KONSEP DIRI PEREMPUAN JAWA : PEMBENTUKAN DAN

Download konsep diri perempuan Jawa yang hidup dalam budaya patriarki dan stereotipe- stereotipe yang ada. Perempuan ...... “Sangkan Paran Gender” t...

0 downloads 774 Views 6MB Size
PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

KONSEP DIRI PEREMPUAN JAWA : PEMBENTUKAN DAN ORIENTASI

SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Memperoleh gelar sarjana psikologi Program Studi Psikologi

Disusun Oleh : Clara Alverina Pramudita 119114131

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2016

i

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

ii

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

iii

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

MOTTO

Keep Strong, Don’t be Afraid Always look at the solution not the problem -Hitam Putih-

Kehidupan itu seperti teks, narasi yang terus ditulis dan ditulis ulang dari waktu ke waktu - Dan P. McAdams -

Kesempurnaan adalah ketidaksempurnaan itu sendiri -Sujiwo Tedjo-

iv

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

Sebuah karya yang tidak sempurna ini kupersembahkan untuk My beloved parents in the world Bpk Hb. Hery Santosa dan Ibu Adriana Novijanti yang sudah membesarkan dan mendidik aku hingga saat ini Terima kasih sudah menjadikan aku perempuan yang kuat Dan doakan selalu diperjalanan hidupku selanjutnya untuk tetap menjadi perempuan yang kuat.

v

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

vi

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

KONSEP DIRI PEREMPUAN JAWA : PEMBENTUKAN DAN ORIENTASI

Clara Alverina Pramudita ABSTRAK Konsep diri atau rasa akan diri penting dalam diri karena akan mempengaruhi bagaimana perasaan, pikiran, dan perilaku kita dalam melihat dunia (Matsumoto, 2003). Penelitian ini akan melihat bagaimana pembentukan dan orientasi dari konsep diri perempuan Jawa yang hidup dalam budaya patriarki dan stereotipestereotipe yang ada. Perempuan Jawa adalah perempuan yang dibesarkan dengan nilai-nilai Jawa. Perempuan Jawa dikenal sebagai perempuan yang halus, tenang, kalem, dan tidak boleh melebihi laki-laki (Handayani, 2008). Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan Jawa walaupun dikenal seperti itu tetapi mereka merupakan perempuan yang tangguh dalam memprioritaskan anak seperti yang dipelajari dari orangtua mereka. Konsep dirinya itu terbentuk dari pengalaman dengan orangtua dan menghasilkan orientasi kepada kehidupan anak yang lebih baik. Kata kunci : konsep diri, perempuan Jawa, orangtua, anak

vii

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

JAVANESE WOMAN SELF-CONCEPT : ESTABLISHMENT AND ORIENTATION

Clara Alverina Pramudita ABSTRACT Self-concept or a sense of self is critically important and integral to determining our own thoughts, feelings, and actions, and to how we view the world (Matsumoto, 2003). This study would see how Javanese woman self-concept including its establishment and orientation work in a patriarchal culture and all the stereotypes which exist in it. Javanese woman is a woman who grew up with the values of Java. Javanese woman is known as a woman who is smooth, quiet, calm and must not exceed the rights of man (Handayani, 2008). The results of this research showed that although Javanese women are known like that, they have positive self-concept and identify themselves as a tough woman in prioritizing children. They learned the toughness of prioritizing children from their parents. Their self-concept was formed from their close relationship with parents and it gives better future orientation for the children.

Keywords : self-concept, Javanese woman, parents, child

viii

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

ix

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

KATA PENGANTAR

Peristiwa hidup yang satu pasti berhubungan dengan peristiwa hidup yang lain. Pengalaman yang sekarang juga berhubungan dengan pengalaman yang sebelumnya. Peristiwa dan pengalaman dalam menuntaskan pendidikan program sarjana ini juga merupakan hasil dari persitiwa dan pengalaman sebelumnya. Pengerjaan skripsi ini terjadi karena adanya keingintahuan dari pengalaman yang dialami penulis sebelumnya. Adanya keingintahuan ini akhirnya melahirkan suatu pencapaian bagi penulis yaitu suatu karya skripsi dengan judul Konsep Diri Perempuan Jawa : Pembentukan dan Orientasi. Suatu karya pencapaian seseorang bukanlah suatu karya hasil dari tangan satu orang saja melainkan banyak tangan-tangan pendukung di belakangnya yang mendukung terjadinya suatu karya. Skripsi ini pun sama demikian, skripsi ini bukanlah suatu hasil karya penelitian dari tangan dan otak penulis langsung saja melainkan banyak tangan dan otak yang bekerja dibelakangnya yang membantu menghasilkan skripsi ini. Yang utama dan pertama yang bekerja dengan penulis dalam menuntaskan karya skripsi ini adalah Tuhan Yesus Kristus. Penulis panjatkan puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas anugrah dan cinta yang diberikan sehingga penulis memperoleh pengalaman selama ini terutama pengalaman penulisan skripsi beserta dinamikanya. Terima kasih juga kepada kedua orangtua dan kedua adik-adik penulis yang selalu setia mendukung baik tenaga, finansial, dan motivasi bagi penulis selama proses pengerjaan skripsi ini. Selain itu penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada :

x

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

1. Dosen pembimbing skripsi yang sudah penulis anggap bapak ketiga bagi penulis, Bapak YB. Cahya Widiyanto, Ph. D. yang sudah mau sabar menghadapi, membimbing, dan menuntun penulis dari semenjak seminar hingga penyusunan skripsi ini selesai. Terima kasih semua canda tawa, penyemangat, dan pengalaman yang sudah penulis dapatkan. Thank you so much, I LOVE YOU my third father. 2. Dosen sekaligus rekan kerja penulis dalam mengerjakan akreditasi standar 7 hingga akhir, Bapak YB. Cahya Widiyanto yang sudah memberikan kepercayaan kepada penulis untuk membantu akreditasi hingga akhir dan memberikan pengalaman yang berharga bekerja memikirkan banyak orang sekaligus memikirkan skripsi. 3. Sahabat-sahabat penulis, terkhusus Beatriks Christma Antari yang sudah menemani, mendengarkan keluh kesah dan berjuang bersama dari semester 1 hingga penyelesaian skripsi ini selesai. Lisa sahabat penulis dari SMP yang sudah mau mendengarkan semua curahan hati penulis dalam setiap kebimbangan penulis dalam mengerjakan skripsi. I LOVE YOU all my friends. 4. Romo pendamping UKM Karawitan sekaligus my second father, Romo Gregorius Budi Subanar, SJ yang sudah berkenan mendukung dan mendampingi penulis dari beberapa semester yang lalu di UKM, dalam mengerjakan seminar, dan mengerjakan penulisan skripsi ini. Terima kasih sudah memperkenalkan my beloved third father sehingga membuat penulis menemukan jodoh pembimbing skripsi. Terima kasih atas semua kepercayaan yang diberikan kepada penulis untuk mendengarkan cerita, nasihat, ide-ide,

xi

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

dan memperoleh pengalaman baru yang penulis dapatkan. Cerita, nasihat, ideide, dan pengalaman yang penulis dapatkan tidak akan penulis lupakan di kemudian hari. I LOVE YOU ROMO… 5. Para Informan, Ibu Surti, Eyang Narko, Ibu Surono, Ibu Caecil, Ibu Ita, dan Ibu Veronika yang sudah memperbolehkan penulis bertanya-tanya berbagi cerita tentang pengalaman kehidupan mereka, tanpa mereka skripsi ini tidak akan selesai. Terima kasih atas waktu yang diberikan. 6. Saudara penulis, Atrin yang sudah membantu tenaga dalam merapikan hasil tulisan skripsi ini, baby Emily yang sudah selalu menjadi moodbooster dikala bosen dan bingung dalam mengerjakan skripsi, tante penulis, Mbak Eny yang sudah membantu memfasilitasi peralatan guna pengambilan data. Terima kasih banyak atas dukungannya. 7. Teman-teman UKM Karawitan semuanya, Mas Cahyo, Nugroho, Cahyo, Mas Eko, Agnes, Oyen, dan masih banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang sudah memahami kesibukan penulis mengerjakan skripsi dan menghibur penulis dikala bosen dengan pengerjaan skripsi. I LOVE YOU my second family.. 8. Teman-teman student staff akreditasi Psikologi, Silla, Nety, Yoan, Arum, Mbak Tirza, Hervy, Jojo, dan Martha yang sudah berjuang bersama mengerjakan skripsi sekaligus memikirkan akreditasi Fakultas tercinta. Terima kasih sudah mau saling berbagi cerita, lembur bersama, diskusi skripsi bersama juga, dan saling support. Thank you so much. I LOVE YOU ALL…

xii

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

9. Teman-teman yang sempat penulis asistensiin di matakuliah Tes Proyektif TAT, Aprex, Erlin, Gue, Asoy, Chopie, Zelda. Terima kasih semua pengalaman

kerjasamanya

selama

proses

asistensi

TAT

terutama

pengertiannya kepada penulis yang pada masa asistensiin sedang sibuk akreditasi dan mengerjakan skripsi. I LOVE YOU ALL… 10. Bapak Dekan dan Ibu Kaprodi Fakultas Psikologi Bapak Dr. T. Priyo Widiyanto, M. Si. dan Ibu Ratri Sunar Astuti, M. Si., staff administrasi, Bu Nanik dan Mas Gandung, staff laboratorium Mas Muji dan Mas Doni yang sudah memberikan kelancaran dan kemudahan selama penulis mengenyam pendidikan program sarjana Psikologi di Universitas Sanata Dharma. 11. Teman-teman semua satu angkatan Fakultas Psikologi, angkatan 2011 semuanya yang sudah berjuang bersama menyelesaikan studi di Fakultas Psikologi. Karya skripsi ini bukanlah menjadi akhir dari perjalanan pendidikan penulis, karya skripsi ini melainkan menjadi langkah awal penulis untuk semakin belajar berpikir ilmiah. Karya skripsi ini menjadi titik awal akan proses keingintahuan berpikir ilmiah penulis untuk memahami dunia sehingga karya ini masih jauh dari kata sempurna. Penulis sedang akan memulai melangkah ke masa depan untuk belajar lebih banyak lagi. Semoga dibalik ketidaksempurnaan karya skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.

Yogyakarta, 4 Februari 2016 Clara Alverina Pramudita

xiii

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

DAFTAR ISI Halaman Judul.................................................................................................. i Halaman Persetujuan Dosen Pembimbing ....................................................... ii Halaman Pengesahan ....................................................................................... iii Halaman Motto................................................................................................. iv Halaman Persembahan ..................................................................................... v Halaman Pernyataan Keaslian Karya ............................................................... vi Abstrak ............................................................................................................. vii Abstract ............................................................................................................ viii Halaman Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah.................................................. ix Kata Pengantar ................................................................................................. x Daftar Isi........................................................................................................... xiv Daftar Gambar .................................................................................................. xvii Daftar Lampiran ............................................................................................... xviii BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1 A. Konteks .............................................................................................. 1 B. Pertanyaan Penelitian ......................................................................... 8 C. Tujuan Penelitian ............................................................................... 9 D. Manfaat Penelitian ............................................................................. 9 1. Manfaat Teoritis ........................................................................... 9 2. Manfaat Praktis ............................................................................ 9 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA..................................................................... 10 A. Pengertian Perempuan Jawa ............................................................... 10

xiv

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

B. Konsep Diri ........................................................................................ 14 1. Identitas ........................................................................................ 14 2. Definisi Konsep Diri .................................................................... 16 3. Pembentukan Konsep Diri ........................................................... 18 4. Konsep Diri Positif dan Negatif ................................................... 18 5. Arketipe dalam Pembentukan Konsep Diri.................................. 20 C. Jawa .................................................................................................... 22 1. Masyarakat Jawa .......................................................................... 22 2. Kaidah Dasar Kehidupan Masyarakat Jawa ................................. 24 D. Pembentukan dan Orientasi Konsep Diri Perempuan Jawa ............... 26 BAB III. METODE PENELITIAN.................................................................. 32 A. . Paradigma dan Pendekatan Penelitian ............................................... 32 B. Fokus Penelitian ................................................................................. 34 C. Prosedur Penelitian............................................................................. 34 1. Informan ....................................................................................... 34 2. Metode Pengambilan Data ........................................................... 35 D. Analisis Data ...................................................................................... 36 E. Kualitas Penelitian ............................................................................. 37 BAB IV. PELAKSANAAN PENELITIAN, HASIL PENELITIAN, ANALISIS DATA, DAN PEMBAHASAN ....................................................................... 39 A. Pelaksanaan Penelitian ....................................................................... 39 B. Hasil Penelitian .................................................................................. 40 1. Ibu S (52) ..................................................................................... 41

xv

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

2. Ibu N (68) ..................................................................................... 43 3. Ibu E (54) ..................................................................................... 45 4. Ibu L (56) ..................................................................................... 46 5. Ibu I (42) ...................................................................................... 48 6. Ibu C (36) ..................................................................................... 49 C. Analisis Data ...................................................................................... 52 1. Perempuan Jawa dan Konsep Dirinya.......................................... 52 a.

Sisi diri positif pada perempuan Jawa ................................ 52

b.

Sisi diri negatif pada perempuan Jawa ............................... 56

2. Orangtua Pembentuk Konsep Diri : Sumber Internalisasi ........... 57 a.

Sisi positif dari orangtua .................................................... 57

b.

Sisi negatif dari orangtua ................................................... 60

c.

Sistem nilai yang diberikan orangtua ................................. 61

3. Orientasi Konsep Diri .................................................................. 65 D. Pembahasan ........................................................................................ 67 1. Orangtua sebagai Sumber Pembentuk Konsep Diri ..................... 67 2. Orientasi Konsep Diri Perempuan Jawa ...................................... 75 BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 80 A. Kesimpulan ........................................................................................ 80 B. Saran ................................................................................................... 82 1. Perempuan Jawa ........................................................................... 82 2. Peneliti Berikutnya ....................................................................... 83 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 85

xvi

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

DAFTAR GAMBAR

Gambar. 1. Skema Dinamika Teori Konsep Diri Perempuan Jawa : Pembentukan dan Orientasi ....................................................................................................... 31 Gambar. 2. Skema Proses Penelitian yang Dilakukan ........................................ 38 Gambar. 3. Dinamika Konsep Diri Perempuan Jawa ......................................... 79

xvii

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Contoh Protocol Guide Interview................................................... 89 Lampiran 2. Informed Consent ........................................................................... 90 Lampiran 3. Contoh Verbatim dan Horizontalizing............................................ 96 Lampiran 4. Contoh Clustering .......................................................................... 114 Lampiran 5. Contoh Dynamic of Meaning .......................................................... 115

xviii

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini akan menguraikan suatu konteks penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Bagaimana konteks penelitian yang ada di masyarakat, kemudian bagaimana pertanyaan dan tujuan penelitian ini, serta bagaimana kebermanfaatan penelitian ini baik secara teoritis dalam ilmu psikologi maupun secara praktis kepada masyarakat.

A. Konteks Kelahiran seorang bayi manusia ke bumi merupakan awal kehidupan manusia. Manusia lahir bersih dan murni tanpa membawa apa-apa. Manusia lahir dengan situasi yang sudah ada Tuhan berikan, orangtua, rumah, dan segala keadaan yang ada tanpa mereka sadari. Bagaimana kehidupan manusia itu kemudian, menjadi apa manusia itu dan seperti apa dirinya merupakan hasil dinamika kehidupan manusia itu sendiri dengan lingkungan sekitarnya. Manusia dikenal karena jati dirinya. Kehidupan manusia dari lahir hingga mati merupakan proses pencarian dan penguatan jati diri atau identitasnya. “Self is an important, abstract concept that help us understand much of our psychological composition” (Matsumoto, 2003) yang berarti bahwa diri adalah konsep abstrak yang penting yang membantu kita untuk memahami lebih tentang komposisi psikologi kita. Menurut Erikson jika seseorang tidak berhasil melalui tahap awal pencarian identitas maka akan terjadi kebingungan identitas yang

1

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

2

nantinya juga akan mempengaruhi tahap perkembangan selanjutnya. Pencarian identitas seseorang sudah dimulai semenjak masa anak-anak hingga dewasa. Individu dari anak-anak hingga dewasa memiliki berbagai banyak peristiwa kehidupan. Peristiwa-peristiwa yang dialami ini menjadi pengalaman hidup yang dimiliki individu. Pengalaman-pengalaman yang dimiliki dari anakanak hingga dewasa membantu seseorang memperoleh identitasnya. Pengalaman ini dapat berupa pengalaman dengan individu lain maupun dengan lingkungan sosial. Seorang anak memiliki pengalaman pertama dengan orangtuanya. Orangtua merupakan significant others bagi individu. Dalam pembentukan identitas atau konsep diri, significant others atau orangtua membawa pengaruh yang kuat. Significant others membawa pengaruh krusial dalam mendefinisikan diri dan perubahan-perubahannya seperti dalam hal afeksi dan pengalaman motivasi, regulasi diri, dan perilaku interpersonal (Andersen & Chen, 2002). Seperti yang dikatakan dalam hasil penelitian sebelumnya bahwa ada hubungan signifikan antara kedekatan significant others dengan self esteem yang merupakan salah satu faktor bagian dari konsep diri (Burnett, 1996). Interaksi relasi yang terjadi antara individu dengan significant others atau orangtua merupakan sebuah narasi kehidupan individu itu sendiri. Narasi atau cerita kehidupan ini yang berperan dalam identitas dan konsep diri individu menjadi seperti apa dirinya. Cerita diri sendiri ini memberikan sebuah konteks yang jelas yang menjadikan jelas bagaimana diri hidup dan apa sifat alami dari keberadaan diri, karakter, dan identitas (Polingkhorne, 1991). Narasi kehidupan

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

3

ini berisi banyak nilai-nilai kehidupan yang diberikan orangtua, seperti contohnya dalam mendidik anak, orangtua mendidik anaknya untuk bersikap sopan kepada orang yang lebih tua. Dalam didikannya itu ada nilai yang ingin disampaikan orangtua kepada anaknya yaitu nilai menghormati. Nilai ini yang akan mempengaruhi konsep diri dari individu. Significant others atau orangtua hanya sebagai simbol atau perantara dari nilai yang ada, termasuk nilai-nilai budaya yang dimiliki dan dibawa oleh orangtua. Adanya simbolisasi dan pengaruh narasi dari pengalaman yang dimiliki bersama significant others atau tokoh idola pada pembentukan identitas ternyata memiliki kesamaan dengan prinsip budaya Jawa. Masyarakat Jawa kaya menggunakan simbol-simbol dan narasi yang dibangun dari dinamika kehidupan. Bentuk-bentuk simbolis yang umum dalam masyarakat Jawa itu dapat dikelompokkan dalam tiga macam tindakan simbolis, yaitu : Pertama, tindakan simbolis dalam religinya; Kedua, tindakan simbolis dalam tradisinya; Ketiga; tindakan simbolis dalam keseniannya (Herusatoto, 1984). Bentuk-bentuk simbolis tersebut dapat dikenal hingga sekarang karena adanya narasi yang dibawa masyarakat Jawa secara turun temurun ke generasi berikutnya. Bentuk-bentuk simbolis tersebut menandakan pandangan hidup dan sikap hidup masyarakat Jawa (Herusatoto, 1984). Ketiga hal tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Jawa sangat familiar dengan segala macam simbolik karena itu adalah bagian dari dirinya. Secara umum sendiri menurut A. L. Kroeber dan C. Kluckhon dalam buku yang berjudul “Suatu Konsepsi ke Arah Penertiban Bidang Filsafat” yang ditulis The Liang Gie, 1979 :

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

4

“Cultural consists of patterns, explicit and implicit, of and for behavior acquired and transmitted by symbols, costituting the distinctive achievements of human groups, including their embodiments inartifacts; the essential core of culture consist of traditional (i.e., historically derived and selected) ideas and especially their attached values; culture systems may, on the one hand, be considered as products of action, on the other as conditioning elements of further action.”. Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa budaya mengandung bentuk yang nyata atau tersembunyi dari dan untuk perilaku yang diperoleh dan dipindahkan oleh simbol-simbol, yang merupakan prestasi khas dari kelompok manusia termasuk perwujudannya dalam barang-barang buatan manusia. Inti penting dari kebudayaan terdiri dari gagasan-gagasan tradisional (yaitu berasal dan dipilih secara historis) dan terutama nilai-nilai yang tergabung. Sistem budaya di satu sisi dianggap sebagai hasil dari tindakan dan di sisi lain sebagai unsur yang mempengaruhi tindakan lebih lanjut. Pada masa dewasa konsep diri seseorang sudah jauh lebih stabil dari masa anak-anak atau masa remaja. Dalam tahap perkembangan psikososial milik Erikson (1950,1968), individu dewasa sudah melewati tahap pencarian identitas yang terjadi pada masa remaja. Mereka sudah mampu melihat dan merasakan siapa dirinya. Konsep diri mereka terbentuk dengan cara dipelajari dari setiap pengalaman hidup berinteraksi dengan lingkungan dan orang lain. Seperti yang dikatakan Combs dalam Elkins (1979) individu belajar dari cara mereka diperlakukan oleh orang lain. Penelitian-penelitian konsep diri yang sudah ada lebih banyak berfokus pada konsep diri seseorang yang sakit, tidak normal, dan bermasalah. Peneliti memiliki keingintahuan melihat dengan perspektif yang berbeda dalam penelitian

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

5

ini karena konsep diri dimiliki oleh semua orang, tidak hanya dimiliki oleh seseorang yang sakit, tidak normal, dan bermasalah. Penelitian ini ingin melihat konsep diri terutama pembentukan dan orientasi pada seseorang dengan lebih melihat dari segi perspektif latar belakang budaya yang ada. Pengalaman hidup perempuan Jawa dewasa berinteraksi relasi dengan orang lain termasuk significant others dalam pembentukan konsep diri menjadi fokus dalam penelitian ini. Perempuan Jawa memiliki konsep diri yang cenderung sama dari dulu hingga sekarang. Bentuk pengekspresian dari perempuan Jawa yang membuat terlihat berbeda konsep dirinya. Hal ini terlihat dari perempuan Jawa dahulu kalem tetapi sesungguhnya dibalik sifat kalem itu ada kekuatan. Kekuatan perempuan Jawa dahulu terlihat dari perempuan Jawa pada zaman dahulu lebih banyak yang melakukan diam ketika menunjukkan ekspresi marahnya sehingga membuat orang lain dengan sendirinya merasa terhukum oleh sikap diam itu. Perempuan Jawa sekarang kekuatannya sudah bisa dilihat dari kesehariannya yang mampu berpendapat atau tampil menonjol di masyarakat. Peneliti memilih perempuan karena sistem masyarakat Indonesia terutama Jawa terkenal dengan budaya patriarkisme yang lebih sering membicarakan tentang betapa hebat dan berperannya laki-laki, sedangkan perempuan cenderung jarang dibicarakan. Dalam budaya Jawa sistem masyarakat patriarkisme sangat terlihat dalam hidup pernikahan perempuan Jawa. Seorang perempuan belum dikatakan perempuan Jawa sesungguhnya atau tidak bernilai dan berharga apabila belum menikah atau memiliki anak. Wanita atau perempuan dihargai karena kemampuannya yang khas untuk memberi keturunan dan dukungan sosial dalam

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

6

memenuhi ambisi pria (Barnhouse, 1988). Seperti yang ditulis Warto dalam buku “Sangkan Paran Gender” tahun 1997 bahwa seorang perempuan harus pandai macak, masak, manak, bila ketiga hal ini gagal dijalankan, ia dianggap tidak ada nilainya lagi baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Seorang perempuan yang tidak dapat masak atau mempunyai anak dianggap aneh dalam masyarakat dan menjadi aib keluarga. Konsepsi yang berkembang dalam masyarakat Jawa tersebut sangat jelas menggambarkan bagaimana sistem nilai masyarakat patriarkisme dalam budaya Jawa yang menggambarkan kedudukan dan kodrat perempuan dalam masyarakat Jawa. Bagi peneliti, perempuan Jawa mencerminkan perempuan Indonesia. Perempuan Indonesia identik dengan perempuan Jawa karena adanya pengaruh dari sistem pemerintahan orde baru. Hal ini dijelaskan dalam buku On the Subject of “Java” karya Pamberton tahun 1994 bahwa adanya peran budaya Jawa yang diberikan oleh presiden yang berlatar belakang budaya Jawa terhadap gaya pemerintahannya yang berlangsung lama. Budaya Jawa yang dibawa tersebut menjadi gambaran umum diri Indonesia. Arti dari istilah “Perempuan Jawa” adalah orang Jawa asli yang dibesarkan dengan nilai-nilai budaya Jawa. Perempuan Jawa menurut tradisi adalah perempuan yang bertutur kata halus, tenang, diam / kalem, dan tidak boleh melebihi laki-laki (Handayani, 2008). Stereotipe tersebut yang berkembang dalam lingkungan sosial menjadikan perempuan dan laki-laki mendefinisikan dirinya menggunakan atribut yang mencirikan kelompok gendernya (Guimond, dkk, 2006). Sterotipe-stereotip tersebut yang sudah dikenal sejak kecil oleh masyarakat

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

7

tidak akan mudah hilang seiring waktu karena sudah ditanamkan dalam diri kita oleh keluarga walaupun budaya itu bersifat dinamis yang memiliki potensi berubah seiring waktu dan kepribadian atau identitas atau konsep diri sesorang juga dapat berubah mengikuti budaya dimana orang tersebut tinggal agar dapat bertahan hidup seperti yang dikatakan Matsumoto (2003), “Culture as a dynamic system of rules, explicit and implicit, established by groups in order to ensure their survival, involving attitudes, values, beliefs, norms, and behaviors, shared by a group but harbored differently by each specific unit within the group, communicated across generations, relatively stable but with the potential to change across time.” (budaya sebagai sistem aturan yang dinamis, terlihat atau tersembunyi yang dibentuk oleh kelompok dengan tujuan menjamin kelangsungan hidup mereka melibatkan sikap, nilai, kepercayaan, norma, dan perilaku yang dibagikan oleh kelompok tetapi dihayati berbeda oleh setiap anggota atau unit tertentu dalam kelompok, dikomunikasikan antar generasi, relatif stabil tetapi memiliki potensi berubah seiring waktu). Keberadaan individu dalam kelompok budaya tertentu berperan bagi dirinya dalam mendefinisikan konsep diri individu dengan cara membandingkan antara karakter yang dibagi oleh anggota kelompok budaya tertentu dengan membandingkan yang relevan di luar kelompok (Brewer & Gardner, 1996). Konsep diri atau rasa akan keberadaan diri yang dimiliki individu akan mempengaruhi bagaimana dia akan melihat dunia dan bersikap ke depannya. Konsep diri atau rasa akan diri penting seperti yang dikatakan Matsumoto (2003) : “A sense of self is critically important and integral to determining our own thoughts, feelings, and actions, and to how we view the world

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

8

and ourselves and others in that world, including our relationship with other people, places, things, and events” (Matsumoto, 2003) (Rasa akan diri adalah penting dan mempengaruhi pemikiran kita, perasaan, dan perilaku, dan bagaimana kita melihat dunia dan diri kita dan orang lain di dunia termasuk hubungan kita dengan orang lain, tempat lain, benda lain, dan peristiwa lain). Orientasi dari rasa akan diri atau konsep diri terbentuk karena adanya pikiran, perasaan yang dipengaruhi oleh rasa keberadaan dirinya. Contohnya adalah individu yang menyayangi anaknya maka rasa cinta dan kasih sayang kepada anak dengan sendirinya muncul atau dimiliki individu tersebut. Tindakan yang terwujud dari individu tersebut adalah melakukan apapun untuk anaknya dan berharap anaknya memiliki kehidupan yang lebih baik. Orientasi yang terbentuk juga tidak lepas dari pengaruh pengalaman yang dialami individu beserta nilai budaya yang membentuk konsep diri. Dalam pembentukan, ada proses internalisasi dari significant others karena menurut Combs, dkk dalam Elkins (1979) significant others merupakan sosok penting yang dalam pembentukan konsep diri individu lebih banyak melihat sosok penting daripada sosok tidak penting. Dalam orientasi, pengalaman buruk yang diperoleh dan bersama-sama dengan internalisasi nilai menjadi bahan pembelajaran guna menjadikan individu mampu melakukan the redemptive self.

B. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana konsep diri perempuan Jawa beserta pembentukan dan orientasinya?

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

9

C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsep diri perempuan Jawa beserta pembentukan dan orientasinya.

D. Manfaat 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini dapat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang Psikologi Budaya, Psikologi Sosial dan Psikologi Kepribadian. Penelitian ini memberikan sumbangsih dalam melihat sebuah konsepsi nilai budaya atau situasi masyarakat tertentu dalam membentuk suatu konsep diri dan orientasi perempuan yang memiliki latar belakang budaya tertentu. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini memberikan manfaat yaitu hasil penelitian ini dapat memberikan deskripsi yaitu berupa pemaparan mengenai bagaimana pembentukan dan bagaimana orientasi kehidupan berdasarkan konsep diri yang ada sebagai pemahaman tentang pembentukan dan orientasi konsep diri perempuan Jawa.

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab 2 ini yaitu pada bab tinjauan pustaka, peneliti akan memaparkan teori-teori yang menjadi bahan tinjauan untuk penelitian. Pengertian perempuan Jawa, pengertian konsep diri, bagaimana masyarakat Jawa beserta kaidahnya, arketipe yang ada dalam diri, dan juga tinjauan kepustakaan dari dinamika bagaimana pembentukan dan orientasi konsep diri perempuan Jawa yang akan dibahas dalam penelitian akan dipahami sebagai landasan pengetahuan dalam memahami konteks penelitian.

A. Pengertian Perempuan Jawa Istilah perempuan lebih pas dalam membahas penelitian ini daripada kata wanita walaupun banyak buku yang menggunakan kata wanita. Kata “wanita” berasal dari kata wani (berani) dan ditata (diatur). Artinya, seorang wanita adalah sosok yang berani ditata atau diatur. Dalam kehidupan praktis masyarakat Jawa, wanita adalah sosok yang selalu mengusahakan keadaan tertata sehingga untuk itu akan tampak bahwa berani ditata tidak berarti wanita menjadi pasif dan tergantung kepada orang lain yang mengaturnya (Handayani, 2008). Ahli filsafat UGM Damardjati Supadjar dalam Handayani (2008) juga mengungkapkan bahwa kata “wanita” berasal dari kata wani (berani) dan tapa (menderita). Artinya, wanita adalah sosok yang berani menderita bahkan untuk orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari sebagai contoh dapat ditemukan banyak 10

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

11

perempuan Jawa yang berpuasa demi keberhasilan anaknya dalam menghadapi ujian. Contoh lainnya yaitu ada juga perempuan Jawa yang rela tidak makan yang penting anaknya dapat makan. Berdasarkan pernyataan tersebut maka lebih pas menggunakan istilah perempuan daripada istilah wanita dalam penelitian ini karena dalam penelitian ini sosok perempuan dilihat sebagi subjek yang menjadi pemain utama. Kata “perempuan” dipilih karena kata dasar perempuan adalah “empu” yang berarti guru yang bermakna dihargai dan dihormati (Handayani, 2008). Penelitian ini ingin menunjukkan sosok perempuan yang dihormati dan berperan. Karakter perempuan Jawa sangat identik dengan kultur Jawa, seperti bertutur kata halus, tenang, diam / kalem, tidak suka konflik, mementingkan harmoni, menjunjung tinggi nilai keluarga, mampu mengerti dan memahami orang lain, sopan, pengendalian diri tinggi / terkontrol, daya tahan untuk menderita tinggi, memegang peranan secara ekonomi, dan setia / loyalitas tinggi. Seorang perempuan Jawa dapat menerima segala situasi bahkan yang terpahit sekalipun (Handayani, 2008). Ada beberapa konsepsi paternalistik yang berkembang di dalam masyarakat Jawa, terutama yang paling terlihat konsepsi paternalistik dalam keluarga yang dimana wanita Jawa menjadi istri dengan istilah konco wingking. Konco wingking yaitu menjadi orang yang berada di belakang itu tidak selalu lebih buruk, lebih rendah, dan kurang menentukan (Handayani, 2008). Seorang perempuan tidak selalu menjadi seorang istri akan tetapi dalam budaya Jawa seorang perempuan Jawa juga lebih identik menjadi seorang istri dan

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

12

berhubungan dengan keluarga. Hal ini disebabkan karena adanya pandangan masyarakat yang muncul bahwa seorang perempuan akan menjadi pembicaraan publik apabila belum menikah. Contohnya adalah berkembangnya istilah perawan tua dalam masyarakat yang dilekatkan pada perempuan yang sudah berumur tetapi belum menikah. Istilah untuk peran perempuan atau wanita Jawa sebagai istri adalah garwa selain istilah konco wingking. Konsepsi garwa (istri) bukan sekedar konco wingking, melainkan juga diartikan sebagai sigaraning nyawa (belahan jiwa / separo dari jiwa). Makna sigaraning nyawa ini tampak jelas memberi gambaran posisi yang sejajar dan lebih egaliter daripada kanca wingking. Karena suami dan istri adalah dua yang telah menjadi satu maka masing-masing adalah separo dari satu entitas (Handayani, 2008). Dalam keluarga walaupun suami istri adalah dua yang telah menjadi satu, akan tetapi suami atau bapak bagi anak-anaknya adalah tetap kepala keluarga yang mencari nafkah yang tetap harus dihormati. Namun dalam berjalannya kehidupan keluarga, istri atau ibu yang lebih berperan dalam keluarga. Ibu adalah pusat keluarga, pada umumnya memegang keuangan, dan cukup menentukan dalam pengambilan keputusan-keputusan penting, misalnya mengenai pilihan sekolah, pekerjaan, pilihan suami atau istri bagi anak-anaknya. Pada saat-saat kritis, kesulitan ekonomi, bencana, alam, dan sebagainya biasanya ibulah yang mempertahankan keluarganya (Handayani, 2008). Y. B. Mangunwijaya dalam Genduk Duku mengatakan bahwa kejayaan suami tergantung dari bagaimana ia dapat belajar dari istrinya (bersedia dibenahi perilakunya) (Handayani, 2008). Kemampuan istri Jawa untuk menjadi kejayaan

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

13

suami terletak pada kemampuannya untuk cancut tali wanda saat keluarga dalam kesulitan. Cancut tali wanda adalah suatu konsepsi Jawa yang menggambarkan sikap untuk terlibat, mengambil peran bahkan komando, dan taktis untuk menghadapi masalah, tidak hanya dalam ide dan pengambilan keputusan mengenai langkah-langkah apa yang akan ditempuh, tapi juga dalam pelaksanaannya (Handayani, 2008). Berkaitan dengan prinsip hormat maka sebisa mungkin seorang perempuan atau wanita Jawa tidak tampil dalam sektor publik karena secara normatif istri tidak boleh melebihi suami (Handayani, 2008). Contohnya adalah jika seorang perempuan Jawa ingin bekerja sebisa mungkin untuk tidak bekerja karena dalam budaya Jawa bermaksud menghormati laki-laki yang dimana dalam budaya Jawa berkembang patriarkisme. Seandainya memang tampil dalam sektor publik tetapi tetap menjaga keharmonisan rumah tangga dan tetap menjaga kehormatan suaminya. Sebisa mungkin tidak menyakiti kehormatan suaminya sebagai laki-laki. Selain itu konsep Jawa swarga nunut, neraka katut dimaknai kembali oleh perempuan atau wanita Jawa. Anak dan suami bagi istri adalah cerminan kepribadian, keberhasilan, bukan kegagalannya sendiri sehingga istri berusaha keras supaya garis hidup suami baik (swarga) (Handayani, 2008). Maksudnya, istri menjadi pendukung suaminya dalam menjalani kehidupan. Istri berada di belakang siap medukung setiap keputusan suaminya. Istilah barunya yang sedang populer adalah “dibalik laki-laki hebat ada peran perempuan atau wanita dibelakangnya”.

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

14

Walaupun perempuan atau wanita Jawa menghargai suami atau kaum lakilaki dan tetap tidak bertindak melebihi laki-laki tetapi perempuan atau wanita Jawa juga dapat memperoleh kekuatan atau otoritas dalam hidupnya. Strategi yang biasa dilakukan adalah dengan bersikap “diam” (pasif) dan memakai cara halus, tidak pernah menunjukkan kejengkelan meski marah dan tidak pernah mengatakan “jangan” secara verbal meski dia hendak melarang. Sikap ini dikenal dengan konsep menang tanpa ngasorake (Handayani, 2008). Cara halus ini digunakan perempuan atau wanita Jawa sehingga tidak menyakiti perasaan orang lain melainkan sebaliknya orang merasa dimengerti dan diterima, dengan begitu orang tersebut akan menyerah dengan sadar. Perempuan Jawa yang dididik dalam kultur Jawa mampu mempengaruhi dunia privat dan kebijakan publik justru karena kecerdasan emosional dan kekuatan femininnitasnya. Perempuan Jawa dididik untuk selalu memiliki kesadaran diri melalui kontrol emosi dalam dirinya. Kesadaran diri dalam mengontrol emosi yang muncul membuat perempuan atau wanita Jawa menjadi cukup trampil untuk mengambil posisi yang tepat dalam kondisi sosial tanpa mengganggu harmoni yang ada (Handayani, 2008).

B. Konsep Diri 1. Identitas Berdasarkan Erik H. Erikson (1950, 1968) bahwa identitas yang termasuk dalam 8 tahap perkembangan manusia adalah menjadi prasyarat untuk masuk ke tahap berikutnya yaitu keintiman. Pada tahap identitas ini individu berada dalam

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

15

fase remaja dimana memiliki keingintahuan yang besar terhadap hal baru sehingga banyak melakukan hal-hal baru yang membantunya menemukan identitas. Akan tetapi dalam pencarian identitas ini remaja dapat menemui masalah yaitu kebingungan peran. Setiap tahap perkembangan Erikson perlu dilalui agar dapat menjadi individu seutuhnya. Jadi, permasalahan dalam pencarian identitas yaitu kebingungan peran perlu diselesaikan sebelum menuju ke tahap berikutnya yaitu keintiman. Biasanya remaja untuk menyelamatkan diri mereka untuk sementara waktu mereka mengidentifikasikan diri secara berlebihan dengan pahlawan kelompok atau massa (Erikson, 1989). Identitas juga menjadi bagian dari konstruksi peran sosial. Berdasarkan analisis yang dilakukan Deux, Reid, Mizrahi, dan Ethier (1995) dalam Millon & Lerner, (2003) menghasilkan 5 tipe identitas sosial yaitu, relationship (suami, saudara), vocational or avocational role (guru), political affiliation (negarawan, pejuang feminis), stigmatized identity (orang yang tidak punya rumah, orang gemuk), dan religion or ethnicity (Jewish, Hispanic (dalam budaya Indonesia dapat diganti dengan istilah orang Katolik, orang Jawa)). Peran identitas di atas yang merupakan hasil dari budaya dan sosial juga mengungkapkan dimensi interpersonal dari kepribadian seseorang. Teori identitas sosial (e.g., Tajfel, 1982; Tajfel & Turner, 1979; Turner, 1982 dalam Millon & Lerner, 2003) mengatakan bahwa konsep diri mengandung atribut personal dan sosial. Harga diri biasanya fokus pada atribut personal, tetapi keanggotaan dalam kelompok juga penting. Harga diri kolektif (merasa suatu kelompok sosial positif) berkorelasi dengan harga diri personal pada umumnya

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

16

(Luhtanen & Crocker, 1992 dalam Millon & Lerner, 2003). Kemudian harga diri tidak hanya personal tetapi juga evaluasi diri dalam kelompok di mana individu berada. 2. Definisi Konsep Diri Roger (Patterson dalam Elkins, 1979) mengatakan bahwa konsep diri didefinisikan sebagai : “the organized, consistent conceptual Gestalt composed of characteritics of the ‘I’ or ‘me’ and the perceptions of the relationship of the ‘I’ or ‘me’ to others and to various aspects of life, together with the value attached to these perceptions.” Jadi konsep diri merupakan konsep Gestalt yang konsisten dan terorganisir yang terdiri dari ciri ‘I’ atau ‘me’ dan persepsi hubungan dari ‘I’ atau ‘me’ kepada orang lain dan berbagai aspek kehidupan lain yang bersama-sama dengan nilai melekat pada persepsi ini. Sedangkan Combs, dkk dalam Elkins (1979) menyebutkan “The self concept is meant all those aspects of the perceptual field to which we refer when we say ‘I’ or ‘me’” yang berarti konsep diri adalah semua aspek persepsi dimana kita lebih menggunakan “I” or “me”. Konsep diri hanya mencakup persepsi tentang diri yang tampaknya paling vital atau penting bagi individu sendiri (Comb dan Snygg, 1959). Patterson dalam Elkins (1979) menyatakan bahwa beberapa teoritisi melihat ‘me’ berarti the self as object atau sering disebut konsep diri dan ‘I’ berarti the self as subject atau sering disebut ego. William D. Brooks (1974) mendefinisikan konsep diri adalah persepsipersepsi fisik, sosial, dan psikologis dari diri kita yang berasal dari pengalaman dan interaksi kita dengan orang lain. Anita Taylor et al (1977) mendefinisikan

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

17

konsep diri sebagai semua yang dipikirkan dan dirasakan tentang diri, seluruh kepercayaan yang kompleks dan sikap yang dipegang tentang diri. Sedangkan menurut Allport dalam Schultz (1991) menyebutkan seorang psikolog humanistik mengubah konsep diri menjadi istilah proprium. Proprium menunjuk kepada sesuatu yang dimiliki seseorang atau unik bagi seseorang yang terdiri dari hal-hal atau proses-proses yang penting dan bersifat pribadi bagi seorang individu, segi-segi yang menentukan seseorang sebagai yang unik. Contohnya, individu yang sabar menghadapi anak kecil yang nakal adalah keunikan yang tidak semua orang miliki. Rogers (Patterson dalam Elkins, 1979) menganggap konsep diri menjadi kesadaran seseorang, sedangkan diri mungkin termasuk aspek-aspek ketidaksadaran. Contohnya, seorang individu yang menyadari dirinya adalah seorang yang memiliki perhatian pada anak merupakan konsep diri yang dimiliki sedangkan siapa sesungguhnya diri berada dalam ketidaksadaran. Konsep diri menurut psikolog persepsi adalah organisasi persepsi tentang diri individu untuk menjadi siapa dirinya. Itu terdiri dari ribuan persepsi yang berbeda-beda dalam hal kejelasan, presisi, dan pentingnya dalam perekonomian seseorang (Combs, dkk dalam Elkins, 1979). Contohnya, seorang individu yang mampu memahami orang lain, individu yang mampu melihat kekurangan dan kelebihan diri, individu yang mampu memahami bahwa dirinya dan orang lain itu berbeda. Bagi Epstein (1973) dalam memahami konsep diri adalah : “The self concept is a self theory. It is a theory that the individual has unwittingly constructed about himself as an experiencing, functioning

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

18

individual, and it is part of a broader theory which he holds with respect to his entire range of significant experience.” Jadi konsep diri adalah sebuah teori tentang diri. Itu adalah sebuah teori bahwa individu tanpa disadari telah dibentuk tentang dirinya sebagai sebuah pengalaman, individu yang berfungsi, dan itu adalah bagian dari teori yang lebih luas dimana diri memegang seluruh pengalaman yang signifikan. 3. Pembentukan Konsep Diri Konsep diri itu terbentuk dari pengalaman interaksi dengan dunia. Combs, dkk dalam Elkins (1979) mengatakan bahwa orang-orang belajar siapa dirinya dan menjadi seperti apa dirinya dari cara mereka diperlakukan oleh orang-orang penting yang ada disekitar mereka yang biasa disebut significant others. Sedangkan mempelajari sedikit dari orang yang tidak penting. Cooley (1902) dalam Millon & Lerner (2003) berargumen bahwa konsep diri terdiri dari bayangan dari kehadiran kita bagi orang lain, bayangan penilaian orang lain dari kehadiran itu, dan perasaan diri seperti bangga atau malu. Perlu adanya gambaran dari orang lain tentang diri sebagai cermin atau kaca bagi individu untuk dapat menyadari kelebihan dan kekurangan yang ada pada dirinya sehingga dapat menilai dirinya sendiri. 4. Konsep Diri Positif dan Negatif Menurut Brooks dan Emmert (1976) dalam Rakhmat (1985) ada tanda tanda orang yang memiliki konsep diri negatif yaitu mereka peka pada kritik yang diberikan pada dirinya. Mereka akan langsung tahu jika ada yang mengkritik dirinya. Mereka juga responsif dalam setiap kali menerima pujian dari orang lain. Orang dengan konsep diri negatif juga bersikap pesimis dalam setiap

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

19

menghadapai kompetisi, dan memiliki sikap hiperkritis. Sikap hiperkritis merupakan sikap yang selalu mengalah, mencela atau meremehkan apa pun dan kepada siapa pun. Orang yang memiliki sikap hiperkritis tidak pandai dan tidak sanggup mengungkapkan penghargaan atau pengakuan pada kelebihan orang lain. Diri orang dengan konsep diri negatif yang seperti itu membuat mereka merasa cenderung tidak disenangi oleh orang lain. Sebaliknya, ada tanda-tanda orang yang memiliki konsep diri positif yaitu mereka yakin dengan kemampuannya dalam mengatasi masalah. Mereka merasa setara dengan orang lain. Walaupun begitu mereka juga mampu menyadari bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat. Mereka juga mau menerima pujian tanpa rasa malu, serta mampu memperbaiki dirinya karena sanggup mengungkapkan aspekaspek kepribadian yang tidak disenanginya dan berusaha merubahnya. D. E. Hamacheck dalam Rakhmat (1985) juga menyebutkan karakteristik orang yang mempunyai konsep diri positif yaitu mereka meyakini nilai-nilai dan prinsip-prinsip tertentu serta bersedia mempertahankannya, walaupun menghadapi pendapat kelompok yang kuat. Mereka peka pada kebutuhan orang lain, pada kebiasaan sosial yang telah diterima, dan terutama sekali pada gagasan bahwa ia tidak bisa bersenang-senang dengan mengorbankan orang lain. Mereka mampu bertindak berdasarkan penilaian yang baik tanpa merasa bersalah yang berlebihlebihan, atau menyesali tindakannya jika orang lain tidak menyetujui tindakannya. Hal tersebut dikarenakan mereka merasa sama dengan orang lain, sebagai manusia tidak tinggi atau rendah, walaupun terdapat perbedaan dalam kemampuan tertentu,

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

20

latar belakang keluarga, atau sikap orang lain terhadapnya. Mereka cenderung menolak usaha orang lain untuk mendominasinya. Karakteristik yang lain yaitu mereka tidak menghabiskan waktu yang tidak perlu untuk mencemaskan apa yang akan terjadi besok, apa yang telah terjadi waktu yang lalu, dan apa yang sedang terjadi waktu sekarang. Mereka memiliki keyakinan pada kemampuannya untuk mengatasi persoalan, bahkan ketika ia menghadapi kegagalan atau kemunduran. Hal ini dikarenakan mereka sanggup menerima dirinya sebagai orang yang penting dan bernilai bagi orang lain, paling tidak bagi orang-orang yang ia pilih sebagai sahabatnya. Karakteristik lain orang yang memiliki konsep diri positif yaitu mereka mampu menyadari perasaan yang ada dalam dirinya. Mereka dapat menerima pujian tanpa berpura-pura rendah hati, dan menerima penghargaan tanpa merasa bersalah. Di sisi lain, mereka sanggup mengaku kepada orang lain bahwa ia mampu merasakan berbagai dorongan dan keinginan, dari perasaan marah sampai cinta, dari sedih sampai bahagia, dari kekecewaan yang mendalam sampai kepuasan yang mendalam pula. Mereka mampu menikmati dirinya secara utuh dalam berbagai kegiatan yang meliputi pekerjaan, permainan, ungkapan diri yang kreatif, persahabatan, atau sekedar mengisi waktu. 5. Arketipe Dalam Pembentukan Konsep Diri Arketipe adalah gambaran kuno yang berasal dari ketidaksadaran kolektif. Arketipe mempunyai dasar biologis tetapi asalnya terbentuk melalui pengulangan pengalaman dari para leluhur manusia (Feist & Feist, 2006). Arketipe ini bersama insting membantu dalam pembentukan kepribadian.

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

21

Bentuk-bentuk dari arketipe menurut Jung (Feist & Feist, 2006) ada beberapa yaitu, persona yang merupakan sisi kepribadian yang ditunjukkan kepada dunia. Persona ini sama dengan pemakaian topeng oleh pemain dalam pentas panggung. Jung percaya bahwa setiap manusia terlibat dalam peranan tertentu yang dituntut oleh sosial agar diterima di masyarakat, akan tetapi jika seseorang terlalu identik dengan persona mereka maka akan kehilangan inner self dan akan lebih cenderung memenuhi lingkungan sosial. Kebalikan dari bentuk arketipe persona yaitu bayangan (shadow) yang merupakan akretipe dari kegelapan dan represi. Bentuk arketipe ini menggambarkan kualitas-kualitas yang tidak diakui keberadaannya serta berusaha disembunyikan keberadaannya dari diri sendiri dan orang lain. Bentuk arketipe yang lain adalah anima dan animus yang masing-masing dimiliki laki-laki dan perempuan. Bentuk arketipe yang dimiliki laki-laki yaitu anima karena anima merupakan sisi feminin dari laki-laki yang terbentuk dalam ketidaksadaran kolektif dan menetap di kesadaran. Jung percaya bahwa anima terbentuk dari pengalaman laki-laki dengan perempuan (ibu, saudara, orang yang dicintai) yang digabungkan untuk membentuk gambaran umum mengenai perempuan. Bentuk arketipe yang dimiliki perempuan adalah animus karena animus merupakan arketipe maskulin pada perempuan. Animus adalah simbol berpikir dan berlogika. Jung percaya bahwa animus bertanggung jawab untuk berpikir dan berpendapat pada perempuan. Bentuk arketipe lain yang dimiliki baik laki-laki maupun perempuan yang mengajarkan tentang kehidupan yaitu bentuk arketipe great mother dan wise old

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

22

man. Great mother menampilkan dua dorongan yang berlawanan yaitu kesuburan dan pengasuhan di satu sisi dan di sisi lain adalah kekuatan dan menghancurkan. Sedangkan wise old man (orang tua yang bijak) merupakan arketipe dari kebijaksanaan dan keberartian yang menyimbolkan pengetahuan manusia akan misteri kehidupan. Arketipe berikutnya merupakan arketipe yang menggambarkan diri individu yaitu hero dan self. Hero (pahlawan) merupakan arketipe yang direpresentasikan dalam mitologi dan legenda sebagai seseorang yang sangat kuat. Pahlawan dilihat sangat memukau seperti yang ada di TV, buku, dan film. Gambaran seperti itu dilihat juga sebagai model gambaran kepribadian yang ideal. Sedangkan arketipe self adalah arketipe dari semua arketipe karena semua arketipe bergabung menjadi satu dan bergabung dalam proses realisasi diri. Self sebagai arketipe disimbolkan sebagai ide seseorang akan kesempurnaan, kelengkapan, dan keutuhan. Self terdiri dari kesadaran dan ketidaksadaran pikiran dan hal tersebut menyatukan elemen-elemen yang saling bertentangan dari psike (kekuatan laki-laki dan perempuan, kebaikan dan kejahatan, serta terang dan gelap).

C. Jawa 1. Masyarakat Jawa Yang disebut orang Jawa adalah orang yang yang bahas ibunya adalah bahasa Jawa yang sebenarnya itu. Jadi orang Jawa adalah penduduk asli bagian tengah dan timur Pulau Jawa yang berbahasa Jawa (Suseno, 1984). Hal ini

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

23

dikarenakan bahas Jawa banyak dijumpai di Pulau Jawa bagian Tengah dan Timur. Dalam wilayah kebudayaan Jawa sendiri dibedakan antara para penduduk pesisir yang kuat dengan pengaruh budaya Islam yang menghasilkan budaya Jawa yang khas yaitu kebudayaan pesisir dan daerah-daerah Jawa pedalaman sering disebut juga “kejawen” yang mempunyai pusat budaya dalam kota-kota kerajaan Surakarta dan Yogyakarta (Suseno, 1984). Yogyakarta dan Surakarta disebut kota kerajaan karena merupakan ibu kota bekas kerajaan-kerajaan dan pada zaman sekarang tetap menjadi pusat kebudayaan seni dan sastra Jawa. Orang Jawa sendiri membedakan dua golongan sosial yaitu yang pertama adalah wong cilik (orang kecil), terdiri dari sebagian besar massa petani dan mereka yang berpendapat rendah di kota. Kedua yaitu kaum priyayi, kaum priyayi di mana termasuk kaum pegawai dan orang-orang intelektual. Kaum priyayi adalah pembawa kebudayaan kota Jawa tradisional yang mencapai tingkat sempurna di kraton Yogyakarta dan Surakarta (Suseno, 1984). Ritus religius sentral orang Jawa, khususnya Jawa Kejawen adalah slametan, suatu perjamuan makan seremonial sederhana, semua tetangga harus diundang dan keselarasan di antara para tetangga dengan alam raya dipulihkan kembali. Dalam slametan terungkap nilai-nilai yang dirasakan paling mendalam oleh orang Jawa, yaitu nilai kebersamaan, ketetanggan, dan kerukunan (Suseno, 1984).

