PENANAMAN NILAI-NILAI ISLAM DALAM KONSTRUKSI KEMULIAAN INTAN

Download Penelitian ini dilaksanakan di Kota Martapura, ibu kota. Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, kota tempat jual beli intan dan penghasil in...

0 downloads 308 Views 409KB Size
KONTEKSTUALITA Jurnal Penelitian Sosial dan Keagamaan

p-ISSN: 1979-598X e-ISSN: 2548-1770

Vol. 33 No. 1, Juni 2017

Penanaman Nilai-Nilai Islam dalam Konstruksi Kemuliaan Intan oleh Pedagang Intan untuk Memelihara Stabilitas Pasar Intan di Martapura Kalimantan Selatan The Planting of Islamic Values in Construction of Diamond Glory to Maintain Diamond Market Stability in Martapura, South Kalimantan Yusuf Hidayat Universitas Lambung Mangkurat Kalimantan Selatan Jl. Brigjen H. Hasan Basri, Kayu Tangi, Banjarmasin, Indonesia. Email: [email protected] Abstrak: Kemuliaan intan sebagai benda yang langka, abadi dan simbol cinta merupakan konstruksi yang dibuat oleh para pedagang intan untuk memantapkan pasar intan. Bagi pedagang intan di Martapura, konstruksi kemuliaan intan membawa mereka untuk selalu berperilaku mulia dalam proses perdagangan intan untuk meraih kesuksesan dalam berdagang intan dan sebagai pedagang muslim berarti mereka berdagang dengan melaksanakan nilai-nilai Islam. Tulisan ini berupaya untuk mengkaji tentang nilai-nilai Islam apa yang dijadikan sebagai landasan dalam praktik berdagang intan dan memahami peranan pelaksanaan nilai tersebut dalam stabilitas pasar intan yang sangat dinamis. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang menggunakan metode penelitian kualitatif untuk memperoleh pemahaman realitas sosial secara mendalam. Penelitian ini telah dilaksanakan dikota Martapura yang terkenal sebagai kota intan tempat berinteraksinya para pedagang intan dan telah diwawancarai sebanyak 15 orang sebagai informan. Penelitian ini menemukan bahwa para pedagang intan percaya bahwa untuk meraih kesuksesan dalam berdagang intan mereka harus berperilaku mulia sebagai wujud pelaksanaan atas konstruksi keutamaan intan sebagai komoditas yang mulia. Sebagai pedagang muslim, mereka mengembangkan nilai-nilai dalam perdagangan intan yang bersumber dari ajaran-ajaran Islam yaitu: kejujuran, tidak berhutang, kebersamaan dan penggunaan penghormatan ‘haji’. Nilai-nilai ini dapat menciptakan stabilitas dalam perdagangan intan. Kata Kunci: konstruksi sosial, kemuliaan, nilai-nilai Islam, stabilitas pasar

Kontekstualita, Vol. 33, No. 1, 2017

1

Yusuf Hidayat

Abstract: The glory of diamond as eternal and scarce thing and the symbol of love is a construction made by diamond merchants to stabilize diamond market. For diamond merchants in Martapura, the construction of diamond glory enables them to constantly behave nobly in the process of diamond trade to attain success in diamond trade and perform Islamic values as Muslim merchants. This paper attempts to investigate Islamic values applied as the basis of diamond trade practice and figure out the roles of values implementation in the stability of dynamic diamond market. It is field study making use of qualitative method to obtain depth understanding of social reality. This study took place in Martapura known as diamond city where diamond merchants interact and fifteen of them were interviewed as informants consisting of three big merchants, four middle-scale merchants, four small-scale merchants and four ‘pengempet”. The study revealed that the diamond merchants believe that in order to succeed trading diamond, they need to nobly behave as the form of implementation of diamond construction as noble commodity. As Muslim merchants, they develop values in diamond trade derived from Islam teachings: honesty, no debt, togetherness and the use of respect “hajj”. These values can create the stability in diamond trade. Key words: social construction, glory, Islamic values, market stability A.

Pendahuluan

Pencitraan intan sebagai barang mulia dan bernilai tinggi juga dilakukan oleh para pedagang intan di Martapura. Pedagang Martapura yang kebanyakan merupakan pemeluk agama Islam menjaga pencitraan intan ini melalui lembaga agama. Melalui ajaran-ajaran Islam inilah citra intan sebagai batu mulia ditanamkan. Mereka menanamkan keagungan intan dengan membuat suatu kepercayaan bahwa barang siapa yang menginginkan intan yang mulia maka ia harus bertingkah laku mulia. Ungkapan ini menunjukkan bahwa meskipun dalam teksnya menyiratkan pentingnya kebajikan tetapi juga menyiratkan bahwa intan merupakan benda yang mulia sehinggga perlu perilaku khusus di dalam menghadapinya. Kajian-kajian terdahulu tentang perdagangan intan lebih banyak mengkaji tentang pemasaran intan dan stabilitas harga intan.

Berman

(1971) menemukan bahwa penentuan harga intan dunia dilakukan oleh organisasi perdagangan intan. Di awal perkembangan sejarah perdagangan

Kontekstualita, Vol. 33, No. 1, 2017

2

PENANAMAN NILAI-NILAI ISLAM

intan, perdagangan intan dikontrol oleh sebuah sindikat perdagangan yang beroperasi

secara

sembunyi-sembunyi

(under ground).

Kondisi

ini

menjadikan perdagangan intan merupakan perdagangan yang eksklusif sehingga mampu mengontrol harga intan.

Namun seiring dengan

berkembangnya jumlah produsen intan dunia, maka kelompok-kelompok sindikat

perdagangan

intan

pun

menjadi

semakin

banyak

dan

membahayakan bagi perdagangan intan karena volume barang intan menjadi semakin banyak. Untuk menjaga agar tidak terjadi kelebihan produksi yang akan merusak harga intan, maka dibentuklah organisasi yang mewadahi para produsen intan dengan dimotori oleh De Beer1 yang dikenal dengan CSO (Central Selling Organizatioin).

Organisasi ini berperan penting di dalam

mengontrol dan mengatur harga intan sehingga harga intan senantiasa stabil.2 De Beers sebagai perusahaan yang sangat berpengaruh dalam perdagangan intan merupakan perusahaan yang mempunyai peran besar dalam mengontrol peredaran intan di Dunia. Knight dan Stevenson (1986) mengkaji bentuk kontrol De Beers terhadap perusahaan-perusahaan tambang intan salah satunya yang menjadi kajian mereka adalah perusahaan penambangan intan ‘Williamson’ Ltd. Kajian ini menunjukkna bagaimana perusahaan De Beers berusaha keras untuk mengontrol produksi intan yang dilakukan

oleh

perusahan

penambangan

intan

yang

berpotensi

menghasilkan intan dalam jumlah yang banyak. Mereka menempuh berbagai strategi baik melalui lobby yang melibatkan negara tempat perusahaan tersebut berada atau melalui tindakan pengucilan atau penutupan akses pasar intan yang semuanya dilakukan untuk mendapatkan hak pembelian, atau

kalau

gagal

melakukan

pengontrolan

terhadap

perusahaan

penambangan intan tersebut. Upaya keras yang dilakukan oleh De Beers diatas dilakukan demi menjaga agar jangan sampai terjadi produksi yang berlebih yang akan berakibat pada jatuhnya harga intan.3

