KELOLA HUTAN LINDUNG JAWA TIMUR

Download pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan kebijakannya diarahkan untuk lebih ... Pengertian dan definisi Hutan Lindung menurut. Undang-Unda...

0 downloads 664 Views 449KB Size
POLICY PAPER No 02/2014

Mendorong Pengelolaan Hutan Lindung oleh Pemerintah Daerah di Jawa Timur

Oleh : ARuPA

POLICY PAPER No 02/2014

Mendorong Pengelolaan Hutan Lindung oleh Pemerintah Daerah di Jawa Timur

Oleh : ARuPA

Mendorong Pengelolaan Hutan Lindung oleh Pemerintah Daerah di Jawa Timur Oleh : ARuPA | September 2014

1. Pengantar Hutan Indonesia saat ini menanggung 2 (dua) beban sekaligus yaitu sebagai sumberdaya hutan dan sebagai hutan penjaga keseimbangan lingkungan hidup. Sebagai sumberdaya, hutan Indonesia telah lama difungsikan sebagai sumber pendapatan negara dengan ekstraksi hasil hutan kayu maupun non kayu. Bahkan baru-baru ini, di berbagai daerah banyak konversi hutan menjadi perkebunan sawit, menjadi area tambang, bahkan untuk pendirian pabrik semen. Sebagai penjaga keseimbangan lingkungan hidup, agaknya beban ini tidak pernah menjadi prioritas, dan selalu saja terkalahkan oleh beban yang pertama. Untuk menjaga keseimbangan 2 beban tersebut, maka dalam UU 41/1999 tentang Kehutanan dikenal pembagian kawasan hutan berdasarkan 3 fungsi yaitu Produksi, Lindung, dan Konservasi. Di Jawa, tiga kawasan hutan berdasarkan fungsinya tersebut juga ada. Hutan produksi dan lindung melalui PP 72/2010 ditugaskan kepada Perum Perhutani untuk mengelolanya. Sedangkan hutan konservasi dikendalikan langsung oleh Kementerian Kehutanan dengan organ-organ di bawahnya. Pengelolaan hutan oleh Perhutani di Jawa menuai titik kritis bersamaan dengan era reformasi tahun 1999, di mana hampir di setiap kawasan hutan negara di Jawa di jarah oleh masyarakat dan berbagai pihak. Selepasnya, muncul berbagai kritik tegas kepada Perhutani tentang pengabaian pemerintah daerah dan masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan di Jawa. | Policy Paper ARuPA - September 2014

Page 1

Pada saat yang sama, pemerintah reformasi tengah melangsungkan desentralisasi beberapa urusan p e m e r i n t a h p u s a t . D a l a m b i d a n g ke h u t a n a n , desentralisasi dalam arti pembagian kewenangan pengelolaan hutan juga dilakukan. Hal yang menarik, desentralisasi pengelolaan hutan hanya dilakukan pada kawasan hutan negara di luar Pulau Jawa. Sedang di pulau Jawa sendiri, desentralisasi tidak dilakukan lantaran hutan telah dikelola oleh sebuah perusahaan BUMN bernama Perum Perhutani melalui PP 72/2010. Di sisi lain, gejolak penyuaraan desentralisasi kian hari kian marak, salah satunya di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Hutan Lindung di Malang menyimpan potensi wisata yang tinggi yang menurut Pemda Malang tidak dikelola dengan baik oleh Perum Perhutani, serta tidak memberikan kontribusi secara ekonomi terhadap warga sekitar maupun terhadap pendapatan asli daerah Malang. Selain faktor gejolak di lapangan, polemik peraturan perundang-undangan juga menarik. Pada satu sisi, Perhutani diberikan wewenang untuk mengelola hutan produksi dan lindung di Jawa, namun pada sisi lain, dengan semangat UU 32/2004 tentang Desentralisasi dan PP 38/2007 pembagian kewenangan pengelolaan hutan yang menyebutkan bahwa Hutan Lindung pengelolaannya diserahkan kepada pemerintah daerah. Menarik untuk melihat, sebenarnya seberapa kemungkinan Hutan Lindung di Malang, atau di wilayah lain di Jawa dapat dikelola oleh Pemerintah Daerah.

