PENETAPAN NILAI PAJAK LINGKUNGAN UNTUK INDUSTRI

Download dipertanyakan adalah nilai pajak yang akan dikenakan sebesar 0,5 persen dari omzet perusahaan khususnya terhadap industri manufaktur yang m...

0 downloads 470 Views 5MB Size
PENETAPAN NILAI PAJAK LINGKUNGAN UNTUK INDUSTRI TEKSTIL (Studi Kasus: PT. UNITEX, Kota Bogor)

Oleh : CITA SEPTIVIANI A14304068

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

RINGKASAN CITA SEPTIVIANI, A1404068, “PENETAPAN NILAI PAJAK LINGKUNGAN UNTUK INDUSTRI TEKSTIL (STUDI KASUS: PT. UNITEX, KOTA BOGOR)”, di bawah bimbingan ACENG HIDAYAT

Sektor industri merupakan salah satu sektor yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Perkembangan sektor industri selain memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional tetapi di sisi lain membawa masalah terhadap kondisi lingkungan. Dampak negatif dari perkembangan industri yang tidak bisa dihindari yaitu menimbulkan pencemaran karena dalam setiap proses produksinya menghasilkan limbah yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan.

Perkembangan kondisi dan kualitas lingkungan di Indonesia sudah sangat memprihatikan karena kerusakan lingkungan semakin parah diikuti dengan pembuangan limbah secara terus menerus sehingga menimbulkan pencemaran dan akhirnya akan menurunkan kualitas lingkungan. Untuk mengatasi hal ini diperlukan instrumen ekonomi, salah satunya instrumen fiskal. Pajak lingkungan merupakan salah satu instrumen fiskal yang umum digunakan untuk mengatasi persoalan pencemaran lingkungan.

Pajak lingkungan yang tengah menjadi wacana, masih mengalami perdebatan di berbagai kalangan. Pajak lingkungan direncanakan akan ditetapkan sebesar 0,5 persen dari omzet perusahaan dan dibebankan khususnya pada industri manufaktur yang memiliki omzet di atas Rp 300 juta per tahun. Pemungutan pajak ini diserahkan kepada pemerintah kabupaten atau kota. Pajak lingkungan yang diusulkan oleh pemerintah tersebut mencerminkan ketidakadilan dari sisi lingkungan. Perusahaan yang beromzet di atas Rp 300 juta per tahun belum tentu memberikan kontribusi limbah yang berbahaya bagi lingkungan misalnya perusahaan tersebut telah memiliki IPAL yang baik sehingga tidak berpotensi mencemari lingkungan. Di sisi lain perusahaan kecil (omzet di bawah Rp 300 juta) yang belum memiliki IPAL akan memberikan kontribusi pencemaran yang lebih berbahaya. Berdasarkan hal tersebut maka pajak lingkungan sebaiknya tidak dikenakan atas omzet perusahaan melainkan berdasarkan prinsip pencemar membayar (polluter pays principle/PPP) sehingga memenuhi prinsip keadilan. Pajak lingkungan diterapkan berdasarkan PPP artinya semakin besar tingkat pencemaran yang ditimbulkan maka pajak yang akan dikenakan semakin tinggi dan sebaliknya. Besarnya pajak lingkungan dapat ditentukan dengan mengetahui persamaan Marginal Abatement Cost (MAC) dan Marginal Damage (MD). Penentuan pajak lingkungan yang optimal diperoleh melalui perpotongan antara kurva MAC dan MD (MAC = MD).

Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk: (1) mengestimasi tambahan biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk mengurangi satu-satuan konsentrasi parameter limbah cair (MAC/Marginal Abatement Cost); (2) mengestimasi tambahan biaya kerusakan yang diterima masyarakat akibat pencemaran air sungai (MD/Marginal Damage) dan (3) mengestimasi nilai penetapan pajak lingkungan yang optimal terhadap pencemaran limbah cair industri tekstil berdasarkan polluter pays principle.

Dalam penelitian ini untuk mengestimasi tambahan biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk mengurangi satu-satuan konsentrasi parameter limbah cair (MAC/Marginal Abatement Cost) dengan menggunakan pendekatan biaya rata-rata (average cost pricing). Hasilnya dapat digunakan untuk menentukan persamaan MAC PT. UNITEX. Mengingat besarnya dampak yang harus diterima oleh masyarakat maka diperlukan estimasi mengenai tambahan biaya kerusakan yang diterima masyarakat akibat pencemaran air sungai (MD/Marginal Damage), melalui pendekatan nilai Willingness to Accept (WTA) dengan metode Contingent Valuation Method (CVM). Besarnya nilai MD yang diterima masyarakat tersebut dapat digunakan untuk menentukan persamaan MD masyarakat. Estimasi nilai penetapan pajak lingkungan yang optimal terhadap pencemaran limbah cair industri tekstil berdasarkan polluter pays principle diperoleh dari hasil perhitungan pertemuan antara persamaan MAC dengan MD (MAC=MD).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa estimasi tambahan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk mengurangi satu-satuan (mg/l) konsentrasi parameter limbah cair (MAC/Marginal Abatement Cost) untuk parameter BOD sebesar Rp 599.743,00 per mg/l dan parameter COD sebesar Rp 647.992,00. Estimasi tambahan biaya kerusakan yang diterima masyarakat akibat pencemaran air sungai Marginal Damage (MD), rata-rata responden sebesar Rp 86.097,00/bulan dan MD masyarakat sebesar Rp 6.026.829,20/bulan. Faktor yang mempengaruhi nilai MD tersebut adalah tingkat pendidikan dan jarak tempat tinggal dengan sungai. Nilai pajak lingkungan yang optimal terhadap pencemaran limbah cair industri tekstil berdasarkan polluter pays principle (MAC=MD) untuk parameter BOD sebesar Rp 43.998.040,00 ketika tingkat konsentrasi BOD sebesar 74 mg/l. Sementara itu, untuk parameter COD hasil perpotongan persamaan (MAC=MD) didapatkan tingkat pajak yang optimal yaitu Rp 11.529.265,00 ketika tingkat konsentrasi COD sebesar 357 mg/l. Pajak lingkungan yang optimal terhadap pencemaran per 1 mg/l untuk parameter BOD sebesar Rp 594.568,00 mg/l dan parameter COD sebesar Rp 32.295,00 per mg/l. Pajak lingkungan yang seharusnya dibayarkan oleh PT. UNITEX berdasarkan parameter BOD dan COD sebesar Rp 27.929.738,00 per bulan.

PENETAPAN NILAI PAJAK LINGKUNGAN UNTUK INDUSTRI TEKSTIL (Studi Kasus: PT. UNITEX, Kota Bogor)

Oleh: CITA SEPTIVIANI A14304068

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian Pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

Judul Skripsi : PENETAPAN NILAI PAJAK LINGKUNGAN UNTUK INDUSTRI TEKSTIL (Studi Kasus: PT. UNITEX, Kota Bogor) Nama : Cita Septiviani NRP : A14304068

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT NIP. 132 007 049

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP. 131 124 019

Tanggal Kelulusan:

PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “PENETAPAN NILAI PAJAK LINGKUNGAN UNTUK INDUSTRI TEKSTIL (STUDI KASUS: PT. UNITEX, KOTA BOGOR)” BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM TULISAN.

Bogor, Januari 2009

Cita Septiviani A14304068

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Cita Septiviani, dilahirkan pada 21 September 1986 di Bogor sebagai kedua dari dua bersaudara dari pasangan Pandji Yudistira Kusumasumantri dan Ea Aisyah. Pada tahun 1998 penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SDN Polisi IV, Bogor. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SMP 20 Malang pada tahun 2001 dan menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMAN 2 Bogor pada tahun 2004. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) tahun 2004. Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) pada program studi Ekonomi Pertanian Sumberdaya (EPS), jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian. Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan seperti Koperasi Mahasiswa (KOPMA) tahun 2005-2006, dan aktif dalam berbagai kegiatan kepanitian.

KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, karunia dan segala pertolongan serta kemudahan yang diberikan-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam senantiasa tercurah pada Rasullah SAW beserta sahabat, keluarga dan pengikutnya hingga akhir zaman. Semoga semua langkah dan usaha dalam pembuatan skripsi ini dapat bernilai ibadah, demikian juga kepada semua pihak yang telah membantu dengan iklas. Skripsi yang berjudul “Penetapan Nilai Pajak Lingkungan untuk Industri Tekstil (Studi Kasus: PT. UNITEX, Kota Bogor)” ditulis untuk memenuhi persyaratan penyelesaian Program Sarjana pada Fakultas Pertanian, Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi ini. Penulis sepenuhnya menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki kekurangan. Oleh karena itu, diharapkan kritik dan saran untuk kesempurnaan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Januari 2009

Penulis

UCAPAN TERIMA KASIH Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala berkat dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi bantuan dan dukungan serta kerjasama dalam penyusunan skripsi ini terutama kepada : 1. Allah SWT, berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini. 2. Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT selaku dosen pembimbing skripsi yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, saran, dan perhatian terhadap penulis demi terselesaikannya tugas akhir ini. 3. Dr. Ir. Eka Intan Kumala Putri, MS selaku dosen penguji utama dan Adi Hadianto, SP selaku dosen penguji wakil komisi pendidikan atas kritik dan saran sebagai penyempurna skripsi ini. 4. Dr. Ir. Yusman Syaukat, MEc selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan dan perhatiannya terhadap penulis selama proses perkuliahan. 5. Mbak Pini Wijayanti, SP atas bimbingan, saran, kritik, dan perhatiannya selama proses penyusunan skripsi. 6. Segenap Dosen dan Staf Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya memberikan banyak ilmu terhadap penulis selama proses perkuliahan. 7. Papah dan Mamah serta Teteh Tya buat perhatiannya, nasihat-nasihat, doa, dukungan, segala kasih sayang dan cintanya serta semua keluarga besar yang selalu mendoakan, dan dukungannya. 8. Yoga Prasta Adinugraha, SPt atas dukungan, waktu, perhatian, bantuan, dan kebersamaannya selama ini. Terimakasih banyak.

9. Sahabat-sahabatku tercinta: Vina, Nuy, Retno, Irna, Mayang (Goober), Uci, Ave, Ida, Evi, Risti, Maya, Ade, Owin, Tita, Wulan, Deasy, Arlin, Meymey, Manda. Terimakasih untuk perhatian, bantuan, semangat serta kebersamaan. 10. Teman-teman EPS 41 buat kebersamaannya: Devi, Toto, Nunung, Lingga, Aghies, Ella, Pampam, Lingga, Sari, Cian, Emil, Teh Vitri, Rolas, Lina, Leni, Pipit, Zakia, Santi Sintia, Yanti, Merry, Erna, Anti, Wida, Rahma, Mail, Galih, Jimmy, Nia, Cecep, Ervan, Anggi, Zae, Asti, Pipih, Nana, Kevin, Yudi, Deli, Riky, Nisa, Budi, Gufron, Yamin, Arif dan semua teman-teman EPS 41 yang tidak tersebutkan. 11. PT. UNITEX dan masyarakat Kelurahan Tajur yang telah banyak membantu dalam pengambilan data untuk penyelesaian skripsi. 12. Semua pihak yang telah berkenan membantu demi kelancaran penelitian dan penyusunan skripsi ini. Semoga Allah SWT menerima amal ibadah mereka semua. Amin.

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI…………………………………………...……………………………. DAFTAR TABEL……………………………………...……………………………. DAFTAR GAMBAR………………………………..………………………………. DAFTAR LAMPIRAN………………………………..…………………………….

i iii iv v

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang…………………………………..……………………………. 1.2 Perumusan Masalah…………………………..………………………………. 1.3 Tujuan Penelitian…………………………..…………………………………. 1.4 Manfaat Penelitian……………………..……………………………………... 1.5 Ruang Lingkup Penelitian…………..………………………………………...

1 4 8 8 9

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pajak………………………………………………………………………….. 2.2 Prinsip Pencemar Membayar (Polluter Pays Priciple)………………………. 2.3 Eksternalitas………………………………………………………………….. 2.4 Pajak untuk Mengatasi Eksternalitas Negatif………………………………… 2.5 Industri Tekstil………………………………………………………………... 2.5.1 Proses Produksi Tekstil……………………………................................ 2.5.2 Sumber Limbah Cair Tekstil…………………………………………… 2.5.3 Baku Mutu Limbah Cair Tekstil………………………………………... 2.6 Indikator dan Pengamatan Pencemaran Air………………………………….. 2.7 Klasifikasi dan Kriteria Mutu Air…………………………………………….. 2.8 Penelitian Terdahulu………………………………………………………….. 2.8.1 Industri Tekstil………………………………………………………….. 2.8.2 Willingness to Accept (WTA) ……………………………………...….. 2.9 Keunggulan Penelitian………………………………………………………...

11 12 13 15 16 16 17 18 20 21 22 22 23 24

III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teoritis………………………….................………………………. 3.1.1 Konsep Kesediaan untuk Menerima (Willingness to Accept/WTA)...… 3.1.2 Asumsi dalam Pendekatan WTA Masyarakat………………………….. 3.1.3 Metode Valuasi Kontingensi (Contingent Valuation Method/CVM)...... 3.1.4 Pajak Lingkungan………………………………………….…………… 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional……………………………………………..

25 25 26 27 28 34

IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian…………………………………………………. 4.2 Metode Pengambilan Sampel………………………………………………… 4.3 Jenis dan Sumber Data……………………………………………………….. 4.4 Metode Analisis Data………………………………………………………… 4.4.1 Estimasi Nilai Marginal Abatement Cost (MAC).................................... 4.4.2 Estimasi Persamaan dan Kurva Marginal Abatement Cost (MAC)……. 4.4.3 Estimasi Nilai Marginal Damage (MD)……………………………..….

38 38 39 40 41 45 46

4.4.4 Estimasi Persamaan dan Kurva Marginal Damage (MD)....................... 4.4.5 Penetapan Nilai Pajak Lingkungan.......................................................... 4.5 Teori Regresi Berganda..................................................................................... 4.6 Pengujian Parameter.......................................................................................... 4.7 Batasan Definisi Operasional Penelitian……………………………………...

54 55 56 57 61

V. GAMBARAN UMUM 5.1 Gambaran Umum Perusahaan………………………………………………... 5.1.1 Sejarah Singkat PT. UNITEX……………………………...…………... 5.1.2 Sarana Produksi dan Proses Produksi…………………………………... 5.1.2.1 Bahan Baku…………………………………………………….. 5.1.2.2 Proses Produksi………………………………………………… 5.1.3 Pengolahan Air Limbah………………………………………………… 5.1.3.1 Sumber Limbah Cair…………………………………………… 5.1.3.2 Jenis dan Karakteristik Limbah Cair…………………………… 5.1.3.3 Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) PT. UNITEX……….. 5.2 Gambaran Umum Kelurahan Tajur…………………………………………... 5.2.1 Keadaan Umum kelurahan Tajur……………………………………….. 5.2.2 Kependudukan………………………………………………………….. 5.3 Karakteristik Responden………………………………………...…………… 5.4 Aktivitas Responden di Sungai……………………………………………….

62 62 62 62 63 63 63 64 65 71 71 72 74 79

VI. ESTIMASI MARGINAL ABATEMENT COST (MAC) 6.1 Estimasi Nilai MAC……….........................…………………................……. 6.2 Estimasi Persamaan dan Kurva Marginal Abatement Cost (MAC)..................

80 84

VII. ESTIMASI MARGINAL DAMAGE (MD) 7.1 Estimasi Nilai MD..........................................................….....…….…………. 7.2 Estimasi Persamaan dan Kurva Marginal Damage (MD)................................

89 96

VIII. PENETAPAN NILAI PAJAK LINGKUNGAN 8.1 Estimasi Penetapan Nilai Pajak Lingkungan yang Optimal.............................. 101 8.2 Pajak Lingkungan dan Retribusi Limbah Cair.................................................. 105 IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1 Kesimpulan…………………………………………………………………… 107 9.2 Saran.................................................................................................................. 108 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………....…………….. LAMPIRAN ………………………………………………………...……………….

