PELAKSANAAN PIDANA MATI DI TINJAU DARI PERSPEKTIF

Download KUHP sebagai legalitas daripada hukuman mati di Indonesia. ... jurnal, hasil laporan penelitian, makalah penelitian dan dari website yang b...

0 downloads 540 Views 132KB Size
PELAKSANAAN PIDANA MATI DI TINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

JURNAL ILMIAH Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Dalam Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta Oleh : Andis Yuli Pamungkas 11100023

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA 2015

ABSTRAKSI

Dalam hukum pidana yang tertuang didalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) merupakan hukum yang diwariskan oleh pemerintahan kolonial. Dalam hal ini penulis mencoba untuk mengangkat mengenai hukuman mati yang terdapat pada pasal 10 KUHP tentang pidana pokok dan Undang-undang diluar KUHP sebagai legalitas daripada hukuman mati di Indonesia. Tujuan dari penelitian ini ialah untuk mengetahui Bagaimanakah pelaksanaan Pidana Mati ditinjau dari prespektif Hukum Positif dan Hak Asasi Manusia serta untuk mengetahui Apa yang menjadi hambatan terhadap pelaksanaan Pidana Mati. Disini penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan data sekunder, melalui literatur-literatur, karya tulis ilmiah dan perundang-undangan yang berlaku yang kemudian dianalisis secara kualitatif. Dalam perkembangannya, hukuman mati seringkali menjadi perbincangan yang cukup serius di tingkat nasional maupun internasional. Oleh sebagian kalangan, hukuman mati khususnya di Indonesia dianggap sebagai hukuman yang kontroversial karena dianggap sangat tidak manusiawi dan itu sebagai pelanggaran Hak Asasi Manusia, dengan merujuk kepada Pasal 28i ayat 1 UUD 1945 yang menekankan hak untuk hidup. namun dipihak yang lain ada yang berpendapat bahwa hukuman mati harus tetap dipertahankan, guna untuk mengatasi dan memberikan efek jera terhadap calon pelaku kejahatan berat, karena mereka mengganggap bahwa hukuman mati dirasa cukup adil untuk kemudian dijatuhkan kepada pelaku kejahatan berat, karena dalam Pasal 28j ditegaskan pula bahwa hak dan kebebasan harus tunduk pada pembatasan yang ditetapkan undang-undang. Adapun hambatan terhadap pelaksanaan hukuman mati yaitu terletak pada proses upaya hukum, seperti pada tingkat Banding, Kasasi, hingga pada proses permohonan grasi, karena pada proses upaya hukum ini sangat menentukan lamanya penundaan eksekusi mati. Sehingga faktor itulah yang dianggap sebagai pelanggaran HAM karena dengan jangka waktu yang sangat lama akan mengakibatkan pelaku mengalami penderitaan yang sangat luar biasa. Karena setelah melalui proses hukuman dipenjara, pelaku nantinya akan dieksekusi mati apabila tidak mendapatkan grasi dari presiden. Kata kunci : Hukuman mati, secara legalitas diakui dalam KitabUndang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang diluar Hukum Pidana, hambatan terdapat dalam proses upaya hukum.

A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam hukum pidana dikenal ada bermacam-macam sanksi pidana. Salah satu sanksi yang paling berat adalah pidana mati. Pidana mati diberikan dalam rangka untuk menghukum pelaku kejahatan yang dianggap tidak bisa kembali ke masyarakat karena kejahatan yang mereka lakukan termasuk dalam kualifikasi kejahatan yang serius. Pidana mati disamping sebagai hukuman yang paling berat juga merupakan hukuman yang umunnya sangat menakutkan terutama bagi terpidana yang sedang menanti eksekusi.

