MENGGAGAS SISTEM PERTANIAN MODERN BERBASIS KEARIFAN

Download Jurnal Kerabat. Perusahaan dan Pengaruhnya… Volume I Nomor 1 Maret 2006. 65. Menggagas Sistem Pertanian Modern. Berbasis Kearifan. Farid Au...

0 downloads 340 Views 109KB Size
65

Jelajah

Menggagas Sistem Pertanian Modern Berbasis Kearifan Farid Aulia1) 

T

ercemarnya lingkungan yang disebabkan limbah organik dan anorganik, tidak memberi akses terhadap menurunnya kualitas lingkungan, melainkan juga menurunkan kualitas produk yang kita konsumsi. Diketahui bersama, bahwa salah satu masalah lingkungan yang dihadapi sekarang berkaitan dengan produksi barang dan jasa. Pertimbangan yang diambil oleh pelaku bisnis hanya terfokus pada aspek ekonomi saja, tanpa menghitung aspek lain, seperti kerusakan lingkungan. Timbulnya kerusakan lingkungan sebagai dampak dari kegiatan produksi barang dan jasa, menyebabkan turunnya nilai ekonomi lingkungan (environmental economics value). Hasil penelitian di Pakistan, tahun 1995 menunjukkan negara kehilangan nilai ekonomis pertahun akibat turunnya kualitas lingkungan mencapai U$ 1,7 miliar. Atau 3,3 % dari PDB. Perhitungan ini belum memasukkan biaya kerusakan non ekonomis, seperti dampak jangka panjang kesehatan akibat limbah industri (Kompas, 12/05/1999). Di Indonesia sendiri terdapat indikasi kerugian yang hampir sama akibat perkembangan industri pengolahan yang pesat. Seiring dengan perkembangan waktu, fenomena ekonomisentris ini telah berputar arah. Kesadaran masyarakat global tentang pelestarian lingkungan semakin meningkat, sehingga acapkali menuntut barang dan jasa yang dihasilkan harus selaras dengan standar mutu produk yang ramah lingkungan. Di Indonesia sendiri, terdapat indikasi kerugian yang hampir sama akibat perkembangan industri pengolahan yang pesat. Fakta inilah seketika menggugah kesadaran sekelompok orang yang bertindak sebagai produsen, untuk sesegera mungkin mengubah orientasi dalam menghasilkan produk. Ketika memproduksi barang dan jasa, produsen 1)

   

tidak hanya mengejar keuntungan ekonomis semata, melainkan turut serta mempertimbangkan masalah lingkungan ke dalam proses produksi, sebagaimana yang dituntut konsumen tersebut. Munculnya Produksi Hijau dan Konsumen Hijau Sekelompok konsumen yang peduli terhadap lingkungan acapkali menuntut produksi hijau (Green Product) yang ramah lingkungan pula. Fenomena ini berimplikasi terhadap meningkatnya permintaan pasar terhadap produk-produk yang tidak sematamata untuk dikonsumsi saja, melainkan juga mempertimbangkan bagaimana produk itu dibuat dan diproses. Apakah produk tersebut dapat menurunkan kualitas lingkungan? Apakah produk yang dihasilkan itu menguras persediaan sumber daya? Dan apakah produk itu bisa menimbulkan risiko pencemaran? Tuntutan sekelompok konsumen yang dikategorikan ke dalam konsumen hijau (Green Consumen) tersebut membuat para produsen berupaya melakukan terobosanterobosan dalam memproduksi barangbarang yang ramah lingkungan. Mereka sudah mulai mempertimbangkan instrumentinstrumen yang peka lingkungan. Di satu sisi Green Consumen yang peduli lingkungan. Di sisi lain Green Product merupakan produsen yang mampu menghasilkan produk berwawasan lingkungan. Pertanian Organik Dari sekian banyak produk barang dan jasa yang dihasilkan, penulis akan menguraikan analogi Green Product dalam tulisan ini tentang sistem pertanian organik di Indonesia. Oleh karena basis ekonomi Indonesia di tingkat akar rumput (grass roots) berada di sektor pertanian, sehingga beberapa ahli pertanian memberi solusi untuk mewujudkan konsep green product di Indonesia khususnya di sektor pertanian

Alumnus Antropologi FISIP-USU

Saat Kerabat ini sedang menyelesaikan studi pada Program Studi Pengelolaan Perusahaan dan Pengaruhnya… Jurnal Sumber Daya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana USU