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

24

2. Kaidah Dasar Kehidupan Masyarakat Jawa Hildred Geertz dalam Magnis Suseno (1984) menjelaskan ada dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa yaitu yang pertama adalah prinsip kerukunan, setiap situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa hingga tidak sampai menimbulkan konflik. Berlaku rukun berarti menghilangkan tanda-tanda ketegangan dalam masyarakat atau antara pribadipribadi sehingga hubungan-hubungan sosial tetap kelihatan selaras dan baik-baik. Selain itu, berlaku rukun juga berarti bahwa orang sanggup untuk membawa diri dengan terkontrol dan dewasa dalam masyarakat. Keadaan rukun terdapat di mana semua pihak berada dalam keadaan damai satu sama lain, suka bekerja sama, saling menerima, dalam suasana tenang dan sepakat. Jadi prinsip kerukunan tidak berarti bahwa orang Jawa tidak mempunyai kepentingan-kepentingan pribadi, melainkan

merupakan

suatu

mekanisme

sosial

untuk

mengintegrasikan

kepentingan-kepentingan itu demi kesejahteraan kelompok. Banyak cara dan bentuk untuk menjaga kerukunan. Suatu cara agar terjadi kerukunan biasanya menuntut agar individu bersedia untuk menomorduakan, bahkan kalau perlu untuk melepaskan kepentingan-kepentingannya pribadi demi kesepakatan bersama. Masyarakat Jawa telah mengembangkan norma-norma kelakuan yang diharapkan dapat mencegah terjadinya emosi-emosi yang bisa menimbulkan konflik. Satu keutamaan yang sangat dihargai oleh orang Jawa agar menjaga kerukunan adalah kemampuan untuk memperkatakan hal-hal yang tidak enak secara tidak langsung. Suatu teknik lain yang merupakan norma kelakuan untuk menghindari kekecewaan yang dapat merusak kerukunan adalah kebiasaan

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

25

untuk berpura-pura. Berpura-pura atau dalam bahasa Jawa ethok-ethok berarti bahwa tidak akan memperlihatkan perasaan-perasaannya yang sebenarnya terutama perasaan negatif yang dapat merusak kerukunan. Teknik lain yang merupakan norma agar menjaga kerukunan adalah menjaga tata krama yang menyangkut gerak badan, urutan duduk, isi, dan bentuk suatu pembicaraan. Dalam berbahasa diharapkan menggunakan bahasa Jawa krama karena dengan menggunakan bahasa krama berarti ada rasa hormat kepada orang lain yang diajak berbicara sehingga dapat membantu menjaga kerukuan (Suseno, 1984). Bentuk dan cara lain untuk menjaga kerukunan adalah dengan praktek gotong royong yang ada di masyarakat. Praktek gotong royong dimaksud ada dua macam pekerjaan yaitu saling membantu dan melakukan pekerjaan bersama demi kepentingan seluruh desa (Suseno, 1984). Menurut Kontjaraningrat dalam Suseno (1984) ada tiga nilai yang disadari orang desa dalam melakukan gotong royong yaitu pertama orang itu harus sadar bahwa dalam hidupnya pada hakikatnya ia selalu tergantung pada sesamanya, maka dari itulah ia harus selalu berusaha untuk memelihara hubungan baik dengan sesamanya. Kedua, orang itu harus selalu bersedia membantu sesamanya. Ketiga, orang itu harus bersifat konform, artinya orang harus selalu ingat bahwa ia sebaiknya jangan berusaha menonjol, melebihi yang lain dalam masyarakatnya. Kaidah dasar yang kedua adalah prinsip hormat. Manusia dalam cara bicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap hormat terhadap orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Prinsip hormat berdasarkan pendapat, bahwa semua hubungan dalam masyarakat teratur secara hirarkis, bahwa

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

26

keteraturan hirarkis itu bernilai pada dirinya sendiri dan oleh karena itu orang wajib untuk mempertahankannya dan untuk membawa diri sesuai dengannya. Kesadaran akan kedudukan sosial masing-masing pihak meresapi seluruh kehidupan orang Jawa. Dalam bahasa Jawa tidak ada kemungkinan untuk menyapa

seseorang

dan

bercakap-cakap

dengannya

tanpa

sekaligus

memperlihatkan bagaimana kita menaksirkan kedudukan sosial kita dibandingkan dengan dia. Alasan utama mengapa setiap pembicaraan antara dua orang Jawa dengan sendirinya mengandaikan suatu penentuan perimbangan sosial terletak dalam struktur bahasa Jawa sendiri. Bahasa Jawa terdiri dari dua tingkat utama yang berbeda dalam perkataan dan gramatika. Yang satu, bahasa krama yang mengungkapkan sikap hormat, sedangkan yang satunya mengungkapkan keakraban yaitu bahasa ngoko.

D. Konsep Diri Perempuan Jawa : Pembentukan dan Orientasi Significant others merupakan salah satu media dalam pembentukan konsep diri sesorang karena significant others adalah sosok terdekat dalam berinteraksi. Significant others menjadi simbol dari nilai-nilai yang ada karena nilai-nilai yang ada tersebut dibawa significant others melalui cerita dari interaksi yang ada. Nilainilai tersebut yang diimani dalam pencarian identitas. Hal tersebut memiliki kesamaan dengan tradisi budaya Jawa yang banyak mengunakan simbolisasi. Significant others atau orang terdekat hanya sebagai media penyalur untuk mempermudah atau membantu dalam pencarian identitas dan konsep diri.

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

27

Pengalaman seseorang berinteraksi dengan significant others adalah pengalaman memperoleh cerita yang berisi aneka nilai-nilai. Bentuk nilai-nilai ini adalah suatu arketipe dalam diri manusia yang akan membantu membentuk kepribadian identitas seseorang dalam ketidaksadarannya. Arketipe yang dinarasikan turun temurun menjadi kekuatan dari suatu cerita. Sesuai dengan pendapat Ganz, 2011 dalam artikel yang ditulis dalam The Annual Meeting of the American Sociological Association di Anaheim, California menuliskan,”Story telling is central to social movements because it construct agency, shapes identity, and motives action.” Dapat diartikan cerita adalah pusat dari pergerakan sosial karena cerita membangun suatu pandangan, bentuk identitas, dan motif dari perilaku. Selain itu Davis juga menyebutkan, “Stories do not just configure the past in light of the present and future, they also create experiences for and request certain responses from their audience.” Jadi cerita tidak hanya menyusun masa lalu dalam masa kini dan masa depan, cerita juga membangun pengalaman baru dan mengharapkan respon tertentu dari para pendengar. Dari cerita-cerita yang diperoleh mampu mempengaruhi konsep dirinya yang dirasakan dan dapat membuat berfikir untuk bertindak ke depannya. Perempuan adalah makhluk ciptaan Tuhan yang di masyarakat Indonesia terutama di Jawa menjadi makhluk yang jarang diperbincangkan perannya secara mandiri, mereka lebih cenderung dibicarakan di bawah bayang laki-laki. Adanya budaya patriarkisme yang berkembang di sistem masyarakat Indonesia menyebabkan masyarakat lebih sering membicarakan peran laki-laki secara lebih mandiri. Hal tersebut yang menarik perhatian peneliti untuk memahami sosok

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

28

perempuan yang pastinya memiliki latar belakang dan pengalaman yang berbedabeda. Informan yang dipakai dalam penelitian ini adalah menggunakan perempuan Jawa karena bagi peneliti perempuan Jawa merepresentasikan perempuan Indonesia pada umumnya. Hal ini dikarenakan dalam buku On the Subject of “Java” karya Pamberton (1994) dijelaskan adanya peran budaya Jawa yang diberikan oleh presiden yang berlatar belakang budaya Jawa terhadap gaya pemerintahannya yang berlangsung lama. Budaya Jawa yang dibawa tersebut menjadi gambaran umum diri Indonesia. Perempuan Jawa secara nilai budaya Jawa merupakan perempuan yang dididik dengan budaya Jawa, memiliki nilai-nilai budaya Jawa serta adanya pandangan tradisi mengenai perempuan bahwa perempuan Jawa adalah perempuan yang halus, sopan, menjaga harmoni, menjunjung tinggi keluarga, memiliki kesetiaan yang tinggi, dan memiliki sikap pengorbanan yang besar (Handayani, 2008). Pandangan tradisi kepada perempuan Jawa tersebut muncul dikarenakan adanya prinsip masyarakat Jawa yaitu menjaga kerukunan dan sikap hormat. Nilai-nilai Jawa yang sudah dikenal sejak kecil tersebut tidak akan mudah hilang seiring dengan waktu walaupun budaya itu bersifat dinamis dapat berubah seiring waktu. Dalam penelitian, kedudukan perempuan Jawa yang sudah menikah menjadi fokus dalam penelitian ini karena dalam budaya Jawa sistem patriarkisme sangat terlihat dalam hidup pernikahan perempuan Jawa. Seperti yang ditulis Warto dalam buku “Sangkan Paran Gender” tahun 1997 bahwa seorang perempuan harus pandai macak, masak, manak, bila ketiga hal ini gagal

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

29

dijalankan, ia dianggap tidak ada nilainya lagi baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat. Seorang perempuan yang tidak dapat masak atau mempunyai anak dianggap aneh dalam masyarakat dan menjadi aib keluarga. Selain itu dalam pernikahan kompleksitas hidup manusia juga sudah terlihat. Perempuan tidak dilihat lagi sebagai individu sendirian melainkan dia sudah mendapat sebutan baru yaitu istri atau garwa atau konco wingking dalam budaya Jawa yang memiliki tanggung jawab suami dan anaknya. Di dalam budaya Jawa, istri diharapkan memiliki konsep cancut tali wanda dan swarga nunut, neraka katut agar mendukung dan membawa kejayaan suami karena konsep perempuan dalam budaya Jawa adalah perempuan tidak boleh melebihi laki-laki sehingga yang dapat dilakukan perempuan adalah menjadi pendukung laki-laki (Handayani, 2008). Adanya labelling atau stereotipe budaya Jawa terhadap perempuan tersebut membuktikan betapa budaya atau kultur memberi pengaruh yang besar terhadap konsep wanita atau perempuan itu sendiri. Setiap budaya memiliki konsep tentang wanita atau perempuan yang berbeda-beda. Pengaruh kultural dan pedagogis itu diarahkan pada perkembangan pribadi wanita atau perempuan menurut suatu pola hidup dan satu ide tertentu. Perkembangan tadi sebagian disesuaikan dengan bakat serta kemampuan wanita atau perempuan, dan sebagian lagi disesuaikan dengan pendapat-pendapat umum atau tradisi menurut kriteriakriteria feministis tertentu (Kartini Kartono, 2006). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan mengenai pengaruh budaya, “Symbolic cultural psychologists have demonstrated that cultural concepts impart a specific content and mode of operation to emotions,

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

30

perceptions, memory, logical reasoning, aggression, child rearing, developmental processes (such as the acquisition of language), and mental illness” (Carl Ratner, 2002) yang berarti psikolog budaya simbolik menunjukkan bahwa konsep budaya memberitahu konten yang spesifik dan modus operasi emosi, persepsi, memori, penalaran logis, agresi, membesarkan anak, proses perkembangan (seperti akuisisi bahasa), dan penyakit mental. Selain itu budaya juga memiliki pengaruh bagi konsep diri langsung seperti yang disebutkan oleh Carl Ratner (2002) bahwa “Cultural psychologists have investigated the manner in which cultural concepts serve as filters that mediate perception, memory, self concept, and other psychological phenomena” yang berarti bahwa psikolog budaya telah menyelediki cara dimana konsep budaya berfungsi sebagai penyaring yang memediasi persepsi, memori, konsep diri, dan fenomena psikologis lainnya. Dari paparan di atas maka konsep-konsep atau nilai-nilai yang ada dalam budaya Jawa dapat mempengaruhi bagaimana konsep diri dan konsep perempuan juga. Terutama adanya dua prinsip yang dipegang budaya Jawa yaitu menjaga kerukunan dan sikap hormat dapat mempengaruhi pembentukan konsep diri perempuan Jawa. Adanya konsep diri atau rasa akan diri yang dipaparkan dalam bentuk cerita kehidupan kemudian menentukan bagaimana diri akan bersikap. Cerita kehidupan ini berada di sini dan sekarang sebagai internalisasi dan sebagai perkembangan narasi diri yang menggambarkan bagaimana individu di sini dan sekarang memahami siapa dirinya sekarang, sebelumnya, dan menjadi apa di masa depan (McAdams, 2006). Konsep diri atau rasa akan diri mempengaruhi pikiran

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

31

dan perasaan perempuan Jawa sehingga menggerakkan dan memunculkan orientasi, sikap dan tindakan yang akan dilakukan. Dalam orientasi, pengalaman yang membentuk konsep diri menjadi bahan pembelajaran guna menjadikan diri perempuan Jawa yang mampu melakukan the redemptive self.

Interaksi Significant others Narasi

Konsep Diri

Orientasi

Budaya Jawa Gambar. 1 Skema Dinamika Teori Konsep Diri Perempuan Jawa : Pembentukan dan Orientasi

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

BAB III METODE PENELITIAN

Pada bab metode penelitian ini, peneliti akan memaparkan metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini. Paradigma dan pendekatan penelitian, fokus penelitian, prosedur penelitian, serta analisis data yang digunakan akan membantu memahami alur berfikir penelitian ini.

A. Paradigma dan Pendekatan Penelitian Suatu pengalaman adalah guru terbesar dalam kehidupan manusia. Tidak ada manusia di dunia ini yang tidak mengalami suatu pengalaman dalam hidupnya. Setiap manusia memiliki pengalaman yang berbeda-beda yang satu dengan yang lainnya karena setiap manusia adalah unik. Bagaimana manusia memandang dan memaknai setiap pengalamannya juga unik, tidak ada yang sama, namun dapat memiliki tema yang sama. Banyak perempuan Jawa yang dijumpai peneliti selama ini, baik itu tetangga maupun orang terdekat peneliti. Setiap kali peneliti menjumpai atau berdinamika relasi bersama, peneliti menemukan pengalaman yang berbeda-beda dan unik dari setiap kehidupan yang dimiliki para perempuan Jawa baik itu perempuan Jawa di desa maupun perempuan Jawa di kota. Selain adanya keunikan dalam setiap pengalaman perempuan Jawa yang kental dan khas budayanya, ada pola kesamaan yang terbentuk dalam memandang dirinya beserta pembentuknya dan orientasinya. Fokus dari diri perempuan-perempuan Jawa ini 32

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

33

semua bertuju dan berkisah tentang keluarga. Keunikan ini menghantarkan keingintahuan peneliti untuk melihat lebih dalam suatu pengalaman hidup perempuan Jawa yang mempengaruhi konsep dirinya . Peneliti menggunakan paradigma penelitian kualitatif dalam penelitian ini agar mampu menjawab keingintahuan peneliti. Creswell (2014) menyatakan penelitian kualitatif dimulai dengan asumsi dan penggunaan kerangka penafsiran/teoritis

yang

membentuk

atau

mempengaruhi

studi

tentang

permasalahan riset yang terkait dengan makna yang dikenakan oleh individu atau kelompok pada suatu permasalahan sosial atau manusia. Untuk mempelajari permasalahan ini, para peneliti kualitatif menggunakan paradigma kualitatif mutakhir dalam penelitian, pengumpulan data dalam lingkungan alamiah yang peka terhadap masyarakat dan tempat penelitian, dan analisis data yang bersifat induktif dan pembentukan berbagai pola atau tema. Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan interpretatif fenomenologi analisis. Peneliti memilih jenis pendekatan ini karena adanya kesesuian antara keingintahuan peneliti dengan tujuan dari jenis pendekatan ini. Tujuan dari pendekatan ini adalah seperti yang tertulis dalam Smith (2008) yaitu the aim of interpretative phenomenological analysis (IPA) is to explore in detail how participants are making sense of their personal and social world, and the main currency for an IPA study is the meanings particular experiences, events, states hold for participant. Jadi tujuannya adalah untuk mengeskplorasi secara rinci bagaimana partisipan atau informan melihat dunia personal dan sosial, dan hal terpenting dalam IPA adalah makna mengenai

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

34

pengalaman, peristiwa, yang dialami partisipan atau informan. Penelitian ini ingin mengetahui dan memahami bagaimana konsep diri perempuan Jawa beserta pembentukannya dan orientasinya dengan melihat pengalaman yang dimiliki perempuan Jawa.

B. Fokus Penelitian Penelitian ini berfokus pada melihat pembentukan dan orientasi konsep diri perempuan yang dalam budaya Jawa identik sebagai istri. Informan akan diwawancara tentang pengalaman hidupnya untuk melihat bagaimana konsep dirinya. Kemudian informan ditanya mengenai sosok yang berpengaruh atau berperan dalam hidupnya dan ditanya juga alasan memilih sosok itu serta bagaimana sosok itu bagi dirinya. Data yang nanti diperoleh kemudian akan dianalisis menggunakan pendekatan Interpretative psychological Analysis dan dibahas dengan teori-teori yang mendukung.

C. Prosedur Penelitian 1. Informan Informan dalam penelitian ini adalah perempuan bersuku Jawa, berbudaya Jawa, dan tinggal di Provinsi Yogyakarta. Informan ini juga merupakan perempuan yang berusia 30 tahun ke atas. Seorang perempuan dalam usia itu menurut Erikson sudah mulai masuk ke dalam tahap psikososial generativity dan sudah meninggalkan tahap pencarian identitas, sehingga para informan cenderung sudah dapat melihat siapa dirinya. Selain itu, penelitian ini memilih informan

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

35

yang sudah berkeluarga atau menikah. Dalam budaya Jawa yang patriarkisme, perempuan identik dengan istilah istri atau perempuan yang sudah menikah. Posisi perempuan yang sudah menikah memiliki pengalaman jauh lebih banyak dan lebih kompleks dibanding perempuan yang belum menikah. Dalam suatu pernikahan seorang perempuan sudah memiliki tanggung jawab tidak hanya pada dirinya sendiri melainkan juga kepada suami dan anak-anaknya. Jumlah dari informan yaitu 6 orang yang terdiri dari berbagai usia. Pengambilan jumlah informan bergantung pada kejenuhan data yang diperoleh atau data temuan sudah saturasi. Kejenuhan atau saturasi data dilihat dari sudah tidak adanya variasi jawaban dari informan. 2. Metode Pengambilan Data Data penelitian ini akan diperoleh dengan cara wawancara kepada informan. Wawancara merupakan salah satu bentuk pengambilan data yang digunakan dalam paradigma kualitatif. Pertanyaan yang akan diajukan kepada partisipan berbentuk wawancara semi terstruktur. Dalam melakukan wawancara semi terstruktur, peneliti menggunakan protocol guide interview sebagai bentuk dari penjadwalan atau penataan alur wawancara. Tujuan dari pembuatan protocol guide interview atau penjadwalan wawancara seperti yang tertulis dalam Smith (2009) yaitu: “The aim of developing a schedule is to facilitate a comfortable interaction with the participant which will, in turn, enable them to provide a detailed account of the experience under investigation. Question should be prepared so that they are open and expansive; the participant should be encouraged to talk at length.”

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

36

Yang berarti bahwa tujuannya adalah memfasilitasi kenyamanan interaksi dengan informan

dengan

maksud

agar

informan

menceritakan

dengan

detail

pengalamannya. Pertanyaan harus dipersiapkan sehingga mereka terbuka dan luas dalam bercerita yang berarti informan didorong untuk berbicara dalam durasi yang panjang.

D. Analisis Data Menurut Smith (2009) ada beberapa proses yang dilakukan untuk menganalisis data pada setiap kasus atau pada setiap informan : 1. Reading dan re-reading Pada tahap ini peneliti membaca lagi dan lagi untuk meyakinkan bahwa informan dapat menjadi fokus dalam analisis. 2. Initial noting Pada tahap ini membutuhkan waktu yang banyak. Pada tahap ini mencatat segala isi yang menarik berkaitan dengan transkrip yang mengenai apa yang dibicarakan, dipahami, dan dipikirkan informan mengenai issue yang ada. Pada tahap ini dapat berupa komen deskriptif, komen linguistik, dan komen konseptual. 3. Developing emergent themes (mengembangkan tema yang muncul) Pada proses ini, peneliti memetakan hubungan keterkaitan, hubungan dan bentuk dari membuat catatan-catatan yang ada.

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

37

4. Structualizing (mencari hubungan antar tema yang muncul) Pada tahap ini peneliti lebih spesifik melihat bentuk dan hubungan antar tema yang muncul. Pada tahap ini semua bergantung pada pertanyaan penelitian dan ruang lingkupnya penelitian.

E. Kualitas Penelitian Smith (2009) menggunakan prinsip dan kriteria dari Lucy Yardley dalam menilai kualitas penelitian interpretative phenomenological analysis. Yardley memiliki 4 kriteria dalam menilai kualitas penelitian kualitatif yaitu : 1. Sensitivitas konteks Kesensitivitasan dapat ditunjukan melalui beberapa hal yaitu melalui lingkungan sosial budaya dari penelitian tersebut, keberadaan literatur dalam topik, dan data yang diperoleh dari partisipan. Suatu wawancara yang bagus sudah menunjukkan kesensitivitasan konteks. Wawancara yang baik membutuhkan keahlian, kesadaran, dan dedikasi. Kesensitivitasan data juga dapat ditunjukkan dalam analisis data. Penelitian IPA yang bagus akan selalu memiliki banyak verbatim dari data partisipan untuk mendukung argumen yang dibuat, sehingga membuat partisipan berperan dalam penelitian dan memungkinkan pembaca memeriksa interpretasi yang dibuat. Peneliti juga dapat

menunjukkan kesensitivitasan konteks melalui

kesadaran dari

keberadaan literatur. Dalam IPA, literatur yang relevan digunakan untuk membantu orientasi penelitian dan penemuan harus selalu dihubungkan dengan literatur yang relevan dalam pembahasan.

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

38

2. Komitmen dan kekakuan Komitmen dapat ditunjukkan dalam tingkat perhatian terhadap partisipan selama pengumpulan data dan peduli dengan analisis setiap kasus yang diangkat. Komitmen memiliki arti yang sama dengan menunjukkan kesensitivitasan konteks untuk beberapa elemen dalam proses penelitian. Kekakuan mengacu pada ketelitian penelitian, contohnya dalam kesesuaian sample dengan pertanyaan, kualitas wawancara, dan kelengkapan dalam analisis. Ada satu hal yang perlu diperhatikan yaitu untuk menjaga keseimbangan antara kedekatan dan keterpisahan. 3. Transparansi dan koherensi Transparansi mengacu pada kejelasan dalam mendeskripsikan langkahlangkah proses penelitian dalam penulisan penelitian ini. Yardley menjelaskan koherensi dapat mengacu pada tingkat kesesuaian antara penelitian yang sudah dilakukan dengan asumsi teoritis yang mendasari pendekatan yang diterapkan. 4. Dampak dan kepentingan Uji validitas sebenarnya terletak pada apakah penelitian memberitahu pembaca sesuatu yang menarik, penting, atau berguna.

wawancara INFORMAN

IPA DATA

Gambar. 2 Skema Proses Penelitian yang Dilakukan

TEMA

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

BAB IV PELAKSANAAN PENELITIAN, HASIL PENELITIAN, ANALISIS DATA, DAN PEMBAHASAN

Pada bab empat ini, peneliti akan menjelaskan proses pelaksanaan penelitian, hasil penelitian yang diperoleh, kemudian bagaimana analisis data penelitian yang dilakukan serta membahasnya. Wawancara dengan 6 informan yang telah dilakukan diringkas dalam sebuah narasi dinamika.

A. Pelaksanaan Penelitian Penelitian ini adalah sebuah penelitian kualitatif dengan pendekatan interpretative phenomenological analysis, dimana dalam proses pengambilan data peneliti tidak menggunakan skala penelitian melainkan dengan proses wawancara. Dalam melihat kualitas penelitian kualitatif kedalaman dalam proses wawancara menjadi penting karena wawancara merupakan sumber utama peneliti memperoleh data. Kenyamanan informan menjadi penting dalam proses wawancara penelitian kualitatif. Protocol guide interview dan penjadwalan wawancara dilakukan peneliti agar memperoleh kenyamanan dari informan selain pendekatan dan gaya interaksi yang digunakan peneliti dalam mewawancarai. Peneliti berusaha santai dalam melakukan proses wawancara dengan informan agar dapat memperoleh data sebanyak-banyaknya dari informan dan memperkecil adanya defense dari informan.

39

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

40

Peneliti mengawali proses wawancara dengan memperkenalkan diri lalu menjelaskan tujuan dari kedatangan peneliti dan meminta izin atas apa yang akan dilakukan peneliti. Setelah informan paham tujuan peneliti dan memberikan izin, peneliti memulai proses wawancara selama lebih kurang 120 menit. Pertanyaan yang pertama diberikan peneliti adalah informan diminta untuk menceritakan pengalaman hidupnya. Pertanyaan ini diberikan peneliti pertama kali untuk membangun suasana nyaman antara peneliti dengan informan dan menghindari adanya kecurigaan dari informan. Proses pengambilan data dilakukan peneliti selama 2 bulan dari bulan Juni 2015 – Juli 2015. Setelah diperoleh data dari informan, peneliti memulai proses analisis data dengan mengikuti langkah-langkah berdasarkan pendekatan interpretative phenomenological analysis.

B. Hasil Penelitian Dari penelitian yang sudah dilakukan, maka peneliti memperoleh data hasil wawancara dari setiap informan. Data-data ini kemudian dianalisis peneliti dengan melakukan reading dan re-reading, kemudian initial noting. Setelah melakukan initial noting yang dilakukan peneliti berikutnya yaitu melakukan developing emergent themes. Developing emergent themes tergambar dalam bentuk dynamic of meaning yang dipaparkan dalam sub bab ini. Data yang ditulis ini membantu untuk memahami lebih dalam lagi konsep diri perempuan Jawa dari setiap informan.