Indonesia merupakan salah satu Negara yang masih mempertahankan dan mengakui legalitas pidana mati sebagai salah satu cara untuk menghukum pelaku tindak kejahatan, walaupun pro dan kontra mengenai pidana mati sudah lama terjadi di negeri ini. Bahkan keberadaan pidana mati di Indonesia akan terus berlangsung pada waktu yang akan datang karena dalam Rancangan KUHP, pidana mati masih merupakan salah satu sanksi pidana yang dipertahankan untuk menghukum pelaku kejahatan. Adanya sanksi pidana mati dalam sistem hukum di Indonesia menjadi perdebatan diberbagai kalangan, ada yang berpendapat bahwa pidana mati tidak cocok lagi dengan keadaan zaman dan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), bagi sebagian kalangan yang lain, pidana mati merupakan pidana yang pantas dijatuhkan bagi pelaku tindak pidana berat. Pelaksanaan eksekusi pidana mati yang diberlakukan di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 2 PNPS Tahun 1964 dengan cara ditembak sampai mati dianggap sebagai suatu bentuk penyiksaan terhadap terpidana, yang kemudian adanya anggapan bahwa pidana mati merupakan salah satu bentuk pelanggaran

1

HAM sehingga timbulnya wacana untuk menghapuskan pidana mati dari sistem hukum di Indonesia.

B. RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian diatas serta untuk memudahkan pemahaman terhadap masalah yang akan diteliti, maka penulis merumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimanakah pelaksanaan Pidana Mati ditinjau dari prespektif Hukum Positif dan Hak Asasi Manusia ? 2. Apa yang menjadi hambatan terhadap pelaksanaan Pidana Mati ?

C. METODE PENELITIAN 1. Jenis Penelitian Hukum Jenis penelitian hukum yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian yang berfokus pada hukum positif yang berupa perundangundangan dan penelitian ini memerlukan data sekunder sebagai data utama sedangkan data primer sebagai penunjang.

2. Sumber Data Dalam penelitian hukum normatif data utama yang digunakan berupa data sekunder yaitu, sumber data penelitian yang diperoleh peneliti secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat oleh pihak lain). Data sekunder umumnya berupa bukti, catatan atau laporan historis yang telah tersusun dalam arsip (data dokumenter). Dalam penulisan ini yang dipakai sebagai data utama, meliputi: 2

a. Bahan Hukum Primer, yaitu : Bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan pidana mati di Indonesia. Dalam penelitian hukum ini, bahan hukum primer terdiri dari: 1) KUHP 2) Undang – Undang di luar KUHP b. Bahan hukum Sekunder, yaitu : Bahan hukum yang tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara yuridis seperti buku literatur ,pendapat hukum, majalah, jurnal, hasil laporan penelitian, makalah penelitian dan dari website yang berhubungan dengan pidana mati.

c. Bahan hukum Tersier Bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus yang berhubungan dengan penelitian ini yaitu Kamus Besar Bahsa Indonesia. d. Metode Pengumpulan data Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan cara studi kepustakaan, yaitu: Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan membaca buku-buku, surat kabar atau majalah, internet, dan semua bahan yang berkaitan dengan karya tulis ilmiah ini. e. Metode Analisis Dalam penelitian hukum ini, data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan merangkai dan memahami data yang telah dikelompokkan secara sistematis, setelah itu dengan pemikiran logis dan sistematis akan ditarik suatu kesimpulan dengan menggunakan metode berpikir deduktif, yaitu pengambilan kesimpulan

3

dimulai dari pernyataan atau fakta-fakta umum menuju kesimpulan yang bersifat khusus. D. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Pidana Mati dalam perspektif Hukum Positif dan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1. Pidana Mati dalam perspektif Hukum Positif Pidana mati yang tercantum dalam KUHP yang diwarisi dari Pemerintah Kolonial, dan tetap ketika dinasionalisasikan dengan Undang – undang Nomor 1 Tahun 1946. Bahkan sesudah Indonesia merdeka, beberapa Undang – undang yang dikeluarkan kemudian, ternyata tercantum juga ancaman pidana mati didalamnya. Dengan demikian alasan pidana mati itu tercantum dalam W.v.S (KUHP) pada waktu diberlakukan oleh pemerintah kolonialdi dasarkan pada antara lain “alasan berdasar factor rasial”. Disamping KUHP pemerintah juga mengeluarkan Undang – undang yang mengandung ancaman pidana mati. A. Landasan Hukum Pidana Mati Pasal 10 KUHP, Pidana terdiri dari : a. Pidana Pokok : 1. Pidana Mati. 2. Pidana Penjara. 3. Pidana Kurungan. 4. Pidana Denda. b. Pidana Tambahan : 1. Pencabutan hak-hak tertentu. 4

2. Perampasan barang-barang tertentu. 3. Pengumuman putusan hakim. Dilihat dari KUHP : 1. Pasal 104, 111 ayat (2), 124 ayat (3) KUHP “Kejahatan terhadap keamanan negara” 2.

