LAHMUDIN, AGUS _D.14201019

Download Dr. Ir. Hj. Iman Rahayu HS, M.S.. NIP. 132 206 246. NIP. 131 415 133 ... pembutan tepung putih telur dan mengetahui sifat fisik serta sifat...

0 downloads 357 Views 364KB Size
PROSES PEMBUATAN TEPUNG PUTIH TELUR DENGAN PENGERING SEMPROT

SKRIPSI AGUS LAHMUDIN

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

PROSES PEMBUATAN TEPUNG PUTIH TELUR DENGAN PENGERING SEMPROT

AGUS LAHMUDIN D14201019

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

PROSES PEMBUATAN TEPUNG PUTIH TELUR DENGAN PENGERING SEMPROT

Oleh AGUS LAHMUDIN D14201019

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan dihadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 16 Oktober 2006

Pembimbing Utama

Pembimbing Anggota

Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si. NIP. 132 206 246

Prof. Dr. Ir. Hj. Iman Rahayu HS, M.S. NIP. 131 415 133

Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, MRur.Sc. NIP. 131 624 188

RINGKASAN AGUS LAHMUDIN. D14201019. 2006. Proses Pembuatan Tepung Putih Telur dengan Pengering Semprot. Skripsi. Program Studi Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Zakiah Wulandari, S.TP., M. Si. Pembimbing Anggota : Prof. Dr. Ir. Hj. Iman Rahayu, HS., M.S. Putih telur merupakan suatu sistem protein yang terdiri dari serat-serat ovomucin dalam sejumlah larutan protein globular. Putih telur mempunyai kadar protein yang tinggi dan merupakan bahan makanan yang mudah rusak. Pengawetan dengan cara pengeringan semprot merupakan salah satu cara yang dapat diaplikasikan untuk mempertahankan kualitas. Hasil pengeringan dengan spray drying berupa tepung. Keunt ungan bentuk tepung tersebut diantaranya adalah lebih awet dan volume lebih kecil sehingga menghemat ruang penyimpanan dan transportasi. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan perlakuan terbaik pada proses pembutan tepung putih telur dan mengetahui sifat fisik serta sifat fungsional tepung putih telur pada perlakuan. Perlakuan penelitian meliputi putih telur murni, putih telur + 0,3% ragi roti dan putih telur + 0,3% ragi roti + 4% maltodekstrin dari berat putih telur. Penelitian ini dibagi menjadi tiga tahap yaitu (1) persiapan bahan baku, (2) penentuan suhu pengering semprot dan (3) proses pembuatan tepung putih telur. Pengeringan putih telur pada penelitian ini dengan menggunakan alat spray dryer merk Buchi Tipe-190 dan suhu pengeringan yang digunakan adalah inlet 160 0 C, 170 0 C dan 180 0 C. Secara deskriptif diperoleh hasil bahwa suhu pengeringan yang baik adalah suhu inlet 180 0 C dan suhu outlet 86-96 0 C, karena menghasilkan produk tepung yang kering dan tekstur yang halus. Berdasarkan hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) pada peubah yang diamati seperti rendemen total, rendemen halus, rendemen kasar dan pH sebelum pengeringan, sedangkan pH setelah pengeringan, kadar air, kelarutan tepung, nilai kecerahan (nilai L), daya busa dan stabilitas busa perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata (P>0,05). Berdasarkan hasil penelitian, pembuatan tepung putih telur terbaik diperoleh dari perlakuan: (putih telur dengan penambahan 0,3% ragi roti) dan (putih telur dengan penambahan 0,3% ragi roti dan 4% maltodekstrin dari berat putih telur). Kata-kata kunci: Pengering semprot, fermentasi, maltodekstrin, tepung putih telur

ABSTRACT The Making of Albumen Powder with Spray Dryer Lahmudin, A., Z. Wulandari, I. Rahayu Albumen is a protein system which consist of ovomucin fibre in a number of globular protein solution. Albumen have a high protein rate and as a perishable food. The preservative with spray drying is a method could be applicated to maintain the quality. Drying result by spray drying is a powder. The advantage of powder form are more preservative and less volume so that economically save the storage room and transfortation. Research objective is to determine the best treatment of making albumen powder and to know physical and functional of albumen at the treatment. Research treatment include pure albumen, albumen + 0.3% yeast and albumen + 0.3% yeast + 0.4% maltodextrin from albumen weight. Research was divided to tree stage: (1) material preparation, (2) spray drying temperature determination and (3) the making of albumen powder. Albumen drying at this research using spray dryer Buchi Tipe-190 and drying temperature are inlet 160 0 C, 170 0 C and 180 0C. Descriptively, from this research a good drying temperature were inlet 180 0 C and outlet temperature 86-96 0 C, because producing dry powder and soft texture. According to variance analysis, the treatment value show a significant difference (P<0.05) to the examine indicator such as total rendemen, soft rendemen, rough rendemen and pH before drying, while, pH after drying, water rate, powder solution, lighness (L value), foam capacity and foam stability treatment didn’t gave a significant value (P>0.05). According to research result, the best making of albumen powder got from treatment: (albumen with 0.3% yeast) and (albumen with 0.3% yeast and 4% maltodextrin from albumen weight). Keywords : spray dryer, fermentation, maltodextrin, albumen powder

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 4 Agustus 1982 di Sukabumi, Jawa Barat. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara pasangan Bapak Asep Saepudin, S.Pd. dan Ibu Nanih. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar pada tahun 1995 di SDN Gunung Geulis. Pendidikan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) diselesaikan penulis di SLTPN 1 Cisolok pada tahun 1998 dan pendidikan SMU diselesaikan penulis pada tahun 2001 di SMUN 1 Pelabuhan Ratu. Tahun 2001, penulis mendapat Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada program studi Teknologi Hasil Ternak Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan. Selama mengikuti pendidikan Penulis, aktif sebagai pengurus di berbagai organisasi intern kampus seperti : UKM Koperasi Mahasiswa IPB tahun 2003-2006 dan LISES Gentra Kaheman IPB tahun 2003-2006. Penulis juga pernah bekerja sebagai manajer di KOPMA IPB tahun 2005-2006 dan menjadi asisten mata kuliah Dasar-dasar Teknologi Hasil Ternak.

KATA PENGANTAR Alhamdulillah puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala nikmat yang telah dikcurahkan sehingga Penulis memperoleh kemudahan dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini. Skripsi ini berjudul “Proses Pembuatan Tepung Putih Telur dengan Metode Spray Drying” dibimbing oleh Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si dan Prof. Dr. Ir. Hj. Iman Rahayu, HS., MS. Skripsi ini membahas mengenai penentuan perlakuan terbaik pada proses pembuatan tepung putih telur dan proses pembuatan tepung putih telur pada putih telur murni, putih telur ditambah ragi roti dan putih telur dengan penambahan ragi roti dan maltodekstrin dengan metode spray drying. Penggunaan ragi roti pada proses pembuatan tepung putih telur bertujuan untuk mencegah terjadinya reaksi Maillard (pencoklatan) pada saat proses pengeringan dan penggunaan maltodekstrin juga bertujuan sebagai bahan pengisi dan membantu mengurangi proses pencoklatan. Penulis berharap, semoga karya ilmiah ini dapat memberikan nilai tambah khususnya bagi Penulis dan para pembaca pada umumnya.

Bogor, November 2006

Penulis

DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN

i

ABSTRACT

ii

RIWAYAT HIDUP

iii

KATA PENGANTAR

iv

DAFTAR ISI

v

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vii

DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan TINJAUAN PUSTAKA Telur Ayam Putih Telur Sifat Fisiko Kimia Putih Telur Dispersi Protein Daya Busa Koagulasi Fermentasi Putih Telur Pengeringan Spray Drying Pengeringan Telur Ayam Maltodekstrin METODE Lokasi dan Waktu Materi Rancangan Perlakuan Model Peubah Analisis Data Prosedur Persiapan Bahan Baku Penelitian Pendahuluan Penelitian Utama

viii 1 1 2 3 3 5 6 7 7 9 10 11 12 13 14 16 16 16 16 16 17 17 19 19 19 20 22

HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Penentuan Suhu Pengering Semprot Penelitian Utama Proses Pembutan Tepung Putih Telur Rendemen pH Kadar Air Kelarutan Tepung Nilai Kecerahan Daya Busa Stabilitas Busa Penentuan Perlakuan Terbaik KESIMPULAN DAN SARAN

24 24 24 24 24 25 26 27 28 29 29 30 31 32

Kesimpulan Saran

32 32

UCAPAN TERIMA KASIH

33

DAFTAR PUSTAKA

33

LAMPIRAN

38

DAFTAR TABEL Nomor

Halaman

1.

Komposisi Kimia Telur Ayam Ras (dalam 100 gram berat bahan)

3

2.

Jenis dan Sifat serta Karakteristik Protein Putih Telur

6

3.

Komposisi Produk Tepung Telur, Tepung Putih Telur dan Tepung Kuning Telur (nilai dalam %)

14

4. Karakteristik Maltodekstrin

15

5.

Jenis Karbohidrat dalam Oligosakarida

15

6.

Macam Suhu Inlet dan Outlet pada Pengering Semprot

21

7. Formulasi Perlakuan Pembutan Tepung Putih Telur (dalam 100 g berat putih telur) 8.

Penentuan Nilai Skoring Berdasarkan Standar Produk Tepung Putih Telur

9. Keadaan Bubuk Tepung Putih Telur pada Ketiga Suhu Inlet dan Outlet

21 23 24

10. Rendemen Tepung Putih Telur pada Ketiga Suhu Inlet dan Outlet

24

11. Nilai Rata-Rata Peubah Sifat Fisik Tepung Putih Telur

25

12. Nilai Rata-Rata Peubah Sifat Fungsional Tepung Putih Telur

29

13. Rekapitulasi Hasil Analisis dan Nilai Skoring

32

DAFTAR GAMBAR Nomor 1.

Halaman Susunan Telur Ayam dilihat dari Samping Memanjang

4

2. Poses Pembentukan Busa

8

3. Alat Pengering Semprot

21

4.

22

Bagan Proses Pembuatan Tepung Putih Telur

5. Histogram Hubungan antara Perlakuan Pembuatan Tepung Putih Telur dengan pH sebelum Pengeringan

27

DAFTAR LAMPIRAN Nomor 1. 2.

Halaman Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih Telur terhadap Rendemen Total

39

Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih Telur terhadap Rendemen Halus

39

3. Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih Telur terhadap Rendemen Kasar

39

4. Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih Telur terhadap pH sebelum Pengeringan 5. Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih Telur terhadap pH setelah Pengeringan

40 40

6. Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih Telur terhadap Kadar Air 7.

Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih Telur terhadap Kelarutan Bubuk

8. Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih Telur terhadap Nilai Kecerahan (L) 9.

41 41

Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih Telur terhadap Daya Busa

10.

40

41

Hasil Sidik Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih Telur terhadap Stabilitas Busa

41

11.

Pengering Semprot (Spray Dryer) Tipe Buchi 190

41

12.

Tepung Putih Telur Perlakuan A

42

13.

Tepung Putih Telur Perlakuan B

42

14.

