JURNAL PANGAN DAN GIZI VOL 01 NO. 02 TAHUN 2010

Download Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013. 1. Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun Sirsak (Annona muricata Linn.) B...

0 downloads 721 Views 710KB Size
Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

Aktivitas Antioksidan dan Sifat Organoleptik Teh Daun Sirsak (Annona muricata Linn.) Berdasarkan Variasi Lama Pengeringan Antioxidant Activity and Organoleptic Charecteristic of Soursop (Annona muricata Linn.) Leaf Tea Based on Variants Time Drying Delvi Adri dan Wikanastri Hersoelistyorini Program Studi S-1 Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah Semarang Korespondensi, email: [email protected]

Abstract Soursop leaf has been used traditionally to treat a variety of diseases, because soursop leaf contain antioxidant compound. The research objective to be achieved is to measure and analyze the activity of antioxidant and organoleptic properties of Soursop Leaf Tea by variations in drying time 30, 60, 90, 120, and 150 minutes. Measurement of antioxidant activity using UV-Vis spectrophotometry method (λ 517 nm), whereas the organoleptic parameters : taste, color, aroma, and appearance. Result of studies that a treatment time of drying effect on antioxidant activity of Soursop Leaf Tea. Soursop leaf drying conditions at 50o C with a temperature of 150 minutes give the highest level of antioxidant activity and the lowest EC50 value, but it has lowest a flavor organoleptic. Recommendations, drying temperature of 50o C tailings with drying 150 minutes, and to increase flavor can be done with the added the essen. Key words: soursop leaf tea, antioxidants, drying, and organoleptic charecteristic. PENDAHULUAN

sirsak sebagai obat herbal untuk mengobati

Tanaman sirsak (Annona muricata Linn.)

penyakit kanker, yaitu dengan cara meminum air

berasal dari bahasa Belanda, yakni zuurzak berarti

rebusan daun sirsak segar. Air rebusan daun

kantong asam. Daun sirsak banyak digunakan

sirsak segar dapat menimbulkan efek panas

sebagai obat herbal untuk mengobati berbagai

seperti pada kemoterapi, namun air rebusan daun

penyakit, antara lain : penyakit asma di Andes

sirsak ini hanya membunuh sel-sel yang abnormal

Peru, diabetes dan kejang di Amozania Peru

(kanker) dan membiarkan sel-sel normal tetap

(Zuhud, 2011). Kandungan senyawa dalam daun

tumbuh. Hal ini berbeda dengan efek yang

sirsak antara lain steroid/terpenoid, flavonoid,

ditimbulkan pada pengobatan kemoterapi, dimana

kumarin, alkaloid, dan tanin. Senyawa flavonoid

pengobatan kemoterapi ini tidak saja membunuh

berfungsi sebagai antioksidan untuk penyakit

sel-sel abnormal (kanker)

kanker, anti mikroba, anti virus, pengatur

tetapi sel-sel yang

normalpun ikut mati (Leny, 2006).

fotosintetis, dan pengatur tumbuh (Robinson,

Meskipun air rebusan daun sirsak segar

1995). Masyarakat Indonesia menggunakan daun

telah lama digunakan sebagai obat herbal untuk 1

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

penyakit kanker, namun bentuk teh daun sirsak belum

banyak

digunakan

oleh

2. Proses Pembuatan Teh Daun Sirsak Daun sirsak dicuci bersih dan disortasi.

masyarakat.

Daun sirsak dilakukan proses pelayuan dengan

Karena itu perlu dilakukan kajian tentang analisis antioksidan dalam teh daun sirsak,

suhu 70oC selama 4 menit, didinginkan selama 5

untuk

menit, dan dilakukan penggulungan. Setelah

menggali potensi daun sirsak sebagai minuman

digulung dilakukan proses pengeringan dengan

fungsional yang dapat difungsikan antara lain

suhu 50oC dengan variasi lama pengeringan 30,

sebagai obat herbal untuk penyakit kanker.

60, 90, 120, dan 150 menit dan dilakukan uji kadar air.

METODOLOGI Bahan

ke-5 sampai daun ke-3 dari pangkal batang,

3. Proses Pembuatan Larutan Teh Daun Sirsak Menimbang 100 mg serbuk daun sirsak dan

serbuk Mg, HCl pekat, Amil

ditambahkan 10 mL air

Daun sirsak yang diambil mulai dari daun

alkohol, larutan

Diphenylpicryl-hydrazyl (DPPH) 0,07 mM, dan

dimasukkan

Metanol P.A.

dididihkan.

ke

dalam

panas,

penangas

kemudian air,

dan

Alat Loyang, oven, spektrofotometer UV-Vis,

4. Uji Aktivitas Antioksidan

mortir, stamper, kertas saring, corong, pemisah

a. Uji Kualitatif Senyawa Fenolik 5 ml minuman teh daun sirsak dimasukkan

drupple plate, gelas kecil, sendok kecil, dan

ke dalam tabung reaksi. Ditambahkan 5 tetes

kertas quisioner.

larutan FeCl3 5% dan dikocok kuat. Terbentuknya

Prosedur Penelitian

warna biru kehitaman setelah penambahan FeCl3

Prosedur penelitian meliputi: penyiapan

5% menunjukkan adanya senyawa fenolik.

sampel, pembuatan teh daun sirsak, pembuatan

b. Uji Kualitatif Senyawa Flavonoid 5 ml minuman teh daun sirsak dimasukkan

larutan teh daun sirsak, uji kadar air (AOAC, 1995),

uji

kualitatif

senyawa

fenolik

flavanoid (Lia, 2011), uji kuantitatif

dan

dalam tabung reaksi. Ditambah serbuk Mg, HCl

aktivitas

pekat 1 ml, dan Amyl alkohol 5 ml dan dikocok

antioksidan (metode DPPH dan EC50), dan uji

kuat. Terbentuknya warna jingga dalam larutan

sifat organoleptik (metode scoring).

menunjukkan adanya flavonoid. c. Uji Kuantitatif Aktivitas Antioksidan - Uji Aktivitas Antioksidan Metode DPPH (Pratiwi, 2009) Penentuan aktivitas antioksidan dilakukan

1. Penyiapan Sampel Daun

sirsak

diperoleh

dari

wilayah

Semarang dan diambil pada jam 05.00 WIB. Kemudian

daun

sirsak

dipisahkan

dengan cara 4,0 mL larutan DPPH 0,07 mM

dari

dimasukkan

rantingnya.

ke

dalam

tabung

reaksi

dan

ditambahkan 50 μL larutan uji teh daun sirsak dan 2

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

dihomogenkan dengan vortex, sebagai kontrol

dilakukan 4 kali pengulangan (U). Penentuan

digunakan larutan DPPH tanpa penambahan

ulangan menggunakan rumus galat = (P-1) x (U-

larutan uji. Selanjutnya larutan

diukur dengan

1). Jika dalam penelitian ini menggunakan 5 kali

alat spektrofotometer UV-VIS pada panjang

perlakuan dan 4 kali ulangan maka jumlah galat =

gelombang 517 nm dan operating time 40 menit.

(5-1) x (4-1) = 12. Data

- Uji Aktivitas Antioksidan dengan Effective Concentration (EC50) (Pratiwi, 2009) Parameter yang dipakai untuk menunjukkan

antioksidan

Varian),

efisien atau efficient concentration (EC50) yaitu suatu

zat

antioksidan

yang

pengukuran diperoleh,

aktivitas

dianalisis

uji

pengaruh menggunakan Anova (Analysis Of

aktivitas antioksidan adalah harga konsentrasi

konsentrasi

hasil

sedangkan

data

hasil

pengujian

organoleptik, ditabulasi dan dianalisis dengan uji

dapat

Friedman.

menyebabkan 50% DPPH kehilangan karakter radikal bebasnya atau konsentrasi suatu zat

HASIL DAN PEMBAHASAN

antioksidan yang memberikan % penghambatan

Pembuatan teh daun sirsak didasarkan pada

radikal bebas sampai 50%. Zat yang mempunyai

penelitian Tuminah (2004). Daun teh dilayukan

aktivitas antioksidan tinggi, akan mempunyai

pada 70oC selama 4 menit. Kondisi operasi

harga EC50 rendah (Molyneux, 2004).

pelayuan ini diacu sebagai kondisi optimum pelayuan

5. Uji Sifat Organoleptik dengan Metode Skoring (Rahayu, 2001) Parameter pengujian organoleptik meliputi

daun

sirsak

pada

penelitian

ini.

Sedangkan Proses pengeringan daun sirsak dilakukan pada suhu 50oC, dengan variasi lama

rasa, warna, aroma, dan kenampakan. Panelis

pengeringan 30, 60, 90, 120, dan 150 menit. Uji

memberikan penilaian berupa skor pada blangko

yang dilakukan pada produk teh daun sirsak yang

uji organoleptik teh daun sirsak dan minuman teh

dihasilkan meliputi: uji kadar air, uji aktivitas

daun sirsak.

antioksidan, serta sifat organoleptik. 1. Kadar Air

Rancangan Penelitian Rancangan (Rancangan

Acak

penelitian Lengkap)

Kadar air mempunyai peranan penting adalah

RAL

dengan

faktor

dalam menentukan karakteristik

simpan bahan pangan. Hasil analisis kadar air

tunggal, dimana digunakan 1 level perlakuan.

pada

Variabel independen adalah lama pengeringan teh

teh

daun

pengeringan

daun sirsak dan variabel dependen adalah

sirsak

ditampilkan

berdasarkan pada

waktu

Gambar

1.

Berdasarkan Gambar 1 diketahui bahwa kadar air

aktivitas antioksidan dan sifat organoleptik teh daun sirsak. Jumlah perlakuan ditentukan

serta lama

tertinggi

5

diperoleh

pada

perlakuan

lama

pengeringan 30 menit, sebesar 34,13 % dan kadar

perlakuan (P) dan masing-masing perlakuan

air terendah terdapat pada perlakuan lama 3

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

pengeringan 150 menit, sebesar 8,13%. Hasil uji

bantuan HCl pekat membentuk kompleks dengan

statistik anova menggunakan α 0,05 diperoleh

gugus flavonoid berwarna hijau sampai jingga.

data taraf signifikan p-value; 0,00 dimana p-value

Hasil uji dinyatakan positif, bila timbul warna

< 0,01; sehingga dapat disimpulkan bahwa lama

jingga dari kompleks Magnesium flavanoid

pengeringan berpengaruh sangat nyata terhadap

(Tabel 2).

kadar air. Tabel

Komposisi air pada bahan pangan seperti

2. Hasil Uji Kualitatif Senyawa Flavanoid Teh Daun Sirsak

air bebas dan air terikat, dapat berpengaruh pada No

terikat adalah air yang terdapat dalam bahan

1

Lama pengeringan 30 menit

pangan. Air bebas adalah air yang secara fisik

2 3

60 menit 90 menit

+ +

4

120 menit

+

5

150 menit

+

laju atau lama pengeringan bahan pangan. Air

terikat dalam jaringan matriks bahan seperti membran, kapiler, serat, dan lain lain (Winarno, 2002).

Senyawa flavonoid +

Keterangan : tanda + menyatakan bahwa sampel teh daun sirsak positif mengandung senyawa flavanoid.

2. Uji Aktivitas Antioksidan a. Uji Kualitatif Senyawa Fenolik Menurut Sudjaji dan Rohman (2004), FeCl3

c. Uji Kuantitatif Antioksidan

bereaksi dengan gugus fenolik membentuk kompleks berwarna hijau, ungu sampai hitam.

1) Uji Kuantitatif Antioksidan dengan Metode DPPH Hasil analisis antioksidan teh daun sirsak

Hasil uji sampel teh daun sirsak ditampilkan pada Tabel 1.

dengan metode DPPH yang tersaji pada Gambar 2, diketahui bahwa semakin lama pengeringan

Tabel 1. Hasil Uji Kualitatif Senyawa Fenolik Teh Daun Sirsak No Lama pengeringan 1 30 menit 2 60 menit 3 90 menit 4 120 menit 5 150 menit

semakin tinggi aktivitas antioksidan. Aktivitas antioksidan tertinggi terdapat pada sampel teh

Senyawa fenolik + + + + +

daun sirsak dengan perlakuan lama pengeringan 150 menit, yaitu sebesar 76.06% dan terendah 53,17% pengeringan 30 menit . Hasil uji anova menunjukkan p-value 0,00 dimana p-value < 0,01 sehingga

dapat

diketahui

bahwa

lama

Keterangan : tanda + menyatakan bahwa sampel teh daun sirsak positif mengandung senyawa fenolik.

pengeringan berpengaruh sangat nyata pada

b. Uji Kualitatif Senyawa Flavonoid

pada

Menurut

Robinson

(1995),

aktivitas antioksidan. Kondisi tersebut disebabkan

senyawa

proses

pengeringan

mengakibatkan

meningkatkan zat aktif yang terkandung dalam

flavonoid bereaksi dengan serbuk magnesium dan

daun teh (Winarno, 2004). 4

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

2,9 ; sedangkan nilai terendah terdapat pada teh

2) Uji Aktivitas Antioksidan dengan Nilai Effective Concentration 50 (EC50) Hasil analisis antioksidan teh daun sirsak

dengan lama pengeringan 150 menit, yaitu sebesar 2,6. Hasil uji Friedman menggunakan α

dengan nilai Effective Concentration 50 (EC50)

0,05 diperoleh data taraf signifikan p-value 0,46

yang tersaji pada Gambar 3, diketahui bahwa

dimana p-value > 0,05 sehingga dapat diketahui

semakin lama pengeringan semakin rendah nilai

tidak ada pengaruh lama pengeringan terhadap

EC50, sehingga nilai terendah pada pengeringan

tekstur teh daun sirsak.

150 menit sebesar 82,16 μg/mL dan tertinggi 117,86 μg/mL pada pengeringan 30 menit. Hasil

Aroma

uji anova menghasilkan p-value 0,00 dimana p-

Menurut standar SNI 03-3836-2012 aroma

value < 0,01, sehingga dapat diketahui bahwa

yang baik untuk teh daun sirsak adalah normal

lama pengeringan berpengaruh sangat nyata pada

yaitu harum khas teh. Menurut Ciptadi dan

nilai EC50. Nilai

EC50

umum

digunakan

Nasution, (1979); menyatakan bahwa senyawa

untuk

pembentuk aroma teh terutama terdiri dari

menyatakan aktivitas antioksidan suatu bahan uji

minyak atsiri yang bersifat mudah menguap dan

dengan metode peredaman radikal bebas DPPH. Harga

EC50

berbanding

terbalik

bersifat

dengan

mudah

sehingga

dapat

menghasilkan aroma harum pada teh. Hasil

kemampuan senyawa yang bersifat sebagai

penelitian rata-rata panelis terhadap aroma teh

antioksidan. Semakin kecil nilai EC50 berarti

daun sirsak ditampilkan pada Gambar 5. Nilai

semakin kuat daya antioksidannya (Molyneux,

aroma tertinggi terdapat pada sampel teh dengan

2004).

lama pengeringan

30 menit,

sebesar 3;

sedangkan nilai aroma terendah terdapat

3. Sifat Organoleptik

pada

sampel teh dengan lama pengeringan 150 menit,

a. Organoleptik Teh Daun Sirsak

sebesar 2,5. Hasil uji Friedman didapatkan p-

Tekstur

value 0,00 (p-value < 0,01) sehingga dapat

Tekstur teh yang baik adalah kasar (Dimas,

diketahui bahwa ada pengaruh sangat nyata lama

2008). Proses pengeringan pada daun teh dapat

pengeringan terhadap aroma teh daun sirsak.

menyebabkan perubahan asam pektat. Dimana

Warna

asam pektat akan mengering dan membentuk semacam pernis sehingga

permukaan

Menurut standar SNI 03-3836-2012 warna

teh

teh yang baik

menjadi kering dan kasar. Hasil penelitian ratarata panelis

teh

tertinggi

terdapat

pada

adalah normal yaitu hijau

kecoklatan. Proses pengeringan menyebabkan

terhadap tekstur teh daun sirsak

warna hijau khlorofil pada daun teroksidasi

ditampilkan pada Gambar 4. Nilai organoleptik tekstur

direduksi

menjadi coklat. Hal ini dikarenakan terjadi

lama

peristiwa pencoklatan (Hernani, 2004). Hasil

pengeringan 30, 60, dan 120 menit, yaitu sebesar 5

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

penilaian rata-rata panelis

terhadap warna teh

asam galat akan teroksidasi

menjadi senyawa

daun sirsak tersaji pada Gambar 6. Nilai warna

thearubigin (TR). Senyawa thearubigin bertagung

tertinggi terdapat pada sampel teh dengan lama,

jawab pada aroma harum (Kim et al. 2011). Hasil

pengeringan 30 menit, sebesar 3,2. Sedangkan

penilaian rata-rata panelis

nilai terendah terdapat pada sampel teh dengan

minuman teh daun sirsak ditampilkan pada

lama pengeringan 150 menit, sebesar 1,6. Hasil

Gambar 8. Nilai aroma minuman teh tertinggi

uji Friedman diperoleh p-value 0,00 dimana p-

pada sampel dengan lama pengeringan 60 menit,

value < 0,01 sehingga dapat diketahui ada

sebesar 3,0. Sedangkan nilai terendah terdapat

pengaruh sangat nyata lama pengeringan terhadap

pada sampel dengan lama pengeringan 120 menit,

warna teh daun sirsak.

sebesar 2,05. Hasil uji Friedman didapatkan p-

terhadap aroma

value 0,00 dimana p-value < 0,01 sehingga dapat b. Organoleptik Minuman Teh Daun Sirsak

diketahui ada pengaruh sangat nyata lama

Rasa

pengeringan terhadap aroma minuman teh daun Menurut standar SNI 01-3143-1992 rasa

sirsak.

yang baik minuman teh daun sirsak adalah

Warna

normal yaitu rasa sepet. Katekin adalah tanin

Menurut standar SNI 01-3143-1992 warna

yang tidak mempunyai sifat menyamak dan

minuman teh daun sirsak yang baik adalah

menggumpalkan protein sehingga menghasilkan

normal yaitu cerah. Menurut Arpah (1993),

rasa sepet. (Hafezi et al. 2006). Hasil rata-rata

senyawa teaflavin memberikan warna merah

penilaian panelis terhadap rasa teh daun sirsak

kekuningan, terang dan berpengaruh terhadap

ditampilkan pada Gambar 7. Nilai rasa tertinggi

kejernihan seduhan. Hasil penilaian rata-rata

terdapat pada sampel dengan lama pengeringan

panelis terhadap warna minuman teh daun sirsak

150 menit, sebesar 2,2. Sedangkan nilai terendah

ditampilkan pada Gambar

terdapat pada sampel dengan lama pengeringan

minuman tertinggi terdapat pada sampel dengan

30 menit, sebesar 2. Hasil uji Friedman

lama

menggunakan α 0,05 diperoleh data taraf

Sedangkan nilai terendah terdapat pada sampel

signifikan p-value 0,46 dimana p-value > 0,05

dengan lama pengeringan 120 menit, sebesar 2.

sehingga dapat diketahui tidak ada pengaruh

Hasil uji Friedman diperoleh p-value 0,00 dimana

lama pengeringan terhadap rasa minuman teh

p-value < 0,01 yang berarti ada pengaruh sangat

daun sirsak.

nyata lama pengeringan terhadap warna minuman

Aroma

teh daun sirsak.

Menurut standar SNI 01-3143-1992 aroma

pengeringan

60

9. Nilai warna

menit,

sebesar

3,1.

Kekentalan

minuman teh daun sirsak yang baik adalah

Menurut standar

normal yaitu harum. Pada proses pengeringan

SNI 01-3143-1992

kekentalan minuman teh daun sirsak yang baik 6

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

adalah

norrmal

yaitu

kental.

Katekin

teh

teroksidasi menjadi ortokuinon

yang memadat

membentuk

Senyawa

theaflavin

bertanggung

(TF).

DAFTAR PUSTAKA AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Analytical Chemists, Washington D.C. Arpah, M. 1993. Pengawasan Mutu Pangan. Tarsito. Bandung. Ciptadi, W. dan M. Z. Nasution. 1979. Mempelajari Cara Pemanfaatan Teh Hitam Mutu Rendah untuk Pembuatan Teh Dadak. IPB, Bogor. Durance, T. D., A. Yousif, K. Hyun-Ock, and C. Scaman. 1999. Process for drying medicinal plants. http://www.wipo.int/pctdb/en/wo.jsp/o=200 0074694. Diakses tanggal : 1 Desember 2012. Dimas, T. P. 2008. Teh dan Pengolahanya. Universitas Brawijaya: Malang. Hafezi M, Nasernejad B, Vahabzadeh F. 2006. Optimation of fermentation time for Iranian black tea production. Iran J Chem Chem Eng 25: 39-44. Hernani. 2004. Gandapura : Pengolahan, fitokimia, minyak atsiri, dan daya herbisida. Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Vol. XV (2) : 32-40. Kim Y, Goodner KL, Park J, Choi J, Talcott ST. 2011. Changes in antioxidant phytochemical and volatile composition of Camellia sinensis by oxidation during tea fermentation. Food Chem 129: 1331-1342. Leny, S. 2006. Bahan Ajar Metode Fitokimia. Laboratorium Kimia Organik Jurusan Kimia FMIPA Universitas Airlangga : Surabaya Lia, K., 2011. Modul Praktikum Isolasi dan Standarisasi Bahan Alam. Jilid I. Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi: Semarang. Molyneux, P. 2004. The use of the stable radical diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) for estimating antioxidant activity. J. Sci. Technol. 26(2) : 211-219. Pratiwi, D. 2009. Perbedaan Metode Ekstraksi Terhadap Aktivitas Antioksidan Teh Hitam (Camellia sinensis (L.) dengan Metode DPPH (1,1-difenil-2-pikrilhidrazil ). Skripsi. Sekolah Tinggi Ilmu Farmasi: Semarang. Rahayu, W.P. 2001. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor.

ini

jawab terhadap kekentalan teh

(Hafezi et al. 2006). Hasil penelitian rata-rata

panelis

terhadap kekentalan teh daun sirsak

ditampilkan pada Gambar 10. Nilai kekentalan minuman teh tertinggi pada sampel dengan lama pengeringan 30 dan 60 menit sebesar 2,05. Sedangkan nilai terendah terdapat pada sampel dengan lama pengeringan 120 menit, sebesar 1,6. Hasil

uji

Friedman

menggunakan

α

0,05

diperoleh data taraf signifikan p-value 0,76 dimana p-value > 0,05 sehingga dapat diketahui tidak ada pengaruh lama pengeringan terhadap kekentalan minuman teh daun sirsak.

KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa ada pengaruh lama pengeringan terhadap aktivitas antioksidan teh daun sirsak. Kondisi operasional pengeringan daun sirsak pada suhu 50o C dengan lama pengeringan 150 menit menghasilkan teh daun sirsak dengan aktivitas antioksidan tertinggi dan nilai EC50 terendah. Namun pada kondisi operasional tersebut, teh daun sirsak memiliki nilai organoleptik terendah, khususnya rasa. Untuk mendapatkan teh daun sirsak yang baik dari segi aktivitas antioksidan maupun organoleptiknya, tentang

pengaruh

perlu

dilakukan

penambahan

penelitian

essen

pada

pembuatan teh daun sirsak.

7

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

Robinson T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi (Penerjemah Kosasih Padmawinata), penerbit ITB: Bandung. SNI 03-3836-2012. Sudjadi dan Rohman, A. 2004. Analisa Obat dan Makanan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Tuminah, S. 2004. Teh [Camellia sinensis O.K. var. Assamica (Mast)] sebagai Salah Satu Sumber Antioksidan. Cermin Dunia Kedokteran No. 144. Winarno, F.G., 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Zuhud, E. 2011. Bukti Kedahsyatan Sirsak Menumpas Kanker. Yunita Indah. Cet-1. Agromedia Pustaka: Jakarta.

8

rata-rata kadar air (%)

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

40 35 30 25 20 15 10 5 0

y = -0.198x + 34.89 R² = 0.831

0

50

100 150 waktu pengeringan (menit)

200

nilai aktivitas antioksidan (%)

Gambar 1. Kadar Air Teh Daun Sirsak dengan Variasi Lama Pengeringan 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0

y = 0.168x + 54.44 R² = 0.763

0

50

100 150 waktu pengeringan ( menit)

200

EC50 (μg/mL)

Gambar 2. Aktivitas Atioksidan Teh Daun Sirsak dengan Lama Pengeringan

140 120 100 80 60 40 20 0

y = -0.263x + 115.4 R² = 0.694

0

50 100 150 waktu pengeringan (menit)

200

Gambar 3. Nilai EC50 Teh Daun Sirsak terhadap Lama Pengeringan

9

nilau rata-rata tekstur teh

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

2.95 2.9 2.85 2.8 2.75 2.7 2.65 2.6 2.55 2.5 2.45

2.9

2.9

2.9 2.8

2.6

30

60 90 120 waktu pengeringan (menit)

150

nilai rata-rat aroma teh

Gambar 4. Hasil Penilaian Panelis terhadap Tekstur Teh Daun Sirsak 3

2.95

3

2.8

2.8 2.5

2.5

60 90 120 waktu pengeringan (menit)

150

2.6 2.4 2.2 30

nilai rata-rata warna teh

Gambar 5. Hasil Penilaian Panelis terhadap Aroma Teh Daun Sirsak

4

3.2

3

3

2.8 1.85

2

1.6

1 0 30

60 90 120 waktu pengeringan (menit)

150

Gambar 6. Hasil Penilaian Panelis terhadap Warna Teh Daun Sirsak

10

nilai rata-rata rasa minuman teh daun sirsat

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

2.3

2.2

2.2

2.1

2.1

2.1

2

2

1.85

1.9 1.8 1.7 1.6 30

60 90 120 waktu pengeringan (menit)

150

nilai rata-rata aroma minuman teh daun sirsat

Gambar 7. Hasil Penilaian Panelis terhadap Rasa Minuman Teh Daun Sirsak

3

2.75

3

2.2

2.05

2.2

60 90 120 waktu pengeringan (menit)

150

2.5 2 1.5 1 0.5 0 30

nilai rata-rata warna minuman teh daun sirsat

Gambar 8. Tingkat Penilaian Panelis terhadap Aroma Minuman Teh Daun Sirsak

4 3

2.9

3.1 2.26

2.85 2

2 1 0 30

60 90 120 waktu pengeringan (menit)

150

Gambar 9. Hasil Penilaian Panelis terhadap Warna Minuman Teh Daun Sirsak

11

nilai rata-rata kekentalan teh

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

2.5

2.05

2

2.05

1.85

1.6

1.9

1.5 1 0.5 0 30

60 90 120 waktu pengeringan (menit)

150

Gambar 10. Tingkat Penilaian Panelis terhadap Kekentalan Minuman Teh Daun Sirsak

12

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

Chemical and the Acceptability of Chicken Nuggets as Functional Food with Utilization Rice Bran to Substitute Wheat Flour C. Maliluan, Y. B. Pramono and B. Dwiloka The Master of Animal Husbandry Science, Graduate Program Faculty of Animal Husbandry of Diponegoro University Abstract The purpose of this research was produce a product with the chemical properties and acceptability as well as having health benefits. The research was conducted from July to September 20 12. The variables in this research were insoluble dietary fiber, antioxidant activity, and sensory test. Dietary fiber was measured using the total multienzyme method, antioxidant activity was measured using DPPH method and the acceptability for the sensory test. Completely Randomized Design (CRD) with 4 treatments and 5 replications were used in this research. Treatment in this research was the total substitution of rice bran (w / w), consisting of : T0 = 0%, T1 = 25%, T 2 = 50%, T 3 = 75%, T4 = 100. The data obtained were further processed by analysis of variance to determine the effect of treatment. If there was any significant effect of treatment then it was followed by Duncan’s Multiple Range Test to determine the differences among the treatments. Based on the results of the study showed that the use of rice bran increase insoluble dietary fiber.Similarly, the antioxidant activity, the higher utilization of rice bran, significantly (P <0.05) increased the antioxidant activity of rice bran chicken nuggets. Overall, the use of rice bran as a substitute for wheat flour can improve the chemical properties but lower the acceptability of chicken nuggets as functional food. Keywords: nuggets, rice bran, dietary fiber, antioxidants

1994; Voskuil et al., 1997; Tarrant, 1998;

INTRODUCTION Chicken nuggets are products of processed

Larsson and Wolk, 2006). Dietary fiber is added

meat whom quite popular lately. Besides of the

to

meat

products,

delicious taste, chicken nugget is easy to serve

physiological function / health for consumers, it

as a side dish. However, meat and processed

also provides functional benefits of the final

meat products like chicken nuggets, have a low

product that can be used as an auxiliary material

sources of dietary fiber and compounds that are

in the production process. Nugget

beneficial to health such as vitamins. Their

potential to be enriched with dietary fiber

regular consumption is being associated with

(Darojat, 2010).

various health disorders such as colon cancer,

Ingredient

of

in

addition

dietary

fiber

have

a

has the

can

be

obesity and cardiovascular diseases. Therefore,

produced from various types of plants, such as

additional sources of dietary fiber in meat

rice bran from rice. Rice bran is the outside of

products need to be done to improve the

the rice that escapes into a fine powder in a rice

nutritional value (NCI, 1984; Eastwood, 1992;

milling process. The outer layer is composed of

Johnson and Southgate,

the 13

aleurone

layer

of

rice (rice

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

kernel), endosperm, and germ. Although bran is

with the high content of dietary fiber, and has

available in a large amount in Indonesia, but the

the ability of antioxidant activity whom good

utilisation for human consumption as a source

for our health.

of food

and nutrition were limited. The

utilisation of rice bran limited as fodder

METODOLOGY

(Michwan, 2010).

Materials

Not many people know that rice bran has

Materials used in the manufacture of

a high nutrient content. Rice bran is rich in

Nugget is chicken meat without bones and skin,

vitamin B, vitamin E, essential fatty acids,

rice bran, bread crumbs, wheat flour, skim milk,

dietary

vegetable oil, salt, garlic,onion, pepper, sugar

fiber,

protein,

and

ferulic

acid

orizanol. Rice bran can be consumed as

and water.

functional food, when it prepared properly. Rice bran,

rich

in phytokimia and c-

oryzanol, tocopherols and

C-

Rice bran processing is as follows: fresh

oryzanol mixture of esters derived from the

rice bran sifted 2-3 times. The size of sieve is

reaction of trans-ferulic acid with phytosterol

approximately

and

(Lerma-

(sterilization) it by autoclave for 15-20 minutes,

natural

121 ˚ C. After the sterilization, the rice bran

triterpene

tocotrienols.

Stabilization Of Rice Bran

alcohol

Garcia et al., 2009). C-oryzanol has

antioxidant properties and has also been shown

49 mesh,

then heated

had to sifted before use.

to have properties to reduce cholesterol (Sugano and Tsuji, , 1997; Xu et al., 2001).

Making chicken nuggets

Rice bran chicken nuggets is expected to

Method of making chicken nuggets

become alternative of food functional in the

include: chicken meat is cleaned from the skin

presence of dietary fiber, unsaturated fatty

(chicken) and bone, then cut into pieces

acids, antioxidants and vitamins. Brice bran will

approximately 2 cm3, and milled it. Chicken

be used as a substitute for wheat flour in the

meat

formulation of chicken nuggets. Beside of being

seasonings, then stirred, so that it becomes

cheaper, rice bran is easier to obtain compared

dough. The dough is formed with a mold, and

with wheat flour and has a high nutritional

covered with aluminum foil, then steamed until

content. Rice bran chicken Nugget, will be

cooked. Dough that has been steamed and then

analyzed

cooled. The dough is then cut approximately 2

the

chemical

and

Sensory

plus flour, rice bran, water, and

cm3. Sliced nuggets at this stage, then smeared

Characteristics (acceptability). In this reserch, rice bran would be a

with egg white and rolled in bread crumbs, then

source of dietary fiber whom added to the

fried for 2-3 minutes, until the colour is light

chicken nuggets with the aim to produce food

yellow (Bintoro, 2008). 14

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

activity. Dietary fiber and antioxidants play an

Chemical characteristics of chicken nuggets Levels

of

insoluble

dietary

fiber

important role in maintaining a healthy body.

were analyzed using multienzyme method (Asp et al., 1983). Antioxidant

activity

of

Insoluble dietary fiber

the chicken nuggets was measured by DPPH method

Based on the data shown in Table 4, it

(1,1-difenil-2-pikrilhidrazil)

can be seen that the replacement of wheat flour

(Carrapeiro et al., 2007).

with rice bran increase the levels of insoluble dietary fiber on chicken nugget products. The

Test of sensory characteristics of Chicken Nugget (Acceptability)

results of this research, in accordance with the results of Damayanthi et al., (2001), soluble

Sensory test is using scoring method

fiber of whole rice bran is 1.89% (dry matter)

with 15 untrained panelists. Panelists provide

and insoluble dietary fiber 15.55% (dry matter),

assessments according the instructions (Kartika

while the “kunci biru wheat respectively 2.44%

et al., 1998).

(dry matter) and 2.97% (dry matter). Thus, the higher the addition of rice bran, the higher level

Analysis of data

of insoluble dietary fiber. In the test of raw

Data obtained from the test results of

material (rice bran), insoluble dietary fiber level

chemical and physical characteristics were then

is 41.29% (bk). These results are higher than the

analyzed using various analysis (ANOVA),

standard, due to the rest of bran and husk in the

with a significance level of 5%. If there was any

rice

significant effect of treatment then it was

bran. According

to

Damayanthi et

al., (2010) the commercial rice milling

followed by Duncan’s Multiple Range Test to

in

Indonesia will produce a mixture of bran (outer

determine the differences among the treatments.

brown rice - the rough) and rice bran (the inside

(Dwiloka and Srigandono, 2006) to determine

of the brown rice – the refined).

differences between treatments. Sensory test data

were

analyzed

by

non-parametric

The antioxidant activity

analysis through hedonic Kruskal-Wallis test

Based on the data shown in Table 4, it

(Saleh, 1996).

can be seen that the replacement of wheat flour with rice bran affects to the antioxidant activity

RESULTS AND DISCUSSION

of the chicken nugget products. The higher the

Chemical characteristics of chicken nuggets

addition of bran, antioxidant activity increased

Chemical characteristics of rice bran chicken nuggets

whom

have

a

in the nugget, in addition, T0 has the lowest

functional

antioxidant activity, as there is no addition of

properties were dietary fiber and antioxidant

rice bran. Crude rice bran (CRB), a by-product of rice milling, is rich in phytochemicals of high 15

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

nutritional

value,

tocopherols

and

as

c-oryzanol,

acceptable)

tocotrienols.

c-Oryzanol

acceptable). According Damayanthi (2001), the

consists of a mixture of ester compounds

substitution rate of 40% bran flour on the pastry

derived from the reaction of trans-ferulic acids

snacks such as cucur, bolu kukus, nagasari and

with

alcohols

risoles gives the best acceptance rate of

(Lerma-Garcia et al., 2009). c-Oryzanol has

substitution among others. Higher utilisation pf

natural antioxidant properties and has also been

rice bran lower the level of preference on the

shown to have remarkable cholesterol reducing

snacks. Garcia et al., (2002) mentions, the

properties (Sugano and Tsuji, 1997; Xu et al.,

addition of fiber cereals (wheat and oats) 1.5

2001).

and 3% and fruit (peaches, apples and oranges)

phytosterols

such

and

triterpene

and

the

lowest

T4

(2.10-

The higest antioxidant activity of the

in dry fermented sausages significantly affect

chicken nugget at T3 treatment, whereas the T4

the sensory properties of the product. Best

treatment

results obtained on the sausage with pork fat

decreased. It

is

alleged,

the

antioxidants is a result of mailard reaction in the

content of 10% and 1.5% fiber fruit.

frying process. Maillard reaction is a reaction between the carbonyl group especially reducing CONCLUTION

sugars with amino groups mainly of amino acids, peptides and proteins (Whistler and

Based on these results, can be concluded

Daniel, 1985). One of the antioxidants produced

that the higher the use of rice bran as a

from processing can be produced from the

substitute for wheat flour increased insoluble

Maillard reaction (Bailey and Won Um, 1992).

dietary fiber on chicken nuggets. Similarly, the antioxidant activity, the higher the use of rice

Sensory characteristics of chicken nuggets

bran, increase the antioxidant activity in rice

Organoleptic tests carried out to determine

bran chicken nuggets. Overall, the use of rice

the level of acceptance and assessment sample

bran as a substitute for wheat flour can increase

by panelists, ie chicken nuggets with utilization

the chemical characteristics (dietary fiber and

rice bran to substitute wheat flour. Based on the

antioxidant activity) of chicken nuggets. Based

statistic analysis using the non-parametric

on

Kruskal-Wallis test, the p-value of acceptability

tes/sensory characterictic, the best treatment

test 0.007 <0.05 value of criticism, so the null

with the use of 75% rice bran as a wheat flour

hypothesis is rejected, that shown there is a

substitute.

the

physicochemical

and

organoleptic

difference in five groups of scores with the acceptability chicken nuggets in each treatment. REFERENCES

A test score results showed chicken nuggets, the

Asp, N-G., C-G. Johanson, H. Halmer, dan M. Siljestrom. 1983. Rapid enzymatic assay

highest ranking values is T0 (1.42- Extremely 16

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

of insoluble and soluble dietary fiber. J. Agric. Food. Chem. (31): 476-482.

Larsson, S. C and A.Wolk. 2006. Meat consumption and risk of colorectal cancer: A meta-analysis of prospective studies. Int Journal of Cancer, 119(11), 2657–2664.

Bailey ME, dan Won Um K. 1992. Maillard reaction and lipid oxidation. Di dalam: Angelo AJS. Lipid Oxidation in Food. ACS symposium series. .New York: August 25-30.

Lerma-Garcia, M.J., J.M. Herrero-Martinez, E.F. Simo-Alfonso, C.R.B. Mendonca, and R. Ramis-Ramos. 2009. Composition, industrial processing and applications of rice bran c-oryzanol. Food Chem. 115, 389–404.

Bintoro, V. P. 2008. Teknologi Pengolahan Daging dan Analisis Produk. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang.

Michwan A. 2010. Potensi dan karakter rice bran oils. Food 5(7): 40-42.

Carrapeiro et al. 2007. Effect of lycopene on biomarkers of oxidative stress in rats supplemented with R-3 polyunsaturated fatty acid. Food Research International, 40, 939-946.

NCI.

Damayanthi E., I. R. Sofia, dan S. Madanijah. 2001. Sifat Fisikokimia dan daya Terima Tepung Bekatul Padi Awet sebagai Sumber Serat Makanan. Dalam L. Nuraida & R. Dewanti-Riyadi(Eds). Pangan Tradisional Basis Bagi industri Pangan Fungsional dan Suplemen. IPB, Bogor. (hal 245-261).

1984. Diet, Nutrition and Cancer Prevention: A Guide to Food Calories. (NIG Pub. 85-2711). National Cancer Institute, US. Dept. of Health and Human Services.

Saleh, S. 1996. Statistik Non Parametrik. BPFE, Yogyakarta. Sugano, M., and E. Tsuji. 1997. Rice bran oil and cholesterol metabolism. Journal of Nutr. 127: 521S–524S. Tarrant, P. V. 1998. Some recent advances and future priorities in research for the meat industry. Meat Sci. 49, S1–S16.

Darojat, D. 2010. Manfaat penambahan serat pangan pada produk daging olahan. Food Review, 5(7) : 52-53.

Voskuil, D. W., E. Kampman, M. J. A. L. Grubben, R. A. Goldbohm, H. A. M. Brants, and H. F. A.Vasen. (1997). Meat consumption, preparation and genetic susceptibility in relation to colorectal adenomas. Cancer Letters, 114, 309–311.

Dwiloka, B. dan B. Srigandono. 2006. Metodologi Penelitian; Aplikasinya dalam Ilmu Pertanian dan Pangan. Universitas Diponegoro, Semarang. Eastwood, M. A. 1992. The physiological effect of dietary fibre: an update. An. Rev. of Nutr. 12, 19–35.

Winarti, S. 2010. Makanan Fungsional. Graha Ilmu, Yogyakarta.

Johnson, I.T and D.A.T. Southgate. 1994. Dietary Fibre and related substance. In J. Edelman and S. Miller (Eds.) Food Safety Series (pp. 39–65). London: Chopman & Hall.

Whistler, R. dan Daniel JR. 1985. Carbohydrate. Di dalam: Fennema OR (eds). Food Chemistry. Marcel Dekker. Inc, New York.

Kartika, B., P. Hastuti dan W. Supartono. 1988. Pedoman Uji Inderawi Bahan Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Xu, Z., N. Ua, and J.S. Godber. 2001. Antioxidant activity of tocopherols, tocotrienols, and c-oryzanol components from rice bran against cholesterol oxidation accelerated by 2,20-azobis (217

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

methylpropionamidine) dihydrochloride. J. of Agric. and Food Chem. 49: 2077– 2081. Tabel 1. Composition of nugget ingridients (gr) Materials Chicken Meat Filler - Wheat flour - Rice Bran Binder - Skim milk Seasoning - Garlic - Onion - Pepper powder - Msg - Salt - Sugar

To 400,00

T1 400,00

40,00 0,00

30,00 10,00

40,00 8,00 4,00 4,00 2,00 6,00 3,00

Treatments T2 400,00

T3 400,00

T4 400,00

20,00 20,00

10,00 30,00

0,00 40,00

40,00

40,00

40,00

40,00

8,00 4,00 4,00 2,00 6,00 3,00

8,00 4,00 4,00 2,00 6,00 3,00

8,00 4,00 4,00 2,00 6,00 3,00

8,00 4,00 4,00 2,00 6,00 3,00

T0 = Rice bran 0% (control) from filler total T1 = Rice bran 25% from filler total T2 = Rice bran 50% (from filler total T3 = Rice bran 75% from filler total T4 = Rice bran 100% from filler total

Tabel 2. Scores of acceptability Score 1 2 3 4 5

Acceptability Extremely acceptable acceptable Rather acceptable Not acceptable Extremely not acceptable

Tabel 3. Average of Insoluble dietary fiber and antioksidant activity of chicken nugget Variable Insoluble dietary fiber (%) Antioksidant activity(%)

0 11.58 0.72

The filler substitutions level of rice bran (%) 25 50 75 10.35 11.98 12.64 2.29 3.01 5.35

18

100 12.96 2.48

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

SIFAT- SIFAT GEL GELATIN TULANG CAKAR AYAM Geling Properties of Chicken Shank Bone Gelatin D. A. P. Puspitasari, V. P. Bintoro dan B. E. Setiani Mahasiswa Magister Ilmu Ternak Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang Email Korespondensi: [email protected] Abstract The purpose of the study was to investigate the soaking effect of different HCl concentration, soaking time and the interaction on geling properties (pH values, yield, viscocity, gel strength, melt time and gel of temperature and time) of chicken shank bone gelatin. The materials used were chicken shank bones, HCl, NaOH and liquid soda. The research design used was completely randomized design (CRD) factorial, in which factor A was the concentration of HCl (a 1 = HCl 2%, a2 = HCl 3,5% and a3 = HCl 5%) and factor B was soaking time (b1 = 24 hours, b2 = 36 hours and b3 = 48 hours). The result showed that the use of different HCl concentration, soaking time and the interaction affected geling properties (pH values, yield, viscocity, gel strength, melt time and gel of temperature and time) of chicken shank bone gelatin. The best result came from the interaction of soaking chicken shank bone in 5% concentration of HCl for 48 hours at 4 pH value, yield 1,31%, viscocity (40 – 60 OC) 1,62 – 3,03 cP, gel strength 228,81 bloom, melt in 40 – 60 OC for 0,58 – 3,29 minutes, gel in 10,7 OC for 7,5 minutes. In conclusion, according to GMIA (2012), gel properties of chicken shank bones gelatin by soaking in 5% concentration of HCl for 48 hours recommended to become alternative food additive in food industry. Key words: chicken shank bone, gelatin, gel properties.

PENDAHULUAN

dan Yahudi mengenai bahan makanan dan

Gelatin merupakan suatu produk hasil dari

tambahan pangan yang berasal dari babi (Choi

proses hidrolisis parsial kolagen. Kolagen

and Regenstein, 2000; Oh, 2012) menjadikan

merupakan protein fibrosa yang terdapat pada

potensi tulang cakar ayam (TCA) sebagai salah

tulang, kartilago dan kulit dan ketiga sumber

satu alternatif lain dalam pemilihan bahan baku

tersebut sulit untuk dicerna (Barbooti et al.,

gelatin (Guillen et al., 2011). Potensi cakar

2008; Guillen et al., 2011 dan Jayathikalan et

ayam dapat dilihat dari kandungan kolagen

al., 2011). Penggunaan kulit babi dalam

didalamnya yaitu 5,64 – 31,39% dari total

manufaktur gelatin mencapai 46%, sedangkan

protein (Liu et al., 2001) atau 28,73 - 36,83%

penggunaann kulit dan tulang sapi berturut-turut

dari total protein (Prayitno, 2007).

adalah 29,4% dan 23,1% (Guillen et al., 2011).