Pasal 140 (3) KUHP.”kejahatan terhadap martabat presiden dan wakil

presiden”. 3. Pasal 185 KUHP.”tentang perkelahian tanding” 4. Pasal 340 KUHP. “kejahatan terhadap kemerdekaan orang” 5. Pasal 365 ayat (4) KUHP, “tentang pencurian” 6. Pasal 368 ayat (2) KUHP.”tentang pemerasan, Ketentuan pasal 365 ayat kedua, ketiga, keempat berlaku bagi kejahatan ini.” 7. Pasal 444 KUHP. “tentang kejahatan pelayaran” 8. Pasal 479k (2) KUHP. “tentang kejahatan penerbangan”. Dilihat dari Pidana Khusus : 1. pada pasal 2 ayat (2). Dalam UU No 31 tahun 1999 jo. UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 2. Pasal 113 Ayat 2, Pasal 114 Ayat 2, Pasal 118 Ayat 2, Pasal 119 Ayat 2, Pasal 121 Ayat 2, UU RI No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika 3. Pasal 59 ayat (2), UU RI No 5 tahun 1997 tentang Psikotropika 4. Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 16, Peraturan Pemerintah Pengganti UU RI No 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme 5

5. Pasal 36, Pasal 37, Pasal 41, Pasal 42 ayat (3), UU No 36 tahun 2000 tentang Pengadilan hak Asasi Manusia Dilihat dari Rancangan KUHP : Dalam konsep Rancangan KUHP tahun 2012 terdapat beberapa macam tindak pidana yang diancam dengan pidana mati, antara lain: 1. Pasal 215, “Makar terhadap Presiden atau Wakil Presiden 2. Pasal 228 ayat (2) . “tindak pidana terhadap pertahanan dan keamanan negara.” 3. Pasal 242, Pasal 244. Pasal 247, Pasal 250 Ayat (2). “Tindak Pidana Terorisme.” 4. Pasal 262 Ayat (2), Pasal 269 Ayat (2). “Tindak pidana terhadap penerbangan dan sarana penerbangan.” 5. Pasal 394, Pasal 395 Ayat (1), Pasal 396, Pasal 397. “Tindak pidana terhadap hak asasi manusia” 6. Pasal 506 Ayat (2), Pasal 507 Ayat (2), Pasal 509 Ayat (2), Pasal 512 Ayat (2), Pasal 514 Ayat (2), Pasal 523 “Tindak pidana penyalahgunaan narkotika dan psikotropika”

Pasal 10 KUHP pertama – tama menyebut pidana mati sebagai pidana pokok, yang dalam tahun 1870 dihapuskan di negeri Belanda. Politik hukum di negeri Belanda pada tahun 1870 itu, tidak diikuti didaerah koloni (Indonesia), karena menurut tanggapan kebanyakan ahli – ahli hukum pidana, maka keadaan khusus di Indonesia menuntut supaya penjahat – penjahat yang terbesar dapat dilawan dengan pidana mati (Andi Hamsyah dan A. 6

