MENJAWAB KERAGUAN UMAT ISLAM TERHADAP BANK

Download PKES Publishing dapat juga diartikan sebagai harga yang harus dibayar kepada nasabah (yang memiliki simpanan) dengan yang harus dibayar ole...

0 downloads 454 Views 601KB Size
e-book

MENJAWAB KERAGUAN UMAT ISLAM TERHADAP BANK SYARIAH pkes publishing Gd. Arthaloka, Gf.05 Jl. Jend Sudirman, Kav 2, Jakarta 10220 Telp. +62-21-2513984, Fax. +62-21-2512346 Email: [email protected], [email protected] Milis. [email protected] Web. www.pkes.org & www.pkesinteraktif.com

Judul Buku: Menjawab Keraguan Umat Islam Terhadap Bank Syariah Tim Penulis: Ir. H. M. Nadratuzzaman Hosen, MS, M.Ec. Ph.D AM Hasan Ali, MA Ach. Bakhrul Muchtasib, SEI, M.Si Tata Letak dan Cover: Adji Waluyo Pariyatno, SP ISBN: 978-979-16168-4-3 Cetakan I, November 2007 diterbitkan oleh: Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (pkes publishing) Gd. Arthaloka, Gf.05 Jl. Jend Sudirman, Kav 2, Jakarta 10220 Telp. +62-21-2513984, Fax. +62-21-2512346 Email: [email protected], [email protected] Milis. [email protected] Web. www.pkes.org & www.pkesinteraktif.com Hak Cipta dilindungi oleh Undang-Undang

KATA PENGANTAR

Sekapur Sirih Direktur Eksekutif PKES Assalamu’alaikum Wr. Wb. Pertama-tama kami bersyukur bahwa tim penulis buku PKES: Menjawab Sepuluh Keraguan Terhadap Bank Syariah telah menyelesaikan dengan baik. Mudah-mudahan buku tersebut menjadi amal jariah bagi penulis. Latar belakang ditulisnya buku ini didasarkan hasil kegiatan-kegiatan PKES dalam bentuk siaran radio, PKES interaktif, sarasehan ulama, sarasehan pondok pesantren, pengajian di majelis ta’lim, seminar di kampus, dan tanya jawab di berbagai media massa Indonesia yang diasuh oleh PKES, serta pertanyaan masyarakat luas melalui PKES interaktif. PKES mengidentifikasi sepuluh hal pokok yang menjadi keraguan umat Islam terhadap bank syariah yaitu; uang halal dan uang haram, pemanfaatan ATM bank konvensional oleh nasabah syariah, office channelling, perbedaan murabahah dengan kredit konvensional, agunan pada pembiayaan murabahah, mengapa revenue sharing tidak profit loss sharing, batas dharurat bertransaksi dengan bank konvensional, pelayanan IT pada bank syariah,

jaminan simpanan pada dana pihak ketiga, peran DSN dan BI dalam pengembangan dual banking system. Buku ini mencoba untuk menjawab keraguan tersebut dalam rangka memperjelas pemahaman masyarakat. Dengan harapan masyarakat bertambah tingkatan pemahamannya terhadap ke sepuluh keraguan tersebut. Namun, kami menyadari bahwa setelah membaca buku ini tidak semua pembaca akan merasa puas, tapi kami meyakini para pembaca dapat memahami uraian kami terhadap sepuluh keraguan tersebut secara lebih komprehensif. Akhirnya, kami serahkan sepenuhnya kepada pembaca untuk kiranya juga memberikan pemikiran tentang ekonomi syariah yang merupakan khasanah keilmuan di dunia Islam. Dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak, khususnya kepada anggota PKES yang telah memberikan bantuan moril dan materiilnya. Selamat membaca! Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Ir. H. M. Nadratuzzaman Hosen, MS, M.Ec. Ph.D Direktur Eksekutif PKES

SAMBUTAN

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Segala puji bagi Allah Azza wa Jalla, Dzat Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan petunjuk ke jalan lurus bagi hamba-hamba-Nya. Salawat dan salam, semoga selalu tercurah kepada Rasulullah, Muhammad Saw, yang telah membimbing umat Islam ke jalan yang lurus. Saat ini, banyak umat Islam Indonesia, boleh jadi belum menyadari dengan posisinya sebagai umat Islam itu sendiri. Hal ini, antara lain terlihat dengan belum banyaknya umat Islam yang memahami tentang praktek ekonomi Islam atau syariah. Adanya praktek ekonomi Islam yang dijalankan oleh lembaga keuangan syariah (LKS) masih dianggap sebagai fenomena yang baru. Padahal, jika ditelusuri secara mendalam, adanya praktek ekonomi Islam secara kelembagaan, sebetulnya bersumber pada khazanah yang ada dalam berbagai kitab fiqh muamalah, yang nota benenya sering dikaji secara akademis di lingkungan perguruan tinggi Islam atau pondok pesantren.

Oleh karena itu, diperlukan berbagai cara untuk mengingatkan umat Islam, bahwa praktek bisnis yang dijalankan telah sesuai dengan kaedah yang ada dalam fiqh muamalah. Apalagi, dalam operasional setiap lembaga keuangan syariah mengharuskan adanya Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang berfungsi mengawasi operasional lembaga tersebut agar tetap selaras dengan ketentuan syariah Islam. Patut kita syukuri bahwa Bank Indonesia dan Departemen Keuangan, sebagai regulator dalam kegiatan bisnis syariah, sangat mematuhi ketentuan yang ada dalam fatwa yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Fatwa-fatwa tersebut pada umumnya bersumber dari khazanah klasik yang terdapat di dalam kitab fiqh mumalah yang perlu disosialisasikan ke tengahtengah masyarakat luas. Salah satunya melalui penerbitan buku. Buku yang dipersembahkan oleh tiga orang penulis ini turut memperkaya khazanah intelektual kita pada umumnya dan dalam bidang perbankan syariah pada khususnya. Oleh karena itu, sungguh sewajarnya bila kami, selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, memberikan penghargaan dan apresiasi atas penulisan dan penerbitan buku ini. Kami berharap dan bahkan berkepercayaan, buku ini sangat bermanfaat bagi civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, maupun mahasiswa fakultas syariah di STAIN-IAIN di Indonesia. Bahkan, bagi para pembaca pada umumnya terutama berkaitan dengan mata kuliah yang berkaitan dengannya.

Akhir kata, selamat membaca semoga bermanfaat. Wassalamualaikum wr. wb. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Jakarta, 1 November 2007

Prof. Dr. KH. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM

GLOSSARI Adh’afan Mudha’afan

: Berlipat ganda

Agunan

: Jaminan pada pembiayaan

Ahliyah

: Kelayakan

Akad

: Perikatan; kontrak

Al Ghunmu bil ghurmi

: Keuntungan tergantung dengan risiko : Hasil usaha tergantung dengan biaya : Kerelaan kedua belah pihak

Al Kharaj bid dhaman An taradhin Asymmetric information

: Informasi yang tidak simetri

ATM

: Automatic Teller Machine; anjungan tunai mandiri

Balance

: Keseimbangan

Bank Konvensional



: Bank yang beroperasi dengan sistem bunga

Bank Syariah

: Bank yang beroperasi dengan sistem syariah

Baqa ‘Ainihi

: Zatnya tetap

Bathil

: Yang salah

Capital

: Modal

Cash

: Tunai

Credit

: Non tunai

Customer Service

: Pelayanan nasabah

Dealer

: Penjual motor atau mobil

Developer

: Pembangun rumah

Dharurat

: Keterpaksaan

DPbS

: Direktorat Perbankan Syariah BI

DPS

: Dewan Pengawas Syariah

DSN Dzanni

: Dewan Syariah Nasional : Tidak jelas; ragu

Enterpreneur

: Kewirausahaan; pengelola modal

Fatwa

: Pendapat hukum

Flow concept

: Konsep mengalir atau berputar

Gharar

: Ketidakjelasan

Goods

: Barang-barang

Gross profit

: Laba kotor

Halal

: Boleh

Haq

: Benar

Haram

: Terlarang

Haram li dzatihi

: Terlarang karena dzatnya

Haram li ghairihi

: Terlarang karena ada faktor lain

Hibatus Tsawab

: Pemberian yang mengharapkan imbalan

Hifdz ad-din

: Melindungi agama

Hifdz al-aql

: Melindungi akal

Hifdz al-mal

: Melindungi harta

Hifdz an-nafz

: Melindungi jiwa

Hifdz an-nasl

: Melindungi keturunan

Ib

: Islamic banking; logo bagi kantor bank yang memberikan layanan transaksi syariah

Illat

: Sebab

IMA

: Investasi Antar Bank

Interest

: Bunga

Investor

: Pemodal

Iwadh

: Pengganti

Kholiq

: Pencipta

La dharara wa la dhirar

: Tidak membahayakan bagi sendiri dan orang lain

La tadzlimuna wa la tadzlimun : Tidak mendzalimi diri sendiri dan orang lain Lil Istighraq : Untuk umum LKS

: Lembaga Keuangan Syariah

Mafhum Mukhalafah

: Pemahaman Terbalik

Mafhum

: Pemahaman konstektual

Majazi

: Kiasan

Makhdoh

: Pokok

Mantuq

: Pemahaman tekstual

Margin

: Keuntungan

Market share

: Pangsa pasar

Maskut ‘anhu

: Berdiam diri

Maslahah

: Manfaat; mengandung kebaikan

Mitslan bi Mitslin

: Kualitasnya sama

Moral Hazard

: Kecenderungan berbuat jahat

Mudharabah

: Akad atau pembiayaan yang mengacu pada prinsip bagi hasil

Mudharib

: Pengelola; enterpreneur

Mudzakarah

: Forum untuk berdzikir atau mengingat

MUI

: Majelis Ulama Indonesia

Mukallaf

: Yang mendapat beban kewajiban

Murabahah Musyarakah

: Jual beli yang harga jualnya dinaikan dengan menyebutkan harga awalnya : Akad atau pembiayaan dalam penyertaan modal

Najis Mughalladzah

: Najis yang berat

Najis Mukhaffafah

: Najis yang ringan

Net Profit

: Keuntungan bersih

Nisbah Bagi Hasil

: Rasio bagi hasil

Office Channelling Out put

: Kantor bank yang memberi layanan syariah : Keluaran; hasil

PBI

: Peraturan Bank Indonesia

PKES

: Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah

Profit and loss sharing

: Pembagian hasil didasrkan pada keuntungan dan kerugian

Qardh al-Hasan

: Pinjaman Kebajikan

Qardh

: Pinjaman

Qashar

: Meringkas

Qath’i

: Tetap ; jelas

Qias

: Analogi

Revenue Sharing

: Pembagian hasil didasarkan atas pendapatan

Riba buyu’

: Tambahan pada jual-beli; istilah lain dari riba fadh

Riba duyun Riba

: Tambahan dari pinjaman; istilah lain dari riba nasiah

Ribh

: Keuntungan

: Tambahan; bunga

Sad adz-dzariah

: Memotong jalur yang terlarang atau berbahaya

Sales Revenue

: Pendapatan penjualan

Sawa’an bi sawa in

: Kuntitasnya sama

Service satisfaction

: Pelayanan yang memuaskan

Services

: Jasa-jasa

Shahibul Mal

: Pemodal; investor

Social Oriented

: Berorientasi sosial

Stock Concept

: Konsep mengendap atau tertahan

Syar’i

: Sesuai dengan syariah

Tahakum

: Membuat hukum

Teller

: Kasir pada bank

Time value of money

: Nilai waktu dari uang

Total Cost

: Total biaya

Total Revenue

: Total pendapatan

Ukhrawi

: Bersifat akherat

Uslub

: Struktur Kalimat

UUS

: Unit Usaha Syariah

Wadiah

: Titipan

Yadan bi yadin

: Waktu penyerahan sama

Ziyadah al-buyu’

: Tambahan dari transaksi jual beli

Ziyadah al-qurudh

: Tambahan dari transaksi pinjam meminjam

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ........................................................ Glossary .................................................................... Daftar Isi ..................................................................

i ii vi

A. Kupas Tuntas tentang Riba dan Bunga Bank....

1

B. Keraguan 1 : Uang Halal dan Uang Haram........

29

C. Keraguan 2 : Pemanfaatan ATM Bank Konvensional oleh Nasabah Syariah..................

37

D. Keraguan 3 : Office Channelling......................... E. Keraguan 4 : Perbedaan Murabahah dengan Kredit Konvensional............................................

43

49

F. Keraguan 5 : Agunan Pada Pembiayaan Murabahah............................................................

59

G. Keraguan 6 : Mengapa Revenue Sharing, Tidak Profit and Loss Sharing ?...........................

66

H. Keraguan 7 : Batas Dharurat Bertransaksi dengan Bank Konvensional. ................................

86

I. Keraguan 8 : Pelayanan dan IT pada Bank Syariah.. 94 J. Keraguan 9 : Jaminan Simpanan pada Dana Pihak Ketiga (DPK)..................................................... 108 K. Keraguan 10: Peran DSN-MUI dan BI dalam Pengembangan Dual Banking System................... 114 Daftar Pustaka.............................................................. 116 Tentang Penulis............................................................ 120 ***

MENJAWAB KERAGUAN UMAT ISLAM TERHADAP BANK SYARIAH Kupas Tuntas Tentang Riba dan Bunga Bank

RIBA DAN BUNGA

S

uatu hal yang banyak diyakini kalangan para ekonom dan bisnisman bahwa ilmu ekonomi dan aktivitas bisnis adalah sesuatu yang bersifat positif, jauh dari norma-norma religius keagamaan. Pendapat ini mungkin benar jika diterapkan di dalam agama dan kepercayaan-keparcayaan lain yang memisahkan antara urusan ibadah keagamaan dengan urusan berekonomi, yang dianggap sebagai bentuk komersialisasi yang bersifat keduniaan. Tetapi hal ini akan berbeda dengan Islam yang melihat bahwa aqidah, syari’ah dan mu’amalah serta akhlak adalah salah satu mata rantai yang tidak terpisahkan dari sistem Islam itu sendiri. Hubungan diantaranya terjalin sedemikian rupa sehingga merupakan suatu sistem yang comprehensive dan universal. Islam tidak hanya menuntut umatnya untuk sekedar menjalankan ibadah ritual yang bersifat mahdhoh, ibadah yang hanya bertendensi pada akhirat saja, atau yang hanya bertujuan pada penciptaan hubungan kepada sang Khaliq (mu’amalat ma’al khalqi). Tetapi, Islam juga mengatur

Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba

adanya ketentuan tuntutan kepada umatnya untuk melakukan kegiatan yang bersifat keduniaan, sebagai bentuk proses untuk pencapaian tujuan ukhrawinya. Berekonomi adalah salah satu kegiatan duniawi yang diatur untuk menciptakan harmonisasi hubungan antara sesama umat manusia. Secara jelas al-Qur’an telah menyebutkan dan mengatur adanya tingkatan ibadah yang tidak hanya bersifat ukhrawi. Al-Qur’an telah memberikan gambaran kepada umat manusia untuk melakukan kegiatan yang bersifat duniawi, diantaranya adalah berekonomi. Walaupun di dalam alQur’an yang secara jelas dan bersifat qoth’i, penyebutan terhadap ayat yang mengandung unsur ekonomi hanya pada jual beli dan pelarangan riba, tetapi banyak ayatayat lain yang dapat digunakan sebagai rujukan di dalam melakukan kegiatan ekonomi.

PKES Publishing

Pengharaman terhadap praktik riba dikalangan umat Islam sudah cukup jelas dan telah disepakati bersama dikalangan para ulama’. Tidak terdapat perbedaan pendapat di antara mereka tentang haramnya riba, karena secara jelas telah di nash di dalam al-Qur’an tentang bagaimana riba tidak boleh dilakukan dalam interaksi sosial di masyarakat. Riba didalamnya terdapat unsur ketidakadilan yang akan ditimbulkannya, karena antara satu dengan yang lain akan saling mengeksploitasi dan berlaku dzalim. Yang menjadi permasalahan di kalangan ulama’ dan bahkan menjadi polemik berkepanjangan adalah tentang penentuan bunga pada lembaga keuangan yang telah berkembang selama ini. Apakah bunga yang diberlakukan di dalam lembaga keuangan termasuk di dalam unsur riba, Menjawab Keraguan Umat Islam

2

Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba

atau bahkan praktik riba itu sendiri? Bunga dijadikan sebagai penopang hidup dan berkembangnya lembaga keuangan, oleh para kaum kapitalis di anggap sebagai penggerak ekonomi, tanpa bunga perekonomian dunia tidak akan pernah berkembang. Para ulama’ dan cendekia muslim berbeda pendapat dalam memahami dan menentukan apakah bunga dapat diberlakukan dan dijalani oleh setiap orang, dengan dikaitkan pada nash tentang riba. A. Persamaan Riba dan Bunga Di dalam istilah bahasa, Bunga (interest) adalah uang yang digunakan atau di bayar atas penggunaan uang. Atau pekerjaan meminjamkan uang dengan mengenakan tambahan nominal pada uang tersebut.

PKES Publishing

Konsep bunga (interest) mulai dikenal sejak zaman pertengahan Latin yang disebut dengan istilah interesse yang berarti pampasan karena kerugian atau bayaran pampasan. Dalam undang-undang Romawi, interest atau dalam bahasa Latin disebut id quod interest berarti potongan yang diberikan akibat kerusakan atau kerugian yang ditanggung si pemberi hutang akibat kegagalan peminjam untuk mengembalikan pinjaman pada saat yang ditentukan. Menurut istilah lain bunga adalah pembayaran keatas modal yang dipinjam dari pihak lain. Bunga dapat juga diartikan sebagai balas jasa yang diberikan oleh lembaga keuangan yang berdasarkan prinsip konvensional kepada nasabah yang membeli atau menjual produknya. Bunga 3

Menjawab Keraguan Umat Islam

Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba

dapat juga diartikan sebagai harga yang harus dibayar kepada nasabah (yang memiliki simpanan) dengan yang harus dibayar oleh nasabah kepada bank (nasabah yang memperoleh pinjaman). Dalam istilah lain bunga memiliki arti sebagai harga atau kompensasi atau ganti rugi yang dibayarkan untuk penggunaan uang selama suatu jangka waktu. Ini dinyatakan dalam suatu prosentasi dari jumlah uang yang dipinjamkan atau dipakai selama suatu jangka waktu. Hal ini sama persis artian bunga dengan riba yang telah dikenal di dalam agama Islam. Riba yang berasal dari bahasa arab secara etimologi diartikan sebagai tambahan, meningkat atau membesar. Sedangkan menurut istilah teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam yang bertentangan dengan kaidah syar’i.

PKES Publishing

Secara istilah Imam Sarakhsi menjelaskan riba sebagai bentuk tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan (iwadh) yang dibenarkan syari’ah atas penambahan tersebut. Sedang menurut Badr ad-Dien al-Ayni prinsip utama riba adalah penambahan. Menurut syari’ah riba berarti penambahan atas harta pokok tanpa adanya transaksi bisnis riil. Unsur kesamaan yang dimiliki antara bunga, yang dijalankan di dalam perkembangan ekonomi kapitalis dan dianut oleh lapisan masyarakat dunia, dengan riba yang telah berkembang dan diwariskan oleh masa jahiliyah, memberikan akibat hukum pelarangan terhadap bunga Menjawab Keraguan Umat Islam

4

Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba

tersebut. Oleh karena, riba secara qoth’i telah di nash di dalam al-Qur’an, haram hukumnya. Pengharaman terhadap bunga karena adanya kesamaan illat dengan riba, yaitu adanya tambahan. Perkembangan ekonomi kapitalis, perumus konsep bunga, yang telah mengakar dan serta telah merasuk di dalam sendi-sendi sistem berekonomi masyarakat dunia, telah memasung alam pikir seseorang, sehingga menganggap praktek pembungaan pada setiap pinjaman atau transaksi hutang piutang adalah suatu hal yang wajar dan selayaknya untuk dilakukan. Rasionalisasi pola pikir yang dibangun oleh mereka telah mengenyampingkan nilai keadilan yang seharusnya sebagai prinsip dasar di dalam melakukan kegiatan ekonomi. Sehingga tidak menimbulkan salah satu diantaranya teraniaya.

PKES Publishing

Rumitnya persoalan mengenai bunga, yang tentunya tidak mudah terpahami oleh orang awam, maka sangat berdasar ketika bunga tersebut harus diberikan legalitas fatwa oleh MUI, yang telah dikeluarkan pada tanggal 16 Desember 2003, menetapkan bahwa praktek pembungaan uang telah dianggap memenuhi kriteria riba yang terjadi pada zaman Rasulullah SAW, yakni riba nasi’ah. Dengan mendefinisikan bunga (interest) adalah tambahan yang dikenakan untuk transaksi pinjaman uang yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/ hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, dan diperhitungkan secara pasti dimuka berdasarkan persentase. Istilah tersebut disamakan dengan istilah riba yang berarti tambahan tanpa imbalan yang terjadi karena penangguhan 5

Menjawab Keraguan Umat Islam

Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba

dalam pembayaran yang dijanjikan sebelumnya. B. Pelarangan Bunga Nash al-Qur’an yang telah memberikan landasan dasar di dalam mengambil dalil untuk menghukumi atau menjustifikasi atas pelarangan bunga dapat disandarkan pada surat al-Baqarah (2) ayat 275-279, Ali Imran (3) ayat 130, an-Nisa’ (4) ayat 161 dan surat ar-Rum (30) ayat 39. Dari ayat-ayat tersebut telah di bahas tentang proses dari pengharaman terhadap riba. Di dalam Bunga terdapat unsur yang merupakan unsur yang dimiliki oleh riba, yaitu pembebanan nilai tambah pada harta tanpa adanya kegiatan yang haq.

PKES Publishing

Turunnya ayat tentang pengharaman riba terjadi melalui empat tahapan. Di mana pada tahapan pertama turun pada periode Makkah, Allah SWT tidak menegaskan keharaman riba tetapi hanya memberikan isyarat bahwa riba di benci dan tidak ada nilai kebaikannya di sisi Allah SWT. Hal ini terkandung di dalam surat ar-Rum (30) ayat 39. Sebagian besar sahabat dan ahli tafsir berpendapat bahwa riba yang di maksud di sini adalah pemberian bukan tambahan (riba) yang diharamkan. Berkata Ibnu Abbas, Ibnu Jubair, Thowus dan Mujahid : “Ayat ini turun terkait dengan hibatus tsawab (pemberian yang mengharapkan imbalan). Menurut Ibnu Katsir di dalam ayat ini dikatakan sebagai riba yang mubah, riba yang dihalalkan oleh Allah. Karena Menjawab Keraguan Umat Islam

6

Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba

kata riba di sini terdefinisi sebagai hadiah yang diberikan seseorang dengan mengharapkan imbalan yang lebih. Tahapan kedua, turun pada periode madinah yang termaktub pada surat an-Nisa’ ayat 161, yang telah memberikan isyarat akan keharaman riba karena adanya madharat yang terkandung di dalamnya, ayat ini memberikan pembelajaran atas kejahatan yang ditimbulkan riba seperti yang telah berkembang pada masyarakat Yahudi. Tahapan ketiga, pada tahapan ini Allah telah memberikan ketegasan atas haramnya riba, namun belum memberikan arti haram pada keseluruhan unsur yang terdapat pada riba. Bentuk riba yang diharamkan hanya pada unsur atau sifat riba yang berlipat ganda (adh’afan mudho’afah). Penegasan yang diberikan ini terdapat pada nash al-Qur’an surat Ali Imran (3) ayat 130.

PKES Publishing

Tahapan keempat, secara jelas Allah telah mengharamkan riba secara keseluruhan dari semua bentuk tanpa ada pengecualian, dan menutup segala kesangsian dan keraguan atas pendapat tentang riba. Hal ini disampaikan melalui firman Allah SWT pada surat al-Baqarah (2) ayat 275-278. Meninggalkan riba adalah suatu kewajiban bagi setiap orang yang beriman, tidak dikatakan beriman jika seseorang masih melakukan praktek riba, karena antara riba dan iman diisyaratkan pada ayat terakhir ini, tidak pernah menyatu di dalam diri seseorang. Jika seseorang melakukan praktek riba, maka itu bermakna ia tidak percaya pada Allah dan janji-janji-Nya. 7

Menjawab Keraguan Umat Islam

Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba

Dianjurkan di dalam syari’ah Islam kepada setiap umatnya untuk melakukan kebaikan kepada sesamanya yang mempunyai nilai lebih dari shadaqah, yaitu kebaikan kepada seseorang dengan memberikan kelonggaran waktu ketika orang tersebut berhutang dan tidak bisa membayar ketika sudah jatuh tempo. Maka Allah akan memberikan pahala yang berlipat ganda kepada seseorang yang telah menghutangkan hartanya dengan baik (qardh hasan), ketika mengharap pinjamannya kembali pada saat itu, akan tetapi tertunda karena si penghutang tidak sanggup membayarnya, dan diterima penundaan itu dengan sabar dan lapang dada, seperti yang telah dijanjikan di dalam surat al-Hadid (57) ayat 11.

PKES Publishing

Rasulullah SAW mengkategorikan keharaman riba dengan mengklasifikasikan pada tujuh dosa besar yang harus ditinggalkan oleh umatnya. Dalam riwayat Abdullah Ibnu Mas’ud di katakan bahwa Rasulullah SAW melaknat para pemakan riba, yang memberi dengan cara riba, para saksi dalam masalah riba, dan para penulisnya. (HR. Abu Daud dan Muslim). Sering kali para ulama’ dan atau cendekiawan muslim terjebak di dalam memberikan landasan hukum, pada praktek bunga yang sangat mendominasi di dalam perkembangan ekonomi selama ini. sebagian ada yang menganggap bahwa unsur yang terkandung di dalam bunga belum memenuhi kriteria yang terdapat pada arti riba. Hal ini disandarkan pada makna riba yang diturunkan pada surat Ali Imran (3) ayat 130. Di mana pada ayat ini makna riba ditegaskan dengan arti kata jumlah yang berlipat-lipat (adh’afan Mudho’afah). Menjawab Keraguan Umat Islam

8

Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba

Makna adh’afan mudho’afah dalam tata bahasa arab adalah bentuk kata jama’ yang merupakan sifat pada bilangan harta, jika diartikan secara harfiyah kata jama’ di mulai dengan bilangan tiga (3), maka akan dikalikan dua (2) menjadi enam (6). Misal, jika seseorang berhutang 100 ribu maka bayarnya harus 300 ribu di kali 2 menjadi 600 ribu. Hal ini yang menyebabkan adanya ulama’ Islam berpendapat bahwa bunga bukan diartikan sebagai bentuk riba dan di perbolehkan dalam transaksi bisnis, karena dianggap akan memberi manfaat bagi umat manusia, dengan dalih untuk kepentingan umum (maslahah) karena di masyarakat tradisional tingkat suku bunga nilainya masih lebih rendah dari pada pembebanan terhadap hutang yang telah di berikan oleh kaum rentenir. Sehingga Mufti besar Mesir, Muhammad Abduh kemudian di teruskan oleh muridnya Rasyid Rida, menyetujui deposito bank tabungan di awal abad XX. Pembebanan bunga pada deposito yang ditawarkan pada masyarakat dianggap tidak terlalu memberatkan, karena hanya diambil dengan prosentase lebih kecil dari jumlah dana tabungan.