109 111

DAFTAR TABEL

Nomor

Halaman

1 Perkembangan Jumlah Industri di Kota Bogor Tahun 2002-2007……… 2 Baku Mutu Limbah Cair Industri Tekstil………………………………. 3 Kriteria Mutu Air Berdasarkan Kelas Menurut PP RI No. 82 Tahun 2001.......................................................................................................... 4 Matriks Metode Analisis Data…………………………………………... 5 Jumlah Penduduk dari Setiap RW di Kelurahan Tajur Tahun 2008…………………………………………………………………...… 6 Jumlah Penduduk Menurut Golongan Umur di Kelurahan Tajur Tahun 2008……………………………………………………………………... 7 Struktur Mata Pencaharian Penduduk Kelurahan Tajur Tahun 2008…... 8 Lulusan Pendidikan Formal Penduduk Kelurahan Tajur Tahun 2008….. 9 Sebaran Karakteristik Responden……………………………………….. 10 Aktivitas Responden yang Umumnya Dilakukan di Sungai Cibudig Sebelum Terjadinya Pencemaran Air…………………………………... 11 Hasil Perhitungan Statistik Rata-Rata Konsentrasi Parameter Kualitas Limbah Cair Inlet, Outlet, dan Inlet-Outlet dengan IPAL PT. UNITEX 12 Hasil Perhitungan Statistik Rata-Rata dan Persentase Pengurangan Konsentrasi Parameter Limbah Cair Sebelum dan Sesudah IPAL (Inlet-Outlet)………………………………………..…………………… 13 Hasil Perhitungan Statistik MAC PT. UNITEX per 1 mg/l…………...... 14 Hasil Perhitungan Statistik MAC PT. UNITEX ketika Tidak ada Pencemaran, Inlet, dan Outlet……………………………........................ 15 Distribusi WTA Responden ............................…………………………. 16 Total WTA (TWTA) Responden ………………….……………………. 17 Rataan WTA Responden, TWTA Responden, dan TWTA Populasi Beserta Tingkat Konsentrasi Masing-Masing Parameter.......................... 18 Hasil Analisis Nilai WTA Responden........................................………... 19 Hasil Perhitungan Pajak Lingkungan ...………………………………… 20 Rumus dan Hasil Perhitungan Retribusi Limbah Cair Perda No. 5 Tahun 2003 ...............................................................................................

4 20 22 40 73 73 74 74 75 79 82

83 83 84 90 91 92 93 104 106

DAFTAR GAMBAR

Nomor 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25

Halaman

Eksternalitas Produksi Negatif………………………………………….. Pajak untuk Mengatasi Eksternalitas Negatif…………………………… Pajak Effluent yang Efisien ……………………………..……..……….. Pajak Effluent dan Insentif untuk R&D (Research and Development)…. Diagram Alur Kerangka Berpikir ...................………………………….. Kurva MAC……………………………………………………………... Kurva MD……………………………………………………………….. Air Limbah Berwarna…………………………………………………… Bak Penampungan Air Warna pada IPAL PT. UNITEX……………….. Saringan Halus (Bar Screen) pada IPAL PT. UNITEX………………… Cooling Tower pada IPAL PT. UNITEX……………………………….. Tangki Koagulasi dan Flokulasi pada IPAL PT. UNITEX……...……… Tangki Sedimentasi I pada IPAL PT. UNITEX…………...…………… Tangki Sedimentasi II pada IPAL PT. UNITEX……………………….. Mesin Pengepres Lumpur pada IPAL PT. UNITEX……………………. Bak penampungan Air Umum…………………………………………... Bak Aerasi yang Berbetuk Oval…………………………………...……. Bak Aerasi II dan III yang Berbentuk Persegi Panjang…………………. Kolam Ikan……………………………………………………………… Saluran Pembuangan Air Limbah PT. UNITEX………………………... Kurva MAC untuk Parameter BOD ……..........................................…... Kurva MAC untuk Parameter COD ………………………………..…... Kurva MD untuk Parameter BOD............................................................. Kurva MD untuk Parameter COD............................................................. Pajak Lingkungan yang Optimal ketika Efisiensi Masyarakat (MAC=MD) untuk Parameter BOD (mg/l)............................................... 26 Pajak Lingkungan yang Optimal ketika Efisiensi Masyarakat (MAC=MD) Konsentrasi Parameter COD (mg/l).....................................

14 16 34 32 37 45 55 65 66 67 67 68 68 68 69 69 70 70 71 71 86 88 98 100 102 104

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1 Hasil Analisa Laboratorium Kualitas Air Sungai…………………………. 112 2 Laporan Proses Air Limbah PT. UNITEX Periode Agustus 2006……….. 113 3 Hasil Pemeriksaan Mutu Limbah Cair PT. UNITEX Periode Juli 2005..… 114 4 Hasil Pemeriksaan Mutu Limbah Cair PT. UNITEX Periode Agustus 2005……………………………………………………………………….. 115 5 Rincian Konsentrasi Parameter Limbah Cair PT. UNITEX………..…….. 116 6 Rincian Biaya Proses Pengolahan Air Limbah PT. UNITEX…………….. 117 7 Hasil Regresi Berganda Nilai WTA Responden.......................................... 118 8 Uji Statistik Hasil Regresi Berganda Nilai WTA........................................ 119 9 Perhitungan Persamaan MAC, MD, dan Pajak Lingkungan........................ 120 10 Cara Pengukuran Retribusi Menurut Perda Kabupaten Bogor Nomor 5 Tahun 2003 ……………...………………………………………………... 122 11 Hasil Peramalan Data BOD inlet, COD inlet, BOD outlet, COD outlet, dan TAC (Total Abatement Cost)…………………………………………. 124 12 Kondisi Sungai Cibudig Kelurahan Tajur………………………………… 127

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Sektor industri merupakan salah satu sektor yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia. Perkembangan sektor industri memiliki peran penting dalam memberikan dampak positif terhadap perekonomian seperti memperluas kesempatan kerja bagi masyarakat, meningkatkan devisa negara dari ekspor, dan sebagai penyumbang yang cukup besar terhadap pendapatan nasional. Di sisi lain pertumbuhan sektor industri juga membawa efek negatif terhadap lingkungan yaitu semakin meningkatnya jumlah limbah industri yang berpotensi menimbulkan pencemaran sehingga dapat menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Kegiatan

sektor

industri

bisa

dipastikan

menimbulkan

dampak

eksternalitas. Eksternalitas yaitu keterkaitan suatu kegiatan dengan kegiatan lain yang tidak melalui mekanisme pasar (Mangkoesoebroto, 1993). Eksternalitas dapat bersifat positif maupun negatif. Eksternalitas positif dari sektor industri adalah pemanfaatan kembali sisa buangan atau limbah oleh pihak lain misal limbah padat yang dihasilkan oleh industri tekstil berupa lumpur (sludge) dapat dimanfaatkan kembali menjadi pupuk organik, bahan campuran pembuatan conblok, dan batako. Contoh yang termasuk eksternalitas negatif adalah limbah industri yang dapat menimbulkan pencemaran lingkungan. Industri menghasilkan beragam limbah, seperti: limbah cair, padat, gas, dan lain-lain. Limbah-limbah ini biasanya langsung dibuang ke lingkungan, tanpa melalui proses pengolahan dan penanganan. Industri umumnya langsung

membuang limbah cair ke badan air, seperti: laut, sungai, atau danau. Limbah cair industri merupakan penyebab utama terjadinya pencemaran air. Setiap industri yang menghasilkan limbah cair wajib melakukan pengolahan air limbah agar memenuhi baku mutu yang ditetapkan pemerintah sehingga dapat langsung dibuang tanpa mencemari lingkungan. Limbah yang dibuang tanpa diolah terlebih dahulu akan menghasilkan limbah yang berbahaya bagi lingkungan. Beberapa alasan pengusaha membuang limbah tanpa diolah terlebih dulu antara lain mahalnya biaya pembuatan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), biaya operasional, dan perawatan IPAL yang rumit dan kompleks. Lingkungan mempunyai daya tampung limbah yang terbatas. Ketika limbah yang dibuang tidak melebihi ambang batas, lingkungan masih dapat menguraikannya sehingga tidak menimbulkan pencemaran. Namun jika ambang batas tersebut terlampaui, maka lingkungan tidak dapat menetralisir semua limbah yang ada sehingga timbul masalah pencemaran dan degradasi kondisi lingkungan. Perkembangan kondisi dan kualitas lingkungan di Indonesia sudah sangat memprihatikan karena kerusakan lingkungan semakin parah diikuti dengan pembuangan limbah secara terus menerus sehingga menimbulkan pencemaran dan akhirnya akan menurunkan kualitas lingkungan. Untuk mengatasi hal ini diperlukan instrumen ekonomi, salah satunya instrumen fiskal. Pajak lingkungan merupakan salah satu instrumen fiskal yang umum digunakan untuk mengatasi persoalan pencemaran lingkungan. Wacana mengenai pajak lingkungan ini sudah sering didiskusikan oleh berbagai kalangan. Pajak lingkungan direncanakan akan ditetapkan sebesar 0,5 persen dari omzet perusahaan dan dibebankan khususnya pada industri

manufaktur yang memiliki omzet di atas Rp 300 juta per tahun.1 Pungutan pajak lingkungan akan dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota dan dimasukkan ke dalam Pendapatan Asli Daerah (PAD). Secara umum pengenaan pajak lingkungan didasarkan atas pertimbangan bahwa kegiatan industri yang berpotensi mencemari lingkungan agar memberikan kontribusi dalam perbaikan lingkungan. Pajak lingkungan akan dikenakan kepada industri manufaktur karena industri tersebut dianggap tidak ramah lingkungan dan memiliki input dengan kadar pencemaran besar serta dalam proses produksinya menghasilkan output limbah yang berpotensi mencemari lingkungan. Industri tekstil merupakan salah satu industri manufaktur yang potensial menghasilkan limbah. Perkembangan sektor industri di Kota Bogor mengalami peningkatan setiap tahunnya, tidak terkecuali industri TPT (Tekstil dan Produk Tekstil). Setiap tahunnya jumlah unit usaha TPT mengalami peningkatan seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1. Perkembangan industri tekstil diikuti dengan semakin besarnya limbah cair yang dihasilkan oleh industri tekstil. Industri tesktil merupakan salah satu industri penghasil utama limbah cair yang berpotensi mencemari lingkungan. Hal tersebut dikarenakan dalam proses produksinya industri tekstil membutuhkan input air dalam jumlah besar dan bahan kimia untuk digunakan dalam proses pewarnaan sehingga limbah yang dihasilkan mengandung COD dan BOD tinggi. Limbah cair yang dihasilkan oleh industri tekstil merupakan salah satu limbah yang banyak mengandung bahan pencemar yang sulit terurai di lingkungan. Rata-rata di Indonesia limbah cair yang dihasilkan industri tekstil mengandung 750 mg/l padatan tersuspensi dan 500 mg/l BOD (Biological Oxigen 1

Maharani Siti Sophia. 2006. Kajian Di Balik Asumsi Pajak Lingkungan. Situs; http://www.icel.or.id/. ICEL (Indonesian Center for Environmental Law). (diakses tanggal 1 Juli 2008)

Demand). Perbandingan COD (Chemical Oxigen Demand) dan BOD berkisar 1,5:1 sampai 3:1.2 Mengingat potensi limbah yang dihasilkan demikian besarnya, sebagai antisipasi terhadap diterapkannya pajak lingkungan maka diperlukan penetapan nilai pajak lingkungan yang mencerminkan keadilan dan kepatutan. Studi ini dilakukan untuk melihat berapa besar nilai pajak yang sebaiknya dikenakan pada industri tekstil. Tabel 1. Perkembangan Jumlah Industri di Kota Bogor Tahun 2002-2007 No Industri Menengah dan Besar Jumlah Unit Usaha 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Kimia,Agro dan Hasil Hutan 1. Makanan 6 6 6 9 9 15 2. Minuman 3 4 5 6 8 9 3. Kayu Olahan dan Rotan 3 4 5 7 10 10 4. Pulp dan Kertas 3 4 4 7 8 10 5. Bahan Kimia dan Karet 5 5 5 5 6 7 6. Bahan Galian Non Logam 1 2 2 7. Kimia 3 3 3 4 5 6 Logam, Mesin, Elektronika dan Aneka 1. Mesin dan Rekayasa 2. Logam 5 5 5 5 10 10 3. Alat Angkut 4 4 4 5 5 5 4. Tekstil dan Produk Tekstil 18 18 19 22 23 23 5. Kulit 2 2 6. Alpora 1 1 1 1 1 1 7. Elektronika 2 2 2 3 3 3 Total Industri 53 56 59 75 92 103 Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kota Bogor (2007)

1.2 Perumusan Masalah Pembahasan rencana pemberlakuan pajak lingkungan di Indonesia masih diperdebatkan oleh berbagai kalangan. Salah satu poin penting yang masih dipertanyakan adalah nilai pajak yang akan dikenakan sebesar 0,5 persen dari omzet perusahaan khususnya terhadap industri manufaktur yang memiliki omzet 2

Departemen Lingkungan Hidup. 2003. Pengolahan & Pemanfaatan Limbah Tekstil. Situs : http://www.menlh.go.id/usaha-kecil/index-view.php?sub=7. (diakses tanggal 20 Febuari 2008).

di atas Rp 300 juta per tahun. Pajak lingkungan akan dikenakan kepada industri yang memiliki omzet di atas Rp 300 juta per tahun dengan tujuan untuk menghindari agar industri kecil tidak terkena pajak ini karena dikhawatirkan akan semakin membebani biaya produksi. Hal tersebut menunjukkan bahwa industri yang memiliki omzet di bawah Rp 300 juta per tahun walaupun menimbulkan pencemaran akan dibebaskan dari pungutan pajak lingkungan dan dibiarkan mencemari lingkungan. Hal tersebut mencerminkan ketidakadilan apabila dilihat dari sisi lingkungan. Perusahaan yang beromzet di atas Rp 300 juta per tahun belum tentu memberikan kontribusi limbah yang berbahaya bagi lingkungan misalnya perusahaan tersebut telah memiliki IPAL yang baik sehingga tidak berpotensi mencemari lingkungan. Di sisi lain perusahaan kecil (omzet di bawah Rp 300 juta) yang belum memiliki IPAL akan memberikan kontribusi pencemaran yang lebih berbahaya. Sebagai contoh industri kecil tapioka yang menghasilkan limbah cair dengan ciri seperti bau busuk, warna keruh (putih kecoklat-coklatan), kandungan BOD, COD, dan TSS masing-masing sekitar 1.290 mg/l, 3.200 mg/l, dan 148 mg/l (di atas ambang maksimum baku mutu limbah cair yang ditetapkan pada Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 6 Tahun 1999, yaitu 150 mg/l BOD, 300 mg/l COD, dan 100 mg/l TSS) (Kurniarto, 2006). Rencana pemberlakuan pajak lingkungan tersebut juga menimbulkan kontroversi, karena terdapat pihak yang pro ataupun kontra. Pihak yang kontra atau menolak adanya pemberlakuan pajak lingkungan sebagian besar berasal dari kalangan pengusaha. Hal ini disebabkan penerapan pajak lingkungan ini akan semakin membebani pengusaha dalam hal kenaikan biaya produksi (high cost).

Namun di sisi lain bagi pihak yang pro atau setuju, penerapan pajak lingkungan mencerminkan tanggung jawab industri terhadap lingkungan. Pengenaan pajak lingkungan bukan berarti perusahaan diperbolehkan untuk mencemari lingkungan melainkan harus menurunkan tingkat pencemaran limbahnya. Tujuan penerapan pajak lingkungan salah satunya dalam rangka menciptakan insentif bagi pengusaha untuk mendanai kegiatan pelestarian lingkungan mengingat kegiatan industri telah menyebabkan penurunan kualitas lingkungan. Hasil penerimaan pajak lingkungan digunakan untuk mendanai kegiatan pengelolaan lingkungan seperti mendanai kegiatan pengolahan dan pengendalian limbah, investasi IPAL ataupun pemberian subsidi kepada perusahaan untuk mengadakan sarana IPAL. Berdasarkan hal tersebut maka pajak lingkungan sebaiknya tidak dikenakan atas omzet perusahaan melainkan berdasarkan prinsip pencemar membayar (polluter pays principle/PPP) sehingga memenuhi prinsip keadilan. Pajak lingkungan diterapkan berdasarkan PPP artinya semakin besar tingkat pencemaran yang ditimbulkan maka pajak yang akan dikenakan semakin tinggi dan sebaliknya. Limbah cair tekstil termasuk jenis limbah yang berpotensi besar mencemari perairan. Industri tekstil mengeluarkan limbah cair dengan jumlah yang cukup besar dan mengandung bermacam-macam polutan. Kandungan polutan dalam limbah cair tekstil berasal dari sisa-sisa bahan kimia yang digunakan dalam proses produksi, kotoran yang lepas dari serat, serta sisa-sisa serat yang terlepas oleh bahan kimia. Bahan kimia yang terbuang pada umumnya berasal dari proses pencelupan, baik bahan kimia yang digunakan untuk

pengkanjian, pewarnaan, dan pemutihan. Dampak negatif yang ditimbulkan oleh limbah cair tekstil antara lain air limbah tekstil secara fisik berwarna keruh dan berbau, sehingga merusak estetika dan mengganggu pemanfaatan air. Air limbah tekstil terkadang berbusa yang menutupi permukaan air dan menghalangi fotosintesa serta masuknya oksigen dalam air sehingga mengganggu kehidupan flora dan fauna air (Sitorus, 1993). Industri tekstil di Kota Bogor yang masih beroperasi yaitu PT. UNITEX. PT. UNITEX memiliki kapasitas IPAL maksimum sebesar 5.000 m3/hari dan membuang air limbahnya ke Sungai Cibudig. IPAL PT. UNITEX telah memberikan hasil yang memuaskan dalam mengelola limbah cair dari hasil produksinya. Hal tersebut dibuktikan dengan keberhasilannya mendapatkan penghargaan tingkat Asia Pasifik pada tahun 1990 "Sahwali Award" sebagai pengusaha yang berwawasan lingkungan dan memperoleh penghargaan Program Kali Bersih (Prokasih) No.1 di Indonesia tahun 1991 sebagai industri yang paling baik dalam pengolahan air limbah. PT. UNITEX juga menerima penghargaan dari Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dalam upaya menciptakan produksi yang ramah lingkungan dengan menerapkan produksi bersih (cleaner production). Pada tahun 2004-2005, PT. UNITEX juga meraih peringkat biru pada penilaian PROPER (Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan) yang dilakukan oleh KLH.