Sumangelipu, 1985: 23-24). Oleh karena itu, pidana mati masih dipertahankan dalam Kitab Undang – undang Hukum Pidana yang berlaku sejak 1 Januari 1918 dengan persetujuan semua penasehat. Pada pokoknya pidana mati dalam memorie van toelichting di bela dengan mengajukan apa yang dikatakan oleh menteri kehakiman Modderman dalam parlemen bahwa Negara berhak untuk menjalankan semua itu tanpa hak – hak mana negara tidak dapat memenuhu kewajiban – kewajibanya dan termasuk ini pertama menjamin ketertiban hukum. Berikut adalah alasan – alasan yang dikemukakan oleh para ahli hukum dalam memberikan pandangan terhadap pidana mati : De Bussy juga membela adanya pidana mati di Indonesia dengan mengatakan bahwa di Indonesia terdapat suatu keadaan yang khusus(Andi Hamsyah dan A. Sumangelipu, 1985:24). Bahaya terhadap gangguan yang sangat terhadap ketertiban kukum di Indonesia adalah lebih besar. Lemaire bahwa Indonesia sebagai negeri jajahan yang memiliki ruang lingkup yang luas, dengan susunan penduduk yang sangat beraneka ragam “yang pada hakikatnya memiliki keadaan” yang berlainan dengan Nederland dan bahaya akan gangguan terhadap tertib hukum di Indonesia lebih besar dan lebih mengancam daripada di Nederland (Andi Hamsyah dan A. Sumangelipu, 1985:24). Karena Indonesia adalah Negara yang luas dengan berbagai macam suku bangsa dimana bermacam – macam pengaruh dapat menyebabkan ketegangan – ketegangan serta kurangnya sarana dan prasarana pada kepolisian dan pemerintah, maka perlu adanya pidana mati. Bichon van Ysselmonde berkata, Saya masih selalu berkeyakinan, bahwa ancaman dan peleksanaan pidana mati harus ada dalam tiap-tiap Negara dan masyarakat teratur, baik ditinjau dari sudut keputusan hukum maupun dari sudut tidak dapat ditiadakanya (Andi Hamsyah dan A. Sumangelipu, 1985:25). Kedua-duanya jure devino humano. Pedang pidana, seperti juga pedanmg harus ada pada Negara. hak dan kewajiban ini tak dapat diserahkannya begitu saja, tetapi haruslah dipertahankannya dan dilaksanakannya. Jokers membela pidana mati dengan alasan bahwa, walaupun ada yang keberatan terhadap pidana mati yang sering kali diajukan, ialah bahwa pidana 7

mati itu tidak dapat ditarik kembali, apabila sudah dilaksanakan dan diakui, bahwa ada kekhilafan atau kekeliruan dalam keputusan hakim, lalu tidak dapat diadakan pemulihan hak selanjutnya. Terhadap orang mati ketidakadilan yang dialaminya tidak dapat diperbaiki lagi. Paling jauh namanya dibersihkan dari segala fitnah dan nista dari segala ketidak adilan (Andi Hamsyah dan A. Sumangelipu, 1985:25-26). Meskipun cara tersebut sangat disesalkan tetapi tidak dibenarkan untuk menarik kesimpulan baawa pidana mati tidak dapat diterima. Lombroso dan garofalo berpendapat bahwa pidana mati itu adalah “alat yang mutlak harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan individu yang tidak mungkin untuk diperbaiki lagi (Andi Hamsyah dan A. Sumangelipu, 1985:27)”. Oemar senoadji berpendapat bahwa selama Negara kita masih meneguhkan diri, masih bergulat dengan kehidupan sendiri yang terancam oleh bahaya, selama tata tertip masyarakat dikacaukan (Andi Hamsyah dan A. Sumangelipu, 1985:28) dan dibahayakan oleh anasir-anasir yang tidak mengenal perikemanusiaan, ia masih memerlukan pidana mati. Hertawi A.M. memandang ancaman dan pelaksanaan pidana mati sebagai suatu Social Defence, pidana mati adalah (Andi Hamsyah dan A. Sumangelipu, 1985:29-30) suatu pertahanan social untuk menghindarkan masyarakat umum dari bencana dan bahaya ataupun ancaman bahaya besar yang mungkin terjadi yang akan menimpa masyarakat, yang telah atau akan mengakibatkan kesengsaraan dan menggangu ketertiban serta keamanan masyrakat umum dalam pergaulan hidup manusia bermasyrakat dan beragama/bernegara. Van Veen menganggap pidana sebagai alat pertahanan bagi masyarakat musuh yang sangat berbahaya (Andi Hamsyah dan A. Sumangelipu, 1985:32)dan juga pidana mati dapat dan boleh dipergunakan sebagai alat demikian. Nilai tidak tentu dari hasil pidana penjara menunjukkan pentingnya pidana mati. Mengenai mereka yang menentang pidana mati selain Beccaria, pada tahun 1864 seorang guru besar Australia Joseph von Sonnefels sedah menentang pidana mati, yang dipandangya bertentangan dengan tujuan pidana. Ing Oei Tjo Lam berpendapat bahwa tujuan pidana adalah “memperbaiki individu yang telah melakukan tindak pidana disamping melindungi masyarakat.

