Kliping Berita-Berita dari Berbagai Media Massa 2013

Sumber: Buku sejarah berjudul SEMARANG halaman 47, ... Politik Orde Baru tak menghendaki ”orang-orang di persimpangan kiri jalan” itu, tercatat dalam ...

2 downloads 413 Views 9MB Size
Kliping Berita-Berita dari Berbagai Media Massa

2013

Bangunan Bersejarah Gedung Rakyat Indonesia (GRI) Peninggalan Sarekat Islam (SI) Semarang Terancam Dirobohkan

Disusun oleh Komunitas Pegiat Sejarah (KPS) Semarang

SEJARAH SINGKAT

Sumber: Buku sejarah berjudul SEMARANG halaman 47, karya Acting Djawatan Penerangan Kota Besar Semarang Soekirno dkk, 1956. Pada halaman 47 tersebut memang tidak tertulis nama alamatnya, namun mengacu 191-197 buku tersebut, disebutkan berbagai organisasi beralamat di GRI Gendong No 1144 Semarang. Jadi tampaknya GRI peninggalan SI Semarang tersebut merupakan nama alamat tersendiri.

2

Suara Merdeka, Semarang Metro 23 Mei 2008 Jejak Kaum Pergerakan di Kampung Gendong (1)

Ada Inisial "SI" dari Susunan Ubin * Oleh Rukardi DI masa pergerakan, Semarang menjadi salah satu bidang persemaian benih-benih perlawanan terhadap kolonialisme. Banyak aktivis yang lahir, tumbuh, dan berkiprah di medan politik kala itu, seperti Semaoen, Darsono, dan Mas Marco Kartodikromo, serta Tan Malaka. Sepak terjang mereka saat itu memanaskan suhu politik di Tanah Hindia. Bersama para aktivis di Surakarta dan sejumlah kota lainnya, Semaoen dan kawan-kawan membuat Jawa memasuki apa yang disebut Takashi Shirashi sebagai ”zaman bergerak”. Politik Orde Baru tak menghendaki ”orang-orang di persimpangan kiri jalan” itu, tercatat dalam buku sejarah pergerakan kebangsaan. Peran mereka— seperti halnya Semarang— dinafikan. Tak heran jika kebanyakan warga tak lagi mengenal sepenggal episode penting sejarah kotanya. Salah satu saksi yang masih dapat ”bercerita” tentang episode yang hilang itu, adalah gedung eks kantor Sarekat Islam (SI) Cabang Semarang di Kampung Gendong, Kelurahan Sarirejo, Semarang Timur. Di tempat itulah dulu, para aktivis SI yang radikal berkumpul untuk mengonstruksi gerakan, dan melancarkan aksi perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Meski sisa-sisa kemegahannya masih tampak, nasib bangunan yang kini bernama Balai Muslimin itu sungguh mengenaskan. Fisiknya rusak parah: Bubungan atap bagian depan ambrol, dinding serta interiornya kusam dan tak terawat. Puing-puing teronggok di sejumlah tempat. Selain dua keranda, tumpukan tikar, dan sebuah podium yang telah beralih fungsi menjadi pengimaman, gedung itu tak menyimpan perabotan lain. Sekretariat Badan Keswadayaan Masyarakat Kelurahan Sarirejo yang mendompleng di sisi selatan terlihat tutup. Tengara Khusus Sepintas bangunan panjang beratap tumpang menghadap ke arah barat itu, tak menampakkan tanda kesejarahan khusus. Tidak ada prasasti berisi keterangan mengenai nama asli, kegunaan, serta tahun pembuatan bangunan di gedung itu. Satu-satunya tengara identitas sejati Balai Muslimin adalah inisial ”SI” yang terdapat di lantai, tepat di tengah-tengah bangunan. Inisial itu dibentuk dari pasangan ubin berwarna hitam. Sedangkan latar belakangnya ubin kuning dengan lis warna merah. Seksi Gedung Balai Muslimin, Abdulrosjid (81) menuturkan, meski kondisi ubinnya tidak layak pakai, bagian inisial ”SI” tetap dipertahankan. ”Ini yang menjadi tanda bahwa gedung ini pernah menjadi kantor Sarekat Islam,” katanya. Balai Muslimin, lanjut Abdulrosjid, tak lagi bisa dipakai sejak awal Mei lalu. Atapnya yang ambrol menjadi jalan masuk air ketika turun hujan. Sebelum itu, Balai Muslimin makmur dengan pelbagai kegiatan. Mulai latihan bela diri, pentas seni sampai aktivitas keagamaan.