Gelatin memiliki fisikokimia yang unik,

Adanya isu dunia mengenai penyakit bovine

yaitu dapat larut dalam air, transparan, tidak

spongiform encephalopathy serta larangan dari

berbau, tidak memiliki rasa (Guillen et al.,

agama Islam

2011) serta memiliki sifat reversible dari bentuk 19

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

sol ke gel, membengkak atau mengembang dalam

air

dingin,

membentuk

Penelitian

dilakukan

dengan

film,

menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL)

mempengaruhi viskositas suatu bahan dan dapat

pola Faktorial 3 x 3 dengan 3 ulangan. Faktor

melindungi sistem koloid (Junianto et al.,

pertama adalah konsentrasi asam pengekstraksi

2006). Kualitas gelatin ditentukan dengan gel

(A) (a1 = HCl 2%, a2 = HCl 3,5% dan a3 = HCl

strength dan stabilitas termal (pembentukan gel

5%) dan faktor kedua adalah lama perendaman

dan suhu leleh). Asam amino prolin dan

(B) (b1 = 24 jam, b2 = 36 jam dan b3 = 48 jam).

hidroksiprolin memberi peran penting terhadap efek gel pada gelatin. Kemampuan membentuk

Prosedur Pembuatan Gelatin Tulang Cakar Ayam

gel, viskositas dan sifat melt in the mouth

Bahan baku yang digunakan adalah tulang

gelatin merupakan kunci dari luasnya aplikasi

cakar ayam (TCA) bagian femur sebanyak 27

gelatin di industri farmasi, kedokteran, fotografi

sampel percobaan. Masing – masing sampel

hingga pangan. (Guillen et al., 2011).

telah mengalami pengacakan sebelum diberi

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

perlakuan sehingga semua sampel memiliki

mengetahui sifat-sifat gel gelatin TCA (pH,

kesempatan yang sama dalam

rendemen, viskositas, gel strength, waktu leleh,

salah satu kombinasi perlakuan konsentrasi HCl

suhu dan waktu jendal) yang dihasilkan dari

dan lama perendaman. TCA yang telah diacak

interaksi antara konsentrasi HCl dan lama

kemudian dilanjutkan proses degreasing yaitu

perendaman yang berbeda. Manfaat yang dapat

proses penghilangan lemak dari jaringan tulang

diperoleh dari penelitian ini adalah dapat

yang masih tersisa, dilakukan pada suhu 60 OC

mengurangi limbah TCA, meningkatkan daya

selama 2 jam, kemudian dilanjutkan proses

jual TCA serta dapat mengurangi tingkat

demineralisasi dengan menggunakan HCl 2%

kekhawatiran masyarakat akan ketidak halalan

dan direndam selama 24 jam.

gelatin sebagai bahan tambahan pangan.

Proses

berikutnya

memperoleh

demineralisasi,

dilakukan penetralan dengan menggunakan air

METODOLOGI

mengalir dan merendamnya selama 15 menit Penelitian ini dilaksanakan dari bulan

dengan soda cair 0,01%. Penggunaan soda cair

September sampai bulan November 2012.

ditujukan untuk mempercepat penetralan dan

Proses pembuatan gelatin serta pengujian

menyempurnakan penghilangan sumsum tulang.

karakteristiknya dilaksanakan di Laboratorium

Proses selanjutnya dilanjutkan dengan proses

Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan

asam,

dan Pertanian, Universitas Diponegoro.

menggunakan HCl dengan konsentrasi

yaitu

merendam

TCA

dengan 2%,

3,5% dan 5% selama 24, 36 dan 48 jam, setelah

Rancangan Penelitian

itu, ossein dinetralkan dengan air mengalir dan 20

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

NaOH 0,1 N selama 15 menit. Ossein

dilihat

diekstraksi

dengan

Berdasarkan perhitungan statistik, penggunaan

menggunakan waterbath. Suhu yang digunakan

berbagai konsentrasi HCl, lama perendaman,

dalam proses ekstraksi berawal dari 65, 75 dan

dan interaksi antara keduanya berpengaruh

85 OC, masing-masing selama 4 jam, kemudian

nyata (p<0,05) terhadap pH gelatin. Hal ini

secara

bertahap

O

dipekatkan pada suhu 75

C selama 2 jam,

secara

menunjukkan

ringkas

bahwa

pada

Tabel

perendaman

1.

dengan

supaya air yang masih terkandung di dalamnya

menggunakan 2-5% HCl selama 24-48 jam

dapat menguap.

mempengaruhi pH gelatin TCA dengan nilai

Gelatin yang sudah dikentalkan kemudian dicetak.

Pencetakan

dilakukan

berkisar antara 3,5-4,14. Mengacu pada GMIA

dengan

(2012), pH gelatin TCA yang sesuai dengan

menuangkan 15 ml (5 ml dalam sekali tuang).

standar dihasilkan dari perendaman

Penuangan berikutnya dilakukan jika gelatin

dengan menggunakan 2% HCl selama 24 jam

sebelumnya

serta 2-5% HCl selama 48 jam dengan pH

sudah

kering.

Pengeringan

dilakukan dengan inkubator (kardus dengan

berkisar

lampu bohlam 10 watt). (Modifikasi Hajrawati

meningkatnya

(2006), Junianto et al. (2006), Yuniarifin et al.

perendaman pH gelatin akan menurun.

(2006); Jayathikalan et al., 2011 dan Puspawati

3,94-4,14.

Seiring

konsentrasi

dan

TCA

dengan lama

Naiknya pH pada perendaman dengan

et al., 2012).

HCl 2 – 5% selama 48 jam, diduga karena

Analisis terhadap gelatin tulang cakar

sumsum TCA mengalami koagulasi pada pH 4

ayam meliputi pH (British Standard 757 1975),

dan sumsum tulang tersebut dapat terangkat

Rendemen

secara

(AOAC,

1995),

Viskositas

sempurna

sehingga

gelatin

yang

350

dihasilkan memiliki pH lebih tinggi dibanding

dihitung menggunakan rumus British Standard

dengan perendaman dengan HCl 2 – 5% selama

757 197), Gel Strength (menggunakan Volland-

24 – 36 jam. Kolagen kulit atau tulang akan

Stevens LFRA Texture Analizer), waktu leleh

mengalami peregangan pada pH di bawah 4 dan

gelatin (Suryaningrum dan Utomo, 2002), dan

di atas 10. Pada pH tersebut, struktur tripel

suhu dan waktu jendal gelatin (Modifikasi

heliks kolagen menjadi single heliks terjadi

Schrieber dan Gareis, 2007).

secara maksimal (Li, 1993 dan Prayitno, 2007).

(menggunakan

viscometer

Ostwald

Pengaruh Perlakuan terhadap Rendemen Gelatin Tulang Cakar Ayam

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rendemen gelatin TCA yang dihasilkan

Pengaruh Perlakuan terhadap pH Gelatin Tulang Cakar Ayam

dari 2-5% HCl dengan 24-48 jam perendaman dapat dilihat secara ringkas pada Tabel 1.

Nilai pH gelatin TCA yang dihasilkan dari

Berdasarkan perhitungan statistik, penggunaan

2-5% HCl dengan 24-48 jam perendaman dapat 21

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

berbagai konsentrasi HCl, lama perendaman,

menunjukan

dan interaksi antara keduanya berpengaruh

menggunakan 2-5% HCl selama 24-48 jam

nyata (p<0,05) terhadap rendemen. Hal ini

mempengaruhi viskositas gelatin TCA berkisar

menunjukan

antara

bahwa

perendaman

dengan

bahwa

perendaman

1,12-4,69

cP.

dengan

Dengan

menggunakan 2-5% HCl selama 24-48 jam

mempertimbangkan standar pH (3,8-5,5) dan

mempengaruhi rendemen gelatin TCA sebanyak

viskositas (1,5-7,5 cP) dari GMIA (2012),

0,38-3,25%.

gelatin

viskositas gelatin TCA terbaik dihasilkan dari

yang

perendaman 2-5% HCl selama 48 jam dengan

Tingginya

mengindikasikan

rendemen

bahwa

perlakuan

diterapkan itu bekerja secara optimal dan efektif

viskositas sebesar 2-3,03 cP.

(Miwada dan Simpen, 2007). Tinggi

rendahnya

Tinggi

rendemen

gelatin

rendahnya

viskositas

diduga

dipengaruhi oleh pH hasil dari interaksi antara

diduga dipengaruhi oleh pH hasil dari interaksi

konsentrasi

antara konsentrasi HCl dan lama perendaman.

Rendahnya viskositas gelatin TCA pada pH 3,5

Rendahnya rendemen pada pH 3,5 (perendaman

(perendaman TCA dengan HCl 2% selama 36

TCA dengan HCl 2% selama 36 jam) yaitu 0,88

jam) yaitu 1,51 cP dan pH 4,14 (perendaman

% dan pH 4,14 (perendaman TCA dengan HCl

TCA dengan HCl 2% selama 24 jam) yaitu 1,32

2% selama 24 jam) yaitu 0,38% menunjukkan

cP menunjukan bahwa pada kisaran pH ini

bahwa struktur kolagen mengembang dan

memiliki nilai geser tinggi karena sedikit

terbuka secara minimal pada pH 3,5 dan pH

mengandung gelatin sehingga viskositas yang

4,14,

dihasilkan

sedangkan

struktur

kolagen

akan

HCl

dan

minimum.

lama

perendaman.

Viskositas

optimum

mengembang dan terbuka secara optimal pada

diduga terjadi pada kisaran

pH 3,76 (perendaman dengan HCl 5% selama

(perendaman dengan HCl 3,5-5% selama 24

36

jam).

jam).

Pengembangan

dan

terbukanya

struktur kolagen secara optimal ditandai dengan

Menurut See et al. (2010) viskositas

rendemen yang dihasilkan tinggi yaitu 3,25%.

maksimum dihasilkan pada pH 3 dan 10,5. Tingginya

Pengaruh Perlakuan terhadap Viskositas Gelatin Tulang Cakar Ayam

HCl 3,5-5% selama 24 jam memiliki viskositas optimum, akan tetapi memiliki pH yang tidak

Berdasarkan perhitungan statistik, penggunaan

sesuai standar GMIA (2012) yaitu 3,5 – 5,5.

berbagai konsentrasi HCl, lama perendaman,

Gelatin dengan viskositas terbaik dihasilkan

dan interaksi keduanya berpengaruh nyata Hal

bahwa

gelatin yang dihasilkan dari perendaman dengan

dapat dilihat secara ringkas pada Tabel 1.

viskositas.

menunjukkan

rantai asam amino yang panjang. Meskipun

dari 2-5% HCl dengan 24-48 jam perendaman

terhadap

viskositas

gelatin memiliki nilai geser yang rendah serta

Viskositas gelatin TCA yang dihasilkan

(p<0,05)

pH 3,62-3,68

dari perendaman HCl 5% selama 48 jam dengan

ini

pH 4 dan viskositas 3,03 cP. 22

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

jam) sebesar 0 bloom

menunjukan bahwa

Pengaruh Perlakuan terhadap Gel strength Gelatin Tulang Cakar Ayam

dengan kisaran pH ini menghasilkan viskositas

Gel Strength gelatin TCA yang dihasilkan

rendah. Viskositas optimum pada kisaran pH

dari 2-5% HCl dengan 24-48 jam perendaman

3,62-3,68 (perendaman dengan HCl 3,5-5%

dapat dilihat secara ringkas pada Tabel 1.

selama 24 jam) juga disertai dengan gel

Berdasarkan perhitungan statistik, penggunaan

strength yang besar yaitu 1.150,67 bloom. Oleh

berbagai konsentrasi HCl, lama perendaman,

karena

dan interaksi keduanya berpengaruh nyata

perendaman HCl 5% selama 48 jam merupakan

(p<0,05)

ini

gelatin terbaik dan sesuai dengan standar GMIA

dengan

(2012) dengan pH 4, viskositas 3,03 cP dan gel

terhadap

menunjukkan

gel

bahwa

strength. perendaman

Hal

minimum disertai dengan gel strength yang

itu,

gelatin

yang

dihasilkan

dari

menggunakan 2-5% HCl selama 24-48 jam

strength sebesar 422,2 bloom.

mempengaruhi gel strength gelatin TCA dengan

Pengaruh Perlakuan terhadap Waktu Leleh Gelatin Tulang Cakar Ayam

nilai berkisar antara 0-1150,67 bloom. Dengan (3,8-5,5),

Waktu leleh gelatin TCA yang dihasilkan

viskositas (1,5-7,5 cP) dan gel strength (50-300

dari 2-5% HCl dengan 24-48 jam perendaman

bloom) dari GMIA (2012), gel strength gelatin

dapat dilihat secara ringkas pada Tabel 1.

TCA terbaik dihasilkan dari perendaman 3,5-

Berdasarkan perhitungan statistik, penggunaan

5% HCl selama 48 jam dengan gel strength

berbagai konsentrasi HCl, lama perendaman

sebesar 263,07-228,81 bloom. Berdasarkan nilai

dan interaksi keduanya berpengaruh nyata

bloom-nya, gel strength gelatin TCA termasuk

(p<0,05)

dalam jenis medium-high bloom (Schrieber dan

menunjukan

Gareis, 2007). Berdasarkan standar GMIA

menggunakan 2-5% HCl selama 24-48 jam

(2012), yaitu 50-300 bloom cocok untuk edible

mempengaruhi waktu leleh gelatin TCA yaitu

film, food ingredient, soft and hard capsule.

berkisar

mempertimbangkan

standar

pH

terhadap bahwa

antara

mempertimbangkan

Tinggi rendahnya gel strength yang

waktu

leleh.

perendaman

0-3,29

menit.

standar

pH

Hal

ini

dengan

Dengan (3,8-5,5),

dihasilkan diduga dipengaruhi oleh pH dan

viskositas (1,5-7,5 cP) dan gel strength (50-300

viskositas yang dihasilkan dari interaksi antara

bloom) dari GMIA (2012), waktu leleh gelatin

konsentrasi HCl dan lama perendaman. Gel

TCA

strength gelatin TCA pada pH 3,5 dengan

perendaman 5% HCl selama 48 jam dengan

viskositas 1,51 cP (perendaman TCA dengan

waktu leleh sebesar 3,29 menit.

terbaik

(Tabel

1.)

dihasilkan

dari

Tinggi rendahnya waktu leleh gelatin

HCl 2% selama 36 jam) sebesar 63,87 bloom pH 4,14 dengan viskositas 1,32 cP

TCA yang dihasilkan diduga dipengaruhi oleh

(perendaman TCA dengan HCl 2% selama 24

pH, viskositas dan gel strength yang dihasilkan

dan

dari interaksi antara konsentrasi HCl dan lama 23

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

perendaman. Gelatin TCA yang dihasilkan dari

Tabel 1. Berdasarkan perhitungan statistik,

perendaman TCA dengan HCl 2% selama 36

penggunaan berbagai konsentrasi HCl, lama

jam (pH 3,5 dengan viskositas 1,51 cP dan gel

perendaman,

strength

berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap suhu dan

63,87 bloom) memiliki waktu leleh

selama 1,4 menit dan

dan

interaksi

keduanya

gelatin TCA yang

waktu jendal. Hal ini menunjukan bahwa

dihasilkan dari perendaman TCA dengan HCl

perendaman dengan menggunakan 2-5% HCl

2% selama 24 jam (pH 4,14 dengan viskositas

selama 24-48 jam mempengaruhi suhu jendal

1,32 cP dan gel strength 0 bloom) memiliki

gelatin TCA yaitu 0-13,7 OC dengan waktu 0-

waktu leleh selama 0 menit. Hal ini menunjukan

14,7 menit. Dengan mempertimbangkan standar

bahwa dengan kisaran pH 3,5 dan 4,14

pH (3,8-5,5), viskositas (1,5-7,5 cP) dan gel

menghasilkan viskositas minimum yang disertai

strength (50-300 bloom) dari GMIA (2012) dan

dengan gel strength dan waktu leleh yang

waktu leleh gelatin TCA terbaik (Tabel 1.)

rendah sedangkan pada viskositas optimum

dihasilkan dari perendaman 5% HCl selama 48

yang terjadi pada kisaran

pH 3,62-3,68

jam dengan waktu leleh sebesar 3,29 menit,

(perendaman dengan HCl 3,5-5% selama 24

maka suhu jendal terbaik dihasilkan dari

jam) yang disertai dengan gel strength yang

perendaman 5% HCl selama 48 jam dengan

besar yaitu 1.150,67 bloom

suhu jendal 10,7 OC selama 7,5 menit.

juga memiliki

waktu leleh yang rendah.

Meningkatnya suhu dan waktu leleh dan

Rendahnya nilai pH, menyebabkan gelatin

jendal seiring dengan meningkatnya nilai

yang terekstrak lebih banyak sehingga nilai

bloom, viskositas gelatin, berat molekul gelatin,

viskositas

nilai

panjangnya rantai asam amino dan konsentrasi

viskositas menunjukkan bahwa gelatin yang

gelatin yang digunakan (Choi dan Regenstein,

dihasilkan memiliki rantai asam amino lebih

2000; Astawan et al., 2002; Schrieber dan

panjang, yang ditandai dengan nilai gel strength

Gareis, 2007; Abustam et al., 2008).

meningkat.

Meningkatnya

yang besar (Ward dan Courts, 1977; Astawan dan Aviana, 2003; Hafidz et al., 2011) dan

KESIMPULAN

kandungan asam imino yang banyak (prolin dan hidroksiprolin)

yang

merupakan

Berdasarkan hasil penelitian penggunaan

penstabil

perbedaan konsentrasi, lama perendaman, dan

jaringan gel (Bustillos et al., 2006; Hafidz et al.,

interaksinya

mempengaruhi

sifat-sifat

gel

2011; Tavakolipour, 2011).

gelatin TCA. Interaksi yang dihasilkan dari konsentrasi HCl dan lama perendaman yang

Pengaruh Perlakuan terhadap Suhu dan Waktu Jendal Gelatin Tulang Cakar Ayam

berbeda

menghasilkan

gelatin

dengan

Suhu dan waktu jendal gelatin TCA yang

karakteristik pH yang berbeda. Perbedaan pH

dihasilkan dari 2-5% HCl dengan 24-48 jam

ini diduga secara langsung mempengaruhi

perendaman dapat dilihat secara ringkas pada

rendemen dan sifat gel (rendemen, viskositas 24

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

British Standard 757. 1975. Sampling and testing of gelatin. Di dalam : Imeson, editor. Thickening and Gelling Agents for Food. New York :Academic Press. Bustillos, R.J.A., C.W. Olsen., D.A. Olson, B. Chiou, E. Yee, P.J. Bechtel and T.H. McHugh. 2006. Water vapor permeability of mammalian and fish gelatin films. Journal Of Food Science. 71 (4): E202-E207. Choi, S. and J.M. Regenstein. 2000. Physicochemical and sensory characteristics of fish gelatin. Journal of Food Science. 65(2): 194-199 Gelatin Manufacturer Institute of America (GMIA). 2012. Gelatin Hand Book. America. Guillen, M. C. G., B. Gimenez., M. E. L. Caballero and M. P. Montero. 2011. Functional and bioactive properties of collagen and gelatin from alternative sources. Food Hydrocolloids. 25: 18131827. Hafidz, R.M.R.N., C.M. Yaakob, I. Amin, and A. Noorfaizan. 2011. Chemical and functional properties of bovine and porcine skin gelatin. International Food Research Journal. 18: 813–817. Hajrawati. 2006. Sifat Fisik dan Kimia Gelatin Tulang Sapi dengan Perendaman Asam Klorida pada Konsentrasi dan Lama Perendaman yang Berbeda. Tesis Magister Sains, Institut Pertanian Bogor, Bogor (). Jayathikalan, K., K. Sultana, K. Radhakrishna and A.S. Bawa. 2011. Utilization of byproducts and waste materials from meat, poultry and fish processing industries: a review. J Food Sci Technol : DOI 10.1007/s13197-011-0290-7. Jellouli, K., R. Balti, A. Bougatef, N. Hmider, A. Barkia and M. Nasri. 2011. Chemical composition and characteristic of skin gelatin from grey triggerfish (Balistes capriscus). LWT-Food Science and Technology. 44: 1965 – 1970. Junianto, K. Haetami dan I. Maulina. 2006. Produksi Gelatin Dari Tulang Ikan dan Pemanfaatannya Sebagai Bahan Dasar Pembuatan Cangkang Kapsul. Hibah Penelitian Dirjen Dikti. Fakultas

optimal, gel strength, waktu leleh serta suhu dan waktu jendal) gelatin TCA dengan pH terendah sebesar

3,5

dan

tertinggi

sebesar

4,14.

