KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH

Download otonomi daerah yang dilaksanakan pada tahun- ... dalam Simposium Internasional Jurnal ANTROPO- ... nasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ...

1 downloads 676 Views 39KB Size
Kebijakan Otonomi Daerah: Otonomi Pendidikan dalam Perspektif Sosial Budaya 1 Achmad Fedyani Saifuddin (Universitas Indonesia) Abstact It unfortunately reveals that regional autonomy, and so to education autonomy as an integral part of it, as reflected through UU No.22 Tahun 1999 has not touched the very basic of cultural values and process of democracy, one core element it should significantly contain with. Central as well as regional policy makers and politicians, especially, have spent much their time to physical need and financial balancing debates between central and locals and deliberately forget the intrinsic cultural issue of the term, that is democracy as a cultural value formation process. Taking our current national education situation into account this article tries to introduce some cultural principles education autonomy should aim at. Based on holism in cultural approach education autonomy should pay attention seriously to strengthening community support to education.

Pendahuluan Cukup banyak kritik dialamatkan kepada kebijakan otonomi daerah, khususnya UU No.22/1999. Namun, sebagian besar kritik tersebut berkenaan dengan anggaran dan wujud fisik yang dianggap belum sesuai dan belum adil. Hakikat dasar otonomi daerah, yakni berotonomi berarti mengembangkan budaya demokrasi, hampir tak pernah disinggung, baik oleh penyusun kebijakan sendiri maupun oleh para pengritik. Perkembangan pada hari-hari terakhir, peluang kembali dibuka untuk merevisi pemikiran otonomi dan UU 1

Tulisan ini merupakan rangkuman dari dua makalah yang disajikan pada panel: ‘Menyongsong Otonomi Daerah: Pemberdayaan Kembali Pranata Lokal’, dalam Simposium Internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke-1, 2000 dan panel: ‘Pendidikan dalam Otonomi Daerah’dalam Simposium Internasional Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ke-2, 2001.

ANTROPOLOGI INDONESIA 65, 2001

No.22/1999 tersebut. Akan tetapi sekali lagi, isu yang menonjol adalah persoalan anggaran dan fasilitas fisik. Isu otonomi sebagai kebudayaan, kembali tak pernah diperhatikan. Apabila kita mencermati UU No. 22/1999 mengenai Otonomi Daerah, sukar sekali bagi kita untuk menemukan unsur mana dari UU tersebut yang mengarah kepada pencapaian budaya demokrasi. Potensi inovasi budaya demokratis menyimpang karena ketidakjelasan, baik implisit maupun eksplisit, sehingga mengundang interpretasi yang bermacam-macam. Mengingat ketidakjelasan ini, maka patut diragukan manfaat undang-undang ini terhadap pengembangan budaya demokrasi yang pada hakikatnya merupakan hal paling mendasar dalam tujuan otonomi. Muncul pertanyaan mendasar, apakah otonomi daerah yang dilaksanakan pada tahuntahun belakangan ini dapat dianggap sebagai

1

langkah menuju budaya demokrasi, atau sekedar jargon yang sesungguhnya tidak begitu difahami maknanya; atau bahkan mungkin hanya slogan politik yang diungkapkan sedemikian rupa demi kepentingankepentingan politik parsial dan sempit dari sebagian orang yang kini memperoleh kesempatan. Kalau hal ini yang terjadi, maka sukar bagi kita untuk mencapai budaya demokrasi dalam negara kesatuan ini melalui kebijakan otonomi, dan malahan justru kemungkinan terjadinya disintegrasi nasional akan semakin besar.

Pertimbangan sosial budaya dalam otonomi daerah Beberapa catatan mengenai pasal-pasal Perspektif sosial budaya berpandangan bahwa proses otonomisasi daerah pada dasarnya adalah proses pengembangan budaya demokrasi. Oleh karena itu, UU No.22/1999 yang seharusnya merupakan perwujudan dari kehendak bersama untuk mencapai budaya demokrasi di tanah air memiliki kedudukan kunci. Sebagai pembuka baiklah kita simak beberapa fasal yang penting untuk menunjukkan indikasi yang dikemukakan di atas. Pertama, baiklah kita simak Pasal 14 dalam Bab V mengenai ‘Bentuk dan Susunan Pemerintahan Daerah’. Pasal 14 ini merupakan contoh paling menonjol dari ketidakjelasan UU ini. Ayat 1 Pasal 14 menyatakan bahwa ‘Di daerah dibentuk (italic, oleh penyusun usulan ini) DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah dan Pemerintah Daerah sebagai Badan Eksekutif Daerah.’ Dalam seluruh teks UU ini tidak disinggung bagaimana Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) ini nantinya ‘dibentuk’. Bagian awal Undang-undang ini, pada paragraf ‘Mengingat’ menyinggung UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis

2

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Pewakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang (dalam Pasal 18) menetapkan bahwa 90% anggota DPRD berasal dari anggota partai politik hasil Pemilu, dan 10% dari anggota ABRI yang diangkat. Namun demikian, UU No. 4/1999 menganggap bahwa DPRD sebagai lembaga sudah ‘terbentuk’. Hal ini berdasarkan Undang-Undang No.14/1956, Pasal 8 yang menetapkan bahwa pembentukan DPRD dilakukan berdasarkan pemilihan umum. Sementara UU No.14/1999 hanya bermaksud mengubah konsistensi DPRD dengan menguranginya dari 20% (seperti diatur dalam UU N0. 16/1969, Pasal 17) menjadi 10% untuk jumlah anggota DPRD yang diangkat dari TNI atau Pemerintah. Sehubungan dengan hal ini, UU No.22/ 1999, yang disusun dalam suasana reformasi menuju demokratisasi sebetulnya dianggap dan diharapkan sebagai landasan baru bagi ‘Undang-Undang Pemerintahan Daerah’ yang tegas dan jelas berusaha menegakkan kembali prinsip-prinsip demokrasi bagi anggota DPRD hasil Pemilu yang jujur dan adil. Tetapi sayangnya, Pasal 14 dari UU No.22/ 1999 bukannya mengambil kesempatan untuk menegaskan kembali prinsip dasar yang sangat fundamental tersebut, melainkan menggunakan istilah yang mendua arti, yakni ‘dibentuk’ bukan ‘dipilih’, sementara Pasal 15 hanya menyebutkan ‘Kedudukan, susunan, tugas, wewenang, hak, keanggotaan, pimpinan dan alat kelengkapan DPRD diatur dengan Undang-Undang’. Karena itu, untuk UU selanjutnya perlu dipastikan apakah anggota DPRD harus dipilih oleh rakyat atau dibentuk oleh penguasa. Saat ini, jawaban untuk pertanyaan tersebut adalah bisa kedua-duanya. Penggunaan istilah ‘dibentuk’ pun dapat diinterpretasikan macam-macam. Misalnya, orang dapat menuding bahwa ada sebagian orang berkeinginan mempertahankan kekuasaan orde baru

ANTROPOLOGI INDONESIA 65, 2001

untuk masa mendatang. Perlu dicatat bahwa isu yang diangkat di atas menunjukkan masalah pokok dalam menginterpretasikan UU No. 22/1999, atas keraguan tentang kekuasaan apa yang sesungguhnya diberikan kepada DPRD dan pemerintah daerah dalam UU ini. Ketidakpastian dan ketidakjelasan ini tetap saja dijumpai, bahkan semakin kacau ketika menyangkut permasalahan tentang kekuasaan apa yang sebenarnya dimiliki oleh DPRD dan otonomi apa yang dimiliki Pemerintah Daerah, terutama untuk tingkat Kotamadya dan Kabupaten. Misalnya, Pasal 18 ayat (1) menyebutkan bahwa DPRD memilih Kepala Daerah dan dalam Pasal (32) Ayat (2) ditetap-kan bahwa Kepala Daerah bertanggung jawab kepada DPRD. Dari sini, siapa pun bisa menduga bahwa Kepala Daerah, dan badan eksekutif di bawah wewenangnya, berada di bawah pengawasan DPRD. Tetapi tidak demikian halnya, karena Pasal 16 Ayat (2) menyebutkan bahwa kedudukan mereka adalah sejajar dan merupakan kemitraan. Jadi, perhatian utama bagi masyarakat dan anggota DPRD seharusnya diarahkan pada ketidakpastian peran DPRD. Pasal 19 menyebutkan bahwa DPRD mempunyai hak: a. meminta keterangan kepada Pemerintah Daerah; dan b. menentukan Anggaran Belanja DPRD, mengadakan perubahan atas Rancangan Peraturan Daerah dan mengajukan Rancangan Peratutan Daerah. Akan tetapi, tidak jelas mengajukan kepada siapa? UU ini tidak menyebutkannya. Tak satu pun pasal dari UU ini menyebutkan bahwa DPRD itu sendiri berhak menyetujui atau menolak Peraturan Pemerintah yang diusulkan. Jika kita melihat ke bagian ‘penjelasan’, seperti yang diberikan oleh anggota dewan perwakilan, dan terlampir dalam UU ini, kita niscaya heran karena dalam penjelasan

ANTROPOLOGI INDONESIA 65, 2001

Pasal 19 tadi tertulis ‘cukup jelas’. Kalimat yang rancu pun juga dijumpai dalam Pasal 43 tentang Kewajiban Kepala Daerah, di mana ayat huruf (g) yang menyatakan Kepala Daerah mempunyai kewajiban mengajukan Rancangan Peraturan Daerah dan menetapkannya sebagai Peraturan Daerah bersama-sama dengan DPRD. Jika kita menghubungkan Pasal 19 dengan Pasal 43, bisa disimpulkan bahwa DPRD harus mengajukan rancangan peraturan daerah atau amandemennya kepada Kepala Daerah untuk mendapatkan persetujuan, karena jelas bahwa rancangan peraturan pemerintah tidak bisa ditetapkan tanpa persetujuan dari Kepala Daerah. Hal ini bertolak belakang dengan tata cara demokrasi. Di pihak lain, bukankah dalam Pasal 14 disebutkan bahwa DPRD sebagai Badan Legislatif Daerah dan Pemerintahan Daerah sebagai Badan Eksekutif Daerah? Lantas apa maksud dari pemisahan peran tadi, jika kemudian pihak eksekutif masih diperlukan oleh pihak legislatif? Bukankah Pasal 22 (ayat huruf c) menyatakan bahwa DPRD ‘wajib membina demokrasi dalam penyelenggaraaan Pemerintahan Daerah’? Apakah yang dimaksud dengan ‘demokrasi’ dalam UU ini, agar Kepala Daerah sebagai kepala lembaga eksekutif di daerah memegang kekuasaan sesungguhnya, sehingga bisa memveto usulan rancangan peraturan daerah yang disampaikan DPRD? Dalam beberapa tingkat, hubungan semacam itu bisa dianggap sebagai ‘tata cara demokrasi’, dengan catatan jika Kepala Daerah dipilih langsung oleh rakyat. Akan tetapi, UU No. 22/1999 menetapkan bahwa Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih oleh DPRD melalui ‘pemilihan yang dilaksanakan secara langsung, bebas, rahasia, jujur dan adil’ (pasal 40, ayat (1)). Hal ini sangat bertolak belakang dengan yang ditulis dalam Pasal 14, di mana kalimat yang digunakan adalah DPRD ‘diben-

