Lampiran 1. Struktur Organisasi RSUD dr. Pirngadi Kota Medan

REKAM MEDIK Instalasi Rehabilitasi Medis Instalasi Farmasi Instalasi Gizi ... Struktur Organisasi Instalasi Farmasi RSUD dr. Pirngadi Kota Medan. Nurh...

22 downloads 588 Views 779KB Size
Lampiran 1. Struktur Organisasi RSUD dr. Pirngadi Kota Medan DIREKTUR

KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL

WAKIL DIREKTUR BIDANG PELAYANAN MEDIS DAN KEPERAWATAN

WAKIL DIREKTUR BIDANG ADMINISTRASI UMUM

BIDANG PELAYANAN PENUNJANG MEDIS

BIDANG PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

SEKSI PERENCANAAN DAN PENGEMBANGAN PELA-YAAN KEPERAWATAN

SEKSI PELAYANAN PENUNJANG SARANA MEDIS

SEKSI PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PEGAWAI

SEKSI MONITORING DAN EVALUASI PELAYANAN KEPERAWATAN

SEKSI PELAYANAN PENUNJANG SARANA NON MEDIS

BAGIAN UMUM

BAGIAN KEUANGAN

BAGIAN PERLENGKAPAN PEMELIHARAAN

BIDANG PELAYANAN MEDIS

BIDANG PELAYANAN KEPERAWATAN

SUB BAGIAN TATA USAHA

SUB BAGIAN PERBENDAHAR AAN

SUB BAGIAN INVENTARIS RUMAH SAKIT

SEKSI PERENCANAAN DAN PENGEMBANGA N PELAYAAN

SUB BAGIAN KEPEGAWAIA N

SUB BAGIAN MOBILISASI DANA

SUB BAGIAN PENGADAAN BARANG

SUB BAGIAN HUKUM HUBUNGAN MASYRAKAT

SUB BAGIAN AKUNTANSI DAN VERIFIKASI

SUB BAGIAN PERGUDANGAN

SEKSI MONITORING DAN EVALUASI PELAYANAN MEDIS

WAKIL DIREKTUR BIDANG SUMBER DAYA MANUSIA DAN PENDIDIKAN

SEKSI PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

BIDANG PENELITIAN DAN PENGEMBANG

SEKSI PENELITIAN

SEKSI PERPUSTAKAA N

BIDANG PENGOLAHAN DATA DAN REKAM MEDIK

SEKSI PENGOLAHAN DATA RAWAT JALAN DAN

SEKSI REKAM MEDIK

Instalasi Rawat Jalan Instalasi Rawat Inap

Instalasi Rehabilitasi Medis Instalasi Diagnostik Instalasi Farmasi Instalasi Gawat Darurat Instalasi Gizi Instalasi Bedah Sentral Instalasi Pemulasaran Jenazah dan Kedokteran Instalasi Pelayanan Instalasi Kemotoran Instalasi Hemodialisis Instalasi Loundry dan Sandang Instalasi Radiologi Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) Instalasi Patologi Instalasi Gas Medis Instalasi Patologi Instalasi CSSD

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 2. Struktur Organisasi Instalasi Farmasi RSUD dr. Pirngadi Kota Medan

KOMITE FARMASI & TERAPI

DIREKTUR RSUD Dr. PIRNGADI KOTA MEDAN  Adm & Keuangan

KEPALA INSTALASI FARMASI Dra. Erlina, Apt SEKRETARIS Dra. Singgar NR, Apt

Koordinator PERLENGKAPAN Dra. Nur Intan S, Apt

    

Pemilihan Perencanaan Pengadaan Penyimpanan Produksi

KOORDINATOR DISTRIBUSI Dra. Peri, Apt

 Pel. Farmasi Pasien Jaminan Kesehatan Rawat Jalan/Rawat Inap  Pel. Farmasi Umum Rawat Inap/Jalan  Pel. Farmasi BMHP Ruangan & Poliklinik  Pel. Kemoterapi

Pel. Farmasi IBS Nurhikmah A P, SSi, Apt

 PIO  Dik & Lit  Konseling Obat Perencanaan Dan Evaluasi Jhonson L Tobing, S.Si, Apt

Pel. Farmasi IGD Naomi Basaria Siagian, S.Si, Apt Pel. Farmasi Pasien Umum Jhonson L. Tobing S, SSi, Apt

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 3. Daftar Permintaan Dan Pengeluaran Farmasi (Form B-2)

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 4. Form Pelayanan Pencampuran Obat Sitostatika

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 5. Catatan Pemberian Obat (CPO)

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 6. Kartu Obat

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 7. Kartu Kendali Obat Pasien

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 8. Form Surat Pesanan/ Order Pembelian

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 9. Formulir P1 (Permohonan Pembelian Barang Medis)

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 10. Surat Pesanan Barang

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 11. Berkas Pemeriksaan Untuk Pengajuan Pembayaran

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 12. Surat Pesanan Psikotropika

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 13. Surat Pesanan Narkotika

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 14. Form Pemakaian Obat Golongan Narkotika

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 15. Form Pemakaian Obat-Obatan Dan Alat Kesehatan Untuk Pasien Operasi

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 16. Rekapitulasi Perhitungan Unit Cost

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 17. Kuitansi Pembayaran Pengadaan Perbekalan Farmasi

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 18. Surat Setoran Pajak Penghasilan (SSP PPh)

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 19. Surat Setoran Pajak Pertambahan Nilai (SSP PPN)

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 20. Faktur Pajak Standar

Universitas Sumatera Utara

lampiran 21. Formulir Protokol Terapi dari IGD SURAT KETERANGAN Yang bertanda tangan di bawah ini menegaskan bahwa pasien Nama Umur Jenis Kelamin No. KP Askes No.MR Diagnosa

:................................................................... : .................................................................. :................................................................... :................................................................... :................................................................... :...................................................................

Memerlukan obat khusus yang menggunakan protokol terapi dan digunakan di IGD antara lain : 1. 2. 3.

Alasan pemberian : ................................................................................ ................................................................................................................ ................................................................................................................ Medan , ..................... Dokter Jaga IGD

(........................................) Petugas Yang Menyerahkan (……………………………..)

Tim Legalisasi (………………………..)

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 22. Formulir Protokol Terapi dari Ruangan

SURAT KETERANGAN PERMINTAAN OBAT KHUSUS Dengan Hormat, Dengan ini kami mohon diberikan untuk penderita: Nama

:

Umur

:

Jenis Kelamin

:

No. KP Askes

:

No. MR

:

Alamat

:

Ruangan

:

Diagnosa

:

Memerlukan obat khusus yang menggunakan Protokol Terapi, antara lain: 1. 2. 3. Alasan pemberian: ..................................................................................................... ......................................................................................................................... .............................................................................................................................

Disetujui oleh:

Petugas PT. Askes (

Dokter Yang Merawat )

(

)

Tim legalisasi (

)

Universitas Sumatera Utara

Lampiran 23. Form PIO (Pelayanan Informasi Obat) PELAYANAN INFORMASI OBAT (PIO) INSTALASI RSU Dr. PIRNGADI KOTA MEDAN

No Tanggal Status Asal

: : : Pasien / Perawat / Dokter / ………………. : Ruangan / Umum / Poliklinik…………….

Nama Obat / Isi

: 1. ………………………………………….. 2. ………………………………………….. 3. ………………………………………….. 4. …………………………………………..

Indikasi

: …………………………………………….. …………………………………………….. …………………………………………….. : …………………………………………….. …………………………………………….. …………………………………………….. : …………………………………………….. …………………………………………….. : …………………………………………….. …………………………………………….. ……………………………………………..

Efek Samping

Kontra indikasi Informasi Tambahan

Penerima Informasi

(

Pemberi Informasi

)

(

)

Universitas Sumatera Utara

LAPORAN PRAKTEK KERJA PROFESI FARMASI RUMAH SAKIT di RUMAH SAKIT UMUM DAERAH dr. PIRNGADI KOTA MEDAN STUDI KASUS Diabetes Melitus Tipe II + CKD stage V et causal DN Disusun Oleh: Ervina Syahfitri Lubis, S. Farm NIM 133202103

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2014

Universitas Sumatera Utara

RINGKASAN Laporan studi kasus ini telah dilakukan pada Praktek Kerja Profesi (PKP) Farmasi Rumah Sakit di Instalasi Rawat Inap Penyakit Dalam Pria (Asoka 1) ruangan XXI Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan. Studi kasus dilaksanakan pada tanggal 13 April s/d 22 April 2014 mengenai Diabetes Mellitus + CKD stage V ec DN. Pada studi kasus akan dilakukan pengkajian masalah terkait obat (Drug Related Problem) untuk menilai rasionalitas penggunaan obat pada pasien. Kegiatan studi kasus meliputi visite (kunjungan) terhadap pasien, memberikan edukasi dan informasi terkait obat kepada pasien dan/atau keluarga pasien, pengkajian masalah terkait obat (DRP) untuk menilai rasionalitas penggunaan obat, memberikan pertimbangan kepada tenaga kesehatan lain dalam meningkatkan rasionalitas penggunaan obat. Penilaian Rasionalitas penggunaan Obat meliputi 5 R + 1 W yaitu Tepat Pasien (Right Patient), Tepat Indikasi (Right Indication), Tepat Obat (Right Medication), Tpat Dosis dan Waktu Pemberian (Right Dose and Time), Tepat Cara Pemberian (Right Route), dan Waspada terhadap Efek Samping, dengan melihat adanya masalah terkait obat (DRP). Obat-obatan yang dipantau dalam kasus ini adalah infus NaCl 0,9%, injeksi metoklopramid, kapsul omeprazole, injeksi ranitidin, dulcolax suppositoria.