Kontekstualita, Vol. 33, No. 1, 2017

3

Yusuf Hidayat

Stabilitas harga intan disamping karena ada kontrol yang ketat terhadap produksi intan namun juga dilakukan dengan senantiasa menjaga citra intan sebagai simbol keistimeawaan, keabadian dan simbol cinta sebagaimana yang dipaparkan oleh temuan penelitian Weswood (2002) dan Spar (2006). Westwood (2002) yang mengkaji tentang strategi pemasaran intan yang mengeksplorasi slogan ‘kerangka’ waktu untuk meraih penjualan intan dalam industri yang bernilai jutaan dollar. Keempat “kerangka” waktu itu adalah waktu alamiah, keaslian, romantis dan identitas atau keakuan. Batu mulia ini berharga karena mereka dikonstruksikan dengan keempat ‘kerangka’ waktu tersebut sebagai sesuatu yang unik, sangat penting bagi para konsumen sebagai simbol untuk menyatakan cinta yang diciptakan oleh slogan dan kampanye pemasaran yang dilakukan oleh agen-agen De Beers.4 Senada dengan temuan Berman (1971) dan Knight dan Stevenson (1986) tentang pentingnya organisasi yang mengontrol peredaran intan serta temuan Westwood (2002) tentang penjagaan cita intan untuk menjaga stabilitas harga intan, Spar (2006) menunjukkan bahwa stabilitas harga intan terjadi

karena

beberapa

hal:

pertama,

pembentukan

kartel

yang

menghimpun beberapa produsen intan yang didominasi oleh perusahaan De Beer untuk mengontrol harga intan supaya tetap stabil. Kedua, pengaturan produksi berupa kesepakatan di antara para produsen intan untuk tidak membanjiri pasar dengan intan dan mereka berkeyakinan bahwa tindakan menggelontor intan ke pasar akan menghancurkan jargon mereka yaitu “ilusi keabadian” dan turunnya harga. Ketiga, kebanyakan produsen intan setuju untuk membatasi pasokan intan dan menjual hanya melalui satu cara, membangun citra intan sebagai barang yang tidak ada tawar menawar, tidak dibeli kembali karena ia merupakan sebuah simbol cinta.5 Di Indonesia, kajian tentang perdagangan intan masih belum banyak dilakukan oleh karena itu, kajian tentang perilaku pedagang intan

ini

merupakan salah satu kajian yang dapat menambah khazanah kajian tentang

Kontekstualita, Vol. 33, No. 1, 2017

4

PENANAMAN NILAI-NILAI ISLAM

perdagangan intan. Kajian ini juga membahas tentang stabilitas dalam perdagangan intan dengan menjaga citra intan sebagai barang yang mulia. Namun, berbeda dengan kajian-kajian terdahulu, penguatan citra intan sebagai barang mulia dilakukan dengan menjaga perilaku yang mulia dalam berdagang intan yang dikaitkan dengan budaya para pedagang intan. Oleh karena itu, kajian ini lebih dititik beratkan pada aspek budaya ekonomi (economic culture) pedagang intan yang mayoritas ber-etnis Banjar. Tulisan ini akan berupaya untuk mengkaji bagaimana budaya masyarakat Banjar yang terkenal sebagai penganut agama Islam yang taat mengukuhkan cara berdagang mereka dengan menjadikan nilai-nilai Islam sebagai acuan mereka dalam proses transaksi perdagangan intan. Uniknya, pelaksaan nilai-nilai Islami ini tidak hanya dimaksudkan untuk pelaksanaan nilai-nilai agama Islam semata namun juga

sehubungan dengan upaya

mereka untuk menjaga kemuliaan perilaku untuk meraih kesuksesan dalam berdagang intan dengan menjaga marwah “kemuliaan intan”. B.

Metode Penelitian

Kajian ini menggunakan metode penelitian kualitatif untuk memperoleh pemahaman yang mendalam tentang praktik-praktik pedagang di dalam perdagangan intan. Penelitian ini dilaksanakan di Kota Martapura, ibu kota Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, kota tempat jual beli intan dan penghasil intan di Indonesia.

Martapura adalah sebuah kecamatan dan

menjadi ibu kota Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Indonesia. Kota ini juga terkenal dan sering dikunjungi wisatawan karena merupakan pusat transaksi penjualan intan dan tempat penggosokan intan utama di Kalimantan dan menyediakan banyak cenderamata batu mulia. Martapura sering juga disebut sebagai Kota Serambi Makkah karena di kota ini banyak sekali santri-santri yang berpakaian putih-putih yang hilir mudik untuk menuntut ilmu agama dan selain itu juga kota ini terkenal sebagai kota yang agamis.

Kontekstualita, Vol. 33, No. 1, 2017

5

Yusuf Hidayat

Lokasi-lokasi yang dijadikan tempat penelitian yang berada di Kota Martapura ini adalah: di dalam pasar tradisonal Batuah, yaitu tempat dilaksanakan transaksi perdagangan intan yang sudah digosok. Di lokasi ini, para pedagang menjual intan yang sudah digosok kepada para pedagang lain atau tamu yang berkunjung ke lokasi tersebut. Lokasi ini juga ditempati oleh beberapa pengrajin intan yang menggosok intan milik para pedagang. Lokasi kedua adalah di bawah hotel Mutiara di muka pasar intan Batuah. Di tempat ini, intan yang diperjualbelikan adalah intan-intan yang masih belum digosok (masih bongkahan).

Lokasi ketiga tempat perdagangan intan adalah di

taman yang terletak di muka pertokoan ”Cahaya Bumi Selamat (CBS).” Subyek penelitian ini adalah para pedagang yang tergabung dalam komunitas pedagang intan Martapura. Pemilihan informan dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan teknik purposive sampling.

Mereka

terdiri dari 2 (dua) orang pedagang besar, 3 (tiga) orang pedagang menengah, 5 (lima) orang pedagang kecil, 3 (tiga) orang pengempet dan 2 (dua) orang konsumen intan. Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara: Pertama, observasi dilakukan pada bulan Juli tahun 2016 dengan melihat secara langsung kegiatan transaksi jual beli para pedagang intan, cara tegur sapa di antara para pedagang, ciri-ciri fisik para pedagang serta berbagai perilaku lain yang terkait dengan kegiatan perdagangan intan di pasar-pasar intan di Kota Martapura serta pola interaksi sosial antara para pengepul dengan para pendulang intan di pendulangan intan seperti di Cempaka dan di Pengaron. Kedua, wawancara secara mendalam terhadap informan yang terpilih dengan menggunakan panduan wawancara dan dibantu dengan tape recorder sebagai alat perekam. sampai

dengan

Wawancara ini dilaksanakan pada Agustus 2016

bulan

Desember

2016.

Masing-masing

informan

diwawancarai selama 1-2 jam dengan frekuensi antara 1-3 kali wawancara sesuai dengan ketercukupan data.

Kontekstualita, Vol. 33, No. 1, 2017

6

PENANAMAN NILAI-NILAI ISLAM

Analisis data dilakukan dengan cara mentranskrip hasil rekaman wawancara dan diberi catatan-catatan pinggir berupa tema yang dikaji, urutan kejadian serta penjelasan secara konseptual atas ungkapan-ungkapan yang ditulis.

Transkrip wawancara dari beberapa informan kemudian

diklasifikasikan berdasarkan tema-tema yang sesuai dengan tujuan penelitian.

Data yang sudah terklasifikasikan kemudian

dinarasikan

sehingga dapat menggambarkan fenomena sesuai dengan data yang diperoleh dari lapangan dan menghasilkan berbagai temuan-temuan penelitian yang didiskusikan dengan teori-teori sebelumnya yang terkait dengan tema penelitian. C. 1.

Temuan Karakteristik Pedagang Intan

Pedagang intan di Martapura dan umumnya di Indonesia kebanyakan berasal dari Martapura yang merupakan sub etnis Banjar.6 Orang Banjar atau Urang Banjar merupakan komunitas Melayu pesisir yang paling banyak menempati Wilayah Kalimantan Selatan. Mereka dikenal dengan tipe ke-Islamannya dan sebagai pedagang.7

Pola usaha yang dominan dilakukan oleh masyarakat

Banjar dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari adalah berdagang.8 Orang Dayak Bukit bahkan menyebut orang Banjar sebagai Orang Dagang.9 Cerita masyarakat Etnis Banjar sebagai seorang pedagang dapat ditelusuri dari sejarah panjang perdagangan etnis ini.

