Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun Sirsak (Annona muricata Linn.) Berdasarkan Variasi Lama Pengeringan Antioxidant Activity and Organoleptic Charecteristic of Soursop (Annona muricata Linn.) Leaf Tea Based on Variants Time Drying Delvi Adri dan Wikanastri Hersoelistyorini Program Studi S-1 Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah Semarang Korespondensi, email:
[email protected]
Abstract Soursop leaf has been used traditionally to treat a variety of diseases, because soursop leaf contain antioxidant compound. The research objective to be achieved is to measure and analyze the activity of antioxidant and organoleptic properties of Soursop Leaf Tea by variations in drying time 30, 60, 90, 120, and 150 minutes. Measurement of antioxidant activity using UV-Vis spectrophotometry method (λ 517 nm), whereas the organoleptic parameters : taste, color, aroma, and appearance. Result of studies that a treatment time of drying effect on antioxidant activity of Soursop Leaf Tea. Soursop leaf drying conditions at 50o C with a temperature of 150 minutes give the highest level of antioxidant activity and the lowest EC50 value, but it has lowest a flavor organoleptic. Recommendations, drying temperature of 50o C tailings with drying 150 minutes, and to increase flavor can be done with the added the essen. Key words: soursop leaf tea, antioxidants, drying, and organoleptic charecteristic. PENDAHULUAN
sirsak sebagai obat herbal untuk mengobati
Tanaman sirsak (Annona muricata Linn.)
penyakit kanker, yaitu dengan cara meminum air
berasal dari bahasa Belanda, yakni zuurzak berarti
rebusan daun sirsak segar. Air rebusan daun
kantong asam. Daun sirsak banyak digunakan
sirsak segar dapat menimbulkan efek panas
sebagai obat herbal untuk mengobati berbagai
seperti pada kemoterapi, namun air rebusan daun
penyakit, antara lain : penyakit asma di Andes
sirsak ini hanya membunuh sel-sel yang abnormal
Peru, diabetes dan kejang di Amozania Peru
(kanker) dan membiarkan sel-sel normal tetap
(Zuhud, 2011). Kandungan senyawa dalam daun
tumbuh. Hal ini berbeda dengan efek yang
sirsak antara lain steroid/terpenoid, flavonoid,
ditimbulkan pada pengobatan kemoterapi, dimana
kumarin, alkaloid, dan tanin. Senyawa flavonoid
pengobatan kemoterapi ini tidak saja membunuh
berfungsi sebagai antioksidan untuk penyakit
sel-sel abnormal (kanker)
kanker, anti mikroba, anti virus, pengatur
tetapi sel-sel yang
normalpun ikut mati (Leny, 2006).
fotosintetis, dan pengatur tumbuh (Robinson,
Meskipun air rebusan daun sirsak segar
1995). Masyarakat Indonesia menggunakan daun
telah lama digunakan sebagai obat herbal untuk 1
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
penyakit kanker, namun bentuk teh daun sirsak belum
banyak
digunakan
oleh
2. Proses Pembuatan Teh Daun Sirsak Daun sirsak dicuci bersih dan disortasi.
masyarakat.
Daun sirsak dilakukan proses pelayuan dengan
Karena itu perlu dilakukan kajian tentang analisis antioksidan dalam teh daun sirsak,
suhu 70oC selama 4 menit, didinginkan selama 5
untuk
menit, dan dilakukan penggulungan. Setelah
menggali potensi daun sirsak sebagai minuman
digulung dilakukan proses pengeringan dengan
fungsional yang dapat difungsikan antara lain
suhu 50oC dengan variasi lama pengeringan 30,
sebagai obat herbal untuk penyakit kanker.
60, 90, 120, dan 150 menit dan dilakukan uji kadar air.
METODOLOGI Bahan
ke-5 sampai daun ke-3 dari pangkal batang,
3. Proses Pembuatan Larutan Teh Daun Sirsak Menimbang 100 mg serbuk daun sirsak dan
serbuk Mg, HCl pekat, Amil
ditambahkan 10 mL air
Daun sirsak yang diambil mulai dari daun
alkohol, larutan
Diphenylpicryl-hydrazyl (DPPH) 0,07 mM, dan
dimasukkan
Metanol P.A.
dididihkan.
ke
dalam
panas,
penangas
kemudian air,
dan
Alat Loyang, oven, spektrofotometer UV-Vis,
4. Uji Aktivitas Antioksidan
mortir, stamper, kertas saring, corong, pemisah
a. Uji Kualitatif Senyawa Fenolik 5 ml minuman teh daun sirsak dimasukkan
drupple plate, gelas kecil, sendok kecil, dan
ke dalam tabung reaksi. Ditambahkan 5 tetes
kertas quisioner.
larutan FeCl3 5% dan dikocok kuat. Terbentuknya
Prosedur Penelitian
warna biru kehitaman setelah penambahan FeCl3
Prosedur penelitian meliputi: penyiapan
5% menunjukkan adanya senyawa fenolik.
sampel, pembuatan teh daun sirsak, pembuatan
b. Uji Kualitatif Senyawa Flavonoid 5 ml minuman teh daun sirsak dimasukkan
larutan teh daun sirsak, uji kadar air (AOAC, 1995),
uji
kualitatif
senyawa
fenolik
flavanoid (Lia, 2011), uji kuantitatif
dan
dalam tabung reaksi. Ditambah serbuk Mg, HCl
aktivitas
pekat 1 ml, dan Amyl alkohol 5 ml dan dikocok
antioksidan (metode DPPH dan EC50), dan uji
kuat. Terbentuknya warna jingga dalam larutan
sifat organoleptik (metode scoring).
menunjukkan adanya flavonoid. c. Uji Kuantitatif Aktivitas Antioksidan - Uji Aktivitas Antioksidan Metode DPPH (Pratiwi, 2009) Penentuan aktivitas antioksidan dilakukan
1. Penyiapan Sampel Daun
sirsak
diperoleh
dari
wilayah
Semarang dan diambil pada jam 05.00 WIB. Kemudian
daun
sirsak
dipisahkan
dengan cara 4,0 mL larutan DPPH 0,07 mM
dari
dimasukkan
rantingnya.
ke
dalam
tabung
reaksi
dan
ditambahkan 50 μL larutan uji teh daun sirsak dan 2
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
dihomogenkan dengan vortex, sebagai kontrol
dilakukan 4 kali pengulangan (U). Penentuan
digunakan larutan DPPH tanpa penambahan
ulangan menggunakan rumus galat = (P-1) x (U-
larutan uji. Selanjutnya larutan
diukur dengan
1). Jika dalam penelitian ini menggunakan 5 kali
alat spektrofotometer UV-VIS pada panjang
perlakuan dan 4 kali ulangan maka jumlah galat =
gelombang 517 nm dan operating time 40 menit.
(5-1) x (4-1) = 12. Data
- Uji Aktivitas Antioksidan dengan Effective Concentration (EC50) (Pratiwi, 2009) Parameter yang dipakai untuk menunjukkan
antioksidan
Varian),
efisien atau efficient concentration (EC50) yaitu suatu
zat
antioksidan
yang
pengukuran diperoleh,
aktivitas
dianalisis
uji
pengaruh menggunakan Anova (Analysis Of
aktivitas antioksidan adalah harga konsentrasi
konsentrasi
hasil
sedangkan
data
hasil
pengujian
organoleptik, ditabulasi dan dianalisis dengan uji
dapat
Friedman.
menyebabkan 50% DPPH kehilangan karakter radikal bebasnya atau konsentrasi suatu zat
HASIL DAN PEMBAHASAN
antioksidan yang memberikan % penghambatan
Pembuatan teh daun sirsak didasarkan pada
radikal bebas sampai 50%. Zat yang mempunyai
penelitian Tuminah (2004). Daun teh dilayukan
aktivitas antioksidan tinggi, akan mempunyai
pada 70oC selama 4 menit. Kondisi operasi
harga EC50 rendah (Molyneux, 2004).
pelayuan ini diacu sebagai kondisi optimum pelayuan
5. Uji Sifat Organoleptik dengan Metode Skoring (Rahayu, 2001) Parameter pengujian organoleptik meliputi
daun
sirsak
pada
penelitian
ini.
Sedangkan Proses pengeringan daun sirsak dilakukan pada suhu 50oC, dengan variasi lama
rasa, warna, aroma, dan kenampakan. Panelis
pengeringan 30, 60, 90, 120, dan 150 menit. Uji
memberikan penilaian berupa skor pada blangko
yang dilakukan pada produk teh daun sirsak yang
uji organoleptik teh daun sirsak dan minuman teh
dihasilkan meliputi: uji kadar air, uji aktivitas
daun sirsak.
antioksidan, serta sifat organoleptik. 1. Kadar Air
Rancangan Penelitian Rancangan (Rancangan
Acak
penelitian Lengkap)
Kadar air mempunyai peranan penting adalah
RAL
dengan
faktor
dalam menentukan karakteristik
simpan bahan pangan. Hasil analisis kadar air
tunggal, dimana digunakan 1 level perlakuan.
pada
Variabel independen adalah lama pengeringan teh
teh
daun
pengeringan
daun sirsak dan variabel dependen adalah
sirsak
ditampilkan
berdasarkan pada
waktu
Gambar
1.
Berdasarkan Gambar 1 diketahui bahwa kadar air
aktivitas antioksidan dan sifat organoleptik teh daun sirsak. Jumlah perlakuan ditentukan
serta lama
tertinggi
5
diperoleh
pada
perlakuan
lama
pengeringan 30 menit, sebesar 34,13 % dan kadar
perlakuan (P) dan masing-masing perlakuan
air terendah terdapat pada perlakuan lama 3
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
pengeringan 150 menit, sebesar 8,13%. Hasil uji
bantuan HCl pekat membentuk kompleks dengan
statistik anova menggunakan α 0,05 diperoleh
gugus flavonoid berwarna hijau sampai jingga.
data taraf signifikan p-value; 0,00 dimana p-value
Hasil uji dinyatakan positif, bila timbul warna
< 0,01; sehingga dapat disimpulkan bahwa lama
jingga dari kompleks Magnesium flavanoid
pengeringan berpengaruh sangat nyata terhadap
(Tabel 2).
kadar air. Tabel
Komposisi air pada bahan pangan seperti
2. Hasil Uji Kualitatif Senyawa Flavanoid Teh Daun Sirsak
air bebas dan air terikat, dapat berpengaruh pada No
terikat adalah air yang terdapat dalam bahan
1
Lama pengeringan 30 menit
pangan. Air bebas adalah air yang secara fisik
2 3
60 menit 90 menit
+ +
4
120 menit
+
5
150 menit
+
laju atau lama pengeringan bahan pangan. Air
terikat dalam jaringan matriks bahan seperti membran, kapiler, serat, dan lain lain (Winarno, 2002).
Senyawa flavonoid +
Keterangan : tanda + menyatakan bahwa sampel teh daun sirsak positif mengandung senyawa flavanoid.
2. Uji Aktivitas Antioksidan a. Uji Kualitatif Senyawa Fenolik Menurut Sudjaji dan Rohman (2004), FeCl3
c. Uji Kuantitatif Antioksidan
bereaksi dengan gugus fenolik membentuk kompleks berwarna hijau, ungu sampai hitam.
1) Uji Kuantitatif Antioksidan dengan Metode DPPH Hasil analisis antioksidan teh daun sirsak
Hasil uji sampel teh daun sirsak ditampilkan pada Tabel 1.
dengan metode DPPH yang tersaji pada Gambar 2, diketahui bahwa semakin lama pengeringan
Tabel 1. Hasil Uji Kualitatif Senyawa Fenolik Teh Daun Sirsak No Lama pengeringan 1 30 menit 2 60 menit 3 90 menit 4 120 menit 5 150 menit
semakin tinggi aktivitas antioksidan. Aktivitas antioksidan tertinggi terdapat pada sampel teh
Senyawa fenolik + + + + +
daun sirsak dengan perlakuan lama pengeringan 150 menit, yaitu sebesar 76.06% dan terendah 53,17% pengeringan 30 menit . Hasil uji anova menunjukkan p-value 0,00 dimana p-value < 0,01 sehingga
dapat
diketahui
bahwa
lama
Keterangan : tanda + menyatakan bahwa sampel teh daun sirsak positif mengandung senyawa fenolik.
pengeringan berpengaruh sangat nyata pada
b. Uji Kualitatif Senyawa Flavonoid
pada
Menurut
Robinson
(1995),
aktivitas antioksidan. Kondisi tersebut disebabkan
senyawa
proses
pengeringan
mengakibatkan
meningkatkan zat aktif yang terkandung dalam
flavonoid bereaksi dengan serbuk magnesium dan
daun teh (Winarno, 2004). 4
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
2,9 ; sedangkan nilai terendah terdapat pada teh
2) Uji Aktivitas Antioksidan dengan Nilai Effective Concentration 50 (EC50) Hasil analisis antioksidan teh daun sirsak
dengan lama pengeringan 150 menit, yaitu sebesar 2,6. Hasil uji Friedman menggunakan α
dengan nilai Effective Concentration 50 (EC50)
0,05 diperoleh data taraf signifikan p-value 0,46
yang tersaji pada Gambar 3, diketahui bahwa
dimana p-value > 0,05 sehingga dapat diketahui
semakin lama pengeringan semakin rendah nilai
tidak ada pengaruh lama pengeringan terhadap
EC50, sehingga nilai terendah pada pengeringan
tekstur teh daun sirsak.
150 menit sebesar 82,16 μg/mL dan tertinggi 117,86 μg/mL pada pengeringan 30 menit. Hasil
Aroma
uji anova menghasilkan p-value 0,00 dimana p-
Menurut standar SNI 03-3836-2012 aroma
value < 0,01, sehingga dapat diketahui bahwa
yang baik untuk teh daun sirsak adalah normal
lama pengeringan berpengaruh sangat nyata pada
yaitu harum khas teh. Menurut Ciptadi dan
nilai EC50. Nilai
EC50
umum
digunakan
Nasution, (1979); menyatakan bahwa senyawa
untuk
pembentuk aroma teh terutama terdiri dari
menyatakan aktivitas antioksidan suatu bahan uji
minyak atsiri yang bersifat mudah menguap dan
dengan metode peredaman radikal bebas DPPH. Harga
EC50
berbanding
terbalik
bersifat
dengan
mudah
sehingga
dapat
menghasilkan aroma harum pada teh. Hasil
kemampuan senyawa yang bersifat sebagai
penelitian rata-rata panelis terhadap aroma teh
antioksidan. Semakin kecil nilai EC50 berarti
daun sirsak ditampilkan pada Gambar 5. Nilai
semakin kuat daya antioksidannya (Molyneux,
aroma tertinggi terdapat pada sampel teh dengan
2004).
lama pengeringan
30 menit,
sebesar 3;
sedangkan nilai aroma terendah terdapat
3. Sifat Organoleptik
pada
sampel teh dengan lama pengeringan 150 menit,
a. Organoleptik Teh Daun Sirsak
sebesar 2,5. Hasil uji Friedman didapatkan p-
Tekstur
value 0,00 (p-value < 0,01) sehingga dapat
Tekstur teh yang baik adalah kasar (Dimas,
diketahui bahwa ada pengaruh sangat nyata lama
2008). Proses pengeringan pada daun teh dapat
pengeringan terhadap aroma teh daun sirsak.
menyebabkan perubahan asam pektat. Dimana
Warna
asam pektat akan mengering dan membentuk semacam pernis sehingga
permukaan
Menurut standar SNI 03-3836-2012 warna
teh
teh yang baik
menjadi kering dan kasar. Hasil penelitian ratarata panelis
teh
tertinggi
terdapat
pada
adalah normal yaitu hijau
kecoklatan. Proses pengeringan menyebabkan
terhadap tekstur teh daun sirsak
warna hijau khlorofil pada daun teroksidasi
ditampilkan pada Gambar 4. Nilai organoleptik tekstur
direduksi
menjadi coklat. Hal ini dikarenakan terjadi
lama
peristiwa pencoklatan (Hernani, 2004). Hasil
pengeringan 30, 60, dan 120 menit, yaitu sebesar 5
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
penilaian rata-rata panelis
terhadap warna teh
asam galat akan teroksidasi
menjadi senyawa
daun sirsak tersaji pada Gambar 6. Nilai warna
thearubigin (TR). Senyawa thearubigin bertagung
tertinggi terdapat pada sampel teh dengan lama,
jawab pada aroma harum (Kim et al. 2011). Hasil
pengeringan 30 menit, sebesar 3,2. Sedangkan
penilaian rata-rata panelis
nilai terendah terdapat pada sampel teh dengan
minuman teh daun sirsak ditampilkan pada
lama pengeringan 150 menit, sebesar 1,6. Hasil
Gambar 8. Nilai aroma minuman teh tertinggi
uji Friedman diperoleh p-value 0,00 dimana p-
pada sampel dengan lama pengeringan 60 menit,
value < 0,01 sehingga dapat diketahui ada
sebesar 3,0. Sedangkan nilai terendah terdapat
pengaruh sangat nyata lama pengeringan terhadap
pada sampel dengan lama pengeringan 120 menit,
warna teh daun sirsak.
sebesar 2,05. Hasil uji Friedman didapatkan p-
terhadap aroma
value 0,00 dimana p-value < 0,01 sehingga dapat b. Organoleptik Minuman Teh Daun Sirsak
diketahui ada pengaruh sangat nyata lama
Rasa
pengeringan terhadap aroma minuman teh daun Menurut standar SNI 01-3143-1992 rasa
sirsak.
yang baik minuman teh daun sirsak adalah
Warna
normal yaitu rasa sepet. Katekin adalah tanin
Menurut standar SNI 01-3143-1992 warna
yang tidak mempunyai sifat menyamak dan
minuman teh daun sirsak yang baik adalah
menggumpalkan protein sehingga menghasilkan
normal yaitu cerah. Menurut Arpah (1993),
rasa sepet. (Hafezi et al. 2006). Hasil rata-rata
senyawa teaflavin memberikan warna merah
penilaian panelis terhadap rasa teh daun sirsak
kekuningan, terang dan berpengaruh terhadap
ditampilkan pada Gambar 7. Nilai rasa tertinggi
kejernihan seduhan. Hasil penilaian rata-rata
terdapat pada sampel dengan lama pengeringan
panelis terhadap warna minuman teh daun sirsak
150 menit, sebesar 2,2. Sedangkan nilai terendah
ditampilkan pada Gambar
terdapat pada sampel dengan lama pengeringan
minuman tertinggi terdapat pada sampel dengan
30 menit, sebesar 2. Hasil uji Friedman
lama
menggunakan α 0,05 diperoleh data taraf
Sedangkan nilai terendah terdapat pada sampel
signifikan p-value 0,46 dimana p-value > 0,05
dengan lama pengeringan 120 menit, sebesar 2.
sehingga dapat diketahui tidak ada pengaruh
Hasil uji Friedman diperoleh p-value 0,00 dimana
lama pengeringan terhadap rasa minuman teh
p-value < 0,01 yang berarti ada pengaruh sangat
daun sirsak.
nyata lama pengeringan terhadap warna minuman
Aroma
teh daun sirsak.
Menurut standar SNI 01-3143-1992 aroma
pengeringan
60
9. Nilai warna
menit,
sebesar
3,1.
Kekentalan
minuman teh daun sirsak yang baik adalah
Menurut standar
normal yaitu harum. Pada proses pengeringan
SNI 01-3143-1992
kekentalan minuman teh daun sirsak yang baik 6
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
adalah
norrmal
yaitu
kental.
Katekin
teh
teroksidasi menjadi ortokuinon
yang memadat
membentuk
Senyawa
theaflavin
bertanggung
(TF).
DAFTAR PUSTAKA AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Analytical Chemists, Washington D.C. Arpah, M. 1993. Pengawasan Mutu Pangan. Tarsito. Bandung. Ciptadi, W. dan M. Z. Nasution. 1979. Mempelajari Cara Pemanfaatan Teh Hitam Mutu Rendah untuk Pembuatan Teh Dadak. IPB, Bogor. Durance, T. D., A. Yousif, K. Hyun-Ock, and C. Scaman. 1999. Process for drying medicinal plants. http://www.wipo.int/pctdb/en/wo.jsp/o=200 0074694. Diakses tanggal : 1 Desember 2012. Dimas, T. P. 2008. Teh dan Pengolahanya. Universitas Brawijaya: Malang. Hafezi M, Nasernejad B, Vahabzadeh F. 2006. Optimation of fermentation time for Iranian black tea production. Iran J Chem Chem Eng 25: 39-44. Hernani. 2004. Gandapura : Pengolahan, fitokimia, minyak atsiri, dan daya herbisida. Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Vol. XV (2) : 32-40. Kim Y, Goodner KL, Park J, Choi J, Talcott ST. 2011. Changes in antioxidant phytochemical and volatile composition of Camellia sinensis by oxidation during tea fermentation. Food Chem 129: 1331-1342. Leny, S. 2006. Bahan Ajar Metode Fitokimia. Laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia FMIPA Universitas Airlangga : Surabaya Lia, K., 2011. Modul Praktikum Isolasi dan Standarisasi Bahan Alam. Jilid I. Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi: Semarang. Molyneux, P. 2004. The use of the stable radical diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) for estimating antioxidant activity. J. Sci. Technol. 26(2) : 211-219. Pratiwi, D. 2009. Perbedaan Metode Ekstraksi Terhadap Aktivitas Antioksidan Teh Hitam (Camellia sinensis (L.) dengan Metode DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil ). Skripsi. Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi: Semarang. Rahayu, W.P. 2001. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor.
ini
jawab terhadap kekentalan teh
(Hafezi et al. 2006). Hasil penelitian rata-rata
panelis
terhadap kekentalan teh daun sirsak
ditampilkan pada Gambar 10. Nilai kekentalan minuman teh tertinggi pada sampel dengan lama pengeringan 30 dan 60 menit sebesar 2,05. Sedangkan nilai terendah terdapat pada sampel dengan lama pengeringan 120 menit, sebesar 1,6. Hasil
uji
Friedman
menggunakan
α
0,05
diperoleh data taraf signifikan p-value 0,76 dimana p-value > 0,05 sehingga dapat diketahui tidak ada pengaruh lama pengeringan terhadap kekentalan minuman teh daun sirsak.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa ada pengaruh lama pengeringan terhadap aktivitas antioksidan teh daun sirsak. Kondisi operasional pengeringan daun sirsak pada suhu 50o C dengan lama pengeringan 150 menit menghasilkan teh daun sirsak dengan aktivitas antioksidan tertinggi dan nilai EC50 terendah. Namun pada kondisi operasional tersebut, teh daun sirsak memiliki nilai organoleptik terendah, khususnya rasa. Untuk mendapatkan teh daun sirsak yang baik dari segi aktivitas antioksidan maupun organoleptiknya, tentang
pengaruh
perlu
dilakukan
penambahan
penelitian
essen
pada
pembuatan teh daun sirsak.
