KEPEMIMPINAN DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN PARTISIPATIF DALAM ORGANISASI PENDIDIKAN-SEKOLAH (Oleh: Lastiko Runtuwene, S.Ag, M.Pd)
PENDAHULUAN Dalam perkembangan teori kepemimpinan, banyak ahli mengemukakan tentang gaya-gaya dan teknik-teknik kepemimpinan. Pada umumnya gaya dan teknik kepemimpinan berhubungan erat dengan pengambilan keputusan. Yukl (1998:132) mengemukakan bahwa banyak dari aktifitas para pemimpin seperti administrator dan manajer menyangkut pengambilan dan pelaksanaan keputusan termasuk merencanakan pekerjaan, memecahkan masalah-masalah teknis, memilih para bawahan, menentukan kenaikan upah, membuat penugasan kerja dan sebagainya. Dapat dikatakan pengambilan keputusan menyangkut hampir semua fungsi manajemen. Organisasi adalah sekumpulan orang yang bekerja bersama untuk mencapai tujuan. Jadi dalam suatu organisasi mengandaikan adanya pribadi-pribadi yang disebut anggota organisasi. Keikutsertaan seluruh anggota organisasi dalam penentuan kebijakan dan pengambilan keputusan suatu organisasi sangatlah penting. Dalam kaitannya dengan kepuasan kerja karyawan, Fielder (1967) mengemukakan bahwa kebanyakan studi organisasi menyimpulkan bahwa para karyawan dalam suatu organisasi lebih puas di bawah pimpinan yang partisipatif daripada pemimpin yang non-partisipatif (Reksohadiprodjo dan Handoko, 2001: 291). Kepemimpinan dan pengambilan keputusan partisipatif sudah menjadi perhatian dalam penelitian-penelitian empirik. Yukl (1998: 135) menjelaskan bahwa sejak studi-studi yang dilakukan oleh Lewin, Lippit, dan White (1939) dan Coch dan French (1948), para ilmuwan bidang sosial telah berminat untuk mempelajari konsekuensi dari kepemimpinan partisipatif. Setelah penelitian perilaku yang berorientasi pada tugas dan penelitian yang berorientasi pada perilaku dan dukungan, jumlah penelitian mengenai perilaku terbesar adalah mengenai kepemimpinan partisipatif. Penelitian tersebut telah menggunakan pelbagai macam metode, termasuk eksperimen di laboratorium, eksperimen lapangan, studi lapangan yang saling berhubungan, serta studi-studi kasus yang kualitatif yang menyangkut wawancara dengan para pemimpin yang efektif dan para bawahan mereka. Kebanyakan studistudi tersebut menyangkut partisipasi para bawahan, serta kriteria efektivitas pemimpin biasanya adalah kepuasan dan kinerja para bawahan. Likert (1976) dalam studi tentang pola dan gaya kepemimpinan dan manajer selama tiga dasawarsa berkesimpulan bahwa kepemimpinan partisipatiflah yang paling efektif dalam organisasi dan manajemen. Likert memandang manajer yang efektif adalah manajer yang berorientasi pada bawahan yang bergantung pada komunikasi untuk tetap menjaga agar semua orang bekerja sebagai suatu unit. Semua anggota kelompok, termasuk manajer atau pemimpin, menerapkan hubungan suportif di mana mereka saling berbagi kebutuhan, nilai-nilai aspirasi, tujuan, dan harapan bersama. Pendekatan ini sebagai cara yang paling efektif dalam memimpin kelompok (Kootz, O ‘Donnell & Weihrich, 1990:152). Gibson, Ivancevioch & Donnely (1990:135) juga mengemukakan bahwa banyak ahli riset dan manajer yang percaya bahwa sebagian besar anggota organisasi ingin memperoleh kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan dan 1
pengambilan keputusan. Mereka yakin bahwa semakin besarnya partisipsi dalam proses tersebut akan meningkatkan keikatan kepada organisasi, kepuasan kerja, pertumbuhan dan perkembangan pribadi serta sikap menerima perubahan. Perkembangan dewasa ini memandang bahwa pendidikan dan lembaga sekolah sebagai suatu sistem organisasi yang membutuhkan manajemen yang andal. Aspek penting dalam organisasi dan manajemen pendidikan adalah soal kepemimpinan pendidikan. Dari aspek perilaku organisasi pendidikan, pengambilan keputusan partisipatif menjadi suatu model yang dapat meningkatkan kualitas penyelenggaraan proses pendidikan di sekolah. Keterlibatan dan partisipasi segenap komponen sekolah menjadi unsur yang menentukan kinerja dan keberhasilan penyelenggaraan sekolah sebagai lembaga pendidikan. 1. Konsep Umum Kepemimpinan 1.1. Pengertian Kepemimpinan Koontz, O’Donnel & Weihrich (1990:147) mendefinisikan kepemimpinan sebagai pengaruh, seni atau proses mempengaruhi orang-orang sehingga mereka akan berusaha mencapai tujuan kelompok dengan kemauan dan antusias. Kartono (2005:187) mendefinisikan kepemimpinan sebagai satu bentuk dominasi yang didasari oleh kapabilitas/kemampuan pribadi, yaitu mampu mendorong dan mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu guna mencapai tujuan bersama. Sedangkan Stoner, Freeman dan Gilbert (1996) sebagaimana dikemukakan oleh Kambey (2003, 125) mendefinisikan kepemimpinan manajerial sebagai proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan tugas dari anggota kelompok. Rost (1993) dalam Safira (2004:3) mendefinisikan kepemimpinan sebagai sebuah hubungan yang saling mempengaruhi di antara pemimpin dan pengikut atau bawahan yang menginginkan perubahan nyata yang mencerminkan tujuan bersamanya. Sedangkan Robbins (2003: 432) mendefinisikan kepemimpinan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kelompok menuju pencapaian sasaran. Selanjutnya Gibson, Ivancevich dan Donnely (1991:334) mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu upaya penggunaan jenis pengaruh bukan paksaan untuk memotivasi orangorang mencapai tujuan tertentu. 