JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN

Download Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat limpahan karunia dan rahmatNya kami dapat menyelesaikan buku panduan praktikum ekologi perair...

0 downloads 430 Views 2MB Size
Jurusan Budidaya Perairan

Kata Pengantar Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat limpahan karunia dan rahmatNya kami dapat menyelesaikan buku panduan praktikum ekologi perairan ini. Kami menyadari bahwa buku panduan praktikum ekologi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan masukan saran dari semua pihak khususnya para dosen pengasuh

mata

kuliah

ekologi

perairan.

Sehingga

dapat

menyempurnakan buku panduan praktikum ekologi untuk periode selanjutnya. Semoga buku panduan ini dapat berguna bagi kita semua terutama bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Terima Kasih.

Bandar Lampung, November 2012

Penyusun

Jurusan Budidaya Perairan

DAFTAR ISI Kata Pengantar............................................................................................................. 1 LANDASAN TEORI ......................................................................................................... 4 TEKNIK MEMPELAJARI PANTAI ................................................................................ 4 DESKRIPSI PANTAI .................................................................................................... 5 SURVEY SKALA LUAS ............................................................................................ 5 PENDEKATAN KUANTITATIF ................................................................................. 6 METODE UMUM YANG DIGUNAKAN UNTUK PANTAI BERBATU/ BERPASIR. ....... 13 MENSURVEI PROFIL PANTAI .............................................................................. 13 MENGESTIMASI PENGARUH AKSI GELOMBANG ............................................... 13 METODE-METODE YANG SESUAI UNTUK PANTAI BERBATU ................................. 15 MENGESTIMASI PERSENTASE PENUTUPAN ....................................................... 15 TOPOGRAFI PERMUKAAN PANTAI ..................................................................... 15 FAKTOR-FAKTOR LAIN ........................................................................................ 15 METODE-METODE YANG SESUAI UNTUK PANTAI BERSEDIMEN ........................... 16 LINGKUNGAN FISIKA DAN KIMIA ....................................................................... 16 PANTAI BERBATU ................................................................................................... 21 KESIMPULAN .......................................................................................................... 24 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 25 MATERI PRAKTIKUM .................................................................................................. 27 EKOSISTEM SUNGAI DAN ESTUARI ........................................................................ 27 TUJUAN PRAKTIKUM .......................................................................................... 27 ALAT DAN BAHAN .............................................................................................. 27 CARA KERJA ........................................................................................................ 27 EKOSISTEM PANTAI ................................................................................................ 29 TUJUAN PRAKTIKUM ......................................................................................... 29 ALAT DAN BAHAN .............................................................................................. 29 CARA KERJA : ...................................................................................................... 29 ANALISIS SAMPEL ....................................................................................................... 30 ANALISIS PLANKTON .............................................................................................. 30 ANALISIS FITOPLANKTON ...................................... Error! Bookmark not defined. ANALISIS ZOOPLANKTON ...................................... Error! Bookmark not defined. ANALISIS MAKROBENTOS .................................................................................. 39 ANALISIS KUALITAS AIR .......................................................................................... 40 Suhu ................................................................................................................... 40 Kecepatan arus................................................................................................... 40 Kecerahan .......................................................................................................... 40 Derajat keasaman (pH) ...................................................................................... 41 Kandungan O2 terlarut ....................................................................................... 41 Kandungan C02 bebas ........................................................................................ 42 Alkalinitas ........................................................................................................... 43 PENGUKURAN KANDUNGAN BAHAN ORGANIK: ................................................... 45 ANALISIS DATA ........................................................................................................... 46 FORMAT LAPORAN .................................................................................................... 48

Jurusan Budidaya Perairan

PETUNJUK UMUM

1.

Peserta praktikum wajib datang dan melakukan praktikum sesuai dengan prosedur dan waktu yang telah ditentukan.

2.

Peserta praktikum yang kehadirannya tidak lengkap dinyatakan tidak lulus praktikum Ekologi Perairan. Dan perlu diperhatikan, lulus praktikum adalah syarat kelulusan mata kuliah Ekologi Perairan.

3.

Peserta praktikum diwajibkan berpakaian rapih dan sopan, apabila melanggar praktikan bisa dikeluarkan dari praktikum Ekologi Perairan.

4.

Setiap kesulitan dalam praktikum dapat ditanyakan pada asisten dan dosen pendamping praktikum.

5.

Kejadian yang luar biasa atau kerusakan alat selama praktikum harus segera dilaporkan kepada asisten. Kerusakan alat akibat kelalaian peserta praktikum menjadi tanggung jawab peserta praktikum.

6.

Setelah melakukan praktikum, peserta praktikum diharuskan membuat laporan sementara dalam bentuk Laporan Sementara yang diserahkan dalam waktu yang ditentukan selama praktikum. Laporan Akhir diserahkan setelah semua praktikum selesai.

7.

Laporan Sementara ditulis pada kertas folio bergaris dan diberi sampul.

8.

Laporan Akhir diketik pada kertas HVS kuarto (A4). Ketentuan batas atas : 4 cm, bawah : 3 cm, kiri : 4 cm dan kanan : 3 cm dengan spasi 1,5 dan sampul.

9.

Hal yang belum diatur dalam Buku Panduan Praktikum akan diatur kemudian.

Jurusan Budidaya Perairan

LANDAS AN TEORI TEKNIK MEMPELAJARI PANTAI Pantai merupakan daerah yang tidak asing bagi masyarakat Indonesia karena sebagian besar penduduk bermukim di daerah pesisir. Adanya karakter pantai yang khas seperti semilir angin yang bertiup, deburan ombak, pemandangan matahari terbenam (sunset), pasang surut dan berbagai organisme seperti cangkang kerang-kerangan yang terdampar serta tepian pantai yang berpasir putih menjadi daya tarik seseorang untuk mendatangi dan mempelajari pantai lebih jauh. Pada dasarnya pantai merupakan wilayah yang sangat kompleks sebagai hasil dari berbagai interaksi antara faktor fisik, kimiawi dan biologis. Daerah pantai merupakan wilayah pertemuan antara ekosistem daratan dan lautan sehingga memiliki karakteristik yang spesifik. Dengan demikian pantai menjadi wilayah yang sangat menarik untuk dipelajari karena banyaknya aspek yang dapat dikaji. Akses menuju pantai umumnya sangat mudah karena pantai termasuk wilayah umum yang menjadi milik bersama (common property). Pantai dapat diibaratkan sebagai laboratorium terbuka yang sangat besar dan lengkap sehingga kita dapat mempelajari berbagai bidang ilmu seperti taksonomi, ekologi, biologi laut, evolusi, geologi, oseanografi, kimia, fisika dan lain-lain. Mempelajari pantai termasuk hal yang relatif mudah dan menyenangkan karena adanya stratifikasi yang jelas dari faktor fisik dan biologis, mulai dari daratan yang tidak pernah tergenang oleh pasang tertinggi hingga daerah yang terekspose pada saat surut terendah. Pada pantai berbatu sebagian besar hewan hidup dengan melekat di dasar substrat serta sesekali melakukan pergerakan yang lambat. Identifikasi terhadap jenis hewan dan tumbuhan yang lebih besar akan lebih mudah dilakukan dengan menggunakan pedomen identifikasi. Dalam tulisan ini akan diuraikan bagaimana tahap dan metode yang dapat dilakukan untuk mempelajari pantai. Berbeda dengan pantai berbatu, pantai berpasir dan rataan berlumpur umumnya lebih cepat rusak, misalnya ketika penyaringan dilakukan untuk menghitung hewan infauna. Jenis polychaeta dan bivalvia umumnya sulit dicari karena lebih cepat meloloskan diri. Pendekatan eksperimen dengan perlakuan terhadap sedimen tanpa merusak sampel dan merubah struktur lingkungan lumpur umumnya begitu rumit karena hewan-hewan yang ada didalamnya sangat berasosiasi dengan badan lumpur sebagai habitatnya. Tulisan ini menguraikan beberapa aspek tentang hal-hal yang dapat dilakukan jika seseorang ingin melakukan penelitian di daerah pantai, khususnya daerah intertidal. Pada bagian pertama akan diuraikan tentang bagaimana cara untuk melakukan survei sebagai tahap awal untuk memulai penelitian dan melakukan deskripsi terhadap kondisi pantai yang menjadi lokasi penelitian. Bagian kedua membahas tentang metode umum yang dapat dilakukan untuk penelitian. Pada bagian ketiga dan keempat berturut-turut akan dijelaskan mengenai metode yang dapat diterapkan pada pantai berbatu dan pantai bersedimen. Sedangkan pada dua

Jurusan Budidaya Perairan

bagian terakhir, yaitu bagian kelima dan keenam akan diuraikan tentang studi jangka panjang serta eksperimen lapangan yang dapat di lakukan di daerah intertidal.

DESKRIPSI PANTAI SURVEY SKALA LUAS Untuk memulai suatu penelitian di daerah pantai, beberapa ilmuwan menetapkan dengan tegas tujuan yang ingin dicapai terlebih dahulu kemudian memutuskan metode apa yang akan digunakan. Selanjutnya, para ilmuwan memulai penelitian dengan membuat ilustrasi berupa sketsa kasar yang bersifat umum. Sketsa ini selanjutnya diberi warna. Tidak disarankan untuk membuat sketsa detail secara langsung lebi dahulu karena pengamatan dan interpretasi terhadap sketsa yang sederhana jauh lebih mudah. Setelah diperoleh hal-hal pokok seperti jenis pantai, tipe substrat, topografi pantai, tipe gelombang, jenis organisme dominan dan lain-lain maka sketsa dilanjutkan kepada hal-hal yang lebih detail.

Sketsa

Detail

Gambar 1. Contoh pendekatan skala luas (broad scale survey). Contoh di atas merupakan sebuah gambar sketsa dan gambar yang lebih detail dari sebuah pantai (Garrison, 2006).