7
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
Robinson T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi (Penerjemah Kosasih Padmawinata), penerbit ITB: Bandung. SNI 03-3836-2012. Sudjadi dan Rohman, A. 2004. Analisa Obat dan Makanan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Tuminah, S. 2004. Teh [Camellia sinensis O.K. var. Assamica (Mast)] sebagai Salah Satu Sumber Antioksidan. Cermin Dunia Kedokteran No. 144. Winarno, F.G., 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Zuhud, E. 2011. Bukti Kedahsyatan Sirsak Menumpas Kanker. Yunita Indah. Cet-1. Agromedia Pustaka: Jakarta.
8
rata-rata kadar air (%)
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
40 35 30 25 20 15 10 5 0
y = -0.198x + 34.89 R² = 0.831
0
50
100 150 waktu pengeringan (menit)
200
nilai aktivitas antioksidan (%)
Gambar 1. Kadar Air Teh Daun Sirsak dengan Variasi Lama Pengeringan 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
y = 0.168x + 54.44 R² = 0.763
0
50
100 150 waktu pengeringan ( menit)
200
EC50 (μg/mL)
Gambar 2. Aktivitas Atioksidan Teh Daun Sirsak dengan Lama Pengeringan
140 120 100 80 60 40 20 0
y = -0.263x + 115.4 R² = 0.694
0
50 100 150 waktu pengeringan (menit)
200
Gambar 3. Nilai EC50 Teh Daun Sirsak terhadap Lama Pengeringan
9
nilau rata-rata tekstur teh
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
2.95 2.9 2.85 2.8 2.75 2.7 2.65 2.6 2.55 2.5 2.45
2.9
2.9
2.9 2.8
2.6
30
60 90 120 waktu pengeringan (menit)
150
nilai rata-rat aroma teh
Gambar 4. Hasil Penilaian Panelis terhadap Tekstur Teh Daun Sirsak 3
2.95
3
2.8
2.8 2.5
2.5
60 90 120 waktu pengeringan (menit)
150
2.6 2.4 2.2 30
nilai rata-rata warna teh
Gambar 5. Hasil Penilaian Panelis terhadap Aroma Teh Daun Sirsak
4
3.2
3
3
2.8 1.85
2
1.6
1 0 30
60 90 120 waktu pengeringan (menit)
150
Gambar 6. Hasil Penilaian Panelis terhadap Warna Teh Daun Sirsak
10
nilai rata-rata rasa minuman teh daun sirsat
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
2.3
2.2
2.2
2.1
2.1
2.1
2
2
1.85
1.9 1.8 1.7 1.6 30
60 90 120 waktu pengeringan (menit)
150
nilai rata-rata aroma minuman teh daun sirsat
Gambar 7. Hasil Penilaian Panelis terhadap Rasa Minuman Teh Daun Sirsak
3
2.75
3
2.2
2.05
2.2
60 90 120 waktu pengeringan (menit)
150
2.5 2 1.5 1 0.5 0 30
nilai rata-rata warna minuman teh daun sirsat
Gambar 8. Tingkat Penilaian Panelis terhadap Aroma Minuman Teh Daun Sirsak
4 3
2.9
3.1 2.26
2.85 2
2 1 0 30
60 90 120 waktu pengeringan (menit)
150
Gambar 9. Hasil Penilaian Panelis terhadap Warna Minuman Teh Daun Sirsak
11
nilai rata-rata kekentalan teh
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
2.5
2.05
2
2.05
1.85
1.6
1.9
1.5 1 0.5 0 30
60 90 120 waktu pengeringan (menit)
150
Gambar 10. Tingkat Penilaian Panelis terhadap Kekentalan Minuman Teh Daun Sirsak
12
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
Chemical and the Acceptability of Chicken Nuggets as Functional Food with Utilization Rice Bran to Substitute Wheat Flour C. Maliluan, Y. B. Pramono and B. Dwiloka The Master of Animal Husbandry Science, Graduate Program Faculty of Animal Husbandry of Diponegoro University Abstract The purpose of this research was produce a product with the chemical properties and acceptability as well as having health benefits. The research was conducted from July to September 20 12. The variables in this research were insoluble dietary fiber, antioxidant activity, and sensory test. Dietary fiber was measured using the total multienzyme method, antioxidant activity was measured using DPPH method and the acceptability for the sensory test. Completely Randomized Design (CRD) with 4 treatments and 5 replications were used in this research. Treatment in this research was the total substitution of rice bran (w / w), consisting of : T0 = 0%, T1 = 25%, T 2 = 50%, T 3 = 75%, T4 = 100. The data obtained were further processed by analysis of variance to determine the effect of treatment. If there was any significant effect of treatment then it was followed by Duncan’s Multiple Range Test to determine the differences among the treatments. Based on the results of the study showed that the use of rice bran increase insoluble dietary fiber.Similarly, the antioxidant activity, the higher utilization of rice bran, significantly (P <0.05) increased the antioxidant activity of rice bran chicken nuggets. Overall, the use of rice bran as a substitute for wheat flour can improve the chemical properties but lower the acceptability of chicken nuggets as functional food. Keywords: nuggets, rice bran, dietary fiber, antioxidants
1994; Voskuil et al., 1997; Tarrant, 1998;
INTRODUCTION Chicken nuggets are products of processed
Larsson and Wolk, 2006). Dietary fiber is added
meat whom quite popular lately. Besides of the
to
meat
products,
delicious taste, chicken nugget is easy to serve
physiological function / health for consumers, it
as a side dish. However, meat and processed
also provides functional benefits of the final
meat products like chicken nuggets, have a low
product that can be used as an auxiliary material
sources of dietary fiber and compounds that are
in the production process. Nugget
beneficial to health such as vitamins. Their
potential to be enriched with dietary fiber
regular consumption is being associated with
(Darojat, 2010).
various health disorders such as colon cancer,
Ingredient
of
in
addition
dietary
fiber
have
a
has the
can
be
obesity and cardiovascular diseases. Therefore,
produced from various types of plants, such as
additional sources of dietary fiber in meat
rice bran from rice. Rice bran is the outside of
products need to be done to improve the
the rice that escapes into a fine powder in a rice
nutritional value (NCI, 1984; Eastwood, 1992;
milling process. The outer layer is composed of
Johnson and Southgate,
the 13
aleurone
layer
of
rice (rice
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
kernel), endosperm, and germ. Although bran is
with the high content of dietary fiber, and has
available in a large amount in Indonesia, but the
the ability of antioxidant activity whom good
utilisation for human consumption as a source
for our health.
of food
and nutrition were limited. The
utilisation of rice bran limited as fodder
METODOLOGY
(Michwan, 2010).
Materials
Not many people know that rice bran has
Materials used in the manufacture of
a high nutrient content. Rice bran is rich in
Nugget is chicken meat without bones and skin,
vitamin B, vitamin E, essential fatty acids,
rice bran, bread crumbs, wheat flour, skim milk,
dietary
vegetable oil, salt, garlic,onion, pepper, sugar
fiber,
protein,
and
ferulic
acid
orizanol. Rice bran can be consumed as
and water.
functional food, when it prepared properly. Rice bran,
rich
in phytokimia and c-
oryzanol, tocopherols and
C-
Rice bran processing is as follows: fresh
oryzanol mixture of esters derived from the
rice bran sifted 2-3 times. The size of sieve is
reaction of trans-ferulic acid with phytosterol
approximately
and
(Lerma-
(sterilization) it by autoclave for 15-20 minutes,
natural
121 ˚ C. After the sterilization, the rice bran
triterpene
tocotrienols.
Stabilization Of Rice Bran
alcohol
Garcia et al., 2009). C-oryzanol has
antioxidant properties and has also been shown
49 mesh,
then heated
had to sifted before use.
to have properties to reduce cholesterol (Sugano and Tsuji, , 1997; Xu et al., 2001).
Making chicken nuggets
Rice bran chicken nuggets is expected to
Method of making chicken nuggets
become alternative of food functional in the
include: chicken meat is cleaned from the skin
presence of dietary fiber, unsaturated fatty
(chicken) and bone, then cut into pieces
acids, antioxidants and vitamins. Brice bran will
approximately 2 cm3, and milled it. Chicken
be used as a substitute for wheat flour in the
meat
formulation of chicken nuggets. Beside of being
seasonings, then stirred, so that it becomes
cheaper, rice bran is easier to obtain compared
dough. The dough is formed with a mold, and
with wheat flour and has a high nutritional
covered with aluminum foil, then steamed until
content. Rice bran chicken Nugget, will be
cooked. Dough that has been steamed and then
analyzed
cooled. The dough is then cut approximately 2
the
chemical
and
Sensory
plus flour, rice bran, water, and
cm3. Sliced nuggets at this stage, then smeared
Characteristics (acceptability). In this reserch, rice bran would be a
with egg white and rolled in bread crumbs, then
source of dietary fiber whom added to the
fried for 2-3 minutes, until the colour is light
chicken nuggets with the aim to produce food
yellow (Bintoro, 2008). 14
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
activity. Dietary fiber and antioxidants play an
Chemical characteristics of chicken nuggets Levels
of
insoluble
dietary
fiber
important role in maintaining a healthy body.
were analyzed using multienzyme method (Asp et al., 1983). Antioxidant
activity
of
Insoluble dietary fiber
the chicken nuggets was measured by DPPH method
Based on the data shown in Table 4, it
(1,1-difenil-2-pikrilhidrazil)
can be seen that the replacement of wheat flour
(Carrapeiro et al., 2007).
with rice bran increase the levels of insoluble dietary fiber on chicken nugget products. The
Test of sensory characteristics of Chicken Nugget (Acceptability)
results of this research, in accordance with the results of Damayanthi et al., (2001), soluble
Sensory test is using scoring method
fiber of whole rice bran is 1.89% (dry matter)
with 15 untrained panelists. Panelists provide
and insoluble dietary fiber 15.55% (dry matter),
assessments according the instructions (Kartika
while the “kunci biru wheat respectively 2.44%
et al., 1998).
(dry matter) and 2.97% (dry matter). Thus, the higher the addition of rice bran, the higher level
Analysis of data
of insoluble dietary fiber. In the test of raw
Data obtained from the test results of
material (rice bran), insoluble dietary fiber level
chemical and physical characteristics were then
is 41.29% (bk). These results are higher than the
analyzed using various analysis (ANOVA),
standard, due to the rest of bran and husk in the
with a significance level of 5%. If there was any
rice
significant effect of treatment then it was
bran. According
to
Damayanthi et
al., (2010) the commercial rice milling
followed by Duncan’s Multiple Range Test to
in
Indonesia will produce a mixture of bran (outer
determine the differences among the treatments.
brown rice - the rough) and rice bran (the inside
(Dwiloka and Srigandono, 2006) to determine
of the brown rice – the refined).
differences between treatments. Sensory test data
were
analyzed
by
non-parametric
The antioxidant activity
analysis through hedonic Kruskal-Wallis test
Based on the data shown in Table 4, it
(Saleh, 1996).
can be seen that the replacement of wheat flour with rice bran affects to the antioxidant activity
RESULTS AND DISCUSSION
of the chicken nugget products. The higher the
Chemical characteristics of chicken nuggets
addition of bran, antioxidant activity increased
Chemical characteristics of rice bran chicken nuggets
whom
have
a
in the nugget, in addition, T0 has the lowest
functional
antioxidant activity, as there is no addition of
properties were dietary fiber and antioxidant
rice bran. Crude rice bran (CRB), a by-product of rice milling, is rich in phytochemicals of high 15
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
nutritional
value,
tocopherols
and
as
c-oryzanol,
acceptable)
tocotrienols.
c-Oryzanol
acceptable). According Damayanthi (2001), the
consists of a mixture of ester compounds
substitution rate of 40% bran flour on the pastry
derived from the reaction of trans-ferulic acids
snacks such as cucur, bolu kukus, nagasari and
with
alcohols
risoles gives the best acceptance rate of
(Lerma-Garcia et al., 2009). c-Oryzanol has
substitution among others. Higher utilisation pf
natural antioxidant properties and has also been
rice bran lower the level of preference on the
shown to have remarkable cholesterol reducing
snacks. Garcia et al., (2002) mentions, the
properties (Sugano and Tsuji, 1997; Xu et al.,
addition of fiber cereals (wheat and oats) 1.5
2001).
and 3% and fruit (peaches, apples and oranges)
phytosterols
such
and
triterpene
and
the
lowest
T4
(2.10-
The higest antioxidant activity of the
in dry fermented sausages significantly affect
chicken nugget at T3 treatment, whereas the T4
the sensory properties of the product. Best
treatment
results obtained on the sausage with pork fat
decreased. It
is
alleged,
the
antioxidants is a result of mailard reaction in the
content of 10% and 1.5% fiber fruit.
frying process. Maillard reaction is a reaction between the carbonyl group especially reducing CONCLUTION
sugars with amino groups mainly of amino acids, peptides and proteins (Whistler and
Based on these results, can be concluded
Daniel, 1985). One of the antioxidants produced
that the higher the use of rice bran as a
from processing can be produced from the
substitute for wheat flour increased insoluble
Maillard reaction (Bailey and Won Um, 1992).
dietary fiber on chicken nuggets. Similarly, the antioxidant activity, the higher the use of rice
Sensory characteristics of chicken nuggets
bran, increase the antioxidant activity in rice
Organoleptic tests carried out to determine
bran chicken nuggets. Overall, the use of rice
the level of acceptance and assessment sample
bran as a substitute for wheat flour can increase
by panelists, ie chicken nuggets with utilization
the chemical characteristics (dietary fiber and
rice bran to substitute wheat flour. Based on the
antioxidant activity) of chicken nuggets. Based
statistic analysis using the non-parametric
on
Kruskal-Wallis test, the p-value of acceptability
tes/sensory characterictic, the best treatment
test 0.007 <0.05 value of criticism, so the null
with the use of 75% rice bran as a wheat flour
hypothesis is rejected, that shown there is a
substitute.
the
physicochemical
and
organoleptic
difference in five groups of scores with the acceptability chicken nuggets in each treatment. REFERENCES
A test score results showed chicken nuggets, the
Asp, N-G., C-G. Johanson, H. Halmer, dan M. Siljestrom. 1983. Rapid enzymatic assay
highest ranking values is T0 (1.42- Extremely 16
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
of insoluble and soluble dietary fiber. J. Agric. Food. Chem. (31): 476-482.
Larsson, S. C and A.Wolk. 2006. Meat consumption and risk of colorectal cancer: A meta-analysis of prospective studies. Int Journal of Cancer, 119(11), 2657–2664.
Bailey ME, dan Won Um K. 1992. Maillard reaction and lipid oxidation. Di dalam: Angelo AJS. Lipid Oxidation in Food. ACS symposium series. .New York: August 25-30.
Lerma-Garcia, M.J., J.M. Herrero-Martinez, E.F. Simo-Alfonso, C.R.B. Mendonca, and R. Ramis-Ramos. 2009. Composition, industrial processing and applications of rice bran c-oryzanol. Food Chem. 115, 389–404.
Bintoro, V. P. 2008. Teknologi Pengolahan Daging dan Analisis Produk. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.
Michwan A. 2010. Potensi dan karakter rice bran oils. Food 5(7): 40-42.
Carrapeiro et al. 2007. Effect of lycopene on biomarkers of oxidative stress in rats supplemented with R-3 polyunsaturated fatty acid. Food Research International, 40, 939-946.
NCI.
Damayanthi E., I. R. Sofia, dan S. Madanijah. 2001. Sifat Fisikokimia dan daya Terima Tepung Bekatul Padi Awet sebagai Sumber Serat Makanan. Dalam L. Nuraida & R. Dewanti-Riyadi(Eds). Pangan Tradisional Basis Bagi industri Pangan Fungsional dan Suplemen. IPB, Bogor. (hal 245-261).
1984. Diet, Nutrition and Cancer Prevention: A Guide to Food Calories. (NIG Pub. 85-2711). National Cancer Institute, US. Dept. of Health and Human Services.
Saleh, S. 1996. Statistik Non Parametrik. BPFE, Yogyakarta. Sugano, M., and E. Tsuji. 1997. Rice bran oil and cholesterol metabolism. Journal of Nutr. 127: 521S–524S. Tarrant, P. V. 1998. Some recent advances and future priorities in research for the meat industry. Meat Sci. 49, S1–S16.
Darojat, D. 2010. Manfaat penambahan serat pangan pada produk daging olahan. Food Review, 5(7) : 52-53.
Voskuil, D. W., E. Kampman, M. J. A. L. Grubben, R. A. Goldbohm, H. A. M. Brants, and H. F. A.Vasen. (1997). Meat consumption, preparation and genetic susceptibility in relation to colorectal adenomas. Cancer Letters, 114, 309–311.
Dwiloka, B. dan B. Srigandono. 2006. Metodologi Penelitian; Aplikasinya dalam Ilmu Pertanian dan Pangan. Universitas Diponegoro, Semarang. Eastwood, M. A. 1992. The physiological effect of dietary fibre: an update. An. Rev. of Nutr. 12, 19–35.
Winarti, S. 2010. Makanan Fungsional. Graha Ilmu, Yogyakarta.
Johnson, I.T and D.A.T. Southgate. 1994. Dietary Fibre and related substance. In J. Edelman and S. Miller (Eds.) Food Safety Series (pp. 39–65). London: Chopman & Hall.
Whistler, R. dan Daniel JR. 1985. Carbohydrate. Di dalam: Fennema OR (eds). Food Chemistry. Marcel Dekker. Inc, New York.
Kartika, B., P. Hastuti dan W. Supartono. 1988. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Xu, Z., N. Ua, and J.S. Godber. 2001. Antioxidant activity of tocopherols, tocotrienols, and c-oryzanol components from rice bran against cholesterol oxidation accelerated by 2,20-azobis (217
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
methylpropionamidine) dihydrochloride. J. of Agric. and Food Chem. 49: 2077– 2081. Tabel 1. Composition of nugget ingridients (gr) Materials Chicken Meat Filler - Wheat flour - Rice Bran Binder - Skim milk Seasoning - Garlic - Onion - Pepper powder - Msg - Salt - Sugar
To 400,00
T1 400,00
40,00 0,00
30,00 10,00
40,00 8,00 4,00 4,00 2,00 6,00 3,00
Treatments T2 400,00
T3 400,00
T4 400,00
20,00 20,00
10,00 30,00
0,00 40,00
40,00
40,00
40,00
40,00
8,00 4,00 4,00 2,00 6,00 3,00
8,00 4,00 4,00 2,00 6,00 3,00
8,00 4,00 4,00 2,00 6,00 3,00
8,00 4,00 4,00 2,00 6,00 3,00
T0 = Rice bran 0% (control) from filler total T1 = Rice bran 25% from filler total T2 = Rice bran 50% (from filler total T3 = Rice bran 75% from filler total T4 = Rice bran 100% from filler total
Tabel 2. Scores of acceptability Score 1 2 3 4 5
Acceptability Extremely acceptable acceptable Rather acceptable Not acceptable Extremely not acceptable
Tabel 3. Average of Insoluble dietary fiber and antioksidant activity of chicken nugget Variable Insoluble dietary fiber (%) Antioksidant activity(%)
0 11.58 0.72
The filler substitutions level of rice bran (%) 25 50 75 10.35 11.98 12.64 2.29 3.01 5.35
18
100 12.96 2.48
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
SIFAT- SIFAT GEL GELATIN TULANG CAKAR AYAM Geling Properties of Chicken Shank Bone Gelatin D. A. P. Puspitasari, V. P. Bintoro dan B. E. Setiani Mahasiswa Magister Ilmu Ternak Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang Email Korespondensi:
[email protected] Abstract The purpose of the study was to investigate the soaking effect of different HCl concentration, soaking time and the interaction on geling properties (pH values, yield, viscocity, gel strength, melt time and gel of temperature and time) of chicken shank bone gelatin. The materials used were chicken shank bones, HCl, NaOH and liquid soda. The research design used was completely randomized design (CRD) factorial, in which factor A was the concentration of HCl (a 1 = HCl 2%, a2 = HCl 3,5% and a3 = HCl 5%) and factor B was soaking time (b1 = 24 hours, b2 = 36 hours and b3 = 48 hours). The result showed that the use of different HCl concentration, soaking time and the interaction affected geling properties (pH values, yield, viscocity, gel strength, melt time and gel of temperature and time) of chicken shank bone gelatin. The best result came from the interaction of soaking chicken shank bone in 5% concentration of HCl for 48 hours at 4 pH value, yield 1,31%, viscocity (40 – 60 OC) 1,62 – 3,03 cP, gel strength 228,81 bloom, melt in 40 – 60 OC for 0,58 – 3,29 minutes, gel in 10,7 OC for 7,5 minutes. In conclusion, according to GMIA (2012), gel properties of chicken shank bones gelatin by soaking in 5% concentration of HCl for 48 hours recommended to become alternative food additive in food industry. Key words: chicken shank bone, gelatin, gel properties.
PENDAHULUAN
dan Yahudi mengenai bahan makanan dan
Gelatin merupakan suatu produk hasil dari
tambahan pangan yang berasal dari babi (Choi
proses hidrolisis parsial kolagen. Kolagen
and Regenstein, 2000; Oh, 2012) menjadikan
merupakan protein fibrosa yang terdapat pada
potensi tulang cakar ayam (TCA) sebagai salah
tulang, kartilago dan kulit dan ketiga sumber
satu alternatif lain dalam pemilihan bahan baku
tersebut sulit untuk dicerna (Barbooti et al.,
gelatin (Guillen et al., 2011). Potensi cakar
2008; Guillen et al., 2011 dan Jayathikalan et
ayam dapat dilihat dari kandungan kolagen
al., 2011). Penggunaan kulit babi dalam
didalamnya yaitu 5,64 – 31,39% dari total
manufaktur gelatin mencapai 46%, sedangkan
protein (Liu et al., 2001) atau 28,73 - 36,83%
penggunaann kulit dan tulang sapi berturut-turut
dari total protein (Prayitno, 2007).
adalah 29,4% dan 23,1% (Guillen et al., 2011).
