MAKALAH SEMINAR KELAS PENGARUH BERBAGAI

Download UNTUK MENGENDALIKAN HAWAR DAUN BAKTERI (Xanthomonas oryzae pv. ... B. Bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae . ... E. Hasil Penelitian Jurna...

0 downloads 506 Views 333KB Size
MAKALAH SEMINAR KELAS

PENGARUH BERBAGAI PERLAKUAN UNTUK MENGENDALIKAN HAWAR DAUN BAKTERI (Xanthomonas oryzae pv. oryzae) TERBAWA BENIH SERTA MENINGKATKAN VIABILITAS DAN VIGOR BENIH PADI (Oryza sativa L.)

Disusun Oleh: Nama

:

Meilan Situmeang

NIM

:

10/302025/PN/12133

Dosen Pembimbing :

Ir. Setyastuti Purwanti M.Sc

Hari dan Tanggal Presentasi: Rabu, 18 Desember 2013

PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN

JURUSAN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2013 1

MAKALAH SEMINAR KELAS

PENGARUH BERBAGAI PERLAKUAN UNTUK MENGENDALIKAN HAWAR DAUN BAKTERI (Xanthomonas oryzae pv. oryzae) TERBAWA BENIH SERTA MENINGKATKAN VIABILITAS DAN VIGOR BENIH PADI (Oryza sativa L.) Disusun oleh: Nama

:

Meilan Situmeang

NIM

:

10/302025/PN/12133

Makalah ini telah disahkan dan diterima sebagai kelengkapan mata kuliah Seminar Kelas Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Menyetujui: Dosen Pembimbing

Tanda Tangan

Tanggal

Ir. Setyastuti Purwanti, M.Sc NIP. 195203021979032001

………………..

……………

………………..

……………

………………..

……………

Mengetahui: Komisi Seminar Jurusan Budidaya Pertanian

Dr. Rudi Hari Murti, S.P., M.P. NIP. 19700104 199412 1 001

Mengetahui: Ketua Jurusan Budidaya Pertanian

Dr. Ir. Taryono, M.Sc. NIP. 19601222 198603 1 002

2

DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan........................................................................................ i Daftar Isi …………………………………………………............................... i INTISARI.......................................................................................................... 1 I. PENDAHULUAN ………………………………………………….........

2

A. Latar Belakang ....................................................................................... 2 B. Tujuan .................................................................................................... 4 II. ISI …………………………………………................................................ 5 A. Padi varietas IR-64 dan Ciherang ......................................................... 5 B. Bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae .............................................

6

C. Bakterisida ..........................................................................................

7

D. Pengaruh Matriconditioning dan Matriconditioning plus pestisida dalam meningkatkan viabilitas dan vigor benih ...................................

8

E. Hasil Penelitian Jurnal............................................................................. 10 III. KESIMPULAN.......................................................................................... 15 DAFTAR PUSTAKA

3

PENGARUH BERBAGAI PERLAKUAN UNTUK MENGENDALIKAN HAWAR DAUN BAKTERI (Xanthomonas oryzae pv. oryzae) TERBAWA BENIH SERTA MENINGKATKAN VIABILITAS DAN VIGOR BENIH PADI (Oryza sativa L.) INTISARI Perlakuan benih merupakan bagian dari sistem produksi benih. Setelah benih dipanen dan diproses, benih biasanya diberikan perlakuan (seed treatment) untuk berbagai tujuan. Perlakuan benih bertujuan untuk menghilangkan sumber infeksi benih (disinfeksi) atau untuk melawan patogen tular benih dan hama, kemudian untuk perlindungan terhadap bibit ketika bibit muncul di permukaan tanah, serta untuk meningkatkan perkecambahan atau melindungi benih dari patogen dan hama. Hawar daun bakteri adalah penyakit penting dan umum terjadi di negara tropik dan subtropik, di lahan beririgasi dan sawah tadah hujan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jenis perlakuan yang efektif serta non toksik untuk mengendalikan bakteri terbawa benih, Xanthomonas oryzae pv. oryzae, penyebab hawar daun bakteri (HDB) serta dapat meningkatkan viabilitas dan vigor benih padi. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bakterisida sintetis (Agrept 20 WP (streptomycin sulfat 20%), Plantomycin 7 SP (streptomycin sulfat 7%), Nordox 56 WP (tembaga oksida 56%)), bakterisida nabati (minyak cengkeh berasal dari daun dengan bahan aktif eugenol 35% serta minyak serai wangi berasal dari daun dan batang dengan bahan aktif sitronella 35% diperoleh dari BALITTRO), dan arang sekam. Alat yang digunakan adalah autoclaf, pengaduk, gelas ukur, tabung reaksi, oven, dan germinator tipe IPB 73 - 2A/B. Penelitian ini menggunakan benih padi varietas Ciherang dan IR 64 dan terdiri atas enam taraf perlakuan yaitu P0 (kontrol), P1 (matriconditioning), P2 (Agrept 0.2%), P3 (minyak serai wangi 1%), P4 (matriconditioning plus Agrept 0.2%), dan P5 (matriconditioning plus minyak serai wangi 1%). Kesimpulan yang didapat yaitu perlakuan matriconditioning plus Agrept 0.2% atau plus minyak serai wangi 1% mampu meningkatkan mutu fisiologis dan patologis benih.

Kata kunci : perlakuan benih, hawar daun bakteri, bakteri Xanthomons oryzae pv. Oryzae.

4

I.