Berdasarkan uraian tersebut, perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Berapa tambahan biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk mengurangi satusatuan konsentrasi parameter limbah cair (MAC/Marginal Abatement Cost)? 2. Berapa tambahan biaya kerusakan yang diterima masyarakat akibat pencemaran air sungai (MD/Marginal Damage)? 3. Berapa nilai penetapan pajak lingkungan yang optimal terhadap pencemaran limbah cair industri tekstil berdasarkan polluter pays principle?

1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengestimasi

tambahan

biaya

yang

dikeluarkan

perusahaan

untuk

mengurangi satu-satuan konsentrasi parameter limbah cair (MAC/Marginal Abatement Cost). 2. Mengestimasi tambahan biaya kerusakan yang diterima masyarakat akibat pencemaran air sungai (MD/Marginal Damage). 3. Mengestimasi nilai penetapan pajak lingkungan yang optimal terhadap pencemaran limbah cair industri tekstil berdasarkan polluter pays principle.

1.4 Manfaat Penelitian 1.

Untuk bahan pertimbangan bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, sebagai informasi dan masukan dalam menetapkan besarnya pajak lingkungan yang akan dibebankan untuk industri.

2.

Bagi industri, dapat sebagai pertimbangan dalam menentukan besarnya produksi dan teknologi pengolahan limbah cair yang dihasilkan, agar limbah

yang dikeluarkan tidak mencemari lingkungan dan sesuai dengan baku mutu limbah industri yang telah ditetapkan. 3.

Pengusaha tekstil, agar memperhatikan dampak limbah yang ditimbulkan industri tekstil terhadap masyarakat sekitar serta ikut serta dalam upaya memperbaiki lingkungan.

4.

Bagi peneliti dan akademisi, untuk menambah pengembangan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan pajak lingkungan dan menjadi bahan literatur bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan pengelolaan dan penanggulangan pencemaran lingkungan.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian Industri tekstil menghasilkan limbah baik berupa limbah padat, cair, dan gas. Penelitian dilakukan hanya pada limbah cair. Hal ini disebabkan limbah padat yang dihasilkan oleh industri dapat di daur ulang atau dimanfaatkan kembali sehingga perusahaan tidak mengolah sendiri limbah padat yang dihasilkan sementara limbah gas, dikarenakan keterbatasan alat serta data penelitian. Berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair bagi Industri, ditetapkan bahwa parameter utama pencemaran air untuk industri tekstil yang harus memenuhi syarat buangan antara lain: BOD, COD, TSS (Total Suspended Solid), krom total, fenol total, amonia total, minyak dan lemak, sulfida, dan pH. Dalam penelitian ini, parameter komponen limbah cair hanya difokuskan pada dua parameter yaitu BOD dan COD. Hal ini disebabkan BOD dan COD merupakan jenis pencemar organik yang paling banyak diterima badan

air. Adanya keterbatasan alat dan data, maka penelitian difokuskan pada kedua parameter tersebut. Aspek sosial ekonomi mencangkup dampak positif dan negatif yang diterima masyarakat. Penelitian ini hanya meneliti dampak negatif yang diterima oleh masyarakat sekitar tetapi tidak meneliti dampak positif limbah cair karena keterbatasan alat dan data penelitian. Hal ini dikarenakan sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu meneliti dampak negatif yang diterima masyarakat dari pembuangan air limbah industri tekstil. Polluter Pay Principle dilakukan dengan mengestimasi persamaan Marginal Abatement Cost (MAC) yang dikeluarkan oleh industri dan Marginal Damage (MD) yang dirasakan masyarakat. Dalam penelitian ini untuk mengestimasi MD dilakukan dengan menggunakan pendekatan nilai Willingness to Accept (WTA). Hal ini disebabkan MD digunakan untuk mengetahui tambahan kerusakan akibat tambahan satu-satuan konsentrasi parameter pencemar limbah cair bersifat sulit dihitung (intangible). Oleh karena itu, dalam penelitian ini pendekatan WTA digunakan untuk mengestimasi nilai kerusakan dari barang lingkungan yang dapat diukur secara ekonomi (tangibel). Nilai pajak lingkungan yang optimal ditentukan dengan mengetahui persamaaan MAC dan MD. Dalam penelitian ini untuk menentukan persamaan MAC dan MD disederhanakan dengan menggunakan persamaan garis linier dua titik disebabkan karena keterbatasan alat dan data penelitian.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pajak Pajak adalah suatu pungutan yang merupakan hak prerogatif pemerintah yang didasarkan pada undang-undang, pemungutannya dapat dipaksakan kepada subyek pajak (orang pribadi atau badan yang dapat dikenakan pajak) dan tidak ada balas jasa yang langsung dapat ditunjukkan penggunaanya. Penerimaan pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran pemerintah. Adam Smith mengemukakan dalam Cannon of Taxation, prinsip-prinsip pengenaan pajak yang baik pada barang publik harus memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut: (1) distribusi dari beban pajak harus adil; (2) pajak tidak boleh mendistorsi keputusan ekonomi secara signifikan; (3) pajak harus mengurangi ketidakefisienan di sektor swasta; (4) struktur pajak harus bisa digunakan dalam kebijakan fiskal untuk tujuan stabilisasi dan pertumbuhan ekonomi; (5) sistem pajak harus dimengerti oleh wajib pajak; (6) administrasi pajak dan biaya pelaksanaannya harus seminal mungkin; (7) kepastian; (8) dapat dilaksanakan; dan (9) dapat diterima (Mangkoesoebroto, 1993). Menurut Tim INDEF (2007), pada dasarnya prinsip-prinsip pajak lingkungan yang utama yaitu: (1) netral revenue artinya menjamin motif penerimaan yang netral; (2) non double deviden artinya tidak ada keuntungan berganda, diantaranya dengan mempersiapkan pranata/lembaga pengelolaan yang terkait langsung dengan pajak lingkungan; dan (3) Polluter Pays Principle (PPP).

2.2 Prinsip Pencemar Membayar (Polluter Pays Principle) Polluter Pays Principle (PPP) merupakan salah satu prinsip dalam menetapkan nilai pajak lingkungan. Dalam dunia hukum lingkungan, penerapan pajak lingkungan diartikan sebagai prinsip pencemar membayar (Polluter Pays Principle). Prinsip Pencemar Membayar (PPM) artinya biaya kerusakan lingkungan harus dibebankan kepada pencipta atau produsen pencemar sesuai bagian kerusakan yang diciptakan dengan memasukkan biaya eksternal/biaya kerusakan lingkungan ke dalam perhitungan biaya produksi (internalising the external costs) sehingga mendorong alokasi biaya yang efektif. Prinsip ini juga digunakan

sebagai

tindakan

penyelamatan

lingkungan

atas

biaya

penanggungjawab usaha untuk mendorong upaya dunia industri mengurangi dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan. Menurut Suparmoko (2000), pada dasarnya pencemar harus menanggung biaya pencemaran sehingga limbah yang dibuang sesuai baku mutu yang ditetapkan. Ada dua interpretasi terhadap Prinsip Pencemar Membayar (PPM) antara lain: 1. Interpretasi dasar atau interpretasi sempit Prinsip Pencemar Membayar (PPM) memberikan suatu hak untuk membuang limbah ke lingkungan sampai jumlah tertentu bebas dari pungutan. 2. Interpretasi yang luas bahwa pencemar tidak lagi diizinkan membuang limbah sampai batas tertentu bebas tanpa bayaran tetapi ia harus membayar baik biaya pengendalian juga biaya kerusakan lingkungan. Interpretasi yang luas ini menghendaki adanya pungutan sebagai suatu insentif, yaitu pencemar harus membayar nilai bersih limbah buangan yang diizinkan. Pungutan sebagai

insentif ini memiliki keuntungan yaitu prinsip ini dapat mendorong pencemar agar mengurangi tingkat pencemarannya.

2.3 Eksternalitas Dalam

suatu

perekonomian

modern

setiap

aktivitas

mempunyai

keterkaitan dengan aktivitas lainnya. Apabila semua keterkaitan antara suatu kegiatan dengan kegiatan lainnya dilaksanakan melalui mekanisme pasar maka tidak menimbulkan masalah. Akan tetapi banyak keterkaitan antar kegiatan yang tidak melalui mekanisme pasar sehingga timbul berbagai macam masalah. Keterkaitan suatu kegiatan dengan kegiatan lainnya yang tidak melalui mekanisme pasar disebut dengan eksternalitas. Mangkoesoebroto (1993) membagi eksternalitas berdasarkan dampaknya menjadi dua, yaitu eksternalitas positif dan eksternalitas negatif. Eksternalitas positif adalah dampak yang menguntungkan dari suatu tindakan yang dilakukan oleh suatu pihak terhadap orang lain tanpa adanya kompensasi dari pihak yang diuntungkan. Eksternalitas positif misalnya seseorang yang membangun pemandangan yang indah dan bagus pada lokasi tertentu mempunyai dampak positif bagi orang sekitar yang melewati lokasi tersebut. Eksternalitas negatif apabila dampaknya bersifat merugikan bagi orang lain tetapi tidak menerima kompensasi misalnya polusi udara, air dan suara. Dalam hal adanya eksternalitas dalam suatu aktivitas, maka akan timbul inefisiensi. Inefisiensi akan timbul apabila tindakan seseorang mempengaruhi orang lain dan tidak tercermin dalam sistem harga. Secara umum apabila semua dampak yang merugikan maupun menguntungkan diinternalisasi ke dalam biaya produksi perusahaan sehingga akan

tercapainya efisiensi masyarakat. Dalam hal ini efisiensi akan tercapai apabila Marginal Social Cost (MSC) sama dengan Marginal Social Benefit (MSB). Pada Gambar 1 menunjukkan tingkat output yang optimum dengan menginternalisasi biaya eksternalitas negatif ke dalam biaya produksi perusahaan terjadi pada tingkat produksi sebesar 0Q1 dengan harga di P1 yaitu pada saat MSC=MSB. Apabila perusahaan tidak memperhitungkan biaya eksternalitas dalam menentukkan harga dan jumlah barang yang dihasilkan maka berproduksi di Q2 dengan menetapkan harga sebesar P2 yaitu ketika MSB memotong kurva Private Marginal Cost (PMC). Apabila dalam melakukan kegiatan produksi timbul suatu eksternalitas negatif maka Marginal Damage (MD)>0 berarti MSC>PMC karena MSC=PMC+MD sehingga produksi harus dikurangi agar efisiensi produksi ditinjau dari seluruh masyarakat mencapai optimum.

P

MSC = PMC + MD PMC

P1 P2

MD

MSB 0

Q1

Q2

Jumlah Produksi

Keterangan: MSC : Marginal Social Cost MSB : Marginal Social Benefit PMC : Marginal Private Cost MD : Marginal Damage Sumber : Mangkoesoebroto (1993)

Gambar 1. Eksternalitas Produksi Negatif

2.4 Pajak untuk Mengatasi Eksternalitas Negatif Masalah eksternalitas dapat diatasi dengan menginternalisasi biaya eksternalitas ke dalam biaya produksi perusahaan sehingga diperlukan intervensi pemerintah melalui penerapan pajak. Pemerintah dapat memecahkan alokasi sumber yang lebih efisien dengan mengenakan pajak kepada pihak penyebab polusi dimana pajak tersebut merupakan pajak per unit. Pajak yang khusus diterapkan untuk mengoreksi dampak dari eksternalitas negatif disebut dengan Pajak Pigovian (Pigovian Tax), sesuai dengan nama penggagas pertamanya yaitu Arthur Pigou (1877-1959). Gambar 2 menunjukkan analisa pajak untuk mengatasi eksternalitas negatif. Jumlah produksi perusahaan tanpa memperhitungkan eksternalitas negatif sebesar 0Q1 dimana pada titik B menunjukkan Marginal Benefit sama besarnya dengan Private Marginal Cost (MB=PMC). Pemerintah mengenakan pajak sebesar t=ED untuk setiap unit barang yang diproduksi. Akibatnya perusahaan tidak akan berproduksi sebesar 0Q1 tetapi mengurangi produksinya sampai titik E yaitu sampai biaya marginal perusahaan termasuk pajak sama dengan keuntungan marginal (MB=PMC+tax). Pada titik E inipun tercapai alokasi sumber-sumber ekonomi yang efisien karena pada titik E tersebut MB=PMC+MD (Marginal Damage). Penerimaan pemerintah dari pajak ini dapat digunakan untuk pemberian kompensasi kepada “korban” pencemaran lingkungan misalnya berupa fasilitas kesehatan bagi masyarakat yang sakit karena menggunakan air sungai yang tercemar.

Rupiah

MSC=PMC+MD PMC+tax E

C t (tax)

A

F

D

B

PMC MD

MB 0

Q0

Q1

Jumlah Produksi

Keterangan: MSC : Marginal Social Cost MB : Marginal Benefit PMC : Marginal Private Cost MD : Marginal Damage Sumber : Mangkoesoebroto (1993)

Gambar 2. Pajak untuk Mengatasi Eksternalitas Negatif

2.5 Industri Tekstil 2.5.1 Proses Produksi Tekstil Pada dasarnya proses produksi tekstil adalah merubah serat buatan dan serat alam (kapas) menjadi barang jadi tekstil dengan menggunakan serangkaian proses. Secara umum proses produksi tekstil terdiri dari (Yuwono dan Adinugroho, 2006): 1. Pengkanjian benang, yaitu proses pemberian kanji (starch) pada benang untuk memperkuat kekenyalan benang. 2. Penenunan, yaitu proses penyusunan benang yang telah dikanji dan dikeringkan menjadi lembaran kain (bahan). 3. Penghilangan kanji, yaitu proses pencelupan bahan dalam larutan enzim untuk menghilangkan kanji yang terdapat pada benang setelah proses penenunan.

4. Pemasakan, yaitu proses penggodokan bahan dengan soda kaustik encer untuk menurunkan berat dan meningkatkan kekuatan bahan. 5. Pemutihan, yaitu proses perendaman bahan dalam larutan pemutih untuk menguraikan dan membuang zat warna yang masih tertinggal setelah proses pemasakan. 6. Pencelupan, yaitu proses pewarnaan bahan dengan mencelupkan bahan dalam larutan pewarna pada suhu tinggi. 7. Pembersihan, yaitu proses penghilangan sisa warna pada permukaan kain dengan menggunakan pembersihan khusus. 8. Penguapan, yaitu proses peresapan resin ke dalam kain dan mengeringkannya.

2.5.2 Sumber Limbah Cair Tekstil Pencemaran lingkungan terjadi karena adanya limbah. Industri yang menggunakan air dalam proses produksinya akan menghasilkan limbah cair. Limbah cair adalah limbah dalam wujud cair yang dihasilkan oleh kegiatan industri yang dibuang ke lingkungan dan diduga dapat menurunkan kualitas lingkungan (Kepmen LH No. 51 Tahun 1995). Limbah yang dihasilkan oleh industri tekstil terdiri dari limbah B3, cair, padat dan gas. Sumber limbah padat yang utama adalah lumpur yang dihasilkan dari pengolahan limbah cair secara kimia. Limbah lain yang mungkin perlu ditangani adalah sisa kain, minyak, dan lateks. Limbah B3 industri tekstil dapat berasal dari proses penyempurnaan (finishing) tekstil, pencelupan (dyeing), dan percetakan (printing) bahan tekstil maupun lumpur (sludge) dari IPAL yang mengandung logam berat. Sementara itu, sumber pencemaran udara berupa gas

dan debu berasal dari proses pemintalan, penenunan, pencelupan, dan penyempurnaan serta peralatan produksi seperti steam boiler (mesin uap). Limbah cair tekstil dihasilkan dari proses pengkajian, proses penghilangan kanji, pengelantangan, pemasakan, merserisasi, pewarnaan, pencetakan, dan penyempurnaan. Proses penyempurnaan biasanya terdiri dari pengulangan prosesproses sebelumnya. Proses-proses ini menghasilkan limbah cair dengan volume besar, pH yang sangat bervariasi, dan beban pencemaran yang tergantung pada proses dan zat kimia yang digunakan. Proses penyempurnaan kapas menghasilkan limbah yang lebih banyak dan lebih kuat dari pada limbah dari proses penyempurnaan bahan sistesis. Proses pengkajian dan penghilangan kanji mengandung zat kimia untuk mengkanji dan biasanya memberikan BOD paling banyak dibanding dengan proses-proses lain. Pemasakan kapas dan pengelantangan merupakan sumber limbah cair yang penting, karena menghasilkan asam, basa, COD, BOD, padatan tersuspensi, dan zat-zat kimia. Pewarnaan dan pembilasan juga menghasilkan air limbah berwarna yang mengandung COD tinggi. Proses pencetakan menghasilkan limbah lebih sedikit daripada pewarnaan (Potter et al, 1994).

