PERANAN MIKROFLORA RONGGA MULUT PADA KELAINAN/PENYAKIT ORGANORGAN BIBIR, MUKOSA MULUT, LIDAH, PALATUM, FARING DAN LARING
1. Pengantar umum tentang infeksi Infeksi adalah suatu kondisi yang menyebabkan/memungkinkan mikroorganisme patogenik menetap pada jaringan organisme pejamu. Ada beberapa macam infeksi, yaitu: a. Infeksi primer b. Infeksi sekunder c. Infeksi local d. Infeki fokal e. Infeksi silang f.
Infeksi nosokomial
g. Superinfeksi Mikroorganisme/organisme patogenik yang dapat menyebabkan infeksi antara lain bakteri, virus dan jamur. Virus dapat digolongkan menurut materi genetiknya, yaitu virus RNA dan virus DNA. Berdasarkan multiplikasinya, virus dapat jugs diklasifikasikan sebagai virus DNA, virus RNA, retrovirus dan virus onkogenik. Tahapan replikasi virus adalah: 1. adsorbsi 2. penetrasi 3. penelanjangan 4. sintesis protein virus 5. sintesis asam nukleat virus 6. perakitan 7. pelepasan, meliputo dua tahap, yaitu budding dan lisis.
Universitas Gadjah Mada
1
Tahapan-tahapan replikasi virus dapat digambarkan sebagai berikut:
Universitas Gadjah Mada
2
PERUBAHAN PATOLOGIS PADA MUKOSA ORAL (perubahan mikroskopis)
EPITEL
1. hiperkeratosis 2. parakeratosis 3. akantosis 4. spongiosis 5. degenerasi hidropik 6. akantolisis 7. perluasan dari rate ridges 8. hiperplasia 9. diskeratosis 10. nekrosis 11. ulserasi JARINGAN IKAT
1. infiltrasi sel-sel inflamatori 2. hiperplasia 3. degenerasi jaringan ikat 4. vaskularitas 5. perubahan kelenjar mucus
Universitas Gadjah Mada
3
ISTILAH-ISTILAH DALAM HISTOPATOLOGI
atrofi
hiperplasia
hipertrofi
anaplasia
displasia
drop-shaped rete ridges
irregular epithelia stratification
keratinisasi
hilangnya hubungan interselular
hilangnya polaritas
nuclei hiperkromatik
naiknya rasio nucleus-sitoplasmik
anisositotis/anisonukleosis
sel/nuclei pleomorfik
mitosis
posisi mitosis
mitosis yang abnormal : - ortokeratinisasi
parakeratinisasi akantolisis
Universitas Gadjah Mada
4
2. Peranan bakteri, fungi, clamydia, virus, parasit pada kelainan/penyakit organorgan bibir, mukosa mulut, lidah, palatum, faring dan laring
Gangguan-gangguan yang dapat terjadi pada rongga mulut disebabkan oleh bermacam-macam mikroorganisme termasuk bakteria, riketsial, klamidial, viral, mikotik ataupun protozoa. Penyebaran materi penyakit dapat berlangsung pada waktu pemeriksaan awal ataupun selama proses perawatan kedokteran gigi seperti bedah, restorasi ataupun perawatan kesehatan mulut rutin dari pasien. Mikroorganisme yang berperanan pada kelainan/penyakit organ-organ bibir, mukosa mulut, lidah, palatum, faring dan laring adalah: Golongan bakteri:
1.
Corynebacterium diphtheriae. Bakteri ini adalah penyebab penyakit diphteria .
Diptheria adalah penyakit menular, infeksi akut yang ditemukan pada anak-anak dan hanya ditemukan pada dewasa di waktu musim dingin. Klebs-Loeffer bacillus- Corynebacterium diphtheriae makin bertambah saat memasuki saluran pemapasan bagian atas. Biasanya ditularkan melalui "droplet" yang terinfeksi atau kontak langsung. Aspek di mulut adalah bercak "diptheritic membrane dimulai dari tonsil dan kadang-kadang membesar menutupi seluruh permukaan palatum. Sudah ditemukan/diobservasi pada sisi mukosa bukal gigi yang barn tumbuh. Sisi palatum yang lunak ada kemungkinan benar-benar lumpuh. Bila infeksi menyebar, maka laring akan dapat tertutup oleh "pseudo-membrane". Bagian tersebut akan membiru (odematus) yang akan menyumbat mekanisme pernafasan dan akibatnya pasien akan mati lemas.
2.
Mycobacterium tuberculosis. Bakteri ini menyebabkan penyakit tuberkulosis.
Penyakit ini berawal dari bagian paru-paru., tetapi luka akibat tbc dapat terjadi di daerah rongga mulut. Biasanya ditemukan pada daerah dasar lidah dan ditemukan saat autopsi. Dokter gigi dapat tertular oleh penyakit ini dan biasanya akan terjadi luka pada jari tangan dapat hanya permukaan saja ataupun lukanya dalam tetapi dengan rasa sakit seperti kalau terjadi sakit pada ulser (=udun). Sangat mudah terjadi kesalahan diagnosa klinis antara bentuk ulser atau.bahkan carcinoma. Histopatologi: Secara mikroskopis lesi dari TB ini berbentuk inflamasi granulomatous dengan tepi ulsemya menggantung secara berlebihan. Beberapa granuloma mengandung adanya "Langenhans giant cell".
3. Mycobacterium leprae. Bakteri ini menyebabkan penyakit infeksi kronis yang disebut Leprosy (Hansen's disease). Penyakit ini diketahui sedikit menular. Sebelumnya mencapai proporsi epidemik tetapi sekarang hanya endemik saja di bagian di dunia ini. Luka mulut terdiri atas tumor yang kecil seperti hanya benjolan yang disebut lepromas, yang berkembang dibagian atas lidah, bibir ataupun palatum. Selebihnya hiperplasi gingiva dapat Universitas Gadjah Mada
5
terjadi dengan terlepasnya gigi geligi. Histopatologi: Inflamasi granulomatous dimana makrophage dengan multinucleated giants cells sangat dominant. Acid fast bacilli dapat ditemukan diantara makrophage dan paling bagus dengan pengecatan Fite.
4. Bacillus anthracis. Bakteri ini menyebabkan penyakit antrax. Penyakit ini secara esensial merupakan penyakit pada hewan sapi dan domba, tapi dapat mengenai manusia melalui kontak langsung dengan hewan. Spesies bakteri ini mempunyai spora yang sangat resisten dan dapat hidup didalam tanah selama beberapa tahun. Spora tersebut memasuki tubuh melalui mulut ataupun lewat mukosa usus atau bahkan melalui pernafasan. Masa inkubasi sangat pendek, sehari atau dua hari dan penyakit keras ini mengakibatkan kefatalan pada domba atau sapi dalam satu atau dua jam atau tidak lebih dari sehari. Penularan pada daerah mulut bisa terjadi karena penggunaan sikat gigi yang tidak steril yang terbentuk oleh luka lepuhan yang sudah terkontaminasi oleh spora antrax. Pada beberapa kasus, bagian palatum yang keras terinfeksi menyebabkan bengkak dan mengeluarkan buih. Pasien menjadi demam dan daerah yang terkena akan mengalami odematous dimana palatum dan tulang alveolus menjadi rusak / terganggu. Pada kasus ini gigi-geligi akan tumbuh diluar Batas tanpa dukungan tulang.
5.
Francisela tularensis. Spesies ini menyebabkan penyakit tularemia (rabbit fever).
Penyakit ini menular terutama melalui kontak langsung dengan kelinci liar, tupai dan binatang lain yang sering diajak bermain. Luka mulut tampak sebagai ulser yang nekrotik dari mukosa atau pharing disertai rasa sakit yang sangat. Lympadenitis sebagian terjadi di daerah bawah RA dan cervical nodes.
6.
Pseudomonas pseudomallei. Penyakit yang disebabkan oleh bakteri ini adalah
meliodosis. Pasien yang akut akan mengalami perkembangan penyakit ini dengan tandatanda demam tinggi, diare, dan hemoptysis. Pada kasus yang kronis akan ditandai oleh nonspesific abses pada lymph nodes atau tulang-tulang yang sering diikuti dengan drainase dari sinus tract yang melibatkan cervicofacial area. Penyakit ini bisa ditularkan ke manusia melalui rat flea dan nyamuk.
7.
Streptococcus beta hemoliticus. Bakteri ini menyebabkan penyakit yang disebut
sebagai scarlatina, penyakit yang terjadi awalnya pada anak-anak dimusim dingin. Spesies bakteri ini mampu menghasilkan erythrogenic toxin. Sesudah kontak awal diikuti masa inkubasi 3-5 hari lalu adanya pembesaran nodes limphaticus cervicalis. Manifestasi pada mulut dikenal dengan istilah "stomatitis scarlatina". Bagian palatum bisa kongesti dengan tenggorokan kemerahan. Awal penyakit ini ditandai dengan lidah yang terlapisi oleh jamur bewarna putih. Secara klinis kits sebut "strawbery tongoe", tetapi lapisan penutup ini akan cepat hilang dan organ akan menjadi merah sekali dan tampak mengkilat (glistening) dan halus. Pada beberapa kasus, bagian mukosa bukal dan palatum memperlihatkan ulserasi tetapi pada kasus yang biasa dalam 7-10 hari lidah akan kembali normal. Universitas Gadjah Mada
6
9. Gonococcus. Penyakit yang ditimbulkan adalah gonorrhea Penyakit ini termasuk penyakit kelamin yang dapat melibatkan prig dan wanita. Infeksi extra genital dapat terjadi didalam mulut tetapi jarang terjadi. Lesi dalam mulut biasanya nampak dan muncul seiring dengan perkembangan penyakit pada alat kelaminnya, tetapi dapat juga sesudah "primary lession", beberapa bulan sampai beberapa tahun sesudahnya. Stomatitis yang timbul dari penyakit ini tampak hampir sama dengan kasus pada herpetic stomatitis. 10. Donovania granulomatis. Granuloma venereum (granuloma inguinale) adalah infeksi kronis disebabkan oleh bakteri tersebut. Meskipun masih tergolong penyakit kelamin, tetapi tidak terlalu membahayakan. Walau begitu luka akan terjadi pada bibir, mukosa bukal dan palatum. Secara klinis penyakit ini tampak bervariasi dan dibagi dalam 3 tipe: Ulcerative, exuberant dan cicatrical. Pada kasus selanjutnya akan terbentuk scar atau jaringan parut dan mungkin bisa meluas sehingga membatasi pembukaan mulut, sehingga perlu adanya pembedahan. 11. Treponema pallidum. Spesies ini tergolong dalam bakteri spirocheta. Penyakit yang ditimbulkan adalah SYPHILIS. Syphilis adalah penyakit yang sudah berabad-abad dengan
bermacam-macam
gambaran
klinis.