3

“Biasanya, setiap Jumat, gedung itu dimanfaatkan warga untuk Shalat Jumat. Sejak atapnya roboh, warga shalat di masjid-masjid di sekitar Kampung Gendong,” ujar Abdulrosjid. Sebagai artefak, bangunan itu memiliki kisah sejarah panjang. Menurut Abdulrosjid, eks Kantor Sarekat Islam Semarang dibangun pada 1916. Tanahnya berasal dari wakaf salah seorang keturunan Keluarga Tasripien yang menjadi anggota SI. Sementara bangunannya hasil swadaya anggota. Berdasar kisah yang didengar Baharudin bin Shihab (76), mantan anggota DPRD Gotong Royong, Kota Praja Semarang dari Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) (1960-1970), pembangunan gedung itu dilakukan dengan cara iuran. Konon, selain sumbangan dermawan, sebagian dana dikumpulkan anggota dari hasil menjual bolang-baling. ”Saya sudah tidak menangi masa itu, tapi dari cerita orang tua dulu,” kata Baharudin. (56) URL: http://www.suaramerdeka.com/v2/index.php/read/cetak/2008/05/23/14469/Ada-Inisial-SIdari-Susunan-Ubin(*/*)

Foto ini bukan foto yang termuat di Suara Merdeka edisi 23 Mei 2008 kaitan berita tersebut, namun foto lain yang diambil pada tanggal 24 April 2013.

4

Suara Merdeka, Semarang Metro 24 Mei 2008 Jejak Kaum Pergerakan di Kampung Gendong (2-Habis)

Pernah Jadi Markas SOBSI KRISIS ekonomi yang berlangsung sejak awal 1923, menggoyahkan stabilitas politik di Hindia Belanda. Para pengusaha melakukan efisiensi sedemikian rupa, termasuk menekan gaji para buruhnya. Tertekan atas kondisi itu, kaum buruh di Semarang merapatkan barisan. Mereka merencanakan sebuah aksi mogok besar-besaran. Malam hari, 8 Mei 1923, berbagai perwakilan kelompok buruh pribumi berkumpul di Kampung Gendong untuk memantapkan aksi tersebut. Setelah berunding, mereka memutuskan mogok pada keesokan harinya. Benar saja, tanggal 9 Mei, aktivitas kota nyaris lumpuh. Buruh pribumi yang bekerja pada perusahaan trem Jomblang-Bulu, Semarang Joeana Stroomtram Maatschappij (SJS), dan kusir dokar tak bekerja. Pedagang di Pasar Johar dan Pasar Pedamaran juga tak jualan. Pemogokan besar-besaran itu menimbulkan kekacauan. Liem Thian Joe, dalam Riwajat Semarang mengisahkan, warga yang biasa menggunakan trem terlantar. Pun para jongos yang hendak mengantar makan siang untuk majikan mereka. Pemerintah Kota Praja dibuat kalang kabut. Agar tak terjadi kekacauan, mereka menurunkan aparat kepolisian untuk menjaga kota, dan mengerahkan murid-murid Technische School untuk mengoperasikan tram. ”Pada hari itoe di kampoeng Gendong dibikin vergadeering lagi, dipimpin oleh toean Soegono, siapa telah andjoerin boeat orang-orang jang mogok itoe soepaja mogok teroes...” Sejarah mencatat, aksi mogok yang dirancang di Kampung Gendong itu akhirnya meluas ke kota-kota lain, seperti Batavia (Jakarta), Meester Cornelis (Jatinegara), Solo, Yogyakarta, Jatibarang, Blitar, Nganjuk, dan lain-lain. Saat itu Sarekat Islam Cabang Semarang yang terinfiltrasi ideologi komunis telah terkena disiplin partai. Semaoen dan kawan-kawan bergerak dalam wadah baru: Persarekatan Komunis Indonesia (PKI). Meski demikian, kantor SI di Kampung Gendong tetap dalam penguasaan mereka. Ya, semenjak berdiri, bangunan itu menjadi saksi radikalisasi gerakan rakyat di Semarang. Di tempat itu, para aktivis menyelenggarakan rapat-rapat, diskusi serta mengorganisir massa dalam bentuk aksi. Hendak Dibakar Massa Pascakemerdekaan, bekas Kantor SI Cabang Semarang itu dikuasai oleh aktivis Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI)— salah satu underbow PKI. Mereka menjadikan gedung itu semacam markas, sekaligus tempat tinggal. ”Saya ingat sehari-hari para aktivis SOBSI mondok di gedung itu,” kata Baharudin (76), warga Kampung Wotprau, yang bekas anggota Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII).

