KETAHANAN HIDUP BAKTERI PATOGEN DALAM YOGHURT DAN KEFIR SELAMA

Download Lebih dari itu yogurt mengandung bakteri yang menguntungkan bagi kesehatan ..... Fang et al. (1996) melakukan kajian terhadap pengaruh anta...

0 downloads 448 Views 635KB Size
TINJAUAN PUSTAKA Susu Fermentasi Sejak tahun 1960-an produksi industri susu fermentasi telah meningkat pesat di seluruh dunia. Beberapa faktor yang mendukung kesuksesan produksi yogurt adalah kesan alami, karakteristik organoleptik, kandungan nutrisi dan sifat terapeutik yang dimilikinya. Kavas et al.

(2003) menyatakan bahwa yogurt

memiliki komposisi yang lebih kaya daripada susu disebabkan oleh kondisi produksi dan zat-zat yang terkandung dengan kombinasinya yang ada didalam yogurt dibandingkan dalam susu sebagai akibat dari proses fermentasi. Dengan proses fermentasi itu kandungan nutrisinya meningkat dan lebih mudah dicerna. Lebih dari itu yogurt mengandung bakteri yang menguntungkan bagi kesehatan konsumennya. Secara umum, jenis susu fermentasi dibedakan berdasarkan metode fermentasi atau prosesnya, yang terkait dengan mikroba yang terlibat didalamnya. Tiap jenis susu fermentasi melibatkan mikroba spesifik, namun demikian terdapat kesamaan yang kuat dalam teknologi produksi yang digunakannya. Fermentasi susu secara umum melibatkan metabolisme laktosa, disakarida dalam susu menjadi asam laktat, oleh bakteri asam laktat terutama Lactococci dan Lactobacilli. Dalam memproduksi susu fermentasi yang baik perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: susu segar bermutu tinggi, rendah kandungan cemaran bakterinya, dipasteurisasi dengan tepat, menggunakan kultur bibit (starter) yang aktif dan tepat, pendinginan yang cepat dan sanitasi yang baik. Seleksi kultur starter dan kondisi fermentasi memegang peranan penting dalam proses susu fermentasi (Surono, 2004). Dalam standar CODEX No. 243 (CODEX, 2003) susu fermentasi didefinisikan sebagai produk susu yang dihasilkan dengan cara memfermentasi susu (susu yang digunakan dimungkinkan berasal dari bahan-bahan asal susu dengan atau tanpa modifikasi komposisi) oleh aktivitas mikroorganisme yang cocok dan menghasilkan penurunan pH dengan atau tanpa koagulasi (presipitasi isoelektrik). Starter (bibit) mikroorganisme yang digunakan harus hidup, aktif

6

dan ada dalam jumlah yang cukup banyak didalam produk sampai tanggal akhir masa simpannya. Selanjutnya menurut Kurmann et al. (1992), untuk susu segar yang diolah dengan teknik fermentasi (fermented) atau pemberian kultur mikroba (cultured) maka syarat-syarat berikut harus dipenuhi agar dapat disebut susu fermentasi: (1) penggunaan mikroorganisme yang terpilih, non patogenik dan non toksigenik; (2) derajat keasaman minimum yang harus dipenuhi adalah 0,6% total asam yang dinyatakan dalam asam laktat diakhir proses fermentasi (setara dengan nilai pH sekitar 4,6 – 4,7); (3) jumlah sel yang hidup (viable cell count) yang terkandung dalam produk susu fermentasi setelah proses fermentasi selesai setidaknya harus mengandung 108-109 koloni/ml produk. Mikroba yang hidup tersebut harus merupakan spesies mikroba yang digunakan sebagai kultur starter dan disebutkan dalam label kemasan. Pada saat produk dikonsumsi jumlah sel hidup yang terkandung setidaknya harus berjumlah 107 koloni/ml. Aplikasi Bakteri Asam Laktat dalam Susu Fermentasi Bakteri asam laktat (BAL) terdiri atas beberapa genus bakteri dalam phylum Firmicutes. Genus Carnobacterium, Enterococcus, Lactobacillus, Lactococcus,

Lactosphaera,

Leuconostoc,

Melissococcus,

Oenococcus,

Pediococcus, Streptococcus, Tetragenococcus, Vagococcus dan Weissella dikenal sebagai BAL. Bakteri Gram positif penghasil asam laktat yang termasuk phylum Actinobacteria

adalah

genus

seperti

Aerococcus,

Microbacterium,

dan

Propionibacterium termasuk Bifidobacterium. Anggota BAL berbagi karakteristik sebagai bakteri Gram positif yang memfermentasi karbohidrat menjadi energi dan asam laktat.

Sebagai tambahan, BAL juga memproduksi senyawa-senyawa

organik kecil yang dapat memberikan aroma dan flavor dari produk fermentasi (Beasley, 2004). Kini berbagai spesies bakteri asam laktat diaplikasikan dalam produk susu fermentasi (Tabel 1) dan spesies bakteri asam laktat bersama bifidobakteria merupakan mikroorganisme yang paling banyak dikembangkan sebagai kultur probiotik terutama yang berupa bahan pangan.