3

tuk’ (bukan ‘dipilih’). Namun demikian, DPRD tidak bisa melaksanakan tindakan penyidikan terhadap Kepala Daerah tanpa persetujuan tertulis dari Presiden (Pasal 55, ayat (1)). Hal ini menyebabkan kekuasaan DPRD dalam memberhentikan Kepala Daerah (dan secara tidak langsung, termasuk pula semua pegawai Badan Eksekutif di bawah wewenang Kepala Daerah) harus tunduk kepada keputusan Presiden (Pasal 50). Hal ini bertentangan dengan gagasan dan kekuatan otonomi daerah, karena akan memudahkan kekuasaan di tingkat pusat melakukan berbagai manuver dan intervensi melalui wakilwakilnya di daerah, yang pada gilirannya hanya membuat DPRD tak berdaya. Yang memperkuat keraguan ke arah ini, Pasal 114, Ayat (1) yang menyebutkan: ‘Pemerintah dapat membatalkan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum atau (dst...).’ Hal ini memancing interpretasi sangat luas akan apa yang dimaksud dengan kepentingan umum di tingkat daerah. Jadi tak berlebihan, jika pada tahap ini, ciri otonomi yang diberikan patut dipertanyakan. Lingkup kekuasaan pemerintah yang diatur dalam UU ini juga masih menyimpan ketidakjelasan serius, tak kurang serius jika dibandingkan dengan ketidakjelasan yang telah disebutkan di atas. Karena semua urusan menyangkut otonomi keuangan tidak dibahas dalam UU ini, tetapi diatur secara terpisah dalam UU No. 24/1999, maka sulit untuk mengetahui sejauh mana kekuasaan pengambilan keputusan dilimpahkan kepada pemerintah daerah. Selain banyak isu penting yang ‘luput’ dari UU ini, juga masih dimungkinkannya ‘pengaturan lebih lanjut’ oleh pemerintah pusat, seperti ditetapkan dalam Pasal 12. Di antara isu yang luput dari perhatian, tetapi sukar untuk diterima adalah luputnya

4

kebijakan tentang ‘pengembangan sumberdaya manusia’ dan ‘pemanfaatan sumberdaya alam’ (Pasal 7, ayat 2). Lingkup ‘kebijakan’ ini tidak dibatasi dengan jelas, dan kelihatannya pemerintahan daerah tidak dipercaya membuat ‘kebijakan’. Namun demikian, pihak berwenang di tingkat daerah memiliki kekuasaan untuk ‘mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya’ (Pasal 10 ayat 1 dan berwenang (Pasal 10, ayat 2) melaksanakan eksplorasi, eksploitasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut (yaitu 12 mil laut untuk Kotamadya/Kabupaten, seperti diatur dalam Pasal 3). Nampaknya hanya kawasan ini yang diijinkan diatur sepenuhnya oleh pemerintah daerah; itu pun dengan luas kawasan yang sangat terbatas. Pasal 76 merupakan pasal penting karena meningkatkan keefektifan jajaran pemerintahan di tingkat daerah, yang menetapkan ‘Daerah mempunyai kewenangan untuk melakukan pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, dan kesejahteraan pegawai, serta pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan Daerah yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan.’ Mengingat bahwa ‘penjelasan resmi’ untuk pasal tentang hal yang sama pada UU 5/1974 sekarang sudah dicabut (dalam penjelasan sepertinya terjadi pengurangan kewenangan pemerintah daerah hanya menyangkut keputusan pemindahan pegawai saja), kami ragu bahwa tujuan pasal ini tidak akan tercapai. Sebetulnya masih banyak lagi tanggapan kritis yang bisa disampaikan tentang segala hal yang terabaikan dalam UU No. 22/1999. Namun, analisis yang lebih akurat yang berarti lebih bertanggung jawab tentang isi UU ini membutuhkan waktu lama lagi, dan harus dituangkan dalam tulisan panjang. Akan tetapi,