5

Peristiwa 30 September 1965 berdampak pada pengganyangan orang-orang kiri, tak terkecuali anggota SOBSI. Massa antikomunis pun menyerbu gedung bekas Kantor SI Cabang Semarang yang dipakai SOBSI. Mereka merangsek, mengacak-acak dokumen, dan melempari gedung itu dengan batu. Saat massa hendak membakar bangunan itu, warga Kampung Gendong mencoba menghalangi. Usai huru-hara 1965, gedung bekas Kantor SI Cabang Semarang di bawah penguasaan tentara. Namun tak lama berselang, pengelolaannya diserahkan kepada umat Islam lintas golongan. Dan semenjak itu dinamakan Balai Muslimin. Seksi Gedung, Abdulrosjid (81) menuturkan, Balai Muslimin selanjutnya digunakan untuk pelbagai aktivitas. Tak hanya yang bersifat keagamaan melainkan juga sosial kemasyarakatan. Kini setelah bertahun-tahun, kondisi Balai Muslimin kian mengenaskan. Bangunan tersebut bagai tak pernah tersentuh perawatan. Jika tak diselamatkan, saksi bisu sejarah pergerakan rakyat di Semarang itu terancam hilang. (Rukardi-56) URL: http://www.suaramerdeka.com/v2/index.php/read/cetak/2008/05/24/14687/Pernah-JadiMarkas-SOBSI (*/*)

BAGIAN dalam GRI Sarekat Islam, kondisinya terlantar. Foto diambil tanggal 15 Agustus 2013.

6

06 September 2012 BP3 Pantau Gedung-Gedung Kuno

Bangunan Bersejarah Terancam Dirobohkan SEMARANG - Sebuah gedung yang memiliki nilai bersejarah terancam dirobohkan. Gedung yang berada di Kampung Gendong, Kelurahan Sarirejo, Kecamatan Semarang Timur itu diyakini pernah menjadi markas Sarekat Islam (SI), sebuah organisasi massa yang berperan besar dalam pergerakan kemerdekaan RI. Namun, kini terdengar rencana gedung itu akan dirobohkan untuk diganti fungsinya mengingat saat ini tak lagi dipakai. Selasa (4/9) lalu, petugas dari Badan Pelestarian dan Peninggalan Purbakala (BP3) meninjau kondisi gedung itu. Mereka menegaskan, tempat itu masih layak untuk dipertahankan. Meski sudah tak digunakan dan kondisinya cukup parah, para petugas tersebut menyatakan tempat itu harus diselamatkan. "Beberapa waktu lalu, kami menerima surat tentang keberadaan gedung ini yang memiliki nilai sejarah cukup penting. Sekarang (kemarin-red) kami melihat kondisi yang sebenarnya dan menurut kami masih bisa dipertahankan," ujar Ketua Pokja Pemugaran BP3 Sudarno yang memimpin rombongan. Lebih lanjut Sudarno menegaskan, butuh penelitian lebih dalam untuk menentukan langkah yang tepat. Bangunan itu kemungkinan besar dibangun sekitar 1916. Di tempat itulah sejarah SI dan juga sejarah kebangsaan Indonesia bermula. Di situ pula tokoh-tokoh pergerakan lahir dan menyuarakan ikhtiar kemerdekaan. Sudarno juga mengatakan, selain ke tempat itu dia juga melihat langsung proses konservasi di Gedung PTP XV Jalan Mpu Tantular. Sebelumnya, BP3 juga menjalankan konservasi di Gedung Cagar Budaya Sobokartti dan Gereja Blenduk. Sementara itu, Kepala Seksi Penataan Bangunan Dinas Tata Kota dan Permukiman Kota Semarang B Mahendriyanto yang ikut dalam rombongan itu menegaskan, pihaknya tetap berkomitmen untuk menyelamatkan bangunan bersejarah. Soal gedung SI tersebut, pihaknya akan segera menindaklanjuti. Dia akan mencoba berkoordinasi dengan pihak terkait agar tempat itu bisa dikonservasi dengan tepat. Penulis sejarah Rukardi yang melaporkan keberadaan gedung itu pada BP3 menegaskan pentingnya menyelamatkan tempat tersebut. Dia juga mengungkapkan beberapa sejarawan lain telah ikut memberi perhatian pada keberadaan Gedung SI itu. Mereka menyayangkan jika tempat itu harus dirobohkan. (H35, H71-69) Sumber: Suara Merdeka, 6 September 2012 URL: http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2012/09/06/197791/Bangunan-BersejarahTerancam-Dirobohkan

