Pendidikan Pancasila Yusuf Faisal Ali, S.Pd., M.H
Pengertian Pancasila A. Secara Etimologis
Istilah Pancasila berasal dari bahasa Sansekerta (India)—bahasa Kasta Brahmana.—Bahasa rakyat biasa (Prakerta) Menurut M. Yamin, Pancasila dalam bahasa Sansekerta secara leksikal memiliki dua macam arti. Panca berarti lima; dan Syila (vocal "i" pendek) berarti batu sendi, alas, dasar, sedangkan Syiila (vocal "i" panjang) berarti peraturan tingkah laku yang baik, yang penting atau yang senonoh. Dalam bahasa Indonesia (terutama bahasa Jawa), sila diartikan susila yang lazim memiliki hubungan dengan moralitas. Dari sini dapat diketahui bahwa Pancasila secara etimologis—apabila yang dimaksud Panca Syila berarti berbatu sendi lima atau dasar yang memiliki unsur, dan apabila yang dimaksud Panca Syiila berarti lima aturan tingkah laku.
B. Secara Historis
Istilah Pancasila pertama kalinya digunakan untuk memberi nama rumusan lima dasar moral dalam agama Budha. Pancasila berarti lima aturan tingkah laku yang baik atau lima aturan moral "Five Moral Principles"—yang berisi larangan membunuh, mencuri, berzina, berdusta dan mabuk minuman keras. Perkembangan berikutnya, istilah Pancasila masuk dalam khazanah kesusteraan Jawa Kuno—tepatnya abad XIV pada zaman Majapahit (Raja Hayam Wuruk dan Patih Gadah Mada)—yaitu terdapat dalam buku Negarakertagama karangan Empu Prapanca seorang pujangga istana; dan buku Sutasoma karangan Empu Tantular. Dalam buku Sutasoma ini istilah Pancasila di samping memiliki arti "berbatu sendi yang lima" (dari bahasa Sansekerta) juga mempunyai arti "pelaksanaan keusilaan yang lima" (Pancasila Krama)—yaitu tidak boleh melakukan kekerasan, mencuri, berjiwa dengki, berbohong dan mabuk minuman keras. Setelah Majapahit runtuh dan Islam tersebar ke Indonesia, pengaruh ajaran moral Budha (Pancasila) masih tersisa yang dikenal dalam masyarakat Jawa sebagai lima larangan dan isinya agak lain—yang disebut dengan singkatan "MaLima" (lima larangan yang dimulai dengan awal kata "Ma")—yaitu matem (membunuh), malang (mencuri), madon (berzina), madat (menghisap candu) dan main (berjudi).
C. Secara Terminologis
Berdasarkan isi istilahnya, Pancasila digunakan di Indonesia mulai sejak sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 atas usulan Bung Karno sebagai nama bagi
lima dasar atau lima prinsip negara Indonesia.—Istilah tersebut diperoleh Bung Karno dari temannya seorang ahli bahasa. Pancasila sebagai dasar negara RI diterima dan disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 bersamaan dengan disahkannya Pembukaan dan batang tubuh UUD '45. Pancasila dalam Pembukaan UUD '45 disebutkan sebagai dasar negara dan Pancsila diartikan sebagai lima dasar—yaitu "satu dasar negara yang terdiri atas lima unsur yang menjadi kesatuan dasar filsafat negara RI" yang isinya sebagaimana tertuang dalam alinea keempat Pembukaan UUD '45. Dari uraian tersebut dapat diketahui bahwa Pancasila adalah nama bagi dasar negara Republik Indonesia.
Tujuan Mempelajari Pancasila
Tujuan mempelajari Pancasila ialah ingin mengetahui Pancasila yang benar— dalam arti dapat dipertanggungjawabkan baik secara yuridis-konstitusional maupun secara objektif-ilmiah. Secara yuridis-konstitusional—karena Pancasila adalah dasar negara yang dipergunakan sebagai dasar mengatur/menyelenggarakan pemerintahan negara.—oleh karenanya tidak setiap orang boleh memberikan pengertian atau tafsiran menurut pendapatnya sendiri. Secara objektif-ilmiah—karena Pancasila adalah suatu paham filsafat, suatu philosophical way of thingking atau philosophical system sehingga uraiannya harus logis dan dapat diterima oleh akal sehat. Atas dasar bahwa Pancasila adalah dasar negara, maka mengamalkan dan mengamanka Pancasila sebagai dasar negara mempunyai sifat imperatif/memaksa—artinya setiap warga negara Indonesia harus tunduk/taat kepadanya.