PKES Publishing

Pendapat lain yang memperbolehkan bunga lebih banyak terpengaruh dengan pola pikir yang beranggapan bahwa nilai uang sekarang lebih berharga dari pada nilai uang di masa yang akan datang. Yang diartikan sebagai terjadinya suku bunga nominal yang hanya sekedar mengimbangi laju inflasi. Bila suku bunga tersebut tidak mengimbangi laju inflasi maka sama halnya berarti bahwa pada hakikatnya pemilik uang memberi subsidi kepada pihak yang meminjam. 9

Menjawab Keraguan Umat Islam

Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba

Karena pada saat terjadi inflasi, uang yang dipinjamkan tidak akan mencukupi untuk dibelikan pada barang yang sama saat waktu meminjam. C. Nilai Keadilan terhadap Pelarangan bunga Di dalam inti ajaran agama Islam konsep nilai keadilan adalah merupakan inti semua ajaran yang diwajibkan untuk dilaksanakan pada setiap kegiatan. Adil kepada setiap orang dan juga adil untuk diri sendiri merupakan cerminan Islam dalam mengajarkan umatnya. AlQur’an sendiri secara tegas menyatakan bahwa maksud diwahyukannya, adalah untuk membangun keadilan dan persamaan (al-Qur’an 57:25 dan 7:29). Adil menurut Islam adalah tidak membahayakan bagi yang lain dan juga tidak membahayakan bagi dirinya sendiri (Laa dharara wa laa dhiraar) atau tidak melakukan tindakan yang mendzalimi dirinya sendiri ataupun orang lain (laa tadzlimuuna wa laa tudzlamuun).

PKES Publishing

Adil berarti juga dapat menempatkan sesuatu pada yang haq. Tidak dapat dibenarkan bagi seseorang melakukan tindakan yang bukan kewenangan dirinya, atau mengambil sesuatu tanpa adanya perbuatan yang dibenarkan. Di dalam unsur keadilan sering kali terjadi karena adanya unsur eksploitasi kepada yang lain, melakukan tindakan sewenang-wenang tanpa berpikir tentang akibat yang akan ditimbulkannya dengan mengenyampingkan unsur moralitas.

Menjawab Keraguan Umat Islam

10

Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba

Penerapan bunga pada prinsip ekonomi kapitalis lebih bersifat individualistik, yang hanya berpikir untuk kepentingan pribadinya tanpa memperdulikan keadaan lingkungan sekitar. Beban bunga pada setiap dana yang dipinjamkan kepada yang lain akan dapat memberatkan dan menyulitkan ketika batas waktu pengembalian telah datang. Di samping harus mengembalikan nominal pokok dari dana yang di pinjam, seseorang harus memberikan tambahan lebihan dari dana tersebut. Tidak dipedulikan apakah orang tersebut mampu membayar atau tidak. Dan jika saat batas waktu tidak dapat membayar maka beban bunga secara otomatis akan bertambah. Secara jelas dapat terlihat bahwa unsur eksploitasi yang terdapat di dalamnya cukup kuat, dan ada salah satu pihak yang terdzalimi, di mana seseorang yang meminjam dana harus terbebani risiko. Kalau di dalam perbankan lazimnya pemilik harta yang yang menitipkan dan atau menginvestasikan uangnya seharusnya menaggung risiko investasi bukan mendapat jaminan pengembalian seluruh pokok investasi.

PKES Publishing

Tindakan tidak adil dapat kita lihat dalam praktek perbankan selama ini, yaitu: 1. Bunga yang dibayarkan kepada nasabah pemilik dana bukan berdasarkan hasil usaha bank dan waktu pemakaian uang yang sebenarnya, apalagi berdasarkan hasil dan waktu pemakaian uang oleh nasabah pemakai dana. Timbul pula kondisi dzalim dari nasabah pemilik dana terhadap bank. 2. Bila bank tidak sanggup membayar sebagian atau seluruh bunga dan pokok uang simpanan nasabah pemilik dana dari pembayaran nasabah pemakai dana, 11

Menjawab Keraguan Umat Islam

Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba

3.

4.

5.

6.

maka bank harus membayar dari modal dan harta lain milik bank. Bila tak sanggup lagi, maka pemerintah mengambil alih kewajiban bank dan selanjutnya jadi beban rakyat. Timbul kondisi dzalim dari nasabah pemilik dana dan pemilik bank kepada pemerintah dan rakyat. Bila nasabah pemakai dana tak sanggup membayar sebagian atau seluruh bunga dan pokok uang yang dipakai maka bank mengambil pembayaran sisa kewajiban nasabah pemakai dana dari pencapaian jaminan. Timbul moral hazard. Adanya kegiatan yang menjadikan uang sebagai komoditi. Padahal uang tidak dapat menghasilkan sesuatu sampai uang itu berganti menjadi harta atau hak pengguna harta. Timbul moral hazard. Bunga yang harus dibayarkan oleh nasabah pemakai dana ditentukan berdasarkan jumlah uang dan jangka waktu hak pemakaian uang bukan berdasarkan hasil pemakaian uang oleh nasabah pemakai dana maupun jenis transaksi yang dibiayai oleh bank. Timbul kondisi dzalim dari bank terhadap nasabah pemakai dana. Adanya keberpihakan sistem kepada orang yang memiliki uang untuk memperoleh hasil tanpa harus bekerja, terlepas apakah uang tersebut digunakan atau tidak untuk kegiatan yang memberikan nilai tambah.

PKES Publishing

Menjawab Keraguan Umat Islam

12

Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba

D. Pendapat Ulama tentang Bunga Para ulama telah sepakat bahwa bunga Bank haram hukumnya karena tergolong ke dalam riba, hal ini seperti yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Hadis, yang intinya : “Allah swt dan Rasulullah melaknat orang-orang yang memakan riba”. Beberapa alasan mengapa bunga menjadi dilarang dalam Islam, diantaranya adalah : 1. Bunga (interest), sebagai biaya produksi yang telah ditetapkan sebelumnya cenderung menghalangi terjadinya lapangan kerja penuh (full employment) [M.A. Khan, 1986; Ahmad, 1952; Mannan, 1986]. 2. Krisis-krisis moneter internasional terutama disebabkan oleh institusi yang memberlakukan bunga [M.A. Khan, 1986]. 3. Siklus-siklus bisnis dalam kadar tertentu dinisbahkan kepada fenomena bunga [Ahmad, 1952; Su’ud, 1980]. 4. Teori ekonomi modern yang berbasis bunga ini belum mampu memberikan justifikasi terhadap eksistensi bunga [Khan dan Mirakhor, 1992].

PKES Publishing

Dalam Al-Qur’an dan Hadis, dinyatakan bahwa penarikan bunga adalah tindakan pemerasan dan tidak adil sehingga tidak sesuai dengan gagasan Islam tentang keadilan dan hak-hak milik, “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu 13

Menjawab Keraguan Umat Islam

Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba

sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamakan riba.......” (QS Al-Baqarah : 275). Pendapat Prof. KH. Ibrahim Hosen tentang Bunga Sebagai penguat, untuk menghilangkan keragu-raguan di hati umat Islam, mengenai status hokum bunga bank haram, di bawah ini dikutipkan pendapat Prof. KH. Ibrahim Hosen. Tulisan ini merupakan cuplikan dari makalah yang pernah disampaikan di forum Lokakarya Nasional MUI yang diadakan di Cisarua pada tahun 1990. Intinya, tulisan ini ingin menegaskan bantahan bagi pendapat orang atau kelompok yang masih bersikukuh dengan hukum halalnya bunga bank.

PKES Publishing

Pendapat yang mengatakan bahwa karena darurat maka bunga bank menjadi boleh/halal. Tepatkah dengan alasan darurat, bunga bank itu menjadi boleh/halal? Menurut hemat saya mengatakan bahwa bunga bank itu boleh/halal dengan alasan darurat adalah tidak tepat. Kenapa? Sebab apa yang mereka katakan sebagai darurat itu berlawanan dengan pengertian darurat yang dikehendaki dalam dunia hukum Islam, yang rumusannya sbb: “Sampainya seseorang pada batas suatu kondisi yang apabila orang itu tidak melakukan hal-hal yang dilarang maka akan binasa (rusak atau mati) atau mendekatinya”.

Menjawab Keraguan Umat Islam

14

Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba

Sesuai dengan definisi darurat di atas maka menurut hemat saya adalah tidak tepat kalau darurat dijadikan argumentasi untuk menghalalkan bunga bank. Apakah mereka yang mendirikan bank itu kondisinya sudah sampai batas itu? Apakah mereka-mereka yang meminjam uang di bank itu kondisinya sudah sampai batas tersebut? Dan seandainya hal itu bisa diterima, juga tetap tidak dapat dipertahankan. Sebab yang namanya darurat tentu ada batas-batasnya dan ada masa berlakunya, sejalan dengan kaidah :

PKES Publishing

“Masa berlakunya darurat harus dibatasi/diperkirakan sesuai dengan batas-batasnya/ukurannya”. Atas dasar ini seharusnya kalau pemerintah sudah mendirikan bank maka pihak swasta tidak dibenarkan untuk mendirikan bank lagi. Di samping itu kebolehan mendirikan bank bagi pemerintah pun selamanya, dengan pengertian pemerintah harus mengusahakan berdirinya bank yang tanpa bunga. Demikian juga dalam kaitannya dengan orang yang bermuamalah dengan bank, tentu kebolehannya ada batas-batasnya, tidak terus-menerus. Di samping itu untuk mengetahui kapan limit darurat itu selesai/berhenti juga sulit. Pendapat yang mengatakan kalau bunganya tidak berlipat ganda boleh/halal. Tepatkah alasan yang mengatakan bahwa kalau bunganya tidak berlipat ganda boleh/halal dengan alasan mafhum 15

Menjawab Keraguan Umat Islam

Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba

mukhalafah ayat : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda”(Ali Imron, 130). Ushuliyyin telah konsensus bahwa qaid/keterangan yang sudah ada faedahnya tidak ada mafhum mukhalafah, qaid/ keterangan yang sudah ada faedahnya itu antara lain: 1. Untuk menyesuaikan jawaban dengan pertanyaan. Misalnya seorang mahasiswa bertanya kepada dosen :”apakah mahasiswa yang berbaju putih itu boleh masuk?”. Maka dosen menjawab : “Oh ya, mahasiswa yang bajunya putih itu boleh masuk”. Ucapan dosen ini tidak bisa dipahami (sebagai mafhum mukhalafahnya) bahwa yang bajunya tidak putih tidak boleh masuk, itu tidak. Karena keterangan yang berbaju putih tadi sudah ada faedahnya, yaitu sekedar untuk menyesuaikan dengan pertanyaan yang diajukan.

PKES Publishing

2. Menerangkan fakta/kejadian yang terjadi. Contohnya seperti ayat 130 Ali Imron di atas. Kata “Adl’afan Mudlafah”, yang artinya berlipat ganda dalam ayat tersebut sudah ada faedahnya, yaitu menerangkan fakta/kejadian yang terjadi; dimana riba yang terjadi di zaman Jahiliyah itu pada umumnya bunganya berlipat ganda. Oleh karena itu maka “Adl’afan Mudha’afah” tidak ada mafhum mukhalafahnya; sehingga tidak dapat dipahami bahwa riba yang bunganya tidak berlipat ganda maka hukumnya halal/ boleh, itu tidak. Dalam hal ini ulama telah konsensus. Kalau seandainya ayat 130 Ali Imron di atas ada mafhum mukhalafah-nya maka nash-nash lain senada atau sejenis harus pula dipahami demikian (ada mafhum mukhalafahMenjawab Keraguan Umat Islam

16

Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba

nnya). Misalnya : • Al-Isra’, 31 : “dan janganlah kamu membunuh anakanak kamu karena takut kemiskinan”. Sebagai mafhum mukhalafah-nya maka kita boleh membunuh anak-anak kita kalau motivasinya bukan karena miskin/tidak bisa memberi makan. Nah, apakah memang demikian? • An-Nisa’, 101 : “apabila kamu bepergian di muka bumi maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat, jika kamu takut diserang orang-orang kafir”. Sebagai mafhum mukhalafah-nya berarti dalam kondisi aman kita tidak dibenarkan meng-qashar shalat dalam waktu bepergian. Nah, apakah memang demikian? Ulama’ telah konsensus bahwa kebolehan mengqashar shalat bagi musafir adalah mutlak, baik dalam kondisi khawatir diserang musuh atau dalam keadaan aman. • An-Nisa, 23 : “dan haram menikahi anak-anak istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaan/asuhanmu dari istri yang telah kamu campuri”. Sebagai mafhum mukhalafahnya berarti kita boleh menikahi anak tiri, kalau anak tiri itu tidak dalam pemeliharaan/asuhan kita. Nah, apakah memang demikian? • Hadits Nabi : “hendaklah kamu beristinjak dengan tiga batu”. Mafhum mukhalafah-nya berarti kita tidak boleh/tidak sah beristinjak dengan selain tiga batu. Nah, apakah demikian? Hal ini menunjukkan bahwa ayat-ayat atau hadits semacam itu memang tidak ada mafhum mukhalafah-nya. Dalam hal ini Ulama telah konsensus. Jadi kalau kita mengatakan bahwa “Adl-‘afan Mudla’afah” ada mafhum mukhalafahnya; sehingga dipahami bahwa riba yang bunganya tidak berlipat ganda halal/mubah maka berarti kita melanggar kaidah hukum Islam yang telah disepakati oleh Ushuliyyin.

PKES Publishing

17

Menjawab Keraguan Umat Islam

Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba

Disamping itu pemahaman tersebut–Adl’afan Mudla’afah ada mafhum mukhalafah-nya- juga kontra dengan mantuq (penegasasn tekstual) ayat 278 Al-Baqarah : “dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu, tidak boleh menganiaya dan tidak boleh dianiaya.” Menurut kaidah Ushl Fiqh apabila mafhum (pemahaman kontekstual/ pengertian tersirat) berlawanan dengan mantuq (penegasan tekstual/ pengertian tersurat) maka yang dimenangkan adalah mantuq. Pemahaman mafhum semacam itu menjadi gugur. Atas dasar itu semua maka sekali lagi pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank itu boleh/halal apabila tidak berlipat ganda adalah tidak benar.

PKES Publishing

Hal itu muncul dari orang-orang yang tidak memahami metodologi penggalian hukum Islam sebagaimana diuraikan dalam buku-buku Ushl Fiqh. Dengan tidak bepedoman dan tidak mengikuti kaidah-kaidah hukum yang telah disepakati oleh para Ulama tersebut akibatnya akan merusak ayatayat al-Qur’an dan Hadits Nabi. Ini berbahaya. 3. Pendapat yang menyatakan bahwa bunga bank untuk tujuan produktif boleh/halal. Tepatkah pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank untuk tujuan produktif boleh/halal dan untuk tujuan konsumtif haram, dengan alasan karena riba di zaman jahiliyah adalah bersifat konsumtif?

Menjawab Keraguan Umat Islam

18

Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba

Pendapat ini menurut hemat saya juga tidak tepat. Kenapa? Karena kata riba dalam ayat Al-qur’an adalah memakai al (al-riba). Al di sini adalah Liljinsi atau Lii-Istighraq yang berarti umum. Jadi mencakup yang produktif dan konsumtif. Kedua-duanya sama tidak ada bedanya, yakni sama-sama haram. Menurut kaidah-kaidah hukum Islam untuk mengeluarkan /mengecualikan sesuatu diperlukan dalil yang mentahsis (mengecualikan) baik naqli maupun ‘aqli. Mengadakan pentahsisan (pengecualian) tanpa dalil adalah Tahakum (membuat-buat hukum sendiri/mengada-ada). Hal ini sangat berbahaya.

PKES Publishing

Demikian juga apabila Al yang ada di kata RIBA tersebut dimaksudkan sebagai AL Lil’ahdi, yang berarti menunjuk kepada riba yang berlaku di zaman jahiiliyah maka tetap tidak dapat diartikan bahwa yang bersifat produktif itu halal/boleh. Sebab dalam kondisi semacam itu (Al-lilahdi) maka berarti ayat tersebut mutlaq. Dalam hal ini tidak ada dalil lain yang mentaqyidkannya (membatasinya). Oleh karena itu maka ayat tersebut berlaku sesuai dengan kemutlakannya, yakni baik produktif maupun konsumtif sama saja, yaitu hukumnya haram. 4. Pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank itu bukan riba dengan alasan bahwa bunga bank itu adalah sewa. Berdasarkan kaidah-kaidah ilmu fiqih, pendapat ini juga tidak tepat. Kenapa? Sebab dalam ilmu fiqih disebutkan bahwa diantara syarat sewa-menyewa ialah hendaknya barang yang disewakan zatnya tetap (Baqa’ ‘Ainihi). Untuk 19

Menjawab Keraguan Umat Islam

Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba

itu maka tidak syah menyewakan makanan atau minuman. Sebab makanan dan minuman bila dimanfaatkan/diambil manfaatnya zatnya akan habis. Demikian juga uang zatnya/ bendanya tidak tetap, sebab ia berputar, untuk itu maka tidak sah untuk disewakan berdasarkan kaidah-kaidah Ilmu Fiqih. Atas dasar ini maka tidak tepat kalau hal ini dijadikan argumentasi bagi halalnya atau bolehnya melakukan bunga bank. 5. Pendapat yang mengatakan bahwa bunga bank boleh/ halal dengan alasan bahwa hal itu adalah pemanfaatan uang.

PKES Publishing

Tepatkah pendapat ini untuk dijadikan alasan pembenaran bunga bank? Menurut hemat saya pandangan in juga tidak tepat. Sebab berlawanan dengan hadits nabi: “setiap pinjaman yang menarik manfaat adalah riba”. Hadits di atas sekalipun keshalihannya diperselisihkan, namun telah menjadi kaidah Fiqhiyah yang diakui kebenaranya oleh para Ulama. Berdasarkan Hadits tersebut secara jelas dapat kita pahami bahwa pemanfaatan uang di balik pinjaman/hutang-piutang itulah yang namanya riba yang di larang oleh Islam. Selain itu pendapat di atas juga berlawanan dengan fatwa Syekh Jadal Haq Ali Jadal Haq ketika menjadi Mufti besar Mesir yang mengatakan bahwa setiap pinjaman/hutang yang menarik manfaat adalah riba dan hukumnya haram, sejalan dengan pengertian Hadits di atas. Menjawab Keraguan Umat Islam

20

Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba

Beberapa alasan yang dijadikan oleh sementara kalangan untuk menghalalkan bunga bank sebagaimana disebutkan di atas mengingatkan kita terhadap alasan orang-orang Arab Jahiliyah yang mengatakan bahwa riba itu sama dengan jual beli (Innamal Bal’u Mitslurriba). Dalam uslub (struktur kalimat) ini mereka ungkapkan dalam bentuk Tasybih Maqlub untuk menunjukkan bahwa riba itu sama/ persis betul jual beli, menurut pandangan mereka (orangorang Arab Jahiliyah). Ungkapan mereka yang menyamakan riba dengan jual beli itu jelas tidak benar. Dan untuk ini Allah SWT membantah dengan penegasannya :

PKES Publishing

“Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”. Sebagian besar mufassirin menyatakan bahwa hal ini termasuk pembatalan qiyas dengan nash. Dalam hal ini pengarang Tafsir Al-Manar menyebutkan tentang perbedaan riba dengan jual beli di mana antara lain disebutkan bahwa jual beli adalah transaksi dalam bentuk penukaran barang yang satu dengan yang lain, sedangkan riba adalah tambahan yang diambil dari orang yang berhutang sebagai imbalan dari tempo penundaan pembayaran hutangnya. Jadi tidak sama. Sisi lain agama hanya menghalalkan suatu keuntungan yang diperoleh lewat usaha, seperti keuntungan dalam jual-beli. Agama tidak membenarkan menarik keuntungan dari orang lain yang tidak ada imbalannya secara konkrit, yang pada hakikatnya dalam hal ini adalah memakan harta benda orang lain dengan cara batil, seperti apa yang terjadi pada praktek riba. 21

Menjawab Keraguan Umat Islam

Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba

Jadi alasan itu mereka cari-cari yang tidak berlandaskan dengan dalil atau kaidah-kaidah yang dibenarkan sepanjang kajian ilmiah hukum Islam. Na’uzu billah. 6. Pendapat yang menyatakan bahwa bunga bank sama dengan riba yang dilakukan oleh perorangan. Pendapat ini perlu kita bahas secara seksama. Inilah maksud dari seminar pada hari ini. Menurut hemat saya ayat-ayat yang melarang melakukan riba khitbahnya ditujukan kepada perorangan atau individu, yaitu manusia mukallaf. Dalam hal ini nash itu statusnya Qath’iy. Tugasnya tidak ditujukan kepada badan hukum, dalam hal ini bank. Terhadap badan hukum yang melakukan riba yang dikenal dengan istilah bunga masalahnya adalah maskut ‘anhu, tidak termasuk dalam cakupan ayat yang melarang riba. Sebab pada waktu itu (turunnya ayat yang melarang riba) bank itu belum ada. Ini adalah fakta. Oleh karena masalahnya maskut ‘anhu maka disinilah Ijtihad memainkan peranannya. Untuk itu marilah hal ini kita kaji secara seksama dengan mempergunakan lembaga ijtihad.

PKES Publishing

Mencari Pemecahan Untuk mencari jalan keluar guna memecahkan masalah bunga bank (bank perkreditan/pinjam-meminjam/utangpiutang) sepanjang kajian Ilmu Fiqih dan Ushl Fiqih menurut hemat saya dapat dilakukan melalui dua pendekatan sbb: 1. Kaidah Al-‘Ibrah Bikhusussibah La Bi’umumillafdhi (yang dijadikan pedoman/pegangan adalah ksususnya sebab bukan umumnya lafadh). Menjawab Keraguan Umat Islam

22

Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba

2. Adakah Fiqih mengenal Badan Hukum ataukah tidak? Kaidah Al-‘Ibrah Bikhusussibah La Bi’umumillafdhi. Kaidah ini adalah kebalikan kaidah yang dipegangi oleh Jumhur yang menyatakan “Al-Ibrah Bi ummumillafdhi la bikhussusissabab”; yang dijadikan pedoman/pegangan adalah umumnya lafadh bukan khususnya sebab. Memang yang kuat adalah kaidah yang dipegangi oleh Jumhur tersebut. Akan tetapi –menurut ketentuan Ushul Fiqih-, hal itu berlaku kalau sebabnya tidak dominan. Dalam kondisi sebabnya itu dominan maka yang berlaku adalah kebalikannya, yaitu kaidah “Al ibrah Bikhususissabab la bi’umumillafadhi”, artinya yang dijadikan pedoman adalah khususnya sebab, bukan umumnya lafadh.

PKES Publishing

Kalau kita pelajari, ayat yang menerangkan haramnya riba latar belakang turunnya adalah karena ada sebab, yaitu praktek riba di zaman Jahiliyah yang dilakukan oleh perorangan yang di dalamnya terjadi praktek penindasan terselubung yang dilakukan oleh orang-orang kaya yang memberi pinjaman terhadap orang-orang lemah yang mendapatkan pinjaman yang seharusnya dibantu. Atas dasar ini maka ayat riba tersebut hanya berlaku untuk praktek riba d zaman Jahiliyah yang dilakukan oleh perorangan dan praktek lain yang bisa diqiyaskan seperti rentenir/lintah darat. Mengenai bunga bank tidak termasuk ke dalam umumnya lafadh riba. Sebab bank adalah badan hukum, bukan perorangan; di mana sistem perbankan pada waktu itu 23

Menjawab Keraguan Umat Islam

Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba

(zaman Jahiliyah/permulaan Islam) belum ada. Apabila kita melihat semangat ayat-ayat riba maka dapat kita pahami bahwa riba yang dilarang itu adalah yang dilakukan oleh perorangan. Mari kita renungkan secara seksama ayat-ayat riba di bawah ini: “Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan menerangimu. Dan jika kamu bertobat (dari pengambilan riba) maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak boleh menganiaya dan tidak boleh dianiaya. Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran maka berilah tangguh waktu sampai ia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”. (AlBaqarah,278-280).

PKES Publishing

Dari ayat-ayat di atas dapat kita ketahui bahwa khihab riba itu kepada pribadi atau perorangan. Dalam ayat-ayat di atas nampak jelas. Dan faktanya memang bank belum ada seperti telah disebutkan. Oleh karena tidak tercakup pada ayat-ayat tentang riba tersebut maka bank statusnya Maskut ‘anhu. Oleh karena maskut anhu maka terbukalah peranan Ijtihad. Untuk itu maka timbullah bermacammacam pandangan dan pendapat yang antara lain telah disebutkan di atas. Untuk menghadapi masalah ini marilah kita bicarakan apakah fiqih itu mengenal badan hukum ataukah tidak.

Menjawab Keraguan Umat Islam

24

Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba

E. Kelemahan Sistem Bunga Kelemahan dari sistem bunga sendiri, antara lain : 1. Tabungan yang direncanakan tidak selalu sama dengan investasi yang direncanakan. 2. Suku bunga bukan faktor yang menjamin untuk menyamakan tingkat tabungan dengan tingkat investasi, melainkan tingkat pendapatan. 3. Suku bunga yang tinggi akan mempengaruhi turunnya investasi, tingkat produksi, dan kesempatan kerja. 4. Suku bunga kecil pengaruhnya terhadap tabungan dan investasi. 5. Bukan suku bunga yang menjamin keseimbangan antara tabungan dan investasi, melainkan tingkat investasi. 6. Perilaku spekulasi akan mempengaruhi ketidakstabilan mekanisme ekonomi dan berdampak pada terpuruknya ekonomi.