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR ISI Halaman JUDUL ...................................................................................................

i

RINGKASAN ........................................................................................

ii

DAFTAR ISI ..........................................................................................

iii

DAFTAR TABEL ..................................................................................

vi

BAB I

1

PENDAHULUAN .................................................................. 1.1

Latar Belakang ............................................................

1

1.2

Tujuan ..........................................................................

3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .........................................................

4

2.1

2.2

2.3

Diabetes Melitus ..........................................................

4

2.1.1 Defenisi ...............................................................

4

2.1.2 Patofisiologi ........................................................

4

2.1.3 Penegakan Diagnosis ..........................................

5

2.1.4 Komplikasi ..........................................................

6

2.1.4.1 Diabetik Nefropati ..................................

6

2.1.5 Terapi ..................................................................

7

Ginjal ............................................................................

9

2.2.1 Defenisi ...............................................................

9

2.2.2 Fungsi Ginjal .......................................................

10

Gagal Ginjal Kronik .....................................................

11

2.3.1 Defenisi ...............................................................

11

2.3.2 Patofisiologi ........................................................

12

2.3.3 Penegakan Diagnosis ..........................................

13

Universitas Sumatera Utara

2.3.4 Terapi ..................................................................

15

BAB III PELAKSANAAN UMUM ....................................................

19

3.1

Identitas Pasien ............................................................

19

3.2

Ringkasan Pada Waktu Pasien Masuk RSUD Dr. Pirngadi Medan .....................................................

19

Pemeriksaan ................................................................

20

3.3.1 Pemeriksaan Fisik ...............................................

20

3.3.2 Pemeriksaan Patologi Klinik dan Penunjang ......

22

Terapi ...........................................................................

24

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................

26

3.3

3.4

4.1

Pembahasan Tanggal 13 April sampai 22 April 2014 .

27

4.1.1 Pengkajian Tepat Pasien .....................................

28

4.1.2 Pengkajian Tepat Indikasi ..................................

29

4.1.3 Pengkajian Tepat Obat .......................................

31

4.1.4 Pengkajian Tepat Dosis dan Waktu Pemberian .

32

4.1.5 Pengkajian Tepat Cara Pemberian .....................

34

4.1.6 Pengkajian Efek Samping ..................................

34

4.1.7 Rekomendasi Untuk Dokter ...............................

35

4.1.8 Rekomendasi Untuk Perawat ..............................

36

KESIMPULAN DAN SARAN .............................................

37

5.1 Kesimpulan .....................................................................

37

5.2 Saran ...............................................................................

38

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................

39

BAB V

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR TABEL Halaman Tabel 2.1

Kriteria Penegakan Diagnosis ...............................................

6

Tabel 2.2 Jenis-jenis Insulin Berdasarkan Mulai dan Masa Kerja .........

8

Tabel 2.3

Penggolongan Obat Hipoglikemik Oral ...............................

9

Tabel 2.4

Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Didasarkan Atas Dasar Derajat Penyakit ....................................................................

12

Tabel 2.5 Penyebab Utama Penyakit Gagagl Ginjal Kronik di Amerika Serikat ....................................................................

12

Tabel 2.6 Komplikasi Penyakit Gagal Ginjal Kronik .....................

17

Tabel 3.1

Hasil Pemeriksaan Fisik Pasien ............................................

21

Tabel 3.2 Hasil Pemeriksaan Patologi Klinik I (tanggal 13 April 2014 ) ........................................................

22

Tabel 3.3 Hasil Pemeriksaan Patologi Klinik II (tanggal 15 April 2014 ) ........................................................

23

Tabel 3.4 Hasil Pemeriksaan Patologi Klinik III (tanggal 21 April 2014 ) ........................................................

23

Tabel 3.5

Tabel 3.6 Tabel 4.1

Tabel 4.2

Hasil Pemeriksaan Foto Thorax Pada Tanggal 14 April 2014 ..........................................................

23

Daftar Obat yang Diresepkan Dokter Kepada Pasien Selama Rawat Inap ................................................................

25

Daftar Obat yang Digunakan Pada Tanggal 13 April s/d 22 april 2014 ........................................................................

27

Pengkajian Waspada Efek Samping Tanggal 13 April s/d 22 April 2014 .......................................................................

35

Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Rumah sakit merupakan salah satu dari sarana kesehatan, yang merupakan rujukan

pelayanan

menyelenggarakan

kesehatan upaya

dengan kesehatan.

fungsi

utama

Menurut

sebagai Kepmenkes

tempat No.

1197/MENKES/SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, bertujuan untuk mewujudkan derajat kesehatan yang optimal bagi masyarakat. Upaya kesehatan diselenggarakan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. Pelayanan farmasi rumah sakit merupakan salah satu kegiatan di rumah sakit yang menunjang pelayanan kesehatan yang bermutu. Untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit, maka pelayanan farmasi harus ditingkatkan. Pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan kesehatan rumah sakit yang berorientasi kepada pelayanan pasien, penyediaan obat yang bermutu, termasuk pelayanan farmasi klinik, yang terjangkau bagi semua lapisan masyarakat. Praktik pelayanan kefarmasian merupakan kegiatan yang terpadu dengan tujuan mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah obat dan masalah yang berhubungan dengan kesehatan. Kegiatan pelayanan kefarmasian di rumah sakit meliputi pengkajian resep, dispensing, pemantauan dan pelaporan efek samping

Universitas Sumatera Utara

obat, pelayanan informasi obat, konseling, visite pasien dan pengkajian penggunaan obat (Depkes RI, 2004). Visite pasien merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan secara mandiri oleh apoteker maupun bersama tim dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Tujuannya adalah untuk pemilihan obat, menerapkan secara langsung pengetahuan farmakologi terapetik, menilai kemajuan pasien dan bekerja sama dengan tenaga kesehatan lain. Pengkajian penggunaan obat merupakan

program

evaluasi

penggunaan

obat

yang

terstruktur

dan

berkesinambungan untuk menjamin obat-obat yang digunakan sesuai indikasi, efektif, aman, dan terjangkau oleh pasien (Depkes RI, 2004). Dalam rangka menerapkan pelayanan kefarmasian di rumah sakit, maka mahasiswa calon apoteker perlu diberi perbekalan dan pengalaman dalam bentuk Praktek Kerja Profesi (PKP) di rumah sakit. PKP di rumah sakit merupakan salah satu praktek pelayanan kefarmasian yang bertujuan untuk mengidentifikasi, mencegah dan menyelesaikan masalah terkait obat dan masalah yang berhubungan dengan kesehatan pasien. Adapun pelayanan kefarmasian yang difokuskan untuk dilaksanakan adalah visite pasien dan pengkajian penggunaan obat secara rasional (PPOSR). Adanya masalah penggunaaan obat yang tidak rasional menunjukkan bahwa peranan apoteker sangat besar dalam membantu keberhasilan terapi pasien. Studi kasus yang akan dikaji adalah pasien dengan diagnosa Diabetes Melitus + CKD (Chronic Kidney Disease) stage V ec. DN (Diabetic Nephropathy). Disini penulis akan mengkaji penggunaan obat yang diberikan kepada pasien dan memberikan edukasi kepada pasien dan keluarganya dalam

Universitas Sumatera Utara

rangka untuk meningkatkan kepatuhan pasien selama menjalani pengobatan demi tercapainya tujuan pengobatan untuk memaksimalkan pengobatan pasien. 1.2 Tujuan Tujuan dilakukan studi kasus ini adalah: a. Memberikan pemahaman untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam mematuhi terapi yang telah ditetapkan dokter. b. Memantau rasionalitas penggunaan obat yang diberikan kepada pasien.