Jurusan Budidaya Perairan

Deskripsi kualitatif Survey skala luas (Broad-scale survey) termasuk metode pendekatan nonkuantitatif. Untuk memulai metode ini dapat dilakukan dengan menggambarkan karakterisik utama dari pantai dan habitatnya. Sebagai contoh, apakah lokasi pantai termasuk tipe berbatu, sedimen, atau campuran? Apakah pantainya termasuk terekspos atau terlindung? Jika berbatu apakah jenisnya tergolong hamparan (bed rock) atau lebih didominasi oleh bongkahan (builders)? Berapa ukuranbatu atau substratnya dan sejauh mana tingkatan dari sedimen yang terbentuk? Apakah tipe pantai tergolong terjal atau berbatu-batu? Apa tipe dari bebatuannya? dan sebagainya. Survei skala luas dapat digunakan untuk melihat penyusun utama komunitas organisme di daerah intertidal. Salah satu contohnya, pada bagian tengah pantai apakah tertutup oleh alga, teritip atau kerang-kerangan?. Cara terbaik untuk mendapatkan informasi ini adalah dengan menggunakan standarisasi untuk survey skala luas “Broad-scale survey” yang dikeluarkan oleh “Joint Nature Conservancy Committee” di Inggris. Daftar dari faktor-faktor yang berhubungan dengan nilai konservasi telah menjadi catatan tersendiri, seperti pembangunan daerah pesisir, aktifitas rekreasi, polusi dan pencemaran serta daerah perlindungan pantai (Raffaelli dan Hawkins, 1996). Pendekatan semi-quantitatif : skala kelimpahan . Cara untuk menentukan kelimpahan organisme dengan pendekatan semiquantitatif telah ditemukan oleh Crisp and Southward (1958) dalam Raffaelli dan Hawkins, 1996. Pendekatan ini dilakukan dengan penentuan batasan nilai untuk menggambarkan populasi dari organisme pada lokasi tertentu. Beberapa batasan nilai yang dapat digunakan, misalnya : melimpah, umum, sering, jarang, langka, atau tidak ditemukan. Salah satu contoh hasil survei skala luas yang dapat digunakan untuk melihat skala kelimpahan dapat dilihat pada Gambar 2. Skala kelimpahan merupakan cara cepat yang umum digunakan untuk membandingkan pola zonasi bagian-bagian pantai dalam satu kawasan. Metode pendekatan dengan survei skala luas ini menyerupai metode yang sekarang sering digunakan yang disebut “REA: Rapid Ecological Assesment” (kajian ekologi secara cepat). Keuntungan dari metode/teknik ini adalah dapat menarik kesimpulan secara cepat mengenai sebagian atau keseluruhan dari pantai. Kesulitan terbesar dalam menggunakan semi-quantitatif adalah adanya perbedaan kelimpahan yang dilakukan pengamat karena tanpa disertai hasil analisis statistik yang berupa ukuran atau variabel. Masalah-masalah ini sangat sulit untuk mengkaji trend dalam jangka waktu yang lama. PENDEKATAN KUANTITATIF Untuk survey yang lebih detail, metode estimasi kuantitatif dengan menggunakan transek kuadrat dapat dilakukan untuk menghitung kelimpahan. Pada pantai bersedimen, pendekatan kuantitatif umumnya bersifat destruktif, karena merusak habitat dengan membongkar sedimen untuk disortir. Demikian

Jurusan Budidaya Perairan

pula pada pantai berbatu, upaya estimasi biomassa dengan memotong bagian dari lamun, alga, serta mengambil individu hewan sessil juga merupakan kegiatan yang sifatnya destruktif. Upaya mempelajari tumbuhan dan hewan yang hidup di daun lamun atau di alga juga bersifat destruktif, karena harus memotong daun lamun atau alga yang menjadi habitat bagi obyek yang diteliti (Wimbaningrum, 2002).

Gambar 2.

Penggunaan survei skala luas untuk melihat skala kelimpahan beberapa spesies organisme yang hidup di pantai berbatu di Inggris (Raffaelli & Hawkins, 1996).

Sampling dengan menggunakan kuadrat dan core Untuk mengetahui kelimpahan populasi dan pola zonasi organisme di daerah intertidal, dapat dilakukan dengan beberapa teknik sampling, diantaranya dengan menggunakan transek kuadrat dan core (Gambar 3a). Berbagai jenis mikrohabitat yang bervariasi dapat ditemukan seperti daerah pantai terbuka yang menghadap ke laut, rataan bebatuan yang selalu kering, rock pools (kolam kecil pada batu), celah batu, dan dibawah bongkahan batu. Semuanya memiliki kondisi lingkungan yang spesifik, jenis organisme yang berbeda dan terpisah satu sama lain. Pantai bersubstrat sedimen, umumnya lebih homogen dimana pasang surut menjadi

Jurusan Budidaya Perairan

faktor lingkungan utama yang mempengaruhi kondisi mikrohabitat sehingga perlu dilakukan teknik pengambilan sampel yang berbeda saat kondisi pasang maupun surut (Raffaelli dan Hawkins, 1996). Salah satu metode yang umum digunakan untuk mengestimasi kelimpahan spesies yang terdapat di pantai, terutama pada pantai yang lebih landai dengan kisaran pasang surut yang rendah adalah transek sabuk (Belt transects). Penentuan ukuran (lebar) transek merupakan hal yang penting dalam metode ini . Lebar transek perlu disesuaikan dengan kondisi lapangan dan obyek yanga akan diteliti. Jika transek terlalu sempit maka akan diperoleh nilai yang berbeda dari kelimpahan dan kisaran zonasi yang sesungguhnya secara vertikal. Jika transek terlalu lebar, maka hasil yang diperoleh akan menyimpang dari kondisi gradien horisontal akibat hempasan gelombang.

Gambar 3a. Beberapa contoh teknik sampling dengan menggunakan metode kuantitatif. Dari atas ke bawah : pengambilan sedimen dengan core, jenis core yang digunakan untuk mengestimasi kelimpahan hewan bentos di pantai bersedimen, contoh kuadrat, pemotretan obyek studi dalam kuadrat, penggalian hewan bentos secara destruktif dan LIT (McKenzie 2002).

Jurusan Budidaya Perairan

Untuk mempelajari ekologi organisme daerah intertidal yang memiliki perbedaan ukuran dan kelompok taksa, maka disarankan untuk menggunakan metode sampling acak bertingkat/stratified random sampling (Reef Watch, 2004b, 2004c). Metode ini sangat baik digunakan untuk mengkaji zonasi pantai dengan perbedaan strata yang tinggi seperti misalnya : seperti zona kerang Mytilus edulis, zona kelp dan alga dengan interval setinggi 0,5 m di atas muka air terendah. Ulangan secara acak pada setiap strata tersebut dapat dilakukan serta diuji dengan menggunakan metode transek kuadrat. Jika pola zonasi yang terbentuk sudah pernah diteliti, maka stasiun pengamatan berikutnya diusahakan tegak lurus dengan pantai dan dilakukan sampling secara acak pula. Jika pada penempatan transek kuadrat terdapat kolam (pool), celah, atau beberapa mikrohabitat lainnya, penolakan pengambilan sampel pada daerah ini dapat dibenarkan sesuai tujuan dalam penentuan pola zonasi pada pantai berbatu dan berpasir. Proses ini membutuhkan lebih banyak waktu dibanding metode skala kelimpahan semiquantitatif, tetapi untuk membandingkan beberapa site pengamatan dapat buat dalam model statistik dengan estimasi interval kepercayaan tertentu (Raffaelli dan Hawkins, 1996). Menentukan ukuran dan jumlah sampel Salah satu hal yang penting dilakukan sebelum memulai suatu kegiatan survei atau penelitian di daerah intertidal adalah menentukan ukuran petak sampling (plot) dan berapa banyak unit sampling yang dibutuhkan. Hal ini berlaku untuk semua metode penelitian baik yang bersifat destruktif atau non-destruktif, melibatkan satu spesies atau banyak spesies, serta dilakukan pada pantai bersedimen atau pantai berbatu. Jika ragam sampel suatu spesies organisme yang diambil dari populasi sedikit, maka data yang diperoleh akan sulit digunakan untuk membandingkan kepadatan populasi dengan ukuran sebenarnya. Data distribusi spasial serta uji statistik yang tepat untuk membandingkan setiap site pengamatan di lapangan juga tidak dapat dilakukan. Pemilihan ukuran petak sampling (panjang x lebar plot) yang tepat juga penting. Jika transek kuadrat dan core yang dipilih terlalu kecil maka akan lebih banyak sampling yang akan dilakukan. Oleh karena itu penentuan ukuran petak sampel yang tepat sangat penting untuk meminimalisir jumlah unit sampling yang diperlukan. Ukuran transek kuadrat dan corer yang digunakan umumnya bersifat tetap dan sering digunakan pada lahan yang sesuai dengan peruntukannya. Ukurannya bisa sama atau lebih besar dari ukuran organisme yang ditemukan, dan sebaiknya mudah digunakan di lapangan. Transek kuadrat dengan ukuran 1 x 1 m biasanya agak sulit untuk digunakan pada semua daerah. Unit sampling yang harus diambil tidak harus selalu berjumlah banyak karena akan mengakibatkan jumlah oganisme (tumbuhan dan hewan) yang tercatat akan banyak pula atau akan banyak memperoleh petak yang kosong jika distribusi organismenya mengelompok (Barnes, 1999 ; Reef Watch 2004a, 2004b, 2004c).

Jurusan Budidaya Perairan

Pada pantai berbatu, jumlah individu antara 0 – 100 ekor umumnya lebih mudah untuk dihitung. Tetapi jika jumlahnya sudah melebihi ratusan individu, maka pengambilan data dengan sub-sampling atau kuadrat yang lebih kecil amat dibutuhkan. Jika sampling dilakukan pada sedimen, maka kebutuhan akan suatu alat bantu pengukuran amat penting. Usaha untuk menyampling volume pasir sebesar 25 x 25 x 25 cm dengan mesh size saringan 1 mm atau lebih kecil akan sangat berat untuk dilakukan. Volume pasir dapat diambil lebih banyak jika ukuran saringan lebih kasar tetapi hanya bisa menahan organisme yang lebih besar. Misalnya, jika volume pasir 50 x 50 x 25 cm maka sebaiknya dilakukan penyaringan dengan mesh size 2 mm. Masalah yang sering dihadapi dalam proses pengayakan sedimen adalah jumlah organime yang diperoleh umumnya sedikit, sehingga proses pengayakan tidak maksimal. Penyeragaman terhadap variasi sampel yang digunakan amat penting untuk dilakukan agar lebih banyak diperoleh sampel dan sub-sampel. Pendekatan terbaik yang dapat dilakukan untuk lebih cepat menguasai studi ini adalah dengan melakukan proses sampling dengan berbagai ukuran transek untuk menguji dan memilih yang terbaik atau menggunakan ayakan berlapis (Gambar 3b). Pengambilan data dengan menggunakan satu ukuran petak sampling (plot) untuk semua jenis organisme tidak dapat dilakukan. Misalnya, petak sampling untuk teritip (transek 5 x 5 cm) tidak dapat digunakan untuk siput (yang lebih tepat menggunakan transek 25 x 25 cm atau 50 x 50 cm) dan lebih tidak tepat lagi jika digunakan untuk mengukur alga (yang direkomendasikan menggunakan transek ukuran 1 x 1 m). Dengan demikian, untuk mempelajari komunitas hewan dan tumbuhan di daerah berbatu yang memiliki bermacam-macam jenis dan ukuran harus menggunakan plot dengan ukuran yang berbed-beda. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menghitung populasi hewan dan tumbuhan dengan ukuran yang bervariasi adalah dengan menggunakan petak sampling acak berlapis (stratified random) seperti tampak pada Gambar 3b.

