EFEKTIVITAS SALEP EKSTRAK BATANG PATAH TULANG (Euphorbia tirucalli) PADA PENYEMBUHAN LUKA SAYAT TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus)
skripsi disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Biologi
Oleh Siti Qomariah 4450408029
JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2014
i
ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi saya yang berjudul “Efektivitas Salep Ekstrak Batang Patah Tulang (Euphorbia tirucalli) Pada Penyembuhan Luka Sayat Tikus Putih (Rattus norvegicus)” disusun berdasarkan hasil penelitian saya dengan arahan dosen pembimbing. Sumber informasi atau kutipan yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir skripsi ini. Skripsi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar dalam program sejenis di perguruan tinggi manapun.
Semarang, Agustus 2014
Siti Qomariah 4450408029
iii
iv
ABSTRAK
Qomariah, Siti. 2014. Efektivitas Salep Ekatrak Batang Patah Tulang (Euphorbia tirucalli) Pada Penyambuhan Luka Sayat Tikus Putih (Rattus norvegicus). Skripsi, Jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Semarang. Dr. Lisdiana, M. Si dan drh. Wulan Christijanti, M. Si. Patah tulang (Euphorbia tirucalli) merupakan tanaman pagar yang digunakan sebagai obat tradisional secara turun-temurun oleh masyarakat. Senyawa aktif yang terkandung dalam batang patah tulang yaitu glikosida, sapogenin dan asam elagat. Senyawa yang membantu mempercepat penyembuhan luka sayat yaitu senyawa sapogenin, karena senyawa sapogenin bermanfaat mempengaruhi pembentukan kolagen (tahap awal perbaikan jaringan). Tujuan penelitian adalah mengkaji ekstrak batang patah tulang dalam bentuk salep pada penyembuhan luka sayat tikus putih serta menentukan dosis dan waktu tercepat pada penyembuhan luka sayat. Penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Sampel yang digunakan yaitu 20 ekor tikus putih jantan galur Wistar umur 2 bulan yang dibagi menjadi 4 kelompok yaitu dengan poviodin iodine 10% sebagai kontrol positif, salep dengan dosis 5%, 10% dan 20%. Perlakuan diberikan selama 13 hari. Pengambilan data dengan mendokumentasikan dan mencatat waktu penyembuhan luka sayat. Data dianalisis secara deskriptif dengan membandingkan waktu tercepat pada penyembuhan luka sayat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa salep dosis 5% dan 10% hasilnya tidak ada perbedaan. perlakuan salep dosis 10% lebih optimal dalam mempercepat penyembuhan luka sayat tikus putih dilihat pada hari ke-9 luka sudah sembuh dengan adanya jaringan baru. Sedangkan pada dosis 20% kurang optimal dalam mempercepat penyembuhan luka sayat dilihat pada hari ke-13. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa salep yang mengandung ekstrak batang patah tulang (Euphorbia tirucalli) pada dosis 10% mampu mempercepat penyembuhan luka sayat tikus putih. Kata Kunci : Euphorbia tirucalli, luka sayat, Rattus norvegicus.
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulilah segala puji syukur kehadirat allah SWT atas limpahan nikmat, karunia dan hidayahNya yang tak terhingga kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi dengan judul Efektivitas Salep Ekstrak Batng Patah Tulang (Euphorbia tirucalli)Pada Penyembuhan Luka Sayat Tikus Putih (Rattus norvegicus) ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Biologi. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini yaitu kepada: 1. Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan segala fasilitas dan kesempatan sehingga penulis dapat menyelesaikan studinya. 2. Dekan FMIPA Universitas Negeri Semarang yang telah memberi izin penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. 3. Ketua Jurusan Biologi yang memudahkan jalan penulis dalam menyusun skripsi. 4. Dr. drh R. Susanti, M.P, selaku dosen wali terima kasih untuk dukungan dan perhatiannya. 5. Dr. Lisdiana, M.Si dan drh. Wulan Christijanti, M.Si, selaku dosen pembimbing I dan pembimbing II terima kasih atas bimbingan, pengarahan dan dorongannya selama ini. 6. Dr. dr. Nugrahaningsih W. H., M. Kes, selaku dosen penguji yang dengan sabar telah banyak memberikan dorongan dan bimbingan dalam menyelesaikan skripsi ini. 7. Bapak Ibu dosen dan seluruh staf pengajar Jurusan Biologi, untuk ilmu yang diberikan pada penulis. 8. Ayah Sudikan, Ibu Yayuk Sri Wahyuni dan ke-2 adik saya Muhammad Busro dan Siti Kumaidah serta Mbah Kakung dan Mbah Putri atas do’a yang tak pernah putus.
vi
9. Mbak Tika, mbak Fitri, Dhurotun Nafisah, Fiasri, Umi Atiqoh, Nurul Hidayah, Anis Maftuhah, Meris Okana Mutiara, Septi Jayanti, Yulia Astriana, Ngaliyatun, Umarudin dan teman-teman seperjuangan Bio’08 (BIPANNES) terima kasih untuk semangat dan dukungannya. 10. Semua pihak yang turut membantu dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Penulis menyadari akan ketidaksempurnaan dalam penulisan skripsi ini, maka segala kritik maupun saran yang bersifat membangun akan penulis terima dengan senang hati. Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna bagi semua pihak yang membutuhkan.
Semarang, Agustus 2014 Penulis
vii
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL........................................................................................... i PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI .... ........................................................ ii PENGESAHAN .................................................................................................. iii ABSTRAK .......................................................................................................... iv KATA PENGANTAR ........................................................................................ v DAFTAR ISI ....................................................................................................... vii DAFTAR TABEL ............................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... x DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xi BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang ........................................................................................ 1 B. Rumusan Masalah ................................................................................... 2 C. Penegasan Istilah ..................................................................................... 2 D. Tujuan Penelitian .................................................................................... 3 E. Manfaat Penelitian .................................................................................. 3 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS A. Tinjauan Pustaka ..................................................................................... 4 1. Tanaman Patah Tulang (Euphorbia tirucalli) ................................... 4 2. Jaringan Kulit .................................................................................... 6 3. Proses Penyembuhan Luka Sayat ..................................................... 8 B. Kerangka Berfikir dan Hipotesis ............................................................. 12 BAB II. METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian ..................................................................................... 13 B. Populasi dan Sampel ............................................................................... 13 C. Variabel Penelitian .................................................................................. 13 D. Rancangan Penelitian .............................................................................. 13
viii
E. Alat dan Bahan ........................................................................................ 14 1. Alat .................................................................................................... 14 2. Bahan................................................................................................. 15 F. Prosedur Penelitian.................................................................................. 15 1. Tahap Persiapan ................................................................................ 15 a. Pembuatan Ekstrak Batang Patah Tulang ................................... 15 b. Pembuatan Salep dengan Ekstrak Batang Patah Tulang ............. 15 2. Tahap Pelaksanaan ............................................................................ 16 G. Metode Analisis Data .............................................................................. 19 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil ........................................................................................................ 20 B. Pembahasan ............................................................................................. 22 BAB V. SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ................................................................................................. 26 B. Saran ........................................................................................................ 26 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 27 LAMPIRAN-LAMPIRAN.................................................................................. 29