Volume I Nomor 1 Maret 2006

66

Opini adalah mengembalikan sistem pertanian organik yang dahulu menjadi tradisi bangsa. Meminjam pendapat Fukuoka (1999), bahwa pertanian organik bisa diartikan sebagai praktek bertani secara alami, tanpa pupuk buatan dan pestisida dalam mengolah tanaman, namun hasilnya sama besar jika dibandingkan dengan pemakaian zat-zat kimia sintetik. Jelasnya, pertanian organik adalah sistem pertanian tanpa bahan kimiawi, dapat menghemat biaya operasional, menerapkan teknik-teknik seperti penggunaan kompos, rotasi tanaman, menghindari penggunaan pupuk dan bahan kimia lainnya yang terurai dan menghindari penggunaan zat perangsang tumbuh dan antibiotik. Namun di sekmen lain, sebagian ahli pertanian justru menilai kehadiran sistem pertanian organik sebagai tindakan yang kurang rasional, karena pengolahan yang ruwet serta memakan waktu yang cukup lama untuk melihat hasilnya. Sebenarnya, keruwetan yang terjadi, tidaklah seperti yang diestimasi banyak orang. Persoalan hanya terletak pada rendahnya minat bangsa untuk kembali menggali, mempelajari serta memahami sistem pertanian tradisional di Indonesia. Nenek moyang kita tidak memerlukan bibit unggul, menggunakan pestisida, pupuk kimia dalam memproduksi jenis padi. Toh, hasil yang diharapkan sempurna. Beras yang dihasilkan tetap lezat, sehat, dan bebas dari residu kimia. Permasalahan terletak pada jumlah produktivitas beras yang sudah tidak lagi mencukupi dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk yang kian meningkat. Sementara lahan pertanian menjadi kian sempit, sehinga pola eksistensifikasi lahan menjadi tindakan yang kurang rasional. Jadilah sistem pertanian di negeri ini diubah dengan mengadopsi aneka jenis mekanisasi pertanian yang disembar-semborkan lewat program revolusi hijau (green revolution). Sistem pertanian tradisional yang dulu menjadi identitas bangsa, serta merta ditinggalkan dan dianggap tidak relevan lagi dengan kondisi zaman. 1-2 periode repelita, metode seperti ini menjadi solusi terbaik yang pernah dicapai, karena target

Jurnal Kerabat

swa-sembada beras dan Indonesia sebagai eksportir beras tercapai. Sayangnya, keadaan ini tidak berlangsung lama. Ketika perekonomian bangsa luluh lantak tergerus oleh permainan para spekulan asing, pertanian bangsa pun mencapai titik nadir, jauh lebih mengkhawatirkan ketimbang sistem pertanian tradisional. Harga instrumen dari mekanisasi pertanian yang kita impor tadi meningkat tajam, petani kewalahan dengan harga yang melambung tinggi, tidak sebanding dengan hasil penjualan beras mereka. Kalaupun ada segelintir petani yang ingin kembali menggunakan cara-cara tradisional, sepertinya tidak mampu lagi. Telah terjadi penurunan kualitas lingkungan, ditandai dengan peledakan hama yang menyerang tanaman, jenis, dan jumlahnya terus meningkat, kondisi tanah pun sudah berbeda akibat reaksi kimia bertahun-tahun lamanya membebani tanah. Ironisnya, sebagian besar petani sudah lupa tata cara sistem pertanian tradisional yang menjadi potret tradisi nenek moyang yang secara horizontal menyiasati ancaman sekaligus potensi alam untuk membina hubungan horizontal antara manusia dengan alam. Kolaborasi Kearifan dan Mekanisasi Sudah banyak studi yang menunjukkan bahwa sebagian masyarakat di Indonesia secara tradisional justru berhasil menjaga kualitas dan memperkaya keanekaragaman hayati. Adalah suatu realitas bahwa sebagian masyarakat masih memiliki kearifan tradisional (tradisional wisdom) dalam mengelola sumber daya alam, sistem lokal ini berbeda satu sama lain, sesuai dengan kondisi sosial budaya dan tipe ekosistem setempat. Mereka umumnya memiliki sistem pengetahuan dalam mengelola sumber daya lokal yang diwariskan dan ditumbuhkembangkan terus menerus secara turun temurun. Hasil penelitian Nababan (2002), berhasil menguak tentang nilai-nilai kearifan ini. Nababan menemukan hal ini pada komunitas masyarakat yang hidup di ekosistem rawa bagian selatan Pulau

