasus sengekta hasil pemilu yang berujung pada meja Mahkamah Konstitusi tak lepas dari kelalaian yang juga disebabkan oleh peran partai sendiri dalam mengawal proses penghitungan surat suara yang secara ajek dikawal oleh saksi yang disebar pada setiap tingkatan. Disamping pula penguatan penyelenggara pemilu ditingkatan paling bawah yakni KPPS yang kurang kaffah dalam menjalankan prosedur atau aturan mainnya. Sehingga menimbulkan ekses perbedaan pandang hasil dari penghitungan antara penyelenggara dan partai politik yang diwakili saksinya. Bahkan antara penyelenggara saja terkadang juga terjadi perbedaan hasil penghitungan suara. Hal ini disebabkan faktor komunikasi antara pihak terkait kurang bisa terjalin harmonis, disamping penguatan masing-masing pelaksanan di lapangan yang terkesan asal-asalan. Belum lagi partai politik yang “mengabadikan” konflik internalnya yang secara tidak langsung ikut menyumbangkan insta­ bilitas perpolitikan dan demokratisasi di negara ini. Partai politik yang seharusnya menjadi institusi utama bagi pembangunan dan pematangan pengembangan demokrasi sering kali mengalami konflik internal sebagai akibat tidak berjalannya mekanisme demokrasi di internal setipa parpol. Parpol di Indonesia belum memiliki tradisi kuat untuk menjalankan roda organisasi secara rasional

dan demokratis. Hal ini menunjukkan parpol di Indonesia belum mengalami institusiona­ lisasi secara baik. Kedepan diperlukan perbaikan-perbaikan mendasar untuk mencapai hal tersebut, dengan penguatan kaderisai partai politik dari tingkatan paling dasar hingga menciptakan kader partai yang ideologis, militan, berpikir progresif dan inovatif dalam membangun kepentingan de­ngan tetap berpijak pada arah kebijakan partai politik itu sendiri. Kondisi ini berbeda 1800 (seratus delapan puluh derajat) dengan kondisi partai politik di negara-negara maju yang kecen­ derungan mampu menyelenggarakan fungsi partai sebagai penghubung antara rakyat dengan pemerintah sebagai eksekutif. Dimana partai politik memerankan fungsinya tak sekedar musiman demokrasi yang terhelat lima tahunan, tapi setiap saat parpol hadir demi ikut mencerdaskan kehidupan berbangsa dan bernegera demi terwujudnya masyarakat adil dan makmur searah dengan cita-cita founding father bangsa. Apalagi kalau kita mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik serta Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 24 Tahun 2009 tentang Pedoman Tata Cara Penghitungan, Penganggaran Dalam APBD, Pengajuan, Penyaluran dan Laporan Pertanggungjawaban Penggunaan bantuan Keuangan Partai Politik. Setiap parpol yang mendapatkan kursi di Dewan mendapatkan bantuan dana politik atau banpol, dimana bantuan tersebut, selain sebagai operasional partai, dana yang besarannya tergantung jumlah kursi partai agar dimanfaatkan untuk pendidikan politik ke konstituennya. Sesuai fungsinya sebagai sarana komunikasi politik, sosialisasi politik dan pendidikan politik, rekrutmen politik dan pengatur konflik. InsyaAllah kita harus positive thinking jika dengan segela hak yang diterima partai politik tersebut, masih bisa menambah ghirah partai untuk terus berkontribusi positif pada pembangunan demokratisasi di negeri tercinta Indonesia. Hanya satu semboyan yang harus kita gelorakan bersama segenap komponen bangsa ini “Jangan Kembali Pulang Kalau Tiada Kau Menang, Walau Mayat Terkapar di Medan Juang, tuk Indonesia Demokrasi Ditegakkan!” r Suara KPU Jawa Timur

Juni 2016

23

NUR SYAMSI Komisioner KPU Kota Surabaya

KPU: Penguatan Kelembagaan Untuk Demokrasi Berintegritas Yusuf Qordhawi, seorang tokoh Islam dari Mesir, mengatakan bahwa demokrasi adalah suatu wadah bagi masyarakat untuk memilih seorang yang menjadi pengatur kepentingan masyarakat dimana pimpinannya bukanlah orang yang dibenci, peraturannya bukan yang masyarakat tidak kehendaki dan masyarakat berhak meminta pertanggungjawaban apabila pemimpin tersebut salah.

M

erujuk pendapat tersebut, praktek pengelolaan demokrasi membutuhkan tiga unsur penting yaitu wadah/sarana, orang yang dipilih, dan masyarakat sebagai pemilih. Terhadap unsur orang yang akan dipilih dan masyarakat pemilih, keduanya mempunyai ketergantungan kepentingan satu sama lain. Ketergantungan tersebut kemudian dipertemukan dalam semuah mekanisme yang disebut demokrasi. Merujuk UUD 1945 pasal 22E, secara umum, demokrasi yang dijalankan oleh bangsa ini telah memenuhi dua unsur pen­ ting berdasar pengertian Dr Yusuf Qordhawi. Pertama, peserta pemilu dalam hal ini adalah parpol sebagai institusi serta DPR, DPD, Pre­ siden dan wakil presiden, dan DPRD sebagai output yang dihasilkan dari proses pemilu (ayat 2, 3 dan 4). Partai politik sebagai rumah persinggahan para kandidat yang akan 24

Jurnal IDe

meminta mandat dari rakyat adalah tempat dimana kandidat merumuskan berbagai kebijakan penting dan bernilai bagi rakyat, kemudian dikonfirmasikan kepada rakyat untuk mendapat persetujuan. Di sinilah ruang pemilihan oleh rakyat yang sesungguhnya, dimana rakyat akan melakukan seleksi dan pilihan terhadap berbagai rumusan nilai yang dibangun oleh partai dan calonnya. Rumusan nilai-nilai inilah yang seharusnya dipilih oleh rakyat yang kemudian dipersonifikasikan dalam bentuk pilihan orang di bilik suara. Rumusan nilai-nilai itu pulalah yang selanjutnya akan dijalankan oleh para kandidat yang terpilih dalam tataran teknis di lembaga perwakilan yang sekaligus akan menjadi sarana kontrol bagi rakyat untuk memilih kembali para wakilnya atau justru memberikan sanksi dengan tidak memilih kembali.

