PEMIKIRAN POLITIK HIDAYAT NUR WAHID : SYARIAT ISLAM DALAM

SYARIAT ISLAM DALAM NEGARA DEMOKRASI : STUDI KASUS PARTAI KEADILAN SEJAHTERA Yoga Kusuma 0606095286 Ditujukan kepada Muhamad Salabi, S.Sos sebagai Tug...

19 downloads 585 Views 203KB Size
PEMIKIRAN POLITIK HIDAYAT NUR WAHID : PENERAPAN SYARIAT ISLAM DALAM NEGARA DEMOKRASI : STUDI KASUS PARTAI KEADILAN SEJAHTERA

Yoga Kusuma 0606095286

Ditujukan kepada Muhamad Salabi, S.Sos sebagai Tugas Makalah Individu Mata Kuliah Pemikiran Politik Indonesia

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNIVERSITAS INDONESIA Depok, November 2007

BIOGRAFI DR. H.M. HIDAYAT NUR WAHID, M.AIa politisi, uztad dan cendekiawan yang bergaya lembut serta menge-depankan moral dan dakwah. Sosoknya semakin dikenal masyarakat luas setelah ia menjabat Presiden Partai Keadilan (PK), kemudian menjadi Ketua Umum Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Partai ini memperoleh suara signifikan dalam Pemilu 2004 yang mengantarkannya menjadi Ketua MPR 2004-2009. Kepemimpinnya memberi warna tersendiri dalam peta perpolitikan nasional. Nama Lahir Agama Jabatan

: DR. H.M. HIDAYAT NUR WAHID, M.A : Klaten, 8 April 1960 : Islam : -Ketua MPR 2004-2009 - Ketua Umum Partai Keadilan Sejahtera

Pendidikan: - SDN Kebondalem Kidul I, Prambanan Klaten, 1972 - Pondok Pesantren Walisongo, Ngabar Ponorogo, 1973 - Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, 1978 - IAIN Sunan Kalijogo, Yogyakarta ( Fakultas Syari’ah), 1979 - Fakultas Dakwah & Ushuluddin Universitas Islam Madinah Arab Saudi, 1983 Judul Skripsi “ Mauqif Al-Yahud Min Islam Al Anshar” - Program Pasca Sarjana Universitas Islam Madinah Arab Saudi, jurusan Aqidah, 1987 Judul Skripsi “ Al Bathiniyyaun Fi Indonesia,”Ardh wa Dirosah” - Program Doktor Pasca Sarjana Universitas Islam Medina, Arab Saudi, Fakultas Dakwah & Ushuludiin, Jurusan Aqidah, 1992 Judul Diskripsi “Nawayidh lir Rawafidh Lil Barzanji, Tahqiq wa Dirosah” Pekerjaan: 1. Dosen Pasca Sarjana Magister Studi Islam, UMJ 2. Dosen Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum, UMJ 3. Dosen Pasca Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 4. Dosen Fakultas Ushuluddin (Program Khusus) IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta 5. Dosen Pasca Sarjana Universitas Asy-Syafi’iyah, Jakarta

6. Ketua LP2SI (Lembaga Pelayanan Pesantren dan Studi Islam) Yayasan Al-Haramain, Jakarta 7. Dewan Redaksi Jurnal “Ma’rifah” 8. Ketua Forum Dakwah Indonesia Organisasi: - Anggota PII, 1973 - Andalan Koordinator Pramuka Gontor bidang kesekretariatan, 1977 – 1978 - Training HMI IAIN Yogyakarta, 1979 - Sekretaris MIP PPI Madinah, Arab Saudi, 1981 – 1983 - Ketua PPI Arab Saudi, 1983 – 1985 - Peneliti LKFKH (Lembaga Kajian Fiqh dan Hukum) Al Khairot - Anggota Pengurus badan Wakaf Pondok Modern Gontor, 1999 Seminar dan Karya Ilmiah: 1. Menghadiri undangan MASG di IIlinois, AS, 1994 (Menyampaikan prasaran) 2. Menghadiri undangan International Islamic Student Organisation di Istambul, Turki, 1996 3. Seminar Internasional madrasah wak Tanjung Al-Islamiyyah, Singapore, 1998 (Menyampaikan makalah). 4. Menghadiri undangan Seminar International dari Moslem Association of Britain di Manchester dan London. 5. Seminar mahasiswa Indonesia di Malaysia, 1999 (Menyampaikan makalah). 6. Seminar Internasional dari LIPIA dari Universitas Imam Muhammad bin Saud Riyadh, di Jakarta (Menyampaikan makalah), 1999 bersama KH. Irfan Zidny, MA, Prof.Ismail Sunni dan KH. Abdullah Syukri Zarkasi, MA. 7. Menghadiri seminar Internasional di Universitas Ibnu Khaldun, Bogor, bekerjasama dengan Universitas Imam Muhammad Saud, Jakarta 1999. 8. Menghadiri undangan festival nasional dan seminar internasional Janadriyah, Riyad, Arab Saudi (tahun 2000) bersama Prof. Dr. Nurcholis Madjid dan Prof. Dr. Amien Rais. 9. Menghadiri undangan seminar Perkembangan Islam di Eropa dari Islamiska Forbundet I Sverige, Stockholm, Swedia. 10. Berbagai seminar di dalam negeri 11. Membimbing dan menguji tesis master mahasiswa pasca sarjana Universitas Muhammadiyah dan IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Kata Pengantar buku-buku terjemahan: • Prinsip-prinsip Islam untuk kehidupan oleh Prof. Sholeh Shawi • Ensiklopedi Figh wanita oleh Prof. Abdul Karim Zaid (cetakan Rabbani Pres) • Pengantar studi Islam oleh Ust. Prof. Yusuf Al Qordhowi (cetakan Al-Kautsar) • As-Sunnah sebagai sumber ilmu dan kebudayaan oleh Ust. Prof. Yusuf Al Qordhowi (cetakan Al-Kautsar) • Fitnah Kubro, klarifikasi sikap para sahabat oleh Prof. Amhazun (cetakan Al-Haramain) • Kajian atas kajian Hadits Misogini (dalam buku Feminisme) • Tadabbur Surah Al Kahfi (dalam bulletin Tafakkur)

