MEMBANGUN RELASI ISLAM DAN NASIONALISME DALAM

Download Abstrak Studi ini bertujuan mendeskripsikan relasi Islam dan nasionaslime dalam menghadapi tantangan globalisme. Peneliti dalam ... pengert...

0 downloads 686 Views 304KB Size
Prosiding Seminar Nasional PKn-Unnes 2017 Penguatan Spirit Kebangsaan di Tengah Tarikan Primordialisme dan Globalisme Halaman 81-89 Tahun 2017

Membangun Relasi Islam dan Nasionalisme dalam Menghadapi Tantangan Globalisme MOH. MUCHTAROM, MACHMUD AL RASYID, RUSNAINI, WIJIANTO1 Universitas Sebelas Maret, Indonesia Abstrak Studi ini bertujuan mendeskripsikan relasi Islam dan nasionaslime dalam menghadapi tantangan globalisme. Peneliti dalam menyusun penelitian ini menggunakan analisis dokumen dan kepustakaan yang berhubungan dengan tema penelitian ini. Islam sebagai agama yang memiliki karakter universal dan komprehensif dalam ajarannya melandasi nilai-nilai nasionalisme. Nasionalisme merupakan salah satu nilai moral yang ada pada ajaran Islam. Dengan Nasionalisme ini diharapkan umat Islam mampu menghadapi problematika yang ditimbulkan adanya globalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk menjaga keutuhan NKRI. Kata Kunci: Nasionalisme; Globalisme; Islam.

Pendahuluan Umat Islam sebagai kaum mayoritas di Indonesia senantiasa dihadapkan pada permasalahan-permasalahan bangsa yang terus berkembang sesuai dengan dinamikanya. Salah satu diskursus yang manarik untuk dibincangkan yaitu hubungan antara Islam dengan nasionalisme. Perdebatan ini ada sejak berdirinya bangsa ini menjadi sebuah negara yang bebas dari penjajahan yaitu pada saat perumusan dasar negara. Ada kelompok yang menginginkan Islam sebagai dasar negara, sedangkan kelompok yang lain menginginkan Pancasila; yang satu 1

menginginkan agama sebagai dasar kebangsaan, yang lain ingin kesatuan bangsa (Zuhri, 2011). Namun, sebenarnya spirit nasioalisme telah terpatri di dalam tubuh umat Islam di Indonesia saat melawan penjajah. Dengan kalimat takbir, seruan merdeka atau mati dikumandangkan oleh pemimpin bangsa (umat Islam) untuk memompakan semangat cinta tanah air dan membela bangsa dari kungkungan kolonialisme. Ketika kebebasan dalam kehidupan berdemokrasi memasuki era baru pasca reformasi, diskursus ini kembali menguat. Sebagian umat Islam memandang bahwa nasionalisme tidak

Alamat Korespondensi: Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Universitas Sebelas Maret. E-mail: [email protected].

Moh. Muchtarom, dkk./ Membangun Relasi Islam dan Nasionalisme dalam Menghadapi Tantangan Globalisme

bertentangan dengan ajaran Islam, bahkan menjadi bagian dari ajaran Islam. Sedangkan umat Islam yang lain menyatakan bahwa nasionalisme bertentangan dengan ajaran Islam karena berasal dari ideologi barat yang chauvistik. Hal ini menjadi tantangan tersendiri, karena pemahaman terakhir yang diusung oleh kelompok-kelompok umat Islam yang bercita-cita mendirikan kekhilafahan Islam. Mereka tidak mengenal sekat-sekat dalam menentukan teritorial dan identitas masyarakat dan negara. Sehingga negara bangsa (nation state) yang menjadi identitas bangsa Indonesia mereka tolak dan dianggap bertentangan dengan Islam. Hal ini dipengaruhi oleh arus globalisasi yang selain menajajakan ideide liberalisasi dan sekulerisasi dari Barat juga adanya tawaran negara Islam (khilafah) yang salah satunya diusung oleh ISIS—dengan persepsi yang negatif. Selain itu, adanya pengalaman pahit yang terjadi pada orde baru dengan “penyeragaman” ideologi yang dipaksakan dengan cara otoriter dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang dilakukan oleh rejim berkuasa membuat umat Islam mengalami traumatik dan salah satunya mempertanyakan eksistensi relasi antara Islam dan nasionalisme. Tulisan ini berusaha untuk mencari jalan alternatif dalam membangun kembali relasi Islam dan nasionalisme dalam menjawab tantangan globalisasi yang datang dari Barat maupun Timur yang akan mengancam eksistensi negara Indonesia. Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif berupa studi dokumentasi dengan teknik analisis data. Tema yang dianalisis meliputi respon umat Islam terhadap nasionalisme, dialog Islam dan nasionalisme Indonesia, tantangan global umat Islam indonesia, dan harmonisasi Islam dan nasionalisme di indonesia. Dokumen yang dianalisis adalah artikel jurnal dan buku yang berkaitan dengan nasionalisme, globalisme, dan Islam. Analisis data menggunakan 4 (empat) tahapan analisis isi yakni the decontextualisation, the 82