Gelatin memiliki fisikokimia yang unik,
Adanya isu dunia mengenai penyakit bovine
yaitu dapat larut dalam air, transparan, tidak
spongiform encephalopathy serta larangan dari
berbau, tidak memiliki rasa (Guillen et al.,
agama Islam
2011) serta memiliki sifat reversible dari bentuk 19
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
sol ke gel, membengkak atau mengembang dalam
air
dingin,
membentuk
Penelitian
dilakukan
dengan
film,
menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)
mempengaruhi viskositas suatu bahan dan dapat
pola Faktorial 3 x 3 dengan 3 ulangan. Faktor
melindungi sistem koloid (Junianto et al.,
pertama adalah konsentrasi asam pengekstraksi
2006). Kualitas gelatin ditentukan dengan gel
(A) (a1 = HCl 2%, a2 = HCl 3,5% dan a3 = HCl
strength dan stabilitas termal (pembentukan gel
5%) dan faktor kedua adalah lama perendaman
dan suhu leleh). Asam amino prolin dan
(B) (b1 = 24 jam, b2 = 36 jam dan b3 = 48 jam).
hidroksiprolin memberi peran penting terhadap efek gel pada gelatin. Kemampuan membentuk
Prosedur Pembuatan Gelatin Tulang Cakar Ayam
gel, viskositas dan sifat melt in the mouth
Bahan baku yang digunakan adalah tulang
gelatin merupakan kunci dari luasnya aplikasi
cakar ayam (TCA) bagian femur sebanyak 27
gelatin di industri farmasi, kedokteran, fotografi
sampel percobaan. Masing – masing sampel
hingga pangan. (Guillen et al., 2011).
telah mengalami pengacakan sebelum diberi
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
perlakuan sehingga semua sampel memiliki
mengetahui sifat-sifat gel gelatin TCA (pH,
kesempatan yang sama dalam
rendemen, viskositas, gel strength, waktu leleh,
salah satu kombinasi perlakuan konsentrasi HCl
suhu dan waktu jendal) yang dihasilkan dari
dan lama perendaman. TCA yang telah diacak
interaksi antara konsentrasi HCl dan lama
kemudian dilanjutkan proses degreasing yaitu
perendaman yang berbeda. Manfaat yang dapat
proses penghilangan lemak dari jaringan tulang
diperoleh dari penelitian ini adalah dapat
yang masih tersisa, dilakukan pada suhu 60 OC
mengurangi limbah TCA, meningkatkan daya
selama 2 jam, kemudian dilanjutkan proses
jual TCA serta dapat mengurangi tingkat
demineralisasi dengan menggunakan HCl 2%
kekhawatiran masyarakat akan ketidak halalan
dan direndam selama 24 jam.
gelatin sebagai bahan tambahan pangan.
Proses
berikutnya
memperoleh
demineralisasi,
dilakukan penetralan dengan menggunakan air
METODOLOGI
mengalir dan merendamnya selama 15 menit Penelitian ini dilaksanakan dari bulan
dengan soda cair 0,01%. Penggunaan soda cair
September sampai bulan November 2012.
ditujukan untuk mempercepat penetralan dan
Proses pembuatan gelatin serta pengujian
menyempurnakan penghilangan sumsum tulang.
karakteristiknya dilaksanakan di Laboratorium
Proses selanjutnya dilanjutkan dengan proses
Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan
asam,
dan Pertanian, Universitas Diponegoro.
menggunakan HCl dengan konsentrasi
yaitu
merendam
TCA
dengan 2%,
3,5% dan 5% selama 24, 36 dan 48 jam, setelah
Rancangan Penelitian
itu, ossein dinetralkan dengan air mengalir dan 20
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
NaOH 0,1 N selama 15 menit. Ossein
dilihat
diekstraksi
dengan
Berdasarkan perhitungan statistik, penggunaan
menggunakan waterbath. Suhu yang digunakan
berbagai konsentrasi HCl, lama perendaman,
dalam proses ekstraksi berawal dari 65, 75 dan
dan interaksi antara keduanya berpengaruh
85 OC, masing-masing selama 4 jam, kemudian
nyata (p<0,05) terhadap pH gelatin. Hal ini
secara
bertahap
O
dipekatkan pada suhu 75
C selama 2 jam,
secara
menunjukkan
ringkas
bahwa
pada
Tabel
perendaman
1.
dengan
supaya air yang masih terkandung di dalamnya
menggunakan 2-5% HCl selama 24-48 jam
dapat menguap.
mempengaruhi pH gelatin TCA dengan nilai
Gelatin yang sudah dikentalkan kemudian dicetak.
Pencetakan
dilakukan
berkisar antara 3,5-4,14. Mengacu pada GMIA
dengan
(2012), pH gelatin TCA yang sesuai dengan
menuangkan 15 ml (5 ml dalam sekali tuang).
standar dihasilkan dari perendaman
Penuangan berikutnya dilakukan jika gelatin
dengan menggunakan 2% HCl selama 24 jam
sebelumnya
serta 2-5% HCl selama 48 jam dengan pH
sudah
kering.
Pengeringan
dilakukan dengan inkubator (kardus dengan
berkisar
lampu bohlam 10 watt). (Modifikasi Hajrawati
meningkatnya
(2006), Junianto et al. (2006), Yuniarifin et al.
perendaman pH gelatin akan menurun.
(2006); Jayathikalan et al., 2011 dan Puspawati
3,94-4,14.
Seiring
konsentrasi
dan
TCA
dengan lama
Naiknya pH pada perendaman dengan
et al., 2012).
HCl 2 – 5% selama 48 jam, diduga karena
Analisis terhadap gelatin tulang cakar
sumsum TCA mengalami koagulasi pada pH 4
ayam meliputi pH (British Standard 757 1975),
dan sumsum tulang tersebut dapat terangkat
Rendemen
secara
(AOAC,
1995),
Viskositas
sempurna
sehingga
gelatin
yang
350
dihasilkan memiliki pH lebih tinggi dibanding
dihitung menggunakan rumus British Standard
dengan perendaman dengan HCl 2 – 5% selama
757 197), Gel Strength (menggunakan Volland-
24 – 36 jam. Kolagen kulit atau tulang akan
Stevens LFRA Texture Analizer), waktu leleh
mengalami peregangan pada pH di bawah 4 dan
gelatin (Suryaningrum dan Utomo, 2002), dan
di atas 10. Pada pH tersebut, struktur tripel
suhu dan waktu jendal gelatin (Modifikasi
heliks kolagen menjadi single heliks terjadi
Schrieber dan Gareis, 2007).
secara maksimal (Li, 1993 dan Prayitno, 2007).
(menggunakan
viscometer
Ostwald
Pengaruh Perlakuan terhadap Rendemen Gelatin Tulang Cakar Ayam
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rendemen gelatin TCA yang dihasilkan
Pengaruh Perlakuan terhadap pH Gelatin Tulang Cakar Ayam
dari 2-5% HCl dengan 24-48 jam perendaman dapat dilihat secara ringkas pada Tabel 1.
Nilai pH gelatin TCA yang dihasilkan dari
Berdasarkan perhitungan statistik, penggunaan
2-5% HCl dengan 24-48 jam perendaman dapat 21
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
berbagai konsentrasi HCl, lama perendaman,
menunjukan
dan interaksi antara keduanya berpengaruh
menggunakan 2-5% HCl selama 24-48 jam
nyata (p<0,05) terhadap rendemen. Hal ini
mempengaruhi viskositas gelatin TCA berkisar
menunjukan
antara
bahwa
perendaman
dengan
bahwa
perendaman
1,12-4,69
cP.
dengan
Dengan
menggunakan 2-5% HCl selama 24-48 jam
mempertimbangkan standar pH (3,8-5,5) dan
mempengaruhi rendemen gelatin TCA sebanyak
viskositas (1,5-7,5 cP) dari GMIA (2012),
0,38-3,25%.
gelatin
viskositas gelatin TCA terbaik dihasilkan dari
yang
perendaman 2-5% HCl selama 48 jam dengan
Tingginya
mengindikasikan
rendemen
bahwa
perlakuan
diterapkan itu bekerja secara optimal dan efektif
viskositas sebesar 2-3,03 cP.
(Miwada dan Simpen, 2007). Tinggi
rendahnya
Tinggi
rendemen
gelatin
rendahnya
viskositas
diduga
dipengaruhi oleh pH hasil dari interaksi antara
diduga dipengaruhi oleh pH hasil dari interaksi
konsentrasi
antara konsentrasi HCl dan lama perendaman.
Rendahnya viskositas gelatin TCA pada pH 3,5
Rendahnya rendemen pada pH 3,5 (perendaman
(perendaman TCA dengan HCl 2% selama 36
TCA dengan HCl 2% selama 36 jam) yaitu 0,88
jam) yaitu 1,51 cP dan pH 4,14 (perendaman
% dan pH 4,14 (perendaman TCA dengan HCl
TCA dengan HCl 2% selama 24 jam) yaitu 1,32
2% selama 24 jam) yaitu 0,38% menunjukkan
cP menunjukan bahwa pada kisaran pH ini
bahwa struktur kolagen mengembang dan
memiliki nilai geser tinggi karena sedikit
terbuka secara minimal pada pH 3,5 dan pH
mengandung gelatin sehingga viskositas yang
4,14,
dihasilkan
sedangkan
struktur
kolagen
akan
HCl
dan
minimum.
lama
perendaman.
Viskositas
optimum
mengembang dan terbuka secara optimal pada
diduga terjadi pada kisaran
pH 3,76 (perendaman dengan HCl 5% selama
(perendaman dengan HCl 3,5-5% selama 24
36
jam).
jam).
Pengembangan
dan
terbukanya
struktur kolagen secara optimal ditandai dengan
Menurut See et al. (2010) viskositas
rendemen yang dihasilkan tinggi yaitu 3,25%.
maksimum dihasilkan pada pH 3 dan 10,5. Tingginya
Pengaruh Perlakuan terhadap Viskositas Gelatin Tulang Cakar Ayam
HCl 3,5-5% selama 24 jam memiliki viskositas optimum, akan tetapi memiliki pH yang tidak
Berdasarkan perhitungan statistik, penggunaan
sesuai standar GMIA (2012) yaitu 3,5 – 5,5.
berbagai konsentrasi HCl, lama perendaman,
Gelatin dengan viskositas terbaik dihasilkan
dan interaksi keduanya berpengaruh nyata Hal
bahwa
gelatin yang dihasilkan dari perendaman dengan
dapat dilihat secara ringkas pada Tabel 1.
viskositas.
menunjukkan
rantai asam amino yang panjang. Meskipun
dari 2-5% HCl dengan 24-48 jam perendaman
terhadap
viskositas
gelatin memiliki nilai geser yang rendah serta
Viskositas gelatin TCA yang dihasilkan
(p<0,05)
pH 3,62-3,68
dari perendaman HCl 5% selama 48 jam dengan
ini
pH 4 dan viskositas 3,03 cP. 22
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
jam) sebesar 0 bloom
menunjukan bahwa
Pengaruh Perlakuan terhadap Gel strength Gelatin Tulang Cakar Ayam
dengan kisaran pH ini menghasilkan viskositas
Gel Strength gelatin TCA yang dihasilkan
rendah. Viskositas optimum pada kisaran pH
dari 2-5% HCl dengan 24-48 jam perendaman
3,62-3,68 (perendaman dengan HCl 3,5-5%
dapat dilihat secara ringkas pada Tabel 1.
selama 24 jam) juga disertai dengan gel
Berdasarkan perhitungan statistik, penggunaan
strength yang besar yaitu 1.150,67 bloom. Oleh
berbagai konsentrasi HCl, lama perendaman,
karena
dan interaksi keduanya berpengaruh nyata
perendaman HCl 5% selama 48 jam merupakan
(p<0,05)
ini
gelatin terbaik dan sesuai dengan standar GMIA
dengan
(2012) dengan pH 4, viskositas 3,03 cP dan gel
terhadap
menunjukkan
gel
bahwa
strength. perendaman
Hal
minimum disertai dengan gel strength yang
itu,
gelatin
yang
dihasilkan
dari
menggunakan 2-5% HCl selama 24-48 jam
strength sebesar 422,2 bloom.
mempengaruhi gel strength gelatin TCA dengan
Pengaruh Perlakuan terhadap Waktu Leleh Gelatin Tulang Cakar Ayam
nilai berkisar antara 0-1150,67 bloom. Dengan (3,8-5,5),
Waktu leleh gelatin TCA yang dihasilkan
viskositas (1,5-7,5 cP) dan gel strength (50-300
dari 2-5% HCl dengan 24-48 jam perendaman
bloom) dari GMIA (2012), gel strength gelatin
dapat dilihat secara ringkas pada Tabel 1.
TCA terbaik dihasilkan dari perendaman 3,5-
Berdasarkan perhitungan statistik, penggunaan
5% HCl selama 48 jam dengan gel strength
berbagai konsentrasi HCl, lama perendaman
sebesar 263,07-228,81 bloom. Berdasarkan nilai
dan interaksi keduanya berpengaruh nyata
bloom-nya, gel strength gelatin TCA termasuk
(p<0,05)
dalam jenis medium-high bloom (Schrieber dan
menunjukan
Gareis, 2007). Berdasarkan standar GMIA
menggunakan 2-5% HCl selama 24-48 jam
(2012), yaitu 50-300 bloom cocok untuk edible
mempengaruhi waktu leleh gelatin TCA yaitu
film, food ingredient, soft and hard capsule.
berkisar
mempertimbangkan
standar
pH
terhadap bahwa
antara
mempertimbangkan
Tinggi rendahnya gel strength yang
waktu
leleh.
perendaman
0-3,29
menit.
standar
pH
Hal
ini
dengan
Dengan (3,8-5,5),
dihasilkan diduga dipengaruhi oleh pH dan
viskositas (1,5-7,5 cP) dan gel strength (50-300
viskositas yang dihasilkan dari interaksi antara
bloom) dari GMIA (2012), waktu leleh gelatin
konsentrasi HCl dan lama perendaman. Gel
TCA
strength gelatin TCA pada pH 3,5 dengan
perendaman 5% HCl selama 48 jam dengan
viskositas 1,51 cP (perendaman TCA dengan
waktu leleh sebesar 3,29 menit.
terbaik
(Tabel
1.)
dihasilkan
dari
Tinggi rendahnya waktu leleh gelatin
HCl 2% selama 36 jam) sebesar 63,87 bloom pH 4,14 dengan viskositas 1,32 cP
TCA yang dihasilkan diduga dipengaruhi oleh
(perendaman TCA dengan HCl 2% selama 24
pH, viskositas dan gel strength yang dihasilkan
dan
dari interaksi antara konsentrasi HCl dan lama 23
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
perendaman. Gelatin TCA yang dihasilkan dari
Tabel 1. Berdasarkan perhitungan statistik,
perendaman TCA dengan HCl 2% selama 36
penggunaan berbagai konsentrasi HCl, lama
jam (pH 3,5 dengan viskositas 1,51 cP dan gel
perendaman,
strength
berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap suhu dan
63,87 bloom) memiliki waktu leleh
selama 1,4 menit dan
dan
interaksi
keduanya
gelatin TCA yang
waktu jendal. Hal ini menunjukan bahwa
dihasilkan dari perendaman TCA dengan HCl
perendaman dengan menggunakan 2-5% HCl
2% selama 24 jam (pH 4,14 dengan viskositas
selama 24-48 jam mempengaruhi suhu jendal
1,32 cP dan gel strength 0 bloom) memiliki
gelatin TCA yaitu 0-13,7 OC dengan waktu 0-
waktu leleh selama 0 menit. Hal ini menunjukan
14,7 menit. Dengan mempertimbangkan standar
bahwa dengan kisaran pH 3,5 dan 4,14
pH (3,8-5,5), viskositas (1,5-7,5 cP) dan gel
menghasilkan viskositas minimum yang disertai
strength (50-300 bloom) dari GMIA (2012) dan
dengan gel strength dan waktu leleh yang
waktu leleh gelatin TCA terbaik (Tabel 1.)
rendah sedangkan pada viskositas optimum
dihasilkan dari perendaman 5% HCl selama 48
yang terjadi pada kisaran
pH 3,62-3,68
jam dengan waktu leleh sebesar 3,29 menit,
(perendaman dengan HCl 3,5-5% selama 24
maka suhu jendal terbaik dihasilkan dari
jam) yang disertai dengan gel strength yang
perendaman 5% HCl selama 48 jam dengan
besar yaitu 1.150,67 bloom
suhu jendal 10,7 OC selama 7,5 menit.
juga memiliki
waktu leleh yang rendah.
Meningkatnya suhu dan waktu leleh dan
Rendahnya nilai pH, menyebabkan gelatin
jendal seiring dengan meningkatnya nilai
yang terekstrak lebih banyak sehingga nilai
bloom, viskositas gelatin, berat molekul gelatin,
viskositas
nilai
panjangnya rantai asam amino dan konsentrasi
viskositas menunjukkan bahwa gelatin yang
gelatin yang digunakan (Choi dan Regenstein,
dihasilkan memiliki rantai asam amino lebih
2000; Astawan et al., 2002; Schrieber dan
panjang, yang ditandai dengan nilai gel strength
Gareis, 2007; Abustam et al., 2008).
meningkat.
Meningkatnya
yang besar (Ward dan Courts, 1977; Astawan dan Aviana, 2003; Hafidz et al., 2011) dan
KESIMPULAN
kandungan asam imino yang banyak (prolin dan hidroksiprolin)
yang
merupakan
Berdasarkan hasil penelitian penggunaan
penstabil
perbedaan konsentrasi, lama perendaman, dan
jaringan gel (Bustillos et al., 2006; Hafidz et al.,
interaksinya
mempengaruhi
sifat-sifat
gel
2011; Tavakolipour, 2011).
gelatin TCA. Interaksi yang dihasilkan dari konsentrasi HCl dan lama perendaman yang
Pengaruh Perlakuan terhadap Suhu dan Waktu Jendal Gelatin Tulang Cakar Ayam
berbeda
menghasilkan
gelatin
dengan
Suhu dan waktu jendal gelatin TCA yang
karakteristik pH yang berbeda. Perbedaan pH
dihasilkan dari 2-5% HCl dengan 24-48 jam
ini diduga secara langsung mempengaruhi
perendaman dapat dilihat secara ringkas pada
rendemen dan sifat gel (rendemen, viskositas 24
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
British Standard 757. 1975. Sampling and testing of gelatin. Di dalam : Imeson, editor. Thickening and Gelling Agents for Food. New York :Academic Press. Bustillos, R.J.A., C.W. Olsen., D.A. Olson, B. Chiou, E. Yee, P.J. Bechtel and T.H. McHugh. 2006. Water vapor permeability of mammalian and fish gelatin films. Journal Of Food Science. 71 (4): E202-E207. Choi, S. and J.M. Regenstein. 2000. Physicochemical and sensory characteristics of fish gelatin. Journal of Food Science. 65(2): 194-199 Gelatin Manufacturer Institute of America (GMIA). 2012. Gelatin Hand Book. America. Guillen, M. C. G., B. Gimenez., M. E. L. Caballero and M. P. Montero. 2011. Functional and bioactive properties of collagen and gelatin from alternative sources. Food Hydrocolloids. 25: 18131827. Hafidz, R.M.R.N., C.M. Yaakob, I. Amin, and A. Noorfaizan. 2011. Chemical and functional properties of bovine and porcine skin gelatin. International Food Research Journal. 18: 813–817. Hajrawati. 2006. Sifat Fisik dan Kimia Gelatin Tulang Sapi dengan Perendaman Asam Klorida pada Konsentrasi dan Lama Perendaman yang Berbeda. Tesis Magister Sains, Institut Pertanian Bogor, Bogor (). Jayathikalan, K., K. Sultana, K. Radhakrishna and A.S. Bawa. 2011. Utilization of byproducts and waste materials from meat, poultry and fish processing industries: a review. J Food Sci Technol : DOI 10.1007/s13197-011-0290-7. Jellouli, K., R. Balti, A. Bougatef, N. Hmider, A. Barkia and M. Nasri. 2011. Chemical composition and characteristic of skin gelatin from grey triggerfish (Balistes capriscus). LWT-Food Science and Technology. 44: 1965 – 1970. Junianto, K. Haetami dan I. Maulina. 2006. Produksi Gelatin Dari Tulang Ikan dan Pemanfaatannya Sebagai Bahan Dasar Pembuatan Cangkang Kapsul. Hibah Penelitian Dirjen Dikti. Fakultas
optimal, gel strength, waktu leleh serta suhu dan waktu jendal) gelatin TCA dengan pH terendah sebesar
3,5
dan
tertinggi
sebesar
4,14.