Menurut
cara
terjangkitnya,
syphilis
diklasifikasikan sebagai squired atau kongenital. Lesi pada tahap awal terjadi pada sisi inokulasi pada penis atau vulva atau cervic (putri). Bagaimanapun juga pasti akan terjadi juga pada bibir, iidah, palatum atau gusi bahkan tonsil. Pada kenyataannya luka yang terjadi akibat proporsi yang berlebihan dari extragenital terjadi disekitar mulut. ini terjadi iangsung akibat perpindahan dari Treponema palidum dari atau ke mulut. Penularan melalui ciuman, gigitan, kontak langsung meialui alat-alat minum, alat-alat makan bahkan bekas bibir di alatalat musik maupun instrument kedokteran gigi. Mulut merupakan bagian utama dari infeksi mikroorganisme penyebabnya dan sebagai sumber diseminasi. Pada tahap berikutnya sesudah 6 minggu iesi oral tampak sebagai bercak mukus yang sangat banyak bewama abu keputihan (plaknya) dan semua tidak terasa sakit. Shypilis yang menurun ditemukan pada bayi dari ibu yang terinfeksi. Saat ini kasus tersebut jarang terjadi tetapi gambarannya untuk membedakan seperti lengkung palatum yang sangat tinggi, molar berbentuk muibery dan hypoplasia dari gigi incisivus dengan bentuk seperti sekrup. Histopatologi: Reaksi dari jaringan tersusun oleh proliferasi endarteritis, infiltrasi plasma sel dan proliferasi sel-sel endotel. Sel plasma bersama dengan limfosit dan makrofag akan infiitrasi pada daerah perivascular. Dengan menggunakan pengecatan khusus yaitu Warthinstarry stain maka spirochetes akan tampak.
Universitas Gadjah Mada
7
12. Klebsiela rhinoscieromatis. Spesies bakteri ini menyebabkan infeksi kronis yang disebut rhinoseleroma. Lesi terjadi di bagian pernafasan bagian atas tetapi bisa juga terjadi pada kulit, mata, telinga. Pada mulut tampak sebagai "proliferative granulomas " Rickettsia akari. Bakteri ini menyebabkan Rickettsialpox, penyakit dengan bintikbintik merah yang menyebar hampir seluruh badan. Bakteri ini berbentuk diplobacillus yang menyerupai streptococci. Lesi utama muncul pada sisi gigitan dari seekor tungau. Reaksi umum yang muncul adalah demam, mengiggil dan berkeringat dengan luka di tenggorokkan disertai sakit pada otot-otot. Dalam tempo seminggu bintik-bintik akan muncul yang berbentuk maculopapular dan erythematous. Lesi pada mulut akan muncul yang kadangkadang disertai vesikel yang bersifat sementara dan kadang pada lidah dan palatum.
Clamidia Mikroorganisme ini menyebabkan lymphogranuloma venereum (LGY). Infeksi ini akan mengakibatkan lesi granulomatous yang kronik, ditularkan melalui hubungan sex dan mengakibatkan gelembung pada slat kelamin. Manifestasi oral terjadi pada hubungan sex yang tidak normal dengan penderita. Bibir, pipi, lidah dan dasar mulut serta mukosa juga palatum lunak maka akan terkena. Ketika lidah terkena infeksi, sakitnya berkurang tetapi timbul gelembung. Golongan virus 1. Herpes. Penyakit yang sering timbul adalah herpes simplex, infeksi akut yang sering disebut "cold sores". Beberapa lesi herpes yang muncul dimulut lebih sering disebut herpetic stomatitis. Terjadi sering pada anak-anak dan dewasa. Gejala awal adalah demam, iritasi, sakit kepala, nyeri dan sakit waktu menelan. Dalam beberapa hari mulut menjadi sakit sekali, peradangan gusi dan kemungkinan bibir, palatum, mukosa bukal, lidah dan tonsil juga menjadi sakit. Selanjutnya gelembung akan bewarna kekuningan. Penyembuhan secara spontan dalam tempo 1-2 minggu tanpa meninggalkan luka parut. Histopatologi: Pengenalan dini untuk mengetahui lesi ini adalah adanya bentuk gelembung pada epitel superfisial. Gelembung cair ini ditandai dengan tersusunnya beberapa set viral yang rusak, selebihnya tampak pada dasar vesikel. Dengan pecahnya vesikel, timbul tahap preulcerative yang epitelnya utuh tetapi terinfeksi dan sangat tebal. Sel yang terinfeksi menunjukkan sifat kharakteristik dengan degenerasi seperti baton dan syncitial giant cel dapat ditemukan pada smears.
2. Streptococcus alpha hemoliticus. Penyakit yang ditimbulkan adalah Recurrent apthous ulcer (RAU) atau canker sore. Streptococcus sanguis ini secara konsisten diisolasi dari berbagai macam lesi, sedangkan herpes virus tidak ditemukan pada ulser ini. Universitas Gadjah Mada
8
Ulser ini dapat muncul sendirian atau beberapa pada permukaan, membuat rasa sakit yang sangat dan mengakibatkan menurunnya nafsu makan untuk beberapa hari. Secara ktinis tidak terbentuk vesikel . HP: Epitel tampak rusak dengan adanya infiltrasi dari leucocytes. Pada lesi yang berkembang tampak ditutupi exudat fibrinous dan infiltrasi dari neutrophil yang tebal pada bagian atas, lebih dalam lagi sel mononuclear dapat mendominasi. Secara keseturuhan gambaran histologi sangat tidak cukup spesifik untuk diag nosa.
3. Behcet's syndrome, Secara ktinis dan histologi sulit dibedakan dengan umumnya jenis apthae tetapi hubungan antara penyakit ini tidak diketahui. Beberapa pasien dengan oral apthae bisa dan menjadi calon penderita syndormome ini. DUK paling tidak jarang terjadi. Bagaimanapun juga syndrome ini berbeda dengan apthae yang umum terjadi tidak hanya karena multi systemic tetapi juga dengan di dominasi pada pemuda-pemuda. Juga secara jelas dibedakan dengan secara geograpis variasi pada prevalensinya. Penyakit ini contohnya secara jelas mengenai sebagian penduduk Jepang. Prognosa untuk penglihatan semakin jelek ketika didapat lesi okuler dan relatif terjadi angka kematian yang sangat tinggi bila sudah melibatkan sytem syaraf. REITER'S SYNDROME, ini juga tidak diketahui penyebabnya dan sudah terimplikasi oleh PPLO (Pleuromonia-like organisms). Lesi oral terjadi mencapai 0.5 dari penderita penyakit ini. Rasa sakit tidak begitu, tetapi tampak merah, elevasi dan granulasi atau vesikuler terbentuk. Lesi pada lidah menyerupai peta/geographic. Secara klinis tampak menyerupai lesi yang terjadi pada penis. HERPANGINA, specifik penyakit virus dan ditimbulkan oleh coxcacki group A viruses. Secara klinis tampak berukuran sedang sampai pendek dan dimulai dengan rasa panas, sakit kepala dan sore throat. Pasien dengan cepat akan menampakkan lesi dengan vesikuler yang tipis dengan areola merah didasari warna abu-abu. Semuanya itu terjadi pada palatum lunak, uvula atau lidah. Biasanya berlangsung pada musim panas dan sifatnya terbatas dan terjadi pada anak-anak. GERMAN MEASLES (Rubeola), Penyakit epidemik yang menular dan systemik, terutama menyerang anak-anak, masa inkubasi 8-10 hari dengan demam, batuk, photophobia dan munculnya lesi-lesi pada kulit dan oral mukosa berukuran kecil, dan merah. Gejala tersebut muncul dalam 1-2 hari, dan bercak-bercak ini disebut Koplik's spot. HP: Mengakibatkan epitel sel yang sering menjadi nekrosis dan terletak /terbaring pada epidermis yang terinflamasi yang mengandung pembuluh darah yang terdilatasi. Lympocyt ditemukan pada penyebaran perivaskuler. Pada jaringan lympoid karakteristik ditandai dengan makrophage yang multi nucleated yang disebut Wathin Finkeldey giant cells (GB. 1-16) Universitas Gadjah Mada
9
CHICKEN PDX (VARICELLA), ini biasanya terjadi pada anak-anak pada waktu musim dingin dan semi. Masa inkubasi sekitar 2 minggu. Menyerupai smallpos yang sedang, dan gejala awal adalah sakit kepala dan kehilangan nafsu makan diikuti oleh keluarnya vesikel pada kulit. Di dalam mulut akan dijumpai banyak aphtae lesi pada mukosa bukal dan palatum. Penyakit ini berlangsung 710 hari.
HERPES ZOSTER, adalah penyakit menular juga disebabkan oleh virus yang sama seperti chicken pox. Lebih banyak dijumpai pada dewasa yang sudah berkontak dengan anak-anak yang sedang menderita chickenpox. Ini sangat sakit dan tidak dapat diantisipasi. Muncul vesikel-vesikel pada kulit dan mucosa membran dimana disuplai oleh syaraf yang terkena. Di dalam mulut tampak lesi kelihatan biasa tetapi sangat sakit, bisa muncul di Iidah, bukal mucosa dan uvula dan bisa juga muka akan terkena melalui nervus trigeminal. Mumps (parotitis epidemik) adalah infeksi yang menular dapat menunjukkan unilateral atau bilateral pembengkaan dari glandula salivarius. Biasanya melibatkan parotis, tetapi bisa juga submaxilaris dan sublingual glands. Secara klinis ditandai dengan sakit kepala, menggigil, demam, mutah dan rasa sakit yang khas di telinga. Virus ada di droplet dari penderita dan penyebaran kontaminasi merupakan hal yang harus diperhatikan oleh drg. Secara khas akan ditandai dengan perubahan serologi. Bahan-bahan pelengkap antibodinya ke S antigen dibuat awal di penyakit ini tetapi tidak bertahan, sedangkan untuk antigen V menetap. HP: Gb. 14. 1
Cytomegalic inclusion diseases (salivary gland virus disease) adalah infeksi yang ditemukan pada pasien dibawah umur 2 tahun tetapi dapat jugs ditemukan pada dewasa. lnfeksi bersifat kongenital menghasilkan penghentian dari distensi pembuluh sel glandula salivarius sebagai bentuk hasil dari benda-benda inclusi yang luar biasa. (GB 14.2) Foot and mouth disease, ini disebabkan oleh infeksi virus yang jarang terjadi pada manusia. Penularan melalui domba maupun sapi, inipun jarang terjadi tetapi akan berefek pada manusia yang merawat binatang tersebut atau minum susunya. Gejala adalah demam, mutah, nausea, lemas dan timbul lesi pada mukosa bukal dan pharing yang dapat pula terjadi di bibir, lidah dan palatum. Hand, foot and mouth disease, adalah infeksi yang bersifat epidemik disebabkan oleh coxsackie enterovirus. Tidak ada hubungannya dengan penyakit tersebut di atas. lni terjadi pada usia sampai 5 tahun. Ada maculopapular lesi vesicular dari kulit di tangan, kaki dan paha, tetapi mukosa mulut menjadi sakit (lika) yang mana pasien tidak dapat makan.