ix
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1. Alat yang digunakan untuk membuat salep .................................................. 14 2. Alat yang digunakan untuk menyayat tikus ................................................ 14 3. Bahan yang digunakan dalam penelitian....................................................... 15 4. Formula salep dari tanaman patah tulang...................................................... 16 5. Tabel Pengamatan penyembuhan luka sayat pada hari ke-1 sampai hari ke-13 pasca pemberian perlakuan ................................................................ 20
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1. Morfologi tanaman patah tulang (Euphorbia tirucalli) ................................ 5 2. Struktur kimia senyawa sapogenin, glikosida dan asam elagat .................... 6 3. Histologi kulit ............................................................................................... 8 4. Diagram alur penyembuhan luka sayat dengan senyawa sapogenin ........... 11 5. Alur kerangka berfikir penelitian ................................................................. 12 6. Alur penelitian .............................................................................................. 18 7. Gambar luka sayat tikus putih pada hari ke-7 pasca perlakuan .................... 21
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Lampiran 1. Dokumentasi penelitian ........................................................... 30 2. Lampiran 2. Gambar alat dan bahan yang digunakan selama penelitian ...... 34 3. Lampiran 3. Tabel data pengamatan ........................................................... 36 4. Lampiran 4. Surat ijin penelitian ................................................................. 49 5. Lampiran 5. Surat Ujian Skripsi ................................................................. 50
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia kaya akan sumber bahan obat tradisional yang digunakan sebagian besar masyarakat Indonesia secara turun temurun. Tumbuhan obat adalah semua jenis tumbuhan yang dapat digunakan sebagai ramuan obat, baik secara tunggal maupun campuran yang dianggap dan dipercaya dapat menyembuhkan suatu penyakit atau dapat memberikan pengaruh terhadap kesehatan. Keuntungan tanaman obat tradisional yaitu mudah diperoleh dan dapat ditanam di pekarangan rumah sendiri (Rahayu., et al. 2006). Sebagian masyarakat Indonesia menggunakan obat tradisional untuk mengobati penyakit yang timbul pada tubuh. Seperti tanaman patah tulang dikenal sebagai salah satu jenis tanaman yang biasa digunakan oleh masyarakat untuk obat tradisional. Tanaman patah tulang yang mempunyai nama latin Euphorbia tirucalli dari Famili euphorbiaceae ini sangat mudah tumbuh di daerah tropis dan dapat dikembangkan secara stek. Tanaman Euphorbia tirucalli merupakan salah satu tumbuhan yang mempunyai sifat toksik terhadap kulit dari lapisan lendir. Getahnya yang berwarna putih seperti susu, bersifat toksik (Julianus., et al. 2011). Ranting Euphorbia tirucalli mengandung glikosida, sapogenin, dan asam elagat (Dalimartha, 2003). Dari beberapa senyawa Euphorbia tirucalli yang digunakan adalah sapogenin, salah satu manfaat sapogenin adalah mempengaruhi kolagen (tahap awal perbaikan jaringan) dengan cara menghambat produksi jaringan luka yang berlebihan (Setyoadi dan Sartika, 2010). Dalam pekerjaan sehari-hari, manusia selalu dihadapkan pada bahaya-bahaya tertentu, misalnya bahaya infeksius, reagensia yang toksik dan peralatan listrik dan gelas yang digunakan sehari-hari sehingga berpotensi mengalami resiko luka. Pada kasus luka terbuka sering terjadi infeksi yang disebabkan masuknya kuman pada luka, keadaan akan lebih buruk bila tidak segera diberi antiseptik dengan segera. Antiseptik yang bersifat kimia seperti povidon iodine memiliki dampak menyerap langsung kedalam tubuh melalui luka dan sirkulasi pembuluh darah (Purbani, 2009). 1
2
Luka diklasifikasikan dalam dua bagian yaitu luka akut dan luka kronik. Luka akut memiliki serangan yang cepat dan penyembuhannya sesuai dengan waktu yang diperkirakan. Contoh luka akut adalah luka jahit karena pembedahan, luka sayat, luka bakar, luka tusuk dan crush injury. Sedangkan luka kronik, luka yang gagal sembuh pada waktu yang diperkirakan. Contoh ulkus diabetes, ulkus venous (Perdanakusuma, 2007). Penyembuhan luka yang normal merupakan suatu proses kompleks dan dinamis. Proses penyembuhan luka berlangsung secara alami maupun dengan bantuan kimiawi, seperti dengan zat-zat obat, salep dan lain-lain. Pada masyarakat masih banyak yang menggunakan tanaman-tanaman sebagai obat diantaranya yaitu tanaman Euphorbia tirucalli yang mengandung senyawa salah satunya sapogenin bermanfaat untuk membantu penyembuhan luka sayat. Namun sampai saat ini belum pernah dilakukan penelitian tentang efektivitas senyawa batang patah tulang (Euphorbia tirucalli) terhadap penyembuhan luka sayat.
B. Rumusan Masalah Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah 1. Bagaimana pengaruh ekstrak batang patah tulang dalam bentuk salep terhadap penyembuhan luka sayat tikus putih? 2. Berapa dosis optimal salep dan waktu tercepat pada penyembuhan luka sayat?
C. Penegasan Istilah Untuk memperjelas dan menghindari perbedaan pengertian dalam penelitian ini, perlu diberikan penjelasan tentang beberapa istilah, sebagai berikut: 1. Ekstrak batang tanaman Euphorbia tirucalli Ekstrak merupakan proses pemisahan suatu zat padat atau cair dengan bantuan pelarut (Sugiarto, 2008). Dalam penelitian ini ekstrak batang Euphorbia tirucalli dilakukan estraksi simplisia dengan metode perkolasi menggunakan pelarut alkohol 70% (Suratman., et al. 2004). Ekstrak dioven pada suhu 400 C
3
hingga diperoleh ekstrak kering kemudian dicampur dengan vaselin sesuai dosis yang diperlukan sehingga terbentuk sediaan salep. 2. Luka sayat Luka sayat dikategorikan kedalam luka akut yang berupa trauma, baru, mendadak dan cepat penyembuhannya (Perdanakusuma, 2007). Dalam penelitian ini luka sayat adalah luka yang sengaja dibuat pada punggung tikus putih dengan menyayat menggunakan scalpel steril sepanjang 1 cm. 3. Penyembuhan luka Penyembuhan luka merupakan suatu proses untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi. Komponen utama dalam proses penyembuhan luka adalah kolagen disamping sel epitel (Perdanakusuma, 2007). Pada penelitian ini suatu luka dikatakan sembuh apabila luka mengalami perubahan pada kulit, seperti tidak adanya aritema (kemerahan), tidak adanya pembengkakan, dan luka menutup.
D. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah untuk : 1. Mengkaji ekstrak batang patah tulang dalam bentuk salep pada penyembuhan luka sayat tikus putih. 2. Menentukan penyesuaian dosis dan waktu tercepat pada penyembuhan luka sayat.
E. Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui senyawa aktif ekstrak batang patah tulang dalam mempercepat penyembuhan luka sayat. 2. Untuk mengetahui berapa waktu tercepat pada proses penyembuhannya. 3. Untuk mengetahui pada dosis berapa salep mempercepat penyembuhan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS
A. Tinjauan Pustaka a. Tanaman patah tulang (Euphorbia tirucalli) Tanaman Euphorbia tirucalli merupakan tanaman perdu yang banyak dimanfaatkan sebagai tanaman pagar. Sebagian besar bentuknya hanya berupa batang berbentuk bulat panjang seperti pensil dengan warna hijau tua. Dibagian ujung batang terbentuk 2-3 cabang, diujung cabang paling muda muncul daun-daun kecil yang berumur pendek. Batangnya mudah patah dan mengandung getah, getah tersebut beracun sehingga bila digunakan sebagai obat hanya untuk obat luar. Cabangcabangnya bisa dijadikan tanaman baru bila ditanam di dalam tanah. Tanaman Euphorbia tirucalli mengandung eufol, traksaterin, tiru-kalol, dan sapogenin. Tanaman Euphorbia tirucalli berkhasiat mengobati kesisipan duri, tahi lalat dan patah tulang (Mursito., et al. 2011). Tanaman Eurphorbia tirucalli berasal dari Afrika Tropis. Tinggi tumbuhan 2-6 m dengan pangkal berkayu, bercabang banyak dan bergetah seperti susu yang beracun. Getah sifatnya asam (acid latex) mengandung senyawa euphorbone, taraksasterol, α-laktucerol, euphol, senyawa damar (Julianus., et al.2011). Tanaman Euphorbia tirucalli dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Klasifikasi : Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Euphorbiales
Famili
: Euphorbiaceae
Genus
: Euphorbia
Spesies
: Euphorbia tirucalli (Robins, 2003).