recontextualisation, the categorisation, and the compilation (Mariette Bengtsson, 2016). Pembahasan Respon Umat Islam Terhadap Nasionalisme Dalam sejarah, nasionalisme bermula dari benua Eropa sejak abad ke 15, terutama Inggris dan Perancis. Kesadaran berbangsa—dalam pengertian nation-state—dipicu oleh gerakan Reformasi Protestan yang dipelopori oleh Martin Luther di Jerman. Saat itu, Luther yang menentang Gereja Katolik Roma menerjemahkan Perjanjian Baru kedalam bahasa Jerman dengan menggunakan gaya bahasa yang memukau dan kemudian merangsang rasa kebangsaan Jerman. Terjemahan Injil membuka luas penafsiran pribadi yang sebelumnya merupakan hak eksklusif bagi mereka yang menguasai bahasa Latin, seperti para pastor, uskup, dan kardinal. Implikasi yang sedikit demi sedikit muncul adalah kesadaran tentang bangsa dan kebangsaan yang memiliki identitas sendiri. Bahasa Jerman yang digunakan Luther untuk menerjemahkan Injil mengurangi dan secara bertahap menghilangkan pengaruh bahasa Latin yang saat itu merupakan bahasa ilmiah dari kesadaran masyarakat Jerman. Mesin cetak yang ditemukan oleh Johann Gothenberg turut mempercepat penyebaran kesadaran bangsa dan kebangsaan (Dault, 2005). Namun demikian, nasionalisme Eropa yang pada kelahirannya menghasilkan deklarasi hak-hak manusia berubah menjadi kebijakan yang didasarkan atas kekuatan dan self interest dan bukan atas kemanusiaan (Rasyidi dalam Yatim, 2001). Dalam perkembangannya nasionalisme Eropa berpindah haluan menjadi persaingan fanatisme nasional antar bangsabangsa Eropa yang melahirkan penjajahan terhadap negeri-negeri yang saat itu belum memiliki identitas kebangsaan (nasionalisme) di benua Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Lebih ekstrem lagi memunculkan pemerintahan yang fasis. Menurut Hugh Purcell (2000) nasionalisme dan rasisme merupakan gambaran paling terkenal dari fasisme pada tahun 1930-an. Rasisme memiliki kaitan erat dengan

Prosiding Seminar Nasional PKn-Unnes 2017 | Hal. 81-89 Tahun 2017

nasionalisme. Keduanya berbeda pada penekanan. Rasisme menekankan superioritas suku dan nasionalisme menekankan keunggulan bangsa (komunitas terbayang yang lebih besar dari suku). Manusia nasionalis adalah seseorang dengan kebanggaan terhadap bangsanya yang kadang diungkapkan dengan cara berlebihan. Nasionalisme dan rasisme memiliki keserupaan dalam hal pengunggulan dan kebanggaan terhadap sesuatu yang secara alamiah melekat pada setiap manusia. Yang pertama kebanggaan terhadap bangsa—sistem pemerintahan, suku, dan budaya. Yang kedua kebanggaan terhadap suku. Nasionalisme muncul dan berkembang di Barat, namun hal yang sama tidak dirasakan oleh Timur (yang diwakili oleh Asia dan Afrika). Di Timur, paham nasionalisme muncul pada abad 19 dimana kolonialisme yang dialami oleh bangsa Timur marak di Asia dan Afrika. Nasionalisme digunakan sebagai alat pemersatu untuk melawan penjajahan (Dault, 2005; Karim, 1996). Meski era kemerdekaan bangsa-bangsa dari penjajahan dan kolonialisme telah lewat, namun nasionalisme tetap tumbuh dan berkembang dalam masyarakat yang kemudian mengental dalam kehidupan kenegaraan yang berwujud nation-state (negara bangsa). Namun sebenarnya, jauh sebelum nasionalisme masuk dan mempengaruhi masyarakat suatu bangsa di dunia Islam, telah ada nilai-nilai universal yang berlaku dan menjadi unsur pemersatu, yaitu agama. Sehingga mau tidak mau nasionalisme akan bersentuhan dengan nilai-nilai agama yang telah lebih lama berada di masyarakat Islam. Di beberapa negara yang berpenduduk mayoritas muslim dan dalam kondisi terjajah, nasionalisme mampu menjadi alat pemersatu dan sekaligus alat perjuangan untuk merebut kemerdekaan. Namun di beberapa negara (terutama Timur Tengah), masuknya isme baru ini kontan mendapat respon dari masyarakat. Baik yang menerima maupun menolak keras. Karena saat itu telah ada nilai Islam yang dianut dalam masyarakat. Dari sinilah kemudian diskursus antara nasionalisme dan agama dimulai. Ketika masuk ke dunia Islam, bahasa Arab tidak memiliki padanan kata untuk konsep tersebut. Hal ini dapat dimengerti karena pada saat itu, dunia

