KARAKTERISTIK KUALITAS TELUR TETAS DAN PERKEMBANGAN TULANG

karakteristik kualitas telur tetas dan perkembangan tulang belakang (somite) embrio ayam arab pada umur telur yang berbeda skripsi megalin dwi ayu...

104 downloads 610 Views 6MB Size
KARAKTERISTIK KUALITAS TELUR TETAS DAN PERKEMBANGAN TULANG BELAKANG (SOMITE) EMBRIO AYAM ARAB PADA UMUR TELUR YANG BERBEDA

SKRIPSI MEGALIN DWI AYU

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

RINGKASAN Megalin Dwi Ayu D14080149. 2012. Karakteristik Kualitas Telur Tetas dan Perkembangan Tulang Belakang (Somite) Embrio Ayam Arab pada Umur Telur yang Berbeda. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakann, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor Pembimbing Utama : Maria Ulfah, S.Pt, M.Sc. Agr Pembimbing Anggota : Prof. drh. Arief Boediono. Ph.D Umur telur merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas telur tetas yang digunakan dalam penetasan. Penyimpanan telur yang semakin lama akan menurunkan kualitas telur. Kualitas telur tetas meliputi kualitas eksterior dan interior, faktor ini dapat mempengaruhi perkembangan embrio di dalam telur. Perkembangan embrio meliputi pembentukan tulang belakang (somite). Sampai saat ini data tentang perkembangan somite pada ayam lokal terutama ayam Arab masih terbatas, sehingga diperlukan penelitian mengenai pengaruh umur telur terhadap perkembangan somite pada ayam lokal (ayam Arab). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik telur tetas dan perkembangan tulang belakang (somite) embrio ayam Arab pada umur telur yang berbeda. Penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan informasi mengenai umur telur tetas yang sebaiknya digunakan dalam penetasan. Materi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 99 butir telur tetas ayam Arab (hibrid). Telur tetas ayam Arab diperoleh dari breeder ayam Arab “Trias Farm”, Leuwiliang, Bogor. Umur telur tetas yang digunakan yaitu 0, 7, dan 12 hari dari induk berumur 42 minggu. Pengamatan perkembangan somite, pengamatan kualitas eksterior telur tetas (berat telur, indeks bentuk telur, kedalaman kantung udara), dan kualitas interior telur tetas (berat kerabang dan ketebalan kerabang) menggunakan 90 butir telur tetas (masing-masing perlakuan 30 butir telur tetas). Analisis nutrien telur menggunakan sembilan butir telur tetas (masing-masing pelakuan menggunakan tiga butir telur tetas). Pembuatan preparat embrio menggunakan embrio ayam Arab dari telur yang telah diinkubasi (24, 33-36, dan 48 jam), larutan NaCl 0.72% (123mM), larutan Bouin, etanol 70%, etanol 96%, etanol absolute, xylol, pewarna carmine acid dan entellan. Peubah yang diamati adalah berat telur, indeks bentuk telur, kedalaman kantung udara, berat kerabang, ketebalan kerabang, analisis nutrien telur, analisis nutrient pakan dan perkembangan tulang belakang (somite) embrio ayam Arab. Rancangan yang digunakan untuk pengamatan berat telur, indeks bentuk telur, berat kerabang, ketebalan kerabang dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan dan 30 ulangan. Perlakuan tersebut terdiri dari umur telur 0, 7, dan 12 hari. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis ragam (Analisys of Varian/ANOVA). Persentase kedalaman kantung udara, hasil analisis nutrien pakan, nutien telur, persentase kematian embrio, dan perkembangan tulang belakang (somite), dianalisis secara deskriptif. Hasil analisis pakan menunjukkan bahwa pakan yang digunakan oleh peternakan Trias Farm secara umum memenuhi ketentuan pakan ayam lokal periode bertelur. Umur telur tidak berpengaruh (P>0,05) terhadap berat telur, indeks bentuk telur, berat kerabang telur, dan ketebalan kerabang. Perkembangan tulang belakang

pada telur tetas dengan waktu penyimpanan (7 dan 12 hari) lebih lambat jika dibandingkan dengan perkembangan pada telur tetas pada umur 0 hari. Kematian embrio ditemukan pada telur tetas umur 12 hari dengan persentase sebesar 16,67% setelah 24 jam inkubasi dan 33,33% setelah 33-36 jam inkubasi.

Kata-kata kunci : telur tetas, umur telur, somite

ABSTRACT The Characteristics of Hatching Egg Qualities and Somite Development From Different Storage Time of Arabic Chikens Egg Ayu, M. D., M. Ulfah., and A. Boediono The storage time of hatching egg is one of important factors caused a reduction of hatching egg qualities followed by a negative impact of embrio development, mainly the somite development. Till now, there are limited data of somite development of Arabic chicken embryo. Therefore research of the impact of the hatching egg storage on somite development of Arabic chicken embrio is important to be observed since the storage of hatching egg highly impact the quality of Day Old Chick (DOC). The Complete Randomized Design was used in this research. A nineteen of hatching egg of Arabic chickens from 42 weeks of hen age with 0, 7, and 12 day of storage prior to incubation were used to determine the characteristic of hatching egg of arabic chicken and somite development. The embryo collection and preparat preparation included of following steps harvesting, washing, and fixing of embryo, washing of embryo with alcohol 70%, staining and mounting of embryo. The development of somite observed on 24, 33-36, and 48 hour after incubation. The storage time of eggs didn”t significantly effect the weight, shape index, weight of shell and shell thickness of hatching eggs. The increasing of storage time delayed the development of somite and the increasing of the cell dead. Keywords : hatching eggs, storage time, somite

KARAKTERISTIK KUALITAS TELUR TETAS DAN PERKEMBANGAN TULANG BELAKANG (SOMITE) EMBRIOAYAM ARAB PADA UMUR TELUR YANG BERBEDA

MEGALIN DWI AYU D14080149

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk Memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012

Judul :Karakteristik Kualitas Telur Tetas dan Perkembangan Tulang Belakang (Somite) Embrio Ayam Arab pada Umur Telur yang Berbeda Nama : Megalin Dwi Ayu NIM : D14080149

Menyetujui,

Pembimbing Utama,

(Maria Ulfah, S.Pt, M.Sc, Agr) NIP. 19761101 199903 2 001

Pembimbing Anggota,

(Prof. drh. Arief Boediono. Ph.D) NIP. 19640305 198803 1 002

Mengetahui: Ketua Departemen, Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr. Sc) NIP. 19591212 198603 1 004

Tanggal Ujian :

Tanggal Lulus:

RIWAYAT HIDUP Penulis lahir pada tanggal 9 Maret 1990 di Talu, Pasaman, Sumatera Barat. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Hendrizal dan Ibu Rosnelly S.Pd. Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1996 di Sekolah Dasar Negeri 13 Saribulabiah dan diselesaikan pada tahun 2002. Pendidikan lanjutan tingkat pertama dimulai pada tahun 2002 dan diselesaikan pada tahun 2005 di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Lintau, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Lintau, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat pada tahun 2005 dan diselesaikan pada tahun 2008. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan pada tahun 2009. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif sebagai staf Departemen Sosial Lingkungan Mayarakat, BEM D, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor periode 2010-2011, Bendahara Departemen Sosial Lingkungan Mayarakat, BEM D, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor periode 2011-2012, dan Sekretaris, Pehimpunana Mahasiwa Lintau Bogor (MLB) periode 2009-2010 serta aktif dalam berbagai kepanitiaan.

Bogor, Agustus 2012

Penulis

KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya, alhamdulillahirrobbilalamin penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Karakteristik Kualitas Telur Tetas dan Perkembangan Tulang Belakang (Somite) Embrio Ayam Arab pada Umur Telur yang Berbeda yang ditulis berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada bulan Maret sampai dengan Mei 2012. Ayam Arab merupakan salah satu jenis ayam petelur unggul, produksi telur nya dapat mencapai 300 butir pertahun. Kemampuan ayam Arab sebagai penghasil telur yang baik dapat digunakan sebagai penyedia protein hewani. Telur yang dihasilkan dapat berupa telur tetas dan telur konsumsi. Karakteristik telur menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi penetasan. Kualitas telur yang digunakan dalam penetasan dapat dipengaruhi oleh umur telur (lama penyimpanan telur). Faktor kualitas tersebut dapat mempengaruhi perkembangan embrio di dalam telur. Oleh karena itu, diperlukan pengetahuan mengenai karakteristik telur tetas dan pengaruh umur telur terhadap perkembangan embrio (tulang belakang) di dalam telur untuk menghasilkan DOC yang berkualitas. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan informasi baru dalam dunia peternakan dan dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, serta bagi pembaca pada umumnya.

Bogor, Agustus 2012

Penulis

DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN…………………………….……………………….….…

i

ABSTRACT...…………………………………………………………...

iii

LEMBAR PERNYATAAN…………….………………………………

iv

LEMBAR PENGESAHAN…………….……………………………….

v

RIWAYAT HIDUP…………………….……………………………….

vi

KATA PENGANTAR ………………….………………………………

vii

DAFTAR ISI…………………………….……………………………...

viii

DAFTAR TABEL……………………….……………………………...

x

DAFTAR GAMBAR…………………….………………………….......

xi

DAFTAR LAMPIRAN………………….……………………………...

xii

PENDAHULUAN………...……………….……………………………

1

Latar Belakang…….………………………………………....... Tujuan…………….…………………………………………....

1 2

TINJAUAN PUSTAKA…….…………………………………………..

3

Ayam Arab.……………………………………………………. Telur Tetas Ayam Arab………………...…………………….... Karakteristik Kimia Telur……………………………... Karakteristik Fisik Telur..………………………….….. Penanganan Telur Tetas…………………………………….…. Inkubasi Telur Tetas………………………………………….... Suhu dan Kelembaban Inkubator……………………... Ventilasi………………………………………………. Peneropongan (Candling)……………………………... Posisi Telur……………………………………………. Waktu Inkubasi……………………………………….. Daya Tetas……………………………………………………... Pembentukan Awal Embrio………………………..................... Tulang Belakang (Somite)…………………..……………......... Pembentukan Embrio Setelah 22-24, 33-36, dan 48 Jam Inkubasi…………………………………………... Pengaruh Penyimpanan Telur Sebelum Inkubasi terhadap Perkembangan Somite……………………………………….....

3 4 4 5 7 9 9 10 10 10 10 10 12 14

MATERI DAN METODE…………………………..………………….

20

Lokasi dan Waktu……………………………………………. Materi ………………………………….…………………….... Prosedur…………………………………………….……….… Persiapan Telur Tetas dan Mesin Tetas…………….….. Inkubasi Telur Tetas……...………………………........

20 20 21 21 22

15 18

Pengamatan Perkembangan Somite………………….….. Rancangan dan Analisa Data……………………………..........

23 24

HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………….…..

26

Kualitas Pakan…………………………………………............. Karakteristik Eksterior Telur Tetas……………………….......... Berat Telur Tetas……………….……………….…….. Indeks Bentuk Telur…………………………….…...... Kantung Udara Telur………………………….………. Karakteristik Interior Telur Tetas…………………….…….….. Karakteristik Kerabang Telur……………….……........ Komposisi Kimia Telur…………………….…………. Suhu dan Kelembaban Mesin Tetas……………….………........ Kematian Embrio………………………………….………........ Perkembangan Tulang Belakang (Somite)..…….……………... Perkembangan Tulang Belakang Setelah 24 Jam Inkubasi………………………………….…………….. Perkembangan Tulang Belakang Setelah 33-36 Jam Inkubasi………………………………….…………….. Perkembangan Tulang Belakang Setelah 48 Jam Inkubasi………………………………….……………..

26 27 27 28 29 30 30 31 33 34 35

KESIMPULAN DAN SARAN………………………….……………...

44

UCAPAN TERIMA KASIH…………..………………….………….....

45

DAFTAR PUSTAKA…………………………………….……………..

46

LAMPIRAN…………………………………………….……………....

49

37 38 39

DAFTAR TABEL Nomor 1. Komposisi Kimia Telur Ayam Arab………………………….....

Halaman 5

2.

Persyaratan Tingkat Mutu Telur Tetas Ayam Lokal…………….

9

3.

Kandungan Nutrien Pakan Induk Ayam Lokal………...............

11

4. Morfologi Embrio Ayam setelah 22-24, 33-36, dan 48 Jam Inkubasi……………………………..……………………………

16

5. Rataan Jumlah Somite setelah (24, 36, dan 48) Jam Inkubasi…...

18

6. Kandungan Nutrien Pakan Ayam Arab Peternakan Trias Farm….

26

7. Rataan Berat Telur Tetas Ayam Arab pada Umur Telur 0,7, dan 12 Hari……………………………………………………………

28

8. Rataan Indeks Bentuk Telur Tetas Ayam Arab pada Umur Telur 0,7, dan 12 Hari…………………………………………………..

29

9. Kantung Udara Telur Tetas Ayam Arab pada Umur Telur 0,7, dan 12 Hari……………………………………………………….

30

10. Rataan Ketebalan Kerabang dan Berat Kerabang Telur Tetas Ayam Arab pada Umur Telur 0,7, dan 12 Hari…………………..

31

11. Komposisi Kimia Telur Tetas Ayam Arab pada Umur Telur 0, 7, dan 12 Hari ………………………………………………………

31

12. Suhu dan Kelembaban Mesin Tetas Selama Inkubasi……………

33

13. Persentase Kematian Embrio Telur Tetas Umur 0, 7, dan 12 Hari pada 24, 33-36, dan 48 Jam Inkubasi ……………………………

34

14. Perkembangan Tulang Belakang (Somite) Embrio Ayam Arab pada Umur Telur Tetas 0, 7, dan 12 Hari…………………….......

36

DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Ayam Arab Silver Jantan (A) dan Betina (B)……………………. 3 2. Ayam Arab Golden Betina……………………………………….

4

3. Bentuk-bentuk Telur……………………………………………...

5

4. Gambaran Telur Fertil ………………...…………………………

9

5. Tampak Punggung Embrio Ayam pada Tahap Pembentukan Primitif Streak (sekitar 16 Jam Inkubasi)……………………….

15

6. Gambaran Perkembangan Embrio Setelah 24,36, dan 48 Jam Inkubasi………………………………………………………….. 7.

Kematian Embrio Telur Tetas Umur 12 Hari…………………….

18 35

8.

Perbandingan Hasil Penelitian Perkembangan Embrio Setelah 48 Jam Inkubasi pada Telur Umur 0 Hari dengan Perkembangan Embrio setelah 72 Jam Inkubasi …………………………………

40

9.

