ORANG MADURA MERUPAKAN

Download yang dalam menjaga perilaku dan moral hidupnya begitu berhati-hati seperti diperlihatkan oleh orang. Madura. Mereka sangat bersungguh-sungg...

0 downloads 578 Views 15MB Size
Orang Madura merupakan ‘the most favourable people’ yang watak dan kepribadiannya patut dipuji dan dikagumi dengan setulus hati. Tidak ada kelompok masyarakat di muka bumi ini yang dalam menjaga perilaku dan moral hidupnya begitu berhati-hati seperti diperlihatkan oleh orang Madura. Mereka sangat bersungguh-sungguh dan lugu serta lugas dalam berkata-kata. Oleh karena itu, kalau orang Madura menyatakan sesuatu maka demikianlah isi hati pikirannya, dan jika mengungkapkan suatu bentuk sikap tertentu biasanya karena memang begitulah muatan batinnya

(Emha Ainun Najib, 2005)

xiii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang “...tukang parkire wong Meduro, sing dodolan wong Meduro, nganti Bupatine ya wong Meduro...” (Fatah, kawanua kampus di Malang)

Itulah sepenggal obrolan yang selalu saya ingat ketika diskusi dengan salah satu teman semasa kuliah di Malang. Diskusi ringan dengan dominasi tutur boso walikan1 khas Malang, Jawa Timur. Untuk menyebut “Madura”, teman saya – seperti halnya orang lain–sering menggunakan kata Arudam sebagaimana ker untuk mengganti kata rek, atau kera ngalam menunjuk pada kata Arek Malang atau Arema(nia)–suporter klub sepak bola Arema Indonesia. Penggalan diatas biasa muncul dalam ranah obrolan ringan kami yang multitema, dari aras lokal sampai nasional. Secara sederhana saya menangkap makna yang terkandung dari pernyataan tersebut – bahwa ada domestikasi tema-tema diskusi yakni mengenai Malang beserta problem dan perkembangannya. Misalnya, mereview kembali apa

1

Boso walikan (bahasa walikan, bahasa yang di balik, pen.) menjadi trade mark bagi orang Malang terutama anak-anak mudanya. Selain di Malang, boso walikan juga terkenal di Yogyakarta. Perbedaan boso walikan Malang dan Yogya adalah cara membaliknya. Kalau di Malang, kata dibalik dengan cara straight forward, sedangkan di Yogya kata-kata di-"kode"-kan dengan menggunakan basis ke-20 aksara Jawa dan huruf di geser sepuluh menyusun sebuah korespondensi tertentu, seperti : Mas menjadi dab, Matamu menjadi dagadu, dan lain-lain. Lihat, Sugeng Pujileksono & Rinekso Kartono. 2007. Model Pelestarian Budaya Lokal Melalui Bahasa Walikan Malangan Dalam Menciptakan Integrasi Di Kota Malang. Lembaga Penelitian Universitas Muhammadiyah Malang. Bandingkan dengan Dewa Putu Wijana. Wacana Dagadu, Permainan Bahasa dan Ilmu Bahasa. Pidato Pengukuhan Guru Besar FIB UGM tanggal 27 Februari 2003.

1

yang disampaikan teman saya tersebut, bahwa Malang diam-diam “dikuasai” orang Madura – dari tukang parkir sampai Bupatinya orang Madura2. Berikutnya saya sampai pada titik perenungan bahwa memahami keberadaan etnis Madura yang ada di Malang tidak sesederhana hasil penelitian Ismani (1978) yang mengonsentrasikan perantau Madura pada bidang pekerjaan-pekerjaan kasar dan perdagangan3. Atau mengenai kehidupan petani Madura di Pedukuhan Baran Kelurahan Buring, Kota Malang (Soetjipto, 2008:101-102) maupun gambaran Fathony (2009) mengenai pola pemukiman etnis Madura di Pegunungan Buring, Desa Ngingit, Kabupaten Malang. Tidak dipungkiri bahwa ada anasir lain ketika menyebut istilah “Perantau Madura”–di luar konklusinya Isnani yang menyebut bahwa para perantau Madura terdiri dari orang-orang yang di daerah asalnya tidak mempunyai kedudukan atau jabatan apa-apa serta berasal dari status sosial rendah dan kebanyakan petani (1978, ibid: 163). Dalam perkembangannya saat ini, spektrum tersebut semakin meluas dan mengalami pluralisasi dimensi sosial, dimana tidak hanya mereka yang berada dalam ‘kelas bawah’, tetapi mereka yang berada pada kelas sosial menengah ke atas membangun pilihan untuk menetap 2 3

Bupati Malang (2010-1015) di jabat oleh Rendra Kresna, berasal dari Pamekasan-Madura. Diskusi spontan dan tentatif dengan Fatah, sekitar awal-awal tahun 2011. Isnani menyebut bahwa seringkali jenis perdagangan tertentu bisa menunjukkan asal daerahnya di Madura. Misalnya pedagang ayam di Pasar Besar Malang biasanya berasal dari Kecamatan Tragah, Bangkalan. Perempuan penjual kacang, tales, kelapa, rokok berasal dari Kecamatan Proppo, Pamekasan dan penjual sate dan soto berasal dari Sampang. Lih, Ismani. 1978. Kehidupan Orang-Orang Madura di Kota-Kota Perantauan. Proyek Penelitian Madura, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI dalam rangka kerjasama Indonesia-Belanda. Hal. 169-170. Selain Pasar Besar, para pedagang Madura ini juga tersebar di Pasar Balenan. Mengenai beberapa jenis perdagangan tertentu yang dimonopoli secara kategorial berdasar asal daerah di Madura, saya belum menemukan preferensi yang memadai mengapa Kabupaten Sumenep tidak disebut dalam penelitian Isnani maupun berdasar pengalaman pribadi saya (lebih kurang 6 tahun tinggal di Malang) ketika berinteraksi dengan para pedagang tersebut kebanyakan memang berasal dari tiga kabupaten di Madura, yakni Pamekasan, Sampang, dan Bangkalan. Sisi lain bahwa beberapa teman-teman mahasiswa yang saya kenal di kampus maupun di organisasi berbasis ke-Madura-an rata-rata adalah orang Sumenep dan Pamekasan. Apakah hal ini berkait dengan tingkat kesejahteraan dan latar belakang ekonomi serta persepsi mereka mengenai urgensi pendidikan antara satu kabupaten dengan kabupaten yang lain memang berbeda? Tentu hipotesa ini menjadi menarik untuk diteliti lebih jauh lagi.

2

atau sekurang-kurangnya sekadar ingin bekerja dan membangun karir di Kota Malang. Orang Madura dalam berbagai segmentasi sosial tersebut memiliki perbedaan kesejarahan dan latar belakang dalam meninggalkan kampung halamannya, meskipun perbedaan tersebut dapat disatukan dalam suatu kategori tertentu seperti spirit perubahan ke arah yang lebih baik, khususnya di bidang ekonomi dan sosial. Dua kategori sosial mengenai orang Madura yang berada di Kota Malang secara khusus ingin saya gambarkan dengan sederhana. Kategori pertama adalah ‘Madura Pelajar’ yang diisi oleh orang-orang Madura yang mengenyam pendidikan, khususnya pendidikan tinggi di Kota Malang. Bagi anak-anak Madura, Kota Malang menjadi destinasi pendidikan tinggi favorit selain kota besar lainnya seperti Surabaya, Yogyakarta, Jakarta dan Jember. Kecenderungan memilih Malang sebagai kota untuk pendidikan lanjutan tentu bukan tanpa alasan. Setidaknya para siswa-siswa SMA di Madura sudah memiliki preferensi sejak dini melalui program diseminasi dan promo yang dilakukan oleh senior mereka yang tergabung dalam organisasi berbasis kemaduraan di tiap-tiap kampus yang berada di

Kota

Malang4.

Para

mahasiswa

asal

Madura

memang

memunyai

kecenderungan mengelompok sesama orang Madura, baik melalui organisasi, kontrakan bersama, maupun tinggal dengan sanak famili yang memunyai rumah di Malang. Pascalulus dari perguruan tinggi, mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk mencari peluang pekerjaan di Malang atau kota besar lainnya dari pada kembali ke kampung halaman, dimana pilihan karir dan pekerjaan dirasa

4

Contoh organisasi mahasiswa berbasis kemaduraan al: Ikatan Mahasiwa Pamekasan (IMPAS), FKMS (Forum Komunikasi Mahasiswa Sumenep), Komunitas Sapo Lèntè, dll.