Islam hanya mengenal istilah "ummah", seperti al-ummah al- Islamiyyah, yang mencakup seluruh umat Islam; Mesir, Persia, Turki, India, dan lain-lain. Masyarakat Islam pada waktu itu membentuk komunitas dalam kesatuan agama, yang disebut dengan millah, millet. Kemudian dalam perkembangannya, istilah nasionalisme mendapat padanan kata dengan istilah al-qawmiyyah dan al-wathaniyyah (Wahid, 2007). Perbincangan tentang nasionalisme di dunia Islam sesungguhnya diawali oleh gagasan pan-Islamisme yang telah berkembang sebelumnya dengan dipelopori oleh Al-Afghani (1838-1897)59. Dalam analisisnya, penyebab keruntuhan Islam dan kaum muslimin bukanlah kelemahan atau kekurangan internal kaum muslim, melainkan imperialisme agresif yang dilancarkan kristen Eropa, yang bertujuan untuk memperbudak kaum muslimin dan menghancurkan Islam (Donohue dan Esposito, 1994). At-Tahtawi, teoritisi nasionalisme Arab yang paling berpengaruh menegaskan “patriotisme adalah sumber kemajuan dan kekuatan, suatu sarana untuk mengatasi gap antar wilayah Islam dan Eropa. Beberapa pemikir awal Arab dan Turki menggagas nasionalisme yang murni berwatak Eropa modern dan sekular. Di Mesir muncul tokoh yang bernama Aburrahman Al-Kawakibi (1849-1903) yang dianggap sebagai ideolog utama nasionalisme Arab. Dan di Turki terdapat Ziya Gokalp (1876-1924), sang penulis utama nasionalisme Turki. Keduanya mengambil gagasan nasionalisme dari sumber yang sama, Eropa. Mereka yakin bahwa nasionalisme model Eropa lah yang dapat dijadikan energi untuk melakukan perubahan sosial dan politik di dunia Islam (Azra, 1996). Ahmad Luthfi Al-Sayyid, murid M. Abduh menegaskan bahwa bangsa Mesir adalah "orang yang mengakui tidak ada tanah air lain kecuali Mesir" (Donohue dan Esposito, 1994). Baginya, orang yang mengakui tanah air Mesir tetapi masih mengakui negara lain sebagai tempat untuk menyelamatkan diri bukanlah orang Mesir. Basis material negara-bangsa yang semata-mata 83

Moh. Muchtarom, dkk./ Membangun Relasi Islam dan Nasionalisme dalam Menghadapi Tantangan Globalisme

berpatok pada kriteria etnisitas, kultur, bahasa dan wilayah dengan sendirinya mengabaikan kategori agama sebagai sebuah ikatan sosial. Hal ini merupakan kekurangan yang sangat fatal. Absennya agama dalam perumusan nasionalisme inilah yang menimbulkan kritik pedas dari kalangan aktivis Islam. Mereka percaya inilah yang menyebabkan lemahnya dunia Islam dalam menggalang kesatuan diantara mereka. Naqvi (1996) secara tegas menyatakan Islam tidak kompatibel dengan nasionalisme karena keduanya saling berlawanan secara ideologis. Kriteria nasional sebagai basis bangunan komunitas sama sekali ditolak Islam. Basis-basis ini hanya bersifat nasional-lokal, sedangkan Islam mempunyai tujuan kesatuan universal. Selain itu karena spirit nasionalisme yang berupa sekularisme yang menghendaki pemisahan tegas antara agama dan politik. Naqvi percaya bahwa jika Islam yang berkembang maka nasionalisme akan padam, tetapi juga sebaliknya saat nasionalisme bangkit berarti kekalahan Islam. Abul A'la maududi (Donohue dan Esposito, 1994) juga memiliki pandangan yang sama, bahwa nasionalisme bertentangan dengan Islam. Dia beralasan, tujuan akhir dari Islam adalah negara dunia (world state), di mana segala ikatan rasial dan nasional lebur menjadi satu dan semua orang bersatu dalam satu sistem kebudayaan dan satu kesatuan politik, yang semua warganya memiliki hak dan kewajiban yang sama. Sementara itu, nasionalisme membagi manusia atas dasar kebangsaannya, dan harus mendahulukan kepentingan bangsanya di atas bangsa-bangsa yang lainnya. Dengan demikian, Islam menginginkan persuadaraan universal, dan sebaliknya nasionalisme membuat manusia terbelah menjadi berbagai bangsa dan pada tahap tertentu membuat permusuhan diantara sesamanya karena perbedaan kepentingan bangsanya. Untuk menjembatani perbedaan pandangan kedua kubu tersebut, Nurcholis Madjid menyatakan bahwa nasionalisme sejati dalam artian suatu paham yang memperhatikan kepentingan seluruh warga bangsa tanpa kecuali adalah bagian integral konsep Madinah yang dibangun Nabi Saw (Madjid, 2003). 84