PKES Publishing

F. Fatwa MUI tentang Bunga Majelis Ulama Indonesia (MUI), mengeluarkan fatwa tentang bunga bank (Interest/Fa’idah), yaitu : 1. Bunga (interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (alqardh) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan persentase. 2. Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang 25

Menjawab Keraguan Umat Islam

Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba

diperjanjikan sebelumnya. 3. Praktek pembungaan haram hukumnya, baik yang dilakukan oleh Bank, Asuransi, Pasar Modal, Pegadaian, Koperasi, dan Lembaga Keuangan lainnya maupun dilakukan oleh individu. G. Pembagian Riba Riba dari segi bahasa (lughat), artinya merupakan tambahan atau kelebihan. Dalam ilmu fiqh dikenal 3 (tiga) jenis riba, yaitu : 1. Riba Fadl/riba buyu, yaitu riba yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mistlan bi mistlin), sama kuantitasnya (sawa-an bi sawa-in), dan sama waktu penyerahannya (yadan bi yadin). Pertukaran ini mengandung gharar (ketidakjelasan) bagi kedua belah pihak akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan. Dalam perbankan konvensional riba fadl dapat ditemui dalam jual beli valuta asing yang tidak dilakukan dengan cara tunai (spot). 2. Riba Nasi’ah/riba duyun, yaitu riba yang timbul akibat hutang-piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko (al ghunmu bil ghurmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al kharaj bi dhaman). Riba ini muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara barang yang diserahkan hari ini dengan barang yang diserahkan kemudian. Transaksinya mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban. Dalam perbankan konvensional riba nasi’ah dapat ditemui dalam pembayaran bunga

PKES Publishing

Menjawab Keraguan Umat Islam

26

Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba

kredit dan pembayaran bunga deposito, tabungan, dan giro. 3. Riba Jahiliyah, yaitu hutang yang dibayar melebihi dari pokok pinjaman, karena si peminjam tidak mampu mengembalikan dana pinjaman pada waktu yang telah ditetapkan. Dalam perbankan konvensional riba jahiliyah dapat ditemui dalam pengenaan bunga pada transaksi kartu kredit.

PKES Publishing

27

Menjawab Keraguan Umat Islam

Kupas Tuntas Bunga Bank dan Riba

KESIMPULAN

Beberapa kesimpulan yang dapat diambil ialah sebagai berikut: 1. Bunga (interest/fa’idah) adalah tambahan yang dikenakan dalam transaksi pinjaman uang (alqardh) yang diperhitungkan dari pokok pinjaman tanpa mempertimbangkan pemanfaatan/hasil pokok tersebut, berdasarkan tempo waktu, diperhitungkan secara pasti di muka, dan pada umumnya berdasarkan persentase. 2. Riba adalah tambahan (ziyadah) tanpa imbalan yang terjadi karena penangguhan dalam pembayaran yang diperjanjikan sebelumnya. 3. Menurut Prof. KH. Ibrahim Hosen untuk mencari jalan keluar guna memecahkan masalah bunga bank (bank perkreditan/pinjam-meminjam/utang-piutang) dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu: • Kaidah Al-‘Ibrah Bikhusussibah La Bi’umumillafdhi (yang dijadikan pedoman adalah khususnya sebab bukan umumnya lafadh). • Adakah Fiqih mengenal Badan Hukum ataukah tidak?

PKES Publishing

Menjawab Keraguan Umat Islam

28

MENJAWAB KERAGUAN UMAT ISLAM TERHADAP BANK SYARIAH Keraguan Uang Halal dan Uang Haram

1

Uang Halal dan Uang Haram

S

uatu hari, dalam sebuah acara seminar ekonomi dan keuangan syariah yang diadakan oleh Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES), seorang peserta bertanya, “apa betul ada uang halal dan uang haram?”. Pertanyaan tersebut muncul karena ada anggapan dari penanya bahwa uang di bank konvensional itu haram dan tidak halal. Sekilas pertanyaan ini memang sederhana, tetapi setelah dicermati membutuh-kan jawaban yang serius. Pada dasarnya, tidak ada istilah uang halal ataupun uang haram. Hal ini seperti ditegaskan oleh (Alm) Prof. KH. Ibrahim Hosen, ulama fiqh Indonesia. KH. Ibrahim Hosen melihat subtansi masalahnya ada pada perbuatan manusia, tidak pada uang itu sendiri.

PKES Publishing

Lebih lanjut KH. Ibrahim Hosen menjelaskan, sesungguhnya hukum Islam berhubungan dengan perbuatan manusia mukallaf (beriman, balligh, dan berakal), baik berupa tuntutan atau pilihan. Perbuatan manusia mukallaf tersebut dikatakan hukum oleh para ulama fiqh dengan pembagian sebagaimana kita ketahui bersama, yaitu wajib, mandub (sunnah), makruh, haram dan mubah. Jadi, jelaslah bahwa hukum adalah berkaitan dengan perbuatan atau tingkah laku. Hukum tidak berhubungan dengan benda atau zat, akan tetapi hukum hanyalah berhubungan dengan perbuatan, sehingga benda tidak bisa disifati dengan haram atau halal. Yang dimaksud dengan uang haram dalam kaitan hukum Islam adalah uang yang diperoleh melalui jalan, cara atau pekerjaan yang dilarang oleh agama. Jadi, ungkapan uang Menjawab Keraguan Umat Islam

30

Uang Halal dan Uang Haram

haram adalah pengertian majazi atau kiasan. Namun, hukum Islam mensifati benda sebagai najis. Najis ini dapat dikategorikan dalam najis mughalladzah dan najis mukhaffafah, sebagaimana kita ketahui benda najis seperti air seni, tinja, darah, nanah dan daging babi. Dengan menggunakan pendekatan halal yang bersifat lighairihi (perbuatan) dan yang bersifat li zatihi (zatnya), maka kita dapat memastikan bahwa uang haram tidak bersifat najis (li zatihi), tetapi uang haram adalah hasil perbuatan yang melanggar hukum Islam, sehingga haramnya bersifat li ghairihi (perbuatan), bukan li zatihi. Artinya, perbuatan manusia dalam memperoleh uang menjadi batas antara yang halal dan yang haram. Karena uang disepakati sebagai salah satu bentuk harta kekayaan, maka banyak aktifitas kegiatan manusia diarahkan untuk memperoleh uang tersebut. Ada sebagian manusia yang memperoleh uang tersebut dengan cara yang halal dan adapula sebagian manusia yang memperolehnya dengan cara non halal atau haram.

PKES Publishing

Ajaran Islam telah menggariskan secara tegas antara yang halal dan yang haram. Seperti dalam sebuah Hadits Nabi disebutkan, al-halalu bayyinun walharamu bayyinun wabainahuma umurun musyabbihat, perkara yang halal itu sudah jelas begitupula dengan yang haram, sedangkan diantara yang halal dan haram itu ada perkara yang tidak jelas, maka hindarilah perkara yang tidak jelas. Adapun contoh pemerolehan uang dengan cara yang halal dalam ajaran Islam dapat melalui transaksi jualbeli. Seperti yang telah ditegaskan dalam firman Allah Swt dalam QS. Al-Baqarah [2]: 275, wa ahalla llahu al-bai’a 31

Menjawab Keraguan Umat Islam

Uang Halal dan Uang Haram

wa harrama ar-riba, Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. Dalam hal ini, seorang penjual akan memperoleh uang penjualan barangnya tetkala ada seorang pembeli yang mengingingkan barang tersebut. Terjadilah perpindahan hak milik dalam transaksi jual beli. Pada awalnya, barang yang diperjualbelikan merupakan milik penjual, sedangkan uang dijadikan alat transaksi adalah milik pembeli. Setelah terjadi akad jual beli, barang tersebut berpindah menjadi hak milik pembeli dan uang tersebut menjadi milik penjual. Sedangkan contoh pemerolehan uang dengan cara haram atau non halal melalui praktek riba atau pembungaan uang. Islam secara tegas mengharamkan praktek riba. Pelakunya berarti memperoleh uang dengan cara haram. Dalam hal ini, Allah Swt menegaskan melalui Rasul-Nya, Muhammad Saw, bahwa praktek riba termasuk salah satu kategori dosa besar yang pelakunya sama halnya dengan orang yang berbuat zina.

PKES Publishing ***

Selaras dengan inti dari permasalahan ini, PKES telah mengkampanyekan perilaku gerakan 3 H. Gerakan 3 H ini bukan difahami sebagai bentuk perilaku halal, haram dan hantam. Tetapi, 3 H di sini difahami sebagai perilaku gerakan hidup yang mengacu pada prinsip (i) halal memperoleh, (ii) halal mengkonsumsi dan (iii) halal memanfaatkan. Halal memperoleh, berarti cara mendapatkan kekayaan ataupun uang melalui jalan yang diperbolehkan dalam ajaran Islam. Seperti, praktek jual beli dan sewa menyewa. Adapun perilaku memperoleh uang dengan melalui jalan Menjawab Keraguan Umat Islam

32

Uang Halal dan Uang Haram

non halal dapat dicontohkan dengan cara (i) mencuri, (ii) mencopet, (iii) korupsi, (iv) melakukan praktek riba. Halal mengkonsumsi, berarti cara mengkonsumsi barang atau produk yang halal. Artinya, dalam melakukan kegiatan konsumsi umat Islam harus harus selektif untuk memilih barang yang akan dikonsumsi. Umat Islam harus dapat membedakan antara barang yang halal dan barang yang haram. Berkenaan dengan hal ini, sesungguhnya barang yang halal itu jumlahnya lebih banyak dari pada barang yang haram. Barang yang haram karena subtansi yang dikandung-nya (haram li dzatihi) hanya berjumlah 4 (empat), yaitu bangkai, darah, khamr dan babi. Tetapi, saat ini sudah banyak produk olahan atau kosmetika yang tidak jarang dicampur dengan barang haram, seperti lemak babi atau gelatin. Akhir-nya, barang yang sudah tercampuri dengan unsur haram, hukumnya juga haram untuk dikonsumsi.

PKES Publishing

Halal memanfaatkan, berarti cara memanfaatkan kekayaan kita, termasuk uang yang kita miliki, sesuai dengan syariah Islam. Misalnya, memberikan nafkah keluarga, mengeluarkan zakat, berinfaq serta melakukan kegiatan investasi yang dihalalkan. Adapun kegiatan investasi yang diperbolehkan dalam ajaran Islam dapat berupa penempatan modal atau uang di lembaga keuangan syariah, seperti bank syariah, asuransi syariah, reksadana syariah dan koperasi syariah. *** Lebih lanjut mengenai penjelasan mengenai uang, dalam tinjauan ilmu ekonomi Islam, diperoleh penjelasan bahwa uang berfungsi sebagai alat tukar dan alat pengukur 33

Menjawab Keraguan Umat Islam

Uang Halal dan Uang Haram

suatu nilai barang. Pemahaman mengenai uang dalam ekonomi Islam sudah pernah dikaji secara mendalam oleh beberapa ekonom muslim terkenal, diantaranya ekonom Imam al-Ghazali dalam kitabnya yang monumental, Kitab Ihya Ulumuddin. Dalam pandangan Imam al-Ghazali, uang diibaratkan sebagai cermin yang tidak berwarna tetapi dapat mencerminkan warna yang ada. Dari pemikiran ini dapatlah difahami bahwa uang itu hanya berfungsi sebagai alat pengukur nilai dari satuan barang. Misal, barang x nilai harganya Rp. 1000,- sedang barang y nilai harganya Rp. 5000,-. Selain itu, dari pemikiran Imam alGhazali di atas dapat difahami, bahwa uang juga berfungsi sebagai alat tukar-menukar barang. Sampai di sini, fungsi uang masih sejalan dengan kehendak syar’i. Tetapi, dalam pandangan konvensional, uang tidak hanya difungsikan sebagai alat transaksi ataupun alat pengukur nilai, lebih dari itu, uang difungsikan sebagai alat spekulasi. Akhirnya, dengan fungsi spekulasi ini, arah kegiatan perekonomian konvensional menjadikan bunga sebagai instrumen dalam kegiatan spekulasi.

PKES Publishing

Di sisi lain, Imam al-Ghazali juga memberikan ilustrasi mengenai uang itu ibarat sebagai darah yang mengalir dalam tubuh manusia. Jikalau darah yang mengalir dalam tubuh manusia tersebut terhenti atau tersumbat dan tidak mengalir dengan lancar, berarti manusia tersebut akan mengalami kematian atau paling tidak akan merasakan sakit dalam tubuhnya. Begitu pula dengan uang, posisinya harus selalu berputar dalam perekonomian suatu masyarakat. Satu kesalahan besar dalam tinjauan ekonomi Islam, jika “menghentikan” perputaran uang dalam perekonomian. Dalam hal ini, Islam Menjawab Keraguan Umat Islam

34

Uang Halal dan Uang Haram

melarang keras penimbunan uang sehingga berakibat pada berhentinya kegiatan perekonomian. Beberapa ekonom modern, menjabarkan pemikiran Imam al-Ghazali di atas dengan istilah flow concept. Dalam konsep ini, uang difahami sebagai sesuatu yang harus mengalir, seperti arus sungai yang mengalir. Bukan difahami sebagai stock concept yang dapat ditahan oleh seseorang. Hal ini, yang menjadi pembeda antara uang dalam perspektif ekonomi Islam dengan uang dalam perspektif konvensional. Para pemikir ekonomi konvensional lebih suka memposisikan uang sebagai stock concept. Pemahaman konvensional ini bertolak belakang dengan prinsip uang yang diacu dalam ekonomi Islam. Pandangan Islam mengenai uang ini sesuai dengan tuntunan dalam QS al-Hasyr [59]: 7.

PKES Publishing ***

35

Menjawab Keraguan Umat Islam

Uang Halal dan Uang Haram

KESIMPULAN

Jadi, jelaslah bagi kita bahwa tidak ada istilah uang halal ataupun uang haram. Masalahnya hanya terletak pada bagaimana cara memperoleh uang tersebut, apakah menggunakan cara yang halal atau haq (benar) atau diperoleh melalui cara yang haram atau bathil (salah). Masalahnya terletak dari asal usul diperolehnya uang tersebut. Apakah uang tersebut diperoleh melalui cara yang diperbolehkan oleh syariah Islam atau uang tersebut diperoleh melalui cara yang yang tidak diperkenankan oleh syariah Islam? Semoga Allah Swt menetapkan hati kita untuk selalu berpegang pada perkara yang halal. Wallahu ‘alam bis showab.

PKES Publishing

Menjawab Keraguan Umat Islam

36

MENJAWAB KERAGUAN UMAT ISLAM TERHADAP BANK SYARIAH Pemanfaatan Keraguan ATM Bank Konvensional Oleh Nasabah Bank Syariah

2

Pemanfaatan ATM Konvensional

Saat ini, industri perbankan sudah memberikan kemudahan-kemudahan dalam melakukan transaksinya. Baik bank syariah ataupun bank konvensional, sama-sama berlomba memberikan kemudahan kepada nasabahnya. Semua ini, dalam rangka meningkatkan pelayanan yang memuaskan (service satisfaction) bagi para nasabah yang menggunakan jasa industri perbankan. Salah satu dari fasilitas kemudahan yang dapat dinikmati oleh nasabah adalah adanya ATM. ATM atau automatic teller machine, difahami sebagai mesin yang berfungsi sebagai teller atau kasir bank selama 24 jam sehari, dimana nasabah dapat melakukan transaksi tanpa perlu pergi ke bank. ***

PKES Publishing

Suatu hari Pak Ahmad, seorang nasabah bank syariah yang tinggal di Bogor, melakukan transaksi menggunakan ATM bank syariahnya di sebuah mesin ATM bank konvensional. Apa yang dilakukan oleh Pak Ahmad bukan karena ketidaksengajaan, tetapi Pak Ahmad melakukan hal tersebut dengan penuh kesadaran, karena dari awal ATM diperolehnya dari bank syariah yang ada di tangannya dapat digunakan di gerai ATM bank konvensional lainnya. Fakta ini tidak saja dialami oleh Pak Ahmad, tetapi dialami juga oleh nasabah bank syariah lainnya, yang melakukan transaksi via ATM bank konvensional. Adanya fasilitas seperti ini, sesungguhnya memberikan nilai lebih bagi pelayanan terhadap nasabah bank syariah. Dengan dukungan teknologi informasi nasabah bank syariah dapat bertransaksi secara on line di seluruh jaringan kantor cabang bank syariah maupun jaringan bank induknya Menjawab Keraguan Umat Islam

38

Pemanfaatan ATM Konvensional

(bank konvensional) serta dapat menggunakan ribuan ATM yang tersebar di seluruh propinsi dan kota kabupaten. Realita seperti ini bukannya diterima sepenuh hati oleh umat Islam di Indonesia. Karena di benak sebagian umat Islam masih menyisakan keraguan dengan keabsahan dari praktek yang dilakukan oleh Pak Ahmad dan kawankawan yang lain. Masalahnya, mereka masih ragu melihat terjadinya percampuran uang di ATM tersebut. Mereka beranggapan terjadi percampuran antara uang dari bank konvensional dan uang dari bank syariah yang ada di ATM. Percampuran tersebut bagi mereka merupakan sesuatu yang tidak diperbolehkan.

PKES Publishing

Sesungguhnya, masalah di atas dapat teratasi jika mereka mempunyai pemahaman yang sama mengenai sistem operasional ATM pada industri perbankan. Kalau kita lihat operasional ATM, sejatinya telah menerapkan teknologi modern yang dapat memberikan informasi keuangan bagi industri perbankan. Selain itu, ATM juga sudah dapat memberikan pelaporan keuangan, yang secara otomatis memisahkan pelaporan keuangan bank konvensional dan pelaporan keuangan bank syariah. Sehingga, dalam prakteknya tidak terjadi percampuran yang selama ini masih diragukan oleh sebagian umat Islam. Di sisi lain, jika ditinjau dari fungsi ATM itu sendiri, yang memerankan fungsi sebagai teller atau kasir sebuah bank, telah melakukan pembukuan keuangan sesuai dengan transaksi yang dilakukan oleh nasabah bank. Penarikan uang ataupun pemindahan uang ke rekening lain yang dilakukan oleh nasabah, telah dibukukan seperti apa yang dikerjakan oleh seorang teller ataupun kasir sebuah bank. 39

Menjawab Keraguan Umat Islam

Pemanfaatan ATM Konvensional

Nasabah bank syariah yang melakukan transaksi via ATM bank konvensional, secara otomatis langsung terbukukan dalam rekening di bank syariah tersebut. Apalagi saat ini semuah nasabah sudah dapat memanfaatkan model ATM Bersama yang hampir ada di setiap jaringan ATM bank yang ada. Asal ada logo dan tanda ATM Bersama, kita dapat melakukan transaksi via ATM pada bank tersebut. Sekali lagi, operasional pada sistem ATM telah dapat memberikan informasi pelaporan keuangan kepada tiap bank yang tergabung dalam jaringan ATM tersebut. Dengan kecanggihan sistem yang ada di ATM, berarti telah membantu kemudahan melakukan transaksi bagi nasabah bank syariah. Akhirnya, semoga keraguan yang selama ini menghinggapi di sebagian hati umat Islam berubah menjadi sebuah keyakinan dan ketetapan hati dalam melakukan transaksi menggunakan ATM di bank konvensional.

PKES Publishing ***

Adalah KH Ma’ruf Amin, Ketua Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, yang selalu menandaskan dalam setiap forum diskusi ataupun seminar, bahwa penggunaan ATM bank konvensional bagi nasabah bank syariah bukan lagi menjadi masalah. Hukumnya boleh dan tidak termasuk perbuatan yang melanggar syariah Islam. Bahkan, adanya fasilitas itu menjadi kemudahan tersendiri bagi nasabah bank syariah. Seperti kaedah umum dalam kegiatan muamalah, telah ditegaskan bahwa al-ashlu fi al-mu’amalah al-ibahah illa an yakuna dalilun ‘ala tahrimiha, pada dasarnya, semua Menjawab Keraguan Umat Islam

40

Pemanfaatan ATM Konvensional

bentuk muamalat boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Dalil ini menegaskan bahwa selama tidak ada dalil yang melarang, maka praktek tersebut, yaitu pemanfaatan ATM bank konvesional oleh nasabah bank syariah termasuk sesuatu yang di-mubah-kan atau diperbolehkan. Wallahu ‘alam bis showab.

PKES Publishing

41

Menjawab Keraguan Umat Islam

Pemanfaatan ATM Konvensional

KESIMPULAN

KH Ma’ruf Amin, Ketua Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI, yang selalu menandaskan bahwa penggunaan ATM bank konvensional bagi nasabah bank syariah bukan lagi menjadi masalah. Hukumnya boleh dan tidak termasuk perbuatan yang melanggar syariah Islam. Bahkan, adanya fasilitas itu menjadi kemudahan tersendiri bagi nasabah bank syariah.

PKES Publishing

Menjawab Keraguan Umat Islam

42

MENJAWAB KERAGUAN UMAT ISLAM TERHADAP BANK SYARIAH Keraguan Office Channelling

3

Office Channelling

Saat ini, masih ada di antara saudara kita yang masih mempertanyakan keabsahan praktek office channelling yang dijalankan oleh beberapa bank konvensional. Mereka masih ragu apa office channelling tidak bertentangan dengan syariah Islam. Karena, keberadaan office channelling merupakan bagian dari bank konvensional itu sendiri, yang operasionalnya dianggap tidak sesuai dengan syariah Islam karena menggunakan bunga sebagai instrumen operasionalnya. ***

PKES Publishing

Dalam kontak tanya jawab ekonomi syariah yang dikelolah oleh PKES, ada beberapa penanya yang bertanya mengenai office channelling, termasuk pertanyaan yang dikemukakan oleh Sahabat Tommy. Berkaitan dengan pertanyaan tentang office channelling, perlu kami sampaikan bahwa program office channelling merupakan kebijakan cerdas yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (BI) pada awal tahun 2006. Office channelling merupakan layanan syariah di cabang konvensional. Tujuan diadakannya office channelling dalam rangka memperluas jaringan perbankan syariah di Indonesia yang saat ini masih sangat kurang. Sebelum adanya office channelling, pemain dalam industri perbankan syariah masih terbatas pada tiga bank umum syariah, yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI), Bank Syariah Mandiri (BSM) dan Bank Syariah Mega Indonesia (BSMI) serta model unit usaha syariah (UUS) pada bank konvensional semacam BNI Unit Usaha Syariah dan Bukopin Unit Usaha Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah Menjawab Keraguan Umat Islam

44

Office Channelling

(BPRS). Office channelling adalah istilah yang digunakan BI untuk menggambarkan penggunaan kantor bank umum (konvensional) dalam melayani transaksi-transaksi dengan skim syariah, dengan syarat bank bersangkutan telah memiliki UUS. Landasan hukum adanya office channelling adalah Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 8/3/2006. PBI ini keluar tentu setelah mendapat persetujuan Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia. Dalam peraturan ini dijelaskan bahwa Unit Usaha Syariah pada bank konvensional mempunyai tugas sebagai berikut: (i) mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan Kantor Cabang syariah dan atau Unit Syariah; (ii) menerima dan menata usahakan laporan keuangan dari Kantor Cabang Syariah dan atau Unit Syariah dalam rangka penyusunan laporan gabungan; (iii) melakukan kegiatan lain sebagai kantor induk dari Kantor Cabang Syariah dan atau Unit Syariah.

PKES Publishing

Dari sisi regulasi, mengenai rencana bank konvensional yang ingin membuka layanan syariah diwajibkan mencantumkan dalam rencana bisnis bank yang telah mendapatkan penegasan dari Bank Indonesia. Layanan syariah dapat dibuka: (i) dalam satu wilayah kerja Kantor Bank Indonesia dengan Kantor Cabang Syariah induknya; (ii) dengan menggunakan pola kerjasama antara Kantor Cabang Syariah induknya dengan Kantor Cabang dan atau Kantor Cabang Pembantu; dan (iii) dengan mempergunakan sumber daya manusia sendiri bank yang telah memiliki pengetahuan mengenai produk dan operasional Bank Syariah.

45

Menjawab Keraguan Umat Islam

Office Channelling

Diberlakukannya sistem office channelling ini, diperkirakan akan memberikan dampak yang positif terhadap perkembangan industri bank syariah di masa mendatang. Pertama, dengan diberlakukannya office channelling, tentu akan semakin memudahkan bagi nasabah untuk melakukan transaksi syariah. Kedua, dengan semakin mudahnya para nasabah untuk mendapatkan akses layanan perbankan syariah, diperkirakan perkembangan DPK akan semakin besar. Ketiga, office channelling diharapkan bisa meningkatkan pangsa pasar (market share) perbankan syariah terhadap perbankan nasional. Adapun bank yang sudah mempraktekkan office channelling diantaranya BNI Syariah, Bank Permata Syariah, BTN Syariah. Pada tahun 2008 direncanakan akan ada beberapa bank konvensional yang akan membuka Unit Usaha Syariah dan diikuti dengan membuka office channelling sebagai langkah pengembangannya.

PKES Publishing

Mengenai keraguan sebagian umat Islam Indonesia apakah dengan adanya kerjasama dengan bank konvensional melalui office channelling akan terjadi percampuran antara yang halal dengan yang haram? Hal ini ditanggapi oleh Ketua Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, KH. Ma’ruf Amin, bahwa kerjasama antara bank syariah dan bank konvensional, seperti office channelling tidak melanggar prinsip syariah, karena ada teknologi yang mampu membuat dana itu benar-benar terpisah. Dengan teknologi tersebut, dana yang diterima akan dimasukkan langsung ke rekening syariah dan itu sudah memenuhi sharia complience. *** Menjawab Keraguan Umat Islam

46

Office Channelling

Prinsipnya, tidak jauh berbeda dengan masalah pemanfaatan ATM bank konvensional oleh nasabah bank syariah. Sudah tidak ada yang perlu diragukan lagi. Dengan adanya teknologi dalam sistem perbankan, dana yang masuk ke bank yang membuka office channelling sudah benar-benar terpisah. Bahwa dalam hal ini, adanya office channelling telah memudahkan nasabah bank konvensional yang ingin mengkonversi ke syariah. Jadi, seorang nasabah yang dananya tersimpan di bank konvensional, dengan adanya sistem office channelling, nasabah tersebut sudah tidak repot lagi memindahkan dananya ke bank yang sudah beroperasi dengan sistem syariah. Mereka tidak harus pergi ke bank yang lain, karena bank punya dua layanan dalam “satu rumah”. Istilahnya, hanya pindah kamar saja. Dari kamar konvensional pindah ke kamar syariah. Dalam hal ini, manfaat yang dinikmati oleh nasabah berbentuk kecepatan dalam pelayanan tanpa harus berepot-repot memindahkan dananya ke bank lain.