Rendemen tertinggi dihasilkan dari pH 3,76, viskositas optimal dan gel strength besar terjadi pada pH 3,62-3,68, waktu leleh serta suhu dan waktu jendal tertinggi dihasilkan dari pH 4. Berdasarkan sifat-sifat gel yang dihasilkan dan mengacu

pada

standar

GMIA

(2012),

perendaman dengan interaksi antara HCl 5% selama 48 jam menghasilkan gelatin TCA terbaik dan dapat direkomendasikan sebagai alternatif bahan tambahan pangan pada industri pangan. DAFTAR PUSTAKA Abustam, E., H.M. Ali., M.I. Said dan J.CH. Likadja. 2008. Sifat fisik gelatin kulit kaki ayam melalui proses denaturasi asam, alkali dan enzim. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. 724 – 729. Astawan M dan T. Aviana. 2003. Pengaruh jenis larutan perendaman serta metode pengeringan terhadap sifat fisik, kimia dan fungsional gelatin dari kulit cucut. Jurnal. Teknol. dan Industri Pangan. XIV (1):7-13. Astawan, M., P. Hariyadi dan A. Mulyani. 2002. Analisis sifat reologi gelatin dari kulit ikan cucut. Jurnal. Teknol. dan Industri Pangan. VIII (1): 38-46. AOAC. 1995. Official Method of Analysis of Association. Official Agricultural Chemist, Washington, DC. Baker, R.C., P.W. Hahn, and Robbins, K.R. 1994. Fundamentals of New Food Product Development. Elsevier Science B.V., New York. Barbooti, M.M., S.R. Raouf and F.H.K. AlHamdani. 2008. Optimization of production of food grade gelatin from bovine hide wastes. Eng and Tech. 26(2): 240-253. 25

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

Perikanan dan Imu Kelautan, Universitas Padjajaran. Kolodziejska. I., E. Skierka, M. Sadowska. W. Kolodziejska and C. Niecikowska. 2008. Effect of extracting time and temperature on yield of gelatin from different fish offal. Food Chem. 107: 700-706. Li, Shu-Tung. 1993. Collagen biotechnology and its medical application. Biomed. Eng. ppl.Baia Comm. 5: 646-657. Liu, D.C, Y.K. Lin, and M.T. Chen, 2001. Optimum Condition of extrcting collagen from Chicken feet and its caracetristics. Asian-Australasian Journal of Animal Science 14 : 16381644. Miwada, I. N. S dan I. N. Simpen. 2007. Optimalisasi potensi ceker ayam (Shank) hasil limbah rpa melalui metode ekstraksi termodifikasi untuk menghasilkan gelatin. Majalah Ilmiah Peternakan. 10 (1): 5-8. Oh, J.H. 2012. Characteristic of edible film fabricated with channel catfish (Istalurus punctatus) gelatin by crosslinking with transglutaminase. Fish Aquat. Sci. 15 (1): 9-14. Prayitno. 2007. Ekstraksi kolagen cakar ayam dengan berbagai jenis larutan asam dan lama perendaman. Animal Production. 9 (2) : 99 – 104. Puspawati, N.M., I.N. Simpen dan S. Miwada. 2012. Isolasi gelatin dari kulit kaki ayam

broiler dan karakterisasi gugus fungsinya dengan spektrofotometeri FTIR. Jurnal Kimia. 6 (1) : 87 – 79. Schrieber, R and H. Gareis. 2007. Gelatin Handbook. Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA, Germany. See, S.F. Hong, P.K., Ng., K.L Wan Aida, W.M. and A.S Babdji. 2010. Physiscochemical properties of gelatins extracted from skins of different freshwater fish species. International Food Research Journal. 17 : 809 – 816. Suryaningrum, T. D dan B.S.B. Utomo. 2002. Petunjuk Analisa Rumput Laut dan Hasil Olahannya. Pusat Riset pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Perikanan dan Kelautan. Jakarta. Tavakolipur, H. 2011. Extraction and evaluation of gelatin from silver carp waste. World J. of Fish and Mar. Sci. 3 (1): 10-15. Ward, A.G. and Courts, A. 1977. The Science and Technology of Gelatin. Academic Press, New York. Yuniarifin, H., V.P. Bintoro, dan A. Suwarastuti. 2006. Pengaruh berbagai konsentrasi asam fosfat pada proses perendaman tulang sapi terhadap rendemen, kadar abu dan viskositas gelatin. J. Indonesia Trop. Anim. Agric. 31 (1) : 55 – 61.

26

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

Tabel 1. Pengaruh Interaksi Konsentrasi HCl dan Lama Perendaman terhadap pH, Rendemen, Gel Strength, Waktu Leleh serta Suhu dan Waktu Jendal Gelatin Tulang Cakar Ayam Konsentrasi HCl (%)

Parameter pH Rendemen (%) Viskositas (cP) Gel Strength (bloom) Waktu Leleh (menit)

2

Suhu Jendal (◦C) Waktu jendal (menit) pH Rendemen (%) Viskositas (cP) Gel Strength (bloom) Waktu Leleh (menit)

3,5

Suhu Jendal (◦C) Waktu jendal (menit) pH Rendemen (%) Viskositas (cP) Gel Strength (bloom) Waktu Leleh (menit)

5

Keterangan

:

Suhu Jendal (◦C) Waktu jendal (menit) Superskrip yang nyata (p<0,05)

27

Lama Perendaman (jam) 24 36 48 a d 4,14 3,50 4,08a f ef 0,38 0,88 1,60cde 1,32d 1,51d 2,00bcd 0e 63,87e 422,20c d c 0 1,40 1,92bc 0e 9cd 14,7a 0c 11,3ab 8,3b 3,68cd 3,66cd 3,94ab 2,55b 1,92bc 1,16de 3,30ab 1,82cd 2,11bcd 941,56b 142,79de 263,07d 2,00bc 1,71bc 2,37b 12,3ab 8d 11,3ab 13,6a 8,6b 8,4b cd bc 3,62 3,76 4,00a 2,45b 3,25a 1,31cd 4,69a 1,88cd 3,03abc 1150,67a 118,20de 228,81d 1,73bc 3,21a 3,29a 13,7a 11bc 10,7bc 8,0b 6,4b 7,5b berbeda menunjukkan perbedaan

yang

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

28

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

Mutu Fisik, Kadar Serat dan Sifat Organoleptik Nata de Cassava Berdasarkan Lama Fermentasi Physical quality, Dietary Fiber and Organoleptic Characteristic from Nata de Cassava Based time of Fermentation Indah Putriana dan Siti Aminah Program Studi S-1 Teknologi Pangan Universitas Muhammadiyah Semarang Korespondensi, email: [email protected]

Abstract Nata de cassava are product from cassava extract with fermentation bacteria species Acetobacter xylinum. Nata constitutes one of components in nutrients as a source of dietary fiber. Period of fermentation is one of essential factor in makings nata de cassava. The aim this research is to know physical quality, and organoleptic characteristic from nata de cassava with period time of fermentation. Thickness and yield best exists on 13th days fermentation 1,37 cm and 59,09 % respectively, meanwhile best brightness on 5th days fermentation around 64,70. Concentration of fiber is biggest in 7th days fermentation approximately 94,31 mg. Organoleptic quality perceives nata de cassava delicate on 13th day fermentation. Key Words: Nata de cassava, physical quality, dietary fiber, organoleptic characteritic

singkong

PENDAHULUAN

belum

banyak

dikenal

oleh

Singkong atau cassava berasal dari

masyarakat di Indonesia, karena umumnya

benua Amerika. Tanaman singkong masuk ke

bahan baku nata adalah air kelapa yang dikenal

wilayah Indonesia tahun 1852. Saat ini di

dengan sebutan nata de coco.

Indonesia singkong menjadi makanan pokok

Menurut

SNI

(Standar

Nasional

nomor tiga setelah padi dan jagung (Rukmana,

Indonesia) tahun 1996 karakteristik nata yang

1997) dan produksi singkong Indonesia telah

harus diperhatikan adalah aroma, rasa, warna,

mencapai 19.988.056 ton pada tahun 2007

dan tekstur yang normal serta kandungan

(BPS, 2008).

seratnya.

Hasil olahan singkong yang sudah dikembangkan

di

masyarakat

Salah

satu

faktor

yang

dapat

mempengaruhi karakteristik nata adalah lama

diantaranya

fermentasi.

adalah singkong rebus, singkong goreng, getuk, tiwul, gatot, dan kripik. Tape singkong adalah produk

olahan

fermentasi,

singkong

selain

itu

dalam

bentuk

singkong

dapat

METODOLOGI Penelitian eksperimental.

difermentasi menjadi nata. Produk nata dari

Laboratorium 29

ini Tempat

Kimia

adalah penelitian Universitas

penelitan adalah Katolik

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

Soegijapranoto Semarang dan Laboratorium

independen adalah lama fermentasi. Masing-

Teknologi Pangan Fakultas Ilmu Keperawatan

masing percobaan dilakukan ulangan sebanyak

dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah

4 kali. Diagram alir proses pembuatan produk

Semarang. Bahan utama dalam pembuatan nata

nata de cassava tersaji pada Gambar 1.

de cassava adalah singkong segar varietas kaliki berumur ± 9-11 bulan yang diperoleh dari

HASIL DAN PEMBAHASAN

petani di lapangan Graha Candi Golf Semarang

a. Sifat Fisik

sedangkan starter nata diperoleh dari Balai

Ketebalan

Besar

Teknologi

Pencegahan

Pencemaran

Selama proses fermentasi berlangsung

Industri Jl. Ki Mangunsarkoro 6 Semarang.

ketebalan

Bahan kimia yang digunakan adalah gula pasir,

peningkatan.

asam asetat, amnium sulfat, H2SO4, NaOH,

ketebalan nata de cassava tersaji pada Gambar

H2SO4, aquades, dan air mineral yang dibeli di

2. Gambar tersebut menjelaskan bahwa semakin

toko bahan kimia Indra Sari Jl. Stadion Selatan

lama waktu fermentasi semakin tebal nata yang

15 Semarang.

dihasilkan. Ketebalan tertinggi terdapat pada

Peralatan dalam pembuatan nata de

panci,

kompor,

Rata-rata

cassava

mengalami

hasil

pengukuran

cm.

untuk mengukur pH, timbangan, pisau, gelas blender,

de

lama fermentasi hari ke 13 yaitu sebesar 1,37

cassava meliputi baki fermentasi, kertas lakmus

ukur,

nata

Hasil analisis statistik menunjukkan

pengaduk,

bahwa di

peroleh p-value 0,001 < 0,05

saringan, kertas koran, karet gelang. Alat untuk

sehingga

analisa kadar serat adalah neraca analitik, gelas

fermentasi

ukur, pengaduk, pipet volum, erlenmeyer,

terhadap ketebalan nata yang terbentuk. Hasil

pendingin balik, kertas saring, kertas lakmus,

uji lanjut menunjukkan bahwa lama fermentasi

spatula, desikator, kurs porselin. Alat untuk uji

hari ke-7 dan 9 tidak berbeda nyata sedangkan

organoleptik

uji

perlakuan yang berbeda nyata adalah antara

organoleptik, bolpoin, piring kecil, dan gelas.

lama fermentasi hari ke 5 dan ke-7, 5 dan 9, 5

Alat untuk menguji mutu fisik yaitu warna

dan 11, 5 dan 13, 7 dan 11, 7 dan 13, 9 dan 11,

adalah chromameter, alat menghitung rendemen

9 dan 13, 11 dan 13.

adalah

terdiri

timbangan

dari

formulir

sedangkan

mengukur

dapat

disimpulkan

nata

de

cassava

bahwa

lama

berpengaruh

Hal ini dikarenakan aktivitas bakteri

ketebalan menggunakan jangka sorong.

Acetobacter

xylinum

dalam

mengasilkan

Penelitian ini menggunakan Rancangan

selulosa dipengaruhi lama fermentasi. Bakteri

Acak Lengkap monofaktor (RAL monofaktor),

Acetobacter xylinum membentuk lapisan nata

dengan perlakuan sebanyak 5 (lima) perlakuan.

yang semakin tebal sampai pada hari ke-13 dan

Variabel dependen adalah mutu fisik, kadar

bakteri Acetobacter xylinum masih mampu

serat,

beraktivitas untuk tumbuh dan membentuk

sifat

organoleptik

dan

variabel 30

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

selulosa. Nata yang dipanen setelah hari ke-13

menjadi etanol lalu oleh Accetobacter xylinum

tidak akan terbentuk lapisan nata baru karena

dan Gluconobacter di oksidasi menjadi asam

aktivitas bakteri Acetobacter xylinum berhenti

asetat

akibat nutrisi yang habis di dalam media

memerlukan waktu untuk fase adaptasi selama 1

fermentasi dan hasil metabolit berupa asam

hari , kemudian pertumbuhan meningkat (fase

asetat yang dapat mengganggu pertumbuhan

logaritmik) sampai pada hari ke-5 dan ke-7

mikroba. Saccharomyces menguraikan gula

ditunjukkan dengan semakin tebal nata yang

menjadi etanol lalu oleh Accetobacter xylinum

terbentuk.

dan

air.

Accetobacter

xylinum

di rubah menjadi asam asetat, sehingga pH

Nainggolan (2009) menyatakan bahwa

medium menjadi lebih asam yaitu 3 dan aroma

seiring dengan lama fermentasi pertumbuhan akan

juga menjadi asam.

menurun secara perlahan, karena berkurangnya

Ashari

(2007)

menyatakan

kadar gula dan timbulnya asam sebagai hasil

bahwa

metabolit dari fermentasi tersebut. Ketebalan

bakteri Acetobacter xylinum dalam membentuk

paling baik terjadi pada lama fermentasi hari ke-

nata di dalam media yang diperkaya karbon dan

13,

nitrogen, penambahan asam asetat, sehingga menstimulasi

khamir

S.Cerreviceae

merombak

sukrosa

menjadi

kemudian

difermentasi

menjadi

Accetobacter

selanjutnya

xylinum

mempengaruhi

bahwa

aktivitas

lama bakteri

de cassava.

alkohol,

Ketebalan nata de coco pada umumnya

dan

adalah antara 1-1,5 cm sedangkan pada nata de cassava 1,37 cm pada lama fermentasi hari ke-13

asam asetat sebagai metabolit utama. Accetobacter

menggambarkan

Accetobacter xylinum dalam menghasilkan nata

dan

Gluconobacter mengoksidasi alkohol menjadi

Bakteri

ini

fermentasi

untuk

glukosa

hal

menunjukkan bahwa ketebalan nata de coco

xylinum

dengan nata de cassava sama. Pada lama

menghasilkan enzim ekstraseluler yang dapat

fermentasi hari ke-5 sampai ke-11 ketebalan nata

menyusun (mempolimerisasi) zat gula (glukosa)

de cassava belum mencapai 1 cm, hal ini

menjadi ribuan rantai (homopolimer) serat atau

dipengaruhi oleh variasi substrat, komposisi

selulosa. Dari jutaan jasad renik yang tumbuh

bahan, kondisi lingkungan, dan kemampuan

dalam media, akan dihasilkan jutaan lembar

Accetobacter

benang-benang selulosa yang akhirnya nampak

selulosa.

xylinum

dalam

menghasilkan

padat berwarna putih hingga transparan, yang disebut sebagai nata yang termasuk metabolit

Rendemen

sekunder (Nainggolan, 2009).

Rendemen nata de cassava ditentukan

Pada fermentasi nata terjadi hubungan saling

membutuhkan

antara

berdasarkan perbandingan antara bobot nata

khamir

dengan bobot medium. Rata-rata rendemen nata

S.Cerreviceae, Gluconobacer, dan Accetobacter

cassava tersaji pada Gambar 3. Gambar 3

xylinum. Saccharomyces menguraikan gula

menjelaskan bahwa rendemen nata de cassava 31

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

pada lama fermentasi hari ke-5 sampai dengan

proses fermentasi nilai kecerahan (L) nata de

hari ke-13 mengalami peningkatan. Rendemen

cassava semakin menurun.

nata de cassava tertinggi adalah 59,09% pada

Pada Gambar 4 dapat diketahui bahwa

lama fermentasi hari ke-13.

hasil pengukuran warna nata de cassava pada

Hasil analisis statistik menunjukkan

lama fermentasi hari ke 5 sampai dengan hari ke

bahwa diperoleh p-value 0,002 < 0,05 sehingga

13 mengalami penurunan. Kecerahan nata de

dapat disimpulkan bahwa lama fermentasi nata

cassava tertinggi adalah 64,70 pada lama

de cassava berpengaruh terhadap rendemen

fermentasi hari ke 5, sedangkan kecerahan

nata

terendah nata de cassava adalah 56,13 pada

yang

terbentuk.

Hasil

uji

lanjut

menunjukkan bahwa lama fermentasi hari ke-5

lama fementasi hari ke 13.

dan ke-7, ke-7 dan ke-9 tidak berbeda nyata

Hasil

uji

statistik

anova

dengan

sedangkan perlakuan yang berbeda nyata adalah

menggunakan α 0,05 diperoleh data taraf

lama fermentasi ke-5 dan 9, 5 dan 11, 5 dan 13,

signifikan p-value 0,002 < 0,01 sehingga dapat

7 dan 11, 7 dan 13, 9 dan 11, 9 dan 13, 11 dan

disimpulkan bahwa lama fermentasi nata de

13.

cassava berpengaruh sangat nyata terhadap Semakin lama waktu fermentasi maka

warna nata yang terbentuk. Hasil uji lanjut

nata yang terbentuk semakin berat, sehingga

menunjukkan bahwa lama fermentasi hari ke-5

rendemen

Lama

dan ke-13 berbeda nyata sedangkan perlakuan

fermentasi yang berbeda dihasilkan kadar

yang berbeda nyata adalah lama fermentasi ke-5

selulosa yang berbeda, lama fermentasi hari ke-

dan 7, 5 dan 9, 5 dan 11, 7 dan 9, 7 dan 11, 7

13 semakin tinggi kadar selulosa nata, sehingga

dan 13, 9 dan 11, 9 dan 13, 11 dan 13. Hal ini

nata de cassava semakin berat dan rendemen

dikarenakan warna dipengaruhi oleh tebal nata,

meningkat. Rendemen dipengaruhi oleh variasi

semakin tebal nata maka warna yang dihasilkan

substrat, komposisi bahan, kondisi lingkungan,

semakin gelap (keruh), sebaliknya semakin tipis

dan kemampuan Accetobacter xylinum dalam

nata, warna yang dihasilkan semakin terang

menghasilkan selulosa.

(putih).

nata

juga

meningkat.

Menurut Susanti (2006) ketebalan nata Warna

dipengaruhi oleh jumlah intensitas cahaya. Nata Warna

diukur

yang tebal, intensitas cahaya yang masuk dan

satuan

diserap semakin banyak sehingga semakin

kecerahan,

gelap (keruh), sebaliknya pada nata yang tipis,

semakin tinggi nilai L maka warna semakin

intensitas cahaya yang masuk dan diserap

cerah dan semakin rendah nilai L warna

semakin sedikit sehingga warna semakin terang

semakin gelap. Gambar 4 menunjukkan selama

(putih). Pada nata yang tebal pembentukan

menggunakan L*a*b.

L

nata

de

cassava

chromameter merupakan

dengan

tingkat

jaringan selulosa semakin banyak dan rapat. 32

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

Warna nata de coco adalah putih susu

cassava tidak berpengaruh terhadap kadar serat

tetapi pada nata de cassava putih agak keruh.

nata yang terbentuk. Hal ini disebabkan karena

Warna nata de cassava dapat diperbaiki dengan

pada lama fermentasi hari ke 7 bakteri

mempercepat lama fermentasi, karena lama

Acetobacter xylinum dalam fase eksponensial

fermentasi yang semakin lama warna nata akan

karena

menjadi lebih gelap yaitu dengan memodifikasi

mengeluarkan enzim ekstraseluler polimerase

bahan yang digunakan dalam pembuatan nata

sebanyak banyaknya untuk menyusun polimer

de cassava.

glukosa menjadi selulosa sehingga matrik nata

bakteri

Accetobacter

xylinum

lebih banyak diproduksi pada fase ini. Pada lama fermentasi ke-9 dan 11

b. Kadar Serat Jenis serat pada nata de cassava adalah

mengalami

penurunan

karena

bakteri

serat kasar. Serat kasar merupakan hasil

Accetobacter xylinum dalam fase pertumbuhan

perombakan gula pada medium fermentasi oleh

lambat

aktivitas A. xylinum (Anastasia, 2008).

berkurang dan terdapat terdapatnya metabolik

karena

ketersediaan

nutrisi

telah

Lama fermentasi nata menyebabkan

yang bersifat toksit yang dapat menghambat

bakteri Acetobacter xylinum bekerja pada

pertumbuhan bakteri dan umur sel telah tua. Lama

perlakuan

fermentasi ke-13 meningkat karena matrik nata

perbedaan

jumlah

nutrisi

yang

lebih banyak diproduksi pada fase ini.

mencukupi kebutuhannya. Pada kondisi yang jumlah

mutrisi

mencukupi

kebutuhannya c. Sifat Organoleptik

selulosa yang terbentuk dalam jumlah besar dan pada

kondisi

yang

jumlah

nutrisi

Uji

tidak

organoleptik

dilakukan

dengan

mencukupi kebutuhannya pertumbuhan bakteri

menggunakan uji skoring dengan kriteria

Acetobacter

akibatnya

semakin tinggi angka maka mutunya semakin

dihasilkan selulosa dalam jumlah kecil. Karena

baik. Aspek yang dinilai meliputi tingkat

selulosa yang terbentuk berbeda sehingga

kesukaan terhadap tekstur, rasa dan aroma,

menyebabkan perbedaan pada berat nata yang

dimana panelis dimintai tanggapan pribadinya

dihasilkan. Hasil rata-rata kadar serat per 100 g

tentang kesukaan atas suatu produk menurut

nata tersaji pada Gambar 5.

tingkatan-tingkatan

xylinum

terhambat

tertentu.

Panelis

yang

digunakan adalah panelis semi terlatih sebanyak

Gambar 5 dapat diketahui bahwa nilai rata-rata kadar serat tertinggi terdapat pada

15 orang dari mahasiswa Teknologi Pangan.

produk nata de cassava dengan lama fermentasi

Tesktur

hari ke-7 yaitu sebesar 94,31 mg. Hasil uji

Tekstur yang baik untuk nata de cassava

statistik anova dengan menggunakan α 0,05

adalah kenyal dan tidak keras. Hasil rata-rata

diperoleh data taraf signifikan p-value 0,543 >

penilaian panelis tersaji pada Gambar 6. Pada

0,05 sehingga dapat lama fermentasi nata de

gambar tersebut dapat diketahui bahwa nilai 33

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

rata-rata tekstur tertinggi terdapat pada produk

dengan lama fermentasi hari ke-5 dan lama

nata de cassava dengan lama fermentasi hari

fermentasi hari ke-13 berbeda nyata dengan

ke-5 yaitu sebesar 3,23 dengan kriteri nilai yaitu

lama fermentasi hari ke-7.

kenyal.

Hasil

penelitian

dapat

disimpulkan

Hasil uji statistik Friedman dengan

bahwa panelis lebih menyukai nata de cassava

menggunakan α 0,05 diperoleh data taraf

dengan rasa enak karena perbedaan lama

signifikan p-value 0,926 > 0,05 sehingga dapat

fermentasi menghasilkan citarasa nata enak

disimpulkan lama fermentasi nata de cassava

yang relatif sama, selain itu pada saat pengujian

tidak berpengaruh terhadap tekstur nata de

organoleptik

cassava.

menggunakan

Panelis lebih menyukai nata de

cassava dengan tekstur kenyal yang diperoleh

nata

de

larutan

cassava gula

disajikan

sebesar

10%,

sehingga nata berasa manis dan enak.

dari nata de cassava sampai hari ke-5, hal ini disebabkan selulosa yang terbentuk oleh bakteri Acetobacter

xylinum

belum

terlalu

Aroma

keras

Aroma yang baik untuk nata de cassava

sehingga tekstur menjadi kenyal. Semakin lama

adalah tidak asam. Hasil rata-rata penilaian

fermentasi tekstur nata semakin lembek karena

panelis terhadap aroma tersaji pada Gambar 8.

lapisan nata yang terbentuk semakin tebal.