PENDAHULUAN

a. Latar Belakang Usaha yang ditempuh pemerintah dalam peningkatan produksi beras adalah dengan perbaikan mutu benih padi. Benih merupakan salah satu unsur paling esensial yang menentukan keberhasilan suatu pertanaman. Tanpa adanya benih padi bermutu, usaha peningkatan produksi beras tidak akan ada hasilnya. Mutu benih mencakup mutu genetis, fisik, fisiologis, dan patologis. Mutu genetis berkaitan dengan aspek keturunan dan varietas. Mutu fisik berkaitan dengan performasi atau keragaan fisik benih. Mutu fisiologis berhubungan dengan aspek metabolisme dalam benih. Mutu patologis berhubungan dengan infeksi penyakit terbawa benih (seedborne). Keberadaan patogen pada benih akan memberikan dampak yang meluas terhadap pertanaman di lapang bahkan mengakibatkan epidemi penyakit karena benih merupakan sumber penyebaran patogen (Ilyas, 2001). Pertanian di Indonesia yang merupakan daerah tropis dengan kondisi panas dan lembab, merupakan habitat yang optimum bagi beberapa jenis penyakit, utamanya penyakit yang mungkin tidak begitu berbahaya serangannya di negara sub-tropis. Sistem pertanian di Indonesia sangat dipengaruhi oleh penyakit yang disebabkan oleh bakteri (Semangun, 1991). Penyakit hawar daun bakteri (HDB) merupakan kendala utama pada seluruh sentra pertanian padi dunia seperti India, Thailand, Filipina, Jepang, Cina, dan Indonesia (Agarwal dan Sinclair, 1987). Penyakit ini lebih dikenal dengan sebutan penyakit kresek yang disebabkan oleh bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae. HDB dilaporkan dapat menyebabkan kehilangan hasil panen hingga 60% jika serangan yang terjadi sangat parah, khususnya pada kondisi yang lembab dan berangin kencang (Khaeruni, 2000). Di Indonesia, HDB pertama kali dilaporkan oleh Reitsman dan Schure pada tahun 1950. Selama kurun waktu 1997 hingga 2000 penyakit HDB paling banyak menimbulkan kerusakan terutama di sentra pertanaman padi di daerah Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah (Khaeruni, 2000). Tahun 2006 luas serangan penyakit HDB mencapai 74. 243 ha, 61 ha diantaranya puso (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, 2007). Serangan penyakit HDB dapat terjadi pada fase benih, bibit, tanaman muda, dan tanaman dewasa. Kerusakan akibat HDB meningkat seiring meluasnya pertanaman IR-64 yang tahan terhadap wereng batang coklat tetapi sangat rentan terhadap HDB.

5

Pengendalian HDB di Indonesia dewasa ini masih pada pengendalian setelah terjadi serangan di lapang. Pengendalian di lapang biasanya menggunakan bakterisida sintetis (pengendalian kimiawi) dalam jumlah yang sangat besar, sehingga menyebabkan peningkatan biaya produksi yang cukup signifikan (Sigee,1993). Tindakan preventif yang banyak dilakukan adalah dengan penggunaan varietas yang tahan (resisten). Tetapi pengendalian dengan menggunakan varietas yang resisten juga tidak selalu berhasil, mengingat bakteri X. oryzae pv. oryzae merupakan bakteri dengan adaptifitas yang tinggi. Bakteri ini mampu membentuk patotipe (strain) yang berbeda, sehingga suatu varietas yang tahan dapat pula terserang bila kondisi lingkungan memungkinkan. Perbedaan strain ini pula yang menyebabkan pengendalian HDB sulit dilakukan (Kadir, 2007). Beberapa penelitian yang mulai berkembang adalah pengendalian dengan agens hayati seperti menggunakan bakteri dari golongan Pseudomonas flourescence dan Bacillus sp. (Rahmilia, 2003). Pengendalian HDB yang merujuk kepada perlakuan benih, seperti pengendalian pada beberapa penyakit tanaman hortikultura, belum banyak dilakukan. Perlakuan benih pra tanam atau conditioning adalah sebuah perlakuan benih yang pada prinsipnya mempersiapkan benih berkecambah tetapi belum menampakkan struktur perkecambahannya. Conditioning yang efektif dan lebih mudah dilakukan adalah matriconditioning (Khan, 1990). Ilyas (2006) menyatakan, perlakuan matriconditioning pada beberapa tanaman hortikultura mampu meningkatkan daya berkecambah benih hingga 90%. Keserempakan tumbuh dan indeks vigor benih juga meningkat pada benih yang diberi perlakuan matriconditioning dibandingkan dengan benih yang tanpa perlakuan (kontrol). Perlakuan matriconditioning dewasa ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan viabilitas dan vigor benih saja, tetapi diintegrasikan dengan penambahan pestisida untuk mengendalikan penyakit terbawa benih. Benih hasil perlakuan ini tidak hanya memiliki viabilitas dan vigor yang tinggi tetapi juga bebas patogen terbawa benih. Perlakuan benih dengan matriconditioning dan penambahan fungisida terbukti mampu meningkatkan viabilitas dan vigor benih serta menurunkan tingkat kontaminasi Colletotricum capsici pada benih cabai (Suryani, 2003). Menurut Kardinan (2002), cengkeh (Syzgium aromatikum L.) dapat bekerja sebagai insektisida, fungisida, bakterisida, dan pemikat serangga yang banyak mengandung eugenol. Serai wangi (Andropogon nardus L.) dapat bekerja sebagai insektisida dan fungisida yang 6

mengandung bahan aktif atsiri yang terdiri atas senyawa sintral, sitronela, geraniol, mirsena, nerol, farnesol, metil heptenon, dan dipentena. Selanjutnya Ilyas et al. (2008b) menambahkan bahwa minyak serai wangi mempunyai daya hambat yang labih tinggi dalam menurunkan tingkat infeksi X. oryzae pv. oryzae dibandingkan dengan minyak cengkeh. Minyak serai wangi konsentrasi 1 % dan 5 % menunjukkan daya berkecambah, indeks vigor, dan kecepatan tumbuh yang lebih tinggi dibanding konsentrasi lainnya.

b. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jenis perlakuan yang efektif serta non toksik untuk mengendalikan bakteri Xanthomons oryzae pv. oryzae penyebab hawar daun bakteri (HDB) serta dapat meningkatkan viabilitas dan vigor benih padi.

7

II.