Menurut Usman

(1994) sejak abad ke 16 telah ditemukan adanya pedagang yang berasal dari suku Ngaju dan Oloh Masih yang telah memeluk agama Islam. Perdagangan mereka dapat bersifat antar daerah dalam kerajaan Banjar maupun dengan luar daerah (luar negeri). Setelah Kerajaan Banjar mulai berkuasa sekitar abad ke 17, aktivitas perdagangan masyarakat Banjar menjadi semakin intensif. Usaha perdagangan besar dan menengah pada zaman kerajaan dilakukan oleh para bangsawan tinggi, pembesar-pembesar kerajaan dan saudagar, di samping itu tentu saja saudagar-saudagar asing. Para bangsawan tinggi dan pembesar kerajaan kemungkinan menjadi pembeli tunggal atas Kontekstualita, Vol. 33, No. 1, 2017

7

Yusuf Hidayat

barang-barang hasil produksi rakyat di daerah yang dikuasainya, yang kemudian menjualnya kembali kepada saudagar atau bangsawan yang akan mengekspornya ke luar negeri atau menjualnya kembali kepada pedagang asing. Kelompok saudagar melakukan usaha perdagangan luar negeri, baik mengekspor barang-barang hasil produksi rakyat maupun mengimport barang-barang kebutuhan rakyat banyak yang mereka lakukan dengan kapalkapal layar mereka sendiri. Usaha ekspor dan impor ini juga dilakukan oleh pedagang-pedagang pendatang, yaitu pedagang-pedagang Eropa, China, Jawa dan Arab, tetapi mereka tidak berhubungan langsung dengan para produsen. Barang-barang yang diekspor pada saat itu adalah lada, damar, lilin, sarang burung, kayu ulin, rotan, emas dan intan. Sementara barang-barang yang diimpor terdiri dari berjenis-jenis tekstil, garam, beras, gula, barang-barang pecah belah, dan berjenis-jenis barang dari kuningan dan tembaga. Ketika kesultanan Banjar dihapuskan, dengan sendirinya peranan kaum bangsawan dan pembesar kerajaan dalam perdagangan merosot, tetapi peranan dari pedagang besar dan menengah masih terus berlangsung.10 Selain dikenal sebagai etnis pedagang, etnis ini juga dikenal sebagai etnis yang agamis dan menjadikan Islam sebagai identitas etnis ini.11 Para pedagang dari etnis Banjar menyandarkan budayanya dalam ajaran-ajaran agama Islam. Kuatnya agama Islam di dalam etnis Banjar juga tercermin dalam pola perilaku mereka yang senantiasa mengambil kehidupan sosial pada aspek Islam. Karakteristik orang Banjar sebagai etnis pedagang dan penganut agama Islam yang taat telah menuntun proses perdagangan intan diwarnai oleh nilai-nilai Islami untuk menumbuhkan perilaku mulia yang dituntut oleh kemuliaan intan. Oleh karena itu, pedagang intan berdagang dengan senantiasa memperhatikan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam. 2. Nilai-nilai yang Berkembang Dalam Perdagangan Intan Pencitraan intan sebagai barang mulia dan bernilai tinggi juga dilakukan oleh para pedagang intan di Martapura. Pedagang Martapura yang kebanyakan Kontekstualita, Vol. 33, No. 1, 2017

8

PENANAMAN NILAI-NILAI ISLAM

merupakan pemeluk agama Islam menjaga pencitraan intan ini melalu institusi agama. Melalui ajaran-ajaran Islam inilah citra intan sebagai batu mulia ditanamkan. Mereka menanamkan keagungan intan dengan suatu kepercayaan bahwa “Barang siapa yang menginginkan intan yang mulia maka ia harus bertingkah laku mulia,” menurut penuturan salah seorang pedagang intan. Ungkapan ini menunjukkan bahwa meskipun dalam teksnya menyiratkan pentingnya kebajikan tetapi juga menyiratkan bahwa intan merupakan benda yang mulia sehinggga perlu perilaku khusus di dalam menghadapinya. Perlakuan khusus terhadap intan sudah dilakukan sejak dari pendulangan intan. Para pendulang, sebelum melakukan pendulangan intan diharuskan untuk membuat selamatan agar pekerjaan mendulang mereka diberkahi. Selain itu, dalam pelaksanaan pendulangan intan ada beberapa larangan yang tidak boleh mereka langgar agar intan sebagai barang tujuan utama pendulangan dapat diperoleh. Beberapa perlakuan ini merupakan suatu upaya masyarakat pendulang intan mengembangkan khazanah lokalnya di dalam menjaga nilai intan. Perlakuan khusus terhadap intan juga dilakukan dalam proses perdagangan intan. Ada keyakinan dikalangan para pedagang intan bahwa untuk mendapatkan kesuksesan berdagang intan para pedagang hendaknya berperilaku mulia sebagaimana intan yang bernilai mulia. Sebagai wujud pelaksanaan perilaku mulia dalam berdagang intan, para pedagang mengembangkan beberapa nilai yang dilaksanakan oleh mereka dalam proses perdagangan intan. Nilai-nilai ini tumbuh dan berkembang secara turun temurun untuk menjaga keseimbangan di dalam perdagangan intan. Nilai-nilai tersebut adalah: kepercayaan, tidak berhutang dalam permodalan, kebersamaan serta kehormatan (honour) di dalam proses interaksi di dalam perdagangan intan.

Kontekstualita, Vol. 33, No. 1, 2017

9

Yusuf Hidayat

Tabel. 1 Aspek-Aspek Nilai yang Dikembangkan oleh Para Pedagang Intan No

Nilai

Kepercayaan

Permodalan

Individualisme dan kebersamaan

Kelompok

Kehormatan Di dalam Proses interaksi

1

Pengempet

Kejujuran

-

Kebersamaan

2

Pengepul

Kejujuran

Kongsi

Kebersamaan

3

Boss Menengah

Kejujuran, Membayar tepat waktu

Kongsi

Kebersamaan dan individualism

Kehormatan

4

Boss Besar

Membayar tepat waktu

Kongsi

Individualisme

Kehormatan

a.

Kejujuran Menjaga dan memelihara kepercayaan merupakan salah satu perilaku

yang dilakukan oleh semua pedagang intan untuk menjaga eksistensi mereka di dalam perdagangan intan. Penjagaan kepercayaan menjadi strategi umum semua pedagang dalam praktik perdagangan intan karena kepercayaan merupakan hal pertama dan utama di dalam perdagangan intan di mana seluruh aktivitas dan transaksi dalam perdagangan intan di dasarkan pada aspek kepercayaan. Sistem kepercayaan dalam perdagangan intan ini dianut oleh semua kelompok pedagang dari mulai kelompok pengempetan sampai dengan kelompok pedagang besar (Big Boss). Misalnya dalam hal pembayaran intan yang terjual, mereka tidak pernah menggunakan kwitansi sebagai bukti pembayaran, padahal nominal harga intan yang terjual itu bernilai jutaan bahkan ratusan juta rupiah. Mereka sudah saling percaya antara satu dengan yang lainnya, mereka tidak khawatir kawannya akan mencederai kepercayaan yang mereka berikan dan terbukti tidak ada yang mencederai kepercayaan tersebut. Bentuk kepercayaan di antara pedagang juga dilakukan oleh para pedagang yang melakukan kerjasama di dalam

Kontekstualita, Vol. 33, No. 1, 2017

10

PENANAMAN NILAI-NILAI ISLAM

pencarian intan di daerah lain. Semua transaksi di dalam proses kerjasama ini dilakukan berdasarkan kepercayaan. Para pemilik modal mempercayai berbagai pengeluaran yang dilaporkan oleh si pencari intan. Kepercayaan si pemilik modal terhadap pencari intan memang sudah terbangun dalam sebuah interaksi yang panjang dalam proses perdagangan intan sehingga muncul saling percaya diantara mereka.

