Kritik Terhadap Teori Piaget, Teori Perkembangan Sosial

C. Tahap Perkembangan Psikososial Erikson Teori Erikson mengenai perkembangan psikososial memiliki 8 tahapan yang masing-masing memiliki dua kemungkin...

64 downloads 597 Views 518KB Size
Kritik Terhadap Teori Piaget, Teori Perkembangan Sosial Vygotsky, dan Tahap Perkembangan Psikososial Erikson Kelompok 1: MUCHAMAD TAUFIQ ANWAR PRADNYA PARAMITA DEWI ARDHITYAN KRISTANTOMI EDO TRIPRATAMA PUTRA RIDHO WAHYU ANGGORO

702012109 702012004 702012013 702012066 702012081

A. Kritik Terhadap Teori Piaget Bower dan Wishart (1972) menyebutkan bahwa object permanence terjadi pada anak-anak dengan usia yang lebih muda daripada yang diklaim oleh Piaget.1 Beberapa studi menyebutkan bahwa Piaget meremehkan kemampuan anak karena tes yang digunakannya sulit dimengerti oleh anak-anak (e.g Martin Hughes (1975)).2 Rose dan Blank (1974) serta McGarrigle dan Donaldson (1974) sama-sama menyebutkan bahwa anak-anak telah mencapai conservation pada usia yang lebih muda daripada yang diklaim oleh Piaget.3 Robert Siegler (1979) menyebutkan bahwa perkembangan kognitif anak adalah proses belajar yang berkelanjutan, bukan berupa blok-blok tahapan seperti yang dikemukakan Piaget.4 Hal ini sejalan dengan pandangan Vygotsky dan Bruner; dan didukung dengan studi Keating (1979) yang menunjukkan bahwa 40-60% mahasiswa gagal menjalani tes operasi formal.5 Dasen

1

Bower, T.G.R., & Wishart, J.G. (1972). The effects of motor skill on object permanence. Cognition, 1, 165–172. In McLeod, S. A. (2010). Sensorimotor Stage - Object PermanenceSensorimotor Stage - Object Permanence. Retrieved from http://www.simplypsychology.org/sensorimotor.html on 10 January 2013 2 Hughes , M. (1975). Egocentrism in preschool children. Unpublished doctoral dissertation. Edinburgh University. In McLeod, S. A. (2010). Preoperational Stage - EgocentrismPreoperational Stage - Egocentrism. Retrieved from http://www.simplypsychology.org/preoperational.html on 10 January 2013 3 McGarrigle, J. & Donaldson, M. (1974). Conservation accidents. Cognition, 3, 341-350. Rose, S. A., & Blank, M. (1974). "The potency of context in children’s cognition: An illustration through conservation." Child Development, 45, 199-502. In McLeod, S. A. (2010). Concrete Operational StageConcrete Operational Stage. Retrieved from http://www.simplypsychology.org/concrete-operational.html on 10 January 2013 4 Siegler, R.S. & Richards, D. (1979). Devlopment of time, speed and distance concepts. Developmental Psychology, 15, 288-298. In McLeod, S. A. (2010). Formal Operational - Piagetian StageFormal Operational Piagetian Stage. Retrieved from http://www.simplypsychology.org/formal-operational.html on 10 January 2013 5 Keating, D. (1979). Adolescent thinking. In J. Adelson (Ed.), Handbook of adolescent psychology, pp. 211-246. New York: Wiley. In McLeod, S. A. (2009). Jean Piaget | Cognitive TheoryJean Piaget | Cognitive Theory. Retrieved from http://www.simplypsychology.org/piaget.html on 10 January 2013

(1994) juga menemukan bahwa hanya 1/3 dari orang dewasa yang telah mencapai tahap operasional formal.6

B. Teori Perkembangan Sosial Vygotsky Menurut Vygotsky, perkembangan anak sangat dipengaruhi oleh interaksi sosialnya dengan orang lain (“tutor”, orang yang lebih ahli). Si “tutor” ini bisa memberi contoh atau arahan kepada anak. Si anak kemudian akan mencoba memahami contoh atau arahan yang diberikan tutor, lalu mengaplikasikannya dalam tindakan.7 Contoh: Schaffer (1996) memberikan puzzle jigsaw kepada seorang gadis yang belum pernah bermain puzzle sebelumnya. Saat mencoba menyelesaikan puzzle sendirian, hasil kerja gadis ini sangatlah buruk. Ayah dari si gadis kemudian menunjukkan beberapa strategi dasar bermain puzzle dan mendorong si gadis untuk mencobanya. Setelah dirasa cukup bisa, si ayah lalu membiarkan si gadis untuk bermain sendiri. Menurut Vygotsky, interaksi sosial seperti inilah yang mendorong perkembangan kognitif anak.8