Tepung Putih Telur Perlakuan C

42

PENDAHULUAN Latar Belakang Telur ayam adalah salah satu bahan makanan asal ternak yang bernilai gizi tinggi karena mengandung zat- zat makanan yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia seperti lemak, protein, mineral serta memiliki daya cerna yang tinggi. Telur dibagi menjadi tiga bagian yaitu : putih telur, kuning telur dan kerabang telur. Putih telur merupakan bagian yang bersifat cair kental dan tidak berwarna pada telur segar, yang juga merupakan sistem protein yang terdiri dari serat-serat ovomucin didalam sejumlah larutan protein globular. kuning telur merupakan bagian telur yang berfungsi untuk perkembangan embrio karena mengandung zat gizi tinggi. Telur dikonsumsi oleh semua lapisan masyarakat sebagai bahan pangan karena kandungan gizinya yang tinggi, selain itu juga telur dikonsumsi sebagai bahan non pangan. Sebagai bahan non pangan penggunaan telur dalam berbagai bidang kehidupan, diantaranya bidang biologi (kultur media dan inseminasi buatan); bidang industri (industri penyamakan kulit dan kosmetik); bidang pertanian (fertilizer) dan bidang peternakan (pakan). Pada industri makanan, telur merupakan ingredient alami yang penting pada proses pengolahan suatu produk karena telur mempunyai beberapa sifat fungsional seperti daya busa, daya koagulasi, daya emulsi, kontrol kristalisasi serta memberikan efek terhadap warna. Pada proses pengolahan pangan, putih telur umumnya digunakan untuk membuat produk-produk yang mementingkan sifat koagulasi protein dan sifat pembentukan buih. Mengingat kebutuhan akan putih telur dan kuning telur yang jumlahnya sangat banyak, maka dapat dilakukan pengolahan lebih lanjut terhadap telur tersebut misalnya dengan cara pengeringan sehingga dihasilkan produk kering berupa tepung putih telur, tepung kuning telur maupun tepung campuran antara putih telur dengan kuning telur. Pembuatan tepung putih telur termasuk cara pengawetan telur. Tepung putih telur tidak memungkinkan mikroba untuk tumbuh karena kadar airnya sangat rendah. Tepung putih telur dibuat berdasarkan proses pengeringan yang bertujuan mengubah bentuk fisik putih telur dari bentuk cair menjadi bentuk padat. Tepung putih telur sebagai salah satu bentuk olahan telur kering dapat memberikan beberapa keuntungan, yaitu dapat memenuhi kebutuhan bahan pengganti putih telur segar

untuk keperluan industri pangan, militer maupun keperluan rumah tangga. Disamping itu putih telur mempunyai daya awet yang lebih lama, mengurangi ruang dan biaya penyimpanan, mengurangi biaya transportasi, mempermudah komposisi bahan

dan

persediaan

bahan

baku

bagi

industri pangan.

Upaya

untuk

mempertahankan sifat fisik dan sifat fungsional putih telur pada saat dikeringkan, maka perlu ditambahkan fermipan untuk fermentasi yang dapat mencegah reaksi pencoklatan pada produk akhir dan penambahan maltodekstrin sebagai bahan pengisi dan melindungi produk akhir dari kerusakan. Pemanfaatan tepung putih telur salah satunya dalam pembuatan produk makanan yang membutuhkan daya buih tinggi contohnya adalah angel food cake. Angel food cake merupakan cake yang dibuat tanpa menggunakan lemak dan hanya menggunakan putih telur serta memiliki tekstur yang lebih kental dibandingkan dengan roti. Pemanfaatan tepung putih telur dalam pembuatan angel food cake merupakan salah satu alternatif mengganti penggunaan putih telur segar. Tepung putih telur diharapkan mempunyai sifat daya dan stabilitas buih yang tidak jauh berbeda dengan putih telur segar. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1) Menentukan perlakuan terbaik pada proses pembuatan tepung putih telur; 2) Mengetahui perubahan sifat fisik dan sifat fungsional tepung putih telur akibat adanya penambahan ragi roti untuk fermentasi dan maltodekstrin sebagai bahan pengisi.

2

TINJAUAN PUSTAKA Telur Ayam Telur ayam adalah salah satu bahan makanan asal ternak yang bernilai gizi tinggi karena mengandung zat- zat makanan yang sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia seperti lemak, protein, mineral serta memiliki daya cerna yang tinggi. Komposisi kimia telur ayam menurut Romanoff dan Romanoff (1963), terdiri dari air (73,6%), protein (12,8%), lemak (11,8%), karbohidrat (1,0%) dan komponen lain (0,8%). Komposisi kimia telur ayam ras dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Kimia Telur Ayam Ras (dalam 100 gram berat bahan) Komposisi Kimia

Telur Ayam Segar Telur Utuh

Kalori (Kal)

Putih Telur

Kuning Telur

159,0

52,0

332,0

Air (g)

72,9

86,7

52,0

Protein (g)

13,2

10,9

14,8

Lemak (g)

11,1

0,4

29,5

1,5

1,3

1,9

56,0

10,0

133,0

Fosfor (mg)

200,0

14,0

482,0

Vitamin A (SI)

327,0

0,0

630,0

Karbohidrat (g) Kalsium (mg)

Sumber : ASEANFOOD (2000)

Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa komponen kimia telur terbesar adalah air diikuti protein, lemak, abu dan karbohidrat. Komposisi antara putih telur dan kuning telur terlihat jauh berbeda, terutama pada kandungan lemaknya. Selain lemak, kuning telur mengandung banyak vitamin- vitamin yang larut lemak dan phospolipid, termasuk lesitin yaitu zat pengemulsi. Pada putih telur air membentuk dispersi koloidal bersama protein telur, sedangkan pada kuning telur air membentuk emulsi bersama lemak (Panda 1996). Telur ayam terdiri dari tiga bagian utama yaitu kerabang telur ± 11%, putih telur (albumen) ± 57% dan kuning telur ± 32% (Romanoff dan Romanoff, 1963). Bagian-bagian tersebut masih dibagi lagi dalam beberapa lapisan telur (Gambar 1 ).

Blastoderm Membrana vitelina

Lapisan luar albumen Lapisan kental albumen Lapisan dalam albumen Lapisan khalaziferous

Inti “pander” Penghubung latebra latebra Selaput membrana

Ligamentum albumen

Membrana kulit telur

Rongga udara Ligamentum albumen Khalaza khalaza

Lapisan kuning dari Kuning telur Lapisan putih dari Kuning telur

Kulit telur Kutikula

Gambar 1. Susunan Telur Ayam dilihat dari Samping Memanjang (Romanoff dan Romanoff, 1963) 4

Menurut Stadelman dan Cotterill (1977), kerabang telur terdiri dari empat lapisan yaitu kutikula, spongiosa (bunga karang), mamilaris dan membran kerabang telur. Kerabang telur terdiri dari dua bahan yang berbeda yaitu matriks organik dan garam-garam anorganik dengan perbandingan 1:5. Matriks organik adalah serabutserabut protein yang terjalin membentuk jala, sedangkan bahan-bahan anorganik yang berbentuk kristal diikat didalam jala-jala tersebut. Lapisan membran juga terdiri dari serabut-serabut protein yang terjalin membentuk jala (Romanoff dan Romanoff, 1963). Menurut Powrie (1973), putih telur merupakan bagian yang bersifat cair kental dan tidak berwarna pada telur segar, putih telur terdiri empat lapisan yaitu lapisan encer bagian luar (23,3%), lapisan kental (57,3%), lapisan encer dalam (16,8%) dan kalaza (2,7%). Bagian putih telur diikat dengan bagian kuning telur oleh kalaza, yaitu serabut-serabut protein berbentuk spiral yang disebut mucin. Kuning telur merupakan bagian telur yang mengandung zat gizi tinggi karena berfungsi sebagai makanan untuk perkembangan embrio (Stevenson dan Miler, 1986). Kuning telur terletak dibagian tengah telur dan dibungkus oleh suatu lapisan tipis yaitu membran vitelin yang terdiri dari keratin (Romanoff dan Romanoff, 1963). Putih Telur Putih telur merupakan suatu sistem protein yang terdiri dari serat-serat ovomucin didalam sejumlah larutan protein globular. Komposisi protein pada setiap lapisan putih telur berbeda pada kandunga n ovomucinnya (Forsythe dan Foster, 1949). Di dalam putih telur, protein merupakan salah satu komponen yang terdapat dalam jumlah besar. Beberapa jenis protein yang dikenal antara lain adalah ovalbumin, conalbumin, globulin (G1 , G2 dan G3 ), ovomucoid, falvoprotein, ovoglikoprotein, ovomakroglobulin, ovoinhibitor dan avidin. Jenis-jenis protein putih telur, sifat dan karakteristiknya dapat dilihat pada Tabel 2. Menurut Powrie dan Nakai (1985), karbohidrat terdapat dalam bentuk kompleks dengan protein maupun dalam keadaan bebas, sekitar 98% karbohidrat bebas pada putih telur adalah glukosa, sedangkan pada kuning telur terkandung karbohidrat sebanyak 1,0%. Romanoff dan Romanoff (1963) juga menyatakan bahwa karbohidrat yang terdapat dalam putih

5

telur dapat dalam bentuk bebas maupun berikatan dengan protein membentuk glikoprotein. Tabel 2. Jenis dan Sifat serta Karakteristik Protein Putih Telur* Jumlah (%)

Titik Isoelektrik

Berat Molekul

Karakteristik

Ovalbumin

54,0

4,6

45.000

Phospoglikoprotein

Conalbumin

13,0

6,6

80.000

mengikat Fe (logam lain)

Ovomucoid

11,0

3,9-4,3

28.000

menghambat Tripsin

Lysozym (G1 -globulin)

3,5

10,7

14.600

G2 -globulin

4,0

5,5

30.000-45.000

G3 -globulin

4,0

5,8

-

-

Ovomucin

1,5

-

-

Sialoprotein

Flavoprotein

0,8

4,1

35.000

Jenis

menguraikan bakteri -

mengikat Riboflavin

Ovoglikoprotein

0,5

3,9

24.000

Ovomakroglobulin

0,5

4,5-4,7

760.000900.000

Avidin

0,05

9,5

53.000

Sialoprotein menghambat beberapa protease mengikat Biotin

Sumber :*Powrie (1973)

Sejumlah karbohidrat umumnya terdapat sebagai glukosa sebanyak 0,4% dari total putih telur dan 0,5% dari putih telur terdapat dalam bentuk glikoprotein yang mengandung unit-unit galaktosa dan manosa. Sedangkan kuning telur mengandung karbohidrat bebas sebanyak 70% dan yang berkombinasi dengan protein sebanyak 0,3%. Jenis karbohidrat yang berikatan dengan protein pada kuning telur adalah manosa glukosamin polysakarida (Powrie dan Nakai, 1985). Sifat Fisikokimia Putih Telur Putih telur mempunyai sifat fisikokimia ya ng berguna dalam pengolahan pangan. Sifat-sifat tersebut meliputi dispersi protein, daya busa dan koagulasi.