• Tadabbur Surah Yasin (dalam bulletin Tafakur) • Editor terjemah tafsir Ibnu Katsir • Menulis rubrik HIKMAH di harian REPUBLIKA • Beberapa makalah diseminar-seminar • Tajdid sebagai sebuah harakah (jurnal Ma’rifah) • Revivalisme Islam dan Fundamentalisme sekuler dalam sorotan sejarah (dalam buku menggugat gerakan pembaharuan Islam) • Inklusivisme Islam dalam literatur klasik (dalam jurnal Profetika) Alamat : Jl. H. Rijin No. 196, Jati Makmur, Pondok Gede, Bekasi

BAB I PENDAHULUAN Setelah orde baru bergulir, telah banyak terjadi perubahan dalam pola pikir masyarakat islam. Kekuatan politik islam pada era orde baru yang tadinya diciutkan dan ditekan pada sebatas pergerakan kultural, pada orde reformasi mulai bergerak kembali dan menyuarakan aspirasinya melalui gerakan taktis seperti membangun partai dan kelompok pergerakan lainnya. Mulai dari mereka yang sangat militan, radikal, bahkan dinilai menebar “teror” dimana-mana. Sejumlah kaum intelek muda dari berbagai latar belakang pendidikan yang lebih mengingikan perubahan lebih kongkret mulai membangun gerakan baru yang lebih bersifat islam fundamental. Gerakan mereka dinilai lebih bersifat politis dibanding cultural. Pergerakan ini perlu dicermati melihat konstelasi politik di Indonesia yang sedang dilanda status quo melalui hegemoni kekuatan-kekuatan partai lama (PDI-P dan Golkar) serta marak juga munculnya pergerakan islam yang mengadopsi basis masa dari gerakan-gerakan partai lama. Kesempatan untuk berpartisipasi langsung dalam kancah politik nasional menjadi terbuka setelah rezim Orba yang berkuasa 32 tahun dan tidak dilawan itu kemudian mengalami keruntuhan. Gerakan Tarbiyah1 sebagai gerakan yang awalnya lebih berfokus di bidang dakwah kini meluaskan diri ke politik. Bagi mereka nilai-nilai dakwah harus masuk mewarnai arena politik. Maka kesempatan di era reformasi ini, tepatnya tanggal 9 Agustus 1998, bertempat di halaman masjid Al Azhar, Kebayoran Baru, para pimpinan/elit gerakan Tarbiyah bersepakat dengan mendeklarasikan berdirinya Partai Keadilan (PK), PK adalah partai politik yang pertama mencantumkan Islam sebagai azas

1

Gerakan Tarbiyah melakukan strategi menarik diri dari hiruk-pikuk politik dan menggantinya dengan kajian-kajian Islam yang fokus pada pendalaman ajaran-ajaran Islam yang praktis pun mulai diminati kalangan mahasiswa di kampus-kampus. Model Gerakan Tarbiyah ini dirancang terstruktrur (terorganisasi), berjenjang secara rapih. Rekrutmen anggota amat selektif untuk dibina menjadi kader potensial. Disana dilakukan pembinaan berupa pertemuan/pengajian mingguan, training berkala, diskusi buku, tugas-tugas hafalan ayat, bermalam bersama, wirausaha, silaturahmi tokoh, dan sebagainya. Pengorganisasian dan pembentukan faham Gerakan Tarbiyah mengacu pada apa yang pernah dilakukan organisasi Ikhwanul Muslimin, Mesir. http://paramadina.wordpress.com