Hakikat Pancasila
Hakikat Pancasila dikembalikan pada dua pengertian pokok: 1. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia.—Dalam arti bahwa Pancasila digunakan sebagai penunjuk arah semua kegiatan hidup dan kehidupan dalam segala bidang. 2. Pancasila sebagai dasar negara RI, atau disebut juga sebagai dasar falsafah negara dan ideologi negara.—Dalam arti bahwa Pancasila dipergunakan sebagai dasar yang mengatur penyelenggaraan negara dan pemerintahan negara. Eksistensi Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa. 1. Dilihat dari segi kedudukannya—Pancasila sebagai cita-cita dan pandangan hidup bangsa dan negara RI. 2. Dilihat dari segi fungsinya—Pancasila memiliki fungsi utama sebagai dasar negara RI. 3. Dilihat dari segi materinya—Pancasila digali dari pandangan hidup bangsa Indonesia, yang merupakan jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia. Fungsi Pancasila sebagai dasar negara. 1. Bersifat yuridis-ketatanegaraan—Pancasila mempunyai fungsi pokok sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sebagai sumber dari tertib hukum.
2. Bersifat sosiologis—Pancasila berfungsi sebagai pengatur hidup kemasyarakatan pada umumnya. 3. Bersifat etis dan filosofis—Pancasila berfungsi sebagai pengatur tingkah laku pribadi dan cara-cara dalam mencari kebenaran.
Pancasila Dalam Kehidupan Tata Kehidupan Bangsa
Pancasila sebagai jiwa bangsa Indonesia. Pancasila sebagai kepribadian bangsa Indonesia. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia. Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum atau sumber tertib hukum bagi negara Republik Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Pancasila sebagai perjanjian luhur bangsa Indonesia pada waktu mendirikan negara. Pancasila sebagai cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia.
Pancasila Sebagai Sistem Filsafat
Sistem adalah suatu kesatuan yang bagian-bagiannya saling berhubungan dan saling bekerjasama untuk tujuan tertentu dan secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang utuh. Filsafat berasal dari bahasa Yunani "philein" (mencintai) dan "sophia" (kebijaksanaan). Jadi filsafat artinya mencintai kebijaksanaan.—Kebijaksanaan berarti pula kebenaran di dalam suatu perbuatan. Dalam perkembangan berikutnya, filsafat memiliki beragam pengertian—antara lain: (1) mencintai kebenaran; (2) ilmu pengetahuan yang memyelidiki hakikat segala sesuatu untuk memperoleh kebenaran dan kenyataan; (3) hasil pikiran yang kritis dan dikemukakan dengan cara yang sistematis; (4) pandangan hidup; (5) bersifat kritis-rasional, kritis-refleksif, radikal, integral, tidak pragmentaris, universal; dan lain sebagainya. Pancasila yang terdiri atas bagian-bagian—yaitu sila-sila Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu asas sendiri, fungsi sendiri-sendiri, namun secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan yang sistematis.—Kesistematisan dalam kesatuan sila-sila Pancasila dapat ditinjau sebagai berikut: 1. Susunan Pancasila bersifat hirarkis dan berbentuk piramidal. 2. Kesatuan sila-sila Pancasila satu sama lain saling mengisi dan saling mengkualifikasi. Pancasila sebagai sistem filsafat harus memenuhi ciri-ciri filsafat yang bersifat umum—yaitu: 1. koheren—dalam hubungan antar bagian-bagian atau antar sila persila dan tidak ada pernyataan-pernyataan yang saling bertentangan. 2. menyeluruh—dalam hal meliputi semua tata kehidupan manusia baik dalam bermasyarakat maupun bernegara. 3. mendasar—dalam hal sampai ke inti-mutlak atau sampai ke unsur dasar tata kehidupan dan hubungan antar manusia. 4. spekulatif—dalam arti merupakan buah pikiran hasil perenungan sebagai praanggapan yang menjadi titik awal dan pangkal tolak pemikiran sesuatu hal.