4
5
Gambar 1. Morfologi tanaman patah tulang (Euphorbia tirucalli). Soen (1994), menyatakan getah pada tanaman patah tulang yang berasal dari potongan dahan dan ranting mengandung triterpen, setelah dilakukan pemurniaan dengan cara kromatografi kolom. Triterpen ini sangat merusak lapisan lendir dan apabila mengenai mata bisa menyebabkan kebutaan. Namun, justru sifat toksik inilah yang dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai obat untuk berbagai penyakit kulit seperti obat luar untuk kutil, kapalen, mengeluarkan duri yang tertingal di kulit, tahi lalat yang membesar. Absor (2006), menyatakan ranting patah tulang mengandung alkaloid, saponin dan tanin setelah di uji dengan fitokimia. Ranting Euphorbia tirucalli mengandung glikosida, sapogenin dan asam elagat. Glikosida merupakan senyawa yang terbentuk dari kondensasi dari gugus hidroksil pada karbon anomerik monosakarida atau residu monosakarida dengan senyawa kedua yang dapat bukan monosakarida lain (aglikon). Senyawa glikosida ditemukan dalam sejumlah besar obat serta rempah dan dalam unsur-unsur pembentuk jaringan. Senyawa aglikon dapat berupa metanol, gliserol, sterol, fenol, atau basa seperti adenin. Sapogenin merupakan bagian aglikon dari saponin yang diperoleh dengan cara hidrolisis. Sapogenin terdiri struktur terpen atau steroid. Sapogenin ditemukan dalam tanaman dan salah satunya adalah ginseng. Asam elagat adalah senyawa fenol alam yang ditemukan dalam bentuk elagitanin pada tanaman. Asam elagat berpotensi
6
sebagai antikanker dan antioksidan. Bagian tanaman yang digunakan sebagai obat adalah akar, batang kayu, ranting, dan getahnya. Akar dan ranting dapat digunakan untuk nyeri lambung, tukak rongga hidung, rematik, tulang terasa sakit, nyeri syaraf, wasir, dan sifilis. Batang kayu digunakan untuk sakit kulit, kusta, dan kaki dan tangan mati rasa (Dalimartha 2003). Struktur senyawa-senyawa yang terkandung dalam ranting Euphorbia tirucalli dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Struktur kimia senyawa sapogenin, glikosida dan asam elagat. b. Jaringan Kulit Kulit adalah suatu jaringan pembungkus seluruh permukaan luar tubuh. Struktur kulit tersusun atas 2 lapis yaitu epidermis dan dermis. Kedua lapisan ini bersamasama membentuk membran yang sangat erat melekat yang terletak diatas lapisan jaringan ikat longgar yaitu lapisan subkutan mempunyai banyak lemak dan menghubungkan kulit dangan struktur yang lebih dalam.
7
1. Epidermis Epidermis adalah lapisan terluar kulit yang tipis dan avaskuler. Terdiri dari epitel berlapis gepeng, bertanduk, mengandung sel melanosit, lagerhans dan sel merkel. Fungsi utamanya adalah sebagai proteksi barier, organisasi sel, sintesis vitamin D dan sitoksin, pembelahan dan mobilisasi sel, pigmentasi (melanosit) dan pengenalan alergen (sel lagerhans) (Perdanakusuma, 2007). Epidermis mempunyai melanocytes yang membuat melanin dan memberikan warna pada kulit. Fungsi pada lapisan epidermis adalah melindungi dari masuknya bakteri, toksin, untuk keseimbangan cairan yaitu menghindari pengeluaran cairan secara berlebihan (Suriadi, 2004). Genester (1994), menyatakan epidermis dapat berperan dalam mekanisme penyembuhan karena epidermis pada lapisan luar membentuk selaput yang terdiri atas sel-sel mati, lapisan tanduk atau stratum korneum, yang berisi protein keratin dan campuran kompleks lipid. 2. Dermis Dermis atau korium adalah lapisan tebal jaringan ikat tempat melekatnya epidermis dan lapisan terdalamnya melanjutkan diri ke jaringan subkutan yang berisi lemak tanpa suatu batas yang jelas. Dermis terletak dibawah epidermis dan dibatasi oleh lamina basalis. Tebalnya bervariasi, yang paling tebal pada telapak kaki sekitar 3 mm (Perdanakusuma, 2007). Suriadi (2004), menyatakan lapisan dermis lebih tebal dari pada lapisan epidermis. Fungsi utamanya sebagai penyokong epidermis. Lapisan dermis strukturnya lebih kompleks dan terdapat dua lapisan bagian superficial papillary dan bagian dalam reticular dermis. Regenerasi merupakan proses penyembuhan dari sel parenkim terjadi dengan mengganti sel yang rusak dengan sel yang baru dan sama sehingga fungsi tubuh atau jaringan akan pulih kembali dengan sempurna. Sedangkan regenerasi secara fisiologi disebut juga dengan sel labil karena pada proses ini sel yang pada saat tertentu mengalami nekrosis tetapi akan mengalami pembaharuan yang terjadi secara periodik dan sel akan terganti dengan sel yang sama (Sudiono., et al. 2003).
8
Gambar 3. Histologi kulit (Somantri, 2007) Fungsi proteksi kulit adalah melindungi dari kehilangan cairan dari elektrolit, trauma
mekanik,
ultraviolet
dan
sebagai
barier
dari
invasi
mikroorganisme patogen. Kulit berperan pada pengaturan suhu dan keseimbangan cairan elektrolit. Termoregulasi dikontrol oleh hipothalamus. Temperatur perifer mengalami proses keseimbangan melalui keringat, paru-paru dan mukosa bukal. Temperatur kulit dikontrol dengan dilatasi atau kontriksi pembuluh darah kulit. Bila temperatur meningkat terjadi vasodilatasi pembuluh darah, kemudian tubuh akan mengurangi temperatur dengan melepas panas dari kulit dengan cara mengirim sinyal kimia yang dapat meningkatkan aliran darah di kulit. Pada temperatur yang menurun, pembuluh darah kulit akan vasokontriksi yang kemudian akan mempertahankan panas (Perdanakusuma, 2007).