Kedua adalah wadah atau sarana (pemilu) berserta penyelenggara pemilihan yang dimandatkan kepada sebuah lembaga yang bernama Komisi Pemilihan Umum (ayat 1 dan 5). KPU hadir mewakili negara dalam proses penyelenggaraan kontestasi lima tahunan dalam rangka memperebutkan kepercayaan rakyat yang dilakukan oleh partai politik. Kehadiran KPU dengan sifat kemandiriannya dimaksudkan agar tujuan pemilu yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil ini betul-betul tercapai (ayat 1). Sehingga, tujuan pokok dari demokrasi untuk menghasilkan pimpinan bukan orang yang dibenci dan orang yang dikehendaki oleh mayoritas masyarakat terpenuhi. Unsur yang belum disebut secara eksplisit dalam pasal 22E adalah rakyat sebagai pemilih, rakyat yang akan diwakili dan yang akan menyerahkan mandat pengaturan negara kepada orang-orang yang akan dipilihnya. Untuk itu peran dan fungsi rakyat diatur dalam undang-undang pemilihan presiden, undang-undang pemilihan legislatif dan undang-undang pilkada. Sejak pemilu legislatif tahun 2014 KPU telah mulai membangun sistem kerja yang mengedepankan tansparansi dan akuntabilitas. Terdapat beberapa sistem kerja yang telah dihasilkan KPU. Pertama, Sistem In-

formasi Data Pemilih (Sidalih). Belajar dari pemilu ke pemilu berikutnya, persoalan data pemilih menjadi persoalan yang akut yang susah dipecahkan. Oleh karena itu, KPU mengha­dirkan inovasi yang berbasis IT untuk me­ngurai problem data pemilih dengan ha­ dirnya Sidalih. Fungsi pokok dari Sidalih adalah aplikasi berbasis online yang dibangun untuk membantu petugas di KPU kabupa­ ten/kota dalam melakukan pengolahan data pemilih secara lebih mudah, cepat dan tepat. Sistem informasi yang telah dioperasionalkan sejak pemilu legislatif dan pilpres tahun 2014 ini juga bermanfaat bagi partai politik selaku peserta pemilu dan masyarakat selaku pemilih untuk turut serta mengawasi dan melibatkan diri dengan memberi masukan kepada petugas tentang data output Sidalih. Di luar kedua manfaat tersebut, Sidalih juga mempunyai manfaat lain yang mempermudah warga Negara untuk bisa tetap menggunakan hak pilihnya sekalipun berada di luar wilayah administrasi kependudukan. Kejadian yang langsung bisa dirasakan oleh semua lapisan masyarakat terhadap manfaat Sidalih adalah ketika pelaksanaan pilpres 2014. Pilpres yang tidak mengenal daerah pemilihan memungkinkan semua masyarakat bisa menggunakan hak pilihnya dimana saja sesuai dengan peraturan dan tata cara yang Suara KPU Jawa Timur

Juni 2016

25

telah ditetapkan oleh KPU. Dengan output dari aplikasi sidalih melalui www.data.kpu. go.id para pemilih yang mengurus surat pindah pilih bisa dilayani dengan cepat oleh petugas. Petugas dengan cepat pula mampu melakukan verifikasi pemilih hanya dengan memasukkan identitas kependudukan. Apa­ kah pemilih tesebut telah terdaftar sebagai pemilih tetap atau tidak, asal wilayah pemilih dan seterusnya. Selanjutnya diberikan surat pindah pilih oleh petugas untuk bisa menggunakan hak pilihnya di tempat terdekat. Meminjam istilah Chirul Anam, Komisioner KPU Provinsi Jawa Timur Divisi Teknis Penyelenggaraan dan Data, “KPU telah mampu memindahkan pendataan pemilih yang berbasis manual ke pendataan yang berbasis komputer.” (http://www.koran-sindo.com/news) Kedua, Sistem Informasi Pendaftaran dan Verifikasi Partai Politik (SIPOL) adalah sebuah sistem yang dibangun untuk membantu KPU dan partai politik (parpol) dan pihak-pihak terkait dalam menjalankan pekerjaan yang terkait dengan tahapan pendaftaran dan verifikasi parpol sebagai peserta pemilu. Dengan bantuan SIPOL, data partai politik beserta komponen-komponennya dapat diproses lebih cepat dan ditingkatkan kualitasnya. (https://sipol.kpu.go.id/files/panduan_sipol_parpol). Dengan sistem ini proses pendaftaran dan verifikasi partai politik akan berjalan terbuka, tanpa ada yang ditutupi atau bahkan dimanipulasi, semua proses berjalan dengan bisa dimonitoring oleh semuanya. Selain sistem-sistem informasi kepemiluan yang telah diluncurkan sejak pemilu tahun 2014, upaya membangun sistem informasi juga terus dilakukan dengan meluncurkan beberapa aplikasi sistem informasi pada saat pelaksanaan pilkada serentak 2015. Pertama, Sistem Informasi Tahapan Pilkada (SITaP). SITaP adalah sistem informasi mengenai tahapan Pilkada. Diharapkan, keberadaan SITaP dapat dijadikan sebagai sumber informasi mengenai seluruh tahapan pilkada tahun 2015. SITaP dapat dijadikan sebagai sarana bagi penyelenggara pemilu untuk menyampaikan data dan informasi yang update me­ngenai pelaksanaan tahapan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Data yang dimasukan ke dalam SITaP adalah data resmi yang digunakan dalam proses pemili26