Prinsip Teori Vygotsky a. More Knowledgeable Other (MKO) MKO adalah orang-orang yang memiliki pemahaman atau kemampuan yang lebih tinggi daripada si anak (pada bidang-bidang tertentu), seperti guru, pelatih, orang tua, dll. Meski begitu, MKO tidaklah terbatas pada orang dewasa saja; teman sebaya dan orang yang lebih muda juga bisa menjadi MKO, bahkan komputer. Intinya, MKO haruslah mempunyai pengetahuan yang lebih daripada pengetahuan si anak. b. Zone of Proximal Development (ZPD) ZPD adalah perbedaan (jarak) antara ”apa yang bisa dicapai si anak jika ia bekerja sendiri” dengan “apa yang bisa dicapai anak jika ia dibimbing oleh seorang ahli”. Menurut Vygotsky, proses belajar (learning) anak terjadi pada zona ini.

6

Dasen, P. (1994). Culture and cognitive development from a Piagetian perspective. In W .J. Lonner & R.S. Malpass (Eds.), Psychology and Culture. Boston: Allyn and Bacon. In McLeod, S. A. (2009). Jean Piaget | Cognitive TheoryJean Piaget | Cognitive Theory. Retrieved from http://www.simplypsychology.org/piaget.html on 10 January 2013 7 Vygotsky, L. S. (1978). Mind in society: The development of higher psychological processes. Cambridge, MA: Harvard University Press.In McLeod, S. A. (2007). Vygotsky. Retrieved from http://www.simplypsychology.org/vygotsky.html on 18 January 2013 8 Schaffer, R (1996). Social Development. Oxford: Blackwell. In McLeod, S. A. (2007). Vygotsky. Retrieved from http://www.simplypsychology.org/vygotsky.html on 18 January 2013

Vygotsky juga berpandangan bahwa interaksi dengan teman sebaya merupakan cara yang efektif untuk membangun kemampuan anak. Ia menganjurkan guru untuk menggunakan cooperative learning agar anak yang kurang pandai dapat belajar dari anak yang lebih pandai.

C. Tahap Perkembangan Psikososial Erikson Teori Erikson mengenai perkembangan psikososial memiliki 8 tahapan yang masing-masing memiliki dua kemungkinan keluaran. Menurut teori ini, keberhasilan pada masing-masing tahap akan membentuk kepribadian yang baik dan keberhasilan interaksi dengan orang lain. Kegagalan pada suatu tahap akan mengakibatkan kekurangmampuan anak untuk menjalani tahap-tahap berikutnya dan anak akan memiliki kepribadian dan harga diri yang kurang baik. Kabar baiknya, kegagalan pada suatu tahap dapat kita perbaiki di waktu kemudian.

1. Trust vs Mistrust (0-1 tahun) Pada usia ini, anak akan berpikir apakah dunia ini merupakan tempat yang aman ataukah tempat yang penuh dengan ketidakpastian. Erikson berpendapat bahwa pada tahap ini anak akan membangun rasa percaya terhadap dunia dan kemampuan untuk mempengaruhi hal-hal di sekelilingnya. Perkembangan anak pada tahap ini sangat bergantung pada konsistensi si pengasuh anak. Jika si anak mendapatkan asuhan yang konsisten dan dapat diandalkan, ia akan membangun rasa percaya. Rasa percaya ini akan dibawanya ketika berhubungan dengan orang lain dan ia akan tetap merasa aman sekalipun ada ancaman bahaya. Namun, jika si anak mendapatkan asuhan yang kurang baik, tidak konsisten, dan tidak dapat diandalkan, ia akan membangun rasa ketidakpercayaan dan tidak akan memiliki kepercayaan diri untuk bisa mempengaruhi dunia sekitarnya. Anak ini akan membawa rasa ketidakpercayaannya ke dalam hubungan dengan orang lain. Hal ini dapat berakibat pada rasa gelisah, rasa tidak aman, dan percaya kepada dunia sekelilingnya.

2. Autonomy vs. Shame and Doubt (2 – 3 tahun) Pada tahap ini, anak mulai menunjukkan kemandiriannya. Ia mulai memiliki kehendak sendiri untuk memilih mainan, makanan, baju, dsb. Jika pada tahap ini kemandirian si anak mendapatkan dorongan dan dukungan, ia akan menjadi lebih percaya diri dan merasa aman utnuk menjalani kehidupan. Sedangkan jika si anak biasa dikritik, terlalu dikontrol, atau tidak diberi kesempatan untuk menunjukkan -kemampuandirinya, ia akan merasa dirinya tidak bisa apa-apa. Ia juga mungkin akan menjadi sangat bergantung kepada orang lain, tidak memiliki rasa percaya diri, dan ragu dengan kemampuan mereka sendiri.