7

Tabel 1. Beberapa Bakteri Asam Laktat yang Sering Digunakan dalam Produk Susu Fermentasi Bakteri Lactobacillus thermofil homofermentatif L. delbruekii ssp. bulgaricus L. delbruekii ssp. lactis L. delbruekii ssp. delbruekii L. acidophilus L. helveticus L. helveticus ssp. juguri L. fermentum Lactobacillus mesofil heterofermentatif L. casei ssp. casei L. casei ssp. pseudoplantarum L. casei ssp. rhamnosus L. casei ssp. tolerans L. plantarum L. brevis, L. kevir Streptococcus (Lactococcus) mesofil Str. Lactis. ssp. lactis Str. Lactis biofar diacetylactis Streptococcus (Lactococcus)thermofil Str. thermophilus Leuconostoc Leu. mesenteroides ssp. mesenteroides Leu. mesenteroides ssp. dextranicum Leu. mesenteroides ssp. cremoris Leu. citrororum

Produk

Manfaat

Yogurt, keju Swiss dan Menghasilkan Italia, mentega susu asetaldehida Potensi kesehatan Susu acidophilus, minuman yogurt, mirumiru, kefir, koumis Kefir, minuman yogurt Yogurt

Yakult, minuman yogurt, miru-miru, kefir

Potensi kesehatan

Potensi kesehatan

Kefir

Susu fermentasi Skandinavia, mentega dank rim fermentasi, kefir Mentega fermentasi, krim fermentasi, kefir

Menghasilkan nisin dan diplococcin diasetil

Yogurt Kefir Kefir Keju cottage dan krim, mentega fermentasi Mentega fermentasi

Sumber: Hosono (1992); Kanbe (1992); Salminen dan von-Wright (1998); Ouwehand (2002); Surono (2004)

8

Produk-produk Susu Fermentasi Diantara sekitar 400 nama produk susu fermentasi di dunia, baik yang diproduksi secara tradisional maupun industri, yogurt merupakan produk yang paling populer. Konsumen akan mudah sekali mendapatkan yogurt dalam berbagai cita rasa, dan produk inilah yang saat ini di Indonesia paling banyak diproduksi baik oleh industri skala menengah/besar maupun industri skala kecil atau rumah tangga. Salahsatu produk susu fermentasi lain yang tengah meningkat peminatnya adalah kefir. Berbeda dengan yogurt, nama kefir sebagai salahsatu produk susu fermentasi lebih banyak dikenal oleh segmen tertentu dari konsumen, terutama peminat produk-produk makanan fungsional alami. Menurut standar CODEX No. 243 (CODEX, 2003), yogurt didefinisikan sebagai produk susu fermentasi yang merupakan hasil kultur simbiotik antara Streptococcus thermophilus dan Lactobacillus delbrueckii subsp. bulgaricus. Standar yang sama mendefinisikan kefir sebagai produk susu fermentasi yang menggunakan kultur starter berupa ”biji kefir” (kefir grains). Biji kefir ini mengandung Lactobacillus kefiri, spesies dari genus Leuconostoc, Lactococcus dan Acetobacter yang tumbuh dengan hubungan yang spesifik dan kuat. Biji kefir juga mengandung khamir yang dapat memfermentasi laktosa (Kluyveromyces marxianus) maupun yang tidak dapat memfermentasi laktosa (Saccharomyces unisporus, Saccharomyces cerevisiae dan Saccharomyces exiguus).

a. Yogurt Yogurt adalah koagulum susu yang dihasilkan oleh fermentasi asam laktat yang merupakan aktivitas dari Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus yang juga disebut starter yogurt dengan perbandingan 1:1 (Orihara et al., 1992; Jay et al., 2005). Bakteri kokus tumbuh lebih cepat daripada bakteri yang berbentuk batang (rod) sekaligus merupakan produsen asam tertinggi, sedangkan bakteri yang berbentuk batang menghasilkan flavor dan aroma. Pertumbuhan asosiasi dari dua organisme tersebut menghasilkan produksi asam laktat yang lebih banyak dibandingkan jika diproduksi oleh masing-masing organisme secara tunggal. Selain itu asetaldehid lebih banyak diproduksi oleh

9

Lactobacillus bulgaricus tatkala tumbuh berasosiasi dengan Streptococcus thermophilus (Jay et al., 2005). Surono (2004) juga menyatakan bahwa yogurt mempunyai rasa asam yang sedang dengan konsistensi lembut dari gel kental dengan citarasa almon. Bakteri yogurt Lactobacillus delbrueckii subsp. bulgaricus (Lb) dan Streptococcus thermophilus (St) secara alami terdapat dalam susu atau sengaja ditambahkan sebagai kultur starter sebanyak 2 - 5% dengan perbandingan 1:1. Suhu fermentasi optimum adalah 42-450C selama 3 – 6 jam hingga dicapai pH 4,4 dengan kadar asam tertitrasi mencapai 0,9 – 1,2%. Citarasa yang enak adalah hasil kerjasama protokooperasi antara kedua bakteri yogurt yang dipengaruhi oleh suhu inkubasi dan asam yang dihasilkan. Senyawa-senyawa volatil dalam jumlah kecil termasuk asam asetat, diasetil dan asetaldehida dihasilkan oleh Lb. Yogurt dan produk yang serupa banyak diproduksi di daerah Mediterania, Asia, Afrika dan Eropa Tengah. Jay et al. (2005) melaporkan bahwa yogurt yang baru diproduksi mengandung sekitar 109 organisme/g, akan tetapi selama penyimpanan, jumlah tersebut akan menurun menjadi sekitar 106/g, khususnya ketika disimpan pada suhu 5oC selama 60 hari. Adapun kemampuan starter yogurt ini dalam mengkolonisasi usus masih menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan, saat ini terdapat konsensus diantara para ilmuwan bahwa kultur yogurt (Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus) tidak dapat menempel pada permukaan mukosa usus walaupun kadang-kadang terjadi hasil studi yang berbeda dikarenakan oleh berbedanya variasi galur (strain) starter yang digunakan, perbedaan dalam desain eksperimen, atau hasil dari studi pada hewan diterapkan secara salah kepada manusia (Tamime dan Robinson, 1999). Yoghurt Probiotik. Pada tahun 1989, R. Fuller mempopulerkan istilah probiotik, dia mendefinisikan probiotik sebagai suplemen pangan berupa mikroba hidup yang dapat memberikan manfaat bagi kesehatan inangnya melalui perbaikan keseimbangan mikroba pada saluran pencernaan. Mikroba dari berbagai genus banyak digunakan sebagai probiotik, namun grup bakteri asam laktat (BAL) (lactobacilli, enterococci dan bifidobacteria) merupakan yang paling banyak digunakan (Ouwehand et al., 2002).