Para pedagang tentunya tidak

sembarangan di dalam menentukan kawan per-kongsi-an, hanya orang yang terpilih yang diajak mereka untuk berkongsi karena kapasitas orang tersebut dianggap baik dari segi kemampuan, sifat dan prilakunya. Seperti ungkapan salah seorang pedagang intan sebagai berikut: “Pandiran, sikap wan prilaku urang itu nang aku pegang. Kadada istilahnya aku mambari modal pake perjanjian tartulis, itu kadada. Padahal nang aku tanam modalnya kawa milyartan.” (Omongan, sikap dan prilaku orang itu yang saya pegang. Tidak ada istilahnya saya memberi modal menggunakan perjanjian tertulis, itu tidak ada. Padahal yang saya tanam modalnya bisa milyaran). Contoh lain tentang kuatnya kepercayaan dalam perdagangan intan adalah bahwa mereka ketika akan menawar intan biasanya akan mengecek kualitas intan dengan alat keker intan. Kalau dalam proses pembelian intan di pasar intan, pengekeran dianggap belum cukup, mereka akan membawa pulang intan-intan tersebut untuk dicek di rumah pedagang intan. Mereka bisa membawa intan itu selama beberapa hari sampai ia mendapatkan kesimpulan tentang kualitas intan sebagaimana diungkap oleh H. Mawardi sebagai berikut: “Mun handak mengeker intan simpan dulu bawa ka rumah, kalu masih balum yakin, ulun bawa bulik ka rumah supaya kawa labih konsentrasi mengukur kualitas intan.” (Kalau mau mengeker intan simpan dulu bawa ke rumah, kalau masih belum yakin, saya bawa pulang ke rumah agar dapat lebih konsentrasi mengukur kualitas intan). Para pedagang yang memiliki intan berani meminjamkan intan kepada para pedagang lain sampai beberapa hari karena mereka percaya

Kontekstualita, Vol. 33, No. 1, 2017

11

Yusuf Hidayat

kepada calon pembeli intan itu. Pada kenyataannya kasus ketidakjujuran pada proses perdagangan intan tidak pernah ditemukan. Penggunaan sistem kepercayaan dalam perdagangan intan tidak terlepas dari model perdagangan intan yang masuk dalam kategori ekonomi informal.

Ekonomi informal

menurut Granoveter makin banyak

ia

dilaksanakan mendekati model pasar yang sebenarnya makin banyak ia bergantung pada pertalian sosial di dalam memfungsikannya secara efektif di mana saling percaya di antara anggota suatu kelompok menjadi sebuah keniscayaan. 12

Kepercayaan di dalam pertukaran informal

biasanya

dihasilkan oleh kesamaan identitas dan perasaan dan oleh harapan bahwa tindakan curang akan ditinggalkan dengan mengeluarkan pelanggar dari kunci jaringan sosial. Kepercayaan sangat penting di dalam sebuah hubungan antar pedagang karena dengan kepercayaan para pedagang dapat melakukan transaski dengan rasa aman. Menkhoff menjelaskan bahwa untuk meminimalisir terduga,

resiko bisnis dan hubungan ekonomi eksternal yang tak

pelaku perdagangan

mencoba untuk memapankan hubungan

bisnis yang panjang terhadap partner dagang mereka di mana hubungan itu terbangun dalam sebuah

“jaringan kepercayaan”

(trusted networks)

sebagaimana diungkapkan oleh Burns yang mengkonsepkan “jaringan kepercayaan” (trusted networks). “Jaringan terpercaya” dimaksudkan sebagai beberapa individu yang kepadanya pedagang mencari melaksanakan hubungan bisnis menjadi terpercaya. Partner bisnis potensial dari sudut pandang pedagang, mungkin saja tercakup oleh beberapa jaringan yang membantu untuk menjamin prilaku kejujuran mereka. Mengacu pada Burn, beberapa bagian anggota jaringan yang terpercaya yang berhubungan dengan bisnismen bergantung pada posisi mereka di dalam sistem pasar dan di dalam masyarakat yang lebih luas.13

Kontekstualita, Vol. 33, No. 1, 2017

12

PENANAMAN NILAI-NILAI ISLAM

b.

Hutang No! Kongsi Yes! Dalam perdagangan intan, modal material yang berputar sangat tinggi

sampai miliaran rupiah. Karena transaksi untuk satu intan saja kalau yang besar nilainya bisa ratusan bahkan miliaran rupiah.

Mengingat betapa

besarnya modal material yang harus dikeluarkan untuk memiliki sebuah intan maka seorang pedagang harus mengeluarkan kocek yang sangat dalam. Mengingat besarnya jumlah nominal uang yang diperlukan di dalam proses perdagangan intan, para pedagang intan sering kali merasa kekurangan modal untuk ikut terlibat di dalam perburuan intan. Namun demikian, tidaklah mudah bagi mereka untuk mendapatkan modal tersebut karena ada beberapa hal yang menjadi penghalang bagi mereka untuk mengakses modal. Pertama, sifat dari perdagangan intan, apalagi intan yang mentah (belum digosok) bersifat spekulatif. Kondisi ini terjadi karena harga intan tidak dapat diprediksi secara pasti karena semuanya bergantung pada kemampuan dan keberuntungan pedagang intan di dalam menaksir intan dan tentunya hal ini sangat riskan. Kedua, keyakinan masyarakat Banjar, tidak boleh memberikan bunga di dalam pinjam meminjam dan itu di anggap haram dan merupakan perilaku yang tidak mulia. Pada hal, perilaku mulia merupakan tuntutan yang harus mereka laksanakan kalau mereka ingin sukses di dalam perdagangan intan. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh bapak Nasrullah, salah seorang pedagang intan sebagai berikut: “Anu pak ai, kita ini urang muslim jadi haram nah lamun kita babunga pinjaman, lawan kita jua dituntut balaku mulia. Paling kita titip modal haja, bagi untung wan bagi rugi.” (Anu Pak, kita orang muslim jadi haram kalua kita memberi berbunga pinjaman, juga kita dituntut berlaku mulia. Paling kita titip modal saja, bagi untung sama bagi rugi). Untuk mengatasi permodalan ini, ada beberapa cara yang dilakukan oleh para pedagang intan di antaranya adalah ”titip modal, bagi untung dan bagi rugi” atau lebih dikenal dengan “bakongsi” (berkongsi) yaitu kesepakatan yang diambil oleh para pedagang intan untuk berbagi modal