PKES Publishing

Sedangkan dari sisi bank, ada satu manfaat yang besar bagi bank yang bersangkutan. Karena, nasabah tersebut tidak pindah ke bank lain. Uang nasabah tersebut masih dikelola oleh bank yang bersangkutan. Sehingga, dari sisi penghimpunan dana, bank tersebut tidak akan merasa kehilangan dana nasabah yang akan dipindahkan ke layanan syariah. Uang nasabah yang tersimpan di bank, tidak lagi dikelola secara ribawi atau dengan sistem bunga, tetapi dikelola secara syar’i yang terhindar dari praktek ribawi. Wallahu ‘alam bis showab.

47

Menjawab Keraguan Umat Islam

Office Channelling

KESIMPULAN

Office channelling telah memudahkan nasabah bank konvensional yang ingin mengkonversi ke syariah. Jadi, seorang nasabah yang dananya tersimpan di bank konvensional, dengan adanya sistem office channelling, nasabah tersebut sudah tidak repot lagi memindahkan dananya ke bank yang sudah beroperasi dengan sistem syariah.

PKES Publishing

Menjawab Keraguan Umat Islam

48

MENJAWAB KERAGUAN UMAT ISLAM TERHADAP BANK SYARIAH Pembiayaan Keraguan Murabahah dan Kredit Konvensional

4

Pembiayaan Murabahah & Kredit Konvensional

“Ah, sama saja gak ada bedanya, praktek pembiayaan murabahah dan kredit konvensional”. Ini komentar sekaligus keraguan beberapa pihak, termasuk umat Islam sendiri, masih meragukan praktek yang dijalankan oleh bank syariah dengan praktek yang dijalankan oleh bank konvensional. Apa memang betul seperti itu? ***

J

elasnya, pernyataan di atas tidaklah benar. Ada satu prinsip yang mendasar antara pembiayaan murabahah yang disalurkan bank syariah dengan kredit yang dikucurkan oleh bank konvensional. Banyak kalangan di masyarakat yang beranggapan bahwa antara murabahah dan kredit investasi tidak ada bedanya. Hal ini, disebabkan karena masih banyak masyarakat kita yang belum mengetahui karakteristik dari model murabahah itu sendiri.

PKES Publishing

Prinsip dasar yang dipakai dalam praktek murabahah adalah jual beli. Jual beli yang pembayarannya dilakukan secara angsuran yang nilai marginnya sudah tercakup di dalam harga jualnya. Sedangkan, kredit yang dipraktekkan oleh industri keuangan konvensional didasarkan pada prinsip pinjam meminjam yang menggunakan instrumen bunga sebagai basis operasionalnya. Dari sisi ini, sudah terlihat adanya perbedaan mendasar antara praktek murabahah di industri keuangan syariah dan praktek kredit investasi di industri keuangan konvensional. Murabahah prinsipnya jual-beli, sedang kredit investasi prinsipnya pinjaman. Pada prakteknya, murabahah tidak Menjawab Keraguan Umat Islam

50

Pembiayaan Murabahah & Kredit Konvensional

dibenarkan adanya pilihan beberapa harga yang biasa dipraktekkan oleh industri jasa keuangan konvensional. Misalnya, yang biasa terjadi di dealer motor, jika kita ingin ambil motor di dealer, maka costumer service-nya akan memberikan lembaran harga yang mencantumkan nilai harga jual tunai dan nilai harga jual kredit dengan rentang pembayaran yang telah ditentukan. Biasanya, dalam lembaran itu disebutkan nilai harga jual kredit dengan jangka waktu 1 tahun sampai dengan 3 tahun. Semakin lama waktu pembayarannya maka semakin besar nilai uang yang harus dibayarkan. Di sini, prinsip time value of money, nilai waktu dari uang, berlaku. Prinsip ini, time value of money, merupakan prinsip yang dipedomani oleh praktisi ekonomi konvensional. Dari prinsip ini, lahirlah instrumen bunga dalam operasional lembaga keuangan konvensional.

PKES Publishing

Prinsip murabahah, tidak membenarkan adanya pilihan harga yang biasa berlaku di konvensional. Jika sudah disepakati 1 harga, maka tidak ada pengaruh terhadap waktu pembayaran. Mau dibayar 1 tahun atau 3 tahun nilai harganya tetap sama. Misal, transaksi murabahah yang dilakukan nasabah sebuah bank syariah, dalam bentuk pengadaan rumah. Dalam hal ini, bank syariah terlebih dahulu melakukan transaksi jual-beli secara tunai dengan pihak developer. Disepakati harganya Rp. 75 juta. Bank syariah membayar secara tunai. Selanjutnya, bank syariah melakukan transaksi jualbeli dengan nasabah secara angsuran. Disepakati harga jual secara angsuran sebesar Rp. 100 juta. Dalam hal ini, tidak ada perbedaan nilai harga pembayaran, jika nasabah tersebut membayar angsuran selama 1 tahun ataupun 51

Menjawab Keraguan Umat Islam

Pembiayaan Murabahah & Kredit Konvensional

3 tahun. Nilai harganya tetap, Rp. 100 juta, baik dibayar selama 1 tahun ataupun 3 tahun. Praktek sekarang, yang dilakukan oleh sebagian industri keuangan syariah, dengan menggunakan murabahah sebagai produk yang ditawarkannya, ada yang masih belum sesuai dengan konsep dasar awal dari murabahah. Hal ini, bisa jadi dikarenakan faktor SDM yang belum memahami betuk teori dan konsep dari murabahah. Sehingga, praktek di lapangan mengindikasikan ke-miripan antara praktek murabahah dengan praktek kredit investasi. Kondisi seperti ini, memang perlu diluruskan sehingga tidak ada kesan bahwa praktek murabahah sama dengan praktek kredit pada industri jasa keuangan konvensional.

PKES Publishing ***

Adapun karakteristik pembiayaan murabahah yang biasa dipraktekkan oleh industri jasa keuangan syariah adalah sebagai berikut: Pertama, akad yang digunakan dalam pembiayaan murabahah adalah akad jual beli. Implikasi dari penggunaan akad jual-beli mengharuskan adanya penjual, pembeli dan barang yang diperjualbelikan. Penjual dalam hal ini adalah bank syariah, sedangkan pembeli adalah nasabah yang membutuhkan barang. Adapun kewajiban bank syariah, selaku penjual, menyerahkan barang yang diperjualbelikan kepada nasabah. Sedangkan nasabah berkewajiban membayar harga barang tersebut. Berbeda dengan kredit konvensional. Hubungan yang terjalin antara pihak bank konvensional dengan nasabah adalah hubungan kreditur dengan debitur. Menjawab Keraguan Umat Islam

52

Pembiayaan Murabahah & Kredit Konvensional

Kedua, harga yang ditetapkan oleh pihak penjual (bank syariah) tidak dipengaruhi oleh frekuensi waktu pembayaran. Artinya, praktek murabahah menghendaki hanya ada satu harga, yaitu harga yang telah disepakati antara pihak bank syariah dengan nasabah. Tidak tergantung dengan jangka waktu pembayaran, seperti yang selama ini dipraktekkan oleh industri jasa keuangan konvensional. Praktek yang dijalankan oleh konvensional mengharuskan adanya perbedaan pembayaran sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan. Semakin lama waktu pembayaran yang diinginkan oleh nasabah, semakin besar jumlah tanggungan yang harus dibayar. Di sini, berlaku ketentuan time value of money, nilai waktu dari uang.

PKES Publishing

Ketiga, keuntungan dalam pembiayaan murabahah berbentuk margin penjualan yang sudah termasuk harga jual. Keuntungan (ribh) tersebut sewajarnya dapat dinegosiasikan antara pihak yang melakukan transaksi, yaitu pihak bank syariah dengan nasabah. Kelemahan praktek murabahah saat ini, belum berjalannya daya tawar yang seharusnya dimiliki oleh nasabah. Sehingga posisi nasabah sering kali “agak terpaksa” untuk menerima harga yang ditawarkan oleh pihak bank syariah. Lain halnya, dengan praktek kredit konvensional yang keuntungannya didasarkan pada tingkat suku bunga. Nasabah yang mendapatkan kredit dari bank konvensional dibebani kewajiban membayar cicilan beserta bunga pinjaman sekaligus. Keempat, pembayaran harga barang dilakukan secara tidak tunai. Artinya, nasabah membayar harga barang tersebut dengan cara angsuran atau cicilan. Dalam hal ini, 53

Menjawab Keraguan Umat Islam

Pembiayaan Murabahah & Kredit Konvensional

nasabah berhutang kepada pihak bank syariah, karena belum melunasi kewajiban membayar harga barang yang ditransaksikan. Sedangkan angsuran pada pembiayaan murabahah tidak terikat dengan jangka waktu pembayaran yang ditetapkan. Kesalahan besar, jika praktek murabahah tergantung pada besaran waktu angsuran. Jika ini terjadi pada pembiayaan murabahah, berarti sudah menyalahi konsep awal dari murabahah. Karena, dari aspek substansi sama dengan praktek kredit yang dipraktekkan oleh industri jasa keuangan konvensional. Kelima, dalam pembiayaan murabahah memungkinkan adanya jaminan, karena sifat dari pembiayaan murabahah merupakan jual-beli yang pembayarannya tidak dilakukan secara tunai. Karena tidak dibayar secara tunai, maka tanggungan pembayaran tersebut merupakan hutang yang harus dibayar oleh nasabah. Dalam hal ini, bank syariah memberlakukan prinsip kehati-hatian dengan mengenakan jaminan pada nasabah. Saat ini, adanya jaminan pada pembiayaan murabahah menjadi masalah tersendiri, karena sebagian nasabah memahami operasional bank syariah menafikan adanya jaminan atau agunan. Pernyataan seperti ini perlu diluruskan.

PKES Publishing

*** Sebagai bahan tambahan, praktek murabahah sesungguhnya bagian dari penjelasan mengenai jual-beli. Dijelaskan bahwa model transaksi jual-beli yang lazim terjadi di masyarakat dapat dipilah menjadi dua, yaitu (i) transaksi jual-beli yang dilakukan secara tunai (cash), dan (ii) transaksi jual-beli yang dilakukan tidak secara tunai (credit). Menjawab Keraguan Umat Islam

54

Pembiayaan Murabahah & Kredit Konvensional

Transaksi jual-beli secara tunai tidak meninggalkan masalah antara penjual dan pembeli. Karena, hak dan kewajiban keduanya sudah ditunaikan. Hak penjual menerima pembayaran dari pembeli telah dilaksanakan, begitu pula hak pembeli untuk menerima barang dari penjual. Sedangkan kewajiban kedua belah pihak juga telah ditunaikan. Penjual telah menunaikan kewajibannya menyerahkan barang dagangannya ke pembeli, begitu pula pihak pembeli juga telah menyerahkan uang pembayarannya kepada penjual. Lain halnya, dengan model transaksi jual-beli yang dilakukan dengan cara tidak tunai (credit). Masih menyisakan masalah antara pihak penjual dan pembeli. Karena, ada salah satu pihak yang belum menerima hak dan belum menunaikan kewajibannya. Yaitu pihak penjual belum menerima hak pembayaran uang dari pembeli, karena pihak pembeli belum menunaikan kewajiban membayar uang pembelian atas barang. Sedangkan kewajiban bagi penjual untuk menyerahkan barang dagangannya ke pembeli telah ditunaikan.

PKES Publishing

Dalam pandangan syariah Islam, penetapan harga pada transaksi jual-beli ditentukan sewaktu akad. Terlepas apakah pembayarannya dilakukan secara tunai (cash) ataupun dibayar secara non tunai (credit) tidak menentukan ke-shahih-an transaksi tersebut. Keduanya dibenarkan secara syar’i. Misal, kata penjual, “Saya jual barang ini dengan harga Rp. 10.000,- terserah Anda membayar secara tunai atau non tunai”. Asumsinya, harga yang telah ditawarkan penjual di atas sudah termasuk margin penjualan. Dalam hal ini, margin atau keuntungan dalam penjualan merupakan bagian dari ziyadah al-buyu’ 55

Menjawab Keraguan Umat Islam

Pembiayaan Murabahah & Kredit Konvensional

(tambahan dari penjualan), bukannya ziyadah al-qurudh (tambahan dari pinjaman). Berkaitan dengan penjelasan mengenai riba, dapat dipaparkan sebagai berikut. “Pengertian mengenai riba bukannya difahami sebagai ziyadah al-buyu’ (tambahan dari haril penjualan), tetapi riba adalah tambahan dari pinjaman (ziyadah al-qurudh)”. Pemahaman ini menegaskan bahwa keuntungan jual beli, bukanlah termasuk riba. Baik keuntungan tersebut diperoleh dari pembayaran secara tunai (cash) ataupun diperoleh melalui pembayaran tidak tunai (credit). Sedangkan setiap tambahan pinjaman termasuk kategori riba. Seperti ditegaskan dalam sebuah hadits, kullu qardhin jarra manfa’atan fahuwa ar-riba, setiap tambahan yang disertai dengan manfaat termasuk dalam riba.

PKES Publishing

Masalahnya sekarang adalah timbulnya perbedaan jumlah besaran harga tunai (cash) dan harga non tunai (credit) yang tidak sama. Sejatinya, masalah ini tidak akan muncul, jika transaksi jual-beli tersebut dilaksanakan secara tunai (cash). Selaras dengan penjelasan di atas, Imam Zaid bin Ali r.a, cicit Imam Ali bin Abi Thalib, pernah melontarkan pendapat bahwa, harga tangguh (non tunai) boleh lebih tinggi dari harga tunai. Artinya, perbedaan harga yang terjadi dalam transaksi jual-beli secara tunai (cash) dengan jual-beli non tunai tidak masalah. Karena, keduanya bukan termasuk ziyadah al-qurudh (tambahan dari hasil pinjaman), tetapi masuk dalam kategori ziyadah al-buyu’ (tambahan dari penjualan atau keuntungan dari jual-beli). *** Menjawab Keraguan Umat Islam

56

Pembiayaan Murabahah & Kredit Konvensional

Jadi, sangatlah berbeda antara praktek pembiayaan murabahah yang dijalankan oleh lembaga keuangan syariah dengan praktek kredit yang biasa dilakukan oleh bank konvensional. Wallahu ‘alam bis showab

PKES Publishing

57

Menjawab Keraguan Umat Islam

Pembiayaan Murabahah & Kredit Konvensional

KESIMPULAN

Prinsip dasar yang dipakai dalam praktek murabahah adalah jual beli. Jual beli yang pembayarannya dilakukan secara angsuran yang nilai marginnya sudah tercakup di dalam harga jualnya. Sedangkan, kredit yang dipraktekkan oleh industri keuangan konvensional didasarkan pada prinsip pinjam meminjam yang menggunakan instrumen bunga sebagai basis operasionalnya.

PKES Publishing

Perbedaan harga yang terjadi dalam transaksi jualbeli secara tunai (cash) dengan jual-beli non tunai tidak masalah. Karena, keduanya bukan termasuk ziyadah alqurudh (tambahan dari hasil pinjaman), tetapi masuk dalam kategori ziyadah al-buyu’ (tambahan dari penjualan atau keuntungan dari jual-beli).

Menjawab Keraguan Umat Islam

58

MENJAWAB KERAGUAN UMAT ISLAM TERHADAP BANK SYARIAH Agunan Pada Pembiayaan Murabahah

Keraguan

5

Agunan Pada Pembiayaan Murabahah

Saat itu saya tertegun, setelah membaca sepucuk surat dari seorang penanya. Masalahnya, pengirim surat tersebut berkeinginan untuk memperoleh pembiayaan dari bank dengan cara menjaminkan salah satu organ tubuhnya yang vital (baca: ginjal). Dalam hati saya, tergetar seraya mengucap subhanallah, “Apa sudah tidak ada jalan lain, sehingga saudara kita memberanikan diri untuk memperoleh pembiayaan dengan cara menjaminkan organ tubuhnya”. Pertanyaannya, sepenting apa jaminan tersebut dalam sistem perbankan? Apa memang merupakan suatu kewajiban? Apalagi jika yang mensyaratkan jaminan tersebut adalah bank syariah, apa bedanya dengan bank konvensional? Realita ini menjadi permasalahan yang sering dikeluhkan oleh umat Islam, sehingga sebagian dari umat Islam sendiri masih meragukan terhadap eksistensi bank syariah. ***

PKES Publishing

Memang betul, konsep bank syariah memberikan fasilitas peminjaman uang dengan menggunakan akad qard (pinjaman). Sifat pinjaman ini bersifat sosial dan tujuan utamanya adalah social oriented bukan untuk mengejar nilai komersial. Ilustrasi dari model qard dapat dijelaskan sebagai berikut. Bank syariah memberikan pinjaman uang ke seorang nasabah sejumlah Rp. 5 juta, maka kewajiban bagi nasabah untuk mengembalikan pinjaman ke bank sebesar Rp. 5 juta, tanpa tambahan sepeserpun. Jika, ada tambahan maka sudah termasuk kategori riba nasi’ah. Adapun agunan dalam model pinjaman qard sudah tidak sesuai dengan hakekat dan fungsi fasilitas qard itu sendiri pada bank syariah. Karena hakekat qard pada bank syariah adalah memberikan pertolongan pada orang yang Menjawab Keraguan Umat Islam

60

Agunan Pada Pembiayaan Murabahah

membutuhkan dana. Asumsinya, orang yang membutuhkan dana adalah orang yang tidak mempunyai sesuatu untuk dijadikan agunan atau jaminan dalam model qard. Fasilitas qard pada bank syariah tidak banyak digunakan karena kurang memberikan keuntungan bagi bank syariah tersebut. Biasanya, praktek qard dilimpahkan ke Baitul Mal yang ada di bank syariah tersebut. Saat ini, bank syariah lebih menyukai penyaluran pembiayaan kepada nasabah yang berbasis pada akad jual-beli, semacam murabahah, karena memberikan keuntungan bagi pihak bank syariah. Sekarang bagaimana dengan agunan atau jaminan pada beberapa pembiayaan yang dikembangkan oleh bank syariah, semisal agunan pada pembiayaan musyarakah, mudharabah atau murabahah? Sementara ini, bank syariah memang mengenakan agunan atau jaminan pada beberapa pembiayaan yang dikembangkannya. Alasan utama adanya agunan pada bank syariah adalah untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam menyalurkan dana pihak ketiga. Alasan semacam ini memang dapat diterima, karena dana yang disalurkan ke masyarakat bukan hanya dana milik bank sendiri, tetapi juga ada dana yang berasal dari pihak ketiga yang harus dilindungi oleh pihak bank syariah.

PKES Publishing

Dari perspektif fiqh, adanya agunan yang dijalankan oleh bank syariah dapat dibenarkan dari sisi memutus jalan bagi nasabah untuk berbuat tidak disiplin (moral hazard) dalam proses pembayaran. Metode semacam ini dalam kajian fiqh dikenal dengan istilah sad adz-dzari’ah. Misalnya, dikhawatirkan nasabah tersebut mempunyai niatan yang tidak baik dengan tidak melunasi kewajiban 61

Menjawab Keraguan Umat Islam

Agunan Pada Pembiayaan Murabahah

Dalam hal ini, agunan tersebut bukan menduduki posisi yang diharuskan. Sesuai dengan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Majelis Ulama Indonesia No 04/DSN-MUI/IV/2000, tentang Murabahah, ditegaskan bahwa “Agunan atau jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabah serius dengan pesanannya”. Selanjutnya, dijelaskan pula dalam fatwa tersebut bahwa “Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang”. Melihat semangat yang terkandung dalam fatwa mengenai murabahah tersebut, dapat difahami bahwa kedudukan jaminan dalam pembiayaan murabahah bukanlah menjadi sebuah kewajiban. Hal ini terlihat dari bahasa yang ada dalam fatwa tersebut hanya menggunakan istilah “dibolehkan” dan “dapat”, bukan menggunakan istilah mewajibkan.

PKES Publishing

Selain itu, dapat difahami pula, kedudukan jaminan dalam pembiayaan murabahah di bank syariah, adanya di luar syarat, bukannya di dalam syarat. Hal ini, terlihat lain, jika dibandingkan dengan jaminan yang disyaratkan oleh bank konvensional dalam penyaluran kreditnya. Jaminan dalam bank konvensional menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh nasabah. Bahkan, jika kita membaca lagi kelanjutan keputusan fatwa DSN-MUI mengenai murabahah tersebut, ditemukan kejelasan makna, jika nasabah telah dinyatakan pailit dan gagal menyelesaikan hutangnya, bank harus menunda tagihan hutang sampai ia menjadi sanggup kembali, atau berdasarkan kesepakatan. Nyatalah bagi kita sekarang, Menjawab Keraguan Umat Islam

62

Agunan Pada Pembiayaan Murabahah

bahwa “Bank syariah tidak bisa memaksa nasabah untuk membayar kewajiban jika kondisinya dalam pailit, sehingga ia sanggup kembali melunasi hutangnya”. Berbeda dengan apa yang terjadi di bank konvensional. Jika nasabah yang tidak mampu melunasi kredit yang dikucurkan oleh bank konvensional, maka bank tersebut dapat menyita agunan yang dijaminkannya. Bahkan, bank konvensional dapat melelangnya untuk menutupi kewajiban kredit yang masih menjadi tanggungan nasabah. Di sisi lain, dalam fatwa DSN-MUI tentang murabahah tersebut ditegaskan pula, adanya pelarangan bagi pihak nasabah yang mampu membayar untuk menunda-nunda pembayaran. Perbuatan semacam ini termasuk sesuatu yang dilarang daram syariah Islam.

PKES Publishing

Dari sisi regulasi yang mengatur operasional bank syariah juga menggunakan istilah “dapat”, bukan mewajibkan. Selengkapnya, dapat kita telusuri di PBI No: 7/46/PBI/2005 pasal 9 ayat 1 huruf f, yang bunyi selengkapnya sebagai berikut: “Bank dapat meminta nasabah untuk menyediakan agunan tambahan selain biaya yang dibiayai Bank”. Walaupun begitu, bank syariah saat ini memang harus sangat selektif dalam menerapkan praktek agunan bagi para nasabahnya. Artinya, dalam kondisi tertentu pihak bank syariah harus betul-betul mengetahui karakteristik sang nasabah. Dan bank syariah harus berani menetapkan agunan tidak hanya didasarkan pada materi. Lebih dari itu, agunan atau jaminan bisa jadi dapat berbentuk rekomendasi seseorang atau jaminan dari pihak lain. 63

Menjawab Keraguan Umat Islam

Agunan Pada Pembiayaan Murabahah

Contohnya, si-fulan yang kebetulan ditakdirkan Allah tidak mempunyai materi yang dapat dijaminkan atau diagunkan untuk memperoleh satu pembiayaan dari bank syariah. Si-fulan dapat memohon kepada seseorang yang dapat dianggap mampu untuk memberikan jaminan atau memberikan agunan dalam proses pengajuan pembiayaan pada bank syariah. Orang yang menjadi penjamin tersebut diakui oleh bank syariah sebagai orang yang mampu (ahliyah) dalam memberikan jaminan bagi si-fulan. *** Melihat data referensi yang bersumber dari fatwa DSNMUI dan Peraturan Bank Indonesia (PBI), sesungguhnya jaminan yang dipersyarat-kan oleh pihak bank bukanlah yang utama. Jaminan hanyalah nomor dua. Nomor yang pertama dan menjadi prioritas penilaian dalam penyaluran pembiayaan adalah kemampuan nasabah dalam mengembalikan tanggungan kewajibannya kepada pihak bank. Wallahu ‘alam bis showab.

PKES Publishing

Menjawab Keraguan Umat Islam

64

Agunan Pada Pembiayaan Murabahah

KESIMPULAN

Dari perspektif fiqh, adanya agunan yang dijalankan oleh bank syariah dapat dibenarkan dari sisi memutus jalan bagi nasabah untuk berbuat tidak disiplin (moral hazard) dalam proses pembayaran. Metode semacam ini dalam kajian fiqh dikenal dengan istilah sad adz-dzari’ah. Berdasarkan data referensi yang bersumber dari fatwa DSNMUI dan Peraturan Bank Indonesia (PBI), sesungguhnya jaminan yang dipersyarat-kan oleh pihak bank bukanlah yang utama. Jaminan hanyalah nomor dua. Nomor yang pertama dan menjadi prioritas penilaian dalam penyaluran pembiayaan adalah kemampuan nasabah dalam mengembalikan tanggungan kewajibannya kepada pihak bank.

PKES Publishing

65

Menjawab Keraguan Umat Islam

MENJAWAB KERAGUAN UMAT ISLAM TERHADAP BANK SYARIAH Mengapa Keraguan Revenue Sharing, Tidak Profit-Loss Sharing?

6

Mengapa Revenue Sharing, tidak Profit-Loss Sharing?

A. Pengertian Sistem bagi hasil merupakan sistem di mana dilakukannya perjanjian atau ikatan bersama di dalam melakukan kegiatan usaha. Di dalam usaha tersebut diperjanjikan adanya pembagian hasil atas keuntungan yang akan di dapat antara kedua belah pihak atau lebih. Bagi hasil dalam sistem perbankan syari’ah merupakan ciri khusus yang ditawarkan kapada masyarakat, dan di dalam aturan syari’ah yang berkaitan dengan pembagian hasil usaha harus ditentukan terlebih dahulu pada awal terjadinya kontrak (akad). Besarnya penentuan porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan bersama, dan harus terjadi dengan adanya kerelaan (AnTarodhin) di masing-masing pihak tanpa adanya unsur paksaan.