Jurnal IDe

han dan validitas datanya sudah melalui verifikasi dan persetujuan pejabat berwenang. Sekalipun aplikasi ini baru diluncurkan dan diaplikasikan pada saat penyelenggaraan pilkada serentak 2015, secara fungsi sistem ini seharusnya bisa dikembangkan tidak hanya untuk pilkada tetapi juga bisa diadopsi pada pemilu legislatif dan pemilu presiden. Dengan mengadopsi sistem ini akan bisa memberi kemudahan bagi para kontestan baik itu kontenstan pemilihan legistaltif maupun kontestan pilpres mendatang dalam mengikuti perkembangan tahapan demi tahapan pelaksanaan pemilu. Kedua, Sistem informasi logistik (Silog). Sistem informasi ini diaplikasikan untuk kebutuhan pengadaan logistik pemilu dan pilkada. Silog menunjang kinerja KPU dalam mengelola data dan informasi penyebaran logistik secara tepat dan akurat. Dengan Silog, proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi logistik bisa berjalan seimbang. Silog akan terintegrasi de­ngan website informasi data KPU. Masyarakat langsung bisa mengakses proses penyebaran logistik ke masing-masing daerah. Adapun yang menjadi kebutuhan logistik seperti kertas surat suara berdasar jumlah DPT yang sudah ditetapkan, plus dua persen. Serta kebutuhan lainnya seperti kebutuhan tinta, segel, formulir, kotak suara, plus jalur distribusi logistiknya. Aplikasi ini apabila ditaati dimasing-masing satker, akan mampu meminimalisir adanya niat-niat yang tidak baik dari seluruh proses yang bersinggungan dengan logistik pemilu. Karena seluruh proses harus terintegrasi dengan sistem yang ada. Ketiga, Sistem Informasi Pencalonan (SILON). SILON adalah sistem informasi yang digunakan oleh KPU untuk melakukan verifikasi atas dukungan calon perseorangan pada saat Pilkada. KPU dapat secara cepat mendeteksi data ganda dukungan calon perseorangan. Jumlah rekapnya dan sebaran dukungan dapat diketahui dengan cepat. Selain itu, Silon juga menyajikan berbagai data tentang calon yang telah mendaftar dan terima oleh KPU. Dan juga partai politik yang mau mendaftarkan calonnya bisa softcopy syarat calon dan syarat pencalonan untuk diserahkan kepada KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota sebagai salah satu syarat pendaftaran

Keempat, Sistem Informasi Penghitungan Suara (SITUNG). Isu strategis yang selalu menjadi bahan sengketa dalam pemilu selain sengketa pencalonan adalah sengketa hasil, maka KPU pada pelaksanaan pilkada serentak 2015 juga menghadirkan sebuah aplikasi yang merupakan terobosan luar biasa, menjawab tantangan dan isu pemanfaatan kemajuan teknologi informasi sebagai alat controlling oleh masyarakat, sistem ini diberi nama SITUNG. SITUNG adalah sistem informasi berbasis teknologi untuk menampilkan hasil pemilihan kepala daerah (pilkada) secara realtime. SITUNG merupakan aplikasi untuk memastikan prinsip dan asas transparan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) ataupun pilkada yang dapat dijalankan de­ ngan baik, sekaligus mendorong partisipasi masyarakat dalam mengawal hasil pilkada secara terbuka dan transparan. Dalam pro­ ses pilkada 2015 ini, formulir yang akan di­ pindai adalah formulir C1 hasil penghitungan perolehan suara pasangan calon di tempat pemungutan suara (TPS). Dalam proses pindai tersebut operator melakukannya dengan apa adanya tanpa memperbaiki model C1 tersebut. Jika nantinya terjadi kesalahan, perbaikan kesalahan pada model C1 akan diperbaiki pada rapat rekapitulasi pada tingkat di atasnya atau di kecamatan. Adapun jenis-jenis aplikasi di dalam SITUNG pilkada serentak 2015 terdiri dari aplikasi pindai, e-rekap atau entri data model C1, formulir rekapitulasi hasil penghitungan suara di kecamatan dan kabupaten/kota berbentuk file pdf, dan aplikasi publikasi hasil pilkada. Komisioner KPU RI Hadar Nafis Gumay mengatakan “Publikasi hasil pilkada berbasis hasil perhitungan suara di TPS akan menutup celah pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab untuk mengubah atau mengotak-atik hasil perolehan suara.” (http://www.kpu. go.id/Jurnal Suara KPU RI; Nov-Des 2015). Sekalipun SITUNG adalah hasil yang bersifat sementara, bukan hasil resmi yang menjadi penetapan hasil suatu pilkada, tetapi dengan SITUNG masyarakat bisa mengawal pergerakan hasil dari para kontestan yang dipilihnya mulai dari TPS sampai menjadi hasil penetepan hanya dengan menekan menu-menu yang disediakan di aplikasi ini, sekaligus mementahkan beberapa asumsi kelompok yang

mengatakan bahwa hasil perolehan suara bisa dimanipulasi melalui proses rekap ma­ nual. Sistem inilah yang disebut oleh Chairul Anam sebagai E-rekap. (http://www.koransindo.com/news). Sementara hasil resmi akan ditetapkan oleh KPU masing-masing tingkatan, dan dituangkan ke dalam sertifikat hasil penghitungan suara. Kelima, E-PPID diluncurkan sebagai wujud komitmen KPU dalam mendukung keterbukaan informasi publik. Transparansi adalah salah satu prinsip yang selalu dite­ rapkan oleh KPU sejak awal penyelenggaraan pemilu. Dengan semakin baiknya pelayanan informasi kepada masyarakat, partisipasi masyarakat diharapkan semakin meningkat. Keterbukaan informasi yang menjadi hak publik akan dibuka seluas-seluasnya dalam rangka menghindari berbagai kecurigaan, baik kecurigaan terhadap proses penyelenggaraan pemilu maupun terhadap pengelolaan data pemilu. Berbagai upaya kontrukstif KPU dalam rangka penguatan kelembagaan ini telah mendapat pengakuan dari berbagai pihak. Namun demikian haruslah disadari bersama oleh setiap individu yang berada di dalamnya bahwa pembangunan dan operasional ber­ bagai sistem informasi ini tidak untuk menambahi beban kerja tetapi dalam kerangka meletakkan lembaga KPU pada porsinya. Yaitu, KPU yang senantiasa berdiri tegak be­ kerja dengan independen, profesional, imparsial, objektif, transparan, akuntabel, dan berintegritas. Jika diimplementasikan dengan benar, sistem yang selama ini dijalankan tanpa disadari mampu memperlebar jarak pertemuan penyelenggara dengan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dalam konteks mis-management dan mis-profesional penyelenggaraan pemilu. Sekalipun berbagai upaya transparansi KPU ini telah mendapatkan banyak apresiasi dari kelompok masyarakat. Namun, tentu saja masyarakat masih menunggu berbagai upaya pembangunan sistem pelayanan yang lain –seraya tidak menarik-narik lembaga ini keluar dari fungsinya- termasuk bagaimana sistem komputerais KPU dalam membangun budaya kerja dilingkungannya sebagai upaya penguatan kelembagaan agar pemilu kian hari kian berintegritas. r Suara KPU Jawa Timur