8

Jadi nyata bahwa dengan adanya pidana mati, bertentangan dengan salah satu dari tujuan pidana”. Suatu hal yang tak dapat disangkal bahwa kepentingan dari orang seoarang anggota masyarakat menjadi tanggung jawab Negara. Negara juga tidak hanya menjaga ketertiban umum, tetapi juga memajukan kesejahteraan masyarakat, implisit anggota-anggotanya. Pidana pun atas si penjahat. Tetapi dengan adanya pidana mati maka hal ini tak dapat terwujud, karena dengan adanya pidana mati tersebut, maka tamatlah riwayat orang itu dan tidak ada lagi soal pendidikan dan perbaikan terhadapnya. Beccaria menentang pidana mati dengan alasan bahwa proses yang dijalankan dengan cara yang amat buruk sekali terhadap jean Callas yang dituduh telah membunuh

anaknya

sendiri.

(Andi

Hamsyah

dan

A.

Sumangelipu,

1985:37)Hakim menjatuhkan pidana mati. Beberapa kemudian seorang yang bernama Voltaire, dapat membuktikan bahwa Jean Callas tidak bersalah, sehingga nama Jean Callas direhabilitasi, tetapi apa gunanya kalau ia telah mati, dimatikan akibat diperkenankanya pidana mati pada saat itu. Ferri (1900) berpendapat bahwa (Andi Hamsyah dan A. Sumangelipu, 1985:38)“untuk menjaga orang yang mempunyai pradisposisi untuk kejahatan cukup dengan pidana seumur hidup, tidak perlu dengan pidana mati”. Rolling (1933) menganjurkan suatu argument bahwa pidana mati justru mempunyai daya destruktif, yaitu apabila Negara tidak menghormati nyawa manusia dan menganggap tepat untuk dengan tenang melenyapkan nyawa seseorang, maka ada kemungkinan besar dan akan berkurang pulalah hormat orang pada nyawa manusia(Andi Hamsyah dan A. Sumangelipu, 1985:38). 9

Disamping itu, masih ada lagi suatu bahaya yaitu bahwa perbuatan membunuh oleh Negara itu akan memancing suatu penyusulan pula terhadapnya. Van Bemmelen berpendapat bahwa pidana mati menurunkan wibawa pemerintah, pemerintah mengakui ketidakmampuanya dan kelemahannya. Ia tak dapat lagi menguasai keadaan dan tidak berusaha mencari jalan lain(Andi Hamsyah dan A. Sumangelipu, 1985:40). Dan sebab itu terjadilah keadaan bahaya yang definitif. Selama tidak ada keadaan ini problemnya adalah dapatkah dipertanggungjawabkan pidana mati itu sebagai pembalasan dendam atau alat untuk menakuti. Von Henting juga menambahkan bahwa (Andi Hamsyah dan A. Sumangelipu, 1985:41)“dengan menahan seseorang dalam penjara kita dapat mengadakan sesuatu eksperimen yang sangat berharga. Hal ini tidak ini tak mungkin ditemukan pada pidana mati”. Is Cassutto yang juga kontra terhadap pidana mati, ia berpendapat bahwa pada pidana mati ditemui kesukaran-kesukaran yang serius(Andi Hamsyah dan A. Sumangelipu, 1985:42). Pertama-tama kami terbentur dengan kemungkinan terjadinya kekhilafan yang tak mungkin dapat diperbaiki. Dan mengenai Indonesia ditambahkanya bahwa suatu keadaan khusus di Indonesia ialah tak dapat dipercayai dan mudahnya disuap terhadap saksi-saksi.

2. Pidana Mati dalam perspektif Hak Asasi Manusia A. Perspektif Hak Asasi Manusia di Indonesia Salah satu persoalan serius yang dihadapi dalam penegakan hukum pidana kita adalah seputar hukuman mati yang dianggap tidak manusiawi. Di dunia terjadi perbedaan pemahaman terhadap makna dan hakikat hukuman, terutama para ahli hukum dan praktisi hak asasi manusia (HAM). Berbagai kritik tajam diarahkan, bahkan ada gerakan menentang hukuman mati. Konsep hukuman mati seringkali digambarkan sebagai sesuatu yang kejam, tidak manusiawi, dan sadis. Hal ini