Jurusan Budidaya Perairan

Gambar 3b. Beberapa contoh petak sampling yang digunakan untuk meneliti populasi hewan dan tumbuhan dengan ukuran tubuh yang berbeda-beda. Dari atas ke bawah : Plot dengan 8 sub-sampling ukuran 50 x 25 cm, plot 1 x 1 m untuk hewan sesil yang menempel di batu, penggunaan kuadrat pada daerah pantai berbatu dan pantai berpasir (lamun), skema ayakan berlapis, dan contoh stratified quadrat (Dari berbagai sumber).

Jurusan Budidaya Perairan

Gambar 4a.

Perubahan yang terjadi dari hasil rata-rata setiap pertambahan jumlah sampel dengan tingkat kepercayaan 95% dari dari dua jenis invertebrata esturaia. Untuk setiap spesies, dibutuhkan 6 core untuk memperoleh hasil estimasi rata-rata terbaik dengan usaha yang minimum.

Pada Gambar 4a. di atas dapat dilihat bagaimana cara menentukan jumlah ulangan atau jumlah petak sampel dengan selang kepercayaan 95 %. Tampak bahwa pengambilan sampel yang dilakukan dapat dianggap mewakili populasi jika dilakukan pengambilan sampel dengan menggunakan petak contoh atau plot sebanyak minimal 6 kali. Frekuensi pengambilan tersebut diharapkan dapat menghasilkan data yang akurat, mencapai estimasi rata-rata yang terbaik dengan efisiensi waktu dan tenaga yang tinggi.

Jurusan Budidaya Perairan

METODE

UMUM

YANG

DIGUNAKAN

UNTUK

PANTAI

BERBATU/ BERPASIR. MENSURVEI PROFIL PANTAI Untuk melakukan survei terhadap profil pantai (Gambar 4b) dapat digunakan beberapa metode dari yang paling sederhana dan kurang akurat hingga metode yang lebih rumit tetapi dengan tingkat keakuratan yang tinggi (Hawkins and Jones, 1992). Salah satu contoh metode yang disarankan adalah dengan menggunakan “Split-prism level”. Metode ini memiliki tingkat keakuratan yang tinggi (mendekati cm), relatif tidak mahal dan direkomendasikan dalam banyak kasus. Sedangkan metode yang paling sederhana adalah dengan menggunakan dua tiang vertikal yang dihubungkan dengan tali yang direnggangkan atau tiga tiang (lebih baik) sebagai pendukung untuk melakukan kegiatan pembagian tingkatan (levelling) dengan jarak yang saling berdekatan di pantai. Tabel pasang surut umumnya memberikan grafik yang lebih detail, dengan kisaran harian tinggi rendah permukaan air yang dapat dihitung. Jika ada penelitian lain melakukan pencatatan pada daerah yang berdekatan dan dalam waktu yang sama, data tersebut dapat dihubungkan atau dipadukan (Raffaelli dan Hawkins, 1996). MENGESTIMASI PENGARUH AKSI GELOMBANG Salah satu pendekatan yang dapat diterapkan pada pantai berbatu adalah melalui visualisasi terhadap karateristik angin dan gelombang pada lokasi penelitian dengan periode pengamatan yang panjang. Pendekatan ini dapat dibandingkan dengan “broad scale survey” tetapi tanpa data topografi pantai. Untuk mengidentifikasi daerah yang terekspose gelombang dapat dilakukan dengan pemeriksaan melalui peta. Seringkali sistem ekologi suatu pantai dapat dengan mudah diketahui hanya dengan satu kali pengamatan saja yaitu dengan cara mengumpulkan material biologis penyusunnya, tanpa harus banyak menghabiskan waktu dan tenaga dengan metode-metode seperti di atas. Oleh karena itu umumnya para peneliti melakukan pengamatan atau survei dengan cepat untuk mendapatkan skala yang sesuai, akan tetapi diperlukan pengetahuan yang luas untuk memahami perubahan distribusi spesies yang terjadi berdasarkan besar kecilnya pengaruh gelombang (Raffaelli dan Hawkins, 1996 ; Barnes 1999 ; Mann, 2000).

Jurusan Budidaya Perairan

Gambar 4b. Beberapa bentuk profil pantai. Kiri atas : Pantai dengan hamparan batuan (bed rocks). Kanan atas : pantai berbatu dengan aksi gelombang yang sangat besar. Kiri tengah : pantai yang tersusun dari bongkahan batu-batu besar (boulders). Kanan tengah : pantai berbatu yang terekspose saat surut. Kanan bawah : kombinasi pantai berpasir dengan dinding yang curam. Kanan bawah : pantai yang sangat terjal dengan dinding tegak 90⁰. (Dari berbagai sumber).

Jurusan Budidaya Perairan

METODE-METODE

YANG

SESUAI

UNTUK

PANTAI

BERBATU MENGESTIMASI PERSENTASE PENUTUPAN Untuk mengetahui Kelimpahan suatu tumbuhan atau hewan dapat dilakukan dengan memperkirakan persentase penutupan/distribusi suatu populasi tanpa merusak struktur atau habitatnya. Disarankan agar pelaksanaan studi tentang dinamika populasi atau studi komunitas dilakukan tanpa banyak melakukan interfensi terhadap obyek yang diamati dengan pendekatan eksperimental yang dapat dipertanggungjawabkan. Beberapa upaya untuk memanipulasi suatu populasi agar terhindar dari proses sampling yang destruktif dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya: memindahkan sebagian individu ke tempat lain baik secara horizontal ataupun secara vertikal berdasarkan perbedaan zonasi intertidal untuk menguji kemampuan daya tahan suatu organisme terhadap lingkungan baru atau interaksi biologis dengan organisme lain. Interaksi dengan lingkungan baru dapat dilihat dari cara berteduh atau bersembunyi, grazing atau pemangsaan serta perubahan densitas dari populasi (Rogers, C. S. et al, 1994). TOPOGRAFI PERMUKAAN PANTAI Kasar atau tidaknya suatu permukaan pantai berbatu dipengaruhi oleh terlindung atau tereksposenya suatu pantai dari aliran air yang melalui permukaan bebatuan. Cara yang baik untuk mengukur perubahan bentuk ini adalah dengan merentangkan transek garis mengikuti kontur pantai dan membaginya berdasarkan tingkat kekasaran bebatuan yang terbentuk. Jarak yang sesuai (1 m, 5 m, 10 m) dapat ditentukan dan dipilih secara acak dengan menentukan besar kecilnya partikel dengan menggunakan transek garis tersebut (Trudgill, 1988 dalam Raffaelli dan Hawkins, 1996). FAKTOR-FAKTOR LAIN Faktor-faktor lain yang berpengaruh besar terhadap obyek studi juga harus diukur seperti temperatur, kelembaban, salinitas dan lain-lain. Referensi dari Baker dan Crothers (1987) misalnya dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan. Berbagai penelitian-penelitian yang mengukur tentang salinitas, kelembaban relatif, dan faktor lingkungan lainnya makin banyak dan dapat dijumpai dengan mudah dalam beberapa tahun terakhir.

Jurusan Budidaya Perairan

METODE-METODE

YANG

SESUAI

UNTUK

PANTAI

BERSEDIMEN LINGKUNGAN FISIKA DAN KIMIA Sebaran Ukuran Partikel Sedimen adalah merupakan faktor utama yang mempengaruhi kehidupan organisme yang hidup pada pantai berlumpur. Penggolongan ukuran sedimen dari kisaran ukuran yang terbesar sampai yang terkecil dapat dilakukan dengan metode pengayakan bertingkat untuk memperoleh persentase ukuran pada setiap kisaran intervalnya. Skala “Wentworth” (Gambar 5 dan 6) dapat digunakan untuk menentukan nilai ukuran suatu partikel dan dapat pula dikonversi ke dalam unit phi sebagai interval nilai. Data yang diperoleh antara persentase kumulatif yang dapat diplotkan dengan median (rata-rata) ukuran partikel. Bahan Organik Penentuan jumlah bahan organik yang terdapat dalam sedimen dapat dilakukan dengan mengoksidasi karbon pada sampel pasir yang telah ditimbang dan kemudian mencatat bobot yang hilang. Hal ini dapat dicapai dengan menambahkan agen oksidasi yang sangat kuat seperti asam khromik, yang diikuti dengan titrasi menggunakan alkali untuk mengestimasi berapa banyak asam yang digunakan dan berapa banyak bahan organik yang terdapat dalam sampel. Meskipun metode ini cukup akurat, namun berpotensi untuk membahayakan sehingga harus dikerjakan secara hati-hati pada kondisi laboratorium yang terkontrol dalam suatu lemari asam dengan tingkat keamanan (safety) yang ketat. Alternatif lain adalah dengan membakar karbon menggunakan oven pada suhu 450oC kemudian mencatat jumlah sampel yang hilang sehingga tidak terjadi pengurangan berat. Beberapa karbon inorganik mungkin akan mengalami oksidasi tetapi kesalahan ini kecil dan tidak dipermasalahkan. Namun teknik ini tidak dapat dilakukan pada pantai yang didominasi kulit kerang karena partikel inorganik yang didominasi oleh kalsium karbonat (CaCO3) yang akan larut dalam asam kuat (Baker, 1987 ; Barnes, 1999).

Jurusan Budidaya Perairan

M d Ø

Jurusan Budidaya Perairan

Tabel 1. Klasifikasi ukuran partikel berdasarkan Skala Wentworth.

Potensial Reduksi-Oksidasi Pengukuran hasil reduksi persenyawaan yang terjadi dalam sedimen memerlukan suatu keahlian khusus. Alat ukur yang digunakan umumnya berupa rangkaian platinum elektroda yang ditancapkan pada sedimen. Pengukuran nilai potensial ini dilakukan pada beberapa kedalaman berbeda, dan nilainya dinyatakan dalam (redox potential discontunity (RDP)” = keadaan potensial redoks) (Pearson and Stanley, 1979 dalam Raffaelli dan Hawkins, 1996). Nilai RDP menggambarkan hasil dari reduksi dan oksidasi, hubungan antara kondisi lingkungan aeraob dan anaerob, meskipun oksigen bebas tidak terdapat dalam jumlah banyak didalam sedimen.