Sejalan dengan pemikiran di atas, dalam khazanah intelektual dan pergerakan Islam, terdapat nama Hasan Al-Banna sebagai orang pertama yang secara komprehensif dan sistematis merumuskan bagaimana kebangkitan Islam global dapat dilakukan melalui kekuatan-kekuatan nasional yang telah dijiwai spirit dan falsafah Islam. Pembaruan-pembaruan gerakan Al-Banna dikontekstualisasi sesuai dengan kebutuhan dan realitas politik yang ada. Oleh karena itu tidak heran perwujudan model gerakannya pun mengambil bentuk yang plural dengan penekanan kesamaan visi, yaitu kebangkitan Islam global. Al-Banna membedakan antara konsep alwathaniyah dan al- qawmiyah dalam menjelaskan arti kebangsaan. Al-wathaniyah sepadan dengan kata patriotisme yang berarti rasa cinta tahah air. Konsep ini merujuk pada ruang tertentu, tempat tinggal dan tanah tumpah darah. Keterikatan pada identitas given, atau dalam teori sosiologi sebagai status yang diperoleh (ascribed status). Singkatnya adalah rasa memiliki negeri sendiri. Sedangkan al-qawmiyah lebih diartikan sebagai nasionalisme, yakni rasa berbangsa dan bernegara. Rasa memiliki kesatuan masyarakat politik yang dicapai dan diraih melalui perjuangan tertentu. Konsep ini mengacu pada orang atau sekelompok orang. Biasanya disatukan oleh satu ideologi, visi dan aspirasi tertentu untuk mencapai tujuan bersama (Al-Ghazali, 2001). Hasan Al-Banna merestorasi konsepsi awal patriotisme dan nasionalisme yang Eropa sentris dan berwatak sekular menjadi konsep yang telah diisi pemahaman baru sesuai Islam dan dimanfaatkan untuk kebangkitan Islam. Dalam kaidah ushul fikih, Al-Banna melakukan apa yang dikenal dengan “memelihara yang lama yang baik dan mengambil yang baru yang lebih baik”. Unsur-unsur terbaik dari patriotisme atau nasionalisme diserap dan dirumuskan untuk menjadi alat perjungan kebangkitan Islam (Dault, 2005). Dialog Islam Dan Nasionalisme Indonesia Masyarakat Indonesia mengalami alur historis yang positif dalam membangun jiwa kebangsaannya. Kebangkitan nasional yang

Prosiding Seminar Nasional PKn-Unnes 2017 | Hal. 81-89 Tahun 2017

terjadi pada abad 20 yang ditandai dengan perlawanan dan perjuangan terhadap penjajah dan kolonialisme untuk membebaskan negeri Indonesia. Dan dalam catatan sejarah umat Islam dengan jiwa nasionalismenya memiliki peran dan kontribusi yang sangat besar dalam memerdekakan dan pembentukanNegara Kesatuan Republik Indonesia. Karim (1996) berpendapat, nasionalisme bangsa Indonesia telah berfungsi maksimal, sebagai faktor integrasi yang sangat berpengaruh bagi masyarakat majemuk. Dalam hal ini, sejak jaman pergerakan sampai sekarang sangat besar perannya dalam mengintegrasikan berbagai suku yang memiliki adat-istiadat, agama dan budaya yang beraneka ragam. Paling tidak, lebih dari 85% rakyat Indonesia berafiliasi di bawah "bendera" Islam walaupun di kalangan umat Islam terdapat banyak faksi. Nasionalisme Indonesia melahirkan Pancasila sebagai ideologi negara. Perumusan Pancasila sebagai ideologi negara terjadi dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Di dalam badan inilah Soekarno mencetuskan ide yang merupakan perkembangan dari pemikirannya tentang persatuan tiga aliran besar: Nasionalisme, Islam, dan Marxis. Pemahamannya tentang tiga hal ini berbeda dengan pemahaman orang lain yang mengandaikan ketiganya tidak dapat disatukan. Dalam sebuah artikel yang ditulisnya dia menyatakan, “Saya tetap nasionalis, tetap Islam, tetap Marxis; sintesa dari tiga hal inilah memenuhi saya punya dada. Satu sintesa yang menurut anggapan saya sendiri adalah sintesa yang geweldig" (Yatim, 2001). Dalam artikel itu, dia juga menjelaskan bahwa Islam telah menebalkan rasa dan haluan nasionalisme. Citacita Islam untuk mewujudkan persaudaraan umat manusia dinilai Soekarno tidak bertentangan dengan konsep nasionalismenya. Dan sesuai dengan konsep Islam, dia menolak bentuk nasionalisme yang sempit dan mengarah pada chauvinisme. Dia menambahkan, Islam juga tidak bertentangan dengan Marxisme, karena Marxisme hanya satu metode untuk memecahkan persoalan-persoalan ekonomi, sejarah, dan sosial.