6

Dispersi Protein Putih telur mengandung protein ovalbumin, ovoconalbumin, ovoglobulin, ovomucin dan ovomucoid (Romanoff dan Romanoff, 1963). Molekul- molekul protein tersebut ada yang termasuk protein globular yang larut dalam air atau media cair, beberapa dalam air murni dan sebagian lagi dalam larutan elektrolit. Dispersi yang terbentuk adalah dispersi koloid. Protein globular mempunyai konfigurasi berupa alfha heliks. Cara untuk mengurangi kontak antara gugus protein dengan air, maka heliks dari rantai-rantai polipeptida tersebut berlipat dan berkelok-kelok lebih lanjut dalam bebagai cara sehingga rantai samping hidrokarbonnya terlipat ke dalam menjauhi molekul air. Rantai samping yang bersifat lebih polar mengarah keluar (Nur et. al.,1983) Daya Busa Pembentukan busa putih telur dilakukan dengan pengocokan. Pengocokan tersebut akan menyebabkan ikatan- ikatan dalam molekul protein putih telur terbuka sehingga rantai protein menjadi lebih panjang. Selanjutnya udara masuk diantara molekul- molekul protein yang terbuka rantainya dan ditahan serta membentuk gelembung busa sehingga volume bertambah dan sifat elastisitasnya berkurang. Warna gelembung mula- mula hijau kemudian berubah menjadi kekuning-kuningan, jernih dan akhirnya putih kabur (Cherry, 1981). Proses pembentukan busa, disajikan pada Gambar 2. Busa putih telur berbentuk polihidron dengan diameter 0,02 cm dan berat jenis 0,137. Bila pengocokan diperpanjang maka berat jenis dan diameternya akan berkurang, setelah 6 menit pengocokan berat jenis akan menjadi 0,088 dan diameter 0,01 cm (Romanoff dan Romanoff, 1963). Setiap protein putih telur memiliki kemampuan membentuk busa yang berbeda-beda. Protein-protein putih telur yang berperan dalam pembentukan busa adalah ovalbumin, ovomucin dan ovoglobulin. Ovalbumin dapat membentuk buih yang kuat, ovomucin berfungsi menstabilkan busa sedangkan ovoglobulin dapat meningkatkan viskositas, memperkuat pengikatan gelembung udara dan melembutkan tekstur busa yang dihasilkan (Baldwin, 1973). Volume dan stabilitas busa putih telur dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu lamanya telur disimpan, suhu putih telur, pH putih telur, lama pengocokan, perlakuan pendahuluan dan penambahan bahan-bahan kimia atau stabilisator.

7

Protein

Protein Terdenaturasi

Pembentukan Lapisan Tipis

udara

udara

udara

Pembentukan Busa

Perbaikan Pembentukan Busa

udara

KOAGULASI udara udara

DISTRUPSI

Gambar 2. Mekanisme Pembentukan Busa Sumber : Cherry dan McWaters ,1981

8

Daya busa tepung putih telur juga dipengaruhi oleh keadaan pengeringannya (Romanoff dan Romanoff, 1963; Baldwin, 1973). Pasteurisasi cairan putih telur pada suhu 51,1-570 C selama 5 menit dan penyimpanan tepung telur pada suhu 43,3-600 C selama 1-7 hari tidak mempengaruhi waktu pengocokan dan volume pada pembuatan angel food cake (Brown dan Zabik, 1967). Pengocokan putih telur pada suhu 10-250 C tidak mempengaruhi pembentukan busa. Volume dan stabilitas busa yang terbaik dihasilkan dari pengocokan pada suhu 46,110 C (Romanoff dan Romanoff, 1963). Menurut Lowe (1963), pengocokan putih telur segar yang encer menghasilkan busa dengan volume yang lebih besar daripada putih telur kental. Romanoff dan Romanoff (1963) menyatakan bahwa putih telur yang baru keluar dari tubuh induknya mempunyai volume busa 350% dari volume awal putih telur, sedangkan yang sudah disimpan dua minggu pada suhu kamar mempunyai volume busa 425% dari volume awal putih telur. Perubahan volume busa ini terjadi bersamaan dengan kenaikan pH putih telur. Bila telur disimpan telah lama maka kestabilan busa berkurang. Putih telur yang telah disimpan pada suhu beku (-30 C) dan kemudian dicairkan kembali tidak mempengaruhi sifat busa. Pemanasan putih telur pada suhu 500 C selama 30 menit juga tidak mempengaruhi volume dan stabilitas busa yang dihasilkan (Baldwin, 1973; Romanoff dan Ro manoff, 1963). Ovalbumin dapat membentuk buih paling baik pada pH sekitar 3,7-4,0, sedangkan protein yang lain dapat membentuk busa paling baik pada pH sekitar 6,59,5. Kenaikan pH putih telur dari 5,5 menjadi 11 akan meningkatkan volume busa dari 688% menjadi 982% (Romanoff dan Romanoff, 1963). Bertambahnya waktu pengocokan menjadikan gelembung-gelembung busa semakin kecil. Busa yang stabil dicapai setelah 2 menit pengocokan, berarti bahwa kestabilan diperoleh sebelum busa mencapai volume maksimum (Romanoff dan Romanoff, 1963). Koagulasi Koagulasi merupakan proses perubahan struktur molekul protein telur yang mengakibatkan pengentalan dan hilangnya kelarutan atau berubah bentuk dari cair (sol) menjadi bentuk padat atau semi padat (gel). Perubahan ini dapat disebabkan oleh panas, pengocokan, penambahan asam, basa atau pereaksi lain (Baldwin, 1973).

9

Koagulasi oleh panas terjadi akibat reaksi antara protein dan air yang diikuti penggumpalan protein. Putih telur akan terkoagulasi pada suhu 60-62 0 C, sedangkan kuning telur terkoagulasi pada suhu 65-70 0 C (Romanoff dan Romanoff, 1963). Menurut Lehningher (1982), mekanisme terjadinya koagulasi diawali dengan terjadinya proses denaturasi yaitu perubahan struktur molekul protein tanpa memutuskan ikatan kovalen. Menurut Belitz dan Grosch (1999), denaturasi dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu panas, pH, tekanan, pelarut orgaik, garam dan urea. Tahapan selanjutnya adalah agregasi yaitu terjadinya interaksi antara protein dengan protein dengan berat molekul yang tinggi. Tahapan selanjutnya adalah koagulasi yaitu agregasi yang tidak beraturan yang terjadi karena adanya interaksi antara protein beserta interaksi antara protein dengan pelarutnya. Menurut Gosset et al,. (1984), tahapan terbentuknya gel dapat dijelaskan sebagai berikut : Native protein (associated network)

Denatured protein (long chain)

aggregated

Menurut Bergquist (1964), secara umum pengeringan telur tidak akan menyebabkan sifat koagulasi produk terhadap panas. Pegeringan telur dengan suhu tinggi atau penyimpanan pada kondisi yang tidak cocok menyebabkan produk kehilangan daya larutnya. Fermentasi Putih Telur Putih telur yang akan dikeringkan perlu difermentasi terlebih dahulu agar tidak terjadi reaksi pencoklatan non enzimatik yang dikenal dengan reaksi Maillard. Putih telur kering tanpa fermentasi memberikan warna coklat kemerah- merahan dan sukar dilakukan rekonstitusi. Fermentasi juga sangat membantu mempertahankan daya buih putih telur serta menurunkan viskositasnya sehingga mempermudah penanganan (Hill dan Sebring, 1973). Reaksi Maillard tersebut terjadi antara gugus karbonil (aldosa dan ketosa) dari gula pereduksi dengan gugus alpha-amino dari asam amino atau protein yang dikenal dengan reaksi karbonilamino dan menghasilkan basa Schriff yang berada dalam keseimbangan dengan senyawa glikosail amin substitusi-N. Selanjutnya terjadi Amadori rearrangement membentuk 1-amino-1-deoksi-2-ketosa menjadi aldimin dan ketimin yang kemudian berpolimerisasi membentuk melanoidin yang berwarna coklat (Meyer, 1976).

10

Untuk fermentasi putih telur dapat digunakan khamir maupun bakteri yaitu Saccharomyces cereviceace, Enterobacter aerogenes, Escherichia frundii dan Streptococcus lactis. Di samping itu juga dapat dilakukan fermentasi dengan enzim glukosa oksidase (Hill dan Sebring, 1973; Romanoff dan Romanoff, 1963). Fermentasi putih telur biasanya dilakukan pada suhu 200 C selama 36-60 jam atau pada suhu 23,9-29,40 C selama 12 jam. Tergantung dari suhunya, lama fermentasi dapat bervariasi tetapi tidak lebih dari 72 jam. Selama fermentasi akan terjadi pemisahan dalam putih telur sehingga terbentuk dua lapisan. Lapisan yang tipis di bagian bawah merupakan endapan, sedangkan lapisan tebal dibagian atas mengandung senyawa ovomucin dan glikoprotein. Lapisan atas bersifat gelatinous dan akan berubah menjadi berair bila fermentasi lebih dari 72 jam (Hill dan Sebring, 1973). Menurut Hill dan Sebring (1973), untuk menghilangkan glukosa dari putih telur dapat dilakukan melalui fermentasi dengan khamir dengan konsentrasi 0,050,50% dan diinkubasi selama 3 jam pada suhu 370 C. penggunaan khamir dengan konsentrasi lebih tinggi yaitu 1% dapat menyebabkan timbulnya yeast flavor pada produk akhir. Penggunaan Saccharomyces cereviceae pada konsentrasi yang relatif rendah (0,1%) tidak dapat mengkonversi gula menjadi asam glukonat secara sempurna. Fermentasi putih telur menggunakan S. cereviceae pada konsentrasi 0,20,4% dari berat putih telur segar dan diinkubasi pada suhu 22-230 C selama 2-4 jam dapat mengkonversi gula pereduksi secara sempurna serta dihasilkan produk akhir yang bebas dari yeast flavor. Fermentasi putih telur dengan khamir dan bakteri dapat mencegah perubahan warna, flavor dan penampakan yang kurang disukai akibat reaksi Maillard. Penyimpanan tepung putih telur pada suhu 220 C dan 400 C tidak mempengaruhi volume kue yang yang dibuat dari putih telur yang mengalami fermentasi, tetapi kue yang dibuat dari putih telur tanpa fermentasi mengalami penurunan volume sebesar 7-26% (Hill dan Sebring, 1973). Pengeringan Pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan air dengan energi panas. Pengeringan selain untuk mengawetkan juga mempunyai beberapa keuntungan antara lain akan mengurangi kesulitan dalam pengemasan, pengangkutan dan

11

penyimpanan. Pengeringan membuat bahan menjadi padat dan kering sehingga lebih memudahkan

dalam

pengangkutan,

pengemasan

maupun

penyimpanan

(Wirakartakusuma et al., 1992). Disamping keuntungan tersebut, pengeringan juga mempunyai beberapa kerugian yaitu sifat asal dari bahan yang dikeringkan dapat berubah seperti bentuk, sifat fisik dan kimia, penurunan mutu dan lain- lain (Winarno et al., 1982). Proses pengeringan suatu bahan pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu suhu, kelembapan udara (RH), sirkulasi udara dan waktu pengeringan. Kontrol yang teliti terhadap keempat faktor tersebut perlu dilakukan agar diperoleh suatu hasil yang baik. Menurut Buckle et al. (1985), kerugian yang ditimbulkan akibat proses pengeringan adalah berubahnya sifat fisik seperti pemucatan pigmen, perubahan struktur (pengerutan) dan hilangnya aroma. Kondisi pengeringan yang tidak terkendali dapat menimbulkan bau gosong. Menurut Wirakartakusuma et al. (1992), beberapa parameter yang mempengaruhi kecepatan pengeringan meliputi sifat bahan, ukuran bahan, volume bahan, suhu udara dan kecepatan aliran udara. Pengeringan bahan pangan dapat dilakukan dengan berbagai metode. Pemilihan metode pengeringan ditentukan oleh jenis komoditi yang akan dikeringkan, bentuk akhir yang diinginkan, faktor ekonomi dan kondisi operasinya (Desrosier, 1988). Menurut Wirakartakusuma et al. (1992), terdapat dua metode pengeringan berdasarkan bentuk atau jenis komoditi yang akan dikeringkan, yaitu metode untuk bahan padat dan bahan cair. Metode yang sering digunakan untuk pembuatan produk berbentuk bubuk atau tepung adalah metode pengering semprot atau spray drying. Spray Drying Pengeringan adalah suatu metode untuk mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air suatu bahan pangan dengan menggunakan energi panas. Spray drying merupakan proses perubahan bahan dari bentuk cair menjadi partikel-partikel kering oleh suatu proses penyemprotan bahan kedalam medium kering yang panas (Dziezak, 1980). Master (1979) menyatakan, bahwa spray drying merupakan suatu proses berkesinambungan yang merubah bentuk suatu produk dari cairan, pure atau pasta ke bentuk kering berupa tepung atau butiran. Menurut Heldman et al., (1981),