1.2. Teori-teori tentang Kepemimpinan Teori-teori tentang kepemimpinan dapat dikelompokkan dalam tiga pendekatan, yakni : pendekatan sifat, pendekatan perilaku, dan pendekatan situasional (Lunenburg & Ornstein,1991:129-153, Handoko, 2001:295; Gomes-Mejia & Balkin, 2002: 290-312 2002, Wirjana & Supardo, 2005:13). Pendekatan sifat memusatkan perhatian pada para pemimpin itu sendiri atau dikenal dengan teori pembawaan. Teori ini mengatakan bahwa pemimpin memiliki ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang menyebabkan mereka dapat memimpin para pengikutnya. Ghiseli (1971) seperti yang dikutip oleh Handoko (2001:297) mengemukakan sifat-sifat itu antara lain: (1) kemampuan sebagai sebagai pengawas, (2) kebutuhan akan prestasi dalam pekerjaan, (3) kecerdasan, (4) ketegasan, (5) kepercayaan diri, (6) inisiatif. Sedangkan Davis mengikhtisarkan 4 (empat) ciri/sifat utama yang mempunyai pengaruh terhadap kesuksesan kepemimpinan organisasi, yaitu : (1) kecerdasan, (2) kedewasaan dan keluasan hubungan sosial, (3) motivasi diri dan dorongan berprestasi, dan (4) sikap-sikap hubungan manusiawi. Pendekatan kedua adalah pendekatan perilaku. Dalam kenyataannya 2
pendekatan kesifatan tidak dapat menjelaskan apa yang menyebabkan kepemimpinan efektif. Pendekatan perilaku tidak lagi berdasarkan pada sifat seorang pemimpin, akan tetapi mencoba untuk menentukan apa yang dilakukan oleh pemimpin efektif, seperti bagaimana mereka mendelegasikan tugas, bagaimana mereka berkomunikasi dan memotivasi bawahan, bagaimana mereka menjalankan tugas-tugas dan sebagainya. Aspek perilaku kepemimpinan menekankan fungsi-fungsi yang dilakukan pemimpin dalam kelompoknya. Agar kelompok berjalan efektif, seseorang harus melaksanakan dua fungsi utama, yaitu (1) fungsi-fungsi yang berhubungan dengan tugas (task-related) atau pemecahan masalah, dan (2) fungsi-fungsi pemeliharaan kelompok (Group-maintenance) atau sosial. Fungsi pertama menyangkut pemberian saran penyelesaian, informasi, dan pendapat. Fungsi kedua mencakup segala sesuatu yang dapat membantu kelompok berjalan lebih lancar – persetujuan dengan kelompok lain, penengahan perbedaan pendapat dan sebagainya. Pandangan kedua tentang perilaku kepemimpinan adalah memusatkan pada gaya pemimpin dalam hubungannya dengan bawahan. Ada dua orientasi gaya kepemimpinan yakni (1) gaya orientasi tugas (task oriented) dan gaya orientasi karyawan (employe-oriented). Seorang pemimpin yang gaya kepemimpinannya berorientasi pada tugas akan berusaha bawahannya melaksanakan tugas yang sesuai dengan keinginannya. Jadi pelaksanaan pekerjaan lebih penting dari pengembangan dan pertumbuhan karyawan. Sedangkan pemimpin yang berorientasi pada karyawan lebih melihat karyawan secara manusiawi, sehingga mereka akan selalu memberikan motivasi, melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan, menciptakan persahabatan dan saling menghormati. Pendekatan yang ketiga tentang kepemimpinan adalah pendekatan situasional. Banyak penelitian mengindikasikan bahwa tidak ada satupun gaya kepemimpinan yang tepat bagi setiap manajer di bawah seluruh kondisi. Pengkajian tentang kepemimpinan selanjutnya dialihkan pada situasi dan keyakinan bahwa para pemimpin dalam kepemimpinannya terutama pada aktifitas pengambilan keputusan dipengaruhi oleh situasi dan kondisi tertentu. Pendekatan situasional menekankan bahwa gaya yang digunakan adalah bergantung pada faktor-faktor seperti situasi, karyawan, tugas, organisasi dan variabel-variabel lingkungan lainnya. Misalnya menurut Stogdill et.al, (1956) sebagaimana dikemukakan oleh Koontz, O’Donnel & Wehirich (1990:158-259) mengatakan bahwa faktor-faktor situasi yang mempengaruhi seorang pemimpin adalah pekerjaan yang sedang ditangani, lingkungan organisasi, dan karakteristik orang yang mereka hadapi. Sedangkan Fiedler (1974) mengemukakan ada tiga dimensi utama dalam situasi kepemimpinan yang mempengaruhi gaya pemimpin yang efektif yakni (1) kekuasaan posisi, (2) struktut tugas dan (3) hubungan pemimpin-anggota. Reksohadiprodjo & Handoko (2001:289) mencatat bahwa penemuan Fiedler menunjukkan bahwa dalam situasi yang sangat menguntungkan atau sangat tidak menguntungkan, tipe pemimpin yang beorientasi pada tugas atau pekerjaan adalah sangat efektif. Akan tetapi bila situasi yang menguntungkan atau tidak menguntungkan hanya tipe pemimpin hubungan manusiawi akan sangat efektif. Teori lain tentang kepemimpinan situasional adalah Teori Hersey-Blanchard. Menurut Siagian (2003:139) pada intinya teori ini menekankan bahwa efektivitas kepemimpinan seseorang tergantung pada dua hal, yaitu pemilihan gaya kepemimpinan yang tepat untuk menghadapi situasi tertentu dan tingkat kematangan (kedewasaan) pada bawahan yang dipimpin. Dua dimensi kepemimpinan yang digunakan dalam teori ini ialah perilaku seorang pimpinan yang berkaitan dengan tugas kepemimpinannya dan hubungan atas-bawahan. Tergantung pada orientasi 3