partainya. Pada 2004 PK kemudian berganti nama menjadi PKS (Partai Keadilan Sejahtera) agar masih tetap dapat ikut pemilu. Kehadiran Partai Keadilan dalam jagad politik nasional selain mengandung kekaguman, juga memancing sejumlah tanda tanya. Pengamat yang tidak menguasai betul dinamika sejarah politik Islam mungkin terjebak pada prasangka yang berkedok ilmiah. Sebagai partai Islam, dengan gerakan tarbiyah PK Sejahtera sebenarnya mengkehendaki tegaknya Syariat Islam.2 Namun, melihat sistem demokrasi yang dianut Indonesia, apakah relevan jika syariat Islam dapat diterapkan secara kaffah dalam sistem demokrasi Indonesia? Lalu, akankah kader-kader PK sejahtera sendiri akan tetap konsisten denga pergerakan tarbiyah dalam saran “partai dakwah” mereka? Hidayat Nur Wahid merupakan salah seorang kader Partai Keadilan Sejahtera yang cukup berpengaruh dan popular dalam perpolitikan Indonesia. Pemikirannya dapat dijabarkan meskipun tidak secara eksplisit beliau jelaskan bagaimana negara itu bekerja menurut pembagian kekuasaannya. Tulisan ini diharapkan dapat menjelaskan secara eksposisi bagaimana pemikiran serta praktek politik PK Sejahtera khususnya Hidayat Nur Wahid sebagai salah satu kader terbaiknya. Jenis penelitian yang digunakan penulis ialah dengan studi pustaka melalui sumber buku, artikel, data internet dan juga korespondensi (namun secara tidak langsung) dengan Humas DPP PK Sejahtera. Dalam membahas penerapan syariat islam dalam demokrasi penulis akan lebih menjelaskan tentang pemikiran praktik politik di lapangan. Selain menjelaskan prinsip dasar demokrasi dan syariat islam sendiri, Partai Keadilan Sejahtera dalam praktek oleh kader-kadernya mempertahankan idealismenya selain melihat sistem yang ada.

2

Hal ini secara implisit dijelaskan dalam visi PK Sejahtera “pelopor penegakan sistem Islam dalam bingkai persatuan umat dan kesatuan bangsa”

BAB II PEMBAHASAN Untuk lebih memahami penerapan Syariat yang dilakukan PK Sejahtera maka terlebih dahhlu harus dipahami prinsip demokrasi dan Syariat itu sendiri. Prinsip Demokrasi Prinsip demokrasi bukan merupakan konsep yang statis. Perubahan secara evolusi tentang demokrasi dimulai sejak zaman yunani kuno hingga sekarang. Demokrasi pada hakekatnya ialah pemerintahan dari,untuk dan oleh rakyat. Dalam pemahaman yang awam tersebut dapat terbentuk hipotesis bahwa demokrasi ialah pemerintahan dimana “absolutisme” dipegang oleh rakyat. Konsep serta teori tentang demokrasi dalam pemikiran politik sendiri selalu berubah menurut kepentingan di zaman itu. Suatu negara atau sistem pemerintahan dapat dikatakan demokratis apabila memiliki beberapa kriteria berikut:3 Pertama, empirisme rasional. Konsep ini merujuk pada keyakinan bahwa akal sehat, akal budi dan nalar manusia dijadikan sebagai konsep dasar demokrasi. Akal sehat akan membawa manusia untuk berpikir jernih dan tidak semena-mena dalam menilai suatu kebenaran. Semua hal diyakini bahwa ada penjelasan empirik untuk semua yang kita anggap benar dan salah. Kedua, kepentingan individu sangat diutamakan. Kriteria ini menjadi dasar demokratis atau idaknya suatu pemerintahan. Seluruh lembaga social-politik yang diciptakan haruslah demi kepentingan individu. Menurut Locke, kepentingan individu dapat menentang kekuasaan negara yang sewenang-wenang karena sistem demokrasi merupakan kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Tidak seperti kekuasaan dalam negara totaliter dan otoriter dimana kepentingan individu dilebur menurut kepentingan kolektif dan negara. Kriteria ketiga, teori instrumental tentang negara. Dalam sistem demokrasi negara dipandang sebagai suatu instrumen untuk mengakomodasi segala kepentingan perseorangan. Pandangan ini variable yang dependen ialah negara sedangkan yang independen ialah rakyat. 3

Diringkas seperlunya dari buku ahmad Suhelmi Pemikiran Politik Barat , Jakarta:Gramedia, 2004 hal 304

