PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG)

Download 2 Mahasiswa Jurusan Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi. Universitas Gadjah ... memanfaatkan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan m...

5 downloads 979 Views 855KB Size
Seminar Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi 2012 (SENTIKA 2012) Yogyakarta, 10 Maret 2012

ISSN: 2089-9815

PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) BERBASIS OPEN SOURCE UNTUK ANALISIS KERENTANAN AIR PERMUKAAN SUBDAS BLONGKENG 1

Saddam Hussein1, Werdiningsih2 Mahasiswa Jurusan Sains Informasi Geografi dan Pengmbangan Wilayah, Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Bulaksumur, Yogyakarta 55282 Telp (0274) 902340 2 Mahasiswa Jurusan Geografi Lingkungan, Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Bulaksumur, Yogyakarta 55282 Telp (0274) 902340 E-mail: [email protected], [email protected]

ABSTRAKS Air merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki fungsi penting bagi kehidupan sehingga perlu dilestarikan, diantaranya dengan pengendalian pencemaran air permukaan. Kerentanan air permukaan terhadap pencemaran berbeda di setiap wilayah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kerentanan air permukaan pada SubDAS Blongkeng yang merupakan bagian dari DAS Progo, Jawa Tengah. Penelitian ini memanfaatkan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan menggunakan perangkat lunak open source GRASS dan Quantum GIS. Metode PCSM (Point Count System Model) digunakan dengan mempertimbangkan parameter kemiringan lereng, curah hujan tahunan dan penggunaan lahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daerah penelitian memiliki kerentanan air permukaan terhadap pencemaran mulai dari tingkat kerentanan rendah (10,7%) , sedang (77,7%),) dan tinggi (11,6%). SubDAS Blongkeng memiliki keragaman pada setiap parameter yang digunakan. Oleh karena itu, ketiga parameter tersebut dapat dikatakan memberikan pengaruh yang sama terhadap kerentanan pencemaran air permukaan di daerah penelitian. Kata Kunci: Sistem informasi geografis, kerentanan, pencemaran, air permukaan Sistem Informasi Geografis (SIG) telah banyak digunakan dan telah terbukti dapat memberikan hasil dengan akurasi yang tinggi. Kehadiran perangkat lunak berbasis open source ini juga menjawab adanya permasalahan mengenai keabsahan penggunaan perangkat lunak berlisensi. Beberapa perangkat lunak yang telah cukup banyak digunakan adalah Quantum GIS dan GRASS (Geographical Resources Analysis Support System). Penelitian ini dilakukan di SubDAS Blongkeng yang merupakan bagian dari DAS Progo dan berhulu di lereng barat Gunungapi Merapi. SubDAS ini terletak pada Kecamatan Muntilan, Ngluwar, Dukun, Srumbung dan Salam, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Setiap daerah memiliki kerentanan pencemaran air yang berbeda-beda. SubDAS Blongkeng memiliki kemiringan lereng berkisar dari 0%-55%. Penggunaan lahan di daerah tersebut pasca erupsi 2010 adalah semak belukar, gedung, hutan, kebun, pemukiman, lahan kosong, sawah irigasi, sawah tadah hujan, dan tegalan. Curah hujan di daerah penelitian juga beragam, yaitu 20783191 mm/tahun. Keragaman karakteristik tersebut, mengakibatkan setiap wilayah di dalam SubDAS tersebut memiliki potensi pencemaran yang berbedabeda. Oleh sebab itu, pemetaan indeks kerentanan air permukaan terhadap pencemaran di SubDAS Blongkeng penting untuk dilakukan.

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki fungsi sangat penting bagi kehidupan dan perikehidupan manusia, serta untuk memajukan kesejahteraan umum, sehingga merupakan modal dasar dan faktor utama pembangunan. Untuk melestarikan fungsi air perlu dilakukan pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air secara bijaksana dengan memperlihatkan kepentingan generasi sekarang dan mendatang serta keseimbangan ekologis (PP No.82 tahun 2001). Pengelolaan air yang terbatas merupakan isu penting dalam membangun masa depan yang berkelanjutan. Salah satu caranya adalah dengan mengurangi atau mencegah pencemaran air. Pencemaran air diindikasikan dengan menurunnya kualitas air tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya. Hal ini dapat terjadi disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu kemiringan lereng, curah hujan tahunan dan faktor kegiatan manusia dalam pemanfaatan suatu lahan. Langkah yang dapat dilakukan dalam upaya pencegahan pencemaran air adalah melalui zonasi atau pemetaan kerentanan suatu daerah terhadap pencemaran, yang selanjutnya dapat menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan dalam pengendalian kualitas air secara keseluruhan. Pemetaan ini dapat dilakukan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) dengan metode Point Count System Model (PCSM). Perangkat lunak berbasis open source di bidang

