PENATAAN SISTEM PERTANIAN DAN PENETAPAN KOMODITAS

Download Jurnal Litbang Pertanian, 23(2), 2004. 61. Memasuki era ... Kata kunci: Sistem pertanian, komoditas pertanian, agroekologi, produktivitas l...

0 downloads 406 Views 183KB Size
PENATAAN SISTEM PERTANIAN DAN PENETAPAN KOMODITAS UNGGULAN BERDASARKAN ZONA AGROEKOLOGI DI SULAWESI TENGAH Syafruddin, Agustinus N. Kairupan, A. Negara, dan J. Limbongan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah, Jalan Lasoso No. 62 Biromaru, Kotak Pos 51 Palu 94364

ABSTRAK Sistem pertanian yang efisien, berproduksi tinggi, dan berkelanjutan dapat dicapai antara lain dengan memanfaatkan sumber daya lahan berdasarkan karakteristik, kemampuan, dan kesesuaiannya. Lahan sebagai modal dasar dan faktor penentu utama dalam sistem produksi pertanian perlu dijaga agar tidak mengalami kerusakan. Oleh karena itu, penataan sistem pertanian dan penetapan komoditas unggulan pada setiap wilayah kabupaten perlu dilakukan agar produksi yang dihasilkan tetap tinggi dan dapat bersaing di pasaran, baik lokal maupun internasional. Konsep sistem pakar dapat digunakan dalam menata sistem pertanian dan menetapkan komoditas unggulan. Hasil delineasi peta zona agroekologi wilayah Sulawesi Tengah skala 1:250.000 didapatkan tujuh zona utama, empat sistem pertanian, dan beberapa jenis tanaman alternatif. Komoditas unggulan juga telah ditetapkan untuk masing-masing wilayah kabupaten, yaitu kakao, jagung, bawang merah, sapi potong, serta perikanan laut. Kata kunci: Sistem pertanian, komoditas pertanian, agroekologi, produktivitas lahan, keberkelanjutan

ABSTRACT Agricultural system arrangement and superior commodity establishment based on agroecological zone in Central Sulawesi Efficient and sustainable agricultural system with high production can be achieved by using land resources according to their characteristic, capability and suitability. As a basic resource and primary crucial factor in the production system, land should be maintained to prevent its degradation. Therefore, agricultural system arrangement and superior commodities establishment in certain district is urgently required to maintain high production and increase product competitiveness in local and international market. Expert system concept is potential to be employed in the effort. Delineation of agroecological zone map of the Central Sulawesi area using 1:250,000 scale showed that there are seven primary zones, four agricultural systems, and some alternative crops. Besides, the superior commodities had been established for district, i.e., cacao, corn, shallot, cattle, and marine fishery. Keywords: Farming systems, agricultural products, agroecological land, productivity, sustainability

M

emasuki era globalisasi dan perdagangan bebas serta pemberlakuan otonomi daerah, setiap daerah dituntut untuk menggali dan memanfaatkan potensi wilayahnya secara optimum. Propinsi Sulawesi Tengah mempunyai potensi sumber daya lahan dan perairan yang cukup besar sehingga perlu mendapat perhatian serius. Melalui visi dan misinya, Pemerintah Daerah Propinsi Sulawesi Tengah mencanangkan terwujudnya tatanan masyarakat madani melalui otonomi daerah dalam format baru Sulawesi Tengah. Hal ini berkonsekuensi

Jurnal Litbang Pertanian, 23(2), 2004

langsung terhadap arah dan kebijakan pembangunan daerah yang salah satunya adalah pembangunan sektor pertanian (Pemerintah Propinsi Sulawesi Tengah 2001). Strategi pembangunan wilayah yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Propinsi Sulawesi Tengah difokuskan pada pemberdayaan ekonomi rakyat dengan memanfaatkan keunggulan daya saing sumber daya alam secara optimum (Godal 2002). Di Sulawesi Tengah, pertanian merupakan sektor andalan dalam pembangunan wilayah. Pada tahun 2000,

sektor ini memberikan kontribusi terbesar (47,68%) terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), mampu menyerap tenaga kerja sebesar 60% (Badan Pusat Statistik Sulawesi Tengah 2000), dan tahan terhadap goncangan krisis ekonomi. Oleh karena itu, pembangunan sektor pertanian menjadi prioritas utama dalam pembangunan wilayah dengan berorientasi agribisnis, berproduktivitas tinggi, efisien, berkerakyatan, dan berkelanjutan. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan program pembangunan yang tertata dengan baik agar lahan tetap 61