ISI DARI PENGARUH BERBAGAI PERLAKUAN

UNTUK MENGENDALIKAN HAWAR DAUN BAKTERI (Xanthomonas oryzae pv. oryzae) TERBAWA BENIH SERTA MENINGKATKAN VIABILITAS DAN VIGOR BENIH PADI (Oryza sativa L.) A. Padi Varietas IR-64 dan Ciherang Padi (Oryza sativa L.) merupakan tumbuhan golongan Poaceae, bersifat merumpun, memiliki daun berbentuk pita, batangnya bulat berongga, dan beruas-ruas. Tanaman ini diduga berasal dari daerah pegunungan Himalaya, India. Hal ini ditunjukkan dengan kesamaan sifat padi yang sekarang dengan sifat-sifat primitive padi yang terdapat di daerah tersebut (Suryanarayana, 1978). Varietas IR-64 dilepas tahun 1986 dan merupakan introduksi dari IRRI, Filipina. IR-64 disukai petani dalam kurun waktu yang cukup lama karena dapat ditanam pada kondisi sawah irigasi dataran rendah maupun pada kondisi lahan pasang-surut. Umur tanam varietas IR-64 relatif pendek (115 hari), tinggi tanaman 85 cm, anakan produktif sebanyak 25 batang, serta potensi hasil 5,0 ton/ha. IR-64 memiliki karakteristik bobot 1000 butir + 24 g, bentuk gabah yang panjang ramping, warna gabah kuning bersih, dan tekstur nasinya yang pulen. Karakteristik khusus yang dimiliki varietas IR-64 antara lain ketahanan terhadap beberapa hama seperti wereng coklat biotipe 1 dan 2, wereng hijau, dan penyakit yang disebabkan oleh virus seperti penyakit kerdil rumput. IR-64 cenderung rentan terhadap penyakit hawar daun bakteri dengan kehilangan hasil yang tinggi (Departemen Pertanian, 2000). Ciherang merupakan varietas padi yang dewasa ini pertanamannya meluas menggantikan IR-64. Varietas ini memiliki karakteristik yang hampir sama dengan IR-64 dengan keunggulankeunggulan yang lebih baik. Ciherang mulai dikenal petani sekitar tahun 2000, merupakan komoditas padi sawah yang cocok ditanam pada musim hujan dan kemarau. Jumlah anakan produktifnya mencapai 14 – 17 batang, tinggi tanaman 107 - 115 cm, umur tanam 116 -125 hari, dan potensi hasil 5 hingga 8,5 ton/ha. Varietas Ciherang memiliki bobot 1000 butir 28 g, bentuk gabah yang ramping dan berwarna kuning, serta struktur nasi yang pulen. Karakteristik khusus yang dimiliki Ciherang tetapi tidak dimiliki IR-64 adalah ketahanannya terhadap hama wereng coklat biotipe 2 dan 3. Ciherang juga memiliki ketahanan terhadap hawar daun bakteri, khususnya strain III dan IV. Ciherang cenderung 5 memiliki sifat yang lebih unggul dibanding IR-64 sehingga mudah diadaptasi petani (Departemen Pertanian, 2000). 8

B. Bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae Pertama dikenal dengan nama Xanthomonas campestris, Xanthomonas oryzae, Xanthomonas kresek, Xanthomonas campestris pv. oryzae hingga akhirnya diidentifikasi dengan nama Xanthomonas oryzae pv. oryzae. Bakteri ini merupakan bakteri golongan bracilicutes yang menyebabkan penyakit hawar daun bakteri (bacterial leaf blight, kresek disease). X. oryzae pv. oryzae memiliki inang cukup beragam yang kebanyakan adalah dari golongan Poaceae seperti Oryza sativa, Leersia spp., Laptochloa spp., Paspalum scrabiculatum, dan Zizania. Penyakit yang disebabkan bakteri ini menyebar hampir di seluruh wilayah di dunia terutama yang merupakan daerah sentra pertanaman padi meliputi Asia (Indonesia, Cina, Jepang, India, Thailand, Filipina), Amerika (USA, Meksiko), Afrika (Madagaskar, Nigeria, Senegal, Mali) dan Australia (Agarwal dan Sinclair, 1987). Bakteri X. oryzae pv. oryzae menginfeksi melalui hidatoda maupun stomata daun. Bakteri akan menyebar sistemik pada seluruh bagian tanaman dengan penampakan serangan di wilayah daun. Bakteri ini berkembang biak pada system vaskular, bermultiplikasi, kemudian dikeluarkan kembali melalui hidatoda dalam bentuk ooze bakteri. Penyebaran pada tanaman lain akan sangat cepat melalui gesekan antar daun, angin, dan air (percikan air hujan, banjir, dan dari saluran irigasi). Inokulum bakteri dapat hidup pada sisa tanaman seperti jerami, benih padi, tanaman volunter, dan pada beberapa jenis rumput (Suryanarayana, 1978). Gejala yang timbul pada tanaman muda disebut gejala kresek, sedangkan pada tanaman dewasa disebut hawar (IRRI, 2008). Bakteri X. oryzae pv.oryzae dapat terbawa benih, tetapi tidak dapat tertinggal di tanah (bukan bakteri tular tanah). Bakteri ini dapat bertahan hidup pada benih selama 7 hingga 8 bulan, tetapi meskipun terbawa benih, tingkat serangan pada fase benih dan perkecambahan akan sangat sulit terdeteksi. Ini dikarenakan bakteri berada pada fase dorman ketika masih berada pada benih. Gejala serangan bakteri ini biasanya terlihat ketika fase awal pembibitan, fase pemindahan bibit ke lapang dan pada fase pertumbuhan tanaman di lapang (tanaman dewasa) (Khaeruni, 2000). Pada benih, besar kemungkinan bakteri dapat terbawa benih ketika daun bendera sudah 6 terserang (menunjukkan gejala HDB) di pertanaman. Benih yang terserang akan menunjukkan pemudaran warna dan gejala bercak seperti terendam air. Bercak lebih terlihat pada benih muda yang masih berwarna hijau di pohon (Cottyn et al., 1994).