1.2

Tujuan Berdasarkan penjelasan diatas, penelitian ini bertujuan untuk: a. mengetahui distribusi parameter DAS, yaitu

92

Seminar Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi 2012 (SENTIKA 2012) Yogyakarta, 10 Maret 2012

ISSN: 2089-9815

atau danau. Semakin tinggi intensitas hujan dianggap menyebabkan makin tingginya tingkat kerentanan air.

curah hujan rata-rata tahunan, penggunaan lahan dan kemiringan lereng, b. mengetahui distribusi spasial tingkat kerentanan air permukaan terhadap pencemaran di daerah penelitian.

2.3

Sistem Informasi Geografis (SIG) SIG adalah sistem yang berbasiskan komputer yang digunakan untuk menyimpan dan memanipulasi informasi – informasi geografi. SIG dirancang untuk mengumpulkan, menyimpan, dan menganalisis objek dan fenomena dimana daerah geografi merupakan karakteristik yang penting atau kritis untuk dianalisis. Dengan demikian, SIG merupakan sistem komputer yang memiliki empat kemampuan dalam menangani data yang bereferensi geografi, yaitu masukan, manajemen data (penyimpanan dan pemanggilan data), analisis dan manipulasi data, dan keluaran (Aronoff, 1989).

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kerentanan Air Permukaan Konsep kerentanan airtanah terhadap pencemaran pertama kali diperkenalkan dibandingkan kerentanan air permukaan terhadap pencemaran. Kerentanan airtanah merupakan ukuran tingkat kemudahan atau tingkat kesulitan airtanah dimasuki oleh polutan di suatu wilayah (Harter dan Walker, 2001). Sementara konsep kerentanan airtanah menurut Vrba dan Zaporozec (1994) adalah bahwa lingkungan fisik dapat mempengaruhi tingkat perlindungan terhadap polutan yang masuk ke dalam airtanah, yang kemudian disebut sebagai kerentanan intrinsik. Kerentanan intrinsik sendiri menunjukkan mudah tidaknya perairan terkena pencemaran oleh hasil aktivitas manusia. Analisisnya didasarkan pada karakteristik hidrogeologi suatu wilayah tanpa mempertimbangkan jenis polutan. Tidak ada perbedaan yang mencolok antara kerentanan airtanah dengan kerentanan air permukaan (Harter dan Larry, 2008). Hal yang membedakan keduanya adalah skor dari variabel dan bobot dari parameter yang digunakan untuk menilai kerentanan air terhadap pencemaran. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kerentanan air permukaan merupakan ukuran tingkat kemudahan atau tingkat kesulitan air permukaan dapat dicemari oleh polutan disuatu wilayah.

2.4

Quantum GIS Quantum GIS merupakan salah satu perangkat lunak open source di bawah proyek resmi dari Open Source Geospatial Foundation (OSGeo) yang dapat dijalankan dalam sistem operasi Windows, Mac OSX, Linux dan Unix. Aplikasi ini menawarkan pengolahan data geospasial dengan berbagai format dan fungsionalitas vektor, raster dan database. Untuk keperluan analisis spasial, aplikasi ini telah cukup lengkap karena telah terintegrasi dengan perangkat lunak GRASS. Pemanfaatan perangkat lunak Quantum GIS ini dapat digunakan sebagai pilihan alternatif dari software SIG komersial seperti ArcView maupun ArcGIS. Quantum GIS dapat diakses melalui situs resmi yang beralamatkan www.qgis.org.