produktif dan tidak mengalami kerusakan akibat penggunaan yang berlebih. Zona agroekologi (ZAE) merupakan salah satu cara dalam menata penggunaan lahan melalui pengelompokan wilayah berdasarkan kesamaan sifat dan kondisi wilayah. Pengelompokan bertujuan untuk menetapkan area pertanaman dan komoditas potensial, berskala ekonomi, dan tertata dengan baik agar diperoleh sistem usaha tani yang berkelanjutan. Penyusunan ZAE mengacu pada konsep sistem pakar (expert system). Konsep ini mengacu pada kesesuaian antara karakteristik lahan, iklim dan persyaratan tumbuh tanaman (Amien 1997a). Komponen utama dalam penetapan ZAE adalah kondisi biofisik lahan (kelerengan, kedalaman tanah, dan elevasi), iklim (curah hujan, kelembapan, dan suhu), dan persyaratan tumbuh tanaman, agar tanaman dapat tumbuh dan berproduksi dengan optimum. Untuk tumbuh dan berproduksi tinggi dengan kualitas hasil yang baik, maka tanaman harus dibudidayakan pada lingkungan yang sesuai (Amien 1994; Amien et al. 1994; Subagio et al. 1995; Djaenudin 2001). Pemilihan tanaman yang sesuai untuk diusahakan pada suatu kawasan ditentukan berdasarkan keadaan lereng, tekstur, tingkat kemasaman, dan suhu (Amien 1997a). Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tengah di bawah bimbingan Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat (Puslitbangtanak) telah melakukan kajian ZAE sejak tahun 1997 dan telah memetakan seluruh wilayah Sulawesi Tengah pada skala 1: 250.000, serta menetapkan zonazona utama, sistem pertanian, alternatif komoditas pertanian, dan komoditas unggulan wilayah. Tulisan ini menyajikan informasi ZAE, konsep penataan sistem pertanian, dan komoditas unggulan dalam upaya mencapai produktivitas lahan yang tinggi dan sistem pertanian yang berkelanjutan. Diharapkan informasi yang disajikan dapat membantu pemerintah daerah khususnya Sulawesi Tengah dalam menata dan menetapkan arah kebijakan pembangunan pertanian.

PENGGUNAAN SISTEM PAKAR Sistem pakar berawal dari kemajuan teknologi komputer yang telah banyak 62

berperan dalam alih teknologi pertanian dan evaluasi lahan. Sistem pakar termasuk dalam bidang kecerdasan buatan dan merupakan perkembangan baru dalam ilmu peranti lunak komputer (Wareman dalam Amien 1997b). Keunggulan dari sistem pakar adalah dapat mengolah sistem database, simulasi, dan sistem informasi geografis. Selain itu, sistem pakar dapat mengolah dan mempertimbangkan data yang dalam banyak hal masih sulit diperoleh atau memiliki tingkat kepercayaan yang tidak terlalu baik. Sistem ini antara lain dapat diaplikasikan dalam penentuan waktu tanam serta penetapan rekomendasi pemupukan dan pengapuran (Amien 1986). Dengan mengolah data yang tersedia menggunakan sistem pakar akan dapat ditetapkan suatu sistem pertanian dan zona utama pada suatu wilayah. Penerapan sistem pakar dalam menetapkan komoditas unggulan serta memilih sistem pertanian dan kesesuaian tanaman telah berkembang di Indonesia dengan adanya kerja sama antara Puslitbangtanak dengan BPTP. Penetapan ZAE utama, arahan penggunaan lahan, sistem pertanian, dan jenis komoditas yang akan dikembangkan didasarkan pada informasi tentang kondisi biofisik lahan, iklim, sosial ekonomi, dan budaya. Penetapan ZAE dan sistem pertanian mengacu pada data biofisik lahan (kelerengan, elevasi, jenis tanah, dan drainase), iklim, dan persyaratan tumbuh tanaman. Agar kebenaran dan akurasi hasil yang diperoleh dari penggunaan sistem pakar dapat dipertanggungjawabkan, maka dilakukan verifikasi di lapangan dengan cara melakukan pengamatan langsung, terutama pada daerah atau zona yang masih diragukan akurasi datanya.

PENETAPAN ZAE Luas daratan wilayah Propinsi Sulawesi Tengah adalah 6. 803. 300 ha. Berdasarkan program tata ruang daerah telah ditetapkan dua fungsi utama penggunaan lahan di Sulawesi Tengah, yaitu kawasan konservasi dan kawasan budi daya. Kawasan budi daya mencakup 2.166.171 ha atau 31,84% dari luas daerah dan kawasan konservasi 4.637.316 ha atau 68,16% dari luas daerah (Bappeda Propinsi Sulawesi Tengah 2000).

Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (1989), wilayah Propinsi Sulawesi Tengah didominasi oleh lahan berlereng terjal. Lahan dengan tingkat kemiringan > 40% mencapai 52,66% dan kemiringan antara 15–40% sekitar 25,74% dari luas lahan yang ada. Ini berarti bahwa lahan datar hingga agak datar dengan tingkat kelerengan 0–15% hanya 21,60% dari luas propinsi. Fagi et al. (1993) mengemukakan bahwa dua pertiga dari luas lahan di Sulawesi Tengah berada pada tingkat kelerengan lebih dari 15%. Syafruddin et al. (1999a) melaporkan bahwa sekitar 58,14% dari luas lahan mempunyai tingkat kemiringan lebih dari 60%, 13,67% dengan tingkat kemiringan 15–40%, dan hanya 28,19% yang berlereng kurang dari 15%. Dari sumber data tersebut di atas, bila dikaitkan dengan penetapan tata ruang daerah, maka lahan yang tergolong datar hanya sekitar 21,61−28,19%. Ini berarti terdapat lahan yang cukup luas dengan tingkat kelerengan lebih dari 15% yang dimanfaatkan untuk kawasan budi daya. Kondisi ini dapat memacu kerusakan lahan bila pengelolaannya kurang baik. Oleh karena itu, perlu dilakukan penataan penggunaan lahan dan penetapan komoditas unggulan dengan dukungan kebijakan pemerintah daerah dalam upaya menuju penggunaan lahan berdasarkan kelas kemampuan dan kesesuaiannya. Delineasi ZAE wilayah Propinsi Sulawesi Tengah berdasarkan metodologi penyusunan peta zona menghasilkan tujuh zona utama, empat sistem pertanian, dan beberapa komoditas unggulan alternatif (Gambar 1) (Syafruddin et al. 1999a; Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah 2000). Agar lahan tidak mengalami kerusakan, maka pemanfaatannya harus sesuai dengan kemampuan dan kesesuaian lahan, diikuti pemilihan komoditas berdasarkan zonazona yang ada dan penerapan teknologi secara spesifik.

PENATAAN SISTEM PERTANIAN Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah sejak tahun 1997 telah melakukan penataan sistem pertanian melalui pengkajian pemetaan zona agroekosistem wilayah. Berdasarkan persyaratan dan parameter biofisik lahan, yang meliputi elevasi, suhu, kelembapan, Jurnal Litbang Pertanian, 23(2), 2004

fisiografi, lereng, drainase, dan jenis tanah, telah ditetapkan penataan sistem pertanian dan alternatif komoditas unggulan. Berdasarkan hasil delineasi peta ZAE, Syafruddin et al. (1999a) mengemukakan bahwa di wilayah Sulawesi Tengah terdapat tujuh zona utama dengan penataan sistem pertanian

dan alternatif komoditasnya (Tabel 1). Sistem pertanian dan alternatif komoditas berdasarkan ZAE (Syafruddin et al. 1999b) dapat dilihat pada Tabel 1. Zona I merupakan zona untuk pengembangan tanaman kehutanan, yang meliputi meranti, damar, rotan, kemiri, kruing, dan kapuk serta untuk kon-

servasi. Pemanfaatan atau eksploitasi tanaman kehutanan tersebut harus dilakukan dengan hati-hati dan terencana untuk mencegah malapetaka, seperti banjir pada musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau. Rotan dan damar merupakan tanaman alami hutan dan sebagai sumber devisa,

Gambar 1. Zona agroekologi dan sistem pertanian Propinsi Sulawesi Tengah. Jurnal Litbang Pertanian, 23(2), 2004

63

Tabel 1. Sistem pertanian, alternatif komoditas unggulan, serta sistem pengembangannya di Sulawesi Tengah. Luas (ha) Zona

Sistem pertanian

Komoditas

I ax 1 I bx 1

Kehutanan

Hutan lindung (vegetasi alami)

I ax 2

Kehutanan (hutan produksi)

Meranti, kruing, kapuk, damar, rotan, runing, eucaliptus, casuaria dan tanaman perkebunan seperti jambu mete, kemiri, kakao, dan cengkeh