ANTROPOLOGI INDONESIA 65, 2001

sebelum Pemerintah menyusun petunjuk pelaksanaan Undang-Undang ini, sebaiknya semua pasal yang membingungkan dan rancu harus ditinjau ulang terlebih dulu secara kritis. Dimensi kebudayaan yang terabaikan Dari ulasan di atas jelaslah bahwa: Pertama, dalam penyusunan rancangan UU yang kemudian diwujudkan sebagai UU, aspek kebudayaan yang merupakan inti demokrasi yang konon merupakan premis pokok dalam era reformasi sama sekali tidak disinggung. Satu-satunya indikasi yang diharapkan menonjolkan isu kebudayaan adalah dari Pasal 7. Namun, ternyata apa yang dikemukakan dalam Pasal tersebut jauh dari yang seharusnya, karena ‘sumberdaya manusia’ yang dimaksud tak lain adalah aspek fisik dan material. Kedua,kalau dugaan di atas benar, para perancang, penyusun, dan pendiskusi rancangan UU tersebut masih terpaku pada persoalan materi yang konkrit, yang sangat terkait dengan kepentingan-kepentingan jangka pendek. Aspek kebudayaan yang merupakan landasan penting dalam upaya menjadikan demokrasi sebagai pengetahuan dan keyakinan (yang berjangka panjang), tidak disinggung sama sekali. Barangkali hal ini disebabkan dangkalnya pengetahuan dan wawasan para perancang, penyusun, dan pendiskusi rencana UU itu. Yang lebih penting lagi, nampaknya ada persoalan kurangnya kemampuan berbahasa sebagaimana tercermin dalam penggunaan kata ‘dibentuk’ (bukan ‘dipilih’). Barangkali hal itu hanya karena ketidaksengajaan. Ketiga, dalam UU ini aspek seremonial pengangkatan pejabat daerah lebih ditonjolkan, terbukti dengan dimuatnya secara rinci dan lengkap isi sumpah/janji yang harus diucapkan oleh Kepala Daerah, Wakil Kepala Daerah dan Lurah. Sementara itu, hal-hal

ANTROPOLOGI INDONESIA 65, 2001

lainnya yang substansial malah diabaikan.

Pendidikan dalam otonomi daerah Sebagai bagian integral dari pelaksanaan kebijakan otonomi daerah, kebijakan otonomi pendidikan pun ‘bernasib sama’. Dalam uraian kebijakan otonomi pendidikan, jelas tergambar bahwa anggaran dan fasilitas fisik pendidikan paling menonjol. Yang patut disayangkan, butir-butir kebijakan otonomi pendidikan tersebut sangat kurang dikomentari oleh para penyusun kebijakan pendidikan sendiri. Untuk memberikan gambaran mengenai hal di atas, penulis akan menguraikan secara singkat substansi dari cara pandang sosial budaya mengenai pendidikan, dan kaitannya dengan otonomi daerah dan otonomi pendidikan. Kebudayaan sebagai transmisi pengetahuan Transmisi pengetahuan dalam suatu masyarakat atau kelompok seringkali dilihat dalam perspektif sistem, di mana setiap peristiwa transmisi dikondisikan, baik secara potensial maupun faktual, oleh unsur-unsur dalam sistem. Itulah sebabnya, misalnya, ‘garis’ kehidupan seorang buruh pabrik atau petani kecil tak akan pernah bertemu dengan ‘garis’ kehidupan keluarga kaya-raya. Namun, secara tidak langsung peristiwa-peristiwa dalam sistem tetap ada kaitannya, karena setiap peristiwa adalah bagian dari konteks sosialbudaya yang lain. Banyak pengetahuan yang ditransmisikan dalam setiap kelompok bersifat tersirat dalam struktur hubungan yang ada. Dalam ruang lingkup paling luas, pendidikan sebagai proses transmisi pengetahuan secara sistematis tidak dapat difahami terpisah dari transmisi total sosialisasi/enkulturasi (Hansen 1979; Singleton 1973).

Memusatkan perhatian pada pendidikan berarti memusatkan perhatian, setidak-tidaknya sebagian, pada peristiwa-peristiwa

5

penyampaian (transmisi) pengetahuan dari seseorang/kelompok kepada orang/kelompok lain. Proses ini kompleks dalam suatu masyarakat, karena begitu beragam lembaga pendidikan, mode komunikasi, tujuan, dan mode organisasi yang terlibat.

Dalam menanggapi pendidikan, kita dipengaruhi dan dibentuk oleh suatu cara berfikir tertentu. Sudut pandang terhadap pendidikan yang konsep-konsepnya telah tersusun sedemikian sebagai sebuah sistem dapat dianggap sebagai sebuah perspektif. Apabila perspektif tersebut telah disebarkan secara luas (well publicized) dan memperoleh penerimaan yang baik dari banyak orang, ia dapat digunakan sebagai acuan bertindak dalam lapangan pendidikan. Dalam skala nasional, misalnya, perspektif tersebut berfungsi sebagai acuan (landasan) dalam membangun kebijakan pendidikan nasional.

yang saling tergantung satu sama lain secara totalistik sebagai sebuah sistem. Secara evolusioner, perspektif sistemik ini dibagi menjadi dua tahap, yakni perspektif struktural-fungsionalisme, dan prosesual. Pergeseran perspektif dari tahap pertama ke tahap kedua sesungguhnya merupakan representasi kenyataan dalam masyarakat, yakni bagaimana orang mengonsepsikan dan mewujudkan perilaku pembelajaran dalam masyarakat dari masa ke masa. Dalam sejarah pendidikan kita, pendidikan dilihat sebagai sistem yang didominasi oleh pemikiran Eropah pada abad 18 dan 19, yang kemudian diwarisi oleh tradisi pendidikan kolonial Hindia Belanda dan pendidikan nasional kita masa kini. Sistem pendidikan ini merupakan cerminan cara berpikir yang penulis sebut pertama, yakni berpikir struktural-fungsional. Perubahan cara berpikir mengenai pendidikan, di mana manusia ditanggapi sebagai subjek yang aktif menentukan ‘nasib’sendiri, mengembangkan perspektif prosesual yang mulai banyak mempengaruhi paradigma sosial budaya pendidikan pada akhir abad 20 yang lalu hingga kini. Baiklah kita diskusikan secara singkat kedua perspektif tersebut.