10

Dunne et al. (1999) dan Ouwehand et al. (2002) menyatakan bahwa bakteri tergolong probiotik jika memiliki karakteristik sebagai berikut: resisten terhadap enzim-enzim pankreas, asam dan garam empedu; bersifat non patogen; mampu bertahan di saluran pencernaan sekalipun hanya dalam periode yang singkat; memproduksi substansi antimikroba; memodulasi respon imun; memiliki pengaruh terhadap aktivitas metabolisme; mampu menempel pada dinding mukosa usus; diisolasi dari manusia; efek kesehatannya telah terbukti melalui penelitian-penelitian ilmiah; aman dan mempunyai karakteristik industri yang baik. Penggunaan BAL yang mempunyai sifat probiotik, baik dari genus lactobacilli ataupun bifidobacteria, sebagai starter pembuatan yoghurt menjadikan yoghurt tersebut dikenal sebagai “yoghurt probiotik”. Yoghurt yang mengandung bakteri probiotik ini diyakini memiliki efek fisiologis yang lebih bermanfaat bagi status kesehatan konsumennya (Salminen et al., 2005). b. Kefir Kefir adalah minuman susu fermentasi yang kental, sedikit berkarbonasi dan mengandung alkohol dalam jumlah yang kecil, produk ini diyakini berasal dari pegunungan Kaukasia di wilayah bekas Uni Soviet.

Produk ini juga

diproduksi dengan berbagai variasi nama seperti kephir, kiaphur, kefer, knapon, kepi dan kippi. Sampai saat ini belum dapat dipastikan apakah semua kefir berasal dari kultur starter yang sama pada awalnya, hal ini disebabkan oleh berbedanya hasil analisis mikroba terhadap kefir yang diambil dari berbagai tempat (Farnworth, 2005). Produk susu fermentasi ini diproduksi dengan menggunakan starter yang sering disebut sebagai ”biji kefir” (kefir grain) yang mengandung antara lain L. lactis, L. bulgaricus dan khamir/ragi yang dapat memfermentasi laktosa. Produksi asam dikontrol oleh bakteri, sedangkan khamir memproduksi alkohol. Konsentrasi akhir dari asam laktat dan alkohol diperkirakan maksimum 1% (Jay et al., 2005). Rasa, kekentalan (viscosity) dan komposisi mikrobial serta kimia dari produk akhir kefir dapat dipengaruhi oleh ukuran inokulum yang ditambahkan kedalam susu, terjadinya agitasi selama proses fermentasi, laju, suhu dan lama

11

pendinginan dan pematangan setelah fermentasi. Kefir alami memiliki cita rasa khamir dan menyegarkan serta terdapat kondisi yang segar tatkala dirasakan di mulut.

Prosedur pembuatan kefir modern menghasilkan level etanol dalam

produk akhir sekitar 0.01–0.1%, jumlah etanol dan CO2 yang dihasilkan selama fermentasi kefir tergantung kepada kondisi produksi yang digunakan (Farnworth, 2005). Farnworth (2005) juga menyatakan bahwa “biji kefir” berbentuk seperti sekumpulan kembang kol kecil, ukurannya panjangnya sekitar 1-3 cm, berbentuk bulat-bulat (lobus) tidak beraturan dengan warna putih atau putih kekuningan dan memiliki tekstur yang berlendir tapi kenyal. Biji kefir ini harus dipelihara agar tetap hidup dan tumbuh dengan cara mentransfernya kedalam susu segar setiap hari dan membiarkan mereka tumbuh sekitar 20 jam, selama waktu tersebut massa biji kefir akan berkembang 25% lebih banyak.

Gambar 1. Biji Kefir (Farnworth, 2005)

Gambar 2. Elektron Mikrograf dari Biji Kefir (Farnworth, 2005)

12

Proses Fermentasi Secara biokimia, fermentasi adalah sebuah proses metabolis dengannya karbohidrat dan senyawa lainnya yang berkaitan dioksidasi secara parsial dengan melepaskan energi tanpa keberadaan akseptor elektron eksternal.

Akseptor

elektron final adalah senyawa-senyawa organik yang diproduksi secara langsung dari pemecahan karbohidrat (Jay et al., 2005). Di alam terdapat banyak mikroorganisme yang dapat memetabolisme berbagai jenis karbohidrat. Bakteri asam laktat (BAL) telah digunakan oleh manusia untuk memfermentasi produk-produk pangan dan pakan sejak lama pada masa-masa awal peradaban manusia. Sampai saat ini aplikasi utamanya masih dalam industri pakan dan pangan misalnya dalam produksi produk olahan susu, daging dan anggur (wine). BAL memfermentasi gula melalui jalur yang berbeda sehingga menghasilkan fermentasi homo-, hetero-, atau campuran (Gambar 3) (Hofvendahl dan Haegerdal, 2000). Selanjutnya Hofvendahl dan Haegerdal (2000), menjelaskan bahwa homofermentasi hanya menghasilkan asam laktat (AL) sebagai produk akhir metabolisme glukosa dalam proses ini digunakan jalur Embden–Meyerhoff– Parnas (Gambar 3A). Dalam proses heterofermentasi AL, karbondioksida dan etanol diproduksi dalam jumlah molar yang seimbang melalui jalur fosfoketolase. Rasio etanol dan asetat yang terbentuk tergantung dari potensi oksidasi dan reduksi dari sistem yang ada, jalur ini digunakan oleh heterofermentor fakultatif Lb. casei (Gambar 3B).