12

ciri khas dari spray drying adalah siklus pengeringan yang cepat, retensi produk dalam ruang pengering singkat dan produk akhir yang dihasilkan siap dikemas ketika proses pengeringan selesai. Menurut Sutejo (1998), keuntungan spray drying antara lain adalah kelarutan bahan kering yang dihasilkan sangat baik karena partikelnya yang halus, mudah terdispersi dalam air, kontak dengan panas sangat singkat dan mudah untuk mengoperasikannya. Menurut Spicer (1974), spray drying mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan beberapa jenis alat pengering yang lain, diantaranya : (1) produk akan menjadi kering tanpa bersentuhan dengan permukaan logam panas; (2) suhu produk rendah meskipun suhu udara pengering yang digunakan cukup tinggi; (3) penguapan air terjadi pada permukaan yang sangat luas sehingga waktu yang dibutuhkan untuk pengeringan hanya beberapa detik saja dan (4) produk akhir berbentuk bubuk yang memudahkan penanganan dan transportasi. Spray drying terdiri atas empat proses yaitu (1) atomisasi bahan sehingga dapat membentuk semprotan yang halus, (2) kontak antara partikel hasil atomisasi dengan udara pengering, (3) penguapan air dan bahan, (4) pemisahan bubuk kering dengan aliran udara yang membawanya (Master, 1979). Master (1979) juga menyebutkan bahwa tingkat atomisasi bahan tergantung pada beberapa faktor yaitu bentuk atomizer, kecepatan putaran, kecepatan aliran bahan dan sifat bahan. Penurunan ukuran droplet terjadi jika kecepatan putarannya ditingkatkan, sedangkan peningkatan viskositas dan tegangan permukaan justru akan meningkatkan ukuran droplet. Perubahan ukuran droplet sangat dipengarhi oleh jenis atomizernya. Fungsi atomizer yaitu memecah bahan menjadi partikel yang lebih kecil sehingga menghasilkan luas permukaan yang lebih besar dan proses penguapan yang lebih cepat (Heldman dan Singh, 1981). Pengeringan Telur Ayam Pengeringan telur pada prinsipnya adalah mengurangi kandungan air dalam bahan sampai pada batas agar mikroorganisme tidak dapat tumbuh. Pengeringan telur mempunyai beberapa keuntungan yaitu : (1) mempermudah dan mengurangi rua ng penyimpanan, (2) menghemat biaya transportasi, (3) memperpanjang masa simpan dan (4) mempermudah penggunaannya (Romanoff dan Romanoff, 1963).

13

Menurut Matz dan Matz (1978), metode pengeringan yang dapat digunakan untuk membuat tepung telur ada empat macam yaitu : foaming drying, pengeringan secara lapis (pan drying), pengeringan semprot dan pengeringan beku. Putih telur dapat dibuat menjadi suatu produk yang berumur panjang dan cocok setelah pengeringan. Tepung putih telur dapat digunakan untuk membuat berbagai produk candy (nougat creams, french nougats, chewy nougats, almond nougats, summer nougats dan sebagainya), angel food cake, sponge cake dan produk makanan lain yang membutuhkan daya busa tinggi (Sukarno, 1984). Komposisi tepung telur, tepung putih telur dan tepung kuning telur dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi Produk Tepung Telur, Tepung Putih Telur dan Tepung Kuning Telur (nilai dalam %) Komposisi

Tepung Telur

Tepung Putih Telur

Tepung Kuning Telur

-------------------- (%) -------------------Kadar Air

5,0

8,0

5,0

Lemak

40,0

-

57,0

Protein

45,0

80,0

30,0

Abu

3,7

5,7

3,4

Sumber : Food and Drugs Administration (1966), Gorman (1973)

Maltodekstrin Maltodekstrin didefinisikan sebagai produk hidrolisis pati (polimer sakarida tidak manis) dengan panjang rantai rata-rata 5-10 unit/molekul glukosa. Maltodekstrin secara teori diproduksi dengan menggunakan hidrolisis terkontrol melalui enzim (a-amilase) atau asam (Kennedy et al., 1995). Maltodekstrin memiliki DE (Dext rose Equivalent) kurang dari 20. DE menunjukkan persentase dari dextrose murni dalam basis berat kering pada produk hidrolisis. Maltodekstrin memiliki derajat polimerisasi 3-20. Derajat polimerasi (DP) dinyatakan dengan kesetaraan dextrosa (DE). Derajat polimerisasi didefinisikan sebagai jumlah gula pereduksi total yang dinyatakan sebagai dextrosa dan dihitung sebagai persentase dari berat kering total (Biliaderis dan Eskin, 1992). Maltodekstrin memiliki komposisi sakarida paling banyak pada DP 3-9, yang termasuk dalam golongan oligosakarida dengan rantai linier pendek (Winarno, 1997).

14

Maltodekstrin merupakan bahan tambahan pangan yang aman dikonsumsi karena termasuk dalam GRAS (Generally Recognized As Safe). Larutan maltodekstrin memiliki karakteristik flavor lembut, rasa dimulut yang halus (smooth mouthfeel), dapat mengurangi lemak sebagian atau keseluruhan dalam berbagai formula dan dapat digunakan sebagai bahan pengisi dalam makanan (Burdock, 1997). Karakteristik maltodekstrin dapat dilihat pada Tabel 4 dan jenis karbohidrat dalam oligosakarida dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 4. Karakteristik Maltodekstrin Komersial Karakteristik

Nilai (%)

Komposisi Sakarida DP 1-2

16,07

DP 3-9

78,66

DP > 9

5,27

Derajat Putih

92,51

Tingkat Kemanisan (dibandingkan dengan Tingkat kemanisan sukrosa 100 %)

6,25-7,25

Sumber : Hidayat dan Ahza (2003)

Menurut Pratiwi (2005), total nilai skoring sifat fisik dan kimia pada proses pembuatan susu kambing bubuk dengan konsentrasi maltodekstrin sebanyak 4% memiliki nilai tertinggi. Tujuan penggunaan maltodekstrin menurut Kennedy et al. (1995) adalah : 1) untuk menurunkan biaya produksi dari material dengan harga tinggi; 2) untuk mengurangi kehilangan volume selama penyimpanan atau pemindahan; 3) untuk menyerap minyak atau lemak dan membantu penyebaran; 4) memberikan rasa lembut dan meningkatkan kelarutan. Tabel 5. Jenis Karbohidrat dalam Oligosakarida Derajat Polimerisasi

Jenis Karbohidrat

Rumus Kimia

2

maltosa

(C 6 H10O5 )2 H2 O

3

maltotriosa

(C 6 H10 O5 )3 H2 O

4

maltotetrosa

(C 6 H10O5 )4 H2 O

5

maltopentosa

(C 6 H10 O5 )5 H2 O

6-10

maltoheksosa

(C 6 H10O5 )6 H2 O

Sumber : Winarno (1997)

15

METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan untuk pengujian sifat fungsional tepung putih telur dan Laboratorium Pilot Plant SEAFAST Center Institut Pertanian Bogor untuk pembuatan tepung putih dan analisis fisik dari bulan Juli sampai Agustus 2006. Materi Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah telur ayam ras berumur 12 hari yang diperoleh dari peternakan ayam di daerah Cibeureum Kecamatan Darmaga Bogor. Bahan pembantu yang digunakan untuk fermentasi adalah fermipan atau ragi roti. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah spray dryer tipe Buchii-190, homogenizer, waterbath, egg tray, pengaduk, hand mixer, timbangan merk O-hous (ketelitian 0,1 gram), candler, gelas ukur, oven, corong bugner, labu isap, vacum pump, kertas whatman no. 41, karton, desikator, magnetick stirrer, penyaring dan baskom. Alat untuk analisis fisik adalah kadar air, pH meter, pengukur nilai kecerahan (Cromameter Minolta CR-310) dan oven vakum. Rancangan Perlakuan Penelitian ini menggunakan putih telur ayam ras yang berumur 1-2 hari yang diberi perlakuan sebagai berikut : (1) putih telur murni, (2) putih telur + 0,3% ragi roti dari berat putih telur dan (3) putih telur + 0,3% ragi roti dari berat putih telur + 4% maltodekstrin dari berat putih telur. Putih telur pada perlakuan tersebut akan dijadikan sebagai salah satu bahan utama dalam pembuatan tepung putih telur. Perlakuan 2 dan 3 pada putih telur tersebut sebelum dilakukan pengeringan terlebih dahulu dihomogenkan ± 30 detik menggunakan alat homogenizer. Fermentasi dilakukan dengan menggunakan fermipan atau ragi roti dengan komposisi 0,3 % dari berat putih telur selama tiga jam pada suhu kamar (30 0 C).

Model Model rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap pola searah dengan tiga ulangan. Model matematisnya (Steel and Torrie, 1995) adalah sebagai berikut : Yij = p + a i + eij Keterangan: Yij = nilai dari pengamatan perlakuan ke-I dengan ulangan ke-j p

= rataan umum

ai

= pengaruh perlakuan (putih telur murni, putih telur + fermipan 0,3 % dari berat putih telur, putih telur + fermipan 0,3 % dari berat putih telur + 4% maltodekstrin dari berat putih telur)

eij

= pengaruh galat percobaan

Jika hasil analisis menunjukkan pengaruh yang nyata (a = 0.05) maka akan diuji dengan uji lanjut Duncan (Steel and Torrie, 1995). Peubah Peubah yang diukur dalam penelitian ini meliputi uji sifat fisik dan sifat fungsional dari tepung putih telur. Sifat fisik yang diamati meliputi; rendemen, pH, warna, kadar air, kelarutan bubuk, sedangkan untuk sifat fungsional yang diamati adalah daya busa dan stabilitas busa. Rendemen (Association of Official Analitical Chemist, 1995). Perhitungan rendemen tepung putih telur ditentukan dengan menghitung berat tepung putih telur yang dihasilkan dari setiap perlakuan. Berat tepung putih telur (gram) Rendemen (%) =

X 100 % Berat putih telur awal (gram)

Analisis pH (Association of Official Analitical Chemist, 1995). Pengukuran pH dilakukan sebelum dan sesudah pengeringan dan dilakukan dengan menggunakan pH meter. Tepung putih telur yang akan diukur pH-nya, terlebih dahulu dilarutkan dalam air destilat (rekonstitusi) dengan satu bagian tepung putih telur dan satu bagian air.