Kontekstualita, Vol. 33, No. 1, 2017

13

Yusuf Hidayat

uang di dalam mendapatkan intan dan keuntungannya dibagi sesuai dengan saham mereka. Join (kerjasama) modal di dalam perdagangan intan dapat dilakukan dalam 2 (dua) bentuk yaitu: 1. Kongsi oleh Pedagang yang Selevel. Kongsi ini dimaksudkan untuk menjaga kebersamaan di dalam perdagangan intan. Kongsi ini menjadi kewajiban para pedagang intan yang selevel ketika proses transaksi dilakukan di pasar intan. Pedagang yang sebenarnya mampu untuk membeli sendiri, namun ketika ada di pasar intan dan ada kawan yang selevel ikut dalam berkongsi, ia harus mengajak orang tersebut dalam perkongsian dan ini sudah menjadi adat kebiasan komunitas pedagang intan di Martapura. Kalau tidak mengajak, berarti ia sudah mencederai adat kebiasaan di sana. Kewajiban ini akan gugur kalau pedagang rekanannya tidak berani dengan tawaran pedagang yang akan ber-partner, dengan mengataka: “aku kada umpat” (saya tidak ikut) maka si pedagang yang diajak kongsi tadi bisa menawar intan sendirian. 2. Kongsi yang dilakukan oleh bos-bos besar. Kongsi ini menjadi kewajiban para boss ketika transaksi penawaran intan di tempat pemiliki intan. Jadi, ketika ada informasi ditemukan intan besar, para pengempet dan pedagang-pedagang kecil yang sudah terintegrasi dalam jaringan pedagang kelompok pedagang besar tertentu. Mereka akan membawa informasi itu ke Bos mereka masing-masing dan tentunya Bos ini akan melihat intan itu di si pemilik intan. Ketika mereka datang ke tempat pemiliki intan dan bersjumpa dengan bos yang lain, mereka pasti akan berkongsi. Hal ini seperti diungkapkan oleh seorang pedagang intan: “Itu spontan haja, pas ada disitu, pas baimbaian wan bos berundiang inya, begini: “kuserahkan wan ikam haja manawar,” kawa jua bededua manawar nang laen manggiring haja. Tapi nang ampun barang kada mandangar, itu rahasia pang.” (itu spontan saja, ketika ada di tempat itu, ketika para bos bersama mereka berunding seperti ini: “Kuserahkan sama kamu saja untuk menawar,” bisa juga berdua

Kontekstualita, Vol. 33, No. 1, 2017

14

PENANAMAN NILAI-NILAI ISLAM

menawar yang lainnya menggiring saja. Tetapi yang punya barang tidak mendengar, itu rahasia). Kongsi antar bos ini dilakukan ketika mereka berada di tempat yang punya intan secara bersamaan.

Beda halnya ketika intan dibawa kepada

salah satu bos, maka bos yang lain tidak akan mengajak untuk berkongsi karena “gengsi.” Pada situasi ini, bos biasanya akan memantau harga intan berapa tawaran yang berkembang sampai pada akhirnya si pemilik intan datang ke tempat bos tadi. Di sinilah adu harga akan terjadi antara kedua atau beberapa bos tadi. Selain kongsi se-level, kongsi juga terjadi di antara beberapa pedagang dengan pedagang lain yang dibawahnya

yang sudah menjadi rekanan.

Kongsi ini lebih diarahkan sebagai bentuk kepedulian bos terhadap anak buahnya atau juga sebagai bentuk balas jasa atas informasi yang diberikan anak buah mereka untuknya. Sehingga dengan diberi kesempatan ini, anak buah akan lebih loyal terhadapnya dan akan selalu men-suplai informasi untuknya. Bagi pedagang kecil atau menengah yang mau bekerjasama dengan pedagang besar dimaksudkan agar mereka tetap dapat bermain dalam penjualan intan meskipun harganya sudah tak terjangkau lagi olehnya dan menjadi bagian dari perburuan intan bos mereka. D. Nilai-nilai Kebersamaan Untuk Melindungi Pedagang Kecil dan Menengah Nilai-nilai kebersamaan di dalam komunitas pedagang intan sangat dipegang teguh. Mereka harus saling memberitahu, saling berbagi informasi dan saling berbagai kesempatan dengan rekan-rekan sesama pedagang intan. Nilai-nilai kebersamaan yang dikembangkan di dalam perdagangan intan dimaksudkan untuk menciptakan kestabilan dan ketertiban di dalam perdagangan intan sehingga dapat mengurangi tensi persaingan di antara para pedagang intan yang sangat tinggi. Namun, di sisi lain, pedagang sebagai

Kontekstualita, Vol. 33, No. 1, 2017

15

Yusuf Hidayat

manusia yang bebas merasakan bahwa aturan-aturan yang ada di dalam komunitas pedagang intan menjadi sebuah kungkungan mereka di dalam bertindak dan bertransaksi di dalam perdagangan intan. Berbeda dengan bos kecil, bos menengah mempunyai sedikit power dengan material yang dia miliki. Dengan posisinya itu dia akan mengembangkan nilai-nilai kebersamaan sekaligus nilai-nilai individualistik. Mereka mempunyai strategi sendiri yaitu mengembangkan nilai-nilai kebersamaan ketika dia berada dan bertransaksi di dalam pasar intan dan di lain waktu dia akan membawa transaksi itu ke luar arena sehingga dia akan leluasa mengembangkan nilai-nilai individualistiknya. Lain lagi dengan pedagang besar, di mana dia bertransaksi intan di luar pasar yakni di tempat yang dia kehendaki, termasuk di rumahnya, mereka relatif otonom dan mengembangkan nilai-nilai individualistik yang tidak tersentuh oleh kewajiban “kebersamaan’ yang ada di dalam pasar perdagangan intan. E. Gelar “Haji” sebagai Kapital Simbolik Kesuksesan Pedagang Intan Gelar “Haji” merupakan gelar yang diidam-idamkan oleh masyarakat Banjar sebagaiman masyarakat muslim lainnya di seluruh belahan dunia. Namun demikian, bagi masyarakat Banjar, Haji tidak hanya sebagai wujud pencapaian peribadatan terakhir dalam menjalankan peribadatan, namun juga menjadi sebuah lambang status sosial yang tinggi di mana orang yang sudah mendapatkan gelar Haji akan menempati posisi yang tinggi di dalam masyarakat Banjar setingkat dengan para pemegang jabatan formal di daerahnya masing-masing. Oleh karena itu, seluruh masyarakat Banjar berusaha keras untuk mendapatkan gelar ini. Realitas di atas, juga berlaku di dalam arena perdagangan intan, “Haji” menjadi simbol kesuksesan orang di dalam perdagangan intan dan mendapatkan kehormatan yang tinggi di kalangan mereka. Para pedagang yang bergelar Haji rata-rata para pedagang kelas menengah dan pedagang

Kontekstualita, Vol. 33, No. 1, 2017

16

PENANAMAN NILAI-NILAI ISLAM

besar sehingga gelar Haji menjadi salah satu bentuk penghormatan terhadap bos-bos besar ini. Di dalam praktik sehari-hari di dalam arena perdagangan intan, gelar Haji lebih banyak digunakan oleh bos pedagang intan kelas menengah. Hal ini terjadi karena bos besar sudah tidak berdagang di pasar melainkan di rumahnya masing-masing. Bos-bos intan kelas menengah inilah yang dalam kesehariannya di pasar perdagangan intan yang selalu memakai atribut “keHaji-an” yaitu memakai baju koko dan peci haji. Mereka mendapatkan posisi yang terhormat di kalangan para pedagang intan yang menempati posisi lebih rendah seperti bos kecil atau pengepul serta pengempet. Di tengah pasar intan di pasar Martapura sangat mudah untuk mengenali bos menengah ini, yaitu memakai baju koko dan berpeci haji berbeda dengan pedagang lain yang lebih rendah yang memakai baju biasa dan tidak berpeci haji. Penggunaan atribut haji ini tentunya mempunyai makna yang signifikan bagi mereka karena dengan memakai atribut ini, mereka akan mengukuhkan posisi mereka di dalam perdagangan intan. Ia menjadi aktor yang dihormati dan yang selalu didatangi oleh para pedagang kecil dan pengempetan sehingga ia tidak beranjak dari tempat duduknya karena selalu didatangi oleh orang-orang yang menawarkan intan dan mereka menempati posisi sebagai aktor yang signifikan di dalam penentuan harga intan di tengah pasar intan. F. Diskusi Intan merupakan komoditas yang penuh dengan nilai-nilai simbolik sebagai benda mewah, abadi dan simbol cinta.