Dua perspektif

Perspektif struktural-fungsionalisme

Ada anekaragam cara pandang dalam melihat pendidikan, dan termasuk di dalamnya cara pandang sosial budaya. Perspektif sosial budaya yang berasal dari disiplin antropologi ini masih belum banyak dikenal di Indonesia, khususnya dalam bidang kajian pendidikan. Paradigma sosial budaya ini memandang ‘pendidikan sebagai proses transmisi pengetahuan secara sistematis, tidak dapat dipahami terpisah dari total sosialisasi/enkulturasi’. Dua kata kunci dalam pernyataan ini, yakni sistematis dan tak terpisah, memberikan indikasi yang tegas bahwa perspektif ini mementingkan analisis seperangkat unsur

Cara pandang struktural fungsionalisme menempatkan pendidikan dalam tatanan linear sebagai salah satu komponen dari sebuah sistem yang lebih besar. Andaikata suatu sistem terdiri dari sepuluh komponen, maka pendidikan mengambil porsi sepersepuluh dari sistem tersebut, yang tergantung pada keberadaan dan fungsi dari sembilan per sepuluh komponen lainnya. Pandangan holistik semacam ini menjadikan pendidikan sebagai sebagian kecil yang tergantung pada, dan kerapkali didominasi oleh, sebagian besar komponen sistem yang lain.

Untuk menganalisis pendidikan sebagai sistem sosial budaya kita membutuhkan pemetaan distribusi sosial pengetahuan dan nilai-nilai yang terkait. Selain itu kita juga perlu mengidentifikasi semua tipe transaksi pendidikan dan konteks yang terjadi dalam masyarakat, agar dapat memahami hubungannya satu sama lain (Hansen 1979; Singleton 1973).

6

ANTROPOLOGI INDONESIA 65, 2001

Kecenderungan berpikir strukturalfungsionalisme pada tingkat nasional mendorong penyusun kebijakan dan pengambil keputusan pendidikan nasional untuk berpikir seragam; artinya, ada suatu kekuatan—yakni kekuasaan negara—yang berfungsi sentral untuk merancang blue-print, menyusun kurikulum, mempersiapkan tenaga pengajar, dan menyediakan fasilitas pendidikan untuk semua bagian dan tingkatan pendidikan di seluruh negeri. Sebagai hasilnya adalah sebuah sistem yang stabil, seimbang, dan ‘anti’ perubahan. Premis dari struktural-fungsionalisme meliputi: a) masyarakat adalah sebuah sistem yang bekerja; b) sistem yang bekerja menuntut institusi-institusi komponennya memberikan kontribusi demi dipeliharanya sistem tersebut; c) sistem sosial yang bekerja menuntut semua anggota sistem untuk dimotivasi dan dilatih untuk memfasilitasi fungsi sistem.

Apabila kita menengok sejenak kebijakan nasional pendidikan kita, barangkali kita sertamerta sadar bahwa selama ini pendidikan kita dirancang menurut premis pemikiran di atas. Kelebihan cara berfikir ini adalah transmisi pengetahuan yang seragam dan merata di seluruh Indonesia, baik kurikulum, latarbelakang dan kualifikasi pengajar, metode belajar-mengajar, maupun buku-buku ajar yang digunakan, sehingga dalam jangka panjang kesatuan nasional melalui proses pendidikan dapat terjaga. Fakta menunjukkan bahwa proyek-proyek nasional pendidikan, khususnya proyek pengembangan fasilitas, menghasilkan kumpulan bangunan sekolah yang seragam di seluruh Indonesia. Kekurangan cara berpikir ini adalah penafian kenyataan keanekaragaman tipe sosial budaya yang sesungguhnya potensial untuk pengembangan kesejahteraan setempat. Perspektif prosesual Perspektif prosesual merupakan respon teoretis terhadap perubahan-perubahan yang

ANTROPOLOGI INDONESIA 65, 2001

terjadi dalam masyarakat. Seperti halnya perspektif struktural-fungsionalisme mengenai pendidikan, pemikiran prosesual juga memandang pendidikan sebagai sistem. Perbedaannya adalah bahwa perspektif ini menempatkan manusia sebagai sentral, sebagai makhluk subjektif yang aktif, proaktif, manipulatif, dan mampu mengembangkan strategi-strategi untuk menghadapi, dan bahkan mengubah lingkungan tempat ia berada; berbeda dari pandangan struktural fungsionalisme yang melihat manusia lebih sebagai objek yang menjadikan lingkungan sebagai pedoman bagi bertindak. Menghadapi perubahan, perspektif struktural fungsionalisme lebih suka menggunakan konsep adaptasi ketimbang konsep modifikasi dan manipulasi, karena adaptasi mengandung makna ‘upaya manusia agar terserap dalam sistem’. Cara berpikir prosesual menempatkan faktor interaksi sebagai unsur penting. Dalam interaksi tersebut manusia berupaya agar bentuk dan kualitas kehidupan berubah menjadi lebih baik. Kerapkali terjadi bahwa manusia berhasil mengubah gurun pasir yang tandus, atau hutan belantara yang garang, menjadi lingkungan kehidupan yang nyaman. Akan tetapi, cukup banyak pula kasus yang menunjukkan bahwa manusia menyesuaikan diri dengan tatanan lingkungan yang sudah ada. Kedua contoh ini menunjukkan adanya dinamika manusia sebagai makhluk yang aktif. Konsep adaptasi yang secara eksplisit mencerminkan adanya batas-batas lingkungan yang tegas di satu pihak bergeser kepada konsep modifikasi dan manipulasi dengan batas-batas sistem lingkungan yang tidak tegas. Dari struktural-fungsionalisme ke proses Kebijakan otonomi pendidikan, sebagai bagian dari kebijakan otonomi daerah yang baru saja diterapkan diperkirakan akan menim-