Menggagas Sistem Pertanian… Volume I Nomor 1 Maret 2006

67

Opini Kiaman di Kabupaten Merauke, Irian Jaya (Papua). Komunitas adat ini berhasil mengembangkan 144 kultivar ubi atau lebih tinggi dari yang ditemukan dari suku Dani di Palimo, Lembah Baliem, yang hanya 74 varietas ubi. Di berbagai komunitas di Kepulauan Maluku dan sebagian besar di Irian Jaya bagian utara dijumpai sistem-sistem pengaturan alokasi (tataguna) dan pengelolaan terpadu ekosistem daratan dan laut yang khas setempat, lengkap dengan pranata (kelembagaan) adat yang menjamin sistem-sistem lokal ini bekerja secara efektif. Sampai saat ini, hanya sebagian kecil saja yang dikenal di dunia ilmu pengetahuan modern tentang sistem-sistem lokal ini. Contoh diantaranya adalah pranata adat sasi yang ditemukan disebagian besar Maluku yang mengatur keberlanjutan pemanfaatan atas suatu kawasan dan jenisjenis hayati tertentu. Contoh lainnya yang sudah banyak dikenal adalah perladangan berotasi komunitas-komunitas adat orang Dayak di Kalimantan berhasil mengatasi permasalahan lahan yang tidak subur. Metode ini berkembang secara evolusioner sebagai akumulasi dari temuantemuan pengalaman masyarakat desa selama ratusan tahun. Karenanya, prinsipprinsip inipun bersifat multi-dimensional dan terintegrasi dalam sistem religi, struktur sosial, hukum, dan pranata atau institusi masyarakat desa yang bersangkutan. Bagaimanapun, komunitas-komunitas masyarakat desa ini telah bisa membuktikan, bahwa dirinya mampu bertahan hidup dengan sistem-sistem lokal yang ada. Komunitas-komunitas lokal di pedesaan yang tidak lagi mendefinisikan dirinya sebagai masyarakat adat juga secara berkelanjutan menerapkan kearifan (pengetahuan dan tata cara) tradisional ini dalam kehidupannya, termasuk dalam memanfaatkan sumber daya dan keanekaragaman hayati untuk memenuhi

Jurnal Kerabat

kebutuhannya, seperti pengobatan, penyediaan pangan dan sebagainya. Dengan tidak menghilangkan unsur teknologi modern yang susah payah kita adopsi dari barat, serta dipadukan dengan kegiatan assessment dari para praktisi dan ilmuan sosial untuk mengumpulkan informasi dari masyarakat tentang bentukbentuk kearifan, akan dapat menghasilkan sebuah formulasi terpadu. Terpadu yang dimaksud di sini adalah kolaborasi antara mekanisasi pertanian (pertanian modern) yang di dominasi pemikiran barat dengan nilai-nilai kearifan (pertanian tradisional) yang menjadi ciri utama negara-negara yang sedang berkembang. Kerendahan Hati dan Mau Belajar Gagasan kolaborasi ini bisa terwujud jika pemerintah (terdiri dari agen pembangunan, ahli pertanian, teknokrat konsultan) tidak menganggap masyarakat adat dan desa dengan pendidikan rendah merupakan sekelompok orang “bodoh” yang tidak mengetahui sistem pertanian yang baik. Diperlukan kerendahan hati dan sikap mau belajar bersama masyarakat. Selanjutnya, tinggal bagaimana beragam temuan assessment dari masyarakat yang bernuansa kearifan ini dikaji lebih dalam serta diramu dengan mekanisasi pertanian. Disinilah pakar-pakar pertanian berperan dalam formulasi terpadu tersebut, sehingga menciptakan sistem pertanian modern yang berbasis kearifan. Formulasi terpadu yang tercipta memiliki pondasi yang kokoh, karena syarat dengan muatan budaya yang sudah tentu ramah lingkungan. Dari sisi cost yang dikeluarkan pun menjadi murah dan terjangkau, karena semua bahan dasarnya telah tersedia di negeri ini. Selanjutnya, teknologi apa yang dipakai untuk mengkolaborasikan kedua tradisi ini, bagaimana proses kolaborasinya, sehingga menghasilkan formulasi terpadu yang tepat guna, kita serahkan saja kepada ahlinya.

Menggagas Sistem Pertanian… Volume I Nomor 1 Maret 2006