Universitas Gadjah Mada
10
Pada mulut akan dijumpai vesikel ulserative yang terjadi di palatum keras, lidah dan buccal mukosal.
HIV infection and AIDS, AIDS disebabkan oleh retrovirus HIV tipe 1. Cara penularan melaului hubungan sex terutama dari penderita homosexual, dan sekarang dapat terjadi pada heterosexual, juga melalui transfusi darah, dari ibu penderita AIDS dan alat-alat yang terkontaminasi oleh virus tersebut. Virus tersebut langsung mengakibatkan infeksi pada lympocytes menekan jumlah T-helper atau CD4 sel dan mengembalikan ke suppressor (CD 8). Antibodi terhadap HIV akan terdektesi pada hampir semua pasien tetapi jarang antibodi tidak dapat tampak sampai 3 tahun setelah terinfeksi atau menghilang dari darah pada kasus yang terlambat. Antigen viral seperti p24 dapat di deteksi dari darah dan provirus DNA dalam lympocyt dapat di deteksi dengan PCR.
GAMBARAN MULUT PENDERITA AIDS Candidosis Viral infections: herpes stomatitis, herpes zoster, cytomegalovirus, papilomavirus Bacterial infections Klebsiella pneumoniae, Enterobacter cloacae dan E. soli Deepmycoses; histiplasmosisakan menaikkan proliverative atau lesi ulserative Hairy leukoplakia Tumours : malignant tumor biasanya Kaposi's sarcoma atau non-Hodgkin lympoma. FUNGAL DISEASES ACTINOMYCOSIS, pada tahun terakhir penelitian menunjukkan sekitar 12 kasus per kwartal terjadi di UK. Actinomyces israelii adalah penyebab utama tetapi species yang lain dapat juga seperti: Rothia, Arachnia dan Bifidobacteria. Sebetulnya semua filamentus bakteria adalah normal di mulut, tetapi tidak jelas dengan cara apa (pembawa) organisme hingga bisa masuk menjadi penyakit. HP: koloni actinomyces berbentuk bulat dengan bulu lembut terhadap banyaknya filaments garam positif (Gb. 9.3). Koloni ini akan dikelilingi oleh neutrophils (gb.9.4 atas) dengan daerah luarnya mononuclear cell dan akhirnya lapisan terluar adalah dinding fibrous (Gb. 9.4 bawah). Pada kasus yang tidak dirawat maka infeksi Universitas Gadjah Mada
11
akan menyebar masuk ke jaringan dan bahkan akan membentuk honeycomb dari jaringan fibrous dan kronisnya harus membuang nanah (pus). HISTOPLASMOSIS, Histoplasma capsulatum dapat menyebabkan penyakit setempat atau penyakit umum, tetapi diperkirakan 95% kasus berupa subclinical. Gambaran klinis dalam bentuk pulmonary yang dapat sembuh tanpa symtoms atau fatal. Penyakit ini dapat menimbulkan lesi-lesi di mulut dan diduga akan berkembang 30-50% kasus dari penyakit yang tersebar. Nodular, granulomatous, proliferative dan ulcerative lesi sudah sering terjadi menjadi salah dengan tumor. HP: Lesi ada kemungkinan menyerupai degan TB dengan bentuk granuloma dan fokal dari epitel bersama dengan Langhan's type giant cell.lihat gambar 9. 10 PHYCOMYCOSIS
(Mucorymycosis,
zygomycosis),
disebabkan
oleh
Phycomycetes terutama Absidia. Mucor dan Rhizopus yang sangat um um tumbuh pada organik yang busuk dan yang sudah lama diperkirakan menjadi harmless. HP: Spora dimungkinkan terhirup dan sekali terinfeksi akan terbentuk dan panjang hypae dapat dikenali pada jaringan dengan bentuk yang tidak beraturan (3-20 urn) dan juga oleh dan seperti bentuk pita yang rusak (Gb. 9.11 bawah). Hypae biasanya tidak berseptae dengan rantinnya yang meruncing disebelah kanan. Ini bisa tampak dengan pengecatan haematocyclin dan eosin stained tetapi akan lebih tampak jelas dengan periodic acid-Schiff atau silver staining. Pada kultur menggunakan Sabouraud,s agar maka struktur seperti bentuk spora dan jenis jamur akan teridentifikasi. Infeksi oleh mikroorganisme ini secara khusus ditandai dengan adanya trombosis dan hemoragi dari pembuluh darah dan inflamasi serta jaringan necrosis. (Gb. 9.11 atas). CRYPTOCOCCOSIS, SPORA INI BIASANYA TERSEBARKAN OLEN BURUNG DAN INFEKSINYA SUBCLINICAL. Bagaimanapun jugs terutama sepertinya menjadi faktor sekunder terhadap immunosuppresive treatment dari AIDS, lympomas dan diabetus melitus. Oral lesi dilaporkan menjadi tidak umum dan makhimya merupakan komplikasi dari penyebaran penyakit. Tampak sebagai granular swelling, nekrotis besar atau ulser yang banyak tetapi kecil-kecil. HP: Karakteristik ditandai dengan lesi granulomatous dengan histiocytes, giant cells dan lympocytes yang mungkin mengelilingi daerah nekrosis. Bentuk dari mikroorganisme berbentuk sperikal atau ovoid spore dikelilingi oleh bentuk halo yang terbentuk oleh kapsul banyak gelatinous. BLASTOMYCOSIS, umur antara 40-60 adalah lebih banyak terinfeksi dan 25% pasien mempunyai lesi dari oral atau nasal mucosa. Pada waktu tertentu, oral lesi dapat menjadi tanda pertama untuk diagnosa tetapi sangat variasi dalam karaktemya, bisa ulserasi atau menyerupai actinomycosis. Biasanya daerah lymph nodes akan membesar.
Universitas Gadjah Mada
12
CANDIDOSIS, penyakit yang disebabkan oleh yeast seperti Candida albicans yang sebetulnya merupakan normal flora dalam mulut yang merupakan penyakit commensal. Untuk identifikasi mikroorganisme sangatlah mudah cukup dengan usapan langsung akan menunjukkan candidal hypae. HP: Plak dari trush nampak mengahasilkan invasi dari epitelium hypae candida dan adanya proliferasi epitel. Dengan pengecatan haematocylin dan eosin-stained akan tampak adanya plak epitel tebal yang lepas berada dibawah jaringan yang terinflamasi (Gb. 11.22). Sedangkan pengecatan dengan periodic acid fast Schiff (PAS) atau silver stains (GB. 11.23) akan menunjukkan banyaknya hypae yang tumbuh turun kebawah langsung pada plak yang mengalami parakeritinisasi tetapi tidak melebihi. Dengan EM maka pertumbuhan dari hypae candida tampak menjadi diantara cytoplasmic dan relative tegak lurus ke arah lapisan atas dari sel epital dan memotong batas-batas inerselular (Gb. 11.24). GEOTRICHOSIS, adalah penyakit lain yang hampir serupa dengan moniliasis meskipun penyebabnya adalah species dari Geotrichum. Lesi mulut tampak menyerupai pada trush tetapi lebih menampakkan bercak-bercak ketika menutupi mukosa mulut. SPOROTRICHOSIS, disebabkan oleh Sporotrichum shenkii. Masuknya jamur tidak diketahui secara jelas, tetapi ini terjadi setelah berkontak atau berdekatan dengan binatang liar ataupun dari beberapa duri tumbuhan. Umumnya terjadi di kulit, mulut nasal dan pharyngeal mukosa. Ulserasi dari mulut akan terjadi berhubungan dengan daerah lymphadenopaty. PERLECHE (angular stomatitis), lesi yang mempunyai beberapa faktor redesposisi seperti Candia albicans, staphylococcus dan streptococcus. Pada penderita dengan sudut mulut
yang
terlipat.
maka
konsekwensi
yang
umum
terjadi
adalah
adanya
kebocoran/mengalirnya saliva yang terinfeksi dan menimbulkan lesi sepanjang lipatan tersebut. Bisa diakibatkan pula oleh dentures, kekurangan zat besi.
Universitas Gadjah Mada
13
PARASITIC DISEASES Trichomoniasis
- Trichomonas hominis
Giardiasis
- Giardia lamblia
Leishmaniasis
- Lei, vhmania braziliensis
Cutaneus leishmaniasis
- L. tropica
Visceral leishmaniasis Trypanosomiasis
- Trypanosoma gambiense
Amebic dysentery
- Entamoeba histolytica
Trophozoite
- E. gingivalis
Toxoplasmosis
- Toxoplasma gondii
Universitas Gadjah Mada
14
Berikut ini gambaran kelainan-kelainan pada bibir, lidah dan palatum,
Universitas Gadjah Mada
15
3. Respon imunologik pada kelaian/penyakit organ-organ bibir, mukosa mulut, lidah, palatum, faring dan laving
Rongga mulut masih merupakan kesatuan dengan tubuh manusia, namun karena fungsi dan posisinya yang khusus, organisasi respon imun di dalam rongga mulut mempunyai karakteristik sendiri. Rongga mulut terus-menerus akan diagresi secara mekanik dan bakterial. Banyak faktor yang terlibat dalam organisasi respon imun di dalam rungga mulut terhadpa kuman patogen karena merupakan tempat masuk utama mikroorganisme. Faktor-faktor ini dapat dikelompokkan menjadi barier anatomi, fisiologi dan biokimiawi, serta pertahanan seluler dan imunitas humoral. Berbagai faktor ini merupakan faktor beberapa jaringan di dalam rongga mulut seperti membran mukosa, jaringan limfoid rongga mulut, kelenjar saliva, dan celah gingiva. Mukosa sangat berperan pada kesehatan di dalam rongga mulut karena pada keadaan normal, integritasnya berfungsi untuk menahan penetrasi mikroorganisme. Pertemuan antara gingiva dan gigi, merupakan daerah yang agak rawan di dalam rongga mulut. Namun daerah ini mempunyai perlekatan epitel ke gigi yang baik sehingga pada keadaan normal mikroorganisme tidak akan dapat masuk ke dalam membran periodontal. Daerah ini juga terdapat cairan celah gingiva (CCG) yang mengandung berbagai senyawa antimikroba. Walaupun saluran kelenjar saliva terbuka di dalam rongga mulut, tetapi saliva mengalir ke dalam rongga mulut sehingga mikroorganisme tidak mungkin masuk ke dalam kelenjar melawan arch aliran saliva. Selain sebagai pembersih, saliva juga mengandung berbagai senyawa antibakteri. Respon imun seluler dan humoral, lokal dan sistemik, spesifik dan tidak spesifik, juga ikut berperan dalam sistem imun di dalam rongga mulut. Dasar respon imun adalah kemampuannya membedakan antigen self dari antigen nonsell yang kemudian melakukan usaha eliminasi antigen asing dari tubuh. Di dalam rongga mulut, sistem imun berperan dalam berbagai kelainan, terutama kelainan yang disebabkan mikroorganisme. Namun, beberapa kelainan lain di dalam rongga mulut bisa juga disebabkan oleh imunodefisiensi, kelainan neoplastik, autoimun, atau reaksi tolakan. Pemahaman tentang sistem imun di dalam rongga mulut, balk pada keadaan normal maupun saat terjadi kelainan, diperlukan untuk penelitian, pencegahan, dan pengobatan.