7

06 Juni 2013

Nyaris Roboh, Bangunan Asli Eks Kantor SI Harus Dipertahankan SEMARANG, suaramerdeka.com - Sisa-sisa kemegahan bekas kantor Sarekat Islam (SI) Merah Semarang masih tampak, namun nasib bangunan yang kini bernama Balai Muslimin yang ada di Jalan Gendong, Kelurahan Sarirejo, Kecamatan Semarang Timur sangat memprihatinkan. Fisik bangunan itu rusak parah, bubungan atap bagian depan ambrol, dinding serta interiornya kusam dan tak terawat. Puing-puing bangunan seeperti runtuhan batu bata, genting dan kayu teronggok di sejumlah tempat. Dua keranda, tumpukan tikar, dan sebuah podium yang telah beralih fungsi menjadi pengimaman, nampak dipenuhi debu. Sementara, rumput liar nampak tumbuh subur di depan bangunan. Tulisan SI yang terdapat di lantai, tepat di tengah-tengah bangunan dari pasangan ubin berwarna hitam, dengan latar belakangnya ubin kuning dengan lis warna merah juga nyaris tak terlihat karena tertutup debu dan tanah. Suara Merdeka bersama beberapa anggota Komunitas Jurnalis Pehobi Sejarah yang berkunjung ke tempat itu pun terpaksa harus membersihkan tanah dan debu yang menempel dengan sapu agar tulisan SI terlihat dengan jelas. Pemerhati sejarah Kota Semarang, Rukardi menuturkan, gedung itu tak lagi bisa dipakai sejak awal Mei 2008. Atapnya yang ambrol menjadi jalan masuk air ketika turun hujan. Sebelum itu, Balai Muslimin itu makmur dengan pelbagai kegiatan. Mulai latihan bela diri, pentas seni sampai aktivitas keagamaan. "Sebelum Mei 2008, tiap Jumat gedung itu dimanfaatkan warga untuk jamaah shalat Jumat. Sejak atapnya roboh, warga shalat di masjid-masjid di sekitar Kampung Gendong. Penyelamatan bangunan ini sangat penting, sebab memiliki kisah sejarah panjang. Eks kantor Sarekat Islam Semarang ini menurut almarhum Abdulrosjid dibangun pada 1916. Tanahnya berasal dari wakaf salah seorang keturunan Keluarga Tasripien yang menjadi anggota SI. Sementara bangunannya hasil swadaya anggota," tuturnya, Kamis (6/6). Berdasar kisah yang didengar Baharudin, mantan anggota DPRD Gotong Royong Kota Praja Semarang dari Partai Sarekat Islam Indonesia/PSII (1960-1970), pembangunan gedung itu dilakukan dengan cara iuran. Merujuk pada sebuah buku milik Ruth McVey, ada sebuah foto di mana seorang pelopor nasionalis negeri ini, Tan Malaka, berpose bersama murid-muridnya. Diduga kuat foto tersebut dulunya dibuat di gedung itu. "Pilarpilar yang tampak di foto itu terlihat sama persis dengan pilar-pilar yang ada di gedung Kampung Gendong. Sangat kuat dugaan saya, foto itu dibuat di situ," katanya. Menurutnya, keberadaan gedung tersebut penting tak hanya bagi Semarang tapi juga bagi negeri ini, mengingat perjuangan merebut kemerdekaan selalu merujuk pada keberadaan SI. Semarang merupakan salah satu basis terkuat SI. Karena itu, menurutnya, tempat itu harus segera diselamatkan. Dihubungi terpisah, Guru Besar arsitektur dan budayawan Semarang Prof Eko Budihardjo mengusulkan agar keberadaan eks Kantor Sarekat Islam itu dicek ke Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) dan Dinas Tata Kota yang telah menugasi salah satu konsultan untuk melakukan pengumpulan data atau membuat senarai bangunan kuno yang perlu dilestarikan. Menurutnya pula, ketika ia membuat senarai bangunan kuno di Kota Semarang yang perlu dilestarikan pada 80-an hanya ada 101 bangunan yang sangat menonjol. Tetapi belum sampai ke eks Kantor SI. Dosen Sejarah Fakultas Sastra Undip Dr Dewi Yuliati MA, berharap jika akan dilakukan rekonstruksi kembali eks Kantor Sarekat Islam itu tentunya harus dikembalikan pada bentuk aslinya. Sehingga, kenangan akan sejarah keberadaan Sarekat Islam dan sejarah lainnya dapat terangkat kembali. (Muhammad Syukron/CN38/SMNetwork) Sumber: SuaraMerdeka.com URL: http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2013/06/06/159863/Nyaris-Roboh-BangunanAsli-Eks-Kantor-SI-Harus-Dipertahankan