9

Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa X. oryzae pv. oryzae mampu membentuk strain yang berbeda-beda di tiap daerah yang menjadi lokasi serangannya. Di Indonesia sendiri dikenal beberapa strain yang sering menyerang antara lain strain III, IV, V, VI, VII, dan VIII. Dari strain-strain tersebut yang terkenal paling tinggi tingkat virulensinya adalah strain IV. Perbedaan strain inilah yang menyebabkan sulitnya pengendalian ketika serangannya meluas di lapang (Hifni et al., 1996). C. Bakterisida Untuk mengendalikan serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) selain pengendalian yang dilakukan di lapang, umumnya dilakukan tindakan preventif dengan perlakuan benih sebelum tanam. Tindakan ini jauh lebih efektif mengatasi serangan dibanding jika ditangani di lapang. Perlakuan benih yang umum digunakan adalah dengan menyelimuti benih menggunakan bahan kimia (Sigee, 1993). Beberapa bahan kimia seperti bakterisida, fungisida dan insektisida umumnya diberikan pada benih sebelum ditanam di lapang. Bakterisida, fungisida dan insektisida adalah suatu zat yang bersifat racun, menghambat pertumbuhan, mempengaruhi tingkah laku, penghambat makan, serta aktivitas lainnya yang dapat mempengaruhi OPT. Pengendalian hawar daun bakteri secara kimiawi dapat dilakukan dengan pelapisan benih padi menggunakan bleaching powder (100μg/ml) dan zinc sulfate (2%) (IRRI, 2008). Bakterisida sintetis yang umum digunakan untuk menghambat serangan bakteri adalah bakterisida Agrept, Plantomycin, Agrimycin dengan bahan aktif streptomycine (Extonet, 1995), Kasugamin (kasugamycin), Firestop (flumequin), S- 0208 (oxolinic acid), Allite (phosetyl-Al), Kocide (copper hydroxide) (Tsiantos dan Psallidas, 2002). Aplikasi bakterisida sintetis umumnya dengan penyemprotan langsung di lapang pada kondisi tanaman terserang. Bakterisida yang beredar di Indonesia antara lain Agrept 20 WP (streptomycin sulfat 20%), Plantomycin 7 SP (streptomycin sulfat 7%), dan Nordox 56 WP (tembaga oksida 56%). Minyak cengkeh (Syzygium aromaticum L.) dan minyak serai wangi (Andropogon nardus L.) merupakan pertisida organik yang banyak digunakan untung menanggulangi serangan cendawan, bakteri, dan beberapa hama gudang. Minyak cengkeh mengandung eugenol yang bersifat fungisida sehingga dapat mengendalikan serangan cendawan. Kadar eugenol dalam minyak cengkeh berkisar antara 70% - 85% bila berasal dari batang dan daun cengkeh, serta 90% bila berasal dari bunga. Minyak cengkeh diperoleh dengan cara menyuling daun, batang, dan 10

bunga yang telah kering (Kardinan, 2002). Minyak serai wangi biasanya dibuat dengan menyuling daun dan batang tanaman serai wangi setelah dijemur 1 - 4 hari. Ramuan insektisida nabati juga dapat dibuat dengan menghaluskan batang dan daun serai wangi kemudian dicampur dengan pelarut (air). Bahan aktif yang terkandung dalam minyak serai wangi antara lain senyawa sitral, sitronella, geraniol, miserna, nerol, farnesol, metil heptena, dan dipeten. Berdasarkan Standard Nasional Indonesia (SNI) minyak serai wangi yang baik mengandung geraniol 85%, sitronella 35%, dan memiliki kelarutan dalam etanol 80% (Kardinan, 2002). Hasil penelitian Mugiono (2002) menunjukkan, minyak serai wangi dan minyak cengkeh memiliki potensi untuk menekan pertumbuhan hama Aspergilus flavus dan Fusarium oxysporum. Penelitian Hilvian (2007) menunjukkan bahwa ekstrak lidah buaya, sirih, dan sereh dapat menghambat pertumbuhan bakteri X. oryzae pv. oryzae secara in-vitro dengan zona hambatan yang terluas pada ekstrak sereh (serai) yakni sebesar 2,005 cm2. D. Pengaruh

Matriconditioning

dan

Matriconditioning

plus

Pestisida

dalam

Meningkatkan Viabilitas dan Vigor Benih Viabilitas benih adalah daya hidup benih yang dapat ditunjukan melalui gejala metabolisme benih dan gejala pertumbuhan, kinerja kromosom atau garis viabilitas. Viabilitas dibedakan menjadi viabilitas potensial dan viabilitas sesungguhnya (vigor). Viabilitas potensial merupakan daya hidup benih pada kondisi optimum, secara potensial mampu menghasilkan tanaman normal yang mampu berproduksi dan bereproduksi secara normal, pada pengujian benih ditunjukkan dengan daya berkecambah dan bobot kering kecambah normal yang tinggi. Vigor benih adalah kemampuan benih untuk tumbuh menjadi tanaman normal yang mampu bereproduksi secara normal dalam kondisi sub optimum, pada pengujian benih ditunjukkan dengan indeks vigor, kecepatan tumbuh, laju pertumbuhan kecambah, dan T50 (Sadjad, 1994). Heydecker dalam Sadjad (1972) menyatakan, syarat benih vigor yaitu: (1) Tahan simpan; (2) Berkecambah cepat dan merata; (3) Bebas patogen dan penyakit; (4) Tahan gangguan mikroorganisme; (5) Bibit dapat tumbuh dengan baik pada kondisi lingkungan apapun; (6) Bibit dapat memanfaatkan persediaan dan makanan benih secara optimum; (7) Laju pertumbuhan tinggi; (8) Mampu menghasilkan produk yang tinggi di waktu tertentu. Sadjad (1975) menambahkan dua criteria tambahan yaitu (9) Mampu bersaing dengan gulma, serta (10) Hasil pengujian di laboratorium dan pengujian di lapang tidak jauh berbeda.