Universitas Gadjah Mada
16
Sistem imunitas rongga mulut Organisasi sistem imunitas ronciga mulut 1. Membran mukosa Mukosa rongga mulut terdiri atas epitel skuamosa yang berguna sebagai barier mekanik terhadap infeksi. Mekanisme proteksinya, tergantung pada deskuamasinya sehingga bakteri sulit melekat pada sel epitel dan derajat keratinisasinya yang sangat efisien sebagai barier. Kedua hal ini harus dalam keadan seimbang. Keratinisasi palatum keras dan gingiva sangat balk, sedangkan keratinisasi epitel kantong gingiva dan permukaan gigi, dapat menurunkan kemungkinan penetrasi mikroorganisme (Roitt & Lehner, 1983). Kecepatan pertukaran sel epitel juga berpengaruh dalam mekanisme pertahanan di dalam rongga mulut (Carranza & Bulkacz, 1996). Membran basal epitel merupakan barier untuk menahan penetrasi mikrobial. Di dekat sini terdapat sel limfoid dan antibodi yang merupakan pertahanan berikutnya. Antigen mikrobial yang menembus epitel masuk ke lamina propria, akan difagositosis oleh sel Langerhans yang banyak terdapat di bawah mukosa mulut (Lehner, 1992).
2.
Nodus limfatik Jaringan lunak rongga mulut berhubungan dengan nodus limfatik ekstraoral dan
agregasi limfoid intraoral. Kapiler limfatik yang terdapat pada permukaan mukosa lidah, dasar mulut, palatum, pipi dan bibir, mirip yang berasal dari gingiva dan pulpa gigi. Kapiler ini bersatu membentuk pembuluh limfatik besar dan bergabung dengan pembuluh limfatik yang berasal dari bagian dalam otot lidah dan struktur lainnya. Di dalam rongga mulut terdapat tonsil palatal, lingual, dan faringeal, yang banyak mengandung sel-B dan sel-T (Lehner, 1992).
3.
Saliva Sekresi saliva merupakan perlindungan alamiah karena fungsinya memelihara
jaringan keras dan lunak rongga mulut agar tetap dalam keadaan fisiologik saliva yang disekresikan oleh kelenjar parotis, submadibularis, submaksilaris, dan beberapa kelenjar saliva kecil yang terbesar di bawah mukosa, berperan dalam membersihkan rongga mulut dari debris dan mikrooganisme, selain bertindak sebagai pelumas pada saat mengunyah dan berbicara (Lehner, 1992. Tenovuo & Lagerlof, 1994). Penurunan jumlah aliran saliva dapat meningkatkan frekuensi karies (McIntyre, 1998). Saliva melindungi rongga mulut dari kerusakan akibat perubahan pH melalui kemampuannya sebagai penyangga (Tenovuo & Lagerlof, 1994). Pada pH saliva yang rendah, mikroorganisme dapat berkembang dengan balk, sebaliknya pada pH tinggi dapat mencegah terjadinya karies (Newbrun, 1989). Penyangga utama saliva adalah sistem karbonat/bikarbonat, sedangkan yang lainnya adalah orotfosfat anorganik. Saliva jugs mengandung senyawa yang dapat meningkatkan pH seperti tetrapeptida sialin (glisin-glisinUniversitas Gadjah Mada
17
lisin-arginin) dan urea yang akan diubah oleh urease menjadi karbon dioksida dan amonia (Tenovuo & Lagerlof, 1994). Enzim yang normal ditemukan di dalam saliva berasal dari kelenjar saliva, bakteri, leukosit, dan jaringan rongga mulut. Enzim utamanya adalah amilase parotis, bila terjadi kelainan periodontal, beberapa enzim akan meningkat kadarnya, diantaranya hialuronidase, lipase, B—gluronidase, sulfatase khondroitin, dekarboksilase asam amino, katalase, peroksidase, dan kolagenase (Carranza & Bulkacz, 1996). Aksi saliva pada plak gigi melalui pembersihan mekanik permukaan rongga mulut, sebagai penyangga terhadap produksi asam oleh bakteri, dan mengkontrol aktivitas bakteri (Carranza & Bulkacz, 1996). Dalam hal ini, senyawa antimikroba yang berasal dari kelenjar saliva bertindak menjaga keseimbangan ekologi (Bowden & Edwardson,1994). Saliva mengandung berbagai senyawa anorganik dan organik yang mempengaruhi bakteri dan produknya di dalam rongga mulut. Senyawa anorganik meliputi berbagai ion, bikarbonat, natrium, kalium, fosfat, kalsium, fluorida, amonium dan karbon dioksida. Senyawa organiknya termasuk lisozim, laktoferin, mieloperoksidase, laktoperoksidase dan aglutinin seperti glikoprotein,
B2-makroglobulin,
musin,
fibronektin,
dan
antibodi
(Carranza
&
Bulkacz, 1996). Komposisi saliva sangat dipengaruhi oleh kecepatan alirannya. Bila kecepatan alirannya naik, kadar protein total, natrium, kalsium, klorida, dan bikarbonat naik, tetapi kadar fosfat anorganik dan magnesiumnya turun (Tenovuo & Lagerlof, 1994, McIntyre, 1998). Antibodi yang paling banyak ditempatkan di dalam saliva adalah imunoglobuli sekretori (IgAs) yang disekresikan oleh kelenjar saliva besar dan kecil. Ditemukan jugs IgG, IgM, C3, dan PMN leukosit yang berasal dari CCG (Lehner, 1992), sejumlah leukosit terdapat di dalam saliva yang terdiri atas semua jenis, terutama PMN netrofil (Carranza & Bulkacz, 1996). Leukosit dari darah, bermigrasi melewati celah gingiva ke dalam rongga mulut, diperkirakan setelah satu juta sel per menit (Lehner, 1992). 4. Celah gingiva Junctional epithelium yang terletak pada celah gingiva, berguna untuk memahami
hubungan
biologik
antara
komponen
vaskular
dan
struktur
periodontal. Epitel ini mempunyai dua lamina basalis, satu melekat pada jaringan konektif dan yang lainnya pada permukaan gigi. Komponen selular dan humoral dari darah dapat melewati epitel jangsional yang terletak pada celah gingiva dalam bentuk CCG. Aliran CCG ini merupakan proses fisiologik atau merupakan respon terhadap inflamasi, sampai saat ini masih belum ada kesatuan pendapat. Pendapat yang banyak dianut saat ini adalah, pada keadaan normal CCG yang mengandung lekosit ini akan melewati epitel jangsional menuju ke permukaan gigi (Lehner, 1992). CCG yang berasal dari darah melewati jaringan dan Universitas Gadjah Mada
18
keluar melalui sulkus gingiva. Merupakan eksudat inflamasi bukan transudat yang terusmenerus hingga pada gingiva normal hanya sedikit bahkan tidak ada (Carranza & Bulkacz, 1996). Aliran CCG ini akan meningkat bila terjadi gingivitis atau periofontitis (Lehner, 1992, Bowden & Edwardsson, 1994). Komponen humoral CCG dapat dikarakterisasikan sebagai protein individual, antibodi dan antigen yang spesifik, berbagai enzim yang mempunyai spesifisitas tertentu, dan elemen seluler. Lebih dari 40 senyawa di dalam CCG sudah dianalisis, namun sumbernya sulit dibedakan, mungkin dari pejamu atau dari bakteri atau dari keduanya. Misalnya kolagenase, bisa berasal dari fibroblas atau (PMN neutrofil tetapi juga disekresikan oleh bakteri (Carranza & Bulkacz, 1996). Beberapa komponen yang berperan dalam memelihara kesehatan gingiva atau mengakibatkan kelainan gingiva, diantaranya enzim lisosom yang dilepaskan sel fagosit, protease yang dibentuk oleh bakteri, lisozim, hialuronidase, dan kolagenase (Lehner, 1992). Selain IgH, IgA dan IgM beberapa komponen komplemen C3, C4, C5, dan C3 proaktivator ditemukan di dalam CCG (Lehner, 1992). Elemen selulernya meliputi bakteri, sel epitel terdeskuamasi, dan leukosit (PMN. limfosit, dan monosit) yang bermigrasi melewati epitel sulkus. Sekitar 92% leukosit yang ditemukan di dalam sulkus gingiva sehat, berupa neutrofil. Sejumlah kecil sel ini mengalami eksravaskularisasi di dalam jaringan konektif di dekat bagian dasar sulkur, kemudian bergerak menyebarangi epitel menuju sulkus gingiva. Sel mononuklear yang terdeteksi di dalma CCG adalah limfosit-B, limfosit-T dan fagosit mononuklear (Carranza & Bulkacz, 1996). Bila dilihat dari komposisi komponen imunnya, CCG mengandung banyak komponen seluler dan humoral yang juga ditemukan di dalam darah (Roitt & Lehner, 1983).