2.5.3 Baku Mutu Limbah Cair Tekstil Kegiatan industri mempunyai potensi menimbulkan pencemaran air. Pencemaran air adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia, sehingga kualitas air turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya (Kepmen LH No. 51 Tahun 1995).

Pemerintah dalam hal ini Menteri Negara Lingkungan Hidup telah menetapkan baku mutu limbah cair bagi kegiatan industri yang ditetapkan dalam Kepmen LH No. 51 Tahun 1995. Penetapan Baku Mutu Limbah Cair bagi Kegiatan Industri di Jawa Barat dituangkan dalam Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No. 6 Tahun 1999. Parameter utama pencemaran air untuk industri tekstil adalah TSS, BOD, COD, pH, krom total, fenol, amonia, sulfida, serta minyak dan lemak. BOD (Biological Oxygen Demand) adalah jumlah oksigen yang di dibutuhkan (mg oksigen) oleh mikroba aerobik untuk menguraikan bahan organik terurai dalam waktu 5 hari pada 1 liter limbah cair. COD (Chemical Oxygen Demand) adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bahan oksidan, untuk menguraikan seluruh bahan organik secara kimiawi yang terkandung dalam 1 liter limbah cair. TSS (Total Suspended Solid) menunjukkan berat padatan yang berukuran lebih besar dari 2 mikron di dalam 1 liter limbah (Yuwono dan Adinugroho, 2006). Parameter karakteristik menunjukkan jumlah atau konsentrasi dari suatu jenis pencemar misal BOD, COD, TSS. Parameter tersebut dijadikan acuan batas maksimal limbah yang boleh dibuang oleh industri atau sering disebut juga baku mutu limbah. Tabel 2 menunjukkan parameter baku mutu limbah cair untuk industri tekstil berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Tingkat I Jawa Barat No. 6 Tahun 1999.

Tabel 2. Baku Mutu Limbah Cair Industri Tekstil No. Parameter Satuan Kadar Beban Pencemaran Maksimum Maksimum Kg/ton Produksi Kg/hari 1. BOD5 mg/l 60 6,000 90,000 2. COD mg/l 150 15,000 225,000 3. TSS mg/l 50 5,000 75,000 4. Fenol Total mg/l 0,5 0,050 0,750 5. Krom Total (Cr) mg/l 1,0 0,100 1,500 6. Amonia Total mg/l 8,0 0,800 12,000 7. Sulfida (S) mg/l 0,3 0,30 0,450 8. Minyak&lemak mg/l 3,0 0,300 4,500 9. pH 6,0-9,0 10. Debit m3/bulan 45.000 Sumber: Surat Keputusan Gubernur Tingkat I Jawa Barat No. 6 Tahun 1999

2.6 Indikator dan Pengamatan Pencemaran Air Indikator atau tanda bahwa air lingkungan telah tercemar yaitu adanya perubahan yang dapat diamati melalui antara lain: (1) perubahan suhu air; (2) perubahan pH; (3) perubahan warna, bau, dan rasa air; (4) timbulnya endapan, koloidal, bahan terlarut; (5) adanya mikroorganisme; dan (6) meningkatnya radioaktivitas air lingkungan. Berdasarkan cara pengamatannya, pengamatan indikator pencemaran air lingkungan dapat digolongkan menjadi 3 yaitu: 1. Pengamatan secara fisik, yaitu pengamatan pencemaran berdasarkan tingkat kejernihan air (kekeruhan), perubahan suhu air, perubahan rasa, dan warna air. 2. Pengamatan secara kimia, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan zat kimia yang terlarut (BOD, COD) dan perubahan pH. 3. Pengamatan secara biologis, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan mikroorganisme yang ada di dalam air, terutama ada-tidaknya bakteri patogen (penyebab timbulnya penyakit).

Ketiga macam pengamatan tersebut di atas tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya. Masing-masing saling mengisi agar diperoleh hasil pengamatan yang lengkap dan cermat (Wardana, 2007).

2.7 Klasifikasi dan Kriteria Mutu Air Menurut PP RI No. 82 Tahun 2001 Tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air bahwa klasifikasi mutu air ditetapkan menjadi empat kelas yaitu sebagai berikut: 1. Kelas satu, air yang peruntukkannya dapat digunakan untuk air baku air minum, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; 2. Kelas dua, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi air, pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; 3. Kelas tiga, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertanaman, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut; 4. Kelas empat, air yang peruntukannya dapat digunakan untuk mengairi pertanaman dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan mutu air yang sama dengan kegunaan tersebut. Kriteria mutu air berdasarkan kelas menurut PP RI No. 82 Tahun 2001 dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3. Kriteria Mutu Air Berdasarkan Kelas Menurut PP RI No. 82 Tahun 2001 Parameter Satuan Kelas Keterangan I II III IV BOD mg/l 2 3 6 12 Angka batas minimum COD mg/l 10 25 50 100 Sumber: Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2001

2.8 Penelitian Terdahulu 2.8.1 Industri Tekstil Penelitian mengenai industri tekstil antara lain telah dilakukan oleh Purnamasari (2001), yaitu tentang pengaruh penggunaan faktor–faktor produksi terhadap jumlah dan debit serta aspek finansial pengolahan limbah cair industri tekstil. Berdasarkan penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa motivasi perusahaan untuk mendirikan IPAL dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor dari dalam dan luar perusahaan. Keputusan perusahaan untuk mendirikan fasilitas pengolahan industri didasari oleh kesadaran perusahaan bahwa adanya IPAL akan membantu terciptanya hubungan baik antara perusahaan dengan masyarakat sekitar, pemerintah, dan konsumen pasar sasaran produknya. Penelitian lain mengenai pengolahan limbah cair industri tekstil diperlukan untuk mendukung penelitian ini. Penelitian mengenai studi aspek teknologi penanganan limbah cair industri tekstil di PT. UNITEX Bogor yang dilakukan oleh Sitorus (1993). Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa air limbah yang dihasilkan oleh proses produksi pabrik tekstil PT. UNITEX telah ditangani dengan baik. Proses penanganan limbah cair PT. UNITEX terdiri dari tiga tahapan proses, yaitu proses primer, proses sekunder, dan proses tersier. Proses biologi yang terdapat pada IPAL PT. UNITEX menggunakan lumpur aktif dengan sistem

kolam aerasi. Berbagai permasalahan yang ada dalam proses penanganan limbah cair PT. UNITEX dapat diatasi dengan baik. 2.8.2 Willingness to Accept (WTA) Harianja (2006) yang meneliti mengenai analisis Willingness to Accept masyarakat terhadap tempat pembuangan akhir sampah Bantargebang dengan pendekatan Contingent Valuation Method (kasus Kelurahan Ciketing Kecamatan Bantargebang Kota Bekasi). Penelitian menggunakan responden anggota masyarakat yang tinggal di wilayah Ciketing Udik. Hasil penelitian menunjukkan, nilai WTA responden Ciketing Udik dipengaruhi oleh faktor tingkat pendidikan, jumlah tanggungan, jarak tempat tinggal, ada tidaknya biaya yang dikeluarkan untuk menanggulangi dampak dari TPA sampah dan penilaian responden terhadap pengolahan sampah yang dilakukan selama ini. Nilai dugaan rataan WTA responden adalah Rp 24.300,00/ton sampah yang masuk ke TPA Sampah Bantargebang. Nilai total WTA untuk masyarakat Ciketing Udik adalah Rp 118.259.983,80/ton sampah dan nilai total kompensasi yang dapat diperoleh adalah Rp 481.140.000,00/bulan. Penelitian lain dilakukan oleh Qomariah (2005) mengenai analisis Willingness to Pay dan Willingness to Accept masyarakat terhadap pengelolaan sampah (studi kasus TPA Galuga, Cibungbulang, Bogor). Respondennya adalah rumah tangga di Kota Bogor, pedagang di tujuh unit pasar traditional di Kota Bogor, dan masyarakat Desa Galuga. Kesimpulan yang diperoleh, faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya nilai WTA masyarakat Galuga terhadap penerimaan kompensasi adalah tingkat pendapatan dan jarak tempat tinggal dengan lokasi TPA. Besarnya nilai WTA dari masyarakat di Desa Galuga

berdasarkan dugaan rataan hitungnya (EWTA) sebesar Rp 21.979,17 per bulan sedangkan WTA agregat (TWTA) adalah sebesar Rp 114.950.000,00 per bulan. Utari (2006) juga melakukan penelitian mengenai analisis Willingness to Pay dan Willingness to Accept masyarakat terhadap pembuangan akhir sampah Pondok Rajeg Kabupaten Bogor. Hasil penelitian menunjukkan, nilai dugaan rataan WTA responden adalah Rp 37.300,00/KK/bulan, nilai tengah WTA Rp 35.300,00/KK/bulan, dan totalnya Rp 1.194.000,00/bulan. Nilai WTA responden tersebut dipengaruhi oleh faktor tingkat pendapatan, jarak tempat tinggal dengan lokasi TPA sampah, dan tingkat gangguan yang dialami responden akibat keberadaan TPA sampah.

2.9 Keunggulan Penelitian Penelitian mengenai pajak lingkungan pada industri tekstil ini merupakan penelitian pertama yang belum pernah ada sebelumya terutama yang dilakukan oleh mahasiswa di IPB. Penentuan pajak lingkungan dalam penelitian ini juga menggunakan perpotongan kurva antara MAC dan MD sehingga dilihat baik dari sisi perusahaan serta masyarakat agar terbentuk tingkat pajak lingkungan yang optimal. Dengan demikian penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan pajak lingkungan.

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Teoritis 3.1.1 Konsep Kesediaan untuk Menerima (Willingness to Accept/WTA) Willingness to Accept (WTA) menunjukkan seberapa kemampuan individu menerima kerusakan yang terjadi pada lingkungan. Berbeda halnya dengan WTP, WTA tidak terkait dengan pendapatan. Kecenderungannya, ketika seseorang ditanya tentang kesediaan menerima, jawaban mereka dapat lebih tinggi dari kesediaan untuk membayar pada jenis barang dan jasa lingkungan yang sama. Kesediaan untuk menerima (WTA) merupakan suatu ukuran dalam konsep penilaian ekonomi dari barang/jasa lingkungan yang memberikan informasi tentang besarnya dana kompensasi yang bersedia diterima masyarakat terhadap penurunan kualitas lingkungan disekitarnya yang setara dengan biaya perbaikan kualitas lingkungan tersebut. Penilaian barang/jasa lingkungan dari sisi WTA mempertanyakan seberapa besar jumlah minimum uang yang bersedia diterima seseorang (rumah tangga) setiap bulan/tahun sebagai kompensasi atas diterimanya kerusakan lingkungan (Hanley dan Spash, 1993). Beberapa pendekatan yang digunakan dalam perhitungan WTA untuk menilai penurunan kondisi lingkungan, antara lain: 1. Menghitung jumlah yang bersedia diterima oleh individu untuk mengurangi dampak negatif pada lingkungan karena adanya suatu kegiatan pembangunan. 2. Menghitung pengurangan nilai atau harga dari suatu barang akibat semakin menurunnya kualitas lingkungan.

3. Melalui suatu survei untuk menentukan tingkat kesediaan masyarakat menerima dana kompensasi dalam rangka mengurangi dampak negatif pada lingkungan. Metode mempertanyakan nilai WTA (elicitation method) digunakan untuk memperoleh penawaran besarnya nilai WTA responden (penduduk). Dalam penelitian ini untuk mengetahui nilai minimum WTA digunakan metode tawar menawar (bidding game). Metode ini dilaksanakan dengan menanyakan kepada responden apakah bersedia menerima sejumlah uang tertentu yang diajukan sebagai titik awal (starting point) dan responden setuju atau tidak setuju dengan jumlah yang akan diterima. Kemudian nilai awal dinaikkan/diturunkan sampai responden menyatakan bahwa tidak mau menerima lagi penawaran yang diajukan. Penawaran yang disetujui oleh responden merupakan nilai minimum dari WTA mereka. 3.1.2 Asumsi dalam Pendekatan WTA Asumsi-asumsi yang diperlukan dalam pelaksanaan pengumpulan nilai WTA dari masing-masing responden (penduduk) adalah: 1. Responden bersedia menerima kompensasi karena mengenal dengan baik kondisi Sungai Cibudig Kelurahan Tajur Kecamatan Bogor Timur dan memiliki ketergantungan terhadap jasa lingkungan yang disediakan oleh sungai tersebut. 2. Pemerintah Kota Bogor memberikan perhatian terhadap peningkatan kualitas lingkungan termasuk pembuangan limbah cair industri tekstil yang dibuang ke Sungai Cibudig Kelurahan Tajur Kecamatan Bogor Timur.

3. Pemerintah Kota Bogor bersedia untuk memberikan dana kompensasi atas penurunan kualitas lingkungan akibat pembuangan limbah cair industri tekstil yang dibuang ke Sungai Cibudig Kelurahan Tajur Kecamatan Bogor Timur. 4. Responden dipilih dari penduduk yang relevan dimana setiap satu tempat tinggal (rumah) yang diambil dianggap sebagai satu Kepala Keluarga.

3.1.3 Metode Valuasi Kontingensi (Contingent Valuation Method/CVM) Pendekatan CVM pertama kali diperkenalkan oleh Davis pada tahun 1963. CVM merupakan suatu pendekatan yang memungkinkan untuk memperkirakan nilai ekonomi dari suatu komoditi yang tidak diperjualbelikan dalam pasar seperti barang lingkungan. Metode ini merupakan cara perhitungan secara langsung dengan titik berat preferensi individu menilai intangible goods yang penekanannya pada standar nilai uang (Hanley dan Spash, 1993). Dalam CVM digunakan pendekatan secara langsung, yang pada dasarnya menanyakan kepada masyarakat mengenai berapa besar nilai minimum dari WTA sebagai kompensasi dari kerusakan barang lingkungan. Tujuan dari CVM adalah untuk menghitung nilai atau penawaran barang publik yang mendekati nilai sebenarnya dalam pasar hipotesis yang dikondisikan bisa mendekati kondisi pasar yang sebenarnya. Asumsi dasar dari CVM adalah individu memahami benar pilihan masingmasing dan cukup mengenal kondisi lingkungan yang dinilai. Selain itu, apa yang dikatakan individu tersebut adalah sungguh-sungguh sesuai dengan keadaan jika pasar untuk intangible goods benar-benar ada. Dengan dasar asumsi tersebut CVM menilai lingkungan dengan menanyakan pertanyaan “Berapakah jumlah

minimum uang yang bersedia diterima seseorang (WTA) setiap bulan atau setiap tahun sebagai kompensasi atas diterimanya kerusakan lingkungan”. Kuesioner CVM meliputi tiga bagian, yaitu (1) pernyataan yang jelas tentang kondisi alam yang mana/bagaimana yang harus dievaluasi oleh masyarakat; (2) pertanyaan yang menjelaskan keterkaitan responden secara ekonomi : pendapatan, lokasi tempat tinggal, usia, dan pengalaman pemanfaatan sumber daya alam terkait; (3) pertanyaan tentang WTA yang diteliti. Sebelum menyusun kuesioner terlebih dahulu dibuat skenario-skenario yang diperlukan untuk membangun suatu pasar hipotesis barang publik yang menjadi pengamatan. Selanjutnya dilakukan pembuktian pasar hipotesis menyangkut pertanyaan perubahan kualitas lingkungan yang dijual atau dibeli.

3.1.4 Pajak Lingkungan Pajak lingkungan merupakan salah satu instrumen fiskal yang berperan penting dalam mengurangi kerusakan lingkungan. Secara konseptual sebagaimana disebut dalam buku Alfred Pigou,”The Economic of Welfare”, pajak lingkungan dirasionalkan sebagai upaya menginternalisasi biaya eksternal/biaya kerusakan yang tidak termasuk dalam harga pasar (pigouvian tax) ke dalam private cost (biaya perusahaan yang diperhitungkan berdasarkan laporan rugi laba), sehingga tersedia dana dalam pembiayaan lingkungan hidup untuk mengurangi pencemaran dan kerusakan lingkungan yang dapat diiringi dengan meningkatkan efisiensi produksi. Oleh karena itu, pajak lingkungan menjadi tanggung jawab perusahaan yang bersangkutan (Dhewanthi dan Apriani, 2006).