Perkembangan Embrio Telur Tetas Ayam Arab Umur Telur 0,7, dan 12 Hari Setelah 24, 33-36, dan 48 Jam Inkubasi…………………………………………………………..

41

DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1. Hasil Analisis Ragam Nilai Rata–Rata Berat Telur pada Umur Telur 0, 7, dan 12 Hari ………………………………………...

Halaman 50

2. Hasil Analisis Ragam Nilai Rata–Rata Indeks Telur pada Umur Telur 0, 7, dan 12 Hari ……………………………………….

50

3. Hasil Analisis Ragam Nilai Rata–Rata Ketebalan Kerabang Telur pada Umur Telur 0, 7, dan 12 Hari ……………………….

50

4. Hasil Analisis Ragam Nilai Rata–Rata Berat Kerabang Telur pada Umur Telur 0, 7, dan 12 Hari ..……………………………

50

5. Perkembangan Embrio Ayam Arab setelah 24 Jam Inkubasi pada Umur Telur 12 Hari ……………………………………….

51

6. Perkembangan Embrio Ayam Arab setelah 36 Jam Inkubasi pada Umur Telur 12 Hari……………………………………..…

51

7. Perkembangan Embrio Ayam Arab setelah 48 Jam Inkubasi pada Umur Telur 12 Hari………………………………………

51

8. Perkembangan Embrio Ayam Arab setelah 24 Jam Inkubasi pada Umur Telur 7 Hari…………………………………………

52

9. Perkembangan Embrio Ayam Arab setelah 33- 36 Jam Inkubasi pada Umur Telur 7 Hari…………………………………………

52

10. Perkembangan Embrio Ayam Arab setelah 48 Jam Inkubasi pada Umur Telur 7 Hari………………………………………...

52

11. Perkembangan Embrio Ayam Arab setelah 24 Jam Inkubasi pada Umur Telur 0 Hari………………………………………..

53

12. Perkembangan Embrio Ayam Arab setelah 33-36 Jam Inkubasi pada Umur Telur 0 Hari……………………………….

53

13. Perkembangan Embrio Ayam Arab setelah 48 Jam Inkubasi pada Umur Telur 0 Hari...……………………………………….

53

PENDAHULUAN Latar Belakang Ayam Arab yang ada sekarang merupakan ayam Arab hasil perkawinan silang dengan ayam lokal. Ayam Arab mempunyai prospek pasar yang sangat baik untuk dikembangkan. Selama usia produktif (1-2 tahun), ayam Arab hampir setiap hari bertelur. Produksi telur dapat mencapai 75-85% jika pakan yang diberikan cukup berkualitas. Produksi telur ayam Arab mencapai 300 butir per tahun dengan bobot 30-35 gr (Sulandari et al.,2007). Produktivitas ayam Arab dalam penyediaan telur cukup tinggi dibandingkan dengan ayam lokal petelur lainnya, karena ayam Arab mempunyai sifat mengeram yang rendah (hampir tidak ada) sehingga waktu bertelur lebih panjang. Sifat tersebut dimanfaatkan untuk menghasilkan telur sebagai pendorong penyedian protein hewani (Binawati, 2008). Telur yang dihasilkan dapat berupa telur tetas dan telur konsumsi. Kualitas telur tetas yang digunakan dalam penetasan akan mempengaruhi daya tetas. Keberhasilan dalam penetasan telur ayam biasanya ditentukan oleh persentase daya tetas telur di atas 65% dari semua telur yang ditetaskan (Williamson dan Payne, 1993). Kualitas telur tetas dapat dipengaruhi oleh umur telur. Penyimpanan telur yang semakin lama sebelum ditetaskan akan menurunkan kualitas telur yang akan digunakan dalam penetasan, sehingga mempengaruhi perkembangan embrio. Perkembangan embrio meliputi pembentukan bagian-bagian tubuh embrio, salah satunya adalah tulang belakang (somite). Pengetahuan mengenai pengaruh umur telur terhadap perkembangan somite hingga membentuk seekor ayam sangat penting untuk mengetahui umur telur yang sebaiknya digunakan dalam penetasan. Selain itu, karakteristik telur tetas juga diperlukan untuk mengetahui kualitas telur yang sebaiknya digunakan dalam penetasan. Data tentang perkembangan somite pada ayam lokal terutama ayam Arab hingga saat ini masih terbatas, sehingga diperlukan penelitian mengenai perkembangan somite ayam lokal (ayam Arab) pada umur telur yang berbeda. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada breeder untuk mengetahui umur telur yang sebaiknya digunakan dalam penetasan sehingga menghasilkan perkembangan somite yang optimal dan menghasilkan anak ayam yang baik kualitasnya.

1

Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik telur tetas dan perkembangan tulang belakang (somite) embrio ayam Arab pada umur telur yang berbeda. Penelitian ini juga bertujuan untuk memberikan informasi mengenai umur telur tetas yang sebaiknya digunakan dalam penetasan.

2

TINJAUAN PUSTAKA Ayam Arab Ayam Arab merupakan ayam lokal pendatang yang asal muasalnya merupakan ayam lokal Eropa. Braekels adalah jenis ayam lokal petelur introduksi yang paling dikenal di Indonesia. Tubuh ayam

Braekels bewarna putih dengan

kombinasi totol hitam yang berbaris di sekujur tubuh, jengger bewarna merah, dan terdapat bercak putih di telinga. Ayam Arab sebagai keturunan dari ayam Braekels bersifat gesit, aktif, dan daya tahan tubuhnya kuat. Secara genetis ayam Arab tergolong rumpun ayam lokal yang unggul karena memiliki kemampuan produksi telur yang tinggi (Sulandari et al. 2007). Ayam Arab, konon pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh Bapak Suwarno yang pulang ibadah haji dari Arab Saudi, membawa delapan butir telur tetas yang kemudian ditetaskan dan dikembangkan di daerah Malang Jawa Timur. Ayam ini dibesarkan dan diumbar diperkarangan rumahnya sehingga kawin dengan ayam lokal. Perkawinan silang ini memperlihatkan produksi telur dari hasil kawin silang dengan ayam Arab lebih tinggi dibandingkan dengan ayam lokal lainnya (Sulandari et al. 2007). Ayam Arab ada dua jenis yaitu ayam Arab silver (Brakel Kriel Silver) dan ayam Arab golden (Brakel Kriel Gold). Ayam Arab silver memiliki warna bulu putih keperakan dari kepala hingga leher dan badan memiliki warna total hitam putih atau lurik hitam putih, warna lingkar mata hitam, shank dan paruh hitam. Bobot badan dewasa ayam Arab silver jantan bisa mencapai 1,4-2,3 kg dan betina 0,9-1,8 kg. Ciri khas ayam Arab silver ditunjukkan pada Gambar 1.

A

B

Gambar 1. Ayam Arab Silver Jantan (A) dan Betina (B) Sumber : Robert, 2008

3

Ayam Arab golden memiliki bulu bewarna merah lurik kehitaman, warna shank, kulit, dan paruh hitam, bulu leher merah, dan lingkar mata hitam. Bobot jantan dewasa 1,4-2,1 kg dan betinanya sekitar 1,1-1,6 kg, memiliki keunggulan dalam produksi telur (Sulandari et al., 2007). Ciri khas ayam Arab golden ditunjukkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Ayam Arab Golden Betina (Sumber : Association for Promotion of Belgian Poultry. 2003)

Jengger ayam Arab jantan bewarna merah, berukuran besar dan tipis, sedangkan ukuran jengger ayam betina lebih kecil. Selama usia produktif (1-2 tahun), ayam Arab hampir setiap hari bertelur, jika pakan yang diberikan cukup berkualitas, produksi telurnya bisa mencapai 75-85%. Penampilan ayam Arab lebih menarik dibandingkan ayam lokal biasa. Ayam Arab mempunyai keunggulan yaitu, produksi telur bisa mencapai 300 butir pertahun dengan bobot 30-35 gr (Sulandari et al. 2007). Telur Tetas Ayam Arab Karakteristik Kimia Telur Telur unggas merupakan bahan makanan yang sangat lengkap terdiri dari protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral yang menunjang perkembangan embrio selama 21 hari (Ensminger et al., 2004). Karbohidrat merupakan sumber energi utama untuk embrio selama empat hari pertama perkembangan. Komponen lemak sebagian besar diperoleh dari demobilisasi lemak tubuh dan memiliki asam lemak yang tidak jenuh (Oluyemi dan Robert, 1979). Lemak telur mengandung 65% trigliserida, 28,3% fosfolipid dan 5,2% kolesterol. Asam lemak trigliserida pada kuning telur adalah asam linoleat, oleat dan stearat (Romanoff dan Romanoff, 1963).

4

Mineral yang terkandung pada telur seperti kalsium dan fosfor merupakan komponen utama dalam pembentukan tulang (Oluyemi dan Robert, 1979). Sumber Ca untuk pembentukan kerabang berasal dari pakan dan tulang (North dan Bell, 1990). Kandungan abu telur memiliki hubungan dengan kadar mineral yang terdapat dalam telur, misalnya kalsium dan fosfor. Kandungan Ca dan P kerabang telur dapat dipengaruhi oleh kandungan Ca dan P dalam pakan, suhu dan kelembaban lingkungan, sifat genetik individu ayam, dan umur induk (Sodak, 2011). Komposisi kimia telur ayam Arab ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Kimia Telur Ayam Arab Putih Kerabang Telur Utuh Komponen Kuning Telur1 Telur1 (Ensminger et al., 2004) Telur1 Kadar Air

------------------------------------(% BK)------------------------------------23,52 87,91 65,5

Kadar Abu

1,95

0,60

84,26

-

Protein

18,93

10,25

-

11,8

Lemak

32,24

0,01

-

11

Kalsium

0,43

0,27

45,89

-

Pospor

0,57

0,31

0,90

-

Energi Bruto (EB)

3886

3526

-

-

kkal/kg Keterangan : Sodak (2011)1

Karakteristik Fisik Telur Tetas Bentuk Telur Bentuk telur yang menyimpang merupakan keabnormalan pada telur. Bentuk telur yang tidak proporsional berupa, bentuk telur yang tidak bulat dan tidak seimbang perbandingan panjang dan lebarnya (Sodak, 2011). Bentuk– bentuk telur ditunjukan Gambar 3.

Gambar 3. Bentuk – bentuk Telur (Sumber : Robert, 2008)

5

Kebersihan Kerabang Telur Ayam Kebersihan kerabang telur tidak lepas dari penanganan kebersihan kandang dan frekuensi pengkoleksian telur. Ekskereta ayam yang menempel pada telur kemungkinan besar mampu menjadi media bakteri untuk mengkontaminasi telur melalui kerabang dan menurunkan kualitas telur setelah disimpan beberapa waktu (Sodak, 2011). Keutuhan Telur Ayam Telur utuh adalah telur yang tidak mengalami keretakan baik retak halus maupun retak kasar. Pemberian pakan yang mengandung nutrien yang mencukupi kebutuhan ayam petelur dapat mengatasi keretakan pada kerabang telur. Nutrien Ca, P, dan Mg merupakan unsur mineral dalam pakan yang sangat penting untuk proses pembentukan kerabang. Keretakan pada kerabang telur dapat disebabkan oleh kandungan Ca yang tidak tercampur merata pada pakan (Sodak, 2011). Kantung Udara Telur Kantung udara dipengaruhi oleh lama dan suhu penyimpanan telur, kelembaban dan perubahan internal dari telur (Yuwanta, 2010). Kantung udara telur semakin bertambah besar karena adanya penguapan air di dalam telur atau penyusutan berat telur. Suhu yang tinggi dan kelembaban yang rendah dapat menyebabkan kantung udara cepat membesar akibat adanya penguapan air di dalam telur (Romanoff dan Romanoff, 1963). Berat Telur Berat telur ayam Arab berkisar antara 33,33-53,27 g/butir. Perbedaan jenis pakan berpengaruh terhadap berat telur yang dihasilkan (Sodak, 2011). Faktor yang mempengaruhi berat telur yaitu genetik dan umur ayam, pakan, penyakit, suhu lingkungan, musim, periode produksi (awal atau menjelang akhir), umur dewasa kelamin, besar tubuh, banyaknya telur yang dihasilkan dan sistem pengelolaan ayam (North dan Bell, 1990; Dharma et al., 2001). Kehilangan berat telur terjadi seiring bertambahnya waktu penyimpanan telur. Kehilangan berat telur merupakan salah satu perubahan yang paling jelas karena penyimpanan telur. Hal ini terutama disebabkan oleh hilangnya kadar air dari albumen. Penurunan berat telur disebabkan

6

oleh lepasnya gas, seperti CO2, ammonia, nitrogen , dan kadang-kadang H2S yang sebagian besar merupakan hasil dari perubahan kimia pada telur (Romanoff dan Romanoff, 1963). Indeks Bentuk Telur Faktor yang mempengaruhi indeks bentuk telur antara lain umur induk, sifat genetik, bangsa, juga disebabkan oleh proses-proses yang terjadi selama pembentukan telur terutama pada saat telur melalui magnum dan isthmus (Dharma et al., 2001; Sodak, 2011). Indeks bentuk telur tetas ayam lokal yang baik menurut Wardiny (2002) yaitu 76-78% (rasio lebar dan panjang telur). Ketebalan dan Berat Kerabang Telur Ketebalan kerabang merupakan salah satu aspek penilaian kualitas kerabang telur. Kerabang yang tipis diakibatkan oleh kurangnya kandungan Ca dan P dalam pakan, umur ayam yang terus meningkat dan suhu lingkungan yang tinggi. Pengaruh perubahan suhu dan kelembaban lingkungan secara langsung dapat menyebabkan stres pada ayam, sehingga produksi hormon FSH akan terganggu yang kemungkinan berdampak negatif pada kerabang telur yang dihasilkan (Sodak, 2011). Penguapan H2O yang bereaksi dengan lapisan kutikula (Ca) mengakibatkan kerabang semakin porous sehingga lapisan kutikula akan semakin berkurang (Pribadi, 2000). Rataan tebal kerabang telur yang baik yaitu antara 0,33 mm dan 0,35 mm (North dan Bell, 1990). Penanganan Telur Tetas Telur tetas merupakan unsur pokok dalam kegiatan penetasan. Kesalahan dalam penanganan telur tetas dapat menyebabkan kegagalan dalam penetasan. Koleksi Telur Tetas Pada suhu lingkungan normal, telur harus dikumpulkan setidaknya tiga kali dalam satu hari. Saat suhu lingkungan diatas 85°F telur tetas harus dikumpulkan lima kali atau lebih dalam satu hari. Frekuensi pengumpulan telur mengurangi kemungkinan kontaminasi telur dari kontak dengan bahan sarang dan feces, dan mencegah pendinginan pada saat musim dingin dan menjadi terlalu panas pada musim panas (Ensminger et al., 2004).