3. Initiative vs. Guilt (3 - 5 tahun) Pada tahap ini, anak menjadi lebih sering menunjukkan inisiatifnya. Ia mulai merencanakan aktivitas, membuat permainan, dan memulai aktivitas dengan temannya. Jika diberi kesempatan, anak akan merasa memiliki inisiatif serta merasa percaya dengan kemampuannya untuk memimpin orang lain dan membuat keputusan. Sebaliknya, jika si anak sering dikritik dan terlalu dkontrol, akan terbentuk rasa bersalah yang bersarang pada diri anak. Ia akan merasa dirinya adalah orang yang menyusahkan orang lain dan cenderung untuk menjadi pengikut (tidak memiliki inisiatif). Pada tahap ini, anak akan menjadi banyak bertanya. Jika orang tua meremehkan pertanyaan si anak, menganggapnya sebagai hal yang mengganggu atau memalukan, anak akan merasa bersalah karena merasa telah menjadi “pengganggu”. Jika anak terlalu merasa bersalah, ia akan menjadi lambat dalam berinteraksi dengan orang lain dan kreativitasnya akan terhambat. Bagaimanapun juga, sedikit rasa bersalah tetap dibutuhkan agar anak dapat berlatih tentang kontrol diri dan memiliki hati nurani.

4. Industry (competence) vs. Inferiority (6 - 12 tahun) Anak pada tahap ini merasa perlu diakui (“dianggap”) oleh orang lain dengan cara menunjukkan kelebihan mereaka. Mereka akan mulai memiliki rasa bangga atas apa yang bisa ia capai. Jika inisiatif si anak mendapatkan dukungan, mereka akan memiliki rasa percaya diri untuk mencapai tujuan mereka. Namun jika inisiatif anak tidak “direstui” oleh orang tua atau guru, mereka akan merasa rendah diri, ragu dengan kemampuannya, dan mungkin akan membuatnya gagal mencapai tujuan. Jika anak tidak bisa membangun suatu keterampilan (skill), ia akan merasa bahwa dunia ini punya banyak tuntutan sehingga rendah diri akan tumbuh dalam diri mereka. Bagaimanapun juga, sedikit kegagalan tetap diperlukan agar anak belajar tentang kerendahan hati.

5. Identity vs. Role Confusion (13 - 18 tahun) Pada tahap ini, anak belajar tentang peran apa yang akan ia mainkan ketika kelak beranjak dewasa. Pada masa ini, anak akan mencari tahu tentang siapakah sebenarnya dirinya.

Mereka akan mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan dan mulai membentuk identitas mereka berdasarkan hasil eksplorasi mereka. Jika mereka gagal menemukan siapa diri mereka, mereka menjadi bingung dengan peran apa yang akan mereka mainkan di dunia ini.

6. Intimacy vs. Isolation (awal masa kedewasaan) Pada tahap ini, kita mulai menjalin keintiman dengan orang lain. Kita mulai mengeksplorasi hubungan yang mengarah pada komitmen jangka panjang dengan seseorang. Keberhasilan dari tahap ini akan membuat kita merasa nyaman, aman, peduli, dan berkomitmen dalam menjalin hubungan. Menghindari keintiman, takut bekomitmen dan memiliki hubungan akan membawa kita kepada pengisolasian, kesendirian, dan bisa jadi, depresi.

7. Generativity vs. Stagnation (pertengahan masa dewasa) Pada tahap ini, kita mulai menentukan karier dan hidup berkeluarga serta merasa menjadi bagian dari dunia. Kita memberi arti bagi lingkungan kita dengan cara membesarkan anak, bekerja giat, dan ikut terlibat dalam aktivitas organisasi/ komunitas. Jika gagal melewati tahap ini, kita akan merasa stagnan dan tidak produktif.

8. Ego Integrity vs. Despair (masa tua) Semakin kita tua, produktifitas dan daya eksplorasi kita akan menurun. Pada saat inilah kita akan merenungkan pencapaian kita dan mulai melihat diri kita sebagai orang yang sukses dalam kehidupan. Erikson percaya bahwa jika kita menganggap hidup kita tidak produktif, merasa bersalah atas masa lalu, atau merasa tidak bisa mencapai tujuan hidup kita, kita akan menjadi tidak puas akan hidup dan merasakan keputusasaan, yang sering kali berujung depresi dan hilangnya harapan. i

i

Erikson, E.H. (1950). Childhood and Society. New York: Norton. Erikson, E.H. (1958). Young Man Luther. New York: Norton. Erikson, E.H. (1964). Insight and Responsibility. NewYork: Norton. Erikson, E.H. (1968). Identity: Youth and Crisis. NewYork: Norton. In McLeod, S. A. (2008). Erik Erikson | Psychosocial StagesErik Erikson | Psychosocial Stages. Retrieved from http://www.simplypsychology.org/Erik-Erikson.html on 22 January 2013