Berdasarkan Gambar 8 dapat diketahui bahwa nilai rata-rata aroma tertinggi terdapat pada lama fermentasi hari ke-11 sebesar 3,13,

Rasa Rasa yang baik untuk nata de cassava

sedangkan nilai terendah terdapat pada lama

adalah enak dengan ditambahkan larutan gula

fermentasi hari ke-9 sebesar 2,67.

10%. Hasil rata-rata penilaian panelis terhadap

Hasil uji statistik Friedman dengan

rasa tersaji pada Gambar 7. Berdasarkan

menggunakan α 0,05 diperoleh data taraf

gambar tersebut dapat diketahui bahwa nilai

signifikan p-value 0,901 > 0,05 sehingga dapat

rata-rata rasa tertinggi terdapat pada lama

disimpulkan bahwa perbedaan lama fermentasi

fermentasi hari ke-13 sebesar 3,23 yaitu enak,

nata de cassava tidak berpengaruh terhadap

sedangkan nilai terendah terdapat pada lama

aroma nata de cassava. Panelis lebih menyukai

fermentasi hari ke-7 sebesar 2,47.

nata de cassava dengan aroma tidak asam

Hasil uji statistik Friedman dengan

karena pada saat dipanen, nata de cassava

menggunakan α 0,05 diperoleh data taraf

dicuci lalu direbus selama 10 menit pada suhu

signifikan p-value 0,016 < 0,05 sehingga dapat

100°C sehingga aroma asam pada nata de

disimpulkan bahwa perbedaan lama fermentasi

cassava hilang pada saat pencucian dan

nata de cassava berpengaruh terhadap rasa nata

perebusan.

de cassava. Uji lanjut wilcoxon menunjukkan bahwa lama fermentasi hari ke-7 berbeda nyata 34

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

(Skripsi) Semarang : Program S1 Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Semarang.

KESIMPULAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa singkong dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan nata.

Mahmud, dkk., 2009. Tabel Komposisi Pangan Indonesia. Jakarta : PT Elex Media Komputindo.

Produk nata de cassava terbaik dihasilkan pada konsentrasi sari singkong sebesar 25% dengan optimum lama fermentasi hari ke-13, dengan

Nadiyah, Krisdianto, dan Aulia. 2005. Kemampuan Bakteri Acetobacter xylinum Mengubah Karbohidrat Pada Limbah Padi (Bekatul) Menjadi Selulosa. Bioscientiae,Vol. 2, No. 2, Hal. 37 - 47. Diakses dari http://bioscientiae.tripod.com.

ketebalan tertinggi yaitu sebesar 1,37 cm, rendemen 59,09%, tingkat kecerahan yang keruh (gelap) sebesar 56, 13 kadar serat 93,4 mg dan tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur, rasa, aroma dan warna adalah masih

Nainggolan, J. 2009. Kajian pertumbuhan Bakteri Accetobacter sp. Dalam Kombucha-Rosela Merah (Hibiscus sabdariffa) pada Kadar Gula dan Lama Fermentasi yang Berbeda. (Tesis). Medan : Universitas Sumatera Utara.

dalam batas diterima secara organoleptik oleh panelis.

Untuk

mempersingkat

waktu

fermentasi dapat dimodifikasi lagi jumlah komposisi bahan seperti sari singkong, urea, gula dan asam asetat sehingga dapat dihasilkan

Setyawati, R. 2009. Kualitas Nata De Cassava Limbah Cair Tapioka Dengan Penambahan Gula Aren Dan Lama Fermentasi Yang Berbeda. (Skripsi). Surakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

nata de cassava yang baik sebagai penelitian lebih lanjut.

DAFTAR PUSTAKA

SNI 01- 4317- 1996. Nata dalam Kemasan. Jakarta : Departemen Perindustrian.

Anastasia, N., dan Eddy A. 2008. Mutu Nata De Seaweed Dalam Berbagai Konsentrasi Sari Jeruk Nipis. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008.

Soekarto. 1990. Penilaian Organoleptik Untuk Industri Pangan dan HasilPertanian. Jakarta: Bhatara Aksara. Sumiyati. 2009. Kualitas nata de cassava limbah cair tapioka Dengan penambahan gula pasir dan lama Fermentasi yang berbeda. (Skripsi). Surakarta. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

BPS. 2008. Produksi Umbi Ubi Kayu. Lazuardi. 1994. Studi Pembuatan Nata De Coco Dari Tiga Jenis Air Kelapa Dengan Tiga Jenis Gula Terhadap Produksi Nata De Coco. Tesisi Sarjana Biologi, Universitas Andalas Padang.

Susanti, L. 2006. Perbedaan Penggunaan Jenis Kulit Pisang Terhadap Kualitas Nata. (Skripsi). Semarang. Universitas Negeri Semarang.

Luwiyanti, H. 2001. Pengaruh Penggunaan Sumber Nitrogen Pada Medium Filtrat Kulit Buah Pisang Kepok Terhadap Berat, Tebal, dan Sifat Organoleptik Nata.

Warisno. 2004. Mudah dan Praktis Membuat Nata de Coco. Jakarta : Argomedia Pustaka. 35

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

Winarno. F. G, dkk. 1992. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta : PT. Gramedia

Singkong 250 g

Pemarutan

Air 1 l

Pengenceran

Penyaringan (sari singkong) Pengendapan Gula 3% dan amonium sulfat 6% dari volume total media dari bahan yang digunakan

ampas singkong

Pati

Perebusan 70-80°C,10 menit

Asam asetat sampai pH 4

Pendinginan Suhu ruang

Starter 10% Dari total volume bahan

Pemeraman

Pemanenan

Pencucian

Sisa media fermentasi

Perendaman 2 hari

Perebusan

Nata de cassava siap uji

Gambar 1 Diagram alir proses pembuatan nata de cassava

36

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

1.37 Ketebalan ( cm )

1.5 1 0.5

0.28

0.35

5

7

0.41

0.57

0 9

11

13

Lama Fermentasi (hari)

Gambar 2. Ketebalan nata de cassava berdasarkan lama fermentasi

Gambar 3. Rendemen nata de cassava berdasarkan lama fermentasi

Gambar 4. Kecerahan nata de cassava berdasarkan lama fermentasi

37

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

Kadar serat (mg/100g nata)

94.31 95 94 93 92 91 90

93.4

93.03 92.26

5

7

9

91.76

11

13

Lama Fermentasi (Hari)

Penilaian panelis terhadap tekstur

Gambar 5. Kadar Serat nata de cassava berdasarkan lama fermentasi

3.23 3.4

3.07

3

3.2

3 2.87

3 2.8 2.6 5

7

9

11

13

Lama Fermentasi (hari)

Penilaian panelis terhadap rasa

Gambar 6 Rata-rata penilaian panelis terhadap tekstur nata de cassava 3.2

2.47

5

7

4

3

2.8

3.23

2 0 9

11

13

Lama Fermentasi (hari)

Penilaian panelis terhadap aroma

Gambar 7. Rata-rata penilaian panelis terhadap rasa nata de cassava

3.2 3 2.8 2.6 2.4

3.13

3

2.93

3.07

2.67

5

7

9

11

13

Lama Fermentasi (hari)

Gambar 8. Rata-rata penilaian panelis terhadap aroma nata de cassava

38

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

TOTAL ASAM, TOTAL YEAST, DAN PROFIL PROTEIN KEFIR SUSU KAMBING DENGAN PENAMBAHAN JENIS DAN KONSENTRASI GULA YANG BERBEDA Total Acid, Total Yeast, Protein and Profile Kefir Goat Milk, With Addition Type and Concentration of Sugar in Different Level Amanda Liana Aristya, Anang. M. Legowo, dan Ahmad N. Al-Baarri Magister Ilmu Ternak Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang Email Korespondensi: [email protected] Abstract Research goat milk kefir with the addition of the type and concentration of sugar in different level have been conducted in order to analyze the effect and interaction of the two treatments on total acid, total yeast and protein profile of goat milk kefir. The experimental design was used the completely randomized design (CRD) factorial pattern consisting of 2 (two) factors, the first factor (A) is a type of sugar consists of 3 (three) types of treatment (white sugar, brown sugar and D-Psicose) and The second factor (B) is the concentration of sugar consists of 3 (three) standard treatment (4%, 6%, and 8%), each treatment performed repetitions for 3 (three) times. Data results of total acid and total yeast were analyzed using analysis of variance to determine the effect and treatment interaction, while data from the protein profiles was used descriptive analysis. If there is a significant effect of treatment, therefore, continued by Duncan's test Dual region to determine differences among treatments. The results showed that the treatment of sugar (granulated sugar, brown sugar, and D-Psicose), concentration (4%, 6%, and 8%) and the interaction between the two treatments has the affect significantly (p <0.05) to total acid and total goat milk kefir yeast. Types of proteins and the molecular weight of goat milk kefir with the addition of different types and concentrations of the lactoferrin (80kDa), Laktoferoksidase (70kDa), α-Casein (65kDa), and β-casein (45kDa). Key words: Kefir, Goat Milk, Sugar PENDAHULUAN

satunya dengan mengolahnya menjadi kefir

Susu kambing memiliki prospek yang

susu kambing.

sangat baik untuk dikembangkan sebagai

Kefir adalah susu yang difermentasi

minuman kesehatan. Susu kambing memiliki

oleh sejumlah mikroba, yaitu bakteri penghasil

karakteristik warna lebih putih, globula lemak

asam laktat (BAL), bakteri penghasil asam

susunya relatif kecil sehingga lebih mudah

asetat, dan khamir. Kefir dibuat melalui proses

dicerna, dan mengandung mineral seperti

fermentasi menggunakan mikroba bakteria dan

kalsium, fosfor, vitamin A, E, dan B kompleks

yeast (Winarno dan Ivone, 2007). Kefir

yang tinggi. Komposisi rata-rata susu kambing

mempunyai efek yang baik untuk kesehatan,

adalah air 87,0%, lemak 4,25%, laktosa 4,27%,

seperti mengontrol metabolisme kolesterol,

protein 3,52%, abu 0,86% dan total bahan padat 13,0%

(Blakely

dan

Bade,

sebagai

1991).

probiotik, antitumor bagi

hewan,

antibakteri, antijamur, dan lain-lain (Farnworth,

Pengembangan produk susu kambing salah 39

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

2003). Kefir mengandung 0,65-1,33 g/l CO2,

dihasilkan. Sebagai perbandingannya digunakan

3,16-3,18% protein, 3,07-3,17% lemak, 1,8-

gula pasir dan gula aren yang biasa digunakan

3,8% laktosa 0,5 - 1,5% etanol dan 0,7-1,0%

dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian ini

asam laktat (Ide, 2008).

diharapkan dengan adanya penambahan jenis

Pada saat ini di Jepang telah banyak

dan konsentrasi gula yang berbeda dapat

dilakukan beberapa penelitian tentang rare

meningkatkan kualitas kefir susu kambing.

sugar, dimana rare sugar diartikan sebagai gula

Tujuan

langka jenis monosakarida dan derivatnya yang

pengaruh dan interaksi antara penambahan jenis

jarang ada di alam seperti D-Psicose, D-Allose

dan konsentrasi pemberian gula terhadap total

dan D-Tagatose. Rare sugar mempunyai sifat

asam, total yeast, dan profil protein kefir susu

fungsional untuk diaplikasikan pada dunia

kambing.

kesehatan

dan

industri

pangan

penelitian

D-Psicose

menganalisis

METODOLOGI

sugar yang digunakan dalam penelitian ini D-Psicose.

untuk

karena

mengandung zero kalori. Salah satu jenis rare

adalah

ini

Materi Penelitian

merupakan

Bahan yang digunakan dalam penelitian

monosakarida yang digunakan sebagai pemanis

ini terdiri dari susu kambing yang diperoleh dari

non-kalori yang telah terbukti menurunkan

daerah Ungaran, susu Ultra High Temperature

kadar glukosa dalam darah (Matsuo et al.

(UHT) Ultra Milk, medium de Man Ragosa and

2002). Penambahan rare sugar maupun gula

Shape (MRS) Broth yang diperoleh dari

konvensional dalam proses pengolahan kefir

Laboratorium Fisiologi dan Biokimia Fakultas

susu kambing dapat dapat akan menyebabkan

Peternakan,

terjadinya reaksi maillard yang diawali dengan

acidophilus FNCC 0051 diperoleh dari Pusat

proses glikasi. Menurut Sun et al. (2006a)

Antar Universitas (PAU) UGM, Saccharomyces

glikasi merupakan reaksi yang terjadi antara

cerevisiae

gugus amino dari protein susu dengan gugus

Soegijapranata, Semarang, gula pasir, gula aren,

karbonil dari gula pereduksi yang terbentuk

rare sugar D-Psicose, alkohol 95%, spirtus,

selama

glikasi

NaOH 0,1 N, larutan standar Asam Oksalat,

menghasilkan suatu senyawa antioksidan dan

indikator PP 1%, HCl, Ammonium persulfat,

berperan dalam pembentukan warna serta

temed, SDS, glicine, bhromophenol blau,

flavor.

glycerol,

pemanasan.

Reaksi

Penelitian mengenai rare sugar dalam susu fermentasi

belum

Comassie

kultur

yang

starter

diperoleh

Lactobacillus

dari

Acrylamide-Bis blue,

SDS

10%,

UNIKA

Acrylamide, SDS

1%,

pernah dilakukan,

mercapthoetanol, larutan phosphat buffer pH

sehingga perlu dilakukan uji karakteristik fisik

7.0, agar, MEA, antibiotik, CaCO3, alumunium

(total asam), mikrobiologis (total yeast) dan

foil, kapas, kasa,dan aquades.

kimia (profil protein) pada susu fermentasi yang 40

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

dimasukkan dalam lemari pendingin bersuhu 8-

Prosedur pembuatan kultur starter Tahap

pembuatan

starter

kultur

10°C. P

dilakukan dalam 2 tahap, yaitu pembuatan

pembuatan bulk starter L. acidophilus

starter induk (mother starter) dan dilanjutkan

dan S. cerevisiae dimulai dengan menyiapkan

dengan pembuatan starter kerja (bulk starter).

susu UHT kemasan. Kemudian dilakukan

Selanjutnya akan dilakukan pembuatan kefir

sterilisasi susu UHT cair dengan autoklaf pada

susu

L.

suhu 121°C selama 15 menit. Setelah itu susu

saat

skim cair didinginkan dengan cepat sampai

kambing

acidophilus

dengan

dan

S.

6

8

menggunakan

cerevisiae

pada

populasinya + 10 -10 cfu/ml (Renoaji, 2007).

suhu 45°C. Selanjutnya diinokulasikan mother

Pembuatan starter induk (mother starter)

starter sebanyak 10% dari volume susu. Susu

L. acidophilus dimulai dengan pengenceran

yang telah diinokulasikan kemudian diinkubasi

MRS Broth sebanyak 5,2 g dengan 100 ml

pada suhu 38°C untuk L. acidophilus dan S.

aquades, kemudian dimasukkan ke dalam

cerevisiae selama 9 jam. Setelah selesai, bulk

tabung reaksi sebanyak 10 ml. Setelah itu

starter dimasukkan dalam lemari pendingin

disterilkan dengan suhu 121°C selama 15 menit.

bersuhu 8-10°C dan siap dijadikan starter kerja

Kemudian dilakukan inokulasi dari isolat

saat populasinya + 106-108 cfu/ml untuk L.

bakteri sebanyak 2-3 ose dimasukkan ke dalam

acidophilus maupun S. cerevisiae. Tujuan

tabung reaksi berisi MRS. Setelah itu dilakukan

pembuatan

inkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam.

persediaan starter, untuk membuat volume

Setelah selesai tabung reaksi berisi bakteri

starter yang lebih banyak dan agar lebih efisien.

bulk

starter

adalah

sebagai

dimasukkan dalam lemari pendingin bersuhu 810°C.

Prosedur pembuatan kefir Pembuatan starter induk (mother starter)

S.

cerevisiae

dimulai

dengan

Proses pembuatan kefir susu kambing

pembuatan

diawali

dengan

mengukur

susu

kambing

medium Pepton Glucose Yeast Extract (PGY).

menjadi 3 bagian sebanyak 200 ml ditambahkan

Dengan komposisi : pepton 7,5 gram, glukosa

masing-masing jenis gula yang berbeda yaitu

20 gram, ekstrak yeast 4,5 gram, dan aquadest 1

gula pasir, gula aren, dan D-Psicose sebanyak

liter. Kemudian medium dimasukkan ke dalam

4% dan 6% kemudian dipasteurisasi. Setelah itu

tabung reaksi sebanyak 10 ml. Setelah itu

susu kambing tersebut ditambahkan kultur

disterilkan dengan suhu 121°C selama 15 menit.

starter sebanyak 5% (3,5% BAL dan 1,5%

Kemudian dilakukan inokulasi dari isolat

yeast), kemudian difermentasi selama 24 jam

bakteri sebanyak 2-3 ose dimasukkan ke dalam

pada suhu 39 0C hingga terbentuk kefir bening

tabung reaksi berisi medium PGY. Setelah itu

dan terpisah dari padatannya (granula). Setiap 4

dilakukan inkubasi pada suhu 35°C selama 24

jam selama 24 jam diakukan analisis total asam

jam. Setelah selesai tabung reaksi berisi bakteri

dan pH sehingga diperoleh waktu inkubasi 41

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

selama 24 jam dimana proses fermentasi

gel tersebut dimasukkan ke dalam tangki

dihentikan karena salah satu sampel telah

elektroforesis yang telah berisi buffer elektroda.

mencapai total asam 0,8%.

Masukkan sample yang telah dipersiapkan ( Sampel : sampel buffer = 1 : 4) ke dalam sumuran + 25 µl. Hubungkan elektroforesis

Pengujian total asam Pengujian

dinyatakan

dengan power suplay pada 125 Volt/jam.

sebagai total asam. Keasaman diukur dengan

Setelah elektroforesis selesai gel diambil dan

metode

sebagai

ditempatkan dalam cawan yang telah berisi

persentase asam laktat (Devide,1977). Sampel

larutan pewarna Coomassie Blue 0,1%. Gel

sebanyak 10 ml ditambahkan dengan 2-3 tetes

dicuci atau di destaining dengan larutan yang

indikator fenolftalein, kemudian dititrasi dengan

terdiri dari Metanol : Asam asetat : H2O = 50 :

larutan NaOH 0,1 N sampai berwarna merah

10 : 40 (Laemmli, 1970).

titrasi

total

yang

asam

dinyatakan

muda dan stabil, sesuai dengan larutan standar. Keasaman titrasi dihitung dengan rumus :

Pengujian total Yeast

Total Asam (%) = (ax0,009x100/b) ........................................................... Pencawanan (1) Keterangan :

dilakukan

dengan

menggunakan media biakan MEA sebanyak 48

a = ml NaOH 0,1 N x N NaOH 0,1 N

g ke dalam 1000 ml aquades, kemudian larutan

b = berat sampel(g)

MEA tersebut dipanaskan hingga mendidih dilanjutkan sterilisasai. Pencawanan dilakukan dengan memipet 1 ml sampel hasil pengenceran

Profil protein Menyiapkan

seperangkat

alat

ke dalam cawan petri, pencawanan dilakukan duplo

dari

pengenceran

10-4-10-6.

elektroforesis protein kemudian membersihkan

secara

plate kaca dengan methanol, lalu pasang klem

Kemudian

pada stand. Menyiapkan gradien gel 10% (10

menggunakan colony counter (Fardiaz, 1993)

ml gradien gel 10% + 6 µl temed + 50 µl APS),

setelah inkubasi 48 jam.

dilakukan

penghitungan

yeast

di masukkan ke dalam plate yang telah dipersiapkan,

bagian

atas

ditutup

dengan

Analisis data

butanol lalu dibiarkan + 30 menit hingga terjadi polimerisasi

gel.

Butanol

dibuang

Data yang diperoleh dari hasil pengujian

dan

total

asam

dan

total

menggunakan

pasang

sumuran.

menggunakan program SAS 6.12 for Windows,

Masukkan stacking gel yang telah disiapkan ( 5

dengan taraf signifikansi 5%. Apabila ada

ml stacking gel 3% + 3 µl temed + 25 µl APS)

pengaruh nyata dari perlakuan maka dilanjutkan

di atas gel 10% kemudian biarkan + 30 menit.

dengan uji Wilayah Ganda Duncan untuk

Sisir yang terpasang lalu diangkat, kemudian

mengetahui perbedaan antar perlakuan. Data

untuk

membuat

42

ragam

dianalisis

dibersihkan dengan aquades hingga bersih lalu sisir

analisis

yeast

(ANOVA)

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

hasil pengujian profil protein dianalisis secara

fermentasi

berlangsung

L.

acidophilus

deskriptif.

memanfaatkan laktosa menjadi asam laktat, yang kemudian dimanfaatkan S. cerevisiae untuk menghasilkan etanol, gas CO2 dan

HASIL DAN PEMBAHASAN

senyawa yang dapat menstimulir pertumbuhan

Total Asam Uji

keasaman

dilakukan

untuk

bakteri asam laktat.

mengetahui tingkat keasaman pada kefir susu

Surono (2004) mengemukakan bahwa

kambing karena adanya aktivitas mikroba

bakteri asam laktat dan khamir bekerja secara

penghasil asam yang mengubah karbohidrat

mutualisme

(laktosa) menjadi asam laktat. Hasil penelitian

dimana asam laktat yang dihasilkan bakteri

penambahan jenis dan konsentrasi gula yang

asam

berbeda terhadap total asam (%) kefir susu

pertumbuhan bakteri asam laktat lebih lanjut,

kambing disajikan dalam Tabel 1. Rerata

yang akan dimanfaatkan oleh khamir, dan H2O2

kandungan total asam yang dihasilkan dari

yang dihasilkan bakteri asam laktat akan

berbagai perlakuan jenis dan konsentrasi gula

disingkirkan oleh katalase yang dihasilkan oleh

yang berbeda berkisar antara 0,38 sampai 0,91

khamir. Selanjutnya khamir akan menghasilkan

%.

senyawa yang menstimulir pertumbuhan bakteri

Berdasarkan

hasil

analisis

ragam

menunjukkan bahwa masing-masing perlakuan

yaitu

laktat

saling

yang

menguntungkan,

dapat

menghambat

asam laktat.

jenis dan konsentrasi penambahan gula serta interaksi antara kedua perlakuan berpengaruh

Total Yeast

nyata (p<0,05) terhadap total asam kefir susu

Hasil pengamatan total yeast pada kefir

kambing.

susu kambing dengan jenis dan konsentrasi gula

Tabel

1

menunjukkan

bahwa

yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 2.

penambahan jenis gula dan konsentrasi yang

Berdasarkan

berbeda

bahwa

secara

bersama-sama

dapat

analisis

perlakuan

ragam

jenis

dan

menunjukkan konsentrasi

meningkatkan total asam kefir susu kambing.

penambahan gula serta interaksi antara kedua

Kefir susu kambing dengan penambahan gula

perlakuan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap

aren

dapat

total yeast kefir susu kambing. Rata-rata total

menghasilkan kandungan total asam yang ideal

yeast berkisar antara 3,742 log CFU/ml sampai

yaitu sebesar 0,89%. Menurut Ide (2008), kefir

7,816 log CFU/m

dengan

konsentrasi

8%

memiliki nilai keasaman berkisar 0,85% hingga

Hasil Tabel 2. menunjukkan jenis gula

1%. Peningkatan total asam kefir susu kambing

aren dengan bertambahnya konsentrasi 4%

disebabkan

hingga

adanya

aktivitas

BAL

(L.