PKES Publishing

Mekanisme perhitungan bagi hasil yang diterapkan di dalam perbankan syari’ah terdiri dari dua sistem, yaitu: 1. Profit Sharing 2. Revenue Sharing 1. Pengertian Profit Sharing Profit sharing menurut etimologi Indonesia adalah bagi keuntungan. Dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Profit secara istilah adalah perbedaan yang timbul ketika total pendapatan (total revenue) suatu perusahaan lebih besar dari biaya total (total cost). Di dalam istilah lain profit sharing adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada hasil bersih dari total pendapatan 67

Menjawab Keraguan Umat Islam

Mengapa Revenue Sharing, tidak Profit-Loss Sharing?

setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Pada perbankan syariah istilah yang sering dipakai adalah profit and loss sharing, di mana hal ini dapat diartikan sebagai pembagian antara untung dan rugi dari pendapatan yang diterima atas hasil usaha yang telah dilakukan. Sistem profit and loss sharing dalam pelaksanaannya merupakan bentuk dari perjanjian kerjasama antara pemodal (Investor) dan pengelola modal (enterpreneur) dalam menjalankan kegiatan usaha ekonomi, dimana di antara keduanya akan terikat kontrak bahwa di dalam usaha tersebut jika mendapat keuntungan akan dibagi kedua pihak sesuai nisbah kesepakatan di awal perjanjian, dan begitu pula bila usaha mengalami kerugian akan ditanggung bersama sesuai porsi masing-masing.

PKES Publishing

Kerugian bagi pemodal tidak mendapatkan kembali modal investasinya secara utuh ataupun keseluruhan, dan bagi pengelola modal tidak mendapatkan upah/hasil dari jerih payahnya atas kerja yang telah dilakukannya. Keuntungan yang didapat dari hasil usaha tersebut akan dilakukan pembagian setelah dilakukan perhitungan terlebih dahulu atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan selama proses usaha. Keuntungan usaha dalam dunia bisnis bisa negatif, artinya usaha merugi, positif berarti ada angka lebih sisa dari pendapatan dikurangi biaya-biaya, dan nol artinya antara pendapatan dan biaya menjadi balance. Keuntungan yang dibagikan adalah keuntungan bersih (net profit) yang merupakan lebihan dari selisih atas pengurangan total cost terhadap total revenue. Menjawab Keraguan Umat Islam

68

Mengapa Revenue Sharing, tidak Profit-Loss Sharing?

2. Pengertian Revenue Sharing Revenue Sharing berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari dua kata yaitu, revenue yang berarti; hasil, penghasilan, pendapatan. Sharing adalah bentuk kata kerja dari share yang berarti bagi atau bagian. Revenue sharing berarti pembagian hasil, penghasilan atau pendapatan. Revenue (pendapatan) dalam kamus ekonomi adalah hasil uang yang diterima oleh suatu perusahaan dari penjualan barang-barang (goods) dan jasa-jasa (services) yang dihasilkannya dari pendapatan penjualan (sales revenue). Dalam arti lain revenue merupakan besaran yang mengacu pada perkalian antara jumlah out put yang dihasilkan dari kagiatan produksi dikalikan dengan harga barang atau jasa dari suatu produksi tersebut.

PKES Publishing

Di dalam revenue terdapat unsur-unsur yang terdiri dari total biaya (total cost) dan laba (profit). Laba bersih (net profit) merupakan laba kotor (gross profit) dikurangi biaya distribusi penjualan, administrasi dan keuangan. Berdasarkan definisi di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa arti revenue pada prinsip ekonomi dapat diartikan sebagai total penerimaan dari hasil usaha dalam kegiatan produksi, yang merupakan jumlah dari total pengeluaran atas barang ataupun jasa dikalikan dengan harga barang tersebut. Unsur yang terdapat di dalam revenue meliputi total harga pokok penjualan ditambah dengan total selisih dari hasil pendapatan penjualan tersebut. Tentunya di dalamnya meliputi modal (capital) ditambah dengan keuntungannya (profit). 69

Menjawab Keraguan Umat Islam

Mengapa Revenue Sharing, tidak Profit-Loss Sharing?

Berbeda dengan revenue di dalam arti perbankan. Yang dimaksud dengan revenue bagi bank adalah jumlah dari penghasilan bunga bank yang diterima dari penyaluran dananya atau jasa atas pinjaman maupun titipan yang diberikan oleh bank. Revenue pada perbankan Syari’ah adalah hasil yang diterima oleh bank dari penyaluran dana (investasi) ke dalam bentuk aktiva produktif, yaitu penempatan dana bank pada pihak lain. Hal ini merupakan selisih atau angka lebih dari aktiva produktif dengan hasil penerimaan bank. Perbankan Syari’ah memperkenalkan sistem pada masyarakat dengan istilah Revenue Sharing, yaitu sistem bagi hasil yang dihitung dari total pendapatan pengelolaan dana tanpa dikurangi dengan biaya pengelolaan dana.

PKES Publishing

Lebih jelasnya Revenue sharing dalam arti perbankan adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang diterima sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Sistem revenue sharing berlaku pada pendapatan bank yang akan dibagikan dihitung berdasarkan pendapatan kotor (gross sales), yang digunakan dalam menghitung bagi hasil untuk produk pendanaan bank. B. Perbedaan Mendasar Profit Loss Sharing dan Revenue Sharing Profit sharing menurut etimologi Indonesia adalah bagi keuntungan. Dalam kamus ekonomi diartikan pembagian Menjawab Keraguan Umat Islam

70

Mengapa Revenue Sharing, tidak Profit-Loss Sharing?

laba. Profit secara istilah adalah perbedaan yang timbul ketika total pendapatan (total revenue) suatu perusahaan lebih besar dari biaya total (total cost). Secara definitif profit sharing diartikan : “Distribusi beberapa bagian dari laba pada para pegawai dari suatu perusahaan.” Hal ini dapat berbentuk suatu bonus uang tunai tahunan yang didasarkan pada laba yang diperoleh pada tahuntahun sebelumnya, atau dapat berbentuk pembayaran mingguan atau bulanan. Di dalam istilah lain profit sharing adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada hasil bersih dari total pendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Pada perbankan syariah istilah yang sering dipakai adalah profit and loss sharing, di mana hal ini dapat diartikan sebagai pembagian antara untung dan rugi dari pendapatan yang diterima atas hasil usaha yang telah dilakukan.

PKES Publishing

Sistem profit and loss sharing dalam pelaksanaannya merupakan bentuk dari perjanjian kerjasama antara pemodal (Investor) dan pengelola modal (enterpreneur) dalam menjalankan kegiatan usaha ekonomi, dimana di antara keduanya akan terikat kontrak bahwa di dalam usaha tersebut jika mendapat keuntungan akan dibagi kedua pihak sesuai nisbah kesepakatan di awal perjanjian, dan begitu pula bila usaha mengalami kerugian akan ditanggung bersama sesuai porsi masing-masing. Kerugian bagi pemodal tidak mendapatkan kembali modal investasinya secara utuh ataupun keseluruhan, dan bagi pengelola modal tidak mendapatkan upah/hasil dari jerih 71

Menjawab Keraguan Umat Islam

Mengapa Revenue Sharing, tidak Profit-Loss Sharing?

payahnya atas kerja yang telah dilakukannya. Keuntungan yang didapat dari hasil usaha tersebut akan dilakukan pembagian setelah dilakukan perhitungan terlebih dahulu atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan selama proses usaha. Keuntungan usaha dalam dunia bisnis bisa negatif, artinya usaha merugi, positif berarti ada angka lebih sisa dari pendapatan dikurangi biaya-biaya, dan nol artinya antara pendapatan dan biaya menjadi balance. Keuntungan yang dibagikan adalah keuntungan bersih (net profit) yang merupakan lebihan dari selisih atas pengurangan total cost terhadap total revenue. Hal inilah yang membedakan dengan revenue sharing di mana pada sistem ini pembagian dari kerjasama usaha dilakukan penghitungan berdasar pendapatan kotor penjualan usaha (gross sales), tanpa harus di-kalkulasikan terlebih dahulu rincian pengeluaran biaya operasional usaha.

PKES Publishing

Pengeluaran biaya usaha pada sistem profit and loss sharing dibebankan pada modal usaha atau pendapatan usaha tersebut, artinya biaya akan ditanggung oleh pihak pemodal (investor/shahibul maal). Sedang revenue sharing, pengeluaran biaya usaha dibebankan pada pihak pengelola modal (mudharib), biaya-biaya tersebut akan ditanggung dari perolehan atas pembagian hasil yang diterima pihak pengelola modal. Di dalam pembagian profit and loss sharing modal usaha dipisahkan terlebih dahulu, modal tidak termasuk di dalam pembagian tersebut, sedang revenue sharing modal masuk di dalam pembagian hasil usaha tersebut. Karena Menjawab Keraguan Umat Islam

72

Mengapa Revenue Sharing, tidak Profit-Loss Sharing?

pembagian hasil didasarkan kepada pendapatan kotor dari penjualan usaha (gross sales). Pendistribusian revenue sharing pada bank syariah hanya dilakukan atas investasi dana, dan tidak termasuk pendapatan fee atau komisi atas jasa-jasa yang diberikan oleh bank, karena pendapatan tersebut pertama-tama harus dialokasikan untuk mendukung biaya operasional. Di dalam profit and loss sharing pendapatan yang dibagikan oleh bank adalah seluruh pendapatan, baik hasil investasi dana maupun pendaptan fee atas jasa-jasa yang diberikan oleh bank setelah dikurangi biaya-biaya operasional bank.

PKES Publishing

C. Alasan Penerapan Sistem Revenue Sharing

Secara umum di dalam perbankan syariah landasan sistem yang ideal yang digunakan dalam sistem operasinya adalah sistem profit and loss sharing, sistem inilah yang dapat dijadikan ciri khusus bank syariah yang membedakan dengan sistem bank konvensional. Sistem ini merupakan model yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW ketika beliau menjadi mudharib dari Siti Khadijah r.a. Sebagai pengganti dari mekanisme bunga, sebagaian ulama berpendapat bahwa dalam pembiayaan proyekproyek individual, instrumen yang paling baik adalah bagi hasil (profit and loss sharing). Walaupun setelah banyak pembiayaan yang diberikan, mereka mengakui bahwa ketika mereka bergerak dari pembiayaan proyek individu ke pembiayaan lembaga (institusional banking), mekanisme bagi hasil menjadi kurang efisien untuk melakukan semua 73

Menjawab Keraguan Umat Islam

Mengapa Revenue Sharing, tidak Profit-Loss Sharing?

fungsi seperti yang dilakukan oleh perbankan modern, yang berdasarkan pada mekanisme tingkat bunga. Pemberlakuan sistem revenue sharing didasarkan kepada kenyataan bahwa: 1. Dana yang dilemparkan oleh bank ke dalam bentuk pembiayaan adalah dana polling yang berasal dari dana titipan (wadiah) serta bagi hasil (mudharabah dan musyarakah) sehingga sulit untuk menelusuri (mengidentifikasi) satu persatu sumber dana yang dilemparkan ke dalam pembiayaan. 2. Perhitungan pendapatan dibagi dengan pendekatan ini lebih mudah, khusus untuk produk pembiayaan bagi hasil, cara ini akan sangat membantu bank, di mana bank tidak memerlukan petugas yang memiliki spesifikasi khusus tentang bisnis tertentu untuk dapat melakukan kontrol terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan nasabah. 3. Diasumsikan bahwa para nasabah belum terbiasa menerima kondisi berbagi hasil dan berbagi resiko. Di mana bila bank mengalami kerugian nasabah akan ikut menanggung resiko kerugian tersebut, berarti berkurangnya dana mereka yang ditabung atau disimpan pada bank. 4. Pada sistem ini kemungkinan tingkat perhitungan bagi hasil yang diterima pemilik dana akan lebih besar dibandingkan tingkat suku bunga pasar yang berlaku. Kondisi ini akan mempengaruhi para pemilik dana untuk mengarahkan investasinya kepada bank syariah yang nyatanya justru mampu memberikan hasil yang optimal. 5. Penyaluran dana kepada sektor usaha menunjukkan adanya berbagai macam usaha yang mempunyai

PKES Publishing

Menjawab Keraguan Umat Islam

74

Mengapa Revenue Sharing, tidak Profit-Loss Sharing?

karakteristik biaya yang berbeda. Bank sebagai shahibul maal kedua atau pemegang amanah shahibul maal pertama menghadapi kesulitan untuk mengakui biayabiaya usaha yang dikeluarkan para nasabah pengusaha sebagai mudharib. Padahal biaya-biaya yang sulit diverifikasi inilah yang kemudian menjadi pengurang seluruh pendapatan yang akan dibagihasilkan. 6. Ukuran kolektibilitas terhadap pembiayaan bagi hasil. Jika usaha yang dibiayai secara bagi hasil dan menggunakan pola distribusi bagi untung (profit loss sharing) menghadapi masalah seperti kerugian karena sebab yang alami dan pengembalian menjadi nol, terjadi perbedaan perlakuan. LEKS (Lembaga Ekonomi Keuangan Syariah) menganggap itu sebagai suatu yang normal, “nature of business cycle”, yang mengakibatkan penurunan pendapatan, karena kerugian mengurangi modal lembaga keuangan syariah tersebut. Sementara Bank Sentral akan mengukurnya berdasarkan ukuran pembiayaan biasa, memasukkannya ke dalam penilaian kualitas aktiva produktif dengan kategori macet, artinya nasabah terhambat dalam melunasi hutangnya kepada lembaga keuangan tersebut.

PKES Publishing

Permasalahan pokok yang akan muncul sebagai akibat dari penerapan sistem bagi hasil dengan sistem revenue sharing, dengan mengesampingkan sistem profit and loss sharing, adalah potensi terjadinya asymmetric information antar kedua belah pihak. Perjanjian kerjasama usaha dengan sistem profit and loss sharing dapat menimbulkan penyalahgunaan informasi, terutama dalam hal penyajian besaran biaya pada laporan keuangan dari hasil usaha tersebut. 75

Menjawab Keraguan Umat Islam

Mengapa Revenue Sharing, tidak Profit-Loss Sharing?

Penyajian laporan keuangan dapat di manipulasi sedemikian rupa, sehingga akan berpengaruh terhadap hasil pokok dari keuntungan yang harus dibagihasilkan antara kedua belah pihak. Keuntungan yang semestinya di bagi akan berkurang oleh sebab manipulasi data dari laporan keuangan tersebut. Dimungkinkan timbulnya asymmetric information muncul dari pihak pengelola dana (mudharib). Pengelola dana yang melakukan usaha berpotensi untuk memanipulasi data laporan keuangan, terutama dalam penyajian biayabiaya yang semestinya dikeluarkan. Biaya yang seharusnya dikeluarkan akan menggelembung menjadi besar, sehingga akan menggerus keuntungan usaha tersebut. Hal ini berakibat pada kecilnya bagi hasil yang harus diberikan kepada shahibul mal (pemilik dana/bank), bahkan tidak menerima bagi hasil tersebut.

PKES Publishing

Umumnya, hal ini terjadi disebabkan oleh ketiadaan standar biaya dalam usaha. Khususnya di Indonesia, diseluruh kegiatan usaha tidak ada standar secara khusus sebagai patokan baku besar-kecilnya biaya-biaya yang mesti dikeluarkan. Sehingga bagi shahibul mal (bank) sulit untuk mengestimasi biaya-biaya yang dikeluarkan oleh pihak pengelola dana. Padahal besarnya biaya-biaya yang sulit untuk diverifikasi ini pokok dari pengurang keuntungan yang dibagihasilkan. Kemudian hal inilah yang menjadi alasan dari diterapkannya sistem revenue sharing sebagai prinsip operasional bank syariah. Dengan sistem revenue sharing, biaya-biaya akan lebih mudah untuk di estimasi. Sehingga besar-kecilnya keuntungan dapat diukur. Menjawab Keraguan Umat Islam

76

Mengapa Revenue Sharing, tidak Profit-Loss Sharing?

D. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Revenue Sharing Ayat al-Qur’an yang secara jelas (qath’i) memberikan ilustrasi tentang aspek muamalah terekam dalam QS. al-Baqarah [2]: 275-281, yaitu yang berkaitan dengan pembolehan jualbeli (al-ba’i) dan pelarangan riba. Selebihnya banyak yang bersifat dzanni (ijtihadi) dan hanya merupakan turunan dari penjelasan ayat-ayat al-Qur’an atau hadits Nabi yang bersifat qath’i. Termasuk dalam hal ini adalah masalah revenue sharing yang secara operasional merupakan hasil ijtihad dari beberapa ulama fiqh, di antaranya Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali.

PKES Publishing

Wacana revenue sharing baru berkembang dan menjadi perdebatan antara ulama fiqh tatkala mereka membahas masalah mudharabah ataupun musyarakah. Konsep mudharabah dalam literatur fiqh terlihat sangat beragam dan belum mempunyai kesatuan istilah yang baku. Hal ini terindikasi dengan pemakaian kata yang beragam untuk memaknai kata mudharabah. Penamaan macam syarikat ini (mudharabah) adalah menurut umat Islam di Iraq, dan mereka juga menamainya dengan (al-mu’amalah). Dikatakan ‘amaltu rajulan mu’amalatan yang berarti adalah saya memberinya uang untuk mudharabah. Para penduduk Hejaz menamainya dengan al-qiradh, yaitu berasal dari kata qardh yang berarti al-qath’u atau pemotongan. Hal itu karena pemilik harta memotong dari sebagian hartanya sebagai modal dan menyerahkan hak pengurusannya kepada orang yang mengelolanya, dan pengelola memotong untuk pemilik modal bagian dari keuntungan sebagai hasil dari usaha dan kerjanya untuk 77

Menjawab Keraguan Umat Islam

Mengapa Revenue Sharing, tidak Profit-Loss Sharing?

dibagikan sesuai dengan kesepakatan bersama. Ayat alQur’an yang menjadi landasan praktek mudharabah masih bersifat umum terdapat dalam QS. al-Muzammil [73]: 20, yang artinya: “…dan sebagian orang-orang yang lain berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah....” (QS. al-Muzammil [73]: 20) Ayat tersebut di atas masih bersifat umum dan belum diperoleh pemahaman terhadap konsep revenue sharing. Sistem revenue sharing yang diterapkan pada bank syariah tidak terdapat aturan yang secara jelas membahas dan ataupun menjadi sandaran pelaksanaannya pada kitabkitab fiqh. Namun, sebagaimana sistem profit and loss sharing, yang merupakan artian dari kontrak kerjasama akad musyarakah dan mudharabah, revenue sharing-pun dapat ditinjau penerapannya pada akad-akad tersebut.

PKES Publishing

Yang menjadi pokok permasalahan dan pembahasan pada kaedah ini, bahwa pada revenue sharing prinsip pembagiannya didasarkan pada pendapatan usaha yang diterima, dan tanggungan biaya operasional yang dibebankan pada pihak pengelola modal (mudharib). Adapun pada sistem revenue sharing dapat ditinjau pada pendapat-pendapat para fuqaha’ atas boleh dan tidaknya bagi pengelola modal mengambil sebagian dari harta mudharabah untuk keperluannya sebagai biaya dalam menjalankan usaha. Pada satu pendapatnya yang jelas/kuat Imam Syafi’i melarang adanya pengambilan biaya bagi pengelola modal. Pengelola modal tidak berhak mendapatkan biaya atas Menjawab Keraguan Umat Islam

78

Mengapa Revenue Sharing, tidak Profit-Loss Sharing?

modal usaha, baik sedang melakukan bepergian dalam menjalankan usaha ataupun tidak. Kecuali jika pihak pemilik modal (shahibul maal) memberikan izin atas itu. Karena boleh jadi biaya akan lebih besar dari keuntungan yang sebenarnya didapat, berarti jika biaya diambil dari dana mudharabah maka pengelola telah mengambil bagian keuntungan yang seharusnya diterima oleh pemilik modal. Tidak ada ketentuan bagi pengelola mengambil biaya untuk keperluannya kecuali atas izin pemilik dana. Sependapat dengan Imam Syafi’i seperti yang dikemukan oleh para ulama madzhab Imam Hambali yang tidak membolehkan pengambilan biaya pada harta mudharabah, kecuali dibuat syarat di awal akad untuk memberikan biaya kepada pengelola (mudharib) dalam hal bepergian (usaha) maupun tidak.

PKES Publishing

Namun, dari pendapat yang lain, dari Imam Syafi’I, mengatakan sah saja bila pengelola mengambil biaya tersebut sekedar untuk tambahan biaya karena telah melakukan bepergian (usaha), persewaan dan lain sebagainya yang semestinya dilakukan dalam usaha. Biaya tersebut dihitung dari keuntungan yang diperoleh, dan jika tidak beruntung maka biaya dihitung sebagai kerugian. Sebagian fuqaha seperti Ibrahim an-Nakha’i, dan al Hasan berpendapat bahwa pengelola modal mendapatkan biaya. Begitu juga pendapat Imam Malik, Abu Hanifah, ats-Tsauri dan jumhur ulama’ bahwa pengelola mendapat biaya makan dan pakaiannya selama ia melakukan perjalanan (usaha), tetapi tidak mendapatkannya sedikitpun kalau pengelola tidak melakukan usaha tersebut. Imam malik menambahkan syarat atas hal ini jika modal tersebut 79

Menjawab Keraguan Umat Islam

Mengapa Revenue Sharing, tidak Profit-Loss Sharing?

bernilai besar dan memungkinkan untuk yang demikian dan begitupun bahwa mudharib tidak mampu membiayai dirinya sendiri. Alasan yang dikemukakan oleh fuqaha yang mengatakan biaya itu harus diberikan adalah jika biaya tidak diberikan kepada pihak pengelola dari modal usaha tersebut maka tentunya orang tidak akan bersedia untuk menjalankan harta usaha sedang kontrak kerjasama usaha (mudharabah) itu diperlukan. Sebab kenapa pengelola berhak mendapat biaya selama menjalankan usaha dan tidak berhak jika tidak melakukannya ialah karena seharusnya mudharib dapat menjalankan pekerjaannya sendiri, namun hal tersebut digunakan untuk melakukan usaha pada harta mudharabah tersebut.

PKES Publishing

Pendapat Imam Malik membolehkan bagi pengelola mengambil biaya dari harta mudharabah jika ia telah melakukan/menjalankan usaha. Dicontohkan oleh Imam Malik dengan alasan ada beberapa hal dalam pekerjaan yang di luar tanggung jawab mudharib, seperti menagih hutang, mengangkut barang-barang dan memuat barangbarang dan lain-lain. pengelola dapat mengupah seseorang agar melakukan pekerjaan tersebut bagi dirinya. Juga dapat mengambil biaya untuk makan, pakaian dan apa-apa yang digunakan untuk kebaikan, sesuai dengan jumlah modal. Jika ada keuntungan pada usaha tersebut maka dilakukan pembagian menurut ketentuan perjanjian yang telah disepakati. Namun, bila terjadi kerugian pengelola tidak harus mengganti apa yang telah dikeluarkan untuk dirinya sendiri, ataupun mengganti kerugian tersebut. Kerugian itu dibebankan kepada pemilik modal, diambil dari modal. Sependapat dengan Imam Malik, Imam Hanafi membolehkan Menjawab Keraguan Umat Islam

80

Mengapa Revenue Sharing, tidak Profit-Loss Sharing?

biaya diambil oleh pengelola atas segala keperluan yang dibutuhkan oleh mudharib selama menjalankan usaha, dan bahkan ketika sakitpun pengelola berhak mendapat biaya pengobatan atas dana tersebut. Merujuk pendapat-pendapat di atas sistem revenue sharing pada perbankan syariah, yang membebankan biaya kepada pengelola dapat dibenarkan sesuai dengan pendapat Imam Syafi’i dan Imam Hambali. Bentuk pelarangan pengambilan biaya pada akad kerjasama mudharabah, baik pada saat bepergian dalam menjalankan usaha maupun sedang menjalankan usaha di sekitar daerahnya sendiri, dapat diartikan sebagai hal bahwa biaya operasional usaha tersebut ditanggung sendiri oleh pengelola modal (mudharib).

PKES Publishing

Dengan demikian revenue sharing dapat berlaku pada sistem perbankan syariah sesuai atas pendapat Imam Syafi’i dan Mazhab Imam Hambali. Yang melarang pengambilan biaya pada harta mudharabah oleh pihak mudharib. Menurut pendapat yang lain, jumhur ulama’, diantaranya Imam Maliki, Imam Hanafi, Ibrahim an-Nakhai dan golongan az-Zadiyyah tanggungan biaya akan ditimpakan pada modal usaha. Artinya revenue sharing tidak dapat dibenarkan menurut jumhur ulama’. Pada dasarnya bahwa pengambilan biaya dilakukan atas biaya-biaya yang sifatnya untuk perkembangan usaha, jika biaya itu diambil maka akan memberi manfaat atas modal, dan pengeluaran biaya itupun yang semestinya dapat dikeluarkan untuk keperluan usaha. Biaya tidak dapat dikeluarkan bila sifatnya untuk keperluan pribadi yang 81

Menjawab Keraguan Umat Islam

Mengapa Revenue Sharing, tidak Profit-Loss Sharing?

tidak akan mempengaruhi perkembangan usaha untuk menghindari manfaat berlebih terhadap harta modal oleh pengelola usaha. Seperti yang menjadi pokok permasalahan pada profit and loss sharing sekarang ini, bentuk pelarangan pengambilan biaya tersebut untuk mencegah pembengkakan biaya atas ketidakjujuran pengelola usaha yang merupakan bentuk dari moral hazard. Seperti yang telah diungkapkan oleh Wahbah Zuhaili bahwa pengelola boleh mengupah seseorang untuk melakukan kerja atau memperniagakan harta mudharabah itu, sebab mengupah merupakan salah satu keperluan dalam usaha. Juga boleh menyewa bangunan untuk menyimpan barang dagangannya, sebab ia tidak dapat menjaga barang tersebut jika tidak ditempatkan dalam bangunan itu. Boleh juga pengelola menyewa kapal dan kendaraan-kendaraan lain untuk keperluan kerja. Sebab hal itu merupakan salah satu cara untuk mendapat keuntungan.