17

Kadar Air (Association of Official Analytical Chemist, 1995). Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven. Cawan kosong dikeringkan didalam oven selama 15 menit, didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sebanyak 3 gram sampel dimasukkan dalam cawan aluminium yang telah diketahui beratnya, kemudian dikeringkan dalam oven 105 0 C selama 24 jam hingga beratnya konstan. Cawan dan sampel yang telah dioven dipindahkan ke desikator, didinginkan dan kemudian ditimbang. Kadar air dihitung denga n rumus sebagai berikut : Bobot sampel awal – bobot sampel akhir Kadar air (%) =

X 100 % Bobot sampel awal

Kelarutan Tepung (Fardiaz et al., 1992). Sampel ditimbang kurang lebih 0,75 gram, dilarutkan dalam 100 ml aqua destilata kemudian disaring dengan kertas saring Whatman no. 42 dengan menggunakan pompa vakum. Sebelum digunakan, kertas saring dikeringkan dalam oven selama 30 menit pada suhu 1050 C, kemudian ditimbang (a). Setelah proses penyaringan, kertas saring beserta residu dikeringkan dalam oven pada suhu 1050 C selama 3 jam kemudian didinginkan dalam desikator selama 15 menit lalu timbang (b). (b-a) Kelarutan

=

1-

x 100% (100% - c) x 0,75 100

Keterangan

:

a

= berat kertas saring yang digunakan (a)

b

= berat kertas saring dan residu (b)

c

= kadar air contoh yang digunakan (c)

Nilai Kecerahan (Pomeranz, 1978). Nilai kecerahan (nilai L) diukur dengan menggunakan Cromameter Minolta CR-310. Nilai L menunjukan parameter kecerahan yang bernilai 0-100 untuk warna hitam sampai putih. Daya dan Stabilitas Busa (Stadelmen dan Cotteril, 1995). Sebanyak 3 g sampel dilarutkan dengan air destilat atau aquades dengan perbandingan 1:10. kemudian dilakukan rehidrasi dengan cara dikocok dengan hand mixer dengan kecepatan 1 sampai larut kurang lebih 45-47 detik. Setelah direhidrasi, kemudian dikocok dengan

18

kecepatan 2 selama 1,5 menit dan dilanjutkan dikocok dengan kecepatan 3 selama 1,5 menit. Setelah itu dihitung daya busanya dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Volume Busa Daya Busa (%) =

x 100 % Volume Awal

Pengukuran stabilitas busa dilakukan dengan menghitung terlebih dahulu persentase tirisan. Setelah dihitung daya busa kemudian volume busa didiamkan selam 1 jam kemudian dicatat besar volume tirisan. Volume Tirisan Tirisan Busa (%) =

x 100 % Volume Busa

Stabilitas busa dapat diukur dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Stabilitas Busa (%)

: 100 - L, dengan L : Persentase tirisan busa (%)

Analisis Data Peubah yang diamati pada penelitian ini dianalisis dengan tiga cara yaitu analisis secara deskripsi dan analisis ragam serta uji lanjut Duncan. Analisis deskripsi dilakukan terhadap peubah suhu dan analisis ragam (ANOVA) dilakukan pada peubah yang diamati seperti rendemen, pH, warna, kadar air, kelarutan bubuk, daya busa dan stabilitas busa dan jika berpengaruh nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjut Duncan (Steel and Torrie, 1995). Prosedur Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola searah dengan tiga perlakuan dan tiga kali ulangan. Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahapan, yaitu (1) persiapan bahan baku, (2) penelitian pendahuluan dan (3) penelitian utama. Persiapan Bahan Baku Telur yang digunakan dalam penelitian ini berupa telur ayam ras yang segar yang berumur 1-2 hari, dengan tujuan agar mudah dipisahkan antara putih telur dengan kuningnya. Putih telur yang digunakan dalam pene litian berdasarkan standar USDA termasuk dalam kelompok AA sampai A yang mempunyai ciri-ciri yaitu

19

warnanya putih bening, kental dan bersih dan bebas dari noda (bercak darah dan bercak daging). Tahap ini dimulai dengan menyeleksi telur segar dengan menggunakan candler, telur yang retak, bercak darah tidak digunakan untuk tahap selanjutnya. Tahap berikutnya adalah pencucian kulit telur. Pencucian kulit telur dilakukan dengan air hangat yang mengalir, tujuannya adalah untuk menghindari terjadinya kontaminasi mikroba pada isi telur. Tahap selanjutnya adalah memecah telur dan memisahkan bagian putih telur dengan kuningnya dengan menggunakan penyaring atau egg separator. Penelitian Pendahuluan Penentuan Suhu Pengering Semprot. Penentuan suhu pengering spray drying bertujuan untuk menentukan kondisi optimal pembuatan tepung putih telur. Kondisi yang dipelajari adalah suhu pengeringan yang dapat menghasilkan tepung putih telur sesuai kriteria mutu. Penentuan suhu dan lama pengeringan dilakukan pada kisaran suhu dan lama pengeringan yang tercantum pada Tabel 6, yang merupakan modifikasi dari Sofiana (2004). Modifikasi dilakukan pada suhu inlet 1800 C dan 170 0 C serta suhu inlet 1600 C dan outlet 74-76 0 C. Penilaian dilakukan dengan melihat penampakan dan tekstur secara visual bagian yang halus dan bagian yang kasar tepung putih telur yang dihasilkan dari masing- masing suhu. Penentuan suhu pengering spray drying optimum berdasakan karakteristik produk yang dihasilkan, yaitu teksturnya halus, kering dan tidak menggumpal. Cara pengoperasian Spray Dryer adalah sebagai berikut: Kompresor dihidupkan dan dipertahankan tekanannya pada 6 Kgf/cm2 serta pemeriksaan secara cermat terhadap pompa perilstaltik untuk pengumpan. Langkah selanjutnya adalah selang pada pompa pengumpan dihubungkan dengan air destilasi dan satu lagi pada atomizer. Suspensi bahan yang akan dikeringkan disiapkan. Langkah berikutnya yaitu memeriksa sambungan pipa produk dan udara. Gelas penampung yang bersih untuk menampung produk dipasang dibawah siklon dan motor aspirator dinyalakan, serta diatur laju aliran udara dan suhu udara pemanas. Langkah berikutnya adalah mengumpankan air ke atomizer disertai pengaturan kecepatan mengumpan. Tepung kering yang dihasilkan ditampung dalam gelas, kemudian kecepatan dari pengumpan

20

dikurangi. Langkah berikutnya adalah penghentian pengumpanan air disertai pematian pemanas. Atomizer lalu diangkat dan dibersihkan. Sambungan pipa penghubung ruang pengering dengan pengumpul produk dibuka lalu dibersihkan secara hati-hati. Keterangan Gambar: 1.Nozzle 2.Drying Chamber 3.Flow Controller 4.Switch and Controller for Feed Pump 5.Selang Pemasukan Bahan 6.Bahan 7.Switch, Display and Controller for Heating System 8.Switch and Controller for Aspirator 9.Digital Display of Inlet Temperature 10.Digital Display of Outlet Temperature 11.Connection Socket Laboratory Recorder 12.Cyclone 13.Receiving Vessel for the Final Product Gambar 3. Spray Dryer Tipe Buchii- 190 Tabel 6. Macam Suhu Inlet dan Outlet pada spray drying No

Suhu Pengering Semprot (0 C) Suhu Inlet Suhu Outlet

1.

180

86-89

2.

170

78-80

3.

160

74-76

Sumber : Sofiana (2004)

Tabel 7. Formulasi Perlakuan Pembutan Tepung Putih Telur (dalam 100 g Berat Putih Telur) Perlakuan A B C

Putih Telur (g) 100 100 100

Fermipan/ Kristal Khamir (g) 0.3 0.3

Maltodekstrin (g) 4

Keterangan : A. putih telur murni, B. putih telur + 0,3% fermipan dari berat putih telur C. putih telur + 0,3% fermipan dari berat putih telur + 4% maltodekstrin dari berat putih telur.

21

Penelitian Utama Proses Pembuatan Tepung Putih Telur. Proses pembuatan tepung putih telur yang digunakan pada penelitian ini merupakan modifikasi dari Sukarno (1984). Modifikasi dilakukan pada suhu pasteurisasi dan lama pengocokan serta proses homogenisasi. Proses pembuatan tepung putih telur diantaranya sebagai berikut : putih telur yang sudah dipisahkan dengan kuningnya, kemudian dipasteurisasi menggunakan waterbath pada suhu 57 0 C selama ± 5 menit. Setelah itu didinginkan pada suhu ruang, perlakua n A langsung dihomogenkan dengan menggunakan homogenizer selama ± 30 detik dan dikeringkan dengan menggunakan spray dryer. Pada perlakuan B, putih telur yang sudah didinginkan setelah dipasteurisasi lalu ditambahkan fermipan atau kristal khamir sebanyak 0,3% berat putih telur awal dihomogenkan kemudian difermentasi selama 3 jam dan dikeringkan dengan menggunakan spray dryer. Pada perlakuan C, putih telur yang sudah didinginkan setelah dipasteurisasi lalu ditambahkan fermipan atau kristal khamir sebanyak 0,3% berat putih telur awal dihomogenkan kemudian difermentasi selama 3 jam dan ditambahkan maltodekstrin sebanyak 4% berat putih telur awal dihomogenkan dan dikeringkan dengan menggunakan spray dryer. Proses pembuatan tepung putih telur juga dapat dilihat pada Gambar 4. Putih Telur

Pasteurisasi (menggunakan waterbath 57 0 C ± 5 menit) Perlakuan Pendinginan pada suhu kamar Homogenkan (menggunakan homogenizer ± 30 detik)

Pengeringan

Tepung Putih Telur Gambar 4. Bagan Proses Pembuatan Tepung Putih Telur (Sukarno, 1984 )

22

Penentuan Perlakuan pada Pembuatan Tepung Putih Telur Terbaik. Penentuan perlakuan tepung putih telur terbaik dilakukan dengan pemberian nilai (skoring) terhadap peubah yang diamati. Pemberian nilai ditentukan berdasarkan standar produk yang ada (Puspitasari, 2003). Penentuan nilai skoring berdasarkan standar produk tepung putih telur diberikan pada Tabel 8. Nilai yang diberikan pada rendemen, daya busa dan stabilitas busa berdasarkan hasil terbaik yang diperoleh, karena standar untuk tepung putih telur belum ada. Hasil tertinggi diberikan nilai 3 dan hasil terendah diberikan nilai 1. Pemberian nilai kadar air berdasarkan pada standar kadar air tepung putih telur yang ada. Jika diperoleh hasil yang berada dalam kisaran standar, maka diberi nilai 3. Apabila hasil yang diperoleh tidak berada pada kisaran standar, maka pemberian nilai berdasarkan peringkat hasil terbaik, nilai 2 untuk kadar air yang sedang dan nilai 1 untuk kadar air yang paling tinggi. Tabel 8. Penentuan Nilai Skoring Berdasarkan Standar Produk Tepung Putih Telur Kriteria Produk

Standar Produk

Penentuan Nilai

Rendemen (%w/w)

Belum ada

3 = Hasil Tertinggi

Stabilitas Busa (%)

Belum ada

1 = Hasil Terendah

Kadar Air (%b/b)a

Maksimal 8%

1. Berada dalam kisaran standar diberi nilai 3 2. Jika tidak berada dalam kisaran standar diberi peringkat berdasarkan hasil terbaik, nilai 2 untuk kadar air yang sedang dan nilai 1 untuk kadar air paling tinggi

Sumber : a) Food and Drugs Administration (1966)