Penggunaan simbol-simbol ini

didengungkan oleh para pedagang intan untuk menjaga eksistensi perdagangan intan sebagaimana diungkapkan oleh Weswood (2002) yang mengkonstruksi empat kerangka waktu untuk meraih penjualan intan dalam industri yang bernilai jutaan dollar. Keempat “kerangka” waktu itu adalah waktu alamiah, keaslian, romantis dan identitas atau keakuan. Batu mulia ini Kontekstualita, Vol. 33, No. 1, 2017

17

Yusuf Hidayat

berharga karena mereka dikonstruksikan dengan keempat ‘kerangka’ waktu tersebut sebagai sesuatu yang unik, sangat penting bagi para konsumen sebagai simbol untuk menyatakan cinta yang diciptakan oleh slogan dan kampanye pemasaran yang dilakukan oleh agen-agen De Beers dan Spar (2006) yang menunjukkan bahwa salah satu alasan mengapa intan mempunyai harga stabil adalah bahwa para pedagang selalau mencitrakan intan sebagai simbol cinta. Ini menunjukkan bahwa intan sebagai benda yang berharga tinggi dan simbol keabadian merupakan hasil konstruksi sosial yang dibuat oleh para pedagang intan untuk menjaga stabilitas harga intan. Di Martapura, konstruksi tentang keistimewaan intan sebagai barang mulia juga diwacanakan oleh para pedagang intan dan diwujudkan dalam berbagai

prilaku

mengedepankan

ekonomi

dalam

aspek pelaksanaan

berdagang

intan

perilaku mulia

yang

untuk

selalu menjaga

kemuliaan intan dan diyakini akan mendapatkan kesuksesan dalam berdagang intan dengan perilaku mulia tersebut. Oleh karena itu semua pedagang intan menjaga prilaku mereka dengan menghindarkan prilaku yang dapat merusak kemuliaan dan bahkan kehormatan mereka. Pemahaman terhadap prilaku berdagang para pedagang intan kalau dirujuk dalam ilmu sosial dapat dipahami sebagai konsep prilaku ekonomi. Prilaku ekonomi sering diartikan sebagai “usaha utuk memaksimalisasi atau ekonomisasi dalam kondisi yang terbatas (Sanderson, 1995).

Perilaku

ekonomi tersebut dibedakan melalui ciri dan sifat (budaya) masyarakat kapitalis dan pra kapitalis (agraris) sehingga untuk mengkaji perilaku ekonomi masyarakat diperlukan konsep dan pendekatan yang disesuaikan terhadap karakteristik masyarakatnya masing-masing. Perilaku dalam konteks ini mengacu kepada pola tindakan pedagang intan dalam mengorganisasikan usaha mereka pada lingkungan sosial budaya yang mereka tempati. Menurut Abdullah (1989) prilaku ekonomi dipengaruhi oleh hal yang kompleks, yang meliputi sistem budaya, norma-

Kontekstualita, Vol. 33, No. 1, 2017

18

PENANAMAN NILAI-NILAI ISLAM

norma sosial, etos kerja dan tujuan ekonomi.

Sistem budaya, sebagai

pedoman bagi kehidupan manusia, memberi pengaruh penting bagi prilaku ekonomi pedagang. Kategori-kategori tindakan seperti yang ditunjukkan oleh Firth memiliki aspek aspek ekonomi, sosial, budaya yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain (Belshaw, 1981). Perilaku ekonomi akhirnya juga berarti perilaku sosial dan perilaku kebudayaan. Sumarjan (1981) dalam membicarakan masalah perubahan telah menunjukkan bahwa aspek-aspek sosial dan aspek budaya tidak dapat dipisahkan. Sistem sosial tidak akan berubah apabila tidak terjadi perubahan kebudayaan. Dengan demikian, kenyataan ekonomi merupakan cerminan nilai-nilai budaya karena ia merupakan hasil individu dan kelompok yang terkait oleh nilai-nilai budaya. Nilai-nilai budaya inilah yang menentukan perilaku individu dan kelompok. Keterkaitan perilaku ekonomi dengan budaya telah melahirkan konsep budaya ekonomi (economic culture).

Konsep ini merupakan

neologisme yang masih bisa diperdebatkan. Suatu teori budaya ekonomi menjelajahi matriks atau konteks sosial, politik dan budaya dalam mana proses-proses ekonomi bekerja. Menurut Berger (1986), tidak ada kausalitas sejarah yang diasumsikan oleh istilah itu. Maksudnya, tidak diasumsikan bahwa kebudayaan menentukan ekonomi atau sebaliknya, bahwa faktorfaktor ekonomi selalu determinatif terhadap kebudayaan.

Hubungan-

hubungan kausal khusus masih terbuka bagi penelitian empiris, kasus per kasus. Konsep budaya ekonomi menarik perhatian pada hubungan antara keduanya yang harus dicari oleh penelitian semacam ini. Menurutnya suatu teori budaya ekonomi bukanlah suatu teori dalam ilmu ekonomi tetapi ini adalah tugas intelektual dalam wilayah perbatasan ilmu ekonomi dan ilmu sosial lain. Aspek-aspek non ekonomi atau sosial mengiringi fenomena ekonomi yang memunculkan istilah keterlekatan sosial (social embededness) yang diungkapkan oleh Polanyi (1944). Ekonomi dalam masyarakat pra industri melekat dalam institusi-institusi sosial, politik dan

Kontekstualita, Vol. 33, No. 1, 2017

19

Yusuf Hidayat

agama. Pola pasar di sisi yang lain, dalam masyarakat modern “pasar yang menetapkan harga” diatur oleh logika baru yaitu logika yang menyatakan bahwa tindakan ekonomi tidak mesti melekat (embedded) dalam masyarakat, namun sebaliknya hubungan-hubungan sosial terlekat dalam sistem ekonomi. Sebuah sistem ekonomi pasar hanya bisa berjalan di dalam sebuah masyarakat pasar. Pasar yang mengatur dirinya sendiri (self regulating market) merupakan mekanisme institusional yang utama dari regulasi ekonomi dalam masyarakat kapitalis, tetapi pasar yang demikian tidak akan ada tanpa menghilangkan hakikat kemanusiaan dan kealamiahan dari masyarakat.14 Kajian yang mengkaitkan budaya dalam ekonomi di Indonesia dilakukan oleh Boeke (1930), dengan terminologinya yang cukup terkenal adalah ekonomi dualistis (economic dualism). Konsep ini mempengaruhi Geertz pada saat ia menggambarkan pembedaan antara ekonomi firma dan bazar. Geertz menunjukkan adanya dualisme ekonomi yaitu struktur perekonomian bazar (bazaar economy) dan struktur perekonomian firma (firm economy). Dualisme ekonomi tersebut menurut Geertz adalah suatu sistem ekonomi dimana dua sub sistem yang satu tradisional-feodal dan yang lain

modern

kapitalistik,

hidup

dan

berdampingan

tanpa

saling

mempengaruhi dan juga tanpa saling menghancurkan. 15 Ekonomi bazar merupakan suatu pranata ekonomi dan sekaligus cara hidup, suatu gaya umum dari kegiatan ekonomi yang mencapai segala aspek dari masyarakat, dan suatu dunia sosial-budaya yang hampir lengkap dalam sendirinya. Untuk memahami pasar dalam artinya yang luas, pasar dilihat dari tiga sudut pandangan: pertama, sebagai arus barang dan jasa menurut pola tertentu; kedua, sebagai rangkaian mekanisme ekonomi untuk memelihara dan mengatur arus barang dan jasa tersebut; dan ketiga sebagai sistem sosial dan kebudayaan di mana mekanisme itu tertanam. Dalam ekonomi bazaar (suatu sistem pasar petani), orang mencari informasi dalam kondisi di mana di satu sisi penjual berusaha memperoleh keuntungan