2.2

PCSM PCSM (Point Count System Model) merupakan pendekatan yang digunakan dalam menganalisis kerentanan air permukaan di suatu wilayah. PCSM menggunakan rating/skor multiparameter dalam penentuan tingkat kerentanan air permukaan, yaitu kemiringan lereng, penggunaan lahan, dan curah hujan rerata tahunan. Setiap parameter memiliki tingkat pengaruh yang tidak sama besarnya terhadap kerentanan air permukaan, sehingga diperlukan adanya pemberian bobot untuk tiap parameter yang digunakan. Faktor kemiringan lereng akan berpengaruh pada banyaknya presipitasi yang menjadi runoff atau proses infiltrasi yang terjadi. Semakin besar kemiringan lereng, maka potensi hujan yang jatuh untuk menjadi runoff akan semakin besar. Sementara pada kemiringan lereng yang kecil, proses infiltrasi akan lebih intensif terjadi, sehingga runoff yang dihasilkan lebih kecil. Penggunaan lahan mendeskripsikan aktivitas yang terjadi di permukaan tanah, sehingga mempengaruhi kecenderungan air yang menjadi runoff. Sementara faktor curah hujan akan menentukan besarnya jumlah sumber air yang tertransport melalui permukaan lahan menuju sungai

2.5 GRASS GRASS (Geographical Resources Analysis Support System) pertama kali dikembangkan oleh US Army Construction Engineering Research Lab (CERL) dan sejak tahun 1997, GRASS ini dikembangkan oleh Baylor University, Waco–Texas, USA. GRASS merupakan perangkat lunak open source dibawah lisensi GNU General Public License. GRASS berkembang melalui berkembangnya modul-modul yang semakin lengkap dan dapat diunduh secara gratis. GRASS memungkinkan penggunanya untuk menganalisis, menyimpan, mengupdate, membuat pemodelan dan menampilkan data geospasial. 3.

METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode PCSM (Point Count System Model). Metode ini menekankan pada pembobotan tiap parameter dan skor dari tiap variabel yang digunakan. Setiap parameter yang digunakan akan diberi bobot dengan rentang 1-3 (tabel 1), sedangkan variabel dari parameter yang digunakan diberi skor 1-10. Semakin tinggi skor dari suatu variabel, menggambarkan semakin rentan variabel tersebut terhadap pencemaran, dan 93

Seminar Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi 2012 (SENTIKA 2012) Yogyakarta, 10 Maret 2012

sebaliknya. Penentuan indeks kerentanan airtanah dalam penelitian ini menggunakan tiga parameter, yaitu kemiringan lereng, penggunaan lahan, dan curah hujan.

Tabel 3. Klasifikasi dan skoring variabel curah hujan Curah hujan (mm/tahun) Skor

Tabel 1. Klasifikasi dan bobot parameter terhadap kerentanan air permukaan Parameter Bobot Penggunaan Lahan

3

Kemiringan Lereng

2

Curah hujan

3

ISSN: 2089-9815

1500-2000

5

2000-2500

7

2500-3000

9

>3000

10

Sumber: modifikasi dari Eimers, et al., 2000 Tabel 4. Klasifikasi penggunaan lahan Penggunaan Lahan

Sumber: modifikasi dari Eimers, et al., 2000 Ketiga parameter direpresentasikan dalam bentuk peta, sehingga dapat diketahui distribusi spasialnya. Peta kemiringan lereng diperoleh dari analisis melalui interpolasi garis kontur. Garis kontur didapatkan dari peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1: 25.000 . Peta penggunaan lahan didapatkan melalui interpretasi visual foto udara pasca erupsi Merapi 2010 dengan skala output 1: 25.000. Sedangkan peta curah hujan tahunan didapatkan dari interpolasi curah hujan di 10 stasiun hujan di sekitar daerah penelitian. Ketiga peta tersebut kemudian di tumpang susun (overlay) dengan menggunakan sistem informasi geografis (SIG). Indeks kerentanan didapatkan dari jumlah pengkalian tiap skor variabel dengan tiap bobot parameter masing-masing, dengan menggunakan rumus:

3

8-13

5

14-20

7

21-55

9

>55

10

Skor

Tubuh air

1

Lahan kosong

2

Hutan

3

Semak Belukar

4

Kebun

5

Tegalan

7

Sawah

7

Pemukiman

8

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kemiringan Lereng Peta kemiringan lereng SubDAS Blongkeng (gambar 1) menunjukkan bahwa kemiringan lereng SubDAS Blongkeng adalah berkisar antara 0%-55%. Daerah hulu SubDAS Blongkeng didominasi oleh kemiringan lereng 21%-55%, sementara bagian tengah SubDAS memiliki kemiringan lereng yang bervariasi, yaitu 2%-13%, dan kemiringan lereng bagian hilir didominasi kemiringan lereng sebesar 0%-2%. Secara teori, dari distibusi kemiringan lereng tersebut dapat dikatakan bahwa daerah hulu memiliki kerentanan air permukaan terhadap pencemaran yang lebih besar dibandingkan daerah tengah maupun hilir. Hasil presentase kemiringan lereng SubDAS Blongkeng (gambar 2) menunjukkan bahwa dominasi kemiringan lereng SubDAS Blongkeng adalah 0-2%, kemudian diikuti kemiringan lereng sebesar 3-7%, 8-13%, dan 2155%. Sementara presentase kemiringan lereng 1420% merupakan presentase kemiringan lereng yang paling kecil.

Tabel 2. Klasifikasi dan skoring variabel kemiringan lereng Kemiringan lereng (%) Skor

3-7

variabel

Pemrosesan dan analisis data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak GRASS dan Quantum GIS. Hasil tumpang susun (overlay), kemudian diklasifikasikan menurut klasifikasi equal interval. Adapun klasifikasi tersebut menghasilkan zonasi daerah dengan tingkat kerentanan air permukaan rendah, sedang dan tinggi.

VI = indeks kerentanan Rw= bobot curah hujan Rt = skor curah hujan Tw = bobot kemiringan lereng Tr = skor kemiringan lereng Lw = bobot penggunaan lahan Lt = skor penggunaan lahan

1

skoring

Sumber: modifikasi dari Eimers, et al., 2000

VI = RwRt + TwTr + LwLr (1)

0-2

dan

Sumber: modifikasi dari Eimers, et al., 2000

94

Seminaar Nasional Teknoologi Informasi dan d Komunikasi 2012 2 (SENTIKA 2012) 2 Yogyakkarta, 10 Maret 2012 2

Gambbar 1. Peta kemiringan lereng SubD DAS Blongkenng (Sumber: Hasil H analisis data, d 2012)

P penggunnaan lahan SubDAS Gaambar 4. Peta Blo ongkeng (Sum mber: Hasil annalisis data, 20 012) 4.3 3 Curah Hu ujan Curah hujaan SubDAS Blongkeng memiliki ren ntang antara 2000 mm m/tahun hing gga 3191 mm m/tahun. Daerah hulu SubbDAS, memilliki curah hujjan 2500-30000 mm/tahunn dan lebih dari d 3000 mm m/tahun. Sem mentara curaah hujan 2000-2500 2 mm m/tahun dan 2500-3000 m mm/tahun terrjadi pada bag gian tengah SubDAS. Untuk daeerah hilir Sub bDAS, curah hujan yang teerjadi adalah 2500-3000 2 mm m/tahun. Pusaat massa hujann terjadi di baagian hulu Sub bDAS Blonggkeng, yaitu memiliki currah hujan tah hunan lebih beesar dari 3000 mm.

9,7 6,0

0-2% 46,7

17,1

ISSN N: 2089-9815

3-7% 8-13% 14-20% 21-55%

20,6

miringan lerreng Gambbar 2. Presentase kem SubDAS Blongkeng (Sumber: ( Hasil analisis data, d 2012) nggunaan Lah han 4.2 Pen Berdaasarkan peta penggunaann lahan seteelah erupsi tahun t 2010,, penggunaaan lahan yang y mendomiinasi di SubD DAS Blongkenng adalah saw wah irigasi, yaitu y sebesarr 41,8% darii luas SubDA AS. Penggunaaan lahan SubbDAS Blongkkeng selain saw wah irigasi addalah semak belukar, b gedunng, hutan, kebbun, pemukim man, lahan kossong, sawah tadah t hujan, dan lahan SubD tegalan. Presentase penggunaan p DAS Blongkenng ditunjukkann pada gambaar 3.