13

Gambar 3. Jalur Katabolis dalam BAL (A) Homofermentasi, (B) Heterofermentasi dan (C) Fermentasi campuran (asam) [mixed acid]. P = phosphate, BP = bisphosphate, LDH = lactate dehydrogenase, PFL = pyruvate formate lyase, dan PDH = pyruvate dehydrogenase (Hofvendahl dan Haegerdal, 2000). Sedangkan fermentasi asam campuran dibentuk oleh homofermentor seperti laktokokus pada saat ketersediaan glukosa kurang/sedikit, dan pada saat pertumbuhan dalam gula-gula lain mis. Lc. lactis pada maltosa, laktosa dan galaktosa atau pada saat peningkatan pH dan penurunan suhu. Etanol, asam asetat dan format dibentuk sebagai tambahan terhadap AL. Jalur yang digunakan adalah homofermentatif, namun perbedaannya adalah dalam metabolisme piruvat, dalam hal ini selain menghasilkan AL, juga dibentuk asam format dan acetyl-CoA oleh pyruvate formate lyase (PFL) (Gambar 3C). Jika terdapat oksigen, PFL menjadi inaktif dan sebagai alternative jalur metabolisme piruvat menjadi aktif melalui pyruvate dehydrogenase (PDH), yang menghasilkan produksi karbondioksida, acetyl-CoA dan NADH.

BAL juga mampu membentuk produk-produk lain

seperti flavor mis. diacetyl dan acetoin juga bakteriosin (Hofvendahl dam Haegerdal, 2000).

14

Masih menurut Hofvendahl dan Haegerdal (2000), efisiensi fermentasi asam laktat ini dipengaruhi oleh: mikroorganisme yang digunakan, sumber karbon, sumber nitrogen, teknik/modus fermentasi, imobilisasi dan resirkulasi sel, pH dan suhu. Sementara itu Yang (2000) menyatakan fermentasi oleh BAL ditandai dengan terakumulasinya asam-asam organik yang diikuti dengan penurunan pH.

Tingkat dan tipe dari asam-asam organik selama proses

fermentasi tergantung kepada spesies organisme, komposisi kultur dan kondisi pertumbuhan. Sifat Antagonistik Bakteri Asam Laktat dan Metabolitnya Pengaruh antimikrobial dari bakteri asam laktat telah digunakan oleh manusia

selama

lebih

dari

10.000

tahun,

dengannya

manusia

dapat

memperpanjang masa simpan bahan pangan melalui proses fermentasi. Pendekatan inovatif telah dilakukan sebagai alternatif terhadap antibiotik dalam mengobati penyakit gastrointestinal dan ini termasuk agen bioterapeutik hidup seperti isolat bakteri. Bakteri asam laktat mengeluarkan aktivitas antagonistik yang kuat terhadap berbagai mikroorganisme termasuk bakteri pembusuk dan patogen pada makanan (Savadogo et al., 2004). Dalam berbagai lingkungan ekologi tertentu, mikroorganisme bersaing satu sama lain untuk bertahan hidup dan melalui proses evolusi akhirnya membentuk flora yang unik. Dalam ekosistem beberapa jenis bahan pangan, bakteri asam laktat (BAL) menjadi mikroflora yang dominan. Organisme ini mampu memproduksi senyawa antimikroba yang melawan flora kompetitornya, termasuk bakteri pembusuk dan patogen dalam bahan pangan. Dibawah kondisi lingkungan yang kurang cocok, banyak spesies BAL juga memproduksi eksopolisakarida (EPS) yang melindungi mereka dari desikasi, bakteriphage dan serangan protozoa (Yang, 2000). Yang (2000) juga menjelaskan bahwa pengaruh antimikroba dari asamasam organik terletak pada penurunan pH juga bentuk molekulnya yang tidak terdisosiasi. pH eksternal yang rendah akan menyebabkan pengasaman (acidification) pada sitoplasma sel, sementara asam yang tidak terdisosiasi menjadi lipofilik sehingga dapat berdifusi secara pasif melewati membran sel.

15

Asam yang tidak terdisosiasi ini bekerja dengan cara mengganggu gradien elektrokimia proton atau dengan mengubah permeabilitas membran sel yang menghasilkan rusaknya sistem tranport seluler. Selanjutnya Neugebauer dan Gilliland (2005) menyatakan bahwa Kemampuan BAL untuk mengawetkan makanan dan mencegah pertumbuhan organisme yang tidak diinginkan telah dikaji selama bertahun-tahun. Banyak BAL yang memiliki kemampuan untuk memproduksi zat-zat yang menjadi penghambat pertumbuhan bakteri lain (termasuk organisme patogen dan pembusuk) pada suhu rendah. Faktor terpenting dari organisme ini dalam sistem pangan adalah kemampuannya memproduksi zat-zat penghambat pada suhu refrigerasi saat organisme tersebut tidak sedang tumbuh. Diantara asam-asam organik, asam laktat dikenal sebagai biopreservatif dalam produk-produk fermentasi alami. sebagian

besar,

walaupun

tidak

secara

Aktivitas antibakteri asam laktat keseluruhan,

diakibatkan

oleh

kemampuannya dalam kondisi tidak terdisosiasi untuk melakukan penetrasi terhadap membran sitoplasma yang menghasilkan penurunan pH intraselular dan perusakan dari gaya transmembran proton (Alakomi et al., 2000). Kemudian Alakomi et al.

(2000) juga menyatakan bahwa AL yang

diproduksi oleh kultur starter BAL dapat berfungsi sebagai antimikroba alami yang statusnya secara umum telah dikenal aman (GRAS = generally recognized as safe).

Asam laktat mampu menghambat pertumbuhan berbagai tipe bakteri

pembusuk dan patogen termasuk spesies Gram negatif dalam famili Enterobacteriaceae dan Pseudomonadaceae atau yang termasuk kedalam kelompok bakteri Gram positif seperti L. monocytogenes, Mycobacterium spp, S. aureus, C. perfringens, B. cereus (Cotter dan Hill, 2003). Asam laktat (AL) (CH3CHOHCOO-) adalah senyawa kimia yang banyak manfaatnya, antara lain untuk: a) agen pembentuk asam, flavor dan pengawet bagi makanan, obat-obatan, kulit dan industri kulit; b) produksi basis kimia; c) polimerisasi terhadap poli AL yang bersifat biodegradable. AL memiliki dua isomer optic, D dan L asam laktat, kedua bentuk isomer tersebut dapat dipolimerisasi dan polimer dengan berbagai karakteristik dapat diproduksi tergantung komposisinya.