3

sangat sulit, monolit, atau kurang beragam sebagaimana halnya di Malang atau di kota-kota besar lainnya5. Kategori kedua adalah ‘Madura Pekerja’. Mereka inilah potret dominan pendatang dari Madura yang usia migrasinya lebih lama dari pada kelompok kategori pertama. Di Kota Malang, kelompok ini berada di beberapa titik aglomerasi yang umumnya terkonsentrasi di daerah periferal kota, seperti Kedungkandang, Mergosono, Gadang dan Kotalama. Umumnya mereka menjadi pekerja rendahan di berbagai sektor informal, seperti pedagang, tukang parkir, sopir dan tukang becak. Pekerjaan ini lebih menyesuaikan dengan karakter kekotaan dimana bekerja di sektor pertanian tidak mungkin dilakukan, sekaligus memang sengaja dihindari, menyesuaikan dengan niat awal mereka untuk hidup lebih baik dengan cara meninggalkan tradisi pertanian di kampung halaman. Sementara di daerah Buring, pekerjaan orang-orang Madura adalah pekerjaan tanah leluhur. Mereka tetap bertani dan memelihara sapi. Pemukiman penduduk tidak sepadat di kota. Meskipun secara administratif sebagian wilayahnya masuk Kota Malang, tetapi secara geografis lebih dekat ke wilayah Kabupaten Malang, termasuk juga karakteristik kehidupannya lebih dominan di sektor pertanian (Fathony, 2009). Wilayah Kotamadu adalah salah satu kawasan di Kota Malang dimana mayoritas penduduknya merupakan etnis Madura. Wilayah ini menjadi semacam distrik konsentrasi’yang menampung pendatanag dari berbagai wilayah di Madura. Kebanyakan mereka berasal dari Pamekasan yakni wilayah Proppo dan Tlanakan. 5

Dalam konteks ini, mahasiswa Madura sering mengalami pilihan yang problematik, antara mengikuti tuntutan pemikiran puritan orang tua yang lebih memandang prestise ‘pekerjaan bersepatu’ (guru, pekerja kantoran/PNS) dari pada keinginan putra-putri mereka yang ingin menjelajah sektor swasta seperti berbisnis/berdagang. Tidak jarang para orang tua yang kecewa melahirkan sinisme; “kalau hanya berdagang, untuk apa kami menyekolahkan tinggi-tinggi”.

4

Dua wilayah ini identik dengan tradisi lang-Malangan, suatu ungkapan lokal yang menggambarkan kebiasaan merantau ke Malang, seperti menjadikan Malang sebagai beranda rumah mereka. Foto 1. Perkampungan Kotamadu, salah satu kawasan pemukiman padat penduduk orang Madura di Kota Malang

Foto : Khotim Ubaidillah, 2013

Beberapa wilayah lain dengan tingkat populasi lebih sedikit dari Kotamadu juga dihuni perantau dari Blega (Bangkalan), Kramat dan Maduang (Sampang) dan terasa jarang terdengar pendatang yang berasal dari wilayah di Sumenep. Di Kotamadu, rumah tinggal mereka berdesak-desakan, tidak tertata dengan rapi. Antara satu rumah saling berhadapan, di tengah-tengah rumah tersebut terdapat gang-gang yang umumnya tidak bisa dilewati

motor berpapasan. Perkembangan

pemukiman warga semakin bergerak menjauhi pinggiran DAS Brantas yang sudah sesak dengan rumah warga pendatang proto-Madura di Kotamadu. Dua kategori di atas sebenarnya merupakan kategori emic yang bersumber dari orang-orang Madura di Malang, khususnya di Kotamadu. Mereka umumnya melihat ‘kami’; ‘anak-anak sekolahan’ atau ‘orang kampus’ – yang notabene berada di wilayah Barat ‘lebih beruntung’ dari pada mereka yang bermukim di

5

wilayah timur Kota Malang. Kaum sekolahan (kuliah) dianggap calon orang-orang sukses, calon ponggebeh (pegawai) yang ‘kerjanya sebentar tanda tangan, sebentar kemudian dapat uang’. Berbeda dengan mereka ‘yang jika tak bekerja berarti tak ada yang dimakan’. Suatu ungkapan yang kadang dilebih-lebihkan,

karena

faktanya

beberapa

di

antara

mereka

kondisi

perekonomiannya lebih stabil dari sebagian orang tua yang menyekolahkan anaknya di Malang. Secara sadar mereka mengaku tidak bisa menembus pasar kerja modern karena tidak punya ijasah sekolah, alias ‘tidak terpelajar’. Cara pandang mengenai pendidikan semacam ini juga diwariskan (dipraktikkan) kepada generasi mereka selanjutnya. Sarjana-sarjana muda maupun anak kuliahan menjadi fenomena mahal di Kotamadu. Umumnya mereka menyelesaikan sekolah hingga tingkat SMA atau mondok di pesantren-pesantren. Kondisi ini lebih progresif tinimbang orang tua mereka yang hanya lulusan SD dan sebagian hanya tamatan pesantren. Hal mengejutkan terjadi dalam dunia politik, yang seakan-akan berbanding terbalik dengan latarbelakang pendidikan mereka. Soal politik bagi mereka adalah soal kekayaan pengalaman, karena pada ukuran-ukuran praksis tertentu, pengetahuan dan kemampuan mereka melebihi sarjana politik ataupun konsultan politik sekalipun. Penguasaan mereka akan mekanisme-mekanisme politik, tingkat keterpengaruhan seorang tokoh, kalkulasi kalah-menang, regulasi kerja di lapangan, hingga wilayah yang paling subtil mengenai ‘transaksi politik’ pernah mereka alami. Bagi sebagian orang (tokoh) yang punya jam terbang lebih, momentum politik seperti Pilkada, Pemilu Legislatif (Pileg) hingga Pilkades adalah pekerjaan musiman yang sarat enigma (teka-teki) ke(ber)untungan

6

ekonomi, serta sebagian ke(ber)untungan politik. Sementara bagi masyarakat Madura secara umum di Kotamadu, jika tiba pada suatu moment politik, pendiskursusan politik menjadi sesuatu yang jamak dilakukan di rumah tangga orang-orang Madura. Yang lain bekerja sesuai level dan peran sosial masing-masing. Dalam konteks pertautan agama dan politik -- sebagaimana sering didengungkan oleh peneliti Madura (Skinner 1959; Ward 1974; Jonge 1989/2011; Khusyairi 1989), aras politik orang Madura di Kota Malang masuk dalam arena dialektika yang menarik dan dinamis pada satu sisi, dan masuk fase-fase kritis di sisi

yang

lain.

Sederhananya,

relasi

agama

dan

politik

dalam

pertimbangan-pertimbangan tertentu sudah tidak semesra dahulu, atau menjadi faktor determinan kemenangan politik, tetapi ada dimensi sosial-ekonomi dan kultural yang turut memberikan sumbangsihnya (Khusyairi, 1989:131). Dalam diskursus akademis, penjelajahan budaya politik orang Madura di ranah rantau masih menjadi kajian langka. Studi Khusyairi (1989) mengenai orientasi politik dan kepemimpinan lokal orang Madura di Lumajang masih berkisar seputar determinasi agama (Islam) dalam memengaruhi perilaku politik orang Madura melalui peran tokoh-tokoh informal seperti kiai. Kajian mendalam seputar dinamika yang terjadi diantara sesama orang Madura perantauan dan interkoneksi mereka dengan daerah asal masih minim diketengahkan. Studi ini hadir untuk memperkaya lanskap kajian sosial-budaya seputar orang Madura di perantauan, khususnya menyangkut bidang antropologi-politik. 1.2 Masalah Penelitian Keberadaan orang-orang Madura sebagai kelompok etnis pendatang terbesar di Kota Malang, dalam perkembangannya tidak hanya berdimensi ekonomi