8%

secara

bersamaan

dapat

acidophilus) dan yeast (S. cerevisiae) yang

meningkatkan jumlah total yeast, sedangkan

saling

jumlah total yeast semakin menurun pada jenis

menguntungkan.

Selama

proses 43

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

gula D-Psicose seiring dengan bertambahnya

profil protein yang terbentuk tidak terlalu tebal,

konsentrasi 4% hingga 8%. Hal ini disebabkan

sebaliknya konsentrasi berat molekul protein

karena yeast S. cerevisiae memiliki karakteristik

yang tinggi menyebabkan pita atau band profil

lebih mudah mencerna sukrosa. Jenis gula pasir

protein yang terbentuk tebal.

dan gula aren yang sebagian besar mengandung sukrosa

menyebabkan

S.

ketebalan pita atau band protein menunjukkan

cerevisiae lebih cepat meningkat dibandingkan

konsentrasi protein tersebut, dimana protein

dengan gula D-Psicose. S. cereviseae juga

dengan intensitas yang lebih tebal memiliki

pengguna gula sederhana dan bukan pengguna

konsentrasi yang lebih tinggi. Hal ini dapat

laktosa,

akan

dilihat dari ilustrasi 1. , dimana jenis gula pasir

menggunakan glukosa hasil pemecahan laktosa

dengan bertambahnya konsentrasi 4% hingga

oleh L. acidophilus. Hal ini sesuai dengan

8% secara bersamaan meningkatkan ketebalan

pendapat Kwak (1996) bahwa contoh yeast

pita atau band profil protein, begitupula pada

bukan

jenis gula aren dan gula D-Psicose.

sehingga

pemfermentasi

pertumbuhan

Albert et al., (2002) menjelaskan bahwa

S.

cereviseae

laktosa

adalah

S.

cereviseae.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa berat molekul protein pada kefir susu kambing berkisar 80 kDa hingga 25 kDa. Jenis protein

Profil Protein Metode analisis elektroforesis protein

yang terkandung di dalam kefir susu kambing

merupakan metode analisis yang memisahkan

yaitu Laktoferin (80kDa), Laktoferoksidase

molekul protein berdasarkan berat molekulnya

(70kDa), - Kasein (65kDa), dan β-Kasein

(Bolag dan Edelstein, 1991). Hasil penelitian

(45kDa). Rasio berbandingan protein susu

terhadap profil protein kefir susu kambing

kambing antara kasein dan whey sebesar 80%

dengan perlakuan jenis gula (gula pasir, gula

dan 20% (Miranda et al.,2004). Protein yang

aren, D-Psicose) dan konsentrasi penambahan

terkandung dalam susu kambing adalah -

gula (4%, 6%, 8%) dengan metode SDS-PAGE

Kasein, β-Kasein, - Kasein, β-Laktoglobulin,

dapat dilihat pada Ilustrasi 1.

- Laktalbumin, dan laktoferin (Tay and Gam,

Protein dengan berat molekul yang lebih

2011).

besar akan tertahan diatas, sedangkan protein

Sampel kefir susu kambing tanpa

dengan berat molekul yang lebih kecil akan

penambahan gula menghasilkan band profil

berada dibawah. Kandungan jenis dan berat

protein yang lebih sedikit dibandingkan dengan

molekul protein yang dihasilkan setiap sampel

band profil protein whey dan kefir susu

berbeda-beda dengan ditandai perbedaan warna

kambing dengan penambahan gula pasir, gula

ketebalan pita atau band profil protein yang

aren

terbentuk. Konsentrasi berat molekul protein

Laktoferin

yang rendah akan menyebabkan pita atau band 44

dan

gula

D-Psicose.

(80kDa)

dan

Jenis

protein

Laktoferoksidase

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

(70kDa) tidak terlihat pada kefir susu kambing

dengan konsentrasi 8% dapat menghasilkan

dengan penambahan gula aren pada konsentrasi

konsentrasi berat molekul protein Laktoferin

4%, 6% dan 8%, dan konsentrasi berat molekul

(80kDa) dan Laktoferoksidase (70kDa) lebih

protein

tinggi yang ditunjukkan dengan warna pita

α-Kasein

(65kDa)

lebih

sedikit

dibandingkan dengan kefir susu kambing

profil protein yang lebih tebal.

dengan penambahan gula pasir maupun gula DPsicose.

Kefir

penambahan

susu gula

kambing

dengan

D-Psicose

dapat

DAFTAR PUSTAKA Alberto M.R., M. A. R. Canavosio, and M.C.M Nadra. 2006. Antimikrobial Effect of Polifenol from Apple Skins on Human Bacterial Pathogen. Electronic journal of Biotechnology. Pontificia Universidad Catolica de Valparaiso, Concepción Chile.

menghasilkan konsentrasi berat molekul protein Laktoferin

(80kDa)

dan

Laktoferoksidase

(70kDa) lebih tinggi ditunjukkan dengan warna pita profil protein yang lebih tebal. Perbedaan jenis dan berat molekul

Blakely, J. and D. H. Bade. 1991. Ilmu Peternakan. Gadjah Mada University Press edisi ke-4, Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh B. Srigandono dan Soedarsono)

protein pada kefir susu kambing disebabkan adanya proses glikasi antara gugus karbon gula reduksi dengan gugus asam amino bebas protein

Devide, C.I. 1977. Laboratory Guide in Dairy Chemistry Practical. FAO Dairy, Training and Research Insitute University of the Philipines at Los Branos College. Laguna

susu dalam reaksi maillard sehingga dapat membentuk berat molekul protein yang lebih berat. Hal ini sesuai dengan pendapat Diftis and Kiosseoglou (2006) yang menjelaskan bahwa reaksi

maillard

antara

protein

Diftis, N., and Kiosseoglou, V. (2006). Stability against heat-induced aggregation of emulsions prepared with a dry-heated soy protein isolate–dextran mixture. Food Hydrocolloids, 20(6), 787–792.

dengan

polisakarida dapat menghasilkan berat molekul protein yang lebih tinggi. Menurut Van Boekel (2001), faktor yang mempengaruhi hasil reaksi maillard adalah waktu

Fardiaz, S. 1993. Analisis Mikrobiologi Pangan. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

pemanasan, pH,

Farnworth, E.R. (2003). Handbook of Fermented Functional Foods. CRC Press. USA.

aktivitas air, sifat intrinsik protein dan gula, dan rasio perbandingan gugus asam amino dengan gula reduksi.

Ide, P.2008. Health Secret of Kefir, Menguak Keajaiban Susu Asam untuk Penyembuhan Berbagai Penyakit. PT. Elex Media Kompotindo, Jakarta.

KESIMPULAN Hasil

penelitian

dapat

Kwak, H.S., S.K. Park, and D.S. Kim. 1996. Biostabilization of Kefyr with a Nonlactose Fermenting Yeast. J. Dairy Science 79: 937-942.

disimpulkan

bahwa jenis gula aren dengan konsentrasi 8% menghasilkan total asam dan total yeast yang

Laemmli UK. 1970. Cleavage of Structural Protein During The Assembly of Head

optimum pada kefir susu kambing. Kefir susu kambing dengan penambahan gula D-Psicose 45

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

of Bacteriophage T-4, J. Nature. 227: 680-685. Matsuo, T., H. Suzuki, M. Hashiguchi, and K. Izumori. 2002. D-Psicose is a rare sugar that provides no energy to growing rats. J. Nutr. Sci. Vitaminol. 48, 77 – 80. Renoaji, C. S. 2007. Uji Hedonik, Uji Kesukaan dan Daya Leleh Es Krim Probiotik Menggunakan Kombinasi Lactobacillus casei dan Bifidobacterium bifidum dengan Penyimpanan Beku Selama 30 hari. Program Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang. (Skripsi Sarjana Peternakan). Sun, Y., S. Hayakawa, M. Chuamanochan, M. Fujimoto, A. Innun, and K. Izumori. (2006a). Anitioxidant effects of Maillard reaction products obtained from ovalbumin and different d-aldohexoses Biosci. Biotechnol. Biochem., 70, 598605. Surono, I. S. 2004. Probiotik Susu Fermentasi dan Kesehatan. YAPMMI, Jakarta. Tay,

Eek-Poei and L. H. Gam. 2011. Proteomics of human and the domestic bovine and caprine milk. J. Mol. Biol. Biotechnol., 19, 45-53.

Van Boekel, M. A. J. S. 2001. Kinetic aspects of the Maillardreaction : A critical review. J. Nahrung. 45 : 150-159 Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka, Jakarta. Winarno, F.G. dan I. E. Fernandez. 2007. Susu dan Produk Fermentasinya. M-BRIO PRESS, Bogor.

46

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

Gambar 1. Profil Protein Kefir Susu Kambing dengan Perlakuan Jenis dan Konsentrasi Gula yang Berberda, M (marker), W (whey), TG (tanpa gula), 4GP (gula pasir 4%), 6GP (gula pasir 6%), 8GP (gula pasir 8%), 4GA (gula aren 4%), 6GA (gula aren 6%), 8GA (gula aren 8%), 4PS (gula D-Psicose 4%), 6PS (gula D-Psicose 6%), dan 8PS (gula D-Psicose 8%).

Tabel 1.Rerata Total Asam Kefir Susu Kambing dengan Jenis dan Konsentrasi Gula yang Berbeda Konsentrasi Jenis Gula (A) (B) Gula Pasir (A1) Gula Aren (A2) D-Psicose (A3) .................................................(%)..……..................................... 4% (B1) 0,66e±0,012 0,69f±0,005 0,38a±0,01 6% (B2) 0,81h±0,005 0,78g±0,005 0,41b±0,005 j i 8% (B3) 0,91 ±0,005 0,89 ±0,005 0,52d±0,005 Keterangan : Superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)

Tabel 2.Rerata Total Yeast Kefir Susu Kambing dengan Jenis dan Konsentrasi Gula yang Berbeda Konsentrasi (B)

Jenis Gula (A) Gula Pasir (A1) Gula Aren (A2) D-Psicose (A3) ...........................................(log CFU/ml)..……..................................... 4% (B1) 7,285e±0,214 6,594d±0,310 5,421c±0,345 6% (B2) 7,615ef±0,109 6,618d±0,110 4,361b±0,135 ef f 8% (B3) 7,566 ±0,136 7,816 ±0,046 3,742a±0,106 Keterangan : Superskrip yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (p<0,05)

47

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

48

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

TOTAL BAKTERI, PH, DAN KADAR AIR DAGING AYAM BROILER SETELAH DIRENDAM DENGAN EKSTRAK DAUN SENDUDUK (Melastoma malabathricum L.) SELAMA MASA SIMPAN An Effect of Soaking Senduduk (Melastoma malabathricum L.) leaf extract for Bacteria Total, pH, and Water Content in Broiler Meat with During Storage Melda Afrianti, Bambang Dwiloka, dan Bhakti Etza Setiani Fakultas Pertanian dan Peternakan, Universitas Diponegoro Semarang Email Korespondensi: [email protected] Abstract The purpose of this study was to determine the number of bacteria, pH, and water content in broiler carcass with soaking senduduk leaf extract at 12 hours of storage at room temperature. The experimental design used was a completely randomized design (CRD) factorial with factor A as the concentration of senduduk leaf extract (a1 = 0%, a2 = 10%, a3 = 15%, and a4 = 20%) and factor B as shelf life (b1 = 6 hours and b2 = 12 hours). The results showed that broiler carcass soaked with senduduk leaf extract that gives real total bacteria effects. However, were not significantly affect the pH and water content. In broiler carsass is 3,21 x 103 total bacterial cfu / g after storage for 12 hours at room temperature. However, this number is still below the limit of microbial contamination (No. SNI. 01-6366-2000). Key words: broiler carcass, senduduk leaf extract, storage pengawetan dengan

PENDAHULUAN Daging memiliki kandungan gizi yang tinggi,

lengkap,

dan

seimbang.

dengan

tujuan

pemakaian

antibakteri

mempertahankan

kualitas

maupun kuantitas daging ayam broiler adalah

Namun,

dengan memanfaatkan bahan herbal.

kandungan gizi yang tinggi pada daging

Salah satu tanaman yang berkhasiat dan

merupakan media yang baik bagi pertumbuhan

dikenal

mikroba, sehingga daging merupakan salah satu

(Melastoma

bahan

atau

ditemukan di Riau. Namun, tanaman senduduk

perishable. Kerusakan pada daging dapat

tersebar luas dibeberapa pulau di Indonesia

disebabkan karena adanya benturan fisik,

yaitu di Sumatra, Jawa, Irian Jaya dan

perubahan

kimia,

dan

mikroba

Kalimantan (Gholib, 2009). Hasil skrining

(Soeparno,

2005).

Akibat

kerusakan

fitokimia menunjukkan bahwa daun senduduk

pangan

yang

mudah

rusak

aktivitas dari

masyarakat

adalah

malabathricum)

yang

banyak

tersebut seperti pembentukan lendir, perubahan

(Melastoma

warna, perubahan bau, perubahan rasa dan

senyawa tanin, flavonoid, steroid, saponin, dan

terjadi ketengikan yang disebabkan pemecahan

glikosida yang berfungsi membunuh atau

atau oksidasi lemak daging. Salah satu proses 49

malabathricum)

senduduk

mengandung

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

menghambat

pertumbuhan

mikroorganisme

tetes, pipet makro dan mikro, gelas ukur, dan

(Robinson, 1995).

lampu Bunsen.

Hasil pengamatan terhadap masyarakat di

Rancangan percobaan yang digunakan

Riau menunjukkan bahwa daun senduduk telah

adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola

digunakan sebagai obat penyembuh luka dan

faktorial dengan faktor A sebagai konsentrasi

pengempuk dalam perebusan kulit kerbau.

ekstrak daun senduduk (a1= 0%, a2=10%, a3=

Namun, belum adanya data yang spesifik

15% dan a4= 20%) dan faktor B sebagai masa

berkaitan dengan penggunaan daun senduduk

simpan (b1= 6 jam dan b2= 12 jam). Data yang

untuk pengawetan bahan pangan asal hewan.

diperoleh kemudian dianalisa menggunakan

Hasil

penelitian

pendahuluan

yang

anova (Analysiss of

variance).

Bila ada

dilakukan menunjukkan bahwa karkas ayam

pengaruh perlakuan yang nyata dilanjutkan

broiler dapat bertahan selama 18 jam pada suhu

dengan Uji Wilayah Ganda Duncan untuk

ruang setelah dilakukan perendaman pada

mengetahui perbedaan antar perlakuan (Steel

esktrak daun senduduk. Tanda-tanda kebusukan

dan Torrie, 1991).

seperti

bau, tekstur, warna, dan lendir baru

Penilitian diawali dengan pembuatan

muncul pada jam ke-20. Nilai keasaman (pH)

esktrak daun senduduk dengan konsentrasi 0%,

yang

daun

10%, 15%, dan 20%. Kemudian dilanjutkan

senduduk sebesar 4,80 dan bersifat asam,

dengan pemotongan daging ayam bagian dada.

diduga

Selanjutnya dilakukan perendaman selama 30

secara

alami

berpotensi

terdapat

dalam

dalam

menekan

laju

pertumbuhan mikroba sehingga masa simpan

menit,

dapat lebih panjang. Tujuan penelitian ini

kemudian

adalah untuk mengetahui total bakteri pH, dan

menggunakan

kadar

Selanjutnya,

air

daging

ayam

broiler

dengan

ditiriskan

selama

disimpan plastik dilakukan

15

menit,

dan

di

suhu

PE

(Polyethylen).

pengamatan

ruang

sesuai

perendaman ekstrak daun senduduk pada 12

dengan parameter yang diamati. ). Perhitungan

jam penyimpanan di suhu ruang.

total bakteri dilakukan menurut (Fardiaz, 1993). Pengukuran nilai pH menurut Apriyantono (1989). Pengujian kadar air menurut (AOAC,

METODOLOGI Materi yang digunakan untuk penelitian

1995).

ini adalah daging ayam broiler bagian dada yang

diperoleh

dari

Peternakan

Boja,

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kabupaten Semarang dan daun senduduk yang

Total Bakteri

diperoleh dari Riau, Pekanbaru. Peralatan yang

Rerata total bakteri daging ayam yang

digunakan untuk analisa adalah pH meter, oven,

direndam dengan daun senduduk dan disimpan

desikator, timbangan analitik, cawan petri, pipet 50

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

pada suhu ruang secara ringkas disajikan pada

yang ada pada daging. Peran masing-masing

Tabel 1.

senyawa aktif yaitu senyawa saponin akan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

merusak membran sitoplasma dan membunuh

total bakteri daging ayam dengan konsentrasi

sel (Assani, 1994). Tanin adalah polimer fenolik

yang berbeda memberikan pengaruh yang

yang

nyata. Total bakteri daging ayam broiler secara

penyegar, mempunyai sifat antimikroba dan

berturut-turut 0%, 10%, 15% dan 20% adalah

bersifat racun terhadap khamir, bakteri, dan

2,54 x 102, 3,05 x 103, 2,67 x 102 dan 3,21 x

kapang. Kemampuan tanin sebagai antimikroba

102. Standar Nasional Indonesia (SNI) No. 01-

diduga karena tanin akan berikatan dengan

6366-2000 merekomendasikan batas maksimal

dinding

cemaran bakteri pada daging segar yaitu 1 x

menginaktifkan kemampuan menempel bakteri,

104 CFU/g.

menghambat pertumbuhan, aktivitas enzim

Total bakteri pada daging ayam masih di bawah batasan cemaran bakteri

biasanya

digunakan

sel

bakteri

sebagai

sehingga

bahan

akan

protease dan dapat membentuk ikatan komplek

pada daging

dengan polisakarida (Cowan, 1999).

segar. Namun, tingginya konsentrasi tidak

Flavonoid

dapat

berperan

secara

menurunkan jumlah total bakteri pada daging.

langsung sebagai antibiotik dengan menggangu

Hal ini diduga bahwa penggunaan air sebagai

fungsi

pelarut ekstraksi daun senduduk diduga belum

seperti bakteri atau virus. Mekanisme antibiotik

optimal dalam mengesktraksi senyawa aktif

flavonoid ialah dengan cara mengganggu

seperti saponin, tannin, flavonoid, alkaloid, dan

aktivitas transpeptidase peptidoglikan sehingga

glikosida yang berfungsi sebagai antibakteri.

pembentukan dinding sel bakteri atau virus

Hasil penelitian Suliantri et al., (2008)

dari

metabolissme

mikroorganisme

terganggu dan sel mengalami lisis. Alkaloid

menyatakan bahwa esktraksi senyawa aktif

mempunyai

pada tumbuhan dengan menggunakan air

antimikroba

mempunyai kemampuan bakteri uji paling

penghambatannya

rendah dibandingkan etanol dan etil asetat. Hal

mengkelat DNA (Suliantri, et al., 2008).

ini sesuai dengan penelitian Chou dan Yu

pengaruh

sebagai

dengan adalah

bahan

mekanisme dengan

cara

Selain itu, juga disebabkan semakin

(1985), dimana pelarut etanol memberikan

meningkatnya

aktivitas antimikotik ekstrak sirih yang baik dan

senduduk maka larutan semakin pekat dan

pelarut air mempunyai aktivitas paling rendah

larutan ekstrak daun senduduk sulit berpenetrasi

terhadap beberapa jenis bakteri.

pada

Hal ini juga disebabkan karena senyawa

otot

konsentrasi

daging.

ekstrak

daun

Perkembangbiakan

mikroorganisme juga dipengaruhi oleh faktor

yang aktif berupa saponin, tanin, flavonoid,

kelembaban,

alkaloid hanya berperan menghambat bakteri

oksigen (Lawrie, 2003). Ketersedian oksigen 51

temperatur,

dan

ketersediaan

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

dipengaruhi oleh pengemas plastik pada saat

menyebabkan pH pada perlakuan perendaman

penyimpanan di suhu ruang. Buckle

daging ayam broiler menjadi tidak berbeda

et al.,

(1987) menjelaskan bahwa daya tembus plastik

terhadap pH daging ayam.

2

PE dengan ketebalan 2,1 (mm x 10 ) adalah

Perendaman dengan waktu 30 menit dan

10,5 (cm3/cm2/mm/det/cmHg) x 1010. Menurut

lama penyimpanan belum mencukupi untuk

Yanti et al., (2008), mengatakan bahwa

menurunkan pH daging. Selain itu juga

penggunaan

efektif

disebabkan karena struktur otot dari daging

dibandingkan PE, karena dapat menurunkan

yang terlalu rapat, menyulitkan penetrasi hingga

total bakteri pada daging di pasar Arengka

ke dalam jaringan (Buckle

plastik

PP

lebih

5

Pekanbaru sebesar 5,5 x 10

dibandingkan

et al., 1987),

sehingga walau terbentuk asam di dalam daging

penggunaan plastik PE 6,5 x 105. Tidak ada

selama

interaksi antara konsentrasi dan lama simpan

tetapi karena waktunya belum tercukupi maka

terhadap total bakteri daging ayam.

asam yang terbentuk tidak dapat menembus

perendaman

ataupun

penyimpanan

sampai ke dalam jaringan. Akibatnya pH daging yang direndam larutan daun senduduk selama

Nilai PH Rerata pH daging ayam broiler yang

30

direndam dengan daun senduduk dan disimpan

menit

dan

lama

penyimpanan

tidak

mempengaruhi pH daging ayam broiler.

pada suhu ruang secara ringkas disajikan pada

Lama penyimpanan berpengaruh nyata

Tabel 2.

terhadap penurunan pH. Penelitian ini sejalan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa

dengan hasil penelitian Surajadi (2004), yang

nilai pH daging ayam tidak berpengaruh nyata

menunjukan

terhadap konsentrasi daun senduduk namun

temperatur ruang selama 12 jam setelah

berpengaruh terhadap lama simpan daging

pemotongan ayam broiler, terjadi penurunan

ayam (Tabel 2). Nilai pH yang didapat dari

keasaman (pH) daging ayam. Semakin lama

perlakuan yaitu secara berturut-turut 6,79, 6,84,

penyimpanan yang dilakukan maka pH akan

6,84 dan 6,72. Nilai pH pada daging ayam

semakin menurun.

cukup tinggi namun masih dibawah nilai pH produk

pangan

yang

dianjurkan

bahwa

penyimpanan

pada

Penurunan pH akan mempengaruhi sifat

Standar

fisik daging, laju penurunan pH otot yang cepat

Nasional Indonesia yaitu 6-7. Hal ini diduga

akan

bahwa nilai pH pada penelitian dipengaruhi

mengikat air, karena meningkatnya kontraksi

oleh nilai pH pada kedua bahan dasar yaitu,

aktomiosin yang terbentuk, dengan demikian

daging ayam dan esktrak daun senduduk

akan memeras cairan keluar dari dalam daging

masing-masing sebesar 6,50 dan 4,80. Nilai pH

dan menyebabkan penurunan nilai pH pada

yang

hampir

sama

dari

kedua

bahan 52

mengakibatkan

rendahnya

kapasitas

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

daging. Tidak ada interaksi antara konsentrasi

yang beriklim tropis dengan kelembaban udara

dan lama simpan pH daging ayam.

yang cukup tinggi, sehingga bila kemasan yang digunakan tidak cukup kedap air maka produk akan terkontaminasi oleh air yang diikuti oleh

Kadar Air Rerata kadar air daging ayam yang

berbagai jenis kerusakan lainnya (Syarief et

direndam dengan daun senduduk dan disimpan

al.,1989).

pada suhu ruang secara ringkas disajikan pada Tabel

3.