tugas kepemimpinan dan sifat hubungan atasan dan bawahan yang digunakan, gaya kepemimpinan yang timbul dapat mengambil empat bentuk, yaitu : memberitahukan, menjual, mengajak bawahan berperan serta dan pendelegasian. 2. Kepemimpinan Partisipatif Kalau dicermati kepemimpinan partisipatif muncul dari beberapa teori kepemimpinan maupun dari berbagai studi dan penelitian tentang kepemimpinan. Di antaranya adalah teori Path-Goal (jalan-tujuan). Teori ini menganalisa pengaruh (dampak) kepemimpinan (terutama perilaku pemimpin) terhadap motivasi bawahan, kepuasan, dan pelaksanaan kerja. Teori path-goal memasukkan empat tipe atau gaya pokok perilaku pemimpin (Lunenburg & Ornstein, 1991: 143-144; Reksohadiprojo dan Handoko, 2001:289-290), yaitu kepemimpinan direktif, kepemimpinan suportif, kepemimpinan partisipatif, dan kepemimpinan orientasi-prestasi. Menurut teori ini kepemimpinan partisipatif adalah pemimpin meminta dan menggunakan saran-saran bawahan, tetapi masih membuat keputusan. Kebanyakan studi dalam organisasi menyimpulkan bahwa dalam tugas-tugas yang tidak rutin karyawan lebih puas di bawah pimpinan yang partisipatif daripada pemimpin yang non partisipatif. Kepemimpinan partisipatif menyangkut usaha-usaha oleh seorang manajer untuk mendorong dan memudahkan partisipasi orang lain dalam pengambilan keputusan yang jika tidak akan dibuat tersendiri oleh manajer tersebut (Yukl, 1998: 132). Kepemimpinan ini mencakup aspek-aspek kekuasaan seperti bersama-sama menanggung kekuasaan, pemberian kekuasaan dan proses-proses mempengaruhi yang timbal-balik. Sedangkan yang menyangkut aspek-aspek perilaku kepemimpinan seperti prosedur-prosedur spesifik yang digunakan untuk berkonsultasi dengan orang lain untuk memperoleh gagasan dan saran-saran, serta perilaku spesifik yang digunakan untuk proses pengambilan keputusan dan pendelegasian kekuasaan. 3. Pengambilan Keputusan 3.1. Pengertian Pengambilan Keputusan Stoner (2003:205) memandang pengambilan keputusan sebagai proses pemilihan suatu arah tindakan sebagai cara untuk memecahkan sebuah masalah tertentu. Siagian (1993:24) mengartikan pengambilan keputusan sebagai usaha sadar untuk menentukan satu alternatif dari berbagai alternatif untuk memecahkan masalah. Salusu (1996:47) mendefinisikan pengambilan keputusan sebagai proses memilih suatu alternatif cara bertindak dengan metode yang efisien sesuai situasi untuk menemukan dan menyelesaikan masalah organisasi. Handoko (2001:129) melihat pengambilan keputusan sebagai proses di mana serangkaian kegiatan dipilih sebagai penyelesaian suatu masalah tertentu. Dari beberapa pengertian tentang pengambilan keputusan yang dikemukakan oleh para ahli dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan merupakan proses pemilihan satu alternatif dari beberapa alternatif untuk pemecahan masalah. 3.2.
Dasar-dasar Pengambilan Keputusan
Menurut George Terry (dalam Hasan, 2002:12-13) dasar-dasar pengambilan keputusan adalah : a) Intuisi. Keputusan berdasarkan perasaan subjektif dari pengambil keputusan. Sehingga sangat dipengaruhi oleh sugesti dan faktor kejiwaan. 4
b) Rasional. Pengambilan keputusan bersifat objektif, logis, transparan dan konsisten karena berhubungan dengan tingkat pengetahuan seseorang. c) Fakta. Pengambilan keputusan yang didasarkan pada kenyataan objektif yang terjadi sehingga keputusan yang dimabil dapat lebih sehat, solid dan baik. d) Wewenang. Pengambilan keputusan ini didasarkan pada wewenang dari manajer yang memiliki kedudukan lebih tinggi dari bawahannya. e) Pengalaman. Pengambilan keputusan yang didasarkan pada pengalaman seorang manajer. 3.3.
Proses Pengambilan Keputusan
Simon (1957) mengemukakan proses pengambilan keputusan pada dasarnya terdiri atas tiga langkah (Reksohadiprodjo & Handoko, 2001:144-145; Hasan, 2002:24), yaitu : (1) Kegiatan Intelejen, menyangkut pencarian berbagai kondisi lingkungan yang diperlukan bagi keputusan; (2) Kegiatan desain, merupakan pembuatan, pengembangan dan penganalisaan berbagai rangkaian kegiatan yang mungkin dilakukan; (3) Kegiatan pemilihan, yakni memilih serangkain kegiatan tertentu dari alternatif-alternatif yang tersedia. Proses pengambilan keputusan secara rasional dan ilmiah pada dasarnya meliputi tahapan sebagai berikut (Handoko, 2001:134-138) : (1) pemahaman dan perumusan masalah, (2) pengumpulan dan analisa data yang relevan, (3) pengembangan alternatif-alternatif, (4) evaluasi alternatif-alternatif, (5) pemilihan alternatif terbaik, (6) implementasi keputusan, (7) evaluasi hasil-hasil keputusan. 3.4. Teknik Partisipasi Dalam Pengambilan Keputusan Ada beberapa teknik peran serta sebagai bentuk partisipasi dalam pengambilan keputusan yang dapat dilakukan oleh kepala sekolah bersama dengan guru dan staf sekolah. Menurut Lunenburg & Ornstein (1991:178-182) dan Salusu (1996:235-260), teknik partispasi antara lain, yaitu : Brainstorming, teknik delphi, kelompok mutu, konsep zone of acceptance. Brainstorming adalah teknik sumbang saran dari semua anggota organisasi. Teknik ini mengutamakan demokrasi dalam menyampaikan pendapat melalui persidangan yang relatif kecil. Teknik delphi dikembangkan oleh Dalkey dan Helmer (1963). Teknik ini menghindari tatap muka antara peserta dalam proses pengambilan keputusan. Selain itu juga mencegah adanya pembicara vokal yang sering menguasai waktu lebih banyak daripada pserta lainnya. Teknik ini biasanya dipakai pada manajemen puncak yang biasanya tidak mempunyai cukup waktu untuk bertemu satu dengan yang lain. Teknik ini menghindari perdebatan akan tetapi tetap ada komunikasi dan pertukaran gagasan dan informasi. Teknik kelompok mutu biasa dipakai pada sektor implementasi. Teknik ini biasanya merupakan suatu kelompok kecil yang terdiri atas pengawas dengan sejumlah karyawan yang bekerja di bagian tertentu. Kelompok mini adalah kelompok sukarela. Mereka bertemu secara reguler untuk membicarakan berbagai masalah dan pengambilan keputusan. Teknik zone of acceptance adalah teknik dimana terjadi suatu situasi seseorang dapat menerima suatu keputusan secara otomatis. Konsep ini mencoba menjawab pertanyaan :”Dalam kondisi apa bawahan harus diikutsertakan dalam pengambilan keputusan ?”. Jadi bisa saja bawahan tidak terlibat dalam proses pengambilan keputusan. 5