c. Proses penyembuhan luka sayat Perdanakusuma (2007), menyatakan penyembuhan luka adalah suatu bentuk proses usaha untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi. Komponen utama dalam
9
proses penyembuhan luka adalah kolagen disamping sel epitel. Fibroblas adalah sel yang bertanggung jawab untuk sintesis kolagen. Fisiologi penyembuhan luka secara alami akan mengalami fase-fase seperti dibawah ini: 1. Fase inflamasi Fase ini dimulai sejak terjadinya luka sampai hari kelima. Setelah terjadinya luka, pembuluh darah yang putus mengalami konstriksi dan retraksi disertai reaksi hemostasis karena agregasi trombosit yang bersama jala fibrin membekukan darah. Komponen hemostasis ini akan melepaskan dan mengaktifkan sitokin yang meliputi Epidermal Growth Factor (EGF), Insulin-like Growth Factor (IGF), Plateled-derived Growth Factor (PDGF) dan Transforming Growth Factor beta (TGF-β) yang berperan untuk terjadinya kemotaksis netrofil, makrofag, mast sel, sel endotelial dan fibroblas. Keadaan ini disebut fase inflamasi. Pada fase ini kemudian terjadi vasodilatasi dan akumulasi lekosit Polymorphonuclear (PMN). Agregat trombosit akan mengeluarkan mediator inflamasi Transforming Growth Factor beta 1 (TGF β1) yang juga dikeluarkan oleh makrofag. Adanya TGF β1 akan mengaktivasi fibroblas untuk mensintesis kolagen (Perdanakusuma, 2007). Pada fase inflamasi terjadi proses angiogenesis, dimana pembuluh-pembuluh darah yang baru mulai tumbuh dalam luka injuri dan sangat penting peranannya dalam fase proliferasi. Fibroblas dan sel endothelial mengubah oksigen molekular dan larut dengan superoxide yang merupakan senyawa penting dalam resistensi terhadap infeksi maupun pemberian insyarat oxidative dalam menstimulasi produksi growth factor lebih lanjut. Dalam proses inflamasi adalah suatu perlawanan terhadap infeksi dan sebagai jembatan antara jaringan yang mengalami injury dan untuk pertumbuhan sel-sel baru (Suriadi, 2004). 2. Fase proliferasi Fase proliferasi ditandai dengan pembentukan jaringan granulasi dalam luka, pada fase ini makrofag dan limfosit masih ikut berperan, tipe sel predominan mengalami proliferasi dan migrasi termasuk sel epithelial, fibroblas, dan sel endothelial. Proses ini tergantung pada metabolik, konsentrasi oksigen dan faktor
10
pertumbuhan. Dalam beberapa jam setelah injury, terjadi epitelialisasi dimana epidermal yang mencakup sebagian besar keratin mulai bermigrasi dan mulai stratifikasi dan deferensiasi untuk menyusun kembali fungsi barrier epidermis. Pada proses ini diketahui sebagai epitelialisasi, juga meningkatkan produksi extraseluler matrik (promotes-extracelluler matrix atau singkat ECM), growth factor, sitokin dan angiogenesis melalui pelepasan faktor pertumbuhan seperti keratinocyte growth factor (KGF).Pada fase proliferasi fibroblas merupakan elemen sintetik utama dalam proses perbaikan dan berperan dalam produksi struktur protein yang digunakan selama rekonstruksi jaringan. Secara khusus fibroblas menghasilkan sejumlah kolagen yang banyak. Fibroblas biasanya akan tampak pada sekeliling luka. Pada fase ini juga terjadi angiogenesis yaitu suatu proses dimana kapiler-kapiler pembuluh darah yang baru tumbuh atau pembentukan jaringan baru (granulasi tissue). Secara klinis akan tampak kemerahan pada luka. Kemudian pada fase kontraksi luka, kontraksi disini adalah berfungsi dalam memfasilitasi penutupan luka (Suriadi, 2004). Fibroblas (menghubungkan sel-sel jaringan) yang berpindah ke daerah luka mulai 24 jam pertama setelah pembedahan. Pada jaringan lunak yang normal (tanpa perlukaan), pemaparan sel fibroblas sangat jarang dan biasanya bersembunyi di matrik jaringan penunjang. Sesudah terjadi luka, fibroblas akan aktif bergerak dari jaringan sekitar luka ke dalam daerah luka, kemudian akan berkembang (proliferasi) serta mengeluarkan beberapa substansi (kolagen, elastin, hyaluronic acid, fibronectin, dan proteoglycans) yang berperan dalam membangun (rekontruksi) jaringan baru (Shukla., et al. 1999). 3. Fase maturasi Fase ini merupakan fase yang terakhir dan terpanjang pada proses penyembuhan luka. Terjadi proses yang dinamis berupa remodelling kolagen, kontraksi luka dan pematangan parut. Aktivitas sintesis dan degradasi kolagen berada dalam keseimbangan. Fase ini berlangsung mulai 3 minggu sampai 2 tahun. Akhir dari penyembuhan ini didapatkan parut luka yang matang yang mempunyai kekuatan 80% dari kulit normal (Perdanakusuma, 2007).
11
Pada fase maturasi atau remodeling yaitu banyak terdapat komponen matrik. Komponen hyaluronic acid, proteoglycan, dan kolagen yang berdeposit selama perbaikan untuk memudahkan perekatan pada migrasi seluler dan menyokong jaringan. Serabut-serabut kolagen meningkat secara bertahap dan bertambah tebal kemudian disokong oleh proteinase untuk perbaikan sepanjang garis luka. Kolagen menjadi unsur yang palin utama pada matrik. Serabut kolagen menyebar dengan saling tertarik dan menyatu, berangsur-angsur menyokong pemulihan jaringan. Remodeling kolagen selama pembentukan skar terjadi pada sintesis dan katabolisme kolagen secara terus menerus (Suriadi, 2004). Peranan senyawa sapogenin pada proses penyembuhan luka sayat tikus putih. Beberapa sapogenin bekerja sebagai antimikroba (anti-bakteri dan anti virus) meningkatkan sistem kekebalan tubuh, kadar gula dalam darah, mengurangi penggumpalan darah, dan sapogenin juga bermanfaat mempengaruhi pembentukan kolagen (tahap awal perbaikan jaringan) yaitu dengan menghambat produksi jaringan luka yang berlebihan (Setyoadi dan sartika, 2010). Kandungan senyawa sapogenin yang terkandung dalam getah merangsang pembentukan sel epitel yang baru dan mendukung proses re-epitelisasi, karena semakin cepat proses re-epitelisasi maka semakin cepat pula berkurang ukuran luka sehingga mempersingkan proses penyembuhan luka (Prasetyo., et al. 2010). Untuk lebih rinci dijelaskan pada gambar 4. Diagram alur penyembuhan luka sayat dengan senyawa sapogenin.
Senyawa sapogenin yang terkandung pada tanaman patah tulang
Memacu pertumbuhan kolagen
Mempersingkat penyembuhan luka sayat
Merangsang pembentukan sel epitel yang baru
Terjadi proses reepitelisasi
Gambar 4. Diagram alur penyembuhan luka sayat dengan senyawa sapogenin.
12
B. Kerangka Berfikir dan Hipotesis a. Kerangka Berfikir Tikus dilukai dengan menyayat bagian punggung
Ekstrak dari batang tanaman patah tulang
Senyawa sapogenin
Regenerasi sel dengan cara merangsang pembentukan sel epitel yang baru dan mendukung proses re-epitelisasi.
Indikator dengan melihat tidak adanya eritema, pembengkakan dan luka menutup.
Mempercepat penyembuhan luka sayat.
Gambar 5. Alur kerangka berfikir penelitian.
b. Hipotesis Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diajukan hipotesis bahwa ekstrak batang patah tulang dalam bentuk salep dapat mempercepat menyembuhkan luka sayat.
BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Jurusan Biologi Universitas Negeri Semarang selama 6 bulan dari bulan Januari – Juni 2014.
B. Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar yang dilukai pada bagian punggung. Sampel yang digunakan adalah 20 ekor tikus putih jantan dengan umur 2 bulan dan berat badan kira-kira 150 gr - 200 gr dari LPPT Farmasi UGM.
C. Variable Penelitian 1. Variabel bebas Variabel bebas dalam penelitian ini adalah variasi ekstrak batang patah tulang dengan vaselin dosis 5%, 10%, 20% dan Povidone Iodine 10%. 2. Variabel terikat Variabel terikat dalam penelitian ini adalah lama penyembuhan luka dengan indikator tidak adanya eritrema, tidak adanya pembengkakan, dan luka menutup. 3. Variabel kendali Variabel kendali dalam penelitian ini adalah jenis kelamin, umur, jenis pakan dan ukuran kandang.
D. Rancangan Penelitian Menggunakan penelitian eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) karena sampel yang digunakan relatif sama (homogen) dari aspek umur dan berat badan (Gomes, 1995). Penelitian ini menggunakan 4 perlakuan dengan 5 kali ulangan, dimana setiap ulangan berisi 1 ekor tikus putih jantan. Pada kelompok K1 dengan perlakuan Povidon Iodine 10% sebanyak 2 tetes, PI dengan salep dosis 5%, 13
14
PII dengan salep dosis 10% dan PIII dengan salep dosis 20% (Modifikasi dari Suratman., et al. 2004 ).
E. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian dapat dilihat. Pada Tabel 2. Alat yang digunakan untuk membuat salep, Tabel 3. Alat yang digunakan untuk menyayat tikus putih dan Tabel 4. Bahan yang digunakan pada saat penelitian. 1. Alat Tabel 2. Alat yang digunakan untuk pembuatan salep. No 1. 2. 3. 4. 5.
Nama alat Sarung tangan Alat gelas Tempat berbahan plastic Saringan Hotplat
6. 7. 8. 9. 10. 11.