Sebagai instrumen pengelolaan lingkungan hidup, fungsi pajak lingkungan yaitu: (1) fungsi budgeter, yakni fungsi untuk mengisi kas daerah dan negara; (2) fungsi regulerend, yakni pajak juga digunakan oleh pemerintah sebagai instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah antara lain: (a) mengatur usaha atau kegiatan yang memiliki dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL); (b) mengatur usaha atau kegiatan yang membuat Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL/UKL); (c) pencegahan, pengendalian, serta penanggulangan pencemaran lingkungan; dan (d) pemberian ganti kerugian kepada “korban” pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.3 Dalam sistem pajak, pencemar diberi kebebasan untuk membuang limbah, tetapi mereka akan dikenai sanksi membayar pajak untuk setiap unit effluent (limbah cair) misalnya dalam ton yang dibuang. Esensi dari pendekatan pajak adalah untuk menyediakan insentif untuk para pencemar agar mereka mencari sendiri cara terbaik untuk mengurangi limbahnya. Dengan pajak, pencemar memiliki insentif untuk melestarikan penggunaan jasa-jasa lingkungan. 1. Dasar Ekonomi Asumsi program pajak effluent yaitu harus ada tekanan kompetitif/iklim ekonomi kompetitif yang memaksa perusahaan untuk melakukan apa saja yang dapat meminimalisir biaya. Pada perusahaan-perusahaan yang kompetitif, respon terhadap pajak akan bergantung pada dua faktor, yaitu tinginya pajak dan kecuraman kurva MAC (Marginal Abatement Cost). Semakin tinggi pajak, semakin besar pengurangan effluent, dan sebaliknya. Faktor lainnya yaitu semakin 3

Muhammad Djafar Saidi. 2007. Pajak Lingkungan; Instrumen Perlindungan Lingkungan Hidup. Situs : http://cetak.fajar.co.id/news.php?newsid=49070. (diakses tanggal 21 Maret 2008).

curam kurva MAC semakin sedikit pengurangan effluent dalam merespon suatu tingkat pajak tertentu. 2. Tingkat Besaran Pajak Besarnya tingkat pajak dapat ditentukan dengan mengetahui fungsi MAC dan MD. Abatement Cost merupakan biaya pengurangan jumlah limbah yang dibuang ke lingkungan melalui pengurangan effluent. MAC menggambarkan biaya tambahan untuk mencapai pengurangan tingkat pencemaran sebanyak satu satuan, atau bisa juga dilihat sebagai biaya yang dihemat ketika pencemaran meningkat sebesar satu satuan. MD (Marginal Damage) menunjukkan perubahan kerusakan karena perubahan jumlah limbah yang dibuang. Pajak optimal ditetapkan pada tingkat effluent efisien (MD=MAC), yaitu pada e*, sehingga tingkat pajak adalah t* dapat dilihat pada Gambar 3.

Tax (Rp)

MA

MD

MAC

f t*

c

a

0

e

d

b e1

keterangan: Total Abatement Cost (TAC) Total tagihan pajak Total biaya perusahaan Sumber: Field (1994)

e*

eo

effluent

=e = a+b+c+d = a+b+c+d+e

Gambar 3. Pajak Effluent yang Efisien

Reduksi effluent dari e0 ke e* telah mengatasi biaya kerusakan sebesar e+f. Biaya kerusakan yang tersisa yaitu (b+d) jumlahnya lebih kecil dari pada pembayaran pajak perusahaan. Flat Tax seperti ini banyak dikritik karena pembayaran pajak perusahaan dapat melebihi biaya kerusakan yang tersisa. Salah satu solusi masalah ini adalah dengan menerapkan pajak effluent dua bagian, misalnya pemerintah dapat memutuskan bahwa untuk tingkat effluent hingga sebesar e1 bebas dari pajak, tingkat effluent selebihnya dikenai pajak sebesar t*. Dengan cara seperti ini, perusahaan masih memiliki insentif untuk mengurangi tingkat emisi hingga e1, tetapi total pengeluaran pajaknya hanya sebesar c + d. Jika tidak diketahui fungsi MD, pajak dapat ditetapkan dengan mengobservasi kualitas ambang. Secara umum, makin rendah effluent, maka makin rendah konsentrasi ambang dari suatu polutan. Jadi strateginya adalah dengan menetapkan pajak pada besaran tertentu dan mengamati apakah tingkat pajak tersebut dapat memperbaiki kualitas ambang. Jika kualitas ambang tidak membaik, maka pajak dinaikkan dan sebaliknya. 3. Pajak Lingkungan dan Insentif untuk Berinovasi Sebagai

alternatif

kebijakan

lingkungan,

pajak

effluent

mampu

menciptakan insentif untuk mendorong kemajuan teknologi dalam rangka pengendalian pencemaran lingkungan. Gambar 4 menunjukkan pajak emisi dan inovasi teknologi pengurangan pencemaran. MAC1 adalah MAC perusahaan X sebelum mengadopsi teknologi baru. Jika pajak ditetapkan sebesar Rp ton/tahun, maka perusahaan X akan mengurangi tingkat effluent ke tingkat e1, dimana TAC = (d+e) dan total tagihan pajak = (a+b+c). MAC2 adalah MAC perusahaan X setelah mengadopsi teknologi baru. Dengan pajak t, effluent menjadi e2, TAC = (b+e),

tagihan pajak = a, cost saving = (c+d). Jika standar yang ditetapkan sebesar e1, cost saving dengan teknologi baru sebesar d. Kebijakan pajak effluent membuat upaya-upaya perusahaan untuk mengembangkan teknologi baru sehingga dapat menghasilkan penghematan biaya-biaya pengendalian polusi (TAC + pajak) yang lebih besar dibandingkan kebijakan penetapan standar. Dengan sistem pajak secara otomatis, perusahaan akan mengurangi effluent saat telah menemukan cara untuk menurunkan fungsi MAC, sedang sistem standar tidak dapat otomatis menghasilkan hal yang sama. Perbedaan mendasar yaitu dengan sistem pajak, pencemar harus membayar abatement cost dan tagihan pajak, sedangkan dengan sistem standar pencemar hanya membayar abatemen cost. Sehingga potensi cost saving dari teknik-teknik baru pengendalian polusi akan jauh lebih besar dibawah kebijakan sistem pajak.

Rupiah

MAC1 MAC2

t c c

a 0

b e2

d e

effluent

e1

keterangan: MAC1 = MAC sebelum mengadopsi teknologi baru MAC2 = MAC setelah mengadopsi teknologi baru Sumber: Field (1994)

Gambar 4. Pajak Effluent dan Insentif untuk R&D (Research and Development)

Berdasarkan studi mengenai aplikasi pajak lingkungan pada Negara Eropa, beberapa alasan utama mengapa pajak lingkungan diperlukan atau peran utama dari pajak lingkungan yaitu (Fachruddin, 2007): 1. Pajak lingkungan adalah instrumen yang efektif untuk menginternalisasikan biaya eksternalitas (biaya kerusakan dan pelayanan lingkungan) dimasukkan ke dalam harga barang dari suatu kegiatan ekonomi. Pajak lingkungan membantu untuk melakukan tekanan ekonomi kepada pihak-pihak yang merusak lingkungan dan dengan cara yang sama dapat mengurangi beban ekonomi kepada pihak-pihak yang ikut berkontribusi dalam menjaga lingkungan. 2. Menciptakan insentif kepada produsen dan konsumen untuk mengubah perilaku ke arah eco-efficient (ekoefisien) dalam menggunakan sumberdaya alam. 3. Memberikan stimulus untuk berinovasi dalam teknologi dengan menggunakan energi substitusi/energi terbarukan, teknologi yang ramah lingkungan. 4. Meningkatkan pendapatan yang dapat digunakan kembali untuk memperbaiki kerusakan lingkungan. 5. Membuat biaya menjadi efektif dengan cara memberikan pilihan terhadap pencemar yaitu dengan cara membayar pajak berdasarkan tingkat pencemaran yang ditimbulkan, mengurangi produksi, atau menggunakan teknologi pencegah polusi. 6. Merupakan alat kebijakan yang efektif untuk mengatasi masalah prioritas lingkungan seperti emisi kendaraan, limbah, bahan kimia yang dipakai dalam sektor pertanian.

Jadi pada dasarnya ada dua tujuan yang hendak dicapai melalui mekanisme pajak lingkungan, pertama adalah meningkatkan pendapatan dan kedua adalah mengatasi eksternalitas. Melalui mekanisme pajak maka pihak pencemar akan diberikan pilihan, apakah akan dikenakan denda sebagai akibat dari polusi yang ditimbulkannya atau mengeluarkan biaya investasi (abatement cost) untuk mengurangi polusi seperti yang disyaratkan. Objek dari pajak lingkungan adalah biaya eksternalitas lingkungan yang terdapat dalam harga, sehingga konsumen dan produsen memiliki insentif untuk membatasi/mengurangi polusi dan memperlakukan sumberdaya alam dengan cara lebih bertanggung jawab. Harga setiap unit produk seharusnya merefleksikan biaya sebenarnya dari penggunaan sumberdaya alam tersebut dan harga barang juga sekaligus akan memotivasi masyarakat untuk menggunakan sumberdaya alam dengan cara yang bijaksana dan kesadaran yang tinggi.

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional Perkembangan sektor industri selain memberikan dampak positif bagi perekonomian nasional tetapi di sisi lain membawa masalah terhadap kondisi lingkungan. Dampak positif perkembangan industri antara lain membuka lapangan kerja, meningkatkan devisa negara, serta menyumbang terhadap pendapatan nasional. Perkembangan sektor industri juga memberikan dampak negatif yang tidak bisa dihindari yaitu menimbulkan pencemaran karena dalam setiap proses produksinya menghasilkan limbah yang dapat menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan. Perkembangan kondisi dan kualitas lingkungan di Indonesia yang semakin memprihatikan karena kerusakan

lingkungan semakin parah diikuti dengan pembuangan limbah secara terus menerus maka akan menimbulkan pencemaran. Dalam rangka untuk mengatasi persoalan pencemaran lingkungan, pemerintah Indonesia merencanakan pemberlakuan pajak lingkungan. Wacana pemberlakuan pajak lingkungan diusulkan akan ditetapkan sebesar 0,5 persen dari omzet perusahaan kepada industri manufaktur yang beromzet di atas Rp 300 juta per tahun. Pajak lingkungan yang diusulkan oleh pemerintah tersebut mencerminkan ketidakadilan dari sisi lingkungan. Perusahan yang omzetnya di atas Rp 300 juta tetapi telah memiliki sistem IPAL yang baik artinya perusahaan tersebut tidak berkontribusi terhadap percemaran lingkungan sehingga tidak perlu dikenakan pajak sedangkan industri-industri kecil (omzetnya di bawah Rp 300 juta) yang tidak memiliki sistem IPAL berarti membuang limbah yang sangat berbahaya bagi lingkungan akan dibiarkan mencemari lingkungan tanpa dipungut biaya dari pajak lingkungan tersebut. Salah satu industri yang termasuk industri manufaktur adalah industri tekstil. Industri tekstil dalam produksinya menghasilkan kain sebagai produk utamanya. Dalam proses produksinya, industri tekstil menghasilkan limbah baik berupa limbah cair, padat, dan gas. Limbah yang memberikan dampak negatif yang luas adalah limbah cair. Limbah cair tekstil mengandung bahan-bahan pencemar sehingga membahayakan bagi lingkungan, karena dalam proses produksinya limbah cair tekstil membutuhkan air dalam jumlah yang banyak dan menggunakan bahan kimia dengan kandungan BOD dan COD yang tinggi. Limbah cair industri tekstil berasal dari proses pengkajian, proses penghilangan kanji, pengelantangan, pemasakan, merserisasi, pewarnaan,

pencetakan, dan proses penyempurnaan. Proses penyempurnaan biasanya terdiri dari pengulangan proses sebelumnya sehingga menghasilkan air limbah dengan volume besar, pH yang sangat bervariasi dan beban pencemaran yang tergantung pada proses dan zat kimia yang digunakan. Dampak negatif yang dihasilkan limbah cair industri antara lain membahayakan bagi kesehatan manusia, merusak keindahan (aestetika) akibat bau busuk, membunuh organisme yang hidup di air. Penelitian ini memiliki beberapa tujuan antara lain mengestimasi tambahan biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk mengurangi satu-satuan konsentrasi parameter limbah cair (MAC/Marginal Abatement Cost) dengan menggunakan pendekatan biaya rata-rata (average cost pricing). Hasilnya dapat digunakan untuk menentukan persamaan MAC PT. UNITEX. Mengingat besarnya dampak yang harus diterima oleh masyarakat maka diperlukan estimasi mengenai tambahan biaya kerusakan yang diterima masyarakat akibat pencemaran air sungai (MD/Marginal Damage), melalui pendekatan nilai Willingness to Accept (WTA) dengan metode Contingent Valuation Method (CVM). Besarnya nilai MD yang diterima masyarakat tersebut dapat digunakan untuk menentukan persamaan MD masyarakat. Estimasi nilai penetapan pajak lingkungan yang optimal terhadap pencemaran limbah cair industri tekstil berdasarkan polluter pays principle diperoleh dari hasil perhitungan pertemuan antara persamaan MAC dengan MD (MAC=MD). Dalam penelitian ini, penulis membuat alur berfikir untuk memudahkan pelaksanaan penelitian. Adapun alur pemikiran operasional yang dibuat oleh penulis dapat dilihat pada Gambar 5.

Perkembangan Sektor Industri Dampak Positif: -membuka lapangan kerja -meningkatkan devisa -penyumbang pendapatan nasional Azas Ketidakadilan dalam Penentuan Pajak Lingkungan

Limbah Padat, Gas, Debu

Mengestimasi tambahan biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk mengurangi satu-satuan konsentrasi parameter limbah cair (MAC/Marginal Abatement Cost) Pendekatan Biaya Rata-Rata (Avarage Cost Pricing)

Dampak Negatif: Pencemaran Lingkungan Wacana Pemberlakuan Pajak Lingkungan terhadap Industri Manufaktur Industri Tekstil

Limbah Cair

Mengestimasi tambahan biaya kerusakan yang diterima masyarakat akibat pencemaran air sungai (MD/Marginal Damage)

Pendekatan CVM (Contingent Valuation Method) Persamaan MD

Persamaan MAC

Nilai Pajak Lingkungan yang Optimal : tidak termasuk obyek penelitian : batasan penelitian lebih spesifik

Gambar 5. Diagram Alur Kerangka Berfikir

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada industri tekstil PT. UNITEX, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor dan masyarakat Kelurahan Tajur khususnya RT 01 RW 06, Kecamatan Bogor Timur, Kota Bogor. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive), karena PT. UNITEX sebagai polluter penghasil limbah cair dan merupakan satu-satunya industri tekstil yang masih aktif berproduksi di Kota Bogor. Masyarakat Kelurahan Tajur khususnya RT 01 RW 06 tersebut sebagai pollution sufferer yaitu masyarakat yang merasakan dampak dari pencemaran air Sungai Cibudig yang merupakan badan penerima dari pembuangan air limbah PT. UNITEX. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Februari - September 2008.

4.2 Metode Pengambilan Sampel Pengambilan sampel masyarakat di Kelurahan Tajur dilakukan dengan teknik purposive sampling. Pada teknik purposive sampling, sampel yang diambil harus memenuhi penilaian atau kriteria tertentu sesuai dengan masalah yang dikaji dalam penelitian. Responden yang diambil dalam penelitian ini adalah warga yang bertempat tinggal di sempadan Sungai Cibudig, memiliki ketergantungan kepada jasa lingkungan yang disediakan oleh Sungai Cibudig, dan tidak memiliki hubungan kerja dengan PT. UNITEX.