7

bulkan dampak yang tak semudah mengubahubah paradigma teoretis di atas kertas. Perubahan orientasi pendidikan dalam perspektif sosial budaya, andaikata perubahan tersebut konsisten dan berkesinambungan, membutuhkan setidak-tidaknya satu atau dua generasi agar terwujud secara signifikan. Perubahan paradigma pendidikan menuntut kesiapan kita untuk berubah dari satu ekstrim ke ekstrim yang lain. Secara teoretis hal itu mungkin dapat dipandang sebagai perubahan cara pandang dari strukturalfungsionalisme ke cara pandang prosesual interaksionisme dalam mengatur dan mengelola pendidikan kita. Dengan menempatkan pendidikan (secara spesifik, sekolah) sebagai sentral, kita mengidentifikasi persoalan-persoalan dan membangun mode eksplanasinya dengan melihat interaksi pendidikan dengan komponen-komponen (sistem) di lingkungannya dalam konteks dinamik. Berbeda dari pendekatan sistemik fungsional, pendekatan prosesual ini lebih menekankan kreativitas aktor yang menjauhi ciri-ciri pasif, stabil, dan statis. Sistem pendidikan kita yang seragam dan berorientasi ke atas Dalam sejarah pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan tingkat menengah, satu pendekatan yang memperhatikan keterkaitan (linkage) antara sekolah dan masyarakat belum dikenal dengan baik. Institusi pendidikan formal yang dilaksanakan oleh pemerintah adalah suatu satuan yang berdiri sendiri, yang terpisah dari masyarakat tempat ia berada. Institusi ini bekerja menurut kebijakan pemerintah yang seragam secara nasional mulai dari merencanakan program pendidikan hingga menghasilkan lulusan tanpa memperhatikan keterkaitan dengan kebutuhan riil masyarakat, yakni, apakah dan seberapa jauh tipe lulusan yang dihasilkan oleh sekolah menengah

8

berfungsi memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan kata lain, sekolah dan masyarakat tidak dipandang sebagai bagian dari satu sistem yang komponen-komponennya saling tergantung satu sama lain. Sistem pendidikan seragam yang berlaku di Indonesia mengandung fungsi positif apabila dilihat dari kepentingan membangun kesatuan nasional melalui proses pendidikan. Kurikulum nasional yang dibangun menitikberatkan pada kesamaan-kesamaan baik dari segi sistem kurikulum, bahan ajar, perangkat fisik, maupun sistem penyediaan guru di seluruh Indonesia. Sebagai contoh, sistem kurikulum dan pengajaran di IKIP-IKIP di seluruh tanah air hanya satu jenis, dan menghasilkan tenaga guru yang berkualifikasi sarjana yang sama pula. Sistem ini memudahkan dalam melakukan akreditasi institusi pendidikan yang mencetak guru (IKIP) karena berlaku secara nasional, akan tetapi tidak memberikan peluang bagi berkembangnya variasi. Padahal, variasi dalam kondisi sosialbudaya khususnya, sangat menonjol dalam kenyataan. Selain itu, sistem pendidikan seragam dan sentralistis ini juga tercermin dari terpusatnya penyediaan buku ajar. Semua sekolah di seluruh Indonesia menggunakan bahan ajar yang sama, baik bagi siswa maupun bahan pegangan bagi guru. Sebagai evaluasi akhir, diterapkan sistem pengujian nasional yang juga ditentukan dari Jakarta, yang disebut Ebtanas. Dari hasil Ebtanas itulah diperingkat secara kuantitatif semua sekolah di seluruh tanah air, dari yang ‘terbaik’ hingga yang ‘terburuk’ tanpa memperhatikan kondisikondisi spesifik dan lokal yang mempengaruhi (bahkan menentukan) taraf pencapaian suatu sekolah.