Timbangan analitik Oven Mortar dan penggerus Pengaduk Blander Kandang
Kegunaan Memegang tikus Mencampur ekstrak dan vaselin Membuat ekstrak Menyaring ekstrak Membantu mencampur vaselin dan ekstrak Menimbang bahan buat salep Mengeringkan ekstrak Menghaluskan ekstrak Mengaduk vaselin dan ekstrak Menghaluskan batang patah tulang Menempatkan tikus
Tabel 3. Alat yang digunakan untuk menyayat tikus putih No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Nama alat Gunting Mata pisau (scapel steril) Sarung tangan Kamera digital Cuttonbud Masker
Keterangan Mencukur rambut punggung tikus putih Membuat luka pada punggung tikus Memegang tikus Memfoto luka sayat Mengoleskan sediaan Menutup mulut
15
2. Bahan Tabel 4. Bahan yang digunakan pada penelitian. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Nama bahan Alkohol 70 % Vaselin Poviodin Iodine 10% Tikus Pakan Minum Ekstrak batang patah tulang
F. Prosedur Penelitian 1. Tahap persiapan a. Pembuatan ekstrak batang patah tulang Pada penelitian ini pembuatan ekstrak batang patah tulang dengan mengambil batang patah tulang yang masih muda dan dikering anginkan pada ruangan yang tidak terkena sinar matahari langsung. Batang patah tulang yang sudah kering di blender untuk mempermudah dalam mengekstrak, setelah itu bubuk ekstrak diberi alkohol 70 % sebagai pelarut dan didiamkan selama 2 hari untuk terjadinya homogenitas ekstrak. Setelah 2 hari ekstrak disaring dan di oven dengan suhu 40 0C. Bubuk ekstrak yang sudah kering dihaluskan dengan mortar dan penggerus kemudian disaring, ekstrak yang sudah halus dicampur dengan vaselin yang dipanaskan untuk mempermudah pencampuran ekstrak dengan vaselin, setelah ekstrak dan vaselin tercampur didinginkan dan salep dari ekstrak batang patah tulang dapat digunakan untuk penelitian.
b. Pembuatan salep dengan ekstrak batang patah tulang Pembuatan salep ekstrak batang patah tulang dengan konsentrasi perbandingan yang sesuai dengan prosedur penelitian dapat dilihat pada Tabel 5 dibawah ini.
16
Tabel 5. Formula salep dari tanaman patah tulang Jenis Ekstrak patah tulang Vaselin
5% 1,5 28,5
Bahan (gram) 10% 20% 3 6 27 24
PI* 2 tetes
Keterangan : * : Poviodine Iodine 10%
2. Tahap pelaksanaan Tahapan pelaksanaan dimulai dengan menyiapkan 20 ekor tikus putih jantan. Yang dibagi secara acak menjadi 4 kelompok dengan masing-masing kelompok terdiri dari 5 ekor. Tikus putih ditempatkan dengan kandang individu dan diaklimasi selama 5 hari. Perlakuan penelitian secara rinci seperti dibawah ini. a. Pengelompokan hewan coba 1) 20 ekor tikus putih dibagi menjadi 4 kelompok setiap kelompok terdiri dari 5 ekor. Masing-masing kelompok disebut kelompok K1, PI, PII, PIII, sesuai dengan matrik penelitian (Tabel 1). 2) Tikus ditempatkan kandang individu dengan diberikan makan dan minum secara adlibitum. 3) Punggung tikus dilukai dengan mata pisau (scalpel) sepanjang 1 cm. 4) Luka sayat pada punggung tikus diolesi dengan Povidon Iodine 10% dan salep, sesuai dengan matrik penelitian. 5) Perlakuan diberikan sampai luka dinyatakan sembuh. 6) Pengamatan dilakukan 2x/hari pada pagi dan sore dan mendokumentasikan dengan camera digital. b. Prosedur pengujian efek penyembuhan luka sayat Rambut tikus dibersihkan sampai bersih kemudian dicukur bagian punggungnya dan dibersihkan dengan alkohol 70%, kemudian disayat dengan panjang 1 cm dengan mata pisau (scalpel). Luka yang terjadi diolesi dengan sediaan uji (salep ekstrak batang patah tulang). Hari berikutnya mengamati dan
17
mendokumentasikan kondisi luka sayat. Dilakukan 2x/hari sampai luka sembuh (bila luka sudah tertutup dengan jaringan baru) atau dengan adanya indikator tidak adanya eritema, pembengkakan dan luka menutup.
18
20 ekor tikus putih jantan
Dilukai dengan sayatan pada punggung
Di bagi 4 kelompok
Poviodin Iodin 10%
Ekstrak batang patah tulang
5%
Ditempatkan pada kandang individual
Observasi 2x/hari
Luka menutup/ dikatakan sembuh :
Eritema Bengkak Luka menutup
Data di analisis secara deskriptif Gambar 6. Alur penelitian.
10%
20%
19
G. Metode Analisis Data Untuk mengetahui efektifitas salep ekstrak batang patah tulang pada penyembuhan luka sayat tikus putih data dianalisis dengan cara deskriptif dengan melihat tidak adanya eritema, pembengkakan dan luka menutup pada luka sayat. Luka sayat dikatakan sembuh apabila luka tertutup oleh jaringan baru.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian Hasil penelitian berupa lama waktu yang menunjukan tahapan luka yang ditunjukan pada Tabel 6. Tabel 6. Pengamatan penyembuhan luka sayat pada hari ke-1 sampai hari ke-13 pasca pemberian perlakuan. Kel. K1
PI
PII
PIII
Ulangan 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
1
2
3
4
Penyembuhan luka (Hari) 5 6 7 8
9
10
11
12
13
Keterangan : : Eritema : Luka mulai menutup
*
: Pembengkakan : Luka menutup
Penutupan luka mulai hari ke-7, proses-proses penyembuhan luka dilihat dari eritema atau kemerahan, pembengkakan dan luka mulai menutup. Tabel diatas menunjukkan bahwa pemberian salep dari ekstrak batang patah tulang dengan dosis 20
21
5% memberikan efek penutupan luka sayat paling cepat pada hari ke-8, sedangkan paling lama penyembuhan luka sayat pada hari ke-10 dari ke-5 ulangan. Dosis 10% memberikan efek penutupan luka paling cepat pada hari ke-8, sedangkan paling lama penyembuhan luka pada hari ke-9. Dosis 20% memberikan efek penutupan luka paling cepat pada hari ke-7, sedangkan penyembuhan luka sayat paling lama pada hari ke-13, dan pada perlakuan kontrol positif dengan povidon iodine 10% memberikan efek penutupan luka paling cepat pada hari ke-7, sedangkan penyembuhan luka sayat paling lama pada hari ke-13.
A
C
B
D
Gambar 7. Gambaran luka sayat tikus putih pada hari ke-7 pasca perlakuan. Keterangan : A : Awal sayatan B : Eritema
C : Pembengkakan D : Luka menutup
Gambar diatas menjelaskan bahwa tahapan penyembuhan luka sayat yaitu dilihat dari (A) mulai penyayatan pada tikus putih, (B) setelat perlakuan dengan dosis salep 5%, 10%, 20% dan povidon iodine 10% terjadi eritema, (C) setelah terjadinya
22
eritema maka luka sayat mengalami pembengkakan, (D) dan selanjutnya akan terjadi penutupan luka dengan adanya jaringan baru pada luka sayat.