Keempat, prinsip voluntarisme. Kesadaran berpartisipasi dalam politik harus didasarkan kesukarelaan rakyatnya. Sistem demokrasi tidak mengkehendaki mobilisasi atas paksaan. Segala pemaksaan harus dilawan. Kelima, konsep hukum di balik hukum. Hubungan antara negara-masyarakat diatur oleh hukum yang kedudukannya lebih tinggi dari hukum negara. Kesepakatan mayoritas rakyat atau mereka yang diperintah lebih tinggi dari hukum negara. Hal inilah mungkin yang menciptakan mekanisme-mekanisme seperti; kudeta, referendum, dan demonstasi. Sebenarnya masih terdapat banyak lagi prinsip dasar demokrasi seperti persamaan hak asasi manusia (HAM) dan musyawarah dan mufakat. Akan tetapi, dalam implementasinya di Indonesia telah mengalami banyak penyesuaian menurut kultur politik Indonesia sendiri. alasan demokrasi di adopsi hampir diseluruh negara di dunia pun sebenarnya melihat konstelasi politik yang umum di dunia karena pada masa sekarang demokrasi dianggap sebagai sistem yang paling relevan walaupun sebenarnya terjadi banyak kebuntuan pemahaman yang lebih kompleks dalam menjalankan sistem pemerintahan demokrasi. Prinsip Syriat Islam Syariat Islam adalah ajaran Islam yang membicarakan amal manusia baik sebagai makluk ciptaan Allah maupun hamba Allah.4 Terkait dengan susunan tertib Syari'at, Al Quran Surat Al Ahzab ayat 36 mengajarkan bahwa sekiranya Allah dan RasulNya sudah memutuskan suatu perkara, maka umat Islam tidak diperkenankan mengambil ketentuan lain. Oleh sebab itu secara implisit dapat dipahami bahwa jika terdapat suatu perkara yang Allah dan RasulNya belum menetapkan ketentuannya maka umat Islam dapat menentukan sendiri ketetapannya itu. Pemahaman makna ini didukung oleh ayat dalam Surat Al Maidah QS 5:101 yang menyatakan bahwa hal-hal yang tidak dijelaskan ketentuannya sudah dimaafkan Allah. Sumber hukum islam berpokok pada dua hal utama. Al-Quran dan Hadist. Sumber hukum yang belum diatur selanjutnya dalam al-Quran dan Hadist di atur melalui mekanisme ijtihad. Ijtihad adalah sebuah usaha untuk menetapkan hukum Islam berdasarkan Al-Qur'an dan Hadis. Ijtihad dilakukan setelah Nabi Muhammad telah wafat 4

http://id.wikipedia.org/wiki/Syariat_Islam

sehingga tidak bisa langsung menanyakan pada beliau tentang suatu hukum namun halhal ibadah tidak bisa diijtihadkan. Beberapa macam ijtihad antara lain: - Ijma', kesepakatan para ulama - Qiyas, diumpamakan dengan suatu hal yang mirip dan sudah jelas hukumnya - Maslahah Mursalah, untuk kemaslahatan umat - 'Urf, kebiasaan sebenarnya gelombang pergerakan penerapan syariat islam di Indonesia telah dimulai pada masa awal pembentukan negara Indonesia sendiri. kubu nasionalis yang dipelopori Sukarno berhadapan dengan kubu agamis yang yang digerakkan oleh H. Agus Salim, Natsir, A. Hassan, H.O.S Cokroaminoto dan lain-lain. Namun, penerapan agama yang terintegrasi kehidupan bernegara ini selalu dapat dijegal dengan alasan kepentingan persatuan dan kesatuan bangsa. Padahal, dalam piagam Jakarta sendiri dijelaskan bahwa pengamalan syariat islam hanya bagi umat islam. Orientasi Hidayat Nur Wahid terhadap Politik Dalam memimpin PKS, ia bertekad menjadikan partai ini harus merupakan solusi bagi permasalahan bangsa. Dalam wawancara dengan Wartawan Tokoh Indonesia DotCom, ia mengatakan, partainya tidak semata-mata ingin ikut dan memenangkan Pemilu, melainkan kehadiran PKS harus merupakan solusi bagi permasalahan bangsa. PKS datang sebagai bagian dari solusi. Caranya adalah dengan tidak menjalankan politik kotor, menghalalkan segala cara, politik yang menolerir korupsi. Maka, kalau ada tokoh yang mempunyai massa besar tapi moralitas Islamnya bermasalah, tidak mempunyai tempat di PK (PKS). Partai ini lebih memilih menjadi partai yang kecil tapi signifikan ketimbang harus merusak citra Islam hanya dengan dalih vote getter. Begitu pula dalam memilih koalisi. PKS membuka diri untuk bekjerja sama dengan beragam partai yang tetap berkomitmen dengan politik yang bersih, peduli, bermoral dan berpegang pada cita-cita reformasi. Bagi PK, dalam berpolitik keberkahan adalah hal yang utama. Kemenangan bukan tujuan PKS. Beliau berpendapat jika bukan karna pertolongan Allah, mustahil PKS Hidayat telah banyak melihat sejarah partai Islam merupakan sejarah konflik internal. Latar belakang cultural yang melahirkan aliran yang beragam pada pergerakan

Islam di Indonesia juga banyak menimbulkan kesulitan untuk diterapkannya dasar-dasar islam dalam negara demokrasi. Saat partai islam tumbuh subur di awal reformasi, sejumlah kalangan khawatir hanya akan melahirkan konflik berkepanjangan dari partai islam. Namun, menurut Hidayat, hal itu idak perlu dikhawatirkan jika orientasi kita terhadap politik benar dan sepenuhnya mengacu pada kepentingan rakyat. “jika sejak awal dasarnya bukan ditujukan semata-mata untuk meraih kekuasaan, tetapi untuk mengartikulasikan gagasan melayani umat, dan mengartikulasikan organisasi sebagai sarana penyebaran dakwah, tentu dengan mudah konflik bisa dihindari”5