ANTROPOLOGI INDONESIA 65, 2001

Otonomi pendidikan sebagai proses budaya Perubahan politik yang terjadi sekitar dua tahun yang lalu membawa dampak terhadap sistem pengelolaan pemerintahan. UU No.22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah jelas menunjukkan bahwa sebagian (besar) pengelolaan pemerintahan dialihkan dari Pusat ke Daerah tingkat I dan II. Sebagai salah satu unsur pemerintahan, pengelolaan pendidikan juga diserahkan ke daerah, sedangkan pemerintah pusat bertindak sebagai fasilitator saja. Sebagai akibat kebijakan baru ini, maka daerah dituntut untuk lebih aktif dan proaktif untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab mempersiapkan dan menyelenggarakan pendidikan, baik dari segi kurikulum maupun pengajar, fasilitas, dan dana yang cukup. Sekolah sebagai penyelenggara pendidikan adalah unsur yang terkena dampak besar dari perubahan yang terjadi. Pihak sekolah dituntut untuk aktif mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri, hambatanhambatan yang dihadapi, dan potensi-potensi prospektif yang dimiliki. Pada masa mendatang, sekolah bahkan dituntut untuk aktif memformulasikan visi dan misi mereka sendiri yang berorientasi lokal dan regional. Secara lambat laun, peran dan campur tangan pemerintah akan dikurangi. Pendidikan kita sebagai suatu proses budaya Secara umum memandang pendidikan dalam perspektif sosial budaya belum banyak diketahui, meski banyak diucapkan orang secara retorik. Cara memandang pendidikan dengan perspektif ini sangat penting diperkenalkan dan dibicarakan, karena relevansinya yang sangat besar dengan perubahan paradigma pendidikan yang tengah berlangsung. Memandang pendidikan (di sekolah) sebagai kebudayaan berarti melihat pendidikan

ANTROPOLOGI INDONESIA 65, 2001

sebagai proses transmisi pengetahuan secara formal dan berkesinambungan, yang terjadi di antara pihak-pihak yang terlibat (dalam konteks sekolah, antara guru-guru, murid-murid, dan administratur) menurut perangkatperangkat aturan yang baku. Pengetahuan yang diperoleh tersebut akan digunakan dalam mewujudkan perilaku untuk menghadapi lingkungan. Nampaknya cukup jelas bahwa kebijakan pendidikan di Indonesia selama kurang-lebih 50 tahun merdeka didominasi oleh cara berpikir struktural-fungsionalisme. Akibatnya, ketika perubahan besar terjadi di dunia sekarang ini, khususnya ketika manusia mulai disadarkan bahwa mereka adalah subjek atau aktor yang aktif dan menentukan nasib sendiri, kesadaran akan pendidikan sebagai proses yang terikat dengan berkembangnya gagasan demokrasi ini pun melanda dunia, termasuk juga Indonesia. Meningkatnya kesadaran antroposentrik ini membangkitkan perlunya manusia mengenal kebutuhan dan potensinya sendiri. Kebijakan otonomi daerah, termasuk otonomi pendidikan, merupakan respons terhadap gagasan demokrasi tersebut. Dengan kata lain, telah terjadi pergeseran yang signifikan dari filosofis berpikir struktural-fungsionalisme ke cara berpikir proses yang anti-statis. Implikasi terhadap konsep kebudayaan adalah bahwa kebudayaan tidak lagi merupakan black box yang berisikan pengetahuan, keyakinan, aturan-aturan yang menjadi semacam pedoman baku bagi mewujudkan perilaku orang-orang yang ‘memiliki’ kebudayaan yang bersangkutan. Tetapi, orang-orang itu secara aktif mengevaluasi relevansi pengetahuan, keyakinan, dan aturan-aturan yang ada, merevisi atau bahkan merombak yang dipandang tidak relevan dan membangun yang baru. Sebagai subjek, manusia merupakan pelantar perubahan (agent of change) yang selalu berinisiatif dan cenderung melakukan perubahan

9

ke arah kemajuan demi mencapai kehidupan yang lebih baik. Sekolah kita dalam perubahan paradigma pendidikan Salah satu contoh yang mencerminkan pemikiran struktural-fungsionalisme yang dominan dalam bidang pendidikan pada masa lalu adalah tracking system, yakni sistem penelusuran kapasitas murid yang mengategorikan para siswa menjadi kategori A,B, dan C. Kategori terbaik adalah kategori B, yakni para siswa yang memiliki nilai tinggi secara konsisten dalam matapelajaran ilmu pasti-alam. Kategori siswa ini dianggap superior atau pandai secara umum, karena diasumsikan bahwa mereka niscaya juga dengan mudah memahami bidang-bidang di luar ilmu pastialam seperti ekonomi, kesusasteraan, atau bahasa. Kategori kedua adalah kategori A, yakni para siswa yang dipandang sesuai (berbakat) untuk bidang seperti ekonomi dan geografi. Kategori ketiga adalah kategori C, yakni para siswa yang dianggap sesuai (berbakat) untuk bidang seperti sastera, sejarah, dan bahasa. Stereotip yang melekat pada kategori-kategori tersebut adalah bahwa kategori B terbaik, A sedang, dan C kurang. Penggolongan siswa semacam ini terjadi khususnya pada tahun 1950-an hingga 1960an yang jelas sekali merupakan warisan sistem pendidikan kolonial Belanda. Dalam praktik di sekolah para siswa yang secara konsisten memperoleh nilai tinggi dalam mata pelajaran ilmu pasti (matematika, fisika, dan biologi) dikategorikan sebagai murid yang pandai dan cerdas, dan mereka dimasukkan ke kelas B. Murid-murid yang lain dimasukkan ke kelas A atau C. Kesempatan untuk memilih jurusan pendidikan selanjutnya di masa yang akan datang lebih terbuka bagi murid-murid kelas B ketimbang kelas A dan C. Penggolongan tersebut terus berlangsung hingga