Juni 2016

27

M. SYAMSUL ARIFIN, SH. Divisi Hukum dan Pengawasan KPU Kabupaten Sampang

Partai Politik, Demokrasi dan Pemilu:

Mewujudkan Pemimpin Yang Berkualitas dan Berintegritas “Keberhasilan pemilu tidak hanya diukur pada suksesnya Negara ini melaksanakan penyelenggaraan pemilu yang demokratis, tapi yang tidak kalah pentingnya adalah dalam pemilu yang demokratis tersebut mampu melahirkan para pemimpin yang berkualitas dan berintegritas.”

Membangun Partai Politik Yang Sehat Menurut Undang-undang Nomor 2 tahun 2011 tentang perubahan atas undangundang Nomor 2 tahun 2008 tentang partai politik yang dimaksud dengan partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga Negara Indonesia secara suka rela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan Negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan pancasila dan undang-undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Maka dengan hal tersebut keberadaan partai politik mempunyai peran penting dalam mewujudkan Negara yang baik dan sejahtera. Namun beberapa waktu terakhir, keberadaan partai politik banyak menuai masalah khusunya dalam persolan hukum dan kebijakan. Didalam permasalahan hukum sudah banyak para politikus yang terjerat kasus korupsi baik ditingkatan pusat sampai ditingkat daerah. Menurut direktur eksekutif 28

Jurnal IDe

pusat kajian anti korupsi (pukat) Universitas gajah mada (UGM), Hasrul Halili dalam hasil penelitian yang dilakukan pukat selama 2 bulan (15 Januari-15 Maret 2014) menyimpulkan bahwa: “Tidak ada satupun partai yang memiliki kader yang menduduki jabatan publik yang tidak memiliki kaitan dengan praktik korupsi.” Adapun data yang disampaikan terkait prosentase dalam keterkaitan dugaan korupsi politik, Partai Demokrat memiliki kedudukan pertama de­ngan prosentase 28, 40 persen, disusul Partai Hanura (23,50 persen), PDIP (18.08 persen), PKS (17,24 persen), Partai Golkar (16,03 persen), PKB (14,28 persen), PPP (13,16 persen) dan Partai Gerindra (3,85 persen). (http://m.hukumonline. com/berita/baca/lt5329627e98607/pukat-seluruh-parpol-terlibat-kasus-korupsi) Maka ada yang salah dalam organisasi partai politik dengan melihat kondisi partai politik yang sering terlibat dalam kasus korupsi. Sedangkan dalam undang-undang nomor 2 tahun 2008 tentang partai politik (pasal 11) menyatakan partai politik berfungsi sebagai sarana: (1) Pendidikan politik

bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga Negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; (2) Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa untuk kesejahteraan masyarakat; (3) Penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan Negara; (4) Partisipasi politik warga Negara Indonesia; dan (5) Rekruitmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. Namun sayangnya menurut Prof. Miriam Budiardjo dalam bukunya Dasar-dasar Ilmu Politik” menyatakan sering terjadi anomali terhadap peran dan fungsi partai politik sebagai contoh partai politik yang semestinya berfungsi sebagai komunikasi politik sering disalahgunakan sebagai propaganda politik untuk mencapai kepentingan partai tersebut. Partai yang semestinya menciptakan iklim politik yang kondusif agar tidak terjadi konflik, sebaliknya sering terlibat konflik yang berdampak tidak stabilnya sosial politik dan ekonomi masyarakat. Maka atas hal tersebut perlu pembenahan dan perbaikan dalam membangun partai politik kedepan diantaranya: (1) Partai politik harus mampu menjalankan perannya sebagai pengawal aspirasi masyarakat; (2) Menghilangkan pragmatisme partai politik dengan hanya mempertahankan kekuasaan daripada mempertahankan idealisme partai politik. Menurut Ratnawati (2006) dalam bukunya “Sistem Kepartaian di Era Transisi”, secara khusus kajian tentang partai politik di Indonesia dipengaruhi oleh adanya politik aliran, yaitu beberapa aliran ideologis yang berkembang dan mempengaruhi kehidupan politik Indonesia; (3) Menghilangkan budaya elitisme partai, dimana dalam perjalanannya keberadaan partai politik Indonesia hanya dikuasai elit-elit tertentu yang berkembang menjadi semacam dinasti partai politik; (4) Melakukan rekruitmen anggota dengan pola kaderisasi dan pendidikan yang sitematis serta berkelanjutan. Hal ini sangat penting dika­ renakan seringkali partai politik tidak mampu mencetak kader-kadernya yang mempunyai integritas dan kapabilitas khususnya dalam