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

41

1. Ibu S (52) Ibu S (52) memiliki kenangan masa lalu yang selalu terkenang bersama keluarganya. Kebersamaan, dan kekeluargaan yang dirasakan bersama kakak, adik, dan orangtuanya masih terasa. Bagi Ibu S (52), ibunya adalah sosok yang berperan dalam keluarga dan dapat dijadikan teladan. Kebijaksanaannya dalam menengahi beda pendapat di dalam keluarga dan kegigihannya dalam membantu suami menopang perekonomian keluarga menjadi alasan Ibu S (52) mengatakan ibunya sebagai teladan. Bahkan Ibu S (52) juga ikut membantu untuk menopang perekonomian keluarga. Setelah menikah Ibu S (52) memiliki kemampuan juga untuk membantu perekonomian keluarga. Apa yang Ibu S (52) lihat ketika masih kecil diinternalisasikan dalam dirinya. Ibu yang mengutamakan kebaikan untuk anaknya juga menjadi alasan sosok ibu sebagai teladan. Selain itu, ibu juga rendah hati kepada semua orang yang membuat dia dihormati banyak orang. Pengalaman Ibu S (52) melihat ibunya dihormati banyak orang membuat dirinya merasa bertanggungjawab menjaga nama baik ibunya. Ibu juga mendidik dan menasehati banyak hal, baik nilai atau prinsip Jawa maupun bukan. Didikan yang diberikan adalah selalu mengutamkan kejujuran dan menjaga kerukunan, jangan membuat masalah atau pertengkaran. Didikan ibu ini membuat Ibu S (52) menjadi mampu melihat bahwa setiap orang memiliki perbedaan. Namun, walaupun dididik untuk menjaga kerukunan tidak kemudian Ibu S (52) selalu bersikap diam agar tidak terjadi pertengkaran tetapi Ibu S (52) juga berani mengungkapkan ketidaksukaannya dan berpikiran panjang ke depan apa yang harus dilakukan. Ibu S (52) juga selalu mengingat nasihat yang diberikan

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

42

ibunya yaitu untuk jangan minder walaupun tidak punya tapi milikilah bekal kepinteran pasti akan dihargai oleh orang lain. Nasihat ini yang selalu diingat sehingga menjadikan Ibu S (52) memiliki pandangan pendidikan penting. Segala didikan dan diri positif ibu menjadikan ibu adalah idola bagi Ibu S (52) dan Ibu S (52) memiliki rasa hormat dengan bertanggung jawab menjaga nama baik ibunya. Bagi Ibu S (52) semua pengorbanan yang sudah dilakukan ibunya sangat berarti. Dari semua kebaikan dan didikan yang ada di dalam diri, ada nilai yang ditanamkan oleh ibu yang kurang bisa diterima oleh Ibu S (52) setelah dipraktekan langsung yaitu didikan untuk menjaga keharmonisan dengan mengalah atau nrima. Didikan tersebut dilihat oleh Ibu S (52) sebagai kekurangan karena sikap tersebut sudah diprotes oleh orang-orang terdekatnya. Ibu S (52) belajar tidak selalu harus mengalah karena nanti bisa jadi kalah sungguhan. Mengalah dan nrima dilakukan Ibu S (52) pada situasi tertentu. Ibu S (52) juga menyadari memiliki kekurangan, tidak hanya memiliki hal-hal baik yang dipelajari dari ibunya. Kemampuannya berpikiran panjang ke depan disadari Ibu S (52) terkadang menjadikan dirinya salah bersikap, menjadi ragu-ragu dalam bertindak dan dalam pengambilan keputusan. Hal ini dilihat merugikan bagi Ibu S (52). Ibu S (52) memiliki keinginan untuk memperbaiki diri. Konsep diri Ibu S (52) yang positif membuat dia memiliki harapan menjadi diri yang lebih baik untuk menghadapi kekurangan yang ada dalam dirinya. Harapan lainnya adalah Ibu S (52) mengharapkan anaknya memiliki pendidikan yang lebih baik karena Ibu S (52) menyadari pentingnya pendidikan.

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

43

2. Ibu N (68) Ibu N (68) adalah sosok perempuan yang disiplin akan segala hal. Kedisiplinan yang dimiliki Ibu N (68) adalah bentuk internalisasi dari sosok bapak yang disiplin dan didikan seperti apa yang didapatkan dari sosok bapaknya. Sosok bapak adalah segalanya dan sosok yang sangat berarti dalam diri Ibu N (68). Semua didikan yang diberikan bapak bagi Ibu N (68) sangat berarti. Bapak adalah sosok yang sempurna bagi Ibu N (68). Bapak adalah tokoh idola bagi Ibu N (68). Nilai-nilai yang diberikan bapak adalah didikan yang tegas, kasar, sangat disiplin dan sangat menjunjung sikap hormat kepada orangtua. Didikan tersebut terkadang dianggap oleh Ibu N (68) menyusahkan tetapi juga diakui sangat mempengaruhi hidupnya. Bapak yang memperlakukan anaknya tidak adil karena adanya perbedaan dalam setiap anak terkadang menyusahkan Ibu N (68) tetapi Ibu N (68) tetap menganggap memberikan arti lain. Didikan-didikan dan perlakuanperlakuan yang menyusahkan tersebut tidak dianggap negatif oleh Ibu N (68). Ibu N (68) tetap melihat itu suatu proses pembelajaran. Ketidakadilan, kedisiplinan yang diterima bagi Ibu N (68) justru menjadikan dia memiliki daya juang untuk membuktikan bahwa dirinya mampu. Ibu N (68) tidak marah atau menyalahkan dengan kondisi yang didapatkan. Ibu N (68) justru bersyukur dengan perlakuan yang diberikan bapak, kalau bukan karena bapak yang memperlakukan tidak adil, tidak mungkin dirinya menjadi perempuan yang terampil mampu melakukan apa pun. Pengalaman tersebut juga menyebabkan Ibu N (68) menjadi mampu memahami akan kondisi yang ada dan memahami bahwa setiap orang itu berbeda-

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

44

beda. Kemampuan memahami adanya perbedaan dalam setiap orang membuat Ibu N (68) memiliki banyak teman. Teman-teman Ibu N (68) menganggap bahwa Ibu N (68) ini sebagai penyemangat dan penasihat yang baik. Bapak menddidik kepada anaknya untuk saling rukun, harmonis, dan saling menyayangi. Hal ini yang membuat Ibu N (68) juga mengayomi kepada saudara-saudaranya. Bagi Ibu N (68) adik dan kakaknya nyaman untuk berkeluh kesah kepada Ibu N. Mereka tergantung dan menyayangi Ibu N (68). Ibu N (68) juga merupakan orang yang berani dengan tegas mengatakan salah jika memang itu salah dan berani menunjukkan seperti apa yang benar baik pada anak-anaknya maupun kepada orang lain, jadi tidak hanya asal menyalahkan orang. Ibu N (68) belajar sikap itu dari ibunya yang dahulu sering melakukan itu kepada anaknya. Ibu N (68) juga mengakui dirinya memiliki keburukan yaitu terkadang memiliki kecemburuan kepada orang lain yang lebih mampu. Kecemburuan itu tidak kemudian dilihat menjadi negatif selalu oleh Ibu N (68) tetapi justru menyadarkan dia bahwa ini yang dia miliki dan tetap bersyukur dengan apa yang dia miliki. Orientasi dari diri Ibu N (68) yang positif ini bukan bermaksud galak tetapi dengan maksud mendidik karena Ibu N (68) merasa mampu memahami maksud baik dari didikan orangtuanya. Anak-anak Ibu N (68) sudah memahami perilaku itu demi kebaikan anaknya. Ibu N (68) pun juga melakukan hal serupa kepada cucu-cucunya.

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

45

3. Ibu E (54) Ibu E (54) merupakan perempuan yang mengagumi kebijaksanaan sosok bapaknya. Kebijaksanaan bapak dalam menghadapi masalah membuat Ibu E (54) nyaman jika ada masalah lari ke bapak. Kesabaran dan sikap mengalah yang dimiliki bapak sangat berkesan sehingga dapat menyelesaikan masalah dengan tanpa kekerasan. Ibu E (54) juga mengakui bahwa dia memiliki sifat kesabaran dan senang mengalah yang dimiliki bapaknya. Ibu E (54) tidak menyukai adanya pertengkaran. Akan tetapi Ibu E (54) menyadari tingkat kesabaran yang dimiliki tidak sesabar bapak. Tingkat kesabaran bapak yang sangat tinggi ini bagi Ibu E (54) justru dilihat menjadi kekurangan bapak karena di zaman sekarang jika terlalu mengalah justru dimanfaatkan orang lain dan justru rugi. Ibu E (54) juga mengagumi kerja keras bapak dalam memberikan pendidikan dan kebaikan untuk anaknya. Perjuangan bapak ini sangat berarti bagi Ibu E (54). Bapak yang rela bekerja apa pun demi menghidupi anak dan keluarganya merupakan bentuk pertanggung jawaban bapak kepada keluarganya. Semua sifat bapak itu membuat Ibu E (54) perhatian terhadap bapaknya dan menunjukkan rasa hormatnya dengan cara mau membantu orangtuanya. Sikap Ibu E (54) tersebut membuat bapak mengutamakan dan menyayangi Ibu E (54). Ketidakmampuan membahagiakan bapak di akhir hidupnya membuat Ibu E (54) bersedih. Selain hal positif dari bapak, ada perlakuan dari bapak yang dianggap salah oleh Ibu E (54) yaitu mengatur kehidupan pernikahannya dari kecil. Perlakuan bapak tersebut bagi Ibu E (54) menyebabkan dirinya menjadi sering memiliki pengalaman kurang baik dengan laki-laki.

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

46

Ibu E (54) belajar banyak hal dari sifat yang dimiliki bapak. Kebijaksanaan dari bapak yang sering dialami Ibu E (54) membuat dia juga bijaksana dalam menghadapai sesuatunya. Ibu E (54) melihat bapak yang bekerja keras dan posisi sebagai anak tertua membuat dirinya menjadi perempuan yang mandiri dan berani. Sikap perhatian bapak kepada anaknya telah menyadarkan Ibu E (54) arti penting seorang anak. Bapak yang penyabar dan menjaga keharmonisan menjadi contoh teladan bagi Ibu E (54) dalam menjaga keharmonisan. Tindakan konkrit yang dilakukan Ibu E (54) adalah dengan cara bersikap sabar dan berpikir panjang dalam menghadapi masalah. Ibu E (54) juga menyadari ada kekurangan dalam dirinya. Ibu E (54) mengatakan bahwa dirinya orang yang minder di hadapan orang banyak. Ibu E (54) merasa kurang percaya diri untuk mengutarakan pendapatnya di hadapan orang banyak, lebih banyak diam dan mendengarkan. Menurut Ibu E (54), mungkin karena pendidikannya yang kurang dibandingkan dengan adik-adiknya jadi Ibu E (54) merasa minder. Di dalam keluarga adik-adiknya justru yang lebih berani dalam mengungkapkan pendapatnya. Kesadaran Ibu E (54) akan dirinya beserta pengalaman-pengalaman yang dialami membuat dia memiliki harapan anaknya tidak memiliki pengalaman yang sama dengan dirinya dan memiliki kehidupan yang lebih baik. 4. Ibu L (56) Ibu L (56) merupakan perempuan yang mudah bergaul dan memiliki banyak teman. Keceriaan yang dimiliki membuat Ibu L (56) disukai banyak teman-temannya. Didikan orangtua untuk tidak membeda-bedakan teman

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

47

membuat Ibu L (56) mudah bergaul atau berteman. Ibu L (56) mengakui dirinya pintar dalam berteman, menurut dia pintarnya adalah dia memiliki dua kelompok pertemanan, satu kelompok belajar dan satu lagi kelompok bermain. Di dalam hidup Ibu L (56) sosok yang mempengaruhi dalam diri atau yang menjadi referensi Ibu L (56) adalah sosok bapak. Sosok bapak yang tidak memiliki musuh dan memprioritaskan pendidikan anaknya diinternalisasikan dalam diri Ibu L (56). Ibu L (56) menjadi tidak suka mencari keributan dengan orang lain dan melakukan apa pun untuk pendidikan anaknya. Dalam memprioritaskan anak, Ibu L (56) menyadari bahwa dirinya mungkin dilihat kurang adil kepada kedua anak-anaknya. Ibu L (56) berharap anaknya yang tertua tidak cemburu karena perlakuan itu semua demi pendidikan mereka dan Ibu L (56) merasa sudah memperlakukan anaknya sama cuma karakter anaknya yang berbeda. Sosok bapak juga mendidik kesederhanaan dan perlu adanya perjuangan dalam hidup. Didikan tersebut bagi Ibu L (56) telah menyadarkan bahwa mencari uang itu tidak mudah. Ibu L (56) merasa bahwa didikan tersebut baik dan telah membuat dirinya dan saudara-saudaranya sukses maka kemudian didikan tersebut diinternalisasikan dalam mendidik anaknya. Adanya perjuangan, dan memperioritaskan pendidikan anaknya membuat Ibu L (56) menjadi perempuan yang memiliki pemikiran jauh ke depan untuk mempersiapkan masa depan sekolah anaknya terutama yang jauh di Jerman. Ibu L (56) terus berusaha untuk memenuhi kebutuhan anaknya dan tidak lupa Ibu L (56)

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

48

juga berprinsip bahwa segalanya tidak akan terjadi tanpa adanya bantuan doa. Prinsip ini juga tidak terlepas dari didikan bapak dahulu. Kesadaran diri Ibu L (56) terhadap segala pengalaman yang dia miliki membuatnya fokus hidupnya agar anak menjadi diri yang lebih baik. Ibu L (56) berharap anaknya hidup sederhana seperti dia dan memiliki pendidikan yang baik. 5. Ibu I (42) Ibu I (42) merupakan perempuan yang disiplin dan mandiri. Kedisiplinan dan kemandirian yang dimiliki merupakan hasil didikan yang disiplin dari bapaknya. Bapak juga mendidik anaknya untuk mandiri, jadi jika menginginkan sesuatu harus berusaha dahulu. Hal serupa diinternalisasikan juga oleh Ibu I (42) kepada anaknya. Ibu I (42) juga disiplin terhadap anaknya dan mendidik anaknya untuk mandiri. Ibu I (42) dahulu merasakan adanya perlakuan tidak adil yang diberikan ibunya. Ibu I (42) menyadari masih memiliki kebutuhan lain dalam dirinya. Ibu I (42) tidak bisa menyimpan apa yang dirasakan sehingga membutuhkan orang lain untuk bercerita selain suaminya karena dia merasa membutuhkan privasi lain. Ibu I (42) merasa masih belum menjadi diri yang baik, masih ada masalah dalam dirinya sehingga Ibu I (42) memiliki sosok lain yang menginspirasi dirinya yaitu Bunda Teresa. Bunda Teresa bagi Ibu I (42) adalah mentor dan pencerah dalam hidupnya. Banyak harapan yang dimiliki Ibu I (42) agar menjadi pribadi yang baik seperti Bunda Teresa. Banyak yang ada di dalam diri Bunda Teresa menjadi harapan di dalam dirinya. Bunda Teresa yang jiwa sosialnya tinggi, mampu mengendalikan emosi, bersikap tenang, sabar, penuh kasih, dan penguasaan diri

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

49

yang baik menjadi harapan bagi Ibu I (42). Ada beberapa dalam diri Bunda Teresa yang sudah diinternalisasikan dalam dirinya. Bunda Teresa yang menolong tanpa pamrih diinternalisasikan dalam diri Ibu I (42) sehingga membuat Ibu I (42) menjadi orang yang tidak tegaan kepada orang dan sebisa mungkin membantu semampunya. Bunda Teresa yang terlalu baik itu menurut Ibu I (42) membuat Bunda Teresa bisa dimanfaatkan sama halnya dengan dirinya yang juga kadang dimanfaatkan orang karena ketidaktegaannya. Kesabaran yang dimiliki Bunda Teresa yang diinternalisasikan ke dalam dirinya membuat dia berusaha terus memahami anaknya. Kesadaran diri Ibu I (42) terhadap dirinya membuat dia mengharapkan yang terbaik untuk anaknya apalagi Ibu I (42) tidak ingin apa yang sudah dirasakannya dulu terjadi pada anaknya. Ibu I (42) berharap ketidakadilan yang dirasakannya dulu tidak terjadi pada anaknya maka dari itu Ibu I (42) berusaha bersikap adil terhadap anaknya. 6. Ibu C (36) Ibu C (36) merupakan perempuan yang memandang keluarga adalah nomor satu. Kekeluargaan, keharmonisan, dan saling membantu merupakan hal yang disukai dari keluarganya. Kehilangan orangtua merupakan suatu hal yang belum siap diterima karena belum bisa membalas jasa kedua orangtua. Ibu C (36) memandang kondisi keluarganya jauh lebih baik daripada keluarga suaminya. Permasalahan yang sering dialami Ibu C (36) berasal dari keluarga suaminya. Bapak yang seorang petani memperlihatkan dan mendidik perlu adanya perjuangan dalam menghidupi keluarga yaitu istri dan anak sejak dahulu. Bapak

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

50

berjuang memperoleh pendidikan yang lebih tinggi agar bisa mendidik anaknya lebih baik. Kehidupan anak merupakan prioritas bagi kedua orangtua Ibu C (36). Pendidikan anak adalah yang utama. Orangtua Ibu C (36) menasehati banyak hal tentang kehidupan ini. Bapak mengutamakan pendidikan agar anaknya dapat bekerja dan hidup mandiri. Kemandirian sudah ditanamkan kepada Ibu C (36) sejak kecil yaitu dengan cara dididik mengatur keuangan dengan menabung sehingga jika memiliki kebutuhan tidak perlu meminta kepada orangtua. Didikan ini menurut Ibu C (36) berkembang di dalam dirinya. Ibu C (36) menyadari dirinya menjadi trampil tidak hanya dalam masalah keuangan tetapi juga strategi dan juga pemasaran. Kemampuan yang dimiliki Ibu C (36) ini memberikan kontribusi kepada usaha suaminya. Segala macam bentuk mengatur keuangan usaha dan keuangan keluarga diatur oleh Ibu C (36). Kontribusi tersebut menurut Ibu C (36) sudah diakui oleh suaminya. Kemampuan mengaturnya itu bagi Ibu C (36) membuatnya selalu berpikiran panjang ke depan. Ibu C (36) juga selalu mengingat nasihat yang diberikan oleh bapaknya untuk menghindari pertengkaran karena akan berdampak negatif pada rejeki seseorang. Ada satu lagi nasihat yang selalu diingat oleh Ibu C (36) dari bapak yaitu nasihat bahwa tidak selamanya kebaikan akan dibalas dengan kebaikan juga. Nasihat tersebut membuat Ibu C (36) tidak berpikiran negatif kepada orang lain dalam menghadapi masalah. Hal yang diutamakan adalah melakukan kebaikan dengan ikhlas. Ibu dari Ibu C (36) mendidik untuk menjadi perempuan yang prigel atau trampil, perempuan yang bisa apa pun dan dibutuhkan kapan pun. Didikan

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

51

tersebut diinternalisasikan Ibu C dalam dirinya. Ibu C (36) menjadi perempuan yang prigel atau trampil dalam membantu keuangan keluarganya. Ibu C (36) memiliki usaha juga, baik bisnis online maupun bukan di luar bisnis yang dimiliki suaminya. Dalam hal memperlakukan anak-anaknya, kedua orangtua Ibu C (36) sangat menghargai adanya usaha yang dilakukan Ibu C (36). Setiap usaha yang berhasil dilakukan Ibu C (36) akan ada apresiasinya. Selain itu, kedua orangtua Ibu C (36) yang berpedoman dengan agama membuat Ibu C (36) juga kuat dalam ajaran agamanya. Bagi Ibu C (36) orangtuanya tidak hanya memiliki dan mendidik hal yang baik, namun menurutnya orangtua Ibu C (36) melakukan ketidakadilan kepada dirinya dan saudaranya. Ketidakadilan yang dilakukan orangtua membuat dirinya kecewa dan sedih. Ibu C (36) mengakui memiliki kekurangan dalam dirinya. Ketidaksabaran yang ada di dalam diri Ibu C (36) membuatnya selalu meginginkan segala hal segera diatasi. Keinginan yang terburu-buru ini dapat menimbulkan resiko, tetapi Ibu C (36) akan bertanggung jawab menanggung apa pun resiko yang ada. Kekurangan lain yang dimiliki Ibu C (36) adalah kemampuan dirinya yang berani langsung mengungkapkan perasaan. Ibu C (36) menganggap itu adalah kekurangan karena dirinya merasa berbeda dengan orang lain yang mampu kalem, bisa menerima keadaan. Kesadaran

Ibu

C

(36)

terhadap

dirinya

beserta

pengalaman-

pengalamannya membuat dirinya memiliki beberapa harapan. Ibu C (36) berharap dapat menjadi religius seperti kereligiusan kedua orangtuanya miliki. Harapan yang lain yaitu berharap anaknya tidak merasakan ketidakadilan seperti yang Ibu

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

52

C (36) rasakan dahulu dari orangtuanya. Ibu C (36) belajar dari apa yang dirasakan dulu, kemudian sebisa mungkin bersikap adil kepada anaknya.

C. Analisis Data Proses yang sudah dilakukan peneliti dalam menganalisis data sebelumnya adalah proses reading dan re-reading, initial noting, dan proses developing emergent themes yang sudah dipaparkan dalam subbab sebelumnya. Tahap berikutnya adalah structualizing. Bentuk dari structualizing yang sudah dilakukan peneliti terpapar dalam subbab analisis data ini. Hasil dari structualizing yang sudah dilakukan tersebut adalah peneliti menemukan beberapa tema yang muncul. Pertama, yaitu perempuan Jawa dan konsep dirinya. Kedua, orangtua sebagai pembentuk konsep diri yaitu orangtua menjadi sumber internalisasi. Ketiga, orientasi konsep diri. 1. Perempuan Jawa dan Konsep Dirinya Konsep diri perempuan Jawa adalah konsep diri yang positif. Mereka mampu memiliki pandangan dan menilai dirinya dengan positif walaupun berada dalam budaya patriarkisme yang banyak membicarakan atau meletakkan kedudukan laki-laki lebih tinggi dari perempuan dan menomorduakan perempuan. Mereka mampu menyadari sisi positif dan sisi negatif dirinya. a.

Sisi diri positif pada perempuan Jawa Perempuan Jawa menyadari bahwa dirinya adalah diri yang positif yaitu

seorang perempuan yang kuat dalam segala hal. Perempuan Jawa yang kuat dalam hidup religius. Perempuan Jawa memiliki prinsip yang kuat mengenai kekuatan

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

53

atau kebesaran Tuhan. Perempuan Jawa percaya bahwa jika kuat dalam doa akan membawa rejeki atau berkat tersendiri. “Berdoa, saya dikasih berdoa, banyak doa membantu, nyatanya ho’oh banyak doa.” (L, 879-880) “Ya banyak doa. Ya peganganya doa itu mbak. Doa itu elok tenan. Pokoknya ya aman-aman lah. Doa-doa doa, saya sering novena sama itu apa.. tesbeih itu apa rosario. Tiap malam itu saya rosario.” (L, 893898) “kuat doane terus ora tau ribut, mestine Tuhan kasih berkat yang melimpah buat kita” (Kuat dalam doa kemudian tidak pernah bertengkar, pasti Tuhan memberi berkat yang melimpah buat kita) (C, 373-375) Kematangan spiritual yang dimiliki perempuan Jawa membantu perempuan Jawa memahami lingkungan sekitar dan melihat lingkungan dari sisi positif. “kami nggak pernah berpikiran macem-macem, jadi dari hal yang itu kan kita nggak pernah berpikiran yang macem-macem atau berpikiran negatif kan wis ora.” (kami tidak pernah berpikiran yang tidak-tidak, jadi dari hal itu kan kita tidak pernah berpikiran yang tidak-tidak atau berpikiran negatif kan sudah tidak pernah) (C, 853-856) Pikiran positif yang dimiliki perempuan Jawa juga membawa kekuatan positif bagi perilaku mereka. Perempuan Jawa melihat dirinya mampu ikhlas dalam melihat setiap hal yang dihadapi atau diperoleh. Setiap apapun yang dilakukan dan diterima oleh perempuan Jawa dilihat dari sisi positif, dinikmati, dan dilakukan serta diterima dengan ikhlas. “kami selalu menikmati. Arep ra nduwe duwit ya dinikmati, dilakoni uripe.” (Kami selalu menikmati. Walaupun tidak punya uang, kehidupan tetap dijalani) (C, 901-902) “Berbuat baik ke orang itu jangan berharap dia juga berbuat baik ke kita.” (C, 863-864)

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

54

Pikiran positif dan keikhlasan membawa perempuan Jawa untuk semakin kuat dengan prinsip hidup orang Jawa yang sudah diberikan oleh orangtuanya yaitu untuk menjaga kerukunan. Pikiran positif dan keikhlasan dalam segala hal termasuk dalam menghadapi masalah membantu membuat perempuan Jawa menjaga kerukunan. Bentuk konkritnya dalam menjaga kerukunan atau keharmonisan adalah dengan diam dan mengalah, baik dalam bentuk pekerjaan maupun bukan karena adanya prinsip hormat yang dimiliki perempuan Jawa. Diam yang dilakukan dengan maksud menghormati orang disekitarnya. “Kalau dia nganu musuhin saya. Saya diem orangnya. Nggak mau mbales, nggak mau itu. Ada dulu persaingan jualan, kan iri, orang kan iri ada yang iri. Tapi ya cuek aja, suami saya juga cuek aja. Ngapain kita ngurusin orang lain. Saya kan orangnya gitu. Saya dimusuhin udah diem aja.” (L, 233-239) “Lebih baik kalau ibu itu mengalah ya. Mengalah daripada nanti ada masalah ya.” (E, 160-162) “Ya itu apa namanya.. apa tho istilahe.. aa.. menjaga suasana itu jangan. Jangan ribut... jangan bertengkar.. rela mengalah.” (S, 555557) “Males ribut. Nanti malah berbuntut panjang. Ya sudahlah ...” (S, 559) Menjaga kerukunan yang dipegang oleh perempuan Jawa selain karena adanya rasa menghormati kepada orang disekitarnya tetapi mereka juga menyadari bahwa mereka tidak mengenal adanya pertengkaran atau memiliki musuh dari kecil. “Musuhan itu nggak pernah dari kecil sampe sekarang yang namanya musuhan itu saya nggak suka.” (I, 33-35) “Makannya nek nek kadang kakak adek 1 keluarga ya sok bertengkar ki saya heran dulu teman-teman cerita dengan adeknya bertengkar, dalam kamus saya nggak ada.” (S, 299-302) Orangtua mereka tidak menunjukkan dan mendidik adanya pertengkaran.