II ax 1 II bx 1

Budi daya tanaman tahunan

III ax 1

Banggai

Donggala/ Parigi Mautong

Boul/ Toli-Toli

Poso/ Morowali

412.918

1.259.525

361.662

1.802.574



Kopi, kelapa, kelapa sawit, jambu mete, kakao, kemiri, cengkeh, durian, duku, manggis kelengkeng, dan jeruk

173.100

45.187

119.494

23.450

193.134

Wanatani

Tanaman kelapa-tanaman pangan Tanaman kelapa-kakao, kopi, dan pisang Tanaman lorong dan konservasi

128.612

101.159

74.646

234.502

53.952

III bx 1

Wanatani

Tanaman kelapa-buah-buahan

IV ax 1

Pola tanam tumpang sari

Padi, jagung, kedelai, kacang tanah, sayuran, dan tanaman keras

54.637

101.159

71.814

72.946

3.217

IV ax 1.i

Intensifikasi

Padi sawah, kedelai, dan sayuran

25.680

35.687

5.839

12.820

1.168

IV ax 2

Pertanaman lahan kering

Tanaman tahunan (kelapa, kakao, kopi dll), sayuran (kentang, tomat, wortel dll), pangan dan palawija (jagung, kedelai, ubi-ubian), dan tanaman buah-buahan (mangga, nangka, dan anggur)

58.680

79.862

76.048

118.012

23.822

V

Padang penggembalaan

Pakan ternak (lamtoro, plangemia, dan gamal)

1.150

7.001

12.482

3.052



VI

Kehutanan

Vegetasi alami/budi daya tambak

17.948

27.650

46.297

103.497

6.481

VII

Kehutanan

Vegetasi alami/tanaman padi, cabai kedelai, karet dll.



5.617

4.176

77.542

3.306

I bx 2

IV bx 2

Pangkep

Sumber: Syafruddin et al. (1999b).

sehingga pengeksploitasiannya harus dilakukan dengan hati-hati. Kabupaten Banggai Kepulauan tidak memiliki zona I, sehingga semua area di daerah tersebut dapat digunakan untuk budi daya pertanian produktif, kecuali daerah cagar alam dan konservasi. Zona II terbagi atas dua subzona utama, yaitu II ax dan II bx dengan fisiografi perbukitan dan dataran. Zona ini berada pada tingkat kemiringan 15− 40%. Sistem pertanian yang dapat dikembangkan adalah budi daya tanaman tahunan, seperti kopi robusta, kopi arabika, kakao, kelapa, kelapa sawit, mangga, rambutan, nangka, manggis, durian, duku, kelengkeng, leci, dan jambu. 64

Zona III juga terbagi atas dua subzona utama, yaitu subzona III ax dan III bx dengan fisiografi perbukitan dan datar. Zona ini berada pada tingkat kemiringan 8−15%. Sistem pertanian yang dapat dikembangkan adalah wanatani dengan kombinasi tanaman tahunan produktif dan tanaman pangan, atau budi daya lorong dengan menggunakan kombinasi tanaman pakan ternak dan tanaman pangan, atau tanaman pangan monokultur dengan menerapkan teknologi konservasi. Zona IV terbagi atas tiga subzona, yaitu subzona IV ax 1, IV ax 1i, dan IV ax 2 dengan fisiografi datar hingga endapan aluvial. Zona ini berada pada wilayah

dengan lereng kurang dari 8%. Sistem pertanian yang dapat dikembangkan mencakup semua jenis komoditas. Zona IV ax 1i merupakan area yang telah dilengkapi dengan sarana irigasi, sehingga pengembangannya diarahkan untuk intensifikasi padi sawah. Zona IV ax 1 merupakan area lahan sawah tadah hujan dengan pilihan komoditas meliputi padi sawah, kedelai, jagung, kacang tanah, kacang hijau, padi gogo, bawang merah, tomat, cabai, dan tanaman sayuran lainnya. Untuk mengoptimumkan sumber daya lahan pada zona IV ax 1, maka model usaha tani yang potensial dikembangkan adalah pengaturan pola tanam. Zona IV ax 2 merupakan area dataran rendah lahan Jurnal Litbang Pertanian, 23(2), 2004