7

Penyimpanan Telur Tetas Penyimpanan telur yang semakin lama sebelum ditetaskan mengakibatkan penguapan air di dalam telur dan membesarnya kantung udara. Periode penyimpanan yang lama tidak hanya menurunkan daya tetas tetapi juga meningkatkan waktu inkubasi.

Lama penyimpanan juga menurunkan bobot anak ayam (Mulyantini,

2010). Telur tetas tetap baik disimpan sampai hari ke tujuh asalkan disimpan pada suhu 12,8 °C dan pada kelembaban relatif 60 -70%. Telur yang akan ditetaskan tidak boleh disimpan dalam lemari es karena dapat mengurangi fertilitas telur (Williamson dan Payne, 1993). Seleksi Telur Tetas Kualitas fisik dan kimia telur tergantung pada kualitas isi telur dan kulit telur. Faktor kulitas telur dibagi menjadi dua yaitu faktor kualitas eksterior dan interior. Faktor kualitas eksterior meliputi kebersihan telur, bentuk telur, berat telur, indeks bentuk telur, dan kedalaman kantung udara. Faktor kualitas interior antaralain ketebalan kerabang, berat kerabang, dan

kandungan nutrien telur. Karakteristik

kimia telur secara keseluruhan meliputi kandungan air, abu, protein, lemak, karbohidrat, vitamin dan mineral (United States Departement of Agriculture, 2002). Persyaratan utama telur tetas yaitu telur dalam kondisi fertil dan berasal dari breeder. Menurut Cobb Vantress (2008) bila dilihat dengan mikroskop ciri telur fertil ditunjukkan pada Gambar 4.

Blastoderm Gambar 4. Gambaran Telur Fertil (Sumber : Cobb Vantress, 2008)

8

Standar kualitas telur tetas ayam lokal yang digunakan dalam penetasan ditunjukkan Tabel 2. Tabel 2. Persyaratan Tingkat Mutu Telur Tetas Ayam Lokal No.

Faktor Kualitas

Standar

1.

Fertilitas telur

Fertil

2.

Bobot telur (g) / butir

3.

Indeks bentuk telur (%)

4.

Ketebalan kerabang (mm)

0.322

5.

Bentuk telur

Oval1

6.

Umur telur

Maksimal 7 hari1

7.

Suhu penyimpanan (°C)

Minimal 371 76-783

22-251

Sumber : Kementrian Pertanian (2006)1 ; Pribadi (2000)2 ; Wardiny (2002)3.

Fumigasi Mesin Tetas dan Telur Tetas Fumigasi dilakukan dengan menggunakan gas beracun untuk menghilangkan organisme yang dapat membunuh embrio atau menginfeksi anak ayam saat penetasan. Fumigasi juga dilakukan untuk menjaga telur atau perpindahan penyakit pada penetasan. Fumigasi mesin tetas menggunakan potassium permanganate dan formalin. Formalin dicampurkan kedalam potassium permanganate dan mesin tetas ditutup selama 30 menit. Mesin tetas dapat dijalankan 12-24 jam setelah dilakukan fumigasi. Fumigasi telur tetas juga dilakukan sebelum telur disusun di dalam mesin tetas (Oluyemi dan Roberts, 1979). Inkubasi Telur Tetas Faktor yang penting dalam inkubasi telur yaitu suhu dan kelembaban inkubator, ventilasi, posisi telur, peneropongan dan waktu inkubasi. Suhu dan Kelembaban Inkubator Suhu dan kelembaban relatif harus diatur selama inkubasi agar kehidupan embrio di dalam telur dapat dipertahankan pada tingkat optimal (Williamson dan Payne, 1993). Pembentukan embrio yang optimal terjadi saat suhu 37,2-39,4°C (Ensminger et.al.,2004). Suhu yang terlalu tinggi mengakibatkan mortalitas embrio meningkat, sebaliknya suhu yang terlalu rendah akan menghambat pertumbuhan

9

embrio dan telur tidak menetas. Suhu optimum perkembangan embrio berbeda pada masing-masing telur, hal ini dipengaruhi oleh ukuran telur, kualitas kulit telur, genetik (breed atau strain), umur telur saat dimasukkan dalam inkubator, kelembaban inkubasi (Mulyantini, 2010). Kelembaban udara relatif pada mesin tetas selama 18 hari pertama inkubasi harus sekitar 60%. Selama tiga hari terakhir atau periode penetasan kelembaban harus sekitar 70% (Ensminger et al, 2004). Ventilasi Ventilasi diperlukan untuk membersihkan mesin tetas dari ammonia dan bahan berbahaya yang dapat menyebabkan pembusukan pada telur setelah mesin tetas difumigasi (Oluyemi dan Robert, 1979). Peneropongan Telur (Candling) Peneropongan dapat dilakukan untuk mengetahui fertilitas dan kematian embrio. Telur yang tidak fertil dapat diketahui setelah 15-18 jam inkubasi. Pemeriksaan kedua dapat dilakukan setelah 14 sampai 16 hari inkubasi, embrio yang mati dapat dikeluarkan dari inkubator (Ensminger et al., 2004). Posisi Telur Penempatan telur pada mesin tetas memanjang sumbu horizontal atau vertikal. Bagian yang tumpul dari telur harus berada dibagian atas ketika telur diletakkan secara vertikal.

Bagian tumpul tersebut terdapat banyak pori-pori

kerabang yang memungkinkan lebih besar kehilangan uap air dan gas dibandingkan bagian lain pada kerabang (Ensminger et. al., 2004). Waktu Inkubasi Waktu inkubasi pada telur ayam yaitu 21 hari. Semakin besar ukuran telur maka waktu inkubasi yang diperlukan semakin lama, begitu juga dengan telur yang berukuran kecil membutuhkan waktu yang lebih cepat (Ensminger et al., 2004). Daya Tetas Keberhasilan penetasan telur biasanya ditentukan oleh persentase daya tetas telur (secara umum diatas 65% dari semua telur yang ditetaskan). Beberapa faktor yang mempengaruhi daya tetas telur diantaranya adalah:

10

Fertilitas Fertilitas merupakan kemampuan untuk bereproduksi. Fertilitas dipengaruhi oleh jumlah betina yang dikawinkan dengan seekor jantan (sex ratio), umur ayam, lama waktu mulai ayam kawin sampai telur dikumpulkan untuk ditetaskan manajemen pemeliharaan pembibitan, pakan, dan musim (Ensminger et al., 2004). Genetik Closebreeding tanpa adanya seleksi pada ayam dapat menurunkan daya tetas karena adanya gen lethal (Ensminger et al., 2004). Crossbreeding menghasilkan daya tetas yang tinggi, hal itu dapat terlihat dari strain produksi, fertilitas, dan daya tetas telur yang lebih tinggi (Ensminger et al., 2004 ;Oluyemi dan Robert, 1979). Nutrien Kekurangan nutrien mungkin dapat menyebabkan mortalitas embrio yang tinggi atau menetasan anak ayam yang lemah (Williamson dan Payne, 1993).Telur harus mengandung semua nutrien yang dibutuhkan embrio. Induk harus mendapatkan rasio pakan yang sesuai dengan kebutuhan nutrien yang diperlukan untuk menyuplai nutrien yang diperlukan untuk perkembangan embrio (Ensminger et al., 2004). Kebutuhan umum yang harus tersedia dalam jumlah yang lebih banyak untuk menghasilkan telur tetas yang baik diantaranya adalah protein, karbohidrat, dan lemak (Funk dan Irwin, 1955). Kandungan pakan ayam lokal periode bertelur ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3. Kandungan Nutrien Pakan Ayam Lokal Periode Bertelur No

Kandungan Nutrien

Jumlah

1.

Kadar air (KA) maksimal (%)

14

2.

Energi metabolis (kkal/kg ransum)

3.

Protein kasar (PK) (%)

15

4.

Kalsium (Ca) (%)

3,4

5.

Phosphor (P) (%)

0,34

6.

Serat kasar (SK) (%)

2600

Maksimal 5

Sumber : Kementrian Pertanian (2006)

11

Kebutuhan protein pakan unggas dipengaruhi oleh suhu lingkungan, umur, spesies atau bangsa atau strain, kandungan asam amino, dan kecernaan (Widodo, 2002). Kebutuhan kalsium lebih besar ketika unggas mulai memproduksi telur dibandingkan saat pertumbuhan, karena kalsium diperlukan untuk pembentukan kerabang telur (Mulyantini, 2010). Bahan ekstrak tanpa nitrogen merupakan sumber pati yang terkandung dalam pakan. Pati adalah bagian dari karbohidrat yang mudah dicerna dan merupakan sumber energi utama bagi unggas (Sodak, 2011). Penyakit Pullorum disebabkan oleh Salmonella pullorum. Chronic Respiratory Desease (CRD) juga merupakan penyakit yang mempengaruhi daya tetas. Penyakit ini disebabkan oleh Mycoplasma gallisepticum. Penyakit lain yang dapat mempengaruhi embrio secara langsung adalah Newcastle Disease dan infeksi bronchitis. Telur yang berasal dari induk yang terinfeksi penyakit ini pada umumnya tidak akan menetas dengan baik (Ensminger et al., 2004). Seleksi telur Karakteristik fisik telur biasanya berhubungan dengan daya tetas telur diantaranya ukuran telur, bentuk telur, kualitas kerabang, dan kualitas interior. Kualitas kerabang menunjukkan jumlah kalsium dan vitamin D yang dapat dimanfaatkan embrio untuk pertumbuhan dan perkembangan tulang. Kualitas interior pada telur dapat dilakukan dengan cara candling dengan melihat perpindahan kuning telur (Ensminger et al., 2004). Penanganan telur pada penetasan Penanganan telur meliputi pengumpulan telur, kebersihan telur, sanitasi, pengaturan suhu dan kelembaban saat penetasan, posisi telur, serta pemutaran telur (Ensminger et al., 2004). Pembentukan Awal Embrio Pembentukan struktur embrio dimulai setelah fertilisasi dan dilanjutkan selama inkubasi (Ensminger et.al., 2004). Pada kondisi yang optimal, embrio berkembang secara normal dan menetas dalam waktu sekitar 21 hari (Yalcin dan

12

Siegel, 2003). Secara umum, semakin kecil unggas, semakin kecil telur, suhu tubuh tinggi, dan periode inkubasi yang pendek (Card dan Neishem, 1972). Pembelahan sel terjadi tiga jam setelah fertilisasi atau ketika telur masuk ke dalam isthmus dari oviduct. Pembelahan kedua terjadi sekitar 20 menit kemudian (Funk dan Irwin, 1955). Pembelahan ketiga, tahap untuk membentuk 8 sel, biasanya terjadi di isthmus, dan pada saat telur masuk ke dalam uterus berlanjut ke tahap pembentukan 16 sel. Tahapan pembelahan berlanjut untuk kira-kira 256 sel dalam waktu 4 jam (Card dan Neishem, 1972). Hasil proses pembelahan pada saat telur tetap di oviduct yaitu terbentuknya sebuah lapisan. Lapisan yang terbentuk merupakan lapisan tunggal pertama dari sel, tetapi kemudian terdapat beberapa lapisan tebal. Akhirnya sel yang terdapat pada pusat blastoderm menjadi terpisah dari kuning telur untuk membentuk rongga, yang disebut blastocole. Blastoderm dipisahkan menjadi dua lapisan sel saat sebelum ditelurkan atau tidak lama setelahnya dengan proses gastrulasi (Card dan Neishem, 1972). Proses gastrulasi merupakan proses pembentukan tiga lapis kecambah, yaitu ektoderm, mesoderm dan endoderm. Lapisan pertama yaitu ektoderm, membentuk kulit, bulu, paruh, jari atau cakar, sistem saraf, lensa dan retina mata, serta lapisan pada mulut dan ekor. Lapisan kedua adalah endoderm, membentuk saluran pencernaan dan organ respirasi. Setelah inkubasi terbentuk lapisan ketiga

yaitu

mesoderm. Mesoderm membentuk tulang, otot, darah, organ reproduksi dan ekskresi. Pertumbuhan embrio paling besar terjadi setelah hari ketujuh pertumbuhan awal (Ensminger et.al., 2004). Gastrulasi dimulai dengan migrasi sel epiblas dan berkumpul di area pelucida yang terlihat sebagai sebuah penebalan. Penebalan ini memanjang di tengah area pelucida membentuk garis primitif. Perubahan struktur pertamakali setelah telur diinkubasi yaitu munculnya garis primitif (Card dan Neishem, 1972). Sel-sel epiblas selanjutnya bergerak ke garis primitif (primitif streak) dan masuk ke blastosul. Sel-sel epiblas yang bermigrasi ke blastosul kontak dengan hipoblas dan menggantikan sel-sel hipoblas untuk membentuk lapisan endoderm. Migrasi epiblas terus berlanjut sehingga sel-sel di garis primitif masuk ke dalam blastosul, digantikan dengan sel lain sehingga garis primitif tetap konstan. Sel-sel epiblas yang masuk ke dalam blastosul bergerak ke kranial dan lateral diantara

13

epiblas dan endoderm membentuk mesoderm. Lapisan epiblas selanjutnya disebut ektoderm (Kardong, 2009). Pertumbuhan sel-sel epiblas di anterior lebih cepat dibandingan di daerah posterior. Tahap ini garis primitif mencapai panjang maksimum (Card dan Neishem, 1972). Garis primitif selanjutnya regresi ke arah kaudal, notokorda yang terbentuk akan semakin panjang. Pada tahap inilah terjadinya proses neurulasi. Neurulasi merupakan proses pembentukan buluh syaraf dari lapis kecambah ektoderm Proses neurulasi diikuti oleh perkembangan struktur dasar tubuh. Proses ini dimulai dengan induksi notokorda pada lapis ektoderm sehingga membentuk lempeng syaraf. Lempeng syaraf melipat ke arah dorsal dan median yang kemudian akan menyatu sehingga membentuk buluh syaraf. Pemanjangan buluh saraf terus terjadi seiring bertambahnya umur embrio. Pada saat yang bersamaan, lapisan mesoderm membentuk lempeng-lempeng mesoderm yang disebut somite (Kardong, 2009). Tulang Belakang (Somite) Somitogenesis adalah proses pembagian sumbu anterior-posterior embrio vertebrata ke dalam unit-unit morfologi yang sama, dikenal sebagai somite. Somite terbentuk berpasangan dengan pembentukan pertama pada akhir tengkorak dari mesoderm paraxial, terus kaudal. Ritme produksi somite adalah karakteristik dari spesies pada suhu tertentu (Nurunnabi et al. 2010). Somite terbentuk dari presomitic mesoderm dan somite muncul untuk memberi pertumbuhan pada tulang belakang serta otot skeletal dari tubuh (Pourquie, 2004). Somite yang terbentuk pertama kali umumnya yaitu bagian depan dan yang lainnya terbentuk kemudian (Marshall, 1960). Struktur yang pertama kali muncul pada embrio setelah telur ditelurkan adalah garis primitif (primitif streak). Pada telur yang telah diinkubasi sekitar 16 jam garis primitif sudah terbentuk sebagai sebuah garis lurus yang diapit oleh punggung yang membentang dari dalam area opaca ke pusat blastoderm. Tampak punggung embrio ayam padantahap garis primitif ditunjukkan pada Gambar 5.