Jika partai Islam terus berkutat pada konflik, justru umat yang kembali akan dikorbankan. Mereka akan berpaling meniggalkan komunitas islam itu sendiri. Menurutnya, partai-partai islam harus melakukan reorientasi dengan cepat, dalam artian bagaimana melakukan politik yang bersih, jujur dan dilandaskan untuk semata-mata kepentingan umat. Konflik dengan memperdebatkan kepentingan masing-masing partai Islam hanya akan memperlebar perbedaan dan hal tersebut menunda persatuan dan kesatuan umat islam secara umum. Hidayat berpendapat bahwa sebagai kader partai dakwah yang menjadi pelopor perubahan dalam masyarakat, Sebagai sebuah paradigma, jelasnya, Islam sedikitnya meliputi empat hal. Pertama, al-islam itu sendiri, yakni penyerahan diri kepada Allah Sang Pencipta. Kedua, al-silm, yang berarti kedamaian. Ketiga, al-salam, artinya kesejahteraan. Keempat, al-salamah, yang artinya keamanan atau keselamatan. Itulah nilai-nilai Islam yang berlaku universal. Tapi, menurutnya, yang terpenting memang perilaku kader PK itu sendiri. Apakah mereka bisa bekerjasama secara konstruktif dengan pihak-pihak lain atau tidak. Sejauh ini Hidayat melihat kawan-kawan PK, termasuk yang ada di lembaga perwakilan, umumnya bisa bekerjasama dengan pihak lain dalam membela kebenaran. Hal tersebutlah yang merupakan penerapan Syariat dalam berpolitik.

5

www.hnw.or.id pemikiran-pemikiran Hidayat Nur Wahid

Menarik untuk dicermati pula, bagaimana kader-kader PKS mengimplementasikan politik moralnya dalam kehidupan sebagai pejabat politik. Melihat posisi partai yang cenderung baru dan pengaruhnya masih sayup-sayup terdengar dalam pemerintahan, namun, konsistensi kader PKS untuk menolak korupsi, kolusi, dan nepotisme terlihat sebagai bibit-bibit dakwah. Moralitas politik yang dijunjung tinggi seperti terlihat dalam penolakan Hidayat untuk menjadi Menteri Agama dalam kabinet Indonesia Bersatu pemerintahan Megawati. Dalam hal ini, Hidayat tak ingin terjerumus dalam sistem yang dapat mengecilkan wibawanya untuk mengkritik pemerintahan yang kotor. Seperti diketahui, Departemen agama yang mengalami masalah dalam pengelolaan jamaah haji serta penyelewengan dana ongkos naik haji. Dewan Pakar dan Majelis Budaya dalam PKS: Dua Mesin Pendukung PK Sejahtera Dunia politik tambah marak semenjak banyaknya artis terjun ke dalam politik praktis. Nama seperti Nurul Arifin yang didukung golkar, Marissa Haque yang didukung PDI Perjuangan. Tidak terkecuali PKS, banyak caleg-caleg yang berlatar belakang artis mewarnai kader PKS. PK Sejahtera menilai para artis bukan semata-mata aksesoris politik. Karena peran seniman dan budayawan di kalangan kader sejak lama telah mewarnai dakwah secara khusus di kalangan selebriti. Suasana dakwah tidak hanya meliputi masyarakat awam saja tetapi juga untuk kalangan menegan keatas yang selama ini terjebak dengan pola hidup yang hedonis.6 Majelis Budaya yang terdiri dari para artis dan budayawan seperti Ali Karim Oey (Budayawan Tionghoa), Anneke Putri (Artis Sinetron), Ferrasta “Pepeng” Soebardi (Presenter dan Periset Sosial), Helvy Tiana Rosa (Sastrawan/Novelis), diharapkan dapat memperkaya budaya dakwah PKS agar lebih mudah diterima umat. Sementara itu, dari kalangan pakar terdaftar sejumlah ekonom, ahli hokum, ahli komunikasi, dan pengamat politik: Imam Sugema (Direktur INDEF/Institute for Development, Economic, and Finance), Hamid Chalid (Mantan Anggota TGPTK/Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi), Mubramsyah Ramli (Mantan Dubes RI di Irak), Kemal Azis Stamboel (Country Manager IBM Counsulting Indonesia), Ipang

6

Sapto Waluyo, Kebangkitan Politik Dakwah, Harakatuna Publishing: Bandung 2005 hal 160