Soekarno menghendaki agar dalam negara Indonesia agama dan negara dipisahkan. Pemisahan itu tidak berarti menghilangkan kemungkinan untuk memberlakukan hukumhukum Islam dalam negara, karena bila anggota parlemen sebagian besar orang-orang yang berjiwa Islam, mereka dapat mengusulkan dan memasukkan peraturan agama dalam undangundang negara. Itulah cita ideal negara Islam menurut Soekarno (Yatim, 2001). Dengan dasar pemikiran itulah, Soekarno mengusulkan lima asas untuk negara Indonesia merdeka. Kelima asas itu adalah: (1) Kebangsaan Indonesia, (2) Internasionalisme atau peri kemanusiaan, (3) Mufakat atau demokrasi, (4) Kesejahteraan sosial, dan (5) Ketuhanan. Usulan ini menimbulkan perbedaan pendapat antara nasionalis sekuler dan nasionalis Islam dan mendorong pembentukan sub panitia yang terdiri dari empat orang wakil nasionalis sekuler dan empat orang wakil nasionalis Islam serta Soekarno sebagai ketua sekaligus penengah. Pertemuan sub panitia ini menghasilkan rumusan yang kemudian dikenal dengan Piagam Jakarta. Usulan Soekarno menjadi inti dari Piagam Jakarta dengan beberapa perubahan: urutan kelima sila dan penambahan anak kalimat pada sila ketuhanan. Tambahan anak kalimat yang kemudian diperdebatkan itu adalah “Dengan kewajiban melaksanakan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Pada saat itu, Soekarno dan Agus Salim berusaha mengakhiri diskusi tentang Piagam Jakarta dalam bentuk yang telah disepakati bersama. Namun setelah Jepang mengalami kekalahan dan BPUPKI ditingkatkan stasusnya menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), beberapa anggota BPUPKI— khususnya dari kalangan Islam—yang aktif dan bersuara lantang tidak muncul dalam PPKI. Kondisi tersebut memberi kesempatan kepada para nasionalis sekuler untuk merubah Piagam Jakarta yang merupakan hasil keputusan BPUPKI. Usaha yang dilakukan untuk meyakinkan pihak nasionalis Islam bahwa hanya konstitusi sekuler yang bisa diterima mayoritas rakyat berhasil. Akhirnya anak kalimat yang tercantum dalam Piagam Jakarta diubah 85

Moh. Muchtarom, dkk./ Membangun Relasi Islam dan Nasionalisme dalam Menghadapi Tantangan Globalisme

menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang kemudian menjadi bentuk akhir Pancasila— dasar bagi nasionalisme Indonesia yang sekuler religius dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Kritik yang dilontarkan memosisikan Islam vis a vis nasionalisme. Namun dalam konteks Indonesia, sila-sila dalam Pancasila— sebagai ideologi negara—tidak satupun yang bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan Kuntowijoyo (1997) berpendapat bahwa Pancasila merupakan hasil dari obyektivikasi Islam. Meskipun demikian dia mengingatkan bahwa Islam adalah agama dan Pancasila adalah ideologi. Bagi Kunto, ideologi dan agama dibedakan berdasarkan motif. Ideologi tanpa agama dapat berjalan karena dalam diri manusia terdapat apa yang disebut Immanuel Kant sebagai categorical imperative, seperti nilai-nilai disiplin, setia kawan, kedermawanan, dan nilai etika yang lain. Dalam agama terdapat sistem dosa-pahala, surga-neraka, dan halal-haram yang semuanya berdasar keimanan dan kemudian menggiring seseorang untuk bertindak sesuai dengan kategori-kategori yang dia yakini. Categorical imperative—sebagai sistem sekular—juga memiliki sanksi yang bersifat personal, berupa rasa bersalah, dan sanksi institusional yang terwujud dalam hukum formal. Pancasila menggabungkan konsep tentang kekuasaan (ketuhanan dan kedaulatan rakyat), konsep tentang proses (kemanusiaan dan kebangsaan), dan konsep tentang tujuan (keadilan sosial). Keunikan Pancasila adalah bahwa kekuasaan diletakkan di bawah Tuhan dan rakyat—teodemokrasi. Istilah ini tersusun dari dua istilah: teokrasi dan demokrasi. Teokrasi (teosentrisme)—dengan menghilangkan konotasi negatif ala Barat—bagi umat Islam sama dengan istilah tauhid, yaitu menjadikan Tuhan sebagai pusat. Ini berarti bahwa kekuasaan Tuhan ada di atas kekuasaan negara. Dalam pelaksanaannya kekuasaan dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip agama, seperti syura dan keadilan. Sementara demokrasi adalah sistem kekuasaan dengan kedaulatan berada sepenuhnya di tangan rakyat, tanpa harus terikat pada hukum-hukum Tuhan. Dengan demikian, teodemokrasi adalah 86