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

55

Perempuan Jawa juga menyadari bahwa dirinya merupakan perempuan yang trampil dalam melakukan banyak hal, baik dari pekerjaan yang halus dilakukan dengan duduk sampai pekerjaan yang membutuhkan tenaga lebih banyak. “Jadi ibu rumah tangga asli ibu rumah tangga tapi ibu itu juga kegiatan di rumah itu suka melukis. Otodidak ya melukis ...” (E, 455-458) “Ngerajut juga, kalau ngerajut ini malah sekarang ini sebelum ini ada. Itu suka dulu itu kan ibu ngajari gitu tho, puluhan tahun itu kok kepengen ya belajar lagi dari awal juga tho lama-lama juga bisa bikin baju, bikin lainnya itu juga laku. Ini contohnya seperti ini.” (E, 468475) “Hal seni itu ibu suka ngukir sayuran buah, seperti itu, kalau ada tumpeng itu ibu sering disuruh. Gitu” (E, 477-479) “Ibu sendiri yang mbersihin, yang ngecet ini ibu sendiri.” (E, 530-531) “... dituntut untuk mandiri kan, kerja bakti juga harus dilakukan sendiri sampe suatu saat kayaknya saya itu nggak bisa, nggak harus sama lakilaki saya juga bisa.” (I, 70-74) Keterampilan yang dimiliki Perempuan Jawa disadari juga membuat dirinya memiliki kemandirian dan mau berusaha untuk memenuhi keinginannya. Kemandirian yang dimiliki yaitu mandiri dalam mencari uang. Perempuan Jawa dengan keterampilannya mampu membuat usaha apapun untuk mencari uang. “... Terus aku bikin kalau mau kuliah itu saya bikin. Saya bikin terus yang nyopir adik saya, terus tak setoreke ke sekolah-sekolah makannya harus anak itu harus nganu rekasa gitu, nggak dimudahkan gitu, harus minta ini harus minta itu, harus dimudahkan gitu nggak, harus kerja dulu kalau mau minta apa-apa harus kerja dulu.” (L,726-734) Mereka berprinsip sebisa mungkin tidak tergantung pada suami atau laki-laki dalam masalah ekonomi. “Meskipun aku di rumah dapat uang dari suami, aku ya tetep kerja, ya ngewangi deke kadang ya jualan online gitu.” (C, 334-336)

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

56

“Aku dulu sudah menikah aku masih bekerja. Sudah punya anak satu masih bekerja.” (C, 528-530) Mereka sebisa mungkin membantu suami mencari uang demi anak-anak. “Pokoke kalau untuk sekolah tak uja. Minta apa. Saya berusaha mencarikan uang darimana saya tetep saya carikan untuk bayar les. Untuk ini saya berusaha mencarikan.” (L, 697-701) Informan perempuan Jawa juga memiliki kemandirian dalam berumah tangga baik dalam hal menghadapi masalah rumah tangga maupun dalam mengurus anak. Perempuan Jawa berprinsip bahwa masalah apapun yang terjadi di dalam rumah tangga selalu diselesaikan sendiri tanpa orangtua mengetahui. “... bagi kami kalau ada masalah di keluarga kami, kami tidak mau memberi apa ya .. kepikiran ke orangtua walaupun itu masalah seberat apa pun kita, kita tutup, dan kita di luar itu kelihatannya nggak ada masalah sebetulnya itu ada masalah yang luar biasa bagi kita. Itu kita tutup hanya kita berdua yang tahu.” (I, 117-124) Begitu pula dalam hal mengurus anak, perempuan Jawa mampu mengurus sendiri anak yang sakit. “ibu itu apa-apa sendiri kok dulu itu kalau anak sakit gitu ya kalau nggak kakek neneknya, ibu sendiri, ndaftar ke panti rapih gitu tho nanti terus dokternya datangnya jam berapa itu ke sana lagi sama anaknya yang sakit itu, seperti itu.” (E, 676-682) Semua hal yang dilakukan oleh para perempuan Jawa berarah pada satu tujuan yang pasti yaitu semua untuk mengurus atau mendidik anak. b.

Sisi negatif pada perempuan Jawa Setiap individu tidak hanya memiliki sisi positif yang ada dalam dirinya

melainkan juga ada sisi negatif. Perempuan Jawa juga mampu menyadari sisi negatif dalam dirinya yang juga. Perempuan Jawa juga sama seperti individu lain

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

57

yang memiliki kekurangan. Kekurangan yang disadari oleh para informan adalah diri yang ngalahan atau nrima untuk menjaga kerukunan. “... terlalu mengalah terlalu memikirkan panjang itu jadi ragu-ragu kadang itu. negatifnya.” (S, 769-770) “Karena itu tadi terlalu mengalah itu kalau menurut saya itu marakke ragu-ragu, tidak berani bertindak, mikirnya mungkin malah terlalu panjang itu lho.” (S, 773-776) Ngalahan atau nrima menurut informan justru menjadi negatif karena menjadikan terlalu berpikir panjang. Padahal ada situasi tertentu yang diharapkan untuk bersikap dengan cepat dan tegas. Terlalu mengalah juga membuat benar-benar akan dikalahkan oleh orang lain. 2. Orangtua Pembentuk Konsep Diri : Sumber Internalisasi Konsep diri seseorang terbentuk tidak dengan sendirinya dari Tuhan, melainkan adanya interaksi antara setiap individu dengan individu lain maupun antara individu dengan lingkungannya. Setiap interaksi yang terjadi memberikan pengalaman baru bagi individu. Pengalaman terpenting yang terjadi pada perempuan Jawa yaitu pengalaman adanya interaksi perempuan Jawa dengan keluarganya terutama dengan orangtuanya. Apa pun yang ada dan berasal dari orangtua

memberikan

arti

penting

bagi

diri

perempuan

Jawa

dan

diinternalisasikan ke dalam dirinya. a.

Sisi positif dari orangtua Setiap orangtua merupakan manusia yang memiliki sisi positif dan negatif

dalam dirinya. Diri orangtua yang seperti apa sangat mempengaruhi bagaimana mereka memperlakukan anaknya. Orangtua dalam budaya Jawa merupakan

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

58

orangtua yang gigih mengutamakan segalanya demi kebaikan anaknya terutama dalam hal pendidikan, hal ini terungkap dalam pernyataan informan. “Saya dulu semua anak dimanjakan, kepengin les apa dileskan sama orangtua saya.” (L, 693-695) “dia sih ngomong sendiri nek aku isa pendidikanku lebih bagus supaya bisa mendidik anakku juga lebih bagus gitu.” (C, 916-918) “... hidupnya untuk anak itu betul-betul berkorban untuk anak, untuk mengantar anak biar besoknya lebih baik dari orangtua, kehidupannya” (S, 496-499) Pendidikan adalah nomor satu bagaimana pun keadaan ekonomi yang ada. Menurut informan, orangtua mereka akan berusaha dengan cara apa pun agar anak memiliki pendidikan. “... dalam kondisi mereka nggak punya pun mereka ya tetep sekolah mboh anake harus berpendidikan meminimalkan ana ndak ana ya diana-anakke ibrata kata, ra ketang anake ana sing bener ana sing ora.” (... dalam kondisi mereka tidak punya pun mereka ya tetap sekolah entah anaknya harus berpendidikan minimal ada atau tidak ada ya diada-adakan ibarat kata, walaupun anaknya ada yang jadi orang benar dan ada yang tidak) (C, 975-979) “Pokoke orangtua itu untuk anak segala-galanya. Apa yang untuk anak dipenuhi, dalam arti untuk pendidikan. Untuk kehidupan anakanaknya. semuanya. Apa direwangi wong tuwa rekasa. Ibu njahit juga. anaknya dipenuhi semua.” (pokoknya orangtua itu untuk anak segala-galanya. Apa yang untuk anak dipenuhi, dalam arti untuk pendidikan. Untuk kehidupan anak-anaknya semua. Sampai orangtua bekerja keras. Ibu menjahit juga, anaknya dipenuhi semua) (L, 796-800) “Waktu itu kan ya masih kekurangan ya. tapi bapak itu nggak malu, bapak saya ya nggak malu bekerja dengan jualan es dari jalan-jalan dengan dorongan seperti itu. nggak malu demi untuk anak-anak menghidupi keluarga. Seperti itu.” (E, 1060 - 1065) “aja nganti anake ki nek sekolah yo terhalang karena nggak punya uang.” (jangan sampai anaknya itu kalau sekolah terhalang karena tidak punya uang) (C, 657-659)

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

59

“Pokoknya pendidikannya cuman rendah tapi anaknya itu pokoknya bagaimana caranya harus sekolah gitu. Ya semampunya perekonomian ya.” (S, 682-685) Selain berusaha memenuhi ekonomi agar anak memiliki pendidikan, menurut informan orangtua juga berusaha bagaimana pun caranya untuk membantu dan menemani anaknya belajar sehingga dukungan yang diberikan tidak hanya dukungan material melainkan juga dukungan secara personal. “Meskipun tidak bisa membantu anak-anak belajar tapi menemani. Kan misale nggak bisa garap gitu kan nggak bisa tanya gitu ya tapi menemani sampai jam berapapun.” (S, 183-187) Usaha yang dilakukan orangtua agar anak memperoleh pendidikan tidaklah cukup, melainkan orangtua juga melakukan hal lain agar anak juga memiliki kesadaran sendiri. Menurut informan perempuan Jawa, orangtua juga berusaha meyakinkan anaknya mengenai penting dan perlunya pendidikan. “Semangatnya membesarkan hati anak-anaknya biar, misale biar tidak minder, biar tetep maju terus meskipun kondisi keluarga susah, kondisi sosialnya di bawah.” (S, 669-672) “Soale memang dari dulu bapak ngomong ning anak-anak ngapain kuliah tinggi-tinggi kalau ujung-ujungnya di dapur. Kayak gitu. Jadi kita menikmati pekerjaan.” (C, 524-528) Orangtua

Jawa

bukan

hanya

merupakan

orangtua

yang

hanya

memprioritaskan pada pendidikan anak melainkan orangtua Jawa juga merupakan orangtua yang juga masih menyadari adanya ajaran-ajaran agama. “Yang religius juga dari orangtua yang ngajarin. Bapak ibu itu selalu bangun pagi, berdoa jam 3 pagi, nanti jam 6 doa malaikat Tuhan, nanti jam 12 doa malaikat Tuhan, jam 3 doa kerahiman.” (C, 599604)

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

60

Orangtua Jawa melihat bahwa usaha tanpa diimbangi dengan kekuatan spiritual kepada Tuhan tidak akan berhasil. Kedua kombinasi tersebut dimiliki oleh orangtua Jawa. b.

Sisi negatif dari orangtua Orangtua tidak selalu terlihat sempurna tanpa cacat dalam mendidik

anaknya, melainkan ada juga sikap negatif orangtua yang diberikan kepada anak. Sikap negatif tersebut disadari para informan kurang pas, yaitu sikap untuk nrima akan apapun. Sikap itu dipandang oleh informan perempuan Jawa merupakan sikap orangtua yang kurang pas karena akan merugikan diri sendiri juga. “Aaa.. anu... menurut saya selalu mengajarkan untuk ngalah, nrrima, terus. Dari ngalah, nrima, apa lagi ya.. itu ternyata kalau di betul-betul dipraktekan, ngalah jadi kalah tenan.” (S, 702-706) Sikap negatif orangtua yang lain adalah menurut informan perempuan Jawa, orangtua dalam mendidik dengan tegas tanpa basa-basi nilai-nilai yang ada. Ketegasan ini menurut informan membuat informan menjadi sangat menghormati orangtua mereka karena mereka ada rasa takut dengan orangtua. “... Saben abis dinei jarang, jarang sing digodok itu disitu kan makin lama makin dingin terus minum glek glek glek sambil berdiri ndak boleh. Arepa aku wis ngombe okeh wareg njupuk gelas lungguh, kon mbaleni ngombe. Disuruh ngulang tapi sambil duduk nggak boleh sambil berdiri.” (... setiap setelah dikasih air panas, air panas yang direbus itu di situ kan makin lama makin dingin terus minum glek glek glek sambil berdiri itu tidak boleh. Walaupun aku sudah minum banyak sampai kenyang, ambil gelas terus duduk disuruh mengulang minum. Disuruh mengulang tetapi dengan duduk tidak boleh dengan berdiri) (N, 532-539) Kekurangan orangtua Jawa yang lain yaitu berperilaku tidak adil kepada anak-anaknya yang tidak disadari oleh orangtua. Informan perempuan Jawa terkadang merasa sakit hati dengan perilaku orangtua mereka tersebut.

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

61

“lha itu kakakku kuwi padahale sekolahe ya sekolah SKP, tapi ibuku itu nek nggawekke klambi ki ora gelem kok terus dijahit dewe, ibuku njahit dewe itu nggak untuk kakak itu, dijahitke ning nggone cina, nggon modiste. Gitu. Hasilnya lebih bagus sedangkan aku aku kan dadi kakakku perempuan terus kakakku lanang terus aku. Nah kan iki cewek cewek, kan namanya iri kan mesti ana. Eyang ini dibuatkan sendiri dijahit sendiri nganggo mesin ithik-ithik kae. Mesin jaman mbiyen ngene kae. Kan hasilnya beda, namanya yo wong kreatifitase wong mbiyen kae ki kan wes pokoke wes oblong-oblong ngono.” (lha itu kakakku itu padahal sekolahnya ya sekolah SKP, tapi ibuku itu kalau membuatkan baju tidak mau menjahit sendiri, ibuku itu menjahit sendiri bukan untuk kakak, dijahitkan di tempatnya cina, di modiste. Seperti itu. Hasilnya lebih bagus sedangkan aku, jadi kakakku perempuan kemudian kakaku laki-laki terus aku. Nah kan cewek cewek, kan namanya iri pasti ada. Eyang ini dibuatkan sendiri, dijahitin sendiri pakai mesin jahit jaman dulu itu. Kan hasilnya beda, namanya juga kreatifitasnya orang jaman dulu itu kan yang penting oblong-oblong) (N, 350-364) “Pernah suatu saat saya pengen sesuatu seperti ini ibu nggak belikan. Itu pernah suatu hari ibu itu pergi ke Bandung, saya minta dibelikan sepatu. Ini peristiwa waktu masih kecil dan saya inget terus, sudah saya kasih ukuran saya pake tali rafia. Bu, ini nanti ukuran sepatu saya. Ternyata yang saya tunggu-tunggu, ibu saya kondur, ini ibu nggak membelikan saya. Justru membelikan kepada tante saya. Nah ini saya sakit hati.” (I, 179 -188) Sakit hati yang dirasakan hanya dipendam dalam diri perempuan Jawa, mereka tidak mampu untuk mengatakan kepada orangtua mereka. Adanya ketakutan dan hormat dengan orangtua yang disiplin menjadi salah satu alasan mereka melakukan itu. c.

Sistem nilai yang diberikan orangtua Sistem nilai yang orangtua berikan kepada informan perempuan Jawa

merupakan pengalaman interaksi langsung informan dengan orangtuanya. Orangtua Jawa mendidik anaknya sistem nilai kedisiplinan dalam hidup, bahkan sikap orangtua dalam mendidik anaknya juga disiplin.

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

62

“Bapakku itu disiplin ya itu tadi ya disiplin bangun pagi, disiplin kerja menafkahi keluarga” (N, 1274-1276) “bapakku itu wonge disiplin. Disiplin bener-bener disiplin. Kenapa aku bilang disiplin. Dan mengajari sopan satun itu benar-benar. Nek jaman biyen, jaman aku dari kecil wiwit aku ngerti, ngerti maem itu ya. itu yang namanya ibu itu dulu itu ya maklum ya itu pendidikan kolonial ya waktu itu. itu harus bapak dulu didahulukan gitu karena bapak yang mencari nafkah. Anak itu nanti, mbok aku ngeliha sing kaya ngapa tidak boleh sebelum bapakku itu selesai makan. Semua anaknya diperlakukan kecuali yang kecil-kecil gitu memang ya. tapi yang sudah tahu aku bertiga itu itu mbok aku ngelih kalau bapak belum kondur tidak boleh gitu.” (bapakku itu orangnya disiplin. Disiplin benar-benar disiplin. Kenapa aku bilang disiplin. Dan mengajari sopan santun itu benar-benar. Kalau orang zaman dulu, zaman aku kecil mulai aku mengerti, mengerti makan. Itu yang namanya ibu itu dulu itu ya maklum ya itu pendidikan kolonial waktu itu. itu harus bapak dulu didahulukan karena bapak yang mencari nafkah. Anak itu nanti, walaupun aku lapar yang seperti apa tidak boleh sebelum bapakku itu selesai makan. Semua anaknya diperlakukan kecuali yang kecil-kecil. Tapi yang sudah tahu aku bertiga itu walaupun aku lapar kalau bapak belum pulang tidak boleh seperti itu) (N, 479-494) “Kita dididik seperti itu, terus dari waktu kita SD itu sudah dibagi tugasnya masing-masing. Tugasnya pagi ya ada yang nyapu ya ada yang ini. terutama ya bapak itu kan disiplin itu aaa.. misalnya naruh barang itu harus dikembalikan ke tempatnya.” (I, 14-19) “Kerasnya maksudnya jam segini harus tidur, jam segini harus bangun, gitu. Harus nyapu, dididik suruh nyapu, kalau ke gereja setengah jam sebelumnya harus udah nyampe ke gereja, ...” (L, 833837) Nilai kedisiplinan yang diberikan orangtua tidak hanya dilakukan tanpa maksud. Orangtua memberikan nilai kedisiplinan juga dengan maksud menanamkan nilai kemandirian pada anak. Segala apapun yang diinginkan anak harus dilakukan dengan usaha terlebih dahulu. “kita dari kecil memang diterapkan sama bapak ibu mandiri semua, jadi kalau misalnya kita itu mau butuh sesuatu itu harus ada apa ya mbak ya namanya, harus ada usaha dulu.” (I, 10-14)

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

63

“Dulu saya kayak dulu semua sudah punya kulkas tempat saya nggak punya kulkas gitu terus saya bilang sama bapak, “Pak, kok saru tho nggak punya kulkas, orang sing maaf ya dibawahnya kita aja bisa beli kulkas, masa kita nggak beli kulkas.” Aku bilang gitu. “Aku mau belikan kamu, tapi kamu harus bisa mengembalikan uang itu.” bilang gitu. Caranya apa, bekerja cari uang, terus saya bikin es apolo itu terus saya jual.” (L, 713-723) “bapakku ngasih tahu jaman kecil. Kowe nabungo mben dina, sakmene. Mengko bisa nggo tuku apa-apa nek bapak pas ra nduwe duwet ngono jarene.” (bapakku memberi tahu zaman kecil. Kamu nabung lah setiap hari. Nanti bisa untuk beli apapun kalau bapak sedang tidak punya uang, begitu katanya) (C, 454-457) “kalau ibu dari segi, ini kudu prigel, isa ngapa-apa. Ora mung isa golek duwit. Isa nyambut gawe sing sak wayah-wayah suami ndak ada, kamu bisa bekerja diluar itu.” (kalau ibu dari segi, ini harus prigel, bisa melakukan apapun. Tidak hanya bisa cari uang. Bisa cari uang yang kalau sewaktu-waktu suami tidak ada,kmu bisa bekerja di luar) (C, 510-513) Orangtua menanamkan nilai kemandirian pada anak berharap anaknya tidak hanya asal bisa hidup mandiri tanpa memiliki sikap baik kepada diri sendiri maupun sikap baik kepada orang lain. Orangtua juga menanamkan nilai kesederhanaan untuk mengimbangi nilai kemandirian sehingga kemandirian itu tidak habis dengan menghasilkan sikap yang buruk dengan boros atau berfoya-foya maupun tidak bertanggungjawab. “ndidiknya orangtua itu sederhana walaupun apa-apa punya tapi jangan dipamer-pamerkan gitu. Orangtua saya kayak gitu.” (L, 710713) Kesederhanaan yang ditanamkan atau diberikan orangtua membuat informan sekaligus juga memiliki nilai kerelaan, tanpa pamrih dalam memberi atau berbuat baik. Dengan kerelaan maka diri juga berbuat kebaikan kepada sesama. “Sampai dibilang ditanamkan ke anak-anak. Wis pokoke nek karep berbuat baik ke orang, ya berbuat baik lah tapi aja berharap orang itu berbuat baik juga sama kamu aja mbok dadekke atimu, aja dadi

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

64

atimu.” (sampai dikatakan, ditanamkan ke anak-anak. Yang penting kalau ada keinginan berbuat baik ke orang, ya berbuat baik lah tapi jangan berharap orang itu berbuat baik juga sama kamu, jangan kamu jadikan hatimu, jangan dibawa hati berharap dibalas) (C, 825-829) Selain itu, orangtua Jawa tentu juga menanamkan nilai prinsip hidup dalam budaya Jawa yaitu menjaga kerukunan. Orangtua menanamkan nilai tersebut agar dalam hidup bermasyarakat tetap terjaga keharmonisannya dan tidak memiliki musuh. “... pesan waktu menikah, pokoke nggak boleh ribut, nek ribut ki wis rejeki mawut. Bilanginnya gitu.” (pesan pada waktu menikah, yang penting tidak boleh bertengkar, kalau bertengkar itu keberuntungan berantakan. Katanya seperti itu) (C, 574-576) “... jangan apa.. Tetangga-tetangga itu jangan.. jangan bikin masalah, pokoknya nganu opo jenenge? Menjaga kerukunan.” (... tidak boleh apa.. tetangga-tetangga itu tidak boleh... tidak boleh bikin masalah, yang penting apa itu namanya? Menjaga kerukunan) (S, 173-175) “orangtua saya ya nggak pernah punya musuh kok. Kan dulu didikannya orangtua dulu.” (L, 222-224) “Orangtua itu dulu mendidik itu jangan suka bertengkar itu kuncinya, saling menyayangi ...” (N, 462-463) Kerukunan yang dijaga tidak hanya dalam bermasyarakat melainkan juga ditanamkan orangtua di dalam keluarga. Orangtua mendidik anaknya bahwa keributan yang ada atau terjadi dapat merusak segala apapun yang sudah dilakukan atau dimiliki. Positif, negatif, dan sistem nilai yang diberikan orangtua kepada informan perempuan

Jawa

diinternalisasikan

ke

dalam

diri.

Perempuan

Jawa

menginternalisasikan semua nilai tersebut karena adanya kedekatan yang terbentuk antara orangtua dengan perempuan Jawa. Kedekatan itu ditunjukkan

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

65

dari perhatian yang diberikan orangtua kepada anak maupun perhatian yang diberikan anak kepada orangtua. “he’eh. Kalau ndak gitu ndak ngerti aku, aku sendiri jadi apa. Apaapa dulu ngomong, dulu sebelum suami melamar ya bilang. Anakku aja dipenggak nek ra gelem mandeg nyambut gawe.” (iya. Kalau tidak seperti itu tidak tahu aku, aku sendiri menjadi apa. Apa-apa dulu berbicara, dulu sebelum suami melamar ya bilang. Anakku tidak boleh dilarang kalau tidak mau berhenti bekerja) (C, 520-524). “Yang paling deket (terdiam) kayaknya ibu juga. waktu itu bapak opname ya. opname di panti rapih, ibu udah di Klaten ya. itu bapak minta yang nunggu di rumah sakit itu ibu.” (E, 1174-1178). “Bapak sendiri yang minta. Jadi ibu nunggu di sana satu minggu, nggak pulang.” (E, 1180-1182) 3. Orientasi Konsep Diri Konsep diri yang ada pada diri seseorang membentuk bagaimana kemudian ke depannya orang tersebut berperilaku. Konsep diri positif perempuan Jawa membuat dirinya memiliki harapan atau orientasi menjadi diri yang lebih baik, seperti yang dikatakan informan. “Kadang untuk saya sendiri harus nganu secara pribadi saya merasa harus lebih berani bersikap tegas.” (S, 771-773) “Saya itu pengennya saya itu berguna bagi orang lain. Jadi hidup ini ada artinya.” (I, 484-486) “Saya itu pengennya itu antara marah dan tidak itu nggak kelihatan.” (I, 559-561) Perempuan Jawa selain menginginkan diri yang lebih baik, yang paling utama adalah untuk anaknya. Di dalam konsep diri positif yang dimiliki perempuan Jawa, anak bagi perempuan Jawa adalah penting. Konsep diri perempuan Jawa yang kuat dan gigih dalam memprioritaskan anak serta pengalaman yang diperoleh bersama orangtuanya dulu membuat

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

66

mereka memiliki orientasi harapan akan kebaikan anaknya. Mereka berharap anak tidak memiliki nasib yang sama seperti mereka. Perempuan Jawa menyadari adanya pengalaman buruk yang didapat ketika bersama orangtua maupun pengalaman buruk yang bersumber dari faktor lain yang memberikan pelajaran dalam hidupnya. “bapak nggak pernah ngurus seperti itu tapi dulu itu ya di dalam hati itu ya juga sakit tapi ya udah gitu aja, seperti itu tapi kalau lihat keluarga-keluarga yang harmonis itu ya rasanya di sini itu “ah, kok mbiyen kok aku kaya ngono” seperti itu (tertawa). Woo, jangan sampai anak-anakku seperti itu gitu lho. Masa depannya dalam keluarga.” (E, 682-690) Mereka pernah mengalami adanya perlakuan tidak adil dari orangtua. Berdasarkan pengalaman tersebut, perempuan Jawa tidak menginginkan anak mereka memiliki nasib yang sama. Mereka memiliki harapan anak menjadi lebih baik dari mereka. “... dan kebawa ini saya tidak mau menerapkan nanti anak-anakku seperti saya. Jadi saya ketika sama anak saya itu saya bersikap adil.” (I, 192-195) “Harapane yo bisa lebih baik dari orangtuanya.” (S, 247-248) Keinginan anak menjadi lebih baik adalah segalanya bagi perempuan Jawa. Perempuan Jawa juga mengharapkan anak baik dalam hal pendidikan. “... memajukan anak kalau belajar sekolah itu lho. Sekolah kalau bisa ya lebih baik daripada saya.” (S, 678-680) Kesadaran yang dimiliki perempuan Jawa tentang pedidikan anak lebih baik tidak hanya kemudian berhenti di harapan saja. Mereka menyadari juga bentuk konkrit yang harus dilakukan adalah mereka harus gigih memperjuangkan dalam biaya pendidikan.

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

67

“Kalau sekarang saya juga harus berjuang untuk anaknya yang di sana membutuhkan biaya yang besar. Gitu. Terus perhitunganne ya tepat. Ngitung-ngitunge.” (L, 820-824) “Iya masih berjuang. Anak-anaknya masih da sekolah perlu butuh biaya, butuh ini.. masih harus berjuang ...” (L, 901-904) Orientasi diri perempuan Jawa adalah hanya pada diri anak menjadi lebih baik.

D. Pembahasan Berdasarkan hasil analisis data yang sudah dilakukan maka dapat dilihat ada beberapa penjelasan untuk menjelaskan bagaimana konsep diri perempuan Jawa. Pembahasan ini akan dilakukan dengan mengikuti alur pembentukan konsep diri, konsep diri, dan orientasi konsep diri pada perempuan Jawa. 1. Orangtua sebagai Sumber Pembentuk Konsep Diri Konsep diri merupakan identitas setiap individu untuk merasakan akan keberadaan dirinya. Konsep diri perempuan Jawa merupakan konsep diri positif. Perempuan Jawa dapat menyadari, merasakan, dan memahami apa yang sudah dialami dirinya selama ini. Konsep diri perempuan Jawa yang positif ini salah satunya ditunjukkan dari bagaimana perempuan Jawa dapat mengidentifikasikan dirinya sebagai sosok perempuan yang tangguh, gigih, mandiri, religius, menjaga kerukunan dan memprioritaskan anak. Ketangguhan, kegigihan, dan kemandirian yang dimiliki semata-mata untuk satu tujuan yaitu demi anak-anaknya. Konsep diri perempuan Jawa ini tidak dengan sendirinya muncul tanpa ada sebab melainkan ada proses dibelakangnya yang menjadikan perempuan Jawa seperti itu.