7

ataupun pendidikan,

tetapi mampu merambah ke dalam jagat politik lokal Kota

Malang. Keberhasilan politik dewasa ini yang lebih ditolakukuri oleh jumlah pemilih (suara) terbanyak, menjadi alasan yang membenarkan keberadaan komunitas Madura di Kotamadu sangat diperhitungkan. Dengan menggunakan kajian antropologi politik, maka masalah penelitian ini dirumuskan melalui sebuah pertanyaan; bagaimana dinamika orang-orang Madura dalam politik di Kota Malang? Penelitian ini mengambil studi kasus pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Malang tahun 2013. Secara lebih jauh, studi ini ingin mengeksploirasi budaya dan artikulasi politik orang-orang Madura di perantauan, dualisme politik (politik trans-regional), gambaran elit lokal Madura dan pengaruhnya, politik orèng kènè’ (orang kecil), terbentuknya faksi-faksi politik yang ikut melengkapi jagat politik kaum rantauan Orang Madura dalam dinamika politik Kota Malang. 1.3 Ruang Lingkup, Fokus dan Tujuan Penelitian Kota Malang dipilih sebagai wilayah penelitian didasarkan atas beberapa argumentasi. Pertama, keberadaan etnis Madura di Malang sering dikaitkan dan banyak disebut dalam literatur sebagai tujuan migrasi orang Madura di Jawa Timur selain daerah-daerah pandhalungan6, seperti Kabupaten Pasuruan,

6

Istilah ‘pandhalungan’ berarti ‘berbicara atau berkata dengan tiada tentu adabnya/sopan-santunnya (Prawiroatmodjo, 1981:53-81). Menurut Kusnadi (2001), dalam konteks realitas masyarakat dan kebudayaan di kawasan ini penggunaan bahasa keseharian masyarakat umumnya adalah bahasa kasar (ngoko) atau bahasa yang struktur gramatikanya belum mapan, seperti ditandai dengan intensitas interferensi leksikal dan gramatikal. Kekurangmapanan aspek gramatika ini terjadi karena interaksi sosial dalam kehidupan masyarakat dilakukan oleh masing-masing pemilik kebahasaan (Jawa dan Madura) yang kedudukannya sama kuat atau sama dominan. Secara kewilayahan, Sutarto menjelaskan bahwa daerah kebudayaan pandhalungan merujuk kepada suatu kawasan di wilayah pantai utara dan bagian timur Provinsi Jawa Timur yang mayoritas penduduknya berlatar belakang budaya Madura. Secara budaya, yang disebut masyarakat pandalungan adalah masyarakat hibrida, yakni masyarakat berbudaya baru akibat terjadinya percampuran dua budaya dominan. Dalam konteks

8

Probolinggo, Situbondo, Bondowoso, Jember, dan Lumajang, dan kota besar lainnya seperti Surabaya, Jakarta, Yogyakarta7, dan di luar Jawa (Ismani, 1978; Jonge, 1989; Wiyata: 2006, Rifai:2007). Dari sekian studi dan penelitian yang dilakukan sebelumnya, hanya sedikit saja yang mengulas mengenai keberadan etnis Madura di Malang Raya, sebut saja antara lain studi yang dilakukan Soetjipto (2008) dan Fathony (2009). Berikutnya adalah harus diakui, dengan menyandang predikat sebagai kelompok etnis pendatang terbesar di Malang, orang Madura begitu lekat dalam dinamika sosial-ekonomi-masyarakat di Kota Malang. Istilah ‘Arema’ (Arek Malang)

sering

diplesetkan

menjadi

‘Arek

Madura’.

Sementara

di

kampus-kampus, istilah Plat-M8 kerap digunakan mahasiswa untuk menyebut teman-teman mereka dari Madura, selain tentu banyak istilah atau nama organisasi ‘formal’ berbasis kemaduraan yang ada di tiap-tiap perguruan tinggi. Pandangan umum masyarakat yang sering berkembang dan nyaris ‘tidak terbantahkan’ adalah perilaku dan dinamika ekonomi orang Madura, khususnya berkaitan dengan ekonomi skala mikro dan ekonomi pasar. Dalam sebuah obrolan singkat saya dengan Edi Rumpoko (Wali kota Batu), ia mengajukan pertanyaan eufemistis; bagaimana mungkin keadaan ekonomi Kota Malang bisa maju tanpa peran orang Madura?9. Tentu bukan pekerjaan yang sulit untuk membuktikan tesis ini. Sekali waktu datanglah ke Pasar Besar. Pasar ini merupakan pusat perekonomian terbesar Malang Raya yang lokasinya berada di sebelah timur

7 8 9

kawasan “tapal kuda” Jawa Timur, budaya pandalungan adalah percampuran antara dua budaya dominan, yakni budaya Jawa dan budaya Madura. Lihat, Ayu Sutarto (2006) dan Arifin (2006). Lihat studi yang dilakukan Mulyadi (1978) maupun Ahimsa-Putra (1980). M adalah plat nomor kendaraan bermotor untuk wilayah Madura. Wawancara dengan Edi Rumpoko, tanggal 14 April 2013.

9

Alun-alun Kota Malang. Pedagang pasar ini mayoritas adalah orang Madura10 atau sekurang-kurangnya keturunan Madura, mulai dari pedagang sayur, pedagang pakaian, pernak-pernik, hingga pekerjaan lain pendukung ekonomi pasar, seperti tukang becak dan juru parkir. Simaklah interaksi antar para pedagang. Kebanyakan komunikasi mereka menggunakan bahasa Madura, atau bahasa Jawa dengan logat Madura yang amat tipikal. Sangat mudah mereka dikenali, meskipun sebagai orang baru tidak gampang mengakrabi mereka. Bagi pengunjung atau pembeli, bahasa Madura lebih dari sekadar interaksi sosial, tetapi berfungsi juga untuk mempermudah transaksi jual-beli (penawaran), termasuk juga akses terhadap sumber daya ekonomi lokal (Wiyata, 2004:4). Kotamadu yang menjadi basis penelitian ini merupakan sebuah kelurahan yang masuk dalam wilayah Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang11. Jumlah penduduk di Kotamadu mencapai 28.865 jiwa, merupakan jumlah penduduk terbesar kedua di Kedungkandang setelah Kelurahan Sawojajar12 (BPS Kota Malang, 2012:5). Hampir 80% penduduknya adalah orang Madura atau keturunan orang Madura. Penelitian ini ingin memberi sebuah ikhtisar bahwa keberadaan orang Madura di Malang lebih dari sekadar kelompok etnik yang sui generis (unik) – sekurang-kurangnya jika ditérop ong dari fokus kajian yang ingin penulis dalami, yakni bidang antropologi politik dengan studi kasus pada pemilihan Walikota dan wakil Walikota Malang tahun 2013. Secara lebih jauh, studi ini ingin mengeksploirasi budaya dan artikulasi politik orang-orang Madura yang ada 10

Secara khusus saya akan membahas fenomena ini dalam sub-bab 2. Orang Madura dan Budaya Pasar hal.50-54. 11 Kotamadu adalah nama samaran. 12 Jumlah penduduk Kotamadu sangat kontras jika dibandingkan dengan kepadatan penduduk di ibu kota kecamatan Kedungkandang yang hanya berjumlah 9.836 jiwa. Sementara itu, Kelurahan Sawojajar dengan penduduk terbanyak memang dikenal lebih kosmopolit dan menjadi salah satu pusat keramaian di Kota Malang. Secara keetnikan, penduduknya lebih heterogen dibanding dengan kelurahan Kotamadu yang notabene didominasi etnis Madura.

10

di Kota Malang. Potensi pemilih Madura, khususnya di Kotamadu sangat besar13, dengan karakteristik dan model pendekatan politik yang (didesain) berbeda dengan wilayah yang lainnya. Orang-orang Madura di Kotamadu dalam setiap momentum politik prosedural seperti pemilihan kepala daerah, pemilu legislatif hingga pemilu presiden akan selalu diperhitungkan sekaligus diperebutkan. Beberapa pola permainan politik dalam berbagai momentum tersebut relatif statis pada satu sisi, dan dinamis pada sisi yang lain. Pengertian statis misalnya: masih bertahannya politik patrimonial tokoh-tokoh Madura, politik uang, pendekatan kekeluargaan (kekerabatan), dll. Sementara praksis dari semua itu mengalami dinamisasi dan dialektika yang berbeda antar satu momentum ke momentum yang lain. Bagaimanapun kebakuan pola-pola permainan politik yang sudah terbangun, tidak selalu berbanding lurus dengan hasil akhir. Disinilah terjadi tali-temali antara ‘tradisionalisme politik’ orang-orang Madura dengan karakter kulturalnya yang khas dengan modernisme politik dalam praktik-praktik demokrasi prosedural. Pada konteks yang sama, ditemukan juga praktik politik trans-regional, dimana orang Madura di Kotamadu tidak hanya terlibat dalam dinamika politik lokal Kota Malang, tetapi mereka juga diperhitungkan dalam konstelasi politik kampung halaman yang ada di Madura. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: (1) mengetahui dinamika, budaya dan artikulasi politik orang-orang Madura di perantauan; (2) penelitian ini berupaya menemukan dan mengeksploirasi pola-pola umum karakter politik orang Madura di perantauan, seperti politik patrimonial, relasi orèng kènè’ (orang kecil) dan orèng rajeh (orang besar/blatér ), pendekatan kekerabatan, dualisme politik 13

Dari jumlah penduduk Kotamadu yang mencapai 28.865 jiwa, 24.657 penduduknya masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) (PPS Kotamadu, 2013).