menjelang pemilu; (5) Partai politik harus mampu dan mandiri dalam mengelola keuangan partai. Hal tersebut agar partai dan atau anggotanya tidak terjerumus dalam tindak pidana korupsi. Partai yang tidak sehat secara financialnya hanya akan menjadikan partai sebagai alat untuk mengeruk keuangan Negara. Melahirkan Pemimpin Yang Berkualitas Dan Beritegritas Dalam Pemilu Yang Demokratis Dalam setiap 5 (lima) tahun sekali bangsa Indonesia selalu mengadakan hajatan pemilihan umum yang demokratis, baik pemilihan umum legislatif maupun eksekutif mulai dari pusat sampai ke kabupaten/kota. Namun apakah dalam perjalanannya pemilu yang demokratis akan melahirkan pemimpin yang berkualitas dan berintegritas? Serta bagaimana cara mewujudkannya? Untuk mewujudkan pemimpin yang berkualitas dan berintegris dalam pemilu yang demokratis tidak mudah, namun hal tersebut dapat terwujud jika Negara ini betul-betul mewujudkannya. Faktor-faktor apa sajakah yang dapat mewujudkan melahirkan pemimpin yang berkualitas dan berintegritas dalam pemilu yang demokratis? yaitu: (1) Regulasi hukumnya; (2) partai politik yang sehat; (3) penyelenggaraan pemilu yang baik dan; (4) Penyelenggara pemilu yang berintegritas. Regulasi hukum yang baik dalam pemilu Seperti yang kita ketahui Negara ini telah beberapa kali melakukan revisi undangundang tentang kepemiluan baik undang-undang tentang penyelenggara pemilu maupun undang-undang tentang penyelenggaraan pemilu. Hal tersebut tidak lain demi kemajuan dan membaiknya pemilu kedepan yang lebih baik. Aturan hukum yang baik adalah sebagai awal dari terciptanya pemilu yang demokratis sebagaimana yang telah damanatkan dalam pasal 22E ayat 1 Undang-undang Dasar 1945 telah menyebutkan ada enam ukuran pemilu yang demokratis yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Namun tidak hanya itu, penyelenggara Pemilu yang menjadi turunannya kemudian menambahkan beberapa kriteria lagi seperti transparan, Suara KPU Jawa Timur

Juni 2016

29

akuntabel dan professional. Partai politik yang sehat Sebagaimana yang telah kami jelaskan diawal sebelumnya, maka dengan membangun partai politik yang sehat diharapkan partai politik akan memberikan dampak yang positif dalam pembangunan Negara ini kedepan yaitu dengan melahirkan kader-kader yang mempunyai jiwa nasionalisme terhadap Negara dan berintegritas, serta partai politik dapat memberikan pembelajaran politik kepada masyarakat sehingga masyarakat dapat merasakan arti penting demokrasi dalam sebuah pemilu. Dengan partai politik yang sehat, maka partisipasi rakyat dalam politik akan terus mengalami kenaikan, khususnya dalam pemilu pesta demokrasi Indonesia. Penyelenggaraan pemilu yang baik Penyelenggaraan pemilu yang baik akan mengantarkan proses pemilu yang baik pula. Demi mewujudkan pemilu yang baik maka tidak terlepas dari magaimana cara Negara mengkonsep dalam merumuskan penyelenggaraan pemilu yang baik. Dalam perjalanannya undang-undang pemilu baik pemilihan umum legislatif, pemilihan umum presiden maupun pemilihan umum kepala daerah se­ ring mengalami perubahan, tergantung situasi dan kondisi politik pada saat itu. Namun yang paling menarik serta mungkin agak memberatkan bagi penyelenggara pemilu (KPUD) adalah pertama kalinya ne­ gara ini melakukan pemilihan umum kepala daerah secara serentak sehingga banyak problematika yang muncul pada saat pelaksanaannya. Menurut Husni Kamil Manik (ke­ tua KPU RI), ada 12 (dua belas) permasalahan yang muncul dalam pilkada serentak tahun 2015 yaitu : Pertama, Terkait adanya temuan dokumen palsu di 8 daerah, diantaranya simalungun. Kedua, adanya dualisme kepe­ ngurusan partai politik di 18 daerah salah satunya di Sumba Timur. Ketiga, masalah persyaratan dukungan partai politik terjadi di 16 daerah diantaranya di Belitung Timur dan Sorong Selatan. Keempat, masalah yang berkaitan dengan waktu pendaftaran seperti yang terjadi di satu daerah, yaitu Supiori. Kelima KPU menemukan adanya permasalahan yang berkaitan dengan pemenuhan doku30

Jurnal IDe

men dari instansi lain, seperti di Jambi dan Kotawaringin Timur. Keenam, persyaratan mantan narapidana yang maju dalam pilkada pada lima daerah diantaranya Bengkulu Selatan dan Sidoarjo. Ketujuh, masalah dalam status petahana yang kembali maju dalam Pilkada tahun 2015, ini terjadi di enam daerah diantaranya Tanjung Jabung Timur dan Ogan Ilir. Kedelapan, masalah dukungan terhadap calon perseorangan yang terjadi di 25 daerah. Kesembilan, berkaitan de­ngan syarat kesehatan terdapat di 3 daerah, diantaranya Musi Rawas dan Musi Rawas Utara. Kesepuluh, masalah perubahan dokumen pencalonan yang terjadi di 3 daerah. Kesebelas, yaitu adanya masalah terhadap calon kepala daerah yang bermasalah dengan status tersangkanya di satu daerah yakni Bengkalis. Keduabelas, pergantian calon diluar ketentuan, yaitu di Simalungun dan Sigi. Penyelenggara pemilu yang berintegritas Selain dari Regulasi hukumnya, partai politik yang sehat, penyelenggaraan pemilu yang baik, yang tidak kalah pentinya adalah penyelenggara pemilu yang berintegritas. Dalam hal ini KPU dan Bawaslu mempunyai peranan penting untuk mewujudkan pemilu demokratis yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, serta transparan, akuntabel dan professional. Namun selain dua lembaga tersebut ada lembaga lain yang menyokong tersenggelaranya pemilu dengan baik yaitu polri sebagai intsitusi pengamanan pemilu, serta lembaga peradilan yang khusus menangani sengketa kepemiluan yang harus independen, netral dan profesional. Kesimpulan Maka untuk “mewujudkan pemimpin yang berkualitas dan beritegritas” dalam pemilu yang demokratis harus bersinergi dan tersistematis yaitu dimulai dari membangun partai politik yang sehat, mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang baik dan penyelenggara pemilu yang berintegritas. Dengan melahirkan para pemimpin yang berkualitas dan berintegritas tersebut maka diharapkan pembangunan nasional Negara Indonesia akan semakin maju, baik pembangunan fisik maupun pembangunan sumber daya manusianya.r

UMMU CHAIRU WARDANI Divisi Sosialisasi, Pendidikan dan Pengembangan Informasi KPU Kota Blitar

Menggugat Peran Parpol Dalam Pendidikan Politik Mengapa kita mempertanyakan peran partai dalam pendidikan politik? Pendidikan bukanya tugas pemerintah? Me­ ngapa harus melibatkan partai? Mungkin itu yang menjadi pertanyaan kita setelah membaca judul tulisan ini.