B. Pembahasan Ekstrak batang patah tulang mengandung senyawa glikosida, sapogenin dan asam elagat (Dalimartha, 2003). Pada penelitian Absor (2006) menyatakan bahwa ranting patah tulang mengandung senyawa alkaloid, sapogenin dan tannin setelah di uji dengan fitokimia. Sapogenin bermanfaat untuk mempengaruhi kolagen (tahap awal perbaikan jaringan) dengan menghambat produksi jaringan luka yang berlebihan (Setyoadi dan Sartika, 2010). Peranan senyawa sapogenin pada penyembuhan luka sayat tikus putih yaitu sebagai antimikroba (anti-bakteri dan anti virus) dimana senyawa sapogenin meningkatkan sistem kekebalan tubuh, mengoptimalkan kadar gula dalam darah dan mengurangi penggumpalan darah. Senyawa sapogenin juga membantu merangsang pembentukan sel epitel yang baru dan mendukung proses reepitelisasi, karena semakin cepat proses re-epitelisasi maka semakin cepat proses penyembuhan luka (Prasetyo., et al. 2010). Selain sapogenin senyawa tannin juga berperan dalam proses penyembuhan luka sayat tikus putih karena, tannin bermanfaat sebagai astrigen dimana astrigen akan menyebabkan permeabilitas mukosa akan berkurang dan ikatan antar mukosa menjadi kuat sehingga mikroorganisme dan zat kimia iritan tidak dapat masuk ke dalam luka (Suprapto, 2012). Tannin berperan menghambat hipersekresi cairan mukosa dan menetralisir protein inflamasi. Ajizah (2004), menyatakan bahwa senyawa tannin mengandung senyawa anti-bakteri dimana senyawa tersebut membantu mengkerutkan dinding sel atau membran sel sehingga menghambat permeabilitas bakteri untuk berkembang. Parameter pada penelitian ini yaitu dengan melihat adanya eritema, pembengkakan dan luka menutup. Kemerahan (eritema) merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang mengalami peradangan. Pada saat reaksi peradangan timbul,
23
terjadi pelebaran arteriola yang mensuplai darah ke daerah peradangan. Sehingga lebih banyak darah mengalir ke mikrosirkulasi lokal, dan kapiler merenggang dengan cepat terisi penuh dengan darah. Keadaan ini disebut juga hiperemia atau kongesti, penyebab warna merah lokal karena peradangan akut. Menurut Argamula (2008), warna merah pada luka tikus merupakan hasil dari suatu peradangan terhadap luka. Reaksi ini berupa vasokonstriksi dari pembuluh darah yang segera diikuti oleh vasodilatasi. Adanya gumpalan darah merupakan reaksi platelet yang teraktivasi dan protein fibrinogen yang banyak dikeluarkan oleh pembuluh darah. Platelet akan teraktivasi untuk membentuk benang-benang fibrin yang akan menghentikan hemoraghi dan akan terlihat berupa gumpalan darah. Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian dari 20 ekor tikus putih luka sayat terlihat eritrema pada hari ke-1 sampai hari ke-4 setelah dilakukan perlakuan dengan Povidon Iodine 10% dan salep dengan dosis 5%, 10% dan 20%. Akan tetapi pada hari ke-9 dosis salep 5% dan 10% ke-5 tikus tidak mengalami eritrema. Suprapto (2012), menyatakan bahwa senyawa tannin yang mampu menghambat hipersekresi cairan mukosa dan menetralisir protein inflamasi. Tannin memiliki afinitas terhadap protein sehingga dapat terkonsentrasi pada area luka. Pembengkakan terjadi pada hari ke-1 sampai ke-4, dimana luka sayat masih mengalami eritema. Menurut Luviana (2009), pembengkakan disebabkan hiperemi dan sebagaian besar ditimbulkan oleh pengiriman cairan dan sel-sel dari sirkulasi darah ke jaringan-jaringan interstitial. Sperling (1984), menyatakan bahwa semua senyawa kimia mempunyai kecenderungan untuk menghasilkan beberapa reaksi ketika terdapat kontak dengan kulit. Respon dapat di sebabkan oleh aberasi fisik oleh partikel. Walaupun sebentar waktu kontaknya dan sedikit dalam tingkatannya. Interaksi kimia dari substansi asing, cairan atau solid dengan kulit juga dapat menimbulkan respon pada kulit. Hal ini mengakibatkan tingkatan yang bervariasi dari eritem dan edema pada sisi kontak. Jika respon ini terjadi, maka menunjukkan substansi kimia tersebut menekan stratum
24
korneum dan masuk ke lapisan epidermis dari kulit. Penyerapan dapat terjadi melalui sel epidermis. Pada penelitian ini luka menutup terlihat dari hari ke-7 pada perlakuan Povidon iodine tikus ke-1 dan salep dosis 20% tikus ke-5, sedangkan ke-4 tikus yang lain masih mengalami kemerahan dan pembengkakan. Pada perlakuan salep dosis 5% dan 10% luka sayat sudah ada yang mengalami penutupan luka akan tetapi belum menutup dengan sempurna. Dari ke 4 perlakuan luka sayat paling cepat menutup sempurna yaitu pada perlakuan salep dosis 10% dimana ke-5 tikus luka sayat sudah sembuh sempurna pada hari ke-9, kemudian diikuti oleh perlakuan salep dosis 5% dimana luka sayat sembuh pada hari ke-10 dari ke-5 tikus putih. Sedangkan luka sayat sembuh paling lama hari ke-13 pada perlakuan povidon Iodine 10% dan salep dosis 20%, meskipun pada perlakuan Povidon Iodine 10% dan salep dosis 20% ada salah satu tikus yang sudah sembuh. Menurut Argamula (2008), mengatakan bahwa proses luka menutup setelah luka mengalami proses lepasnya keropeng. Hal ini menandakan sudah terjadi pertumbuhan sel-sel baru dengan merapatnya tepi luka. Proses keropeng terlepas dimana jaringan dibawahnya sudah kering dan tepi-tepi luka mulai tertarik ke tengah. Berdasarkan hasil penelitian ini, pemberian salep ekstrak batang patah tulang yang diberi perlakuan dengan mengoleskan 2x/hari pada bagian punggung tikus putih pada jam 7 pagi dan jam 5 sore dengan konsentrasi dosis salep 5%, 10%, 20% dan povidon iodine 10% sebagai kontrol positif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dengan dosis 10% salep ekstrak batang patah tulang mampu mempercepat penyembuhan luka sayat tikus putih. Hal ini dikarenakan ekstrak batang patah tulang mengandung sapogenin yang mampu mengurangi permeabilitas lapisan mukosa sehingga ikatan antar sel pada lapisan mukosa lebih luas. Lapisan menjadi besar bagi mikroorganisme dan zat-zat kimia iritan tidak dapat masuk ke dalam luka. Selain senyawa sapogenin juga terdapat senyawa tannin yang mampu memberikan efek pada penyembuhan luka di dukung oleh Suprapto (2012), menyatakan bahwa salep ekstrak methanol dan serbuk daun sosor bebek pada dosis 10 % merupakan dosis paling
25
optimal dalam mempercepat waktu penyembuhan luka sayat. Senyawa tannin berfungsi
sebagai
astringen
dalam
proses
penyembuhan
luka.
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa salep yang mengandung ekstrak batang patah tulang (Euphorbia tirucalli) pada dosis 10% mampu mempercepat penyembuhan luka sayat tikus putih. B. Saran Berdasarkan hasil penelitian yang sudah di laksanakan, maka diajuakan saran sebagai berikut : 1. Untuk mendapatkan informasi perlu diadakan penelitian lebih lanjut terkait efektifitas ekstrak batang patah tulang terhadap perlakuan yang lain seperti luka bakar. 2. Perlu dikaji penelitian lebih lanjut dengan konsentrasi yang bervariasi dan di uji cobakan pada hewan yang berbeda.