Jurusan Budidaya Perairan

Kebanyakan pantai nilai RDP dapat ditentukan dengan melihat perubahan warna sedimen secara visual seperti dari coklat (oksidasi besi) ke abu-abu atau hitam (sulfit-tereduksi besi). Kedalaman masing-masing lapisan dapat diukur dengan menggunakan mistar penggaris atau menggali untuk mengungkap profil sedimen yang sebenarnya. Penyortiran Hewan Pemilihan mesh size ayakan yang tepat untuk memisahkan hewan dari sedimen, amat bergantung pada ukuran hewan yang akan diteliti. Untuk jenis bivalvia, mesh size 2 mm sudah cukup untuk digunakan, tetapi untuk mempelajari komunitas hewan pada pantai berpasir sebaiknya digunakan mesh 1 mm. Adapun mesh dengan ukuran 0,5 mm dipastikan dapat lebih banyak menyortir hewan, terutama jenis cacing kecil atau hewan infauna yang berada dalam bentuk juvenil pada tahap-tahap awal perkembangannya. Meiofauna Penggunaan core plastik dengan diameter 2-3 cm pada pantai berpasir dapat menampung ratusan nematoda dan pada rataan berlumpur dengan diameter core 1-2 cm dapat memperoleh hasil yang serupa. Meiofauna biasanya berukuran kecil dan ruang antar partikel menjadi habitat bagi mereka. Sampel yang diperoleh dapat diawetkan dengan menggunakan formalin (atau alkohol). Selain itu, pemberian zat tersebut dapat digunakan untuk membedakan meiofauna dari sedimen dimana organisme yang ditemukan akan berwarna kemerahan sedangkan sedimen tidak. Hal ini sangat membantu dalam pemisahan dan penghitungan populasi meiofauna dalam sampel sedimen tersebut. Sampel kemudian dikocok dengan air untuk mengendapkan partikel sedimen dan spesimen meiofauna. Setelah beberapa detik, partikel pasir akan mengendap ke bawah dan spesimen meiofauna akan melayang dala kolom air. Sampel kemudian dituang secara perlahan ke dalam saringan (mesh 45 μm). Jika proses ini diulang beberapa kali, 95% spesimen meiofauna dapat terekstraksi. Pada beberapa pengulangan akan terlihat jelas spesimen meiofauna yang berwarna kemerahan. Namun teknik ini kurang cocok jika digunakan untuk memisahkan hewan yang lebih berat seperti ostracoda, foraminifera, bivalvia.

Jurusan Budidaya Perairan

Gambar 6. Salah satu teknik analisis hewan meiofauna (Sumber : //http : www.sbg.ac at.)

Jurusan Budidaya Perairan

PANTAI BERBATU Daerah pantai berbatu merupakan ekosistem yang sangat ideal untuk penelitian ekologi khususnya ekologi intertidal. Beberapa penelitian ekologi pada awalnya dimulai dari ekosistem ini, utamanya dalam hal interaksi biologis. Perbedaan penting antara penelitian lapangan dan laboratorium adalah bahwa pada penelitian laboratorium semua parameter dapat dikendalikan, sementara dalam penelitian lapangan semua parameter bervariasi dan berada di luar kontrol peneliti. Sebagian besar penelitian memakai pendekatan deskriptif terutama pada dekade 1970-an, sehingga eksperimen ekologi dengan penelitian lapangan dapat dianggap sebagai suatu kemajuan berarti. Kebanyakan penelitian yang dilakukan pada era 70-an hingga 80-an tidak sepenuhnya direncanakan dan dianalisa sesuai standar penelitian yang baik, sehingga hasilnya pun sebaiknya dicermati dengan hati-hati. Ada dua masalah dengan kualitas penelitian-penelitian pada masa tersebut. Pertama adalah kurangnya replikasi/pengulangan dan kecenderungan untuk melakukan replikasi semu atau pseudo-replication. Masalah kedua adalah kurangnya kemandirian (Underwood, 1983 dalam Raffaelli dan Hawkins, 1996). Suatu hasil penelitian yang meyakinkan harus mempunyai perbedaan yang sangat jelas antara stasiun untuk perlakuan dan stasiun kontrol (ingat teori BACI dan BACIP). Hasil yang diperoleh akan lebih meyakinkan dan diterima untuk analisa statistik jika perbedaan tersebut secara konsisten terlihat pada hasil yang diperoleh dari dua atau lebih stasiun perlakuan yang dibandingkan dengan dua atau lebih stasiun kontrol. Jika hal ini tidak dilakukan maka apapun hasil yang diperoleh hanya akan dianggap sebagai perbedaan alami dari lokasi/stasiun yang ada di suatu ekosistem pantai. Olehnya, penting untuk peneliti melakukan pengulangan yang di setiap stasiun perlakuan dan kontrol seperti dapat dilihat pada Gambar. 4a (Raffaelli dan Hawkins, 1996).

Jurusan Budidaya Perairan

Tanpa Ulangan pada Perlakuan dan controls (e.g. Hawkins, 1981b)

Perlakuan dan control berdekatan dengan sekat Tanpa ulangan, O (ulangan semu / psedoreplication) Bad design (e.g. Hawkins, 1983)

Perlakuan terpencar dan control terpisah O (ulangan semu / psedoreplication) Bad design (e.g. Raffaeli, 1978)

Ulangan secara berkelompok, kurang terpencar, Tidak memungkinkan untuk melakukan perlakuakn pada area terpisah. Bad design.

Ulangan secara berkelompok, perlakuan dan kontrol terpisah. Good design.

Perlakuan dan control dilakukan secara acak dan banyak dan dalam area yang berbeda. Excellent design.

Gambar 7. Beberapa contoh desain penelitian (bad or good design) dalam eksperimen lapangan. Pentingnya melakukan pengulangan (perlakuan dan kontrol) dalam eksperimen lapangan.

Jurusan Budidaya Perairan

Burrows & Lodge (1950), melakukan penelitian tentang organisme bentik predator di pantai dengan cara membagi ekosistem menjadi dua, yaitu: stasiun pengamatan dan stasiun kontrol. Pembersihan terhadap organisme predator/grazer dilakukan pada stasiun pengamatan. Sedangkan stasiun kontrol dibiarkan apa adanya. Meskipun hasilnya terlihat signifikan bagi sebagian orang pada waktu itu, namun karena tidak adanya pengulangan di beberapa lokasi dalam ekosistem tersebut yang dilakukan dalam beberapa titik waktu, maka hasilnya banyak menuai kritik karena bersifat kasuistik dan terbatas hanya pada satu titik waktu. Hal terbaik yang perlu atau seharusnya dilakukan oleh ketiga peneliti tersebut adalah dengan menetapkan beberapa stasiun perlakuan (yang telah “bersih” dari bentik predator) dan stasiun kontrol (dengan kondisi alami) di beberapa lokasi di sepanjang pantai sebagai bentuk pengulangan ruang (spatial replication). Replikasi terhadap daerah sampling perlu dilakukan untuk memaksimalkan jumlah stasiun pengamatan dan kontrol. Namun replikasi ini berbeda dengan pseudo-replication atau pengulangan semu, di mana pengulangan hanya dilakukan di sekitar stasiun pengamatan saja tanpa ada stasiun kontrol sebagai pembanding (Hurlbert, 1984; Gambar. 4). Untuk dapat melakukan penelitian lapangan dengan standar seperti di atas membutuhkan bukan saja waktu, tapi juga tenaga dan dana yang cukup besar. Meskipun sebagian besar peneliti tidak dapat menyanggupi besarnya biaya penelitian dengan jumlah stasiun dan banyaknya sampel replikasi, namun mereka lebih memilih resiko tersebut dibanding besarnya resiko melakukan penelitian dengan rancangan penelitian yang salah (Raffaelli dan Hawkins, 1996). Banyaknya replikasi yang dibutuhkan dapat diestimasi dengan menggunakan beberapa metode untuk menunjukkan efek dari besarnya dampak, jika keragaman normal dari parameter terukur telah diketahui. Namun seringkali penelitian lapangan memberikan hasil yang mengejutkan dan tidak diinginkan, sehingga sulit untuk memperkirakan jumlah replikasi yang harus dilakukan (Raffaelli dan Hawkins, 1996).

Beberapa kasus tertentu mengkondisikan penelitian dengan replikasi sampel maupun stasiun perlakuan tidak mungkin untuk dilakukan. Contohnya, pada penelitian yang membandingkan pengaruh aktivitas manusia terhadap populasi flora dan fauna pantai di suatu kawasan lindung, dengan daerah di sekitarnya di luar kawasan lindung. Untuk melakukan replikasi pada hutan lindung sejenis sangat tidak mungkin mengingat bahwa tidak mudah untuk membuat suatu kawasan lindung baru. Pada kasus ini, solusi terbaik adalah dengan melakukan beberapa penelitian di stasiun kontrol di lokasi yang berbatasan langsung dengan kawasan lindung tersebut. Setidaknya hasil yang akan diperoleh dapat dimasukkan dalam konteks “variasi antar daerah dampak” (Morrisey et al., 1992; Underwood, 1992 dalam Raffaelli dan Hawkins, 1996).. Kemandirian (independence) adalah merupakan salah satu masalah lain yang perlu diperhatikan. Terkadang peneliti dihadapkan pada kondisi dimana tidak banyak pilihan lokasi yang tepat untuk daerah kontrol karena sebagian besar daerah di sekitar lokasi dampak/stasiun perlakuan mendapat pengaruh dari obyek penelitian ataupun perlakuan yang diberikan. Hal Inilah yang disebut sebagai tidak mempunyai kemandirian ruang atau (spatial independence).

Jurusan Budidaya Perairan

Masalah lain yang juga seringkali muncul adalah adanya ketidakmandirian waktu (time independence). Contoh yang tepat untuk menggambarkan ini adalah jika rentang waktu dari suatu dampak akan diteliti, contohnya peningkatan ukuran atau penurunan jumlah dalam suatu rentang waktu. Apa yang anda lihat pada daerah tertentu di waktu B (masa depan) adalah hasil dari apa yang terjadi di daerah tersebut di waktu A (masa kini/masa lalu). Konsekuensi dari keadaan ini adalah akan ada banyak replikasi dari penelitian tersebut dan hanya sedikit yang akan terukur. Untuk menghemat waktu dan tenaga, solusi yang tepat adalah dengan menganggap rentang waktu dari A ke B adalah satu replikasi dan menarik garis atau kurva dari semua data yang ada di waktu A hingga di waktu B. Analisa statistiknya dapat menggunakan analisa co-variance dengan membuat perbandingan antar garis atau kurva (Raffaelli dan Hawkins, 1996).

KESIMPULAN Banyak hal yang perlu diperhatikan jika kita ingin mempelajari pantai dengan lebih mendalam atau ingin melakukan suatu kegiatan penelitian khususnya di daerah intertidal. Sebagai langkah awal adalah melakukan survei untuk mengumpulkan informasi yang sifatnya umum. Hal ini dapat dilakukan dengan mengamati profil pantai secara kualitatif, baik dengan menggunakan sketsa yang dilanjutkan dengan deskripsi detail maupun dengan survei dalam skala yang sifatnya luas. Jika data awal telah terkumpul dapat dilakukan pengambilan data menggunakan metode kuantitatif. Untuk memperoleh gambaran tentang perubahan berdasarkan waktu pada populasi yang diteliti, maka dapat dilakukan pemantauan/monitoring. Hal ini penting untuk digunakan sebagai dasar dalam merumuskan hipotesis penelitian. Pemilihan metode statistik yang sesuai perlu dilakukan dengan hati-hati serta memiliki argumentasi yang kuat agar tidak memperoleh kesimpulan yang bias. Penelitian tahap awal (pre-research) direkomendasikan untuk dilakukan agar dapat mengidentifikasi dan mengenali masalah-masalah yang akan timbul, pada saat penelitian yang sebenarnya.