B Gambar 5. Peta isohyett SubDAS Blongkeng (Su umber: Hasil analisis a data, 22012)

3,99 4,3 0,2

1,00

1 17,5 41,8 19,7 11,5

4 Kerentanaan Pencemaraan Air Permu ukaan 4.4 Hasil tumpaang susun peeta penggunaaan lahan, kem miringan lereeng, dan curaah hujan men nunjukkan bah hwa kelas kerentanan k airr permukaan terhadap pen ncemar berkisar pada nilaai indeks 38-64. Kelas kerrentanan tertinnggi berada ddi bagian hulu SubDAS, yaiitu sebesar 36,9% darii luas daerrah hulu. Sem mentara kereentanan tingggi pada bagiaan tengah Sub bDAS memiliki presentasee 6,5% dan baagian hilir adaalah 1,6%. Haal ini dapat terrjadi disebabk kan karena daeerah hulu SubbDAS Blongkeng merupaakan pusat maassa hujan, deengan curah hujan domin nan adalah leb bih dari 3000 mm/tahun daan memiliki kemiringan k lereng yang besar, yaitu 21-555%. Curah hujan h yang tinggi dengan kemiringan k leereng yang besar b akan berrpengaruh terrhadap terangkkutnya polutaan melalui run noff yang dihaasilkan. Pengggunaan lahan di bagian

seemak belukar geedung h utan k ebun p emukiman laahan ksong saawa h irigasi saawa h tadah huujan teegalan

0,2

Gambbar 3. Presentase pennggunaan laahan SubDAS Blongkeng (Sumber: ( Hasil analisis data, d 2012)

95

Seminar Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi 2012 (SENTIKA 2012) Yogyakarta, 10 Maret 2012

ISSN: 2089-9815

Seperti ditunjukkan pada gambar 6, secara keseluruhan SubDAS Blongkeng memiliki kerentanan air permukaan terhadap pencemaran pada kelas sedang, yaitu sebesar 30.908.339,9 m2 (77,7%). Pada kelas kerentanan tinggi sebesar 4.604.027,3 m2 (11,6%) dan pada kelas kerentanan rendah sebesar 4.263.460,3 m2 (10,7%). SubDAS Blongkeng memiliki keragaman dalam hal kemiringan lereng, penggunaan lahan, dan curah hujan. Oleh karena itu, ketiga parameter tersebut dapat dikatakan memberikan pengaruh yang sama terhadap nilai indeks kerentanan.

hulu SubDAS, yaitu hutan, kebun, dan semak belukar relatif memiliki skor yang kecil. Sehingga dapat dikatakan bahwa dari segi parameter penggunaan lahan, hulu SubDAS Blongkeng memiliki kerentanan yang rendah. Sementara itu, kelas kerentanan sedang berada di sebagian besar daerah tengah dan hilir SubDAS, dengan indeks kerentanan 47-55. Pada daerah hulu,presentase kerentanan sedang adalah sebesar 60,9% dari luas daerah hulu. Sementara presentase kerentanan sedang pada bagian hilir adalah sebesar 97,7% dari luas daerah hilir. Kelas kerentanan sedang mendominasi daerah tengah SubDAS dipengaruhi oleh kemiringan lereng yang bervariasi, yaitu mulai dari 0-2%, 3-7%, dan 8-13%. Selain itu juga dipengaruhi oleh curah hujan yang beragam serta penggunaan lahan yang juga memiliki skor bervariasi, mulai dari skor 3-8. Sementara pada bagian hilir SubDAS dengan kerentanan sedang, faktor yang paling berpengaruh adalah penggunaan lahan, dimana penggunaan lahan yang mendominasi di bagian hilir, yaitu pemukiman, gedung, dan sawah memiliki skor kerentanan yang tinggi. Selain itu juga dipengaruhi oleh curah hujan sebesar 25003000 mm/tahun. Parameter lereng mempunyai pengaruh yang lebih kecil dibandingkan dengan parameter curah hujan dan penggunaan lahan karena pada bagian hilir SubDAS memiliki kemiringan lereng 0-2%. Kemiringan lereng yang datar (0-2%) memberikan dampak pada proses meresapnya air hujan ke bawah permukaan tanah (proses infiltrasi) yang lebih intensif dibandingkan pada lereng yang curam, sehingga tingkat kerentanan air terhadap pencemaran lebih rendah. Indeks kerentanan rendah berada pada daerah hulu, tengah, dan hilir SubDAS, dengan indeks kerentanan 38-46. Pada bagian hulu SubDAS, kerentanan rendah memiliki presentase 2,2% dari luas bagian hulu. Sementara pada bagian tengah SubDAS memiliki presentase kerentanan rendah sebesar 15,1%, dan pada bagian hilir SubDAS adalah 0,7% dari luas masing-masing bagian SubDAS tersebut. Dari uraian tersebut, dapat diketahui bahwa persebaran kelas kerentanan rendah paling tinggi ada pada bagian tengah SubDAS. Daerah tengah SubDAS mendominasi kelas kerentanan yang rendah disebabkan oleh faktor penggunaan lahan dan kemiringan lereng yang memiliki skor kerentanan kecil. Kemiringan lereng pada kelas kerentanan rendah adalah 0-2% dan 37%, sehingga proses infiltrasi dominan terjadi. Sementara penggunaan lahan, yaitu hutan, kebun, dan semak belukar yang memiliki skor kerentanan relatif kecil juga berpengaruh terhadap nilai indeks kerentanannya yang rendah. Walapun curah hujan pada kelas kerentanan rendah didominasi oleh curah hujan sebesar 2500-3000 mm/tahun, namun karena kemiringan lereng yang datar sampai landai maka proses peresapan air hujan ke bawah permukaan tanah lebih intensif terjadi.