Metode pengambilan data dilakukan dengan mengambil secara acak 41 orang dari 70 warga yang memenuhi kriteria sebagai responden di Kelurahan Tajur. Jumlah responden diperoleh dari perhitungan rumus Slovin (Umar, 2005):

n=

N 1 + Ne 2

dimana: n = Ukuran sampel N = Ukuran populasi e = Persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir atau diinginkan. Dalam penelitian ini, jumlah populasi kepala keluarga di Kelurahan Tajur RT 01 RW 06 sejumlah 70 orang dan menggunakan 10 persen kelonggaran ketidaktelitian dengan pertimbangan bahwa penelitian ini termasuk sosial ekonomi sehingga error maksimum, yaitu 20 persen. Dengan demikian, jumlah sampel adalah sebesar 41 orang dengan perhitungan sebagai berikut :

n=

70

1 + 70(0,102 ) = 41,17 ≈ 41 orang 4.3 Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara secara langsung dengan masyarakat yang bertempat tinggal di sempadan Sungai Cibudig dan berpedoman pada kuesioner. Data primer yang digunakan meliputi karakteristik seluruh responden dan respon responden mengenai seberapa besar nilai WTA terhadap dampak negatif dari pencemaran air sungai yang disebabkan pembuangan limbah cair PT. UNITEX. Data sekunder meliputi data-data dari instansi terkait dan data lainnya yang relevan dengan tujuan dalam penelitian ini.

4.4 Metode Analisis Data Data yang diperoleh dalam penelitian dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif dilakukan dengan menggunakan analisis deskriptif untuk mengkaji karakteristik sosial ekonomi masyarakat Kelurahan Tajur. Analisis kuantitatif dilakukan dengan menggunakan pendekatan biaya rata-rata, pendekatan CVM, regresi linier berganda, dan pendekatan persamaan garis linier dua titik. Pengolahan dan analisis data menggunakan komputer dengan program Microsoft Office Excel dan Eviews 4.1. Pada Tabel 4 ditampilkan matriks metode analisis yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian ini. Tabel 4. Matriks Metode Analisis Data No Tujuan Penelitian Sumber Data 1. Mengestimasi tambahan biaya Data sekunder yang diperoleh yang dikeluarkan perusahaan dari perusahaan PT. UNITEX untuk mengurangi satu-satuan konsentrasi parameter limbah cair (MAC/Marginal Abatement Cost). 2. Mengestimasi tambahan biaya Wawancara dengan penduduk kerusakan yang diterima yang menjadi responden masyarakat akibat pencemaran dalam penelitian masyarakat air sungai (MD/Marginal (menggunakan kuesioner) dan Damage) tingkat pencemaran air sungai diperoleh dari uji analisa laboratorium 3. Mengestimasi nilai penetapan Data sekunder yang diperoleh pajak lingkungan yang dari perusahaan PT. UNITEX optimal terhadap pencemaran dan wawancara dengan limbah cair industri tekstil penduduk yang menjadi berdasarkan polluter pays responden dalam penelitian principle. masyarakat (menggunakan kuesioner)

Analisis Data Pendekatan Biaya Rata-Rata (Average Cost Pricing)

Pendekatan CVM (Contingent Valuation Method)

Persamaan Garis Linier Dua Titik

4.4.1 Estimasi Nilai Marginal Abatement Cost (MAC) Untuk mengestimasi nilai MAC yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan pendekatan biaya rata-rata (average cost pricing). Pendekatan biaya rata-rata dilakukan dengan melihat perbandingan persentase pengurangan konsentrasi parameter limbah cair (BOD, COD) sebelum dan sesudah IPAL (inlet-outlet) terhadap total biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam memproses air limbah setiap bulannya (Total Abatement Cost/TAC). Dari hasil perhitungan ini dapat diketahui nilai rata-rata MAC setiap 1 mg/l untuk masing-masing parameter. Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Menghitung Rataan Konsentrasi Parameter Setelah data mengenai konsentrasi parameter limbah cair yang terdiri dari BOD dan COD didapatkan. Konsentrasi parameter limbah cair tersebut kemudian dikelompokkan menjadi dua yaitu konsentrasi parameter sebelum diolah dengan IPAL (inlet) dan setelah diolah dengan IPAL (outlet). Rataan untuk setiap parameter limbah diperoleh dengan cara menjumlahkan masing-masing parameter limbah, kemudian dibagi dengan banyaknya jumlah bulan yang diketahui. Untuk mengetahui rataan konsentrasi parameter limbah cair sebelum diolah dengan IPAL (inlet) dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: ∑ Bi  Parameter BOD : Bi = n dimana: = Rataan BOD inlet (mg/l) Bi = Konsentrasi BOD inlet setiap bulan (mg/l) Bi n = Jumlah bulan yang diketahui ∑ = Jumlah

 Parameter COD : Ci =

∑ Ci n

dimana: = Rataan COD inlet (mg/l) Ci = Konsentrasi COD inlet setiap bulan (mg/l) Ci n = Jumlah bulan yang diketahui ∑ = Jumlah Sementara itu, untuk mengetahui rataan konsentrasi parameter limbah cair setelah diolah dengan IPAL (outlet) dihitung menggunakan rumus sebagai berikut:

 Parameter BOD : Bo =

∑ Bo n

dimana:

Bo Bo n ∑

= Rataan BOD outlet (mg/l) = Konsentrasi BOD outlet setiap bulan (mg/l) = Jumlah bulan yang diketahui = Jumlah

 Parameter COD: Co =

∑ Co n

dimana:

Co Co n ∑

= Rataan COD inlet (mg/l) = Konsentrasi COD inlet setiap bulan (mg/l) = Jumlah bulan yang diketahui = Jumlah

Tahap selanjutnya yaitu perhitungan rataan pengurangan konsentrasi inlet dengan outlet untuk masing-masing parameter, menggunakan rumus sebagai berikut:

 Parameter BOD : Bi-o =

∑ Bi-o n

dimana:

Bi-o Bi-o n ∑

= Rataan BOD inlet-outlet (mg/l) = Konsentrasi BOD inlet-outlet setiap bulan (mg/l) = Jumlah bulan yang diketahui = Jumlah

 Parameter COD: Ci-o =

∑ Ci-o n

dimana: = Rataan COD inlet-outlet (mg/l) = Konsentrasi COD inlet-outlet setiap bulan (mg/l) = Jumlah bulan yang diketahui = Jumlah

Ci-o Ci-o n ∑

2. Menghitung Persentase Pengurangan Konsentrasi Parameter Inlet dengan Outlet Setelah pengurangan konsentrasi inlet-outlet untuk masing-masing parameter dihitung. Tahap selanjutnya yaitu perhitungan persentase pengurangan konsentrasi inlet-outlet untuk masing-masing parameter dengan rumus sebagai berikut:

 Parameter BOD : % Bi − o =

Bi-o x 100 % ∑ BCi-o

dimana: % Bi − o

= Persentase pengurangan konsentrasi BOD inlet-outlet (%)

Bi-o

= Rataan BOD inlet-outlet (mg/l)

BCi-o ∑

= Rataan BOD inlet-outlet dan COD inlet-outlet = Jumlah

 Parameter COD : % Ci − o =

Ci-o

∑ BCi-o

x 100 %

dimana: % Ci − o

= Persentase pengurangan konsentrasi COD inlet-outlet (%)

Ci-o

= Rataan COD inlet-outlet (mg/l)

BCi-o ∑

= Rataan BOD inlet-outlet dan COD inlet-outlet = Jumlah

3. Memperoleh Nilai Marginal Abatement Cost (MAC) Sebelum memperoleh nilai rataan MAC per 1 mg/l, terlebih dahulu harus diketahui MAC per 1 mg/l setiap bulannya berdasarkan pengurangan konsentrasi inlet-outlet dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

 Untuk parameter BOD : MAC dimana: MACBOD % Bi − o Bi-o TAC

BOD

% Bi − o x TAC Bi-o

= Marginal Abatement Cost BOD per 1 mg/l (rupiah) = Persentase pengurangan konsentrasi BOD inlet-outlet (%) = Konsentrasi BOD inlet-outlet setiap bulan (mg/l) = Total Abatement Cost yaitu biaya total yang dikeluarkan perusahaan dalam proses air limbah (rupiah/bulan)

 Untuk parameter COD : MAC COD = dimana: MACCOD % Ci − o Ci-o TAC

=

% Ci − o x TAC Ci-o

= Marginal Abatement Cost COD per 1 mg/l (rupiah) = Persentase pengurangan konsentrasi COD inlet-outlet (%) = Konsentrasi COD inlet-outlet setiap bulan (mg/l) = Total Abatement Cost yaitu biaya total yang dikeluarkan perusahaan dalam proses air limbah (rupiah/bulan)

Setelah diketahui nilai MAC per 1 mg/l setiap bulan, kemudian dapat diperoleh rataan nilai MAC per 1 mg/l dengan menggunakan rumus sebagai berikut: MAC =

dimana: MAC MAC n ∑

∑ MAC n

= Rataan MAC (rupiah) = Marginal Abatement Cost setiap 1 mg/l (rupiah) = Jumlah bulan yang diketahui = Jumlah

4.4.2 Estimasi Persamaan dan Kurva Marginal Abatement Cost (MAC) Secara umum MAC merupakan turunan dari TAC (Total Abatement Cost), adalah sebagai berikut: d Total Abatement Cost d Konsentrasi Limbah Cair

MAC =

TAC adalah total biaya perusahaan untuk mengurangi konsentrasi parameter limbah (mg/l) yang dibuang ke lingkungan. Dalam penelitian ini, persamaan MAC diperoleh dengan menggunakan persamaan garis linier dua titik. Persamaan garis linier dua titik diperoleh melalui rumus sebagai berikut: Y − Y1 X − X1 = Y 2 − Y1 X 2 − X1

Kurva MAC merupakan titik yang menggambarkan hubungan antara tingkat pencemaran maksimum dengan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan (rupiah). Kurva MAC berslope negatif yang dimulai dari tingkat pencemaran maksimum, seiring pengurangan konsentrasi parameter yang semakin besar maka biaya tambahan (marginal cost) untuk mencapai pengurangan selanjutnya akan meningkat. Kurva MAC dapat dilihat pada Gambar 6 di bawah ini. Rupiah MAC

Gambar 6. Kurva MAC

konsentrasi parameter limbah cair (mg/l)

4.4.3 Estimasi Nilai Marginal Damage (MD) Estimasi nilai MD didekati menggunakan nilai total WTA masyarakat. Untuk mengetahui nilai WTA masyarakat digunakan pendekatan CVM dengan enam tahapan pekerjaan (Hanley dan Spash, 1993) yaitu: 1. Membangun Pasar Hipotesis (Setting Up The Hypothetical Market) Langkah pertama dalam menjalankan CVM adalah membangun pasar hipotesis dan pertanyaan mengenai nilai barang/jasa lingkungan. Pasar hipotesis tersebut membangun suatu alasan mengapa masyarakat seharusnya menerima kompensasi dari dipergunakannya jasa lingkungan oleh pihak lain dimana tidak terdapat nilai dalam mata uang berapa harga barang/jasa lingkungan. Pasar hipotesis dalam penelitian ini dibentuk atas dasar tingkat pencemaran. Besar kecilnya tingkat pencemaran dapat dilihat dari konsentrasi parameter pencemar yang terkandung dalam air sungai seperti BOD, COD. Terjadinya pencemaran air sungai mengakibatkan penurunan terhadap kualitas air sehingga berkurangnya manfaat jasa lingkungan yang dapat digunakan oleh masyarakat. Informasi yang diberikan kepada responden yaitu mengenai kondisi air sungai sebelum ada pencemaran, kondisi aktual Sungai Cibudig sebelum dan setelah

terkontaminasi

pembuangan

air

limbah

PT.

UNITEX

beserta

kerugian/dampak negatif yang harus ditanggung oleh masyarakat khususnya pengguna sungai. Dengan penjelasan tersebut diharapkan responden dapat membandingkan nilai WTA sesuai dengan kerugiannya. Besarnya dana kompensasi mempresentasikan kerugian akibat menurunnya jasa lingkungan yang seharusnya dapat dinikmati masyarakat.

Berdasarkan pasar hipotesis tersebut, selanjutnya dibuat skenario sebagai berikut: Untuk dapat menilai kerugian lingkungan akibat pencemaran air yang disebabkan oleh pembuangan air limbah, maka responden dihadapkan pada dua kondisi, yaitu: Kondisi I: Responden diberikan penjelasan mengenai kondisi air sungai di bagian hulu sebelum terjadi pencemaran dengan konsentrasi ambang untuk parameter BOD sebesar 2 mg/l dan COD sebesar 10 mg/l. Konsentrasi tersebut termasuk dalam kriteria klasifikasi mutu air sungai kelas satu dalam PP RI No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air yang menunjukkan air sungai masih bisa dimanfaatkan untuk seluruh keperluan rumah tangga termasuk keperluan air baku air minum artinya jasa air sungai seluruhnya masih bisa dimanfaatkan oleh masyarakat. Penjelasan selanjutnya yang diberikan yaitu mengenai kondisi aktual Sungai Cibudig sebelum terkontaminasi pembuangan air limbah PT. UNITEX. Pengambilan data ini dilakukan pada musim kemarau (11 Juli 2008). Hasil analisis

laboratorium

terhadap

dua

parameter

lingkungan

menunjukkan

konsentrasi BOD sebesar 6,6356 mg/l dan COD sebesar 13,5028 mg/l. Dalam penelitian ini, untuk menentukan klasifikasi kelas mutu air terhadap kondisi Sungai Cibudig sebelum dan setelah terkontaminasi pembuangan air limbah PT. UNITEX didasarkan pada konsentrasi parameter COD. Hal ini dikarenakan konsentrasi COD dapat melihat seluruh kandungan senyawa organik dalam air sungai baik senyawa organik terurai maupun senyawa organik sulit terurai.

Dengan demikian kondisi di atas berdasarkan konsentrasi COD termasuk ke dalam klasifikasi mutu air kelas dua dalam PP RI 82/2001. Klasifikasi ini menunjukkan bahwa air sungai sudah tidak layak lagi digunakan untuk air baku air minum artinya telah mengalami perubahan berupa penurunan kualitas air sungai yang berarti masyarakat telah mengalami kerugian apabila dibandingkan dengan kondisi air di hulu. Kondisi II: Menggambarkan keadaan Sungai Cibudig yang sudah tercemar oleh pembuangan air limbah PT. UNITEX. Kondisi ini didukung dengan hasil analisis terhadap parameter BOD dan COD yang hasilnya BOD sebesar 11,8130 mg/l dan COD sebesar 191,5 mg/l. Nilai-nilai tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hasil analisis terhadap sampel air Sungai Cibudig sebelum pembuangan air limbah UNITEX. Berdasarkan kandungan konsentrasi COD tersebut maka kondisi air Sungai Cibudig tersebut menurut PP RI 82/2001 termasuk klasifikasi mutu air kelas empat. Klasifikasi ini menunjukkan air sungai sudah tidak dapat dimanfaatkan untuk seluruh keperluan rumah tangga (mandi, mencuci, masak) terkecuali masih bisa digunakan untuk mengairi pertanaman serta kondisi ini dapat menimbulkan berbagai penyakit bagi manusia. Hal tersebut di atas menunjukkan bahwa semakin tingginya konsentrasi parameter pencemar maka tingkat pencemaran air semakin tinggi sehingga semakin bertambah kerugian yang harus dirasakan oleh masyarakat. Untuk mengetahui nilai kerugian masyarakat akibat pembuangan air limbah PT. UNITEX ke sungai, dapat diketahui dengan menanyakan berapa besar kompensasi/ganti rugi per bulan yang

bersedia diterima oleh masyarakat sebagai pengganti dari jasa lingkungan yang hilang?

2. Memperoleh Nilai Penawaran WTA (Obtaining Bids) Setelah kedua kondisi di atas jelas dan responden untuk kedua kondisi tersebut telah ditentukan. Langkah selanjutnya adalah upaya untuk mendapatkan nilai WTA melalui survei langsung. Kegiatan survei dirancang untuk wawancara langsung dengan responden yang dipandu oleh kuesioner. Tujuan dari survei yaitu untuk memperoleh nilai minimum kesediaan menerima (WTA) dari responden terhadap kehilangan jasa lingkungan. Dalam wawancara dipersiapkan sedemikian rupa sehingga terjadi mekanisme tawar-menawar (bidding game) mengenai besaran dana kompensasi atas kerugian jasa lingkungan. Tawar menawar dimulai dari tawaran tertinggi kemudian menurun secara pasti hingga tercapai batas maksimal menurut responden, atau sebaliknya pewawancara memulai dengan nilai rendah kemudian naik perlahan hingga diketahui nilai yang tepat menurut responden. Pada kasus bidding game, kuesioner menyarankan penawaran pertama (nilai awal dari penawaran) dan responden setuju atau tidak setuju jumlah yang akan mereka mereka terima setiap bulan/setiap tahunnya. Selanjutnya, nilai awal (the starting point price) diturunkan/dinaikkan untuk melihat apakah responden masih mau menerima hal tersebut dan seterusnya sampai responden menyatakan bahwa tidak mau menerima lagi dalam penawaran yang terus diajukan. Penawaran terakhir yang disetujui oleh responden merupakan nilai minimum dari WTA mereka.