Jurusan Budidaya Perairan

DAFTAR PUSTAKA Baker, J.M. and Crothers, J.H. (1987). Intertidal rock (biological surveys/coastal zone), in Biological Surveys of Estuaries and Coasts (eds J.M. Baker and W.J. Wolff), Cambridge University Press, Cambridge, 449 pp. Baker, J.M. and Wolff, W.J. (eds) (1987) Biological Surveys of Estuaries and Coasts. (Estuar. Brackish Wat. Sci. Assoc. Handb.), Cambridge University Press, Cambridge. Barnes, R. S. K. dan R. N. Hughes. 1999. An Introduction to Marine Ecology. Third Edition. Blackwell Science, Ltd. Oxford. vii+ 286 halaman. Borum, J., C. M. Duarte, D. Krause-Jensen, Tina M. Greve. 2004. European Seagrass: An Introduction to Monitoring and Management. EU project monitoring and managing of Eurpean seagrasses (M&MS) EVK3-CT-2000-00044. 88 pp. Burrows, E.M. and Lodge, S.M. (1950) Note on the inter-relationships of Patella, Balanus and Fucus on a semi-exposed coast. Rep. mar. boil. Stn Port Erin, 62, 30-34. Conservation International. 2005. Conservation International Annual Report 2005. (Foto sampul pada paper ini oleh : Frans Lanting/Minden Pictures), Washington D. C, Amerika Serikat. English, S., C. Wilkinson, dan V. Baker., 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. Australian Institute of Marine Science. Townsville, Queensland. Garrison, T. 2006. Essential of Oceanography 4th. Thomson Books/cole. Belmont, USA. Hodgson, G., et al. 2004. Reef Check Instruction Manual: A Guide to Reef Check Coral Reef Monitoring. Reef Check, Institute of The Environment, University of California at Los Angeles. http: // www.sbg.ac at/. Diakses tanggal 23 Juni 2008.

Mann, K. H. 2000. Ecology of Coastal Waters: with Implications for Management. Second Edition. Blackwell Science Publishing. Massachusetts. xix + 406 halaman. McKenzie, L. J. and Campbell, S. J. 2002. Seagrass-watch: Manual for Community (Citizen) Monitoring of Seagrass Habitat, Western Pacific Edition (QFS, NFC, Cairns) Australia 43 pp. Raffaelli, D. dan Stephen Hawkins. 1996. Intertidal Ecology. Chapman & Hall. London. xi + 356 halaman. Reef Watch. 2004a. Reef Watch Benthic Identification Manual. Version 4 (14th October 2004). Reef Watch Monitoring Community Program. Adelaide. Australia. Reef Watch. 2004b. Reef Watch Benthic Quadrat Survey Manual. Version 4 (17th August 2004). Reef Watch Monitoring Community Program. Adelaide. Australia. Reef Watch. 2004c. Reef Watch Line Intercept Transect Survey Manual. Version 4 (8th October 2004). Reef Watch Monitoring Community Program. Adelaide. Australia.

Jurusan Budidaya Perairan

Reef Watch. 2006. Reef Watch Fish Survey Manual. Version 4 (9th February 2006). Reef Watch Monitoring Community Program. Adelaide. Australia. Rogers, Caroline S., et al. 1994. Coral Reef Monitoring Manual for the Carribean and Western Atlantic. National Park Service. Virgin Islands National Parks. Wimbaningrum, R. (2002). Pola Zonasi Lamun (Sea Grass) dan Invertebrata Makrobentik yang Berkoeksistensi di Rataan Terumbu Pantai Bama, Taman Nasional Baluran, Jawa Timur. Jurnal ILMU DASAR , Vol.3 No.1, 2002:1-7

Jurusan Budidaya Perairan

MATERI P RAKTI KU M EKOSISTEM SUNGAI DAN ESTUARI TUJUAN PRAKTIKUM 1. Mempelajari karakteristik ekosistem sungai dan faktor-faktor pembatasnya. 2. Mempelajari cara-cara pengambilan kualitas perairan (parameter) fisik, kimia dan biologik suatu perairan. 3. Mempelajari korelasi antara kualitas perairan dengan populasi biota perairan, khususnya plankton dan/atau makrobentos. 4. Mempelajari karakteristik ekosistem estuari (muara) serta faktor-faktor pembatasnya. 5. Mempelajari korelasi antara beberapa tolok ukur lingkungan dengan populasi biota perairan estuari. ALAT DAN BAHAN 1. Alat: Bola tenis meja, stop-watch atau arloji, roll-meter, meteran kain atau penggaris, termometer, pipet tetes, mikroburet, ember plastik, jaring plankton, Petersen grab, kuadran transek, sechi disk, jaring plankton, Eckman grab, plastik, botol sampel, kertas label, dan pensil. 2. Bahan: Kertas pH atau pH meter, larutan 4% formalin. CARA KERJA 1. Perairan sungai dibagi menjadi dua stasiun berdasarkan salinitas (salinitas 0 ppt dan 4 ppt) dan tiga sub stasiun pengamatan (permukaan, tengah dan dasar) yang berbeda tetapi pada kawasan yang homogen. 2. Lakukan pengukuran beberapa tolok ukur lingkungan seperti: suhu, kecepatan arus, derajat keasaman (pH) serta catat flora dan fauna yang ada di dalam dan di sekitar lokasi pengamatan. 3. Pada masing-masing stasiun ambil cuplikan plankton dengan cara sebagai berikut: a. Ambil sampel air dengan volume tertentu (misalnya 20 l) dan dimampatkan ke dalam botol yang sudah diketahui volumenya dengan menggunakan jaring plankton (plankton net).

Jurusan Budidaya Perairan

b. Fiksasi sampel air yang sudah berada dalam botol dengan cara diberi ± 1 ml larutan 4% formalin (formaldehida). c. Tutup rapat-rapat botol dengan tutup karet dan/ plastik d. Beri label atau catatan singkat tentang lokasi dan waktu pengambilan cuplikan pada masing-masing botol atau flakon. d. Kemas dengan botol sampel dengan baik supaya aman dalam perjalanan/pengangkutan. e. Pengamatan dan penghitungan plankton dilakukan di bawah mikroskop dengan menggunakan Sedgwick Rafter Counting Cell (SP.) 4. Pada masing-masing stasiun ambil cuplikan makrobentos dengan cara sebagai berikut: . a. Ambil substrat lumpur dasar perairan dengan segala organisme yang ada di atasnya dengan menggunakan Petersen grab bervolume ter-tentu. b. Masukkan cuplikan lumpur yang mengandung bentos tersebut ke dalam kantong plastik. c. Beri secukupnya larutan 4% formalin untuk pengawet dan tutup atau ikat erat kantong plastik tersebut. d. Beri label atau catatan singkat tentang lokasi dan waktu pengambilan cuplikan pada masing-masing kantong plastik. e. Identifikasi bentos dengan menggunakan bantuan kaca pembesar atau mikroskop binokuler. Densitas atau kerapatan bentos dinyatakan dalam satuan individu per volume lumpur atau substrat dasar, sedangkan indeks diversitas atau indeks keanekaragaman bentos dihitung dengan menggunakan rumus Shannon-Wiener. f. Untuk mengetahui tingkat pencemaran perairan berdasarkan indikator biologik (makrobentos), gunakan klasifikasi derajat pencemaran menurut Lee et al (1978).

Jurusan Budidaya Perairan

EKOSISTEM PANTAI TUJUAN PRAKTIKUM 1. Mempelajari karakteristik ekosistem pantai serta faktor-faktor pembatasnya. 2. Mempelajari korelasi antara beberapa tolok ukur lingkungan dengan populasi biota dasar perairan pantai. ALAT DAN BAHAN Alat

Bahan

: Eckman grab, Cetok atau sekop, Kertas label, Saringan bertingkat dengan mesh-size 2.00, 1.00 dan 0.50 mm, Kantung plastik, Global Positioning System, Meteran jahit : Formalin 4%

CARA KERJA : 1.

2.

3. 4.

Buat suatu garis transek yang tegak lurus garis pantai lalu tentukan tiga buah plot sampling pada zona intertidal atas, tengah dan bawah. Posisi geografis masing-masing transek dan plot direkam dengan GPS. Pada setiap plot buat kuadrat TRANSEK ukuran 0.5 x 0.5 meter. Secara manual (dengan menggunakan tangan), lakukan koleksi semua jenis epifauna bentik yang berada dalam plot. Masukkan sampel kedalam kantung plastik, awetkan dengan formalin 5% lalu beri label. Dalam kuadrat 0.5 x 0.5 meter buatlah sub-kuadrat yang lebih kecil dengan ukuran 0.30 x 0.30 meter. Dengan menggunakan sekop atau cetok, ambil sedimen pada sub-kuadrat tersebut hingga kedalaman ± 15 cm lalu masukkan kedalam kantong plastik dan beri label. Sampel ini akan digunakan untuk analisis infauna bentik.

Jurusan Budidaya Perairan

ANALISIS SAMPEL ANALISIS PLANKTON T E KNI K S AM P L I N G Teknik atau pencuplikan plankton dari perairan yang paling mudah umumnya dapat dengan

jaring

dilakukan

dengan

menyaring

sejumlah

massa

air

halus. Bergantung pada tujuannya sampling plankton dapat

dilakukan secara kualitatif atau kuantitatif. A. Sampling plankton secara kualitatif Pencuplikan plankton secara kualitatif di perairan dapat dilakukan dengan menarik jala plankton baik secara horizontal maupun vertikal. Pada perairan yang banyak terdapat tumbuhan air pencuplikan plankton dapat dilakukan dengan jala plankton bertangkai. Disamping jala plankton, ikan planktivor sering merupakan pengumpul plankton yang sangat baik. Ikan tersebut dapat mengumpulkan berbagai jenis plankton yang kadang-kadang tidak tertangkap jala. Untuk menghindari agar plankton yang dimakan tidak dicerna lebih lanjut, ikan yang diperoleh harus segera dibunuh. B. Sampling plankton secara kuantitatif Pada umumnya pengumpulan plankton secara kuantitatif dapat dilakukan dengan botol, jaring, atau pompa. Cara sampling seperti ini umumnya dilakukan untuk mengetahui kepadatan plankton per satuan volume dengan pasti. 1. Sampling plankton dengan botol Botol gelas berukuran 2 l bermulut lebar dan bertutup gelas dipasang pada tali dan diturunkan sampai kedalaman yang ditentukan dan air dibiarkan masuk ke dalamnya. Cara pengumpulan plankton seperti ini memiliki kekurangan karena plankton motil dapat mengindar masuk ke dalam botol. Untuk mengumpulkan plankton secara vertikal pada kedalaman tertentu dapat digunanakan botol Kemmerer atau Nensen. Botol Kemmerer dibuat dari plastik atau gelas berukuran

Jurusan Budidaya Perairan

1,2 l, 2 l, dan 3 l. Botol dikaitkan dengan tali dan diturunkan sampai kedalaman yang diinginkan. Pemberat (mesenger) kemudian diturunkan sehingga melepaskan kait tutup yang terbuat dari karet. Air yang tertampung dalam botol kemudian disaring dengan jala plankton.