Wahid (Sutradara dan Konsultan Media), Eri Sudewo (Aktivis LSM/Mantan Direktur Dompet Dhuafa republika) dan lain-lain. Menurut Hidayat, dewan pakar tersebut bersifat independen dan kritis, bukan merupakan batu loncatan untuk kepentingan jangka pendek dan bekerja untuk kepentingan seluruh bangsa. Jadi, anggota Dewan pakar harus berfikir tentang masa depan umat dan bangsa secara keseluruhan, bukan Cuma kepentingan PK Sejahtera. Dewan Pakar bak “Halakah Intelektual” yang menumbuhkan sikap kenegarawanan. Sejumlah masalah strategis telah dirancang untuk digodok, antara lain: unrgensi pemilu dalam konsolidasi demokrasi, tampilnya kepemimpinan nasional baru emi menuntaskan proses transisi politik Indonesia, konstelasi politik baru yang dapat menjalnkan misi pemberantasan korupsi dan pemulihan ekonomi dan topik penting lainnya. Semua topik itu akan dibahas lebih tajam agar menjadi masukan berharga bagi DPP PK Sejahtera. Dewan Pakar dapat menjadi cikal bakal zaken cabinet (kabinet ahli) yang akan dibentuk pasca-pemilu, sebab susunan pemerintahan tidak bolleh hanya diknagkangi oleh satu kekuatan politik belaka. Apalagi, dalam situasi politik Indonesia yang terfragmentasi, tidak ada satu kekuatan politik mayoritas. Sementara itu, peran majelis budaya mengingatkan agar partai berkuasa atau pemerintahan baru bersikap komunikatif kepada masyarakat, sebab menjalankan kekuasaan berarti menegakkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan serta menularkansikap dan keteladanan penguasa. Pemikiran Hidayat Nur Wahid tentang Penerapan Syariat Islam dalam Demokrasi Syariat Islam islam bukan merupakan suatu momok yang ditakuti. Wawancara tentang penerapan Syariat Islam pada tempo Tempo - Edisi. 17/XXXV/19 - 25 Juni 2006 mungkin dapat menggambarkan bagaimana praktek Syariat Islam dapat selalu selaras dengan prinsip demokrasi. Banyak pihak yang berlindung di balik pancasila untuk menolak Syariat. “Ketika seseorang berteriak membela Pancasila, dia pasti tahu sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Dia juga tahu sila berikutnya adalah Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Artinya, tidak boleh kemudian perilakunya menjadi tidak manusiawi dan tidak adil. Tidak boleh dengan klaim mendukung Pancasila orang lalu menebar fitnah, teror, dan membuat opini yang bisa memecah-belah bangsa. Kalau

Pancasila dilaksanakan, permasalahan akan selesai. Tetapi sekarang Pancasila sering cuma dijadikan tameng untuk melindungi kepentingan pribadi atau kelompok.”7

Dalam konteks yang lebih moderat, pemahaman Syariat Islam sebenarnya telah berlaku umum. misalnya tentang ketertiban dan keamanan, serta hukum. Itu sudah dikover hukum-hukum yang ada. Ada yang ibadah murni, karenanya tidak memerlukan undang-undang apa pun, seperti salat, syahadat, dan sebagainya. Tapi ada beberapa lapisan masyarakat di tempat tertentu yang merasa perlu penegasan. Itu tak jadi masalah, asal dilakukan dengan mekanisme demokrasi dan jalur-jalur yang disepakati bangsa ini. Hidayat berpendapat syariat adalah bagaimana menciptakan manusia unggulan, menghadirkan moralitas bangsa, menghadirkan masyarakat sejahtera, dan bagaimana menegakkan hukum. Dia, misalnya, mengkritik Aceh yang lebih mengutamakan qonun untuk membidik orang berjudi, sementara tidak ada qonun pemberantasan korupsi. Saya permasalahkan itu karena tidak sesuai dengan prinsip keadilan. Mestinya yang lebih dahulu dibuat adalah peraturan tentang korupsi, baru yang lainnya. Kalau ada daerah atau sebagian daerah membicarakan syariat, mereka tidak membicarakan di luar NKRI. Mereka bicara dalam konteks NKRI dengan

mekanisme

yang

disepakati,

yaitu

sila

keempat

Pancasila.

Dan

itu tidak mesti dalam konteks hubungan antara mayoritas dan minoritas, antara yang Islam dan bukan Islam. Di Tangerang, misalnya, yang mengajukan usulan perda antimaksiat bukan partai Islam. Secara ide sebenarnya Syariat Islam dan membangun negara teorkrasi sebenarnya tidak dapat diwujudkan. Hidayat juga berpendapat bahwa demokrasi bukanlah tuhan. Akan tetapi, demokrasi juga bukan merupakan hantu. Demokrasi sebagai sarana atau alat untuk terciptanya tujuan demokratis yang di cita-citakan. Pandangan frustasinya terhadap demokrasi muncul akibat tidak dijalankan sesuai aturan-aturannya. Sebenarnya tidak terlihat secara eksplisit dalam visi dan misi Partai Keadilan Sejahtera sendiri mengenai penerapan Syariat Islam. Jika kita melihat visi yang diusung Partai Keadilan yaitu sebagai “pelopor penegakkan sistem islam dalam bingkai persatuan 7