| Policy Paper ARuPA - September 2014

Page 2

2. Seputar Kemitraan Pengelolaan Hutan di Malang Jika kemitraan hanya dimaknai sebagai pelibatan masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan, maka hal tersebut telah dilakukan tidak hanya oleh Perum Perhutani tetapi jauh sebelum itu yaitu era di mana pengelolaan hutan dilakukan oleh Boschwezen (institusi pengelola hutan di Jawa jaman kolonial Belanda). Jauh melampaui itu, bentuk pelibatan masyarakat sekitar hutan dalam pengelolaan hutan semestinya memperhatikan masyarakat mana yang dilibatkan, sejauh mana keterlibatanannya, dalam hal apa, dan bagaimana melibatkan. Kritik tersebut disampaikan salah satunya oleh Peluso (1992) yang melakukan riset di hutan Jawa pada tahun 1980an, persis sekitar 10 tahun berjalanya perhutanan sosial Perum Perhutani yang dimulai tahun 1972. Pada tahun 2001, berawal dari kondisi rusaknya hutan Jawa serta desakan dari berbagai kalangan, maka Perum Perhutani mengeluarkan kebijakan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) yang dilaksanakan di seluruh wilayah kerjanya. Di Kabupaten Malang, kebijakan ini mendapat keberatan dari Pemerintah Kabupaten Malang karena kurang melibatkan pemerintah daerah dan dinilai kurang demokratis dan berkeadilan bagi masyarakat. Pada tahun 2004 setelah melalui perdebatan panjang diperoleh kesepakatan untuk melaksanakan Pola Kemitraan Pengelolaan Hutan (PKPH) di Kabupaten Malang dengan harapan masyarakat dapat lebih berperan dalam kebijakan tersebut. Kebijakan PKPH di Kabupaten Malang telah disepakati untuk menggunakan paradigma pengelolaan hutan berbasis masyarakat dan kebijakannya diarahkan untuk lebih demokratis dan berkeadilan (Kusdamayanti 2008: 112). Jika pada konsep PHBM, | Policy Paper ARuPA - September 2014

Page 3

masyarakat harus membentuk kelembagaan bernama Lembaga Masyarakat Desa Hutan atau LMDH, maka dalam PKPH masyarakat harus membentuk Lembaga Kemitraan Desa Pengelola Hutan atau LKDPH (Khususiyah 2013: 527-8). Salah satu hal mengapa Pemerintah Kabupaten Malang mendorong model kemitraan yang berbeda dengan konsep PHBM adalah karena Pemkab Malang merasa bahwa dengan adanya otonomi daerah, Pemerintah Daerah seharusnya lebih dilibatkan dan berperan dalam pengelolaan hutan yang ada di wilayahnya. Malang sebenarnya tidak sendiri. Di kabupaten yang lain misalnya di Wonosobo Jawa Tengah, pada tahuntahun tersebut, Pemkab Wonosobo juga tidak sepakat dengan konsep PHBM. Mereka mengajukan model pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang dinamakan Pengelolaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat (PSDHBM) dan bahkan sempat di legislasikan melalui Perda, namun sayang dibatalkan oleh Kemendagri waktu itu (Adi 2005). Tabel 1. Perbedaan Kebijakan PHBM dan PKPH No

PHBM

1 Top down 2 Seragam untuk seluruh Jawa Dasar kebijakan kuat, kebijakan 3 penjelas sudah lengkap 4

Bersama, antara masyarakat hutan dan Perhutani

5 Proporsi masyarakat 25%

PKPH Bottom Up , mencoba untuk demokratis Spesifik Kabupaten Malang Dasar kebijakan belum kuat, kebijakan penjelas belum lengkap Kemitraan antara Perhutani, Masyarakat hutan dan pemerintah desa. Proporsi masyarakat 20%