26
27
DAFTAR PUSTAKA
Absor U. 2006. Aktifitas Antibakteri Ranting Patah Tulang (Euphorbia tirucalli Linn) (Skripsi). Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertania Bogor. Ajizah A. 2004. Sensitivitas Salmonella Typhimurium Terhadap Ekstrak Daun Psidium Guajava L. Bioscientiae. 1 (1). Argamula G. 2008. Aktivitas Sediaan Salep Batang Pohon Pisang Ambon (Musa paradisiaca var sapientum) Dalam Proses Penyembuhan Luka Pada Mencit (Mus musculus albinus) (Skripsi). Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Dalimartha S. 2003. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 5. Jakarta: Pustaka Bunda. Ganeser F. 1994. Textbook of Histology. Munksgaard, Copenhagen, Denmark. Gates dan Holloway. 2002. Economic Effectiveness Modern Versus Traditional dressing. Journal Of Wound Care. 27 (9). Gomez KA. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian Edisi kedua. Filipina: The International Rice Research Institute. Julianus K, Diah IDA, Supratman T, Harwiyadin K, Yermias K, Syamsir S dan Moody CK. 2011. Tumbuhan Obat Tradisional Di Sulawesi Utara Jilid 1. Manado. ISBN: 978-602-98144-1-5 Luviana LAI. 2009. Pengaruh Pemberian Getah Tanaman Patah Tulang Secara Topikal Terhadap Gambaran Histopatologis dan Ketebalan Lapisan Keratin Kulit (Skripsi). Semarang: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang. Mursito B, Prihmantoro H. 2011. Tanaman Hias Berkhasiat Obat. Jakarta: Penebar Swadaya. Perdanakusuma D. S. 2007. Anatomi Fisiologi Kulit dan Penyembuhan Luka. Surabaya: Airlangga University School of Medicine. Prasetyo BF, Wientarsih I, Priosoeryanto BP. 2010. Aktivitas Sediaan Gel Ekstrak Batang Pohon Pisang Ambon Dalam Proses Penyembuhan Luka Pada Mencit. Jurnal Veteriner 11 (2): 70-73.
28
Purbani. 2009. Menguat Khasiat Jarak Pagar. Jakarta: PT. Argo Media Pustaka. Rahayu M, Sunarti S, Sulistiarini D, Prawiroatmodjo S. 2006. Pemanfaatan Tumbuhan Obat Secara Tradisional Oleh Masyarakat Lokal Di Pulau Wawonii Sulawesi Tenggara. Jurnal Biodiversitas 7 (3): 245-250. Setyoadi dan Sartika DD. 2010. Efek Lumatan Daun Dewa (Gynura segetum) Dalam Memperpendek Waktu Penyembuhan Luka Bersih Pada Tikus Putih. Jurnal Keperawatan Soedirman (The Soedirman Journal of Nurcing) 5 (3): 127135. Shukla A, Rasik AM, Jain GK, Shankar R. 1999. In Vitro and In Vivo Wound Healing Activity of Asiaticoside Isolated from Cantella Asiatica. Journal of Ethnopharmacology 65, 1-11 Soen. 1994. Isolasi Triterpen dari Euphorbia tirucalli L (Skripsi). Jakarta: Fakultas Farmasi UNIKA WIDMAN. Sperling F. 1984. Toxicologi: Principal and Practice. New York: Jhon Willey & Sons, Ins. Sudiono J, Kurniadi B, Hendrawan A, Djimantoro B. 2003. Ilmu Patologi. Jakarta: EGC. Sugiarto A. 2008. 273 Ramuan Tradisional untuk Mengatasi Aneka Penyakit. Jakarta: Agromedia Pustaka. Suprapto AK. 2012. Efek Salep Ekstrak Metanoldan Salep Serbuk Daun Sosor Bebek (Kalanchoe pinnata (Lamk)) Terhadap Penyembuhan Luka Sayat Pada Mencit (Karya Tulis Ilmiah). Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Maranatha. Suratman, Sumiwi AS dan Gozali D. 2004. Pengaruh Ekstrak Antanan dalam Bentuk Salep, Krim dan Jelly terhadap Penyembuhan Luka Bakar. Jurnal Cermin Kedokteran 108, Suriadi. 2004. Perawatan Luka Edisi 1. Jakarta: CV. Sagung Seto.
29
30
LAMPIRAN 1 1. Gambar dokumentasi penelitian. A. Gambar penutupan luka pada Povidon Iodine 10%.
Hari ke-1
Hari ke-2
Hari ke-3
Hari ke-4
Hari ke-5
Hari ke-6
Hari ke-7 Keterangan : Penutupan luka pada perlakuan Povidon iodine 10% luka menutup paling cepat pada hari ke-7 sedangkan paling lama pada hari ke-13 dari ke-5 tikus.
31
B. Gambar penutupan luka pada salep dosis 5%
Hari ke-1
Hari ke-2
Hari ke-3
Hari ke-4
Hari ke-5
Hari ke-6
Hari ke-7 Keterangan :
Hari ke-8
Penutupan luka pada perlakuan salep dosis 5% paling cepat luka meutup pada hari ke-8 sedangkan paling lama pada hari ke-10 dari ke-5 tikus.
32
C. Gambar penutupan luka pada salep dosis 10%
Hari ke-1
Hari ke-2
Hari ke-3
Hari ke-4
Hari ke-5
Hari ke-6
Hari ke-7
Hari ke-8
Keterangan : Penutupan luka pada perlakuan salep dosis 10% luka menutup paling cepat pada hari ke-8 sedangkan paling lama pada hari ke-9 dari ke-5 tikus.
33
D. Gambar penutupan luka pada salep dosis 20%
Hari ke-1
Hari ke-2
Hari ke-3
Hari ke-4
Hari ke-5
Hari ke-6
Hari ke-7 Keterangan : Penutupan luka pada perlakuan salep dosis 20% luka menutup paling cepat pada hari ke-7 sedangkan paling lama hari ke-13 dari ke-5 tikus.
34
LAMPIRAN 2 1. Gambar alat dan bahan yang digunakan selama penelitian a. Alat yang digunakan
Toples
Timbangan Analitik
Timbangan
Saringan
Hotplate
Blander
35
Alat cukur dan scalpel
cuttonbud dan gunting
b. Bahan yang digunakan
Povidone iodine
Tikus
Salep
Ekstrak Patah tulang
DATA PENGAMATAN Hari/tanggal 11-02-2014 Pagi Jam 07.00
Hari/tanggal 11-02-2014 Sore Jam 05.00
Pengamatan
Eritema Bengkak Luka menutup
Perlakuan 1
Poviodin Iodin 10% 2 3 4 5
1
2
Salep 5% 3 4
Pengamatan
Eritema Bengkak Luka menutup
5
1
Salep 10% 2 3 4
5
1
Salep 20% 2 3 4
5
Salep 10% 2 3 4
5
1
Salep 20% 2 3 4
5
Perlakuan 1
Poviodin Iodin 10% 2 3 4 5
1
2
Salep 5% 3 4
5
1
Keterangan :
: Eritema
: Luka mulai menutup
*
: Bengkak
: Luka menutup
27
28
Hari/tanggal 12-02-2014 Pagi Jam 07.00
Hari/tanggal 12-02-2014 Sore Jam 05.00
Pengamatan