3.5. Jenis-jenis Pengambilan Keputusan Secara umum jenis pengambilan keputusan dapat dikategorikan dalam dua bentuk, yakni keputusan terprogram dan keputusan tidak terprogram (Siagian, 1987:25-26; Salusu, 1996:63). a) Keputusan terprogram Keputusan terprogram adalah tindakan menjatuhkan pilihan yang berlangsung berulang kali dan diambil secara rutin dalam organisasi. Keputusan terprogram biasanya menyangkut pemecahan masalah-masalah yang sifatnya teknis serta tidak memerlukan pengarahan dari tingkat manajemen yang lebih tinggi. b) Keputusan tidak terprogram Keputusan tidak terprogram muncul sebagai akibat dari suatu situasi di mana ada suatu kemendesakan untuk segera mengambil tindakan dan memecahkan masalah yang timbul. Biasanya keputusan ini bersifat repetitif, tidak terstruktur dan sukar mengenali bentuk, hakekat dan dampaknya. 4. Pengambilan Keputusan Dalam Kepemimpinan Partisipatif 4.1.
Karakteristik Pengambilan Keputusan dalam Kepemimpinan Partisipatif
Kebanyakan dari para teoretikus mengemukakan empat prosedur pengambilan keputusan, (Yukl, 1991:133; Handoko, 2001:145-146, Nurkolis, 2005:168-169) yakni: keputusan otokratik, konsultasi, keputusan bersama dan pendelegasian. Keempat prosedur pengambilan keputusan tersebut merupakan suatu kontinuum (lih. Gambar 2.1). a) Keputusan otokratik : Manajer membuat keputusan sendiri tanpa menanyakan opini atau saran dari orang lain, dan orang-orang tersebut tidak mempunyai pengaruh langsung terhadap keputusan tersebut, tidak ada partisipasi. b) Konsultasi. Manajer menanyakan opini dan gagasan, kemudian mengambil keputusannya sendiri setelah mempertimbangkan secara serius saran-saran dan perhatian mereka. Kepemimpinan ini memiliki tiga varietas: Pemimpin membuat keputusan tanpa konsultasi terlebih dahulu, namun kemudian bersedia memodifikasi karena adanya keberatan atau keprihatinan pengikutnya; Pemimpin memberi usulan sementara dan secara aktif mendorong orang untuk menyarankan cara-cara memperbaikinya; Pemimpin menggunakan sebuah masalah dan meminta orang lain untuk berpartisipasi dalam mendiagnosis dan mengembangkan bermacammacam pemecahan umum, namun kemudian membuat keputusan sendiri; c) Keputusan bersama. Manajer bertemu dengan orang lain untuk mendiskusikan masalah keputusan tersebut, dan mengambil keputusan bersama; manajer tidak mempunyai pengaruh lagi terhadap keputusan terakhir seperti peserta lainnya. d) Pendelegasian. Manajer memberi kepada seorang individu atau kelompok, kekuasaan serta tanggung-jawab untuk membuat keputusan; manajer tersebut biasanya memberi spesifikasi mengenai batas-batas dalam mana pilihan terakhir harus berada, dan persetujuan terlebih dahulu mungkin atau mungkin tidak perlu diminta sebelum keputusan tersebut dilaksanakan.
6
Keputusan Aoutokratik
Konsultasi
Tanpa Pengaruh Yang lain
Keputusan Bersama
Delegasi
Pengaruh Besar dari yang lain
Gambar Kontinuum dari Prosedur-prosedur Pegambilan Keputusan (Yukl, 1998:133). Dari empat prosedur pengambilan keputusan di atas, yang pertama yakni tipe otokratik bukan menjadi karakteristik pengambilan keputusan partisipatif. Karena pengambilan keputusan berada pada kewenangan pemimpin tanpa memberikan peluang kepada anggota untuk berpartisipasi. Karakteristik kepemimpinan partisipatif adalah konsultasi, keputusan bersama dan pendelegasian. Tiga ciri ini memiliki intensitas yang berbeda. Kalau pada karakteristik konsultasi seorang pemimpin sudah memberikan peluang kepada bawahannya untuk memberikan masukan. Walaupun keputusan tetap berada pada dirinya. Intensistas pembuatan dan penetapan keputusan tetap masih berada pada pimpinan. Pada karakteristik keputusan bersama, baik pemimpin dan anggota memiliki intensitas yang sama. Keputusan yang dibuat berasal dari sejumlah pemikiran dan gagasan baik oleh pemimpin dan bawahan. Pengambilan keputusan tidak bisa dibuat tanpa keterlibatan yang penuh dari pimpinan dan anggota. Sedangkan pada pendelegasian peran dari pemimpin intensitasnya semakin rendah. Anggota organisasi memiliki kewenangan penuh untuk membuat dan menjalankan keputusan. 4.2. Kelebihan Pengambilan Keputusan Partisipatif Ada beberapa keuntungan potensial pengambilan keputusan partisipatif. Yukl, (1998: 134-135) mengemukakan bahwa secara umum keuntungan pengambilan keputusan partisipatif adalah meningkatkan kualitas sebuah keputusan bila peserta mempunyai informasi dan pengetahuan yang tidak dipunyai pemimpin tersebut dan bersedia bekerja-sama dalam mencari suatu pemecahan yang baik untuk suatu masalah keputusan. Di samping itu dapat meningkatkan komitmen dan rasa tanggung-jawab bersama pada sebuah keputusan. Secara khusus kelebihan kepemimpinan partisipatif meliputi : a) Konsultasi ke bawah : 1. Meningkatkan kualitas keputusan-keputusan dengan menarik pengetahuan dan keahlian para bawahan dalam pemecahan masalah. 2. Meningkatkan penerimaan bawahan terhadap keputusan-keputusan dengan memberikan mereka rasa turut memilikinya (sens of belonging). 3. Mengembangkan keterampilan dan pengetahuan dalam pengambilan keputusan para bawahan dengan memberikan kepada mereka pengalaman dalam membantu menganalisa masalah-masalah keputusan dan mengevaluasi pemecahan-pemecahannya. 4. Memudahkan pemecahan suatu konflik serta membangun tim. b) Konsultasi lateral: 1. Meningkatkan kualitas keputusan dengan saling membagi pengetahuan dan keterampilan di antara para manajer.