Rendemen tertinggi dihasilkan dari pH 3,76, viskositas optimal dan gel strength besar terjadi pada pH 3,62-3,68, waktu leleh serta suhu dan waktu jendal tertinggi dihasilkan dari pH 4. Berdasarkan sifat-sifat gel yang dihasilkan dan mengacu
pada
standar
GMIA
(2012),
perendaman dengan interaksi antara HCl 5% selama 48 jam menghasilkan gelatin TCA terbaik dan dapat direkomendasikan sebagai alternatif bahan tambahan pangan pada industri pangan. DAFTAR PUSTAKA Abustam, E., H.M. Ali., M.I. Said dan J.CH. Likadja. 2008. Sifat fisik gelatin kulit kaki ayam melalui proses denaturasi asam, alkali dan enzim. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. 724 – 729. Astawan M dan T. Aviana. 2003. Pengaruh jenis larutan perendaman serta metode pengeringan terhadap sifat fisik, kimia dan fungsional gelatin dari kulit cucut. Jurnal. Teknol. dan Industri Pangan. XIV (1):7-13. Astawan, M., P. Hariyadi dan A. Mulyani. 2002. Analisis sifat reologi gelatin dari kulit ikan cucut. Jurnal. Teknol. dan Industri Pangan. VIII (1): 38-46. AOAC. 1995. Official Method of Analysis of Association. Official Agricultural Chemist, Washington, DC. Baker, R.C., P.W. Hahn, and Robbins, K.R. 1994. Fundamentals of New Food Product Development. Elsevier Science B.V., New York. Barbooti, M.M., S.R. Raouf and F.H.K. AlHamdani. 2008. Optimization of production of food grade gelatin from bovine hide wastes. Eng and Tech. 26(2): 240-253. 25
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
Perikanan dan Imu Kelautan, Universitas Padjajaran. Kolodziejska. I., E. Skierka, M. Sadowska. W. Kolodziejska and C. Niecikowska. 2008. Effect of extracting time and temperature on yield of gelatin from different fish offal. Food Chem. 107: 700-706. Li, Shu-Tung. 1993. Collagen biotechnology and its medical application. Biomed. Eng. ppl.Baia Comm. 5: 646-657. Liu, D.C, Y.K. Lin, and M.T. Chen, 2001. Optimum Condition of extrcting collagen from Chicken feet and its caracetristics. Asian-Australasian Journal of Animal Science 14 : 16381644. Miwada, I. N. S dan I. N. Simpen. 2007. Optimalisasi potensi ceker ayam (Shank) hasil limbah rpa melalui metode ekstraksi termodifikasi untuk menghasilkan gelatin. Majalah Ilmiah Peternakan. 10 (1): 5-8. Oh, J.H. 2012. Characteristic of edible film fabricated with channel catfish (Istalurus punctatus) gelatin by crosslinking with transglutaminase. Fish Aquat. Sci. 15 (1): 9-14. Prayitno. 2007. Ekstraksi kolagen cakar ayam dengan berbagai jenis larutan asam dan lama perendaman. Animal Production. 9 (2) : 99 – 104. Puspawati, N.M., I.N. Simpen dan S. Miwada. 2012. Isolasi gelatin dari kulit kaki ayam
broiler dan karakterisasi gugus fungsinya dengan spektrofotometeri FTIR. Jurnal Kimia. 6 (1) : 87 – 79. Schrieber, R and H. Gareis. 2007. Gelatin Handbook. Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA, Germany. See, S.F. Hong, P.K., Ng., K.L Wan Aida, W.M. and A.S Babdji. 2010. Physiscochemical properties of gelatins extracted from skins of different freshwater fish species. International Food Research Journal. 17 : 809 – 816. Suryaningrum, T. D dan B.S.B. Utomo. 2002. Petunjuk Analisa Rumput Laut dan Hasil Olahannya. Pusat Riset pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan. Jakarta. Tavakolipur, H. 2011. Extraction and evaluation of gelatin from silver carp waste. World J. of Fish and Mar. Sci. 3 (1): 10-15. Ward, A.G. and Courts, A. 1977. The Science and Technology of Gelatin. Academic Press, New York. Yuniarifin, H., V.P. Bintoro, dan A. Suwarastuti. 2006. Pengaruh berbagai konsentrasi asam fosfat pada proses perendaman tulang sapi terhadap rendemen, kadar abu dan viskositas gelatin. J. Indonesia Trop. Anim. Agric. 31 (1) : 55 – 61.
26
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
Tabel 1. Pengaruh Interaksi Konsentrasi HCl dan Lama Perendaman terhadap pH, Rendemen, Gel Strength, Waktu Leleh serta Suhu dan Waktu Jendal Gelatin Tulang Cakar Ayam Konsentrasi HCl (%)
Parameter pH Rendemen (%) Viskositas (cP) Gel Strength (bloom) Waktu Leleh (menit)
2
Suhu Jendal (◦C) Waktu jendal (menit) pH Rendemen (%) Viskositas (cP) Gel Strength (bloom) Waktu Leleh (menit)
3,5
Suhu Jendal (◦C) Waktu jendal (menit) pH Rendemen (%) Viskositas (cP) Gel Strength (bloom) Waktu Leleh (menit)
5
Keterangan
:
Suhu Jendal (◦C) Waktu jendal (menit) Superskrip yang nyata (p<0,05)
27
Lama Perendaman (jam) 24 36 48 a d 4,14 3,50 4,08a f ef 0,38 0,88 1,60cde 1,32d 1,51d 2,00bcd 0e 63,87e 422,20c d c 0 1,40 1,92bc 0e 9cd 14,7a 0c 11,3ab 8,3b 3,68cd 3,66cd 3,94ab 2,55b 1,92bc 1,16de 3,30ab 1,82cd 2,11bcd 941,56b 142,79de 263,07d 2,00bc 1,71bc 2,37b 12,3ab 8d 11,3ab 13,6a 8,6b 8,4b cd bc 3,62 3,76 4,00a 2,45b 3,25a 1,31cd 4,69a 1,88cd 3,03abc 1150,67a 118,20de 228,81d 1,73bc 3,21a 3,29a 13,7a 11bc 10,7bc 8,0b 6,4b 7,5b berbeda menunjukkan perbedaan
yang
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
28
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
Mutu Fisik, Kadar Serat dan Sifat Organoleptik Nata de Cassava Berdasarkan Lama Fermentasi Physical quality, Dietary Fiber and Organoleptic Characteristic from Nata de Cassava Based time of Fermentation Indah Putriana dan Siti Aminah Program Studi S-1 Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah Semarang Korespondensi, email:
[email protected]
Abstract Nata de cassava are product from cassava extract with fermentation bacteria species Acetobacter xylinum. Nata constitutes one of components in nutrients as a source of dietary fiber. Period of fermentation is one of essential factor in makings nata de cassava. The aim this research is to know physical quality, and organoleptic characteristic from nata de cassava with period time of fermentation. Thickness and yield best exists on 13th days fermentation 1,37 cm and 59,09 % respectively, meanwhile best brightness on 5th days fermentation around 64,70. Concentration of fiber is biggest in 7th days fermentation approximately 94,31 mg. Organoleptic quality perceives nata de cassava delicate on 13th day fermentation. Key Words: Nata de cassava, physical quality, dietary fiber, organoleptic characteritic
singkong
PENDAHULUAN
belum
banyak
dikenal
oleh
Singkong atau cassava berasal dari
masyarakat di Indonesia, karena umumnya
benua Amerika. Tanaman singkong masuk ke
bahan baku nata adalah air kelapa yang dikenal
wilayah Indonesia tahun 1852. Saat ini di
dengan sebutan nata de coco.
Indonesia singkong menjadi makanan pokok
Menurut
SNI
(Standar
Nasional
nomor tiga setelah padi dan jagung (Rukmana,
Indonesia) tahun 1996 karakteristik nata yang
1997) dan produksi singkong Indonesia telah
harus diperhatikan adalah aroma, rasa, warna,
mencapai 19.988.056 ton pada tahun 2007
dan tekstur yang normal serta kandungan
(BPS, 2008).
seratnya.
Hasil olahan singkong yang sudah dikembangkan
di
masyarakat
Salah
satu
faktor
yang
dapat
mempengaruhi karakteristik nata adalah lama
diantaranya
fermentasi.
adalah singkong rebus, singkong goreng, getuk, tiwul, gatot, dan kripik. Tape singkong adalah produk
olahan
fermentasi,
singkong
selain
itu
dalam
bentuk
singkong
dapat
METODOLOGI Penelitian eksperimental.
difermentasi menjadi nata. Produk nata dari
Laboratorium 29
ini Tempat
Kimia
adalah penelitian Universitas
penelitan adalah Katolik
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
Soegijapranoto Semarang dan Laboratorium
independen adalah lama fermentasi. Masing-
Teknologi Pangan Fakultas Ilmu Keperawatan
masing percobaan dilakukan ulangan sebanyak
dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah
4 kali. Diagram alir proses pembuatan produk
Semarang. Bahan utama dalam pembuatan nata
nata de cassava tersaji pada Gambar 1.
de cassava adalah singkong segar varietas kaliki berumur ± 9-11 bulan yang diperoleh dari
HASIL DAN PEMBAHASAN
petani di lapangan Graha Candi Golf Semarang
a. Sifat Fisik
sedangkan starter nata diperoleh dari Balai
Ketebalan
Besar
Teknologi
Pencegahan
Pencemaran
Selama proses fermentasi berlangsung
Industri Jl. Ki Mangunsarkoro 6 Semarang.
ketebalan
Bahan kimia yang digunakan adalah gula pasir,
peningkatan.
asam asetat, amnium sulfat, H2SO4, NaOH,
ketebalan nata de cassava tersaji pada Gambar
H2SO4, aquades, dan air mineral yang dibeli di
2. Gambar tersebut menjelaskan bahwa semakin
toko bahan kimia Indra Sari Jl. Stadion Selatan
lama waktu fermentasi semakin tebal nata yang
15 Semarang.
dihasilkan. Ketebalan tertinggi terdapat pada
Peralatan dalam pembuatan nata de
panci,
kompor,
Rata-rata
cassava
mengalami
hasil
pengukuran
cm.
untuk mengukur pH, timbangan, pisau, gelas blender,
de
lama fermentasi hari ke 13 yaitu sebesar 1,37
cassava meliputi baki fermentasi, kertas lakmus
ukur,
nata
Hasil analisis statistik menunjukkan
pengaduk,
bahwa di
peroleh p-value 0,001 < 0,05
saringan, kertas koran, karet gelang. Alat untuk
sehingga
analisa kadar serat adalah neraca analitik, gelas
fermentasi
ukur, pengaduk, pipet volum, erlenmeyer,
terhadap ketebalan nata yang terbentuk. Hasil
pendingin balik, kertas saring, kertas lakmus,
uji lanjut menunjukkan bahwa lama fermentasi
spatula, desikator, kurs porselin. Alat untuk uji
hari ke-7 dan 9 tidak berbeda nyata sedangkan
organoleptik
uji
perlakuan yang berbeda nyata adalah antara
organoleptik, bolpoin, piring kecil, dan gelas.
lama fermentasi hari ke 5 dan ke-7, 5 dan 9, 5
Alat untuk menguji mutu fisik yaitu warna
dan 11, 5 dan 13, 7 dan 11, 7 dan 13, 9 dan 11,
adalah chromameter, alat menghitung rendemen
9 dan 13, 11 dan 13.
adalah
terdiri
timbangan
dari
formulir
sedangkan
mengukur
dapat
disimpulkan
nata
de
cassava
bahwa
lama
berpengaruh
Hal ini dikarenakan aktivitas bakteri
ketebalan menggunakan jangka sorong.
Acetobacter
xylinum
dalam
mengasilkan
Penelitian ini menggunakan Rancangan
selulosa dipengaruhi lama fermentasi. Bakteri
Acak Lengkap monofaktor (RAL monofaktor),
Acetobacter xylinum membentuk lapisan nata
dengan perlakuan sebanyak 5 (lima) perlakuan.
yang semakin tebal sampai pada hari ke-13 dan
Variabel dependen adalah mutu fisik, kadar
bakteri Acetobacter xylinum masih mampu
serat,
beraktivitas untuk tumbuh dan membentuk
sifat
organoleptik
dan
variabel 30
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
selulosa. Nata yang dipanen setelah hari ke-13
menjadi etanol lalu oleh Accetobacter xylinum
tidak akan terbentuk lapisan nata baru karena
dan Gluconobacter di oksidasi menjadi asam
aktivitas bakteri Acetobacter xylinum berhenti
asetat
akibat nutrisi yang habis di dalam media
memerlukan waktu untuk fase adaptasi selama 1
fermentasi dan hasil metabolit berupa asam
hari , kemudian pertumbuhan meningkat (fase
asetat yang dapat mengganggu pertumbuhan
logaritmik) sampai pada hari ke-5 dan ke-7
mikroba. Saccharomyces menguraikan gula
ditunjukkan dengan semakin tebal nata yang
menjadi etanol lalu oleh Accetobacter xylinum
terbentuk.
dan
air.
Accetobacter
xylinum
di rubah menjadi asam asetat, sehingga pH
Nainggolan (2009) menyatakan bahwa
medium menjadi lebih asam yaitu 3 dan aroma
seiring dengan lama fermentasi pertumbuhan akan
juga menjadi asam.
menurun secara perlahan, karena berkurangnya
Ashari
(2007)
menyatakan
kadar gula dan timbulnya asam sebagai hasil
bahwa
metabolit dari fermentasi tersebut. Ketebalan
bakteri Acetobacter xylinum dalam membentuk
paling baik terjadi pada lama fermentasi hari ke-
nata di dalam media yang diperkaya karbon dan
13,
nitrogen, penambahan asam asetat, sehingga menstimulasi
khamir
S.Cerreviceae
merombak
sukrosa
menjadi
kemudian
difermentasi
menjadi
Accetobacter
selanjutnya
xylinum
mempengaruhi
bahwa
aktivitas
lama bakteri
de cassava.
alkohol,
Ketebalan nata de coco pada umumnya
dan
adalah antara 1-1,5 cm sedangkan pada nata de cassava 1,37 cm pada lama fermentasi hari ke-13
asam asetat sebagai metabolit utama. Accetobacter
menggambarkan
Accetobacter xylinum dalam menghasilkan nata
dan
Gluconobacter mengoksidasi alkohol menjadi
Bakteri
ini
fermentasi
untuk
glukosa
hal
menunjukkan bahwa ketebalan nata de coco
xylinum
dengan nata de cassava sama. Pada lama
menghasilkan enzim ekstraseluler yang dapat
fermentasi hari ke-5 sampai ke-11 ketebalan nata
menyusun (mempolimerisasi) zat gula (glukosa)
de cassava belum mencapai 1 cm, hal ini
menjadi ribuan rantai (homopolimer) serat atau
dipengaruhi oleh variasi substrat, komposisi
selulosa. Dari jutaan jasad renik yang tumbuh
bahan, kondisi lingkungan, dan kemampuan
dalam media, akan dihasilkan jutaan lembar
Accetobacter
benang-benang selulosa yang akhirnya nampak
selulosa.
xylinum
dalam
menghasilkan
padat berwarna putih hingga transparan, yang disebut sebagai nata yang termasuk metabolit
Rendemen
sekunder (Nainggolan, 2009).
Rendemen nata de cassava ditentukan
Pada fermentasi nata terjadi hubungan saling
membutuhkan
antara
berdasarkan perbandingan antara bobot nata
khamir
dengan bobot medium. Rata-rata rendemen nata
S.Cerreviceae, Gluconobacer, dan Accetobacter
cassava tersaji pada Gambar 3. Gambar 3
xylinum. Saccharomyces menguraikan gula
menjelaskan bahwa rendemen nata de cassava 31
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
pada lama fermentasi hari ke-5 sampai dengan
proses fermentasi nilai kecerahan (L) nata de
hari ke-13 mengalami peningkatan. Rendemen
cassava semakin menurun.
nata de cassava tertinggi adalah 59,09% pada
Pada Gambar 4 dapat diketahui bahwa
lama fermentasi hari ke-13.
hasil pengukuran warna nata de cassava pada
Hasil analisis statistik menunjukkan
lama fermentasi hari ke 5 sampai dengan hari ke
bahwa diperoleh p-value 0,002 < 0,05 sehingga
13 mengalami penurunan. Kecerahan nata de
dapat disimpulkan bahwa lama fermentasi nata
cassava tertinggi adalah 64,70 pada lama
de cassava berpengaruh terhadap rendemen
fermentasi hari ke 5, sedangkan kecerahan
nata
terendah nata de cassava adalah 56,13 pada
yang
terbentuk.
Hasil
uji
lanjut
menunjukkan bahwa lama fermentasi hari ke-5
lama fementasi hari ke 13.
dan ke-7, ke-7 dan ke-9 tidak berbeda nyata
Hasil
uji
statistik
anova
dengan
sedangkan perlakuan yang berbeda nyata adalah
menggunakan α 0,05 diperoleh data taraf
lama fermentasi ke-5 dan 9, 5 dan 11, 5 dan 13,
signifikan p-value 0,002 < 0,01 sehingga dapat
7 dan 11, 7 dan 13, 9 dan 11, 9 dan 13, 11 dan
disimpulkan bahwa lama fermentasi nata de
13.
cassava berpengaruh sangat nyata terhadap Semakin lama waktu fermentasi maka
warna nata yang terbentuk. Hasil uji lanjut
nata yang terbentuk semakin berat, sehingga
menunjukkan bahwa lama fermentasi hari ke-5
rendemen
Lama
dan ke-13 berbeda nyata sedangkan perlakuan
fermentasi yang berbeda dihasilkan kadar
yang berbeda nyata adalah lama fermentasi ke-5
selulosa yang berbeda, lama fermentasi hari ke-
dan 7, 5 dan 9, 5 dan 11, 7 dan 9, 7 dan 11, 7
13 semakin tinggi kadar selulosa nata, sehingga
dan 13, 9 dan 11, 9 dan 13, 11 dan 13. Hal ini
nata de cassava semakin berat dan rendemen
dikarenakan warna dipengaruhi oleh tebal nata,
meningkat. Rendemen dipengaruhi oleh variasi
semakin tebal nata maka warna yang dihasilkan
substrat, komposisi bahan, kondisi lingkungan,
semakin gelap (keruh), sebaliknya semakin tipis
dan kemampuan Accetobacter xylinum dalam
nata, warna yang dihasilkan semakin terang
menghasilkan selulosa.
(putih).
nata
juga
meningkat.
Menurut Susanti (2006) ketebalan nata Warna
dipengaruhi oleh jumlah intensitas cahaya. Nata Warna
diukur
yang tebal, intensitas cahaya yang masuk dan
satuan
diserap semakin banyak sehingga semakin
kecerahan,
gelap (keruh), sebaliknya pada nata yang tipis,
semakin tinggi nilai L maka warna semakin
intensitas cahaya yang masuk dan diserap
cerah dan semakin rendah nilai L warna
semakin sedikit sehingga warna semakin terang
semakin gelap. Gambar 4 menunjukkan selama
(putih). Pada nata yang tebal pembentukan
menggunakan L*a*b.
L
nata
de
cassava
chromameter merupakan
dengan
tingkat
jaringan selulosa semakin banyak dan rapat. 32
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
Warna nata de coco adalah putih susu
cassava tidak berpengaruh terhadap kadar serat
tetapi pada nata de cassava putih agak keruh.
nata yang terbentuk. Hal ini disebabkan karena
Warna nata de cassava dapat diperbaiki dengan
pada lama fermentasi hari ke 7 bakteri
mempercepat lama fermentasi, karena lama
Acetobacter xylinum dalam fase eksponensial
fermentasi yang semakin lama warna nata akan
karena
menjadi lebih gelap yaitu dengan memodifikasi
mengeluarkan enzim ekstraseluler polimerase
bahan yang digunakan dalam pembuatan nata
sebanyak banyaknya untuk menyusun polimer
de cassava.
glukosa menjadi selulosa sehingga matrik nata
bakteri
Accetobacter
xylinum
lebih banyak diproduksi pada fase ini. Pada lama fermentasi ke-9 dan 11
b. Kadar Serat Jenis serat pada nata de cassava adalah
mengalami
penurunan
karena
bakteri
serat kasar. Serat kasar merupakan hasil
Accetobacter xylinum dalam fase pertumbuhan
perombakan gula pada medium fermentasi oleh
lambat
aktivitas A. xylinum (Anastasia, 2008).
berkurang dan terdapat terdapatnya metabolik
karena
ketersediaan
nutrisi
telah
Lama fermentasi nata menyebabkan
yang bersifat toksit yang dapat menghambat
bakteri Acetobacter xylinum bekerja pada
pertumbuhan bakteri dan umur sel telah tua. Lama
perlakuan
fermentasi ke-13 meningkat karena matrik nata
perbedaan
jumlah
nutrisi
yang
lebih banyak diproduksi pada fase ini.
mencukupi kebutuhannya. Pada kondisi yang jumlah
mutrisi
mencukupi
kebutuhannya c. Sifat Organoleptik
selulosa yang terbentuk dalam jumlah besar dan pada
kondisi
yang
jumlah
nutrisi
Uji
tidak
organoleptik
dilakukan
dengan
mencukupi kebutuhannya pertumbuhan bakteri
menggunakan uji skoring dengan kriteria
Acetobacter
akibatnya
semakin tinggi angka maka mutunya semakin
dihasilkan selulosa dalam jumlah kecil. Karena
baik. Aspek yang dinilai meliputi tingkat
selulosa yang terbentuk berbeda sehingga
kesukaan terhadap tekstur, rasa dan aroma,
menyebabkan perbedaan pada berat nata yang
dimana panelis dimintai tanggapan pribadinya
dihasilkan. Hasil rata-rata kadar serat per 100 g
tentang kesukaan atas suatu produk menurut
nata tersaji pada Gambar 5.
tingkatan-tingkatan
xylinum
terhambat
tertentu.
Panelis
yang
digunakan adalah panelis semi terlatih sebanyak
Gambar 5 dapat diketahui bahwa nilai rata-rata kadar serat tertinggi terdapat pada
15 orang dari mahasiswa Teknologi Pangan.
produk nata de cassava dengan lama fermentasi
Tesktur
hari ke-7 yaitu sebesar 94,31 mg. Hasil uji
Tekstur yang baik untuk nata de cassava
statistik anova dengan menggunakan α 0,05
adalah kenyal dan tidak keras. Hasil rata-rata
diperoleh data taraf signifikan p-value 0,543 >
penilaian panelis tersaji pada Gambar 6. Pada
0,05 sehingga dapat lama fermentasi nata de
gambar tersebut dapat diketahui bahwa nilai 33
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
rata-rata tekstur tertinggi terdapat pada produk
dengan lama fermentasi hari ke-5 dan lama
nata de cassava dengan lama fermentasi hari
fermentasi hari ke-13 berbeda nyata dengan
ke-5 yaitu sebesar 3,23 dengan kriteri nilai yaitu
lama fermentasi hari ke-7.
kenyal.
Hasil
penelitian
dapat
disimpulkan
Hasil uji statistik Friedman dengan
bahwa panelis lebih menyukai nata de cassava
menggunakan α 0,05 diperoleh data taraf
dengan rasa enak karena perbedaan lama
signifikan p-value 0,926 > 0,05 sehingga dapat
fermentasi menghasilkan citarasa nata enak
disimpulkan lama fermentasi nata de cassava
yang relatif sama, selain itu pada saat pengujian
tidak berpengaruh terhadap tekstur nata de
organoleptik
cassava.
menggunakan
Panelis lebih menyukai nata de
cassava dengan tekstur kenyal yang diperoleh
nata
de
larutan
cassava gula
disajikan
sebesar
10%,
sehingga nata berasa manis dan enak.
dari nata de cassava sampai hari ke-5, hal ini disebabkan selulosa yang terbentuk oleh bakteri Acetobacter
xylinum
belum
terlalu
Aroma
keras
Aroma yang baik untuk nata de cassava
sehingga tekstur menjadi kenyal. Semakin lama
adalah tidak asam. Hasil rata-rata penilaian
fermentasi tekstur nata semakin lembek karena
panelis terhadap aroma tersaji pada Gambar 8.
lapisan nata yang terbentuk semakin tebal.