Universitas Sumatera Utara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Diabetes Melitus 2.1.1

Definisi Diabetes melitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan

metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel β langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin (Depkes, 2005). 2.1.2

Patofisiologi

a. DM tipe 1 (IDDM) terjadi pada 10% dari semua kasus diabetes. Secara umum DM tipe ini berkembang pada anak-anak atau pada awal masa dewasa yang disebabkan oleh sel β pankreas akibat autoimun, sehingga terjadi defisiensi insulin absolut. Hiperglikemia terjadi bila 80%-90% dari sel β rusak. Penyakit DM bisa menjadi penyakit menahun dengan resiko komplikasi dan kematian. Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya autoimun tidak diketahui. b. DM tipe 2 (NIDDM) terjadi pada 90% dari semua kasus diabetes dan biasanya ditandai dengan resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif. Resistensi insulin ditandai dengan peningkatan lipolisis dan produksi asam lemak bebas, peningkatan produksi glukosa hepatik dan penurunan pengambilan glukosa pada otot skelet. Disfungsi sel β mengakibatkan gangguan pada pengontrolan glukosa darah. DM tipe 2 lebih disebabkan oleh

Universitas Sumatera Utara

gaya hidup penderita DM (kelebihan kalori, kurangnya olahraga dan obesitas) dibandingkan dengan pengaruh genetik. c. Diabetes yang disebabkan oleh faktor lain (1-2% dari semua kasus diabetes) termasuk gangguan endokrin (misalnya akromegali, sindrom Cushing), diabetes

melitus

gestational

(DMG),

penyakit

pankreas

eksokrin

(pankreatitis), dan karena obat (glukokortikoid, pentamidin, niasin, dan αinterferon). d. Gangguan glukosa puasa dan gangguan toleransi glukosa terjadi pada pasien dengan kadar glukosa plasma lebih tinggi dari normal tetapi tidak termasuk dalam DM. Gangguan ini merupakan faktor resiko untuk berkembang menjadi penyakit DM dan kardiovaskular yang berhubungan dengan sindrom resistensi insulin. e. Komplikasi mikrovaskular berupa retinopati, neuropati dan nefropati sedangkan komplikasi makrovaskular berupa penyakit jantung koroner, stroke dan penyakit vaskular periferal (Sukandar dkk, 2009). 2.1.3 Penegakan Diagnosis Diabetes seringkali muncul tanpa gejala. Namun demikian ada beberapa gejala khas yang harus diwaspadai sebagai isyarat kemungkinan diabetes. Gejala khas yang sering dirasakan penderita diabetes antara lain poliuria (sering buang air kecil), polidipsia (sering haus), dan polifagia (banyak makan/mudah lapar). Selain itu sering pula muncul keluhan penglihatan rabun, koordinasi gerak anggota tubuh terganggu, kesemutan pada tangan atau kaki, timbul gatal-gatal yang sering kali mengganggu (pruritus), dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas. Apabila ada keluhan khas, hasil pemeriksaan kadar glukosa darah

Universitas Sumatera Utara

sewaktu > 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dl juga dapat digunakan sebagai patokan diagnosis DM (Darmono, 1996 dan Depkes, 2005). Tabel 2.1 Kriteria Penegakan Diagnosis Glukosa Plasma Glukosa Plasma 2 jam setelah Puasa makan Normal <100 mg/dl <140 mg/dl Pra-diabetes 100-125 mg/dl IFG atau IGT 149-199 mg/dl Diabetes ≥126 mg ≥200 mg/dl

2.1.4 Komplikasi Jika tidak ditangani dengan baik, DM akan mengakibatkan timbulnya komplikasi pada berbagai organ tubuh seperti mata, ginjal, jantung, pembuluh darah kaki, syaraf dan lain-lain. Dengan penanganan yang baik, diharapkan komplikasi kronik DM akan dapat di hambat perkembangannya. Komplikasi kronik DM pada dasarnya terjadi pada semua pembuluh darah di tubuh. Komplikasi ini terbagi 2 yaitu komplikasi makrovaskular berupa penyakit jantung koroner, pembuluh darah kaki dan komplikasi mikrovaskular berupa retinopati, neuropati dan nefropati (Waspadji, 1996). 2.1.4.1 Diabetik Nefropati Diabetik nefropati (DN) merupakan komplikasi mikrovaskular DM tipe 1 dan DM tipe 2. Pada sebagian penderita komplikasi ini akan berlanjut menjadi gagal ginjal terminal yang memerlukan terapi cuci darah atau cangkok ginjal. Untuk menegakkan diagnosis komplikasi DN akibat DM tipe 1 dan DM tipe 2 harus dicari manifestasi klinis yang menunjang penyakit dasarnya (diabetes) maupun komplikasi yang ditimbulkannya (DN) (Roesli R dkk, 2001).

Universitas Sumatera Utara

2.1.5 Terapi Penatalaksanaan

diabetes

mempunyai

tujuan

untuk

menurunkan

morbiditas dan mortalitas DM, yang secara spesifik ditujukan untuk mencapai 2 target utama, yaitu: menjaga agar kadar glukosa plasma berada dalam kisaran normal dan mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes. Pada dasarnya ada dua pendekatan dalam penatalaksanaan diabetes, yang pertama pendekatan tanpa obat dan yang kedua adalah pendekatan dengan obat. Dalam penatalaksanaan DM, langkah pertama yang harus dilakukan adalah penatalaksanaan tanpa obat berupa pengaturan diet dan olahraga. Apabila dengan langkah pertama ini tujuan penatalaksanaan belum tercapai, dapat dikombinasikan dengan langkah farmakologis berupa terapi insulin atau terapi obat hipoglikemik oral, atau kombinasi keduanya (Depkes, 2005). a.

Terapi Insulin Insulin dihasilkan oleh sel β pulau langerhans pankreas. Pankreas mengandung sel-sel yang terdiri atas sel alfa yang menghasilkan hormon glukagon, sel beta menghasilkan insulin, sel D menghasilkan somatostatin dan sel PP menghasilkan pancreatic polypeptide (Tjay dan Rahardja, 2002). Pada prinsipnya, sekresi insulin dikendalikan oleh tubuh untuk menstabilkan kadar glukosa darah. Apabila kadar glukosa di dalam darah tinggi, sekresi insulin akan meningkat. Sebaliknya, apabila kadar glukosa darah rendah, maka sekresi insulin juga akan menurun. Dalam keadaan normal, kadar gula darah di bawah 80 mg/dl akan menyebabkan sekresi insulin menjadi sangat rendah (Depkes, 2005).

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.2 Jenis – jenis Insulin Berdasarkan Mulai dan Masa Kerja Jenis Insulin Mulai Kerja Puncak Efek Lama Kerja (jam) (jam) (jam) Masa kerja Singkat 0,5 1-4 6-8 (Shortacting/ Insulin), disebut juga insulin Reguler Kerja sedang 1-2 6-12 18-24 Kerja sedang mulai kerja 0,5 4-15 18-24 cepat Kerja lama 4-6 14-20 24-36

b.

Terapi Obat Hipoglikemik Oral Obat-obat hipoglikemik oral terutama ditujukan untuk membantu penanganan pasien DM Tipe II. Pemilihan obat hipoglikemik oral yang tepat sangat menentukan keberhasilan terapi diabetes. Bergantung pada tingkat keparahan penyakit dan kondisi pasien, farmakoterapi obat hipoglikemik oral dapat dilakukan dengan menggunakan satu jenis obat atau kombinasi dari dua jenis obat. Pemilihan dan penentuan regimen obat hipoglikemik oral yang digunakan harus mempertimbangkan tingkat keparahan diabetes (tingkat glikemia) serta kondisi kesehatan pasien secara umum termasuk penyakitpenyakit lain dan komplikasi yang ada (Depkes, 2005). Penggolongan obat hipoglikemik oral dan mekanisme kerjanya dapat dilihat pada Tabel 2.3.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 2.3 Penggolongan Obat Hipoglikemik Oral Golongan Contoh Senyawa Mekanisme Kerja Sulfonilurea Gliburida/Glibenklamida Merangsang sekresi insulin di Glipizida kelenjar pankreas, sehingga Glikazida hanya efektif pada penderita Glimepirida diabetes yang sel-sel β Glikuidon pankreasnya masih berfungsi dengan baik Meglitinida Repaglinide Merangsang sekresi insulin di kelenjar pankreas Turunan Nateglinide Meningkatkan kecepatan sintesis fenilalanin insulin oleh pankreas Biguanida Metformin Bekerja langsung pada hati (hepar), menurunkan produksi glukosa hati. Tidak merangsang sekresi insulin oleh kelenjar pankreas. Tiazolidindion Rosiglitazone Meningkatkan kepekaan tubuh Troglitazone terhadap insulin. Berikatan dengan PPARγ (peroxisome Pioglitazone proliferator activated receptorgamma) di otot, jaringan lemak, dan hati untuk menurunkan resistensi insulin Inhibitor αAcarbose Menghambat kerja enzim-enzim glukosidase Miglitol pencenaan yang mencerna karbohidrat, sehingga memperlambat absorpsi glukosa ke dalam darah

2.2 Ginjal 2.2.1 Definisi Ginjal adalah suatu kelenjar yang terletak di bagian belakang kavum abdominalis di belakang peritonium pada kedua sisi vertebrata lumbalis III, melekat langsung pada dinding belakang abdomen. Bentuk ginjal seperti biji kacang, jumlahnya ada dua buah yaitu bagian kiri dan kanan, ginjal kiri lebih besar dari ginjal kanan (Syaifuddin, 2006). 2.2.2 Fungsi Ginjal Beberapa fungsi ginjal di dalam tubuh:

Universitas Sumatera Utara

a.