kering dengan fisiografi datar. Pilihan komoditas yang potensial adalah semua jenis tanaman termasuk tanaman tahunan (kelapa, kakao, jambu mete, mangga, nangka, kopi), tanaman pangan (kedelai, jagung, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar, padi gogo) serta sayuran (Tabel 1). Zona V berada pada wilayah dengan lereng kurang dari 3%, namun didominasi tanah berpasir atau berbatu dan dangkal. Sistem pertanian dan komoditas yang dianjurkan adalah vegetasi alam atau untuk pengembangan pakan ternak seperti lamtoro dan gamal. Zona VI dan Zona VII berada pada fisiografi datar dan cekungan dengan kemiringan kurang dari 3%. Zona ini dipengaruhi oleh genangan air, baik secara musiman maupun permanen, serta pasang surut air laut. Zona VI dapat dikembangkan untuk tambak udang dan bandeng atau sebagai penyangga pantai dengan mengembangkan hutan pantai. Sementara Zona VII yang mendapat genangan baik secara periodik maupun permanen dapat dimasukkan ke dalam kelompok lahan rawa. Biasanya lahan seperti ini memiliki ekosistem yang rawan dan rapuh. Oleh karena itu, pengembangannya memerlukan perencanaan yang teliti dan baik dengan menerapkan teknologi dan pengelolaan yang khusus dan spesifik (Widjaja-Adhi et al. 1995). Pemilihan komoditas pada zona ini sangat bergantung pada kondisi biofisik lahan. Namun secara umum pada daerah yang mempunyai kondisi gambut dangkal dapat diusahakan berbagai komoditas pertanian termasuk tanaman pangan dengan perencanaan dan pengelolaan yang tepat. Tanaman yang dapat dikembangkan pada zona ini adalah kelapa sawit, karet, kakao, rambutan, sagu, tanaman pangan, dan cabai.

PENENTUAN KOMODITAS UNGGULAN Penetapan komoditas unggulan suatu wilayah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi usaha tani dan memacu perdagangan antardaerah dan antarnegara. Hal ini sejalan dengan program pemerintah daerah yang menetapkan program pembangunan Sentra Pengembangan Agribisnis Komoditas Unggulan (SPAKU) dan pengembangan Kawasan Industri Jurnal Litbang Pertanian, 23(2), 2004

Masyarakat Perkebunan (KIMBUN). Program ini belum sepenuhnya didukung oleh data sumber daya lahan, iklim, dan sosial ekonomi yang lengkap dan akurat. Untuk itu perlu suatu kajian tentang ketersediaan sumber daya lahan, iklim, dan sosial ekonomi agar pengembangan program ini dapat berjalan dengan baik. Sejak tahun 1996 BPTP Sulawesi Tengah telah melakukan pengkajian ZAE dan pemilihan komoditas unggulan di kabupaten di Sulawesi Tengah (Tabel 2). Kakao, sapi, dan perikanan laut merupakan komoditas unggulan yang dominan di Sulawesi Tengah. Komoditas unggulan wilayah yang ditetapkan oleh Bappeda TK I Propinsi Sulawesi Tengah (2000) dan Universitas Tadulako dalam Wahid-Syafar (2002) adalah padi sawah, kakao, kelapa dalam, kelapa sawit, jambu mete, kopi, sapi potong, ikan segar, mutiara, serta ikan kerapu. Semua komoditas unggulan Sulawesi Tengah yang ditetapkan berdasarkan hasil delineasi ZAE umumnya mempunyai produktivitas yang rendah. Produktivitas kedelai hanya 0,98 t/ha, jagung 2,31 t/ha, kacang tanah 1,15 t/ha, bawang merah 3,86 t/ha, kakao 1,41 t/ha, kelapa 1,01 t/ha, dan cengkeh 0,10 t/ha (Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Tengah 2000). Kondisi ini menggambarkan adanya senjang hasil yang cukup besar antara di tingkat petani dengan di tingkat penelitian dan potensi hasil setiap komoditas, sehingga peluang untuk meningkatkan produktivitas masih cukup tinggi. Untuk itu perlu dilakukan pengkajian pola pengembangannya agar potensi produksi tanaman dapat dicapai.