3. Menghitung Dugaan Nilai Rataan WTA (Estimating Mean WTA/EWTA) Setelah data mengenai nilai WTA didapatkan, tahap selanjutnya adalah penghitungan nilai rata-rata (mean) dari WTA tersebut. Dugaan rataan WTA dihitung dengan rumus (Jordan dan Elnagheeb dalam Arianti, 1999): n EWTA = ∑ WTA Pf i i =1 dimana: EWTA WTA Pfi n i

= Dugaan rataan WTA = WTA individu = Frekuensi relatif kelas yang bersangkutan = Jumlah kelas = Kelas ke i

4. Menduga Kurva Penawaran WTA (Estimating Bid Curve) Pendugaan kurva penawaran WTA dilakukan dengan menggunakan nilai WTA sebagai variabel dependen (Y) dan tingkat konsentrasi parameter limbah cair di sungai sebagai variabel independen (X). Dengan perubahan tingkat konsentrasi dapat dilihat seberapa besar kompensasi yang diinginkan oleh masyarakat.

5. Menjumlahkan Data (Agregating The Data) Penjumlahan data merupakan proses dimana nilai rataan sampel dikonversikan terhadap total populasi secara keseluruhan. Salah satu cara untuk mengkonversi ini adalah mengalikan rataan sampel dengan jumlah rumah tangga dalam populasi (Fauzi, 2004).

6. Mengevaluasi Penggunaan CVM (Evaluating the CVM Exercise) Hal ini merupakan penilaian sejauh mana penggunaan CVM telah berhasil. Pada tahap ini memerlukan pendekatan seberapa besar tingkat keberhasilan dalam pengaplikasian CVM. Untuk mengevaluasi pelaksanaan model CVM dapat dilihat tingkat keandalan (reliability) fungsi WTA untuk mengetahui apakah CVM yang dilakukan dapat memberikan gambaran yang sebenarnya. Uji yang dapat dilakukan dengan Uji Keandalan adalah melihat R2 dari model OLS (Ordinary Least Square) WTA. Pada penelitian ini, nilai MD didekati menggunakan nilai WTA. Oleh karena itu, untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi WTA masyarakat di Kelurahan Tajur terhadap peningkatan kesejahteraan melalui penerimaan kompensasi karena adanya pencemaran air sungai digunakan model regresi linier berganda. Persamaan regresi dalam penelitian ini sebagai berikut :

WTAi = β0 + β1 X1i + β2 X2i + β3 X3i – β4 X4i + β5 X5i - β6 X6i +β7 X7i + εi dimana : WTA β0 β1,…,β7 X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 i ε

= WTA responden = Konstanta = Koefisien regresi = Tingkat pendidikan (tahun) = Lama tinggal (tahun) = Jumlah tanggungan (orang) = Jarak tempat tinggal dengan sungai (meter) = Jenis kelamin (bernilai 1 untuk “laki-laki” dan bernilai 0 untuk “perempuan”) = Tingkat pendapatan (rupiah/bulan) = Pengetahuan mengenai dampak negatif limbah (bernilai satu jika ”tahu dan bernilai nol jika ”tidak tahu”) = Responden ke i yang bersedia menerima dana kompensasi (i=1,2, …,41) = Galat

Variabel-variabel tersebut dipilih berdasarkan teori-teori, penelitian terdahulu, dan observasi di lokasi penelitian. Variabel bebas yang digunakan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya nilai WTA adalah tingkat pendidikan, lama tinggal, jumlah tanggungan, jarak tempat tinggal ke sungai, jenis kelamin, pendapatan dan pengetahuan mengenai dampak negatif limbah. Tingkat pendidikan diduga akan berbanding lurus dengan nilai WTA artinya semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin besar nilai WTA karena semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka pola pikir serta pengetahuan responden mengenai dampak negatif dari bahaya pembuangan limbah bagi kehidupan akan semakin baik. Variabel lama tinggal diduga akan berpengaruh positif terhadap nilai WTA. Semakin lama responden tinggal, maka responden semakin menyadari dampak negatif pembuangan air limbah yang telah menyebabkan penurunan kualitas lingkungan sehingga nilai WTA yang diinginkan semakin besar. Hal di atas juga terjadi dengan variabel jumlah tanggungan dinilai akan memiliki hubungan positif terhadap nilai WTA karena jumlah tanggungan akan terkait dengan banyaknya anggota keluarga yang harus menanggung dampak negatif dari bahaya pembuangan air limbah sehingga nilai WTA yang diinginkan semakin tinggi. Jarak tempat tinggal dengan sungai dipilih sebagai variabel yang mempengaruhi nilai WTA atas pertimbangan jarak tempat tinggal responden dengan sungai akan menentukan seberapa besar dampak yang harus ditanggung responden. Variabel jarak rumah ke sungai dapat digunakan untuk mengetahui sejauh mana responden memiliki ketergantungan dengan sungai. Variabel ini diduga akan berpengaruh negatif karena semakin dekat jarak tempat tinggal

dengan sungai maka responden semakin merasakan langsung dampak negatif akibat pembuangan limbah terutama dampak bau, kekeruhan air dan juga responden semakin memiliki ketergantungan dengan sungai sehingga nilai WTA yang diminta akan semakin tinggi. Semakin jauh jarak tempat tinggal dengan sungai diduga responden kurang begitu mengetahui dan merasakan dampak negatif pencemaran air akibat pembuangan limbah ke sungai dan semakin tidak memiliki ketergantungan dengan sungai sehingga nilai WTA yang diinginkan semakin kecil. Variabel jenis kelamin dipilih dengan pertimbangan bahwa perbedaan jenis kelamin responden akan memberikan penilaian yang berbeda-beda terhadap besarnya dana kompensasi yang diinginkan. Variabel jenis kelamin laki-laki diduga akan berhubungan positif dengan nilai WTA responden. Responden lakilaki yang umumnya berfungsi sebagai kepala keluarga dianggap dapat mewakili dan mengetahui kondisi rumah tangga serta lingkungan tempat tinggalnya. Responden laki-laki diduga akan memberikan nilai WTA yang lebih tinggi daripada perempuan. Variabel tingkat pendapatan dipilih dengan pertimbangan bahwa tingkat pendapatan yang diperoleh akan menentukan besar kecilnya kesediaan menerima dana kompensasi yang diinginkan akibat penurunan kualitas lingkungan. Variabel tingkat pendapatan diduga akan berhubungan negatif dengan nilai WTA responden, artinya semakin besar pendapatan responden maka semakin rendah nilai WTA. Semakin besar pendapatan maka responden semakin tidak membutuhkan dana kompensasi yang tinggi karena pendapatan yang diperoleh dianggap dapat memenuhi biaya kebutuhan hidup. Sebaliknya, jika tingkat

pendapatan responden lebih rendah diduga akan memberikan nilai WTA yang lebih tinggi. Variabel pengetahuan mengenai pencemaran berbeda dengan tingkat pendidikan. Pada variabel ini menjelaskan tentang tingkat pengetahuan responden mengenai dampak negatif dari limbah. Variabel tingkat pengetahuan responden mengenai dampak negatif limbah termasuk variabel dummy, dimana apabila responden tahu maka akan diberi nilai satu, sedangkan jika tidak tahu, maka diberi nilai nol. Variabel ini diduga berbanding lurus dengan nilai WTA yang diinginkan responden. Hal ini berarti jika responden mengetahui pencemaran dari pembuangan limbah maka responden menginginkan nilai WTA yang semakin tinggi dan sebaliknya.

4.4.4 Estimasi Persamaan dan Kurva Marginal Damage (MD) Secara umum MD merupakan turunan dari TD (Total Damage) adalah sebagai berikut: MD =

d Total Damage d Konsentrasi Limbah Cair

Dalam penelitian ini, nilai MD didekati melalui pendekatan nilai WTA. Dalam penelitian ini, persamaan MD diperoleh dengan menggunakan persamaan garis linier dua titik. Persamaan garis linier dua titik didapatkan melalui rumus sebagai berikut: Y − Y1 X − X1 = Y 2 − Y1 X 2 − X1

Kurva MD merupakan titik-titik yang menggambarkan hubungan antara konsentrasi parameter limbah cair dengan kerusakan yang ditimbulkan (rupiah).

Kurva MD berslope positif menunjukkan semakin tinggi konsentrasi parameter limbah yang dilepaskan ke lingkungan, maka kerusakan akibat pencemaran air yang ditimbulkan juga akan semakin besar atau sebaliknya. Kurva MD dapat dilihat pada Gambar 7 di bawah ini. Rupiah

MD

Gambar 7. Kurva MD

konsentrasi parameter limbah cair (mg/l)

4.4.5 Penetapan Nilai Pajak Lingkungan Pajak lingkungan yang optimal ditentukan berdasarkan pertemuan antara persamaan MAC dan MD. Persamaan MAC dan MD diperoleh melalui rumus persamaan garis linier dua titik. Setelah diperoleh nilai pajak lingkungan yang optimal berdasarkan perpotongan MAC dan MD, dapat diduga nilai pajak lingkungan per 1 mg/l untuk masing-masing parameter limbah cair, dihitung dengan cara membagi antara nilai pajak lingkungan dari hasil perpotongan MAC dan MD dengan konsentrasi limbahnya. Hal ini dapat ditunjukkan sebagai berikut: =

Nilai pajak lingkungan dari hasil perpotongan MAC = MD Konsentrasi limbah cair

Melalui nilai pajak lingkungan per 1 mg/l dapat diketahui pajak yang harus dibayarkan berdasarkan outlet perusahaan dengan cara mengalikan antara pajak per 1 mg/l dengan rata-rata outlet limbah cair. Dengan demikian nilai pajak yang

harus dibayarkan oleh perusahaan dihitung dengan cara menjumlahkan nilai pajak dari masing-masing parameter adalah sebagai berikut:

∑ Pajak = Pajak Parameter BOD + Pajak paramater COD

4.5 Teori Regresi Berganda Model regresi berganda yaitu suatu model dimana variabel terikat (Y) tergantung pada dua atau lebih variabel yang bebas (X). Beberapa asumsi yang digunakan dalam model regresi berganda adalah (Firdaus, 2004): 1. E (∈) = 0 untuk setiap i. Artinya nilai yang diharapkan bersyarat (conditional expected value) dari ∈i tergantung pada Xi tertentu adalah nol. 2. Tidak adanya korelasi berurutan atau tidak ada autokorelasi. Artinya Xi tertentu simpangan setiap Y yang mana pun dari nilai rata-ratanya tidak menunjukkan adanya korelasi, baik secara positif maupun negatif. 3. Varians bersyarat dari (∈) adalah konstan. Asumsi ini dikenal sebagai asumsi homoskedastisitas. 4. Variabel bebas adalah nonstokastik (yaitu tetap dalam penyampelan berulang), atau jika stokastik, didistribusikan secara independen dari gangguan ∈. 5. Tidak ada multikolinearitas di antara variabel bebas satu dengan yang lain. 6. ∈ didistribusikan secara normal dengan rata-rata dan varians yang diberikan oleh asumsi 1 dan 2. Apabila semua asumsi yang mendasari model tersebut terpenuhi, maka suatu fungsi regresi yang diperoleh dari hasil perhitungan pendugaan dengan metode OLS dari koefisien regresi adalah penduga tak bias liner terbaik (best linear unbiased-BLUE). Sebaliknya, jika ada asumsi dalam model regresi yang

tidak dipenuhi oleh fungsi regresi yang diperoleh, maka kebenaran pendugaan model tersebut dan atau pengujian hipotesis untuk pengambilan keputusan dapat diragukan. Jika terdapat asumsi yang tidak dapat terpenuhi dalam fungsi regresi yang diperoleh, biasanya dikatakan sebagai penyimpangan asumsi. Penyimpangan asumsi 2, 3 dan 5 memiliki pengaruh yang serius, sedangkan asumsi 1, 4 dan 6 tidak.

4.6 Pengujian Parameter Untuk mengetahui kebaikan suatu model yang telah dibuat, perlu dilakukan pengujian secara statistik. Uji statistik yang dilakukan adalah: 1. Uji Stastistik t Uji t digunakan untuk menguji apakah koefisien regresi yang diperoleh dari hasil perhitungan dengan metode OLS berbeda secara signifikan dengan nilai parameter tertentu atau tidak (Firdaus, 2004). Prosedur pengujiannya sebagai berikut: H0 : βi = 0 artinya variabel bebas (Xi) tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebasnya (Yi). H1 : βi ≠ 0 artinya variabel bebas (Xi) berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebasnya (Yi). Rumus untuk mencari t hitung sebagai berikut:

t

hitung

=

b−B Sb

Jika thitungttabel, maka tolak H0 artinya variabel (Xi) berpengaruh nyata terhadap (Yi).

Pengujian dapat diketahui dari nilai probability (P) masing-masing variabel yang merupakan hasil output. Jika nilai probability lebih kecil dari nilai α yang digunakan, maka variabel independen tersebut berpengaruh nyata secara individu terhadap variabel dependennya.

2. Uji Statistik F Uji F merupakan suatu pengujian untuk mengetahui mengenai bagaimana pengaruh sekelompok variabel bebas (Xi) secara bersama-sama terhadap variabel tidak bebas (Yi) (Firdaus, 2004). Hipotesis yang diajukan untuk uji F ini sebagai berikut: H0 : β1 = β2 = β3 = …= βn = 0 H1 : β1 = β2 = β3 = …= βn ≠ 0 Fhitung =

JKK / (k - 1) JGK / k(n - 1)

dimana: JKK = Jumlah Kuadrat untuk Nilai Tengah Kolom JKG = Jumlah Kuadrat Galat n = Jumlah sampel k = Jumlah variabel Jika Fhitung < Ftabel, maka diterima H0 dan tolak H1, artinya variabel (Xi) secara serentak tidak berpengaruh nyata terhadap (Yi). Jika Fhitung > Ftabel, maka ditolak H0 dan terima H1, artinya variabel (Xi) secara serentak berpengaruh nyata terhadap (Yi). Pengujian juga dapat melihat dari output komputer nilai P-value dari model (seluruh variabel independen secara bersama). Jika P-value lebih kecil dari nilai α yang digunakan, maka H0 ditolak yang artinya variabel independen secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel dependennya.

3. Uji Keandalan (Goodness of Fit/ R2) Uji ini dilakukan dalam evaluasi pelaksanan CVM. Berhasil tidaknya pelaksanaan CVM dilihat dengan nilai koefisien determinasi (R2) dari OLS WTA. R2 menunjukkan sejauh mana keragaman variabel terikat (Y) dapat diterangkan oleh variabel bebasnya (X). Secara matematis rumus untuk menghitun R2 sebagai berikut: 2 R =

Jumlah kuadrat dari regresi (JKR) Jumlah kuadrat total (JKT)

R2 nilainya antara nol dan satu : 0 ≤ R2 ≤1. Apabila nilai R2 semakin mendekati satu, maka semakin besar keragaman variabel tidak bebas yang dapat diterangkan variabel tidak bebasnya.

4. Uji Multikolinearitas (Multicollinearity) Multikolinearitas (kolinearitas ganda) artinya adanya lebih dari satu hubungan linear yang sempurna di antara variabel-variabel bebas (X) dalam model regresi (Firdaus, 2004). Untuk mendeteksi ada tdaknya multikolinearitas maka dapat dilihat dari output komputer, dengan melihat koefisien korelasi antar variabel bebas. Jika korelasi kurang dari 0,8 (rule of tumbs 0,8) maka dapat dikatakan tidak ada multikolinearitas.

5. Uji Heterokedastisitas (Heteroscedasticity) Apabila variasi dari faktor pengganggu selalu sama pada data pengamatan yang satu ke data pengamatan yang lain. Jika ciri ini dipenuhi, berarti variasi faktor pengganggu pada kelompok data tersebut bersifat homoskedastisitas atau

var (∈i2) = σ2. Jika asumsi tersebut dilanggar berarti terjadi penyimpangan terhadap faktor pengganggu yang disebut heteroskedastisitas (heteroscedasticity). Untuk mendeteksi adanya masalah heteroskedatisitas maka dilakukan uji heteroskedatisitas. Langkah-langkah pengujian heteroskedatisitas dengan uji

White heteroscedasdicity sebagai berikut: H0 : Tidak ada heteroskedatisitas H1 : ada masalah heteroskedatisitas Tolak H0 jika obs* R-square > χ 2df − 2 atau probability obs* R-square.

6. Uji Normalitas Uji normalitas diperlukan untuk menguji apakah error term dari data observasi mendekati sebaran normal sehingga statistik t dapat dikatakan sah. Uji yang dapat dilakukan adalah uji Jarque Bera dengan prosedur sebagai berikut: Ho : error term terdistribusi normal H1: error term tidak terdistribusi normal Terima H0 jika statistik J-B < χ 2df − 2 atau nilai probabilitasnya lebih besar dari α .