11,6

10,7 Rendah Sedang Tinggi 77,7

Gambar 6. Presentase kerentanan air permukaan terhadap pencemaran di SubDAS Blongkeng (Sumber: Hasil analisis data, 2012) 5.

KESIMPULAN SubDAS Blongkeng memiliki keragaman dalam hal kemiringan lereng, penggunaan lahan, dan curah hujan. Oleh karena itu, ketiga parameter tersebut dapat dikatakan memberikan pengaruh yang sama terhadap nilai indeks kerentanan pencemaran air permukaan. Nilai indeks kerentanan pencemaran air permukaan di SubDAS Blongkeng berada pada rentang nilai 38-64. Indeks kerentanan bernilai 3846 merupakan kerentanan rendah, sementara 47-55 merupakan kerentanan sedang, dan 56-64 merupakan kerentanan tinggi. SubDAS Blongkeng didominasi oleh daerah dengan kerentanan air permukaan terhadap pencemaran pada kelas sedang, yaitu sebesar 30908339,9 km2 (77,7%), sedangkan kelas kerentanan tinggi sebesar 4604027,3 km2 (11,6%) dan pada kelas kerentanan rendah sebesar 4263460,3 km2 (10,7%). Kerentanan tinggi didominasi oleh SubDAS bagian hulu, sementara bagian tengah dan hilir didominasi oleh kerentanan sedang. Kerentanan rendah merupakan kerentanan yang paling kecil, berada pada bagian tengah SubDAS.

PUSTAKA Arronoff, Stanley. 1989. Geographic Information System: A Managemen Perspective. WDL Publications. Canada: Ottawa. Eimers, J.L., Weaver, J.C., Terziotti, S. and Midgette, R.W. 2000. Method of Rating

96

Seminar Nasional Teknologi Informasi dan Komunikasi 2012 (SENTIKA 2012) Yogyakarta, 10 Maret 2012

Unsaturated Zone and Watershed Characteristic of Public Water Supplies in North Carolina. USGS, Raleigh, North Carolina Harter, Thomas. 2008. Watersheds, Groundwater and Drinking Water: a practical guide. Oakland:ANR Publications. Harter,T. dan Walker, L.G. 2001. Assessing Vulnerability of Groundwater. California: California Departement of Health Services. Prawira, Angga Yuda , Wikantika, Ketut dan Hadi, Firman.2005. Analisis Spasial Lahan Kritis di Kota Bandung Utara Menggunakan Open Source Grass. Makalah disajikan dalam Pertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XIV ”Pemanfaatan Efektif Penginderaan Jauh Untuk Peningkatan Kesejahteraan Bangsa”. Kampus Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, 14 – 15 September 2005. Republik Indonesia. 2001. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air Dan Pengendalian Pencemaran Air Presiden Republik Indonesia. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 153. Sekretariat Negara. Jakarta. Romadona, Aditya dan Kusnanto, Hari. 2011. Open Source GIS: Aplikasi Quantum GIS untuk Sistem Informasi Lingkungan. Yogyakarta: BPFE. Vrba J., Zaporosec A. 1994. Guidebook on Mapping Groundwater Vulnerability. Vol 16. International Association of Hydrogeologists, Verlag Heinz Heise, Hannover. Widyastuti,M. and Slamet,S. 2006. Contamination Vulnerability Analysis of Watershed for Water Quality Monitoring. Journal Forum Geografi, Vol.20, No.1, 47-54.

97

ISSN: 2089-9815