11

Viabilitas benih cenderung akan menurun ketika benih berada dalam penyimpanan. Teknik khusus untuk menekan tingkat kemunduran benih adalah melalui hidrasi benih. Menurut Copeland dan McDonald (1995), hidrasi benih merupakan proses penyerapan air oleh benih, yang dapat meningkatkan perkecambahan, keseragaman tumbuh kecambah, dan memperbaiki vigor pada benih yang telah mengalami kemunduran. Metode hidrasi yang umum digunakan adalah melalui conditioning. Conditioning merupakan upaya perlakuan benih sebelum tanam dengan menyeimbangkan potensial air benih untuk merangsang kegiatan metabolisme dalam benih, sehingga benih siap berkecambah tetapi struktur penting dari embrio (radikula) belum muncul (Hardegree dan Emmerich, 1992). Conditioning benih berguna mempercepat perkecambahan, menyeragamkan perkecambahan, dan meningkatkan persentase pemunculan kecambah (Ilyas, 1995). Proses invigorasi pada benih kedelai mengindikasikan peningkatan daya berkecambah, keserempakan tumbuh, aktivitas enzim peroksidase, aktivitas enzim fitase, jumlah P teresterifikasi, serta penurunan asam fitat pada benih (Widajati, 1999). Terdapat beberapa metode yang umum dikenal pada priming, yaitu priming

dengan

bahan

padatan

(matriconditioning),

priming

dengan

bahan

liquid

(osmoconditioning) dan drum priming dengan hidrasi terkontrol (Khan et al., 1992). Matriconditioning merupakan proses perbaikan fisiologis dan biokimia benih dengan menggunakan media yang berpotensial matriks tinggi sehingga potensial osmotiknya dapat diabaikan selama imbibisi (Khan et al., 1992). Media yang digunakan untuk matriconditioning harus memenuhi syarat sebagai berikut: (1) Memiliki potensial matrik tinggi sehingga potensial osmotik dapat diabaikan; (2) Daya larut dalam air rendah; (3) Bahan inert dan tidak beracun; (4) Luas permukaannya tinggi dan berat jenisnya rendah; (5) Memiliki struktur bahan, ukuran, dan porositas yang berbeda sehingga dapat berfungsi sebagai mobilisator enzim juga katalisator; (6) Berkemampuan merekat pada permukaan benih; (7) Mampu menyerap air dengan baik (Ilyas, 1995). Beberapa penelitian menunjukkan, perlakuan matriconditioning mampu meningkatkan viabilitas benih lebih baik dibanding perlakuan hidrasi benih yang lain. Perlakuan matriconditioning dengan abu gosok pada benih padi mampu meningkatkan viabilitas dan vigor yang lebih baik dibanding perlakuan osmoconditioning dan kontrol (Madiki, 1998). Pada benih jagung hibrida dengan perlakuan hidrasi benih yang berbeda menunjukkan, perlakuan matriconditioning mampu meningkatkan daya berkecambah, menurunkan T50, meningkatkan 12

panjang akar, dan panjang tajuk, dibanding perlakuan osmoconditioning dan hydropriming (Afzal et al., 2002). Benih kanola yang diberi perlakuan matriconditioning juga menunjukkan pertumbuhan yang tinggi pada fase perkecambahan, fase pembibitan, serta peningkatan permeabilitas membran (Afzal et al., 2004). Hasil yang berbeda terdapat pada penelitian menggunakan benih gadum yang menunjukkan perlakuan benih dengan hydropriming dan hardening meningkatkan viabilitas dan vigor lebih baik dibanding perlakuan matriconditioning dan kontrol (Basra et al., 2005). Pada benih kedelai, perlakuan matriconditioning plus minyak cengkeh terbukti dapat meningkatkan mutu dan kesehatan benih (Fadhilah, 2003). Perlakuan matriconditioning plus minyak cengkeh dengan konsentrasi di bawah 0.1% pada benih cabai juga mengindikasikan peningkatan viabilitas, vigor, dan menurunkan tingkat kontaminasi Coletotricum capsici (Untari 2003). Perlakuan matriconditioning menggunakan tepung atau minyak cengkeh atau serai wangi pada benih cabai mampu meningkatkan mutu benih secara signifikan dibanding kontrol pada tolok ukur PTM, DB, BKKN, IV, KCT relatif serta dapat menurunkan T50 (Asie, 2004). Pada benih tomat, perlakuan matriconditioning plus minyak serai wangi 0.25% mampu mengurangi tingkat kontaminasi Fusarium sp. dan meningkatkan pertumbuhan tanaman di lapang (Susilawati, 2006). E. Hasil Penelitian Jurnal Hasil percobaan varietas IR-64 mengindikasikan peningkatan viabilitas dan vigor pada perlakuan matriconditioning, matriconditioning plus Agrept 0.2%, dan matriconditioning plus minyak serai wangi 1% (Tabel 6). Pada tolok ukur daya berkecambah perlakuan matriconditioning, matriconditioning plus Agrept 0.2%, dan matriconditioning plus minyak serai wangi 1% menunjukkan peningkatan yang nyata dengan persentase berturut-turut 95%, 92.5%, dan 87.5% dibanding kontrol yang hanya sebesar 74%. Perlakuan ini juga menghasilkan persentase daya berkecambah tertinggi dibanding perlakuan Agrept 0.2% dengan 82.5% dan minyak serai wangi 1% dengan 76.5%. Semua perlakuan kecuali minyak serai wangi 1% menunjukkan peningkatan indeks vigor dibanding kontrol. Penurunan pada perlakuan minyak serai wangi 1% dengan nilai 57.5 % tidak berbeda nyata dibanding kontrol dengan nilai 60%. Perlakuan matriconditioning plus Agrept 0.2% menunjukkan peningkatan indeks vigor tertinggi dibanding perlakuan lainnya yaitu 87.5%. Pada tolok ukur kecepatan tumbuh terdapat indikasi yang berbeda perlakuan. 13