Pancasila Sebagai Ideologi Nasional
Ideologi adalah suatu perumusan gagasan yang tegas dan jelas mengenai asasasas dan nilai-nilai dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ideologi bersumber dari falsafah, dan falsafah adalah hakikat sesuatu. Jadi, ideologi itu adalah pemikiran (renungan) yang berkaitan dengan gagasan bertindak.—Perenungan atau pemikiran falsafah yang sudah mengendap akan melahirkan pandangan hidup yang berisi nilai-nilai.—Nilai-nilai inilah yang dijadikan ideologi untuk diwujudkan dalam kehidupan. (Falsafah—pandangan hidup—ideologi) Pada dasarnya ideologi negara erat hubungannya dengan dasar negara.—Ideologi dalam sebuah negara memiliki lima macam fungsi. 1. Etika bagi pelaksanaan kekuasaan/kewenangan negara. 2. Asas yang ditaati dan dipatuhi dalam pelaksanaan pemerintahan, serta hubungan antara pemerintah dan rakyat. 3. Sebagai basis legitimasi politik, penuntun penentuan kebijakan dan tingkah laku politik. 4. Berfungsi sebagai alat untuk mengelola konflik dan persatuan. 5. Berfungsi sebagai tali pengikat aktivitas politik. Pancasila sebagai ideologi negara (nasional)—merupakan titik tolak atau landasan dan pembatasan gerak dalam pelaksanaan bidang pemerintahan ataupun semua yang berhubungan dengan hidup kenegaraan, dan diarahkan untuk mencapai tujuan dan cita-cita sesuai dengan Pancasila.
Pancasila Sebagai Ideologi Terbuka
Pancasila sebagai ideologi terbuka adalah merupakan ideologi yang mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman tanpa harus mengubah nilai dasarnya. —Artinya Pancasila mengikuti perkembangan zaman atau Pancasila tidak bersifat kuno, namun dalam tahap penyesuaian tersebut—nilai dasar Pancasila tidak dirubah. Oleh karenanya pengubahan nilai dasar Pancasila—itu sama artinya merubah tatanan sistem kehidupan berbangsa dan bernegara Pancasila sebagai ideologi terbuka—memberikan orientasi ke depan, yang kemudian mengharuskan bangsanya untuk selalu menyadari situasi yang sedang dan akan dihadapinya terutama menghadapi era globalisasi dan keterbukaan dunia dalam segala bidang. Pancasila sebagai ideologi terbuka—telah memenuhi syarat dalam kualitas tiga dimensi. 1. realita—yaitu nilai-nilai dasar Pancasila yang secara nyata bersumber dari budaya dan pengalaman sejarah masyarakat dan bangsanya. 2. idealisme—yaitu nilai-nilai dasar yang memberi harapan masa depan yang lebih baik melalui pengalaman kehidupan sehari-hari. 3. fleksibilitas—yaitu memberikan keluwesan dan pengembangan pemikiranpemikiran yang baru tanpa mengubah jati diri yang terkandung di dalamnya. Dalam Pancasila sebagai ideologi terbuka terkandung nilai-nilai sebagai berikut: 1. Nilai dasar yaitu hakikat kelima sila dalam Pancasila meliputi Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan.—Nilai dasar tersebut merupakan esensi dari sila-sila Pancasila yang bersifat universal yang di dalamnya terkandung cita-cita, tujuan serta nilai-nilai yang baik dan benar.
2. Nilai instrumental yaitu keseluruhan nilai yang dipedomani di dalam sistem politik, ekonomi, sosial budaya dan HanKam yang bersumber pada nilai dasar dan bersifat berubah. (Per-UU, Tap MPR, kebijakan, hukum positif) 3. Nilai praktis yaitu realisasi nilai-nilai instrumental dalam suatu pengalaman yang bersifat nyata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.—Dalam realisasi praktis inilah penjabaran nilai-nilai Pancasila senantiasa berkembang dan selalu dapat dilakukan dan perubahan dan perbaikan sesuai dengan perkembangan zaman. Pancasila sebagai ideologi terbuka—memberi landasan yang kuat bagi tumbuhnya pola sikap, pola pikr, pola tindak yang bersifat tradisional menuju perkembangannya yang maju dan mandiri untuk menyongsong perubahan kehidupan yang dinamis.