S

eperti kita ketahui bersama, negara sudah memberikan jaminan warga untuk bebas berpolitik. Amanah itu tencantum diantaranya pada Undang-Undang dasar 1945 pasal 27 (1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Sementara pasal 28 menegaskan tentang adanya pe­ngakuan negara untuk kemerdekaan berkumpul dan berserikat yaitu “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya, ditetapkan dengan undang-undang.” Sehingga jelaslah, bahwa setiap warga negara diakui dan dijamin oleh negara hak berpolitiknya. Peran partai dalam pendidikan politik, sesuai amanah dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008 tentang partai Politik, pendidikan politik menjadi salah satu fungsi dari Partai Politik seperti tercantum pada pada pasal 11 (1.a) yaitu Partai politik berfungsi sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas, agar menjadi warga negara

Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal ini juga ditegaskan lagi pada pada pasal 13 mengenai kewajiban partai politik yaitu pada poin (e) melakukan pendidikan politik dan menyalurkan aspirasi politik anggotanya. Jadi sudah jelas, Partai politik mempunyai tanggungjawab yang besar untuk melakukan pendidikan politik bagi warga negara Indonesia. Partai Politik Pengertian partai politik tercantum dalam Pasal 1 angka 1 UU No. 2 tahun 2008, tentang Partai Politik, yaitu Partai politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sementara Sementara Suara KPU Jawa Timur

Juni 2016

31

Firmansyah (2011) mendefinisikan bahwa Partai politik merupakan perwujudan konkret dari kepentingan politik yang diperjuangkan oleh suatu kelompok masyarakat. Agar aspirasi politiknya terfasilitasi, maka kelompok tersebut perlu bergabung dan membentuk organisasi yang dapat diperjuangkan aspirasinya. Politik dan Pendidikan Politik Politik berasal dari bahasa Yunani yaitu Polis yang berarti kota atau komunitas secara keseluruhan. Plato dalam Firmasnyah (2011) menyatakan politik adalah semua usaha dan aktifitas untuk membangun dan mewujudkan masyarakat yang ideal atau lebih baik dibandingkan kondisi sekarang. Sementara Aristoteles menyatakan bahwa politik bukanlah suatu konsep yang diciptakan, melainkan sesungguhnya bisa ditemukan di setiap orang. Sementara dalam perkembangan sejarahnya, Miller dalam Firmansyah (2011:50) menyatakan bahwa politik terkait erat dengan keberagaman (diversity). Sedangkan Dahl menyatakan bahwa a political system as any persistent pattern of human relationships that involves, to a significant extent, control, influence and authority. (system politik sangat erat hubungannya de­ ngan keberagaman kepentingan, konflik dan kekuasaan). Pendidikan politik Apa itu yang dimaksud pendidikan Politik? Banyak yang salah kaprah memaknai pendidikan politik. Dalam arti sempit, politik hanya dimaknai sebagai kampanye, atau sosialisasi yang diadakan oleh penyelenggara pemilu ketika ada kegiatan pemilu dalam hal ini sosialisasi, yang bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat. Padahal dalam arti sesungguhnya pendidikan politik memiliki arti dan cakupan yang lebih luas. Sesuai instruksi presiden Nomor 12 tahun 1982 tentang Pendidikan Politik bagi ge­ nerasi muda disitu disebutkan bahwa pada prinsipnya, pendidikan politik bagi generasi muda merupakan usaha untuk meningkatkan dan memantapkan kesadaran politik dan kenegaraan, guna menunjang kelestarian Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945 sebagai budaya bangsa. Sementara dalam 32

Jurnal IDe

Undang-Undang No. 2 tahun 2008 tentang partai politik Bab 1 ayat 4 disebutkan bahwa pendidikan politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang hak, kewajiban, dan tanggungjawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sedangkan Sitepu (2016) berpendapat bahwa pendidikan politik jika dikaitkan dengan partai bisa diartikan sebagai usaha sadar dan tersistematis dalam mentransformasikan segala sesuatu yang berkenaan dengan perjuangan partai politik tersebut kepada massa­nya agar mereka sadar akan peran dan fungsi, serta hak dan kewajibannya Sebagai manusia atau warga negara. Bagaimana Peran Partai di Indonesia Dalam Pendidikan Politik Peran Partai Politik di Indonesia dalam pendidikan politik, menurut penulis sampai saat ini masih sangat minim. Masyarakat merasakan geliat kehidupan sebuah partai politik di sekitar mereka, hanya saat momen tertentu, khususnya saat pemilihan umum, baik pemilu legislatif, kepala daerah, maupun pemilihan presiden dan wakil Presiden. Apalagi saat pemilu legislatif, dimana masing-masing partai akan memperebutkan kursi di parlemen, baru ramai-ramai calon legislatif mendekatkan diri pada masyarakat, dengan beragam cara, bahkan cenderung ke cara yang pragmatis. Merangkum dari beberapa penelitian oleh KPU di tingkat kabupaten/kota di Indonesia, yang diterbitkan oleh KPU RI dalam buku Partisipasi Pemilih dalam Pemilu 2014, khususnya dalam penelitian mengenai “Politik Uang” disitu terlihat betapa sebenarnya politik uang itu sangat dominan mempengaruhi masyarakat saat pemilu legislatif. Meskipun sulit dibuktikan secara hukum, namun issue yang berkembang dan memang diakui oleh sebagian besar masyarakat bahwa ada “perang uang” antar beberapa calon. Menurut penelitian Lembaga Survei Nasional (LSN) menjelang pemilu 9 April 2014, mayoritas publik yang merupakan responden mereka (69,1%) mengaku bersedia menerima uang dari para calon legislator atau partai politik de­ngan dalih yang berbeda-beda. Padahal pada pemilu legislatif tahun 2009, survei dengan tema yang sama menunjukkan yang bersedia