Mengatur volume air (cairan) dalam tubuh. Kelebihan air dalam tubuh akan diekskresikan oleh ginjal sebagai urin yang encer dalam jumlah besar, kekurangan

air menyebabkan urin

yang diekskresi berkurang dan

konsentrasinya lebih pekat sehingga susunan dan volume cairan tubuh dapat dipertahanan relatif normal. b.

Mengatur keseimbangan osmotik dan mempertahankan keseimbangan ion yang optimal dalam plasma (keseimbangan elektrolit).

c.

Mengatur keseimbangan asam basa cairan tubuh.

d.

Ekskresi sisa hasil metabolisme (ureum, asam urat, kreatinin) zat-zat toksik, obat-obatan, hasil metabolisme hemoglobin dan bahan kimia asing (pestisida).

e.

Fungsi hormonal dan metabolisme. Ginjal mensekresikan hormon renin yang mempunyai peranan penting mengatur tekanan darah (sistem renin angiotensin aldosteron) membentuk eritropoeisis mempunyai peranan penting untuk memproses pembentukan sel darah merah (eritropoesis) (Aslam, 2003, Pearce, 2006 dan Syaifuddin, 2006).

2.3 Gagal Ginjal Kronik 2.3.1 Definisi Gagal ginjal kronik (GGK) adalah suatu sindrom klinis yang disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup lanjut. Hal ini terjadi apabila laju filtrasi glomerural (LFG) kurang dari 50ml/menit. GGK sesuai dengan tahapannya, dapat ringan, sedang atau berat. Gagal ginjal tahap akhir (end stage) atau gagal ginjal terminal adalah tingkat

Universitas Sumatera Utara

gagal ginjal yang mengakibatkan kematian kecuali jika dilakukan terapi pengganti ginjal (Suhardjono dkk, 2001). Batasan penyakit ginjal kronik dapat dilihat sebagai berikut: a.

Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi: Kelainan patologis dan terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests).

b.

Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Pada pasien dengan penyakit ginjal kronik, klasifikasi stadium didasarkan

atas dasar derajat penyakit (stage), dibuat berdasarkan nilai LFG, yang dihitung dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault sebagai berikut: LFG (ml/menit/1,73m2) = (140 – umur) x Berat Badan (kg) *) 72 x Kreatinin Plama (mg/dl) *) pada perempuan dikalikan 0,85 Klasifikasi penyakit gagal ginjal kronik didasarkan atas dasar derajat (stage) penyakit (Sudoyo, 2007), dapat dilihat pada Tabel 2.2 di bawah ini. Tabel 2.4 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik Didasarkan Atas Dasar Derajat Penyakit Stage Penjelasan LFG (ml/menit/1,73m2) Kerusakan ginjal dengan LFG normal 1 ≥ 90 atau meningkat Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG 2 60 – 89 ringan Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG 3 30 – 59 sedang Kerusakan ginjal dengan penurunan LFG 4 15 – 29 berat 5 Gagal ginjal < 15 atau dialisis

Universitas Sumatera Utara

2.3.2

Patofisiologi Etiologi penyakit ginjal kronik ini sangat bervariasi antara satu negara

dengan negara lain. Tabel 2.5 di bawah ini menunjukkan penyebab utama dan insiden penyakit gagal ginjal kronik di Amerika Serikat (Sudoyo, dkk., 2007). Tabel 2.5 Penyebab Utama Penyakit Gagal Ginjal Kronik di Amerika Serikat Penyebab Insiden Diabetes mellitus 44% Hipertensi dan penyakit pembuluh darah besar 27% Glomerulonefritis 10% Nefritis interstitialis 4% Kista dan penyakit bawaan lain 3% Penyakit sistemik (misal, lupus dan vaskulitis) 2% Neoplasma 2% Tidak diketahui 4% Penyakit lain 4%

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa sebagai upaya kompensasi, yang diperantai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, yang akhirnya diikuti proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif. Adanya peningkatan aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivitas jangka panjang sistem renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growth factor. Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya

Universitas Sumatera Utara

progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstisial (Sudoyo, 2007). 2.3.3

Penegakan Diagnosis Menurut Sudoyo gambaran klinis pada penyakit ginjal kronik meliputi:

a.

Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti DM, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurisemia, lupus eritomatosus sistemik (LES) dan lain sebagainya.

b.

Sindroma uremia, yang terdiri dari lemah, lethargi, anoreksia, mual, muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.

c.

Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida). Gambaran hasil laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi:

a.

Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.

b.

Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum, dan penurunan LFG yang dihitung menggunakan rumus KockcroftGault.

c.

Kelainan

biokimiawi

darah

meliputi

penurunan

kadar

hemoglobin,

peningkatan kadar kadar asam urat, hiper atau hipokalemia, hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik. d.

Kelainan urinalisis meliputi, proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isostenuria.

Universitas Sumatera Utara

Gambaran pemeriksaan radiologis penyakit ginjal kronik meliputi: a.

Foto polos abdomen, tampak batu radio-opak.

b.

Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan.

c.

Pielografi antegrad atau retrograde dilakukan sesuai dengan indikasi.

d.

Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa

e.

Pemeriksaan renografi dikerjakan bila ada indikasi.

2.3.4

Terapi Penatalaksanaan terapi pada penyakit ginjal kronik meliputi:

a.

Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya Waktu yang paling tepat untuk terapi penyakit dasarnya adalah sebelum terjadinya penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), sehingga pemburukan fungsi ginjal tidak terjadi. Pada ukuran ginjal yang masih normal secara ultrasonografi, biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dapat menentukan indikasi yang tepat terhadap terapi spesifik. Sebaliknya, bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.

b.

Pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid Penting sekali untuk mengikuti dan mencatat kecepatan penurunan LFG pada pasien penyakit ginjal kronik. Hal ini untuk mengetahui kondisi komorbid yang dapat memperburuk keadaan pasien. Faktor-faktor komorbid ini antara lain, gangguan keseimbangan cairan, hipertensi tidak terkontrol, infeksi

Universitas Sumatera Utara

traktus urinarius, obstruksi traktus urinarius, obat-obat nefrotoksik, bahan radiokontras, atau peningkatan aktivitas penyakit dasarnya. c.

Menghambat perburukan (progression) fungsi ginjal Faktor utama penyebab perburukan fungsi ginjal adalah terjadinya hiperfiltrasi glomerulus. Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltrasi glomerulus ini adalah pembatasan asupan protein. Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG≤ 60 ml/menit, sedangkan di atas nilai tersebut pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,60,8/kgBB/hari, yang 0,35-0,50 gram diantaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari, dibutuhkan pemantauan yang teratur terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat ditingkatkan. Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tetapi dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutrama diekskresikan melalui ginjal. Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion hidrogen, posfat, sulfat dan ion anorganik lain juga diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein pada pasien penyakit ginjal kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Dengan demikian, pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik. Masalah penting lain adalah asupan protein berlebih akan meningkatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan

Universitas Sumatera Utara

intraglomerulus (intraglomerulus hyperfiltration), yang akan meningkatkan progresifitas pemburukan fungsi ginjal. d.

Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting, karena 40-45% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskular adalah pengendalian diabetes, pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara keseluruhan.

e.

Pencegahan dan terapi terhadap komplikasi Penyakit

ginjal

kronik

mengakibatkan

berbagai

komplikasi

yang

manifestasinya sesuai dengan derajat penurunan fungsi ginjal yang terjadi. Komplikasi penyakit ginjal kronik dapat dilihat pada Tabel 2.6 di bawah ini. Tabel 2.6 Komplikasi Penyakit Ginjal Kronik Stage Penjelasan LFG (ml/menit) 1 LFG normal ≥ 90 2 Penurunan LFG 60 – 89 ringan 3 Penurunan LFG 30 – 59 sedang

4

Penurunan LFG 15 – 29 berat

5

Gagal ginjal

< 15

Komplikasi _ Tekanan darah mulai meningkat - Hiperfosfatemia - Hipokalsemia - Anemia - Hiperparatiroid - Hipertensi - Hiperchomosistinemia - Malnutrisi - Asidosis metabolik - Cenderung hiperkalemia - Dislipidemia - Gagal jantung - Uremia

Universitas Sumatera Utara

f.