8

Semarang urged to restore historic building Heritage building activists in Semarang, Central Java, are urging the city administration to restore the former Red Sarekat Islam (SI) headquarters, or Balai Muslimin as it is known, which has become severely damaged due to a lack of proper maintenance. Rukardi, one of the activists, said that restoring the building was necessary as it was a piece of history. “We need to move fast before it’s too late,” Rukardi said on Tuesday, adding that the building might have been neglected because the Red SI was pro-communism. “The New Order regime was disturbed because the building was once used by leftists,” he said. Located on Jl. Gendong in Sarirejo, East Semarang, the building’s roof is falling apart and is prone to leaks during rainfall. A picture of leftist leader Tan Malaka posing with his students in a book by Ruth McVey has been used as evidence to show that the building was indeed once the headquarters of Red SI. “There is strong indication that the picture was taken in the building,” Rukardi said. According to him, the picture was taken in the 1920s and shows architecture similar to that of the building. Other indications include the initials “SI” on the center of the building’s floor. The initials were made of black tiles with yellow tiles in the background. The building, which was the center of Red SI activities, is estimated to have been built in 1911–1916 by SI members on land donated by SI member Tasripin. After the Sept. 30, 1965 coup attempt by the Indonesian Communist Party (PKI), the building was jointly managed by religious organizations. For decades, it was used for education and religious activities. The building was abandoned about five years ago as high costs prevented proper maintenance leading to structural decay. Architect and urban expert Tjahjono Rahardjo of Soegijapranata University, said that heritage had to be treated equally regardless if “it was a legacy of the Dutch colonial, indigenous people or communists”. Separately, Acting Semarang Mayor Hendrar Prihadi promised to trace down the ownership of the building before any restoration works began on the building. “We need to know who owns the land first. If it turns out that it belongs to the city administration, then restoring the building will be easier,” he said. Sumber: The Jakarta Post, 15 Mei 2013, URL: http://www.thejakartapost.com/news/2013/05/15/semarang-urged-restore-historicbuilding.html 9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

24

25