menerima uang dari caleg atau partai kurang dari 40%. Hal ini tentunya merupakan suatu “contoh pembelajaran politik yang buruk“ bagi masyarakat dan menodai demokrasi itu sendiri. Masyarakat yang seharusnya bisa berfikir rasional dalam menentukan pilihannya, akibat sifat pragmatis ini, menjadi memilih berdasarkan “siapa yang membayar paling mahal “ atas pilihan mereka. Cara-cara elit Partai yang ingin berhasil secara instan ini, merupakan salah satu bentuk kegagalan partai dalam menjalankan tugasnya dalam pendidikan politik. Arbi Sanit, dalam buku Menggugat Partai Politik (2003:10) menyebutkan bahwa kegagalan fungsional Partai dari lepas dari dari krisis yang dialami dalam kepemimpinan Partai. Kegagalan pemimpin sebagai pribadi yang diunggulkan oleh warga dan elit partai, dipilah menjadi tiga unsur (1) Orientasi Sikap dan tingkah lakunya (2)kematangan etis mereka (3) kemampuan melakukan tugas. Diakui atau tidak, munculnya tokoh-tokoh baru di partai dalam parlemen sebagai buah dari sikap pragmatisme masyarakat pemilih dalam pemilu legislatif, ikut mendukung terpilihnya wakil rakyat “yang bukan murni merupakan kader partai”, sehingga mereka tidak bisa menjiwai apalagi mentransfer nilai-nilai yang menjadi jiwa dan roh partai pada masyarakat. Sikap pragmatis ini menimbulkan adanya pemain-pemain baru di parlemen, yang duduk di parlemen karena mereka mempunyai kemampuan untuk “membeli” suara pemilih. Sehingga tidak heran, jika dalam perjalanannya, banyak wakil rakyat di parlemen yang harus mundur dari keanggotaannya di dewan sebelum habis masa jabatan, karena terjerat beberapa kasus, yang tentunya hal ini dapat mencoreng citra partai dan parlemen di mata masyarakat. Di sisi lain, sikap beberapa elit partai yang sulit memisahkan jabatan di elit partai dengan jabatan negara, sebagaimana diinginkan oleh rakyat, supaya saat menjadi pejabat negara mereka dapat fokus mengedepankan kepentingan rakyat, ternyata masih belum bisa dilakukan oleh beberapa pejabat negara yang memiliki latar belakang Partai. Kecen­ derungan mereka untuk lebih tunduk pada keputusan partai dari pada mengutamakan kepentingan masyarakat dalam penyele-

saikan beberapa masalah dan konflik yang menyangkut kepentingan masyarakat, merupakan salah satu sebab yang menggagalkan fungsi partai terhadap masyarakat. Kebiasaan mengedepankan etika moral yang berdasarkan atas nurani masing-masing, bukan atas dasar etika politik dimana pertanggungjawaban politik diberikan kepada publik, juga ikut mendistorsi fungsi partai kepada negara dan rakyat secara seimbang, karena mereka masih mengedepankan kepentingan diri dan golongan. Beberapa menteri yang merupakan perwakilan dari partai di kabinet, seringkali harus bertabrakan dengan kepen­tingan partai mereka dalam menjalankan tugasnya. Bahkan tak jarang, beberapa menteri yang dianggap tak sejalan lagi dengan partai yang menunjuknya untuk terlibat di kabinet, “diancam dilengserkan dari kabinet” oleh partai yang menunjuknya. Tentunya hal ini merupakan sebuah pembelajaran yang buruk dari sebuah partai bagi kepentingan pendidikan politik bagi masyarakat. Tidak jelasnya pola pendidikan politik di masing-masing partai, juga turut memperburuk pelaksanaan proses pendidikan politik oleh partai bagi masyarakat. Setidaknya, saat ini partai mulai berbenah diri, untuk memperbaiki kualitas pengkaderan dan lebih santun berperilaku dalam kehidupan politiknya, sehingga memberikan contoh yang baik bagi masyarakat pemilihnya. Sikap bertanggungjawab dan menomorsatukan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi atau golongan saat mereka terpilih di parlemen, merupakan pembelajaran politik yang sangat berguna untuk meningkatkan kesadaran politik warga. Setidaknya masyarakat tidak lagi apatis dengan pemimpin yang mereka pilih dan ke depan, dapat meningkatkan peran aktif masyarakat dalam kegiatan politik yang diselenggarakan oleh pemerintah. Setidaknya masyarakat yang tingkat kesadaran politiknya tinggi, dapat menggunakan hak-hak politiknya dengan lebih baik dan menjadi pemilih yang rasional yang dapat menggunakan hak pilih mereka dengan alasan-alasan yang masuk akal sehingga nantinya akan terpilih wakil-wakil rakyat yang benar-benar dapat meneruskan aspirasi rakyat yang diwakilinya.r Suara KPU Jawa Timur

Juni 2016

33

AFIDATUSHOLIKHA, M.Pd.I Divisi Teknis Penyelenggaraan, Program dan Data KPU Kabupaten Mojokerto

Peran Partai Politik Dalam

Mewujudkan Pemilu Berintegritas Partai politik sesungguhnya adalah alat dan tulang punggung dari Demokrasi, keberadaan Partai Politik menduduki posisi strategis sebagai jembatan hubungan yang intensif antara masyarakat sipil dengan pemerintah. Dalam praktiknya Partai Politik dapat menjadi penghubung antara pemilih, proses pemilihan umum dan pemerintah yang dihasilkan dari proses tersebut.