Sekitar 90% dari 80.000 ton asam laktat yang

16

diproduksi di seluruh dunia setiap tahun saat ini diproduksi melalui fermentasi asam laktat dari bakteri, sisanya diproduksi secara sintetis oleh hidrolisis laktonitril.

Produksi secara fermentasi dari bakteri memiliki keunggulan

tersendiri yaitu dengan dimungkinkannya untuk memilih strain/galur bakteri asam laktat (BAL) yang hanya memproduksi satu isomer, dan secara optik produk tersebut murni, sementara produksi secara sintetis selalu menghasilkan asam laktat campuran (Hofvendahl dan Haegerdal, 2000). Asam laktat merupakan metabolit utama fermentasi bakteri asam laktat dengan kondisi ekuilibrium antara bentuk terdisosiasi dengan tidak terdisosiasi, dan keberadaan bentuk terdisosiasi tergantung kepada pH. Dalam kondisi pH rendah, sejumlah besar asam laktat ada dalam bentuk tidak terdisosiasi, dalam kondisi ini maka asam laktat bersifat toksik terhadap berbagai jenis bakteri, fungi dan khamir. Walaupun demikian, mikroorganisme yang berbeda bervariasi dalam sensitivitasnya terhadap asam laktat.

Pada pH 5.0, asam laktat menjadi

pengambat (inhibitor) terhadap bakteri pembentuk spora akan tetapi tidak terhadap khamir dan kapang. Asam asetat dan propionat diproduksi oleh BAL melalui jalur heterofermentatif, dapat berinteraksi dengan membran sel dan menyebabkan pengasaman intraseluler serta denaturasi protein. Asam-asam ini lebih efektif sifat antimikrobanya dibandingkan dengan asam laktat karena mereka memiliki nilai pKa yang lebih tinggi (asam laktat 3,08; asam asetat 4,75; dan asam propionate 4,87) juga memiliki persentase asam dalam bentuk tidak terdisosiasi yang lebih tinggi dalam pH yang sama. Asam asetat juga melakukan aksi yang sinergis dengan asam laktat; asam laktat menurunkan pH medium, pada saat yang sama meningkatkan toksisitas asam asetat (Yang, 2000). Prevalensi Bakteri Patogen dalam Susu Survey terhadap prevalensi bakteri patogen dalam susu telah banyak dilakukan, hasil dari setiap studi menghasilkan angka yang bervariasi. Berbagai faktor diperkirakan memberikan kontribusi terhadap bervariasinya hasil survey yang telah dilakukan seperti: lokasi geografis, musim, ukuran peternakan, jumlah ternak di peternakan, higiene, praktik manajemen peternakan, variasi dalam pengambilan sampel, variasi dalam tipe sampel yang dievaluasi dan perbedaan

17

metode deteksi yang digunakan. Namun demikian, terlepas dari variasi yang ada, semua hasil survey menunjukkan dengan jelas bahwa susu dapat menjadi sumber patogen asal makanan yang nyata terhadap kepentingan kesehatan manusia (Oliver et al., 2005). Chye et al. (2004) telah melakukan survey terhadap kualitas dan keamanan mikrobiologis susu di Malaysia. Sampel susu dari 360 peternakan sapi perah di seluruh Malaysia dianalisis total bakterinya, Staphylococcus aureus, coliform, Escherichia coli, Listeria monocytogenes, E. coli 015:H7 dan Salmonella. Rataan angka total bakteri termasuk bakteri psikrotrop dan termofil masing-masing adalah 12 x 106, 7,5 x 103 dan 9,1 x 103 cfu/ml. Dari total 930 sampel susu yang dianalisis 90% terkontaminasi oleh bakteri coliform dan 65% positif E. coli, S. aureus dapat diisolasi dari lebih 60% sampel, sementara Salmonella dan L. monocytogenes hanya dapat dideteksi pada masing-masing 1,4% dan 1.9%. Kemudian Hempen (2006) telah melakukan investigasi mikrobiologis terhadap susu mentah dan susu fermentasi di Gambia. Investigasi ini dilakukan dari tingkat peternak, pedagang antara dan pedagang eceran. Sebanyak masingmasing 236 dan 142 sampel susu mentah dan fermentasi dianalisis kandungan total bakterinya, koliform, E. coli, coagulase-positive Staphylococci, Salmonella spp., Bacillus cereus, Listeria spp. dan Clostridia pereduksi H2S. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa 64% sampel susu mentah dan 55% sampel susu fermentasi mengandung total bakteri lebih dari 5x104 cfu/ml dengan kandungan tertingi 2x106 cfu/ml. Kandungan E. coli diatas 1x104 cfu/ml ditemukan pada 22,6% sampel susu mentah dan 23.7% sampel susu fermentasi. Kemudian

25%

sampel

susu

mentah

mengandung

coagulase-positive

3

Staphylococci lebih dari 2x10 cfu/ml. Listeria spp. and Salmonella spp. dapat diisolasi hanya pada beberapa sampel saja. Bakteri pembentuk spora seperti Bacillus cereus dapat diisolasi dari 17% sampel susu mentah dan 12,7% sampel susu fermentasi, sedangkan Clostridia pereduksi H2S dapat diisolasi dari 22,3% sampel susu mentah dan 14,4% sampel susu fermentasi. Survey terhadap prevalensi S. aureus dalam susu telah dilakukan oleh Jørgensen et al. (2005) di Norwegia, dari 220 sampel susu sapi dan 213 sampel susu kambing serta 82 sampel produk asal susu mentah, S. aureus dapat dideteksi

18

pada masing-masing sampel sejumlah 75%, 96,2% dan 37,8%.