Berdasarkan Gambar 8 dapat diketahui bahwa nilai rata-rata aroma tertinggi terdapat pada lama fermentasi hari ke-11 sebesar 3,13,
Rasa Rasa yang baik untuk nata de cassava
sedangkan nilai terendah terdapat pada lama
adalah enak dengan ditambahkan larutan gula
fermentasi hari ke-9 sebesar 2,67.
10%. Hasil rata-rata penilaian panelis terhadap
Hasil uji statistik Friedman dengan
rasa tersaji pada Gambar 7. Berdasarkan
menggunakan α 0,05 diperoleh data taraf
gambar tersebut dapat diketahui bahwa nilai
signifikan p-value 0,901 > 0,05 sehingga dapat
rata-rata rasa tertinggi terdapat pada lama
disimpulkan bahwa perbedaan lama fermentasi
fermentasi hari ke-13 sebesar 3,23 yaitu enak,
nata de cassava tidak berpengaruh terhadap
sedangkan nilai terendah terdapat pada lama
aroma nata de cassava. Panelis lebih menyukai
fermentasi hari ke-7 sebesar 2,47.
nata de cassava dengan aroma tidak asam
Hasil uji statistik Friedman dengan
karena pada saat dipanen, nata de cassava
menggunakan α 0,05 diperoleh data taraf
dicuci lalu direbus selama 10 menit pada suhu
signifikan p-value 0,016 < 0,05 sehingga dapat
100°C sehingga aroma asam pada nata de
disimpulkan bahwa perbedaan lama fermentasi
cassava hilang pada saat pencucian dan
nata de cassava berpengaruh terhadap rasa nata
perebusan.
de cassava. Uji lanjut wilcoxon menunjukkan bahwa lama fermentasi hari ke-7 berbeda nyata 34
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
(Skripsi) Semarang : Program S1 Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Semarang.
KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa singkong dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan nata.
Mahmud, dkk., 2009. Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Jakarta : PT Elex Media Komputindo.
Produk nata de cassava terbaik dihasilkan pada konsentrasi sari singkong sebesar 25% dengan optimum lama fermentasi hari ke-13, dengan
Nadiyah, Krisdianto, dan Aulia. 2005. Kemampuan Bakteri Acetobacter xylinum Mengubah Karbohidrat Pada Limbah Padi (Bekatul) Menjadi Selulosa. Bioscientiae,Vol. 2, No. 2, Hal. 37 - 47. Diakses dari http://bioscientiae.tripod.com.
ketebalan tertinggi yaitu sebesar 1,37 cm, rendemen 59,09%, tingkat kecerahan yang keruh (gelap) sebesar 56, 13 kadar serat 93,4 mg dan tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur, rasa, aroma dan warna adalah masih
Nainggolan, J. 2009. Kajian pertumbuhan Bakteri Accetobacter sp. Dalam Kombucha-Rosela Merah (Hibiscus sabdariffa) pada Kadar Gula dan Lama Fermentasi yang Berbeda. (Tesis). Medan : Universitas Sumatera Utara.
dalam batas diterima secara organoleptik oleh panelis.
Untuk
mempersingkat
waktu
fermentasi dapat dimodifikasi lagi jumlah komposisi bahan seperti sari singkong, urea, gula dan asam asetat sehingga dapat dihasilkan
Setyawati, R. 2009. Kualitas Nata De Cassava Limbah Cair Tapioka Dengan Penambahan Gula Aren Dan Lama Fermentasi Yang Berbeda. (Skripsi). Surakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
nata de cassava yang baik sebagai penelitian lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
SNI 01- 4317- 1996. Nata dalam Kemasan. Jakarta : Departemen Perindustrian.
Anastasia, N., dan Eddy A. 2008. Mutu Nata De Seaweed Dalam Berbagai Konsentrasi Sari Jeruk Nipis. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008.
Soekarto. 1990. Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan HasilPertanian. Jakarta: Bhatara Aksara. Sumiyati. 2009. Kualitas nata de cassava limbah cair tapioka Dengan penambahan gula pasir dan lama Fermentasi yang berbeda. (Skripsi). Surakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
BPS. 2008. Produksi Umbi Ubi Kayu. Lazuardi. 1994. Studi Pembuatan Nata De Coco Dari Tiga Jenis Air Kelapa Dengan Tiga Jenis Gula Terhadap Produksi Nata De Coco. Tesisi Sarjana Biologi, Universitas Andalas Padang.
Susanti, L. 2006. Perbedaan Penggunaan Jenis Kulit Pisang Terhadap Kualitas Nata. (Skripsi). Semarang. Universitas Negeri Semarang.
Luwiyanti, H. 2001. Pengaruh Penggunaan Sumber Nitrogen Pada Medium Filtrat Kulit Buah Pisang Kepok Terhadap Berat, Tebal, dan Sifat Organoleptik Nata.
Warisno. 2004. Mudah dan Praktis Membuat Nata de Coco. Jakarta : Argomedia Pustaka. 35
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
Winarno. F. G, dkk. 1992. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta : PT. Gramedia
Singkong 250 g
Pemarutan
Air 1 l
Pengenceran
Penyaringan (sari singkong) Pengendapan Gula 3% dan amonium sulfat 6% dari volume total media dari bahan yang digunakan
ampas singkong
Pati
Perebusan 70-80°C,10 menit
Asam asetat sampai pH 4
Pendinginan Suhu ruang
Starter 10% Dari total volume bahan
Pemeraman
Pemanenan
Pencucian
Sisa media fermentasi
Perendaman 2 hari
Perebusan
Nata de cassava siap uji
Gambar 1 Diagram alir proses pembuatan nata de cassava
36
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
1.37 Ketebalan ( cm )
1.5 1 0.5
0.28
0.35
5
7
0.41
0.57
0 9
11
13
Lama Fermentasi (hari)
Gambar 2. Ketebalan nata de cassava berdasarkan lama fermentasi
Gambar 3. Rendemen nata de cassava berdasarkan lama fermentasi
Gambar 4. Kecerahan nata de cassava berdasarkan lama fermentasi
37
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
Kadar serat (mg/100g nata)
94.31 95 94 93 92 91 90
93.4
93.03 92.26
5
7
9
91.76
11
13
Lama Fermentasi (Hari)
Penilaian panelis terhadap tekstur
Gambar 5. Kadar Serat nata de cassava berdasarkan lama fermentasi
3.23 3.4
3.07
3
3.2
3 2.87
3 2.8 2.6 5
7
9
11
13
Lama Fermentasi (hari)
Penilaian panelis terhadap rasa
Gambar 6 Rata-rata penilaian panelis terhadap tekstur nata de cassava 3.2
2.47
5
7
4
3
2.8
3.23
2 0 9
11
13
Lama Fermentasi (hari)
Penilaian panelis terhadap aroma
Gambar 7. Rata-rata penilaian panelis terhadap rasa nata de cassava
3.2 3 2.8 2.6 2.4
3.13
3
2.93
3.07
2.67
5
7
9
11
13
Lama Fermentasi (hari)
Gambar 8. Rata-rata penilaian panelis terhadap aroma nata de cassava
38
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
TOTAL ASAM, TOTAL YEAST, DAN PROFIL PROTEIN KEFIR SUSU KAMBING DENGAN PENAMBAHAN JENIS DAN KONSENTRASI GULA YANG BERBEDA Total Acid, Total Yeast, Protein and Profile Kefir Goat Milk, With Addition Type and Concentration of Sugar in Different Level Amanda Liana Aristya, Anang. M. Legowo, dan Ahmad N. Al-Baarri Magister Ilmu Ternak Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang Email Korespondensi:
[email protected] Abstract Research goat milk kefir with the addition of the type and concentration of sugar in different level have been conducted in order to analyze the effect and interaction of the two treatments on total acid, total yeast and protein profile of goat milk kefir. The experimental design was used the completely randomized design (CRD) factorial pattern consisting of 2 (two) factors, the first factor (A) is a type of sugar consists of 3 (three) types of treatment (white sugar, brown sugar and D-Psicose) and The second factor (B) is the concentration of sugar consists of 3 (three) standard treatment (4%, 6%, and 8%), each treatment performed repetitions for 3 (three) times. Data results of total acid and total yeast were analyzed using analysis of variance to determine the effect and treatment interaction, while data from the protein profiles was used descriptive analysis. If there is a significant effect of treatment, therefore, continued by Duncan's test Dual region to determine differences among treatments. The results showed that the treatment of sugar (granulated sugar, brown sugar, and D-Psicose), concentration (4%, 6%, and 8%) and the interaction between the two treatments has the affect significantly (p <0.05) to total acid and total goat milk kefir yeast. Types of proteins and the molecular weight of goat milk kefir with the addition of different types and concentrations of the lactoferrin (80kDa), Laktoferoksidase (70kDa), α-Casein (65kDa), and β-casein (45kDa). Key words: Kefir, Goat Milk, Sugar PENDAHULUAN
satunya dengan mengolahnya menjadi kefir
Susu kambing memiliki prospek yang
susu kambing.
sangat baik untuk dikembangkan sebagai
Kefir adalah susu yang difermentasi
minuman kesehatan. Susu kambing memiliki
oleh sejumlah mikroba, yaitu bakteri penghasil
karakteristik warna lebih putih, globula lemak
asam laktat (BAL), bakteri penghasil asam
susunya relatif kecil sehingga lebih mudah
asetat, dan khamir. Kefir dibuat melalui proses
dicerna, dan mengandung mineral seperti
fermentasi menggunakan mikroba bakteria dan
kalsium, fosfor, vitamin A, E, dan B kompleks
yeast (Winarno dan Ivone, 2007). Kefir
yang tinggi. Komposisi rata-rata susu kambing
mempunyai efek yang baik untuk kesehatan,
adalah air 87,0%, lemak 4,25%, laktosa 4,27%,
seperti mengontrol metabolisme kolesterol,
protein 3,52%, abu 0,86% dan total bahan padat 13,0%
(Blakely
dan
Bade,
sebagai
1991).
probiotik, antitumor bagi
hewan,
antibakteri, antijamur, dan lain-lain (Farnworth,
Pengembangan produk susu kambing salah 39
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
2003). Kefir mengandung 0,65-1,33 g/l CO2,
dihasilkan. Sebagai perbandingannya digunakan
3,16-3,18% protein, 3,07-3,17% lemak, 1,8-
gula pasir dan gula aren yang biasa digunakan
3,8% laktosa 0,5 - 1,5% etanol dan 0,7-1,0%
dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian ini
asam laktat (Ide, 2008).
diharapkan dengan adanya penambahan jenis
Pada saat ini di Jepang telah banyak
dan konsentrasi gula yang berbeda dapat
dilakukan beberapa penelitian tentang rare
meningkatkan kualitas kefir susu kambing.
sugar, dimana rare sugar diartikan sebagai gula
Tujuan
langka jenis monosakarida dan derivatnya yang
pengaruh dan interaksi antara penambahan jenis
jarang ada di alam seperti D-Psicose, D-Allose
dan konsentrasi pemberian gula terhadap total
dan D-Tagatose. Rare sugar mempunyai sifat
asam, total yeast, dan profil protein kefir susu
fungsional untuk diaplikasikan pada dunia
kambing.
kesehatan
dan
industri
pangan
penelitian
D-Psicose
menganalisis
METODOLOGI
sugar yang digunakan dalam penelitian ini D-Psicose.
untuk
karena
mengandung zero kalori. Salah satu jenis rare
adalah
ini
Materi Penelitian
merupakan
Bahan yang digunakan dalam penelitian
monosakarida yang digunakan sebagai pemanis
ini terdiri dari susu kambing yang diperoleh dari
non-kalori yang telah terbukti menurunkan
daerah Ungaran, susu Ultra High Temperature
kadar glukosa dalam darah (Matsuo et al.
(UHT) Ultra Milk, medium de Man Ragosa and
2002). Penambahan rare sugar maupun gula
Shape (MRS) Broth yang diperoleh dari
konvensional dalam proses pengolahan kefir
Laboratorium Fisiologi dan Biokimia Fakultas
susu kambing dapat dapat akan menyebabkan
Peternakan,
terjadinya reaksi maillard yang diawali dengan
acidophilus FNCC 0051 diperoleh dari Pusat
proses glikasi. Menurut Sun et al. (2006a)
Antar Universitas (PAU) UGM, Saccharomyces
glikasi merupakan reaksi yang terjadi antara
cerevisiae
gugus amino dari protein susu dengan gugus
Soegijapranata, Semarang, gula pasir, gula aren,
karbonil dari gula pereduksi yang terbentuk
rare sugar D-Psicose, alkohol 95%, spirtus,
selama
glikasi
NaOH 0,1 N, larutan standar Asam Oksalat,
menghasilkan suatu senyawa antioksidan dan
indikator PP 1%, HCl, Ammonium persulfat,
berperan dalam pembentukan warna serta
temed, SDS, glicine, bhromophenol blau,
flavor.
glycerol,
pemanasan.
Reaksi
Penelitian mengenai rare sugar dalam susu fermentasi
belum
Comassie
kultur
yang
starter
diperoleh
Lactobacillus
dari
Acrylamide-Bis blue,
SDS
10%,
UNIKA
Acrylamide, SDS
1%,
pernah dilakukan,
mercapthoetanol, larutan phosphat buffer pH
sehingga perlu dilakukan uji karakteristik fisik
7.0, agar, MEA, antibiotik, CaCO3, alumunium
(total asam), mikrobiologis (total yeast) dan
foil, kapas, kasa,dan aquades.
kimia (profil protein) pada susu fermentasi yang 40
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
dimasukkan dalam lemari pendingin bersuhu 8-
Prosedur pembuatan kultur starter Tahap
pembuatan
starter
kultur
10°C. P
dilakukan dalam 2 tahap, yaitu pembuatan
pembuatan bulk starter L. acidophilus
starter induk (mother starter) dan dilanjutkan
dan S. cerevisiae dimulai dengan menyiapkan
dengan pembuatan starter kerja (bulk starter).
susu UHT kemasan. Kemudian dilakukan
Selanjutnya akan dilakukan pembuatan kefir
sterilisasi susu UHT cair dengan autoklaf pada
susu
L.
suhu 121°C selama 15 menit. Setelah itu susu
saat
skim cair didinginkan dengan cepat sampai
kambing
acidophilus
dengan
dan
S.
6
8
menggunakan
cerevisiae
pada
populasinya + 10 -10 cfu/ml (Renoaji, 2007).
suhu 45°C. Selanjutnya diinokulasikan mother
Pembuatan starter induk (mother starter)
starter sebanyak 10% dari volume susu. Susu
L. acidophilus dimulai dengan pengenceran
yang telah diinokulasikan kemudian diinkubasi
MRS Broth sebanyak 5,2 g dengan 100 ml
pada suhu 38°C untuk L. acidophilus dan S.
aquades, kemudian dimasukkan ke dalam
cerevisiae selama 9 jam. Setelah selesai, bulk
tabung reaksi sebanyak 10 ml. Setelah itu
starter dimasukkan dalam lemari pendingin
disterilkan dengan suhu 121°C selama 15 menit.
bersuhu 8-10°C dan siap dijadikan starter kerja
Kemudian dilakukan inokulasi dari isolat
saat populasinya + 106-108 cfu/ml untuk L.
bakteri sebanyak 2-3 ose dimasukkan ke dalam
acidophilus maupun S. cerevisiae. Tujuan
tabung reaksi berisi MRS. Setelah itu dilakukan
pembuatan
inkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam.
persediaan starter, untuk membuat volume
Setelah selesai tabung reaksi berisi bakteri
starter yang lebih banyak dan agar lebih efisien.
bulk
starter
adalah
sebagai
dimasukkan dalam lemari pendingin bersuhu 810°C.
Prosedur pembuatan kefir Pembuatan starter induk (mother starter)
S.
cerevisiae
dimulai
dengan
Proses pembuatan kefir susu kambing
pembuatan
diawali
dengan
mengukur
susu
kambing
medium Pepton Glucose Yeast Extract (PGY).
menjadi 3 bagian sebanyak 200 ml ditambahkan
Dengan komposisi : pepton 7,5 gram, glukosa
masing-masing jenis gula yang berbeda yaitu
20 gram, ekstrak yeast 4,5 gram, dan aquadest 1
gula pasir, gula aren, dan D-Psicose sebanyak
liter. Kemudian medium dimasukkan ke dalam
4% dan 6% kemudian dipasteurisasi. Setelah itu
tabung reaksi sebanyak 10 ml. Setelah itu
susu kambing tersebut ditambahkan kultur
disterilkan dengan suhu 121°C selama 15 menit.
starter sebanyak 5% (3,5% BAL dan 1,5%
Kemudian dilakukan inokulasi dari isolat
yeast), kemudian difermentasi selama 24 jam
bakteri sebanyak 2-3 ose dimasukkan ke dalam
pada suhu 39 0C hingga terbentuk kefir bening
tabung reaksi berisi medium PGY. Setelah itu
dan terpisah dari padatannya (granula). Setiap 4
dilakukan inkubasi pada suhu 35°C selama 24
jam selama 24 jam diakukan analisis total asam
jam. Setelah selesai tabung reaksi berisi bakteri
dan pH sehingga diperoleh waktu inkubasi 41
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
selama 24 jam dimana proses fermentasi
gel tersebut dimasukkan ke dalam tangki
dihentikan karena salah satu sampel telah
elektroforesis yang telah berisi buffer elektroda.
mencapai total asam 0,8%.
Masukkan sample yang telah dipersiapkan ( Sampel : sampel buffer = 1 : 4) ke dalam sumuran + 25 µl. Hubungkan elektroforesis
Pengujian total asam Pengujian
dinyatakan
dengan power suplay pada 125 Volt/jam.
sebagai total asam. Keasaman diukur dengan
Setelah elektroforesis selesai gel diambil dan
metode
sebagai
ditempatkan dalam cawan yang telah berisi
persentase asam laktat (Devide,1977). Sampel
larutan pewarna Coomassie Blue 0,1%. Gel
sebanyak 10 ml ditambahkan dengan 2-3 tetes
dicuci atau di destaining dengan larutan yang
indikator fenolftalein, kemudian dititrasi dengan
terdiri dari Metanol : Asam asetat : H2O = 50 :
larutan NaOH 0,1 N sampai berwarna merah
10 : 40 (Laemmli, 1970).
titrasi
total
yang
asam
dinyatakan
muda dan stabil, sesuai dengan larutan standar. Keasaman titrasi dihitung dengan rumus :
Pengujian total Yeast
Total Asam (%) = (ax0,009x100/b) ........................................................... Pencawanan (1) Keterangan :
dilakukan
dengan
menggunakan media biakan MEA sebanyak 48
a = ml NaOH 0,1 N x N NaOH 0,1 N
g ke dalam 1000 ml aquades, kemudian larutan
b = berat sampel(g)
MEA tersebut dipanaskan hingga mendidih dilanjutkan sterilisasai. Pencawanan dilakukan dengan memipet 1 ml sampel hasil pengenceran
Profil protein Menyiapkan
seperangkat
alat
ke dalam cawan petri, pencawanan dilakukan duplo
dari
pengenceran
10-4-10-6.
elektroforesis protein kemudian membersihkan
secara
plate kaca dengan methanol, lalu pasang klem
Kemudian
pada stand. Menyiapkan gradien gel 10% (10
menggunakan colony counter (Fardiaz, 1993)
ml gradien gel 10% + 6 µl temed + 50 µl APS),
setelah inkubasi 48 jam.
dilakukan
penghitungan
yeast
di masukkan ke dalam plate yang telah dipersiapkan,
bagian
atas
ditutup
dengan
Analisis data
butanol lalu dibiarkan + 30 menit hingga terjadi polimerisasi
gel.
Butanol
dibuang
Data yang diperoleh dari hasil pengujian
dan
total
asam
dan
total
menggunakan
pasang
sumuran.
menggunakan program SAS 6.12 for Windows,
Masukkan stacking gel yang telah disiapkan ( 5
dengan taraf signifikansi 5%. Apabila ada
ml stacking gel 3% + 3 µl temed + 25 µl APS)
pengaruh nyata dari perlakuan maka dilanjutkan
di atas gel 10% kemudian biarkan + 30 menit.
dengan uji Wilayah Ganda Duncan untuk
Sisir yang terpasang lalu diangkat, kemudian
mengetahui perbedaan antar perlakuan. Data
untuk
membuat
42
ragam
dianalisis
dibersihkan dengan aquades hingga bersih lalu sisir
analisis
yeast
(ANOVA)
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
hasil pengujian profil protein dianalisis secara
fermentasi
berlangsung
L.
acidophilus
deskriptif.
memanfaatkan laktosa menjadi asam laktat, yang kemudian dimanfaatkan S. cerevisiae untuk menghasilkan etanol, gas CO2 dan
HASIL DAN PEMBAHASAN
senyawa yang dapat menstimulir pertumbuhan
Total Asam Uji
keasaman
dilakukan
untuk
bakteri asam laktat.
mengetahui tingkat keasaman pada kefir susu
Surono (2004) mengemukakan bahwa
kambing karena adanya aktivitas mikroba
bakteri asam laktat dan khamir bekerja secara
penghasil asam yang mengubah karbohidrat
mutualisme
(laktosa) menjadi asam laktat. Hasil penelitian
dimana asam laktat yang dihasilkan bakteri
penambahan jenis dan konsentrasi gula yang
asam
berbeda terhadap total asam (%) kefir susu
pertumbuhan bakteri asam laktat lebih lanjut,
kambing disajikan dalam Tabel 1. Rerata
yang akan dimanfaatkan oleh khamir, dan H2O2
kandungan total asam yang dihasilkan dari
yang dihasilkan bakteri asam laktat akan
berbagai perlakuan jenis dan konsentrasi gula
disingkirkan oleh katalase yang dihasilkan oleh
yang berbeda berkisar antara 0,38 sampai 0,91
khamir. Selanjutnya khamir akan menghasilkan
%.
senyawa yang menstimulir pertumbuhan bakteri
Berdasarkan
hasil
analisis
ragam
menunjukkan bahwa masing-masing perlakuan
yaitu
laktat
saling
yang
menguntungkan,
dapat
menghambat
asam laktat.
jenis dan konsentrasi penambahan gula serta interaksi antara kedua perlakuan berpengaruh
Total Yeast
nyata (p<0,05) terhadap total asam kefir susu
Hasil pengamatan total yeast pada kefir
kambing.
susu kambing dengan jenis dan konsentrasi gula
Tabel
1
menunjukkan
bahwa
yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 2.
penambahan jenis gula dan konsentrasi yang
Berdasarkan
berbeda
bahwa
secara
bersama-sama
dapat
analisis
perlakuan
ragam
jenis
dan
menunjukkan konsentrasi
meningkatkan total asam kefir susu kambing.
penambahan gula serta interaksi antara kedua
Kefir susu kambing dengan penambahan gula
perlakuan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap
aren
dapat
total yeast kefir susu kambing. Rata-rata total
menghasilkan kandungan total asam yang ideal
yeast berkisar antara 3,742 log CFU/ml sampai
yaitu sebesar 0,89%. Menurut Ide (2008), kefir
7,816 log CFU/m
dengan
konsentrasi
8%
memiliki nilai keasaman berkisar 0,85% hingga
Hasil Tabel 2. menunjukkan jenis gula
1%. Peningkatan total asam kefir susu kambing
aren dengan bertambahnya konsentrasi 4%
disebabkan
hingga
adanya
aktivitas
BAL
(L.