14

Gambar 5. Tampak Punggung Embrio Ayam pada Tahap Garis Primitif (Sekitar 16 Jam Inkubasi) Sumber

: Patten (1920)

Garis primitif terletak pada sumbu longitudinal embrio. Ujung yang berakhir pada area opaca adalah ujung posterior ekor. Ujung kepala dari garis primitif meluas untuk membentuk lubang primitif. Bagian depan lubang primitif, lipatan primitif kanan dan kiri bergabung

pada garis tengah untuk membentuk simpul Hensen

(Patten,1920). Perkembangan Embrio Setelah 22-28, 33-36, dan 48 Jam Inkubasi Radboud University Nijmegen (2011) menyatakan bahwa pembentukan somite setelah 24 jam inkubasi ditandai dengan empat sampai lima pasang somite. Struktur tersebut akan berdiferensiasi menjadi tulang belakang, tulang rusuk, bagian dari kulit dan otot punggung (Tabel 4). Tahap pembentukan somite setelah 33-36 jam inkubasi ditandai dengan terbentuknya 12 sampai 13 pasang somite (Tabel 4). Tahap ini juga ditandai dengan terbentuknya jantung berbentuk S yang menjorok kekanan dari embrio Pada tahap perkembangan embrio setelah 48 jam inkubasi, embrio berbentuk C. Otak terbagi menjadi lima vesikula yaitu telencephalon dan diencephalon (keduanya terbentuk dengan pembelahan dari vesicle otak depan). Mesencephalon, metencephalon dan myencephalon (keduanya terbentuk dari pembelahan vesicle otak belakang). Jantung dibedakan menjadi empat bagian sinus venosus, terhubung dengan pembuluh darah, atrium, ventrikel berbentuk U dan cordis bulbus (Radboud University Nijmegen, 2011). Gambaran perkembangan embrio setelah 22-28, 33-36, dan 48 jam inkubasi ditunjukkan pada Tabel 4.

15

Tabel 4. Morfologi Embrio Ayam setelah 22-28, 33-36, dan 48 Jam Inkubasi Tahap Perkembangan 24 jam inkubasi

Gambar

Keterangan 1= Area opaca, 2 = Area pelucida, 3 = Neural fold, 4 = head folding, 5 = Foregut, 6 = Neural groove, 7 = Somite, 8 = Chorda, 9 = unsegmented mesoderm, 10 = Hensen's node, 11 = Primitive streak

33 jam inkubasi

1 = Proamnion 2 = Prosencephalon, 3 = Mesencephalon, 4 = Rhombencephalon, 5 = Somite, 6 = Eye vesicle, 7 = Foregut, 8 = Chorda, 9 = Heart, 10 = Lateral mesoderm, 11 = Spine, 12 = Sinus rhomboidalis, 13 = Primitive streak, 14 = Blood islands.

16

Tabel 4. Morfologi Embrio Ayam setelah 22-28, 33-36, dan 48 Jam Inkubasi (Lanjutan) Tahap Perkembangan

Gambar

36 jam inkubasi

Keterangan 1 = Prosencephalon, 2 = Eye vesicle, 3 = Mesencephalon, 4 = Rhombencephalon, 5 = Heart, 6 = Lateral mesoderm, 7 = Somite, 8 = Spine, 9 = Sinus rhomboidalis, 10 = Primitive streak, 11 = Small blood vessel, 12 = Blood islands

48 Jam Inkubasi

1 = Amnion, 2 =Metencephalon, 3 =Mesencephalon, 4 = Optic cup + lens, 5 = Prosencephalon, 6 = Optic vesicle, 7 = Branchial arches, 8 = Atrium , 9 = Ventricle, 10 = Lateral fold, 11 = Lateral mesoderm, 12 = Vitelline arteria / vein, 13 = Somite, 14 = Spine, 15= Tail fold

Sumber : Radboud University Nijmegen (2011)

Perkembangan embrio dipengaruhi oleh perbedaan genetik pada dua strain yang berbeda. Perbedaan perkembangan somite pada dua ayam tersebut mungkin terjadi karena akumulasi dari kualitas telur, umur telur, perbedaan suhu telur saat

17

diletakkan di inkubator, dan ukuran masing-masing telur. Hasil penelitian Nurunnabi et al. (2010), terlihat bahwa perkembangan somite pada embrio ayam Local (deshi) Hen sangat cepat dibandingkan perkembangan somite pada embrio ayam tipe Plymouth Rock Hen. Hasil rataan jumlah pasangan somite pada dua jenis ayam tersebut ditunjukkan pada Tabel 5. menurut Nurunnabi et al. (2010) ditunjukkan pada Gambar 6. Tabel 5. Rataan Jumlah Somite setelah (24, 36, dan 48 Jam) Inkubasi Waktu Inkubasi (Jam) 24

Local (deshi) Hen

Plymouth Rock Hen

1,02 ± 0,34

0,86 ± 0,65

36

12,26 ± 2,14

10,24 ± 2,58

48

21,34 ± 2,57

18,62 ± 0,84

Sumber : Nurunnabi et al. (2010)

Gambar 6. Gambaran Perkembangan Somite Setelah 24, 36, dan 48 Jam Inkubasi Keterangan : Lingkaran Merah Menunjukkan Somite; A = Perkembangan Somite Setelah 24 Jam Inkubasi; B = Perkembangan Somite Setelah 36 Jam Inkubasi; C = Perkembangan Somite Setelah 48 Jam Inkubasi

Pengaruh Penyimpanan Telur Tetas Sebelum diinkubasi terhadap Perkembangan Somite Waktu

penyimpanan

telur

sebelum

diinkubasi

berpengaruh

tehadap

pertumbuhan dan metabolisme embrio. Embrio dari telur yang disimpan dalam waktu lama sebelum inkubasi memiliki efek diantaranya, tidak terjadinya pertumbuhan embrio saat inkubasi atau pertumbuhan embrio yang lambat dibandingkan telur yang disimpan dalam waktu singkat, dan dapat terjadi keduanya (Fasenko, 2007). Penyimpanan telur sebelum inkubasi (umur telur) dapat mempengaruhi perkembangan tulang belakang pada embrio. Arora dan Kosin (1966)

18

melakukan penelitian terhadap telur tetas ayam White Leghorn dan kalkun dengan umur telur 0, 1, 3, 7, 10,14, 21, dan 28 hari. Inkubasi dilakukan pada suhu 37.5°C dengan kelembaban relatif 66%. Berdasarkan hasil penelitian (Arora dan Kosin, 1966) diperoleh informasi bahwa perkembangan tulang belakang pada telur yang disimpan dalam waktu lama akan mengalami penundaaan atau lambat. Rataan jumlah somite yang diperoleh setelah 40 jam inkubasi pada telur tetas ayam White Leghorn umur telur 0, 7, dan 14 hari berturut-turut yaitu 11,8 ± 0,31 pasang somite, 7,8 ± 0,19 pasang somite, dan 5,2

± 0,37 pasang somite. Penambahan waktu inkubasi pada telur yang telah

mengalami penyimpanan selama 7 dan 14 hari yaitu 9 dan 12 jam. Telur yang disimpan lebih dari 7 hari sebelum inkubasi akan menurunkan daya tetas dan kualitas anak ayam yang dihasilkan. Efek negatif tersebut terjadi karena penurunan daya hidup embrio serta peningkatan kematian sel (Reijrink, 2010). Penyimpanan telur dalam waktu yang lama mengakibatkan menipisnya kerabang telur, kerabang telur semakin porous dan lapisan kutikula akan berkurang (Pribadi, 2000). Kutikula merupakan pelindung dari penetrasi bakteri kedalam telur (Yuwanta, 2010).

19

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Mei 2012. Pengamatan berat telur, indeks bentuk telur, kedalaman kantung udara, ketebalan kerabang, berat kerabang dan inkubasi telur dilakukan di Laboratorium Ilmu Produksi Ternak Unggas Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Analisis nutrien telur ayam Arab dilakukan di

Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu

Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Analisis pakan dilakukan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor. Perkembangan awal embrio dan somite diamati di Laboratorium Embriologi, Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.

Materi Sampel telur tetas yang digunakan pada penelitian ini adalah 99 butir telur tetas umur 0, 7, dan 12 hari dari induk yang berumur 42 minggu. Masing-masing umur telur terdiri dari 30 butir telur tetas, yang digunakan untuk pengamatan berat telur, indeks bentuk telur, kedalaman kantung udara, ketebalan kerabang, berat kerabang dan perkembangan somite. Sembilan butir telur tetas digunakan untuk analisis nutrien telur (masing-masing perlakuan terdiri dari tiga butir telur tetas). Bahan yang digunakan untuk pengamatan perkembangan somite yaitu embrio ayam dari telur yang telah diinkubasi (24, 33-36, dan 48 jam), larutan NaCl 0.72% (123mM), larutan Bouin (asam pikrat jenuh : formalin 37%: asam asetat glasial = 15:5:1), etanol 70%, etanol 96%, etanol absolute, xylol, pewarna carmine acid dan entellan (perekat pada cover glass agar udara tidak masuk ke preparat). Peralatan yang digunakan untuk seleksi telur dan pengamatan perkembangan somite adalah rak telur (egg tray), mesin tetas manual yang dilengkapi dengan alat pengukuran suhu dan kelembaban, timbangan digital model BL-1500/0,01, cawan petri (diameter 9 cm), jangka sorong digital, mikrometer merk Mitutoyo 0,01 mm, amplas, kamera digital, tissue gulung, official egg cell gauge dan alat tulis. Peralatan lain yang digunakan adalah termometer, pipet tetes, wadah plastik, pemanas, alat 20

bedah ukuran kecil (gunting lurus dan bengkok, pinset), cawan petri plastik (dimeter 5 dan 3.5 cm), gelas piala (30 mL), kertas saring (bentuk seperti raket dengan diameter sesuai dengan ukuran embrio yang akan dipanen), dan mikroskop Olympus model CH20. Prosedur Persiapan Telur Tetas dan Mesin Tetas Telur tetas ayam Arab diperoleh dari breeder ayam Arab “Trias Farm”, Leuwiliang, Bogor. Penyimpanan telur tetas dilakukan di ruang penyimpan telur pada peternakan Trias Farm. Telur disimpan pada suhu 16-20°C. Telur tetas yang digunakan dalam penelitian ini diseleksi terlebih dahulu sebelum telur tersebut diinkubasi. Seleksi

telur dilakukan pada setiap telur yang meliputi berat telur,

indeks bentuk telur, dan kedalaman kantung udara. Ketebalan dan berat kerabang diukur setelah telur diinkubasi (setelah embrio pada telur tersebut dipanen). Persiapan peralatan inkubasi dilakukan setelah seleksi telur. Fumigasi pada mesin tetas dilakukan 24 jam sebelum mesin tetas digunakan untuk inkubasi. Dosis yang digunakan untuk fumigasi mesin tetas yaitu dosis tiga kali dengan formalin sebanyak 7,63 ml dan kalium permanganat 3,82 g. Fumigasi juga dilakukan pada telur tetas sebelum telur diinkubasi. Fumigasi telur tetas menggunakan dosis satu kali dengan formalin sebanyak 6,45 ml dan kalium permanganat 3,23 g. Inkubasi telur dilakukan setelah fumigasi mesin tetas dan telur tetas. Peubah yang diamati antara lain: 1.

Kualitas Eksterior Telur a. Berat telur diperoleh dengan menimbang telur menggunakan timbangan digital model BL-1500/0,01. b. Indeks bentuk telur (panjang dan lebar). Indeks telur dilakukan dengan mengukur panjang dan lebar telur menggunakan jangka sorong. Lebar Telur Indeks Bentuk Telur =

x 100% Panjang Telur

c. Kedalaman kantung udara ditentukan dari diameter, kedalaman atau tinggi kantung udara dengan cara diteropong atau candling. Kantung udara yang

21

tampak saat telur diteropong dilingkari dengan pensil, kemudian diukur menggunakan official egg cell gauge. 2.