Kemudian

Jayarao dan Henning (2001) melaporkan hasil surveynya terhadap susu kandang dari 131 peternakan di Dakota Selatan dan Minnesota Barat AS, hasilnya menunjukkan angka prevalensi bakteri

Campylobacter jejuni, shiga-toxin

producing Escherichia coli, Listeria monocytogenes, Salmonella spp., dan Yersinia enterocolitica dalam sampel susu masing-masing sebagai berikut 9,2; 3,8; 4,6; 6,1 dan 6,1%. Tiga puluh lima dari 131 (26,7%) sampel susu kandang mengandung satu atau lebih spesies bakteri patogen. Van Kessel et al. (2004) telah melakukan survey terhadap prevalensi Salmonella, Listeria monocytogenes, dan koliform fekal dari susu kandang yang berjumlah 861 sampel yang diambil dari berbagai peternakan di 21 negara bagian di Amerika Serikat. Hasilnya menunjukkan bahwa 95% sampel mengandung bakteri koliform fekal, rataan jumlah sel radang adalah 295.000 sel/mL, 2,6% sampel positif mengandung Salmonella dan 6.5% sampel positif mengandung Listeria monocytogenes. Keberadaan bakteri patogen dalam susu kandang (bulk milk) sepertinya berhubungan langsung dengan kontaminasi fekal yang terjadi terutama pada saat pemerahan, walaupun beberapa bakteri patogen yang dapat menyebabkan mastitis masuk ke dalam susu karena infeksi intramamari.

Masuknya susu yang

terkontaminasi patogen kedalam unit pengolahan susu dan kemampuannya dalam membentuk biofilm menjadi resiko penting kontaminasi pasca pasteurisasi yang dapat ditransmisikan kepada konsumen (Oliver et al., 2005). Gambaran siklus agen patogen dalam lingkungan peternakan sapi perah dan kemungkinan masuknya patogen tersebut kedalam susu disajikan dalam Gambar 4.

19

C

B

G

A

H

D

E

I

F

J

Gambar 4. Siklus Agen Patogen di Lingkungan Peternakan Sapi Perah dan Kemungkinan Transfer Patogen tersebut Kedalam Susu. (A) Amplifikasi Patogen dalam Sapi; (B) Penyebaran di Lingkungan Kandang via Feses; (C) Akumulasi Feses di Lingkungan Peternakan; (D) Penyebaran Manure di Pastura; (E) Hijauan Terkontaminasi Patogen; (F) Pakan Terkontaminasi Dikonsumsi Ternak; (G) Susu dapat Terkontaminasi Patogen Saat Pemerahan; (H) Patogen Masuk ke Tangki Penampung; (I) Susu Terkontaminasi Masuk ke Pasteurizer, Kegagalan Pasteurisasi Mungkin Terjadi; (J) Susu dan Produk Olahannya Dikonsumsi Konsumen, baik Berbahan Baku Susu Mentah ataupun Susu Pasteurisasi (Dimodifikasi dari Oliver et al., 2005).

Adapun kemungkinan masuknya dan bertahannya bakteri patogen dalam produk susu fermentasi digambarkan dalam Gambar 5 berikut ini.

20

Kontaminasi patogen dari sapi yang mengalami infeksi intramamari

Kontaminasi patogen dari peralatan, pekerja, feses, air

Susu sebagai bahan baku produk

Pasteurisasi atau proses pemanasan Kegagalan pasteurisasi Inokulasi kultur starter - Proses yang kurang aseptik, kontaminasi dari pekerja atau peralatan Fermentasi

- Rendahnya viabilitas, daya antagonisme, produksi asam organik dan/atau bakteriosin dari starter yang digunakan

Produk susu fermentasi

- Kontaminasi dari bahan tambahan makanan dan/atau air

Pengolahan lanjut, pengemasan

Konsumsi langsung

Gambar 5.

Penyimpanan

Beberapa Kemungkinan Jalan Masuk (Port of Entry) Bakteri Patogen Beserta Sumber Pencemarannya serta Kemungkinan Bertahannya Bakteri Tersebut dalam Produk Susu Fermentasi (Dikompilasi dari Massa et al. (1997); Yoshida et al. (1998); Hassan et al. (2000); Ruegg (2003); Oliver et al. (2005); Kyozaire et al. (2005))

21

Pemanfaatan Sifat Antagonisme Bakteri Asam Laktat dan Metabolitnya dalam Meningkatkan Masa Simpan dan Keamanan Mikrobiologis Bahan Pangan Neugebauer dan Gilliland (2005) mengkaji pertumbuhan bakteri pembusuk P. fluorescens yang sengaja diinokulasikan ke dalam keju. Dalam keju kontrol, bakteri pembusuk ini meningkat 5 log pada hari ke-7 pematangan keju, sementara pada keju yang diberi perlakuan L. delbrueckii ssp. lactis RM2-5 (1.0 × 109 cfu/g) tidak terdeteksi dan tidak dapat tumbuh setelah 21 hari. Sementara itu Djenane et al. (2005) mengkaji penambahan BAL yaitu Lactobacillus sakei CTC 372 dan Lactobacillus CTC 711), pada steak daging sapi yang disimpan dalam lingkungan yang mengandung CO2 tinggi, untuk melihat umur simpan dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan L. monocytogenes. Dengan jumlah awal 5,6 log cfu/mL, setelah 7 hari inkubasi pada suhu 3ºC, L. monocytogenes bertahan hidup pada rataan log 2,8 log cfu/mL pada produk tanpa galur yang protektif. Pada suhu 8ºC, jumlah L. monocytogenes menurun masing-masing sekitar 2,5 atau 1,5 log/mL saat ditambahkan Lb. sakei CTC 372 atau Lb. CTC 711. Mufandaedza et al. (2006) telah mengkaji daya tahan hidup dan pertumbuhan Escherichia coli 3339 dan Salmonella enteritidis 949575 yang diisolasi dari sampel klinik manusia didalam susu yang difermentasi oleh bakteri asam laktat (BAL) dan khamir yang sebelumnya telah diisolasi dari susu fermentasi alami Zimbabwe. Kultur BAL yang digunakan adalah Lactococcus lactis subsp. lactis biovar. diacetylactis C1 (C1) atau kombinasi dengan Candida kefyr 23 (C1/23), L. lactis subsp. lactis Lc261 (LC261) atau kombinasi dengan C. kefyr 23 (Lc261/23).