Terapi pengganti Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit ginjal kronik, yaitu pada LFG kurang dari 15ml/menit. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialysis dan transplantasi ginjal (Sudoyo, 2007).

Universitas Sumatera Utara

BAB III PENATALAKSANAAN UMUM

3.1 Identitas Pasien Nama

:S

Nomor MR

: 00.91.58.76

Umur

: 63 tahun 0 bulan 19 hari

Jenis Kelamin

: Laki-laki

Tanggal Lahir

: 25 Maret 1951

Agama

: Islam

Berat Badan

: 47 kg

Tinggi Badan

: 163 cm

Ruangan

: XXI Penyakit Dalam Pria/ Asoka I

Pembayaran

: Non PBI – JKN Kelas III

Tanggal Masuk

: 13 April 2014 pukul 19.42 WIB

3.2 Ringkasan Pada Waktu Pasien Masuk RSUD Dr.Pirngadi Medan Pasien masuk ke RSUD Dr.Pirngadi melalui instalasi gawat darurat (IGD), pada tanggal 13 April 2014 pukul 19.42 WIB yang kemudian dirujuk ke Rawat Inap Asoka I, ruang XXI Penyakit Dalam Pria. Pasien datang dengan keluhan nyeri ulu hati, mual, muntah, BAB sedikit dan jarang yang dirasakan sejak 2 bulan ini. Isi muntahan adalah makanan dan minuman yang dikonsumsi. Pasien merasa BAK sedikit, warnanya jernih tetapi tidak kuning. Pasien diketahui memiliki riwayat penyakit diabetes melitus dalam 15 tahun terakhir dan penyakit hipertensi dalam 2 bulan terakhir ini, dengan kadar gula darah (KGD) pernah mencapai 500

Universitas Sumatera Utara

mg/dl dan tekanan darah sistolik tertinggi pernah mencapai 180 mmHg. Namun pasien tidak melakukan kontrol dan tidak minum obat dengan teratur. Hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan yaitu : Sensorium

: Compos Mentis (sadar penuh)

Tekanan darah (TD)

: 110/70 mmHg

Heart Rate (HR)

: 88 kali/menit

Respiratory Rate (RR)

: 24 kali/menit

Temperatur (T)

: 36,50C

3.3 Pemeriksaan Selama dirawat di RSUD Dr.Pirngadi, pasien menjalani beberapa pemeriksaan, seperti pemeriksaan fisik, beberapa pemeriksaan laboratorium patologi klinik seperti pemeriksaan hematologi, urin rutin, kimia klinik seperti metabolisme karbohidrat, fungsi hati, fungsi ginjal, elektrolit dan pemeriksaan penunjang yakni USG (Ultrasonografi) ginjal dan foto thorax. 3.3.1 Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik pasien dilakukan oleh dokter dan perawat setiap harinya. Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui keadaan pasien, melihat adanya perkembangan atau kemunduran setelah pemberian terapi. Hasil pemeriksaan fisik yang dilakukan dapat dilihat pada tabel 3.1.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 3.1 Hasil Pemeriksaan Fisik Pasien

Tanggal pemeriksaan

JENIS PEMERIKSAAN Objektif (O)

Subjek (S) Keadaan Umum

BP ( mmHg)

RR HR ( x/menit ) ( x/menit )

T 0 ( C)

13 April 2014

Mual, muntah (+)

110/70

24

88

36,50C

14 April 2014

Mual dan muntah (+), BAB (-) BAB (+) sedikit, Muntah (-) BAB (-) sedikit Mual

100/60

24

78

36,40C

120/70

24

76

36,40C

120/70

20

76

36,40C

120/70

24

80

36,40C

Mual, muntah (+) Mual, muntah (+) Mual, muntah (+) Mual, muntah (+) BAB 1 hari ini belum

120/70

24

80

36,30C

140/80

20

72

35,20C

140/80

24

72

36,50C

140/80

24

72

36,50C

130/80

24

84

36,00C

15 April 2014

16 April 2014 17 April 2014 18 April 2014 19 Mei 2014 20 April 2014 21 April 2014 22 April 2014

Lain-Lain

GDS= 172 mg/dL

GDS= 257 mg/dL

GDP= 98 mg/dL

GDS= 144 mg/dL

Keterangan: RR = Respiration Rate ; HR = Heart Rate ; T = Temperature ; BP = Blood Pressure 3.3.2 Pemeriksaan Patologi Klinik dan Penunjang Selama dirawat di RSUD Dr.Pirngadi, pasien telah menjalani beberapa pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan laboratorium patologi klinik, pemeriksaan foto thoraks dan USG ginjal.

Universitas Sumatera Utara

a.

Pemeriksaan Laboratorium Patologi Klinik Hasil pemeriksaan laboratorium patologi klinik I (tgl 13 April 2014), II

(tgl 15 April 2014) dan III (tgl 21 April 2014) ditunjukkan pada tabel di bawah ini. Tabel 3.2 Hasil Pemeriksaan Patologi Klinik I (tanggal 13 April 2014) Jenis Pemeriksaan Hematologi: WBC RBC HGB HCT MCV MCH MCHC PLT RDW-CV Kimia Klinik Metabolisme Karbohidrat: Glukosa Adrandom Hati: SGOT SGPT Ginjal: Ureum Creatinin

Hasil

Nilai Normal

7600 3,95* 10,7* 30,6* 77,5* 27,1 35,0 270000 14,3

4000 - 10000 uL 4,5 - 5,5 10ˆ6/uL 13 - 16 gr/dl 39,0 - 48,0% 80,0 – 97,0 fL 27,0 – 33,7 pg 31,5 – 35,0 dL 150000 – 440000 uL 10,0 – 15,0 %

158

< 140 mg/dl

17 10

0 – 40 U/I 0 – 40 U/I

149 6,37

10 – 50 mg/dl 0,6 – 1,2 mg/dl

CKMB Elektrolit: Natrium Kalium Chlorida

21

< 24 U/I

121* 3,2* 90*

136 – 155 mmol/dl 3,5 – 5,5 mmol/dl 95 – 103 mmol/dl

Tabel 3.3 Hasil Pemeriksaan Patologi Klinik II (tanggal 15 April 2014) Jenis Pemeriksaan Urin Rutin: Warna Kekeruhan Protein Reduksi pH

Hasil

Nilai Normal

Kuning Jernih Negatif Negatif 6,0

Kuning Jernih Negatif Negatif 4,6 – 8,0

Universitas Sumatera Utara

Berat Jenis Metabolisme Karbohidrat: Gula Puasa 2 jam PP HbA1C

1,005

1,001 – 1,035

123 185 7,6

60 – 110 mg/dl < 140 mg/dl < 6,0 %

Tabel 3.4 Hasil Pemeriksaan Patologi Klinik III (tanggal 21 April 2014) Jenis Pemeriksaan Kimia Klinik Hati: SGOT SGPT Ginjal: Ureum Kreatinin

Hasil

Nilai Normal

12 7

0 – 40 U/I 0 – 40 U/I

68 4,17

10 – 50 mg/dl 0,6 – 1,2 mg/dl

Keterangan : - Tanda bintang : nilai di bawah normal - Warna merah : nilai di atas normal b. Pemeriksaan Penunjang Dilakukan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan foto thorax, pemeriksaan USG upper lower abdomen. Tabel 3.5 Hasil Pemeriksaan Foto Thorax Pada Tanggal 14 April 2014 Tanggal Uraian Hasil Pemeriksaan 14 April Sinus costophrenicus kanan/kiri lancip, 2014 Diaphragma kanan/kiri baik Jantung bentuk dan ukuran baik, CTR < 50%, Corakan bronkovaskuler kedua paru baik, tidak tampak infiltrat dan aktif spesifik, tidak tampak infiltrat, konsolidasi dan modul opaque di paru – paru kanan/kiri, tulang – tulang costa kanan/kiri intact.

-

Kesimpulan Radiologis Tidak tampak kelainan radiologis pada cor dan pulmo

Hasil Pemeriksaan USG Pada tanggal 15 April 2014 dilakukan pemeriksaan terhadap pasien yaitu

pemeriksaaan USG upper lower abdomen dengan hasil kedua ginjal mengecil dan pasien mengalami CKD bilateral.