PKES Publishing

E. Jenis-jenis Akad Bagi Hasil Bentuk-bentuk kontrak kerjasama bagi hasil dalam perbankan syariah secara umum dapat dilakukan dalam empat akad, yaitu Musyarakah, Mudharabah, Muzara’ah dan Musaqah. Namun, pada penerapannya prinsip yang digunakan pada sistem bagi hasil, pada umumnya bank syariah menggunakan kontrak kerjasama pada akad Musyarakah dan Mudharabah. Menjawab Keraguan Umat Islam

82

Mengapa Revenue Sharing, tidak Profit-Loss Sharing?

a. Musyarakah (Joint Venture Profit & Loss Sharing) Adalah mencampurkan salah satu dari macam harta dengan harta lainnya sehingga tidak dapat dibedakan di antara keduanya. Dalam pengertian lain musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Penerapan yang dilakukan Bank Syariah, musyarakah adalah suatu kerjasama antara bank dan nasabah dan bank setuju untuk membiayai usaha atau proyek secara bersama-sama dengan nasabah sebagai inisiator proyek dengan suatu jumlah berdasarkan prosentase tertentu dari jumlah total biaya proyek dengan dasar pembagian keuntungan dari hasil yang diperoleh dari usaha atau proyek tersebut berdasarkan prosentase bagi-hasil yang telah ditetapkan terlebih dahulu.

PKES Publishing

b. Mudharabah (Trustee Profit Sharing) Adalah suatu pernyataan yang mengandung pengertian bahwa seseorang memberi modal niaga kepada orang lain agar modal itu diniagakan dengan perjanjian keuntungannya dibagi antara dua belah pihak sesuai perjanjian, sedang kerugian ditanggung oleh pemilik modal. Kontrak mudharabah dalam pelaksanaannya pada Bank Syariah nasabah bertindak sebagai mudharib yang mendapat pembiayaan usaha atas modal kontrak mudharabah. Mudharib menerima dukungan dana dari 83

Menjawab Keraguan Umat Islam

Mengapa Revenue Sharing, tidak Profit-Loss Sharing?

bank, yang dengan dana tersebut mudharib dapat mulai menjalankan usaha dengan membelanjakan dalam bentuk barang dagangan untuk dijual kepada pembeli, dengan tujuan agar memperoleh keuntungan (profit). Adapun bentuk-bentuk mudharabah yang dilakukan dalam perbankan syariah dari penghimpunan dan penyaluran dana adalah: 1. Tabungan Mudharabah. Yaitu, simpanan pihak ketiga yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat atau beberapa kali sesuai perjanjian. 2. Deposito Mudharabah. Yaitu, merupakan investasi melalui simpanan pihak ketiga (perseorangan atau badan hukum) yang penarikannya hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu tertentu (jatuh tempo), dengan mendapat imbalan bagi hasil. 3. Investai Mudharabah Antar Bank (IMA). Yaitu, sarana kegiatan investasi jangka pendek dalam rupiah antar peserta pasar uang antar Bank Syariah berdasarkan prinsip mudharabah di mana keuntungan akan dibagikan kepada kedua belah pihak (pembeli dan penjual sertifikat IMA) berdasarkan nisbah yang telah disepakati sebelumnya.

PKES Publishing

Menjawab Keraguan Umat Islam

84

Mengapa Revenue Sharing, tidak Profit-Loss Sharing?

KESIMPULAN

Sistem profit and loss sharing dalam pelaksanaannya merupakan bentuk dari perjanjian kerjasama antara pemodal (Investor) dan pengelola modal (enterpreneur) dalam menjalankan kegiatan usaha ekonomi, dimana di antara keduanya akan terikat kontrak bahwa di dalam usaha tersebut jika mendapat keuntungan akan dibagi kedua pihak sesuai nisbah kesepakatan di awal perjanjian, dan begitu pula bila usaha mengalami kerugian akan ditanggung bersama sesuai porsi masing-masing.

PKES Publishing

Revenue sharing dalam arti perbankan adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang diterima sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Sistem revenue sharing berlaku pada pendapatan bank yang akan dibagikan dihitung berdasarkan pendapatan kotor (gross sales), yang digunakan dalam menghitung bagi hasil untuk produk pendanaan bank.

85

Menjawab Keraguan Umat Islam

MENJAWAB KERAGUAN UMAT ISLAM TERHADAP BANK SYARIAH Batas Keraguan Darurat Transaksi dengan Bank Konvensional

7

Batas Darurat Transaksi dengan Bank Konvensional

S

ebelum ada bank syariah yang beroperasional di Indonesia, umat Islam masih diperbolehkan menjalani transaksi dengan bank konvensional atau bank ribawi, karena alasan dharurat. Masalah ini, sering diutarakan oleh ulama-ulam kita yang tergabung di Majelis Ulama Indonesia (MUI). Termasuk ulama yang getol menyuarakan masalah ini adalah KH. Ma’ruf Amin. Dalam setiap kesempatan, baik dalam forum ilmah seperti seminar dan sarasehan, ataupun dalam forum yang dihadiri oleh orang banyak seperti pengajian maupun forum mudzakarah, selalu diungkapkan bahwa melakukan transaksi dengan bank konvensional diperbolehkan bagi umat Islam selama tidak ada bank syariah.

PKES Publishing ***

Suatu hari, tepatnya pada tanggal 30 September 2007, PKES diundang oleh jama’ah Masjid al-Fajar di Pekayon Bekasi, untuk memberikan penjelasan mengenai praktek ekonomi syariah yang diformulakan dalam bentuk lembaga Baitul Mal wat Tamwil (BMT). Seorang jama’ah bertanya, bagaimana jika dana BMT tersebut diendapkan di salah satu bank swasta-konvensional, karena alasan pelayanan (service) yang diberikan oleh bank tersebut sangat memuaskan, disamping sistem teknologi yang dimiliki selangkah lebih maju dibanding dengan bank lainnya. Bagaimana tinjauan syariah Islam mengenai kondisi seperti ini? Dalam konteks permasalahan di atas, pertanyaan yang muncul adalah dimanakah batas dharurat dalam menyoal masalah tersebut? Seperti apa hukum Islam menjelaskan permasalahan di atas dari perspektif aspek dharurat. 87

Menjawab Keraguan Umat Islam

Batas Darurat Transaksi dengan Bank Konvensional

Memaknai Dharurat Kata dharurat mempunyai beberapa arti, termasuk di antaranya berarti keterpaksaan, tidak lazim dan di luar batas kenormalan. Jika kita melakukan perbuatan yang masuk kategori wilayah dharurat, berarti karena ada alasan keterpaksaan. Biasanya, sesuatu yang dharurat sudah tidak lazim dan sudah masuk dalam batas yang tidaknormal. Dalam kondisi seperti ini, hukum Islam masih memberikan toleransi bagi umat Islam untuk melakukannya, karena alasan keterpaksaan. Lain halnya, jika kondisinya normal, hukum dharurat tidak dapat diberlakukan.

PKES Publishing

Sesungguhnya, kalau dilihat dari subtansi penetapan hukum Islam, diarahkan untuk mewujudkan terealisasinya perlindungan dalam lima perkara, yaitu (i) hifdz ad-din (melindungi agama); (ii) hifdz an-nafs (melindungi jiwa); (iii) hifdz al-‘aql (melindungi akal); (iv) hifdz al-mal (melindungi harta); dan (v) hifdz an-nasl (melindungi keturunan). Begitu pula dalam menetapkan kategori dharurat dalam hukum Islam, selalu diarahkan untuk melindungi kepentingan lima perkara di atas. Contohnya, dalam kondisi tertentu kita terpaksa harus memakan bangkai karena sudah tidak menemukan lagi daging yang dimakan. Sekiranya tidak makan bangkai tersebut, maka akan mengancam pada keselamatan jiwa. Dalam kasus ini, berlakunya hukum dharurat, kebolehan memakan bangkai, karena diarahkan untuk melindungi jiwa (hifdz an-nafs).

Menjawab Keraguan Umat Islam

88

Batas Darurat Transaksi dengan Bank Konvensional

Contoh yang lain, dalam kondisi tertentu kita terpaksa harus membunuh orang yang akan mencuri atau merampok harta yang kita miliki. Karena pada dasarnya, menjadi kewajiban bagi kita untuk melindungi harta kekayaan tersebut. Seperti halnya syariah Islam menuntut kita untuk melindungi jiwa yang melekat ditubuh kita. Dalam kasus ini, berlakunya hukum dharurat, kebolehan membunuh orang lain, karena diarahkan untuk melindungi harta (hifdz al-mal). Dalam perspektif fiqh, dharurat merupakan pintu terakhir, karena sudah tidak ada lagi jalan lain. Oleh karenanya, pemberlakuan hukum dharurat tidak dapat berlangsung selama-lamanya. Ada batas waktunya. Batasnya, setelah kondisi sudah kembali pada posisi yang normal. Artinya, sudah ada pilihan lain yang telah sesuai dengan ketentuan syariah Islam.

PKES Publishing

Kemudian, bagaimana dengan ketetapan berlakunya hukum dharurat tatkala melakukan transaksi dengan lembaga keuangan konvensional, seperti bank ribawi? Batasannya seperti apa, kebolehan umat Islam melakukan transaksi dengan bank konvensional? Atau dalam kondisi bagaimana, toleransi hukum dharurat dapat dijalankan? Mempertegas Batas Dalam kasus kebolehan melakukan transaksi dengan bank konvensional perlu ditegaskan batas demargasinya. Ada beberapa hal yang perlu dijelaskan terlebih dahulu: (i) Berkaitan dengan operasional bank konvensional yang menggunakan sistem ribawi (bunga), sesungguhnya telah menyalahi ketentuan syariah Islam. Karena, dalam tinjauan hukum Islam, mempraktekkan riba termasuk 89

Menjawab Keraguan Umat Islam

Batas Darurat Transaksi dengan Bank Konvensional

kategori perbuatan yang diharamkan. Hal ini, seperti telah ditegaskan Allah Swt dalam QS al-Baqarah [2]: 275. Dalam kondisi yang normal, ketentuan hukum ini sudah tidak dapat ditawar lagi. Artinya, pengharaman melakukan transaksi dengan bank konvensional berlaku secara mutlak. Tanpa ada celah untuk memberikan kesempatan membolehkan untuk melakukan transaksi ribawi. (ii) Sebelumnya, perlu ditegaskan terlebih dahulu batasan wilayah normal dan tidak normal, atau batasan kewajaran dan ketidakwajaran. Yang dimaksud dengan batas normal dalam masalah ini adalah sudah tersedianya jaringan kantor bank syariah di suatu wilayah dan masyarakat sudah dapat mengakses dengan mudah pelayanan yang diberikan oleh bank syariah. Sehingga suatu kondisi menjadi tidak normal, jika satu wilayah belum ada jaringan kantor bank syariah atau kantor bank yang memberikan pelayanan transaksi syariah. Apalagi, saat ini Direktorat Perbankan Syariah BI telah menandai kantor bank yang memberi layanan transaksi syariah dengan logo iB. Artinya, bank yang ada logo tersebut sudah dapat memberikan pelayanan transaksi syariah. Sehingga kita sudah dapat memetakan wilayah yang masuk kategori normal dan wilayah tidak normal dengan hanya melihat ada tidaknya logo iB pada kantor bank tersebut.

PKES Publishing

(iii) Bagaimana jika kondisinya tidak normal atau tidak dalam batas kewajaran? Jawabannya, kita dapat melakukan transaksi dengan bank konvensional jika kondisi yang terjadi tidak normal. Yaitu, satu kondisi dimana pada wilayah tersebut belum tersedia kantor bank syariah atau layanan transaksi syariah yang diberikan oleh bank yang berlogo iB. Kondisi inilah yang disebut dharurat, sehingga Menjawab Keraguan Umat Islam

90

Batas Darurat Transaksi dengan Bank Konvensional

kita masih mendapat toleransi melakukan transaksi dengan bank konvensional. Adapun saat ini kondisinya sudah memperlihatkan bahwa jaringan bank syariah dan kantor layanan syariah, sudah dapat ditemukan dihampir kota propinsi dan kota kabupaten di wilayah Indonesia. Sehingga istilah dharurat, untuk saat ini, sudah tidak relevan lagi. Lain halnya, dengan kondisi pada periode belum adanya bank syariah di Indonesia, yaitu sebelum tahun 1991. Dimana di Indonesia belum ditemukan ada bank syariah satupun yang berdiri. Sehingga, umat Islam Indonesia pada waktu itu masih diperbolehkan melakukan transaksi dengan bank konvensional. Baru setelah tahun 1991, di Indonesia diperkenalkan adanya bank syariah. Melalui Bank Muamalat Indonesia (BMI), umat Islam Indonesia mengenal adanya bank syariah.

PKES Publishing

(iv) Masalahnya sekarang yang menjadi batas dharurat melakukan transaksi dengan bank konvensional, bukan karena ada atau tidak adanya bank syariah. Tetapi, lebih dari itu, penyebabnya dikarenakan faktor pelayanan (services) yang diberikan oleh bank syariah belum begitu memuaskan dengan pelayanan yang diberikan oleh salah satu bank swasta konvensional. Apakah hal ini masih ditoleransi sebagai gejala yang bersifat dharury (keterpaksaan) oleh syariah Islam? Faktor pelayanan (services) yang diberikan oleh bank syariah bukanlah termasuk illat (penyebab) bagi berlakunya hukum dharurat pada bank konvensional. Karena yang menjadi pokok illat-nya di sini terletak pada ada atau tidaknya bank syariah pada satu wilayah. Bukan terletak pada pelayanan (services) yang diberikan oleh bank 91

Menjawab Keraguan Umat Islam

Batas Darurat Transaksi dengan Bank Konvensional

syariah. Apalagi, saat ini pilihan bagi umat Islam Indonesia untuk bertransaksi dengan bank syariah tidak hanya satu. Saat ini, sudah banyak bank syariah yang beroperasi di Indonesia, baik yang full syariah, seperti Bank Muamalat Indonesia (BMI), Bank Syariah Mandiri (BSM), dan Bank Syariah Mega Indonesia (BSMI), atau dalam bentuk Unit Usaha Syariah (UUS), seperti BNI Unit Syariah dan Bank Permata Unit Syariah, dll. *** Jadi, bagi kita selaku umat Islam Indonesia, saat ini sudah tidak lagi harus berlindung dari toleransi hukum dharurat. Sudah saatnya, kita melepas baju dharurat berganti dengan baju kemantapan dan keyakinan untuk melakukan transaksi dengan bank syariah yang jaringannya sudah didapati hampir di seluruh wilayah Indonesia.

PKES Publishing

Selain itu, beberapa bank syariah yang beroperasi di Indonesia sudah menawarkan fasilitas kemudahan bagi nasabahnya untuk bertransaksi di jaringan ATM Bersama dan ATM BCA. Di samping itu, ada Bank Syariah yang kartu ATM-nya bisa dimanfaatkan pada jaringan ATM internasional yang berlogo Cirrus dan Maestro. Dengan fasilitas ini, umat Islam Indonesia yang berkeinginan menjalankan ibadah haji sudah tidak lagi bersusah payah membawa uang tunai. Dengan hanya menggesek ATM bank syariah yang bertandakan logo Cirrus dan Maestro di Makkah atau Madinah, umpamanya, kita sudah terbantu memperoleh uang yang kita butuhkan. Wallahu ‘alam bis showab.

Menjawab Keraguan Umat Islam

92

Batas Darurat Transaksi dengan Bank Konvensional

KESIMPULAN

Dalam perspektif fiqh, dharurat merupakan pintu terakhir, karena sudah tidak ada lagi jalan lain. Oleh karenanya, pemberlakuan hukum dharurat tidak dapat berlangsung selama-lamanya. Ada batas waktunya. Batasnya, setelah kondisi sudah kembali pada posisi yang normal. Artinya, sudah ada pilihan lain yang telah sesuai dengan ketentuan syariah Islam.

PKES Publishing

Jadi, bagi kita selaku umat Islam Indonesia, saat ini sudah tidak lagi harus berlindung dari toleransi hukum dharurat. Sudah saatnya, kita melepas baju dharurat berganti dengan baju kemantapan dan keyakinan untuk melakukan transaksi dengan bank syariah yang jaringannya sudah didapati hampir di seluruh wilayah Indonesia.

93

Menjawab Keraguan Umat Islam

MENJAWAB KERAGUAN UMAT ISLAM TERHADAP BANK SYARIAH Pelayanan Keraguan dan IT pada Bank Syariah

8

Pelayanan dan IT pada Bank Syariah

Bank syariah kalah dengan bank konvensional dari sisi pelayanan dan IT yang dimilikinya? Ah, itu pertanyaan dan pernyataan yang tidak mendasar. Buktinya, saat ini bank syariah dapat diterima oleh pasar (market) dan dapat bersaing dengan bank konvensional. Pelayanan dan IT yang dimiliki oleh bank syariah tidak kalah dengan pelayanan dan IT yang dipunyai bank konvensional.

A

danya pernyataan di atas, sengaja dihembuskan oleh para pihak yang berkeinginan mengkerdilkan eksistensi bank syariah. Mereka, yang menganggap sebelah mata adanya bank syariah, sengaja membuat opini publik, untuk menumbuhkan keraguan di hati umat Islam Indonesia, sehingga enggan bertransaksi dengan bank syariah.

PKES Publishing

Oleh karena itu, pernyataan tersebut perlu diluruskan dengan mengungkapkan fakta dan realita yang meneguhkan keyakinan di hati umat Islam Indonesia, bahwa bank syariah, dari sisi pelayanan dan IT yang dimilikinya, tidak kalah dibanding dengan yang dipunyai bank konvensional. Intinya, kita harus berani menyatakan bahwa bank syariah dapat berkembang dan diterima oleh market. Sebagai satu fakta yang tidak terbantahkan lagi, pada kesempatan ini, kita mencoba mengemukakan data tentang pelayanan dan teknologi yang sudah digunakan oleh bank syariah. Data ini bersumber dari buku Tuntunan Praktis Menggunakan Jasa Perbankan Syariah yang diterbitkan oleh PKES pada bulan April 2007. *** 95

Menjawab Keraguan Umat Islam

Pelayanan dan IT pada Bank Syariah

Perbankan syariah di Indonesia saat ini terdiri dari 2 jenis model. Pertama, adalah bank syariah dalam bentuk Bank Umum Syariah (BUS) seperti Bank Muamalat (BMI), Bank Syariah Mandiri (BSM), dan Bank Syariah Mega Indonesia (BSMI). BSM dan BSMI secara kelembagaan berdiri sendiri yang keduanya sudah terpisah dari bank induknya, yaitu bank konvensional Bank Mandiri dan Bank Mega. Kedua, yaitu bank syariah dalam bentuk Unit Usaha Syariah (UUS). Secara kelembagaan UUS berada dalam struktur organisasi bank induknya/bank konvensional, yang pengelolaannya diketuai oleh seorang Kepala Divisi. Dalam mengupayakan pengembangan perbankan syariah, BI melalui Direktorat Perbankan Syariah mengeluarkan kebijakan salah satu di antaranya adalah office channeling. Dengan adanya kebijakan tersebut maka nasabah dapat memperoleh layanan jasa perbankan yang berprinsip syariah di bank konvensional. Karena bank konvensional tersebut sudah membuka unit layanan syariah dengan menyediakan Syariah Channeling Outlet.

PKES Publishing

Dengan demikian diharapkan dapat lebih memudahkan dan mendekatkan layanan bank syariah kepada masyarakat. Meskipun demikian sistem dan prosedur dalam pengelolaan operasional layanan perbankan syariah sepenuhnya terpisah dari bank induknya/bank konvensional. Bank konvensional yang memiliki unit layanan syariah adalah BRI, BNI, Permata, BTN, BPD DKI, BPD Jabar, BPD Riau, Bukopin, Danamon, BII, HSBC, Niaga, dan IFI. Dengan dukungan teknologi informasi nasabah bank syariah dapat bertransaksi secara on line di seluruh jaringan kantor cabang bank syariah maupun jaringan bank Menjawab Keraguan Umat Islam

96

Pelayanan dan IT pada Bank Syariah

induknya (bank konvensional) serta dapat menggunakan ribuan ATM yang tersebar di seluruh provinsi. Meskipun Bank Syariah telah menerapkan office channelling dengan menggunakan sarana layanan dan teknologi yang dimiliki bank konvensional, seperti ATM, phone banking, mobile banking (SMS), dan internet banking, namun sistem pembukuan dan neraca keuangannya telah terpisah dengan bank induknya/bank konvensional. Secara rinci layanan jasa perbankan syariah yang menggunakan teknologi informasi dapat dijelaskan sebagai berikut:

PKES Publishing

1. On Line Real Time (informasi mutasi/perubahan dana berlaku sama untuk semua jaringan pada waktu yang bersamaan). Seorang nasabah yang membuka rekening tabungan di suatu bank syariah kantor cabang tertentu dapat melakukan transaksi setor dan tarik uangnya di kantor cabang syariah tersebut (ataupun bank konvesionalnya) di kantor cabang lain atau di kota lain. Selain itu nasabah bank syariah dapat melakukan tarik uang tunai atau transaksi perbankan lainnya melalui ATM bank syariah dimaksud (ataupun ATM bank konvensionalnya) atau pun jaringan ATM tertentu yang terkoneksi dimana saja di kota lain. Dengan sistem on line real time maka setiap mutasi rekening, baik pengurangan ataupun penambahan saldo yang dilakukan di kantor cabang/ATM manapun akan sama. Begitu juga nasabah pembiayaan dapat melakukan angsuran pinjamannya melalui setoran tunai atau 97

Menjawab Keraguan Umat Islam

Pelayanan dan IT pada Bank Syariah

autodebet tabungannya di kantor cabang syariah (atau bank konvensionalnya) atau melalui ATM dimana saja di kota lain. Hal ini juga berlaku untuk transaksi perbankan yang dilakukan melalui phone banking, mobile banking (SMS), dan internet banking. Dengan kata lain, bank yang menyediakan fasilitas ATM, phone banking, e-banking (internet dan SMS banking), merchant debit dan merchant credit, maka bank tersebut sudah on line real time dalam layanan perbankannya. 2. ATM (automatic teller machine). Mesin ATM ini berfungsi sebagai teller atau kasir bank selama 24 jam sehari dimana nasabah bank syariah dapat melakukan transaksi perbankan tanpa perlu pergi ke bank.

PKES Publishing

Fasilitas ATM suatu bank syariah menyediakan fitur layanan perbankan yang berbeda-beda dengan ATM bank syariah lainnya. Namun secara umum nasabah dapat melakukan tarik uang tunai (dalam jumlah batas tertentu per hari), informasi saldo, penggantian PIN (personal identity number), transfer dana ke rekening lain pada bank yang sama atau bank lain; pembayaran tagihan telepon, listrik, air, pembayaran kartu kredit, internet, uang kuliah, angsuran asuransi, pembayaran tagihan ponsel pasca bayar, pembelian pulsa isi ulang ponsel pra-bayar, pembayaran zakat, dan transaksi lainnya. Kartu ATM biasanya dapat diperoleh 3 hari setelah pembukaan rekening tabungan atau giro. (Kecuali Shar-e produk tabungan Bank Muamalat yang kartu ATM-nya dapat langsung diperoleh saat pembelian paket tabungan Shar-e) Menjawab Keraguan Umat Islam

98

Pelayanan dan IT pada Bank Syariah

Bank syariah tertentu dapat menerbitkan kartu ATM nya dengan menampilkan pas Foto nasabah, mencetak timbul nama nasabah dan nomor kartu (embossed printed). Sedangkan kartu ATM instant dapat diperoleh nasabah langsung pada hari itu juga. Meskipun tidak tercetak foto, nama dan nomor kartu, namun kartu ATM instant tetap memiliki fungsi yang sama sebagaimana layaknya kartu ATM. Atas pembuatan kartu ATM, beberapa bank syariah membebankan biaya yang berkisar antara Rp 5.000 hingga Rp 7.500. Selain itu, nasabah dibebankan biaya pengelolaan fasilitas ATM berkisar antara Rp 2.500 hingga Rp 5.000 per bulan. Kartu ATM instant biasanya diberikan kepada nasabah sebagai pengganti atas kartu ATM yang hilang. Prosedur yang harus dilakukan bila seorang nasabah kehilangan kartu ATM adalah sebagai berikut: • Segera menelepon phone banking bank syariah yang bersangkutan guna melaporkan kehilangan kartu ATM dengan menyebutkan nama dan nomor rekening tabungan, lokasi kehilangan, dan data lainnya yang mengindikasikan bahwa pelapor/penelepon adalah benar pemilik rekening/pemilik kartu ATM. Pelaporan ini penting dilakukan agar kartu ATM tidak disalahgunakan oleh orang yang tidak bertanggung jawab • Mendatangi kantor bank syariah dimana nasabah melakukan pembukaan rekening tabungannya. • Di kantor bank syariah, nasabah mengisi formulir laporan kehilangan kartu ATM dan menandatanganinya, dan melampirkan Surat Keterangan Hilang dari Kantor Polisi setempat. • Membayar biaya administrasi pencetakan kartu ATM baru.

PKES Publishing

99

Menjawab Keraguan Umat Islam

Pelayanan dan IT pada Bank Syariah

Kartu ATM bank syariah selain dapat digunakan pada ATM bank syariah yang bersangkutan juga pada bank konvensionalnya ataupun ATM bank lain yang termasuk dalam jaringan: a. ATM Bersama, yaitu: ATM Bank Muamalat, ATM BNI, ATM BRI, ATM Bank Syariah Mandiri, ATM Mandiri, ATM Danamon, ATM Niaga, ATM Permata, ATM Bank Jabar, ATM Bank DKI, ATM BPD Riau, ATM Bank Bukopin, ATM IFI, ATM Bank Syariah Mega, ATM Bank Mega, ATM NISP, ATM BTPN, ATM Swadesi, ATM Bumiputera, ATM Mayapada, ATM Bank Commonwealth, ATM Standart Chartered, ATM ABN AMRO, ATM Argo, ATM Bank Artha Niaga Kencana, ATM Bank Artos Indonesia, ATM Bank Buana, ATM Bank Eksekutif, ATM Bank Ganesha, ATM Bank HS 1906, ATM Bank Ina Perdana, ATM Bank Lippo, ATM Bank Mayora, ATM Bank Mestika Dharma, ATM Bank Nagari, ATM Bank Nusantara Parahyangan, ATM Bank Panin, ATM BPD Aceh, ATM BPD Bali, ATM BPD Bengkulu, ATM BPD DIY, ATM BPD Jambi, ATM BPD Kalimantan Selatan, ATM BPD Kalimantan Tengah, ATM BPD Kalimantan Timur, ATM BPD Lampung, ATM BPD Maluku, ATM BPD NTB, ATM BPD NTT, ATM BPD Papua, ATM BPD Sulawesi Selatan, ATM BPD Sulawesi Tenggara, ATM BPD Sulawesi Utara, ATM BPD Sumatera Utara, ATM Bank Jatim.