Agrept 0.2% menunjukkan kecepatan tumbuh tertinggi yakni sebesar 29.11%/etmal. Perlakuan matriconditioning (27.67%/etmal), minyak serai wangi 1% (24.13%/etmal), dan matriconditioning plus Agrept 0.2% (24.09 %/etmal) masih menunjukkan kecepatan tumbuh yang lebih tinggi dibanding kontrol (21.72 %/etmal). Penurunan terjadi pada matriconditioning plus minyak serai wangi 1% yaitu 19.75 %/etmal. Perlakuan matriconditioning, matriconditioning plus Agrept 0.2%, dan matriconditioning plus minyak serai wangi 1% menunjukkan peningkatan bobot kering kecambah normal yang nyata dengan bobot kering berturut-turut 0.85 g, 0.81 g, dan 0.75 g, dibandingkan kontrol yang hanya mencapai bobot kering 0.61 g. Perlakuan Agrept 0.2% dan minyak serai wangi 1% juga menunjukkan peningkatan bobot kering kecambah normal yakni sebesar 0.66 g dan 0.65 g, tetapi tidak berbeda nyata dibanding kontrol. Tolok ukur T50 menunjukkan bahwa semua perlakuan benih dapat menurunkan waktu yang dibutuhkan untuk pencapaian total 50% perkecambahan dibanding kontrol. Perlakuan matriconditioning dengan 4.5 hari, matriconditioning plus Agrept 0.2% dengan 4.4 hari, dan matriconditioning plus minyak serai wangi 1% dengan 4.6 hari memiliki waktu pencapaian total 50% perkecambahan paling cepat dibandingkan perlakuan lain dan kontrol yang baru mencapai total 50% perkecambahan pada 6.7 hari.

Tabel 6. Pengaruh perlakuan benih terhadap daya berkecambah (DB), indeks vigor (IV), kecepatan tumbuh (KCT), bobot kering kecambah normal (BKKN), T50, dan tingkat infeksi (TI) patogen pada varietas IR-64 Perlakuan Kontrol Agrept 0.2% Minyak serai wangi 1% Matriconditioning (M)

DB (%) 74 d 82.5 c 76.5 d 95 a

M+Agrept 0.2% M+minyak serai wangi 1%

92.5 ab 87.5 a 87.5 bc 82.5 ab

IV (%) 60 c 78 b 57.5 c 85 a

Tolak Ukur BKKN KCT (%/etmal) (g) 21.72 cd 0.61 c 29.11 a 0.66 c 24.13 bc 0.65 c 27.67 ab 0.85 a

T 50 (hari) 6.7 a 5.5 c 6.2 b 4.5 d

TI (cfu) 51 a 3.75 c 5.25 c 33.5 b

24.09 bc 19.75 d

4.4 d 4.6 d

0d 0d

0.81 a 0.75 b

Ket: Angka dalam baris yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5%

14

Hasil percobaan pada varietas Ciherang (Tabel 7) menunjukkan kecenderungan yang tidak berbeda dengan varietas

IR-64. Hampir pada semua tolok

ukur perlakuan

matriconditioning, matriconditioning plus Agrept 0.2%, dan matriconditioning plus minyak serai wangi menunjukkan peningkatan yang nyata dibanding kontrol. Pada tolok ukur daya berkecambah semua perlakuan benih mengindikasikan peningkatan dibanding kontrol. Perlakuan matriconditioning plus Agrept 0.2%, matriconditioning, dan matriconditioning plus minyak serai wangi 1% menunjukkan peningkatan daya berkecambah yang nyata dengan nilai 96%, 94.5%, dan 90% dibanding kontrol dengan daya berkecambah 76%. Perlakuan Agrept 0.2% juga menunjukkan peningkatan daya berkecambah yang nyata dibanding kontrol. Hasil yang diperoleh pada indeks vigor menunjukkan perlakuan matriconditioning plus Agrept 0.2%, matriconditioning, matriconditioning plus minyak serai wangi 1%, dan Agrept 0.2% menunjukkan peningkatan indeks vigor yang nyata dengan persentase berturut-turut 90%, 88.5%, 84%, dan 80.5% dibanding kontrol yang hanya sebesar 60.5%. Penurunan indeks vigor terjadi pada perlakuan minyak serai wangi 1% dengan 59% tetapi tidak nyata dibanding kontrol. Perlakuan Agrept 0.2% menunjukkan kecepatan tumbuh tertinggi yaitu 32.12%/etmal. Perlakuan matriconditioning

(27.47%/etmal),

minyak

serai

wangi

1%

(25.48%/etmal),

dan

matriconditioning plus Agrept 0.2% (24.02%/etmal) masih menunjukkan peningkatan kecepatan tumbuh dibanding kontrol dengan 22.93 %/etmal. Penurunan kecepatan tumbuh terdapat pada perlakuan matriconditioning plus minyak serai wangi 1% dengan persentase 19.75 %/etmal. Indikasi peningkatan juga ditunjukkan pada tolok bobot kering kecambah normal. Seluruh perlakuan benih menunjukkan peningkatan bobot kering kecambah normal dibanding kontrol.

Perlakuan

matriconditioning,

matriconditioning

plus

Agrept

0.2%,

dan

matriconditioning plus minyak serai wangi 1% menunjukkan peningkatan bobot kering kecambah normal yang nyata yaitu berturut-turut 0.86 g, 0.83 g, dan 0.76 g dibanding kontrol dengan bobot 0.61 g. Pada tolok ukur T50 semua perlakuan benih mampu menurunkan waktu yang dibutuhkan untuk pencapaian total 50% perkecambahan. Perlakuan matriconditioning dengan 4.4 hari, matriconditioning plus Agrept 0.2% dengan 4.2 hari, dan matriconditioning plus minyak serai wangi 1% dengan 4.4 hari memiliki waktu pencapaian total 50% perkecambahan (T50) tercepat dan berbeda nyata dibanding kontrol yang baru mencapai total 50% perkecambahan pada 6.7 hari. 15

Tabel 7. Pengaruh perlakuan benih terhadap daya berkecambah (DB), indeks vigor (IV), kecepatan tumbuh (KCT), bobot kering kecambah normal (BKKN), T50, dan tingkat infeksi (TI) pada varietas Ciherang

DB (%) 76 d 85 c 79.5 d 94.5 ab 96 a

IV (%) 60.5 d 80.5 ab 59 d 88.5 ab 90 a

Tolak Ukur BKKN KCT (%/etmal) (g) 22.93 c 0.61 d 32.12 a 0.69 c 25.48 bc 0.65 cd 27.47 b 0.86 a 24.02 bc 0.83 a