Universitas Sumatera Utara

3.4 Terapi Selama dirawat di RSUD Dr Pirngadi, pasien menerima obat-obatan sesuai dengan daftar obat yang tercantum dalam Formularium Nasional. Adapun terapi yang diberikan selama di rawat inap di ruangan Asoka I adalah terapi diet 2100 kkal + 48 gr protein dan terapi obat yang diberikan kepada pasien dapat dilihat pada Tabel 3.6 berikut ini.

Universitas Sumatera Utara

Tabel 3.6 Daftar Obat yang Diresepkan Dokter Kepada Pasien Selama Rawat Inap No

Jenis Obat

Sediaan Bentuk

Dosis Sehari

Rute

Kekuatan

Tanggal (April 2014) 13

14

15

16

17

18

19

20

21

22

1

IVFD NaCl 0,9%

Infus

0,9%

20 gtt/menit

IV





















2

Metoclopramid

Injeksi

10 mg/amp

1 amp/8 jam

IV





















3

Omeprazole

Kapsul

20 mg

2 x 1 kapsul

PO



4

Ranitidin

Injeksi

50 mg

1 amp/12 jam IV



















5

Dulcolax

Supp

10 mg

1 x 1 supp (malam)

















Rektal

Universitas Sumatera Utara

BAB IV PEMBAHASAN

Pasien masuk ke RSUD Dr. Pirngadi melalui Instalasi Gawat Darurat (IGD), pada tanggal 13 April 2014 pukul 19.42 WIB yang kemudian dirujuk ke Rawat Inap Asoka I ruang XXI Penyakit Dalam Pria. Pasien datang dengan keluhan nyeri ulu hati, mual, muntah, BAB sedikit dan jarang yang dirasakan sejak 2 bulan ini. Isi muntahan adalah makanan dan minuman yang dikonsumsi. Pasien merasa BAK sedikit, warnanya jernih tetapi tidak kuning. Pasien diketahui memiliki riwayat penyakit diabetes mellitus dalam 15 tahun terakhir dan penyakit hipertensi dalam 2 bulan terakhir ini, dengan kadar gula darah (KGD) pernah mencapai 500 mg/dl dan tekanan darah sistolik tertinggi pernah mencapai 180 mmHg. Namun pasien tidak melakukan kontrol dan tidak minum obat dengan teratur. Selanjutnya, pasien menjalani rawat inap pada tanggal 13 April 2014. Selama dirawat di RSUD Dr. Pirngadi, pasien menjalani beberapa pemeriksaan, seperti pemeriksaan fisik, beberapa pemeriksaan laboratorium patologi klinik seperti pemeriksaan darah hematolgi, urin rutin, kimia klinik dan pemeriksaan penunjang yakni USG (Ultrasonografi) ginjal dan foto thorax. Penulis melakukan pemantauan terapi obat, terapi diet, konseling pasien untuk meningkatkan kepatuhan pasien terhadap terapi yang mulai dari tanggal 13 April sampai tanggal 22 April 2014. Pemantauan terapi obat dilakukan untuk melihat apakah penggunaan obat untuk terapi pasien diberikan secara

Universitas Sumatera Utara

rasional. Rasionalitas penggunaan obat meliputi 5 R + 1 W yaitu Tepat Pasien (Right Patient), Tepat Indikasi (Right Indication), Tepat Obat (Right Medication ), Tepat Dosis dan Waktu Pemberian (Right Dose and Time), Tepat Cara Pemberian (Right Route) dan Waspada terhadap Efek Samping. Pemantauan terapi obat dilakukan setiap hari sesuai dengan obat yang diberikan. Penyampaian informasi penting tentang obat disampaikan secara langsung kepada pasien atau keluarganya untuk meningkatkan pemahaman pasien mengenai obat.

4.1 Pembahasan Tanggal 13 April 2014 Sampai 22 April 2014 Pada tanggal 13 April 2014 pasien didiagnosa Diabetes Melitus Tipe II + CKD stage V ec. DN. Pemeriksaan objektif yang dilakukan adalah sensorium : compos mentis (CM), tekanan darah (TD): 110/70 mmHg, denyut nadi (HR): 88x/menit, pernafasan (RR): 24x/menit serta temparatur: 36,5oC. Pasien diberikan terapi berupa terapi diet rendah kalori dan protein dan terapi obatobatan yang dapat dilihat pada Tabel 4.1. Tabel 4.1 Daftar Obat yang Digunakan Pada Tanggal 13 April s/d 22 April 2014 Tanggal

Jenis Obat

13 April s/d 22 April 2014

NaCl 0,9% Metoklopramid Omeprazole Ranitidin Dulcolax

Sediaan Bentuk Kekuatan Infus 0,9% Injeksi 10mg/amp Kapsul 20 mg Injeksi 50mg/amp Supp 10 mg

Dosis Sehari

Rute

20 gtt/mnt 1 amp/8 jam 2 x 1 kapsul 1 amp/12 jam 1 x shri (malam)

IV IV PO IV Rektal

Universitas Sumatera Utara

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa dokter hanya meresepkan obat untuk menghilangkan gejala yang ditimbulkan dari penyakit yang diderita pasien tetapi tidak pada penyakit dasarnya yaitu diabetes melitus. Pasien memiliki riwayat diabetes melitus selama 15 tahun. Dokter juga tidak memberikan obat anemia kepada pasien. Anemia disebabkan karena kurangnya produksi eritropoeitin dan kurangnya zat besi, akibat dari penyakit gagal ginjal kronik yang dialami pasien. Untuk itu,seharusnya dokter memberikan obat antidiabetik oral atau insulin dan Erythropoiesis-Stimulating Agents dan/ atau preparat besi (Fe). Dan untuk menghambat perburukan fungsi ginjal, dokter membatasi asupan protein. 4.1.1 Pengkajian Tepat Pasien Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik awal pasien masuk (tabel 3.1), pasien mengeluh mual, muntah, BAK dan BAB sedikit, kulit pucat, tubuh terlihat lemas, nafsu makan berkurang. Kadar kreatinin adalah 6,37 mg/dl, nilai ini diatas nilai normal. Menurut rumus Cockcroft-Gault, LFG yang diperoleh adalah 7,89 ml/menit, jika dihitung dengan berat badan ideal,nilai LFG yang diperoleh adalah 9,51 ml/menit. Kedua nilai tersebut kurang dari 15 ml/menit, maka dikatagorikan gagal ginjal terminal atau gagal ginjal stage V dengan komplikasi uremia, hal ini dapat dilihat dari hasil pemeriksaan ureum dengan nilai diatas normal yaitu 149 mg/dl (Sudoyo, 2007). Dari Tabel 3.1 halaman 21 dan hasil pemeriksaan patologi klinik, terlihat bahwa kadar glukosa darah pada pasien di atas nilai normal. Pasien mempunyai riwayat diabetes melitus selama 15 tahun. Dan pasien tidak minum obat secara teratur, hal tersebut

Universitas Sumatera Utara

dapat dilihat pada Tabel 3.3 halaman 22, nilai HbA1C diatas nilai normal. Hasil pemeriksaan hematologi menunjukkan pasien mengalami anemia mikrositik normokrom, hal ini di tandai dengan nilai MCV dibawah nilai normal dan nilai MCH dalam batas normal (Kemenkes, 2011). Dokter mendiagnosa pasien menderita Diabetes Mellitus Tipe II + CKD Stage V et causal DN. Jadi, diagnosa dokter kurang tepat pasien, karena dokter tidak mendiagnosa adanya anemia mikrositik normokrom. 4.1.2

Pengkajian Tepat Indikasi Terapi obat yang diresepkan dokter yakni infus NaCl 0,9%, injeksi

metoklopramid, tablet omeprazole, injeksi ranitidin dan dulcolax suppositoria. Saat hari pertama pasien masuk IGD, pasien diberi infus NaCl 0,9% karena pasien tampak lemas dan berdasarkan hasil laboratorium, terjadi ketidakseimbangan

elektrolit

pada

tubuh

pasien.

Infus

NaCl

0,9%

diindikasikan untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit pada kondisi dehidrasi, mengatasi kehilangan cairan ekstraseluler abnormal yang akut, mengembalikan volume cairan tubuh yang hilang dan berperan penting pada regulasi tekanan osmotik. Pemberian Infus NaCl 0,9% sudah tepat indikasi (Tan dan Rahardja, 2002). Pasien juga merasa mual dan muntah, oleh karena itu dokter memberikan metoklopramid. Obat ini merupakan agen antiemetik sentral kuat berdasarkan

blokade

reseptor

dopamin

di

CTZ.