8%
secara
bersamaan
dapat
acidophilus) dan yeast (S. cerevisiae) yang
meningkatkan jumlah total yeast, sedangkan
saling
jumlah total yeast semakin menurun pada jenis
menguntungkan.
Selama
proses 43
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
gula D-Psicose seiring dengan bertambahnya
profil protein yang terbentuk tidak terlalu tebal,
konsentrasi 4% hingga 8%. Hal ini disebabkan
sebaliknya konsentrasi berat molekul protein
karena yeast S. cerevisiae memiliki karakteristik
yang tinggi menyebabkan pita atau band profil
lebih mudah mencerna sukrosa. Jenis gula pasir
protein yang terbentuk tebal.
dan gula aren yang sebagian besar mengandung sukrosa
menyebabkan
S.
ketebalan pita atau band protein menunjukkan
cerevisiae lebih cepat meningkat dibandingkan
konsentrasi protein tersebut, dimana protein
dengan gula D-Psicose. S. cereviseae juga
dengan intensitas yang lebih tebal memiliki
pengguna gula sederhana dan bukan pengguna
konsentrasi yang lebih tinggi. Hal ini dapat
laktosa,
akan
dilihat dari ilustrasi 1. , dimana jenis gula pasir
menggunakan glukosa hasil pemecahan laktosa
dengan bertambahnya konsentrasi 4% hingga
oleh L. acidophilus. Hal ini sesuai dengan
8% secara bersamaan meningkatkan ketebalan
pendapat Kwak (1996) bahwa contoh yeast
pita atau band profil protein, begitupula pada
bukan
jenis gula aren dan gula D-Psicose.
sehingga
pemfermentasi
pertumbuhan
Albert et al., (2002) menjelaskan bahwa
S.
cereviseae
laktosa
adalah
S.
cereviseae.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa berat molekul protein pada kefir susu kambing berkisar 80 kDa hingga 25 kDa. Jenis protein
Profil Protein Metode analisis elektroforesis protein
yang terkandung di dalam kefir susu kambing
merupakan metode analisis yang memisahkan
yaitu Laktoferin (80kDa), Laktoferoksidase
molekul protein berdasarkan berat molekulnya
(70kDa), - Kasein (65kDa), dan β-Kasein
(Bolag dan Edelstein, 1991). Hasil penelitian
(45kDa). Rasio berbandingan protein susu
terhadap profil protein kefir susu kambing
kambing antara kasein dan whey sebesar 80%
dengan perlakuan jenis gula (gula pasir, gula
dan 20% (Miranda et al.,2004). Protein yang
aren, D-Psicose) dan konsentrasi penambahan
terkandung dalam susu kambing adalah -
gula (4%, 6%, 8%) dengan metode SDS-PAGE
Kasein, β-Kasein, - Kasein, β-Laktoglobulin,
dapat dilihat pada Ilustrasi 1.
- Laktalbumin, dan laktoferin (Tay and Gam,
Protein dengan berat molekul yang lebih
2011).
besar akan tertahan diatas, sedangkan protein
Sampel kefir susu kambing tanpa
dengan berat molekul yang lebih kecil akan
penambahan gula menghasilkan band profil
berada dibawah. Kandungan jenis dan berat
protein yang lebih sedikit dibandingkan dengan
molekul protein yang dihasilkan setiap sampel
band profil protein whey dan kefir susu
berbeda-beda dengan ditandai perbedaan warna
kambing dengan penambahan gula pasir, gula
ketebalan pita atau band profil protein yang
aren
terbentuk. Konsentrasi berat molekul protein
Laktoferin
yang rendah akan menyebabkan pita atau band 44
dan
gula
D-Psicose.
(80kDa)
dan
Jenis
protein
Laktoferoksidase
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
(70kDa) tidak terlihat pada kefir susu kambing
dengan konsentrasi 8% dapat menghasilkan
dengan penambahan gula aren pada konsentrasi
konsentrasi berat molekul protein Laktoferin
4%, 6% dan 8%, dan konsentrasi berat molekul
(80kDa) dan Laktoferoksidase (70kDa) lebih
protein
tinggi yang ditunjukkan dengan warna pita
α-Kasein
(65kDa)
lebih
sedikit
dibandingkan dengan kefir susu kambing
profil protein yang lebih tebal.
dengan penambahan gula pasir maupun gula DPsicose.
Kefir
penambahan
susu gula
kambing
dengan
D-Psicose
dapat
DAFTAR PUSTAKA Alberto M.R., M. A. R. Canavosio, and M.C.M Nadra. 2006. Antimikrobial Effect of Polifenol from Apple Skins on Human Bacterial Pathogen. Electronic journal of Biotechnology. Pontificia Universidad Catolica de Valparaiso, Concepción Chile.
menghasilkan konsentrasi berat molekul protein Laktoferin
(80kDa)
dan
Laktoferoksidase
(70kDa) lebih tinggi ditunjukkan dengan warna pita profil protein yang lebih tebal. Perbedaan jenis dan berat molekul
Blakely, J. and D. H. Bade. 1991. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press edisi ke-4, Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh B. Srigandono dan Soedarsono)
protein pada kefir susu kambing disebabkan adanya proses glikasi antara gugus karbon gula reduksi dengan gugus asam amino bebas protein
Devide, C.I. 1977. Laboratory Guide in Dairy Chemistry Practical. FAO Dairy, Training and Research Insitute University of the Philipines at Los Branos College. Laguna
susu dalam reaksi maillard sehingga dapat membentuk berat molekul protein yang lebih berat. Hal ini sesuai dengan pendapat Diftis and Kiosseoglou (2006) yang menjelaskan bahwa reaksi
maillard
antara
protein
Diftis, N., and Kiosseoglou, V. (2006). Stability against heat-induced aggregation of emulsions prepared with a dry-heated soy protein isolate–dextran mixture. Food Hydrocolloids, 20(6), 787–792.
dengan
polisakarida dapat menghasilkan berat molekul protein yang lebih tinggi. Menurut Van Boekel (2001), faktor yang mempengaruhi hasil reaksi maillard adalah waktu
Fardiaz, S. 1993. Analisis Mikrobiologi Pangan. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
pemanasan, pH,
Farnworth, E.R. (2003). Handbook of Fermented Functional Foods. CRC Press. USA.
aktivitas air, sifat intrinsik protein dan gula, dan rasio perbandingan gugus asam amino dengan gula reduksi.
Ide, P.2008. Health Secret of Kefir, Menguak Keajaiban Susu Asam untuk Penyembuhan Berbagai Penyakit. PT. Elex Media Kompotindo, Jakarta.
KESIMPULAN Hasil
penelitian
dapat
Kwak, H.S., S.K. Park, and D.S. Kim. 1996. Biostabilization of Kefyr with a Nonlactose Fermenting Yeast. J. Dairy Science 79: 937-942.
disimpulkan
bahwa jenis gula aren dengan konsentrasi 8% menghasilkan total asam dan total yeast yang
Laemmli UK. 1970. Cleavage of Structural Protein During The Assembly of Head
optimum pada kefir susu kambing. Kefir susu kambing dengan penambahan gula D-Psicose 45
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
of Bacteriophage T-4, J. Nature. 227: 680-685. Matsuo, T., H. Suzuki, M. Hashiguchi, and K. Izumori. 2002. D-Psicose is a rare sugar that provides no energy to growing rats. J. Nutr. Sci. Vitaminol. 48, 77 – 80. Renoaji, C. S. 2007. Uji Hedonik, Uji Kesukaan dan Daya Leleh Es Krim Probiotik Menggunakan Kombinasi Lactobacillus casei dan Bifidobacterium bifidum dengan Penyimpanan Beku Selama 30 hari. Program Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang. (Skripsi Sarjana Peternakan). Sun, Y., S. Hayakawa, M. Chuamanochan, M. Fujimoto, A. Innun, and K. Izumori. (2006a). Anitioxidant effects of Maillard reaction products obtained from ovalbumin and different d-aldohexoses Biosci. Biotechnol. Biochem., 70, 598605. Surono, I. S. 2004. Probiotik Susu Fermentasi dan Kesehatan. YAPMMI, Jakarta. Tay,
Eek-Poei and L. H. Gam. 2011. Proteomics of human and the domestic bovine and caprine milk. J. Mol. Biol. Biotechnol., 19, 45-53.
Van Boekel, M. A. J. S. 2001. Kinetic aspects of the Maillardreaction : A critical review. J. Nahrung. 45 : 150-159 Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka, Jakarta. Winarno, F.G. dan I. E. Fernandez. 2007. Susu dan Produk Fermentasinya. M-BRIO PRESS, Bogor.
46
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
Gambar 1. Profil Protein Kefir Susu Kambing dengan Perlakuan Jenis dan Konsentrasi Gula yang Berberda, M (marker), W (whey), TG (tanpa gula), 4GP (gula pasir 4%), 6GP (gula pasir 6%), 8GP (gula pasir 8%), 4GA (gula aren 4%), 6GA (gula aren 6%), 8GA (gula aren 8%), 4PS (gula D-Psicose 4%), 6PS (gula D-Psicose 6%), dan 8PS (gula D-Psicose 8%).
Tabel 1.Rerata Total Asam Kefir Susu Kambing dengan Jenis dan Konsentrasi Gula yang Berbeda Konsentrasi Jenis Gula (A) (B) Gula Pasir (A1) Gula Aren (A2) D-Psicose (A3) .................................................(%)..……..................................... 4% (B1) 0,66e±0,012 0,69f±0,005 0,38a±0,01 6% (B2) 0,81h±0,005 0,78g±0,005 0,41b±0,005 j i 8% (B3) 0,91 ±0,005 0,89 ±0,005 0,52d±0,005 Keterangan : Superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)
Tabel 2.Rerata Total Yeast Kefir Susu Kambing dengan Jenis dan Konsentrasi Gula yang Berbeda Konsentrasi (B)
Jenis Gula (A) Gula Pasir (A1) Gula Aren (A2) D-Psicose (A3) ...........................................(log CFU/ml)..……..................................... 4% (B1) 7,285e±0,214 6,594d±0,310 5,421c±0,345 6% (B2) 7,615ef±0,109 6,618d±0,110 4,361b±0,135 ef f 8% (B3) 7,566 ±0,136 7,816 ±0,046 3,742a±0,106 Keterangan : Superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)
47
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
48
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
TOTAL BAKTERI, PH, DAN KADAR AIR DAGING AYAM BROILER SETELAH DIRENDAM DENGAN EKSTRAK DAUN SENDUDUK (Melastoma malabathricum L.) SELAMA MASA SIMPAN An Effect of Soaking Senduduk (Melastoma malabathricum L.) leaf extract for Bacteria Total, pH, and Water Content in Broiler Meat with During Storage Melda Afrianti, Bambang Dwiloka, dan Bhakti Etza Setiani Fakultas Pertanian dan Peternakan, Universitas Diponegoro Semarang Email Korespondensi:
[email protected] Abstract The purpose of this study was to determine the number of bacteria, pH, and water content in broiler carcass with soaking senduduk leaf extract at 12 hours of storage at room temperature. The experimental design used was a completely randomized design (CRD) factorial with factor A as the concentration of senduduk leaf extract (a1 = 0%, a2 = 10%, a3 = 15%, and a4 = 20%) and factor B as shelf life (b1 = 6 hours and b2 = 12 hours). The results showed that broiler carcass soaked with senduduk leaf extract that gives real total bacteria effects. However, were not significantly affect the pH and water content. In broiler carsass is 3,21 x 103 total bacterial cfu / g after storage for 12 hours at room temperature. However, this number is still below the limit of microbial contamination (No. SNI. 01-6366-2000). Key words: broiler carcass, senduduk leaf extract, storage pengawetan dengan
PENDAHULUAN Daging memiliki kandungan gizi yang tinggi,
lengkap,
dan
seimbang.
dengan
tujuan
pemakaian
antibakteri
mempertahankan
kualitas
maupun kuantitas daging ayam broiler adalah
Namun,
dengan memanfaatkan bahan herbal.
kandungan gizi yang tinggi pada daging
Salah satu tanaman yang berkhasiat dan
merupakan media yang baik bagi pertumbuhan
dikenal
mikroba, sehingga daging merupakan salah satu
(Melastoma
bahan
atau
ditemukan di Riau. Namun, tanaman senduduk
perishable. Kerusakan pada daging dapat
tersebar luas dibeberapa pulau di Indonesia
disebabkan karena adanya benturan fisik,
yaitu di Sumatra, Jawa, Irian Jaya dan
perubahan
kimia,
dan
mikroba
Kalimantan (Gholib, 2009). Hasil skrining
(Soeparno,
2005).
Akibat
kerusakan
fitokimia menunjukkan bahwa daun senduduk
pangan
yang
mudah
rusak
aktivitas dari
masyarakat
adalah
malabathricum)
yang
banyak
tersebut seperti pembentukan lendir, perubahan
(Melastoma
warna, perubahan bau, perubahan rasa dan
senyawa tanin, flavonoid, steroid, saponin, dan
terjadi ketengikan yang disebabkan pemecahan
glikosida yang berfungsi membunuh atau
atau oksidasi lemak daging. Salah satu proses 49
malabathricum)
senduduk
mengandung
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
menghambat
pertumbuhan
mikroorganisme
tetes, pipet makro dan mikro, gelas ukur, dan
(Robinson, 1995).
lampu Bunsen.
Hasil pengamatan terhadap masyarakat di
Rancangan percobaan yang digunakan
Riau menunjukkan bahwa daun senduduk telah
adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola
digunakan sebagai obat penyembuh luka dan
faktorial dengan faktor A sebagai konsentrasi
pengempuk dalam perebusan kulit kerbau.
ekstrak daun senduduk (a1= 0%, a2=10%, a3=
Namun, belum adanya data yang spesifik
15% dan a4= 20%) dan faktor B sebagai masa
berkaitan dengan penggunaan daun senduduk
simpan (b1= 6 jam dan b2= 12 jam). Data yang
untuk pengawetan bahan pangan asal hewan.
diperoleh kemudian dianalisa menggunakan
Hasil
penelitian
pendahuluan
yang
anova (Analysiss of
variance).
Bila ada
dilakukan menunjukkan bahwa karkas ayam
pengaruh perlakuan yang nyata dilanjutkan
broiler dapat bertahan selama 18 jam pada suhu
dengan Uji Wilayah Ganda Duncan untuk
ruang setelah dilakukan perendaman pada
mengetahui perbedaan antar perlakuan (Steel
esktrak daun senduduk. Tanda-tanda kebusukan
dan Torrie, 1991).
seperti
bau, tekstur, warna, dan lendir baru
Penilitian diawali dengan pembuatan
muncul pada jam ke-20. Nilai keasaman (pH)
esktrak daun senduduk dengan konsentrasi 0%,
yang
daun
10%, 15%, dan 20%. Kemudian dilanjutkan
senduduk sebesar 4,80 dan bersifat asam,
dengan pemotongan daging ayam bagian dada.
diduga
Selanjutnya dilakukan perendaman selama 30
secara
alami
berpotensi
terdapat
dalam
dalam
menekan
laju
pertumbuhan mikroba sehingga masa simpan
menit,
dapat lebih panjang. Tujuan penelitian ini
kemudian
adalah untuk mengetahui total bakteri pH, dan
menggunakan
kadar
Selanjutnya,
air
daging
ayam
broiler
dengan
ditiriskan
selama
disimpan plastik dilakukan
15
menit,
dan
di
suhu
PE
(Polyethylen).
pengamatan
ruang
sesuai
perendaman ekstrak daun senduduk pada 12
dengan parameter yang diamati. ). Perhitungan
jam penyimpanan di suhu ruang.
total bakteri dilakukan menurut (Fardiaz, 1993). Pengukuran nilai pH menurut Apriyantono (1989). Pengujian kadar air menurut (AOAC,
METODOLOGI Materi yang digunakan untuk penelitian
1995).
ini adalah daging ayam broiler bagian dada yang
diperoleh
dari
Peternakan
Boja,
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kabupaten Semarang dan daun senduduk yang
Total Bakteri
diperoleh dari Riau, Pekanbaru. Peralatan yang
Rerata total bakteri daging ayam yang
digunakan untuk analisa adalah pH meter, oven,
direndam dengan daun senduduk dan disimpan
desikator, timbangan analitik, cawan petri, pipet 50
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
pada suhu ruang secara ringkas disajikan pada
yang ada pada daging. Peran masing-masing
Tabel 1.
senyawa aktif yaitu senyawa saponin akan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
merusak membran sitoplasma dan membunuh
total bakteri daging ayam dengan konsentrasi
sel (Assani, 1994). Tanin adalah polimer fenolik
yang berbeda memberikan pengaruh yang
yang
nyata. Total bakteri daging ayam broiler secara
penyegar, mempunyai sifat antimikroba dan
berturut-turut 0%, 10%, 15% dan 20% adalah
bersifat racun terhadap khamir, bakteri, dan
2,54 x 102, 3,05 x 103, 2,67 x 102 dan 3,21 x
kapang. Kemampuan tanin sebagai antimikroba
102. Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 01-
diduga karena tanin akan berikatan dengan
6366-2000 merekomendasikan batas maksimal
dinding
cemaran bakteri pada daging segar yaitu 1 x
menginaktifkan kemampuan menempel bakteri,
104 CFU/g.
menghambat pertumbuhan, aktivitas enzim
Total bakteri pada daging ayam masih di bawah batasan cemaran bakteri
biasanya
digunakan
sel
bakteri
sebagai
sehingga
bahan
akan
protease dan dapat membentuk ikatan komplek
pada daging
dengan polisakarida (Cowan, 1999).
segar. Namun, tingginya konsentrasi tidak
Flavonoid
dapat
berperan
secara
menurunkan jumlah total bakteri pada daging.
langsung sebagai antibiotik dengan menggangu
Hal ini diduga bahwa penggunaan air sebagai
fungsi
pelarut ekstraksi daun senduduk diduga belum
seperti bakteri atau virus. Mekanisme antibiotik
optimal dalam mengesktraksi senyawa aktif
flavonoid ialah dengan cara mengganggu
seperti saponin, tannin, flavonoid, alkaloid, dan
aktivitas transpeptidase peptidoglikan sehingga
glikosida yang berfungsi sebagai antibakteri.
pembentukan dinding sel bakteri atau virus
Hasil penelitian Suliantri et al., (2008)
dari
metabolissme
mikroorganisme
terganggu dan sel mengalami lisis. Alkaloid
menyatakan bahwa esktraksi senyawa aktif
mempunyai
pada tumbuhan dengan menggunakan air
antimikroba
mempunyai kemampuan bakteri uji paling
penghambatannya
rendah dibandingkan etanol dan etil asetat. Hal
mengkelat DNA (Suliantri, et al., 2008).
ini sesuai dengan penelitian Chou dan Yu
pengaruh
sebagai
dengan adalah
bahan
mekanisme dengan
cara
Selain itu, juga disebabkan semakin
(1985), dimana pelarut etanol memberikan
meningkatnya
aktivitas antimikotik ekstrak sirih yang baik dan
senduduk maka larutan semakin pekat dan
pelarut air mempunyai aktivitas paling rendah
larutan ekstrak daun senduduk sulit berpenetrasi
terhadap beberapa jenis bakteri.
pada
Hal ini juga disebabkan karena senyawa
otot
konsentrasi
daging.
ekstrak
daun
Perkembangbiakan
mikroorganisme juga dipengaruhi oleh faktor
yang aktif berupa saponin, tanin, flavonoid,
kelembaban,
alkaloid hanya berperan menghambat bakteri
oksigen (Lawrie, 2003). Ketersedian oksigen 51
temperatur,
dan
ketersediaan
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
dipengaruhi oleh pengemas plastik pada saat
menyebabkan pH pada perlakuan perendaman
penyimpanan di suhu ruang. Buckle
daging ayam broiler menjadi tidak berbeda
et al.,
(1987) menjelaskan bahwa daya tembus plastik
terhadap pH daging ayam.