10

semata-mata hanya dilihat dari satu aspek, yaitu kemanusiaan menurut standar dunia modern, tanpa melihat alasan, maksud, tujuan, dan keefektifannya. Pidana mati, menurut Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, tidak bertentangan dengan hak untuk hidup yang dijamin oleh UUD 1945, karena konstitusi Indonesia tidak menganut azas kemutlakan hak asasi manusia. Hak azasi yang diberikan oleh konstitusi kepada warga negara mulai dari pasal 28A hingga 28I Bab XA UUD 1945, menurut MK, dibatasi oleh pasal selanjutnya yang merupakan pasal kunci yaitu pasal 28J, bahwa hak azasi seseorang digunakan dengan harus menghargai dan menghormati hak azasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial. Pandangan konstitusi itu, menurut MK, diteruskan dan ditegaskan juga oleh UU No 39 Tahun 1999 tentang HAM yang juga menyatakan pembatasan hak azasi seseorang dengan adanya hak orang lain demi ketertiban umum. Dengan menerapkan pidana mati untuk kejahatan serius seperti narkotika, terorisme, MK berpendapat Indonesia tidak melanggar perjanjian internasional apa pun. Bahkan, MK menegaskan pasal 6 ayat 2 ICCPR itu sendiri membolehkan masih diberlakukannya hukuman mati kepada negara peserta, khusus untuk kejahatan yang paling serius. Sebaliknya, MK menyatakan Indonesia memiliki kewajiban untuk mematuhi konvensi internasional narkotika dan psikotropika yang telah diratifikasi oleh Indonesia dalam bentuk UU Narkotika. Konvensi itu justru mengamanatkan kepada negara pesertanya untuk

11

memaksimalkan penegakan hukum secara efektif terhadap pelaku kejahatan narkotika. Konvensi juga mengamanatkan negara peserta untuk mencegah serta memberantas kejahatan-kejahatan narkotika yang dinilai sebagai kejahatan sangat serius, terlebih lagi yang melibatkan jaringan internasional. Dengan demikian, penerapan pidana mati dalam UU Narkotika bukan saja tidak bertentangan, dengan hukum-hukum internasional seperti International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), Rome Statue of International Criminal Court, dan deklarasi HAM Eropa, menurut Mahkamah Konstitusi, masih memungkinkan diterapkannya hukuman mati. Pidana mati dalam Undang-undang tersebut juga disertai dengan ancaman pidana minimum, sehingga pidana mati hanya dapat dijatuhkan apabila terdapat bukti yang sangat kuat. Dengan demikian, jelaslah ancaman pidana mati tidak boleh sewenang-wenang dijatuhkan oleh hakim, pidana mati hanya dijatuhkan untuk pidana yang sifatnya khusus dan alternatif. Selain itu, pada pasal 89 RUU KUHP, pidana mati dapat diperingan melalui masa percobaan selama 10 tahun apabila pelaku menunjukkan kelakuan baik maka diubah menjadi hukuman seumur hidup atau penjara 20 tahun, serta dapat ditunda untuk ibu hamil atau orang sakit jiwa. B. Hambatan terhadap pelaksanaan Pidana Mati Dalam sistem hukum sekarang ini dapat kita lihat berbagai macam sanksi yang ada dan sebagai alat untuk menimbulkan efek jera bagi setiap orang yang melakukan 12

tindak kejahatan atau pencegahan setiap orang yang ingin melakukan kejahatan. Bentuk sanksi yang paling berat sebagai sarana pencegahan kejahatan adalah hukum mati, namun hukuman mati tidak lepas dari pro dan kontra karena menimbulkan problema di Indonesia yang disebabkan oleh persepsi hukuman mati dipengaruhi oleh latar belakang budaya, pandangan hidup bangsa, dan nilai-nilai budaya yang ada di masyarakat. Keadaan seperti ini lah yang membuat Indonesia mendapat perdebatan konsepsual seputar penggunaan hukuman mati sebagai sarana penanggulangan kejahatan yang muncul sejak perkembangan hukum pidana. Perdebatan tentang pidana mati semakin gencar seiring meningkatnya isu global tentang hak asasi manusia, permasalahan hukuman pidana mati sudah berlangsung lama yang pasang surutnya seirama dengan perkembangan hukum di Indonesia. Dalam hal hambatan, disini penulis mengambil sebuah contoh pada kasus Sumiarsih dan Sugeng yang dipidana mati oleh Pengadilan Negeri Surabaya pada 19 Januari 1989 karena terbukti melakukan pembunuhan berencana yang menewaskan Letkol Marinir Purwanto, istri, dua anak dan satu keponakan, Agustus 1988. Semua korban dihabisi secara sadis: kepala dihantam lalu mayat dibuang di jurang Songgoriti, Batu, Malang. Selain Sumiarsih, kasus itu juga diotaki suaminya, Djais Adi Prayitno juga dipidana mati tetapi telah meninggal dunia karena sakit jantung di penjara Kalisosok Surabaya. Keduanya terbelit hutang pada Purwanto, yang sama-sama mengelola rumah bordil di kawasan Dolly, Surabaya. Sedang keterlibatan Sugeng karena menuruti permintaan dua orangtuanya itu. Begitu pula Sersan Dua (Pol) Adi