Berdasarkan

analisis

tipe asam karena berdasarkan hasil pengujian

menunjukkan bahwa pemberian ekstrak daun

ekstrak daun senduduk mempunyai pH 4,80.

senduduk tidak berpengaruh nyata terhadap

Namun rendahnya pH pada daun senduduk

kadar air daging ayam. Kadar air yang didapat

belum dapat menurunkan kerusakan yang

dari

disebabkan oleh mikroba pada daging. Tidak

perlakuan

yaitu

hasil

Penelitian ini merupakan perendaman

secara

berturut-turut

73,69%, 74,47%, 74,31% dan 73,95%.

ada interaksi antara konsentrasi daun senduduk

Tingginya kadar air pada penelitian ini

dan lama simpan terhadap kadar air daging.

karena kadar air daging ayam sudah tinggi pada saat pemotongan. Kadar air daging ayam broiler

KESIMPULAN

yaitu sebesar 65-80% (Forest et al., 1975). Hal

Total bakteri daging ayam setelah

ini bahwa kadar air pada penelitian dipengaruhi

perendaman dengan ekstrak daun senduduk

oleh kadar air pada kedua bahan dasar yaitu,

meningkat

daging ayam dan esktrak daun senduduk

konsentrasi ekstrak daun senduduk. Namun

masing-masing sebesar 65-80% dan 71,7%.

jumlah total bakteri pada daging tidak melebihi

seiring

dengan

penambahan

Kadar air yang hampir sama dari kedua

batas maksimal cemaran bakteri pada daging

bahan menyebabkan kadar air pada perlakuan

segar yaitu 1 x 104 CFU/g. Sedangkan pH pada

perendaman daging ayam broiler menjadi tidak

daging ayam akan semakin menurun dengan

berbeda terhadap kadar air daging ayam. Oleh

lama

karena itu, dengan penambahan ekstrak daun

Penggunaan ekstrak daun senduduk untuk

senduduk dengan konsentrasi 10%, 15%, dan

penyimpanan daging ayam broiler pada suhu

20% tidak dapat menurunkan kadar air pada

ruang direkomendasikan pada konsentrasi 10-

daging. Hal ini juga disebabkan penggunaan

15% berdasarkan data perhitungan total bakteri,

plastik pada penyimpanan di suhu ruang.

pH, dan kadar air.

penyimpanan

pada

suhu

ruang.

Menurut Soeparno (2005) permukaan plastik PP lebih licin dan permeabilitasnya

DAFTAR PUSTAKA

terhadap oksigen lebih rendah dibandingkan

AOAC., 1995. Official Methods of Analysis 9th edition. Association of Official Analytical Chemist. Washinghton D.C.

dengan plastik PE. Indonesia adalah negara 53

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

Assani, S. 1994. Mikrobiologi Kedokteran. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

Robinson, T. 1995. Kandungan Organik Tumbuhan Tinggi. (Terjemahan K. Padmawinata). Penerbit, ITB Bandung.

Apriyantono, A. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. IPB Press, Bogor.

Soeparno, 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Edisi keempat. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Badan Standardisasi Nasional. 2000. Batas Maksimal Cemaran Mikroba dan Batas Residu dalam Bahan Makanan Asal Hewan. Standar Nasional Indonesia No. 01-6366-2000, Jakarta.

Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. (Penerjemah B. Sumantri).

Buckle R.A., Edward G.H. Fleet and M. Wooton M. 1987. Ilmu Pangan. (Penerjemah H. Purnomo Adiono). UI Press. Jakarta. Chou, C.C and Yu R.C. 1985. Efect Piper betle L and its extracts on the growth and aflatoxin productions by Aspergillus paraciticus. Pro Natl.Sci. Coune Repub.China. 8( 1): 30-35. Cowan,

Suliantri, B.S.L. Jenie., M.T. Suhartono, dan A. Apriyantono. 2008. Aktivitas antibakteri esktrak sirih hijau (Piper betle L) terhadap bakteri patogen. Jurnal dan Teknologi Industri Pangan. 19 (1): 1-7. Surajadi, K. 2004. Perubahan Sifat Fisik Daging Ayam Broiler Post Mortem Selama Penyimpanan Temperatur Ruang. Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran. Bandung.

M.M. 1999. Plant products as antimicrobial agents. Clinical Microbiology Reviews 12: 564–82.

Fardiaz, S 1989. Mikrobiologi Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB, Bogor.

Yanti H, Hidayati, dan Elfawati. 2008. Kualitas daging sapi dengan kemasan plastik PE (Polyethylen) dan plastik PP (Polypropylen) di pasar Arengka Kota Pekanbaru. Jurnal Peternakan 5 (1). 22 -27.

Forrest, J. C., E. D. Aberle, H. B. Hedrick, M. D. Judge and R. A. Markell. 1975. Principle of Meat Sience. W. H. Freman and Co. San Fransisco. Gholib, D. 2009. Uji Daya Hambat Daun Senggani (Melastoma malabathricum L.) terhadap Trichophyton mentagrophytees dan Candida albicans. Balai Besar Penelitian Veteriner. Bogor. Lawrie, 2003. Ilmu Daging. (Penerjemah A. Parakkasi dan Yudha A). Universitas Indonesia Press, Jakarta. Syarief

R, Sassya S, St Isyana B.1989. Teknologi Pengemasan Daging. Bogor: IPB. 54

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

Tabel 1. Nilai Total Bakteri Daging Ayam yang Direndam dengan Daun Senduduk dan Disimpan pada Suhu Ruang Total Bakteri Daging Ayam Setelah diberi Perlakuan Rerata a1 a2 a3 a4 CFU/g 2 b1 2,56 x10 3,15 x 103 2,48 x 102 3,08 x 103 2,82 x 102 b2 2,52x 102 2,96 x 102 2,85 x 102 3,32 x 103 2,92 x 102 2b 3a 2b Rerata 2,54x 10 3,05 x 10 2,67x 10 3,21 x 103 a Ket: Superskrip berbeda pada baris rerata menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). Lama Simpan

Tabel 2. Nilai pH Daging Ayam yang Direndam dengan Daun Senduduk dan Disimpan pada Suhu Ruang pH Daging Ayam setelah Diberi Perlakuan Perlakuan Rerata Lama Simpan a1 a2 a3 a4 b1 6,87 6,85 6,91 6,78 6,85a b2 6,72 6,83 6,76 6,66 6,74b Rerata 6,79 6,84 6,84 6,72 Ket: Superskrip berbeda pada kolom rerata menunjukkan perbedaan nyata (P<0,05). Tabel 3. Nilai Kadar Air Daging Ayam yang Direndam dengan Daun Senduduk dan Disimpan pada Suhu Ruang Perlakuan Lama Kadar Air Daging Ayam Setelah diberi Perlakuan Simpan a1 a2 a3 a4 (%) b1 73,97 74,32 74,26 74,22 b2 73,42 74,63 74,34 73,67 Rerata 73,69 74,47 74,31 73,95

55

Rerata 74,19 74,07

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

56

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

Pengaruh Pengolahan terhadap Kandungan Poliphenol dan Antosianin Beras Wulung yang Berpotensi sebagai Makanan Diet Penderita Diabetes Mellitus Effect of Cooking on Polyphenols and Anthocyanins of Wulung rice Potentialy as Functional Food for Patients with Diabetes Mellitus Sri Hartati Fakultas Pertanian, Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo E-mail : [email protected] Abstract Wulung rice called black rice in Java, it was believed the functional food for Diabetes Mellitus. The purpose studies was to determine the chemical content of rice like the moisture content, carbohydrate, protein, fat, ash and to know the changes in polyphenolic and anthocyanin levels after cooking and a flour product. The Results showed that is a carbohydrate (64.98% wb), protein 15.41% wb, fat 4.23% wb, minerals (ash) 2.04% wb, crude fiber 3.52% wb and moisture 13.34%. There were no differences between the levels of phenols for whole grain that has been processed into rice, but there were significant differences with flour. Total phenol of whole grain, flour, and rice respectively are 0.76, 0.55 and 0.84 mg. There were significant decreasing of anthocyanin in processing to the flour and rice. The decrease in anthocyanin 83.60% occur in the processing of rice. Anthocyanin of whole grain, flour and rice respectively: 2.8918, 2.4091 and 0.4741 mg/100g (% db). Keyword : wulung rice, poliphenol, antosianin, diabetes mellitus

Berbagai penelitian telah dilakukan di

PENDAHULUAN

beberapa negara berkembang dan data WHO Diabetes

Mellitus

(DM)

tergolong

menunjukkan

bahwa

peningkatan

tertinggi

penyakit degeneratif yang prevalensinya cukup

jumlah pasien diabetes terjadi di Asia Tenggara

tinggi. Angka insiden dan prevalensi DM

termasuk Indonesia yang menempati peringkat

cenderung meningkat dari berbagai penelitian

ke-5 di dunia (Suyono, 2006). Kecenderungan

epidemiology. Prevalensi DM di dunia menurut

meningkatnya penyakit degeneratif diperlukan

International

suatu

mencapai

Diabetes 246

juta

Federation tahun

2007

(IDF) dan

preventif

melalui

pengembangan

makanan/minuman yang menyehatkan.

diproyeksikan menjadi 380 juta pada tahun

Makanan (pangan) fungsional adalah

2025. (Perkem Ind, 2006; Pimentel,P, 2007).

pangan yang selain bergizi juga mempunyai

WHO memprediksi di Indonesia terdapat

pengaruh positif terhadap kesehatan seseorang

kenaikan jumlah pasien dari 8,4 juta pada tahun

(Muchtadi

2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030.

diharapkan

Prevalensi Diabetes type 2 meningkat secara

kesehatan, makanan fungsional tidak dianggap

eksponensial, dan diperkirakan mencapai lebih

sebagai obat, melainkan dikategorikan tetap

300 juta kasus pada tahun 2030 (Wild et al,

sebagai makanan. Oleh karena itu makanan

2004).

fungsional 57

dan

Hanny,

1996).

memberikan

seharusnya

Meskipun

manfaat

dikonsumsi

bagi

sebagai

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

layaknya makanan sehari-hari, bentuknya dapat

Belum diperoleh informasi seberapa

berupa makanan atau minuman (Fardiaz, 1997;

besar perubahan kandungan total poliphenol

Hilliam, 2000).

dan kadar antosianin beras wulung setelah

Beras merupakan salah satu padi-padian

dilakukan penanakan sehingga potensi sebagai

paling penting di dunia untuk dikonsumsi

makanan diet terapi

manusia. Diantara varian beras dijumpai beras

setelah pemasakan. Selain dimasak menjadi

hitam (Oryza sativa L. indica). Beras hitam ini,

nasi, beras seringkali juga diproses menjadi

memiliki nama yang berbeda-beda tergantung

tepung untuk dipergunakan sebagai bahan

di mana beras hitam tersebut berada. Beras

pembuatan makanan dalam bentuk selain nasi.

hitam yang ada di Solo dikenal dengan nama

Belum diketahui, apakah pembuatan tepung

"beras wulung". Menurut sejarahnya, dulunya

beras hitam juga akan mengubah komponen

beras Wulung merupakan beras pilihan yang

poliphenol dan kadar antosianinya. Untuk

hanya

menjawab

ditanam

Keraton

dan

Kasunanan

dipergunakan

dalam

Surakarta,

khusus

untuk

jenis

ritual

pertanyaan-pertanyaan

tersebut

penelitian ini dilakukan.

dikonsumsi di lingkungan para Raja dan digunakan

masih dipertahankan

Penelitian

tertentu,

ini

bertujuan

untuk

mengetahui kandungan kimia beras wulung

(Kristamtini, 2009; Tri Dewanti, 2009).

meliputi kadar air, karbohidrat, protein, lemak,

Dilaporkan bahwa dalam dedak beras

dan abu serta mengetahui perubahan komponen

hitam terdapat kandungan antosianin (salah satu

poliphenol (total phenol) dan kadar anthosianin

kelompok antioksidan) sebanyak 5,55 mg/g

setelah dilakukan pemasakan menjadi nasi dan

bahan (Ono, et al., 2003). Pada lapisan kulit

menjadi tepung (powder) yang dibandingkan

terluar (outer layer), beras hitam memiliki

tanpa

kandungan

dalamnya

meliputi analisa proksimat bahan baku (beras

termasuk antosianin sebanyak 6,4 g/100 gr kulit

wulung pecah kulit) dan pengamatan perubahan

terluar.

kadar poliphenol dan kadar antosianin sebelum

flavonoid

Pengaruh

(termasuk

di

homeostatistik

yang

positif

dalamnya glukosa

di

dari

poliphenol

flavonoid) ditunjukkan

pada

pengolahan

dalam METODOLOGI

hewan coba yang didukung dengan bukti-bukti pada

kaya

Penelitian ini merupakan penelitian

poliphenol

eksperimen yang dilaksanakan di Laboratorium

(Hanhineva et al, 2010). Oleh karena itu beras

MIPA Universitas Veteran Bangun Nusantara

wulung diketahui mempunyai potensi dalam

Sukoharjo. Bahan penelitian terutama beras

penurunan gula darah sehingga sangat cocok

wulung varietas asal Boyolali diambil dari

dikonsumsi

Gabungan

sebagai

diet

Pengamatan

pengolahan dan sesudah pengolahan.

sejumlah besar penilitian in vitro pada beberapa

epidemiologi

(kontrol).

makanan

diet

para

penderita Diabetes Mellitus (DM).

Kelompok

Tani

(GAPOKTAN)

MARSUDI MULYO Dukuh Surodhuwur, Desa 58

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

Tawangsari, Kecamatan Teras,

Kabupaten

Lengkap

Boyolali.

Pola

Searah.

Perlakuan

(variabel tetap) adalah Metode/cara pengolahan

Dari Gambar 1 terlihat bahwa penelitian diawali

(RAL)

dengan

analisa

proksimat

beras wulung (yaitu beras wulung pecah kulit

untuk

(tanpa pengolahan, pengolahan menjadi nasi

mengetahui komponen kimia yang dikandung

dan pengolahan menjadi tepung melalui proses

dalam beras wulung meliputi : kadar air

penyangraian).

(metode analisa Thermogravimetri), karbohidrat

adalah zat-zat potensi yaitu total phenol dan

(by different), protein (metode Kjeldahl), lemak

total

(metode Soxhlet), mineral total (cara kering)

diulang 2 kali, dengan analisa sampel adalah

serta serat kasar (hidrolisa asam kuat). Sebagai

triple. Data yang diperoleh dianalisis dengan

pembanding dilakukan pula analisa proksimat

One Way Anova. Bila terdapat perbedaan antar

beras merah.

perlakuan dilanjutkan dengan Uji Duncan.

sedang

antosianin.

variabel

Masing-masing

tergantung

perlakuan

Beras wulung dimasak/diolah dengan dua cara pengolahan yaitu diolah menjadi tepung beras

HASIL DAN PEMBAHASAN

hitam dengan cara sangrai menggunakan media

Hasil Analisa Proksimat Beras Wulung

pasir, dan diolah menjadi nasi hitam dengan alat

Sebelum beras wulung diolah, terlebih

Rice Cooker. Analisa kandungan poliphenol

dahulu dianalisis proksimat untuk mengetahui

(total phenol) menggunakan metode yang

komponen-komponen di dalamnya meliputi

dikembangkan oleh Taga et al (1984) sedang

analisis kadar air, mineral, lemak, protein,

analisa

antosianin

karbohidrat dan serat kasar. Hasil analisa

menggunakan metode yang dikembangkan oleh

proksimat komponen beras wulung dan beras

Markakis (1982). Analisa dilakukan baik pada

merah sebagaimana tampak pada Tabel 1.

kandungan

total

beras wulung sebelum dimasak (beras pecah

Tabel 1 tampak bahwa pada semua

kulit), tepung beras wulung dan nasi beras

komponen yang diuji antara beras wulung

wulung

pengaruh

(beras hitam) dan beras merah tidak banyak

perubahannya. Proses penanakan nasi dilakukan

perbedaan. Tampak pula bahwa baik beras

seperti terlihat pada Gambar 2, sedang proses

wulung

pembuatan powder/tepung seperti tampak pada

terbesar adalah karbohidrat yaitu 64,98 % pada

Gambar 3. Analisa Kandungan Total Antosianin

beras wulung sedang beras merah adalah

(Markakis, 1982). Analisa Kandungan Total

65,59%.

untuk

mengetahui

Phenol (Taga et al, 1984)

maupun

beras

merah

komponen

Kadar protein baik pada beras wulung maupun beras merah juga relatif tinggi yakni 15,41%. Hasil ini memperlihatkan jauh lebih

Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan

tinggi dibanding penelitian Sompong et al

dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak

(2011) yang menunjukkan dari 9 varietas beras 59

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

merah yang diuji kadar maksimum kadar

Gambar 4 tampak bahwa terdapat

protein adalah 10.36 ± 0.04 %. Pada 3 varietas

perubahan fisik yang sangat berbeda dari bahan

beras hitam yang diuji berkisar 8.17 ± 0.41 %

awal yaitu beras wulung pecah kulit baik

(minimum) dan 10.85 ± 0.09 % (maksimum).

setelah diolah menjadi tepung beras wulung

Kadar lemak (4,23% pada beras wulung

maupun menjadi nasi wulung. Perbedaan terjadi

dan 4,15% pada beras merah) serta kadar

karena beras telah mengalami penambahan air

mineral total (beras wulung 2,04% dan beras

dan perlakuan panas. Selain perubahan fisik

merah 1,57%) pada sampel yang diuji diperoleh

tersebut beras wulung juga diuji perubahan

hasil yang mirip dengan yang dilakukan

kimianya

Sompong et al (2011) yang mempelihatkan

poliphenolnya

diantara sampel yang diuji bervariasi 2.85 ±

antosianin.

khususnya (total

terhadap phenol)

komponen dan

kadar

0.09 - 3.72 ± 0.06 % kadar lemak beras hitam

Hasil penelitian terhadap kandungan

dan 1.74 sampai 1,48 g/100 g db) kadar

total phenol baik pada saat masih dalam bentuk

mineral. Sedang Deepa et al. (2008) dalam

beras, setelah diolah menjadi tepung beras

penelitiannya terhadap beras Njavara, yaitu

wulung dengan cara sangrai serta diolah

beras berwarna merah yang dipercaya berkasiat

menjadi nasi beras wulung dengan Rice cooker

obat (a medicinal rice) di India mempunyai

tampak sebagaimana pada Gambar 5.

komponen 73% Karbohidrat, 9.5% protein,

Gambar 5 menunjukkan bahwa tidak

2.5% lemak, 1.4% abu.

terdapat perbedaan kadar total phenol antara beras wulung (pecah kulit) dengan yang telah

Pengaruh Pengolahan Beras terhadap Kandungan Total Phenol

diolah menjadi nasi wulung, namun terdapat

Wulung

perbedaan yang signifikan (P<0,05) dengan

Pemasakan (pengolahan) beras menjadi

tepung

beras

wulung.

Hal

ini

diduga

produk siap konsumsi dimaksudkan untuk

dikarenakan pada pengolahan tepung beras

memudahkan

Dalam

wulung ini melalui suatu proses pengayakan (60

penelitian ini dilakukan 2 (dua) pengolahan

mesh) setelah diblender. Produk tepung beras

yaitu pengolahan beras wulung menjadi tepung

wulung yang diuji adalah tepung yang lolos

beras

penyangraian

pengayakan. Kemungkinan bahan-bahan yang

(penggorengan tanpa menggunakan minyak),

tidak lolos pengayakan adalah bahan-bahan

dalam hal ini menggunakan media pasir.

yang sulit hancur dengan blender padahal

Pengolahan yang kedua adalah pengolahan

diduga masih mengandung bekatul yang cukup

beras wulung menjadi nasi wulung dengan

tinggi. Bekatul adalah bagian beras yang

menggunakan alat penanak nasi Rice cooker

mengandung

selama 50 menit. Produk hasil penelitian

Dibandingkan tepung beras pecah kulit (PK),

tampak sebagaimana pada Gambar 4.

bekatul mengandung lebih banyak antioksidan

wulung

proses

dengan

pencernaan.

cara

60

senyawa

phenol

tinggi.

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

dan

berhubungan

dengan

nilai

kapasitas

terhadap kadar antosianin yang dikandung

antioksidan yang tinggi pula (Aguilar-Garcia, et

dalam

al (2007). Sementara Randhir et al (2008)

sebagaimana dalam Gambar 6. Dari Gambar 6

menyatakan penurunan kandungan total phenol

tersebut terlihat bahwa terdapat perubahan

yang diobservasi dalam soba (buckwheat)

kadar antosianin yang signifikan (P<0,05)

kemungkinan

dari

antara beras wulung (berupa beras pecah

proses

kulit/PK) dengan tepung beras wulung maupun

beberapa

dikarenakan

komponen

degradasi

phenol

oleh

pemanasan.

masing-masing

produk

tampak

nasi beras wulung.