Respon Imun didalam Rongga Mulut Komponen respon imun di dalam rongga mulut, balk spesifik maupun tidak spesifik, berasal dari tiga kompartemen cairan yaitu saliva, CCG, dan darah. Ketiganya menjadi satu dalam bentuk cairan rongga mulut. Respon imun di dalam
Universitas Gadjah Mada
19
domain saliva lebih bergantung pada fungsi IgAs, sedangkan di dalam domain gingiva hampir sebagaian besar komponenya berasal dari darah. Dalam kaitannya dengan kelainan di dalam rongga mulut, saliva ikut berperan dalam mengawali pembentukan dan pematangan plak gigi serta metabolisme di dalam plak gigi. Pembentukan karang gigi, kelainan periodontal, dan karies gigi juga dipengaruhi oleh aliran dan komposisi saliva. Hal ini bisa dilihat pada hewan coba yang diangkat kelenjar salivanya, akan terjadi peningkatan yang bermakna insidensi karies gigi, kelainan periodontal, lambatnya penyembuhan luka. Peningkatan kelainan periodontal, karies gigi, dan cepatnya kerusakan gigi yang berkaitan dengan karies servikal dan sementum pada manusia, sebagian disebabkan hiposalivasi atau xerostomia (Carranza & Bulkacz, 1996). Berbagai senyawa yang ditemukan di dalam saliva berperan dalam sistem pertahanan. Baik yang tidak spesifik amupun yang spesifik seperti imunoglobulin yang merupakan respon pejamu. Lisozim atau muramidase merupakan enzim hidrolitik yang mempunyai aktivitas bakterisidal dengan menghidrolisis ikatan B(1--4) antara N-asetil glukosamin dan asam N-asetil muramat dalam komponen mukopeptida Binding sel bakteri tertentu (Lehner, 1992. Tenovuo & Lagerlof, 1994). Lisozim bekerja balk pada bakteri positif dan negatif Gram. Spesies Veillonella dan A. actinomycetem-comitans merupakan targetnya (Carranza & Bulkacz, 1996). Sistem laktoperoksidase-tiosianat saliva menunjukkan efek bakterisidal terhadap beberapa strain Lactobacillus dan Streptococcus dengan mencegah akumulasi lisin dan asam glutamat yang diperlukan untuk pertumbuhan bakteri. Enzim ini juga dapat menginaktivasi beberapa streptokoki dengan jalan menghambat kerja enzim glikolitik. Sama dengan laktoperoksidase saliva. Mieloperoksidase yang dilepaskan oleh leukosit dan aterisidal terhadap Actinobacillus, mempunyai efek tambahan dengan menghambat perlekatan strain Actinomyces pada hidroksiapatit (Carranza & Bulkacz, 1996). Sistem peroksidase saliva mempunyai dua fungsi bilologik penting. Yaitu (1) aktivitas antimikroba dan (2) melindungi protein dan sel pejamu dari toksisitas hidrogen peroksida. Tergantung pada pH (pH rendah lebih efektif) dan konsentrasi hipotiosianit. Secara in vitro sistem ini efektif terhadap bakteri kariogenik, jamur, beberapa periodontopatogen, bahkan terhadap beberapa virus seperti Herpes Simplex tipe I dan HIV (Tenovuo & Lagerlof, 1994). Aglutinin saliva merupakan glikoprotein yang mempunyai kapasitas berinteraksi dengan bakteri yang tidak melekat (Tenovuo & Lagerlof, 1994). Terjadinya aglutinasi karena adanya ikatan antara glikoprotein saliva dan adhesin bakteri (Lehner, 1992) hingga terbentuk agregat besar yang mudah dibersihkan oleh saliva. Senyawa yang potensial mengaglutinasi bakteri bermasuk glikoprotein saliva dari kelenjar parotis, musin, IgAs (imunoglobulin A sekretori). 132 mikroglobulin dan fibrinosetin (Tenovuo & Lagerlof, 1994).
Universitas Gadjah Mada
20
Pemeran utama respin imun spesifik di dalam saliva, adalah IG As saliva yang berasal dah kelenjar saliva utama dan kelenjar saliva kecil (Newbrun, 1989). IgAs berfungsi mencegah transfer antigen melewati permukaan mukosa. Antibodi ini mampu mencegah perlekatan S. Sanguis pada sel epitel (Williams & Gibbons, 1972). Melalui mekanisme yang sama , IgAs juga berperan dalam mencegah pembentukan plak gigi karena dapat menghambat
pembentukan glukan ikatan glikosidik
a(
1-->3) dari sukrosa oleh
Straptococcus mutans (Roeslan. 1990). Oleh karena itu, IgAs juga diguga daapt mencegah terjadinya kadries gigi. IgG dari CCG juga ditemukan di dalam saliva. Banyak bakteri di dalam saliva yang dilapisi Ig As dan deposit bakteri pada permukaan gigi mengandung IgA dan IgG dengan jumlah lebih dari 1% berat kering (Carranza & Bulkacz, 1996). Pada pemeriksaan sitologi, sekitar 60% PMN di dalam saliva sudah mengalami degenerasi, karena itu fungsinya masih dipergunakan (Lehner, 1992). Beberapa peneliti menyebutkan bahwa kecepatan migrasi PMN leukosit mempunyai hubungan dengan keparahan gingivitis (Carranza & Bulkasz, 1996). Keluarnya CCG yang berasal dari domain gingiva diinduksi oleh plak bakterial yang biasanya terdapat di dekat tepi gingiva. Ditemukannya C3, C4, C5 dan C3 proaktivator menunjukkan bahwa di dalam celah gingiva terjadi aktivasi komplemen melalui jalur klasik dan alternatif. Komponen imun yang terdapat di dalam celah gingiva juga berfungsi dalam mekanisme pertahanan untuk gigigeligi. Pada gingivitis atau kelainan periodontal, kadar IgG, IgA, IgM, C3 dan PMN netrofil di dalam CCG meningkat diperkirakan, proses fagositosis, reaksi antigenantibodi yang tergantung komplemen dan juga respon seluler terjadi di dalam celah gingiva bukan di dalam rongga mulut (Lehner, 1992). Analisis, respon imun terhadap beberapa mikroorganisme rongga mulut, menunjukkan bahwa serum subyek normal dan antibodi di dalam saliva dapat berfungsi pada jamur, virus, dan bakteri positif Gram dan negatif Gram. Namun respon seluler hanya dapat diinduksi oleh jamur dan virus (Lehner, 1975). Leukosit di dalam CCG ditarik oleh bakteri plak yang berbeda dan mempunyai kapasitas fagositosis dan membunuh (Lehner, 1992), karena itu leukosit merupakan mekanisme perlindungan utama dalam menghadapi ekstensi plak gigi ke dalam sulkus gingiva. Respon imun seluler CCG juga melibatkan sitokin, seperti interleukin-1 cc dan -113 (IL- la dan -113) yang diketahui meningkatkan pengikatan PMN monosit pada sel endotel, menstimulasi produksi prostaglandin E2 (PGE2) dan penglepasan enzim lisosomal. Interferon-y (INF-y) di dalam GCF mempunyai efek protektif dalam kelainan periodontal karena kemampuannya menghambat aktivitas IL-1B dalam meresorpsi tulang (Carranza & Bulkasz, 1996). Respon imun terhadap berbagai kelainan rongga mulut Universitas Gadjah Mada
21
Respon imun terhadap plak bakterial Plak bakterial mengandung tiga komponen fungsional: (a) organisme kariogenik, terutama S. Mutans, L. acidophilus, dan A. viscosus, (b) organisme penyebab penyakit periodontal, khususnya
Bacteroides asaccharolyticus (gingivalis)
dan Actinobacillus
(actinomycetemcomitans), walaupun A. Viscosus, Bacteroides melaninogenicus, Veillonella alcalescens, Fusobacteria, dan Spirochaetes juga telibat, serta (c) bahan adjuvan dan supresif, yang paling potensial adalah lipopolisakarida (LPS), dekstran, levan, dan asam lipoteikoat (LTA) (Lehner, 1992). Respon imun terhadap plak gigi bervariasi dan kompleks. Sejumlah besar bakteri positif dan negatif Gram berikut produknya seperti LPS, LTA, dekstran, dan levan, mampu menstimulasi respon imun. Dua jalur komplemen, klasik, dan alternatif, diaktivasi, limfosit distimulasi, limfokin dilepaskan, dan makrofag menjadi aktif (Lehner, 1992). Reaksi potensial ini, mungkin diatur oleh efek potensial dan supresi beberapa komponen yang ada di dalam plak gigi dan akan menghasilkan respon inflamasi kronis yang terlokalisasi. Efek toksik langsung komponen plak pada jaringan gingiva, mempunyai andil pada reaksi inflamasi lanjut, (Sanz dkk, 1990). Akumulasi plak gigi dalam kaitannya dengan inflamasi gingiva, berkorelasi dengan peningkatan transformasi limfosit dan penglepasan faktor penghambat migrasi makrofag (MIF) (James, 1991). Aktivasi komplemen merupakan pemicu respon inflamasi yang kompleks karena penglepasan histamin oleh mastosit yang diinduksi oleh C3a dan C5a (Nisengard dkk, 1996). Kedua komponen komplemen ini juga menyebabkan agregasi platelet sehingga terjadi pembekuan intravaskular. Kejadian ini dapat menghambat penyebaran bakteri, namun juga menyebabkan kerusakan jaringan karena kurangnya pasok darah (Lehner, 1992). Akhir aktivasi komplemen, akan terjadi sintesis PGE2 yang dapat mengakibatkan resorpsi tulang (Steve dkk, 1991).
Akibat respon imun seluler terhadap plak gigi, kolagenase juga disekresikan oleh makrofag yang diaktivasi oleh LPS sehingga terjadi degradasi kolagen. Enzim lisosom merupakan agen potensial yang dapat mengakibatkan kerusakan jaringan. Osteocast activating factor (OAF) juga dilepaskan oleh limfosit yang teraktivasi, sehingga terjadi resorbsi tulang alveolar (Nisengard dkk, 1996).