Pertumbuhan

patogen yang sama dalam susu yang

difermentasi oleh kultur DL komersial (CH-N 22) dan susu mentah yang difermentasi secara spontan juga dimonitor. Hasilnya menunjukkan bahwa kultur C1 dan C1/23 secara nyata (P<0.05) telah menghambat pertumbuhan kedua patogen. Ketika diinokulasikan di awal fermentasi baik perhitungan E. coli 3339 dan S. enteritidis 949575 telah menurun secara nyata (P<0.05) sekitar dua log pada C1 dan C1/23. Akan tetapi dalam susu yang difermentasi secara natural dan kultur DL, baik E. coli 3339 dan S. enteritidis 949575 tumbuh dan mencapai populasi tertinggi sampai mencapai masing-masing 9 dan 8.8 log cfu/ml setelah

22

18 jam. Saat E. coli 3339 diinokulasikan terhadap susu yang telah difermentasi, populasi bakteri patogen tersebut turun secara nyata pada susu yang menggunakan kultur C1 dan C1/23 dari 7 log cfu/ml menjadi 3 log cfu/ml setelah 48 jam, S. enteritidis 949575 tidak dapat diisolasi dari kultur ini setelah 48 jam. Masih banyak peneliti lainnya yang melakukan penelitian-penelitian serupa yang memanfaatkan sifat antagonisme BAL dan metabolitnya dalam rangka memperpanjang umur simpan atau meningkatkan keamanan mikrobiologis bahan pangan, antara lain Amezquita

dan Brashears (2002) yang meneliti

penghambatan L. monocytogenes oleh BAL dalam produk daging siap santap; Cetinkaya

dan

Soyutemuz

(2004)

mengkaji

ketahanan

hidup

Listeria

monocytogenes selama pembuatan dan pematangan keju Keshar; de Carvalho et al. (2006) telah meneliti tentang penghambatan pertumbuhan Listeria monocytogenes oleh BAL yang diisolasi dari produk Salami asal Italia. Ketahanan Hidup Bakteri Patogen dalam Interaksinya dengan Bakteri Asam Laktat dalam Susu atau Produk Olahannya Fang et al. (1996) melakukan kajian terhadap pengaruh antagonistik BAL (Lactobacillus

acidophilus,

L.

bulgaricus,

L.

casei

dan

Streptococcus

thermophilus) terhadap Staphylococcus aureus dan Escherichia coli dengan menggunakan MRS agar dengan menggunakan teknik deferred dan crossstreaking serta menggunakan susu dengan teknik penghitungan cawan. Semua BAL menekan pertumbuhan S. aureus dan E. coli dalam mendium agar. Akan tetapi aktivitas penghambatannya menurun secara nyata saat medium agar diset ke pH 7,2.

Sementara dalam susu normal,

L. acidophilus galur A dan B, S.

thermophilus dan kombinasinya dengan L. acidophilus A dan L. bulgaricus 6032 menghambat S. aureus, adapun dalam susu mastitis hanya S. thermophilus dan kombinasinya yang menunjukkan penghambatan. L. acidophilus A dan L. bulgaricus 34104 menekan pertumbuhan E. coli dalam susu normal. S. thermophilus dan kombinasinya menghambat E. coli baik dalam susu normal maupun mastitis. Hasil riset ini menunjukkan bahwa aktivitas antagonistik BAL terhadap bakteri patogen bervariasi dengan tipe media yang menjadi tempat uji dilakukan.

23

Sementara Massa et al. (1997) melakukan kajian terhadap daya tahan hidup Escherichia coli O157:H7 dalam yogurt selama fermentasi dan penyimpanan dingin. Setelah difermentasi selama 5 jam pada suhu 42oC, yogurt disimpan dalam lemari es bersuhu 4oC. Dua jenis yogurt digunakan dalam penelitian ini yaitu yogurt tradisional (YT) yang menggunakan starter L. bulgaricus dan S. thermophilus dengan yogurt ”bifido” (YB) yaitu starter tradisional ditambah Bifidobacterieum bifidum. Setelah 7 hari populasi bakteri uji menurun dari log 3,52 ke 2,72 cfu/ml dan dari log 7,08 ke 5,32 cfu/ml untuk masing-masing inokulasi rendah dan tinggi pada YT; dan dari log 3,49 ke 2,73 cfu/ml serta dari log 7,38 ke 5,41 untuk masing-masing inokulasi rendah dan tinggi pada YB. Nilai pH menurun dari 6,6 ke 4,5 dan 4,4 pada YT dan dari 6,6 ke 4,6 dan 4,5 pada YB untuk masing-masing inokulasi bakteri uji rendah dan tinggi. Estrada et al. (1999) melakukan penelitian terhadap kemampuan kultur starter yogurt (Streptococcus salivarius subsp. thermophilus dan Lactobacillus delbrueckii subsp bulgaricus) untuk menghambat pertumbuhan empat galur Staphylococcus aureus produsen entertoksin tipe A dan B (ATCC 6538, S6, FRI100 dan asal susu) selama fermentasi susu dan penyimpanan. Susu skim steril yang digunakan sebagai bahan dasar diinokulasi oleh sekitar 106 CFU/ml Staphylococcus aureus dan sekitar 106 CFU kultur starter, kemudian diinkubasi pada suhu 42oC selama 8 jam diikuti oleh penyimpanan dalam lemari es pada suhu 4oC. Sampel diambil setiap dua jam selama fermentasi dan setiap dua hari selama penyimpanan. Populasi BAL, S. aureus, pH, keasaman, thermostable deoxyribonuclease (TNase) dan produksi staphylococcal enterotoxin A (SEA) dihitung pada setiap pengambilan sampel.