Sumber: (Kusdamayanti 2008: 121) | Policy Paper ARuPA - September 2014

Page 4

Selain sebagai contoh dalam upaya desentralisasi pengelolaan hutan, konsep PKPH di Malang ini juga tidak nihil dari kritik. Kritik yang paling jelas yaitu masih dominannya peran pemerintah dalam menentukan kebijakan PKPH ini. Selain itu, kalau dilihat dari proporsi bagi hasil untuk masyarakat justru malah turun dari 25% menjadi 20% karena 5% dialokasikan kepada pemerintah Daerah/Desa. M u n c u l nya Pe ra t u ra n M e n t e r i Ke h u t a n a n (Permenhut) P.39/2013 tentang Pemberdayaan Masyarakat melalui Kemitraan Kehutanan, membawa angin segar untuk setidaknya memberikan legitimasi kebijakan untuk meninjau kembali kemitraan kehutanan yang dilakukan oleh Perhutani dengan masyarakat desa hutan yang saat ini berlangsung dengan PHBM di seluruh Jawa dan beberapa istilah khususnya misalnya PKPH di Malang. Perbaikan-perbaikan dilakukan baik dalam praktek kemitraan pengelolaan hutan maupun perjanjian kerjasama antara Perhutani lokal dengan LKDPH di masing-masing desa di Malang. Telah dilakukan MoU antara Pemerintah Kabupaten Malang dalam hal ini Dinas Kehutan Malang dengan Perum Perhutani KPH Malang. Pada level Perhutani Divisi Regional Jawa Timur (dulu bernama Unit II Jawa Timur), Permenhut ini disambut baik. Perhutani Jawa Timur bermaksud membuat demplot implementasi Permenhut ini di 24 LMDH pada setiap KPH di Jawa Timur, serta masing-masing satu lokasi pada ke lima Satuan Perencanaan Hutan (SPH) di Jawa Timur. Salah satu lokasi implementasi unggulannya berada di KPH Lawu DS.

| Policy Paper ARuPA - September 2014

Page 5

3. Hutan Lindung di Malang, Konstelasi Kenyataan dan Peraturan Secara keseluruhan, Perhutani mengelola 2,4 juta hektar kawasan hutan negara di Jawa yang terdiri dari 1,7 hektar hutan produksi dan 700 ribu hektar Hutan Lindung. Luas kawasan hutan negara di Kabupaten Malang, di luar hutan konservasi, terdiri dari Hutan Lindung seluas 39.737 Ha dan hutan produksi seluas 45.485 Ha. Hutan Lindung dan Produksi di Malang dikelola oleh Perum Perhutani. Pemanfaatan Hutan Lindung di Malang, sesuai dengan fungsinya hanya bisa dimanfaatkan untuk hasil hutan bukan kayu. Pengertian dan definisi Hutan Lindung menurut Undang-Undang No 41 tahun 1999 Pasal 1 ayat 8 mendefinisikan Hutan Lindung sebagai kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Setidaknya sejak 5 tahun terakhir, di berbagai media, sering muncul “perang” media yang dilakukan antara pemerintah kabupaten Malang dalam hal ini Bupati Malang dengan Perum Perhutani baik KPH Malang maupun Divre Jawa Timur. “Perang” media tersebut terutama menyoal rusaknya atau gundulnya hutan Perhutani yang ada di Malang yang mengakibatkan bencana banjir dan tanah longsor. Pemkab Malang mengeluhkan ketidakbisaan Perhutani dalam menjaga hutan yang berakibat pada bencana alam, di mana Pemkab Malang harus mengatasi dampak dari bencana tersebut. Terutama Hutan Lindung di Malang berada pada kondisi yang rusak parah. Sebagai hutan yang mengemban fungsi pokok untuk perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, | Policy Paper ARuPA - September 2014