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

68

Dalam proses pembentukan konsep diri positif tersebut, perempuan Jawa memiliki banyak pengalaman berinteraksi dengan orang-orang. Ada peran orang lain dalam pembentukan konsep diri karena orang lain yang membantu individu untuk menyadari keberadaan dirinya. Individu bukan merupakan makhluk individual saja melainkan juga makhluk sosial, dimana pasti ada interaksi dengan banyak orang. Dari semua pengalaman interaksi individu dengan banyak orang terdapat pengalaman yang paling berkesan. Pengalaman yang mampu mengubah diri individu. Pengalaman yang mampu memunculkan hero atau pahlawan dalam hidup setiap individu. Pengalaman tersebut dialami setiap individu berbeda-beda. Ada individu yang melihat hero atau pahlawan bukan dari dalam keluarga, namun ada juga yang melihat dari dalam keluarganya sendiri. Perempuan Jawa memilih sosok yang berpengaruh dan menjadi hero bagi dirinya adalah orangtuanya sendiri. Interaksi perempuan Jawa dengan orangtuanya adalah interaksi yang menghasilkan pengalaman yang paling berarti dalam hidup mereka. Berperannya pengalaman

interaksi

sosok

orangtua

dengan

perempuan

Jawa

dalam

mempengaruhi hidup menurut Blumer (1969) disebut symbolic interactionism. Symbolic interactionism melihat pemaknaan timbul dari proses interaksi antar orang-orang. Pemaknaan merupakan sebuah produk sosial, sebagai kreasi yang dibentuk melalui kegiatan orang-orang berinteraksi (Blumer, 1969). Logika symbolic interactionism bisa membantu untuk memahami bagaimana variasi dalam pendistribusian kekuatan sosial yang bisa mempengaruhi konstruksi,

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

69

internalisasi, dan pemeliharaan makna (Cote & Levine, 2002). Dari hasil penelitian, perempuan Jawa menginternalisasi apa yang ada pada diri orangtua dan apa yang ditanamkan orangtua ke dalam dirinya. Penginternalisasian yang dilakukan perempuan Jawa merupakan buah dari hasil pemikiran terhadap pengalaman yang dimilikinya. Setiap episode kegiatan yang dilakukan terintegrasi dengan motif moral dan etika dalam setiap narasi kehidupan (Polingkhorne, 1991). Identifikasi diri perempuan Jawa sebagai perempuan yang tangguh dalam memprioritaskan anak juga merupakan hasil dari kesadaran dan internalisasi mereka bahwa orangtua mereka adalah orangtua yang gigih untuk anak. Perempuan Jawa yang memprioritaskan anak merupakan sebuah proses internalisasi dari interaksi perempuan Jawa dengan sisi feminitas merawat dan penuh perhatian kepada anak dari orangtuanya, baik itu dari bapaknya maupun dari ibunya. Perempuan Jawa yang tangguh, gigih, mandiri menjalani kehidupan baik dalam merawat anak maupun dalam hidup berkeluarga, dan berani berpendapat mengutarakan konsep dirinya merupakan sebuah proses internalisasi dari interaksi perempuan Jawa dengan sisi maskulinitas yang diperoleh dari orangtuanya baik dari bapaknya maupun dari ibunya. Perempuan Jawa juga menyadari bahwa orangtua mereka adalah orangtua yang melakukan apapun demi anaknya agar bisa mengenyam pendidikan dan juga orangtua yang menekankan kuatnya doa. Orangtua mereka masih memegang prinsip bahwa tindakan tanpa diimbangi dengan doa adalah suatu yang sia-sia. Menurut informan kegigihan yang dimiliki orangtua para informan perempuan Jawa dalam hal pendidikan anak menunjukkan bahwa anak adalah

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

70

segala-galanya bagi orangtua. Perjuangan yang dilakukan orangtua kepada para informan tidak hanya dalam hal pemenuhan ekonomi agar anak mampu sekolah namun juga dalam bentuk dukungan moril dengan menemani anak dalam belajar. Informan menyadari juga bahwa orangtua tidak hanya berjuang dalam hal pemenuhan pendidikan tetapi orangtua juga mengharapkan bahwa mereka menyadari pendidikan juga penting selain uang dan kedudukan. Pendidikan mampu menaikkan derajat kehidupan seseorang selain kekayaan. Pendidikan mampu menaikan harga diri seseorang. Pengalaman interaksi yang dibangun menghasilkan kedekatan perempuan Jawa dengan orangtua. Kedekatan ini terbentuk tidak secara reflek disadari oleh perempuan Jawa mampu memberi pengaruh yang besar dalam hidupnya. Kedekatan yang terbentuk karena perempuan Jawa yang the relational self dengan significant others atau orangtua. Budaya Jawa yang kolektivis membuat perempuan Jawa menjadi the relational self. The relational self memberikan dampak yang luas karena secara otomatis terjadi tanpa secara reflek disadari atau disengaja melainkan diaktifkan dengan sedikit usaha, niat, kesadaran dan kontrol secara otomatis (Chen, Boucher, & Tapias, 2006). Kedekatan ini kemudian menjadi alasan bagi perempuan Jawa memilih sosok orangtua sebagai sosok yang mempengaruhi hidupnya dan menginternalisasikan nilai dari orangtua ke dalam dirinya. Bentuk dari adanya kedekatan perempuan Jawa dengan orangtuanya tergambar dalam bentuk yang bermacam-macam. Orangtua menasehati calon suami anak perempuannya sebelum anaknya menikah, merupakan bentuk bukti

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

71

gambaran kedekatan orangtua kepada anaknya. Seperti yang diutarakan oleh Ibu C (36) bahwa orangtua Ibu C (36) menasehati calon suaminya untuk memahami anaknya yang suka bekerja. Kedekatan tersebut diakui Ibu C (36) menjadikan dirinya seperti saat ini serta Ibu C (36) tidak bisa membayangkan akan menjadi apa dirinya tanpa orangtua. Bukti bentuk kedekatan lain juga ditunjukan orangtua Ibu E (54) yaitu ketika bapak dari Ibu E (54) sakit, beliau meminta agar Ibu E (54) yang menjaga dan menunggu di rumah sakit. Sosok orangtua hanya sebagai media perantara, sedangkan pengalaman yang mempengaruhi hidup individu. Pengalaman-pengalaman yang dimiliki berasal dan membentuk ceritanya sendiri-sendiri. Perempuan Jawa disayang orangtua merupakan suatu pengalaman. Orangtua mengajarkan banyak nilai-nilai serta proses bagaimana diri orangtua berinteraksi dengan perempuan Jawa merupakan sebuah narasi atau cerita dari pengalaman yang dimiliki perempuan Jawa, seperti yang sudah diutarakan semua informan. Cerita-cerita atau narasinarasi ini merupakan proses komunikasi interaksi individu dengan individu lain maupun dengan lingkungan sosial. Interaksi perempuan Jawa dengan lingkungannya membangun cerita atau narasinya sendiri-sendiri, termasuk juga interaksi perempuan Jawa dengan orangtua membangun narasi bersama orangtua. Cerita-cerita atau narasi-narasi yang dibangun dari pengalaman ini memiliki kekuatan juga merubah hidup individu. Cerita atau narasi secara eksplisit menghubungkan antara pengalaman yang dinarasikan dan kemudian konsep diri dibentuk oleh individu atau informan yang bercerita (Pasupathi, Mansour, & Brubaker, 2007). Cerita membentuk

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

72

identitas individu dengan menyediakan tujuan yang sesuai, menginformasikan mereka nilai-nilai sosial mereka, dan mendidik mereka bagaimana untuk merasa dan berpikir (Gergen dalam Sugiman, 2008). Cerita atau narasi secara eksplisit menghubungkan antara pengalaman yang dinarasikan dan kemudian konsep diri berpotensi dibentuk oleh individu atau informan yang bercerita (Pasupathi, Mansour, & Brubaker, 2007). Cerita membentuk identitas individu dengan menyediakan tujuan yang sesuai, menginformasikan mereka nilai-nilai sosial mereka, dan mendidik mereka bagaimana untuk merasa dan berpikir (Gergen dalam Sugiman, 2008). Hal tersebut yang juga terjadi pada budaya Jawa. Nilainilai budaya ditanamkan oleh orangtua Jawa kepada perempuan Jawa merupakan hasil narasi dari pengalaman individu dengan lingkungan sosial yang dinarasikan kepada generasi berikutnya. Konsep diri perempuan Jawa dalam budaya Jawa yang kolekivis disebut sebagai the interdependent self. Mereka melihat diri dan hubungan antara diri dan orang lain tidak sebagai sesuatu yang terpisah dari konteks sosial tetapi terhubung dan tidak berbeda dengan orang lain. Mereka termotivasi untuk menemukan jalan agar sesuai dengan orang lain, untuk memenuhi dan menciptakan kewajiban, dan secara umum untuk menjadi bagian dari berbagai hubungan interpersonal (Markus & Kitayama, 1991) termasuk dengan orang-orang disekitarnya terutama orangtua sebagai sosok yang paling dekat dan yang memiliki interaksi paling banyak bagi perempuan Jawa. Identitas perempuan Jawa yang juga merupakan bagian dari masyarakat Jawa yang masih melekat dengan kebudayaan Jawa membuat konsep dirinya juga

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

73

tidak lepas dari nilai budaya Jawa. Identitas personal dan sosial bisa dipahami sebagai bagian dari bentuk operasional kognitif dari konsep diri (Cote & Levine, 2002). Nilai-nilai dan prinsip hidup budaya Jawa diperoleh perempuan Jawa secara turun temurun yang menjadi narasi publik melalui orangtua. Dua prinsip hidup orang Jawa seperti yang dikatakan Magnis Suseno (1984) yang sudah ternarasikan secara turun temurun yaitu sikap hormat dan menjaga kerukunan. Menurut informan, orangtua sudah mendidik nilai-nilai dan prinsip hidup tersebut dari kecil. Orangtua mendidik untuk menjaga kerukunan yang ada baik dalam keluarga maupun di lingkungan masyarakat. Selain kerukunan, orangtua juga mendidik

kedisiplinan

yang

menciptakan

kemandirian.

Orangtua

tidak

membiarkan anak menjadi mandiri tidak bertanggungjawab sehingga orangtua juga mendidik kesederhanaan dan kerelaan tanpa pamrih. Orangtua melakukan itu dengan harapan di masa yang akan datang jika anak sudah mandiri dan sukses mereka tidak lupa untuk hidup sederhana serta tidak lupa untuk melakukan dan menerima dengan ikhlas, tanpa pamrih apapun yang dilakukan atau diterima. Pemilihan sosok orangtua sebagai seorang yang mempengaruhi hidup dilakukan perempuan Jawa juga berdasarkan prinsip hidup dalam budaya Jawa yang ada. Prinsip hidup orang Jawa yaitu memiliki sikap hormat terhadap sosok yang lebih tua membuat perempuan Jawa yang merupakan sosok the interdependent self semakin tidak bisa lepas kedekatan mereka dengan orangtua yang mereka hormati. Sikap hormat yang ada di hidup orang Jawa bukan merupakan sikap hormat yang lahir dari kepribadian melainkan oleh status orang yang bersangkutan dan bahwa yang ditegaskan bukan perasaan hormat, melainkan

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

74

sikap lahiriahnya (H. Geertz dalam Magnis Suseno, 1983). Adanya tradisi budaya Jawa yaitu sistem norma-norma yang berupa nilai-nilai budaya yang sudah terkait kepada peranan masing-masing anggota masyarakat dalam lingkungannya yang menyebabkan seseorang memiliki rasa hormat kepada status atau peranan seseorang (Herusatoto, 1984). Rasa hormat atau sikap hormat seorang anak kepada orangtuanya sudah ditanamkan oleh orangtua dari kecil karena merupakan bentuk mengikuti norma budaya dalam masyarakat yang terdapat dalam identitas atau peranan sosial dalam masyarakat. Perempuan Jawa sebagai anak terkadang memandang sikap hormat ini sebagai suatu kewajiban yang harus dilaksanakan karena jika tidak dirinya akan merasa ada hukuman yang diperoleh. Situasi tersebut sering menimbulkan tekanan emosional yang berat, yang menurut situasi masing-masing, bisa lebih bersifat wedi (takut), isin (malu) atau sungkan (malu-malu) (H. Geertz, 1961). Hal tersebut dialami oleh Ibu N (68). Ia dari kecil sudah diajarkan sopan santun kepada orang yang lebih tua oleh orangtuanya. Ajaran ini dilakukan orangtua dengan disiplin dan dengan gaya zaman kolonial sehingga membuat Ibu N (68) tidak ada keberanian untuk melawan orangtua. Apapun yang ada di dalam diri orangtua baik positif, negative, maupun ajaran yang diberikan oleh orangtua diterima perempuan Jawa sebagai suatu pengalaman yang membentuk dirinya. Seperti yang dikatakan Ibu N (68) bahwa ia suka segala kondisi bapak dan mengatakan bapak itu sempurna.

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

75

2. Orientasi Konsep Diri Perempuan Jawa Diri adalah bagian yang dibentuk budaya tetapi juga sebuah mekanisme multidimensional (Somech, 2000). Diri terdiri dari satu set atribusi ke dalam diri, kemampuan, dan opini yang terkait konteks yang ada (Markus & Kitayama, 1991). Kemampuan perempuan Jawa melihat dan memahami diri positif dan negative dari orangtua serta sistem nilai yang diberikan menjadikan perempuan Jawa mampu melihat dirinya adalah perempuan yang tangguh, mandiri, serta trampil dalam melakukan apapun. Di dalam budaya kelompok tertentu ditekankan selama sosialisasi (orang Jawa), diri kolektif cenderung menjadi kompleks, dan norma, peraturan, serta nilai dari kelompok itu memperoleh makna emosional yang besar (Triandis, 1989). Perempuan Jawa bukan merupakan perempuan yang manja terhadap laki-laki melainkan justru kebalikannya. Walaupun di depan terlihat seakan-akan lemah dibandingkan dengan laki-laki akan tetapi justru perempuan Jawa merupakan perempuan yang kuat dan tangguh terutama dalam hal mendidik anak. Perempuan Jawa selalu teringat pada anak, ada unsur memprioritaskan anak dalam diri mereka. Seperti yang dikatakan Somech (2000) dalam penelitiannya bahwa dalam budaya kolektivis yang berorientasi pada kelompok, harmoni, dan kerjasama membuat identitas individunya ditentukan oleh hubungan relasi dan peran sosial, seperti contohnya seorang ibu. Peran perempuan Jawa sebagai ibu yang memprioritaskan pada anak sama seperti yang dilakukan orangtuanya dahulu. Kecenderungan verifikasi diri telah ditunjukkan dulu dengan significant others atau orangtua dan kemudian muncul kembali dalam interaksi

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

76

sekarang dengan orang lain yang baru (Kraus & Chen, 2009). Interaksi dengan orang lain yang baru ini adalah perempuan Jawa dengan anaknya. Perempuan Jawa belajar dari apa yang sudah didapat dari orangtuanya dulu karena bagi mereka orangtua adalah hero dan segala-galanya yang tidak dapat tergantikan oleh apapun. Orangtua menjadi gambaran ideal bagi diri mereka. Dalam konsep diri positif perempuan Jawa, perempuan Jawa tidak hanya mampu memandang sisi positif dalam diri mereka melainkan juga ada sisi negative yang dimiliki perempuan Jawa. Perempuan Jawa tidak hanya terlihat tangguh melainkan perempuan Jawa menyadari memiliki sisi kelemahan yaitu sikap mereka yang ngalahan dan nrima. Adanya sikap ngalahan dan nrima sebagai suatu sikap yang khas dari budaya Jawa agar terciptanya kerukunan justru bagi perempuan Jawa akan menjatuhkan diri mereka. Perempuan Jawa sudah mengalami banyak pengalaman yang membuat mereka belajar dan berpikir seperti itu, akan tetapi kondisi tidak mampu membantunya untuk keluar dari sikap itu. Mereka tidak mampu untuk memberontak karena identitas sosial dirinya yang juga merupakan bagian dari masyarakat Jawa yang kolektivis dengan norma yang ada. Adanya kelemahan yang disadari perempuan Jawa dalam dirinya membuat mereka menginginkan diri yang lebih baik lagi. Perempuan Jawa berharap dirinya tidak selalu ngalahan atau nrima, melainkan juga dapat bersikap tegas di situasi yang memang mengharuskan diri untuk tegas. Perempuan Jawa tidak hanya mampu menyadari kekurangan dalam dirinya melainkan perempuan Jawa juga dapat memahami pengalaman buruk lainnya yang pernah dialami. Narasi pengalaman buruk ini disebut sebagai cerita atau

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

77

narasi yang terkontaminasi karena cerita atau narasi kehidupan seseorang yang positif-positif ternyata diikuti ada pengalaman yang buruk (McAdams dalam Beike, Lampinen, & Behrend, 2004). Narasi pengalaman perempuan Jawa yang diperlakukan tidak adil oleh orangtuanya telah mencoreng pengalaman menyenangkan mereka dengan orangtuanya. Narasi pengalaman adanya ketidakadilan yang dilakukan orangtua kepada para informan perempuan Jawa tidak diinternalisasikan dalam dirinya. Hal ini berbeda dengan sistem nilai yang diberikan dan positifnya orangtua yang diinternalisasi dalam diri perempuan Jawa. Narasi pengalaman yang tidak menyenangkan ini ditolak dalam diri dan ingin dirubah oleh perempuan Jawa menjadi narasi yang menyenangkan. Seperti yang dikatakan oleh Ibu I (42) bahwa dia diperlakukan berbeda dengan tantenya. Ibu I (42) memahami bahwa ibunya harus merawat tantenya yang masih kecil karena eyangnya sudah meninggal sebelum tantenya lahir. Ibu I (42) mampu memahami itu semua, akan tetapi tetap ada rasa sakit hati yang pernah dirasakan. Ibu I (42) tidak ingin jika anaknya kemudian merasakan hal yang sama, maka Ibu I (42) berusaha sebisa mungkin untuk bersikap adil kepada ketiga anaknya. Konsep narasi adalah kunci dalam tulisan-tulisan psikologis pemikir postmodern. Kehidupan itu seperti teks, narasi yang terus ditulis dan ditulis ulang dari waktu ke waktu (McAdams, 2006). Pengalaman tidak menyenangkan tersebut menimbulkan adanya proses redemption dalam konsep diri perempuan Jawa. Kunci penting dari cerita hidup redemptive adalah sebuah transformasi dari penderitaan personal menjadi adegan hidup positif yang berfungsi untuk menebus dan membenarkan kehidupan

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

78

sesseorang (McAdams dalam Beike, Lampinen, & Behrend, 2004). Ketika informan membuat arti redemptive dari penderitaan dan kesulitan dalam hidup mereka, mereka cenderung menikmati kesejahteraan psikologis, generativitas, dan indikasi lain dari kesuksesan dalam beradaptasi (McAdams & McLean, 2013). Bentuk penebusan yang dilakukan perempuan Jawa adalah dengan menginginkan kehidupan anaknya menjadi lebih baik dari mereka. Perempuan Jawa berusaha bersikap adil kepada anak-anaknya dengan harapan agar mereka tidak mengalami dan merasakan ketidakadilan yang dirasakan mereka dahulu. Bentuk penebusan itu yang menjadi orientasi masa depan dari konsep diri positif perempuan Jawa. Diri perempuan Jawa yang memprioritaskan anak membuat dirinya memiliki harapan agar anaknya memiliki kehidupan yang lebih baik. Kehidupan yang lebih baik menurut informan adalah baik dalam hal pendidikan maupun dalam hal berumah tangga. Dalam membangun harapan anaknya untuk memiliki kehidupan yang lebih baik, seorang perempuan Jawa berusaha terus membangun rasa bahwa setiap individu memiliki harga diri yang tidak dapat hanya dilihat dengan uang, melainkan ada nilai-nilai moral di dalamnya. Seperti Ibu S (52) yang membesarkan hati anaknya untuk jangan minder dengan teman-temannya walaupun ndak punya apa-apa, yang penting punya bekal kepinteran. Ibu S (52) memberikan kepercayaan kepada anaknya bahwa walaupun tidak punya apa-apa tetapi memiliki kepintaran pasti akan dihargai. Perempuan Jawa berdasarkan konsep yang berkembang di dalam kultur Jawa adalah sebagai ibu dalam keluarga yang menjadi simbol moralitas yang spiritnya hidup dalam diri suami dan anakanaknya (Handayani, 2008).

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI 79

PEMBENTUKAN Positif orangtua  Kegigihan  Prioritas pada anak  Religiusitas

Sistem nilai dari orangtua  Kesederhanaan  Keharmonisan  Kerelaan  Kemandirian  Kedisipilan

Negatif orangtua  Ketidakadilan pada anak-anaknya

KONSEP DIRI

Internalisasi

Internalisasi

Diri Positif  Kegigihan  Kemandirian  Berpikiran positif  Keberanian  Ikhlas  Ketrampilan  Prioritas pada anak  Keharmonisan  Menghormati orangtua

ORIENTASI

Orientasi

Deinternalisasi Diri negatif  Ngalahan, nrima Gambar. 3 Dinamika Konsep Diri Perempuan Jawa

Harapan  Kehidupan anak lebih baik  Diri yang lebih baik

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Dalam bab terakhir ini peneliti akan memaparkan kesimpulan yang diperoleh dari penelitian serta saran bagi penelitian berikutnya. Kesimpulan ini berisi paparan yang lebih sederhana dari hasil penelitian yang diperoleh. Saran berisi pemaparan beberapa saran yang diberikan peneliti bagi penelitian berikutnya.

A. Kesimpulan Konsep diri perempuan Jawa adalah konsep diri positif. Mereka melihat dirinya adalah seorang perempuan tangguh, gigih, mandiri, religius, menjaga kerukunan dan memprioritaskan anak. Ketangguhan, kegigihan, dan kemandirian yang dimiliki perempuan Jawa semata-mata untuk satu tujuan yaitu demi anakanaknya. Diri perempuan Jawa yang menjaga keharmonisan merupakan bentuk dari peran identitas sosialnya dalam budaya kolektivis yang memiliki prinsip hidup Jawa menjaga keharmonisan. Konsep diri perempuan Jawa yang seperti ini tidak merupakan sifat lahiriah yang dibawa ketika lahir. Konsep diri perempuan Jawa yang seperti itu merupakan hasil dari interaksi perempuan Jawa dengan dunia. Interaksi perempuan Jawa dengan sosok penting yang ada dalam hidupnya. Manusia akan sedikit belajar dari sosok yang tidak dianggap penting oleh dirinya. Pembentukan konsep diri positif perempuan Jawa tersebut diakui merupakan hasil interaksi dengan sosok penting dalam hidupnya yaitu orangtua. Orangtua 80

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

81

adalah sosok yang dianggap penting oleh perempuan Jawa. Perempuan Jawa banyak belajar dari sosok itu. Selain karena adanya kedekatan yang terbentuk dari interaksi yang signifikan, adanya pengaruh nilai budaya yang ada juga menjadi alasan lain kenapa perempuan Jawa memilih sosok orangtua yang menjadi pengaruh dalam hidupnya. Sikap hormat yang menjadi prinsip hidup dalam budaya Jawa membuat perempuan Jawa tidak dapat melepaskan rasa hormatnya kepada orangtua yang membesarkannya. Dalam budaya Jawa, sikap hormat yang ada bukan merupakan sikap yang datang secara lahiriah dari kepribadian melainkan karena adanya status orang. Ada sistem norma-norma yang berupa nilai-nilai budaya yang sudah terkait kepada peranan masing-masing anggota masyarakat dalam lingkungannya yang menyebabkan seseorang memiliki rasa hormat kepada status atau peranan seseorang (Herusatoto, 1984). Orangtua memiliki status yang lebih tinggi karena mereka lebih tua, yang telah melahirkan perempuan Jawa, dan dalam sisitem masyarakat orangtua merupakan peranan yang lebih tinggi dari anak sehingga sewajarnya sesuai norma budaya yang ada anak menghormati orangtua. Konsep diri positif perempuan Jawa yang mampu melihat dan memahami hal positif dan negatif dalam dirinya menciptakan orientasi atau harapan untuk kedepannya. Perempuan Jawa ingin menjadi diri yang lebih baik lagi dan memiliki keinginan anak memiliki kehidupan yang lebih baik dari dirinya. Perempuan Jawa yang pernah mengalami pengalaman negatif dengan orangtuanya membuat dirinya bersikap yang baik agar tidak terulang pada anaknya sehingga anak bisa memiliki kehidupan yang lebih baik daripada dirinya.

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

82

Orientasi anak memiliki kehidupan yang lebih baik merupakan bentuk pemikiran dari konsep diri positif perempuan Jawa yang memprioritaskan anak. Keinginan perempuan Jawa agar anak memiliki kehidupan yang lebih baik tidak hanya dalam hal pendidikan saja melainkan juga dalam hal kehidupan berikutnya yaitu berumah tangga. Dalam hal ini, peran perempuan Jawa terlihat sebagai ibu yang membangun moralitas dan karakter dalam diri anak.

B. Saran Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan terdapat beberapa saran yang diberikan kepada : 1. Perempuan Jawa Perempuan Jawa adalah perempuan yang tangguh walaupun banyak dilihat orang adalah perempuan yang lemah terutama di masyarakat Jawa yang menganut sistem nilai patriarkisme. Walaupun perempuan Jawa tidak terlihat kuat diluar seperti laki-laki tetapi perlu disadari dan diingat bahwa perempuan Jawa adalah ibu yang kuat dan berperan penting dalam membangun generasi berikutnya menjadi generasi yang lebih baik. Sebagai seorang perempuan Jawa juga perlu disadari dan diingat bahwa orangtua itu penting dalam pembentukan diri walaupun ada pengalaman buruk yang pernah dialami bersama, tetapi tidak boleh kemudian terpuruk oleh pengalaman yang buruk dan tidak berkembang menjadi pribadi yang utuh dan melupakan jasa orangtua yang sudah membesarkan. Pengalaman buruk dapat dipahami dan diubah menjadi positif dengan berdamai dan membangun narasi

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

83

positif dari pengalaman buruk. Narasi positif yang dibangun dapat menjadi harapan untuk memotivasi diri agar dalam melihat kehidupan selanjutnya lebih positif dan kuat terutama bagi seorang perempuan di masyarakat yang menganut sistem nilai patriarkisme. Perempuan perlu bangkit dan belajar lebih dari setiap pengalaman untuk menunjukkan bahwa diri bukanlah diri yang lemah melainkan diri yang kuat dan tetap anggun sebagai seorang perempuan. Dengan mengenang dan menyadari bahwa setiap manusia memiliki sisi positif dan negatif maka diharapkan perempuan Jawa dapat menghayati nilai tersebut menjadi sikap hormat yang tidak hanya sekedar karena adanya status orangtua yang lebih tua, melainkan sikap hormatnya tersebut menjadi bentuk sikap hormat karena menyadari jasa yang telah dilakukan orangtua. 2. Peneliti Berikutnya Seorang perempuan adalah seorang yang lebih mengutamakan rasa dalam bercerita. Dalam penelitian, membangun rapport yang baik dapat membantu mendapatkan data yang diperoleh, akan tetapi karena seorang perempuan juga mudah bercerita maka jika perempuan sudah merasa nyaman, dia akan bercerita banyak apapun yang dapat diceritakan dan terkadang akan keluar dari konteks penelitian. Seorang penelitian yang meneliti tentang perempuan perlu memiliki kontrol terhadap informan yang baik. Penelitian yang menggunakan perempuan dewasa yang sudah menikah, memberikan tantangan sendiri dalam proses pengambilan data. Posisi informan yang sebagai istri dan ibu dalam keluarga rawan dengan pertanyaan sensitif berkaitan dengan keluarganya, baik dalam hal rumah tangganya maupun dalam

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

84

hal keluarganya sendiri yaitu kedua orangtuanya maupun saudara-saudaranya. Peneliti perlu jeli dalam membaca data yang ada. Jadi dalam proses penelitian lapangan suatu penelitian kualitatif, peneliti perlu melihat dan menghormati peran dari informan karena adanya rutinitas informan yang tidak menentu.