Hasil penelitian ini menunjukkan

bahwa perilaku empat galur S. aureus bertahan selama 8 jam fermentasi dan populasinya mulai menurun pada umur sehari penyimpanan, dan baru benar-benar dihambat secara sempurna pada hari ke-9-10. Produksi TNase dan SEA positif pada semua sampel. Hal ini menunjukkan bahwa yogurt dapat menjadi agen penularan organisme uji jika bahan baku susunya tercemar. Selanjutnya Gulmez dan Guven (2003b) meneliti tentang ketahanan hidup Escherichia coli O157:H7, Listeria monocytogenes 4b dan Yersinia enterocolitica O3 dalam yogurt tradisional Turki dan kefir selama fermentasi dan penyimpanan.

24

Populasi semua galur bakteri meningkat selama fermentasi, dengan demikian kontaminasi pra fermentasi menurut mereka menjadi lebih beresiko dibandingkan kontaminasi pasca fermentasi. E. coli O157:H7 dan L. monocytogenes 4b mampu bertahan hidup sampai 21 hari dalam semua sampel. Y. enterocolitica O3 hanya dapat bertahan hidup sampai 14 hari dalam kefir modifikasi. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa kultur starter yogurt tampaknya lebih mampu menekan patogen dibandingkan starter kefir. Peneliti yang sama, dalam penelitiannya yang lain, mengkaji ketahanan bakteri yang sama dengan penelitian sebelumnya dalam yogurt dan kefir berbahan baku susu fermentasi baik secara terpisah maupun dicampurkan, kemudian diinkubasi pada suhu yang berbeda-beda sesuai suhu pertumbuhan mikroflora starter. Hasil studi menunjukkan bahwa yogurt tradisional memiliki tekanan terkecil terhadap semua mikroorganisme patogen, adapun sampel yang didapatkan dari proses fermentasi yang berbeda (sampel difermentasi pada suhu 43oC selama 3 jam kemudian dilanjutkan pada suhu 30oC selama 21 jam) lebih mampu menekan patogen dibandingkan kefir. Tidak terdapat perbedaan daya tahan hidup yang nyata (P>0,05) antara E. coli O157:H7 and L. monocytogenes 4b dalam sampel yang diuji, namun Y. enterocolitica O3 lebih sensitif dibandingkan bakteri uji yang lain (P < 0,05) (Gulmez dan Guven, 2003a). Kemudian Estrada et al. (2005) melaporkan hasil eksperimennya untuk mengkaji ketahanan hidup Brucella abortus selama fermentasi susu dengan kultur starter

yogurt

dan

disimpan

pada

suhu

refrigerator.

Eksperimen

ini

dilatarbelakangi oleh masih tingginya kontaminasi B. abortus pada susu dan produk susu yang secara kesehatan masyarakat tentu berbahaya. Susu skim steril dengan sengaja diinokulasi oleh B. abortus pada dua konsentrasi yaitu 105 dan 108 CFU/ml secara simultan dengan kultur starter yogurt dari BAL (Streptococcus

thermophilus

dan

Lactobacillus

delbrueckii

subspecies

bulgaricus). Botol yang telah diinokulasi diinkubasi pada suhu 42ºC, diikuti oleh refrigerasi pada 4ºC. Sampel diambil selama masa fermentasi dan penyimpanan untuk dihitung jumlah

B. abortus dan BAL-nya serta pH produk. Hasil

eksperimen menunjukkan setelah 10 hari penyimpanan pada suhu 4°C, B. abortus masih dapat bertahan hidup dalam susu fermentasi pada level 105 CFU/ml,

25

walaupun dengan pH yang rendah yaitu 4.0. Sementara itu, B. abortus yang ditambahkan kedalam yogurt pada level 108 CFU/ml mampu bertahan hidup sampai 22 hari masa penyimpanan walaupun dengan pH rendah (3,8 s.d. 4), dan pada hari ke-23 semua bakteri mati. Sedangkan dalam perlakuan kontrol (bakteri dalam susu tanpa starter yogurt), populasi bakteri mencapai 108 cfu/ml selama 25 hari penyimpanan. Dengan demikian disimpulkan bahwa produk susu fermentasi yang menggunakan bahan baku yang tercemar B. abortus dapat menjadi sarana penularan bakteri ini kepada manusia. Beberapa penelitian lain yang mengkaji sifat antagonisme BAL dalam produk susu terhadap bakteri patogen antara lain: Pitt et al. (2000) yang meneliti ketahanan hidup

Listeria monocytogenes dalam susu pasteurisasi yang

difermentasi oleh starter BAL yaitu Lactococcus lactis, Lactococcus cremoris, Lactobacillus

plantarum,

Lactobacillus

bulgaricus

atau

Streptococcus

thermophilus; Ogwaro et al. (2002) meneliti ketahanan hidup E. coli O157:H7 selama fermentasi yogurt tradisional Afrika; kemudian Tsegaye dan Ashenafi (2005) telah melakukan analisis terhadap perilaku (behavior) Escherichia coli O157:H7 selama pengolahan dan penyimpanan Ergo dan Ayib, produk olahan susu tradisional dari Ethiopia. Millette et al. (2007) meneliti pengendalian pertumbuhan beberapa bakteri patogen dalam susu fermentasi yang menggunakan starter L. acidophilus dan L. casei.

Pertumbuhan

Escherichia

coli

O157:H7,

Salmonella

serotype

Typhimurium, Staphylococcus aureus, Listeria innocua, Enterococcus faecium dan Enterococcus faecalis telah dievaluasi selama 48 jam pada suhu 37°C. Listeria innocua dan S. aureus merupakan bakteri paling sensitif terhadap supernatan asal produk susu fermentasi ini.

Untuk masing-masing bakteri

penghambatannya mencapai 85,9% dan 84,7%. Setelah supernatan ini dinetralisasi untuk menghilangkan efek asam organik, ternyata bakteri L. innocua dan E. coli O157:H7 menjadi bakteri paling sensitif dengan menunjukkan angka penghambatan masing-masing sebesar 65,9% dan 61,9%.