13

Saputro, menantu Sumiarsih-Djais, yang lebih dulu dieksekusi mati setelah divonis Mahkamah Militer Surabaya. Setelah kasasi ditolak Mahkamah Agung, Djais, Sumiarsih dan Sugeng meminta grasi Presiden Soeharto tapi ditolak 28 Juni 1995. Ketiganya mengajukan PK atau Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung, 28 Agustus 1995. Upaya ini gagal. Menyusul pergantian rezim, mereka meminta grasi Presiden Habibie dan Abdurrahman Wahid. Permintaan grasi pada Presiden Megawati adalah yang keempat. Empat belas tahun sudah mereka menjalani hukuman penjara sembari menunggu seluruh upaya hukum itu, akhirnya sumiarsih dan sugeng di eksekusi mati pada sabtu 19 Juli 2008 dilapangan Mapolda Jawa Timur. Pelaksanaan teknis hukuman mati diatur Undang-Undang 2/PnPs/1964. Diantaranya menyebutkan, eksekusi harus dilakukan sampai terpidana sungguh mati. Batas waktu pelaksanaan yakni maksimal 30 hari sejak terpidana menerima salinan keputusan proses hukum terakhir. Bila terpidana hamil, hukuman dilaksanakan usai persalinan. Maksimal, 40 hari sejak melahirkan. Karena

dianggap

sebagai

salah

satu

kejahatan

yang

paling

serius

(menghilangkan nyawa orang lain) maka hukuman mati pada komplotan mereka tidak disalahkan secara undang-undang. Namun seharusnya pelaksanaan eksekusi tidak perlu menunggu waktu yang lama apabila yang ingin disampaikan kepada publik adalah pembelajaran yang bersifat psikologis. Penundaan waktu eksekusi akan berdampak pada ketidakpastian hukum dan mental si terhukum itu sendiri yang semakin tersiksa menunggu ketidakpastian eksekusi.

14

Proses menunggu eksekusi yang sekian lama ini merupakan salah satu pelanggaran HAM yang merendahkan martabat manusia atau perlakuan lainnya. Penundaan eksekusi oleh negara terhadap terpidana mati disebut sebagai Fenomena Deret Kematian. Fenomena ini dilakukan oleh negara-negara yang masih mempraktikkan hukuman mati yang merupakan pelanggaran berat konstitusi negara tersebut. Seharusnya negara berpikir bahwa semakin lama eksekusi mati dilakukan, maka orang akan semakin lupa. Bukan lagi efek jera yang dimunculkan, namun sudah mengarah kepada simpati kepada si terpidana mati karena terkesan mendapat penghukuman ganda (hukuman mati dan penjara). Seperti Sumiarsih dan Sugeng, orang tentu sudah melupakan perbuatan mereka. Bahkan kalau tidak dipublikasikan di media bahwa mereka akan segera dieksekusi, masyarakat mungkin tidak mengetahui peristiwa yang menimpa keluarga Letkol Mar. Purwanto. Setelah hal ini dipublikasikan, orang malah akan mempertanyakan ada hal apa dibalik penundaan selama ini dan akhirnya berbalik menjadi simpati yang berbuntut pada penghapusan hukuman mati di Indonesia. Waktu 20 tahun bahkan sudah setara dengan penghukuman seumur hidup, apalagi selama 20 tahun pula Sumiarsih dan Sugeng sudah menunjukkan perilaku baik dan telah bertobat atas kesalahannya selama ini. Perilaku menyesal inilah yang oleh mazhab Eropa sebagai suatu sikap mulia yang merupakan harapan bagi seorang kriminal untuk berbuat baik pada masyarakat. Inilah sebab mengapa negara-negara Eropa sangat menentang pelaksanaan hukuman mati sebagai suatu penghukuman bagi seorang pelaku kejahatan. Kalau memang kendala utama penetapan waktu eksekusi adalah menunggu proses upaya hukum