Kontekstualita, Vol. 33, No. 1, 2017

20

PENANAMAN NILAI-NILAI ISLAM

maksimal dan konsumen memaksimumkan penggunaan, di sisi lain, informasi merupakan suatu barang yang langka, miskin dan tidak dikomunikasikan secara efisien. Strategi untuk memperoleh informasi yang diperlukan, para partisipan melakukan dua cara yaitu klientisasi dan tawaran. Mekanisme ekonomi yang mengatur arus barang dan jasa di dalam ekonomi pasar tipe ini adalah: pertama, sistem harga luncur yang cenderung memusatkan

perhatian pedagang

transaksi dua orang yang bertujuan

pada

masing-masing

untuk mendapatkan keuntungan

sebanyak-banyaknya dari jual beli yang dilakukan bukan untuk mencari pelanggan. Kedua, neraca yang kompleks dari kredit yang diselenggarakan dengan hati-hati. Ketiga, pembagian resiko dan laba yang sangat ekstensif Berbeda dengan ekonomi tipe bazar, ekonomi tipe firma merupakan industri dan perdagangan yang dilakukan melalui serangkaian pranata sosial yang tak bersifat pribadi, yang mengorganisasikan berbagai pekerjaan yang bertalian dengan tujuan produksi dan distribusi tertentu. Maka ekonomi pasar serupa itu berdasarkan kegiatan-kegiatan yang idependen dari sejumlah pedagang yang saling bersaingan, yang hubungannya satu sama lain dilakukan dengan jalan pertukaran secara ad-hock yang sangat besar jumlahnya. Temuan

Geertz

tentang

ekonomi

bazar,

khususnya

tentang

persaingan antara pembeli dengan pedagang, mendapatkan kritikan dari Evers (1993) yang mengkaji tentang dilema pedagang kecil di Jawa. Uraian Evers tentang dilema pedagang sebetulnya merupakan sebuah kritik terhadap Geertz terutama tentang persaingan antara pedagang dan pembeli di dalam proses tawar menawar dalam ekonomi tipe bazar. Bagi Evers, dalam proses tawar menawar di dalam jual beli yang terjadi bukanlah persaingan antara pedagang dengan pembeli, karena pembeli sebetulnya memahami adanya harga karet di dalam perdagangan sehingga ia dapat berspekuasi dalam proses transaksi itu. Menurut Evers yang ada adalah

Kontekstualita, Vol. 33, No. 1, 2017

21

Yusuf Hidayat

upaya maksimalisasi profit bagi para pedagang, karena ia senantiasa dihadapkan pada dilema para pedagang. Upaya mengkritisi terhadap Geertz juga dilakukan oleh Smith (1996) yang mendasarkan studinya pada persoalan yang sama di berbagai kota negara-negara berkembang di dunia. Dari kajiannya, ia menyimpulkan bahwa eksistensi ekonomi bazar sangat mendukung pertumbuhan ekonomi formal. Salah satu bentuk dukungan dari sektor perdagangan kecil ini terhadap sektor ekonomi formal adalah penyediaan, kebutuhan subsisten bagi para buruh yang bergaji rendah dengan harga yang relatif terjangkau. Dengan demikian, kedudukan antara sektor ekonomi bazaar economy dalam sebuah sistem ekonomi, oleh Smith dinilai sebagai saling mendukung. 16 Pembagian sistem ekonomi bazar dan firma dalam kerangka pemikiran Geertz mengarahkan pada proses dinamis masyarakat dari tradisional pada ekonomi bazar dan akan berkembang menuju ke arah masyarakat modern dengan ekonomi firma. Namun, menurut hemat saya, pembagian ekonomi bazar dan firma tidak selalu berada dalam kerangka perkembangan itu. Artinya, meskipun masyarakat sudah semakin modern tidak berarti ekonomi bazar akan akan selalu hilang dan berubah menjadi ekonomi firma, ekonomi bazar tetap akan eksis bergantung komoditas yang diperjual belikan.

Intan misalnya, meskipun perdagangannya sudah

terintegrasi di dalam pasar global dan nilai transaksi yang sangat besar tidak akan berubah menjadi tipe ekonomi firma karena karakteristik komoditas intan yang nilainya tidak ada standar, harganya tidak tetap sehingga perdagangan intan berkecenderungan untuk senantiasa dalam tipe ekonomi bazar. Intan, sebagai salah satu komoditas yang syarat dengan makna simbolis yang nilainya ditentukan oleh persepsi orang tentang kemewahan dan kemuliaan intan, sebagai simbol cinta dan benda yang dianggap abadi, proses perdagangannya sangat ditentukan oleh aspek-aspek sosial yakni terkait dengan konstruksi sosial tentang kemuliaan di dalam perdagangan

Kontekstualita, Vol. 33, No. 1, 2017

22

PENANAMAN NILAI-NILAI ISLAM

intan.

Bagi para pedagang intan di Martapura, berdagang intan harus

dilakukan dengan cara-cara yang mulia yaitu dengan cara-cara yang sesuai dengan keyakinan mereka yaitu cara-cara Islam. Praktik ini mereka lakukan secara turun temurun dari orang tua mereka sampai sekarang dan menjadi tradisi mereka dalam berdagan intan.

Dengan kata lain mereka telah

menciptakan budaya ekonomi mereka dalam perdagangan intan yang sesuai dengan kebudayaan mereka yaitu budaya Banjar yang banyak diwarnai oleh ajaran agama Islam, agama yang mereka anut. Perilaku yang mulia sebagai upaya untuk mendapatkan kesuksesan dalam berdagang intan sebagai komoditas yang dikonstruksi sebagai barang yang mulia merupakan konstruksi social yang dibentuk oleh para pedagang intan di Martapura.

Dalam pandangan Berger (1990)

realitas sosial

terbentuk melalui tiga momentum dan dilihatnya sebagai sebuah dialektika yaitu momentum eksternalisasi, internalisasi dan objektifikasi. Menurutnya, struktur sosial yang obyektif ini memiliki karakter tersendiri tetapi asal mulanya harus dilihat sehubungan dengan eksternalisasi manusia atau interaksi manusia dalam struktur yang sudah ada.

Eksternalisasi ini

kemudian memperluas institusionalisasi aturan sosial, sehingga struktur merupakan satu proses yang kontinyu, bukan sebagai suatu penyelesaian yang sudah tuntas. Sebaliknya, realitas obyektif yang terbentuk melalui eksternalisasi kembali membentuk manusia dalam masyarakat.17 Mengacu pada tiga momen dialektika di atas, maka konstruksi social tentang penanaman nilai-nilai Islam dalam proses berdagang intan sebagai perilaku mulia untuk mendapatkan kesuksesan dalam berdagang intan yang dikonstruksi sebagai benda yang mulia merupakan sebuah kesepakatan yang telah melembaga dan menjadi nilai acuan bersama bagi seluruh pedgang intan di kota Martapura melalui momen obyektifikasi, Nilai-nilai ini akan selalu disosialisasikan oleh para pedagang pada generasi-generasi berikutnya sehingga nilai ini akan menjadi bagian dari pandangan generasi-generasi berikutnya sampai ada fakta lain yang akan mengubah pandangan ini.

Kontekstualita, Vol. 33, No. 1, 2017

23

Yusuf Hidayat

G. Kesimpulan Intan merupakan komoditas perdagangan yang di dalamnya penuh dengan makna simbolis sehingga perdagangan komoditas ini sangat berkaitan dengan aspek sosial dan budaya. Intan dianggap pedagang intan sebagai barang yang mulia dan harus diperlakukan dengan cara yang mulia termasuk dalam proses perdagangan intan. Dalam perdagangan intan, para pedagang berkeyakinan bahwa untuk mendapatkan kesuksesan dalam berdagang intan mereka diharuskan untuk berprilaku mulia.