Respon Imun Pada Penyakit Periodontal Gingivitis dan penyakit periodontal, diinduksi oleh plak bakterial. Aktivitas bakteri patogen dalam menyebabkan kelainan periodontal, meliputi invasi, produksi eksotoksin, peran konstituen sel seperti endotoksin dan komponen permukaan sel, produksi enzim, serta menghindari respon imun pejamu. Respon imun pejamu sangat berperan pada patogenesis Universitas Gadjah Mada
22
kelainan periodontal, balk dalam mekanisme proteksi maupun destruksi. Sistem imun sekretori akan menurunkan kolonisasi bakteri pada permukaan yang terpapar saliva. Neutrofil, antibodi, dan komplemen bertindak sebagai bakteri sidal, sedangkan limfosit, makrofag, dan limfokin menyebabkan kerusakan jaringan. Respon imun ini dikontrol oleh sistem imunoregulasi (Newman dkk, 1996). Respon imun pejamu sudah dibangkitkan sejak terjadi kolonisasi bakteri pada awal kelainan periodontal dengan menghambat perlekatan dan agregasi serta mengurangi jumlahnya dengan melisiskan bakteri melalui antibodikomplenen di dalam CCG. Bila terjadi invasi bakteri, jumlah bakteri akan dikurangi melalui perantaraan antibodi-komplemen serta neutroifl dan makrofag karena efek khemotaksis. Kerusakan jaringan terjadi karena reaksi hipersensitivitas yang dimediatori antibodi, respon imun seluler, dan aktivasi faktor jaringan seperti kolagenase. Setelah itu akan terjadi penyembuhan dan fibrosis akibat faktor khemotaktik untuk fibroblas yang diproduksi limfosit dan makrofag serta adanya faktor aktivasi fibroblas (Newman dkk, 1996). Respon imun pada kelainan periodontal dapat dikelompokkan menjadi 4 stadium (Lehner, 1992). Pertama, pada lesi awal terlihat respon inflamasi oleh PMN netrofil, kompieks imun, aktivasi komplemen, dan kemotaksis yang disebabkan antigen plak. Kedua, pada lesi dini terlihat infiltrasi lokal sel-B dan selT. Di dalam sirkulasi, limfosit tersensitisasi oleh antigen lak yang dapat dilihat dari kemampuannya melepaskan limfokin. Ketiga, pada lesi yang sudah menetap terlihat adanya infiltrasi sel plasma secara lokal dan limfosit di dalam darah tepi sudah dirangsang antigen plak untuk berproliferasi. Keempat, pada lesi lanjut sudah terlihat respon imun yang destruktif, diikuti dengan ulserasi pada epitel saku gingiva dan destruski kolagen serta tulang. Proses destruktif yang progresif ini, akhirnya akan mengakibatkan kehilangan gigi. Pada awal kelainan periodontal, respon imun dibangkitkan untuk pertahanan tubuh terhadap serangan antigen yang ada di dalam plak gigi. Akibat akumulasi plak, respon imun menjdi lebih kompleks meliputi reaksi hipersensitivitas tipe I, II, III, dan IV (Lehner, 1992; Newman, 1996). Keterlibatan reaksi hipersensitivitas tipe I (reaksi anafilaktik) pada kerusakan jaringan periodontal, terlihat dari ditemukannya sejumlah sel mast pada gingiva sehat yang kemudian jumlahnya berkurang pada inflamasi. Kontak antigen dengan IgE yang melekat pada permukaan sel mast, akan menginduksi degranulasi sel mast yang diikuti penglepasan histamin dan amin vasoaktif lain setelah berkontak dengan IgE (Roitt dkk, 1998). Pada keadaan ini, PGE1 dan PGE2 ikut meningkatkan permeabilitas vaskular (Abbas dkk, 1997). Pada kelainan periodontal terdapat tiga proses reaksi hipersensitivitas tipe II (sitotoksik), yaitu a) fagiositosis setelah terjadi ikatan antigen-antibodi. b) aktivitas sel T dan c) lisisnya sel karena aktivasi komplemen (Roitt dkk, 1998). Pengikatan antigen oleh antibodi Universitas Gadjah Mada
23
yang diikuti aktivasi komplemen dan fagositosis, berperan pada bakteri positif Gram. Penghancuran sel kuman oleh komplemen melalui C8 yang diperkuat C9 (James, 1991), lebih berfungsi untuk kuman negatif Gram (Roitt dkk, 1998). Walaupun kedua mekanisme ini juga menyebabkan lisinya sel jaringan periodontal, namun reaksi tipe II ini tidak begitu berperan pada kelainan jaringan periodontal. Adanya kompleks imun pada jaringan periodontal, berupa ikatan antigenantibodi menunjukkan bahwa terjadi reaksi hipersensitivitas tipe III (kompleks imun). PMN di dalam CCG, mempunyai membran yang dapat mengikat Igg, IgM, dan C3. Komptekd imun akan mengaktivasi jalur ktasik komplemen dengan akibat terjdadi peningkatan mediator biologik yang akan menginduksi eningktan permeabilitas vaskular, agregasi platelet, kemotaksis fagosit, opsonisasi, dan fagositosis. Pada prose ini juga dilepsksn enzim-enzim lisosom oleh FMN dan makrofag, seperti isozim, hialuronidase, dan kolagenase yang mengakibatkan kerusakan jaringan lokal. Kolagenase akan merusak kolagen ligamen periodontal (Lehner, 1992). Hasil akhir proses ini adalah lisisnya sel disertai resorbsi tulang yang dimediatori oleh PGE (Steve dkk, 1991). Pada reaksi tipe ill ini, CMI juga ikut dilibatkan, karena C3b dapat berinteraksi dengan reseptor limfosit seingga terjadi penglepasan limfokin. Dengan demikian, sering terlihat adanya reaksi hipersensitivitas tipe III dengan tipe IV. Reaksi hipersensivitas tipe IV (imunitas seluler/CMI) diaktivasi antigen bakterial plak gigi sehingga terjadi profiferasi sel-T dan sel-B. Subpopulasi sel-T sangat sitotoksik teradap jaringan periodonsium (Openheim & Horton, 1973). Limfosit memasok mediator terlarut, seperti MIF yang akan menghambat pergerakan makrofag dan PMN netrofil, faktor kemotaktik yang berfungsi menarik makrofag dan PMN netrofil, limfotoksin yang merusak fibroblas, dan OAF yang dapat menimbulkan kerusakan tulang (James, 1991). Akibatnya, antigen akan masuk lebih dalam lagi ke dalam jaringan periodonsium. Adanya akumulasi sel plasma dan limfosit di dalam jaringan periodontal, menimbulkan dugaan bahwa sitokin ikut berperanserta dalam perubahan patologik jaringan periodontal. IL-1 yang terlihat pada jaringan gingiva dan CCG, akan turun kadarnya setelah perawatan. Sitokin ini juga akan meningkatkan prokolagen fibroblas, PGE2, dan aktivitas resorpsi tulang. IL-2 akan meningkatkan aktivitas fungsional makrofag pada kasus periodontitis. Demikian juga halnya dengan IL-4 berfungsi dalam aktivasi, proliferasi, dan diferensiasi sel B serta menginduksi produksi IgE oleh sel B. jumlah IL-6 meningkat pada situs gingivitis dan berperan pada resorpsi tulang. TNF- yang berperan dalam perubahan vaskularisasi, tampak pada kelainan periodontal. Sitokin dapat menambah kemampuan melekat leukosit pada sel endotel dan meningkatkan kemampuan fagositosis dan khemotaksisnya (Nisengard dkk, 1996). Respon imun yang semula dibangkitkan untuk mekanisme pertahanan terhadap invasi bakteri periodontopati, ternyata kemudian justru merusak jaringan periodontal (James, Universitas Gadjah Mada
24
1991). Untuk mengatasinya, tubuh dibekali mekanisme lain yaitu dengan menghambat peningkatan respon imun lebih lanjut agar tidak terjadi kerusakan total jaringan periodontal (Lehner, 1992). Mekanisme penekanan respon imun ini meliputi a) penekanan CMIR dengan menginduksi sel supresif, b) melalui berbagai faktor penghambat di dalam serum pada kasus periodontitis berat, c) sekresi PGE oleh makrofag untuk menghambat respon seluler, d) inhibitor proteinase akan menghambat jalur komplemen, dan e) komponen pada plak gigi, seperti LPS menurunkan aktivitas CMI, LTA menghambat HMIR, dekstran ikatan a(1-->6) menurunkan toleransi sel B, dan bakteri plak mengeluarkan proteinase spesifik yang menghambat kerja beberapa klas imunoglobulin. Yang cukup menarik pada kasus kelainan periodontal adalah periodontitis juvenil atau periodontosis. Pada kasus ini, tampak adanya tiga kelainan sistem imunologik, pertama sedikit bahkan tidak ada sitesis DNA oleh limfosit sehingga faktor penghambat migrasi mikrofag tidak ada. Kedua, terjadi peningkatan kadar IgG, IgA, dan IgM terhadap mikroorganisme di dalam mulut. Ketiga, tidak berfungsinya khermotaksis pada PMN netrofil yang mungkin disebabkan adanya hambatan pada sel itu sendiri atau khemotaksisnya (Lehner, 1992). Baik pada periodontitis juvenil lokal (PJL) maupun general (PJG), tampak terjadi kerusakan khemotaksis. PMN dan kemampuan fagositosisnya menurun. Pada PJL terjadi peningkatan antibodi terhadap A. actinomycetecomitnas, sedangkan pada PJG antibodi terhadap P. gingivalis yang meningkat. Pada PJ prapubertas, kerusakan khemotaksis terjadi pada PMN dan monosit (Newman dkk., 1996).
Respon imun pada karies gigi Dalam menghadapi aksi bakteri kariogenik, di dalam saliva terdapat komponen imunitas bukan imunoglobulin seperti lisozim, laktoferin, dan peroksidase. Komponen imunitas spesifiknya didominasi oleh IgAs yang dapat mencegah perlekatan S. mutans pada permukaan email yang licin (Lehner, 1992). Dalam hal ini, IgAs juga mencegah pembentukan plak dengan cars menghambat kerja glukosiltransferase (Roeslan, 1990), enzim yang mengkatalisis pembentukan dekstran ikatan a (1-->3) dari sukrose. IgAs juga dapat menghalangi aktivitas adhesin permukaan bakteri sehingga tidak terjadi interaksi dengan permukaan gigi di samping menginduksi aglutinasi bakteri (Kilian & Barthall, 1994). Kadar IgAs pada individu tahan karies gigi lebih tinggi daripada individu rentan karies (Gunawan & Roeslan, 2000). IgG dan IgM dari CCG jamur melakukan opsonisasi sehingga PMN leukosit akan meningkat kemampuan fagositosisnya. Kedua antibodi ini juga akan mengaktivasi komplemen bila berkombinasi dengan antigen kariogenik (Lehner, 1992; Kilian & Barthall, 1994). Karies gigi yang tidak ditumpat, akan memperluas deminerafisasi dentin yang akhirnya akan mengenai atap pulpa. Pada keadaan ini, di dalam jaringan pulpa sudah Universitas Gadjah Mada
25
dibangkitkan respon imunologik. Bila keadaan ini tidak diatasi, antigen kuman akan berdifusi ke dalam jaringan pulpa melalui cairan dentin dan menimbulkan kelainan pada jaringan pulpa. Setelah atap pulpa terbuka, antigen akan menginvasi ke periapikal dan dapat berkembang menjadi abses periapikal akut atau dalam bentuk tiga kondisi kronis : abses kronis, granuloma, atau kista bergantung kekuatan respon imun yang terjadi. 1. Karies gigi Selama perkembangan karies, antibodi ditemukan di dalam saliva, cairan pulpa gigi, dan cairan dentin. Hal ini menunjukkan bahwa saliva, dentin, dan pulpa mampu memberian
respon
imunologik
terhadap
serangan
antigen
bakteri
kariogenik.
Imunoglobulin juga ditemukan di dalam dentin sehat dan yang terletak di bawah dentin yang mengalami karies, padahal daerah tersebut tidak ditemukan bakteri. Antibodi ini berasal dari cairan pulpa, sedangkan antibodi yang ditemukan di dalam dentin karies yang lunak, berasal dari saliva (Sumitami dkk., 1971). Hal ini dapat dilihat bahwa komponen sekresi, baik yang terikat pada IgA maupun dalam bentuk IgAs, hanya ditemukan pada iesi yang dangkal. Pada lesi yang dalam, hanya ditemukan IgG, IgA, dan transferin (Okamura dkk., 1979). Ditemukannya antibodi di dalam dentin sehat di bawah zona translusen dentin yang terserang karies (Sumitami dkk., 1971), menunjukkan bahwa pulpa gigi sudah memberikan respon imunologik. Bila dilihat bahwa di bawah lesi karies tidak ditemukan bakteri, mengindikasikan adanya respon imunologik yang kuat yang dibangkitkan sebagai refleksi pertahanan terhadap invasi bakteri dari karies gigi. Pada scat karies gigi sudah mengenai dentin, angiten bakteri yang larut akan menginduksi respon peradangan klasik pada puipa gigi berupa vasodilatasi, peningkatan permeabilitas kapiler, dan eksudasi cairan serta PMN. Begitu karies mendekati pulpa, ditemukan hanya makrofag, limfosit, dan sel plasma. Selain itu, terdapat juga imunoglobulin ekstravaskular, dengan IgG paling banyak, disertai sel plasma yang mengandung IgG, IgA, IgE, dan terkadang IgM (Lehner, 1992).