Kualitas Interior Telur a. Berat kerabang ditimbang setelah kerabang dibersihkan dan dianginanginkan untuk mengurangi kadar airnya. Kerabang ditimbang menggunakan timbangan digital model BL-1500/0,01. b. Tebal kerabang telur diukur setelah selaput putih bagian dalam kerabang dilepas. Pengukuran dilakukan menggunakan micrometer. c. Kandungan nutrien telur dianalisis meliputi kandungan protein kasar, lemak kasar, serat kasar, kadar air, dan abu serta kandungan Ca dan P kerabang telur. Analisis kimia telur (abu, protein kasar, lemak kasar) menggunakan metode Association of Official Analytical Chemist/AOAC (2005). Kandungan Ca dan P dianalisis dengan Atomic Absorption Spectofoto-meters/AAS dan fotometri. Sampel telur tetas yang dianalisis yaitu sebanyak sembilan butir telur ( tiga butir telur untuk masing-masing perlakuan). Pengamatan berat telur, indeks bentuk telur, kedalaman kantung udara dan

analisis nutrien telur dilakukan sebelum telur diinkubasi. Ketebalan kerabang, berat kerabang diukur satelah telur diinkubasi (setelah embrio pada telur tersebut dipanen). Pengamatan kualitas eksterior (berat telur, indeks bentuk telur, dan kedalaman kantung udara) dan kualitas interior telur (ketebalan dan berat kerabang) dilakukan pada 90 butir telur tetas (30 butir telur untuk masing-masing perlakuan). Inkubasi Telur Tetas Telur diinkubasi pada mesin tetas manual lyon rural electric. Telur tetas yang telah mengalami penyimpanan pada suhu 16-20°C dihangatkan terlebih dahulu pada suhu ruang sekitar 6 jam sebelum telur disusun pada mesin tetas untuk mencegah embrio mengalami shock termik saat diinkubasi. Suhu dan kelembaban mesin tetas dicatat selama inkubasi. Suhu diukur dengan menggunakan thermometer bola basah dan bola kering. Kelembaban mesin tetas dijaga dengan meletakkan nampan berisi air sebanyak ¾ bagian di dalam mesin tetas. Suhu dan kelembaban yang diperoleh selama penelitian diperoleh dari rentang suhu sejak awal inkubasi sampai hari terakhir inkubasi. 22

Pengamatan Perkembangan Somite 1. Panen Embrio Panen embrio dilakukan setelah telur diinkubasi 24, 33-36, dan 48 jam. pada setiap panen embrio, sebanyak 10 butir telur dipecah untuk masing-masing perlakuan umur telur (0, 7, dan 12 hari). Panen embrio dimulai dengan memanaskan NaCl pada suhu 32 - 37°C. Telur diletakkan di atas gelas piala dengan ujung tumpul pada bagian atas, ujung telur diketuk secara perlahan dengan pinset sampai berlubang kemudian kerabang telur dikupas sampai setengahnya. Putih telur dibuang tanpa memecah kuning telur, lalu kuning telur dituangkan ke cawan petri. Kuning telur digulingkan sampai posisi embrio tepat di atas, embrio diambil dengan kertas saring berbentuk raket yang ditempelkan pada permukaan embrio. Selaput vitelin digunting pada daerah sekeliling kertas saring, kemudian kertas saring diangkat (embrio menempel dikertas saring). Kuning telur yang melekat pada embrio dibersihkan dengan NaCl hangat di dalam cawan petri kecil, setelah bersih embrio yang masih menempel pada kertas saring dipindahkan ke cawan petri kecil yang berisi NaCl hangat. Selaput vitelin dipisahkan dari embrio dengan menggoyang-goyangkan kertas saring sampai embrio (blastoderm) lepas. 2. Pencucian Embrio Embrio dicuci beberapa kali dengan NaCl hangat dengan cara memipet NaCl dari cawan petri lalu ditambahkan NaCl yang baru tampa memindahkan embrio. NaCl yang tersisa dipipet dan posisi embrio diatur agar terentang dengan sempurna, lalu diteteskan larutan fiksatif (Bouin) secara perlahan sampai embrio terendam dengan cukup (2/3 tinggi cawan petri). Larutan Bouin diganti setelah 24 jam dengan etanol 70% sampai warna kuning pikrat hilang. Embrio dapat disimpan sampai proses pembuatan preparat selanjutnya selama etanol 70% tidak habis menguap. 3. Pewarnaan Embrio Embrio yang telah difiksasi diwarnai dengan pewarna carmin dan didiamkan selama 18-24 jam. Embrio dicuci sebanyak 3-6 kali dalam larutan etanol 70% dengan interval 15-30 menit sampai intensitas warna sesuai dengan kebutuhan (pemucatan dapat dilakukan dengan penambahan 0,5% HCl dalam

23

etanol 70%). Embrio dibandingkan dengan preparat yang telah jadi untuk perbandingan intensitas warna. Kemudian, secara berturut-turut diganti kedalam etanol 95% (2x), etanol absolute (2x), dan xylol (3x), masingmasing selama 15-30 menit. 4. Pembuatan Preparat Tahapan selanjutnya setelah pewarnaan embrio yaitu pembuatan preparat. Embrio yang telah diwarnai dan diperoleh intensitas warna yang diinginkan dapat dimounting pada gelas objek yang sudah diberi entellan terlebih dahulu (perekat yang digunakan untuk mencegah masuknya udara pada preparat) dan ditutup dengan kaca penutup 22x22 mm. Embrio yang telah dimounting dijaga agar tidak terbentuk gelembung udara. Bila terbentuk gelembung udara embrio dapat dimounting ulang dengan cara direndam didalam xylol sampai embrio lepas dari objek gelas, lalu dilakukan pengulangan mounting yang sama dengan tahapan sebelumnya. Bila tidak terbentuk gelembung udara, preparat yang telah terbentuk dapat diamati dibawah mikroskop Olympus model CH20. Embrio yang diamati dibawah mikroskop kemudian di potret menggunakan kamera digital Sony DSC W30. Hasil pengamatan disesuaikan dengan standar perkembangan somite menurut Radboud University Nijmegen (2011) dan Nurunnabi et al (2010). Rancangan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan untuk pengamatan berat telur, indeks bentuk telur, ketebalan dan berat kerabang dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap dengan tiga perlakuan yaitu umur telur 0, 7, dan 12 hari. Setiap perlakuan terdiri dari 30 ulangan. Model matematika menurut Gaspersz (1991) sebagai berikut: Yij

= µ + Pi + εij

Keterangan: Yijk

= pengaruh faktor umur telur terhadap berat telur, indeks bentuk telur, ketebalan kerabang, dan berat kerabang taraf ke-i dan ulangan ke-j

µ

= nilai rataan umum hasil pengamatan

Pi

= pengaruh perbedaan umur telur ke-i (0,7, dan 12 hari) 24

εij

= pengaruh galat pada umur telur ke-i dan ulangan ke-j

Data pengamatan berat telur, indeks bentuk telur, ketebalan kerabang, dan berat kerabang dianalisis menggunakan analisis ragam (Analisys of Varian/ANOVA) jika hasil yang diperoleh berbeda nyata dilanjutkan dengan uji Tukey menggunakan program Statistik 8. Hasil anaslisis pakan, analisis kimia telur, persentase kedalaman kantung udara, persentase kematian embrio, dan perkembangan tulang belakang (somite) dianalisis secara deskriptif. Rataan jumlah somite, diperoleh dari jumlah somite yang dimiliki setiap embrio dibagi dengan banyaknya embrio yang memiliki somite.

25

HASIL DAN PEMBAHASAN Kualitas Pakan Pakan yang digunakan pada peternakan Trias Farm mengandung protein kasar dan kalsium yang lebih tinggi 5,67% dan 1,27% dibandingkan dengan standar kebutuhan pakan ayam lokal periode bertelur menurut Kementrian Pertanian (2006) (Tabel 6). Namun, kandungan kalsium pakan tersebut sudah memenuhi standar minimal kebutuhan kalsium pakan ayam petelur lokal menurut Kementrian Pertanian (2006). Kandungan nutrien pakan ayam Arab pada peternakan Trias Farm ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6. Kandungan Nutrien Pakan pada Peternakan Ayam Arab Peternakan Trias Farm Kementrian Pertanian Nutrien Peternakan Trias Farm (2006) 1 Kadar Air 10,57 14 Protein Kasar (PK) (%)

20,671

15, 00

Lemak Kasar (LK) (%)

4, 741

-

Serat Kasar (SK) (%)

3,251

Maksimal 5,00

Abu (%)

11,921

-

3

-

Beta-N

48,85

Kalsium (%)

4, 672

3,4

Fosfor (%)

0,312

0, 34

Energi Metabolis (kkal/kg)

23994

2600

Energi Bruto (kkal/kg)

33092

-

Keterangan:1Hasil analisis Lab. Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Pusat Antar Universitas IPB (2012); 2Hasil analisis Lab Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB (2012); 3Bahan Ekstrak Tanpa Nitrogen (BETN) = 100% (PK+LK+SK+Abu)%; 4Energi Metabolis = 0,725 x Energi Bruto.

Kebutuhan protein untuk ayam petelur berhubungan dengan kecepatan produksi telur dan besarnya telur. Kekurangan protein dalam pakan dapat menyebabkan ukuran telur, berat dan ukuran kuning dan putih telur menjadi rendah. Kebutuhan kalsium lebih besar ketika unggas mulai memproduksi telur dibandingkan saat pertumbuhan, karena kalsium diperlukan untuk pembentukan kerabang telur. Jumlah kalsium pada pakan ayam petelur ditentukan oleh beberapa

26

faktor antaralain kecepatan bertelur, besar ayam, umur ayam, dan suhu kandang. (Mulyantini, 2010). Lemak kasar dalam pakan berfungsi sebagai sumber energi (Bell dan Weaver, 2002). Serat kasar pakan unggas maksimal menurut ketentuan Kementrian Pertanian (2006) yaitu 5%. Pada peternakan Trias Farm menggunakan 3,25% serat kasar, sehingga kandungan serat kasar ini dapat dikatakan memenuhi standar kebutuhan serat kasar menurut Kementrian Pertanian (2006). Kandungan fosfor pada pakan peternakan Trias Farm lebih rendah (0,03%) jika dibandingkan dengan ketentuan Kementrian Pertanian (2006). Perbedaan ini tidak terlalu jauh, sehingga dapat dikatakan bahwa kandungan fosfor pakan peternakan Trias Farm memenuhi standar kebutuhan fosfor menurut Kementrian Pertanian (2006) (Tabel 6). Kekurangan fosfor mengakibatkan proses kalsifikasi yang tidak sempurna sehingga kualitas dan kekuatan kerabang menurun dan dapat menyebabkan demineralisasi pada kerangka ayam petelur. Namun, kelebihan fosfor juga dapat menghambat pelepasan kalsium tulang dan pembentukan kalsium karbonat untuk pembentukan kerabang sehingga dapat mengurangi kualitas kerabang telur (Bell dan Weaver, 2002; Mulyantini, 2010). Energi metabolis pakan yang diperoleh dari penelitian ini sebesar 2399 kkal/kg, jumlah ini lebih rendah jika dibandingkan dengan standar energi metabolis pakan ayam lokal periode bertelur menurut Kementrian Pertanian (2006). Variasi berat tubuh ayam akan mempengaruhi kebutuhan energi. Jumlah energi dalam pakan berpengaruh positif terhadap konsumsi pakan, kebutuhan energi meningkat saat suhu dingin dan menurun saat suhu panas (Mulyantini, 2010). Bahan ekstrak tanpa nitrogen merupakan sumber pati yang terkandung dalam pakan. Pati adalah bagian dari karbohidrat yang mudah dicerna dan merupakan sumber energi utama bagi unggas (Sodak, 2011). Kandungan bahan ekstrak tanpa nitrogen pada pakan peternakan Trias Farm yaitu sebesar 48,85%. Karakteristik Eksterior Telur Tetas Berat Telur Tetas Rataan berat telur tetas yang dihasilkan pada penelitian ini tidak nyata dipengaruhi oleh umur telur, hal ini kemungkinan karena telur yang digunakan dalam

27

penelitian ini berasal dari umur induk yang sama (42 minggu), serta pakan yang diberikan sama. Berat telur tetas pada ketiga umur telur ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7. Rataan Berat Telur Tetas Ayam Arab pada Umur Telur 0, 7, dan 12 Hari Umur Telur (hari)

N

Berat Telur (g/butir)

0

30

46,95 ± 2,74

7

30

46,05 ± 2,56

12

30

45,53 ± 2,43

Keterangan: Superskrip yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan menunjukkan tidak berbeda (P > 0,05).

Faktor yang mempengaruhi berat telur yaitu genetik dan umur ayam, pakan, penyakit, suhu lingkungan, musim, periode produksi (awal atau menjelang akhir), umur dewasa kelamin, besar tubuh, banyaknya telur yang dihasilkan dan sistem pengelolaan ayam (North dan Bell, 1990; Dharma et al., 2001). Umur telur tidak berpengaruh terhadap berat telur tetas, namun jika dilihat dari hasil rataan berat telur tetas pada masing-masing umur telur mengalami penurunan. Persentase penurunan rataan berat telur tetas dari telur tetas umur 0 hari ke telur tetas umur 7 dan 12 hari masing-masing yaitu 1,92% dan 3,02% (Tabel 7). Penurunan berat telur selama penyimpanan kemungkinan disebabkan oleh hilangnya kadar air dari albumen, tetapi penguapan yang terjadi mungkin tidak besar sehingga penurunan berat telur tidak nyata dipengaruhi oleh umur telur. Yuwanta (2010) menyatakan bahwa air merupakan komponen terbesar yang terdapat pada putih telur. Penurunan berat telur selama penyimpanan kemungkinan juga disebabkan oleh lepasnya gas, seperti CO2, ammonia, nitrogen, dan kadang hydrogen sulfida yang sebagian besar merupakan hasil dari perubahan kimia pada telur. Kehilangan berat telur terjadi seiring bertambahnya waktu penyimpanan telur (Romanoff dan Romanoff, 1963). Indeks Bentuk Telur Nilai indeks bentuk telur yang dihasilkan pada penelitian ini tidak dipengaruhi oleh umur telur tetas (Tabel 8). Hal ini kemungkinan karena telur tetas yang digunakan berasal dari induk dengan umur yang sama (42 minggu). Faktor yang mempengaruhi indeks bentuk telur antaralain umur induk, sifat genetik, bangsa, selain itu, juga disebabkan oleh proses-proses yang terjadi selama pembentukan 28

telur (Dharma et al., 2001; Sodak, 2011). Nilai indeks bentuk telur tetas ayam Arab pada telur umur 0,7, dan 12 hari ditunjukkan pada Tabel 8. Tabel 8. Rataan Indeks Bentuk Telur Tetas Ayam Arab Umur 0, 7, dan 12 Hari Umur Telur (hari)

N

Indeks Bentuk Telur (%)

0

30

76,85 ± 2,84

7

30

77,47 ± 2,19

12

30

77,39 ± 2,44

Keterangan: Superskrip yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan menunjukkan tidak berbeda (P > 0,05).