Pengkajian pengembangan tanaman pangan dan perbaikan budi daya yang meliputi pemupukan dan pemilihan varietas yang sesuai dengan kondisi wilayah Propinsi Sulawesi Tengah telah dilakukan. Pengkajian sistem usaha tani padi, jagung, dan kedelai berwawasan agribisnis dapat meningkatkan produksi dan efisiensi usaha tani. Mamiek et al. (1997) melaporkan bahwa penerapan teknologi tabela dan pemupukan P dan K berdasarkan uji tanah yang dilaksanakan di Kabupaten Poso dan Donggala dapat meningkatkan hasil padi 0,48 t/ha dan efisiensi tenaga kerja 17,12%. Penelitian jagung juga memberikan hasil yang positif. Limbongan et al. (1997) mengemukakan bahwa penerapan pola tumpang sari jagung dengan kedelai dapat memberikan hasil jagung pipilan 0,656 t/ ha dan kedelai 1,53 t/ha dengan penghasilan bersih Rp1.062.000/ha/musim tanam. Dengan demikian, produksi meningkat sebesar 85,25% dibandingkan dengan produksi di tingkat petani. Untuk tanaman hortikultura, penelitian pengembangan bawang merah memberikan hasil yang nyata. Penggunaan bibit yang bermutu baik dapat meningkatkan hasil umbi 0,80 t/ha (Maskar et al. 1999). Sementara itu dengan pemupukan N 120 kg/ha + P2O5 100 kg/ha + K2O 90 kg/ha + pupuk organik 1.200 kg/ha, hasil umbi mencapai 5,41 t/ha dan berbeda sangat nyata dibanding tanpa pemberian pupuk anorganik (Limbongan dan Munde 1999). Analisis ekonomi terhadap beberapa teknologi budi daya bawang merah yang dilaksanakan di Sulawesi Tengah menunjukkan

Tabel 2. Komoditas unggulan Sulawesi Tengah berdasarkan kondisi sumber daya lahan, iklim, dan sosial ekonomi. Komoditas unggulan

Kabupaten Perkebunan Banggai Banggai Kepulauan Poso/Morowali Donggala/Parigi Moutong Toli-Toli Buol Kota Palu

Tanaman pangan dan hortikultura

Peternakan

Kakao Jambu mete Kelapa Kakao

Kedelai Kacang tanah Kedelai Jagung

Sapi Sapi Sapi Sapi

potong potong potong potong

Kakao Cengkeh Mangga

Jagung Jagung Bawang merah

Kambing Kambing Domba

Perikanan Udang Perikanan laut Perikanan laut Perikanan laut Perikanan laut Perikanan laut Perikanan laut

Sumber: Syafruddin et al. (1999a; 2002).

65

bahwa teknologi tersebut menguntungkan dengan nilai R/C di atas 1,80 (Maskar et al. 2001). Ketersediaan bahan organik pada daerah sentra produksi bawang merah cukup terjamin. Hasil pengkajian kakao di beberapa sentra pengembangan menunjukkan bahwa pemupukan urea 250 kg/ha dapat meningkatkan hasil biji kakao 0,33 t/ha (Maskar dan Syafruddin 1999). Tingginya respons tanaman kakao terhadap pemupukan urea diduga karena sebagian besar area pertanaman kakao di Sulawesi Tengah mempunyai kandungan nitrogen yang rendah (Maskar et al. 1999). Permasalahan lain yang dihadapi petani kakao adalah tingginya serangan hama penggerek buah kakao (PBK). Optimalisasi pemanfaatan sumber daya lahan merupakan suatu alternatif untuk meningkatkan produktivitas lahan. Salah satunya adalah diversifikasi tanaman pada area yang telah dimanfaatkan. Pola diversifikasi yang berkembang di Sulawesi Tengah adalah pemanfaatan lahan di antara tanaman kelapa untuk kakao, pisang, dan penggembalaan

ternak. Syafruddin et al. (1997) melaporkan bahwa penanaman kakao di antara tanaman kelapa cukup menguntungkan dengan hasil biji kakao 2 t/ha. Dengan harga jual Rp2.400/kg, maka penerimaan yang diperoleh sebesar Rp4.800.000/ ha/tahun. Ditambah hasil kopra 2 t/ha/ tahun dengan harga jual Rp7.000/kg, akan diperoleh penerimaan sebesar Rp1.400.000/ha/tahun. Dengan demikian, penanaman kakao secara intensif di antara kelapa dapat meningkatkan penerimaan 2−3 kali lipat dari sistem monokultur. Hasil penelitian sapi potong juga menunjukkan hasil yang prospektif. Penggemukan sapi potong dengan pemberian ransum tambahan dapat meningkatkan bobot badan 0,29– 0,49 kg/ hari (Bulo et al. 1999).

KESIMPULAN Pembangunan sektor pertanian di Sulawesi Tengah masih dapat ditingkatkan dan dioptimumkan. Untuk mem-

bangun sektor pertanian yang kuat, berproduktivitas tinggi, efisien, berdaya saing tinggi, dan berkelanjutan perlu dilakukan penataan sistem pertanian dan penetapan komoditas unggulan di setiap wilayah pengembangan. Pengembangan sentra-sentra produksi komoditas unggulan dilakukan berdasarkan data sumber daya lahan, iklim, dan sosial ekonomi, serta dengan menerapkan teknologi spesifik lokasi disertai kebijakan pemerintah daerah yang tepat. Komoditas unggulan yang dapat dikembangkan adalah kakao, cengkeh, kelapa, jambu mete, mangga, kedelai, kacang tanah, jagung, bawang merah, sapi potong, kambing, domba, serta udang dan perikanan laut. Untuk meningkatkan produktivitas dan nilai jual, pengembangan komoditas unggulan perlu dilakukan dengan memperhatikan kesesuaiannya dengan kondisi agroekosistem, berkelanjutan, serta didukung kebijakan pemerintah. Dukungan hasil penelitian yang masih dibutuhkan adalah peningkatan kualitas hasil melalui perbaikan pascapanen.