23

HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Penentuan Suhu Pengering Semprot Hasil Pengeringan pada suhu inlet dan outlet dapat dilihat pada Tabel 9 dan Tabel 10. Berdasarkan penilaian terhadap hasil pengeringan dapat disimpulkan bahwa suhu pengeringan terbaik adalah suhu inlet 180 0 C dan suhu outlet 86-96 0C, karena menghasilkan tepung putih telur yang halus dan kering pada dry chamber dan cyclon pada pengering semprot serta menghasilkan rendemen yang lebih tinggi. Suhu inlet dan outlet pengering semprot tersebut selanjutnya akan digunakan untuk penelitian utama pada proses pembuatan tepung putih telur. Tabel 9. Keadaan Bubuk Tepung Putih Telur pada Ketiga Suhu Inlet dan Outlet Pengering Semprot Suhu Pengering Keadaan Bubuk pada 0 Semprot ( C) Pengering Semprot Inlet Outlet Dry Chamber Cyclon 180

86-96

Halus dan Kering

Halus dan Kering

170

78-80

Lengket, basah dan tekstur menggumpal

Halus dan Kering

160

74-76

Lengket, basah dan tekstur menggumpal

Halus dan Kering

Tabel 10. Rendemen Tepung Putih Telur pada Ketiga Suhu Inlet dan Outlet Pengering Semprot Suhu Pengering Rendemen (%) Semprot (0 C) Inlet Outlet Rendemen Total Rendemen Halus Rendemen Kasar 180

86-96

6,1

3,2

2,9

170

78-80

4.2

2,9

1,3

160

74-76

2,5

2,5

-

Penelitian Utama Proses Pembuatan Tepung Putih Telur Tujuan dari penelitian utama adalah untuk menge tahui perubahan fisik dan sifat fungsional tepung putih telur akibat adanya penambahan fermipan atau ragi roti dan penambahan maltodekstrin. Berdasarkan hasil analisis ragam, perlakuan

memberikan penga ruh nyata (P<0,05) terhadap rendemen total, rendemen ha lus, rendemen kasar dan pH sebelum pengeringan. Hasil analisis ragam juga menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata (P>0,05) pada peubah yang diamati seperti pH setelah pengeringan, kadar air, kelarutan tepung, nilai kecerahan (nilai L), daya busa dan stabilitas busa. Tabel 11. Nilai Rata-Rata Peubah Sifat Fisik Tepung Putih Telur Peubah Sifat Fisik Rendemen Total (%) Rendemen Halus (%) Rendemen Kasar (%) pH Sebelum Pengeringan pH Setelah Pengeringan Kadar Air (%) Kelarutan Tepung (%) Nilai Kecerahan(nilai L)

A 4,62±0,70b 2,88±0,55b 1,74±0,25b 8,13±0,10b 9,89±0,16 5,71±1,98 95,45±1,78 67,82±0,41

Perlakuan B 5,97±0,23b 3,31±0,27b 2,66±0,13b 7,13±0,37b 9,91±0,21 4,50±0,70 92,14±2,28 67,83±0,07

C 13,57±2,69a 4,90±1,06a 8,67±2,39a 6,69±0,48a 9,76±0,06 3,54±1,05 92,57±1,51 67,89±0,19

Keterangan : Perlakuan A yaitu Pengeringan putih telur murni Perlakuan B yaitu Pengeringan putih telur + 0.3% ragi roti dari putih telur Perlakuan C yaitu Pengeringan Putih Telur + 0.3% ragi roti + 4% maltodekstrin dari putih telur Superskrip huruf kecil pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

Rendemen Salah satu parameter penting yang diamati dalam proses produksi tepung putih telur adalah rendemen. Nilai rendemen merupakan peubah yang menentukan efektif dan efisien tidaknya proses pengeringan. Semakin besar nilai rendemen tiap perlakuan menunjukkan makin efektif dan efisien proses yang dilakukan terhadap bahan baku. Rendemen tepung putih telur dihitung berdasarkan perbandingan bobot tepung putih telur dengan bobot telur utuh segar dan dinyatakan dalam persen. Hasil analisis ragam (Lampiran 1) menunjukkan bahwa perlakuan pembuatan tepung putih telur memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap rendemen total. Berdasarkan hasil uji Duncan perlakuan C mempunyai rendemen yang paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan A dan perlakuan B, hal ini karena adanya penambahan

maltodekstrin 4% akan membantu peningkatan rendemen. Hal ini

disebabkan maltodekstrin merupakan bahan pengisi yang mempunyai kadar air lebih kecil (9,6%) dibandingkan dengan kadar air putih telur murni (86,7%). Walaupun berat molekul maltodekstrin kecil jika ditambahkan dalam konsentrasi tinggi

25

sebelum proses pengeringan, maka akan menghasilkan rendemen yang tinggi pada produk akhir. Pengeringan putih telur menghasilkan dua macam rendemen yaitu rendemen halus dan rendemen kasar. Rendemen halus merupakan rendemen yang dihasilkan pada cyclon, sedangkan rendemen kasar dihasilkan pada drying chamber. Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 2 dan 3) menunjukkan bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap rendemen halus dan rendemen kasar. Nilai pH Nilai pH merupakan sifat fisik yang menentukan kadar keasaman dari suatu produk. Semakin rendah pH menunjukkan tingginya keasaman dari suatu produk. Nilai pH dari suatu produk tergantung dari zat-zat yang terkand ung didalamnya, selain itu juga konsentrasi zat dapat mempengaruhi nilai pH. Nilai pH akan turun apabila zat-zat yang terkandung dari suatu produk bersifat asam. Nilai pH Sebelum Pengeringan. Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 4) menunjukkan perlakuan berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap nilai pH sebelum pengeringan. Gambar 5 menunjukkan rataan nilai pH pada ketiga perlakuan. Nilai pH semakin turun dari perlakuan A sampai perlakuan C. Penurunan pH tersebut disebabkan oleh adanya penambahan 0,3% fermipan yang akan memfermentasikan gula pereduksi menjadi asam glukonat dan penambahan 4% maltodekstrin akan meningkatkan keasaman produk karena maltodekstrin akan dirubah menjadi glukosa oleh enzim maltase yang dihasilkan oleh sel-sel khamir yang kemudian akan difermentasi menjadi etanol dan karbondioksida sehingga produk yang dihasilkan menjadi asam (Buckle, et. al., 1987). Grafik hubungan antara perlakuan pembuatan tepung putih telur dengan pH sebelum pengeringan dijelaskan pada Gambar 5. Nilai pH Setelah Pengeringan. Berdasarkan analisis ragam (Lampiran 5) menunjukkan perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap nilai pH setelah pengeringan. Rata-rata nilai pH putih telur setelah pengeringan yaitu antara 9,76 sampai 9,91. Kenaikan pH tersebut disebabkan oleh proses pengeringan, karena pengeringan akan mengakibatkan rusaknya ikatan peptida asam amino alkalin pada putih telur (Wong, et. al., 1996) dan hilangnya CO2 dan H2 O yang terdapat pada putih telur serta hilangnya CO2 yang dihasilkan dari hasil fermentasi maltodekstrin

26

yang ditambahkan. Hilangnya CO2 dan H2 O akan menyebabkan peningkatan pH, karena apabila CO2 dan H2 O terdapat dalam suatu larutan maka akan larut membentuk asam karbonat yang akan menguraikan ion H+ dalam larutan sehingga menyebabkan keasaman pada larutan (Kusnadhi, 2003). Oleh karena itu hilangnya CO2 dan H2 O pada asam karbonat dalam larutan tidak akan menguraikan ion H+,

Nilai pH Sebelum Pengeringan

sehingga terjadi peningkatan pH. 9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00

8,13 7,13

6,69 Putih Telur Murni

Putih Telur + 0.3% Fermipan dari Putih Telur

A

B C Perlakuan

Putih Telur + 0.3% Fermipan + 4% Maltodekstrin dari Putih Telur

Gambar 5. Histogram Hubungan antara Perlakuan Pembuatan Tepung Putih Telur dengan pH sebelum Pengeringan Kadar Air Kadar air menunjukkan banyaknya air yang terkandung persatuan bahan dan merupakan kriteria mutu yang penting untuk produk pangan kering seperti tepung putih telur. Kadar air tepung putih telur dipengaruhi oleh suhu penyimpanan, perpindahan udara, kelembaban nisbi (RH), lingkungan sekitar dan permeabilitas wadah (pengemas) (Stadelman dan Cotterill, 1973). Hasil analisis ragam (Lampiran 6) menunjukkan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap kadar air. Kadar air tepung putih telur dalam penelitian ini mempunyai rataan berkisar antara 3,54% sampai 5,71%, nilai kadar air tersebut masih dalam kriteria mutu karena nilai standar tepung putih telur maksimum 8% (Gorman, 1973). Kadar air yang rendah pada perlakuan disebabkan oleh pengeringan yang dilakukan menggunakan spray dryer dengan suhu yang relatif tinggi yaitu suhu inlet 180 0 C dan suhu outlet 86-96 0 C, sehingga proses evaporasi berlangsung lebih cepat. Kecepatan evaporasi dipengaruhi oleh komposisi bahan, terutama kandungan total padatan. Semakin tinggi total padatan bahan, maka proses evaporasi akan berlangsung cepat.

27

Berdasarkan hasil analisis ragam perlakuan C mempunyai kadar air lebih kecil dibandingkan perlakuan A dan perlakuan B, karena dengan penambahan 4% maltodekstrin akan meningkatkan total padatan bahan yang akan dikeringkan sehingga proses evaporasi dapat berlangsung lebih cepat. Beberapa faktor yang mempengaruhi proses pengeringan bahan pangan menggunakan spray drying antara lain suhu pengeringan (suhu inlet/outlet), laju aliran bahan, laju aliran udara dan tekanan udara pengering (Master, 1991). Kelarutan Tepung Pengukuran kelarutan tepung bertujuan untuk melihat pengaruh penambahan fermipan dan maltodekstrin terhadap kelarutan tepung putih telur yang dihasilkan. Daya kelarutan tepung putih telur menentukan daya terima tepung putih telur. Hasil analisis ragam (Lampiran 7) menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap kelarutan tepung. Hal ini disebabkan putih telur atau albumin telur merupakan jenis protein globular yang mudah larut dalam air dan Penambahan maltodekstrin akan membantu meningkatkan kelarutan, karena maltodekstrin merupakan turunan pati yang memiliki kandungan oligosakarida yang tinggi. Oligosakarida adalah polimer dengan derajat polimerisasi 2 sampai 10 dan biasanya larut dalam air. Oligosakarida juga merupakan sakarida berantai pendek, semakin tingginya kandungan oligosakarida berarti semakin banyak atom O bebas pada gugus –OH glikosidik yang dapat terikat oleh molekul air. Molekul air membentuk hidrat dengan molekul- molekul lain yang mengandung atom O. Kandungan oligosakarida ini menyebabkan maltodekstrin memiliki karakteristik mudah larut dalam air (Winarno, 1997). Penambahan maltodekstrin juga mungkin dapat menurunkan kelarutan tepung, apabila maltodekstrin yang ditambahkan tidak larut secara sempurna. Oleh karena pada proses pengeringan bahan, maltodekstrin yang tidak larut akan langsung dikeringkan dan bercampur dengan produk akhir pengeringan dan akan meningkatkan total padatan waktu penyaringan pada pengukuran kelarutan tepung. Rataan kelarutan tepung pada perlakuan mempunyai kisaran nilai antara 92,14% sampai 95,45%, yang menunjukkan bahwa masing- masing perlakuan mempunyai kelarutan tepung yang tinggi.