7
2.
Memudahkan koordinasi dan kerja-sama di antara para manajer dari pelbagai subunit organisasi dengan tugas-tugas yang saling tergantung sama lain. c) Konsultasi ke atas: 1. Menarik keahlian dari atasan yang mungkin lebih besar. 2. Mengetahui bagaimana atasan merasa mengenai suatu masalah tertentu dan bagaimana ia kemungkinannya akan bereaksi terhadap pelbagai usulan. d) Konsultasi dengan pihak luar : 1. Membantu memastikan bahwa keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka dipahami dan dimengerti. 2. Mengetahui kebutuhan-kebutuhan serta preferensi-preferensi mereka. 3. Memperkuat jaringan kerja eksternal. 4. Memperbaiki koordinasi. 5. Memecahkan masalah bersama yang berhubungan dengan pekerjaan. 4.3. Efektivitas Pengambilan Keputusan Partisipatif Menurut Vroom & Yetton (1973) dan Maeir & Verser (1982) efektivitas keseluruhan dari sebuah keputusan tergantung pada dua variabel intervensi yakni penerimaan keputusan dan kualitas keputusan (Yukl 1998:137-138, Ubben,Hughes dan Norris 2004:47). Berbagai penjelasan dan penelitian telah diajukan mengenai efektivitas kepemimpinan partisipatif dalam pembuatan dan penerimaan keputusan (Anthony, 1978; Maier, 1963; Michael, 1973; Strauss, 1963). Efektivitas partisipasi dalam pengambilan keputusan dan penerimaan keputusan antara lain: a) Orang-orang yang mempunyai pengaruh yang cukup besar dalam pengambilan keputusan cenderung untuk mengidentifikasikan dirinya dengan hal tersebut dan merasakannya sebagai keputusannya, yang akan lebih meningkatkan motivasi mereka untuk melaksanakan keputusan tersebut dengan berhasil. b) Partisipasi juga memberi suatu pengertian yang lebih baik mengenai sifat masalah keputusan dan alasan mengapa suatu alternatif tertentu diterima dan yang lainnya ditolak. Para peserta memperoleh pengertian yang lebih baik mengenai bagaimana mereka akan dipengaruhi oleh sebuah keputusan yang kemungkinan besar akan mengurangi rasa takut apa saja yang tidak beralasan dan ketegangan-ketegangan mengenai hal tersebut. c) Partisipasi juga memungkinkan orang memperoleh peluang untuk melindungi kepentingan mereka jika benar-benar terancam, dengan mengemukakan rasa prihatin mereka dan membantu untuk mencari suatu pemecahan yang menanggapi rasa keprihatinan tersebut. d) Sebuah keputusan yang telah dibuat oleh sebuah proses kelompok yang dianggap sah, memungkinkan para anggota menggunakan tekanan sosial terhadap anggota yang lain agar menjalankan keputusan itu dalam implementasinya. Sedangkan efek dari partisipasi terhadap kualitas keputusan (Yukl, 1998 : 138): Partisipasi akan menghasilkan keputusan yang lebih baik bila para bawahan mempunyai informasi yang relevan dan bersedia untuk bekerja-sama dengan pemimpin tersebut dalam membuat keputusan yang baik. b) Apabila di antara para bawahan terjadi perbedaan pandangan dan sulit diambil keputusan bersama, maka konsultasi memungkinkan menghasilkan keputusan yang memiliki kualitas lebih tinggi, karena pemimpin (manajer) akan mempertahankan kontrol terhadap pilihan terakhir. a)
8
4.4. Keterbatasan Pengambilan Keputusan Partisipatif Pengambilan keputusan partisipatif memiliki keterbatasan (Yukl, 1998:140), yakni : a) Bentuk partisipasi efektif pada situasi-situasi tertentu namun tidak pada situasi lainnya (Vrom & Jago, 1988). Karena partisipasi memakan waktu, kadang berteletele. Dalam keadaan darurat untuk berkonsultasi dan berdiskusi tidak efektif. Seorang pemimpin harus cepat dan tanggap dalam membuat keputusan dan mengambil kebijakan sesuai dengan situasi dan kebutuhan manajemen dan organisasi. b) Kecenderungan terjadinya partisipasi semu (pseudoparticipation), di mana manajer mencoba untuk melibatkan bawahan dalam tugas tetapi bukan dalam proses pengambilan keputusan. Kebanyakan para manajer mencoba berkonsultasi dengan bawahannya akan tetapi masukan dan gagasan dari para bawahan tidak diakomodir dalam pembuatan keputusan dan pengambilan kebijakan. 5. Pengambilan Keputusan Partisipatif dalam Lingkup Sekolah Berbicara mengenai implementasi pengambilan keputusan dalam kepemimpinan partisipatif pada lingkup sekolah terkait erat dengan perilaku kepala sekolah sebagai manajer pendidikan dan guru sebagai anggota organisasi pendidikan dalam pengambilan keputusan. Dalam konsep ini yang dibicarakan adalah peran serta kepala sekolah dan guru dalam pengambilan keputusan. French (1960) dalam Salusu (1996:233) menegaskan bahwa peran serta menunjukkan suatu proses antara dua atau lebih pihak yang mempengaruhi satu terhadap yang lainnya dalam membuat rencana, kebijaksanaan dan keputusan. Pentingnya peran serta dalam proses pengambilan keputusan diakui juga oleh Alutto dan Belasco (1972) yang mengatakan bahwa dengan adanya peran serta ada jaminan bahwa pemeran serta tetap mempunyai kontrol atas keputusan-keputusan yang diambil (Salusu, 1996:234). Berikut ini akan dibahas mengenai peran serta (partisipasi) kepala sekolah dan guru termasuk staf sekolah dalam pengambilan keputusan di sekolah. 