2. Sampling plankton dengan jala Jala plankton mempunyai bentuk bermacam-macam, tapi pada umumnya berbentuk kerucut dengan mulut melingkar dan di ujung jala diberi botol penampung. Bahan jala umumnya terbuat dari nilon dengan ukuran mesh tertentu. Pencuplikan plankton dapat dilakukan dengan menyaring air yang telah diketahui volumenya melalui jala plankton. Penyaringan dilakukan dengan jala setengah tercelup di dalam air. Air yang akan disaring dituangkan ke dalam jala sedemikian rupa sehingga tidak menyentuh dinding jala. Pencuplikan plankton juga dapat dilakukan dengan tarikan jala plankton secara horizontal di bawah permukaan air atau vertikal. Penarikan dilakukan sedemikian rupa dengan kecepatan konstan sekitar 10 cm/detik. Setelah tarikan selesai jala dibilas agar semua

plankton

masuk ke dalam botol

penampung. Pembilasan dilakukan dengan cara mencelupkan secara vertikal jala plankton berkali-kali tanpa melawati batas mulut jala. Air tersaring dapat diketahui dengan mengalikan panjang tarikan dengan luas mulut jala plankton. Penggunaan jala. Jala bertindak sebagai penyaring, sehingga akan dapat tersumbat dalam waktu lama. Tingkat penyumbatan terutama bergantung pada rapatan makin

plankton

dan ukuran

mesh.

Makin

besar

ukuran

mesh,

kecil kemungkinan jaring menguncup. Namun tentu saja dengan jaring

kasar akar sukar menangkap plankton yang halus. Mesh jala harus dipilih dengan memperhatikan ukuran plankton yang akan dicuplik. Umumnya untuk mencuplik plankton perairan dangkal mesh jala disarankan berukuran 150-175 µ. Ukuran mesh 30-50 µ cocok digunakan untuk menjaring fitoplankton yang berukuran sangat kecil. Banyak macam jala yang dapat dipergunakan untuk mencuplik plankton, baik yang terbuka maupun tertutup. Salah satu jala terbuka adalah jala

Jurusan Budidaya Perairan

zeppelin yang mirip jala plankton standar tapi memilki kerucut yang lebih rendah. Jala Birge, Wisconsin, Juday, Clarke-Bumpus adalah beberapa jala canggih yang digunakan dalam kajian plankton. Jala plankton dengan peralatan tertutup umumnya digunakan untuk memperoleh sampel plankton dari kedalaman tertentu. 3. Sampling plankton dengan pompa Pompa yang cocok untuk mencuplik fitoplankton umumnya yang menggunakan gerakan memutar. Air dari kedalam tertentu dipompa melalui pipa yang telah diberi tanda. Pada ujung pipa perlu diberi pemberat agar tetap tegak lurus. Corong dipasangkan pada saluran masuk pipa untuk mencegah plankton motil menghindar. Garis tengah pipa perlu diseuaikan dengan daya hisap

pompa.

Air keluaran dari pompa disaring dengan jala plankton yang

dibiarkan sebagian terendam dalam air untuk menjegah rusaknya plankton. 4. Sampling plankton Continous Plankton Recorder Continous plankton recorder (CPR) merupakan salah satu alat pengumpul plankton yang ditarik dengan kapal. Di dalam alat CPR terdapat dua gulungan jala dengan mesh 270 µ. Selama ditarik kapal sampel plankton akan tertampung pada jala dan digulung sedemikian

rupa dalam satu tangki berisi larutan formalin.

Plankton yang terkumpul kemudian diangkat untuk di cacah dilaboratorium. II. PENGAWETAN SAMPEL PLANKTON Umumnya fiksasi dan pengawetan plankton dapat dilakukan dengan larutan formalin 2-5%. Larutan ini mudah diperoleh dan murah. Formalin 40% komersial merupakan larutan jenuh gas formaldehida dalam air. Penggunaannya sebagai larutan fiksatif perbandingan

atau

pengawet

harus

melalui

pengenceran

dengan

1:5. Formalin yang akan digunakan harus tersimpan dalam botol

gelas atau polythene. Hindari penggunakaan formalin yang tersimpan dalam botol kaleng karena mengandung besi yang akan mengotori sampel plankton. Sebelum digunakan, formalin harus ditambahkan borax (kalsium karbonat atau sodium karbonat) untuk menetralkan asam yang ada di dalamnya. Asam akan melarutkan kapur atau rangka pada kebanyakan zooplankton. Untuk penyimpanan dalam jangka panjang sebaiknya sampel plankton diawetkan dalam larutan formalin 5% dalam air suling. Sampel disimpan dalam botol yang tertutup rapat.

Jurusan Budidaya Perairan

Pemanfaatan formalin untuk mengawetkan fitoplankton perlu ditambahkan 5 tetes terusi (CuSO4) agar fitoplankton tetap berwarna hijau. Sampel nanoplankton paling baik difiksasi dan diawetkan dalam lugol iodin yang ditambah dengan asam asetat. Asam asetat akan mengawetkan flagelum dan silia. Ke dalam 100 ml sampel air yang mengandung nanoplankton tambahkan 2-3 tetes larutan lugol iodin. Nanoplankton akan tenggelam karena meyerap iodin. Tutup botol rapat-rapat dan simpan dalam ruang gelap. Larutan lugol iodin dibuat dengan melarutkan 200 gr kalium iodida p.a dan 10 gr iodin dalam 200 ml akuades. Pada saat iodin larut sempurna, tambahkan 20 ml asam asetat glasial. Simpanlah larutan ini dalam botol gelas berwarna gelap. III. ANALISIS PLANKTON

Bergantung tujuannya, pada umumnya analisis plankton yang mudah dilakukan adalah pengukuran biomassa (berat kering, berat basa, atau volume plankton)

dan

pencacahan

plankter.

Masing-masing

cara

tersebut

mempunyai kelebihan dan kekurangan. Pengukuran biomassa bertujuan untuk mengetahui banyaknya plankton secara kuantitatif tanpa mengidentifikasi. Ini merupakan cara yang praktis dan sederhana namun kurang teliti karena sering terbawa materi lain di luar plankton. Pengukuran volume plankton kurang memberikan informasi yang tepat, oleh karena rongga antara plankton sering ikut terukur. Pencacahan plankton dengan cara menghitung jumlah plankter per satuan

volume

akan

merupakan informasi yang lebih teliti, karena dapat

memberikan gambaran yang lebih pasti mengenai kepadatan plankton di suatu tempat. Kepadatan plankton dapat digunakan untuk mengetahui penyebaran atau distribusi plankton dalam suatu area. Perlu ditekankan di sini bahwa setiap organisme berukuran besar yang secara nyata bukan merupakan bagian dari plankton harus disingkirkan sebelum pengukuran apapun dilakukan. Pada makalah ini hanya akan diberikan bagaimana cara mencacah plankton untuk mengetahui kepadatan plankton per satuan volume tertentu. Cara- cara pengukuran biomassa dan volume plankton tidak dibicarakan.

Jurusan Budidaya Perairan

A. Pencacahan Plankton. Satu sampel plankton dapat terdiri atas ribuan bahkan jutaan sel atau individu plankton. Oleh karena itu mencacah seluruh sampel akan membutuhkan waktu yang lama. Untuk mempermudah umumnya dilakukan mengencerkan sampel

yang diperoleh dan diambil sebagian kecil sampel. Tata cara

pencacahan seperti ini disebut metoda subsampel. Cara pencacahan dengan metoda subsampel

pada dasarnya dilakukan dengan mencuplik sebagian kecil

(sub sampel) sampel plankton dan dicacah di bawah mikroskop. Besar kecilnya volume

subsampel

akan

sangat bergantung pada alat yang tersedia serta

kepekatan sampel. Terdapat beberapa cara pencacahan plankton dengan metoda subsampel. 1. Cara Pertama. Pengambilan subsampel dilakukan dengan cara menuangkan sampel plankton ke dalam gelas piala bervolume 250 ml. Untuk memudahkan perhitungan, volume sampel dapat diencerkan menjadi 100 - 200 ml (bergantung pada kepekatan sampel) dengan

cara

menambah

atau

mengurangi larutan pengawetnya. Sampel diaduk hingga homogen dan dalam waktu yang bersamaan diambil subsampelnya dengan mempergunakan pipet stempel bervolume 0,1 ml (untuk fitoplankanton) atau 2,5 ml (untuk zooplankton). Sub sampel dituangkan ke dalam talam pencacah sambil membilas toraks pipet dengan air. Talam pencacah yang sering digunakan adalah Sedwick-rafter cell untuk fitoplankton dan Bogorov atau yang sejenis untuk zooplankton. Plankton dicacah sekaligus diidentifikasi di bawah mikroskop dengan perbesaran sampai 25-200 kali bergantung pada ukuran plankter. Pencacahan dilakukan dengan cara menghitung seluruh plankter yang tampak pada talam pencacah. Untuk mengidentifikasi zooplankton kadangkala diperlukan jarum sonde untuk membalik sampel. Kepadatan

plankton dalam sel atau individu

dapat diketahui dengan mempergunakan rumus :

per satuan volume

Jurusan Budidaya Perairan

dengan D = jumlah plnakter per satuan volume; q = jumlah planketr dalam subsampel; f = fraksi yang diambil (volume subsampel per volume sampel); v = volume air tersaring. 2. Cara Kedua Pencacahan plankton pada Sedgwick-rafter cell juga dapat dilakukan dengan cara lain. Isi penuh Sedgwick-rafter cell dengan sampel plankton dan tutup dengan kover gelas secara baik sehingga tidak ada rongga udara di dalamnya. Letakan Sedgwick-rafter cell berisi sampel plankton tersebut di bawah mikrokop yang lensa okulernya dilengkapi dengan mikrometer okuler Whipple. Cacah jumlah plankton dari 10 lapangan pandang secara teratur dan berurutan. Pada setiap lapang pandang hitunglah jumlah tiap jenis plankton yang terlihat. Jumlah plankter persatuan volume dapat ditentukan dengan rumus :

dengan D = jumlah plankter per satuan volume; q = jumlah plankter dalam 10 pandangan; s = jumlah lapang pandang Sedgwick-rafter cell; lp = jumlah lapang pandang yang digunakan; p = volume subsampel; v = volume air tersaring. Apabila terdapat plankter yang terletak pada garis batas okuler mikrometer Whipple di sebelah atas dan di sebelah kiri harus dimasukkan ke dalam perhitungan sedang pada garis batas bawah dan sebelah kanan tidak. Hal ini bukanlah suatu yang mutlak, yang penting dilakukan secara konsisten. 3. Cara Ketiga Metoda subsampel juga dapat dilakukan dengan mengambil sebesar 0,04 ml sampel yang telah diaduk homogen dengan pipet ukur 1 ml. Subsampel diletakan atau diteteskan pada objek gelas dan ditutup dengan kover gelas berukuran 18 x 18 mm. Diasumsikan bahwa kover gelas berukuran 18 x 18 mm dapat persis menutup 0,04 ml subsampel. Setelah diletakkan di bawah mikroskop, diambil secara acak 20 pandangan

yang

meliputi

seluruh

permukaan

kover

gelas.