15

mulai dari banding, kasasi, dan permintaan grasi, waktu yang ditempuh tidak perlu selama ini. Penundaan ini hanya akan merampas hak asasi manusia untuk mengetahui kapan tepatnya mereka akan dijemput maut. Oleh karena itu, seharusnya Presiden sebagai pengambil keputusan grasi mendapatkan laporan perilaku dari kepala lembaga

permasyarakatan

apakah

selama

pelaksanaan

hukuman

mereka

menunjukkan penyesalan yang diikuti dengan sikap perilaku, serta perbuatan mereka telah dimaafkan oleh keluarga korban, sehingga nantinya grasi yang akan diberikan merupakan suatu peluang untuk memperbaiki diri sebagai bekal kembali kemasyarakat kelak.

E. KESIMPULAN 1. Hukuman

pidana

mati

sudah

merupakan

ketentuan

hukum

positif.

Dan

dipertahankannya pidana mati di Indonesia adalah alat untuk menakuti atau mencegah terjadi kejahatan berat dan bertujuan untuk menciptakan keteraturan kehidupan bermasyarakat, melalui saluran perundang-undangan. Hukuman mati bersifat pidana khusus dan alternatif, pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 tahun, dan kalau terpidana berkelakuan terpuji, dapat diubah dengan pidana penjara seumur hidup atau selama 20 tahun. Pidana mati tidak dijatuhkan kepada anak-anak dan eksekusi pidana mati pada perempuan hamil atau seseorang yang sakit jiwa ditangguhkan sampai perempuan tersebut melahirkan. Hukuman mati dianggap masih relevan, walaupun sebagian kalangan menganggap pidana mati bertentangan dengan Pasal 28i ayat 1 UUD 1945 yang menekankan hak untuk hidup. Akan tetapi Pasal 28i ayat 1 UUD 1945 telah dibatasi dengan Pasal 28J ayat 2 UUD 1945. Dalam Pasal 28j

16

ditegaskan bahwa hak dan kebebasan harus tunduk pada pembatasan yang ditetapkan undang-undang. 2. Faktor-faktor dalam hambatan, terdapat pada proses penundaan eksekusi pidana mati yaitu terdapat dalam upaya hukum biasa (pemeriksaan tingkat banding dan upaya hukum kasasi), upaya hukum luar biasa (pemeriksaan tingkat kasasi demi kepentingan hukum dan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap), dan yan terakhir adalah permohonan grasi. Sehingga faktor itulah yang dianggap sebagai pelanggaran HAM karena dengan jangka waktu yang sangat lama akan mengakibatkan pelaku mengalami penderitaan yang sangat luar biasa. Karena setelah melalui proses hukuman dipenjara, pelaku nantinya akan dieksekusi mati.

17

DAFTAR PUSTAKA A. BUKU : Andi Hamsyah dan A. Sumangelipu, 1985, Pidana Mati di Indonesia, Jakarta : Ghalia Indonesia. Cholid Narbuko dan H. Abu Achmadi, 2002, Metodologi Penelitian Jakarta : PT Bumi Aksara. Soerjono Soekanto, 1984, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia Press. Surya kamal, 2009, Pelaksanaan Pidana Mati, Yogyakarta : Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

B. INTERNET : Arriwp97.blogspot.com/2009/10/penundaan eksekusi hukuman mati sumiarsih dan sugeng perspektif HAM. http://www.lawskripsi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=140, Randy Piangga Basuki Putra,Penerapan Pidana Mati dalam Sistem Hukum di Indonesia. www.tempo.co/.../6-Orang-Segera-Dieksekusi-Mati. www.umnaw.ac.id/wp-content,=Nelvitia Purba/Konstitusionalitas Pidana Mati di Indonesia.