Oleh

karena

itu,

metoklopramid digunakan pada semua jenis mual dan muntah. Obat ini berkhasiat

memperkuat

motilitas

dan

pengosongan

lambung

dengan

Universitas Sumatera Utara

menstimulasi saraf-saraf kolinergik melalui sifat antagonis pada reseptor dopamin di sistem saraf pusat dan perifer, serta kerja langsung pada otot polos. Pemberian metoklopramid sudah tepat indikasi (Tjay Tan dan Rahardja, 2002). Pada tanggal 13 April 2014, pasien masuk IGD dengan keluhan nyeri ulu hati, mual dan muntah, maka dokter mendiagnosa pasien menderita gastritis dan dokter memberikan omeprazole. Pemberian omeprazole sudah tepat indikasi untuk mencegah gangguan lambung seperti gastroesophageal reflux disesase (GERD), tukak duodenum, tukak lambung. Obat ini merupakan obat golongan PPI (Proton Pump Inhibitor) yang bekerja dengan menghambat pompa proton dalam sel parietal lambung (Tan dan Rahardja, 2007). Pemberian omeprazole sudah tepat indikasi. Pada hari ke dua, tanggal 14 April 2014, dokter mengganti omepazole kapsul dengan ranitidin injeksi. Pemberian ranitidin injeksi sudah tepat indikasi karena pasien memiliki gangguan pada lambung sebagai akibat dari penyakit diabetes melitus yang di derita tetapi penggunaan ranitidin harus di pantau karena ranitidin dapat meningkatkan penurunan fungsi ginjal. Pada tanggal 14 April 2014, dokter memberikan dulcolax suppositoria karena pasien belum BAB. Pemberian dulcolax suppositoria diindikasikan untuk pasien yang menderita konstipasi dengan daya kerja sebagai laksatif yang bekerja lokal dari kelompok turunan difenil metan. Sebagai laksatif perangsang dulcolax merangsang gerakan peristaltik usus besar setelah hidrolisis dalam usus besar dan meningkatkan akumulasi air dan elektrolit

Universitas Sumatera Utara

dalam lumen usus besar (Anonim, 2014). Pemberian dulcolax supositoria sudah tepat indikasi. 4.1.3

Pengkajian Tepat Obat Infus NaCl 0,9% diindikasikan untuk mengembalikan keseimbangan

elektrolit pada kondisi dehidrasi, mengatasi kehilangan cairan ekstraseluler abnormal yang akut, mengembalikan volume cairan tubuh yang hilang dan berperan penting pada regulasi tekanan osmotik. Pemberian infus NaCl 0,9% sudah tepat obat. Metoklopramid berkhasiat sebagai anti emetika kuat berdasarkan blokade reseptor dopamin di CTZ. Penggunaan obat ini berdasarkan keluhan yang dirasakan oleh pasien yaitu muntah. Sehingga pemberian metoklopramid sudah tepat obat (Tan dan Rahardja, 2002). Pada hari pertama, tanggal 13 April 2014. Pasien mengeluh nyeri ulu hati, mual dan muntah, maka dokter meresepkan omeprazole. Pemberian omeprazole sudah tepat obat untuk mencegah gangguan lambung. Obat ini merupakan obat golongan PPI (Proton Pump Inhibitor) yang bekerja dengan menghambat pompa proton dalam sel parietal lambung (Tan dan Rahardja, 2007). Pada hari kedua tanggal 14 April 2014, dokter meresepkan ranitidin injeksi untuk menggantikan penggunaan omeprazole kapsul. Pergantian bentuk sediaan oral ke injeksi, dimaksudkan karena pasien tidak bisa menerima bentuk sediaan oral dikarenakan pasien mual dan muntah. Pemberian ranitidin injeksi sudah tepat obat, tetapi penggunaanya harus di pantau karena ranitidin injeksi

Universitas Sumatera Utara

memimbulkan efek samping pada gastrointestisinal seperti konstipasi, mual, muntah (Mims, 2013). Pasien mengeluh belum BAB, pemberian dulcolax suppositoria diindikasikan untuk pasien yang menderita konstipasi dengan daya kerja sebagai laksatif yang bekerja lokal dari kelompok turunan difenil metan. Sebagai laksatif perangsang dulcolax merangsang gerakan peristaltik usus besar setelah hidrolisis dalam usus besar dan meningkatkan akumulasi air dan elektrolit dalam lumen usus besar (Anonim, 2014). Pemberian dulcolax supositoria sudah tepat obat. 4.1.4 Pengkajian Tepat Dosis Dan Waktu Pemberian Pasien diberi IVFD NaCl 0,9% dengan volume sediaan 500 ml/botol, dosis yang diberikan adalah 20 tetes/menit secara IV (intra vena). Umumnya tetesan atau kecepatan mengalir adalah 2 – 3 ml/menit atau sesuai kebutuhan (Ansel, 1989). Pemberian infus NaCl 0,9% digunakan untuk mencegah dan memperbaiki

ketidakseimbangan

elektrolit

pasien

dikarenakan

hasil

pemeriksaan elektrolit dibawah normal dan keadaan pasien juga lemah, maka pemberian NaCl 0,9% sebagai pertimbangan terapi, tetapi diperlukan perhatian penuh, yaitu pasien harus membatasi konsumsi garam. Pemberian NaCl 0,9% sudah tepat dosis dan waktu pemberian. Metoklopramid diberikan dalam bentuk injeksi dengan kekuatan sediaan 10 mg/ampul. Dosis lazim untuk dewasa umumnya yaitu 10 mg 3 kali sehari (Mims, 2013), tetapi untuk pasien gagal ginjal dengan bersihan kreatinin < 40 ml/menit adalah 5 mg setiap 6 jam (Anonim, 2012). Berdasarkan dosis

Universitas Sumatera Utara

yang diresepkan dokter adalah 10 mg tiap 8 jam pada pagi, siang dan malam hari, maka pemberian metroklopramid injeksi tidak tepat dosis dan tidak tepat waktu pemberian. Omeprazole diberikan dalam bentuk kapsul dengan kekuatan sediaan 20 mg/kapsul. Dosis lazim untuk dewasa yakni 20 – 40 mg sehari (Mims, 2013). Berdasarkan dosis yang diberikan dokter 2 x sehari 20 mg pada pagi dan malam hari, maka pemberian dosis omeprazole sudah tepat dosis dan waktu pemberian. Ranitidin diberikan dalam bentuk injeksi dengan kekuatan sediaan 50 mg/ampul. Dosis lazim untuk pasien gagal ginjal dengan bersihan kreatinin < 50 ml/menit adalah 50 mg/24 jam (Anonim, 2012). Dosis yang diresepkan dokter adalah 50 mg setiap 12 jam pada pagi dan malam hari, maka pemberian ranitidin injeksi tidak tepat dosis dan waktu pemberian. Pemberian ranitidin dengan dosis yang berlebihan dapat meningkatkan bioavaibilitas di dalam darah dikarenakan penurunan fungsi ginjal sehingga obat tidak seluruhnya di ekskresikan, dan hal tersebut dapat berbahaya bagi pasien (Dewoto, 2009). Dulcolax diberikan dalam bentuk suppositoria dengan kekuatan 10 mg. Dosis lazim untuk dewasa adalah satu kali sehari pada pagi hari (Anonim, 2014). Dosis yang diresepkan dokter adalah satu kali sehari pada malam hari, maka pemberian dulcolax suppositoria sudah tepat dosis tetapi tidak tepat waktu pemberian.

Universitas Sumatera Utara

4.1.5 Pengkajian Tepat Cara Pemberian Pasien diberi IVFD NaCl 0,9% dengan volume sediaan 500 ml/botol secara intra vena yaitu melalui pembuluh darah vena di tangan (Ansel, 1989). Pemberian IVFD NaCl 0,9% sudah tepat cara pemberiannya. Metoklopramid diberikan secara IV (intra vena) dalam bentuk injeksi dengan kekuatan sediaan 10 mg/ampul. Pemberian metoklopramid injeksi sudah tepat pemberiannya. Omeprazole diberikan secara peroral dalam bentuk kapsul dengan kekuatan sediaan 20 mg/tablet. Pemberian omeprazole tablet sudah tepat cara pemberiannya. Ranitidin diberikan secara IV (intra vena) dalam bentuk injeksi dengan kekuatan sediaan 50 mg/ampul. Pemberian ranitidin injeksi sudah tepat cara pemberiannya. Dulcolax diberikan dalam bentuk suppositoria dengan kekuatan 10 mg secara intra rektal yaitu dengan memasukkan suppositoria melalui lubang dubur (Ansel, 1989). Pemberian dulcolax suppositoria sudah tepat cara pemberiannya. 4.1.6 Pengkajian Efek Samping Setiap obat memiliki efek samping dan interaksi obat yang tidak diinginkan dalam terapi sehingga pengkajian terhadap efek samping dan interaksi obat oleh apoteker menjadi sangat penting untuk membantu dalam mengoptimalkan terapi pasien. Efek samping dan interaksi obat dari obat yang digunakan dalam terapi dapat dilihat pada Tabel 4.2.