Pada

tiap

Jurusan Budidaya Perairan

pandangan dihitung semua jenis plankton yang terlihat. Sebelumnya diameter dari pandangan harus ditentukan terlebih dahulu dengan mikrometer okuler. Jumlah plankter dalam satuan volume dapat ditentukan dengan rumus :

dengan D = jumlah plankter per satuan volume; q = jumlah plankter dalam 20 pandangan; p = volume subsampel; c = luas kover gelas (324 mm2); lp = luas 20 pandangan (mm2); v = volume air tersaring. Cara tersebut sangat tidak praktis dan kemungkinan timbul kesalahan dalam perkiraan kepadatan jumlah plankter sangat besar, walapun pencacahan plankton tidak dilakukan hanya pada 20 lapangan pandang tetapi pada seluruh permukaan kover gelas. Selain dengan talam pencacah dan kover gelas seperti yang diuraikan di atas, pencacahan plankton juga dapat dilakukan dengan mempergunakan talam pencacah lain seperti yang tertera pada tabel satu. Yang terpenting adalah bahwa harus diketahui secara pasti berapa volume dan kedalaman talam pencacah tersebut. Selain itu juga harus diketahui pula berapa besar ukuran plankton yang akan dicacah. Sebagai contoh, zooplankton tidak mungkin dicacah dengan mempergunakan Haemocytometer, Improve Naeubouer, atau Petroff Houser, karena ukuran rata-rata individu zooplankton relatif lebih besar dari 0,2 mm. Berdasarkan

ketiga

cara

pencacahan

plankton

tersebut

di

atas,

yang terpenting harus diketahui secara pasti adalah: (1) berapa volume air yang berhasil tersaring oleh plankton net (dalam liter atau meter kubik); (2) berapa volume sampel yang tertampung dalam botol plankton net (dalam mililiter); (3) berapa

banyak volume subsampel yang diambil (dalam mililiter); (4) apabila

dilakukan pengenceran terhadap sampel plankton, ini juga harus diperhitungkan. Apapun tipe talam pencacahnya, kepadatan plankter dalam dapat dihitung dengan mempergunakan rumus berikut :

Jurusan Budidaya Perairan

dengan D = jumlah plankter per satuan volume; q = jumlah plankter dalam subsampel; p = volume subsampel; l = volume sampel; v = volume air tersaring. Tabel 1. Beberapa jenis alat yang dipergunakan dalam mencacah sel plankton

Sebagai kelengkapan alat bantu, jumlah plankter yang tercacah dalam subsampel dapat dimasukkan dalam data sheet seperti contoh terlampir. Pada data sheet tersebut juga sekaligus dapat ditentukan berapa kepadatan jenis plankton tertentu, jumlah total plankton, serta dominansi jenis dalam persen. Data sheet terlampir hanya sekedar contoh saja dan dapat dikembangkan lebih lanjut berdasarkan tujuan penelitian. Contoh perhitungan: Misalkan Volume air tersaring 15 m3; volume sampel 10 ml; volume subsampel 1 ml. Berdasarkan hasil pencacahan diperoleh jumlah Ceratium fucus sebanyak 7 sel dalam subsampel. Maka jumlah Ceratium fucus per m3 dapat diketahui dengan cara:

Jurusan Budidaya Perairan

Jurusan Budidaya Perairan

ANALISIS MAKROBENTOS CARA KERJA 1. Pilih lokasi perairan yang populasi gastropodanya akan diestimasi. Stasiun pengamatan dapat diambil pada penggal sungai: sebelum masuk, di dalam dan sesudah kota; atau membandingkan antar sungai pada penggal yang sama. 2. Ambil titik pengambilan cuplikan secara acak dengan jalan menancapkan sebatang tongkat kecil ke dasar perairan. 3. Cari gastropoda yang mempunyai jarak terdekat dari tongkat tersebut. 4. Ukur dan catat jarak antara gastropoda terdekat tersebut dengan tongkat. 5. Berdasarkan data seluruh titik-titik pengamatan pada masing-masing stasiun pengamatan, hitung kerapatan (densitas) gastropoda dengan menggunakan rumus: ^ D = D2 ^ S  1 D^  Y 2 ^ S s 2  Y   y1 Y    X1  i 1 S : jumlah titik cuplikan yang diambil D : estimasi kerapatan (densitas) gastropoda X : jarak terdekat gastropoda dengan titik yang ditentukan secara acak Y : luas area kajian 6. Pada masing-masing stasiun pengamatan, lakukan pengukuran kualitas air, seperti: suhu, kecepatan arus, derajat keasaman (pH), kandungan oksigen terlarut, kandungan karbondioksida bebas dan alkalinitas, serta flora/fauna di dalam dan di sekitar lokasi pengamatan.

Jurusan Budidaya Perairan

ANALISIS KUALITAS AIR

Suhu 1) Ukur suhu air dengan cara membenamkan bagian ujung termometer ke dalam air selama + 5 menit. 2) Baca skala termometer sewaktu ujung alat terebut masih tercelup di air. Kecepatan arus 1) Tentukan suatu jarak (misalnya 5 atau 10 m) pada sungai dengan arah dari hulu ke hilir. 2) Lepaskan bola tenis meja yang diberi sedikit pemberat atau benda lain yang cukup ringan dan dapat terapung dari awal hingga akhir jarak yang sudah ditentukan sebelumya. 3) Catat waktu tempuh benda yang dilepaskan tersebut. 4) Ukur kecepatan arus di bagian tepi maupun tengah aliran sungai. Perhitungan: S V  m / dt t V = kecepatan arus (m/dt) S = jarak yang sudah ditentukan (m) t = waktu tempuh (dt) Kecerahan Pengukuran kecerahan air atau penetrasi cahaya: 1. Masukkan Secchi Disc ke dalam air dengan cara mengulur tali yang terikat pada alat tersebut secara perlahan hingga warna hitam dan putih pada Secchi Disc tepat tidak dapat terlihat, kemudian catat kedalamannya (panjang tali yang masuk ke dalam air). 2. Ulur s'edikit lagi tdli Secchi Disc, kemudian tarik secara perlahan hingga warna hitam dan putih pada Secchi Disc tepat dapat terlihat lagi, dan catat kedalamannya (panjang tali yang masuk ke dalam air). 3. Kecerahan air diperoleh dengan cara menghitung rata-rata kedalaman (panjang tali yang masuk ke dalam air) saat warna hitam dan putih pada Secchi Disc tepat tidak dapat terlihat dan saat kedua warna tersebut tepat dapat terlihat lagi.

Jurusan Budidaya Perairan

Derajat keasaman (pH) 1) Celupkan kertas pH ke dalam air selama beberapa saat. 2) Bandingkan warna kertas pH tersebut dengan warna baku. 3) Jika menggunakan pH-meter (pen), masukkan ujung pH-meter ke dalam air beberapa saat hingga menunjukkan nilai pH yang stabil. Kandungan O2 terlarut 1) Metode Winkler: a. Ambil cuplikan air yang akan diperiksa dengan cara memasuk-kan botol oksigen ke dalam air, tutup rapat-rapat dan jaga jangan sampai timbul gelembung udara. b. Ke dalam botol oksigen berturut-turut tambahkan 1 ml larutan MnSO4 dan 1 ml reagen (pereaksi) oksigen. c. Botol oksigen ditutup, kemudian gojok perlahan-lahan dengan cara botol dibolak-balik hingga reaksi berjalan sempurna. d. Diamkan beberapa saat hingga endapan yang timbul terlihat mengendap sempurna. e. Buka tutup botolnya dan dengan hati-hati tambahkan 1 ml larutan H2S04 pekat. f. Botol ditutup kembali, gojok dengan cara seperti di atas hingga endapan larut sempurna dan diamkan selama beberapa menit (+ 10 menit). g. Ambil larutan hasil reaksi di atas sebanyak 50 ml dan masukkan ke dalam erlenmayer 250.ml. h. Titrasi dengan larutan 1/80 N Na2S2C3 sambil erlenmeyer digoyanggoyang perlahan hingga larutan berwarna kuning jerami (kuning muda). i. Tambahkan 3 tetes indikator amilum, goyang-goyang dan larutan akan berubah menjadi berwarna biru, kemudian lanjutkan titrasi hingga warna biru tepat hilang. j. Catat banyak larutan 1/80 N Na2S203 yang digunakan untuk titrasi dari awal hingga akhir (= a ml). Perhitungan: 1 ml 1/80 N Na2S203 = 0,1 mg O2/1 1000 Kandungan 02 terlarut = ——— x a x (f) x 0,1 mg/l 50 (f) = faktor koreksi = 1 2) Metode Mikro-Winkler (modifikasi metode Winkler): a) Ambil cuplikan air yang akan diperiksa dengan cara memasuk-kan botol oksigen ke dalam air (jaga jangan sampai timbul gelembung udara). b) Ke dalam botol oksigen berturut-turut tambahkan 8 tetes larutan MnSO4, dan 8 tetes larutan KOH-KI.