DAFTAR PUSTAKA Amien, L.I. 1986. Expert system for crops suitability and agricultural system in the tropics. Indon. Agric. Res. Dev. J. 8(3): 72− 75. Amien, L.I. 1994. Agroekologi dan alternatif pengembangan pertanian di Sumatera. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 13 (1): 1−8. Amien, L.I., H. Sosiawan, dan E. Susanti. 1994. Agroekologi dan alternatif pengembangan pertanian di Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku. Prosiding Temu Konsultasi Sumber Daya Lahan untuk Pengembangan Kawasan Timur. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. hlm. 239−264. Amien, L.I. 1997a. Karakteristik dan Analisis Zona Agroekologi. Makalah disampaikan pada Apresiasi Metodologi Analisis Zona Agroekologi untuk Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian. Kerja Sama Universitas Udayana dan ARMP II-Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Amien, L.I. 1997b. Karakteristik dan Analisis Zona Agroekologi untuk Pengembangan Sumber Daya Lahan Pertanian. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

66

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah. 2000. Peta Zona Agroekologi, skala 1:250.000 Propinsi Sulawesi Tengah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Tengah, Palu. Bappeda Propinsi Sulawesi Tengah. 2000. Hasil Evaluasi Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Sulawesi Tengah Tahun 2000–2015. Bappeda Propinsi Sulawesi Tengah, Palu. Badan Pusat Statistik Sulawesi Tengah. 2000. Sulawesi Tengah Dalam Angka Tahun 2001. Badan Pusat Statistik Sulawesi Tengah, Palu. Badan Pertanahan Nasional. 1989. Rencana Persediaan, Peruntukan dan Penggunaan Tanah Daerah Propinsi Sulawesi Tengah. Badan Pertanahan Nasional Propinsi Sulawesi Tengah, Palu. Bulo, D., F.F. Munir, dan F.N. Fahmi. 1999. Kajian pola penggemukan dan susunan ransum sapi potong di Sulawesi Tengah. hlm. 355−364. Dalam J. Limbongan, M. Slamet, H. Hasni, J.G. Kindangen, dan W. Sudana (Ed). Prosiding Seminar Nasional Hasil Pengkajian dan Penelitian Pertanian Menghadapi Otonomi Daerah di Sulawesi Tengah. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Djaenudin, D. 2001. Pendekatan Pewilayahan Komoditas Pertanian dalam Menyongsong Otonomi Daerah. Materi Pelatihan Penyusunan Peta Pewilayahan Komoditas, Balai Pengkajian Teknologi Pertanian. Makassar, 5–9 Juni 2001. Fagi, A.M., Soeripto, Badruddin, Y. Dai, Dam Dam, dan Subandi. 1993. Potensi dan Peluang Pengembangan serta Strategi Penelitian Propinsi Sulawesi Tengah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta. 107 hlm. Godal, N. 2002. Program Pembangunan Pedesaan di Sulawesi Tengah. hlm. 16−20. Dalam J. Limbongan, M. Slamet, W. Sudana, D. Bulo, dan B. Chyio (Ed.). Prosiding Seminar Regional Pengembangan Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi di Sulawesi Tengah. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Limbongan, J., F. Depparaba, dan Syafruddin. 1997. Teknologi Spesifik Lokasi pada SUP Berbasis Kedelai di Kabupaten Banggai. Makalah disampaikan pada Temu Teknis Penerapan Teknologi Tanaman Pangan Spesifik Lokasi Sulawesi Tengah. Palu, 25 Maret 1997. 19 hlm.