Faktor yang mempengaruhi indeks bentuk telur salah satunya adalah umur induk, semakin tua umur induk nilai indeks bentuk telur semakin tinggi. Bertambahnya umur ayam, kemungkinan menyebabkan ukuran alat reproduksi khususnya isthmus semakin besar dan lebar sehingga telur yang dihasilkan cenderung bulat dan mengakibatkan indeks bentuk telur tinggi (Sodak, 2011). Berdasarkan hasil rataan nilai indeks bentuk telur diperoleh bahwa telur dengan umur 0 hari memiliki indeks bentuk telur yang rendah dibandingkan telur dengan umur 7 dan 12 hari (Tabel 8), namun masih berada dalam rataan indeks bentuk telur tetas ayam lokal yang baik menurut Wardiny (2002) yaitu 76-78%. Kantung Udara Telur Kualitas kedalaman kantung udara telur dibagi menjadi empat grade yaitu kualitas AA dengan kedalaman kantung udara 0,3 cm, kualitas A dengan kedalaman kantung udara 0,3-0,6 cm, kualitas B dengan kedalaman kantung udara 0,6-0,9 cm, dan kualitas C dengan kedalaman kantung udara lebih besar dari 0,9 cm (United States Departement of Agriculture, 2002). Kantung udara merupakan salah satu metode untuk mengidentifikasi kesegaran telur. Persentase kualitas kantung udara telur tetas yang termasuk kualitas AA menurun seiring bertambahnya umur simpan telur tetas, sebaliknya kantung udara telur tetas kualitas A meningkat seiring bertambahnya umur simpan telur (Tabel 9). Kedalaman kantung udara telur tetas ayam Arab pada umur telur 0,7, dan 12 hari ditunjukkan pada Tabel 9.

29

Tabel 9. Kantung Udara Telur Tetas Ayam Arab pada Umur telur 0, 7, dan 12 Hari Umur Telur

N

Persentase Kualitas Kantung Udara

(hari)

AA (%)

A (%)

0

30

100

TA

7

30

83,33 %

16,67 %

12

30

40 %

60 %

Keterangan : TA = tidak terdapat kualitas kantung udara A pada telur tetas umur 0 hari; AA = kedalaman kantung udara 0,3 cm; A = kedalaman kantung udara 0,3 – 0,6 cm

Berdasarkan persentase kualitas kantung udara yang diperoleh (Tabel 9), kantung udara semakin besar dengan bertambahnya umur simpan telur. Kantung udara semakin bertambah besar karena adanya penguapan air di dalam telur atau penyusutan berat telur. Suhu yang tinggi dan kelembaban yang rendah dapat menyebabkan kantung udara cepat membesar (Romanoff dan Romanoff, 1963). Kantung udara dipengaruhi oleh lama dan suhu penyimpanan telur, kelembaban dan perubahan internal dari telur (Yuwanta, 2010). Karakteristik Interior Telur Tetas Karakteristik Kerabang Telur Ketebalan kerabang sangat penting untuk daya tetas. Kerabang mempunyai fungsi untuk menjaga keadaan putih dan kuning telur dari penetrasi mikroba dan pengaruh lingkungan secara langsung pada telur. Nilai rataan ketebalan kerabang tertinggi yaitu pada telur tetas umur 0 hari (0,34 mm) dan berat kerabang telur tetas tertinggi yaitu pada telur tetas umur 0 hari (4,17 g). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pengaruh lama penyimpanan terhadap ketebalan kerabang dan berat kerabang. Hal ini kemungkinan karena telur yang digunakan dari umur induk yang sama, pakan yang sama dan telur disimpan pada suhu yang sama yaitu 16-20°C. Nilai rataan ketebalan kerabang, terdapat sedikit penurunan ketebalan kerabang dari telur tetas umur 0 hari ke telur tetas umur 7 dan 12 hari yaitu sebesar 2,94% (Tabel 10). Ketebalan dan berat kerabang telur tetas umur 0,7, dan 12 hari ditunjukkan pada Tabel 10.

30

Tabel 10. Rataan Ketebalan Kerabang dan Berat Kerabang Telur Tetas Ayam Arab pada Umur Telur 0, 7, dan 12 Hari Umur Telur N Ketebalan Kerabang Telur Berat Kerabang Telur (hari)

(mm/butir)

(g/butir)

0

30

0,34 ± 0,03

4,17 ± 0,49

7

30

0,33 ± 0,03

4,15 ± 0,44

12

30

0.33 ± 0,02

4,13 ± 0,63

Keterangan: Superskrip yang sama pada kolom yang sama pada masing-masing perlakuan menunjukkan tidak berbeda (P > 0,05)

Penurunan nilai rataan ketebalan kerabang dan berat kerabang kemungkinan karena selama penyimpanan terjadi penguapan H2O yang bereaksi dengan lapisan kutikula (Ca) yang mengakibatkan kerabang semakin porous sehingga lapisan kutikula akan semakin berkurang (Pribadi, 2000). Rataan tebal kerabang telur yang diperoleh pada penelitian ini berada dalam kategori baik menurut (North dan Bell, 1990) yaitu antara 0,33 mm dan 0,35 mm. Komposisi Kimia Telur Bahan kering telur meningkat seiring dengan meningkatnya umur telur, namun, masih berkisar 28% pada semua perlakuan. Peningkatan bahan kering mengakibatkan penurunan kadar air (Tabel 11). Tabel 11.Komposisi Kimia Telur Tetas Ayam Arab pada Umur Telur 0, 7, dan 12 Hari Komponen

Whole Egg (n = 3) 0 Hari

7 Hari

Kerabang (n = 3)

12 Hari

0 Hari

7 Hari

12 Hari

--------------------------------------%BK---------------------------------------Kadar Air

71,89

71,09

71,04

15,15

19,83

16,64

Abu

1,08

0,11

0,34

67,72

68,51

69,58

Protein Kasar

13,25

12,93

12,80

-

-

-

Serat Kasar

0,01

0,01

0,01

-

-

-

Lemak Kasar

8,10

8,69

7,00

-

-

-

Beta-N

5,67

7,17

8,81

-

-

-

Ca

-

-

-

32,89

30,19

33,14

P

-

-

-

5,20

3,37

4,61

Keterangan: Hasil Analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan IPB (2012).

31

Penurunan kadar air pada telur kemungkinan karena terjadinya penguapan selama penyimpanan, namun kemungkinan penguapan yang terjadi tidak terlalu besar. Hal ini didukung oleh hasil rataan berat telur, dimana berat telur tidak nyata dipengaruhi oleh peningkatan umur telur (Tabel 7). Kandungan protein telur umur 7 dan 12 hari lebih rendah 2,4 % dan 3,4 % dibandingkan dengan kandungan protein telur umur 0 hari. Kandungan protein telur menurun seiring dengan bertambahnya umur simpan telur (Tabel 11). Kandungan protein telur dengan kandungan air 65,5% menurut Ensminger et al (2004) yaitu sebesar 11,8 %. Kandungan protein telur selain dipengaruhi oleh umur telur, juga dipengaruhi oleh protein pakan. Pakan ayam petelur yang baik memiliki kadar protein kasar 15% (Kementrian Pertanian, 2006). Pada penelitian ini kandungan protein kasar pakan yang digunakan yaitu sebesar 20,67%. Kandungan serat kasar pada telur tetas yang disimpan 0,7, dan 12 hari adalah sama yaitu 0,01%). Kandungan lemak terendah terdapat pada telur umur 12 hari yaitu 7,00% (Tabel 11). Persentase kandungan lemak telur yang diperoleh berasal dari putih dan kuning telur. Deposit lemak terbanyak terdapat pada kuning telur (Sodak, 2011). Lemak pada telur dengan kandungan air 65,5% menurut Ensminger et al (2004) yaitu sebesar 11%. Kandungan abu telur utuh umur 7 dan 12 hari lebih rendah jika dibandingkan kandungan abu telur umur 0 hari (Tabel 11). Menurut Sodak (2011) kandungan abu telur memiliki hubungan dengan kadar mineral yang terdapat dalam telur, misalnya kalsium dan fosfor. Kandungan abu kerabang telur tertinggi terdapat pada kerabang telur tetas umur 12 hari. Kandungan Ca kerabang telur tetas umur 0 dan 7 hari lebih rendah jika dibandingkan kandungan Ca telur tetas umur 12 hari (Tabel 11). Kandungan P kerabang telur tetas umur 0 hari lebih tinggi dibandingkan dengan telur tetas umur 7 dan 12 hari. Kandungan Ca dan P kerabang telur dapat dipengaruhi oleh kandungan Ca dan P dalam pakan, suhu dan kelembaban lingkungan, sifat genetik individu ayam, dan umur induk (Sodak, 2011). Kandungan Ca dan P pada pakan yaitu 4,67 dan 0,31%. Umur induk yang digunakan pada penelitian ini sama yaitu 42 minggu. Sumber Ca untuk pembentukan kerabang berasal dari pakan dan tulang (North dan Bell, 1990).

32

Suhu dan Kelembaban Mesin Tetas Suhu dan kelembaban mesin tetas sangat diperlukan untuk perkembangan embrio yang optimal. Kelembaban relatif dan suhu harus diatur selama penetasan agar kehidupan embrio di dalam telur dapat dipertahankan pada tingkat optimal (Williamson dan Payne, 1993). Suhu mesin mesin tetas yang ditunjukkan bola kering konstan selama penelitian yaitu 36°C, sedangkan suhu mesin tetas yang ditunjukkan bola basah mengalami perubahan selama penelitian dengan kisaran 30-33°C (Tabel 12). Tabel 12. Suhu dan Kelembaban Mesin Tetas Selama Inkubasi Tanggal / Waktu Suhu (°C)

Kelembaban (%)

Bola Kering

Bola Basah

29 Maret 2012

36

33

81

30 Maret 2012

36

32

75

30 Maret 2012

36

32

75

31 Maret 2012

36

30

63

31 Maret 2012

36

30

63

31 Maret 2012

36

32

75

Suhu merupakan pertimbangan lingkungan yang paling penting selama inkubasi untuk perkembangan embrio. Suhu yang terlalu tinggi mengakibatkan mortalitas embrio meningkat, sebaliknya suhu yang terlalu rendah akan menghambat pertumbuhan embrio dan telur tidak menetas (Mulyantini, 2010). Oleh karena itu dibutuhkan suhu mesin tetas yang tepat untuk perkembangan embrio yang optimal. Kisaran suhu mesin tetas selama penelitian ini (Tabel 12) berada di bawah suhu optimal perkembangan embrio menurut Ensminger et.al (2004) yaitu 37,2-39,4°C, Faktor yang mempengaruhi perbedaan suhu optimum perkembangan embrio pada masing-masing telur yaitu ukuran telur, kualitas kulit telur, genetik (breed atau strain), umur telur saat dimasukkan dalam inkubator, kelembaban inkubasi (Mulyantini, 2010). Kisaran kelembaban relatif yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan kelembaban relatif pada inkubator selama 18 hari pertama inkubasi menurut Ensminger et.al (2004) yaitu sekitar 60%. Kisaran kelembaban relatif yang

33

diperoleh pada hari pertama inkubasi mencapai 75-81%, hal ini kemungkinan menjadi salah satu faktor yang mengakibatkan perkembangan embrio yang lambat saat 24 jam inkubasi pada telur tetas umur 7 dan 12 hari dan ditemukanya embrio yang mati pada awal inkubasi. Kematian Embrio Kematian embrio ditemukan pada telur tetas umur penyimpanan 12 hari setelah 24 jam dan 33-36 jam inkubasi. Persentase kematian embrio tertinggi ditemukan setelah 36 jam inkubasi pada umur telur 12 hari (Tabel 13). Tabel 13. Persentase Kematian Embrio Telur Tetas Umur 0, 7, dan 12 Hari pada 24, 33-36, dan 48 Jam Inkubasi Waktu Kematian Embrio Inkubasi 0 Hari* 7 Hari* 12 Hari* (Jam) Σ Embrio % Σ Embrio % Σ Embrio % 24

6

0

6

0

6

16,67

36

7

0

6

0

6

33,33

48

5

0

6

0

7

0

Keterangan : * umur telur

Embrio yang ditemukan mati setelah 24 dan 33-36 jam inkubasi kemungkinan mati saat penyimpanan (sebelum inkubasi) dan mati saat awal inkubasi. Kematian embrio saat penyimpanan terlihat dari tidak adanya tanda-tanda perkembangan setelah telur diinkubasi selama 24 dan 33-36 jam. Embrio yang ditemukan mati pada telur tetas umur 12 hari setelah inkubasi 33-36 jam kemungkinan mati saat sebelum inkubasi dan mati saat awal inkubasi. Gambaran embrio yang mati saat penyimpanan (sebelum inkubasi) dan mati saat awal inkubasi ditunjukkan pada Gambar 7.

34

Gambar 7. Kematian Embrio Telur Tetas Umur 12 Hari. (A) Kematian Embrio Sebelum Inkubasi; (B) Kematian Embrio Saat Awal Inkubasi Embrio yang mati saat 24 jam inkubasi pada telur tetas umur 12 hari kemungkinan karena kelembaban relatif yang sangat tinggi pada 24 jam inkubasi yaitu berkisar 75- 81% dan perubahan yang terjadi pada telur selama penyimpanan. Kelembaban relatif yang tinggi kemungkinan mengakibatkan air yang berada didalam telur tidak mengalami penguapan dengan laju yang tetap atau terhambatnya laju penguapan yang mengakibatkan embrio sulit bernafas sehingga embrio mati. Hal lain yang menyebabkan embrio mati pada kondisi kelembaban relatif yang tinggi kemungkinan karena masuknya uap air melalui pori-pori kerabang sehingga terjadi penimbunan cairan di dalam telur. Akibatnya embrio tidak dapat bernapas dan mengalami kematian. Embrio dari telur yang disimpan dalam waktu lama sebelum inkubasi memiliki efek diantaranya, tidak terjadinya pertumbuhan embrio saat inkubasi atau pertumbuhan embrio yang lambat dibandingkan telur yang disimpan dalam waktu singkat, dan dapat terjadi keduanya. Penyimpanan telur dalam waktu yang lama akan meningkatkan kematian sel (Fasenko, 2007). Kematian embrio selama penyimpanan dan perkembangan yang lambat pada embrio telur yang telah mengalami penyimpanan, kemungkinan karena adanya perubahan yang terjadi pada telur selama penyimpanan. Perkembangan Tulang Belakang (Somite) Pembentukan somite terjadi setelah pembentukan garis primitif, somite muncul berpasangan pada sisi kiri dan kanan garis primitif. Rataan jumlah tulang belakang (somite) pada embrio ayam Arab setelah 24, 33-36, dan 48 jam inkubasi ditunjukkan pada Tabel 14.