Jurusan Budidaya Perairan

c) Botol oksigen ditutup, kemudian gojok perlahan-lahan dengan cara botol dibolak-balik hingga reaksi berjalan sempurna. d) Diamkan beberapa saat hingga endapan yang timbul terlihat mengendap sempurna. e) Buka tutup botolnya dan dengan hati-hati tambahkan 0,5 ml larutan H2SC4 pekat. f) Tutup kembali botolnya, gojok dengan cara seperti di atas hingga endapan larut sempurna dan diamkan beberapa menit (± 10 menit). g) Ambil 50 ml larutan hasil reaksi di atas dan masukkan ke dalam erlenmeyer 250 ml. h) Titrasi dengan larutan 1/40 N Na2S203 sambil erlenmeyer digoyanggoyang perlahan hingga larutan berwarna kuning jerami (kuning muda). i) Tambahkan 3 tetes indikator amilum, goyang-goyang dan larutan akan berubah merijadi berwarna biru, kemudian lanjut-kan titrasi hingga warna biru tepat hilang. j) Catat banyak (jumlah skala) larutan 1/40 N Na2S203 (titran) yang digunakan untuk titrasi dan awal hingga akhir. Perhitungan: Kandungan 02 terlarut = titran x 0,05 mg/l (jika menggunakan mikroburet 80 skala) Kandungan 02 terlarut = titran x 0,04 mg/l (jika menggunakan mikroburet 100 skala) Kandungan C02 bebas 1) Metode Alkalimetri: a) Ambil cuplikan air yang akan diperiksa dengan cara mema-sukkan botol oksigen ke dalam air, tutup rapat-rapat dan jaga jangan sampai timbul gelembung udara. b) Dari dalam botol oksigen tersebut, ambil cuplikan air sebanyak 50 ml dan masukkan ke dalam erlenmeyer secara perlahan-lahan. (Langkah a dan b juga dapat dilakukan dengan cara langsung mengambil cuplikan air dan masukkan kedalam erlenmeyer yang sudah diberi tanda/ditera volumenya sebesar 50 ml). c) Tambahkan 3 tetes indikator Phenolphphtalein (PP). 1) Jika warnanya berubah menjadi merah muda (rose), berarti tidak ada kandungan C02 bebas. 2) Jika air cuplikan tetap tidak berwarna (bening), titrasi dengan larutan 1/44 N NaOH sambil digoyang-goyang hingga warnanya berubah menjadi merah muda. d) Catat banyak larutan 1/44 N NaOH yang digunakan (= b ml). Perhitungan: 1 ml 1/44 N NaOH = 1 mg C02 1000

Jurusan Budidaya Perairan

Kandungan C02

= —— x b x (f) x 1 mg/l 50 (f) = faktor koreksi = 1

2) Metode alkalimetri (modifikasi): a) Ambil dan masukkan cuplikan air sebanyak 20 ml ke dalam tabung atau erienmeyer. b) Tambahkan 3 tetes indikator Phenolphphtalein (PP). i) Jika warnanya berubah menjadi merah muda (rose), berarti tidak ada kandungan C02 bebas. ii) Jika air cuplikan tetap tidak berwarna (bening), titrasi dengan larutan 1/44 N NaOH sambil digoyang-goyang hingga warnanya berubah menjadi merah muda. c) Catat banyak (jumlah skala) larutan i/44 N NaOH (titran) yang digunakan. Perhitungan: Kandungan C02 bebas = titran x 0,5mg/l (jika menggunakan mikroburet 100 skala) Alkalinitas 1) Metode alkalimetri: a) Ambil cuplikan air yang akan diperiksa dengan cara memasukkan botol oksigen ke dalam air, tutup rapat-rapat dan jaga jangan sampai timbul gelembung udara. b) Dari dalam botol oksigen tersebut, ambil cuplikan air sebanyak 50 ml dan masukkan ke dalam erienmeyer secara perlahanlahan. (Langkah a dan b juga dapat dilakukan dengan cara langsung mengambil dan memasukkan cuplikan air ke dalam erienmeyer yang sudah diberi tanda/ditera volumenya sebesar 50 ml). c) Tambahkan 3 tetes indikator Phenolphphtalein (PP), Jika berwarna merah muda (rose), titrasi dengan larutan 1/50 N H2SO4 hingga warna merah muda tepat hilang. Catat banyak titran (1/50 N H2SO4) yang digunakan (= c ml); diperoleh nilai alkalinitas "P" atau alkalinitas karbonat (C03-). d) Tambahkan 3 tetes indikator Methyl Orange (MO) sehingga cuplikan berwarna kuning. e) Titrasi dengan larutan 1/50 N H2SO4 hingga warna kuning tepat berubah menjadi kemerahan. Catat banyak titran yang digunakan (= d ml), diperoleh nilai alkalinitas "M" atau alkalinitas bikarbonat (HCC3-). Perhitungan: 1000 Kandungan C03- = —— x c x (f) mg/l ............ (= x)

Jurusan Budidaya Perairan

50 1000 Kandungan HCC3 = x d x (f) mg/l ........... (= y) 50 (f) = faktor koreksi = 1 Alkalinitas Total = (x) + (y) mg/l 2) Metode asidimetri: a. Ambil cuplikan air dan masukkan ke dalam tabung/erlenmeyer kecil yang sudah diberi tanda 5 ml atau 10 ml. b. Tambahkan 3 tetes indikator Phenolphphtalein (PP). Jika air cuplikan tidak menjadi berwarna merah, berarti tidak ada alkalinitas "P" atau alkalinitas karbonat. c. Tambahkan 2 tetes indikator Bromeresol Green/Methyl Red (BCG/MR) sehingga air cuplikan berubah menjadi berwarna biru. d. Titrasi dengan larutan 1/50 N HCI hingga warna air cuplikan berubah menjadi jinnga. e. Catat banyak (jumlah skala) larutan 1/50 N HCl (titran) yang digunakan. Alkalinitas yang terukur yaitu alkalinitas "M" atau alkalinitas bikarbonat. Perhitungan: Alkalinitas = titran x 2 mg/l (jika cuplikan sebanyak 5 ml dan menggunakan mikroburet 100 skala) atau Alkalinitas = titran x 1 mg/l (jika cuplikan sebanyak 10 ml dan digunakan mikroburet 100 skala)

Jurusan Budidaya Perairan

PENGUKURAN KANDUNGAN BAHAN ORGANIK : 1. Ambil sampel air sebanyak 50 ml, tambahkan 2-3 tetes larutan 0,01 N Kalium permanganat sehingga terbentuk warna merah muda (rose) tipis. 2. Tambahkan 1-2 ml larutan 6 N H2SO4, kemudian tunggu beberapa saat hingga warna merah muda hilang. 3. Tambahkan 10 ml lerutan 0,01 N Kalium permanganat, panaskan hingga mendidih selama 5-10 menit. Apabila wama rose hilang, maka tambahkan lagi Kalium permanganat dengan jumlah yang diketahui (5-10 ml). 4. Tambahkan 10 ml 0,01 N Asam oksalat, kemudian dinginkan beberapa saat hingga suhunya mencapai sekitar 60°C. 5. Titrasi dengan larutan 0,01 N Kalium permanganat hingga terbentuk warna rose. Catat volume titran yang digunakan. Perhitungan: 1 ml 0,01 N kalium permanganat = 0,3163 mg bahan organik Kandungan bahan organik = 1000 = ———————— x [ { (10 + a) x f} - 10 ] x 0,3163 mg/l volume sampel a = volume titran (ml) b = faktor koreksi Kalium permanganat (diperoleh dari standar),

Jurusan Budidaya Perairan

ANALISIS DATA Indeks Keanekaragaman digunakan untuk mengetahui keanekaragaman hayati biota yang diteliti. Pada prinsipnya, nilai indeks makin tinggi, berarti komunitas diperairan itu makin beragam dan tidak didominasi oleh satu atau lebih dari takson yang ada. Umumnya, jenis perhitungan Indeks Keanekaragaman untuk plankton digunakan rumus Simpson, dan untuk benthos adalah rumus Shannon & Wiener. Berdasarkan hasil perhitungan indeks keanekaragaman biota air, dapat diketahui secara umum mengenai status mutu air secara biologis. Kriteria untuk plankton, apabila indeks keanekaragaman Simpson lebih kecil dari 0,6, menunjukkan bahwa telah terjadi perturbasi (gangguan) dari kualitas air terhadap kehidupan plankton (Odum, 1975). Sedangkan untuk benthos, kriteria mengacu kepada Lee et al. (1978). Indeks

Shannon-Wiener

digunakan

untuk

menghitung

indeks

keanekaragaman (diversity index) jenis, indeks keseragaman, dan indeks dominansi dihitung menurut Odum (1998) dengan rumus sebagai berikut : 1. Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener : ∑( ) keanekaragaman

dapat

ditentukan

berdasarkan

nilai

indeks

keanekaragaman jenis (H’) dengan kriteria sebagai berikut : Tinggi jika H’ > 3 Sedang jika 2 < H’ < 3, dan Rendah jika 0 < H’< 2 2. Indeks keseragaman :

Nilai indeks kemerataan jenis ini berkisar antara 0 – 1 dengan deskripsi kondisi sebagai berikut : E = 0, kemerataan antara spesies rendah, artinya kekayaan individu yang dimiliki masing-masing spesies sangat jauh berbeda E = 1, kemerataan antar spesies relatif merata atau jumlah individu masingmasing spesies relatif sama

Jurusan Budidaya Perairan

3. Indeks dominansi : ∑



Indeks dominansi-Simpson ini bernilai antara 0 – 1 dengan deskripsi sebagai berikut : D = 0 berarti tidak terdapat jenis yang mendominasi jenis lainya atau komunitas berada dalam kondisi stabil D = 1 berarti terdapat jenis yang mendominasi jenis lainya atau komunitas berada dalam kondisi labil karena terjadi tekanan ekologis dengan : H’ E D ni N Hmax

= Indeks keanekaragaman Shannon-Wiener = Indeks keseragaman = Indeks dominansi simpson = Jumlah individu genus ke-i = Jumlah total individu seluruh genera = Indeks keanekaragaman maksimum (= ln S, dimana S = Jumlah jenis)

Jurusan Budidaya Perairan

FORMAT LAPORAN 

Laporan Akhir pada kertas ukuran A4, dengan huruf arial narror ukuran 12, dan spasi 1,5. Margin kertas 4 cm pada pias atas dan kiri, dan 3 cm pada pias kanan dan bawah



Kover Kover dibuat sedemikan rupa (desain bebas) yang dapat mencerminkan kondisi lokasi pengambilan sampel. Pada Kover harus mengandung komponen

Judul,

Sub

Judul,

Penyusun

kelompoknya saja), institusi dan Tahun. Contoh desain cover

“KONDISI EKOLOGI PADA EKOSISTEM (sungai, estuari dan laut : tergantung lokasi kelompok) DI DESA……KECAMATAN…..KABUPATEN……….”

(LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI PERAIRAN)

Disusun Oleh: KELOMPOK II

JURUSAN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG 2012

(hanya

dicantumkan

Jurusan Budidaya Perairan



Outline laporan

Kover Kata pengantar Anggota Kelompok Daftar isi Daftar tabel Daftar lampiran PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Praktikum TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Lokasi Ekosistem Sungai (Sesuaikan dengan Kelompoknya) Faktor yang mempengaruhi ekosistem sungai Faktor Fisik Faktor Biologi Faktor Kimia Ekosistem Estuari (Sesuaikan dengan Kelompoknya) Ciri-ciri ekosistem sungai Ciri-ciri fisik Ciri-ciri Kimia Ciri-ciri biologi Ekosistem Pantai (Sesuaikan dengan Kelompoknya) Kondisi fisik pantai Faktor Fisik yang bekerja Faktor Kimia Faktor Biologi HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Fisik dan Kimia Kondisi Biologi Hubungan kondisi fisik, kimia dan biologi KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA UCAPAN TERIMA KASIH LAMPIRAN Jenis dan jumlah fitoplankton yang teridentifikasi Jenis dan Jumlah Bentos yang teridentifikasi Hasil perhitungan indeks