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

DAFTAR PUSTAKA

Allport, G. 1991 Orang yang Matang dalam Schultz, Duane. Psikologi Pertumbuhan. Yogyakarta : Kanisius. Andersen, Susan M., & Chen, Serena. 2002. The Relational Self : An Interpersonal Social – Cognitive Theory. Psychological Review, Vol. 109, No. 4, 619 – 645. Barnhouse, Ruth Tifany. 1988. Identitas Wanita : Bagaimana Mengenal dan membentuk Citra Diri. Yogyakarta : Kanisius. Blumer, H. 1969. Symbolic Interactionism Perspective and Method. New Jersey : Prentice-Hall, Inc. Brewer, Marilynn B., & Gardner, Wendi. 1996. Who is This “We”? Levels of Collective Identity and Self Representations. Journal Personality and Social Psychology, Vol. 71, No. 1, 83-93. Brooks, W. D. 1974. Speech Communication. Dubuque : Wm. C. Brown Company Publishers. Burnett, Paul C., & Demnar, Wayne J. 1996. The Relationship Between Closeness to Significant Others and Self-Esteem. Journal of Family Studies, Vol. 02, No. 2, Oktober 1996, pp. 121-129. Chen, Serena, Boucher, Helen C., & Tapias, Molly Parker. 2006. The Relational Self Revealed : Integrative Conceptualization and Implications for Interpersonal Life. Psychological Bulletin, Vol. 132, No. 2, 151-179. Combs, A. W., & Syngg, D. 1959. Individual Behavior, rev. Ed. New York : Harper. Combs, A. W., Avila, Donald L., & Purkey, William W. 1979. Self-Concept : Product and Producer of Experience dalam Elkins, Dov Peretz. Self Concept Sourcebook : Ideas and Activities for Building Self-Esteem. Princeton : Growth Associates. Cote, James E., & Levine, Charles G. 2002. Identity Formation, Agency, and Culture : A Social Psychological Synthesis. New Jersey : Lawrence Erlbaum Associates Inc. Creswell, John W. 2014. Penelitian Kualitatif & Desain Riset : Memilih di Antara Lima Pendekatan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 85

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

86

Davis, Joseph E. 2002. Stories of Change : Narrative and Social Movements. America : State University of New York Press. Epstein, Seymour. 1973. The Self–Concept Revisited or a Theory of a Theory. American Psychologist, 28, 404-414. Erikson, Erik H. 1986. Identity, Youth, and Crisis. New York : W. W. Norton. Erikson, Erik H. 1989. IDENTITAS DAN SIKLUS HIDUP MANUSIA Bunga Rampai I. Jakarta : Gramedia. Feist J, & Feist, Gregory J. 2006. Theories of Personality. New York : Mac Graw Hill. Ganz, Marshall. 2011. The Power of Story in Social Movement. The Annual Meeting of the American Sociological Association, California. Cambridge : Kennedy School of Government Harvard University. Geertz, Hildred. 1961. The Javanese Family. A Study of Kinship and Socialization. America : The Free Press of Glencoe, Inc. Gie, The Liang. 1979. Suatu Konsepsi Ke Arah Penertiban Bidang Filsafat. Yogyakarta : Penerbit Karya Kencana. Guimond, Serge., dkk. 2006. Social Comparison, Self-Stereotyping, and Gender Differences in Self Construal. Journal Personality and Social Psychology, Vo. 90, No. 2, 221-242. Handayani, Christina S, & Novianto, Ardhian. 2008. Kuasa Wanita Jawa. Yogyakarta : LKiS. Herusatoto, Budiono. 1984. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta : Hanindita. Kartini, Kartono. 2006. Psikologi Wanita 1 : Mengenal Gadis Remaja & Wanita Dewasa. Bandung : Mandar Maju. Kraus, Michael W., & Chen, Serena. 2009. Striving to Be Known by Significant Others : Automatic Activation of Self-Verification Goals in Relationship Contexts. Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 97, No. 1, 5873. Markus, H. R., & Kitayama, S. 1991. Culture and the Self : Implications for Cognition, Emotion, and Motivation. Psychological Review, 98, 224-253.

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

87

Matsumoto, David., & Juang, Linda. 2003. Culture and Psychology. America : Wadsworth Publishing. McAdams, Dan P. 2004. The Redemptive Self: Narrative Identity in America Today dalam Beike, Denise R., Lampinen, James M., & Behrend, Douglas A. The Self and Memory. New York : Psychology Press. McAdams, Dan P. 2006. The Redemptive Self : Stories Americans Live. New York : OXFORD University Press. McAdams, Dan P. 2006. The Redemptive Self : Generativity and The Stories Americans Live. Research in Human Development, 3 (2&3), 81-100. McAdams, Dan P., & McLean, Kate C. 2013. Narrative Identity. Current Directions in Psychological Science, 22 (3), 233-238. Millon, Theodore & Melvin J. Lerner. 2003. Handbook of Psychology Volume 5 Personality and Social Psychology. New Jersey : John Wiley & Son, Inc. Pasupathi, M., Mansour, E., & Brubaker, J. R. 2007. Developing a Life Story : Construcing Relations between Self and Experience in Autobiographical Narratives. Human Devolopment, 50, 85-110. Patterson, C. H. 1979. The Self in Recent Rogerian Theory dalam Elkins, Dov Peretz. Self Concept Sourcebook : Ideas and Activities for Building SelfEsteem. Princeton : Growth Associates. Pemberton, John. 1994. On the Subject of “Java”. Ithaca : Cornell University Press. Polingkhorne, Donald E. 1991. Narratives and Self Concept. Journal of Narratives and Life History, 1(2&3), 135-153. Rakhmat, Jalaludin. 1985. Psikologi Komunikasi. Bandung : Remadja Karya CV. Ratner, Carl. 2002. E-book Cultural Psychology : Theory and Method. DOI 10.1007/978-1-4615-0677-5. Smith, Jonathan A. 2008. Qualitative Psychology : A Practical Guide to Research Methods Second Edition. Sage Publication. Smith, Jonathan A, Flowers, Paul, & Larkin, Michael. 2009. Interpretative Phenomenological Analysis : Theory, Method, and Research. Sage Publication.

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

88

Somech, Anit. 2000. The Independent and Interdependent Selves : Different Meaning in Different Cultures. International Journal and Intercultural Relations, 24, 161-172. Sugiman. T., Gergen, K. J., Wagner W, Yamada, Y. 2008. Meaning in Action Constructions, Narratives, and Representations. Jepang : Springer. Suseno SJ, Frans Magnis, & C.M., S Rekosusilo. 1983. Etika Jawa dalam Tantangan Sebuah Bunga Rampai. Yogyakarta : Kanisius. Suseno SJ, Frans Magnis. 1984. ETIKA JAWA Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta : Gramedia. Taylor, A., et al. 1977. Communicating. Englewood Cliffs : Prentice-Hall. Triandis, Harry C. 1989. The Self and Social Behavior in Differing Cultural Contexts. Psychological Review, Vol. 96, No. 3, 506-520. Warto. 1997. Wanita Pabrikan : Simbol Pergeseran Status Wanita Desa dalam Abdullah, Irwan. Sangkan Paran Gender. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

89

Protocol Guide Interview

Nama Umur Waktu Interview Tempat Interview

: : : :

1. Bagaimana pengalaman Ibu dari kecil hingga dewasa? (bersama orangtua, adik, kakak, dll) 2. Siapa sosok yang paling berperan dalam hidup Ibu? Berikan alasannya 3. Apa arti sosok yang berperan itu bagi Ibu? 4. Bagaimana Ibu melihat diri Ibu berdasarkan pengalaman-pengalaman yang dialami bersama sosok tersebut dan pengalaman lainnya? Sebutkan kelebihan dan kekurangan Ibu? 5. Apa harapan Ibu untuk kedepannya?

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

90

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

91

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

92

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

93

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

94

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

95

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

WAWANCARA 1

Nama Umur Waktu Interview Tempat Interview

: Ibu S : 52 tahun : 5 Juni 2015, 18 Juni 2015 : Tempat Kerja, Tempat Kerja

(Wawancara 5 Juni 2015 pukul 12.00 – 13.00 WIB di tempat kerja) Baris 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35

T

J T J T J T J

T J

T J

T J T J

Deskripsi Tematik Ibu waktu masih muda itu kayak gimana? Waktu dulu masih kecil gitu sama orangtuanya ibu. Ibu berapa bersaudara? Empat Oh 4 bersaudara Cewek, cewek, cewek, cowok.. Ibu anak keberapa? Ketiga Kalau dulu itu ibu rumahnya di mana? Dulu itu dari lahir sampai tahun 1992 di patangpuluhan. Sakola ngidul sampe patang puluhan. Atau dari pojok benteng kulon itu ke barat. Aslinya sana. Tahun 1992 baru pindah ke jakal. Karena? Karena di patangpuluahan itu dulu rumahnya punya apa namanya windung itu loh. Tau windung nggak? Nggak bu. Jelasin bu.. Hahahah Windung itu tanahnya mlik orang lain. Tapi rumahnya, rumahnya sendiri..Terus kerja di sini, sini kan ada proyek perumahan. Diberi pinjaman untuk cari tanah, cari rumah. Terus 1992 pindah ke sengkan itu. Jalan kaliurang. Yg pndh itu semua? 1 keluarga atau sendiri? 1 keluarga. Dua orang. Lah 1 keluarga cuman 2 orang? Gimana tuh? Hahaha Ibu saya meninggal tahun 1986. Awal-awal tahun 1986 saya kerja sini honorer, terus Juni 1986 itu ibu saya nggak ada. Terus kakak yang no 1 sudah ke ungaran jadi suster. Terus 1989 itu kakak nomor 2 ikut suami ke Jayapura. Udah brkurang 2. terus eh ibu juga nggak ada. Kakak jadi suster, 1 menikah di

96

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81

T J

T J T J

T J

T J T J

T J

T J

Jayapura terus 1991 bapak nggak ada. Jadi tinggal saya dengan adik. Adik. Yang cowok itu? Iyaa.. tinggal berdua itu. terus pindah. Tinggal berdua itu belum menikah. Tahun 1992 pindah jalan kaliurang itu dengan adek. 1993 dapat suami di sana. Oh jd suami ibu itu org sana? Org sana. Ohh.. asli sengkan? Iya. Ohh.. kalau ketemu pak’e itu mesti nek ajak ngomong basa Jawa kalau nggak Jawa mesti sing alus. Keluarganya membiasakan seperti itu atau karena itu emang keinginan bapak? Yo memang seneng kalau Basa Jawa itu daripada Bahasa Indonesia itu kadang ngerti. Misale ngerti orang Jawa mesti ngomong Bahasa Jawa nggak mungkin dia ngajak ngomong Bahasa Indonesia. Kalau nggak bisa? Ya paling nanti terus di anu, dikandani. “Jenengan ki cah Jawa po cah ngendi ya?” Ketemunya gimana bu sama bapak? Sama bapak? Itu kenalnya itu malah saya tadinya saya belum tau kalau rumahnya disitu ternyata. Kan kenal dari orang lain. Owh di kenalin orang lain? Ho’o kenal dari orang, orang lain to. Tidak tahu kalau ternyata rumahnya wohh, ternyata dekat dengan rumahku yang saya buat disana itu, mencari lokasi terkejut. Ohh ternyata deket. Haha. Ya sudah. Ibu smpe skrg msh tinggal di sana? Masih. Rumah milik pribadi sekarang. Karena yang di patangpuluhan kan nggak punya apa-apa. Karena tanahnya mlik orang lain terus tanah yang saya tempati itu mau dipakai oleh yang punya. Pernah ada proyek pelebaran jalan besar jaman dulu. Terus dikembalikan rumah cuma rumah jelek gitu yo wes di anu sama yang punya tanah wes gampangane dibayari piro gitu. Untuk jalan raya jurusan Semarang, bis-bis besar gitu. Dari sana nggak pnya apa-apa ya pindah ke jalan kaliurang itu dari tanah terus dibangun

97

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127

T

J

T J T J

T J

T J

T J

rumah. Kenangan ibu selama di ya sekalipun rumah itu katanya ibu nggak gitu bagus tapi yo ibu kan punya pengalaman tho dengan rumah itu? Pengalaman apa yang paling ibu mengesan? kalau di rumah lama itu saya kira udah mendarah daging ya. Kalau ngimpi tu kebanyakan tetep di rumah lama. yoo... isi critanya itu yo mesti yo rumah lama. nggak tau kenapa aja.. Misalnya ibu pernah mimpi apa gitu? Ohh.. jalan-jalan apa gitu... ini mau jalanjalan yo pulangnya kesana. Hahaha Ada Kenangan apa? Ya mugkin lahir juga di sana, selama hidup sebelum 1992 juga di sana.Yang itu lahir di sana itu yang di jalan pinggir jalan raya terus sejak ini tanahnya di apa.. Diminta yang punya kan. Kami pindah ke tempat bulek. Itu agak masuk. Pindah jadi cuma ngontrak yang di tempat bulek tuh ngontrak dari 1986 sampai 1991 akhir. Yang di rumah kontrakan itu nggak membekas. Kalau yang rumah pertama itu saya suka herane kok ngimpi misalnya pernah ngimpi sudah punya 2 anak nugroho epin. Anak msh kecil-kecil kok ngimpinya tuh kok dirumahnya itu. Tapi yang jelas meskipun jaman dulu sepeninggal apa namanya Basa Jawane kere pitu likur. Kere pitu likur niku pripun bu? Nggak punya apa-apa bener gitu.. saking tidak mampunya itu tapi rasanya itu anu, bapak simbok itu nggak pernah ada pertengkaran gitu. Sama ibu nggak pernah bertengkar gitu? Nggak cuman 4 bersaudara yoo nggak pernah bertengkar dengan bapak simbok yo nggak pernah. bapak simbok ya nggak pernah kok memarahi. Jadi rasanya itu tetep seneng meskipun nggak punya apa-apa gitu. Terasa banget di banding dengan keadaan sekarang bedo. Kalau ada beda pendapat ibu gimana? Beda pendapat. Ya biasa ibu saya yang menengahi. misalnya beda pendapat antara

98

Ada rasa memiliki dengan kenangan masa lalunya (88-92)

Menikmati apa yang ada (113116)

Memandang ibu yang berperan

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173

T J T

J T J

T J

T J T J

T J

T J T J

sapa? Bapak sama anaknya. Ibu saya bisa bijaksana bisa nganu menengahi. Ibu menilai ibunya ibu itu kayak gimana orangnya? Melihat sebagai orang yang seperti apa? Ya ibu saya itu nek aku ngarani yo bisa jadi teladan. Karena? Kesabarannya terus usaha kerjanya usaha kerasnya contohnya itu tentang ekonomi. Bapak itu kerja keras. Terus ibu juga bantu di rumah anu.. buka jahit. Ya saya selama di sana juga buka jahit sambil kerja di sini. Untuk pindah dari 1992 pindah ke jakal itu ya untuk membunuh. Profesi menjahitnya itu ya agak sulit juga. Maksudnya membunuh apa bu? Pelanggannya kan udah banyak. Nah terus kan mau pindah harus bersih dulu toh harus semua udah habis, selesai di berikan pelanggannya itu kan nunggu sampe itu. Udah sini mau pindah masih ada satu lagi. Kalau bapaknya ibu? Suamiku atau bapakku? Bapaknya ibu. Bapak, bapakku kalau dari segi pendidikan bapak sama ibu mungkin sama. Tapi kalau dari kepintaranya rasanya lebih.. lebih berperan ibu. Lebih berperan ibu? Iya. Pinter ibulah gampangannya. Terus tapi bapak saya anu orangnya opo jenenge opo yo? Yo sportif gitu lho. Misale nggak bisa ditanyai. Wes manut. manut simbok wae piye. Menyerahkan gitu. Sering gitu. Anak-anaknya juga ini bu? Deket bapak atau ibu? Anak-anak lebih deket pada ibu. lebih nurut sama ibu. Emang kek gimana ibu mengasuh anakanaknya gitu? Kalau yang membekas tuh selalu ini menekankan orang itu harus jujur terus hmm terus jangan apa.. Tetangga-tetangga itu

99

dalam keluarga (126-128) Memandang ibu bijaksana (130 (131)

Memandang ibu teladan (135 136) Sosok ibu hidup membantu keluarga (138141)

Memandang ibu lebih berperan (155-158)

Orangtua menekankan hidup itu menjaga

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202 203 204 205 206 207 208 209 210 211 212 213 214 215 216 217 218 219

T J

T J T

J T J T J

jangan.. jangan bikin masalah, pokoknya nganu opo jenenge? Menjaga kerukunan. Jangan sambat. terus jangan meskipun udah punya tapi jangan hmm itu lho nganu banget ibu saya jadi ya misalnya anak-anak gitu bergaul dengan teman-teman sekarang kok minder wah nggak punya ini kadang gitu tho. Wes sing penting arepa ra nduwe opo-opa anggere punya sangu kepinteran kan pendidikan ibu saya menekankan. Meskipun tidak bisa membantu anak-anak belajar tapi menemani. Kan misale nggak bisa garap gitu kan nggak bisa tanya gitu ya tapi menemani sampai jam berapapun. Haha 2 jam itu ngancani, jangan minder gitu. Meskipun bocahe kaya ngono kae, pinter kowe.. kalau pinter kan mesti dihargai sama teman-teman. Terus ibu kalau ke anak-anak ibu itu piye? Ya saya nganu saya cenderungnya niru ibu saya. modele. Tapi ya bapakne yo tipene bedo yo dadi anake yo bedo.. Kalau bapaknya ya kek gimana bu? Bapak sing? Bapak sing endi? Suaminya bu.. suaminya ibu. Suaminya ibu gimana ke anaknya? kan kalau ibu sama kayak ibunya ibu. Kalau suamiku ki orangnya itu keras kadang yo nek ngomong kasar. Lha kalau mengasuh anak-anaknya kayak gimana bu suaminya ibu? Untuk mendidik anaknya dipasrahke akue. Maksudnya gimana bu? Misale anu wes aku ra ngerti wes kono karepmu. Tapi Beda dengan bapak saya. Kalau bapak saya ki ketok le sportif opo ngalah gitu lho.. wes simbok wae, aku ra isa. Kalau suamiku nadane ki kaya nada marah. nah itu anak-anak wes pokoke duwe... Ya itu kayaknya wes udah karaktere po piye yo? Dari dulu sih meskipun ada anak-anak yo sama saja. Jadi makanya anak saya itu do pinter, nek mung misuh bisa. Hampir setiap hari mendengar, nek nugroho itu relatif lebih nganu luwih halus daripada adekya. Kalau yang kecil berani. yang kecil ki kan anaknya lebih... lebih berani lebih spontan. Ora tading

100

kerukunan dan menjadi orang yang bisa dihargai orang lain (173190)

Sosok ibu sebagai panutan (192194)

Diri lebih berperan dalam keluarga daripada suami (206 -

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

220 221 222 223 224 225 226 227 228 229 230 231 232 233 234 235 236 237 238 239 240 241 242 243 244 245 246 247 248 249 250 251 252 253 254 255 256 257 258 259 260 261 262 263 264 265

T J

T J T J T

J

aling-aling. Misale bapakne gitu yo berani. Nah kalau mendengar kata-kata kasar hampir setiap hari kan ya mau tidak mau kan terekam to? Atau mugkin tidak tau kalau itu salah. Karena waktu SMP pernah ditegur sama gurunya juga “kok kata-katamu seperti itu?” Ya cewe.. ditegur gurunya “itu kok cah ayu-ayu kok kata-katanya ngono? Terus e ditegur gitu terus sekalian ngomong sama gurunya itu “saya ini bukan arep bermaksud misuh-misuh piye tapi rumangsa de’e ki yo wis biasa saja saya tuh setiap hari wes mendengar seperti itu”. Meh misuh-misuh tapi kata-katanya. Wong kata-kata banyak pilihan kata yang halus sukanya sing dipilih sing kasar. Jadi kuping saya ya wis terbiasa. Jadi ibu kalau bapak lagi ngomong kek gitu Ibu nyikapinnya gimana bu? Nek misale rada. mbok yo, mbok yo aja kaya ngono kuwi, sing rada alus. Nek mung karo guyon kae yo aku tak timbrung sisan. Soale kayaknya nggak anue sudah misale sudah diberitahu oleh siapapun yo tetep saja. Tetep belom berubah. Tapi sih berharap berubah. Kalau berharap ke anak-anake ibu? Berharap dalam sikape opo apa? Sikap semuanya bu.. Harapane yo bisa lebih baik dari orangtuanya. Kalau pas ibu tau kalau epin pernah ditegur waktu SMP, ibu ngasih taunya ke Epin gimana bu? Ya ikut menasehati ya memang kalau bisa yo jangan sampai seperti itu. Meskipun setiap hari mendengar kan tidak, tidak opo.. Dengan sendirinya boleh ditiru tho.. Kalau bapak tidak mau berubah ya sudahlah kita tidak bisa menumpas. Tapi, tapi kita saya dan anakanak kalau bisa ya jagan meniru yang itu karena kita kan tahu itu tidak baik. Bertahanlah pada yang baik, apa gampangane ngono kuwi lah. Tapi ya nggak tau anak-anak ki. Kadang kan mbales. Bapak aja gitu kok aku nggak.. yo emosine jalan duluan. Mbok ya mikir dawa, aja emosine dulu. Kan masih remaja-remaja ngono.

101

Diri yang bijaksana (238 – 243)

Berharap demi kebaikan anak (247 – 248)

Diri yang bijaksana (252 – 261)

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

266 267 268 269 270 271 272 273 274 275 276 277 278 279 280 281 282 283 284 285 286 287 288 289 290 291 292 293 294 295 296 297 298 299 300 301 302 303 304 305 306 307 308 309 310 311

T

J T J T J

T J

T

J T J

T J T J

Klo ibu liat majalah, ibu itu ada rasa ini tuh.. sosoknya itu bagus gitu loh. Ada rasa ginigini itu ada nggak bu? Idolanya ibu ada nggak bu? Buat ibu sendiri Paling yo nek ono sing menginspirasi. Siapa bu? Nggak ono e 1 aja bu.. yang paling menginspirasi. Sapa ya? ora-ora trus inget siapa yang mnginspirasi, tapi misale mbaca sepeintas ya ana.. trus njuk ana tokoh idola ngono. Sapa ya? Ya jaman dulu bu? Jaman dulu kalau masih ada. Waktu ibu masih remaja, Aku remajanya itu nganu kok anak rumahan haha jadi pergaulane mugkin tidak tidak seperti pada umumnya anak-anak sekarang karena ter...opo yo? terkondisi di rumah membantu ibu saya itu, membantu jahit itu. Itu mugkin pergaulannya, kurang gaul. Kan dari sekolah ikut cari uang. Belajar njahit, ikut njahit, suka njahit untuk pelanggan bukan untuk sendiri. Kalau orang yang paling berkesan di dalam hidup ibu hmm memberikan pengaruh ke dalam kehidupan ibu tuh siapa? Untuk sekarang? Nek yang sampai sekarang yang masih masih saya alami kakakku. Kakak yang? Kakak yang tertua. Sejak ibukku nggak ada ki praktis ya kakakku itu seperti jadi ibu. Perhatiannya luar biasa. Iya yang jadi suster, perhatiannya tuh ah sampai hal kcil-kecil. Makannya nek nek kadang kakak adek 1 keluarga ya sok bertengkar ki saya heran dulu teman-teman cerita dengan adeknya bertengkar, dalam kamus saya nggak ada. Hahaha Dulu tuh ibu nggak pernah bertengkar? Nggak pernah Sekalipun? Nggak pernah. Hm mungkin waktu saya kecil. Usil-usil nakal apa-apa terus ngelempar. Ya nek selama wes sudah nalar gitu nggak pernah. Mungkin aneh ya?? Kakak saya kan misalkan mau belikan baju

102

Diri yang menolong orangtua (283 – 288)

Mengenal keharmonisan dari kecil (299 – 302)

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

312 313 314 315 316 317 318 319 320 321 322 323 324 325 326 327 328 239 330 331 332 333 334 335 336 337 338 339 340 341 342 343 344 345 346 347 348 349 350 351 352 353 354 355 356 357

T J

T J

T J T

J T J T J

T

saya. Kan nggak usah ditanyain, dibelikan apa gitu nanti dia suka ya saya mesti ya suka. Misalnya beli kain motife apa, wes rasah takon terus ditukokke wis sama selerane. Bisa ngerti gitu. Pernah apa ada cembru sama kakaknya apa adeknya gitu ibu jg nggak? Nggak, apalagi sing cowok itu. cowok dewe, ragil tapi ngalah banget. Yo jaman jaman kecil itu jenenge dikandani manut. Sing udah gede-gede itu yo yo opo murah hatilah bocahe ki. Paling-paling ngalah nek aku ngarani. Paling nerimo. Padahal bungsu. Dalam keluarga sing paling nakal aku. Nakalnya itu to gimana bu? Nakalnya gimana? Empat bersaudara aku sing paling nakal, galak. Paling galak aku ini, misale nek ra pener gitu aku nggetak-nggetak. Jadi misale ada harus ngomong sama bapak soal ini menyampaikan pendapat yang lain nggak berani saya yang maju. Jadi ibu paling berani gitu ya? Haha paling galak. Sing wis tahu tak seneni ya anak-anakku kae. Kalau sama tetangga juga ibu masih menjaga kayak yang diajarin ibunya ibu? Mau menjaga kerukunan gitu Sebisa mungkin Pernah ada konflik gitu sama tetangga? Yo jelas hahaha Jarak rumah sama tetangganya nggak jauh beda gitu? Kalau di daerah sekarang itu wes anu rengket. E dari satu rumah itu satu gini satu pekarangan satu pekarangan milik berdua. Kakak dan adek. Terus yang mlik kakak itu dibeli pak tri yang mliknya adek tak beli. Terus 1 pekarangan untuk 2 proyek. Dapat pinjaman dari kantor untuk beli. ya karena berbeda nggak cocoknya karena beda hobi gitu. Hobinya yang tetangga itu memelihara binatang. Anjing, kucing, burung. Nah saya punya asma. Lha itu lah. Berkonflik? Kenapa bu? Anjingnya suka main di rumah atau?