2. Kelainan pulpa Di dalam jaringan pulpa gigi dengan pulpitis yang ireversibel, terlihat adanya limfosit dan makrofag sebagai sel infiltrat radang yang terdominan. Pada pulpitis yang relesibel, lebih dari 90% populasi limfosit T di dalam jaringan pulpanya adalah limfosit T8, dengan rasio limfosit T4/T8 = 0,56 (Hahn dkk., 1989). Sedangkan pada pulpitis yang Ireversibel, jumlah limfosit T4, T8, dan limfosit B lebih banyak daripada pulpitis yang reversibel atau pada pulpanormal, dengan rasio T4/T8 sebesar 1,14. Di dalam jaringan pulpa yang meradang, antibodi terbanyak adalah IgG, sedang IgA dan 1gM jumlahnya sedikit. Kadar antibodi pada pulpa yang meradang, lebih tinggi dibandingkan pada pulpa yang tidak Universitas Gadjah Mada
26
meradang (Morse, 1977). Sel plasma yang mengandung IgG dan IgA juga lebih banyak di dalam pulpa yang meradang, selain ditemukana C3 (Hahn, dkk., 1989). Eksudat radang yang terbentuk sebagai respon erhadap perkembangan karies gigi, sulit mendapatkan raungan karena pulpa gigi dibatasi oleh struktur dentin yang kaku. Akibatnya jaringan pulpa di dalam saluran akar akan terlibat. Bila efek protektif respon imunologik tidak cukup baik, maka karies akan berkembang menjadi pulpitis akut. Namun, bila proses kariesnya berkembang lambat dan respon imunitasnya mmapu mencegah kerusakan jaringan pulpa lebih lanjut, yang akan timbul hanyalah pulpitis kronis. Pada kelainan pulpa ini, ditemukan respon seluler (Hahn dkk., 1989) respon humoral (Morse, 1977), dan C3 (Hahn dkk., 1989). Efek samping respon imunologik ini adalah reaksi hipersensitivitas tipe I yang menimbulkan reaksi inflamasi dan rasa sakit, tipe III dengan akibat kerusakan jaringan pulpa. dan tipe IV yang juga bertanggung jawab pada kerusakan lokal.
3. Kelainan Periapikal Jaringan pulpa yang rusak akan bertindak sebagai autoantigen yang bersama antigen kuman mengakibatkan penyebaran reaksi radang ke daerah periapikal. Akibatnya, akan terjadi abses akut atau kondisi kronis. Bila kronis, bisa berbentuk abses kronis, granuloma, atau kista. Semua lesi periapikal kronis ini bisa terjadi bila efek protektif respon imun tidak cukup baik, sehingga hanya mampu melokalisasi kerusakan lebih lanjut. Kadar imunoglobulin di dalam serum subjek yang mengalami flare-up (pembengkakan disertai rasa sakit dan resorpsi tulang pada gigi nonvital yang terjadi dengan cepat) setelah perawatan endodontik, menunjukkan hanya IgE yang meningkat beberapa kali dibandingkan keadaan normal (Svetcov dkk., 1983). Di daerah periapikal ditemukan imunoglobulin yang mampu bereaksi spesifik dengan natigen yang ada di dalam saluran akar Naidorf (1985). Di dalam serum penderita abses periapikal akut, terjadi peningkatan kadar kompleks-imun, IgG, IgM, IgE, dan komplemen C3 (Kettering & Torabinejad, 1984). Respon imunitas humoral terlihat pada lesi periapikal (Morse, 1977). Beberapa kelas imunoglobulin yang berbeda dapat diidentifikasi pada lesi periapikal kronis (Cymerman dkk., 1984). Kadar kompleks imun, IgG, IgM, IgE, serta komplemen C3 di dalam serum penderita kelainan periapikal setelah dirawat saluran akarnya berbeda dengan sebelum dirawat (Kettering & Torabinejad, 1984). Respon setuler pada lesi periapikal, menunjukkan bahwa makrofag merupakan set radang terbanyak, disusul limfosit T dengan sel Th yang lebih dominan (Kopp & Schwarting, 1989). Di dalam ekstrak jaringan granuloma terjadi hipergamaglobulinemia (Gelli dkk. Cit. Morser, 1977), juga ditemukan adanya set plasma, IgG, IgA, dan IgM (Naidorf, 1985). Universitas Gadjah Mada
27
Sedangkan pada dinding kista ditemukan infiltrasi sel plasma dalam jumtah besar, serta kadar IgG, IgM, dan IgA di dalam cairan kista yang 2 sampai 3 kali lebih besar dibandingkan di dalam serum. Di dalam epitel kista apikal juga ditemukan sel Langerhans dan makrofag (Lehner, 1992). Pada keadaan patologis, sel Langerhans berfungsi memproses dan menyajikan antigen kepada limfosit T. Sel ini juga mempunyai kemampuan fagositosis, walaupun terbatas (Roitt dkk., 1998). Di dalam kista dan granuloma lebih banyak mengandung makrofag daripada sel-T, sedang di dalam kista banyak ditemukan sel-T4 dan set T-8 (Kopp & Schwarting, 1989). Karena daerah periapika dibatasi oleh dinding padat tulang alveolar, antigen akan terlokalisasi di daerah ini. Pada saat mengunyah, daerah tadi akan mengalami tekanan dan iritasi, akibatnya antigen akan masuk ke dalam kelenjar limfa dan pembuluh darah serta menstimulasi respon imunologik lokal di dalam nodus limfatikus submaksilaris (Morse, 1977). Respon imunologik periapikal berfungsi untuk pertahanan, namun juga menimbulkan reaksi alergi. Pada keadaan abses periapikal akut, terjadi kenaikan kadar kompleks-imun, IgG, IgM, IgE, dan C3 (Kettering & Torabinejad, 1984). Hal ini mengindikasikan adanya reaksi hipersensitivitas tipe I dan III, yang merupakan respon humoral. Pada subjek yang mengalami flare-up (Svetcov dkk., 1983) dan apikal abses akut (Kettering & Torabinejad, 1984), kadar IgE di dalam serum meningkat yang diikuti kenaikan kadar histamin. Akibatnya, permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi udema dan pembengkakan di daerah ini. Peningkatan kadar IgAs di dalam serum juga terjadi pada periapikal abses kronis, sehingga pada mulanya kelainan ini dianggap empunyai implikasi sistemik (Nevins dkk., 1985). Namun, penelitian Kettering dan Torabinejad (1986) menunjukkan hasil sebaliknya. Karena itu, diperkirakan lesi periapikal kronis terjadi secara lokal tanpa adanya kenaikan kadar IgE di dalam sirkulasi. Pada reaksi alergi tipe III, kompleks-imun akan mengaktifkan sistem komplemen yang menyebabkan penarikan lekosit PMN dan trombosit di dalam pembuluh daerah, sehingga terbentuk abses (Lehner, 1992) dan kerusakan membran sel jaringan periapikal. Bila membran sel rusak, akan terjadi sintesis prostaglandin (PG) (Naidorf, 1985) yang dapat mengakibatkan resorpsi tulang (Caranza & Bulkacz, 1996) dan amplifikasi sistem kuinin. Kiin akan menyebabkan rasa sakit. Dengan adanya PG, rasa sakit menjadi bertambah berat. PG juga merupakan bahan pirogen yang dapat menimbulkan demam (Naidorf, 1985).bila jaringan periapikal mengalami kesulitan dalam mengeliminasi antigen, respon seluler kronis akan dibangkitkan untuk melokalisasi antigen dengan menarik banyak makrofag pada daerah tersebut. Oleh karena itu, dalam jaringan granuloma banyak ditemukan makrofag (Kopp & Schwarting, 1989). Makrofag akan melepaskan IL-1 yang akan merangsang pelepasan OAF, FAF (fibroblast-activating-factors), dan PG Universitas Gadjah Mada
28
(Farber & Seltzer, 1988). Ketiga mediator ini sangat berperan dalam patogenesis lesi periapikal, karena dapat mengakibatkan pembentukan granuloma dan kista. Dengan ditemukannya sel Langerhans dan makrofag di dalam epitelim kista gigi (Contos dkk., 1987), menunjukkan bahwa pada kelainan periapikal kronis, respon seluler dalam bentuk reaksi alergi Tipe IV cukup besar peranannya.
imunologi infeksi mulut Infeksi yang sering terjadi di dalam rongga mulut adalah infeksi yang disebabkan virus Herpes simplex dan jamur kandida. Infeksi bakterial bahkan jarang terjadi. Banyak, bahkan mungkin semua orang sudah pernah terpapar kedua mikroorganisme ini, baik secara klinis, subklinis, maupun yang hanya sebagai karies.
1. Infeksi virus Herpes Virus Herpes simplex (HSV) merupakan virus DAN yang awalnya masuk melalui sel epitel mukosa mulut (Bellanti, 1985). Setelah banyak sel epitel terinfeksi, akan terjadi perubahan degeneratif dan udematosa sehingga banyak terbentuk vesikula yang kemudian pecah membentuk ulkus. Pada minggu pertama setelah timbut manifestasi klinis, atau dua minggu setelah terinfeksi, terdeteksi limfosit yang tersensitisasi HSV. Satu sampai tiga minggu kemudian, tampak adanya antibodi dan MIF (Greenberg, 1994). Makrofag akan dimobilisasi ke daerah infeksi oleh MIF yang juga meningkatkan aktivitas viruxidal. Beberapa mediator limfokin selain MIF, juga terdeteksi seperti limfotoksin, khemotaksis, dan interferon (Lehner, 1992). Antibodi yang terbentuk akan berkombinasi dengan permukaan antigfen dan menyebabkan Iisisnya sel karena aktivasi komplemen. Namun, IgG terhadap HSV justru mengakibatkan kelainan ini menjadi laten. Hipotesis tentang hal ini menyebutkan bahwa bagian Fab (fragmen antigen binding) akan berikatan dengan antigen permukaan HSV sedangkan regio Fc pada reseptor Fc, akibatnya akan terjadi perubahan konformasi pada molekul antibodi. Hipotesis tadi didukung dengan penemuan bahwa reseptor Fc pada permukaan set yang terinduksi HSV akan berikatan dengan IgG atau fragmen Fc IgG, maka replikasi virus akan dihambat (Lehner, 1992). Bila terjadi imunodefisiensi seluler, virus akan bereplikasi di dalam epitel dan keadaan menjadi rekuren. Tempat terjadinya rekurensi yang menetap hanya pada neuron yang menginervasi daerah tepi epitel. Sejumlah kelainan seluler yang terlihat pada Herpes labialis, meliputi tidak diproduksinya MIF dan menurunnya sitotoksisitas limfosit yang tersensitisasi sehingga interferon menurun produksinya (Notkins, 1973). Rekurensi infeksi HSV melalui dua stadium (Lehner, 1992): (1) HSV di dalam ganglion trigeminal dilepaskan dari kondisi laten, sehingga terjadi replikasi virus, migrasi akson, dan dilimpahkan dari ujung Universitas Gadjah Mada
29
syaraf dekat epitel, dan 2) defisiensi selektif imunitas seluler sehingga terjadi proliferasi virus yang menyebabkan lesi lokal.