Sebagai pedagang muslim,

prilaku mulia tersebut mereka wujudkan dalam proses transaksi jual beli intan yang memperhatikan nilai-nilai dalam ajaran Islam. Nilai-nilai yang dikembangkan dalam perdagangan intan dan bersumber dari ajaran agama Islam adalah kejujuran, tidak ada hutang piutang dalam permodalan melainkan melalui perkongsian serta menjaga nilai-nilai kebersamaan dalam proses transaksi dalam perdagangan intan di pasar intan. Nilai-nilai ini dipegang teguh dan dilaksanakan oleh pedagang intan di samping sebagai perwujudan penyempurnaan perilaku mereka dalam berdagang intan untuk mendapatkan kesuksesan dalam berdagang intan juga dimaksudkan untuk menciptakan stabilitas dalam perdagangan intan yang sangat dinamis di mana tingkat persaingan sangat tinggi karena terbatasnya komoditas ini dengan harga yang relative mahal. Catatan: De Beers adalah nama sebuah perusahaan yang menguasai perdagangan intan = internasional. Perusahaan ini merupakan kartel yang memasok dan mengendalikan produksi dan harga intan di seluruh dunia. 2 Berman, Alfred, The Location of the Diamond-Cutting Industry, dalam Jurnal Annal of the Association of American Geographers, Vol 61. No. 2 (Juni.1971) 327328. 3 Knight, John dan Stevenson, Heather, The Williamson Diamond Mind, De Beers, and The Colonial Office: A Case Study of the Quest for Control, dalam The Journal of Modern African Studies. Vol. 24. No. 3 (Sep.1986) Published by Cambridge University Press. Hal 442-444. 4 Westwood, Sallie, ‘Diamond Time’: Construting Time, Constructing Markets in the Diamond Trade, Time and Society SAGE (London, Thousand Oaks, CA and New Delhi) Vol. 11 No. 1 (2002). 1

Kontekstualita, Vol. 33, No. 1, 2017

24

PENANAMAN NILAI-NILAI ISLAM

Spar, Debora L., 2006, Market: Continuity and Change in the International Diamond Market dalam Jurnal The Journal of Economic Perspective, Vol. 20. No. 3 (Summer, 2006) hal. 199-202. 6 Sub-sub etnis di Banjar sering kali dikaitkan dengan nama Sungai yang menjadi identitas kelompok masyarakat. Martapura berarti sekelompok etnis Banjar yang berasal dari daerah sekitar sungai Martapura yang sekaligus juga menjadi nama daerah wilayah mereka 7 Salim, Hairus, 1996. Islam Banjar, Relasi Antar Etnik dan Pembangunan, dalam Kisah dari Kampung Halaman Suku, Agama Resmi dan Pembangunan. Yogyakarta: Interfidei Samuelsson. Hal. 238-240 8 Daud, Alfani, 1997. Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, Jakarta: Rajawali Press. Hal 18-20 9 Radam, Noerid Haloei. 2001. Religi Orang Bukit. Yogyakarta: Yayasan Semesta. Hal 97-98 10 Daud, Alfani, 1997. Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, Jakarta: Rajawali Press. Hal. 132-133 11 Islam menjadi identitas warga Banjar. Begitu kuatnya identitas Islam dalam Banjar sampai-sampai orang Dayak yang masuk agama ini telah dikatakan sebagai orang yang telah menjadi Banjar. Karena dulu, dengan memeluk Islam itu merupakan suatu kehormatan maka mereka yang telah masuk Islam dikenal dengan istilah “babarasih” (Daud, 1997: 504). 12 Granoveter, 1985, Economic Action an Sosial Structure: The Problem of Embededness, American Journal of Sociology 91, no 3: 481-510. 13 Menkhof, Thomas, 1993, Trade Routes, Trust and trading Networks: Chinesse Small Enterprises in Singapore. Saarbrucken, Fort Lauderdale: Verlag breitenbach Publishers, hal. 38. 14 Polanyi, Karl, 2003. Transformasi besar: Asal Usul politik dan Ekonomi Zaman Sekarang. Terjemahan M. Taufiq Rahman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal. 62-77 15 Mubyarto, 1986. Ekonomi Dualistik Dalam Bahan Seminar Untuk Pusat Pengkajian dan Strategi Kebijakan, Yogyakarta: PSPK. Hal. 2-3) 16 Smith, David A., 1996. Third World Cities in Global Perspective: The Political Economy of Uneven Urbanization. USA, Westview Press. Hal. 95-120 17 Berger, Peter L., and Luckman, Thomas, 1990, Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, Terjemahan: Hasan Basari, Jakarta: LP3ES. Hal. 185 5

Kontekstualita, Vol. 33, No. 1, 2017

25

Yusuf Hidayat

DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Irwan, 1989. Perilaku Ekonomi Pedagang Batik: Kasus Malioboro. Yogyakarta dalam Jurnal Masyarakat Indonesia tahun XVI No. 2, Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Abdullah, Irwan, 1994. The Muslim Businessmen of Jatinom: Religious Reform and Economic Modernization in Central Javanesse Town. Amsterdam: Universiteit Van Amsterdam. Belshaw, Cyril S., 1981. Tukar Menukar Traditional dan Pasar Modern. Jakarta: PT Gramedia. Berger, Peter L., 1986. The Capitalist Revolution: Fifty Proposition About Prosperity, Equality and Liberty. NewYork: Basic Book, Inc. Berger, Peter L., and Luckman, Thomas, 1990, Tafsir Sosial Atas Kenyataan: Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, Terjemahan: Hasan Basari, Jakarta: LP3ES. Berman, Mildred, 1971. The Location of Diamond Cutting Industry. Annals of The Association of American Geographers, Vol. 61,No. 2 (Jun 1971). Boeke, J.H. 1973. Ekonomi Dualistis: Dialog Antara Boeke dan Burger. Jakarta: Bharata. Daud, Alfani, 1997. Islam dan Masyarakat Banjar: Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, Jakarta: Rajawali Press. Evers, Hans Dieter. 1993. Dilema pedagang kecil kecil: Teori Sosiologis tentang perubahan di sektor informal di jawa: Potensi Konflik.” Jurnal Analisis, CSIS Tahun XXII No. 3 Mei – Juni. Geertz, Clifford, 1963. Peddlers and Princes. Chicago: The University of Chicago Press. Mubyarto, 1986. Ekonomi Dualistik Dalam Bahan Seminar Untuk Pusat Pengkajian dan Strategi Kebijakan, Yogyakarta: PSPK. Polanyi, Karl, 2003. Transformasi besar: Asal Usul politik dan Ekonomi Zaman Sekarang. Terjemahan M. Taufiq Rahman. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Radam, Noerid Haloei. 2001. Religi Orang Bukit. Yogyakarta: Yayasan Semesta. Salim, Hairus, 1996. Islam Banjar, Relasi Antar Etnik dan Pembangunan, dalam Kisah dari Kampung Halaman Suku, Agama Resmi dan Pembangunan. Yogyakarta: Interfidei Samuelsson. Sanderson, Stephen K., 1995. Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial. Terjemahan Farid Wajdi dan S Menno, Jakarta: Raja Grafindo. Smith, David A., 1996. Third World Cities in Global Perspective: The Political Economy of Uneven Urbanization. USA, Westview Press.

Kontekstualita, Vol. 33, No. 1, 2017

26

PENANAMAN NILAI-NILAI ISLAM

Spar, Debora L., 2006. Markets: Continuity and Change in The International Diamond Market. Dalam The Journal of Economic Perspektif Vol 20, No. 3 (Summer, 2006), New York: American Economic Association. Soemardjan, Selo, 1981. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Usman, Gazali, 1994. Kerajaan Banjar, Sejarah Perkembangan Politik, Ekonomi, Perdagangan dan Agama Islam. Banjarmasin: Lambung Mangkurat Press.

Kontekstualita, Vol. 33, No. 1, 2017

27