90 bc

84 bc

19.75 d

Perlakuan Kontrol Agrept 0.2% Minyak serai wangi 1% Matriconditioning (M) M+Agrept 0.2% M+minyak serai wangi 1%

0.76 b

T 50 (hari) 6.7 a 5.4 c 6.0 b 4.4 d 4.2 d

TI (cfu) 40 a 3c 4c 29.5 b 0d

4.4 d

0d

Ket: Angka dalam baris yang diikuti huruf yang sama tidak nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf 5% Secara garis besar perlakuan matriconditioning, matriconditioning plus Agrept 0.2%, dan matriconditioning plus minyak serai wangi 1% menunjukkan peningkatan mutu fisiologis pada varietas IR-64 maupun Ciherang. Pada tolok ukur viabilitas benih, perlakuan matriconditioning, matriconditioning plus Agrept 0.2%, serta matriconditioning plus minyak serai wangi 1% menunjukkan peningkatan daya berkecambah dan bobot kering kecambah normal yang signifikan dibandingkan perlakuan kontrol maupun perlakuan perendaman benih saja. Indikasi yang sama terlihat pada tolok ukur vigor benih, perlakuan matriconditioning, matriconditioning plus Agrept 0.2%, dan matriconditioning plus minyak serai wangi 1% mampu meningkatkan indeks vigor dan menurunkan T50 dibanding kontrol. Pada tolok ukur kecepatan tumbuh, perlakuan matriconditioning dan matriconditioning plus Agrept 0.2% menunjukkan peningkatan dibanding kontrol, tetapi terjadi penurunan pada perlakuan matriconditioning plus minyak serai wangi 1%. Perlakuan matriconditioning, matriconditioning plus Agrept 02% dan matriconditioning plus minyak serai wangi 1% mampu meningkatkan viabilitas dan vigor benih karena imbibisi air ke dalam benih yang terkontrol oleh faktor media (arang sekam). Khan et al. (1992) menyatakan, perlakuan matriconditioning memiliki fase imbibisi yang lebih lama dibanding perlakuan perendaman benih saja. Fase imbibisi yang cepat seperti pada perlakuan perendaman benih dapat menyebabkan rusaknya membran dikarenakan masuknya air ke dalam benih yang terlalu cepat. Suryani (2003) menyatakan, perlakuan matriconditioning plus fungisida sintetik Dithane 0.2% 16

pada benih cabai menunjukkan peningkatan daya berkecambah, potensi tumbuh maksimum, bobot kering kecambah normal, indeks vigor, kecepatan tumbuh relatif, laju pertumbuhan kecambah dan menurunkan T50. Penelitian Mariam (2006) menunjukkan bahwa perlakuan matriconditioning plus minyak serai wangi 0.25% pada benih cabai merah dapat meningkatan tinggi tanaman, bobot kering tanaman, bobot buah rata-rata, potensi tumbuh maksimum, bobot kering kecambah normal, dan T50. Perlakuan matriconditioning plus Agrept 0.2% memiliki keunggulan dari efektivitas penggunaan bahan dibanding perlakuan matriconditioning plus minyak serai wangi 1%. Pada konsentrasi bakterisida yang lebih rendah, perlakuan matriconditioning plus Agrept 0.2% mampu mereduksi X. oryzae pv. oryzae terbawa benih serta meningkatkan viabilitas dan vigor benih. Namun demikian, perlakuan benih relatif lebih ekonomis jika dibandingkan pengendalian di lapang pada fase tanaman dewasa dan kondisi terserang penyakit yang membutuhkan bakterisida lebih banyak dengan biaya lebih tinggi. Perlakuan matriconditioning plus minyak serai wangi memiliki keunggulan lain, minyak serai wangi selain anti bakteri juga berfungsi sebagai anti fungal (fungisida). Pada perlakuan matriconditioning plus minyak serai wangi 1%, serangan cendawan relatif jarang ditemukan dibanding perlakuan matriconditioning plus Agrept 0.2%. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa uji mutu fisiologis saja pada benih tidak cukup untuk menunjukkan benih tersebut bermutu, uji patologis diperlukan untuk mengidentifikasi patogen terbawa benih. Keberadaan pathogen terbawa benih merupakan salah satu faktor utama yang menentukan kejadian penyakit pada pertanaman di lapang.

17

III.

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 1. Perlakuan matriconditioning saja dapat meningkatkan viabilitas dan vigor benih padi tetapi tingkat infeksi X. oryzae pv. oryzae masih cukup tinggi, walaupun lebih rendah dari kontrol. 2. Perlakuan matriconditioning plus bakterisida (Agrept 0.2% atau minyak serai wangi 1%) mampu meningkatkan mutu fisiologis dan patologis benih padi. 3. Perlakuan

matriconditioning

plus

bakterisida

menunjukkan

peningkatan

daya

berkecambah, indeks vigor, kecepatan tumbuh, bobot kering kecambah normal, menurunkan T50, serta dapat menurunkan keberadaan X. oryzae pv. oryzae terbawa benih padi hingga 100%. 4. Perlakuan matriconditioning plus Agrept 0.2% atau plus minyak serai wangi 1% dapat menghasilkan benih dengan mutu fisiologis dan patologis yang lebih baik dibanding perlakuan matriconditioning saja.

B. Saran Percobaan aplikasi lapang perlu dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas perlakuan matriconditioning plus Agrept 0.2% dan matriconditioning plus minyak serai wangi 1% dalam mengendalikan HDB dan meningkatkan hasil padi di lapang.