5.1. Peran Kepala Sekolah dalam Pengambilan Keputusan Partisipatif Dilihat dari fungsi kepala sekolah sebagai manajer atau pemimpin sekolah, maka salah satu fungsi yang harus dilakukan adalah sebagai pengambil keputusan. Dalam kaitannya dengan fungsi tersebut, kepala sekolah memiliki pandangan tertentu dalam memberi kesempatan kepada guru untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.. Dasar teori yang dapat dikaji dalam pengambilan keputusan pendidikan dan partisipasi guru adalah teori kepemimpinan kontinuum yang dikembangkan oleh Tannenbaum dan Schmidt (Rawis, 2000:30). Dalam pandangan kedua ahli ini ada dua bidang pengaruh yang ekstrim. Pertama, bidang pengaruh pemimpin di mana pemimpin menggunakan otoritasnya dalam gaya kepemimpinannya. Kedua, bidang pengaruh kebebasan bawahan di mana pemimpin menunjukkan gaya yang demokratis. Kedua bidang pengaruh ini dipergunakan dalam hubungannnya dengan perilaku pemimpin melakukan aktivitas pengambilan keputusan. Menurut dua ahli tersebut ada enam model gaya pengambilan keputusan yang dapat dilakukan oleh pemimpin, yakni : 9
a)
Pemimpin membuat keputusan dan kemudian mengumumkan kepada bawahannya. Model ini terlihat bahwa otoritas yang dipergunakan atasan terlalu dominan, sedangkan daerah kebebasan bawahan sempit sekali. b) Pemimpin menjual keputusan. Pada gaya ini pemimpin masih dominan. Bawahan belum banyak dilibatkan. c) Pemimpin menyampaikan ide-ide dan mengundang pertanyaan. Dalam model ini pemimpin sudah menunjukkan kemajuan. Otoritas mulai berkurang dan bawahan diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan. Bawahan mulai dilibatkan dalam pengambilan keputusan. d) Pemimpin memberikan keputusan bersifat sementara yang kemungkinan dapat dirubah. Bawahan sudah mulai banyak terlibat dalam rangka pengambilan keputusan. Otoritas pelan-pelan mulai berkurang. e) Pemimpin memberikan persoalan, meminta saran-saran dan mengambil keputusan. Pada gaya ini otoritas yang dipergunakan sedikit. Sedangkan kebebasan bawahan dalam berpartisipasi mengambil keputusan sudah lebih banyak dipergunakan. Pemimpin merumuskan batas-batasnya dan meminta kelompok bawahan untuk mengambil keputusan. Partisipasi bawahan sudah lebih dominan. f) Pemimpin mengizinkan bawahan melakukan fungsi-fungsinya dalam batas-batas yang telah dirumuskan oleh pemimpin. Di samping teori kepemimpinan kontinuum dari Tannenbaum dan Schmidt di atas ada teori lain yang dapat dijadikan dasar bagi kepala sekolah sebagai pemimpin dalam hubungannya dengan bawahan adalah teori kepemimpinan situasional dari Hersey dan Blanchard (1982) yang dikenal dengan teori Life-cycle (siklus kehidupan). Teori ini pada intinya menekankan bahwa efektivitas kepemimpinan seseorang bergantung pada dua hal, yakni pemilihan gaya kepemimpinan dan tingkat kedewasaan para bawahan. Dalam menganalisis hubungan antara pemimpin dan bawahan didasarkan pada gaya kepemimpinan menurut teori Hersey-Blanchard seperti yang dikutip oleh Siagian (2003: 138-140). Teori Hersey-Blanchard mengemukakan empat gaya, yakni: a) Gaya memberitahukan (G 1). Perilaku pemimpin yang tinggi dalam pengarahan akan tetapi rendah dukungan dari bawahan. Pola yang muncul adalah instruksi. Pemimpin dalam pola ini masih dominan, sedangkan bawahan partisipasinya sangat minim. Pengambilan keputusan sepenuhnya berada pada pemimpin. b) Gaya ”menjual” (G 2). Perilaku pemimpin yang tinggi dalam pengarahan dan dukungan yang tinggi dari bawahan. Pola yang muncul adalah konsultasi. Dalam pola ini peranan pemimpin masih besar, tetapi sudah memberikan dan mendorong partisipasi dari bawahan. Akan tetapi pengambilan keputusan tetap masih berada pada pemimpin. c) Gaya mengajak bawahan berperan serta (G 3). Perilaku pemimpin yang tinggi dalam dukungan akan tetapi rendah dalam pengarahan. Pola yang muncul dalam pengambilan keputusan adalah partisipasi karena posisi kontrol atas pemecahan masalah dan pengambilan keputusan dipegang secara bergantian. Dalam pola ini pemimpin dan bawahan saling tukar menukar ide. Komunikasi dua arah dimungkinkan, peran pemimpin adalah aktif mendengar. Tanggung-jawab pemecahan masalah dan pengambilan keputusan sebagian besar berada pada pihak bawahan. d) Gaya pendelegasian (G 4). Perilaku pemimpin yang rendah dukungan dan rendah pengarahan. Pola yang muncul adalah delegasi. Pemecahan masalah diserahkan sepenuhnya kepada bawahan. Peran bawahan sangat dominan akan tetapi mereka kurang atau bahkan tidak mendapat pengarahan dari pemimpin. 10
Dalam analisis tentang pola kepemimpinan dapat didasarkan pula pada tingkat kematangan (kedewasaan) bawahan. Ada empat model kepemimpinan yang muncul berdasarkan pada kematangan bawahan (Siagian, 2003:142-143), yakni : a) Semakin tinggi tingkat kematangan yang telah dicapai oleh bawahan, pimpinan memberikan respons tidak saja dalam bentuk pengurangan pengawasan atas berbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh para bawahannya, akan tetapi juga mengurangi intensitas hubugannya dengan para bawahan tersebut. b) Pada tingkat kematangan yang masih rendah (M 1). Bawahan tidak berkemampuan dan tidak berkemauan, para bawahan memerlukan pengarahan yang jelas dan tegas serta spesifik sehingga tidak terdapat kekaburan dalam pelaksanaan tugas para bawahan yang bersangkutan. c) Pada tingkat kematangan bawahan yang tinggi (M 2). Bawahan berkemampuan tetapi tidak berkemauan. Yang diperlukan adalah perilaku pimpinan yang berorientasi tugas yang tinggi dan tingkat hubungan yang intensif antara atasan dengan bawahannya. d) Pada tingkat kematangan yang lebih tinggi lagi (M 3). Bawahan tidak berkemampuan tetapi berkemauan. Masalah-masalah psikologis dapat timbul dan hanya dapat dipecahkan dengan menggunakan gaya kepemimpinan yang bersifat mendukung tugas para bawahan dan dengan demikian berarti tidak terlalu banyak memberikan pengarahan. Yang dotonjolkan adalah gaya partisipatif. e) Pada tingkat kematangan yang sudah tinggi (M 4). Bawahan berkemampuan dan berkemauan. Seorang pimpinan tidak perlu lagi berbuat banyak karena para bawahannya seudah mampu dan rela memikul tanggung-jawab sehingga tugastugas yang dipercayakan kepada mereka sesuai dengan harapan pimpinan yang bersangkutan. 