Jurnal Litbang Pertanian, 23(2), 2004

Limbongan, J. dan A. Munde. 1999. Pengaruh penggunaan pupuk organik dan anorganik terhadap pertumbuhan dan produksi bawang merah kultivar Palu. Jurnal Hortikultura (9)3: 212−219. Mamiek, S., Syafruddin, F.F. Munir, dan A. Negara. 1997. Laporan Hasil Pengkajian Sistem Usaha Tani Berbasis Padi dengan Orientasi Agribisnis di Propinsi Sulawesi Tengah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Biromaru, Sulawesi Tengah. 31 hlm. Maskar, Syafruddin, dan S. Abdoellah. 1999. Status hara tanah perkebunan kakao rakyat di Sulawesi Tengah. Pelita Perkebunan (15) 1: 22−32. Maskar dan Syafruddin. 1999. Pengaruh takaran pupuk urea terhadap produktivitas tanaman kakao di Sulawesi Tengah. hlm. 393−398. Dalam J. Limbongan, M. Slamet, H. Hasni, J.G. Kindangen, dan W. Sudana (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Hasil Pengkajian dan Penelitian Pertanian Menghadapi Otonomi Daerah di Sulawesi Tengah. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Maskar, Sumarni, K. Asmawati, dan Chatijah. 1999. Pengaruh ukuran bibit dan jarak tanam terhadap hasil panen bawang merah varietas lokal Palu. hlm. 51−56. Dalam J. Limbongan, M. Slamet, H. Hasni, J.G. Kindangen, dan W. Sudana (Ed). Prosiding Seminar Nasional Hasil Pengkajian dan Penelitian Pertanian Menghadapi Otonomi Daerah di Sulawesi Tengah. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Jurnal Litbang Pertanian, 23(2), 2004

Maskar, M. Slamet, dan J. Limbongan. 2001. Review hasil pengujian teknologi budi daya bawang merah varietas lokal Palu. hlm. 79−99. Dalam J. Limbongan, M. Slamet, W. Sudana, D. Bulo, dan B. Chyio (Ed). Prosiding Seminar Regional Pengembangan Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi di Sulawesi Tengah. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Pemerintah Propinsi Sulawesi Tengah. 2001. Rencana Strategis Pembangunan Daerah (Renstra) Propinsi Sulawesi Tengah 2001– 2006. Pemerintah Propinsi Sulawesi Tengah, Palu. Subagio, H., D. Djaenudin, G. Joyanto, dan A. Syahruddin. 1995. Arahan pengembangan komoditas berdasarkan kesesuaian lahan. Prosiding Pertemuan Teknis Penelitian Tanah dan Agroklimat. Paket Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian, Jakarta. hlm. 27–54. Syafruddin, Maskar, M. Slamet, dan J.G. Kindangen. 1997. Potensi sumber daya dan peluang pengembangan pertanian Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah. hlm. 1−47. Dalam J.G. Kindangen, J. Limbongan, M. Slamet, F. Depparaba, dan D. Bulo (Ed). Prosiding Seminar Hasil-hasil Pengkajian Teknologi Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Biromaru. Syafruddin, T. Rumajar, J.G. Kindangen, R. Aksono, A. Negara, D. Bulo, dan J. Limbongan. 1999a. Analisis Zona Agroekologi (ZAE) (Biofisik) Propinsi Sulawesi Tengah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Biromaru, Sulawesi Tengah.

Syafruddin, T. Rumajar, J.G. Kindangen, R. Aksono, A. Negara, D. Bulo, dan J. Limbongan. 1999b. Pemilihan Komoditas Unggulan Kabupaten Banggai Propinsi Sulawesi Tengah. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Biromaru, Sulawesi Tengah. Syafruddin, A.N. Kairupan, J. Limbongan, dan IG.P. Sarasutha. 2002. Penataan Sistem Pertanian dan Penerapan Teknologi Spesifik Lokasi dalam Pengelolaan Sumber Daya Pertanian. Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Penataan Jejaring Agribisnis Perkebunan. Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan Propinsi Sulawesi Tengah, Palu, 26 November 2002. 14 hlm. Wahid-Syafar, A. 2002. Industrialisasi Berbasis Komoditi Unggulan, Strategi Menghadapi Pasar Global. Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Penataan Jejaring Agribisnis Perkebunan. Dinas Pertanian, Perkebunan dan Peternakan Propinsi Sulawesi Tengah, Palu, 26 November 2002. 14 hlm. Widjaja-Adhi, IP.G., Irawan, dan IG.M. Subiksa. 1995. Tantangan dan peluang pengembangan lahan rawa berorientasi agribisnis menuju pertanian modern. hlm. 77−100. Dalam D. Santoso, M. Soepratini, S. Sukmana, F. Agus, N. Suharta, H.H. Djohar, B.H. Prasetyo, dan L.I. Amien (Ed). Prosiding Pertemuan, Pembahasan dan Komunikasi Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor.

67