PKES Publishing

b. ATM ALTO yaitu ATM BII, ATM Bank Permata, ATM Bank Artha Graha, ATM Bank Buana, ATM Bank Bukopin, ATM Bank Danamon, ATM Bank Ekonomi, ATM Bank Eka Bumi Artha, ATM Bank Haga, ATM Bank Harda, ATM Bank Kesawana, ATM Bank Lippo, ATM Bank Nusantara Parahyangan, ATM Bank Panin, ATM PT. Inti Sentral Operasi. Menjawab Keraguan Umat Islam

100

Pelayanan dan IT pada Bank Syariah

c. ATM Prima, yaitu: ATM ABN Amro, ATM Bank Buana Indonesia, ATM Bank Bukopin, ATM Bank Bumi Artha, ATM Bank Ekonomi, ATM Bank Eksekutif Internasional, ATM Bank Haga, ATM Bank Haga Kita, ATM Bank Jateng, ATM Bank Maspion, ATM Bank Mayapada, ATM Bank Mega, ATM Bank Muamalat, ATM Bank of Tokyo, ATM Bank Permata, ATM Bank Sumsel, ATM Bank Nusantara Parahyangan, ATM Bank BRI, ATM Bank Jasa Jakarta, ATM Bank NISP, ATM Bank UIB, ATM Bank Victoria, dan ATM Bank Kaltim. d. ATM Cirrus dan ATM Maestro yaitu jaringan ATM internasional, sehingga nasabah bank syariah dapat bertransaksi di luar negeri.

PKES Publishing

e. ATM MEPS (Malaysian Electronic Payment System) yaitu jaringan internasional on line real time yang dapat tarik tunai Ringgit di lebih dari 2.000 ATM di Malaysia meliputi: MayBank, Hong Leong Bank, Affin Bank dan Southern Bank. f. ATM Bankcard yaitu ATM Malaysia yang berlogo stiker ATM Bersama. g. Kartu prabayar SUHC (Saudi Umrah & Haj Card) yaitu kartu yang dapat tarik tunai mata uang SAR (Saudi Arabian Real) di 700 ATM dan counter Bank Al-Rajhi di seluruh Arab Saudi. 3. Phone Banking Yaitu fasilitas layanan perbankan melalui telepon selama 24 jam sehari tanpa harus pergi ke bank. Dengan menyebutkan 101

Menjawab Keraguan Umat Islam

Pelayanan dan IT pada Bank Syariah

nomor rekening dan menekan kode PIN. Kode PIN tidak boleh disebutkan/diberitahukan kepada operator phone banking, karena kode PIN ini sangat rahasia. Biasanya kode PIN terdiri atas 4 atau 6 digit. Hanya dengan beban pulsa telepon lokal, nasabah bank syariah dapat melakukan transaksi perbankan berupa informasi saldo, mengubah PIN (Personal Identity Number), pemindahbukuan antara rekening, pembayaran ZIS, histori transaksi, dll. 4. E-banking Yang dimaksud dengan e-banking adalah layanan perbankan dengan menggunakan fasilitas mobile banking melalui SMS dan internet banking. Kedua fasilitas tersebut akan dijelaskan di bawah ini.

PKES Publishing

a. Mobile Banking: SMS adalah layanan perbankan berbasis teknologi seluler yang bisa diakses melalui ponsel. Dengan fasilitas ini nasabah dapat bertransaksi perbankan melalui ponselnya dengan mengirimkan SMS (Short Message Service). Semua transaksi dilindungi dengan PIN (Personal Identity Number) pribadi. Untuk dapat menikmati fasilitas mobile banking melalui SMS nasabah bank syariah harus memenuhi syarat sebagai berikut: • Memiliki rekening tabungan atau giro • Menggunakan kartu ponsel berbasis GSM (Global System for Mobile communication) • Menggunakan ponsel berfasilitas GPRS (General Packet Radio Services) • Mengisi formulir permohonan mobile banking Menjawab Keraguan Umat Islam

102

Pelayanan dan IT pada Bank Syariah

• Mengubah PIN awal sebelum mulai bertransaksi • Memenuhi saldo minimal pada jumlah tertentu. Selanjutnya nasabah harus melakukan pendaftaran yang dapat dilakukan di seluruh kantor cabang secara gratis atau melalui ATM, atau menghubungi phone banking dengan mengikuti serangkaian tahapan/petunjuk yang dipandu secara jelas dan mudah dimengerti. Pendaftaran fasilitas mobile banking dapat juga didownload dari website dengan menggunakan kabel data, bluetooth, atau infra merah sesuai merk ponsel atau dengan menggunakan fasilitas GPRS. Pastikan ponsel telah tersedia fasilitas GPRS dan SIM card telah diaktifkan fasilitas GPRS-nya.

PKES Publishing

Tahap-tahap pendaftaran biasanya dijelaskan dalam brosur yang diterbitkan oleh bank syariah yang memiliki fasilitas mobile banking dalam layanan produknya atau pada website. Mobile banking memberikan tampilan layar dan sistem pengoperasian menu drive. Tidak perlu menulis kata demi kata, cukup memilih menu yang disediakan sehingga terhindar dari kesalahan penulisan. Fasilitas ini disediakan baik bagi ponsel dengan sistem pra-bayar maupun pasca bayar, untuk semua provider GSM. Semua transaksi dilindungi PIN, setiap transaksi yang dilakukan dicatat dan dapat disimpan dalam message box ponsel nasabah maupun ponsel penerima. Tarif biaya sesuai biaya SMS yang diberlakukan oleh masing-masing provider GSM. Nasabah dibebankan biaya SMS kirim dan biaya SMS terima. Transaksi yang 103

Menjawab Keraguan Umat Islam

Pelayanan dan IT pada Bank Syariah

dapat dilakukan dengan fasilitas mobile banking adalah: informasi saldo, informasi 3 (tiga) transaksi terakhir, mengganti PIN, info kurs mata uang valuta asing tertentu, bill payment (atau pembayaran payment point, seperti tagihan PLN, Telkom, dll), informasi lokasi ATM bank yang bersangkutan, informasi lokasi kantor cabang bank yang bersangkutan, transfer antar rekening bank yang bersangkutan dan bank induknya/konvensional, isi ulang pulsa beberapa provider GSM. Nasabah yang sudah terdaftar dalam layanan fasilitas mobile banking, harus lebih waspada antara lain segera menghapus SMS perintah dari ponselnya, atau segera menghubungi operator phone banking bank yang bersangkutan untuk memblokir layanan SMS banking bila kemudian kehilangan handphone atau SIM (Subscriber Identity Module) card-nya.

PKES Publishing

b. Internet Banking Yaitu layanan perbankan melalui internet yang dapat diakses di mana saja tanpa batas waktu dan negara. Dengan klik home page bank syariah tertentu, akan ditemukan fasilitas layanan transaksi perbankan seperti: transfer, cek saldo, pembayaran tagihan telepon, listrik, dll. 5. Link Internasional Adalah jaringan perbankan internasional yang dimiliki bank syariah tertentu, untuk memudahkan nasabahnya bertransaksi di luar negeri.

Menjawab Keraguan Umat Islam

104

Pelayanan dan IT pada Bank Syariah

Adapun fasilitas ATM yang memiliki jaringan internasional adalah sebagai berikut: • Kartu ATM Cirrus dan ATM Maestro nasabah bank syariah dapat melakukan tarik tunai mata uang di seluruh dunia, khususnya untuk nasabah yang sedang menunaikan ibadah haji dapat menarik uang Real (atau SAR – Saudi Arabia Real) ketika. • Kartu ATM MEPS nasabah bank syariah dapat melakukan tarik tunai Ringgit di lebih dari 2000 ATM di Malaysia • Kartu prabayar SUHC nasabah bank syariah dapat melakukan tarik tunai SAR di 700 ATM dan counter Bank Al-Rajhi di seluruh Arab Saudi, termasuk Jeddah, Mekkah dan Madinah. Kartu prabayar ini terdiri dari beberapa pecahan SAR.

PKES Publishing

6. Autodebit Payment Point

Payment point adalah layanan perbankan berupa pembayaran tagihan seperti PLN, Telkom, PDAM, Ponsel, asuransi, ZIS, uang kuliah, dll. Layanan autodebit payment point yaitu transaksi pembayaran payment point secara otomatis mendebit rekening tabungan melalui ATM, phone banking, mobile banking, atau pun internet banking. 7. Merchant Debit dan Merchant Credit Layanan kedua fasilitas ini adalah fungsi lain dari kartu ATM, yaitu sebagai kartu belanja. Nasabah dapat membayar tagihan belanjanya di toko swalayan tanpa harus membawa uang tunai. Pada fasilitas merchant debit, nasabah membayar tagihan belanjanya dengan mendebit tabungannya secara otomatis. Sedangkan pada 105

Menjawab Keraguan Umat Islam

Pelayanan dan IT pada Bank Syariah

merchant credit, nasabah membayar tagihan belanjanya dengan menggunakan kartu kredit. Bertransaksi dengan menggunakan kedua fasilitas ini memiliki batasan/limit jumlah tertentu. 8. Fasilitas Auto Save Yaitu fasilitas transfer antara rekening giro dan rekening tabungan secara otomatis. *** Melihat fakta di atas, akan hilanglah keraguan di hati umat Islam Indonesia mengenai pelayanan dan IT yang dimiliki bank syariah. Keraguan tersebut akan berubah menjadi satu keyakinan. Keyakinan yang menegaskan bahwa pelayanan (services) dan IT yang dimiliki oleh bank syariah, memperlihatkan adanya semangat untuk selalu meningkatkan pelayanan yang memuaskan (service satisfaction) pada customer dan menggunakan teknologi informasi yang memadai dalam mengembangkan industri keuangan syariah di Indonesia. Wallahu ‘alam bis showab.

PKES Publishing

Menjawab Keraguan Umat Islam

106

Pelayanan dan IT pada Bank Syariah

KESIMPULAN

Pelayanan (services) dan IT yang dimiliki oleh bank syariah, memperlihatkan adanya semangat untuk selalu meningkatkan pelayanan yang memuaskan (service satisfaction) pada customer dan menggunakan teknologi informasi yang memadai dalam mengembangkan industri keuangan syariah di Indonesia.

PKES Publishing

107

Menjawab Keraguan Umat Islam

MENJAWAB KERAGUAN UMAT ISLAM TERHADAP BANK SYARIAH Jaminan pada Keraguan Simpanan Dana Pihak Ketiga (DPK)

9

Jaminan pada DPK

K

risis moneter yang melanda industri perbankan nasional pada tahun 1998 masih menyisakan bekas yang tak hilang di ingatan para nasabah penyimpan. Mengapa? Karena, waktu itu terjadi penarikan besar-besaran (rush) dana pihak ketiga (DPK) di hampir semua bank yang ada di Indonesia. Nasabah merasa khawatir dengan dananya yang tersimpan di bank waktu itu. Apakah dananya yang tersimpan dalam bank, masih dapat diambil lagi atau hilang? Kecemasan inilah yang masih menghantui sebagian nasabah (customer) di industri perbankan syariah di Indonesia. Dalam benak nasabah bank syariah, masih saja muncul seberkas keraguan, akan dananya yang tersimpan di bank syariah. Apakah dananya di bank syariah aman, atau sebaliknya, nasibnya sama saja seperti yang menimpa di industri perbankan konvensional pada era krisis moneter 1998, jika suatu ketika terjadi krisis moneter jilid 2?

PKES Publishing ***

Sesungguhnya, kecemasan tersebut tidak bakal terjadi, seandainya semua customer industri perbankan syariah menyadari adanya UU No 24 tahun 2004. Undang-undang ini mengatur tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Dalam undang-undang ini dijelaskan bahwa setiap bank wajib menjadi peserta LPS, termasuk bank syariah. LPS adalah lembaga berbadan hukum yang independen bertanggung jawab kepada Presiden RI. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) atau Indonesia Deposit Insurance Corporation adalah suatu lembaga independen yang berfungsi menjamin simpanan nasabah perbankan 109

Menjawab Keraguan Umat Islam

Jaminan pada DPK

di Indonesia. Badan ini dibentuk berdasarkan Undangundang Republik Indonesia Nomor 24 tentang “Lembaga Penjamin Simpanan” yang ditetapkan pada 22 September 2004. Undang-undang ini mulai berlaku efektif 12 bulan sejak diundangkan sehingga pendirian dan operasional LPS dimulai pada 22 September 2005. Setiap bank yang melakukan kegiatan usaha di wilayah Republik Indonesia wajib menjadi peserta penjaminan LPS. Krisis moneter dan perbankan yang menghantam Indonesia pada tahun 1998 ditandai dengan dilikuidasinya 16 bank yang mengakibatkan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat pada sistem perbankan. Untuk mengatasi krisis yang terjadi, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan diantaranya memberikan jaminan atas seluruh kewajiban pembayaran bank, termasuk simpanan masyarakat (blanket guarantee). Hal ini ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang “Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum” dan Keputusan Presiden Nomor 193 Tahun 1998 tentang “Jaminan Terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Perkreditan Rakyat”.

PKES Publishing

Dalam pelaksanaannya, blanket guarantee memang dapat menumbuhkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap industri perbankan, namun ruang lingkup penjaminan yang terlalu luas menyebabkan timbulnya moral hazard baik dari sisi pengelola bank maupun masyarakat. Untuk mengatasi hal tersebut dan agar tetap menciptakan rasa aman bagi nasabah penyimpan serta menjaga stabilitas sistem perbankan, program penjaminan yang sangat luas lingkupnya tersebut perlu digantikan dengan sistem penjaminan yang terbatas. Menjawab Keraguan Umat Islam

110

Jaminan pada DPK

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan mengamanatkan pembentukan suatu Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai pelaksana penjaminan dana masyarakat. Oleh karena itu maka UU LPS ditetapkan pada 22 September 2004. LPS berfungsi menjamin simpanan nasabah bank dan turut aktif dalam menjaga stabilitas sistem perbankan sesuai kewenangannya. Sejak tanggal 22 Maret 2007 dan seterusnya, nilai simpanan yang dijamin LPS maksimum sebesar Rp 100 juta per nasabah per bank, yang mencakup pokok dan bunga/bagi hasil yang telah menjadi hak nasabah. Bila nasabah bank memiliki simpanan lebih dari Rp 100 juta maka sisa simpanannya akan dibayarkan dari hasil likuidasi bank tersebut.

PKES Publishing

Tujuan kebijakan publik penjaminan LPS tersebut adalah untuk melindungi simpanan nasabah kecil karena berdasarkan data distribusi simpanan per 31 Desember 2006, rekening bersaldo sama atau kurang dari Rp 100 juta mencakup lebih dari 98% rekening simpanan. LPS berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan bank yang berbentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan jenis simpanan lainnya. Nilai simpanan yang dijamin untuk setiap nasabah pada satu bank paling banyak Rp 100 juta. LPS wajib membayar klaim penjaminan kepada nasabah penyimpan dari bank yang dicabut izin usahanya. Jangka waktu pengajuan klaim penjaminan oleh nasabah penyimpan kepada LPS adalah 5 tahun sejak izin usaha bank dicabut. Anggota Dewan Komisioner LPS adalah pejabat eselon I Departemen Keuangan (yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dan diangkat oleh 111

Menjawab Keraguan Umat Islam

Jaminan pada DPK

Presiden RI) dan pejabat BI. Informasi lebih jauh dapat diakses melalui www.lps.go.id.

***

Dengan adanya LPS, nasabah bank syariah akan merasa aman. Tidak ada perasaan cemas dengan dananya yang tersimpan di bank syariah. Karena, dana pihak ketiga dijamin oleh LPS. Seandainya, suatu saat ada bank syariah yang dilikuidasi Bank Indonesia, dana nasabahnya tetap aman dan akan dikembalikan lagi ke nasabah. Wallahu ‘alam bis showab.

PKES Publishing

Menjawab Keraguan Umat Islam

112

Jaminan pada DPK

KESIMPULAN

Dengan adanya Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), nasabah bank syariah akan merasa aman. Karena, dana pihak ketiga dijamin oleh LPS. Seandainya, suatu saat ada bank syariah yang dilikuidasi Bank Indonesia, dana nasabahnya tetap aman dan akan dikembalikan lagi ke nasabah.

PKES Publishing

113

Menjawab Keraguan Umat Islam

MENJAWAB KERAGUAN UMAT ISLAM TERHADAP BANK SYARIAH Peran DSN-MUI Keraguan & BI dalam Pengembangan Dual Banking System

10

Peran DSN MUI dan BI

A. MUI Sebagai Institusi Fatwa di Indonesia Pembentukan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sangat erat kaitannya dengan peran ulama dalam kehidupan masyarakat lndonesia, tidak hanya pada persoalan keagamaan namun juga pada persoalan politik. Gagasan pembentukkan MUI bermula pada konferensi para ulama di Jakarta yang diselenggarakan oleh Pusat Dakwah Islam pada tanggal 30 September hingga 4 Oktober 1970 yang mengajukan saran untuk memajukan kesatuan kaum muslimin dalam kegiatan sosial dengan membentuk sebuah majelis bagi para ulama Indonesia yang akan diberi tugas untuk memberikan fatwa-fatwa. Namun, saran tersebut baru mendapat tanggapan pada tahun 1974 ketika Pusat Dakwah Indonesia mengadakan Lokakarya Nasional bagi juru dakwah muslim Indonesia, disepakati bahwa pembentukkan majelis ulama harus diprakarsai. di tingkat daerah. Hal ini mendapat dukungan dan Presiden Soeharto yang kemudian pada tanggal 24 Mei 1975 mengemukakan alasan bahwa pemerintah menginginkan kaum muslimin bersatu dan adanya kesadaran bahwa masalah yang dihadapi bangsa tidak dapat diselesaikan tanpa keikutsertaan ulama.

PKES Publishing

Sehingga pada tahun 1975, majelis-majelis daerah telah terbentuk di hampir semua dari 26 propinsi di Indonesia. Pada masa Orde Baru desakan untuk membentuk semacam majelis ulama nasional nampak sangat jelas. Pada tanggal 1 Juli 1975, pemerintah, dengan diwakili Departemen Agama, mengumumkan penunjukkan sebuah panitia persiapan pembentukkan majelis ulama tingkat nasional. Panitia itu terdiri dari H. Sudirman, pensiunan 115

Menjawab Keraguan Umat Islam

Peran DSN MUI dan BI

jendral Angkatan Darat, selaku ketua, dan tiga orang ulama selaku penasihat, yaitu: Dr Hamka, K.H. Abdullah Syafi’i dan K.H. Syukri Ghozali. Pada tanggal 21-27 Juli 1975 dilangsungkan Muktamar Nasional Ulama. Para peserta terdiri wakil-wakil majelis ulama daerah yang baru dibentuk, para wakil pengurus pusat 10 Organisasi Islam yang ada di Indonesia, sejumlah ulama bebas (yang tidak mewakili Organisasi Islam tertentu) dan empat orang wakil rohaniawan Islam ABRI. Pada akhir muktamar, tanggal 26 Juli 1975 terbentuk sebuah deklarasi yang ditandatangani 53 orang peserta, yang mengumumkan terbentuknya Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan Dr. Hamka sebagai ketua pertama.

PKES Publishing

Sesuai dengan perkembangannya MUI menghadapi permasalah-an yang semakin luas. Seperti halnya dalam menghadapi permasalahan ekonomi di Indonesia, dan semakin berkembangnya pertumbuhan ekonomi syariah dan lembaga keuangan syariah, maka MUI membentuk sebuah lembaga yang bertugas untuk mendampingi perkembangan tersebut. Yaitu membentuk Dewan Syariah Nasional (DSN). B. Fatwa; Fungsi dan Legalitasnya Fungsi Fatwa Fatwa merupakan salah satu metode dalam al-Qur’an dan as-Sunnah yang berfungsi menerangkan hukum-hukum syara’, ajaran-ajarannya dan arahan-arahannya. Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa penjelasan dari suatu Menjawab Keraguan Umat Islam

116

Peran DSN MUI dan BI

hukum tersebut terkadang diberikan setelah adanya pertanyaan atau permintaan seseorang atau sekelompok orang dengan menggunakan perkataan (mereka bertanya kepadamu). Sementara itu dalam as-Sunnah ada kalanya Rasulullah Saw menerangkan hukum suatu masalah secara berlangsung tanpa didahului pertanyaan dari seseorang. Biasanya hal seperti ini dilakukan untuk menghilangkan kesalahpahaman, untuk membetulkan pengertian, mengajarkan kepada yang tidak tahu, memantapkan hati orang yang sedang menuntun ilmu, untuk mengkhususkan yang umum atau memberi qayid (ketetapan) bagi yang mutlak, sebagai penjelasan Nabi terhadap al-Qur’an atau untuk tujuan lainnya.

PKES Publishing

Legalitas Fatwa

Fatwa menempati kedudukan yang strategis dan sangat penting, karena mufti (pemberi fatwa) sebagaimana dikatakan oleh Imam Asy-Syatibi merupakan pelanjut tugas Nabi Saw., sehingga ia berkedudukan sebagai khalifah dan ahli waris Nabi. Seseorang mufti menggantikan kedudukan Nabi Saw dalam menyampaikan hukum-hukum syariat, mengajar manusia, dan memberi peringatan kepada mereka agar sadar dan berhati-hati. Disamping menyampaikan apa yang diriwayatkan Nabi Saw mufti juga menggantikan kedudukan Nabi dalam memutuskan hukum-hukum yang digali dari dalil-dalil hkum-hukum melalui analisis-analisis dan ijtihadnya, sehingga jika dilihat dari sisi ini seorang mufti dapat dikatakan sebagai pencetus suatu hukum yang wajib diikuti dan dilaksanakan keputusannya. 117

Menjawab Keraguan Umat Islam

Peran DSN MUI dan BI

C. Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Dalam tubuh MUI, membuat dan mengeluarkan fatwa merupakan kewenangan dari Komisi Fatwa Hukum Majelis Ulama Indonesia (KFH-MUI) yang biasanya disebut Komisi Fatwa. Komisi ini berdiri sejak pertama kali MUI dibentuk pada tanggal 26 Juli 1975 (17 Rajab 1395 H). Komisi Fatwa ini termasuk salah satu komisi di MUI yang mendapat perhatian khusus, karena masyarakat sangat membutuhkan nasehat keagamaan dari ulama agar perubahan sosial yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan pembangunan, tidak menjadikan masyarakat Indonesia menyimpang dari kehidupan yang religius.

PKES Publishing

Komisi Fatwa ini merupakan salah satu komisi yang menangani persoalan hukum. Tugasnya adalah menampung, meneliti, membahas dan merumuskan rencana fatwa berkaitan dengan hukum tentang masalah keagamaan dan kemasyarakatan, terutama yang berhubungan dengan pembangunan nasional. Komisi Fatwa MUI bersifat responsif terhadap kasus-kasus yang diajukan kepadanya atau adanya kasus-kasus yang dinilai perlu diselesaikan melalui komisi Fatwa Hukum. Komisi tidak hanya terkait untuk menyelesaikan persoalan yang telah diprogramkan melainkan juga terkait untuk menyelesaikan persoalan lain yang dinilai mendesak. Pada dasarnya KFH-MUI menetapkan empat macam produk keputusan yang dikeluarkan dan disampaikan baik Menjawab Keraguan Umat Islam

118

Peran DSN MUI dan BI

kepada pemerintah, masyarakat maupun keduanya, yaitu: 1. Fatwa, keputusan KFHMUI yang menyangkut masalah agama Islam yang perlu dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun masyarakat demi kepentingan pembangunan bangsa. 2. Nasehat, yaitu keputusan KFHWUI yang menyangkut masalah kemasyarakatan yang diharapkan dapat dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat. 3. Anjuran, keputusan KFHMUI yang menyangkut masalah kemasyarakatan dalam rangka mendorong pemerintah dan masyarakat untuk lebih intensif melaksanakannya karena hal tersebut dianggap mengandung manfaat yang besar. 4. Seruan, yaitu keputusan KFHMUI yang menyangkut masalah untuk tidak dilaksanakan atau sebaiknya dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat.

PKES Publishing

D. Sejarah Singkat Tentang DSN Sejalan dengan perkembangan lembaga-lembaga keuangan syari’ah, ulama semakin tertuntut untuk turut serta dalam memberikan masukan untuk kemajuan lembaga tersebut. Dalam rangka mengantisipasi tuntutan tersebut, MUI membentuk Dewan Syariah Nasional (DSN) yang dianggap sebagai langkah efisien untuk mengkoordinasikan ulama dalam menanggapi isu-isu yang berhubungan dengan masalah ekonomi atau keuangan. Disamping itu, DSN diharapkan berfungsi sebagai pendorong penerapan ajaran Islam dalam kehidupan ekonomi. Oleh karena itu, 119

Menjawab Keraguan Umat Islam

Peran DSN MUI dan BI

DSN berperan serta secara proaktif dalam menanggapi perkembangan masyarakat Indonesia dalam bidang ekonomi dan keuangan. Dewan Syariah Nasional, didirikan pada tahun 1999 berdasarkan keputusan Majelis Ulama Indonesia Nomor Kp. 754/MUI/II/1999, tertanggal 10 Februari 1999, yang ditandatangani oleh KH. Ali Yafie dan Drs. Nazri Adlani, masing-masing selaku Ketua Umum dan Sekretaris Umum MUI. Pada bagian konsideran Surat Keputusan tersebut, antara lain dinyatakan bahwa hal yang melatarbelakangi pembentukan DSN ialah dalam rangka mewujudkan aspirasi umat Islam mengenai masalah perekonomian dan mendorong penerapan ajaran Islam dalam bidang perekonamian/keuangan yang dilaksanakan sesuai tuntutan syariat Islam.