11

dan interkoneksi dengan daerah asal, dll; (3) penelitian ini ingin menambah perbendaharaan khazanah kajian ilmu sosial, khususnya menyangkut keberadaan orang Madura di perantauan yang cenderung diidentifikasi pada dimensi sosial-ekonomi saja, tetapi sangat langka – untuk mengatakan tidak ada – kajian yang membahas persoalan budaya politik orang Madura di ranah rantau secara komprehensif. 1.4 Kajian Pustaka Suatu keanehan bahwa istilah ‘merantau'14 sama sekali tidak populer bagi kalangan orang Madura sendiri, dan belum ada satupun perbendaharaan istilah lokal yang secara konsisten digunakan oleh orang-orang Madura untuk melukiskan fenomena bepergian atau kebiasaan penduduk keluar dari kampung halamannya. Keanehan tersebut belum juga terjawab dalam banyak catatan monografi tentang Madura (Jonge, 1989b; Husson, 1997; Wiyata, 2004; Rifai, 2007). Para peneliti Madura ini secara bergantian menggunakan istilah ‘merantau’, ‘migrasi’, ‘bepergian’, dll, untuk menjelaskan pengertian akan fenomena yang sama. Hanya ada beberapa istilah lokal saya temui, misalnya dalam karya Fathony (2009:22) yang menyebut istilah “naek” (naik) dan “toron” (turun) untuk menjelaskan fenomena pulang-perginya orang Madura dari tanah Jawa ke tanah kelahirannya15. Istilah ini agak kontekstual dengan locus studi yang saya lakukan,

14

Istilah ‘rantau’ lebih dekat dengan idiom Minangkabau. Dalam hal ini Naim (1984) memberikan pengertian: “Leaving one’s cultural territory voluntarily whether for a short or long time, with the aim of earning a living or seeking further knowledge or experince, normally with the intention of returning home.”. Lih. Mochar Naim.1984. Merantau: Pola Migrasi Suku Minangkabau. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. Dalam kamus ilmiah, kata “rantau” diartikan sebagai: pantai teluk; lengkung teluk; susur pantai; (me)rantau: berjalan menyusuri rantau; pergi ke negeri lain (seberang). Lih. Partanto & Al Barry. 1994. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya : Arkola. Hal. 652. 15 Menurut Fathony pada dasarnya kebudayaan masyarakat Madura juga merupakan kebudayaan Jawa. Mereka percaya bahwa dirinya keturunan orang Jawa. Dalam sejarah dan legenda yang

12

sekaligus menyegarkan memori masa kecil bahwa istilah ongghe (naek) dan ka jaba (ke Jawa) lebih sering digunakan orang-orang di kampung saya. Dulu, para awak bus trayek Madura - Jawa, lebih sering menggunakan istilah ‘jaba’ (Jawa) dalam menawarkan jasa angkutan ke Jawa bagi para penumpang yang ada di terminal-terminal di Madura. Keanehan semacam ini wajar saya kemukakan. Karena fenomena merantau orang Madura bukanlah tradisi sepele16 – sekurang-kurangnya jika dilihat dari sisi historis dan kekuatan daya tahannya yang mampu bertahan hingga sekarang. Pelacakan historis Lawrence Husson (1997) menyebut bahwa tradisi merantau orang Madura sudah dimulai sejak abad ke 13 hingga abad 16. Periodisasi ini lebih dilandasi oleh nuansa perbudakan orang-orang Madura yang sengaja ditarik ke Jawa Timur untuk bekerja di lahan pertanian dan memperkuat kerajaan

berlaku pada masyarakat Madura, tampak bahwa kecenderungan itu amat kuat. Kecenderungan tersebut tersirat dalam penggunaan istilah “naik” dan “turun”. Kalau mereka pergi ke Jawa, mereka menganggap atau mengatakan “naek” (naik) meskipun kedua pantai penyeberangannya sama-sama landai; dan kalau kembali dari Jawa ke Madura mereka mengatakan akan toron (turun) (Fathony, 2009: 22). Mengenai hal ini, bisa dilacak sumber-sumber sejarah seperti Nagarakertagama dan Pararaton yang menunjukkan hubungan erat antara Madura dan Jawa Timur. Lombard (dalam Husson, 1997: 80) menulis bahwa nama ‘Madura’ muncul tiga kali dalam Nagarakertagama, khususnya di Pupuh XV, di mana dikatakan bahwa Madura tidak akan dihitung di antara kerajaan asing karena selalu saja menjadi bagian dari tanah Jawa. Madura tidak dianggap sebagai entitas yang terpisah, melainkan sebagai bagian bawahan yang lebih besar dari Kerajaan Singasari di abad ke-13 dan kerajaan Majapahit pada abad ke-14. Wiryoprawiro (1986) mengatakan bahwa orang Madura menganggap bahwa tanah Jawa adalah tanah para leluhurnya yang harus dipuja dan dihormati. Apapun argumentasi historis yang menjelaskan ‘kemesraan’ hubungan Jawa-Madura, dalam praktik-praktik relasionalnya ternyata tidak lebih dari subjugasi atau superioritas kebudayaan Jawa yang lebih dominan terhadap inferioritas Madura. Eksklusifitas orang Madura yang hampir tidak memunyai alasan dan kebutuhan untuk berintegrasi ke dalam masyarakat Jawa adalah korban dari prasangka mendalam tentang gambaran karakter mereka yang dianggap kasar dan brutal. Di lokasi penelitian saya, segregasi pemukiman adalah salah satu jawaban dari situasi ini. Selain itu, di banyak tempat di Malang, saya sering menjumpai resistensi orang Madura terhadap Jawa melalui model perkawinan eksogami (menikah sesama orang Madura). Hal ini berlaku juga sebaliknya. Tetapi praktik-praktik ambivalen juga pernah saya temui, misalnya bagaimana gambaran prestise sosial dan kebanggaan laki-laki Madura jika mendapatkan istri seorang Jawa daripada beristri dengan kerabat atau tetangganya sendiri. 16 Pada sensus 1930, etnis Madura masuk urutan ke enam dalam daftar suku bangsa besar (mayor ethnic groups) di Indonesia yang memiliki intensitas migrasi tinggi diantara 15 suku bangsa yang lain. Lihat Mochtar Naim. 1972. Merantau dan Pengaruhnya terhadap Pembangunan Daerah di Indonesia, dalam Prisma, Juni 1972.

13

Majapahit. Dari abad ke-16 hingga 18 abad banyak perang di Jawa yang melibatkan tentara Madura. Dari 1845 hingga 1880, tirani pangeran Madura dan penurunan ekonomi menyebabkan migrasi penduduk yang semakin besar. Dimulai pada periode yang sama dan seterusnya, ekonomi perkebunan di Jawa Timur menarik tenaga kerja Madura dalam jumlah yang besar juga. Depresi tahun 1929, yang melanda kepulauan di awal tahun 1930, pendudukan Jepang antara tahun 1942 dan 1945, serta gangguan politik di Indonesia sampai dengan tahun 1965, adalah suksesi episode menyakitkan bagi pulau ini dan menyebabkan lebih jauh migrasi karena kelaparan dan ketakutan. Husson kemudian berkesimpulan bahwa sejak munculnya Orde Baru sampai hari ini, migrasi keluar Madura menuju pusat pertumbuhan ekonomi telah mengambil bentuk eksodus pedesaan klasik (1997:80). Dalam Werskschema Reboisatie Madoera Tahun 1938 (dalam Jonge, 1989:24), dipetakan tujuan dan arus migrasi orang Madura, yaitu: orang Bangkalan terutama tertuju ke Surabaya, Malang, Kediri, Madiun, dan Bojonegoro. Orang-orang dari Sampang terutama ke jurusan Pasuruan, Probolinggo, dan Lumajang sedangkan orang-orang Sumenep serta penduduk Pamekasan pada umumnya ke Jember17, Bondowoso, dan Banyuwangi. Selain Jawa Timur, daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat serta daerah-daerah luar Jawa juga menjadi tujuan penting para migran Madura. Di Kalimantan Barat, orang Madura sudah bermukim sejak sebelum kemerdekaan18. Di Ujung Pandang dan