2. Kandidiasis kandidia merupakan organisme komensal di dalam saluran pencemaan. Terdapat di dalam saluran pencernaan. Terdapat empat macam kandidiasis di dalam rongga mulut yang merupakan infeksi superfisial, terutama disebabkan Candida albicans, yaitu kandidiasis pseudomembranosa akut, kandidiasis atrofik kronik, dan kandidiasis hiperplastik kronik (Brightman, 1994). Investigasi kandidiasis sering dilakukan dengan reaksi aglutinasi dan presipitasi, fiksasi komplemen, dan antibodi fluoresensi. Kecuali pada kandidiasis kronik, kadar IgAs salivanya meningkat. Peningkatan IgAs saliva paralel dengan peningkatan IgG, IgM, dan IgA serum. Pada kandidiasis, tercatat penurunan kadar komplemen di dalam serum dan ketidakmampuan memfagositosis oleh PMN neutrofil. Kandidiasis sistemik jugs dihubungkan dengan absennya mieloperoksidase pada fagosit (Lehner, 1992). Pada individu yang rentan infeksi kandida, seperti pada penderita diabetes melitus, terjadi kerusakan kemotaksis PMN netrofil dan monosit (Cypress, 1985). Secara umum, respon seluler lebih penting perannya dibandingkan respon humoral dalam mekanisme pertahanan terhadap infleksi kandida, karena pada infeksi ini titer antibodi tidak berkurang (Abbas, dkk.,1997). Bukti uama signifikansi fungsi imunitas seluler pada perlindungan terhadap kandida adalah berkembangnya jamur ini pada individu yang mengalami kelainan genetik fungsi limfosit-T (James dkk., 1991). Kandidiasis jugs ditemukan pada penderita yang mengalami kelainan pembentukan atau diferensiasi sel primitif limfoid. Defisiensi sel B saja, tidak menyebabkan individu rentan terhadap kandida (Lehner, 1992).
Manifestasi imunodefisiesi di dalam rongga mulut Imunodefisiensi primer sering menimbulkan berbagai manifestasi di dalam mulut. lnfeksi tenggorok dan ulserasi di dalam mulut yang rekueren, perlu dihubungkan dengan defisiensi komplemen. Kelainan granulomatose kronik terjadi karena kerusakan pada mekanisme fagositosis. Sindroma Chediak-Higashi yang ditandai dengan kelainan periodontal berat, karies gigi dan ulserasi, disebabkan abnormalitas padaPMN neutrofil. Neutropenia siklik yang gejalanya berupa demam, stomatitis, dan faringitis (Greenberg & Lynch, 1994), terjadi karena menurunnyaPMN neutrofil tiap interval 3 minggu (Wells & Isbister, 1991). Penurunan PMN sampai di bawah 500/mm3 bahkan sampai tidak terdeteksi pada beberapa penderita, disebabkan kerusakan sekunder sel primitif sumsum tulang (Greenberg & Lynch, 1994).
Universitas Gadjah Mada
30
Manifestasi defisiensi sel-B akibat kerusakan diferensiasi sel primitif B, sering menyebabkan Bruton's x-linked hipomaglobulinema (Lehner, 1992) karena penderita tidak mampu mensintesis antibodi (Greenberg, 1994a) sehingga mudah terinfeksi kuman. Manifestasi defisiensi sel-T di dalam mulut, biasanya terlihat sebagai sindroma. Di George dan kandidiasis mukokutaneus kronik. Pada defisiensi sel-T karena aplasia atau hipoplasia timus kongenital (Ammann, 1991), antibodi di dalam serum kadarnya normal. Telangiektasia ataksia, sindroma Wiskott-Aldrich, dan infeksi Herpes simplex berat, lebih disebabkan imunodefisiensi kombinasi sel-T dan sel B (Greenberg, 1994a). Imunodefisiensi
sekunder
karena
obat-batan,
neoplasma
atau
malnutrisi,
manifestasinya di dalam mulut terlihat lebih berat. Stomatitis herpetika, kandidiasis, atau ulkus biasanya muncul pada pencerita yang mendapatkan pengobatan sitotoksik atau imunosupresi (Brown dkk., 1973). Agranulositosis dapat disebabkan radiasi atau pemberian berbagai obat seperti bahan sitotoksik (azatiopin), analgesik (fenasetin) antimikrobial (klramfenikol), antitiroid, atau antikonvulsan. Malnutrisi karena defisiensi protein dapat mengakibatkan gangraen di dalam mulut, sedangkan defisiensi besi menyebabkan kandidiasi mulut (Lehner, 1992). Imunodefisiensi sekunder imunitsa seluler yang parah, terjadi pada infeksi HIV (Abba dkk., 1991) karena DAN limfosit-T4 dimanfaatkan oleh HIV sebagai mesin genetik, sehingga tidak berfungsi normal. Pada infeksi HIV lanjut, akan timbul AIDS (Acquired lmune Defisiency Syndrome) dengan manifestasi di dalam mulut berupa lesi yang bervariasi seperti kandidiasis, kelainan periodontal, hairy leukoplakia, sarkoma Kaposis, dan sejumlah lesi dan kondisi lain (Brightma, 1994a). Manifestasi autoimun di daiam rongga mulut Keiainan autoimun terjadi karena ketidakmampuan seseorang dalam mengatasi respon imun terhadap protein atau polisakaridanya sendiri karena memenuhi kriteria antigenisitas kecuali keasingan (foreigness) (Roirt dkk., 1998). Kelainan yang sering ditemukan di daiam mulut karena autoimun adalah ulkus rekuren di dalam rongga mulut (URM) dan Sindroma Behcet's (SB) (Openheim & Horton, 1973). Kedua kelainan ini terjadi karena respon autoimun terhadap antigen mukosa mulut atau reaksi sang dengan beberapa antigen mikrobia yang dbuktikan dengan ditemukannya autoantibodi terhadap homogenat mukosa mulut sebanyak 70-80% dibandingkan kontrol yang hanya 10% (Lehner 1992). Kerusakan awal epitel mukosa mulut, diinduksi oleh limfosit yang tersensitisasi. Epitel mukosa mulut yang rusak, kemudian dianggap sebagai antigen yang akan berkombinasi dengan antibodi membentuk kompleks imun. Oleh karena itu pada URM dan SB terjadi peningkatan kompleks imun dan C9 di dalam sirkulasi. Selain itu, pada zona dasar membran tamak adanya IgG dan C3 (James, 1991). Respon seluler terhadap antigen mukosa mulut ini Universitas Gadjah Mada
31
dibantu oleh efek adjuvan plak gigi dan flora mulut atau defisiensi sel supresor (Lehner, 1992). Banyak kelainan autoimun di dalam tubuh menimbulkan manifestasi di dalam rongga mulut. Pemfigus vulgaris merupakan kerusakan mukokutan yang disebabkan antibodi terhadap substansi interseluler sel-sel epitel, dengan manifestasi berupa vesikula dan hula yang sakit (Greenberg, 1994). Mulut kering dengan erimatosa pada mukosa, disertai Iidah pecah dan mengalami ulserasi, merupakan kelainan yang dapat dihubungkan dengan sindroma Sjorge (Fye & Sac, 1991) karena autoantibodi terhadap jaringan konektif. Reaksi autoimun terhadap sel parietal di dalam usus, dapat mengakibatkan defisiensi vitamin B12 yang akhimya menimbulkan kelainan-kelainan pada TMJ karena atritis reumatoid, pada mukosa mulut karena lupus erimatosa, pada otot-otot mastikasi karenamiastenia gravis, perdarahan pada gingiva karena autoimun purura, merupakan manifestasi orofasial karena penyakit autoimun (Lehner, 1992). Neoplasma di dalam rongga mulut Aspek imunologi karsinoma di dalam rongga mulut belu banyak diketahui, namun terlihat ada hubungannya dengan leukoplakia. Perkembangan awal leukoplakia dan subsekuen transformasinya menjadi karsinoma, diinduksi oleh infeksi kronis bakteri (T. pallidum, C. albicans), infeksi laten virus (H. simplex tipe 1), dan/atau bahan kimia (merokok). Akibat induksi tadi epitel mukosa akan memberikan reaksi berupa respon imun lokal dan sistemik (Lehner, 1992). Perubahanepitel seperti keratosis, akantosis, atipik, dan karsinoma terjadi sekuensial walau sering terlihat bersama pada salah satu stadium. Hal ini mungkin berhubungan dengan perubahan antigen epitel (Herberman & Bellanti, 1985). Awal dan perkembangan setiap stadium leukoplakia dan karsinoma, tergantung pada respon seluler yang mengatur aktivitas antibodi. Imunodefisiensi seluler berperan selama transformasi karsinomatosa (Lehner, 1992).
Imunologi transplantasi gigi Gigi alograf mempunyai sifat antigenik. Sumber antigenisitas gigi terletak pada pulps, ligamen periodontal, dan denin. Namun, transpiantasi gigi dari satu orang ke orang lain (alograf), dapat bertahan dalam beberapa tahun tanpa matching antigen histokompatibilitas antara donor dan resipien dan tanpa menggunakan bahan imunosupresif (Lehner, 1992). Universitas Gadjah Mada
32
Beberapa faktor dapat digunakan untuk menjelaskan. Antigenisitas gigi tidak cukup baik dan fungsinya tidak begitu vital seperti ginjal. Walaupun pulpa dan ligamen periodontalnya dapat mengaami nekrosis, tetapi struktur gigi sulit mengalami resorbsi (shulman, 1973). Gigi alograf dapat bertahan pada posisinya melalui penulangan pada akar yang mengalami resorbsi dan ankilosis, sedang perlekatan normal tidak mungkin terjadi pada transplantasi gigi alograf. Namun penggantian jaringan pulpa dengan bahan pengisi saluran serta pembuangan ligamen periodontal secara enzimatik menggunakan kolagenase dan hialuronidase, dapat mengurangi respon imun pada transplantasi gigi alograf (Lehner, 1992). Alergi Manifestasi alergi murni karena makanan atau bahan kimia di dalam mulut, jarang terjadi. Material yang sering mengakibatkan reaksi alergi adalah akrilik. Alergi karena anestesia lokal, biasanya lebih disebabkan karena alasan psikogenik (Lehner, 1992). Kelainan di dalam rongga mulut akibat alergi berupa eritema multiforme (Greenberg, 1994) berupa ulkus yang ekstensif yang disebabkan oleh berbagai obat (barbiturat, sulfonamid) atau bahan mikrobial (Herpes simplex, mikoplasma). Respon imun pada alergi di dalam rongga mulut, melibatkan IgE, komplemen C3a, C4a, dan C6a, serta respon seluler (Lehner, 1992).
Universitas Gadjah Mada
33