2
PE dengan ketebalan 2,1 (mm x 10 ) adalah
Perendaman dengan waktu 30 menit dan
10,5 (cm3/cm2/mm/det/cmHg) x 1010. Menurut
lama penyimpanan belum mencukupi untuk
Yanti et al., (2008), mengatakan bahwa
menurunkan pH daging. Selain itu juga
penggunaan
efektif
disebabkan karena struktur otot dari daging
dibandingkan PE, karena dapat menurunkan
yang terlalu rapat, menyulitkan penetrasi hingga
total bakteri pada daging di pasar Arengka
ke dalam jaringan (Buckle
plastik
PP
lebih
5
Pekanbaru sebesar 5,5 x 10
dibandingkan
et al., 1987),
sehingga walau terbentuk asam di dalam daging
penggunaan plastik PE 6,5 x 105. Tidak ada
selama
interaksi antara konsentrasi dan lama simpan
tetapi karena waktunya belum tercukupi maka
terhadap total bakteri daging ayam.
asam yang terbentuk tidak dapat menembus
perendaman
ataupun
penyimpanan
sampai ke dalam jaringan. Akibatnya pH daging yang direndam larutan daun senduduk selama
Nilai PH Rerata pH daging ayam broiler yang
30
direndam dengan daun senduduk dan disimpan
menit
dan
lama
penyimpanan
tidak
mempengaruhi pH daging ayam broiler.
pada suhu ruang secara ringkas disajikan pada
Lama penyimpanan berpengaruh nyata
Tabel 2.
terhadap penurunan pH. Penelitian ini sejalan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
dengan hasil penelitian Surajadi (2004), yang
nilai pH daging ayam tidak berpengaruh nyata
menunjukan
terhadap konsentrasi daun senduduk namun
temperatur ruang selama 12 jam setelah
berpengaruh terhadap lama simpan daging
pemotongan ayam broiler, terjadi penurunan
ayam (Tabel 2). Nilai pH yang didapat dari
keasaman (pH) daging ayam. Semakin lama
perlakuan yaitu secara berturut-turut 6,79, 6,84,
penyimpanan yang dilakukan maka pH akan
6,84 dan 6,72. Nilai pH pada daging ayam
semakin menurun.
cukup tinggi namun masih dibawah nilai pH produk
pangan
yang
dianjurkan
bahwa
penyimpanan
pada
Penurunan pH akan mempengaruhi sifat
Standar
fisik daging, laju penurunan pH otot yang cepat
Nasional Indonesia yaitu 6-7. Hal ini diduga
akan
bahwa nilai pH pada penelitian dipengaruhi
mengikat air, karena meningkatnya kontraksi
oleh nilai pH pada kedua bahan dasar yaitu,
aktomiosin yang terbentuk, dengan demikian
daging ayam dan esktrak daun senduduk
akan memeras cairan keluar dari dalam daging
masing-masing sebesar 6,50 dan 4,80. Nilai pH
dan menyebabkan penurunan nilai pH pada
yang
hampir
sama
dari
kedua
bahan 52
mengakibatkan
rendahnya
kapasitas
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
daging. Tidak ada interaksi antara konsentrasi
yang beriklim tropis dengan kelembaban udara
dan lama simpan pH daging ayam.
yang cukup tinggi, sehingga bila kemasan yang digunakan tidak cukup kedap air maka produk akan terkontaminasi oleh air yang diikuti oleh
Kadar Air Rerata kadar air daging ayam yang
berbagai jenis kerusakan lainnya (Syarief et
direndam dengan daun senduduk dan disimpan
al.,1989).
pada suhu ruang secara ringkas disajikan pada Tabel
3.
Berdasarkan
analisis
tipe asam karena berdasarkan hasil pengujian
menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun
ekstrak daun senduduk mempunyai pH 4,80.
senduduk tidak berpengaruh nyata terhadap
Namun rendahnya pH pada daun senduduk
kadar air daging ayam. Kadar air yang didapat
belum dapat menurunkan kerusakan yang
dari
disebabkan oleh mikroba pada daging. Tidak
perlakuan
yaitu
hasil
Penelitian ini merupakan perendaman
secara
berturut-turut
73,69%, 74,47%, 74,31% dan 73,95%.
ada interaksi antara konsentrasi daun senduduk
Tingginya kadar air pada penelitian ini
dan lama simpan terhadap kadar air daging.
karena kadar air daging ayam sudah tinggi pada saat pemotongan. Kadar air daging ayam broiler
KESIMPULAN
yaitu sebesar 65-80% (Forest et al., 1975). Hal
Total bakteri daging ayam setelah
ini bahwa kadar air pada penelitian dipengaruhi
perendaman dengan ekstrak daun senduduk
oleh kadar air pada kedua bahan dasar yaitu,
meningkat
daging ayam dan esktrak daun senduduk
konsentrasi ekstrak daun senduduk. Namun
masing-masing sebesar 65-80% dan 71,7%.
jumlah total bakteri pada daging tidak melebihi
seiring
dengan
penambahan
Kadar air yang hampir sama dari kedua
batas maksimal cemaran bakteri pada daging
bahan menyebabkan kadar air pada perlakuan
segar yaitu 1 x 104 CFU/g. Sedangkan pH pada
perendaman daging ayam broiler menjadi tidak
daging ayam akan semakin menurun dengan
berbeda terhadap kadar air daging ayam. Oleh
lama
karena itu, dengan penambahan ekstrak daun
Penggunaan ekstrak daun senduduk untuk
senduduk dengan konsentrasi 10%, 15%, dan
penyimpanan daging ayam broiler pada suhu
20% tidak dapat menurunkan kadar air pada
ruang direkomendasikan pada konsentrasi 10-
daging. Hal ini juga disebabkan penggunaan
15% berdasarkan data perhitungan total bakteri,
plastik pada penyimpanan di suhu ruang.
pH, dan kadar air.
penyimpanan
pada
suhu
ruang.
Menurut Soeparno (2005) permukaan plastik PP lebih licin dan permeabilitasnya
DAFTAR PUSTAKA
terhadap oksigen lebih rendah dibandingkan
AOAC., 1995. Official Methods of Analysis 9th edition. Association of Official Analytical Chemist. Washinghton D.C.
dengan plastik PE. Indonesia adalah negara 53
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
Assani, S. 1994. Mikrobiologi Kedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. (Terjemahan K. Padmawinata). Penerbit, ITB Bandung.
Apriyantono, A. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. IPB Press, Bogor.
Soeparno, 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Edisi keempat. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Badan Standardisasi Nasional. 2000. Batas Maksimal Cemaran Mikroba dan Batas Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan. Standar Nasional Indonesia No. 01-6366-2000, Jakarta.
Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. (Penerjemah B. Sumantri).
Buckle R.A., Edward G.H. Fleet and M. Wooton M. 1987. Ilmu Pangan. (Penerjemah H. Purnomo Adiono). UI Press. Jakarta. Chou, C.C and Yu R.C. 1985. Efect Piper betle L and its extracts on the growth and aflatoxin productions by Aspergillus paraciticus. Pro Natl.Sci. Coune Repub.China. 8( 1): 30-35. Cowan,
Suliantri, B.S.L. Jenie., M.T. Suhartono, dan A. Apriyantono. 2008. Aktivitas antibakteri esktrak sirih hijau (Piper betle L) terhadap bakteri patogen. Jurnal dan Teknologi Industri Pangan. 19 (1): 1-7. Surajadi, K. 2004. Perubahan Sifat Fisik Daging Ayam Broiler Post Mortem Selama Penyimpanan Temperatur Ruang. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Bandung.
M.M. 1999. Plant products as antimicrobial agents. Clinical Microbiology Reviews 12: 564–82.
Fardiaz, S 1989. Mikrobiologi Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB, Bogor.
Yanti H, Hidayati, dan Elfawati. 2008. Kualitas daging sapi dengan kemasan plastik PE (Polyethylen) dan plastik PP (Polypropylen) di pasar Arengka Kota Pekanbaru. Jurnal Peternakan 5 (1). 22 -27.
Forrest, J. C., E. D. Aberle, H. B. Hedrick, M. D. Judge and R. A. Markell. 1975. Principle of Meat Sience. W. H. Freman and Co. San Fransisco. Gholib, D. 2009. Uji Daya Hambat Daun Senggani (Melastoma malabathricum L.) terhadap Trichophyton mentagrophytees dan Candida albicans. Balai Besar Penelitian Veteriner. Bogor. Lawrie, 2003. Ilmu Daging. (Penerjemah A. Parakkasi dan Yudha A). Universitas Indonesia Press, Jakarta. Syarief
R, Sassya S, St Isyana B.1989. Teknologi Pengemasan Daging. Bogor: IPB. 54
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
Tabel 1. Nilai Total Bakteri Daging Ayam yang Direndam dengan Daun Senduduk dan Disimpan pada Suhu Ruang Total Bakteri Daging Ayam Setelah diberi Perlakuan Rerata a1 a2 a3 a4 CFU/g 2 b1 2,56 x10 3,15 x 103 2,48 x 102 3,08 x 103 2,82 x 102 b2 2,52x 102 2,96 x 102 2,85 x 102 3,32 x 103 2,92 x 102 2b 3a 2b Rerata 2,54x 10 3,05 x 10 2,67x 10 3,21 x 103 a Ket: Superskrip berbeda pada baris rerata menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). Lama Simpan
Tabel 2. Nilai pH Daging Ayam yang Direndam dengan Daun Senduduk dan Disimpan pada Suhu Ruang pH Daging Ayam setelah Diberi Perlakuan Perlakuan Rerata Lama Simpan a1 a2 a3 a4 b1 6,87 6,85 6,91 6,78 6,85a b2 6,72 6,83 6,76 6,66 6,74b Rerata 6,79 6,84 6,84 6,72 Ket: Superskrip berbeda pada kolom rerata menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). Tabel 3. Nilai Kadar Air Daging Ayam yang Direndam dengan Daun Senduduk dan Disimpan pada Suhu Ruang Perlakuan Lama Kadar Air Daging Ayam Setelah diberi Perlakuan Simpan a1 a2 a3 a4 (%) b1 73,97 74,32 74,26 74,22 b2 73,42 74,63 74,34 73,67 Rerata 73,69 74,47 74,31 73,95
55
Rerata 74,19 74,07
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
56
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
Pengaruh Pengolahan terhadap Kandungan Poliphenol dan Antosianin Beras Wulung yang Berpotensi sebagai Makanan Diet Penderita Diabetes Mellitus Effect of Cooking on Polyphenols and Anthocyanins of Wulung rice Potentialy as Functional Food for Patients with Diabetes Mellitus Sri Hartati Fakultas Pertanian, Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo E-mail :
[email protected] Abstract Wulung rice called black rice in Java, it was believed the functional food for Diabetes Mellitus. The purpose studies was to determine the chemical content of rice like the moisture content, carbohydrate, protein, fat, ash and to know the changes in polyphenolic and anthocyanin levels after cooking and a flour product. The Results showed that is a carbohydrate (64.98% wb), protein 15.41% wb, fat 4.23% wb, minerals (ash) 2.04% wb, crude fiber 3.52% wb and moisture 13.34%. There were no differences between the levels of phenols for whole grain that has been processed into rice, but there were significant differences with flour. Total phenol of whole grain, flour, and rice respectively are 0.76, 0.55 and 0.84 mg. There were significant decreasing of anthocyanin in processing to the flour and rice. The decrease in anthocyanin 83.60% occur in the processing of rice. Anthocyanin of whole grain, flour and rice respectively: 2.8918, 2.4091 and 0.4741 mg/100g (% db). Keyword : wulung rice, poliphenol, antosianin, diabetes mellitus
Berbagai penelitian telah dilakukan di
PENDAHULUAN
beberapa negara berkembang dan data WHO Diabetes
Mellitus
(DM)
tergolong
menunjukkan
bahwa
peningkatan
tertinggi
penyakit degeneratif yang prevalensinya cukup
jumlah pasien diabetes terjadi di Asia Tenggara
tinggi. Angka insiden dan prevalensi DM
termasuk Indonesia yang menempati peringkat
cenderung meningkat dari berbagai penelitian
ke-5 di dunia (Suyono, 2006). Kecenderungan
epidemiology. Prevalensi DM di dunia menurut
meningkatnya penyakit degeneratif diperlukan
International
suatu
mencapai
Diabetes 246
juta
Federation tahun
2007
(IDF) dan
preventif
melalui
pengembangan
makanan/minuman yang menyehatkan.
diproyeksikan menjadi 380 juta pada tahun
Makanan (pangan) fungsional adalah
2025. (Perkem Ind, 2006; Pimentel,P, 2007).
pangan yang selain bergizi juga mempunyai
WHO memprediksi di Indonesia terdapat
pengaruh positif terhadap kesehatan seseorang
kenaikan jumlah pasien dari 8,4 juta pada tahun
(Muchtadi
2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.
diharapkan
Prevalensi Diabetes type 2 meningkat secara
kesehatan, makanan fungsional tidak dianggap
eksponensial, dan diperkirakan mencapai lebih
sebagai obat, melainkan dikategorikan tetap
300 juta kasus pada tahun 2030 (Wild et al,
sebagai makanan. Oleh karena itu makanan
2004).
fungsional 57
dan
Hanny,
1996).
memberikan
seharusnya
Meskipun
manfaat
dikonsumsi
bagi
sebagai
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
layaknya makanan sehari-hari, bentuknya dapat
Belum diperoleh informasi seberapa
berupa makanan atau minuman (Fardiaz, 1997;
besar perubahan kandungan total poliphenol
Hilliam, 2000).
dan kadar antosianin beras wulung setelah
Beras merupakan salah satu padi-padian
dilakukan penanakan sehingga potensi sebagai
paling penting di dunia untuk dikonsumsi
makanan diet terapi
manusia. Diantara varian beras dijumpai beras
setelah pemasakan. Selain dimasak menjadi
hitam (Oryza sativa L. indica). Beras hitam ini,
nasi, beras seringkali juga diproses menjadi
memiliki nama yang berbeda-beda tergantung
tepung untuk dipergunakan sebagai bahan
di mana beras hitam tersebut berada. Beras
pembuatan makanan dalam bentuk selain nasi.
hitam yang ada di Solo dikenal dengan nama
Belum diketahui, apakah pembuatan tepung
"beras wulung". Menurut sejarahnya, dulunya
beras hitam juga akan mengubah komponen
beras Wulung merupakan beras pilihan yang
poliphenol dan kadar antosianinya. Untuk
hanya
menjawab
ditanam
Keraton
dan
Kasunanan
dipergunakan
dalam
Surakarta,
khusus
untuk
jenis
ritual
pertanyaan-pertanyaan
tersebut
penelitian ini dilakukan.
dikonsumsi di lingkungan para Raja dan digunakan
masih dipertahankan
Penelitian
tertentu,
ini
bertujuan
untuk
mengetahui kandungan kimia beras wulung
(Kristamtini, 2009; Tri Dewanti, 2009).
meliputi kadar air, karbohidrat, protein, lemak,
Dilaporkan bahwa dalam dedak beras
dan abu serta mengetahui perubahan komponen
hitam terdapat kandungan antosianin (salah satu
poliphenol (total phenol) dan kadar anthosianin
kelompok antioksidan) sebanyak 5,55 mg/g
setelah dilakukan pemasakan menjadi nasi dan
bahan (Ono, et al., 2003). Pada lapisan kulit
menjadi tepung (powder) yang dibandingkan
terluar (outer layer), beras hitam memiliki
tanpa
kandungan
dalamnya
meliputi analisa proksimat bahan baku (beras
termasuk antosianin sebanyak 6,4 g/100 gr kulit
wulung pecah kulit) dan pengamatan perubahan
terluar.
kadar poliphenol dan kadar antosianin sebelum
flavonoid
Pengaruh
(termasuk
di
homeostatistik
yang
positif
dalamnya glukosa
di
dari
poliphenol
flavonoid) ditunjukkan
pada
pengolahan
dalam METODOLOGI
hewan coba yang didukung dengan bukti-bukti pada
kaya
Penelitian ini merupakan penelitian
poliphenol
eksperimen yang dilaksanakan di Laboratorium
(Hanhineva et al, 2010). Oleh karena itu beras
MIPA Universitas Veteran Bangun Nusantara
wulung diketahui mempunyai potensi dalam
Sukoharjo. Bahan penelitian terutama beras
penurunan gula darah sehingga sangat cocok
wulung varietas asal Boyolali diambil dari
dikonsumsi
Gabungan
sebagai
diet
Pengamatan
pengolahan dan sesudah pengolahan.
sejumlah besar penilitian in vitro pada beberapa
epidemiologi
(kontrol).
makanan
diet
para
penderita Diabetes Mellitus (DM).
Kelompok
Tani
(GAPOKTAN)
MARSUDI MULYO Dukuh Surodhuwur, Desa 58
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
Tawangsari, Kecamatan Teras,
Kabupaten
Lengkap
Boyolali.
Pola
Searah.
Perlakuan
(variabel tetap) adalah Metode/cara pengolahan
Dari Gambar 1 terlihat bahwa penelitian diawali
(RAL)
dengan
analisa
proksimat
beras wulung (yaitu beras wulung pecah kulit
untuk
(tanpa pengolahan, pengolahan menjadi nasi
mengetahui komponen kimia yang dikandung
dan pengolahan menjadi tepung melalui proses
dalam beras wulung meliputi : kadar air
penyangraian).
(metode analisa Thermogravimetri), karbohidrat
adalah zat-zat potensi yaitu total phenol dan
(by different), protein (metode Kjeldahl), lemak
total
(metode Soxhlet), mineral total (cara kering)
diulang 2 kali, dengan analisa sampel adalah
serta serat kasar (hidrolisa asam kuat). Sebagai
triple. Data yang diperoleh dianalisis dengan
pembanding dilakukan pula analisa proksimat
One Way Anova. Bila terdapat perbedaan antar
beras merah.
perlakuan dilanjutkan dengan Uji Duncan.
sedang
antosianin.
variabel
Masing-masing
tergantung
perlakuan
Beras wulung dimasak/diolah dengan dua cara pengolahan yaitu diolah menjadi tepung beras
HASIL DAN PEMBAHASAN
hitam dengan cara sangrai menggunakan media
Hasil Analisa Proksimat Beras Wulung
pasir, dan diolah menjadi nasi hitam dengan alat
Sebelum beras wulung diolah, terlebih
Rice Cooker. Analisa kandungan poliphenol
dahulu dianalisis proksimat untuk mengetahui
(total phenol) menggunakan metode yang
komponen-komponen di dalamnya meliputi
dikembangkan oleh Taga et al (1984) sedang
analisis kadar air, mineral, lemak, protein,
analisa
antosianin
karbohidrat dan serat kasar. Hasil analisa
menggunakan metode yang dikembangkan oleh
proksimat komponen beras wulung dan beras
Markakis (1982). Analisa dilakukan baik pada
merah sebagaimana tampak pada Tabel 1.
kandungan
total
beras wulung sebelum dimasak (beras pecah
Tabel 1 tampak bahwa pada semua
kulit), tepung beras wulung dan nasi beras
komponen yang diuji antara beras wulung
wulung
pengaruh
(beras hitam) dan beras merah tidak banyak
perubahannya. Proses penanakan nasi dilakukan
perbedaan. Tampak pula bahwa baik beras
seperti terlihat pada Gambar 2, sedang proses
wulung
pembuatan powder/tepung seperti tampak pada
terbesar adalah karbohidrat yaitu 64,98 % pada
Gambar 3. Analisa Kandungan Total Antosianin
beras wulung sedang beras merah adalah
(Markakis, 1982). Analisa Kandungan Total
65,59%.
untuk
mengetahui
Phenol (Taga et al, 1984)
maupun
beras
merah
komponen
Kadar protein baik pada beras wulung maupun beras merah juga relatif tinggi yakni 15,41%. Hasil ini memperlihatkan jauh lebih
Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan
tinggi dibanding penelitian Sompong et al
dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak
(2011) yang menunjukkan dari 9 varietas beras 59
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
merah yang diuji kadar maksimum kadar
Gambar 4 tampak bahwa terdapat
protein adalah 10.36 ± 0.04 %. Pada 3 varietas
perubahan fisik yang sangat berbeda dari bahan
beras hitam yang diuji berkisar 8.17 ± 0.41 %
awal yaitu beras wulung pecah kulit baik
(minimum) dan 10.85 ± 0.09 % (maksimum).
setelah diolah menjadi tepung beras wulung
Kadar lemak (4,23% pada beras wulung
maupun menjadi nasi wulung. Perbedaan terjadi
dan 4,15% pada beras merah) serta kadar
karena beras telah mengalami penambahan air
mineral total (beras wulung 2,04% dan beras
dan perlakuan panas. Selain perubahan fisik
merah 1,57%) pada sampel yang diuji diperoleh
tersebut beras wulung juga diuji perubahan
hasil yang mirip dengan yang dilakukan
kimianya
Sompong et al (2011) yang mempelihatkan
poliphenolnya
diantara sampel yang diuji bervariasi 2.85 ±
antosianin.
khususnya (total
terhadap phenol)
komponen dan
kadar
0.09 - 3.72 ± 0.06 % kadar lemak beras hitam
Hasil penelitian terhadap kandungan
dan 1.74 sampai 1,48 g/100 g db) kadar
total phenol baik pada saat masih dalam bentuk
mineral. Sedang Deepa et al. (2008) dalam
beras, setelah diolah menjadi tepung beras
penelitiannya terhadap beras Njavara, yaitu
wulung dengan cara sangrai serta diolah
beras berwarna merah yang dipercaya berkasiat
menjadi nasi beras wulung dengan Rice cooker
obat (a medicinal rice) di India mempunyai
tampak sebagaimana pada Gambar 5.
komponen 73% Karbohidrat, 9.5% protein,
Gambar 5 menunjukkan bahwa tidak
2.5% lemak, 1.4% abu.
terdapat perbedaan kadar total phenol antara beras wulung (pecah kulit) dengan yang telah
Pengaruh Pengolahan Beras terhadap Kandungan Total Phenol
diolah menjadi nasi wulung, namun terdapat
Wulung
perbedaan yang signifikan (P<0,05) dengan
Pemasakan (pengolahan) beras menjadi
tepung
beras
wulung.
Hal
ini
diduga
produk siap konsumsi dimaksudkan untuk
dikarenakan pada pengolahan tepung beras
memudahkan
Dalam
wulung ini melalui suatu proses pengayakan (60
penelitian ini dilakukan 2 (dua) pengolahan
mesh) setelah diblender. Produk tepung beras
yaitu pengolahan beras wulung menjadi tepung
wulung yang diuji adalah tepung yang lolos
beras
penyangraian
pengayakan. Kemungkinan bahan-bahan yang
(penggorengan tanpa menggunakan minyak),
tidak lolos pengayakan adalah bahan-bahan
dalam hal ini menggunakan media pasir.
yang sulit hancur dengan blender padahal
Pengolahan yang kedua adalah pengolahan
diduga masih mengandung bekatul yang cukup
beras wulung menjadi nasi wulung dengan
tinggi. Bekatul adalah bagian beras yang
menggunakan alat penanak nasi Rice cooker
mengandung
selama 50 menit. Produk hasil penelitian
Dibandingkan tepung beras pecah kulit (PK),
tampak sebagaimana pada Gambar 4.
bekatul mengandung lebih banyak antioksidan
wulung
proses
dengan
pencernaan.
cara
60
senyawa
phenol
tinggi.
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
dan
berhubungan
dengan
nilai
kapasitas
terhadap kadar antosianin yang dikandung
antioksidan yang tinggi pula (Aguilar-Garcia, et
dalam
al (2007). Sementara Randhir et al (2008)
sebagaimana dalam Gambar 6. Dari Gambar 6
menyatakan penurunan kandungan total phenol
tersebut terlihat bahwa terdapat perubahan
yang diobservasi dalam soba (buckwheat)
kadar antosianin yang signifikan (P<0,05)
kemungkinan
dari
antara beras wulung (berupa beras pecah
proses
kulit/PK) dengan tepung beras wulung maupun
beberapa
dikarenakan
komponen
degradasi
phenol
oleh
pemanasan.
masing-masing
produk
tampak
nasi beras wulung.