17

Lihat juga, Arifin. 1996. Migrasi Orang Madura di Daerah Jember pada Masa Kolonial. Jakarta: Konggres Sejarah Nasional. 18 Testimoni Haji Tarap, seorang tokoh Madura di Singkawang, menarik diuraikan untuk mengetahui kapan awal mula kedatangan orang Madura di Kalimantan. Tarap berkisah, anak pertamanya lahir ketika pertama kali pesawat terbang Jepang melintas di kota Pontianak. Warga yang ketakutan serempak berteriak agar semua tiarap di tanah. Sesaat setelah kejadian, sang

14

Sulawesi, sudah terdapat masyarakat Madura yang sudah lama dan secara teratur disinggahi perahu-perahu dagang Madura19. Di Nusa Tenggara, migran ini sering melakukan pekerjaan tertentu seperti pengendara becak, penjual sate, dan kusir dokar20. Saya juga mendapati informasi bahwa sebagian para TKI asal Madura yang ada di Malaysia di antaranya berasal dari satu kampung di sebuah desa pedalaman di Pamekasan. Kampung ini hanya berpenghuni segelintir orang saja karena kebanyakan penduduknya bekerja di Malaysia. Hanya bangunan besar dan relatif mewah yang tersisa, dan banyak di antaranya yang tak berpenghuni. Kampung ini baru ramai kembali menjelang musim lebaran. Banyak orang kemudian menjulukinya sebagai ‘kampung TKI’. Ada juga seorang kawan yang menginformasikan bahwa di Papua terdapat sekelompok orang Madura yang bekerja sebagai tukang cukur dan penjual sate. Saya tak kuasa membayangkan bagaimana mendamaikan kenyataan pandangan orang bahwa kedua suku ini sangat ‘keras’ dan sama-sama eksklusifnya. Apapun argumentasinya, informasi kepustakaan di atas dan pengalaman yang saya miliki semakin meneguhkan reputasi orang Madura sebagai suku perantau.

bayipun lahir. Untuk mengenang momentum itu, bayi lelaki itupun diberi nama Tarap, dari kata “tiarap”. Warga pun memanggilnya Pak Tarap - artinya ayahnya Tarap. Dari kisah Tarap itu diketahui bahwa anaknya itu lahir di masa Jepang (1942-1945), meskipun di wilayah Kalimantan yang lain yakni di Sukadana (Ketapang) ratusan orang Madura sudah bermukim disana sejak tahun 1933 (Lih, Patebang dan Sutrisno. 2000. Konflik Etnis di Sambas. Jakarta: ISAI, hal.162-163 ). Selain kisah itu sebagai informasi penting untuk mengetahui awal mula keberadaan orang Madura di Kalimantan, saya cukup apresiatif terhadap cara penamaan ala Haji Tarap dan bagaimana orang-orang memanggilnya dengan sebutan Pak Tarap. Cara penamaan anak berdasar momentum tertentu semacam ini dan panggilan terhadap seorang laki-laki berdasar nama anak pertama merupakan sesuatu yang lazim dalam masyarakat tradisional Madura, di beberapa pedesaan di Madura, kebiasaan semacam ini masih terjadi. Bandingkan dengan Min A. Rifai. 2007. Manusia Madura. Yogyakarta: Pilar Media, hal.85. 19 Lih, Jonge, 1989b:25. 20 C.J Grader. 1949. “Het Madura Welvaartsfonds 1937-1941” dalam Jonge. 2004. State and Welfare in the Late Colonial Period: The Madura Welfare Fund (Asian Journal of Social Science, 91-104).

15

Dorongan merantau lebih dilatari oleh faktor keadaan alam di Madura yang tidak mampu memberi hasil cukup bagi segala kebutuhan hidup penduduknya (Mulyadi, 1978; Husson, 1997). Kegersangan, kelangkaan tanah, deforestasi (penggundulan hutan) dan erosi pada abad 19 adalah periode awal dimana orang-orang Madura mulai terpukau dengan dengan prospek lahan baru yang ada di Jawa. Mereka bekerja secara musiman dan permanen di Jawa Timur, terutama di Besuki, Pasuruan, Jember, Probolinggo, Bondowoso dan Lumajang, yang kemudian menjadi pusat tanaman pangan penting di provinsi ini (Arifin, 1996; Husson, 1997). Dikatakan bahwa orang Madura waktu itu dibutuhkan karena memunyai reputasi sebagai orang yang ulet dan memiliki kekuatan fisik dan daya tahan, terlibat dalam pekerjaan berat dan sulit seperti menebang pohon untuk konstruksi dan pembukaan lahan pertanian baru (Husson, ibid:86). Pada tahun 1846 populasi orang Madura yang berada di daratan Jawa berjumlah sekitar 632.000, sedangkan total etnis Madura ketika itu sekitar 1.056.000 orang. Tahun 1892, 40.000 orang pergi ke Jawa Timur untuk bekerja, dimana 10.000 berasal dari Sumenep, 3.000 dari Pamekasan dan 9.000 dari Bangkalan (Lublink Weddik, 1892 dalam Husson, 1997). Keterangan ini sejalan dengan data Statistical Pocketbook of Indonesia Tahun 1941 yang mengatakan bahwa pada tahun 1930 hampir sekitar 2,5 juta orang Madura bertempat tinggal di luar Madura dan sebagian besar di Jawa Timur, sedangkan di seluruh Indonesia berjumlah 4,3 juta, atau hampir 7,3 % dari seluruh penduduk (Jonge, 1989: 24)21. Sejak sensus nasional tahun 1961, data statistik memang tidak menunjukkan identitas etnis, karena 21

persatuan

nasional

ditekankan,

seperti

tersirat

dalam

slogan

Bandingkan dengan Kuntowijoyo yang merilis angka bahwa pada tahun 1930 jumlah migrasi orang Madura adalah 2.347.000 dari total penduduk sebanyak 4.287.000 orang, yang berarti bahwa lebih dari 55% penduduk Madura pergi ke seberang (2002: 80).

16

nasional Bhinneka Tunggal Ika (Husson, ibid: 78). Itu artinya lebih sulit mengkuantifikasi tingkat migrasi penduduk Madura yang ada di luar daerahnya, termasuk jumlah penduduk ber-etnis Madura yang ada di Kota Malang yang menjadi lokus penelitian saya kali ini. Secara historis Malang bukanlah destinasi favorit bagi pendatang Madura. Bersama Lumajang, daerah ini termasuk dalam zona pedalaman yang menjadi tujuan para pensiunan tentara perang dan para pekerja perkebunan di Jawa Timur, seperti Besuki, Pasuruan, Jember, Probolinggo, Bondowoso dan Lumajang. Husson menduga bahwa periode perang antara 1740 hingga tahun 1850 telah memunculkan pola khas dari migrasi orang Madura serta mendorong gelombang lebih lanjut dari pemukiman Madura di Jawa Timur. Para kombatan perang dan pekerja tersebut lebih memilih menetap di Jawa dari pada kembali ke tanah airnya dengan berbagai alasan, seperti desersi, pernikahan dengan populasi lokal, serta mereka yang terpikat oleh prospek lahan pertanian baru yang lebih menjanjikan dari pada tanah gersang di Madura (Husson, ibid: 81-82). Dalam perkembangan berikutnya, banyak orang-orang di Madura yang tidak mempunyai lahan tegalan memilih pergi dan menetap di Jawa. Mereka ini mengandalkan hidupnya dengan bekerja sebagai buruh tani pada musim-musim panen tertentu. Sementara mereka yang di Madura memunyai lahan pertanian ala kadarnya tetap melakukan migrasi jarak dekat seperti pergi ke Surabaya untuk waktu beberapa bulan, khususnya pada bulan-bulan sebelum panen tahunan, dimana sumber makanan dan pendapatan di wilayah-wilayah pedesaan berada pada tingkat yang sangat rendah (Basundoro, 2009: 40).