konsep tentang kekuasaan negara yang dibatasi oleh hukum Tuhan di satu sisi dan oleh rakyat di sisi lain. Dapat pula dirumuskan bahwa ia adalah kekuasaan yang dimiliki oleh rakyat dengan keyakinan bahwa sumber kekuasaan adalah Tuhan. Sebelum konsep demokrasi dikenal, tanggung jawab kekuasaan dilaksanakan hanya kepada Tuhan, sehingga sering disalahgunakan. Dalam sejarah Jawa misalnya, seorang raja memakai gelar khalifatullah dan dalam sistem kesadaran rakyat kekuasaan raja dianggap sebagai kekuasaan Tuhan yang tidak bisa di ganggu gugat. Hal ini yang kemudian memberi konotasi negatif terhadap sistem teokrasi dalam kajian politik di Barat (Kuntowijoyo, 1997; Burhan dan Muhammad, 2001). Nasionalisme Indonesia yang berbentuk negara-bangsa dan menggunakan demokrasi sebagai sistem politik tidak bertentangan dengan Islam sepanjang ia tidak melanggar batasan-batasan yang telah ditetapkan dalam agama. Maududi (2004) menyatakan bahwa setiap individu dalam masyarakat Islam memiliki hak dan kekuasaan sebagai khalifah Allah dan dalam hal ini semua individu adalah sama. Institusi yang menangani urusan negara dibentuk sesuai dengan kehendak individuindividu dalam masyarakat. Pendapat mereka menentukan bentuk, pemimpin, dan segala sesuatu yang terkait dengan pemerintahan sesuai prinsip-prinsip Islam. Dalam hal ini, sistem politik Islam merupakan demokrasi yang sebenarnya. Tantangan Globalisasi Umat Islam Indonesia Perkembangan globalisasi telah menjadi problem tersendiri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kenichi Ohmae dalam bukunya yang berjudul Borderless World: Power and Strategy in the Interlinked Economy (1999) dan The End of Nation State: The Rise of Regional Economies (1996) menjelaskan bahwa dalam perkembangan masyarakat global, batas-batas wilayah negara dalam arti geografis dan politik relatif masih tetap. Namun kehidupan dalam suatu negara tidak mungkin dapat membatasi kekuatan global yang berupa informasi, inovasi, industri, dan konsumen yang makin individualistis.

Prosiding Seminar Nasional PKn-Unnes 2017 | Hal. 81-89 Tahun 2017

Kemudahan akses informasi pada era global memberikan dampak positif dan negatif. Diantaranya, kemudahan menyebarkan ide-ide agama yang selama ini bukan pemikiran yang mainstream di kalangan umat Islam. Muncul gerakan-gerakan Islam transnasional yang membawa ide beragama yang radikal. Hasyim Muzadi menyebut istilah Islam transnasional merujuk pada ideologi keagamaan lintas negara yang sengaja diimpor dari luar dan dikembangkan di Indonesia. Ideologi ini berasal dari Timur Tengah (Islam bercorak radikal) maupun Barat (Islam bercorak sekuler dan liberal). Islam radikal menawarkan ide-ide kekhilafahan atau negara agama, sedangkan Islam sekuler/ liberal ide-ide utamanya memisahkan urusan politik dengan agama. Keduanya menjadi ancaman yang dapat meruntuhkan keutuhan negara dan bangsa Indonesia. Studi Fealy dan Bubalo (2007) menyebut tiga arus utama gerakan transnasional dari Timur Tengah yang masuk ke Indonesia. Pertama, Ikhawanul Muslimin yang diadopsi gerakan tarbiyah dan Hizbut Tahrir yang mengembangkan sayapnya di Indonesia dengan mendirikan Hizbut Tahrir Indonesia mulai berkembang di perguruan tinggi di era 80-an dan awal 90-an. Di masa itu tentu saja gerakan tersebut berkembang underground di bawah tekanan rezim Soeharto. Konsolidasi mereka menemukan momentumnya ketika rezim Soeharto tumbang. Kedua, kelompok salafi. Kelompok ini sebagian besar berbasis lembaga dakwah dan pendidikan. Misalnya Yayasan al-Sofwah, Yayasan Ihya at-Turots, dan Al-Haramain alKhoiriyah. Gerakan salafi yang cukup fenomenal adalah Forum Komunikasi Ahlus Sunnah Waljamaah (FKAWJ) yang melahirkan Laskar Jihad pimpinan Jafar Umar Tholib. Berdiri pada tahun 1998, kemudian mebubarkan diri pada bulan Oktober 2002. Ketiga, kelompok jihadi. Kelompok ini adalah kelompok paling ekstrem dari gerakan transnasional yang mengesahkan kekerasan seperti bom bunuh diri. Jaringan Islamiyah yang didirikan pada 1 Januari 1993 oleh Abdullah Sungkar termasuk kelompok ekstrem. Jejaring inilah yang kemudian melakukan aksi-aksi bom