Ungkapan Hidayat Nur Wahid dalam wawancara Tempo Edisi. 17/XXXV/19 - 25 Juni 2006

umat dan kesatuan bangsa”, dalam hal ini sesunguhnya gugurlah tuduhan sekelompok orang bahwa PK sebagai partai berasas islam ternyata tidak memperjuangkan penegakkan Syariat Islam. Hidayat menganggap sistem islam yang ditegakkan dalam segenap aspek kehidupan manusia dan masyarakat. Jangkauan visi PK amat luas, tidak hanya mencakup masalah yuridis (fiqh) atau kewajiban ritual (ibadah mahdah). Sebagai “pelopor”, aktivis PK tidak ingin hanya pandai berkoar-koar tentang upaya penerapan Syaiat Islam. Mereka berusaha bersungguh-sungguh menjalankan segala sisi Syariat dan Akhlak Islam, mulai dari diri sendiri, lalu keluarga, hingga masyarakat luas diarahkan dengan sisitem islam. Setelah berubah menjadi PK Sejahtera, maka visi tersebut dirumuskan lebih komprehensif lagi, yakni sebagai “partai dakwah penegak keadilan dan kesejahteraan dalam bingkai persatuan umat dan bangsa”. Visi PK Sejahtera dibingkai oleh keinginan untuk menciptakan “persatuan umat” dan “kesatuan bangsa”.8 Jadi, untuk melihat penerapan Syariat sendiri diharapkan bukan dengan cara represif dengan memerangi orang yang tidak mengamalkan Syariat Islam melainkan dengan memulai dari diri kader partai sendiri untuk menyebarkan pengaruh baik sebagai kekuatan positif perubah masyarakat. Hal menarik dari pemikiran Hidayat Nur Wahid ialah keterbukaannya untuk selalu membangun dialog dengan kelompok lintas ideologi serta lintas pergerakan. Seperti yang terjadi dalam komunikasi dan kerjasama tokoh PK Sejahtera dengan kalangan nonmuslim untuk membuktikan keterbukaan politik. Kerjasama itu dilakukan dalam isu-isu kemanusiaan, seperti pembentukan Forum Indonesia Damai (FID) pasca pemboman di malam Natal 2000, atau penggalangan Komite Indonesia untuk Solidaritas rakyat Irak (KISRA) yang berhasil mengumpulkan massa ratusan ribu orang ini belum pernah terjadi dalam sejarah Indonesia, kecuali rapat raksasa di Lapangan Ikada tahun 1945. Dalam sebuah kesempatan, Hidayat Nur Wahid pernah diundang Lembaga Alkitab Indonesia untuk berdiskusi tentang “Prospek penerapan Syariat Islam di Indonesia”. Banyak pimpinan partai yang diundang dalam diskusi tersebut. akan tetapi, Hidayat sendirilah yang dating. Hidayat berpendapat bahwa dengan kita membuka dialog 8

Sapto waluyo, Kebangkitan, loc cit., h 155

dengan kelompok yang berbeda latar belakang dan kepentingan akan lebih menimbulkan citra musyawarah untuk mufakat sebagai salah satu akar dari demokrasi. Cara represif hanya akan menimbulkan masalah-masalah baru yang mengancam persatuan dan kesatuan umat yang sangat majemuk. Kritik Terhadap Pemikiran Politik PK Sejahtera dan Hidayat Nur Wahid Sejauh ini PKS belum secara eksplisit menyatakan komitmennya terhadap pluralisme sosial-politik bangsa ini. Masih menyimpan tanda tanya di sebagian anak bangsa ketika secara eksplisit partai ini ingin membangun sistem kehidupan masyarakat dan negara sesuai dengan nilai-nilai Islam. Ini membuka celah bagi sebagian anak bangsa untuk ragu terhadap komitmen PKS terhadap pluralisme. Belum jelasnya sikap ini juga membuka prasangka, kalau PKS selama ini mengesankan sebagai partai terbuka hal itu hanyalah strategi partai mengingat ia belum menjadi kekuatan dominan di pentas politik nasional. Bila ia sudah menjadi dominan, demikian prasangka ini berlanjut, karakter asli dari partai ini akan keluar: meninggalkan prinsip pluralisme sosial-politik dan mengedepankan agenda pemberlakuan satu versi atas penafsiran syariat Islam bagi kehidupan sosial-politik bangsa ini. Misalnya pelarangan terhadap perempuan untuk menjadi pemimpin, pelarangan terhadap nonmuslim untuk menjadi pejabat publik, pelarangan terhadap bunga bank, dan lain-lain. Semua ini menurut satu versi penafsiran atas syariat diharamkan. Demokrasi elektoral bisa memberi jalan untuk diperjuangkannya agenda-agenda politik eksklusif tersebut. Bila pemilihan umum dimenangkan PKS, dan PKS menjadi kekuatan dominan di parlemen, ia punya kekuatan untuk melegislasi agenda-agenda tersebut. Prasangka demikian sesungguhnya bukan tanpa alasan, setidaknya kalau kita mencermati kecenderungan prasangka negatif pendukung PKS terhadap kelompok agama lain, dan kecenderungan dukungan terhadap beberapa agenda syariat dari satu versi penafsiran terhadapnya. Dalam sebuah survei nasional PPIM-Freedom Institute akhir tahun lalu, anggota masyarakat ditanya apakah setuju dengan sebuah keyakinan bahwa orang-orang bukan Islam tidak akan pernah senang terhadap orang Islam sebelum mengikuti agama mereka. Jawaban terhadap pertanyaan ini kemudian disilangkan dengan jawaban terhadap identifikasi diri dengan partai politik, dan diperoleh proporsi yang