N

amun terkadang fungsi ini tidak berjalan baik karena dalam proses rekrutmen calon, Partai politik sering bertindak kurang profesional sebagaimana diamanatkan oleh Anggaran Dasar Rumah Tangganya sendiri. Sehingga wakil rakyat yang dihasilkan tidak mampu menjalankan fungsinya dengan baik sebagai penyalur aspirasi rakyat. Pelaksanaan Pemilihan Umum untuk memilih calon legislatif sudah semakin dekat, diskursus yang berkaitan dengan pesta demokrasi tersebut semakin gencar dibicarakan. Beberapa waktu belakangan ini wacana sistem pemilu dari proporsional terbuka sebagaimana diamanatkan dalam undangundang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pasal 5 ayat 1, ingin dirubah kembali menjadi sistem proporsional tertutup semakin menguat, setidaknya beberapa partai

34

Jurnal IDe

politik besar telah mulai menyuarakannya. Menyusul hasil evaluasi dari beberapa partai politik yang berpendapat bahwasanya sistem proporsional terbuka dengan suara terba­ nyak tidak mampu menjamin bahwa wakil rakyat yang dihasilkan nanti bisa bekerja dengan baik dikarenakan belum tentu merupakan kader loyal partai politik. Demikian juga sistem ini dianggap telah menciptakan pemilu yang berbiaya mahal dan meningkatkan persaingan internal yang cukup sengit antar kader dalam satu partai politik. Seyogyanya tidak fair jika realitas kondisi diatas menjadikan sistem proporsional terbuka sebagai kambing hitamnya, justru yang lebih penting adalah bagaimana partai politik mampu melaksanakan fungsinya dengan baik sebagai sarana rekrutmen politik dalam pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi sebagimana diamanatkan dalam Undang-undang nomor 2 Tahun 2011 tentang partai politik pasal 11 ayat 1e. Seringkali dalam proses rekrutmen calon wakilnya par-

tai politik tidak melaksanakan secara maksimal sesuai dengan kriteria, prosedur dan tata cara rekrutmen kader. Dalam beberapa kasus, partai politik terkadang dapat dianalogikan sebagai kendaraan umum yang bisa mengangkut orang dari mana saja, yang penting dia bisa menyediakan anggaran besar untuk proses mengantarkannya sampai pada tempat tujuan, tanpa memperdulikan apakah penumpang tersebut telah memenuhi kriteria yang ditentukan dan tidak perlu bersusah-susah melakukan proses sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Sebagai akibatnya, calon-calon yg dimunculkan untuk bersaing dalam merebut jabatan wakil rakyat, terkadang hanya bermodalkan finansial besar yang memunculkan potensi praktik money politics dalam membangun popularitas dan keterpilihan. Partai politik dalam melakukan penja­ ringan seyogyanya melakukan mekanisme de­ngan benar seperti menetapkan kriteria calon wakil rakyat baik dari sisi kredibilitas,

kemampuan akademik, prestasi dan pengab­ diannya di masyarakat, loyalitas dan pengabdiannya terhadap partai politik selama ini. Kriteria tersebut benar-benar dijadikan acuan dalam menentukan calon yang akan direkomendasi oleh partai politik, tidak hanya sekedar formalitas saja. Seleksi dilakukan secara affair dan tidak menempatkan kemampuan finansial sebagai kriteria utama. Sesungguhnya inilah yang akan menjawab kekhawatiran partai politik bahwa sistem proporsional terbuka menghasilkan wakil rakyat yang bukan representasi dari kader partai politik yang telah disiapkan. Hal ini juga akan menjawab tudingan sistem ini telah menciptakan pemilu yang berbiaya mahal. Karena, melalui proses penjaringan calon yang benar dengan sendirinya partai politik akan memilih calon yang selama ini telah membangun terus menerus investasi sosial politik mereka di dalam masyarakat pemilihnya. Mereka yang telah melakukan kegiatankegiatan bermanfaat dan berkelanjutan daSuara KPU Jawa Timur

Juni 2016

35

lam masyarakat yang diinisiasi dan dilakukan oleh para calon legislatif tersebut. Keuntungannya akan membangun popularitas dan elektabilitas diri yang bersangkutan, karena langsung mengena kepada masyarakat. Se­ hingga pada saat Pemilu dilaksanakan, me­ reka tidak perlu lagi menyiapkan senjata finansial yang cukup besar. Komisi Pemilihan Umum selaku penyelenggara teknis dalam proses pemilihan umum tentunya tidak terlalu mempermasalahkan sistem yang akan dipakai, apakah proporsional terbuka ataupun tertu­tup. KPU akan selalu siap melaksanakan tugas pokok dan fungsinya secara maksimal dan berdasarkan asas-asas penyelenggara pemilu sebagaimana diamanatkan undang-undang. Namun berbicara keberhasilan pemilihan umum secara komperehensif tentunya tidak bisa hanya mengandalkan kinerja penyelenggara, peserta pemilu juga harus mendukung agar pelaksanaan pemilihan umum bisa berjalan dengan baik. Salah satunya adalah menyiapkan kader-kader terbaik mereka un-

36

Jurnal IDe

tuk ikut bertarung dalam memperebutkan kursi legislatif di masing-masing wilayahnya. Partai politik melalui calon-calon wakil rakyatnya juga harus mampu memberikan pendidikan politik kepada masyarakat sebagaimana amanat undang-undang nomor 2 Tahun 2011 pasal 11 ayat 1a dengan tidak melakukan praktik money politics melainkan menciptakan iklim kompetisi yang sehat dan tidak melanggar peraturan. Sejalan dengan hal tersebut diatas, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Prof DR Djimly as-Shiddiqy menyatakan bahwa kedepan rule of etics seyogyanya tidak hanya diberlakukan kepada penyelenggara pemilu saja, melainkan juga terhadap peserta pemilu. Dengan adanya kode etik bagi peserta pemilu, maka para kontestan tidak akan melakukan praktik-praktik ilegal dan curang dalam meraup suara sebanyak-banyaknya dari pemilih. Pada akhirnya pemilu yang berintegritas akan bisa diwujudkan dalam pelaksanaan pemilihan umum dan menghasilkan wakil-wakil rakyat seperti yang diharapkan.r