103

kek Diri masa kecil adalah diri yang nakal, berani, galak berbeda dengan yang lain (328 – 333)

Melihat ada perbedaan dengan orang lain (351353)

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

358 359 360 361 362 363 364 365 366 367 368 369 370 371 372 373 374 375 376 377 378 379 380 381 382 383 384 385 386 387 388 389 390 391 392 393 394 395 396 397 398 399 400 401 402 403

J

T

J

T

J

T

J

T J

T J

Ya konflik, baunya kan nggak... hmm sampai rumah. Apa, tidak tahan saya. Karena jaman dulu jumlahnya sekian sekarang, 5 tahun terakhir ini jumlahnya banyak sekali. Itu motivasinya karena dia hobi suka apa emang dia tu emang mau jual anjing, kucingnya itu mau dijual lagi? Dijual lagi ndak. Hobi dari keluarganya yang putri. Jadi itu.. nah itu saya ngerasa mangkelnya konflik itu. Terus biasanya kalau konflik gimana bu? Nek nek mangkel gitu ibu gimana? Sebelah itu ibu tahu? Kalau saya ndak suka? Tahu.. ya pemilikinya itu ya tahu. Ya nek hobi terus ndak peduli orang lain gitu. Ya jadi itu. ya nek bagi sana ya nek hobi kok ya dilarang. Soalnya kan itu udah dari dulu tho bu dan tetanggaan sama ibu semenjak ibu punya rumah di situ pertama kali tho bu? Lha dulu hanya sedikit jumlahnya. Pertama kali pindah kita pindah kesana 1992 itu sana punya anjing 3. Dulu 3 sekarang nggak tahu, banyak. Yang kelihatan di luar aja terakhir saya lihat 6 itu baru anjingnya. Kucingnya ndak tahu saya cuma denger suaranya. Sing ngopenei pembantu semua. Jadi nginggu anjing, nginggu kucing, nginggu pembantu. Terus gimana bu sampai sekarang? Tidak bisa apa-apa. Ra isa apa-apa. Wes tak coba yo ngomong mbantah ngono. Dulu awal pindah sana 1992 kalau nggak 1995 ya 1996 saya pernah protes karena yang anjing 3 itu nek buang kotoran di halamanku. Sampai adekku tu bikin apa.. jugangan untuk kuwi tok. Jendela sampe ndak pernah berani dibuka, nah aku kan protes. protes terus le menanggapinya radikal. Radikalnya gimana bu? Dibangun benteng, setinggi 3 meter kalau ndak salah. Kan aku kan dulu usulnya mbok antara rumah dia dengan rumahku lebih kecil tho lebih sempit. Aku beri solusine diberi pager biar anjingnya ndak buang kotoran di halamanku tapi menanggapinya wis.. mungkin ya dicampur emosi campur emosi

104

Berani menyampaikan ketidaksukaannya (387 – 391)

Merasa orang lain atau tetangga tidak memahami kondisi yang ada (397 - 401)

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

404 405 406 407 408 409 410 411 412 413 414 415 416 417 418 419 420 421 422 423 424 425 426 427 428 429 430 431 432 433 434 435 436 437 438 439 440 441 442 443 444 445 446 447 448

T J

T J

T J

T

J T J

dan didukung sama keluarganya sana. Bukannya dipager tapi langsung ditembok. Hari pertama segini. Aku kerja tho. Pulang kerja udah ada tembok segini. Hari kedua lebih tinggi. Itupun dengan memutus air. Satu sumur berdua. Diputus tanpa kompromi. Tanpa pemberitahuan. Kan ada batasan. Emang letaknya dipertengahan garis. Dulu kan situ cuman kakak adik gitu. Nah sini di pertengahan garis nah disini kan nggak ada tembok, nggak ada pager. Ini kan berdua diberi sanyo. Diberi sanyo nanti gantian mau ngisi sana sini gantian. Ya akur. Protes langsung ya diputus. Aku langsung cari air di tetangga. Sampai sekarang bu? Nggak. Sekarang udah bikin sumur sendiri. Sumure itu dipakai sana. Terus ini ndelalahe sumure itu kan rusak apa jugruk. Terus ini ditutup. Dia membuat sendiri di tanahnya sendiri. Jadine sana buat sendiri aku buat sendiri tapi ya mung menyakitkan hati ki ya le diputus tanpa ngomong-ngomong gitu. Yo sempat jotakan. Kalau sekarang gimna? Sekarang.. baik-baik saja. Tapi ya nek kuwi ya tidak bisa lupa. Hobine ndak bisa di. Siapa yang berani menegur mesti kalah semua. Yang komplain ndak cuma satu? Yang paling deket saya toke, yang paling deket dan punya sakit asma sisan kuwi kalau yang lain ndak masalah. Tapi ya wis ngerti sini punya penyakit tapi ya ndak dikurangi tapi malah terus nambah. Itu berapa tahun saya ndak masuk rumahnya. Paling ndak 5 tahun. Cuman masuk beberapa kali. (Wawancara kedua) Kan ini dari cerita yang ibu kemarin kan ibu tu apa ya namanya sosok yang menurut ibu yang apa ya.. mbaknya kakaknya yang menginspirasi atau siapa bu? Atau bukan kakaknya? Yang memberi contoh lah memberi teladan. Yang memberi teladan itu kakaknya? Ya.. yang pertama ibu saya dulu. Ibu ndak ada terus yang saya lihat ya kakakku yang

105

Mengingat kejadian yang tidak menyenangkan (429-430)

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

449 450 451 452 453 454 455 456 457 458 459 460 461 462 463 464 465 466 467 468 469 470 471 472 473 474 475 476 477 478 479 480 481 482 483 484 485 486 487 488 489 490 491 492 493 494

T

J

T J

T J T J

T J T J T J T

mbarep. Menurut ibu tuh kakaknya tuh. Kakaknya itu kayak gimna. Eh ndak ding. Sebenarnya ibunya ding yang pertama. Ibunya ibu tuh kayak gimana gitu lho? Ya apa yg membuat ibu tuh menjadi teladan ibunya ibu? Orangnya sederhana iya, pekerja keras iya, terus sifat-sifatnya itu kalau dengan orang lain ini lho lebih tidak apa ya.. pokoknya membuat orang lain senang, ora gawe masalah. Bukan tipe orang sulit. Pengalaman apa yang berkesan ibu.. ibu punya dengan ibunya gitu? Meskipun orang nggak punya tapi temennya banyak dengan tetangga semua itu rukun, akur. Terus yang saya lihat itu kalau untuk apa namanya. Sering sekali orang dateng, dolan ke rumah sambil ngobrol-ngobrol. Ya kadang ada yang curhat ada yang apa. Nah ibu saya itu sering dimintain itu masukan atau apa. Itu sering sekali. Selama saya masih kecil sering lihat anggere dolan mesti sambil ngobrol sambil mungkin sambil menjahitkan. Ibu saya kan njahit. Jadi sambil kerja sambil ngomong-ngomong gitu. Akrab gitu lho banyak tetangga yang.. meskipun orang nggak punya tetapi tetangga semua itu menurut saya menghormati. Kenapa kok bisa? Lha mungkin sikapnya ibu saya itu yang bikin orang-orang menghormati. Sikapnya seperti apa? Rendah hati. Jadinya sering rasanya rada sungkan gitu lho. Ini orang nggak punya tapi kok orang-orang terlihat hormat itu lho. Sering rasanya itu agak gimana gitu lho. Gimana bu? Ya kayak orang lain kayaknya hormat beneran gitu lho. Nah kalau ibu sendiri melihat ibunya ibu kalau orang lain kayak gitu, ibu gimana? Ya seneng sih tapi ya terus ya karena ikut tanggungjawab juga. Ikut tanggungjawab juga gimna bu? Tanggungjawab menjaga nama baiknya gitu. Lalu, buat ibu ibunya ibu tuh seperti apa? arti

106

Meneladani ibu yang berjuang dan berperan dalam keluarga (455-459)

Bertanggungjawa b menjaga nama baik dari sikap orang lain yang diberikan pada ibu (490 – 491)

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

495 496 497 498 499 500 501 502 503 504 505 506 507 508 509 510 511 512 513 514 515 516 517 518 519 520 521 522 523 524 525 526 527 528 529 530 531 532 533 534 535 536 537 538 539 540

J

T

J T J

T

J T

J T J

ibunya ibu itu kayak gimana? Apa ya.. ya hidupnya untuk anak itu betulbetul berkorban untuk anak, untuk mengantar anak biar besoknya lebih baik dari orangtua, kehidupannya Kalau bisa, kalau bisa diungkapkan dengan nggak banyak kata cuman satu kata gitu buat ibu ibunya ibu tuh apa? Apa bu? Ya pahlawan.. hehehe pahlawan dalam keluarga kami. Kenapa ibu kok lebih memilihnya pahlawan? Dari kerja kerasnya bener-bener itu lho. Kerja kerasnya. Le berusaha bener membesarkan hati anak-anak meskipun tidak biasanya kan kalau orang nggak punya nggak punya apa-apa nggak punya yang diandalkan, disombongkan itu kan rendah diri tho mesti. Tapi ibu saya ini berusaha le gimna caranya biar anak-anak tetep maju. Dan dari dari pengalaman kami 4 bersudara itu tidak ada yg pernah anu.. tinggal kelas. Semua lancar. Mungkin juga kan untuk belajar juga menemani meskipun tidak membantu tapi menemani sampai selesai ngerjakan PR macam itu. Dari pengalamannya ibu itu bersama ibunya ini dan pengalaman-pengalaman ibu sebelumnya. Ibu itu melihat dirinya ibu itu seperti apa? Bu Surti itu seperti apa? Saya melihat saya sendiri? Iya menjadi seperti apa sekarang ini orangnya? Dari pengalaman dulu masih kecil sampai sekarang. Kalau saya melihat sendiri banyak watakwatak ibu yang nurun ke saya. Seperti? Jaman anak-anak sampai usia SD apa SMP itu kalau SMP itu kan SD belajar pasti masih minta orangtua ya. minta diajari terus sampe SMP kadang itu ya masih anak-anak itu tanya itu mesti sama saya. Karena kebetulan kalau tanya pada bapak itu kadang jawabannya tidak pas. Jadi anak-anak apal tanya bapak jawabanne tidak pas nggak anu. Terus tanya ibu nah untuk kesempatan berikutnya sudah nggak mau tanya bapak.

107

Memprioritaskan anak (496-499)

Melihat ibu sebagai pahlawan yang berjuang demi anaknya (506 – 519)

Mengidentifikasik an diri sama dengan ibu dalam berperilaku (528529)

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

541 542 543 544 545 546 547 548 549 550 551 552 553 554 555 556 557 558 559 560 561 562 563 564 565 566 567 568 569 570 571 572 573 574 575 576 577 578 579 580 581 582 583 584 585 586

T J T J

T J

T J

T J

T J T

J T J T J

Mindon gaweni. Mesti dua kali langsung ibu. dua-duanya. Terlebih masih kecil waktu masih kecil tanya misale pelajaran apa aja masih SD SD itu misalnya saya baru kerja nyuci, njemuri, terus anak belajar tanya “bu, iki kalau gini-gini gimana?” jadi sambil kerja ini saya ya sambil jawab. Kan selisih cuma satu setengah tahun satu tahun. Hmm apa akademiknya. Kiri kanan ini belajar bareng masih kecil-kecil ya udah. Bapaknya nonton saja. Selain itu apa lagi bu, ibu melihat diri ibu? Relatif sama dengan ibu. Ya apa lah ibu melihat diri ibu tuh? Ya itu apa namanya.. apa tho istilahe. Aa.. menjaga suasana itu jangan. Jangan ribut.. jangan bertengkar.. rela mengalah. Kenapa ibu memilih mengalah? Males ribut. Nanti malah berbuntut panjang. Ya sudahlah kadang ya saya dipersalahkan kenapa saya ngalah. Siapa yang menyalahkan? Ya orang-orang yang misalnya yang saya ajak ngomong gitu terus sikap saya begini kadang ya diperotes. Terus kalau diprotes gitu ibu terus gimana bu? Ya saya sudah mikir panjang tho misalnya saya tidak ngalah tetep protes nanti hasilnya juga tidak lebih baik. Jadi ya sudah daripada nganu lebih buruk. Udah tahu nanti hasilnya lebih buruk kenapa dilakukan. Apa lagi bu selain itu? ada lagi? Mengalahnya iya. Kalau ngajari jujur iya dari dulu. Mungkin kan tadi kalau ada kekurangannya ibu itu melihat diri ibu itu sebenenrnya kekurangannya itu kyk gimna itu ada nggak bu? Owhh banyak.. Apa saja bu? Kok dibilang banyak itu kayak gimana bu? Kadang terlalu berpikir panjang tu juga kadang tidak baik ternyata. Tidak baik gimna? Misalnya wah mbok tadi harusnya mbok tadi

108

Menjaga keharmonisan (555-557)

Orang lain terkadang tidak menyetuji sikap yang mengalah (563-565) Belajar dari pengalaman sebelumnya (568572)

Berpikiran

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

587 588 589 590 591 592 593 594 595 596 597 598 599 600 601 602 603 604 605 606 607 608 609 610 611 612 613 614 615 616 617 618 619 620 621 622 623 624 625 626 627 628 629 630 631 632

T J T J

T J T J T J T J T J

T

J

langsung ambil sikap gini saya terlalu mikir malah terkadang itu juga terjadi jadi ada positifnya ada negatifnya. Tadi kan katanya banyak gitu bu? Kalau saya sendiri itu kadang kalau ambil keputusan itu sering sulit. Kenapa? Ya nggak tahu. Sering ragu-ragu misalnya gitu untuk saya sendiri sering merasa perlu ada orang lain yang mendorong kadang gitu. Ada lagi ndak bu? Kurang berani ambil sikap Tapi ibu pernah marah-marah gitu sama anaknya atau sama sapa gitu? Marah ya kalau bener-bener anaknya ngeyel gitu ya tak marah bener. Kalau marah sama tetangga marah-marah? Nggak bisa misalnya ndamprat gitu. Kalau didamprat pernah. Kenapa bu? Karena apa? Mungkin itu karena menurut saya bukan salah saya. Terus ibu gimana ketika digituin perasaannya gimna bu? Woo ya mangkel banget. Kalau sikap yang sesuai dengan konteksnya itu. ya ini kan permasalahannya pemasalahan uang. Uang waktu itu 50 ribu. Ya udah kalau saya dianggap salah ya sudah ini saya ganti uang 50 langsung gitu. Orangnya yo wis tetap merasa benar. Ndamprat-ndamprat gitu ndak bisa lha nanti mau ndamprat malah menggehmenggeh. Kl ndak disambi lucu, banyolan, nanti setres. Dari jaman waktu saya kecil sudah biasa plesetan sama bapak, simbok saya. Kalau misalnya ibu bisa misalnya aa.. kan ibu merasa banyak yang sifat ibu tuh ibunya bu Surti seperti ibu. maksudnya ibu tuh seperti ibunya bu surti. Nah kalau ibu punya kesempatan ngomongin gitu. Apa yang mau ibu ucapin ke ibu gitu seandainya ibunya bu surti bisa tahu gitu? Ya terima kasih. Terima kasih sudah sudah mendidik kami semua anak-anaknya sedemikian rupa terus ya terima kasih semua

109

panjang ke depan terkadang menjadi salah bersikap (586589)

Membutuhkan dukungan dari orang lain (594 596)

Menghadapi permasalahan dengan santai (619 – 622)

Pengorbanan sosok ibu sangat berarti (630 - 634)

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

633 634 635 636 637 638 639 640 641 642 643 644 645 646 647 648 649 650 651 652 653 654 655 656 657 658 659 660 661 662 663 664 665 666 667 668 669 670 671 672 673 674 675 676 677 678

T J

T

J T

J T

J

T J

T J

T J

T J

pengorbanannya. Soalnya pengorbanannya itu sangat terasa sekali soalnya. Pengorbanannya ibunya bu surti? Ho’oh. Seperti kan jadinya lebih berperan dalam keluarga. Lebih berperan daripada bapak. Sekarang ibu sudah seneng dengan keluarga ibu sekarang ini? senang dengan kehidupan ibu sekarang ini? Sekarang? Ya masih diusahakan terus untuk lebih baik. (ketiga) yang kemarin itu ibu kan cerita udahan orang atau sosok yang berpengaruh dalam hidup ibu kan ibunya bu Surti nah itu aa.. menurut ibu itu positifnya atau kelebihannya ibunya bu Surti itu kayak gimana? kelebihan.... (terdiam) Kelebihan yang berkesan bu, ibunya bu Surti itu pahlwaan di dalam keluarga bagi Bu Surti. Nah positifnya dari ibu itu apa bu? Apa ya.. semangatnya, terus dari sifatnya itu kalau saya, aku nek ngarani itu cukup rendah hati lah orangnya, Rendah hati kayak gimana bu? terhadap orang lain itu pasti menghargai, nggak pernah berpikir negatif kayaknya ndak pernah jadi terkadang ada orang tetangga misalnya yang sifatnya itu tidak baik menurut penilaian umum tidak baik, tapi terhadapa ibu saya dia baik. orangnya itu? iya atau mungkin diapiki terus sama ibuku itu. tapi nek semangatnya itu lho, mungkin saya ndak bisa. semangatnya kayak apa bu? Semangatnya membesarkan hati anakanaknya biar, misale biar tidak minder, biar tetep maju terus meskipun kondisi keluarga susah, kondisi sosialnya di bawah. Walaupun ndak punya itu semanagte itu lho. Nah itu, apa yang dari ibu itu yang ibu contoh? kalau yang saya contoh, saya praktekan sekarang mudah-mudahan bisa berhasil itu untuk memajukan anak kalau belajar sekolah

110

Memandang sosok ibu rendah hati (658 – 663)

Sosok ibu membesarkan hati anaknya (669673)

Berharap anak lebih baik (676 – 680)

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

679 680 681 682 683 684 685 686 687 688 689 690 691 692 693 694 695 696 697 698 699 700 701 702 703 704 705 706 707 708 709 710 711 712 713 714 715 716 717 718 719 720 721 722 723 724

T J T

J

T J T J

T

J

itu lho. Sekolah kalau bisa ya lebih baik daripada saya. Ibu saya dulu ya Cuma lulusan SMP kalau ndak salah ehh lupa. Pokoknya pendidikannya cuman rendah tapi anaknya itu pokoknya bagimana caranya harus sekolah gitu. Ya semampunya perekonomian ya. yang kakak saya sulung itu sampe SPG terus yang kedua hanya SMP karena sudah kesusul saya lulusnya bareng gitu lho jadi kan biaya bersamaan nah itu milih salah satu nah kakak saya yng ngalah. Ya sudah SMP saya berjenti gpp. Gitu. Saya bisa sampe sini. Adik saya sampe SMA. Itu caranya ibu saya kadang ini, carane ya. meskipun bagaimana resakane untuk ndaftarkan dengan utang-utang, segala macem itu dilakoni. Itu yang ibu contoh ya? Iya. Nah ini, dua ini moga-moga bisa. Heheheheh tadi kan kelebihannya ibunya bu Surti, semangatnya. Nah kalau kekurangannya ibunya Bu Surti apa bu? kekurangannya? Aaa.. anu... menurut saya selalu mengajarkan untuk ngalah, nrima, terus. Dari ngalah, nrima, apa lagi ya.. itu ternyata kalau di betul-betul dipraktekan, ngalah jadi kalah tenan. Padahal harusnya saya dalam hal ini nggak ngalah, tidak nrima, harus berusaha lebih giat lagi, saya kadang ada hal-hal yang itu. kadang terlalu nerimanya, ngalahnya terus sama orang lain sudah ngalah dikalahke tenan. tapi ibu ngalah sama nerima juga ndak bu dalam hidup ibu itu? relatif iya. terus gimana bu kalau begitu padahal ibu melihat itu sebagai kekurangan. nah setelah mengalami, memperaktekan tho, lha kok ternyata saya ngalah terus kok seperti ini., terus saya nilai itu kok agak negatif jadinya. Jadi dari situ ibu menilai negatifnya ibunya bu Surti itu? mengajarkan itu tuh tidak baik. Kalau terlalu gitu? Iya. Lepas dari benar atau salah ya, itu saya

111

Perjuangan sosok ibu untuk informan (682 – 695)

Ada ajaran sosok ibu yang dianggap salah (702 – 706)

Ngalahan dan nrima dianggap sebagai kekurangan (706 711)

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

725 726 727 728 729 730 731 732 733 734 735 736 737 738 739 740 741 742 743 744 745 746 747 748 749 750 751 752 753 754 755 756 757 758 759 760 761 762 763 764 765 766 767 768 769 770

T

J

T J T J

T

J T J

T J T J

T

J

ndak tahu benar atau salah. Tapi itu kadang terlalu mengalah kok ya rugi ya kadang gitu, merasa gitu. Tapi nggak tahu itu benar atau salah. Itu tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah. setelah ibu tahu owhh dipraktekan negatif terus ibu gimana sekarang? Apakah ibu tetap ngalah nrima, atau gimana? ya.. kadang berontak juga sekarang, misalnya ada hal-hal yang kok saya ngalah jadi gini ya protes ya protes tidak harus mengalah terus. tapi tetap ada mengalahnya? iya. Mungkin ya karena diajari dari kecil itu ya tapi situasi tertentu ndak? he’em, ternyata ini harus tidak harus ngalah kalau hal seperti ini kadang gitu. Pokoknya segalanya kalau serba terlalu itu ndak baik ya. nah ibu tuh kan ibu memilih ibunya bu Surti yang jadi panutan. Emang apa yang membuat itu berbeda bu dari mungkin kakaknya atau bapaknya. Apa yang membuat ibu itu menjadi khusus sehingga ibu memilih ibunya bu Surti sebagai sosok yang. owh di bandingkan dengan yang lain-lain? Iya kalau disejajarkan mungkin ya ibu dibandingkan dengan bapak ya. nah itu dari sifat-sifatnya jauh. Beda banget. beda banget gimana bu? ho’oh dan ibu lebih menyenangi ibunya Bu Surti? he’em. Bapak ki nggak terlalu deket saya. Tidak terlalu dekat. Dari 4 anak itu semua lebih deket sama ibu. kalau mungkin yang sulung itu mungkin sama bapak ibu deket. Tapi kalau yang adik-adiknya lebih deket sama ibu yang saya tahu gitu. kedepannya ibu kedepanya buat diri ibu itu apa. Kedepannya ibu ini orangnya menurut ibu itu apa? kalau harapannya selalu menuju yang lebih baik, ke yang lebih baik kadang-kadang terlalu mengalah terlalu memikirkan panjang itu jadi ragu-ragu kadang itu. negatifnya.

112

Merasa ada kedekatan dengan sosok ibu (758 – 763)

Belajar dari pengalaman sebelumnya (767 – 778)

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

771 772 773 774 775 776 778 779

T

Kadang untuk saya sendiri harus nganu secara pribadi saya merasa harus lebih berani bersikap tegas. Karena itu tadi terlalu mengalah itu kalau menurut saya itu marakke ragu-ragu, tidak berani bertindak, mikirnya mungkin malah terlalu panjang itu lho. Mungkin. sudah bu, makasih bu, maaf mengganggu.

113

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

Cluster of Meaning Self Concept Ibu S (52)                  

Kenangan masa lalu yang kuat Kebijaksanaan sosok ibu yang jelas Perjuangan sosok ibu dalam membantu keluarga Kuatnya peranan sosok ibu dalam keluarga Kerukunan ajaran dari ibu Pentingnya harga diri ajaran dari ibu Sosok ibu sebagai panutan Dominan diri daripada suami Kebijaksanaan diri Harapan pada anak yang lebih baik Keberanian diri Nama baik ibu penting Kehidupan anak penting bagi sosok ibu Ada kesamaan dengan sosok ibu Pemikiran jauh ke depan Pengorbanan sosok ibu penting Perjuangan kehidupan yang lebih baik Kesadaran ada ajaran sosok ibu yang salah

114

PLAGIAT PLAGIATMERUPAKAN MERUPAKANTINDAKAN TINDAKANTIDAK TIDAKTERPUJI TERPUJI

115

Dynamic of Meaning Ibu S (52) Ibu S memiliki kenangan masa lalu yang selalu terkenang bersama keluarganya. Kebersamaan, dan kekeluargaan yang dirasakan bersama kakak, adik, dan orangtuanya masih terasa. Bagi Ibu S, ibunya adalah sosok yang berperan dalam keluarga dan dapat dijadikan teladan. Kebijaksanaannya dalam menengahi beda pendapat di dalam keluarga dan kegigihannya dalam membantu suami menopang perekonomian keluarga menjadi alasan Ibu S mengatakan ibunya sebagai teladan. Bahkan Ibu S juga ikut membantu untuk menopang perekonomian keluarga. Hingga setelah menikah pun Ibu S memiliki kemampuan juga untuk membantu perekonomian keluarga. Ibu yang mengutamakan kebaikan untuk anaknya juga menjadi alasan sosok ibu sebagai teladan. Selain itu, ibu juga rendah hati kepada semua orang yang membuat dia dihormati banyak orang. Pengalaman Ibu S melihat ibunya dihormati banyak orang membuat dirinya merasa bertanggungjawab menjaga nama baik ibunya. Ibu juga mengajarkan dan menasehati banyak hal, baik nilai atau prinsip Jawa maupun bukan. Ajaran yang diajarkan adalah selalu mengutamkan kejujuran dan menjaga kerukunan, jangan membuat masalah atau pertengkaran. Ajaran ibu ini membuat Ibu S menjadi mampu melihat bahwa setiap orang memiliki perbedaan. Namun, walaupun diajarkan untuk menjaga kerukunan tidak kemudian Ibu S selalu bersikap diam agar tidak terjadi pertengkaran tetapi Ibu S juga berani mengungkapkan ketidaksukaannya dan sudah berpikiran panjang ke depan apa yang dilakukan. Ibu S juga selalu mengingat nasihat yang diberikan ibunya yaitu untuk jangan minder walaupun tidak punya tapi milikilah bekal kepinteran pasti akan dihargai oleh orang lain. Nasihat ini yang selalu diingat sehingga menjadikan Ibu S memiliki pandangan pendidikan penting dan mengharapkan anaknya memiliki kehidupan yang lebih baik daripada orangtuanya. Segala ajaran dan diri positif ibu menjadikan ibu adalah idola bagi Ibu S dan Ibu S memiliki rasa hormat dengan bertanggung jawab menjaga nama baik ibunya. Bagi Ibu S semua pengorbanan yang sudah dilakukan ibunya sangat berarti. Dari semua kebaikan dan ajaran yang ada di dalam diri, ada ajaran yang diajarkan oleh ibu yang kurang bisa diterima oleh Ibu S setelah dipraktekan langsung yaitu ajaran untuk menjaga keharmonisan dengan mengalah atau nrima. Ajaran tersebut dilihat oleh Ibu S sebagai kekurangan karena sikap tersebut sudah diprotes oleh orang-orang terdekatnya. Ibu S belajar tidak selalu harus mengalah karena nanti bisa jadi kalah sungguhan. Mengalah dan nrima dilakukan Ibu S pada situasi tertentu. Ibu S juga mengakui memiliki kekurangan, tidak hanya memiliki hal-hal baik yang dipelajari dari ibunya. Kemampuannya berpikiran panjang ke depan disadari Ibu S terkadang menjadikan dirinya salah bersikap, menjadi ragu-ragu dalam bertindak dan mengambil keputusan. Hal ini dilihat merugikan bagi Ibu S. Ibu S berharap dapat lebih berani bersikap tegas.