Page 6

mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah, Hutan Lindung harus dikelola secara serius. Acapkali, Pemkab Malang tidak hanya menyinggung soal rusaknya Hutan Lindung, namun soal pengelolaan wisata di Hutan Lindung yang tidak melibatkan masyarakat sekitar serta tidak memberikan kontribusi pendapatan asli daerah Malang. Sejak tahun 1999 dan terus menguat setidaknya hingga tahun 2007, tuntutan atas desentralisasi baik dalam urusan politik maupun ekonomi dalam hal ini ekonomi sumberdaya alam terus meningkat. Salah satunya yaitu kebijakan dalam hal pembagian kewenangan pengelolaan hutan telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 38 tahun 2007. PP tersebut beserta lampiranya merupakan turunan dari kebijakan di atasnya yaitu UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Dalam PP tersebut, pada lampiran c poin 38, disebutkan perihal Pemanfaatan kawasan hutan pada Hutan Lindung. Di dalamnya disebutkan bahwa Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten berwenang mengeluarkan izin pemanfaatan kawasan hutan, pemungutan hasil hutan bukan kayu, ... kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani. Hal demikian sepertinya merupakan konsekuensi dari adanya PP pendirian Perum Perhutani No 72 tahun 2010 yang memperbarui PP 30 tahun 2003. Dalam PP 72 tahun 2010 pasal 3 (1) disebutkan bahwa Perhutani diberikan tugas untuk mengelola hutan negara di Jawa kecuali hutan konservasi, berdasarkan prinsip pengelolaan hutan lestari dan prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Dalam UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 6, disebutkan bahwa kawasan hutan (hutan negara) menurut fungsinya dibagi menjadi 3 yaitu hutan produksi, Hutan Lindung, dan hutan konservasi. Artinya, Perhutani diberikan tugas untuk | Policy Paper ARuPA - September 2014

Page 7

mengelola hutan produksi dan lindung di Jawa. Pada dasarnya, melihat kondisi Hutan Lindung di Malang yang rusak, serta tidak memberikan manfaat ekonomi untuk masyarakat sekitar dan Pemkab Malang dan tidak mampu menjaga masyarakat dari ancaman bencana banjir dan tanah longsor, maka perlu diperhatikan peluang Pemerintah Daerah dalam hal ini Pemerintah Kabupaten untuk diberikan wewenang untuk mengelola Hutan Lindung di wilayahnya sebagaimana pemerintah kabupaten lain di luar Jawa. 4. Rekomendasi Berdasarkan hasil temuan tersebut di atas, kami merekomendasikan kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah agar dapat mengelola Hutan Lindung di wilayahnya dengan merevisi Peraturan Pemerintah No 38/2007 tentang pembagian kewenangan pengelolaan hutan dengan meniadakan kata “kecuali pada kawasan hutan negara pada wilayah kerja PERUM Perhutani.

| Policy Paper ARuPA - September 2014

Page 8

Referensi Pustaka Adi, N. Juni (2005), Hutan Wonosobo: Keberpihakan yang Tersendat. Yogyakarta: BP ARuPA. Ekawati, Sulistya dkk (2011), Proses Pembuatan Kebijakan Pembagian Kewenangan antar Tingkat Pemerintahan dalam Pengelolaan Hutan Lindung dan Implementasinya di Tingkat Kabupaten. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 8 No. 2, Agustus 2011 : 132 - 151. Khususiyah, Noviana (2013), Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) di DAS Konto Malang: Pembelajaran Keberhasilan dan Kegagalan Program. Prosiding Seminar Nasional Agroforestri 2013, hal. 525-30 Kusdamayanti (2008), Peran Masyarakat dalam Penyusunan Kebijakan Pola Kemitraan Pengelolaan Hutan di Kabupaten Malang. JURNAL Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol. 5 No. 2 Juni 2008, hal. 111 – 124. Peluso, Nancy Lee (1992), Rich Forest, Poor People: Resource Control and Resistance in Java. Berkeley: University of California Press. Suprapto, Edi & Agus Budi Purwanto (2013), Hutan Jawa: Kontestasi dan Kolaborasi. Yogyakarta: BP ARuPA

| Policy Paper ARuPA - September 2014

Page 9

ARuPA Karanganyar 201 RT 10 RW 29 Sinduadi Mlati Sleman Yogyakarta T/F : 0274 551571 E: [email protected] www.arupa.or.id | f : lembaga arupa | t : @lembagaarupa