bunuh diri seperti yang dilakukan Imam Samudera dan kawan-kawan. Pada aspek yang lain, negara bangsa (nation-state) mengalami kegagalan dan kehilangan legitimasi dalam memenuhi janji-janji manisnya untuk memberikan kebebasan politik, kesejahteraan ekonomi, dan keadilan sosial (Juergensmeyer, 1993). Hal ini menjadi celah yang dapat dimanfaatkan oleh ide-ide transnasional untuk menggulung negara bangsa. Nation-state yang terbentuk di negara-negara Islam dan dunia ketiga merupakan bentukan artifisial yang menjadikan identitas kebangsaan tidak dalam rangka kewargaan (civic nationalism), tetapi lebih dalam warna kesukuan (ethnic nationalism) (Mustaqim dan Miftah, 2015). Problem ini menjadi tantangan pelik yang dihadapi umat Islam di Indonesia. Sekarang ini persatuan dan kesatuan bangsa mengalami cobaan pasca reformasi ditandai berjalannya demokrasi liberal dengan berhadap-hadapannya berbagai macam kepentingan kelompok dalam meraih tujuan mereka dengan melupakan kepentingan bangsa. Umat Islam di Indonesia sebagai umat yang mayoritas harus mengambil peran yang strategis dengan mengajak elemen bangsa lainnya untuk menjaga keutuhan bangsa dan negara serta mengedepankan kepentingan bangsa di atas golongan. Harmonisasi Islam Dan Nasionalisme di Indonesia Nasionalisme dibangun atas spirit ajaran Islam sebagai bentuk rasa cinta tanah air yang dicontohkan langsung oleh teladan umat, Rasulullah Saw. Pada saat pembebasan kota Mekah, Rasulullah Saw. berdiri di atas bukit Hajun, lalu bersabda: ”Demi Allah, sesungguhnya engkau (Mekah) adalah sebaik-baiknya bumi Allah, dan sesungguhnya engkau adalah negeri yang paling dicintai Allah. Seandainya aku tidak diusir darimu, niscaya aku tidak akan meninggalkanmu”, itulah nasionalisme Rasulullah Saw. Kompleksitas hubungan antara Islam dan nasionalisme di Indonesia sebenarnya sudah teruji berulang kali dalam catatan sejarah. Azra (2008) menjelaskan bahwa berdasarkan praktik 87

Moh. Muchtarom, dkk./ Membangun Relasi Islam dan Nasionalisme dalam Menghadapi Tantangan Globalisme