menunjukkan bahwa orang-orang yang mengidentifikasikan dirinya dengan PKS paling banyak yang menyatakan setuju dengan keyakinan tersebut. Sekitar 7 dari 10 orang yang mendukung PKS punya keyakinan demikian. Pada pendukung partai-partai besar lain, proporsi yang berkeyakinan demikian tidak ada yang melampaui 50%, termasuk di PPP dan PAN. Konsisten dengan sikap itu, para pendukung PKS pada umumnya juga cenderung mendukung sejumlah agenda pemberlakuan satu versi penafsiran atas syariat Islam dalam kehidupan sosial-politik. Misalnya saja dalam soal pengharaman atas kepemimpinan perempuan yang sampai hari ini terus diperdebatkan di kalangan intelektual dan ahli Islam. Juga dalam soal pengharaman terhadap bunga bank yang sampai hari ini masih diperdebatkan. Isu kepemimpinan perempuan dan bunga bank sangat penting. Keduanya berkaitan dengan lembaga politik dan ekonomi modern. Dari survei nasional yang sama ditemukan, sekitar 7 dari 10 pendukung PKS setuju dengan pendapat bahwa perempuan tidak boleh menjadi kepala negara atau presiden. Juga sekitar 7 dari 10 pendukung PKS setuju kalau pemerintah melarang bunga bank karena bunga bank haram. Prasangka terhadap nonmuslim dan dua agenda dari satu versi atas penafsiran syariat Islam tersebut berhubungan cukup kuat dengan pendukung PKS. Hubungannya bisa timbal balik. Semakin kuat prasangka terhadap nonmuslim dan dukungan atas pelaksanaan agenda-agenda syariat itu di masyarakat maka kemungkinan besar semakin besar pula dukungan terhadap PKS. Atau sebaliknya, semakin besar dukungan terhadap PKS maka semakin besar prasangka tersebut, dan semakin besar dukungan terhadap agenda-agenda syariat tersebut di dalam masyarakat. Kalau pola itu mencerminkan platform dan gerakan atau dakwah di dalam PKS, orang punya alasan untuk tidak optimistis dengan kontribusi PKS bagi keindonesiaan modern yang bertumpu pada prinsip pluralisme dan rasa saling percaya sesama warga apa pun agamanya. PKS akan dipandang sebagai tantangan bagi keindonesiaan modern. Di antara elite PKS sendiri tentu saja ada kekuatan yang menghendaki agar PKS menjadi partai modern dan terbuka, dan karena itu perlu semakin mengendurkan pola hubungan antara partai ini dan agenda Islam yang eksklusif.

Sebaliknya, ada pula yang menghendaki agar PKS lebih tegas dalam memperjuangkan agenda-agenda eksklusifnya. Dengan demikian pola yang menunjukkan hubungan antara dukungan terhadap PKS dan dukungan terhadap agenda-agenda yang eksklusif tersebut harus terus diperkuat. Bila kekuatan ini yang dominan di dalam PKS, bagaimana pandangan masyarakat selanjutnya menaggapi hal tersebut. Tentunya PKS akan tetap menebar jargon persatuan dan kesatuan umat. BAB III KESIMPULAN Syariat Islam menurut Hidayat Nur Wahid tidak bisa dipahami secara dogmatis dan kaku. Penerapannya dilakukan menurut sisitem yang dianut suatu negara. Persatuan dan kesatuan umat lebih diutamakan. Tindakan represif hanya akan menimbulkan perpecahan dan gelombang yang lebih besar dalam penerapan Syariat. Seperti dalam kasus penerapan UU Pornografi dan Pornoaksi. Hidayat beranggapan RUU tersebut bukan untuk membuat disintegrasi bangsa. Perlakuan bersih dalam berpolitik merupakan misi utama sebagai partai dakwah yang menjunjung tinggi penerapan Syariat. Jalan dakwah yang ditempuh dengan amalan inilah cermin perubahan bangsa yang lebih kongkret menurutnya. Menolak segala bentuk KKN tebih utama daripada sekadar memuculkan wacana penerapan Syariat Islam. Pembangunan SDM yang berkualitaslah sesungguhnya esensi dari diberlakukannya Syariat Islam tersebut. Namun, menurut saya, seperti yang telah dijelaskan diatas, dalam implementasinya akankah agenda inklusif atau eksklusif yang dijalankan partai dan kader-kadernya? Prinsip tentang pluralisme yang belum jelas ini dipandang akan memawa PKS kedalam suatu masalah baru. Untuk saat ini mungkin agenda terpenting ialah konsolidasi dan pembentukan suara sebanyak-banyaknya. Namun, pada perkembangan selanjutnya belum jelas bagaimana menyikapi pluralitas umat ditengah wacana persatuan dan kesatuan serta kepentingan partai dakwah dalam menerapkan Syariat Islam.