Universitas Sumatera Utara

Dari tabel di bawah ini dapat dilihat bahwa penggunaan ranitidin tidak tepat karena efek samping dari ranitidin dapat memperparah gejala mual, muntah dari pasien. Tabel 4.2 Pengkajian Waspada Efek Samping Tanggal 13 April s/d 22 April 2014 No Nama Obat 1 NaCl 0,9% Infus 2 Metoklopramid Injeksi 3 Omeprazole Kapsul 4

Ranitidin Injeksi

5

Dulcolax

Efek Samping Timbulnya panas, infeksi pada tempat penyuntikan, trombosis vena dari tempat penyuntikan Mengantuk, lelah, lemas, gelisah, lesu, diare, urtikaria, mulut kering (Mims, 2013). Mual, sakit kepala, diare, konstipasi, perut kembung, bisa terjadi gangguan kulit seperti ruam kulit, urtikaria, dan pruritus (Mims, 2013). Sakit kepala, mual, muntah, pusing mengantuk, insomnia, tidak enak badan, vertigo, konstipasi, depresi, arimia dan reaksi hipersensitivitas (Mims, 2013) Rasa tidak enak pada perut termasuk kram dan sakit perut dan diare (Anonim, 2014)

4.1.7 Rekomendasi Untuk Dokter Beberapa rekomendasi yang dapat diberikan kepada dokter antara lain: a.

Memberitahukan

dokter untuk

memberikan

terapi

Erythropoiesis-

Stimulating Agents (seperti Epoetin alfa, Darbepoetin alfa) dan/ atau preparat besi (Fe) (seperti Ferrous Sulfate, Ferrous Fumarate, Iron Dextran, Iron Sucrose). Dokter seharusnya meresepkan obat anti diabetik oral atau insulin b.

Sebaiknya dosis metoklopramid injeksi diberikan 5 mg setiap 6 jam.

c.

Sebaiknya dulcolax diberikan pada pagi hari dan lakukan pemantauan terhadap penggunaan dulcolax karena dulcolax tidak boleh diberikan setiap hari dalam waktu yang lama.

Universitas Sumatera Utara

d.

Pemberian ranitidin injeksi sebaiknya di pantau atau mengantikan ranitidin injeksi dengan obat yang lebih aman bagi ginjal misalnya omeprazole injeksi.

4.1.8 Rekomendasi Untuk Perawat Beberapa rekomendasi yang diberikan kepada perawat yaitu: a. Pemberian obat sebaiknya diberikan tepat waktu, baik jenis obat maupun waktu pemberiannya kepada pasien. b. Obat-obatan disimpan sesuai dengan persyaratan kondisi penyimpanannya, karena penyimpanan pada umumnya berpengaruh pada stabilitas sediaan, misalnya infus NaCl 0,9 %, ampul ranitidin dan metoklopramid, kapsul omeprazole sebaiknya disimpan pada suhu kamar 25oC, hindari obat dari panas dan cahaya matahari langsung. Dulcolax suppositoria disimpan dalam lemari pendingin dengan suhu 15 – 25oC c. Cara penanganan sampah/ wadah obat yang seperti ampul, botol infus dan spuit harus disesuaikan dengan tempat penampungan wadah bekas pakai dan dibuang pada tempat pembuangan sampah medis rumah sakit.

Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1

Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh terhadap studi kasus yang dilakukan RSUD

Dr. Pirngadi Medan adalah: 1.

Pengkajian rasionalitas penggunaan obat meliputi 5 R + 1 W yaitu Tepat Pasien (Right Patient), Tepat Indikasi (Right Indication), Tepat Obat (Right Medication ), Tepat Dosis dan Waktu Pemberian (Right Dose and Time), Tepat Cara Pemberian (Right Route) dan Waspada terhadap Efek Samping : a. Pasien didiagnosa Diabetes Mellitus Tipe II + CKD stage V ec DN. Diagnosa dokter kurang tepat karena dokter tidak mendiagnosa pasien mengalami anemia. b. Pemberian IVFD NaCl 0,9%, metoklopramid injeksi, omeprazole kapsul, ranitidin injeksi dan dulcolax suppositoria sudah tepat indikasi, tetapi penggunaan ranitidin injeksi harus di pantau. c. Pemberian IVFD NaCl 0,9%, metoklopramid injeksi, omeprazole kapsul, ranitidin injeksi dan dulcolax suppositoria sudah tepat obat, tetapi penggunaan ranitidin injeksi harus di pantau. d. Pemberian IVFD NaCl 0,9% dan omeprazole kapsul sudah tepat dosis dan waktu pemberian. Pemberian metoklopramid injeksi dan ranitidin injeksi tidak tepat dosis dan waktu pemberian. Sedangkan pemberian

Universitas Sumatera Utara

dulcolax suppositoria sudah tepat dosis tetapi tidak tepat waktu pemberian. e. Pemberian IVFD NaCl 0,9%, metoklopramid injeksi, omeprazole kapsul, ranitidin injeksi dan dulcolax suppositoria sudah tepat cara pemberian. 5.2 Saran Saran yang diberikan terkait penilaian rasionalitas penggunaan obat adalah : a.

Apoteker

menyarankan

kepada

dokter

agar

memberikan

terapi

Erythropoiesis-Stimulating Agents (seperti Epoetin alfa, Darbepoetin alfa) dan/ atau preparat besi (Fe) (seperti Ferrous Sulfate, Ferrous Fumarate, Iron Dextran, Iron Sucrose). Dokter seharusnya meresepkan obat anti diabetik oral atau insulin. b. Sebaiknya dosis metoklopramid injeksi diberikan 5 mg setiap 6 jam. c.

Sebaiknya dulcolax diberikan pada pagi hari dan lakukan pemantauan terhadap penggunaan dulcolax karena dulcolax tidak boleh diberikan setiap hari dalam waktu yang lama.

d.

Pemberian ranitidin injeksi sebaiknya 50 mg/24 jam atau mengantikan ranitidin injeksi dengan obat yang lebih aman bagi ginjal misalnya omeprazole injeksi.

Universitas Sumatera Utara

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. (2012). Renal Dosing: Old Guidelines. http://globalrph.com/renaldosing2.htm. Diakses tanggal 22 Mei 2014. Anonim. (2014). Dulcolax Suppositoria. http://www.obatinfo.com/2013/03/dulcolax-supositoria.html. tanggal 22 Mei 2014.

Diakses

Ansel, Howard. C. (1989). Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi keempat. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Halaman 402. Darmono. (1996). Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ketiga. Jilid kesatu. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Halaman 593. Depkes RI. (2004). Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1197/MENKES/ SK/X/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit. Depkes RI. (2005). Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Diabetes Mellitus. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. Direktorat Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Halaman 7, 26-27, 20-21, 30-32, 35-36. Dewoto, H. (2009). Histamin dan Antialergi. Dalam: Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI. Halaman 282. Kemenkes RI. (2011). Pedoman Interpretasi Data Klinik. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik. Direktorat Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Halaman 13-14. Kenward, R dan Tan, C.K. (2003). Penggunaan Obat pada Gangguan Ginjal dalam Farmasi Klinis. Jakara: PT.Gramedia. Halaman 137-138 Pearce, E.V. (2006). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Halaman 248. Roesli, R., Susalit, E., dan Djafaar, J. (2001). Nefropati Diabetik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ketiga. Jilid kedua. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Halaman 356.

Universitas Sumatera Utara

Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi I., Simadibrata, K.M., dan Setiati, S. (2007). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi keempat. Jilid kesatu. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Halaman 505-512, 570-573, 604-606, 622-625, 641-644. Suhardjono., Lydia, A., Kapojos, E.J., dan Sidabutar, R.P. (2001). Gagal Ginjal Kronik. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ketiga. Jilid kedua. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Halaman 427. Sukandar, E.Y., Andrajati, R., Sigit, J.I., Adnyana, I.K., Setiadi, A.A.P., dan Kusnandar. (2009). Iso Farmakoterapi. Cetakan kedua. Jakarta: PT. ISFI Penerbitan. Halaman 26. Syaifuddin, H. (2006). Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan. Edisi ketiga. Jakarta: EGC. Halaman 235, 237. Tan, H.J., dan Rahardja, K. (2002). Obat-Obat Penting. Edisi kelima. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Halaman 254, 257, 693, 821, . Waspadji, S. (1996). Komplikasi Kronik Diabetes Melitus: Pengenalan dan Penanganannya. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ketiga. Jilid kesatu. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Halaman 597. www.mims.com

Universitas Sumatera Utara