Dari hasil penelitian terhadap kadar total
Kadar antosianin beras wulung pecah
phenol dengan perhitungan basis basah (wet
kulit sebesar 2,506±0,02 mg/100g sampel
basic) diperoleh kadar total phenol beras
(%wb), sedang tepung beras dan nasi berturut-
wulung, tepung beras wulung, dan nasi beras
turut 2,133±0,06 dan 0,153±0,01 mg/100g
wulung berturut-turut adalah 0,656, 0,484 dan
sampel (%wb). Dalam basis perhitungan dry
0,27 mg ekuivalen asam gallat /100 g (%wb).
basis kadar antosianin beras wulung pecah kulit
Namun setelah dilakukan perhitungan secara
adalah 2,8918 mg/100g, tepung beras wulung
basis
2,4091 dan nasi beras wulung adalah 0.4741
kering
(dry
basic)
diperoleh
hasil
sebagaimana tampak pada Gambar 5. Kadar
mg/100g.
Kadar antosianin tersebut berbeda
total phenol beras wulung adalah 0,76 ±0,04
dengan kandungan antosianin beras hitam
mg ekuivalen asam gallat /100 g (% db), setelah
setengah sosoh (SSH) dan pecah kulit (PK)
diolah menjadi tepung beras wulung kadar total
yang diteliti oleh Swasti dan Astuti (2007) yang
phenol adalah 0,55±0,02 mg ekuivalen asam
mempunyai kandungan antosianin 149 ± 11
gallat /100 g (% db) dan setelah menjadi nasi
mg/100g (db) dan 152 ± 16 mg/100g (db).
beras wulung total phenol sebesar 0,84 ±0,06
Beras wulung yang masih berupa beras
mg ekuivalen asam gallat /100 g (% db). Kadar
pecah kulit (Brs W.PK) memiliki kadar
air bahan berpengaruh terhadap kadar suatu
antosianin yang paling tinggi, diikuti tepung
komponen per satuan bahan oleh karena untuk
beras (Tep Brs W) dan nasi beras wulung (Nasi
melihat
komponen
Brs W). Hal ini dikarenakan produk berupa
tersebut lazimnya dilakukan dalam dry basic
beras pecah kulit belum mengalami perlakuan
(db).
panas dibanding dengan kedua produk yang
perubahan
kandungan
lain. Nasi beras wulung mengalami penurunan Pengaruh Pengolahan Beras terhadap Kandungan Antosianin Pengaruh
pemasakan
beras
kadar antosianin yang paling tinggi dikarenakan
Wulung
proses
pengolahan
beras
menjadi
nasi
memerlukan perlakuan panas yang lebih tinggi
wulung
dan lebih lama dibanding dengan proses
menjadi nasi wulung dan tepung beras wulung
pembuatan tepung beras wulung, disamping itu 61
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
pada proses pembuatan tepung beras wulung
Penelitian lanjut masih perlu terus
juga beras tidak mengalami proses pencucian
dilakukan untuk mengetahui cara pengolahan
sehingga
kandungan
yang tepat dari beras wulung untuk memperoleh
antosianin tidak terikut terbuang bersama air
bukti bahwa beras wulung mempunyai potensi
bekas pencucian.
sebagai diet penderita diabetes mellitus.
kemungkinan
besar
Hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa untuk mengambil manfaat dari beras wulung
khususnya
terhadap
DAFTAR PUSTAKA Aguilar-Garcia, C.; Gavino, G.; BaraganoMosqueda, M.; Hevia, P.; Gavino, V. C. Correlation of tocopherol, tocotrienol, γ-oryzanol and total polyphenol content in rice bran with different antioxidant capacity assays. Food Chem. 2007, 102, 1228-1232.
kandungan
antosianin, sebaiknya pemasakan beras wulung dilakukan
dengan
dibuat
menjadi
tepung
(powder). Pengolahan beras wulung menjadi tepung hanya mengalami sedikit pemanasan
Anonim, 2010. Boyolali dalam Angka 2009. BPS Kab. Boyolali.
yaitu dengan penyangraian.
Deepa,G, Vasudeva Singh, K. Akhilender Naidu., 2008. Nutrient Composition and Physicochemical Properties of Indian Medicinal Rice – Njavara. Food Chemistry 106 : 165–171
KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa : 1.
Komponen dominan dari beras wulung
Fardiaz, Dedi, 1997. Makanan Fungsional dan Pengembangannya melalui Makanan Tradisional. Prosiding Seminar Tekn. Pangan, 5-8 Juli, Yogyakarta.
(beras hitam) adalah karbohidrat (64,98 %wb). Kadar protein total 15,41%wb, kadar lemak 4,23%wb, mineral (abu) 2,04
Hanhineva, Kati, Riitta Törrönen, Isabel Bondia-Pons, Jenna Pekkinen, Marjukka Kolehmainen, Hannu Mykkänen and Kaisa Poutanen, 2010. Impact of Dietary Polyphenols on Carbohydrate Metabolism. Review. Int. J. Mol. Sci. 2010, 11, 1365-1402
%wb, serat kasar 3,52 %wb serta kadar air 13,34%. 2.
Tidak terdapat perbedaan kadar total phenol antara beras wulung (pecah kulit) dengan yang telah diolah menjadi nasi
Hiemori,Miki, Eunmi Koh and Alyson E. Mitchell, 2009. Influence of Cooking on Anthocyanins in Black Rice (Oryza sativa L. japonica var. SBR). J. Agric. Food Chem., (5): 1908-1914.
wulung, namun terdapat perbedaan yang signifikan dengan tepung beras wulung. 3.
Terjadi perubahan penurunan kandungan antosianin
yang
signifikan
Hilliam, M. 2000. Functional Food : How big is the Market? World of Food Ingredients 12 : 50-53.
dalam
pengolahan beras wulung (beras hitam)
Kristamtini, 2009. Mengenal Beras Hitam dari Bantul. http://www.litbang.deptan.go.id/arti kel/
menjadi tepung beras wulung dan nasi wulung. Penurunan kandungan antosianin mencapai 83,60% terjadi pada pengolahan dengan pemasakan menjadi nasi wulung. 62
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
Lai,Phoency, Ken Yuon Li, Shin Lu, Hua Han Chen, 2009. Phytochemicals and Antioxidant Properties of Solvent Extracts from Japonica Rice Bran. Food Chem. 117:538-544
Scalbert, A., Johnson, I.T., Saltmarsh, M., 2005. Polyphenols: antioxidants and beyond. American Journal of Clinical Nutrition 81: 215S–217S. Solopos, 2 April 2011. Boyolali Kembangkan Beras Wulung.
Markakis,Perieles, 1982. Anthocyanins as Food Colors. Academic Press, Inc, London.
Sompong,R, Siebenhandl-Ehn,S, G.LinsbergerMartin, E. Berghofer, (2011). Physicochemical and Antioxidative properties of Red and Black Rice Varieties from Thailand, China and Sri Lanka. Food Chemistry 124: 132–140
Muchtadi, D, dan C. Hanny Wijaya, 1996. Pangan Fungsional : Pengenalan dan Perancangan. Kursus singkat “ Makanan Fungsional dan Keamanan Pangan” PAU PAngan dan Gizo, UGM, Yogyakarta.
Suyono, S., 2006, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III edisi 4, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, Jakarta, hal. 1874-1878.
Ono, K., Sugihara, N., Hirose, Y. dan Katagiri, K., 2003. An Examination of Optimal Solvents for Anthocyainin Pigments from Black Rice Produced in Gifu. J. Agric. Food Chem., 2003, 51 (18), pp 5274–5279. Perkem
Swasti, Yuliana Reni dan Mary Astuti, 2007. Aktivitas Antioksidan Antosianin Beras Hitam Dalam Low-Density Lipoprotein (LDL) Plasma Darah Manusia Secara In Vitro. Thesis. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Ind (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia), 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia 2006. Fakultas Kedokteran UI. Jakarta
Taga, M.S., Miller, E.E. dan Pratt, D.E.,1984. Chia Sheeds as source of natural lipid antioxidants. Journal of American Oil Chemical Society 61: 928-931)
Pimentel, P, 2007. Diabetes Prevalence Surges to 246 milion. 19th World Diabetes Congress, 3-7 Desember 2006. Cape Town South Africa. Medical Tribune. February. pp 6.
Tri Dewanti W Mubandrio, 2009. Beras Hitam. http://terminalcurhat.blogspot.com/200 9/10/beras-hitamberas-yangmenyehatkan.html
Randhir,R., Young-In Kwon, Kalidas Shetty., 2008. Effect of Thermal Processing on Phenolics, Antioxidant Activity and Health-Relevant Functionality of Select Grain Sprouts and Seedlings Innovative Food Science and Emerging Technologies 9 :355–364
Wild, S.; Roglic, G.; Green, A; Sicree, R.; King, H., 2004. Global prevalence of diabetes: Estimates for the year 2000 and projection for 2030. Diabetes Care 27: 1047-1053.
63
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
Analisis kadar air, karbohidrat, protein, lemak, abu, total phenol dan kadar antosianin
Beras wulung pecah kulit
Pengolahan menjadi nasi
Pengolahan menjadi tepung
Evaluasi kadar zat potensi
Analisis kadar total phenol dan Antosianin
Analisis Data
Pelaporan
Gambar 1. Jalan penelitian secara keseluruhan
Beras wulung sosoh
Pencucian
Air 1:4
Penanakan dalam Rice Cooker, 50 menit
Nasi beras wulung Gambar .2. Diagram alir pengolahan beras wulung menjadi nasi hitam
64
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
Pasir
Beras wulung
Pencucian
Pengeringan (Penjemuran)
Penyangraian dalam wajan stainless steel, 15 menit disertai pengadukan
Penggilingan dengan blender
Pengayakan
Bubuk (powder) beras wulung Gambar 3. Diagram alir pengolahan beras wulung menjadi tepung (powder)
65
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
Beras Wulung
Tepung Beras Wulung
Nasi Beras Wulung
Gambar 4. Beras wulung dan hasil olahannya
66
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013 Perubahan kandungan total phenol selama pengolahan beras wulung t o t a l p h e n o l
0.84
a
0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
0.76
a
b
0.55
Brs W. PK
Tep Brs W
Nasi Brs W
Macam pengolahan
Gambar 5. Kandungan Total phenol mg ekuivalen asam gallat /100 g (% db) pada beras wulung (Brs W.PK= 0,76±0,04), tepung beras wulung (Tep Brs W=0,55±0,02) dan nasi beras wulung (Nasi Brs W=0,84±06). Diagram yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata.
a 2.8918 3.0
k a d a r
a n t o s i a n i n
2.4091 b
2.5 2.0 1.5 1.0
0.4741 c
0.5 0.0 Brs W. PK
Tep Brs W
Nasi Brs W
macam pengolahan
Gambar 6. Perubahan kadar antosianin (mg/100g, %db) beras Wulung (Brs W.PK=2,89±0,02) menjadi tepung beras Wulung (Tep Brs W=2,41±0,06) dan Nasi beras Wulung (Nasi Brs W=0,47±0,01). Diagram yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata. Tabel 1. Hasil Analisa Proksimat Beras Wulung (Hitam) dan Beras Merah Komponen Air Mineral Total Lemak Protein Total Karbohidrat Serat Kasar
Beras Wulung (%,wb) 13,34 2,04 4,23 15,41 64,98 3,52
Beras Merah (%,wb) 13,28 1,57 4,15 15,41 65,59 2,33
67
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
68
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
PEDOMAN PENULISAN NASKAH A. Format Seluruh bagian dari naskah narasi diketik dua spasi pada kertas HVS ukuran kuarto, batas atasbawah dan samping masing-masing 2,5 cm. Pengetikan dilakukan dengan menggunakan huruf bertipe Times New Roman berukuran 12, dengan spasi ganda dan tidak bolak-balik. Gambar dan tabel dari publikasi sebelumnya dapat dicantumkan apabila mendapat persetujuan dari penulisnya. Setiap halaman diberi nomor secara berurutan termasuk halaman tabel/bagan/grafik/gambar/foto pada akhir naskah. Publikasi ilmiah ditulis 15-17 halaman (sekitar 3000 karakter), termasuk gambar dan tabel. Susunan naskah hasil penelitian dibuat sebagai berikut: 1. Judul Ada dua bahasa dalam penulisan judul, yaitu yang pertama menggunakan Bahasa Indonesia dan kedua Bahasa Inggris. Judul menggunakan Bahasa Indonesia dicetak dengan huruf besar pada awal kata (kecuali kata sambung) bertipe Times New Roman berukuran 14 dan spasi satu, sedangkan yang berbahasa Inggris dengan huruf miring. Judul artikel ditulis singkat dan informatif dan mampu menerangkan isi tulisan dengan jumlah maksimal 15 kata. Hindari penggunaan kata yang mempunyai kesan umum seperti penelahaan, studi, pengaruh dan lain-lain. Tidak diperkenankan menggunakan singkatan dan penambahan nama latin. 2. Nama dan Alamat Penulis Penulisan nama ditulis semua nama yang terlibat dan lengkap tidak ada singkatan. Penulisan nama tidak dilengkapi pangkat, kedudukan dan gelar akademik, dan diberi kode (1, 2, 3,...) pada bagian atas nama belakang dari masing-masing nama penulis. Bagian bawah nama diberi alamat korespodensi (alamat institusi) masing-masing nama, dengan mengikuti kode di atas, dan alamat e-mail lembaga yang memungkinkan terjadi korespodensi dengan ilmuwan lain. 3. Abstrak Abstrak merupakan ringkasan yang lengkap dan menjelaskan keseluruhan isi artikel ilmiah. Abstrak ditulis sebaik mungkin agar pembaca dapat menangkap isi artikel tanpa harus mengacu ke artikel lengkapnya. Abstrak ditulis dalam satu bahasa yaitu bahasa Inggris dengan judul “ABSTRACT”, paling banyak terdiri atas 200 kata dalam satu paragrap, diketik huruf miring dengan spasi tunggal. Abstrak berisi ringkasan pokok bahasan lengkap dari keseluruhan naskah (Pendahuluan, Metode Penelitian, Hasil, dan Kesimpulan) tanpa harus memberikan keterangan terperinci dari setiap bab. Abstrak tidak mencantumkan tabel, ilustrasi, rujukan dan singkatan. Untuk menghemat kata, jangan mengulang judul dalam abstrak. 4. Kata Kunci Kata kunci adalah kata-kata yang mengandung konsep pokok yang dibahas dalam artikel. Kata kunci dengan judul “Key words” sebanyak 3 sampai 6 kata ditulis dalam bahasa Inggris diletakkan di bawah abstract dalam satu baris dan cara pengurutannya dari yang spesifik ke yang umum. Kata kunci yang baik dapat mewakili topik yang dibahas dan digunakan untuk mengakses lewat komputer oleh pembaca. 5. Pendahuluan Pendahuluan merupakan pengantar tentang substansi artikel sesuai dengan topik dan masalahnya, terutama alasan-alasan baik teoritis maupun empiris yang melatar belakangi kegiatan penulisan artikel. Memuat secara ekplisit dengan singkat dan jelas tentang arah, maksud, tujuan serta kegunaan artikel agar substansi artikel tidak menimbulkan kerancuan pengertian, pemahaman dan
69
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
penafsiran makna bagi pembacanya. Berisi penjelasan latar belakang atau problematika yang dikaji dan tujuan penelitian dilakukan. Kalimat-kalimat awal seharusnya merupakan hasil pemikiran sendiri, bukan kutipan. Penyajian harus runut secara kronologis, ada kaitan logika antara alinea pertama dengan berikutnya dengan jelas. Kerangka berpikir disajikan secara singkat dan jelas berdasarkan konsep-konsep teoritis yang digunakan untuk membahas, menganalisis dan menafsirkan data, informasi serta temuan-temuan yang diperoleh. Penting dikemukakan pula konsep-konsep pemikiran yang berasal dari temuan-temuan peneliti sejenis, jika mungkin yang terbaru, yang telah dilakukan oleh peneliti atau penulis yang sebelumnya. Pustaka yang digunakan benar-benar mendukung latar belakang yang diungkapkan. Sebaiknya tidak mengutip hasil-hasil penelitian terdahulu yang tidak dipublikasikan. Nama organisme (Indonesia/daerah) yang tidak umum harus diikuti dengan nama ilmiahnya pada pengungkapan pertama kali. 6. Metodologi Metode adalah cara-cara yang digunakan dalam penulisan artikel ilmiah. Metode tersebut harus sesuai dengan metodologi yang digunakan pada saat melakukan penelitian. Berisi informasi teknis (deskripsi bahan, penarikan contoh, prosedur dan pengolahan data) dan diuraikan secara lengkap jika metode yang digunakan merupakan metode baru. Untuk metode yang sudah umum digunakan, cukup dengan menyebutkan pustaka yang diacu. Dalam menulis pelaksanaan teknis penelitian (prosedur) tidak menggunakan kalimat perintah. Bahan kimia yang sangat penting dan khusus untuk analisis disebutkan produsennya. Alat seperti gunting, gelas ukur, gelas kimia, pensil dan lain-lain tidak perlu ditulis, tetapi peralatan khusus untuk analisa (AAS, spektrofotometer, HPLC, GC, dan lain-lain) ditulis secara rinci bahkan sampai ke tipenya. 7. Hasil dan Pembahasan Berisi pengungkapan hasil-hasil penelitian saja, yang dapat disajikan dalam bentuk tubuh tulisan, tabel/bagan/grafik/gambar/foto disertai keterangan yang jelas dan informatif. Penyajian data harus sitematik, perlu dilihat tujuan dan langkah-langkah dalam metode. Narasi data berupa sarinya bukan menarasikan data seperti apa adanya. Penyajian data juga didukung oleh olahan data (bukan data mentah) dan ilustrasi yang baik. Pemberian nomor dibuat secara berurutan sesuai dalam naskah dan dilampirkan secara terpisah dari naskah. Keterangan gambar ditulis di bawah gambar, sedangkan keterangan tabel ditulis di atas tabel dan harus dibatasi dalam tubuh tulisan. Gambar dan bentuk grafik dapat dibuat pada halaman terpisah. Pembahasan bukan sekedar menarasikan data, tetapi berisi interprestasi hasil-hasil penelitian yang diperoleh dan pembahasan yang dikaitkan dengan hasil-hasil penelitian yang pernah dipublikasikan. Dalam menarasikan disesuaikan dengan tujuan dan hipotesa penelitian. Dalam pembahasan juga dilakukan analisa atau tafsiran dan pengembangan gagasan atau argumentasi dengan mengaitkan hasil, teori atau temuan sebelumnya. Ada dua pendekatan dalam melakukan pembahasan dan analisis terhadap data, yaitu pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif bersifat obyektif, positifistik dan bebas nilai, subyektifitas sedapat mungkin dihindari. Pendekatan kualitatif bersifat subyektif, relatifisme dan tidak bebas nilai. Hasil pembahasan dan analisis tidak berpretensi menghasilkan generalisasi, kalaupun ada generalisasi terbatas pada lingkup obyek penelitian. 8. Kesimpulan Simpulan ditulis secara kritis dan cermat dan dilakukan generalisasi (induktif) dibuat dengan hati-hati. Nyatakan simpulan atas hasil dan pembahasan secara singkat, padat, serta tanpa nomor urut. simpulan tidak mencantumkan kutipan dan analisa statistik. 70
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
9. Ucapan Terima Kasih Penulis dapat memberikan ucapan terima kasih kepada penyandang dana penelitian, maupun kepada institusi serta orang yang membantu dalam pelaksanaan penelitian. Nama institusi penyandang dana supaya dituliskan secara lengkap. 10. Daftar Pustaka Daftar pustaka ditulis memakai system nama dan disusun secara abjad. Beberapa contoh: a. Jurnal : Rueppel ML, Brightwell BB, Schaefer J, and Marvel JT. 1997. Metabolism and degradation of glyphosate in soil and water. J Argric Food Chem 25:517-528. b. Buku : Moore-Landecker E. 1990. Fundamental of the fungi. Ed Ke-3. New Jersey:Prenice Hall. d. Abstrak : Kooswardhono, M, Sehabudin. 2001. Analisis ekonomi usaha ternak sapi perah di wilayah Propinsi Jawa Barat. Abstrak Seminar Pengembangan Peternakan Berbasis Sumberdaya Lokal. Bogor, 89 Agustus 2001. Bidang Sosial dan Ekonomi-15. hlm 189. e. Prosiding : Lukiwati D.R. dan Hardjosoewignjo S. 1998. Mineral content improvement of Some tropical legumes with Glamous fungi inoculation and rock phosphate fertilization. Di dalam: Proccedings of the Internal Workshop on Mycorrhiza. Guangzhou, PR China, 6 September – 31 August 1998. hlm 77-79. f. Skripsi/Tesis/Disertasi : Ismunadji M. 1982. Pengaruh pemupukan belerang terhadap susunan kimia dan produksi padi sawah. (Tesis). Bogor.Institut Pertanian Bogor. g. Informasi dari Internet : Hansel L. 1999. Non-target effect of Bt corn Pollen on the Monarch butterfly (Lepidoptera:Danaidae).http://www.ent.iastate. edu/ensoc/ncb99/prog/abs/D81.html. (21 Agustus 1999) Acuan pustaka dalam teks ditulis dengan model nama dan tahun yang diletakkan dibelakang kata-kata, ungkapan atau kalimat yang diacu. Acuan yang ditulis dalam teks harus ada dalam daftar pustaka yang diacu dan sebaliknya bila ada dalam daftar pustaka juga harus ada dalam teks. Kata-kata, ungkapan atau kalimat yang ada alam teks tanpa sumber acuan dapat dianggap sebagai pendapat penulis dan bila ternyata sebenarnya mengacu dari pustaka lain, dapat dianggap plagiat. B. Ketentuan Umum 1. Naskah yang dikirim belum pernah diterbitkan, berupa hasil penelitian atau kajian pustaka yang ditambah pemikiran penerapannya pada kasus tertentu dengan topik yang aktual dalam lingkup pangan dan gizi. 2. Penulis mengirimkan naskah dalam bentuk hard copy rangkap 2 dan soft copy dalam CD atau melalui e-mail. 3. Jadual penerbitan adalah bulan Juli dan Desember. 4. Naskah jurnal untuk edisi yang akan terbit, paling lambat diterima oleh redaksi tiga (3) bulan sebelum jadwal penerbitan. Naskah akan dikoreksi oleh Mitra Bestari yang akan dijadikan dewan redaksi sebagai dasar dalam memutuskan diterima atau tidaknya naskah.
71
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013
72