5.2. Peran Guru dalam Pengambilan Keputusan di Sekolah Sehubungan dengan peran guru dalam pengambilan keputusan di sekolah ada dua konsep yang perlu dikaji, yakni persepsi dan aspirasi (Rawis, 2000:35). Gibson, Ivancevich dan Donnelly (1996: 241) mengartikan persepsi sebagai proses dari seseorang dalam memahami lingkungannya yang melibatkan pengorganisasian dan penafsiran sebagai rangsangan dalam suatu pengalaman psikologis. Sedangkan Robbins (2003: 169) mendefinisikan persepsi sebagai proses yang digunakan individu dalam mengelola dan menafsirkan kesan indera mereka dalam rangka memberikan makna kepada lingkungan mereka. Dalam konteks teori ini peran serta para guru adalah bagaimana mereka mempersepsikan pandangan, penghayatan, perasaan mereka sebagai sesuatu yang bermakna dan dapat disumbangkan bagi kemajuan pembelajaran dan sekolah. Konsep kedua adalah aspirasi. Aspirasi dalam bahasa Inggris aspiration yang berarti cita-cita, keinginan (Nasution, 1990:14). Jadi aspirasi guru dan staf adalah keinginan-keinginan atau kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan oleh para guru dan staf sekolah untuk dipenuhi guna peningkatan kesejahteraan kerja dalam rangka mereka berpartisipasi dalam pengambilan keputusan di sekolah. Aspirasi guru dan staf sekolah pada umumnya ada yang tinggi dan ada yang rendah. Menurut Thurnburg (Prayitno, 1989, dalam Rawis, 2000:40 ) ada faktorfaktor yang menimbulkan tinggi-rendahnya tingkat aspirasi. Faktor yang menyebabkan aspirasi tinggi adalah : (1) pengalaman sukses, (2) tugas-tugas yang sukar menuntut kerja keras, (3) merasa terkontrol oleh diri sendiri, (4) tugas-tugas yang relevan dengan kebutuhan akademis maupun jabatan yang diharapkan, (5) infromasi yang berguna, (6) kelompok orang yang homogen, (7) tujuan yang realistik 11
untuk dicapai. Sedangkan faktor yang menyebabkan aspirasi rendah adalah : (1) pengalaman gagal, (2) tugas-tugas yang mudah sehingga dengan usaha yang sedikit dapat menyelesaikannya, (3) tergantung oleh kontrol orang lain, (4) tugas-tugas yang dirasakan relevan dengan kebutuhan akademik maupun jabatan yang diharapkan, (5) informasi dirasakan tidak berguna, (6) kelompok yang heterogen, (7) tujuan yang tidak realistik. Menurut Ubben, Hughes & Norris (2004:57) terdapat tiga tingkatan pengambilan keputusan dalam lingkup sekolah di mana para guru dapat berpartisipasi, yakni ; (1) pengambilan keputusan oleh guru sebagai individu, (2) pengambilan keputusan dibuat secara bersama antara kepala sekolah dan guru, (3) pengambilan keputusan secara bersama dari para guru, kepala sekolah, orang dan siswa. PENUTUP Pengambilan keputusan merupakan aktivitas yang sangat menentukan dalam suatu organisasi. Pengambilan keputusan merupakan esensi/inti dari kepemimpinan. Seorang pemimpin disebut pemimpin apabila dapat dan mampu mengambil keputusan. Dalam kepemimpinan dikenal gaya-gaya kepemimpinan. Salah satu di antaranya adalah kepemimpinan partisipatif. Kepemimpinan partisipatif mengandaikan adanya kondisi pemimpin memberikan ruang yang luas pada keterlibatan yang utuh dan mendalam dari seluruh pimpinan dan anggota organisasi untuk ikut serta dalam pengambilan keputusan. Demikian dalam sekolah sebagai organisasi pendidikan, kepemimpinan partisipatif menjadi model yang tepat dalam kemajuan sekolah yang akan memberi dampak pada peningkatan mutu pendidikan. Akan tetapi pilihan dan penerapan pengambilan keputusan partisipatif tergantung dari dua faktor yakni: (1) isi dan materi keputusan, (2) kematangan para guru dan staf. Gaya partisipasi lebih cocok dipergunakan untuk keputusan secara formal dan terprogram. Pada tingkat kematangan guru yang sudah tinggi penerapan pengambilan keputusan partisipatif akan sangat bermanfaat untuk kemajuan sekolah. Apabila tingkat kemantangan para guru sudah tinggi maka teknik-teknik pengambilan keputusan partisipatif yang dapat digunakan, yakni brainstorming, teknik kelompok nominal, kelompok mutu dan teknik delphi. Manfaat yang dapat diperoleh dengan penerapan pengambilan keputusan partisipatif, yakni keputusan akan diterima dan memiliki kualitas yang tinggi apabila keputusan tersebut dibuat atau diambil secara partisipatif. Para guru akan menerima suatu keputusan apabila mereka dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Keputusan dilihat sebagai keputusan yang berkualitas apabila keputusan tersebut diputuskan secara bersama melalui proses pertukaran informasi dan pendapat dalam suatu forum diskusi atau rapat serta keputusan tersebut dilaksanakan.