28

Nilai Kecerahan (L) Pada penelitian ini, untuk menentukan kecerahan tepung putih telur dapat menggunakan alat cromameter minolta (tipe CR-310). Kecerahan warna merupakan salah satu faktor untuk menarik keinginan konsumen untuk mengkonsumsi produk yang dihasilkan. Nilai L ini mempunyai nilai dari 0 (hitam) sampai 100 (putih). Hasil analisis ragam (Lampiran 8) menunjukkan bahwa perlakuan pembuatan tepung putih telur tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap nilai kecerahan (L) tepung putih telur. Nilai kecerahan tepung putih telur pada semua perlakuan mempunyai rataan berkisar antara 67,82 sampai 67,89. Kisaran 0-100 untuk nilai L maka tepung putih telur yang dihasilkan mempunyai tingkat kecerahan yang tinggi. Perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap nilai L karena perlakuan

yang

diberikan seperti penambahan ragi

roti akan

membantu

meningkatkan kecerahan tepung putih telur dengan mencegah terjadinya proses Maillard pada saat pengeringan putih telur dan penambahan maltodekstrin yang mempunyai tingkat kecerahan yang tinggi juga dapat meningkatkan kecerahan dari sutu produk. Menurut Mcdonald (1984), maltodekstrin bersifat kurang higroskopis, kurang manis, memiliki kelarutan tinggi dan cenderung tidak membentuk zat warna pada reaksi browning. Tingkat kecerahan suatu produk pangan akan mempengaruhi perilaku konsumen untuk mengkonsumsinya, biasanya produk yang cerah lebih disukai konsumen. Tabel 12. Nilai Rata-Rata Peubah Sifat Fungsional Tepung Putih Telur Peubah Sifat Fungsional Daya Busa (%) Stabilitas Busa (%)

A 333,33±0,00 76,67±1,44

Perlakuan B 361,11±48,11 79,10±1,39

C 366,67±44,09 78,06±0,96

Keterangan : Perlakuan A yaitu Pengeringan putih telur murni Perlakuan B yaitu Pengeringan putih telur + 0.3% ragi roti dari putih telur Perlakuan C yaitu Pengeringan Putih Telur + 0.3% ragi roti + 4% maltodekstrin dari putih telur

Daya Busa Daya busa merupakan peubah yang menunjukkan banyak busa atau buih yang dihasilkan setelah dilakukan pengocokan. Berdasarkan hasil analisis ragam (Lampiran 9) pada perlakuan pembuatan tepung putih telur tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap daya busa. Rataan nilai daya busa dari perlakuan

29

berkisar antara 333,33% sampai 366,67%. Nilai daya busa tersebut tidak jauh berbeda dengan nilai daya busa pada putih telur segar sekitar 350% (Romanoff dan Romanoff , 1963). Hal ini menunjukkan perlakuan dengan atau tanpa penambahan fermipan dan maltodekstrin tidak memberikan pengaruh terhadap nilai daya busa, karena

fermipan

yang

ditambahkan

untuk

fermentasi

akan

membantu

mempertahankan daya busa (Hill dan Sebring, 1973) dan begitu juga dengan penambahan maltodekstrin selain untuk meningkatkan rendemen dan kelarutan juga mampu membantu mempertahankan daya busa. Faktor-faktor yang mempengaruhi daya busa antara lain umur, suhu, mutu putih telur, pH, lama pengocokan, perlakuan pendahuluan dan adanya bahan-bahan lain didalam putih telur (bahan kimia, putih telur dan sebagainya) serta stabilizer (Romanoff dan Romanoff, 1963). Kenaikan volume busa putih telur dipengaruhi oleh kenaikan pH putih telur. Peningkatan daya busa terjadi karena adanya penambahan 0,3% ragi roti yang menyebabkan putih telur menjadi lebih encer sehingga meningkatkan volume busa pada saat pengocokan dan penambahan 4% maltodekstrin mampu mempertahankan ovomucin dan ovalbumin dari kerusakan akibat pengeringan. Penurunan daya busa terjadi karena ovomucin yang menstabilkan struktur buih dan ovalbumin yang membentuk buih telah mengalami kerusakan akibat proses pengeringan dan penyimpanan. Stabilitas Busa Stabilitas busa merupakan kemampuan mempertahankan agar busa stabil (busa tidak mencair). Stabilitas busa mempunyai peranan dan pengaruh yang besar terhadap mutu produk yang membutuhkan kestabilan busa yang tinggi. Pengukur stabilitas busa terlebih dahulu harus mengetahui banyaknya tirisan yang dihasilkan setelah

dilakukan

pengocokan

dan

disimpan.

Stabilitas

busa

mempunyai

kecenderungan nilai yang terbalik dengan nilai tirisan. Hasil analisis ragam (Lampiran 10) menunjukkan bahwa perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata (P>0,05) terhadap stabilitas busa. Rataan nilai stabilitas busa pada perlakuan berkisar antara 76,67% sampai 79,10%. Nilai stabilitas busa 0 sampai 100% maka nilai stabilitas busa tiap-tiap perlakuan mempunyai stabilitas busa yang cukup tinggi. Stabilitas busa putih telur dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu lamanya telur disimpan, suhu putih telur, pH putih telur, lama pengocokan, perlakuan

30

pendahuluan dan penambahan bahan-bahan kimia atau stabilisator (Romanoff dan Romanoff, 1963; Baldwin, 1973). Kestabilan lebih besar pada putih telur dengan pH rendah daripada dengan pH tinggi. Berdasarkan hasil analisis ragam pada perlakuan B mempunyai stabilitas busa yang lebih besar daripada perlakuan A dan perlakuan C, yang mempunyai pH yang lebih rendah setelah pengeringan. Perlakuan panas pada putih telur dapat menyebabkan denaturasi terhadap kompleks ovomucin- lysozym sehingga dengan adanya kerusakan ovomucin ini kestabilan busa putih telur menurun (Berquist, 1973). Penentuan Perlakuan Terbaik Tepung putih telur dapat dimanfaatkan untuk produk yang membutuhkan daya dan kestabilan busa yang tinggi seperti anggel food cake, pemberian nilai (skoring) dapat dilakukan pada peubah yang diamati meliputi sifat fisik dan sifat fungsionalnya. Nilai yang diberikan terhadap hasil analisis rendemen total, rendemen halus, kadar air, kelarutan bub uk dan nilai kecerahan yaitu berdasarkan pada rataan hasil analisis statistik tiap perlakuan. Rataan paling tinggi diberi nilai 3, sedangkan rataan paling rendah diberi nilai 1. Pada penelitian nilai kecerahan semua perlakuan hampir sama maka diberi nilai 3, karena menunjukkan nilai yang cukup tinggi pada kisaran nilai warna 0 sampai 100 yaitu nilai kecerahan yang tinggi. Standar nilai kadar air tepung putih telur berdasarkan Food and Drugs Administration (1966) maksimal 8%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kadar air yang diperoleh masih dalam kisaran standar tepung putih telur yang ada, maka pemberian nilai berdasarkan peringkat hasil terbaik (nilainya 3). Nilai yang diberikan terhadap daya busa dan stabilitas busa berdasarkan hasil urutan yang terendah (diberikan nilai 1) sampai tertinggi (diberikan nilai 3). Penentuan perlakuan tepung putih telur terbaik merupakan hasil analisis statistik terhadap nilai skoring dan hasil penjumlahan semua nilai skoring yang ada. Rekapitulasi hasil analisis dan pemberia n nilai pada tepung putih telur dapat dilihat pada Tabel 13. Berdasarkan Tabel 13 dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan tepung putih telur untuk produk dari perlakuan tersebut yang terbaik adalah B dan C. Pemilihan perlakuan B (putih telur + 0,3% ragi roti) dan C (putih telur + 0,3% ragi roti + 4% maltodekstrin dari berat putih telur) dikarenakan menghasilkan total nilai skoring

31

yang hampir sama dan lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan A (Putih telur murni). Tabel 13. Rekapitulasi Hasil Analisis dan Nilai Skoring Peubah yang Diamati Rendemen Total %w/w) Rendemen Halus (%w/w) Kadar Air (%b/b) Kelarutan Tepung (%) Nilai kecerahan (L) Daya Busa (%) Stabilitas Busa (%) Total Nilai Skoring

A 6,42 (1) 2,87 (1) 5,70 (3) 95,45 (3) 67,82 (3) 333,33 (2) 76,67 (1) 14

Perlakuan B 5,97 (2) 3,31 (2) 4,50 (3) 92,14 (2) 67,83 (3) 361,11 (3) 79,10 (3) 18*

C 13,57 (3) 4,90 (3) 3,54 (3) 92,57 (2) 67,89 (3) 366,67 (3) 78,06 (2) 19*

Keterangan :

(....) = Angka dalam tanda kurung menunjukkan nilai urutan skoring (nilai 1 = nilai terendah dan nilai 3 = nilai tertinggi) * = Perlakuan tepung putih telur terbaik Perlakuan A yaitu Pengeringan putih telur murni Perlakuan B yaitu Pengeringan putih telur + 0,3% ragi roti dari putih telur Perlakuan C yaitu Pengeringan Putih Telur + 0,3% ragi roti + 4% maltodekstrin dari putih telur

32

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hasil rendemen yang tinggi, diperoleh dari pengeringan putih telur pada suhu inlet 180 0 C dan suhu outlet 86-96 0C. Perlakuan pembuatan tepung putih telur pada putih telur + 0,3% ragi roti + 4% maltodekstrin memberikan pengaruh berbeda nyata (P<0,05) terhadap peubah yang diamati seperti rendemen total, rendemen halus, rendemen kasar dan pH sebelum pengeringan, sedangkan terhadap pH setelah pengeringan, warna, kadar air, kelarutan bubuk, daya busa dan stabilitas busa analisis ragam menunjukkan perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata. Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, untuk menghasilkan sifat fisik dan sifat fungsional dari tepung putih telur yang baik, sebelum pengeringan hendaknya dilakukan fermentasi dengan menggunakan fermipan sebanyak 0,3% dari putih telur dan penambahan maltodekstrin sebanyak 4% dari putih telur.

UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT dengan limpahan rahmat dan karunia-Nya yang tak terhingga serta hanya dengan ridho dan pertolongan-Nya, skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Ayahanda dan Ibunda terutama Ayahanda H. Abdul Fatah, Kakak, Adik, Kakek dan Nenek serta Saudara-saudaraku yang tercinta yang banyak membantu baik materi, doa, motivasi serta kasih sayang yang selalu diberikan dengan tanpa henti. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Zakiah Wulandari, S.TP., M.Si dan Prof. Dr. Ir. Hj. Iman Rahayu, HS., MS yang telah membimbing, mengarahkan, meluangkan waktu, materi dan membantu mulai dari penyusunan proposal hingga tahap akhir penulisan skripsi. Terima kasih kepada Tuti Suryati, S.Pt, M.Si dan Ir. Dwi Joko Setyono, M.Si sebagai penguji dan Ir. Afton Atabani, M.Si sebagai panitia sidang. Selain itu ucapan terima kasih disampaikan kepada Dr. Muladno sebagai pembimbing akademik atas nasehat dan motivasinya selama perkuliahan serta Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, MRur., Sc, Ir. Purwanro dan keluarga atas motivasi dan bantuannya. Kepada CHK Karyadinata, S.Pt, Fahrial Amri, S.Pt, Tria Triana, S.Pt, Wisnu Hadi Saputra, S.Pt, Hendria Firdaus, S.Pt, Enca Hatta, S.Pt, Nurcahyo,Nanda, Nana, Heidy, Cahyana Supriadi, S.TP, Dandan Diana, S.Pi, Edi Iskandar, SP, Aswab, Dadang, Teguh, yang sudah membantu dalam penelitian ini, serta rekan-rekan THT 38, THT 39, UKM KOPMA IPB,LISES Gentra Kaheman IPB dan Pondok Yasmin Crew. Ucapan terima kasih Penulis sampaikan kepada Yayasan Super Semar dan DIKTI yang telah memberikan bantuan pendidikan. Kepada seluruh staf teknisi Laboratorium Teknologi Hasil Ternak (Iom dan Nap) dan Pilot Plant SEAFAST Center IPB (Nurwanto dan Rubiah) yang banyak memberikan bantuan dalam penelitian ini. Terakhir Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada civitas akademika Institut Pertanian Bogor khususnya Fakultas Peternakan IPB. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya. Bogor, November 2006

Penulis

DAFTAR PUSTAKA AOAC. 1995. Official Methods of Analysis. 16th Edit. Assosiation of Official Analitical Chemist Int., Washington D. C. ASEANFOOD. 2000. ASEAN Food Composition Tables. Institut of Nutrition, Mahidol University, Thailand. Baldwin, R. E. 1973. Functional properties in foods. Dalam : W. J. Stadelman dan O. J. Cotterill (eds). Egg Science and Technology, p.241. The AVI Publishing Co., Inc., Westport, Connecticut. Belitz, H. D. and W. Grosch. 1999. Food Chemistry. Spinger Verlag Berlin Heidelberg, New York. Biliaderis, C. G. dan N. A. M. Eskin. 1992. Carbohydrates. Dalam: Y. H. Hui. (Editor). Encyclopedia of Science and Technologi. Volume 1. John Wiley and Sons, Inc., New York. Brown, S. L. dan M. E. Zabik. 1967. Effect of heat treatments on the physical and fungtion properties of liquid and spray dried egg albumen. Food Technol. 21(1) : 87. Buckle, H., M. B. E. Heath and K. South. 1985. Flavor Technology. The AVI Publishing Co., Westport, Connecticut. Burdock, G. A. 1997. Encyclopedia of Food and Color Adhesive. Volume 3. CRC Press, Inc., New York. Cherry, J. P. and McWaters. 1981. Protein Functionality in Foods. American Chemical Soviety, Washington. Desroiser, N. W. 1963. The Technology of Food Preservation. The AVI Publishing Co., Inc., Westport, Connecticut. Dziezak. 1980. Microencapsulation and capsulation ingredients. Food Technology. 18 (4) : 138. Forsythe, R. H. dan J. F. Foster. 1949. Note on the electrophoretic composition of egg white. Poultry Sci. 28(1) : 302. Gorman, J. M. 1973. Quality control and product spesification. In: W. J Stadelman and Cotterill, O. J. 1977. Egg Science and Technology. The AVI Publishing Co Inc., Westport, Connecticut. Heldman, R. Dennis and R. P Singh. 1981. Food Process Technology. The AVI Publishing Co., Inc., Westport, Connecticut. Hill, W. M. dan M. Sebring. 1973. Desugarization. Di dalam W. J. Stadelman dan O. J. Cotterill (eds). Egg Science and Technology, p.179. The AVI Publishing Co., Inc., Westport, Connecticut. Kennedy, J. F., C. J. Knill dan D. W. Taylor. 1995. Maltodextrins. Dalam : M. W. Keasley dan S. Z. Dziedzic. (Editor). Hand Book of Hydrolysis Product and Their Derivates. Blakie Academic and Profesional, London.

Kjaergard, O. G. 1974. Effect of the lates depelopments on design and practice of spray drying. In : Advance In Preconcentration and Dehydration of Foods. Spicer. Applied Science Publ. Ltd. Essex, New England. Kusnadhi, F.F. 2003. Formulasi produk minuman instant lingzhi-jahe effervescent. Skripsi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Lehningher, . L. 1982. Dasar-Dasar Biokimia. Terjemahan : Maggy T. W. Erlangga, Jakarta. Lowe, B. 1963. Experimental Cookery. John Wiley and Sons, Inc., New York. Maltz, S. A. and T. D. Maltz. 1978. Cookie and Cracker Technology, 2nd ed. The AVI Publishing Co. Inc., Westport, Connecticut. Master, K. 1979. Spray Dring Handbook. John Willey and Sons, New York. . 1991. Spray Dring Handbook. Ed ke-5. London : Longman Group Ltd. Hal 74-107. Mcdonald, M. 1984. Uses of Glucose Syrups In The Food Industry. Dalam : Dziedzic, S. Z dan M. W. J. Kearsley (eds). Glucose Syrup : Science and Technology. Elsevier Applied Science Publisher, London, New York. Meyer, L. H. 1976. Food Chemistry. Reinhold Publishing Corporation, New York. Nur, M. A. , M. Syachri dan K. Iskandarsyah. 1983. Kimia Dasar II. Bagian Kimia, IPB, Bogor. Pomeranz and Meloan. 1978. Food Analysis. The AVI Publ. Co. Inc., West Port, Connecticut. Panda, P. C. 1996. Text Book on Egg and Poultry Technology. Vikas Publishing House. Publ., Ltd., Hisar. Potter, N. N. 1980. Food Science. The AVI Publishing Co., Inc, Westport, Connecticut. Powrie, W. D. 1973. Chemistry of egg and egg products. Di dalam W. J. Stadelman dan O. J. Cotterill (eds). Egg Science and Technology, p.61. The AVI Publishing Co., Inc., Westport, Connecticut. Powrie, W. D. and S. Nakai. 1985. Characteristics of edible fluids of animal origin ; eggs. In : O. R. Fenema. Food Chemistry. Marcel Dekker Inc., New York Basel. Pratiwi, K. 2005. Optimasi proses pembuatan susu kambing bubuk dengan penambahan maltodekstrin sebagai bahan pengisi. Skripsi. Departemen Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Romanoff, A. L dan A. J. Romanoff. 1963. The Avian Eggs. John Wiley and Sons, Inc., New York. Spicer, A. 1974. Advances in Preconcentration and Dehydration of Food. Applied Science Publ., Ltd, London.

36

Stadelman, W. J and Cotterill, O. J. 1977. Egg Science and Technology. The AVI Publishing Co., Inc., Westport, Connecticut. .1995. Egg Science and Technology. 4th Ed. Products Press. An Imprint of The Haworth Press, Inc., New York

Food

Steel, R.G.D dan J.H. Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistik. Terjemahan B. Sumantri. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Stevenson, G. T and Miller. 1986. Introduction to Foods and Nutrition. John Wiley and Sons, Inc., London. Sukarno, 1984. Mempelajari sifat-sifat fisiko kimia tepung albumen telur ayam leghorn putih selama penyimpanan. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sutejo. 1999. Pembuatan kecap manis bubuk dengan pengering semprot. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Winarno, F. G., S. Fardiaz. 1982. Pengantar Teknologi Pangan. Gramedia, Jakarta. .1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Utama, Jakarta. Wirakartakusumah, A., A. Subarna, M. Arpah, D. Syah dan S. I. Budiwati. 1992. Peralatan dan Unit Proses Industri Pangan. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Wong, Y. C., T. J. Herald and K. A. Hachmeister. 1996. Comparation between irradiated and thermal pasteurized liquid egg white on fungtional, physical, and microbiological properties. Poultry Sci. 75 : 803-808.

37

LAMPIRAN

Lampiran 1. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih Telur terhadap Rendemen Total a. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Rendemen Total Source Model Error Corrected Total

DF 2 6 8

Sum of Squares 139,77385 15,59447 155,36381

Mean Square 69,88692 2,59908

F Value 26,89

Pr > F 0,0010*

Keteranagan : * berbeda nyata

b. Hasil Uji Duncan terhadap Rendemen Total Model

Mean

Duncan Grouping

13,57 5,97 4,62

C B A

A B B

Lampiran 2. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih Telur terhadap Rendemen Halus a. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap Rendemen Halus Source Model Error Corrected Total

DF 2 6 8

Sum of Squares 6,83112 2,99576 9,82688

Mean Square 3,41556 0,49929

F Value 6,84

Pr > F 0,0283*

Keteranagan : * berbeda nyata

b. Hasil Uji Duncan terhadap Rendemen Halus Model C B A

Mean 4,90 3,31 2,87

Duncan Grouping A B B

Lampiran 3. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih Telur terhadap Rendemen Kasar a. Analisa Ra gam Pengaruh Perlakuan terhadap Rendemen Kasar Source Model Error Corrected Total

DF 2 6 7

Sum of Squares 4564,87042 633,33833 5198,20875

Mean Square 2282,43521 126,66767

F Value Pr > F 18,02 0,0052*

Keteranagan : * berbeda nyata

39

b. Hasil Uji Duncan terhadap Rendemen Kasar Model C

Mean

66,63 19,63 14,25

B A

Duncan Grouping A B B

Lampiran 4. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih Telur terhadap pH sebelum Pengeringan a. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan terhadap pH sebelum Pengeringan Source Model Error Corrected Total

DF 2 6 8

Sum of Squares 3,24222 0,75667 3,99789

Mean Square 1,62111 0,12594

F Value Pr > F 12,87 0,0068*

Keteranagan : * berbeda nyata

b. Hasil Uji Duncan terhadap pH sebelum Pengeringan Model A B C

Mean 8,13 7,13 6,69

Duncan Grouping A B B

Lampiran 5. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih Telur terhadap pH setelah Pengeringan Source Model Error Corrected Total

DF 2 6 8

Sum of Squares 0,03909 0,14647 0,18556

Mean Square 0,01954 0,02441

F Value 0,80

Pr > F 0,4918

Lampiran 6. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih Telur terhadap Kadar Air

Source Model Error Corrected Total

DF 2 6 8

Sum of Squares 7,06789 11,04664 18,11454

Mean Square 3,53395 1,84111

F Value 1,92

Pr > F 0,2268

40

Lampiran 7. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih Telur terhadap Kelarutan Bubuk Source Model Error Corrected Total

DF 2 6 8

Sum of Squares 19,50396 21,26714 40,77113

Mean Square 9,75198 3,54453

F Value 2,75

Pr > F 0,1419

Lampiran 8. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih Telur terhadap Nilai Kecerahan (L) Source Model Error Corrected Total

DF 2 6 8

Sum of Squares 0,00860 0,43040 0,43900

Mean Squa re 0,00430 0,07173

F Value 0,06

Pr > F 0,9424

Lampiran 9. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih Telur terhadap Daya Busa

Source Model Error Corrected Total

DF 2 6 8

Sum of Squares 1.913,58383 8.518,53148 10.432,11531

Mean Square 956,79191 1419,75525

F Value 0,67

Pr > F 0,5445

Lampiran 10. Analisa Ragam Pengaruh Perlakuan Pembuatan Tepung Putih Telur terhadap Stabilitas Busa Source Model Error Corrected Total

DF 2 6 8

Sum of Squares 8,95887 9,88941 18,84827

Mean Square 4,47943 1,64824

F Value 2,72

Pr > F 0,1444

Lampiran 11. Pengering Semprot (Spray Drayer) Tipe Buchi 190

41

Lampiran 12. Tepung Putih Telur Perlakuan A

Lampiran 13. Tepung Putih Telur Perlakuan B

Lampiran 14. Tepung Putih Telur Perlakuan C

42