Eritema Bengkak Luka menutup
Perlakuan Poviodin Iodin 10% 1 2 3 4 5
1
Salep 5% 2 3 4
1
Salep 5% 2 3 4
Pengamatan
Eritema Bengkak Luka menutup
5
1
Salep 10% 2 3 4
5
1
Salep 20% 2 3 4
5
1
Salep 20% 2 3 4
5
Perlakuan Poviodin Iodin 10% 1 2 3 4 5
5
1
Salep 10% 2 3 4
Keterangan :
: Eritema
: Luka mulai menutup
*
: Bengkak
: Luka menutup
5
29
Hari/tanggal 13-02-2014 Pagi Jam 07.00
Hari/tanggal 13-02-2014 Sore Jam 05.00
Pengamatan
Perlakuan
Eritema
Poviodin Iodin 10% 1 2 3 4 5
1
Salep 5% 2 3 4
Bengkak
Luka menutup
5
Eritema
Poviodin Iodin 10% 1 2 3 4 5
1
Salep 5% 2 3 4
5
Bengkak
Luka menutup
Pengamatan
1
Salep 10% 2 3 4
1
Salep 20% 2 3 4
5
5
5
Perlakuan 1
Salep 10% 2 3 4
5
1
Salep 20% 2 3 4
Keterangan :
: Eritema
: Luka mulai menutup
*
: Bengkak
: Luka menutup
30
Hari/tanggal
Pengamatan
Eritema
Poviodin Iodin 10% Salep 5% 1 2 3 4 5 1 2 3 4
Bengkak
*
*
*
*
*
Luka menutup
Salep 10% 2 3 4
5
1
Salep 20% 2 3 4
5
14-02-2014 Pagi Jam 07.00
Hari/tanggal 14-02-2014 Sore Jam 05.00
Perlakuan
Pengamatan
5 1
Salep 10% 2 3 4
5
1
Salep 20% 2 3 4
5
Perlakuan
Eritema
Poviodin Iodin 10% Salep 5% 1 2 3 4 5 1 2 3 4
Bengkak
*
*
*
*
*
Luka menutup
5 1
Keterangan :
: Kemerahan
: Luka mulai menutup
*
: Bengkak
: Luka menutup
31
Hari/tanggal
Pengamatan
Eritema
Poviodin Iodin 10% 1 2 3 4 5
Bengkak
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
*
Luka menutup
5
15-02-2014 Pagi Jam 07.00
Hari/tanggal
1
Salep 5% 2 3 4
5
1
Salep 10% 2 3 4
5
1
Salep 20% 2 3 4
5
Pengamatan
15-02-2014 Sore Jam 05.00
Perlakuan
Eritema Bengkak Luka menutup
Perlakuan Poviodin Iodin 10% 1 2 3 4 5 * * *
1 *
Salep 5% 2 3 4 * * *
5 *
1 *
Salep 10% 2 3 4 * * *
5 *
1
Salep 20% 2 3 4 * *
Keterangan :
: Eritema
: Luka mulai menutup
*
: Bengkak
: Luka menutup
32
Hari/tanggal
Pengamatan
Eritema
Poviodin Iodin 10% 1 2 3 4 5
1
Salep 5% 2 3 4
5
1
Salep 10% 2 3 4
5
1
Salep 20% 2 3 4
5
Bengkak
*
*
*
*
*
*
Luka menutup
5
16-02-2014 Pagi Jam 07.00
Hari/tanggal
Pengamatan
16-02-2014 Eritema Sore Jam 05.00
Perlakuan
Bengkak Luka menutup
Perlakuan Poviodin Iodin 10% 1 2 3 4 5 *
1
5
Salep 5% 2 3 4 * *
5
1
1 *
Salep 10% 2 3 4 *
Salep 20% 2 3 4 *
Keterangan :
: Eritema
: Luka mulai menutup
*
: Sedikit bengkak
: Luka menutup
33
Hari/tanggal
Pengamatan
Eritema
Poviodin Iodin 10% 1 2 3 4 5
1
Salep 5% 2 3 4
5
1
Salep 10% 2 3 4
5
1
Salep 20% 2 3 4
Bengkak
*
*
*
*
*
Luka menutup
Salep 20% 2 3 4 * *
5
17-02-2014 Pagi Jam 07.00
Hari/tanggal
Pengamatan
5
Perlakuan
Eritema
Poviodin Iodin 10% 1 2 3 4 5 *
Bengkak
*
Luka menutup
17-02-2014 Sore Jam 05.00
Perlakuan
1
Salep 5% 2 3 4 *
5
1 *
Salep 10% 2 3 4
5
1 *
Keterangan :
: Eritema
: Luka mulai menutup
*
: Bengkak
: Luka menutup
34
Hari/tanggal
Pengamatan
Eritema
Poviodin Iodin 10% 1 2 3 4 5
1
Salep 5% 2 3 4
5
1
Salep 10% 2 3 4
5
1
Salep 20% 2 3 4 5
Bengkak
*
*
*
Luka menutup
Salep 10% 2 3 4
5
Salep 20% 1 2 3 4 5 * *
18-02-2014 Pagi Jam 07.00
Hari/tanggal
Pengamatan
Perlakuan
Eritema
Poviodin Iodin 10% 1 2 3 4 5
Bengkak
Luka menutup
18-02-2014 Sore Jam 05.00
Perlakuan
1
Salep 5% 2 3 4
5
1 *
Keterangan :
: Eritema
: Luka mulai menutup
*
: Bengkak
: Luka menutup
35
Hari/tanggal
Pengamatan
Eritema
Poviodin Iodin 10% 1 2 3 4 5
Bengkak
*
Luka menutup
19-02-2014 Pagi Jam 07.00
Hari/tanggal
1
Salep 5% 2 3 4
5
Pengamatan
19-02-2014 Eritema Sore Jam 05.00
Perlakuan
Bengkak Luka menutup
1
Salep 10% 2 3 4
1
Salep 20% 2 3 4
5
5
*
Salep 20% 2 3 4 *
5
Perlakuan Poviodin Iodin 10% 1 2 3 4 5 *
1
Salep 5% 2 3 4
1
Salep 10% 2 3 4
5
5 1
Keterangan :
: Eritema
: Luka mulai menutup
*
: Bengkak
: Luka menutup
36
Hari/tanggal
Pengamatan
Eritema
Poviodin Iodin 10% 1 2 3 4 5
Bengkak
*
Luka menutup
20-02-2014
Pagi Jam 07.00
Hari/tanggal
1
Salep 5% 2 3 4
5
Pengamatan
20-02-2014 Eritema Sore Jam 05.00
Perlakuan
Bengkak Luka menutup
1
Salep 10% 2 3 4
1
Salep 20% 2 3 4
5
5
*
5
Perlakuan Poviodin Iodin 10% 1 2 3 4 5 *
1
Salep 5% 2 3 4
1
Salep 10% 2 3 4
5
1
Salep 20% 2 3 4 *
5
Keterangan :
: Eritema
: Luka mulai menutup
*
: Bengkak
: Luka menutup
37
Hari/tanggal
Pengamatan
21-02-2014 Eritema Pagi Jam 07.00
1
Salep 5% 2 3 4
5
1
Salep 10% 2 3 4
5
1
Salep 20% 2 3 4
5
5
Pengamatan
Perlakuan
Eritema
Poviodin Iodin 10% 1 2 3 4 5
Bengkak
Luka menutup
21-02-2014 Sore Jam 05.00
Poviodin Iodin 10% 1 2 3 4 5
Bengkak Luka menutup
Hari/tanggal
Perlakuan
1
Salep 5% 2 3 4
1
Salep 10% 2 3 4
5
1
Salep 20% 2 3 4
5
Keterangan :
: Eritema
: Luka mulai menutup
*
: Bengkak
: Luka menutup
38
Hari/tanggal
Pengamatan
22-02-2014
Pagi Jam 07.00
Hari/tanggal
Eritema
Poviodin Iodin 10% 1 2 3 4 5
Bengkak
Luka menutup
1
Salep 5% 2 3 4
5
Pengamatan
1
Salep 10% 2 3 4
1
Salep 20% 2 3 4
5
5
5
Perlakuan
Eritema
Poviodin Iodin 10% 1 2 3 4 5
Bengkak
Luka menutup
22-02-2014 Sore Jam 05.00
Perlakuan
1
Salep 5% 2 3 4
1
Salep 10% 2 3 4
5
1
Salep 20% 2 3 4
5
Keterangan :
: Eritema
: Luka mulai menutup
*
: Bengkak
: Luka menutup
39
Hari/tanggal
Pengamatan
23-02-2014
Pagi Jam 07.00
Hari/tanggal
Eritema
Poviodin Iodin 10% 1 2 3 4 5
Bengkak
Luka menutup
1
Salep 5% 2 3 4
5
Pengamatan
1
Salep 10% 2 3 4
5
1
Salep 20% 2 3 4 5
Perlakuan
Eritema
Poviodin Iodin 10% 1 2 3 4 5
Bengkak
Luka menutup
23-02-2014 Sore Jam 05.00
Perlakuan
1
Salep 5% 2 3 4
1
Salep 10% 2 3 4
5
1
Salep 20% 2 3 4 5
5
Keterangan :
: Eritema
: Luka mulai menutup
*
: Bengkak
: Luka menutup
27
28