10

kini, hanya namanya yang berubah-ubah. Pada tahun 1970-an, untuk kasus SMA (sekarang SMU), penggolongan tersebut diberi nama Kelas Pasti-Alam (sebelumnya Kelas B), Kelas Sosial (sebelumnya Kelas A), dan Kelas Budaya (sebelumnya Kelas C). Kemudian semenjak tahun 1986 hingga kini, kita mengenal penamaan Kelas A1( Kelas Ilmu Pasti), Kelas A2 (Kelas Ilmu Alamiah), Kelas A3 (Kelas Ilmu Sosial), dan Kelas A-4 (Kelas Ilmu Budaya), yang pada dasarnya memiliki basis berpikir dan stereotip yang sama dengan penggolongan sebelumnya. Pendidikan dan institusi sekolah pada tingkatan mana pun kini berada dalam konteks perubahan paradigma. Sejak kini, sekolah harus mulai mengubah cara berpikir lama menjadi cara berpikir baru, yang meliputi hal-hal mendasar, antara lain: • menghapus orientasi berpikir ke atas, ke pusat, dan sikap menunggu; • mengembangkan sikap mental antisipatif dan inisiatif; • mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan, hambatan, dan potensi yang dimilikinya; • membangun kemampuan memenuhi kebutuhan dan mengatasi hambatan; • membangun kemampuan mengelola potensi; • membangun kemampuan guru secara individual sehingga kualitas kemampuan meningkat; • membangun metodologi baru dalam menilai dan menggolong-golongkan siswa; dan • membangun komunitas sekolah dan kemauan belajar bersama.

ANTROPOLOGI INDONESIA 65, 2001

Penutup: memperkuat dukungan masyarakat bagi sekolah Jurang pemisah antara sekolah dan masyarakat Mungkin kita sudah memahami bersama bahwa interaksi antara sekolah dan masyarakat (khususnya para orang tua murid) sejak dahulu hingga kini, khususnya sekolah-sekolah negeri kita, masih sangat lemah dan terbatas. Barangkali satu-satunya interaksi terpenting adalah pertemuan sekolah dengan orang tua murid berkenaan dengan besar pungutan dana untuk kegiatan-kegiatan sekolah. Tidak mengherankan apabila terdapat jurang pemisah antara sekolah dan masyarakat. Jurang pemisah tersebut terbentuk karena di satu pihak sekolah terikat dengan tugas dan tanggung jawab yang berorientasi ke atas (Pusat) yang terlepas dari kepentingan masyarakat, sedangkan di pihak lain, masyarakat telah menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab mendidik anak-anak kepada sekolah, dan berupaya menyediakan dana yang diminta sekolah. Memperkuat dukungan masyarakat Terkait dengan ciri-ciri perubahan sebagaimana dikemukakan di atas, jelaslah bahwa jurang pemisah antara sekolah dan masyarakat

harus dihapuskan. Maksudnya, sejak sekarang, pada masa otonomi daerah yang berorientasi apresiatif terhadap potensi setempat, maka sekolah dan masyarakat ditempatkan dalam satu wadah yang tak terpisahkan satu sama lain. Di satu pihak sekolah harus mulai memandang masyarakat sebagai mitra belajar bersama, tidak hanya semata-mata sebagai sumber para siswa berasal. Proses belajar bersama tersebut diharapkan akan menghasilkan suatu bangunan kurikulum dan proses belajar-mengajar yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat. Sebagai contoh: seberapa besar relevansi kurikulum dan metode pengajaran dengan keluaran yang akan dihasilkan suatu sekolah yang dapat menjawab tantangan kebutuhan tenaga kerja, dan mengurangi pengangguran lokal maupun regional. Kita menyadari bahwa perubahan cara berpikir adalah persoalan yang tidak mudah dilakukan. Akan tetapi, setidak-tidaknya dalam simposium yang diselenggarakan Jurnal ANTROPOLOGI INDONESIA ini gagasan menuju perubahan paradigma pendidikan tersebut mulai kita bicarakan. Namun, sekali perubahan tersebut terjadi, maka perubahan itu harus terjadi secara konsisten dan berkesinambungan.

Kepustakaan Burnett, J.H. 1973 ‘Ceremony, Rites, and Economy in the Student System of an American High School’, dalam T. Weaver (peny.) To See Our Selves: Anthropology and Modern Social Issues. Glenview, Ill.: Scott, Foremans, and Co. Hlm. 285-290 Erickson, F. 1984 ‘What Makes School Ethnography “Ethnographic”’, Anthropology and Education Quarterly, 15:51-66.

Gearing, F.O. 1984

‘Toward a General Theory of Cultural Transmission’, Anthropology and Education Quarterly, 15:29-37.

ANTROPOLOGI INDONESIA 65, 2001

11

Hansen, J.H. 1987 Sociocultural Perspectives on Human Learning: An Introduction to Educational Anthropology. New York: Prentice-Hall. Singleton, J.M. 1973a ‘Schooling: Coping with Education in Modern Society’, dalam T. Weaver (peny.), To See Our Selves: Anthropology and Modern Social Issues . Glenview, Ill.: Scott, Foremans and Co. Hlm. 278-280. 1973b ‘Educational Uses of Anthropology’, dalam T. Weaver (peny.), To See Our Selves: Anthropology and Modern Social Issues . Glenview, Ill.: Scott, Foremans, and Co. Hlm. 326-330. Menteri Negara Urusan Otonomi Daerah. 1999 Undang-Undang No. 22 Tahun 1999. Jakarta: Menteri Negara Urusan Otonomi Daerah.

12

ANTROPOLOGI INDONESIA 65, 2001