12
DAFTAR PUSTAKA Bolman, Lee G dan Terence E, Deal, 1997, Reframing Organization: Artistry, Choice and Leadership, San Fransisco: Jossey-Bass. Gibson, Ivancevich, Donnelly, 1990, Organisasi, Perilaku, Struktur dan Proses, Jilid, 1, University of Kentucky dan University of Houston (Editor: Djarkasih) Jakarta: Erlangga. _________________________, 1991, Organisasi,Perilaku, Struktur dan Proses, Jilid 2. edisi kelima, University Of Kentucky dan University of Houston (penerjemah: Savitri Soekrisno & Agus Dharma) Jakarta: Erlangga. Gomez-Meija L., & Balkin D.B., 2002, Management, New York USA: McGraw Hill. Hasan, I., 2002, Pokok-pokok Materi Teori Pengambilan Keputusan, Jakarta: Ghalia Indonesia. Handoko, H., 2001, Manajemen edisi 2, Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Madah, Yogyakarta: BPFE. Hersey, P., dan Blanchard, 1977, Management or Organizational Behavior: Utilizing Human Resources, New Jersey: Prentice Hall. Kambey, C. D., 2003, Landasan Teori Administrasi/Manajamen, Sebuah Intisari, Manado: Yayasan Tri Ganesha Nusantara. Kartini, K., 2005, Pemimpin dan Kepemimpinan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Lunenburg, F.C., & Ornstein, A.C., 2000, Educational Administration Concepts and Practice, Third Edition, Belmont, CA: Wadsworth Thomson Learning. Koontz, H., O’Donnell & Weihrich, H., 1990, Manajemen, Jilid 1 , edisi kedelapan,1 Judul asli: Management Eighth Edition, 1984, Inggris: Mc Graw-Hill, Inc. (Editor: Alfonsus Sirat), Jakarta: Erlangga. _________________________________, 1990, Manajemen, Jilid 2,edisi kedelapan, Judul asli: Management Second Edition, 1984, Inggris: Mc Graw-Hill, Inc. (Editor penerjemah : Hutauruk G), Jakarta: Erlangga. Nasution, S., 1990, Kamus Umum Lengkap Inggris-Indonesia, Indonesia-Inggris, Jakarta: Mutiara Sumber Widya. Nurkolis, 2003, Manajemen Berbasis Sekolah, Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Nurtain, 1989, Supervisi Pengajaran (teori dan Praktek), Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti. Rawis, J.A.M., 2000, Partisipasi Guru Dalam Pengambilan Keputusan di Sekolah Menengah Berprestasi (Studi Kasus pada Sekolah Menengah Umum Negeri I Manado), Tesis, Malang: Universitas Negeri Malang. _____________, 2004, Fasilitator Kepala Sekolah Dalam Pengimplementasian Program Manajemen Berbasis Sekolah, Malang: Sentra Media. Reksohadiprodjo, S., dan Handoko, H., Organisasi Perusahan, Teori, Struktur dan Perilaku, edisi 2, Fakultas Ekonomi UGM Yogyakarta: BPFE. Robbins, S.P., 2003, Perilaku Organisasi, judul asli Organizational Behavior, Tenth Edition, (alih bahasa : Benyamin Molan), Jakarta: PT Indeks-Gramedia. Safaria, T., 2004, Kepemimpinan, Yogyakarta: Graha Ilmu. Salusu, J., 1996, Pengambilan Keputusan Stratejik, Untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit, Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Siagian, S.P., 1993, Teori dan Praktek Pengambilan Keputusan, Jakarta: CV Haji Masagung. __________, 2003, Teori dan Praktek Kepemimpinan, Jakarta: PT Rineka Cipta. __________, 2005, Fungsi-fungsi Manajerial, Jakarta: Bumi Aksara. Stoner, J.A.F., 1982, Manajemen, Jilid 2, edisi kedua, Jakarta: Erlangga. 13
Stoner, J.A.F, & Winkel C., 2003, Perencanaan dan Pengambilan Keputusan dalam Manajemen, (alih bahasa: Simamora Sahat), Jakarta: PT Rineka Cipta. Terry, G., dan Leslie R., 2005, Dasas-dasar Manajemen (terjemahan oleh G.A. Ticoalu), Jakarta: Bumi Aksara. Ubben, G., Hughes L.W., & Norris C.J., 2004, The Principal Creative Leadership for Excellence in Schools, Boston-USA: Pearson Education Inc. Usman, H., 2006, Manajemen : Teori, Praktik dan Riset Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara. Veithzal, R., 2004, Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Wexley, K.N., Yukl Garry A., 2003, Perilaku Organisasi dan Psikologi Personalia, (alih bahasa: Shobaruddin M), Jakarta: Rineka Cipta. Yukl, G., 1998, Kepemimpinan dalam Organisasi, judul asli: Leadership in Organizations 3e & 5e, State University of New York at Albany, (alih bahasa oleh Jusuf Udaya) Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta: Prehallindo.
14
15