17

Studi Husson (1997a) mengenai periode panjang migrasi orang Madura di Jawa Timur sangat membantu memberikan peta komprehensif dalam memahami kesejarahan, karakter dan pola migrasi orang Madura yang muncul pada studi-studi berikutnya atau setidaknya menjadi pembanding terhadap studi-studi yang muncul terlebih dahulu. Studi-studi mengenai keberadaan orang

Madura di

perantauan cenderung berada dalam pusaran tema yang heterogen, meski harus diakui bahwa tingkat kedalamannya relatif ‘monolit’ antar satu penelitian dengan penelitian yang lain. Tema-tema penelitian yang sering mengemuka antara lain tema tentang migrasi & adaptasi (Mulyadi 1978; Ismani 1978; Arifin 1996; Husson 1997b), konflik (Patebang & Sutrisno, 2000),

perdagangan (ekonomi)

(Ahimsa-Putra 1980; Nooteboom 2010; Jonge 2011), sosial – politik (Khusyairi 1989; Nooteboom 2003/2010). Dalam soal politik, penjelajahan budaya politik orang Madura di ranah rantau masih menjadi kajian langka. Studi Khusyairi (1989) mengenai orientasi politik dan kepemimpinan lokal orang Madura di Lumajang masih berkisar seputar determinasi agama (Islam) dalam memengaruhi perilaku politik orang Madura melalui peran tokoh-tokoh informal seperti kiai. Keberadaan tokoh formal seperti kepala desa atau kepala kampung hanya berkuasa karena mereka memperoleh legitimasi dari pihak pemerintah. Dengan adanya legitimasi ini para pemimpin formal justru cenderung bertindak sebagai penerjemah keinginan-keinginan pemerintah, yang harus diteruskan kepada atau dilaksanakan oleh rakyat. Namun praktiknya dengan hanya mengandalkan pemerintah saja tidak cukup. Para pemimpin formal masih merasa perlu pula untuk meminta bantuan pemimpin informal dalam melaksanakan kepemimpinannya. Pendek kata, bagi orang Madura pemimpin formal akan dirasakan kurang penting daripada

18

pemimpin informal. Potret politik orang Madura di Lumajang juga cenderung berorientasi kepada seseorang (pemimpin informal) bukan kepada program politik (ibid : 131). Ia adalah mediator antara dunia setempat dan dunia yang lebih luas. Menurut Shils (dalam Khusyairi, 1989) para perantara ini, dalam hal-hal tertentu, mengontrol kesenjangan antara ‘orang terpelajar dan tidak terpelajar, orang kota dan orang desa, modern dan tradisional, penguasa dan rakyat. Dominannya corak kepemimpinan informal (kiai, jawara/blatér ) dalam mewarnai artikulasi politik orang Madura sebenarnya merupakan arketipe lama yang masih bertahan hingga saat ini, tentu dengan penyesuaian-penyesuaian. Pengaruh tokoh-tokoh agama (kiai) bisa jadi tidak berlaku misalnya dalam politik pemilihan kepala desa di Madura. Elly Touwen-Bouwsma (1989) mencatat bahwa pemilihan kepala desa di Madura lebih kental nuansa kekerasannya dari pada transisi kepemimpinan itu sendiri. Pemilihan semacam itu memang diorganisir secara demokratis dan kelihatannya yang menang adalah pilihan rakyat. Dalam kenyataannya pemilihan itu hanyalah sebuah sandiwara, sebab bukan penduduk, melainkan orang-orang berpengaruh dan spekulan-spekulan di belakang layarlah yang menentukan siapa akhirnya yang menjadi kepala desa (1989: 175). Eskalasi konflik yang ditimbulkan dari praktik demokrasi di tingkat paling bawah semacam ini lebih terasa dan bertahan lama daripada pemilihan lain seperti pemilihan kepala daerah dan pemilu legislatif. Dalam telusur pustaka yang saya lakukan, juga tampak jarang terdapat kajian mengenai jagat politik orang Madura yang mengulas dinamika antara perantau Madura dan interkoneksi mereka dengan daerah asal (kampung halaman). Jonge (2011) dalam salah satu studinya hanya memberikan kilas-pandang mengenai

19

fenomena interkoneksi politik perantau Madura yang ada di Bali dengan dengan daerah asalnya. Ia menceritakan bagaimana seorang pengusaha sukses asal Madura yang ada di Bali–yang kemudian meminjam istilahnya Sidel (1997) lebih tepat disebut sebagai political bossism (bos politik)–memobilisir perantau Madura yang ada di Bali untuk dikerahkan dalam suatu event politik pemilihan kepala desa (pelean klébun). Pengusaha tersebut mengirim kapal carteran bersama sekitar 1000 pemilih, atas biaya pribadi ke Raas – sebuah pulau kecil di ujung timur Madura – hanya untuk memastikan kemenangan calon favoritnya (Jonge 2011:248)22. Relasi ekonomi-politik juga diketengahkan Gerben Nooteboom yang mengulas mengenai persekongkolan polisi dan pengusaha Madura yang ada di Kalimantan Timur. Ia memberikan contoh-contoh bagaimana dependensi pengusaha Madura dan polisi tidak hanya memberikan keuntungan finansial dan hukum, namun juga kadang-kadang melayani tujuan yang lebih tinggi untuk menjaga keamanan dan stabilitas bagi masyarakat pada umumnya melalui kontrol sosial yang hanya mungkin terjadi jika kriminalitas dan ketidakstabilan dibiarkan eksis pada tingkat yang terkendali. Polisi menawarkan perlindungan migran dan sebagai imbalannya kedua belah pihak mendapatkan bagian dari keuntungan yang dihasilkan oleh kegiatan-kegiatan ilegal (Nooteboom, 2010:17). 1.5 Orientasi Teoritik Antropologi politik–sebagaimana digagas oleh Suparlan (dalam Balandier, 1986:vii) bukanlah sebuah disiplin ilmu, tetapi sebuah pendekatan; yaitu pendekatan antropologi dalam melihat dan mengkaji politik. Pendekatan yang 22

Pada bab 3 dalam tulisan ini, saya akan mengulas mengenai fenomena interkoneksi orang Madura di Malang dengan kampung halamannya, khususnya yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan mobilisasi politik yang melibatkan beberapa tokoh berpengaruh (blatér ) yang ada di Malang.

20

dikembangkan dalam antropologi politik, berbeda dengan yang ada dalam ilmu politik. Ia menekankan politik sebagai salah satu unsur di antara berbagai unsur lainnya yang ada dalam kebudayaan dan yang satu sama lainnya saling berkaitan dan saling mempengaruhi, secara keseluruhan ataupun sebagian. Oleh karena itu, menurut Suparlan politik tidak hanya dilihat sebagai terungkap dalam pranata-pranata politik, sistem pemerintahan dan administrasi, tetapi juga dalam berbagai pranata lain yang secara keseluruhan merupakan sebuah kesatuan yang bulat yang merupakan gambaran dari masyarakat (Suparlan, dalam ibid: vii). Saya mendapati signifikansi yang berbeda dari kedua cara pandang tersebut, antara ilmuwan politik dengan antropolog dalam mengkaji politik. Tidak hanya soal aksi-reaksi dalam hal keilmiahan, seperti David Easton (1959) sebagai ahli ilmu politik yang mereaksi barisan antropolog seperti Bailey (1968), Cohen (1969), Southal (1974)23. Perbedaan serupa juga bisa dilihat dari karya-karya seperti African Political System (1940) yang diedit oleh Fortes dan Evan Pritchards, yang sejalan dengan buku Political System of Highland Burma (1954) yang ditulis oleh Edmund Leach, dan buku yang ditulis oleh Turner Schism and Continuity in African Society (1957). Bahasan-bahasan mereka itu mendasari pendefinisian konsep politik yang dibuat oleh Swartz, Turner, dan Tuden yang dibuat

dalam

buku Political Anthropology (1966), yang menggunakan pendekatan proses. Menurut mereka politik adalah proses-proses yang terlibat dalam menentukan dan melaksanakan tujuan-tujuan yang ingin dicapai oleh umum (publik) dan

23

Easton (1959) mengatakan bahwa antropologi politik sebenarnya tidak betul-betul ada karena para ahlinya telah gagal untuk memperlihatkan batas-batas yang membedakan antara sistem politik dari subsistem-subsistem lainnya yang ada dalam masyarakat. Pandangan ini dibantah oleh oleh para antropolog politik seperti Bailey, Cohen dan Southall. Menurut mereka, politik tidak dapat dianalisa secara terpisah dari kekerabatan, agama, perkumpulan-perkumpulan usia, marga, suku bangsa dan lain-lainnya. Lih, Suparlan dalam Balandier, 1986. Hal.vi.