18

DAFTAR PUSTAKA Agarwal, V.K. and Sinclair, J.B. 1987. Seedborne pathogens, p. 17-76. In Principles of Seed Pathology Vol I. CRC Press, Inc. Florida. Asie, K.V. 2004. Matriconditioning plus Pestisida Nabati untuk Perlakuan Benih Cabai Terinfeksi Colletotricum capsici : Evaluasi Mutu Benih selama Penyimpanan. Tesis. Pascasarjana. IPB. Bogor. 97 hal. Basra, S.M.A., I. Afzal, R.A. Rasyid, and M. Farooq. 2005. Pre-sowing seed treatment to improve germination and seedling growth in wheat (Titricum aestivum L.). Coderno de Pesquisa Sér Biologia. 17 (1): 155-164. Copeland, L.O. and M. B. McDonald. 1995. Principles of Seed Science and Technology. Thirth Edition. Kluwer Academic Publisher. London. 467p. Cottyn, B., M.T. Cerez and T.W. Mew. 1994. Bacteria, p. 29-46. In: T.W. Mew and J.K. Misra (Eds). A Manual of Rice Seed Health Testing. IRRI. Philipines. Departemen Pertanian. 2000. Deskripsi Varietas. . Diakses 02 Desember 2013. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. 2007. Informasi Perkembangan Serangan OPT Padi Tahun 2006, Tahun 2005 dan Rerata 5 Tahun. Direktorat Jendral Tanaman Pangan. Subang. 24 hal. Fadhilah, S. 2003. Pengaruh Matriconditioning plus Minyak Cengkeh atau Fungisida terhadap Mutu dan Kesehatan Benih Kedelai (Glicyne max L. Merr.). Skripsi. IPB. Bogor. 49 hal. Hardegree, S.P. and W.E. Emmerich. 1992. Seed germination response of four southwestern range grasses to equibration at subgermination matrix potential. Agronomi Journal. 84: 994-998. Hifni, H. R., S. Mihardja, E. Soetarwo, Yusida, dan M. K. Kardin. 1996. Bacterial Leaf Blight Disease of Rice: Problems and Prospects of Disease Control Using Resistant Varieties. . Diakses 02 Desember 2013. Hilvian, R. 2007. Pengaruh Ekstrak Tanaman Lidah Buaya (Aloe vera L.), Sirih (Piper betle L.) dan Sereh (Cymbopogon citratus L.) terhadap Perkembangan Xanthomonas oryzae pv. oryzae pada Tanaman Padi (Oryza sativa L.). Skripsi. UNPAD. Bandung. 48 hal. Ilyas, S. 1995. Perubahan fisiologi dan biokemis benih dalam proses seed conditioning. Keluarga Benih. VI (2) : 70-79. _____. 2001. Mutu Benih. Dalam Studium General di Faperta Universitas Tanjungpura; 19

Pontianak, 21 April 2001. hal 1-8 (tidak dipublikasikan). _____ . 2006. Seed treatments using matriconditioning to improve vegetable seed quality. Bul Agron. 34(2): 124-132. Ilyas, S., Sudarsono, U. S. Nugraha, T. S. Kadir, A. M. Yukti, Y. Fiana. 2008. Teknik Pengujian Kesehatan dan Mutu Benih Padi. Laporan Hasil Penelitian. Institut Pertanian Bogor Bekerjasama dengan Badan Litbang Pertanian, Deptan. 40 hal.

IRRI. 2008. Bacterial Leaf Blight, Diagnostic Summary. . Diakses 02 Desember 2013. Kadir, T.S. 2007. Influence of Races III, IV and VIII of Xanthomonas oryzae pv.oryzae to Production of Double Haploid Population Crosses IR-64 and Wild Species Oryza rufipogon. Proceedings The Third Asian Conference on Plant Phatology. Yogjakarta; Gajah Mada University. p 13-23. Khaeruni, A. 2000. Penyakit Hawar Daun Bakteri pada Padi: Masalah dan Upaya Pemecahannya. . Diakses 02 Desember 2013. Kardinan, A. 2002. Pestisida Nabati: Ramuan dan Aplikasi. Jakarta. Penebar Swadaya. 88 hal. Khan, A.A. 1990. Preplant physiological seed conditioning, p. 131-181. In: J. Janick (Eds). Hort. Rev. Wiley and Sons. Ins. New York. _____, H. Miura, J. Prusinski dan S. Ilyas. 1992. Matriconditioning of Seed to Improve Emergence. Proceeding of The Symposium on Stand Established of Horticultural Crops. Minnesota. p 19-40. Mugiono. 2002. Pengujian Potensi Minyak Serai Wangi dan Minyak Cengkeh untuk Mengendalikan Cendawan Patogenik Terbawa Benih Kedelai (Glicine max (L.) Merr.): Aspergilus flavus (Link) dan Fusarium oxysporum (Schl.). Skripsi. IPB. Bogor. 32 hal. Rahmilia, L. 2003. Uji Kemampuan Agens Antagonis Pseudomonas Kelompok Flourescens dan Bacillus sp. dalam Mengendalikan Penyakit Hawar Daun Bakteri pada Padi Varietas IR64. Skripsi. IPB. Bogor. 32 hal. Sadjad, S. 1972. Kemunduran Benih. Bahan Penataran PPS Agronomi. LembagaPusat Penelitian Pertanian. Bogor. 25 hal. _____. 1975. Proses pembentukan benih tanaman angiospermae, hal 12-34. S.Sadjad (Ed). Dasar-Dasar Ilmu dan Teknologi Benih. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Semangun, H. 1991. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan Penting di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 804 hal. 20

Sigee, D.C. 1993. Bacterial Plant Pathology : Cell and Molecular Aspect. First Edition. Cambridge University Press. England. 325 p. Susilawati. 2006. Matriconditioning plus Fungisida Nabati untuk Mengendalikan Cendawan Dominan Penyebab Damping-off pada Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.). Skripsi. IPB. Bogor. 68 hal. Suryanarayana, D. 1978. Seed Pathology. Vikas Publishing. New Delhi. 111 p. Suryani, N. 2003. Pengaruh Perlakuan Matriconditioning plus Fungisida pada Benih Cabai Merah (Capsicum annuum L.) dengan Berbagai Tingkat Kontaminasi Colletotricum capsici (Syd.) Butl. Et Bisby terhadap Viabilitas dan Vigor Benih. Skripsi. IPB. Bogor. 49 hal. Untari, M. 2003. Pengaruh Perlakuan Minyak Cengkeh Terhadap Tingkat Kontaminasi Colletotricum capsici (Syd.) Butl. Et Bisby dan Viabilitas Benih Cabai Merah. Skripsi. IPB. Bogor. 64 hal.

21