nasionalisme di Indonesia, khususnya dalam hubungan dengan etnisitas dan agama multi perspektif dikarenakan adanya keragaman praktik dalam sejarah pada pertumbuhan nasionalisme. Selain itu, bangsa Indonesia memiliki keragaman etnis, budaya, dan agama. Umat Islam mampu mengedepankan kedewasaan berpolitik dengan tidak memaksakan kehendak dalam penerapan syariah Islam secara formal sebagai norma dalam bernegara. Bahkan semangat nasionalisme yang dilandasi spirit Islam mampu mempersatukan masyarakat dalam mengusir penjajah dari Indonesia dengan mengesampingkan ego kesukuan dan etnis. Oleh karena itu sudah selayaknya tidak ada lagi kecurigaan kepada Umat Islam yang dianggap tidak nasionalis ketika mereka ingin menjalankan ajaran agamanya lebih leluasa. Azra (2008) juga menyatakan berdasarkan praktik dalam catatan sejarah pertumbuhan dan kebangkitan nasionalisme Indonesia dalam hubungannya dengan etnisitas dan agama, cukup bertolak belakang dengan pandangan Fukuyama yang menyatakan bahwa nasionalisme awal pada abad ke-16 di Eropa hanya menghasilkan fanatisme keagamaan dan perang agama. Namun, dalam kasus Islam di Indonesia, justru kebalikannya. Dengan wajah yang lebih toleran dan ramah, Islam Indonesia justru merangsang, menumbuhkan, dan berperan amat positif dalam pertumbuhan nasionalisme. Penutup Islam di Indonesia memiliki wajah yang ramah, toleran, dan santun menjadi modal dasar dalam membangun dan mengembangkan sikap nasionalisme bagi masyarakat, bangsa, dan negara. Umat Islam di Indonesia telah membuktikan dirinya menjadi elemen terpenting dalam menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia dari ancaman ideologi global dengan memegang teguh pada falsafah negara yaitu Pancasila. Bagi gerakan Islam bercorak transnasional dan radikal hendaknya melakukan transformasi diri beradaptasi dengan budaya bangsa dan mengedepan wajah Islam yang santun, toleran, dan ramah sesuai dengan nilai-nilai Pancasila. 88

Menjaga hubungan yang harmonis antara Islam dan nasionalisme memiliki relevansi yang kuat untuk menjawab tantangan globalisasi yang terus meningkat dan menggerus nilai-nilai kebangsaan yang religius. Oleh karena itu, bangsa Indonesia perlu merevitalisasi nasionalisme dengan spirit keislaman bagi umat Islam sebagaimana yang telah dicontohkan oleh para founding father, jika negara yang bernama Indonesia ingin tetap eksis dan dihormati bangsa lain. Gelorakan nasionalisme Indonesia yang religius. Daftar Pustaka Al-Ghazali, Abdul H. 2001. Peta Pemikiran Hasan al-Banna. Meretas Jalan Kebangkitan Islam. Solo: Era Intermedia Azra, A. 1998. Pergolakan Politik Islam. Jakarta: Paramadina Azra, A. 2008. “Nasionalisme, Etnisitas, dan Agama di Indonesia: Tantangan Globalisasi”. Jurnal Negarawan edisi no. 08, bulan Mei. Bengtsson, M. 2016. How to plan and performa qualitative study using content analysis in Nursing Plus Open, 2, (2016), 8–14 Burhan, A.S dan Muhammad, A. (Eds.). 2001. Demokratisasi dan Demiliterisasi: Wacana dan Pergulatan di Pesantren. Jakarta: P3M Dault, A. 2005. Islam dan Nasionalisme, Reposisi Wacana Universal dalam Konteks Nasional. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar Din Wahid. 2007. “Nasionalisme di Dunia Islam”. Buletin Islam & Good Governance edisi keempatbelas, bulan Mei 2007 Donohue, John J. dan Esposito, John L. 1994. Islam dan Pembaharuan; Ensiklopedi Masalah-Masalah. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada Fealy, G dan Bubalo, A. 2007. Jejak Kafilah: Pengaruh Radikalisme Timur Tengah di Indonesia. Bandung: Mizan Juergensmeyer, M. 1993. The New Cold War? Religious Nationalism Confronts the Secular State. Barkeley and Los Angeles: University of California Karim, M. Rusli. 1996. "Arti dan Keberadaan Nasionalisme" dalam Analisis CSIS,

Prosiding Seminar Nasional PKn-Unnes 2017 | Hal. 81-89 Tahun 2017

Nasionalisme dan Berakhirnya NegaraBangsa? Jurnal CSIS, tahun xxv, no. 2, Maret-April Madjid, N. 2003. Indonesia Kita. Jakarta; Universitas Paramadina Maududi, Abul A. 2004. Islam Kaffah: Menjadikan Islam Sebagai Jalan Hidup. Jogjakarta: Cahaya Hikmah Mustaqim, M dan Miftah, M. 2015. “Tantangan Negara-Bangsa (Nation-State) Dalam Menghadap Fundamentalisme Islam”. Jurnal ADDIN, Vol. 9, No. 1, Februari Naqvi, Ali M. 1996. "Islam and Nationalisme" dalam Voice of Jammu and Kashmir, edisi Juni-Juli Purcell, H. 2000. Fasisme. Jogjakarta: Insist Press Yatim, B. 2001. Soekarno, Islam, Dan Nasionalisme. Bandung: Nuansa Zuhri, AM. (2011), Relasi Islam Dengan Nasionalisme Dalam Menangkal Radikalisme Dan Terorisme. Makalah pada seminar nasional yang diselengggarakan Badko HMI Jawa Timur tanggal 22 Nopember.

89