Pancasila Sebagai Sistem Nilai
Nilai—sifat atau hal yang penting, berguna bagi kemanusiaan; atau sifat/kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan lahir-batin.—Bagi manusia "nilai" dijadikan landasan, alasan, motivasi dalam bersikap, bertingkah laku baik disadari maupun tidak. Menilai berarti menimbang—yaitu kegiatan manusia menghubungkan sesuatu dengan sesuatu, untuk selanjutnya memberi keputusan.—Keputusan nilai dapat mengatakan berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, religius atau tidak religius. Sesuatu dikatakan mempunyai nilai—apabila sesuatu itu berguna, benar (nilai kebenaran), indah (nilai estetika), baik (nilai moral/etis), religius (nilai agama). Notonagaro membagi nilai menjadi tiga macam—yaitu: a. Nilai material—segala sesuatu yang berguna bagi unsur jasmani manusia. b. Nilai vital—segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan kegiatan (aktivitas). c. Nilai kerohanian—segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai ini dapat dibedakan menjadi empat macam—yaitu: 1. Nilai kebenaran/kenyataan—yang bersumber pada unsur akal manusia (rasio, budi, cipta). 2. Nilai keindahan—yang bersumber pada unsur rasa manusia (gevoel, perasaan, estetis). 3. Nilai kebaikan atau nilai moral—yang bersumber pada unsur kehendak/kemauan manusia (will, karsa, ethic). 4. Nilai religius—merupakan nilai Ketuhanan, kerohanian yang tertinggi dan mutlak yang bersumber pada kepercayaan/keyakinan manusia Pancasila sebagai suatu sistem nilai adalah serangkaian nilai yang ada dalam pemaknaan Pancasila.—Nilai-nilai tersebut kemudian menjadi pedoman bagi terselenggaranya kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Nilai-nilai Pancasila—sebagaimana dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966— pada hakikatnya adalah pandangan hidup, kesadaran dan cita hukum serta citacita moral luhur yang meliputi suasana kejiwaan serta watak bangsa Indonesia. Nilai-nilai Pancasila mempunyai sifat objektif dan subjektif. Bersifat objek— karena sesuai dengan objeknya atau kenyataan, umum dan universal. Bersifat subjektif—karena sebagai hasil pemikiran bangsa Indonesia. Sifat objektif dalam nilai-nilai Pancasila—sebagai berikut:
1. Rumusan sila-sila Pancasila itu sendiri menunjukkan adanya sifat-sifat abstrak, umum dan universal. 2. Inti dari nilai-nilai Pancasila akan tetap ada sepanjang masa dalam kehidupan bangsa Indonesia dan mungkin juga pada bangsa lain, baik dalam adat, kebiasaan, kebudayaan, kenegaraan maupun dalam hidup keagamaan dam lain-lainnya. 3. Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD '45 menurut ilmu hukum memnuhi syarat sebagai pokok kaidah negara yang fundamental, tidak dapat diubah oleh setiap orang atau badan/lembaga kecuali oleh pembentuk negara.—Ini berarti nilai-nilai Pancasila akan abadi dan objektif. 4. Dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 (jo Ketetapan MPR No. V/MPR/1973 dan Ketetapan MPRS No. IX/MPR/1978) bahwa Pembukaan UUD 1945 (yang mengandung jiwa Pancasila) tidak dapat diubah secara hukum, juga tidak dapat diubah oleh MPR hasil pemilu—karena mengubah Pembukaan UUD 1945 berarti membubarkan negara proklamasi. Sifat subjektif dalam nilai-nilai Pancasila—sebagai berikut: 1. Nilai-nilai Pancasila timbul dari bangsa Indonesia sebagai hasil penilaian dan pemikiran filsafat bangsa Indonesia. 2. Nilai-nilai Pancasila merupakan filsafat (pandangan hidup) bangsa Indonesia yang paling tepat, benar, adil dan bijaksana dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 3. Dalam nilai-nilai Pancasila terkandung empat macam nilai kerohanian— sebagaimana disebutkan di atas, yang merupakan manifestasi hakikat sifat budi nurani bangsa Indonesia.
Nilai-nilai Yang Terkandung dalam Sila-sila Pancasila 1. Dalam sila I "Ketuhanan Yang Maha Esa"—terkandung nilai religius—antara lain: a. Keyakinan terhadap adanya Tuhan YME dengan sifat-sifat-Nya yang Maha sempurna. b. Ketaqwaan YME—dengan menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. c. Nilai sila I ini meliputi dan menjiwai sila-sila II, III, IV dan V. 2. Dalam sila II "Kemanusiaan yang adil dan beradab"—terkandung nilai-nilai kemanusiaan—antara lain: a. Pengakuan terhadap adanya martabat manusia. b. Perlakuan yang adil terhadap sesame manusia. c. Pengertian manusia yang beradab yang memiliki daya cipta, rasa, karsa dan keyakinan yang membedakan antara manusia dan hewan. d. Nilai sila II ini diliputi dan dijiwa sila I dan menjiwai sila III, IV dan V. 3. Dalam sila III "Persatuan Indonesia"—terkandung nilai persatuan bangsa—antara lain: a. Persatuan Indonesia adalah persatuan bangsa yang mendiami wilayah Indonesia. b. Bangsa Indonesia adalah adalah persatuan suku-suku bangsa yang mendiami wilayah Indonesia. c. Pengakuan terhadap ke-"Bhinneka Tunggal Ika"-an suku bangsa dan kebudayaan bangsa yang berbeda-beda namun satu jiwa, yang memberikan arah dalam pembinaan kesatuan bangsa.