PKES Publishing

Proses pembentukan DSN dengan diawali terlebih dahulu dengan beberapa pertemuan yang dilakukan oleh MUI. Diantaranya, keputusan Lokakarya Ulama pada tanggal 29-30 Juli 1997 di Jakarta, dan hasil rapat tim pembentukan Dewan Syariah Nasional tanggal 14 Oktober 1997. Pengurus Dewan Syariah Nasional yang dilantik oleh mantan Menteri Agama RI (Prof. Malik Fajar, MSc) pada bulan ramadhan 1421 H di Hotel Indonesia Jakarta Pusat, terdiri atas Dewan Syariah Nasional (DSN) dan Badan Pelaksana Harian Dewan Syariah Nasional (BPH-DSN). DSN yang beranggotakan 16 orang waktu itu dengan Ketua Umum oleh KH. Ali Yafie dan Drs. H. Nazri Adlani sebagai Sekretaris Umumnya. Sedangkan Ketua Pelaksana dan Sekretaris Harian, masing-masing dijabat oleh KH. Ma’ruf Amin dan Drs. M. Ichwan Sam (SK.MUI. Nomor Kep.754/ MUI/1999). Menjawab Keraguan Umat Islam

120

Peran DSN MUI dan BI

Secara umum, susunan pengurus DSN dapat dibedakan menjadi dua : Pengurus yang bersifat umum dan badan pelaksana harian. Pengurus DSN yang bersifat umum terdiri atas: (a) ketua, (b) dua orang wakil ketua, (c) sekretaris, (d) wakil sekretaris dan (e) anggota. Pengurus umum DSN periode 2000 – 2005 terdiri atas 26 orang yang terdiri atas : 1 orang ketua, 2 orang wakil ketua, 1 orang sekretaris, 1 orang wakil sekretaris, dan 21 orang anggota. Badan pelaksana harian DSN terdiri atas : (a) ketua, (b) wakil ketua (c) sekretaris, (d) wakil sekretaris (e) bendahara dan (f) anggota. Badan pelaksana harian DSN periode 2000/2005 terdiri atas 13 orang yang terdiri atas : 1 orang ketua, 1 orang wakil ketua, 1 orang sekretars, 1 orang wakil sekretaris, 1 orang bendahara, dan 8 orang anggota.

PKES Publishing

Perbedaan antara susunan Pengurus Umum dengan Badan Pelaksana Harian DSN terletak pada wakil ketua dan bendahara. Dalam pengurus umum, terdapat 2 wakil ketua; sedangkan dalam Badan Pelaksana Harian hanya ada 1 wakil ketua; dan dalam Pengurus Umum tidak ada bendahara, sedangkan dalam Bdan Pelaksana Harian terdapat bendahara. E. Kedudukan dan Keanggotaan DSN DSN memiliki 2 kedudukan : pertama, ia berkedudukan sebagai bagian dari MUI. Dengan kata lain, ia merupakan perpanjangan tangan MUI dalam rangka turut serta 121

Menjawab Keraguan Umat Islam

Peran DSN MUI dan BI

mengembangkan lembaga keuangan syari’ah; dan kedua, ia berkedudukan sebagai pembantu pihak-pihak terkait dengan lembaga keuangan syari’ah, terutama pihak Departemen Keuangan dan Bank Indonesia. Anggota DSN terdiri atas tiga unsur : ulama, pakar (ekonomi syari’ah, pen.), dan praktisi perbankan syari’ah. Keanggotaan ulama, pakar, dan praktisi perbankan syari’ah dalam DSN, ditunjuk dan diangkat oleh MUI dengan masa bakti yang sama dengan periode masa bakti pengurus MUI pusat (lima tahun). Sedangkan dalam buku petunjuk Pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank Syari’ah, yang diterbitkan oleh Bank Indonesia, dikatakan bahwa masa bakti DSN adalah empat tahun.

PKES Publishing

F. Tugas dan Wewenang DSN

DSN memiliki tugas dan wewenang. Tugas tugas DSN yang tercantum dalam Pedoman Dasar DSN-MUI adalah : (a) menumbuh-kembangkan penerapan nilai-nilai syari’ah dalam perekonomian pada umumnya dan pada keuangan pada khususnya; (b) mengeluarkan fatwa mengenai jenisjenis kegiatan keuangan syari’ah; (c) mengeluarkan fatwa mengenai produk dan jasa keuangan syari’ah; dan (d) mengawasi penerapan fatwa yang telah dikeluarkan. Sejumlah kewenangan DSN adalah : (a) mengeluarkan fatwa yang mengikat Dewan Pengawas Syari’ah (DPS) dimasing-masing lembaga keuangan syari’ah dan menjadi landasan bagi ketentuan atas peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang berwenang; (c) memberikan dan Menjawab Keraguan Umat Islam

122

Peran DSN MUI dan BI

mencabut rekomendasi nama-nama yang akan duduk sebagai DPS pada suatu lembaga keuangan syari’ah; (d) mengundang para ahli untuk menjelaskan suatu masalah yang diperlukan dalam pembahasan ekonomi syari’ah, termasuk otoritas moneter (lembaga keuangan dalam negeri dan luar negeri); (e) memberikan peringatan kepada lembaga keuangan syari’ah untuk memberhentikan penyimpangan dari fatwa yang dikeluarkan oleh DSN; dan (f) mengusulkan kepada instansi yang berwenang untuk mengambil tindakan apabila peringatan DSN diabaikan. G. Mekanisme Kerja DSN

PKES Publishing

Mekanisme kerja yang disusun dalam keputusan MUI mengenai Susunan Pengurus DSN, pada dasarnya merupakan lanjutan dari tugas dan wewenang DSN yang sudah dijelaskan sebelumnya. Dalam mekanisme kerja DSN terdapat tiga unsur yang diperhatikan: DSN, Badan Pelaksana Harian DSN, dan DPS. Mekanisme kerja yang berkaitan dengan DSN adalah: (a) DSN mensahkan rancangan fatwa yang disusun oleh Badan Pelaksan Harian DSN; (b) DSN melakukan rapat pleno—paling tidak—satu kali dalam tiga bulan atau apabila diperlukan; dan (c) DSN membuat laporan tahunan yang berisi pernyataan yang dimuat dalam annual report (laporan tahunan) mengenai lembaga keuangan syariah yang telah dan tidak memenuhi segenap ketentuan syari’ah sesuai dengan fatwa yang dikeluarkan oleh DSN. Mekanisme kerja yang berkaitan dengan Badan Pelaksana 123

Menjawab Keraguan Umat Islam

Peran DSN MUI dan BI

Harian DSN adalah: (a) Badan Pelakasana Harian menerima usulan atau pertanyaan hukum mengenai suatu produk lembaga keuangan syari’ah; (b) Sekretariat yang dipimpin oleh sekretaris paling lambat setelah satu hari kerja setelah menerima usulan atau pertanyaan, menyampaikan permasalahan tersebut kepada ketua; (c) Ketua Badan Pelaksana Harian bersama anggota dan staf ahli selambat lambatnya 20 hari kerja setelah usulan atau pertanyaan itu ada, membuat memorandum khusus yang berisi telaah dan pembahasan pertanyaan atau usulan yang ada; (d) Ketua Badan Pelaksana Harian membawa hasil pembahasan tersebut kedalam rapat pleno DSN untuk mendapat pengesahan; dan (e) fatwa atau memorandum DSN ditandangani oleh Ketua dan Sekretaris DSN.

PKES Publishing

Mekanisme kerja yang berkaitan dengan DPS adalah: (a) DPS melakukan pengawasan periodik pada lembaga keuangan syari’ah yang berada di bawah pengawasannya; (b) DPS berkewajiaban mengajukan usulusul pengembanga lembaga keuangan sari’ah kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada DSN; (c) DPS melaporkan perkembangan produk dan oprasional lembaga keuangan syari’ah yang diawasinya kepada DSN sekurang-kurangnya 2 kali dalam satu tahun anggaran; dan (d) DPS merumuskan permasalahan permasalahan yang memerlukan pembahasan DSN. Bagian terkhir dai pedoman DSN-MUI adalah pembiyayaan DSN. Dalam bagian tersebut dikatakan bahwa: (a) DSN memperoleh dana oprasional dari bantuan pemerintah (Departemen Keuangan), Bank Indonesia, dan sumbangan masyarakat; (b) DSN menerima dana iuran bulanan dari setiap lembaga keuangan syari’ah yang ada; dan (c) DSN Menjawab Keraguan Umat Islam

124

Peran DSN MUI dan BI

Mempertanggung-jawabkan keuangan atau sumbangan kepada MUI. H. Menjamin Operasional Bank Sesuai Syari’ah Diantara cara menjamin bahwa oprasional bank Islam tidak menyimpang dari tuntunan syari’ah adalah: (a) mengangkat manajer atau pimpinan Bank yang sedikit banyak menguasai mu’malah; dan (b) pembentukan DPS untuk mengawasi operasional Bank dari sudut syari’ah. DPS adalah suatu dewan yang sengaja dibentuk untuk mengawasi jalannya Bank Islam sehingga senantiasa berjalan sesuai dengan syari’ah.

PKES Publishing

I. DPS, Kedudukan, Tugas dan Wewenangnya

Tugas DPS adalah mendiskusikan masalah-masalah dan transaksi transakai usaha yang di hadapkan kepadanya; dan ia menetapkan bahwa suatu transaksi sesuai atau tidak sesuai dengan syar’ah. Sedangkan wewenang DPS adalah: (a) Memberikan pedoman syariah kepada Bank untuk pengerahan dana, penyaluran dana, dan kegiatan Bank lainnya; dan (b) mengadakn perbaikan seandainya sua5tu produk yang dijalankan dinilai tidak sesuai syari’ah. Anggota DPS terdiri dari ahli syari’ah yang sedikit banyak menguasai hukum dagang yang berlaku dan terbiasa dengan kontrak- kontrak bisnis. Anggota DPS bersifat independen, dalam arti bahwa mereka tidak tunduk kepada pimpinan Bank yang diawasinya. Dalam rangka menjamin 125

Menjawab Keraguan Umat Islam

Peran DSN MUI dan BI

independensi DPS, Hal-hal yang harus diperhatikan adalah: (a) anggota DPS bukan staf Bank; mereka tidak tunduk di bawah kekuasaan administratif Bank; (b) mereka dipilih oleh rapat umum pemegang saham (RUPS); (c) hononarium mereka ditentukan RUPS; dan (c) DPS mempunyai sistem kerja dan tugas-tugas tertentu sepeti halnya badan pengawas lainnya. Para anggota DPS dari masing masing Bank dapat disatukan dengan sesuatu konsorsium DPS Di bawah naungan MUI dengan bekerja sama dengan BI. Konsorsium tingkat anggota anggota DPS tingkat nasional adalah DSN. Sedangkan konsorsium tingkat internasional dibentuk “The Higher Shariah Supervisory Council” oleh Internasioal Association Islamic Banks, yang berkedudukan di kairo.

PKES Publishing

Sementara kedudukan DPS dapat dilihat dalam buku yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dijelaskan bahwa DPS memiliki Tiga kedudukan: Pertama, sebagai penasehat dan pemberi saran kepada direksi, pimpinan unit usaha Syari’ah dan pimpinan kantor cabang Syariah. Kedua, Sebagai mediator antara Bank dengan DSN dalam mengkomunikasikan usul dan saran pengembangan produk dan jasa bank yang memerlukan kajian dan fatwa dari DSN. Ketiga, sebagai perwkailan DSN yang ditempatkan pada Bank. DPS wajib melaporkan kegiatan usaha dan perkembangan bank syari’ah yang diawasinya kepada DSN satu kali dalam satu tahun (minimal), perlu ditambahkan bahwa kedudukan DPS di Bank-Bank syari’ah juga berkedudukan sebagai penjamin bahwa bank yang diawasinya berjalan sesuai dengan prinsip syari’ah.

Menjawab Keraguan Umat Islam

126

Peran DSN MUI dan BI

Perkembangan perbankan sistem syariah di Indonesia menuntut peran serta ulama yang lebih intensif dalam menghadapi persoalan-persoalan dibidang ekonomi yang tinggi kompleksitasnya. Oleh karena itu, dalam rangka melengkapi lembaga lembaga fatwa yang sudah dimiliki oleh berbagai ormas Islam di Indonesia, MUI membentuk DSN yang secara khusus bertugas mengeluarkan fatwa dan mengawasi pelaksanaan fatwa tersebut. Tugas pengawasan tersebut didelegasikan kepada DPS masing masing Bank. J. Peran BI dalam Pengembangan Bank Syariah

PKES Publishing

Eksistensi bank syariah di Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peran Bank Indonesia (BI), selaku regulator yang mengatur lalu lintas industri perbankan di Indonesia. Sesuai dengan UU No 10 tahun 1998 tentang Perbankan, di wilayah Indonesia diakui adanya industri perbankan syariah, yang operasionalnya menundukkan pada aturan yang ada dalam syariah Islam. Dari sisi ini, industri perbankan di Indonesia sudah tidak lagi mengacu pada prinsip single banking system, tetapi sudah menganut prinsip dual banking system. Artinya, pemain di industri perbankan sudah tidak lagi dimonopoli oleh industri perbankan konvensional yang didasarkan pada instrumen bunga. Tetapi, otoritas tertinggi moneter sudah memberikan kesempatan bagi industri perbankan syariah untuk tumbuh dan berkembang di wilayah Indonesia. 127

Menjawab Keraguan Umat Islam

Peran DSN MUI dan BI

Kondisi ini di-back up dengan adanya sebuah Direktorat yang khusus membawai operasional perbankan syariah di Indonesia, yaitu Direktorat Perbankan Syariah (DPbS). Salah satu tugas yang diemban oleh direktorat ini adalah mengeluarkan regulasi operasional perbankan syariah dan sekaligus mengawasi kinerja operasional bank syariah di Indonesia. Di sisi lain, DPbS juga mempunyai tugas untuk memperbesar porsi market share bank syariah di Indonesia, dengan cara mengeluarkan regulasi ataupun aturan main yang berkaitan dengan program pengembangan bank syariah di Indonesia. Salah satu program pengembangan bank syariah yang sedang dilakukan oleh DPbS terwujud dalam bentuk program akselerasi pengembangan bank syariah di Indonesia. Dengan adanya program akselerasi ini, diharapkan terjadi percepatan pengembangan bank syariah di Indonesia. Di antara program akselerasi tersebut, direalisasikan dalam bentuk program sosialisasi terhadap eksistensi bank syariah di Indonesia.

PKES Publishing

Saat ini, program sosialisasi yang dilakukan oleh DPbS ada yang dilakukan dengan bekerja sama dengan pihak lain seperti PKES, dan ada yang dilakukan oleh DPbS secara langsung, seperti sosialisasi mengenai logo iB, yang menjelaskan kepada masyarakat luas mengenai fasilitas transaksi syariah yang diperoleh melalui kantor bank yang bertanda logo iB.

Menjawab Keraguan Umat Islam

128

Peran DSN MUI dan BI

K. Fatwa-Fatwa DSN-MUI yang diadopsi menjadi PBI Nuansa yang menggembirakan, terlihat dari semangat yang besar lembaga DSN-MUI dan DPbS-BI untuk selalu bekerja sama dalam mengembangkan industri perbankan syariah di Indonesia. Hal ini terlihat dari kebijakan yang dikeluarkan oleh DPbS-BI dengan memberlakukan fatwafatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI sebagai referensi dalam penetapan Peraturan Bank Indonesia (PBI). Mengenai fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh DSN-MUI yang kemudian diadopsi oleh DPbS-BI sebagai Peraturan Bank Indonesia dapat dijelaskan dalam tabel di halaman berikut.

PKES Publishing

129

Menjawab Keraguan Umat Islam

Peran DSN MUI dan BI

Tabel Fatwa DSN-MUI: Tentang Akad-Akad Bank Syariah yang Telah Menjadi Peraturan Bank Indonesia No

Perihal Akad

Fatwa DSN-MUI

Peraturan Bank Indonesia

1

Giro

NO: 01/DSN-MUI/IV/2000

No.7/46/PBI/2005 Pasal 3 dan 4

2

Tabungan

NO: 02/DSN-MUI/IV/2000

No.7/46/PBI/2005 Pasal 3 dan 5

3

Deposito

NO: 03/DSN-MUI/IV/2000

No.7/46/PBI/2005 Pasal 5

4

Murabahah

NO: 04/DSN-MUI/IV/2000

No.7/46/PBI/2005 Pasal 9 dan 10

5

Salam

NO: 05/DSN-MUI/IV/2000

No.7/46/PBI/2005 Pasal 11 dan 12

6

Istisna

NO: 06/DSN-MUI/IV/2000

No.7/46/PBI/2005 Pasal 13 dan 14

7

Mudharabah

NO: 07/DSN-MUI/IV/2000

No.7/46/PBI/2005 Pasal 6 dan 7

8

Musyarakah

NO: 08/DSN-MUI/IV/2000

No.7/46/PBI/2005 Pasal 8

9

Ijarah

NO: 09/DSN-MUI/IV/2000

No.7/46/PBI/2005 Pasal 15 dan 17

10

Wakalah

NO: 10/DSN-MUI/IV/2000

No.7/46/PBI/2005 Pasal 9 ayat 1 huruf d

11

Uang Muka Murabahah

NO: 13/DSN-MUI/IX/2000

No.7/46/PBI/2005 Pasal 9 ayat 1 huruf e dan ayat 2

12

Sistem Distribusi Hasil Usaha dalam Lembaga Keuangan Syariah

NO: 14/DSN-MUI/IX/2000

No.7/46/PBI/2005 Pasal 8 huruf l

13

Prinsip Distribusi Hasil Usaha dalam Lembaga Keuangan Syariah

NO: 15/DSN-MUI/IX/2000

No.7/46/PBI/2005 Pasal 8 huruf l

dalam

PKES Publishing

14

Qardh

NO: 19/DSN-MUI/IX/2000

No.7/46/PBI/2005 Pasal 18

15

Jual Beli Istisna’ Paralel

NO: 22/DSN-MUI/III/2000

No.7/46/PBI/2005 Pasal 14

16

Potongan Pelunasan dalam Murabahah

NO: 23/DSN-MUI/III/2002

No.7/46/PBI/2005 Pasal 10 ayat 1 dan 2

17

Ijarah al-Muntahiyah Bi al-Tamlik

NO: 27/DSN-MUI/III/2002

No.7/46/PBI/2005 Pasal 16

18

Sertifikat Wadi’ah Bank Indonesia (SWBI)

NO: 36 /DSN-MUI/X/2002

No.7/13/PBI/2005 Pasal 9 ayat a; pasal 11

19

Sertifikat Investasi Mudharabah AntarBank (IMA)

NO: 38 /DSN-MUI/X/2002

No.7/13/PBI/2005 Pasal 9 ayat b.

20

Ganti Rugi (Ta’widh)

No: 43/DSN-MUI/VIII/2004

No.7/46/PBI/2005 Pasal 19

21

Penyelesaian dalam Murabahah Tak Mampu Bayar

NO: 48/DSN-MUI/II/2005

No.7/46/PBI/2005 Pasal 20 ayat 1 dan 2

***

Menjawab Keraguan Umat Islam

130

Peran DSN MUI dan BI

KESIMPULAN

Dewan Syariah Nasional, didirikan pada tahun 1999 berdasarkan keputusan Majelis Ulama Indonesia Nomor Kp. 754/MUI/II/1999, tertanggal 10 Februari 1999, yang ditandatangani oleh KH. Ali Yafie dan Drs. Nazri Adlani, masing-masing selaku Ketua Umum dan Sekretaris Umum MUI. Pada bagian konsideran Surat Keputusan tersebut, antara lain dinyatakan bahwa hal yang melatarbelakangi pembentukan DSN ialah dalam rangka mewujudkan aspirasi umat Islam mengenai masalah perekonomian dan mendorong penerapan ajaran Islam dalam bidang perekonamian/keuangan yang dilaksanakan sesuai tuntutan syariat Islam.

PKES Publishing

Bank Indonesia membentuk sebuah Direktorat yang khusus membawahi operasional perbankan syariah di Indonesia, yaitu Direktorat Perbankan Syariah (DPbS). Salah satu tugas yang diemban oleh direktorat ini adalah mengeluarkan regulasi operasional perbankan syariah dan sekaligus mengawasi kinerja operasional bank syariah di Indonesia. Di sisi lain, DPbS juga mempunyai tugas untuk memperbesar porsi market share bank syariah di Indonesia, dengan cara mengeluarkan regulasi ataupun aturan main yang berkaitan dengan program pengembangan bank syariah di Indonesia.

131

Menjawab Keraguan Umat Islam

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an al-Karim dan Terjemahannya. Depag RI. 2000 Abdul Azis, et al.,(ed.) Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996. Abdullah Saeed. Bank Islam dan Bunga; Studi Kritis dan Interpretasi Kontemporer tentang Riba dan Bunga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003). Cet. ke-1. Abdurrahman Al Jaziri. Al Fiqh Alaa al Madzahibul Arba’ah, Lebanon : Darul Fikri, 1994. Jilid 3. Bank Indonesia. Himpunan Ketentuan Perbankan Syariah Indonesia Februari 2005-April 2006. Cristopher Pass dan Bryan Lowes, Kamus Lengkap Ekonomi, Jakarta : Erlangga, 1994. Edisi ke-2 . DSN-MUI. Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional. Edisi Revisi Tahun 2006. Penerbit: DSN-MUI dan Bank Indonesia. Jakarta. 2006 Ibnu Rusyd al Qurthubi. Bidayatul Mujtahid. Riyad : Muktabah Nazar Musthafa al Baaz, 1995. Jilid ke-2.

Imam Malik ibnu Anas. Al Muwatta’. Mesir dan Sudan: Darul Haramain, 1992 John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta : PT. Gramedia, 1995. Cet. ke-21 M. Syafii Antonio. Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum. Jakarta: Tazkia Institute dan BI, 1999. Cet. ke-I. Mohammad Atho Mudzhar. Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia: sebuah studi tentang pemikiran hukum Islam di Indonesia 1975-1988. Jakarta. Inis. 1993. Muhammad Akram Khan. Ajaran Nabi Muhammad Saw tentang Ekonomi (kumpulan hadits-hadits pilihan tentang ekonomi). Bank Muamalat. Jakarta. 1996 Muhammad, Manajemen Bank Syariah, Yogyakarta: UPP AMP YKPN, 2002. Prof. KH. Ibrahim Hosen. Filsafat Hukum Islam. Yayasan IIQ. Jakarta. 1997. Sayyid Sabiq. Fikih Sunnah. Beirut : Darul Fikri, tt. Cet. Ke-4. Jilid 2. Tim Pengembangan Perbankan Syariah IBI, Konsep, Produk dan Implementasi Operasional Bank Syari’ah, Jakarta : Djambatan, 2001.

Wahbah Zuhaili. al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu. Damsiq – Suriah: Darul Fikri, 1997. Jilid ke-5. Zainul Arifin. Memahami Bank Syariah; Lingkup, Peluang dan Tantangan dan Prospek. Jakarta: Alvabet Anggota IKAPI, 2000. Zainul Arifin. Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta: Alvabet, 2002. Cet. Ke-1. ***

TENTANG PENULIS

MNH, lahir di Jakarta tanggal 24 Juni 1961. Menamatkan pendidikan S3 bidang ekonomi dari University of New England Australia, 2000. Jabatan saat ini adalah Direktur Eksekutif Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES) dan juga merangkap sebagai Direktur Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP-POM MUI). Kegiatan pendidikan ilmiah dilakukan pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pasca Sarjana Institut Ilmu al-Qur’an (IIQ) Jakarta. Sedangkan kegiatan sosial keagamaan dilakukan pada Masjid al-Husaini Ciputat sebagai Ketua Dewan Kemakmuran Masjid (DKM). Pernah menjadi anggota Komisi Fatwa MUI Pusat periode 19952000 dan periode 2000-2005. Aktif melakukan ceramah dan pengajian di majelismajelis ta’lim maupun melakukan seminar nasional dan internasional. Negara yang dikunjungi untuk seminar internasional adalah Australia, Belgia, Mesir, Belanda, Perancis, Afrika Selatan, dan Hongaria. ***

AMHA, lahir di Jombang tanggal 01 Desember 1975. Menamatkan pendidikan S2 di bidang Syariah, konsentrasi Muamalah (Ekonomi Islam) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, 2003. Sebelumnya, pernah nyantri di Pondok Pesantren Manba’ul Ma’arif Denanyar Jombang dan alumni Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) Jember, 1994. Saat ini, aktif sebagai Staf Pengkaji pada Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES). Kegiatan pendidikan ilmiah, dijalaninya di almamaternya, pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai Dosen mata kuliah Asuransi Syariah dan Dasar-Dasar Ekonomi Islam. Pemberi materi kuliah informal ekonomi Islam di Universitas Indonesia (UI), Universitas Gunadarma, dan Universitas Trisakti. Selain itu, juga aktif melakukan sosialisasi ekonomi Islam dalam bentuk pelatihan dan seminar, khususnya pelatihan mengenai Koperasi Syariah atau BMT. Sedangkan kegiatan sosial keagamaan dilakukannya pada Pondok Pesantren Darul Hikmah Cicayur-Cisauk-Tangerang. *** ABM, lahir di Bojonegoro tanggal 23 Februari 1979. Menamatkan pendidikan S2 di bidang ekonomi syariah, konsentrasi ekonomi dan keuangan syariah di Universitas Indonesia tahun 2006. Pendidikan S1 diselesaikan di Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2003, konsentrasi Perbankan Syariah jurusan Muamalah (Ekonomi Islam).

Kegiatan saat ini aktif sebagai Staf Penulis dan Pengkaji pada Pusat Komunikasi Ekonomi Syariah (PKES). Selain itu, aktif sebagai pemberi materi seminar ekonomi Islam, kuliah informal di Gunadarma, pendidikan dan pelatihan koperasi syariah atau BMT. Di samping kegiatan tersebut, juga aktif melakukan kegiatan sosialisasi ekonomi Islam melalui masjid-masjid dan majelis ta’lim. ***

MENJAWAB KERAGUAN UMAT ISLAM TERHADAP BANK SYARIAH pkes publishing Gd. Arthaloka, Gf.05 Jl. Jend Sudirman, Kav 2, Jakarta 10220 Telp. +62-21-2513984, Fax. +62-21-2512346 Email: [email protected], [email protected] Milis. [email protected] Web. www.pkes.org & www.pkesinteraktif.com