21

pelaksanaan dari tujuan yang ingin dicapai oleh umum tersebut, dan berbagai hasil yang telah dicapai serta penggunaan dari kekuasaan untuk mencapainya oleh anggota-anggota masyarakat yang memunyai kepentingan dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai tersebut. Dengan singkat sebenarnya politik dapat didefinisikan sebagai persaingan kekuasaan dan cara-cara untuk mencapai dan menggunakan kekuasaan (Suparlan, ibid, viii). F.G Bailey (2001) menggunakan analogi dimana politik merupakan sebuah permainan (game). Menurutnya, permainan dalam dunia politik bertujuan untuk menghancurkan aturan main seseorang dan menetapkan aturan main yang benar-benar berbeda. Aturan main ini dimaksudkan untuk mengarahkan seseorang agar bertindak lebih efektif (Bailey, 2001:1). Menurut Bailey, aturan main ini terbagi dalam dua. Pertama adalah normatif dan yang kedua adalah pragmatis. Peraturan yang normatif digunakan untuk melihat apakah suatu tindakan yang diambil benar atau salah sedang peraturan yang pragmatis lebih untuk melihat keefektifan suatu tindakan, terlepas apakah tindakan tersebut benar atau salah (ibid:4). Menurut Bailey, sistem politik dibangun dari struktur politik ditambah dengan keadaan lingkungan itu sendiri. Kehidupan suatu struktur politik ditentukan oleh kemampuannya untuk “beradaptasi” dengan keadaan lingkungan dengan memodifikasi diri atau berubah sama sekali. Proses adaptasi diri struktur politik tersebut disebut dengan maintenance atau dalam istilah Antropologi disebut dengan equilibrium. Dalam pandangan Leach, equilibrium atau keseimbangan sosial umumnya tidak dapat dipertahankan secara kekal, artinya kepaduan sosial tidak berlangsung lama dan tidak konstan. Kehidupan sosial selalu dalam keadaan fluktuatif, bahkan senantiasa bergeser atau terjadi oskilasi

22

secara terus menerus. Dengan kata lain menurut Leach, kehidupan sosial selalu dalam keadaan inkonsistensi. Adapun penyebabnya adalah kehidupan sosial itu memang tidak pernah stabil dan norma-norma sosial umumnya bersifat ambigu yang dilandasi oleh kepentingan-kepentingan yang berbeda-beda. Tidak pernah ada konformitas mutlak terhadap norma kebudayaan, karena sebenarnya norma itu sendiri hanya ada sebagai ketegangan dari kepentingan yang berkonflik dengan keanekaragaman sikap (Kuper, 1996). Dalam buku Stratagems and Spoils A Social Anthropology of Politics (2001), Bailey menjelaskan bahwa terdapat beberapa aturan main yang membentuk suatu struktur politik. Pertama adalah “hadiah” apa yang mereka dapatkan apabila mereka menang. “Hadiah” dalam hal ini sarat nilai secara kultural seperti penghormatan, kekuasaan atau tanggungjawab yang harus mereka pikul. Kedua, adanya anggota tim atau personil.

Ada tiga kategori personil: (1) komunitas

politik, (2) elit politik, dan (3) pendukung. Ketiga, kepemimpinan atau leadership. Dari dalam tim yang “bertanding” itu sendiri pemimpin adalah seseorang yang bertindak sebagai si pengambil keputusan dan penyelesai masalah sedangkan dari luar tim, tim lawan memandang pemimpin tim lain sebagai saingan yang didukung oleh pengikutnya serta sumber – sumber lain. Keempat adalah jalannya “pertandingan” itu sendiri hingga ditentukannya siapa yang menang dan siapa yang kalah. Dalam hal ini Bailey memperkenalkan tiga konsep penting untuk menganalisis jalannya pertandingan yaitu “subversi” (subversión), konfrontasi (confrontation) dan pertemuan (encounter). Subervsi adalah upaya menggeser kesetiaan dukungan politik yang mampu melahirkan potensi konfrontatif yang akan bermuara pada “pertemuan”, dimana masing-masing kontestan mampu

23

mengetahui tentang kekuatan relatif yang dimiliki pihak masing-masing. Kelima adalah adanya kontrol. Bangunan struktur politik diakui Bailey sangat rentan, terutama dalam hal rekrutmen dan penggalangan dukungan. Personil yang gagal melakukan rekrutmen dukungan berpotensi melanggar aturan main. Arena kemudian menjadi lapangan perkelahian (ibid: 30). Maka dibutuhkan ‘pihak berwenang’ (authorities) yang dinalogikan Bailey sebagai ‘wasit’, yaitu mereka yang memiliki peran mengontrol jalannya pertandingan atau terkadang para pemilik kekuatan mistis seperti ramalan, nubuat, wahyu, dsb dimana nilai – nilai yang membatasi dipegang dan dipertahankan. Otoritas ideal (ideal authorities) sangat dibutuhkan pada struktur politik semacam ini. Otoritas ideal senantiasa memiliki dua karakteristik utama, yaitu netral dan punya kekuatan untuk ditaati para personil (ibid: 32). Terkadang ‘wasit’ berada dalam posisi ambigu dan cenderung bertindak kurang tegas terhadap salah satu personil. Untuk itu ia tidak pernah bisa memenangkan hadiah, meskipun dalam politik ‘wasit’ kadang mampu meraih ‘hadiah’ dengan caranya sendiri (ibid: 32). Lima bagian yang membentuk stuktur politik diatas akan diorientasikan untuk menganalisa temuan penelitian saya di Malang. Hal ini berguna untuk melihat bagaimana kehidupan “struktur politik” orang-orang perantauan khususnya pendatang Madura di Malang mampu terbentuk dan beradaptasi dengan kehidupan politik kota Malang. Adaptasi dan proses tercapainya “keseimbangan” atau lebih tepatnya “kesalingtergantungan” politik warga pendatang dengan kehidupan politik di wilayah yang relatif berbeda secara sosial dan budaya terbentuk secara konfiguratif, saling “tawar-menawar” dan tidak konstan. Dalam realitas di lapangan politik pemilihan walikota/wakil walikota

24

Malang, struktur politik tersebut terbentuk dari berbagai preferensi budaya politik orang Madura yang juga tidak selalu berjalan konsisten. Tekanan kehidupan baru di wilayah perkotaan dan situasi politik yang tidak berpihak pada kepentingan jangka panjang mereka turut mempengaruhi situasi tersebut. Pandangan Bailey mengenai permainan (game) dalam politik juga akan digunakan untuk memperkuat daya analitis dari hasil penelitian ini, terutama menyangkut operasionalisasi “permainan normatif” dan “permainan pragmatis” yang terjadi selama berlangsungnya episode politik pemilihan walikota/wakil walikota Malang tahun 2013. 1.6 Metode dan Jalannya Penelitian Sebelum melakukan penelitian formal selama kurang lebih 4 bulan di Malang (Maret-Juni 2013), saya sedikit banyak mengerti situasi sosial, ekonomi dan politik di Kota Malang, khususnya yang menyangkut keberadaan orang-orang Madura yang ada Kota Malang, karena sejak 2005 hingga 2010 saya belajar di salah satu perguruan tinggi yang ada di Kota Malang. Memori sosial saya selama beberapa tahun berada di Malang kemudian banyak membantu saya dalam melakukan penelitian mengenai dinamika perantau Madura di Kota Malang. Kemampuan bahasa lokal, pengetahuan kultural, dan kenalan dengan beberapa tokoh lokal Madura adalah modal berharga dalam meniti karir kepenelitian saya di lapangan, meski dengan durasi amat pendek. Selama penelitian di Kotamadu, saya menginap di rumah Cak Munadi, seorang juru parkir yang saya kenal dan akrabi sejak tahun 2008. Melalui jasa Cak Munadi inilah, saya mendapatkan informasi mengenai tokoh-tokoh yang harus saya temui, terutama berkaitan dengan keterlibatan orang-orang Madura di Kotamadu dalam tradisi politik di Kota