d. Nilai sila III ini diliputi dan dijiwa sila I dan II dan menjiwai sila IV dan V. 4. Dalam sila IV "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan"—terkandung nilai kerakyatan—antara lain: a. Kedaulatan negara adalah di tangan rakyat. b. Pemimpin kerakyatan adalah hikmat kebijaksanaan yang dilandasi akal sehat. c. Manusia Indonesia sebagai warga negara dan warga masyarakat Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama. d. Musyawarah untuk mupakat dicapai dalam permusyawaratan wakil-wakil rakyat. e. Nilai sila IV ini diliputi dan dijiwa sila I, II, dan III, meliputi dan menjiwai sila V. 5. Dalam sila V "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia"—terkandung nilai keadilan sosial—antara lain: a. Perwujudan keadilan sosial dalam kehidupan sosial atau kemasyarakatan meliputi seluruh rakyat Indonesia. b. Keadilan dalam kehidupan sosial terutama meliputi bidang-bidang ideologi, politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan pertahanan keamanan nasional (Ipoleksosbudhankamnas). c. Cita-cita masyarakat adil makmur, material dan spiritual yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. d. Cinta akan kemajuan dan pembangunan. e. Nilai sila V ini diliputi dan dijiwa sila I, II, III dan IV.
Pengamalan Pancasila
Pengamalan Pancasila secara garis besar meliputi dua hal—yaitu: 1. Pengamalan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa—yang disebut pula sebagai pengamalan Pancasila secara subjektif atau pelaksanaan subjektif Pancasila. 2. Pengamalan Pancasila sebagai dasar negara—yang disebut pula sebagai pengamalan Pancasila secara objektif atau pelaksanaan objektif Pancasila. Pengamalan Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa—berarti melaksanakan dan menggunakan Pancasila sebagai petunjuk hidup sehari-hari—dengan mempunyai sikap mental, pola pikir dan tingkah laku yang dijiwai sila-sila Pancasila secara bulat, tidak bertentangan dengan norma-norma agama, kesusilaan, sopan satun dan adat kebiasaan, dan tidak bertentangan dengan norma-norma hukum yang berlaku. Pengamalan Pancasila secara subjektif ini meliputi bidang-bidang luas—antara lain bidang ideologi, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan, agama dan kepercayaan terhadap Tuhan YME. Pengamalan Pancasila sebagai dasar negara—berarti melaksanakan Pancasila dalam seluruh hidup kenegaraan dan tertib hukum Indonesia. Demikian pula dalam hal menentukan kebijakan haluan negara.
Pengamanan Pancasila
Mengamankan Pancasila berarti menyelamatkan, mempertahankan dan menegakkan Pancasila yang benar agar tidak diubah, dihapus atau diganti dengan yang lain.
Mengamankan Pancasila pada hakikatnya mengamankan negara. Sebaliknya, mengamankan negara bertujuan mengamankan Pancasila. Karena Pancasila adalah dasar negara. Secara garis besar usaha pengamanan Pancasila dapat dilakukan melalui dua cara—yaitu preventif (pencegahan) dan represif (penindakan). Usaha pengamanan yang bersifat preventif antara lain: 1. Membina wawasan nusantara. 2. Membina kesadaran ketahanan nasional. 3. Melaksanakan sistem dan doktrin Hankamrata (Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta). 4. Meningkatkan pengertian, pemahaman dan penghayatan tentang Pancasila— melalui sarana pendidikan. Usaha pengamanan yang bersifat represif antara lain: 1. Menindak pelanggar-pelanggar hukum, pengkhianat, pemberontakan dan perongrong Pancasila. 2. Melarang paham, aliran dan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila— seperti Komunisme, Liberalisme dan lain-lain. 3. Melarang masuknya atau berkembangnya nilai-nilai yang dapat membahayakan nilai-nilai Pancasila.