Dari hasil penelitian terhadap kadar total

Kadar antosianin beras wulung pecah

phenol dengan perhitungan basis basah (wet

kulit sebesar 2,506±0,02 mg/100g sampel

basic) diperoleh kadar total phenol beras

(%wb), sedang tepung beras dan nasi berturut-

wulung, tepung beras wulung, dan nasi beras

turut 2,133±0,06 dan 0,153±0,01 mg/100g

wulung berturut-turut adalah 0,656, 0,484 dan

sampel (%wb). Dalam basis perhitungan dry

0,27 mg ekuivalen asam gallat /100 g (%wb).

basis kadar antosianin beras wulung pecah kulit

Namun setelah dilakukan perhitungan secara

adalah 2,8918 mg/100g, tepung beras wulung

basis

2,4091 dan nasi beras wulung adalah 0.4741

kering

(dry

basic)

diperoleh

hasil

sebagaimana tampak pada Gambar 5. Kadar

mg/100g.

Kadar antosianin tersebut berbeda

total phenol beras wulung adalah 0,76 ±0,04

dengan kandungan antosianin beras hitam

mg ekuivalen asam gallat /100 g (% db), setelah

setengah sosoh (SSH) dan pecah kulit (PK)

diolah menjadi tepung beras wulung kadar total

yang diteliti oleh Swasti dan Astuti (2007) yang

phenol adalah 0,55±0,02 mg ekuivalen asam

mempunyai kandungan antosianin 149 ± 11

gallat /100 g (% db) dan setelah menjadi nasi

mg/100g (db) dan 152 ± 16 mg/100g (db).

beras wulung total phenol sebesar 0,84 ±0,06

Beras wulung yang masih berupa beras

mg ekuivalen asam gallat /100 g (% db). Kadar

pecah kulit (Brs W.PK) memiliki kadar

air bahan berpengaruh terhadap kadar suatu

antosianin yang paling tinggi, diikuti tepung

komponen per satuan bahan oleh karena untuk

beras (Tep Brs W) dan nasi beras wulung (Nasi

melihat

komponen

Brs W). Hal ini dikarenakan produk berupa

tersebut lazimnya dilakukan dalam dry basic

beras pecah kulit belum mengalami perlakuan

(db).

panas dibanding dengan kedua produk yang

perubahan

kandungan

lain. Nasi beras wulung mengalami penurunan Pengaruh Pengolahan Beras terhadap Kandungan Antosianin Pengaruh

pemasakan

beras

kadar antosianin yang paling tinggi dikarenakan

Wulung

proses

pengolahan

beras

menjadi

nasi

memerlukan perlakuan panas yang lebih tinggi

wulung

dan lebih lama dibanding dengan proses

menjadi nasi wulung dan tepung beras wulung

pembuatan tepung beras wulung, disamping itu 61

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

pada proses pembuatan tepung beras wulung

Penelitian lanjut masih perlu terus

juga beras tidak mengalami proses pencucian

dilakukan untuk mengetahui cara pengolahan

sehingga

kandungan

yang tepat dari beras wulung untuk memperoleh

antosianin tidak terikut terbuang bersama air

bukti bahwa beras wulung mempunyai potensi

bekas pencucian.

sebagai diet penderita diabetes mellitus.

kemungkinan

besar

Hasil penelitian ini dapat dikatakan bahwa untuk mengambil manfaat dari beras wulung

khususnya

terhadap

DAFTAR PUSTAKA Aguilar-Garcia, C.; Gavino, G.; BaraganoMosqueda, M.; Hevia, P.; Gavino, V. C. Correlation of tocopherol, tocotrienol, γ-oryzanol and total polyphenol content in rice bran with different antioxidant capacity assays. Food Chem. 2007, 102, 1228-1232.

kandungan

antosianin, sebaiknya pemasakan beras wulung dilakukan

dengan

dibuat

menjadi

tepung

(powder). Pengolahan beras wulung menjadi tepung hanya mengalami sedikit pemanasan

Anonim, 2010. Boyolali dalam Angka 2009. BPS Kab. Boyolali.

yaitu dengan penyangraian.

Deepa,G, Vasudeva Singh, K. Akhilender Naidu., 2008. Nutrient Composition and Physicochemical Properties of Indian Medicinal Rice – Njavara. Food Chemistry 106 : 165–171

KESIMPULAN Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa : 1.

Komponen dominan dari beras wulung

Fardiaz, Dedi, 1997. Makanan Fungsional dan Pengembangannya melalui Makanan Tradisional. Prosiding Seminar Tekn. Pangan, 5-8 Juli, Yogyakarta.

(beras hitam) adalah karbohidrat (64,98 %wb). Kadar protein total 15,41%wb, kadar lemak 4,23%wb, mineral (abu) 2,04

Hanhineva, Kati, Riitta Törrönen, Isabel Bondia-Pons, Jenna Pekkinen, Marjukka Kolehmainen, Hannu Mykkänen and Kaisa Poutanen, 2010. Impact of Dietary Polyphenols on Carbohydrate Metabolism. Review. Int. J. Mol. Sci. 2010, 11, 1365-1402

%wb, serat kasar 3,52 %wb serta kadar air 13,34%. 2.

Tidak terdapat perbedaan kadar total phenol antara beras wulung (pecah kulit) dengan yang telah diolah menjadi nasi

Hiemori,Miki, Eunmi Koh and Alyson E. Mitchell, 2009. Influence of Cooking on Anthocyanins in Black Rice (Oryza sativa L. japonica var. SBR). J. Agric. Food Chem., (5): 1908-1914.

wulung, namun terdapat perbedaan yang signifikan dengan tepung beras wulung. 3.

Terjadi perubahan penurunan kandungan antosianin

yang

signifikan

Hilliam, M. 2000. Functional Food : How big is the Market? World of Food Ingredients 12 : 50-53.

dalam

pengolahan beras wulung (beras hitam)

Kristamtini, 2009. Mengenal Beras Hitam dari Bantul. http://www.litbang.deptan.go.id/arti kel/

menjadi tepung beras wulung dan nasi wulung. Penurunan kandungan antosianin mencapai 83,60% terjadi pada pengolahan dengan pemasakan menjadi nasi wulung. 62

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

Lai,Phoency, Ken Yuon Li, Shin Lu, Hua Han Chen, 2009. Phytochemicals and Antioxidant Properties of Solvent Extracts from Japonica Rice Bran. Food Chem. 117:538-544

Scalbert, A., Johnson, I.T., Saltmarsh, M., 2005. Polyphenols: antioxidants and beyond. American Journal of Clinical Nutrition 81: 215S–217S. Solopos, 2 April 2011. Boyolali Kembangkan Beras Wulung.

Markakis,Perieles, 1982. Anthocyanins as Food Colors. Academic Press, Inc, London.

Sompong,R, Siebenhandl-Ehn,S, G.LinsbergerMartin, E. Berghofer, (2011). Physicochemical and Antioxidative properties of Red and Black Rice Varieties from Thailand, China and Sri Lanka. Food Chemistry 124: 132–140

Muchtadi, D, dan C. Hanny Wijaya, 1996. Pangan Fungsional : Pengenalan dan Perancangan. Kursus singkat “ Makanan Fungsional dan Keamanan Pangan” PAU PAngan dan Gizo, UGM, Yogyakarta.

Suyono, S., 2006, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid III edisi 4, Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI, Jakarta, hal. 1874-1878.

Ono, K., Sugihara, N., Hirose, Y. dan Katagiri, K., 2003. An Examination of Optimal Solvents for Anthocyainin Pigments from Black Rice Produced in Gifu. J. Agric. Food Chem., 2003, 51 (18), pp 5274–5279. Perkem

Swasti, Yuliana Reni dan Mary Astuti, 2007. Aktivitas Antioksidan Antosianin Beras Hitam Dalam Low-Density Lipoprotein (LDL) Plasma Darah Manusia Secara In Vitro. Thesis. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Ind (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia), 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di Indonesia 2006. Fakultas Kedokteran UI. Jakarta

Taga, M.S., Miller, E.E. dan Pratt, D.E.,1984. Chia Sheeds as source of natural lipid antioxidants. Journal of American Oil Chemical Society 61: 928-931)

Pimentel, P, 2007. Diabetes Prevalence Surges to 246 milion. 19th World Diabetes Congress, 3-7 Desember 2006. Cape Town South Africa. Medical Tribune. February. pp 6.

Tri Dewanti W Mubandrio, 2009. Beras Hitam. http://terminalcurhat.blogspot.com/200 9/10/beras-hitamberas-yangmenyehatkan.html

Randhir,R., Young-In Kwon, Kalidas Shetty., 2008. Effect of Thermal Processing on Phenolics, Antioxidant Activity and Health-Relevant Functionality of Select Grain Sprouts and Seedlings Innovative Food Science and Emerging Technologies 9 :355–364

Wild, S.; Roglic, G.; Green, A; Sicree, R.; King, H., 2004. Global prevalence of diabetes: Estimates for the year 2000 and projection for 2030. Diabetes Care 27: 1047-1053.

63

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

Analisis kadar air, karbohidrat, protein, lemak, abu, total phenol dan kadar antosianin

Beras wulung pecah kulit

Pengolahan menjadi nasi

Pengolahan menjadi tepung

Evaluasi kadar zat potensi

Analisis kadar total phenol dan Antosianin

Analisis Data

Pelaporan

Gambar 1. Jalan penelitian secara keseluruhan

Beras wulung sosoh

Pencucian

Air 1:4

Penanakan dalam Rice Cooker, 50 menit

Nasi beras wulung Gambar .2. Diagram alir pengolahan beras wulung menjadi nasi hitam

64

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

Pasir

Beras wulung

Pencucian

Pengeringan (Penjemuran)

Penyangraian dalam wajan stainless steel, 15 menit disertai pengadukan

Penggilingan dengan blender

Pengayakan

Bubuk (powder) beras wulung Gambar 3. Diagram alir pengolahan beras wulung menjadi tepung (powder)

65

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

Beras Wulung

Tepung Beras Wulung

Nasi Beras Wulung

Gambar 4. Beras wulung dan hasil olahannya

66

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013 Perubahan kandungan total phenol selama pengolahan beras wulung t o t a l p h e n o l

0.84

a

0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0

0.76

a

b

0.55

Brs W. PK

Tep Brs W

Nasi Brs W

Macam pengolahan

Gambar 5. Kandungan Total phenol mg ekuivalen asam gallat /100 g (% db) pada beras wulung (Brs W.PK= 0,76±0,04), tepung beras wulung (Tep Brs W=0,55±0,02) dan nasi beras wulung (Nasi Brs W=0,84±06). Diagram yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata.

a 2.8918 3.0

k a d a r

a n t o s i a n i n

2.4091 b

2.5 2.0 1.5 1.0

0.4741 c

0.5 0.0 Brs W. PK

Tep Brs W

Nasi Brs W

macam pengolahan

Gambar 6. Perubahan kadar antosianin (mg/100g, %db) beras Wulung (Brs W.PK=2,89±0,02) menjadi tepung beras Wulung (Tep Brs W=2,41±0,06) dan Nasi beras Wulung (Nasi Brs W=0,47±0,01). Diagram yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata. Tabel 1. Hasil Analisa Proksimat Beras Wulung (Hitam) dan Beras Merah Komponen Air Mineral Total Lemak Protein Total Karbohidrat Serat Kasar

Beras Wulung (%,wb) 13,34 2,04 4,23 15,41 64,98 3,52

Beras Merah (%,wb) 13,28 1,57 4,15 15,41 65,59 2,33

67

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

68

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

PEDOMAN PENULISAN NASKAH A. Format Seluruh bagian dari naskah narasi diketik dua spasi pada kertas HVS ukuran kuarto, batas atasbawah dan samping masing-masing 2,5 cm. Pengetikan dilakukan dengan menggunakan huruf bertipe Times New Roman berukuran 12, dengan spasi ganda dan tidak bolak-balik. Gambar dan tabel dari publikasi sebelumnya dapat dicantumkan apabila mendapat persetujuan dari penulisnya. Setiap halaman diberi nomor secara berurutan termasuk halaman tabel/bagan/grafik/gambar/foto pada akhir naskah. Publikasi ilmiah ditulis 15-17 halaman (sekitar 3000 karakter), termasuk gambar dan tabel. Susunan naskah hasil penelitian dibuat sebagai berikut: 1. Judul Ada dua bahasa dalam penulisan judul, yaitu yang pertama menggunakan Bahasa Indonesia dan kedua Bahasa Inggris. Judul menggunakan Bahasa Indonesia dicetak dengan huruf besar pada awal kata (kecuali kata sambung) bertipe Times New Roman berukuran 14 dan spasi satu, sedangkan yang berbahasa Inggris dengan huruf miring. Judul artikel ditulis singkat dan informatif dan mampu menerangkan isi tulisan dengan jumlah maksimal 15 kata. Hindari penggunaan kata yang mempunyai kesan umum seperti penelahaan, studi, pengaruh dan lain-lain. Tidak diperkenankan menggunakan singkatan dan penambahan nama latin. 2. Nama dan Alamat Penulis Penulisan nama ditulis semua nama yang terlibat dan lengkap tidak ada singkatan. Penulisan nama tidak dilengkapi pangkat, kedudukan dan gelar akademik, dan diberi kode (1, 2, 3,...) pada bagian atas nama belakang dari masing-masing nama penulis. Bagian bawah nama diberi alamat korespodensi (alamat institusi) masing-masing nama, dengan mengikuti kode di atas, dan alamat e-mail lembaga yang memungkinkan terjadi korespodensi dengan ilmuwan lain. 3. Abstrak Abstrak merupakan ringkasan yang lengkap dan menjelaskan keseluruhan isi artikel ilmiah. Abstrak ditulis sebaik mungkin agar pembaca dapat menangkap isi artikel tanpa harus mengacu ke artikel lengkapnya. Abstrak ditulis dalam satu bahasa yaitu bahasa Inggris dengan judul “ABSTRACT”, paling banyak terdiri atas 200 kata dalam satu paragrap, diketik huruf miring dengan spasi tunggal. Abstrak berisi ringkasan pokok bahasan lengkap dari keseluruhan naskah (Pendahuluan, Metode Penelitian, Hasil, dan Kesimpulan) tanpa harus memberikan keterangan terperinci dari setiap bab. Abstrak tidak mencantumkan tabel, ilustrasi, rujukan dan singkatan. Untuk menghemat kata, jangan mengulang judul dalam abstrak. 4. Kata Kunci Kata kunci adalah kata-kata yang mengandung konsep pokok yang dibahas dalam artikel. Kata kunci dengan judul “Key words” sebanyak 3 sampai 6 kata ditulis dalam bahasa Inggris diletakkan di bawah abstract dalam satu baris dan cara pengurutannya dari yang spesifik ke yang umum. Kata kunci yang baik dapat mewakili topik yang dibahas dan digunakan untuk mengakses lewat komputer oleh pembaca. 5. Pendahuluan Pendahuluan merupakan pengantar tentang substansi artikel sesuai dengan topik dan masalahnya, terutama alasan-alasan baik teoritis maupun empiris yang melatar belakangi kegiatan penulisan artikel. Memuat secara ekplisit dengan singkat dan jelas tentang arah, maksud, tujuan serta kegunaan artikel agar substansi artikel tidak menimbulkan kerancuan pengertian, pemahaman dan

69

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

penafsiran makna bagi pembacanya. Berisi penjelasan latar belakang atau problematika yang dikaji dan tujuan penelitian dilakukan. Kalimat-kalimat awal seharusnya merupakan hasil pemikiran sendiri, bukan kutipan. Penyajian harus runut secara kronologis, ada kaitan logika antara alinea pertama dengan berikutnya dengan jelas. Kerangka berpikir disajikan secara singkat dan jelas berdasarkan konsep-konsep teoritis yang digunakan untuk membahas, menganalisis dan menafsirkan data, informasi serta temuan-temuan yang diperoleh. Penting dikemukakan pula konsep-konsep pemikiran yang berasal dari temuan-temuan peneliti sejenis, jika mungkin yang terbaru, yang telah dilakukan oleh peneliti atau penulis yang sebelumnya. Pustaka yang digunakan benar-benar mendukung latar belakang yang diungkapkan. Sebaiknya tidak mengutip hasil-hasil penelitian terdahulu yang tidak dipublikasikan. Nama organisme (Indonesia/daerah) yang tidak umum harus diikuti dengan nama ilmiahnya pada pengungkapan pertama kali. 6. Metodologi Metode adalah cara-cara yang digunakan dalam penulisan artikel ilmiah. Metode tersebut harus sesuai dengan metodologi yang digunakan pada saat melakukan penelitian. Berisi informasi teknis (deskripsi bahan, penarikan contoh, prosedur dan pengolahan data) dan diuraikan secara lengkap jika metode yang digunakan merupakan metode baru. Untuk metode yang sudah umum digunakan, cukup dengan menyebutkan pustaka yang diacu. Dalam menulis pelaksanaan teknis penelitian (prosedur) tidak menggunakan kalimat perintah. Bahan kimia yang sangat penting dan khusus untuk analisis disebutkan produsennya. Alat seperti gunting, gelas ukur, gelas kimia, pensil dan lain-lain tidak perlu ditulis, tetapi peralatan khusus untuk analisa (AAS, spektrofotometer, HPLC, GC, dan lain-lain) ditulis secara rinci bahkan sampai ke tipenya. 7. Hasil dan Pembahasan Berisi pengungkapan hasil-hasil penelitian saja, yang dapat disajikan dalam bentuk tubuh tulisan, tabel/bagan/grafik/gambar/foto disertai keterangan yang jelas dan informatif. Penyajian data harus sitematik, perlu dilihat tujuan dan langkah-langkah dalam metode. Narasi data berupa sarinya bukan menarasikan data seperti apa adanya. Penyajian data juga didukung oleh olahan data (bukan data mentah) dan ilustrasi yang baik. Pemberian nomor dibuat secara berurutan sesuai dalam naskah dan dilampirkan secara terpisah dari naskah. Keterangan gambar ditulis di bawah gambar, sedangkan keterangan tabel ditulis di atas tabel dan harus dibatasi dalam tubuh tulisan. Gambar dan bentuk grafik dapat dibuat pada halaman terpisah. Pembahasan bukan sekedar menarasikan data, tetapi berisi interprestasi hasil-hasil penelitian yang diperoleh dan pembahasan yang dikaitkan dengan hasil-hasil penelitian yang pernah dipublikasikan. Dalam menarasikan disesuaikan dengan tujuan dan hipotesa penelitian. Dalam pembahasan juga dilakukan analisa atau tafsiran dan pengembangan gagasan atau argumentasi dengan mengaitkan hasil, teori atau temuan sebelumnya. Ada dua pendekatan dalam melakukan pembahasan dan analisis terhadap data, yaitu pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif bersifat obyektif, positifistik dan bebas nilai, subyektifitas sedapat mungkin dihindari. Pendekatan kualitatif bersifat subyektif, relatifisme dan tidak bebas nilai. Hasil pembahasan dan analisis tidak berpretensi menghasilkan generalisasi, kalaupun ada generalisasi terbatas pada lingkup obyek penelitian. 8. Kesimpulan Simpulan ditulis secara kritis dan cermat dan dilakukan generalisasi (induktif) dibuat dengan hati-hati. Nyatakan simpulan atas hasil dan pembahasan secara singkat, padat, serta tanpa nomor urut. simpulan tidak mencantumkan kutipan dan analisa statistik. 70

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

9. Ucapan Terima Kasih Penulis dapat memberikan ucapan terima kasih kepada penyandang dana penelitian, maupun kepada institusi serta orang yang membantu dalam pelaksanaan penelitian. Nama institusi penyandang dana supaya dituliskan secara lengkap. 10. Daftar Pustaka Daftar pustaka ditulis memakai system nama dan disusun secara abjad. Beberapa contoh: a. Jurnal : Rueppel ML, Brightwell BB, Schaefer J, and Marvel JT. 1997. Metabolism and degradation of glyphosate in soil and water. J Argric Food Chem 25:517-528. b. Buku : Moore-Landecker E. 1990. Fundamental of the fungi. Ed Ke-3. New Jersey:Prenice Hall. d. Abstrak : Kooswardhono, M, Sehabudin. 2001. Analisis ekonomi usaha ternak sapi perah di wilayah Propinsi Jawa Barat. Abstrak Seminar Pengembangan Peternakan Berbasis Sumberdaya Lokal. Bogor, 89 Agustus 2001. Bidang Sosial dan Ekonomi-15. hlm 189. e. Prosiding : Lukiwati D.R. dan Hardjosoewignjo S. 1998. Mineral content improvement of Some tropical legumes with Glamous fungi inoculation and rock phosphate fertilization. Di dalam: Proccedings of the Internal Workshop on Mycorrhiza. Guangzhou, PR China, 6 September – 31 August 1998. hlm 77-79. f. Skripsi/Tesis/Disertasi : Ismunadji M. 1982. Pengaruh pemupukan belerang terhadap susunan kimia dan produksi padi sawah. (Tesis). Bogor.Institut Pertanian Bogor. g. Informasi dari Internet : Hansel L. 1999. Non-target effect of Bt corn Pollen on the Monarch butterfly (Lepidoptera:Danaidae).http://www.ent.iastate. edu/ensoc/ncb99/prog/abs/D81.html. (21 Agustus 1999) Acuan pustaka dalam teks ditulis dengan model nama dan tahun yang diletakkan dibelakang kata-kata, ungkapan atau kalimat yang diacu. Acuan yang ditulis dalam teks harus ada dalam daftar pustaka yang diacu dan sebaliknya bila ada dalam daftar pustaka juga harus ada dalam teks. Kata-kata, ungkapan atau kalimat yang ada alam teks tanpa sumber acuan dapat dianggap sebagai pendapat penulis dan bila ternyata sebenarnya mengacu dari pustaka lain, dapat dianggap plagiat. B. Ketentuan Umum 1. Naskah yang dikirim belum pernah diterbitkan, berupa hasil penelitian atau kajian pustaka yang ditambah pemikiran penerapannya pada kasus tertentu dengan topik yang aktual dalam lingkup pangan dan gizi. 2. Penulis mengirimkan naskah dalam bentuk hard copy rangkap 2 dan soft copy dalam CD atau melalui e-mail. 3. Jadual penerbitan adalah bulan Juli dan Desember. 4. Naskah jurnal untuk edisi yang akan terbit, paling lambat diterima oleh redaksi tiga (3) bulan sebelum jadwal penerbitan. Naskah akan dikoreksi oleh Mitra Bestari yang akan dijadikan dewan redaksi sebagai dasar dalam memutuskan diterima atau tidaknya naskah.

71

Jurnal Pangan dan Gizi Vol. 04 No. 07 Tahun 2013

72