25

Malang. Khusus untuk Cak Munadi–yang juga menjadi informan penelitian–saya berusaha menjelaskan latar belakang penelitian saya secara utuh sesuai prinsip etika penelitian (Spradley, 2006:51-59), tetapi tidak semua informan saya jelaskan, tentu dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu24. Data-data yang saya kumpulkan umumnya bersifat kualitatif, seperti sifat, ciri dan perilaku orang Madura, kondisi sosial-ekonomi, gagasan dan norma yang dianut, peristiwa-peristiwa sosial, pandangan dan motivasi-motivasi dalam politik, karakter dan praktik-praktaik keberagamaan, interaksi sosial, bahasa, dll25 . Metode atau cara saya mengumpulkan data-data penelitian tersebut adalah melalui (a) kajian pustaka; (b) pengamatan; (c) pengamatan berpartisipasi (participant observation); (d) wawancara sambil lalu dan wawancara mendalam; dan (e) metode mendengarkan (Ahimsa-Putra, 2009:19). Dalam praktiknya, metode ini tidak berjalan secara hierarkis dan gradual, tetapi berlangsung secara tumpang tindih untuk saling melengkapi. Misalnya, pengamatan saya (terjadi secara tak langsung nan alamiah) mengenai keberadaan orang Madura sebagai kelompok etnis pendatang terbesar di Malang sudah saya dapati sejak lama, yang kemudian jadi modal berharga dalam pengamatan yang lebih ‘formal’yakni dalam penelitian kali ini. Untuk metode kajian pustaka, saya mendapati beberapa kepustakaan 24

Misalnya mengenai pertimbangan informed consent (persetujuan informan) yang menurut Davies (1999:51) juga harus berdasar pada pemahaman dan bebas dari paksaan serta keamanan dan kenyamanan informan, khususnya menyangkut persoalan confidentiality (kerahasiaan). Khusus hal ini, saya kerap mendapat previlege yang teramat istimewa sekaligus mengabaikan prinsip etika penelitian tersebut. Modal kultural saya sebagai orang Madura cukup untuk membuat para informan untuk tidak menganggap saya sebagai ‘orang luar’. Selain itu saya kerap mengalami problematika dalam menjelaskan kepentingan akademis saya pada informan yang kurang mengetahui perkembangan di dunia pendidikan. Tentu ini saya nikmati tidak dalam konteks siapa yang lebih tinggi tingkat pendidikannya?. Pertimbangan lain adalah untuk mendapatkan kekomprehensian data sesuai dengan derajat kebutuhannya tanpa melanggar etika penelitian yang teramat prinsip. 25 Periksa jenis-jenis data kualitatif dalam Ahimsa-Putra. Paradigma Ilmu Sosial-Budaya; Sebuah Pandangan. Makalah dalam kuliah umum ”Paradigma Penelitian Ilmu-Ilmu Humaniora” diselenggarakan oleh Program Studi Linguistik, Sekolah Pascasarjana, Universitas Pendidikan Indonesia, di Bandung, 7 Desember 2009, hal.18.

26

berharga, khususnya yang studi-studi yang membahas tema-tema tentang Madura, seperti Ismani (1978), Jonge (1989a; 1989b; 2004; 2011), Husson (1997), Rifai (2007), Rozaki (2004), Wiyata (2006) dan Fathony (2009) serta kepustakaan lain yang dibutukan dalam memperkaya khazanah penulisan laporan penelitian ini. Dalam rangkaian penelitian selama 4 bulan tersebut, saya melakukan pengamatan, pengamatan berpartisipasi,wawancara (mendalam dan sambil lalu) tanpa

plot

khusus

pada

satu

metode

saja,

pengecualian

pada

momentum-momentum tertentu. Artinya kadang dilakukan bersama-sama bahkan terkesan tumpang tindih. Misalnya saya melakukan pengamatan mengenai kondisi sosial-ekonomi warga Madura di Kotamadu seperti Pasar Balenan sambil lalu mewawancarai para pedagang yang notabene orang Madura. Di pasar-pasar tersebut, jenis perdagangan yang mereka transaksikan adalah sayuran, ikan, pernak-pernik, penjaja rokok, dll. Pengamatan ini akan saya selingi dengan upaya memperkenalkan diri, mengobrol ringan seputar kapan dan apa motivasi mereka merantau ke Malang dan sebagainya. Pengamatan berpartisipasi dan wawancara juga saya lakukan misalnya ketika kampanye terbuka salah satu calon Walikota-Wakil Walikota Malang di Lapangan Kecamatan Kedungkandang. Saya ikut tenggelam dalam hiruk pikuk warga yang berduyun-duyun mendatangi lokasi kampanye. Selama seharian mereka rela menunggu dan tidak bekerja. Sama sekali tidak terlihat antusiasme warga yang ingin mendengarkan visi-misi kandidat calon Walikota dan Wakil Walikota Malang. Warga hanya termotivasi dengan iming-iming hadiah umrah dan sejumlah sepeda motor serta peralatan rumah tangga lainnya. Contoh lain dari metode pengamatan dan mendengarkan, misalnya ketika saya (diijinkan) mengikuti salah satu ‘rapat terbatas’antara perwakilan para

27

blatér dengan salah satu kandidat wakil wali kota Malang. Saya meleburkan diri dalam rombongan para blatér yang notabene adalah tim sukses calon Wakil Walikota tersebut, tanpa diperkenalkan identitas diri saya dan atas kepentingan apa saya berada disana. Klik pribadi dengan salah satu blatér sudah saya jalin sebelumnya. Beberapa angle menarik dari laku politik para blatér saya temukan disitu. Misalnya adegan cium tangan salah satu blatér kepada sang calon wakil walikota, yang menurut saya sarat makna simbolik. Gambaran metode dan jalannya penelitian diatas menuntut seorang antropolog untuk menemukan aspek elan vital dari observasi partisipasi dan wawancara mendalam dengan cara berpartispasi dalam kehidupan sehari-hari para informan dan berusaha mendapatkan pemahaman selengkap mungkin dari makna budaya dan struktur sosial kelompok dan bagaimana ia saling terkait satu sama lain (Davies, 1999:67). 1.7 Sistematika Penulisan Laporan penelitian ini dibagi dalam lima (5) bagian (bab). Bab Satu (I) adalah Pendahuluaan yang berisi tujuh (7) sub-bab, yaitu (1) Latar Belakang; (2) Masalah Penelitian; (3) Ruang Lingkup, Fokus dan Tujuan Penelitian; (4) Kajian Pustaka; (5) Orientasi Teoritik; (6) Metode dan Jalannya Penelitian; dan (7) Sistematika Penulisan. Bab Dua (II) laporan penelitian berisi mengenai gambaran umum perantau Madura yang ada di Kota Malang, yang diberi judul “Orang Madura di Kota Malang; Sebuah Telaah Awal”. Bab Dua ini terdiri dari empat (4) sub-bab, yaitu (1) Pekerja dan Pelajar : Dua Potret Asimetris Pendatang Madura di Kota Malang; (2) Kotamadu dan Sketsa ‘Kampung’ Madura; (3) Gambaran Keluarga Madura di Kotamadu; dan (4) Orang Madura dan Budaya Pasar.

28

Bab Tiga dan Bab Empat adalah inti tulisan yang berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini. Bab Tiga (III) berjudul “Jagat Politik Orang Madura di Perantauan” terdiri dari tiga (3) sub-bab yaitu (1) Agama dan Budaya Politik Orang Madura; (2) Politik Orèng Kènè’; dan (3) Inklinasi “Mendua” dalam Politik. Sementara Bab Empat (IV) berjudul“Orang Madura dalam Dinamika Politik Kota Malang” terdiri dari lima (5) sub-bab yaitu: (1) Gambaran Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Malang Tahun 2013; (2) Ziarah Wali; (3) Politik Uang; (4) Elit Lokal di Kotamadu dan Kekuasaannya; dan (5) Analisis Antropologi Politik. Pada sub-bab ini terdapat pembahasan mengenai analisis struktur politik di Kotamadu yang terdiri dari: hadiah dan nilai-nilai (prizes and values), anggota tim (personnel), kepemimpinan (leadership), jalannya pertandingan (competition) dan kontrol (control). Laporan ini ditutup dengan Bab Lima (V) sebagai kesimpulan dan sebuah uraian reflektif atas “perubahan” politik yang terjadi di Kota Malang.

29

Peta Kecamatan Kedungkandang

Foto : BPS Kota Malang 2012

30