35

Tabel 14. Perkembangan Tulang Belakang (Somite) Embrio Ayam Arab pada Umur Telur Tetas 0, 7, dan 12 Hari Waktu Inkubasi

Perkembangan Tulang Belakang

(Jam)

0*

7*

12*

24

3

GP

GP

-

GP

-

10

GP

M

6

GP

GP

5

GP

GP

5

GP

GP

5

-

GP

Rata-rata

5,67 ± 2,34

33-36

6

-

-

8

-

M

-

7

5

13

7

GP

10

-

-

14

5

11

-

GP

17

10

-

-

8

M

-

8

GP

Rata-rata

11,29 ± 3,73

7,50 ± 1,64

48

TT

-

10

TT

14

14

-

13

18

22

10

12

TT

19

13

TT

10

17

-

10

12

22 – TT psg

12,67 ± 3,56

13,71 ± 2, 87

Rata-rata

Keterangan : * = Umur Telur; - = Tidak Dikoleksi; GP = Garis Primitif; M = Embrio Mati, TT = Jumlah Somite Sangat Banyak

36

Perkembangan Tulang Belakang Setelah 24 Jam Inkubasi Pada telur tetas umur 0 hari, perkembangan somite terlihat pada tahap 24 jam setelah inkubasi. Somite terlihat pada sisi kiri dan kanan dari dinding saraf dengan rataan 5,67 ± 2,34 pasang somite. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Radboud University Nijmegen (2011) dimana, rataan somite yang diperoleh setelah 24 jam inkubasi yaitu empat sampai lima pasang somite. Namun, jika dibandingkan dengan hasil penelitian Nurunnabi et al (2010) rataan jumlah somite yang terbentuk pada embrio ayam Arab

setelah 24 jam

inkubasi lebih tinggi dibandingkan jumlah somite yang terbentuk pada embrio ayam local (deshi) hen. Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya pengaruh perbedaan genetik. Nurunnabi et al (2010) menyatakan bahwa, perbedaan genetik pada dua strain yang berbeda memiliki kontribusi yang besar terhadap perkembangan embrio. Perkembangan embrio setelah 24 jam inkubasi pada telur tetas umur 7 dan 12 hari sampai pada tahap pembentukan garis primitif serta ditemukanya satu embrio yang mati pada telur tetas umur 12 hari (Tabel 14). Embrio yang sampai pada tahap pembentukan garis primitif setelah 24 jam mengalami keterlambatan perkembangan dibandingkan perkembangan embrio pada telur tetas umur 0 hari. Embrio yang lambat berkembang kemungkinan karena pengaruh dari penyimpanan telur sebelum diinkubasi, sehingga saat diinkubasi embrio tidak langsung merespon suhu dan kelembaban inkubasi yang diberikan. Embrio pada telur tetas umur 12 hari yang ditemukan mati setelah 24 jam inkubasi, kemungkinan mati saat sebelum diinkubasi (saat penyimpanan) (Gambar 9 A.1) . Hal ini terlihat dari tidak terdapatnya tanda-tanda perkembangan pada embrio setelah telur diinkubasi selama 24 jam. Kematian embrio saat penyimpanan kemungkinan karena suhu dan kelembaban ruang penyimpanan yang tidak sesuai bagi embrio dan perubahan pada telur tetas selama penyimpanan. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut terlihat bahwa setelah 24 jam inkubasi, embrio pada telur tetas umur 7 dan 12 hari berkembang lebih lambat dibandingkan embrio pada telur tetas umur 0 hari (Gambar 9).

37

Perkembangan Tulang Belakang setelah 33-36 Jam Inkubasi Perkembangan somite pada embrio telur tetas umur 7 hari mulai terlihat setelah 33-36 jam inkubasi dengan rataan 7,50 ± 1,64 pasang somite. Rataan jumlah somite yang terbentuk lebih sedikit jika dibandingkan dengan rataan somite yang terbentuk pada embrio telur tetas umur 0 hari. Kepala dan jantung mulai terlihat pada telur tetas umur 0 hari (Gambar 9 C.2). Somite yang terbentuk setelah 33-36 jam inkubasi pada telur tetas umur 0 dan 7 hari lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Radboud University Nijmegen (2011) dimana rataan somite yang terbentuk yaitu 12 sampai 13 somite. Hal ini kemungkinan karena embrio tersebut berkembang lambat, sehingga saat dipanen setelah 33-36 jam inkubasi embrio masih berada pada tahapan pembentukan somite awal dengan jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan somite yang terbentuk pada telur tetas umur 0 hari. Perkembangan embrio yang lambat kemungkinan karena perubahan yang terjadi pada telur akibat dari penyimpanan sebelum inkubasi. Somite hanya terbentuk pada satu embrio telur tetas umur 12 hari. Jumlah somite yang terbentuk pada embrio tersebut sebanyak lima pasang, sedangkan embrio lainnya sampai pada tahap pembentukan garis primitif dan terdapatnya dua embrio yang mati (Tabel 14). Satu embrio kemungkinan mati saat penyimpanan dan satu embrio kemungkinan mati saat awal inkubasi (24 jam inkubasi). Garis primitif yang terbentuk pada telur tetas umur 12 hari setelah 33-36 jam inkubasi kemungkinan karena embrio tersebut mati pada tahap sebelumya (tahap 24 jam inkubasi) sehingga saat embrio dipanen setelah 33-36 jam inkubasi embrio masih berada pada tahapan awal yaitu pembentukan garis primitif. Embrio yang sampai pada tahap pembentukan lima pasang somite kemungkinan embrio tersebut berkembang lambat, sehingga setelah 33-36 jam inkubasi jumlah somite yang terbentuk lebih sedikit jika dibandingkan dengan somite yang terbentuk pada telur tetas umur 0 dan 7 hari. Kematian embrio pada awal inkubasi kemungkinan karena kelembaban yang tinggi saat awal inkubasi dan perubahan yang terjadi pada telur saat penyimpanan. Kelembaban yang terukur saat 24 jam inkubasi yaitu berkisar antara 75-81%. Perbedaan perkembangan embrio yang terjadi pada telur tetas umur 12 hari setelah 33-36 jam inkubasi kemungkinan karena perbedaan individu induk ayam

38

pada setiap telur yang digunakan. Berdasarkan hasil tersebut terlihat bahwa embrio pada telur tetas umur 12 hari mengalami perkembangan yang lambat dibandingkan embrio dari telur tetas umur 0 dan 7 hari serta embrio telur tetas umur 12 hari rentan dengan kematian pada awal inkubasi. Perkembangan Embrio setelah 48 Jam Inkubasi Hasil penelitian perkembangan somite pada telur tetas ayam Arab setelah 48 jam inkubasi, somite terbentuk pada semua umur telur tetas ( 0, 7, dan 12 hari). Embrio pada telur tetas umur 0 hari telihat berbentuk C organ jantung dan mata terlihat jelas (Gambar 9 C.3), sehingga jumlah somite sulit dihitung dan ditemukannya satu embrio yang memiliki 22 pasang somite (Tabel 14). Pembentukan 22 pasang somite pada satu embrio telur umur 0 hari tersebut kemungkinan karena embrio pada telur tetas tersebut berkembang lebih lambat dibandingkan embrio pada telur tetas lainnya. Namun, jika dibandingkan dengan hasil penelitian Nurunnabi et al, (2010) jumlah somite yang terbentuk pada telur tetas umur 0 hari ini tidak jauh berbeda dengan hasil yang diperoleh pada telur tetas ayam Local (deshi) Hen yaitu 21,34 ± 2,57 somite. Perkembangan embrio setelah 48 jam inkubasi pada telur tetas umur 0 hari tidak hanya ditandai dengan terbentuknya somite, namun organ mata dan jantung mulai terlihat jelas pada beberapa embrio (Lampiran 13). Jumlah somite yang sulit dihitung pada embrio telur tetas umur 0 hari tersebut kemungkinan karena embrio berkembang saat sebelum diinkubasi. Perkembangan tersebut kemungkinan terjadi saat telur diletakkan pada suhu ruang sebelum telur diinkubasi. Embrio yang berkembang sangat cepat tersebut terlihat sebagai perkembangan embrio setelah 72 jam inkubasi (Gambar 8).

39

Gambar 8. Perbandingan Hasil Penelitian Perkembangan Embrio Setelah 48 Jam Inkubasi pada Telur Umur 0 Hari dengan Perkembangan Embrio setelah 72 Jam Inkubasi; (A) Perkembangan Embrio setelah 48 Jam Inkubasi pada Telur Tetas Umur 0 Hari; (B) Perkembangan Embrio setelah 72 jam Inkubasi Sumber

: B. Radboud University Nijmegen (2011)

Rataan jumlah somite yang terbentuk pada telur tetas umur 7 dan 12 hari yaitu 12,67 ± 3,56, dan 13,71 ± 2, 87. Somite yang terbentuk pada telur tetas umur 12 hari hampir sama dengan somite yang terbentuk pada telur tetas umur 7 hari (Tabel 14). Embrio telur tetas umur 12 hari kemungkinan mengalami perkembangan yang cepat setelah 48 jam inkubasi, namun sangat rentan dengan kematian pada saat awal inkubasi. Perbedaan perkembangan somite kemungkinan karena akumulasi dari faktor genetik, kualitas telur, umur telur, perbedaan suhu telur saat diletakkan di inkubator, dan ukuran masing-masing telur (Nurunnabi et al.,2010). Gambar preparat embrio ayam Arab setelah 24, 33-36, dan 48 jam Inkubasi pada telur tetas umur 0, 7, dan 12 hari. Berdasarkan data Tabel 14, terlihat bahwa perkembangan somite lambat seiring dengan bertambahnya umur telur. Umur telur yang meningkat (semakin lama penyimpanan telur) memungkinkan ditemukanya embrio yang mati pada awal inkubasi dan sebelum inkubasi (saat penyimpanan). Perkembangan somite pada umur telur 7 dan 12 hari terlihat mengalami penundaan atau lambat pada 24 jam inkubasi dibandingkan dengan telur umur 0 hari. Perkembangan somite paling lambat terjadi pada telur umur 12 hari. Hal ini didukung oleh Arora dan Kosin (1966) yang menyatakan bahwa perkembangan embrio pada telur tetas yang disimpan jangka panjang sebelum diinkubasi tidak langsung dimulai saat telur tetas diletakkan pada inkubator.

40

Gambar 9. Perkembangan Embrio Telur Tetas Ayam Arab Umur 0,7, dan 12 Hari Setelah 24, 33-36, dan 48 Jam Inkubasi. Keterangan: A= Perkembangan Embrio Telur Tetas Umur 12 Hari. (A.1) Kematian Embrio Sebelum Inkubasi; (A.2) Embrio Mati Telur Sebelum Inkubasi; (A.3) Embrio Setelah 48 Jam Inkubasi . B = Perkembangan Embrio Telur Tetas Umur 7 Hari. (B.1) Garis Primitif Setelah 24 Jam Inkubasi; (B.2) Embrio Setelah 33-36 Jam Inkubasi; (B.3) Embrio Setelah 48 Jam Inkubasi. C = Perkembangan Embrio Telur Tetas Umur 0 Hari. (C.1) Embrio Setelah 24 Jam Inkubasi; (C.2) Embrio Setelah 33-36 Jam Inkubasi; (C.3) Embrio Setelah 48 Jam Inkubasi. 1= Somite ; 2 = Garis Primitif; 3 = Area Pellucida ; 4 = Area Opaca ; M = Mata ; J = Jantung.

Penelitian serupa pernah dilakukan Arora dan Kosin (1966) pada telur tetas ayam tipe White Leghorns dengan umur telur 0, 7, dan 14 hari setelah 40 jam inkubasi terlihat bahwa rataan jumlah somite pada telur tetas umur 0 hari lebih tinggi jika dibandingkan dengan telur tetas umur 7 dan 14 hari. Berdasarkan hasil tersebut

41

terlihat perkembangan embrio yang lambat pada telur umur 7 dan 14 hari. Perkembangan embrio yang lambat mengakibatkan penambahan waktu inkubasi telur. Penambahan waktu inkubasi tersebut menunjukkan bahwa, semakin lama penyimpanan telur maka akan meningkatkan waktu inkubasi telur. Perkembangan embrio yang lambat, kematian embrio saat awal inkubasi, dan sebelum inkubasi pada telur yang mengalami penyimpanan kemungkinan karena perubahan pada telur tetas yang terjadi selama penyimpanan. Hasil analisis kimia pada telur, diperoleh kandungan protein kasar menurun seiring meningkatnya umur telur (Tabel 11). Penurunan protein kemungkinan terjadi karena adanya perubahan kimia pada telur selama penyimpanan. Protein kaya akan asam amino yang dibutuhkan bagi perkembangan embrio, sehingga penurunan protein atau perubahan kandungan protein telur kemungkinan berpengaruh terhadap ketersediaan sumber protein bagi perkembangan embrio. Reijrink (2010) menyatakan bahwa selama penyimpanan, perubahan terjadi pada karakteristik telur, seperti viskositas albumen (tinggi albumen), dan pH albumen. Albumen merupakan komponen yang mudah menguap selama penyimpanan. Hasil penelitian Lapao et al, (1999) pada telur ayam Broiler menunjukkan bahwa interaksi antara umur induk dan umur telur sangat signifikan mempengaruhi pH albumen. Pada umur induk 42 minggu pH albumen meningkat dari 8,19 pada telur umur 0 hari sampai 9,15 pada telur umur 8 hari (penyimpanan telur pada suhu 16-20°C). Hal tersebut menunjukkan bahwa penyimpanan telur pada suhu 16-20°C dapat mengakibatkan peningkatan pH albumen. Peningkatan pH albumen mempengaruhi ovomucin yang berperan dalam menentukan viskositas albumen.

Albumen tersusun dari air, protein dengan

beberapa mineral. Selain itu, albumen juga mengandung glukosa bebas yang konsentrasinya dua kali lebih besar dibandingkan dengan glukosa dalam plasma darah ayam. Glukosa ini merupakan energi utama yang digunakan oleh embrio (Yuwanta,

2010).

Perubahan

pada

albumen

kemungkinan

mempengaruhi

ketersediaan glukosa sebagai sumber energi bagi perkembangan embrio di dalam telur. Suhu dan kelembaban ruang penyimpanan yang tepat diperlukan untuk mempertahankan kondisi embrio dan komponen telur tetas. Kematian embrio saat penyimpanan dan perubahan pada komponen telur kemungkinan karena pengaruh

42

suhu dan kelembaban ruang penyimpanan dan lama nya penyimpanan. Suhu penyimpanan telur yang disarankan beberapa peneliti berbeda-beda. Fasenko et al, (1992) menyatakan bahwa pada 14°C tidak terjadi perkembangan pada embrio ayam, sehingga penyimpanan telur disarankan pada suhu tersebut. Brake et al, (1997), menyatakan bahwa untuk penyimpanan lama suhu optimum yang disarankan yaitu 12°C. Suhu yang disarankan untuk penyimpanan telur yang berbeda-beda, kemungkinanan karena suhu yang dibutuhkan bagi perkembangan jaringan masingmasing embrio berbeda.

43

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Umur telur tetas yang digunakan dalam penelitian (0, 7, dan 12 hari) tidak berpengaruh terhadap berat telur, indeks bentuk telur, ketebalan kerabang telur, dan berat kerabang telur. Perkembangan tulang belakang (somite) pada embrio telur tetas yang telah mengalami penyimpanan lebih lambat dibandingkan perkembangan tulang belakang (somite) pada embrio telur tetas yang tidak mengalami penyimpanan. Perubahan kandungan nutrient (kimia) telur berpengaruh terhadap perkembangan embrio di dalam telur. Kematian embrio ditemukan pada telur tetas umur 12 hari dengan persentase sebesar 16,67% setelah 24 jam inkubasi dan 33,33% setelah 33-36 jam inkubasi. Umur telur tetas ayam Arab yang sebaiknya digunakan dalam penetasan tidak lebih dari 7 hari dengan suhu dan kelembaban ruang penyimpanan yang sesuai bagi kehidupan embrio di dalam telur.

Saran Pengaturan suhu dan kelembaban ruang penyimpanan telur (egg room) harus diperhatikan agar kualitas telur tetas dan kehidupan embrio di dalam telur dapat dipertahankan. Perlu penelitian mengenai penanganan telur tetas agar telur tetap baik untuk ditetaskan dan menghasilkan daya tetas yang optimal walaupun telur telah disimpan lebih dari tujuh hari.

44

UCAPAN TERIMA KASIH Alhamdulillahirrobbilalamin, puji dan syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya, skripsi ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, para sahabat, dan para pengikutnya hingga akhir zaman. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Maria Ulfah, S.Pt, M.Sc, Agr dan Prof. drh. Arief Boediono. Ph.D sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah mencurahkan waktu, memberikan nasihat, dan sarannya selama penelitian hingga penulisan skripsi. Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Pollung H Siagian, MS dan Zakiah Wulandari, S.TP, MSi sebagai dosen pembimbing akademik atas nasihat serta bimbingannya. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Rudi Afnan, S,Pt. MSc, Agr sebagai dosen pembahas seminar atas saran dan masukannya. Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Iman Rahayu, H. S, MS, Prof. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS, dan Dr. Ir. Afton Atabany, M.Si sebagai dosen penguji sidang atas saran dan masukannya. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh dosen yang telah memberikan bekal ilmu selama penulis menuntut ilmu di Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih yang tidak terhingga penulis sampaikan kepada Ayahanda Hendrizal dan Ibunda Rosnelly S. Pd yang senantiasa memberikan doa, motivasi moril dan materil, kesabaran dan rasa kasih sayang yang tiada hentinya untuk keberhasilan penulis. Terima kasih penulis ucapkan kepada kakak Rory Syahputra dan adik Astri Naftalia, serta keluarga besar yang menjadi penyemangat bagi penulis untuk menjadi yang terbaik. Terima kasih kepada Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat yang telah memberikan bantuan materil. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Pak Wahyu, Pak Eka, dan Pak Maya yang telah membantu selama penelitian. Teman satu tim penelitian Fauzia dan Diana. Terima kasih untuk Nurul, Siti, Wulan, Away, Taufik, Yogi yang menemani penulis selama penelitian. Penulis mengucapkan terima kasih untuk Dino Rovid yang senantiasa memberikan semangat, motivasi, dan doa. Terakhir, penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu di dalam skripsi ini yang telah membantu penulis selama ini, umumnya buat teman-teman IPTP 45.

45

DAFTAR PUSTAKA Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Method of Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington, Virginia, The Association of Analitycal Chemist, Inc, USA. Association for Promotion of Belgian Poultry. 2003. Large fowl: Brakel. The Assosiation for Promotion of Belgian Poultry Breeds. http://users.telenet. be/jaak.rousseau/english%20version/grote_hoenders/BRAKEL.HTM.[9Maret 2012]. Arora, K. L., & I. L. Kosin. 1966. Developmental responses of early turkey and chicken embryos to pre-incubation holding of eggs: Inter- and intra-species differences. Poultry. Sci. 45:958–970. Binawati, D. K. 2008. Pengaruh laserpunktur terhadap kualitas telur ayam Arab. J. Sci. 2: 28-34. Bell, D. D & Weaver. 2002. Commercial Chiken Meat and Egg. Kluwer Academic Publishers, United States Of America. Brake, J., T. J. Walsh, C. E. Benton, JR., J. N. Petitte, R. Meijerhof, & G. Pen Alva. 1997. Egg handling and storage. Department of Poultry Science, North Carolina State University, Raleigh, North Carolina. Poultry Sci. 76:144–151. Card, L. E. & M. C. Nesheim. 1972. Poultry Production. 11th ed. Lea & Febinger. Philadelphia. Cobb Vantress (2008). Chick embrio development. http://www.cobb-vantress.com. [7 Maret 2012]. Dharma, Y. A, Rukmiasih, & P. S. Hardjosworo. 2001. Ciri-ciri fisik telur tetas itik mandalung dan rasio jantan dengan betina yang dihasilkan. Lokakarya Nasional Unggas Air. Ensminger, M. E., G. Brant, & C. G. Scanes. 2004. Poultry Science. 4th ed. Pearson Prentice Hall. United State of America. Fasenko, G. M. 2007. Egg storage and the embryo. Departemen of Agricultural, Food and Science, University of Alberta, Edmonton, Alberta, Canada. Poultry Sci. 86: 1020-1024. Fasenko, G. M., F. E. Robinson, R. T. Hardin, & J. L. Wilson. 1992. Variability in preincubation embryonic development in domestic fowl. 2. Effects of duration of egg storage period. Poultry Sci. 71:2129–2132. Funk, E. M. & M. R. Irwin. 1955. Hatchery Operation and Management. John Willey & Sons, Inc. New York. Gaspersz, V. 1991. Metode Perancangan Percobaan . Armico, Bandung. Kardong, K. V. 2009. Vertebrates Comparative Anatomy, Function, Evolution. 5th ed. The McGraw- Hill Companies, Inc. New York. Kementrian Pertanian. 2006. Pedoman Pembibitan Ayam Lokal Yang Baik (Good Native Chicken Breeding Practice). Peraturan Menteri Pertanian. Jakarta.

46

Lapao, C., L. T. Gama, & M. C. Soares. 1999. Effects of broiler breeder age and length of egg storage on albumen characteristics and hatchability. Faculdade de Medicina Veterina´ria , Portugal, and Instituto Superior de Agronomia Portugal. Poultry Sci. 78:640–64. Marshall, A. J. 1960. Biology and Comparative Physiology of Birds. Academic Press New York dan London. Mulyantini, N. G. A. 2010. Ilmu Manajemen Ternak Unggas. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. North, M. D & D. D. Bell. 1990. Commercial Chiken Production Manual, Fourth Edition. AVI Book, Van Nostrand Reihhold. New York. Nurunnabi A. S. M, H. A. Perven, S. Shahriah, K. A. Rayhan, G. N. Begum, & M. M. Hossain. 2010. Study on the formation of somites in chick embryo. J Dhaka Med Coll. Vol. 19, No. 2 Oktober 2010. Oluyemi, J. A. & F. A. Roberts. 1979. Poultry Production in Warm Wet Climates. 1th ed. The Macmillan Press LTD. London and Basington. Patten, B. M. 1920. The Early Embryology of the Chick. Philadelphia: P. Blakiston's Son and Co. Pourquie, O. 2004. The chick embryo: a leading model in somitogenesis studies. Mechanisms of development 121: 1069-1079. Pribadi, R. S. H. 2000. Peformans hasil tetas telur ayam buras berdasarkan lama penyimpanannya. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Radboud University Nijmegen. 2011. Embryology chicken. http://www.vcbio science.ru.nl/en/virtuallessons/embryology/chicken18-20h.[15Februari 2012]. Reijrink, I.A.M. 2010. Storage of hatching eggs (Effects of storage and early incubation conditions on egg characteristics, embryonic development, hatchability, and chick quality). Thesis. Wageningen Institute of Animal Science. the Netherlands. [ 20 Mei 2012]. Robert, V. 2008. British Poultry Standars. Sixth Edition. Blackwell Publishing, United Kingdom. Romanoff, A.L & A. J. Romanoff. 1963. The Avian Egg 2nd ed. John Willey and sons. New York. Sodak, J. F. 2011. Karakteristik fisik dan kimia telur ayam Arab pada dua peternakan di kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Sulandari, S., M. S. A. Zein, S. Paryati, T. Sartika, M. Astuti, T. Widjastuti, E. Sujana, S. Darana, I. Setiawan, & D. Garnida. 2007. Sumberdaya Genetik Ayam Lokal Indonesia. In: Sulandari, S., M. S. A. Zein, S. Paryati, T. Sartika, J. H. Purba Sidadolong, M. Astuti, T. Widjastuti, E. Sujana, S. Darana, I. Setiawan, D. Garnida, S. Iskandar, D. Zainuddin, T. Herawati, & I. W. T. Wibawan. Keanekaragaman Sumberdaya Hayati Indonesia: Manfaat Dan Potensi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Press. Jakarta. 47

United States Departement of Agriculture. 2002. Egg Grading Manual. Federal Crop Insurance Corporation (FCIC), Washington DC. Wardiny, T. M. 2002. Evaluasi hubungan antara bentuk telur dengan persentase telur yang menetas pada ayam Kampung galur Arab. Jurnal Matematika, Sains dan Teknologi. 3:2. Widodo, W. 2002. Nutrisi dan Pakan Unggas Kontekstual. Fakultas PeternakanPerikanan Universitas Muhammadiyah, Malang. [ 10 Juni 2012]. Williamson & W. J. A. Payne, 1993. Pengantar Peternakan Didaerah Tropis. Terjemahan: Darmadja., S. G. N. Djiwa. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Yalcin, S & P. B. Siegel. 2003. Exposure to cold and heat during incubation on developmental stability of broiler embryos. Poultry Sci. 82:1388–1392. Yuwanta, T. 2010. Telur dan Kualitas Telur. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

48

LAMPIRAN

49

Lampiran 1. Hasil Analisis Ragam Nilai Rata-Rata Berat Telur pada Umur Telur 0, 7, dan 12 Hari Sumber db JK KT F hitung P Keragaman Perlakuan

2

31,112

15,556

Galat

87

578,297

6,647

Total

89

609,410

2,34

0,102

Keterangan: db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah; Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data

Lampiran 2. Hasil Analisis Ragam Nilai Rata-Rata Indeks Telur pada Umur Telur 0, 7, dan 12 Hari Sumber db JK KT F hitung P Keragaman Perlakuan

2

6,794

3,397

Galat

87

547,029

6,288

Total

89

553,823

0,54

0,585

Keterangan: db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah; Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data

Lampiran 3. Hasil Analisis Ragam Nilai Rata-Rata Ketebalan Kerabang Telur pada Umur Telur 0, 7, dan 12 Hari Sumber db JK KT F hitung P Keragaman Perlakuan

2

0,0014524

0,0007262

Galat

87

0,0599129

0,0006887

Total

89

0,0613653

1,05

0,353

Keterangan: db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah; Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data

Lampiran 4. Hasil Analisis Ragam Nilai Rata-Rata Berat Kerabang Telur pada Umur Telur 0, 7, dan 12 Hari Sumber db JK KT F hitung P Keragaman Perlakuan

2

0,0330

0,0165

Galat

87

24,2057

0,2782

Total

89

24,2387

0,06

0,942

Keterangan: db = derajat bebas; JK = jumlah kuadrat; KT = kuadrat tengah; Fhit = nilai F yang diperoleh dari hasil pengolahan data

50

Lampiran 5. Perkembangan Embrio Ayam Arab Setelah 24 Jam Inkubasi pada Umur Telur 12 Hari

Keterangan

: A1; A2; A3 = Pembentukan garis primitif

Lampiran 6. Perkembangan Embrio Ayam Arab Setelah 33-36 Jam Inkubasi pada Umur Telur 12 Hari

Keterangan

: A4 = Pembentukan 5 pasang somite; A5;A6 = Pembentukan garis primitif

Lampiran 7. Perkembangan Embrio Ayam Arab Setelah 48 Jam Inkubasi pada Umur Telur 12 Hari

Keterangan

: A7 = Pembentukan 18 pasang somite; A8 = Pembentukan 12 pasang somite; A9 = Pembentukan 10 pasang somite

51

Lampiran 8. Perkembangan Embrio Ayam Arab Setelah 24 Jam Inkubasi pada Umur Telur 7 Hari

Keterangan

: B1; B2; B3 = Pembentukan garis primitif

Lampiran 9.

Perkembangan Embrio Ayam Arab Setelah 33-36 Jam Inkubasi pada Umur Telur 7 Hari

Keterangan

: B4 = Pembentukan 5 pasang somite; B5 = Pembentukan 10 pasang somite; B6 = Pembentukan 8 pasang somite

Lampiran 10. Perkembangan Embrio Ayam Arab Setelah 48 Jam Inkubasi pada Umur Telur 7 Hari

Keterangan

: B7 = Pembentukan 10 pasang somite; B8 = Pembentukan 10 pasang somite; B9 = Pembentukan 19 pasang somite

52

Lampiran 11. Perkembangan Embrio Ayam Arab Setelah 24 Jam Inkubasi pada Umur Telur 0 Hari

Keterangan

: C1 = Pembentukan 6 pasang somite; C2 = Pembentukan 3 pasang somite; C3 = Pembentukan 5 pasang somite

Lampiran 12. Perkembangan Embrio Ayam Arab Setelah 33-36 Jam Inkubasi pada Umur Telur 0 Hari

Keterangan

: C4 = Pembentukan 13 pasang somite; C5 = Pembentukan 10 pasang somite; C6 = Pembentukan 11 pasang somite

Lampiran 13. Perkembangan Embrio Ayam Arab Setelah 48 Jam Inkubasi pada Umur Telur 0 Hari

Keterangan

: C7;C9 = Jumlah somite tidak terhitung (perkembangan embrio memasuki tahapan perkembangan setelah 72 jam inkubasi ; C8 = Pembentukan 22 pasang somite

53

54