4.7 Batasan Definisi Operasional Penelitian Batasan definisi operasional yang digunakan dalam penelitian ini: 1. Limbah yang dimaksud dalam penelitian ini adalah limbah cair, yaitu limbah air buangan yang berasal dari proses produksi tekstil PT. UNITEX, contoh limbah yang berasal dari proses pencelupan kain, pewarnaan kain. 2. Obyek penelitian adalah industri tekstil yaitu PT. UNITEX dan masyarakat di Kelurahan Tajur yang berada di sempadan Sungai Cibudig yaitu RW 06 RT 01. 3. WTA adalah sejumlah dana kompensasi yang dikehendaki oleh masyarakat karena terjadi penurunan kualitas lingkungan (pencemaran air). 4. CVM digunakan untuk menampung preferensi/penilaian responden pada kondisi tertentu guna mengetahui kesediaan untuk menerima dana kompensasi. 5. MAC yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tambahan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan pada proses air limbah PT. UNITEX untuk mengurangi satuan unit (mg/l) konsentrasi parameter pencemar limbah. 6. MD adalah tambahan biaya kerusakan karena tambahan satuan unit (mg/l) konsentrasi parameter limbah cair. 7. Tingkat pendapatan responden yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pendapatan rata-rata yang diperoleh responden yang berasal dari pekerjaan pokok atau pekerjaan sampingan ataupun pekerjaan lain (yang berasal dari istri atau suami yang juga bekerja) selama satu bulan.

V. GAMBARAN UMUM

5.1 Gambaran Umum Perusahaan 5.1.1 Sejarah Singkat PT. UNITEX PT. UNITEX adalah sebuah perusahaan patungan Indonesia-Jepang yang bergerak di bidang tekstil terpadu (Fully Integrated Textile Manufacture). PT. UNITEX merupakan perusahaan yang didirikan bekerja sama dengan Jepang pada tanggal 14 Mei 1971 berdasarkan akta notaris Eliza Pondaag, SH No. 25. Akta pendirian ini disahkan oleh Menteri Kehakiman dengan surat keputusan No. JA.5/128/4 tanggal 30 Juli 1971. PT. UNITEX mulai aktif berproduksi pada tanggal 22 September 1972 dengan kapasitas produksi mencapai 1,6 juta meter kain setiap bulan dan dapat meningkat mencapai dua juta meter per bulannya ketika hari-hari besar seperti Lebaran, Natal dan Tahun Baru. Lokasi PT. UNITEX terbagi menjadi dua bagian yaitu perusahaan berkedudukan di Jakarta sedangkan pabrik berlokasi di Jl. Raya Tajur No.1, Ciawi-Bogor dengan luas 150.700 m2.

5.1.2 Sarana Produksi dan Proses Produksi 5.1.2.1 Bahan Baku Bahan baku yang digunakan oleh PT. UNITEX dalam pembuatan kain yaitu kapas dan polyester. Bahan baku yang digunakan dalam proses produksi ini menghasilkan dua jenis kain yaitu cotton dan tetoron. Cotton merupakan kain yang 100 persen bahan bakunya berasal dari kapas sedangkan tetoron merupakan campuran 35 persen kapas dan 65 persen polyester.

5.1.2.2 Proses Produksi Sebagai sebuah perusahaan tekstil terpadu, PT. UNITEX melakukan kegiatan mulai dari pemintalan (spinning), penenunan (weaving), pencelupan (dyeing). Pemintalan adalah bagian dari produksi yang melakukan proses pembuatan benang dari bahan baku kapas dan polyester. Penenunan adalah bagian produksi yang melakukan proses penenunan hingga benang menjadi kain mentah (grige cloth). Pencelupan adalah bagian akhir dari keseluruhan proses produksi tekstil yang memberikan warna melalui proses pencelupan terhadap kain yang sudah diproduksi di penenunan dan melakukan proses penyempurnaan dari kain mentah menjadi kain jadi (finish goods). Pencelupan benang adalah bagian yang melakukan proses pencelupan benang (putih) hingga menjadi benang warna. Hasil produksi kain yang utama adalah yard dyed dan piece dyed. Tipe

yard dyed merupakan kain yang ditenun dari benang yang sudah dicelup warna sehingga terdiri dari berbagai desain dan warna. Corak tekstil yang dihasilkan PT. UNITEX adalah garis-garis dan kotak-kotak. Tipe piece dyed berupa kain polos putih yaitu kain yang ditenun dalam keadaan yang tidak berwarna.

5.1.3 Pengolahan Air Limbah 5.1.3.1 Sumber Limbah Cair Sumber limbah cair dihasilkan baik berasal dari limbah proses produksi maupun limbah domestik. Limbah yang berasal dari proses produksi merupakan limbah yang paling utama. Limbah cair proses produksi terutama berasal dari proses pencelupan. Hal ini dikarenakan pada proses pencelupan membutuhkan jumlah air yang sangat besar sehingga menghasilkan limbah cair dalam jumlah

yang besar pula. Selain itu bahan pencemar yang tercampur dengan air pencelupan mengandung senyawa kimia yang berbahaya karena memiliki kandungan BOD dan COD yang masih relatif tinggi yang dapat berdampak buruk bagi lingkungan.

5.1.3.2 Jenis dan Karakteristik Limbah Cair Sumber limbah cair yang masuk ke IPAL PT. UNITEX terdiri dari dua jenis, yaitu limbah air warna dan limbah air umum. Secara umum limbah cair yang dihasilkan memiliki karakteristik yaitu warna pekat, pH tinggi, kandungan BOD, COD, dan TSS tinggi serta suhu tinggi. 1. Limbah Air Warna (Coloured Waste Water) Limbah air warna bersumber dari proses pencelupan kain (dyeing). Air warna mengandung bahan pencemar cukup berbahaya bagi lingkungan karena limbah yang dihasilkan memiliki kadar BOD dan COD yang tinggi. Kadar BOD limbah cair industri tekstil yang tinggi berasal dari kandungan bahan organik seperti pewarna organik, kanji dan serat-serat alam yang merupakan bahan organik sedangkan tingginya kadar COD disebabkan oleh bahan pencemar seperti deterjen, pewarna sintetik yang mengandung logam, minyak dan lemak. Air limbah berwarna dapat dilihat pada Gambar 8. 2. Limbah Air Umum/Tidak Berwarna (Uncoloured Waste Water) Limbah air umum bersumber dari hasil pembilasan bahan yang mengandung kanji dan sisa air hasil pencucian dari kantin. Limbah air umum juga dialirkan ke IPAL karena adanya kadar detergen atau sabun yang bisa memberi

dampak negatif terhadap lingkungan, sehingga perlu dilakukan proses pengolahan limbahnya.

Gambar 8. Air Limbah Berwarna 5.1.3.3 Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) PT. UNITEX PT. UNITEX dalam usaha mencapai produk tekstil yang berkualitas tidak melupakan tangggungjawabnya terhadap pelestarian lingkungan. Pada tahun 1989, PT. UNITEX membangun IPAL di atas tanah seluas 4.000 m2. Kapasitas maksimum IPAL PT. UNITEX mampu mengolah limbah cair sebesar 3.000 m3 per hari dan bekerja selama 24 jam namun sejak akhir tahun 1995, kapasitas maksimum IPAL meningkat menjadi 5.000 m3 per hari (Sitorus, 1993). Proses pengolahan limbah di PT. UNITEX dilakukan dengan cara fisika, kimia, dan biologi. Secara fisik meliputi penyaringan, pendinginan, pengendapan (sedimentasi) dan pengadukan sedangkan secara kimia meliputi koagulasiflokulasi, penghilangan warna dan pemberian anti busa (antifoam). Pengolahan yang paling besar memberikan kontribusinya dalam pengurangan bahan-bahan organik (polutan) adalah proses biologi yang menggunakan sistem lumpur aktif karena pada proses ini bahan-bahan organik (polutan) diuraikan. Air limbah yang masuk proses pengolahan rata-rata 1.500-1.600 m3/hari. Pengolahan air limbah ini

untuk mengurangi kandungan bahan pencemarnya sampai pada tingkat yang dapat dinetralkan oleh lingkungan. Instalasi-instalasi pada pengolahan limbah PT. UNITEX sebagai berikut: 1. Kolam Air Limbah Warna/Bak Warna Kolam air warna merupakan tempat penampungan air limbah yang berasal dari proses pencelupan kain. Karakteristik air yang terdapat pada kolam air limbah warna yaitu bersuhu tinggi, pH tinggi (alkalis), berwarna pekat, memiliki BOD, COD serta padatan yang tinggi. Kolam penampungan untuk limbah cair berwarna dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9. Bak Penampungan Air Warna pada IPAL PT. UNITEX 2.Saringan Saringan berfungsi untuk menyaring padatan-padatan yang terdapat pada air limbah. Ada dua macam saringan yang digunakan yaitu saringan kasar dan saringan halus (bar screen). Saringan halus ini dapat dilihat pada Gambar 10. Saringan kasar dipasang pada aliran air limbah sebelum masuk ke kolam air limbah dan berfungsi mencegah sisa benang dan kain yang ikut terbawa dalam air limbah yang dikhawatirkan dapat menyumbat pipa-pipa dalam IPAL dan saringan halus dipasang dari kolam air limbah ke cooling tower yang berfungsi memisahkan sisa-sisa benang/serat yang masih terbawa oleh air limbah.

Gambar 10. Saringan Halus (Bar Screen) pada IPAL PT. UNITEX 3. Menara Pendingin (Cooling Tower)

Cooling tower berfungsi untuk menurunkan suhu air limbah. Air limbah yang masuk pada kolam air limbah bersuhu tinggi sekitar 35-500C, sehingga harus diturunkan menjadi 29-300C agar kerja bakteri lebih optimal. Cooling tower dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11. Cooling Tower pada IPAL PT. UNITEX 4. Tangki Koagulasi atau Flokulasi Tangki ini menampung air limbah untuk dikoagulasikan dengan alum dan polimer. Proses Koagulasi/flokulasi disebut proses penjernihan air dengan menambahkan koagulan-koagulan seperti polimer, antibusa, dan lain-lain. Tangki koagulasi dan flokulasi dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12. Tangki Koagulasi dan Flokulasi pada IPAL PT. UNITEX 5. Tangki Sedimentasi Tangki sedimentasi berfungsi untuk mengendapkan padatan-padatan terlarut berupa lumpur hasil proses koagulasi sehingga menghasilkan air jernih. PT. UNITEX memiliki tiga tangki sedimentasi. Tangki sedimentasi I dan II PT. UNITEX dapat dilihat pada Gambar 13 dan 14.

Gambar 13. Tangki Sedimentasi I pada IPAL PT. UNITEX

Gambar 14. Tangki Sedimentasi II pada IPAL PT. UNITEX

6. Bak Equalisasi/Bak Umum Tangki ini berfungsi untuk menampung air limbah dari tiga aliran, yaitu air warna yang telah dijernihkan dari tangki sedimentasi I, air hasil pembilasan dari bagian dyeing dan air hasil pencucian mesin pengepres lumpur. Mesin pengepres lumpur (belt press) PT. UNITEX dapat dilihat pada Gambar 15. Bak penampungan air umum disebut juga kolam penampungan limbah cair tidak berwarna (kolam equalisasi) dapat dilihat pada Gambar 16 berikut ini.

Gambar 15. Mesin Pengepres Lumpur pada IPAL PT. UNITEX

Gambar 16. Bak Penampungan Air Umum 7. Kolam Aerasi Kolam aerasi merupakan bak tempat berlangsungnya proses biologi dengan lumpur aktif yang akan mendegradasi senyawa organik dalam air dan mampu menurunkan BOD dan COD. Bak aerasi terlihat pada Gambar 17 dan 18 berikut ini. IPAL PT. UNITEX memiliki tiga buah kolam aerasi yaitu kolam

aerasi I yang berbentuk oval dan kolam aerasi II serta III yang berbentuk persegi panjang. Bak aerasi I berbentuk oval memiliki keunggulan yaitu a) memiliki perputaran aliran air yang sempurna, b) tidak memerlukan blower sehingga dapat menghemat listrik, c) waktu kontak bakteri dengan air limbah lebih merata, dan d) tidak terjadi pengendapan seperti halnya pada bak persegi panjang.

Gambar 17. Bak Aerasi yang Berbetuk Oval

Gambar 18. Bak Aerasi II dan III yang Berbentuk Persegi Panjang 8. Kolam Ikan Kolam ikan berfungsi sebagai kontrol biologis terhadap air hasil pengolahan limbah (outlet). Air yang dialirkan ke Sungai Cibudig terlebih dahulu harus melewati kolam ikan bertujuan sebagai kontrol biologis untuk mengetahui adanya pengaruh kandungan polutan air limbah terhadap kehidupan mahluk hidup di perairan. Kolam ikan dapat dilihat pada Gambar 19. Jenis ikan yang digunakan

adalah ikan mas karena termasuk jenis ikan yang memiliki kepekaan yang tinggi terhadap perubahan kondisi lingkungan (tingkat pencemaran air). Setelah melewati kolam ikan, air siap dibuang ke badan air di sekitar pabrik yaitu Sungai Cibudig yang merupakan anak Sungai Ciliwung. Saluran pembuangan air limbah PT. UNITEX sebelum dibuang ke Sungai Cibudig dapat dilihat pada Gambar 20.

Gambar 19. Kolam Ikan

Gambar 20. Saluran Pembuangan Air Limbah PT. UNITEX

5.2 Gambaran Umum Kelurahan Tajur 5.2.1 Keadaan Umum Kelurahan Tajur Kelurahan Tajur merupakan salah satu dari enam kelurahan yang berada di Kecamatan

Bogor

Baranangsiang,

Timur.

Kelurahan

Lima Sukasari,

kelurahan

lainnya

Kelurahan

yaitu

Kelurahan

Sindangsari,

Kelurahan

Katulampa, dan Kelurahan Sindangrasa. Luas wilayah Kelurahan Tajur adalah 44.918 Ha dan terbagi menjadi 6 RW dan 24 RT. Jarak Kelurahan Tajur sekitar 4

km dari Kecamatan Bogor Timur. Secara administrasi Kelurahan Tajur dibatasi sebelah utara oleh Kelurahan Katulampa, sebelah selatan dengan Kelurahan Pakuan, sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Sukasari dan Kelurahan Sindangrasa di sebelah timur . Sarana kesehatan yang terdapat di Kelurahan Tajur yaitu tiga bidan, dua apotek, dan satu balai pengobatan. Sarana pendidikan yang tersedia dua Taman Kanak-kanak dan tiga Sekolah Dasar. Sementara itu juga terdapat enam mesjid dan tujuh mushola. Untuk sarana olahraga terdapat satu lapangan volly, dua lapangan bulutangkis, dan dua sanggar senam. Di Kelurahan Tajur terdapat beberapa industri yang mampu menyerap tenaga kerja di wilayah tersebut yaitu terdapat satu industri besar dan kecil, tiga industri rumah tangga, dan 30 CV (Monografi Kelurahan Tajur, Juni 2008).

5.2.2 Kependudukan Menurut data yang diperoleh dari Kelurahan Tajur (Juni 2008), jumlah penduduk yaitu 6.094 jiwa yang terdiri dari 1.471 kepala keluarga (KK). Jumlah penduduk laki-laki sebesar 3.037 jiwa sedangkan perempuan 3.057 jiwa, secara rinci dari setiap RW (Rukun Warga) dapat dilihat pada Tabel 5. Sementara itu, rekapitulasi jumlah penduduk menurut golongan umur di Kelurahan Tajur dapat dilihat pada Tabel 6 di bawah ini.

Tabel 5. Jumlah Penduduk Setiap RW di Kelurahan Tajur Tahun 2008 RW WNI Asli WNI Keturunan Jumlah WNI KK L P L+P L P L+P L P L+P 1 374 373 747 36 31 67 410 404 814 232 2 513 483 996 3 3 516 483 999 211 3 479 505 984 27 24 51 506 529 1.035 255 4 552 548 1.100 27 13 40 579 561 1.140 256 5 385 415 800 82 104 186 467 519 986 259 6 537 540 1.077 22 21 43 559 561 1.120 256 Jumlah 2.840 2.864 5.704 197 193 390 3.037 3.057 6.094 1.471 Keterangan: L=Laki-laki, P=Perempuan, L+P=Jumlah laki-laki dan perempuan, KK=kepala keluarga Sumber: Laporan Penduduk Kelurahan Tajur (Juni, 2008)

Tabel 6. Jumlah Penduduk Menurut Golongan Umur di Kelurahan Tajur Tahun 2008 Golongan Umur (tahun) Total (jiwa) 0-4 1.159 5-9 377 10-14 507 15-19 632 20-29 1.291 30-34 467 35-39 392 40-44 290 45-49 289 50-54 231 >60 459 Total (jiwa) 6.094 Sumber: Monografi Kelurahan Tajur (Juni 2008)

Menurut mata pencaharian, sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai Swasta/BUMN/BUMD yaitu sebanyak 2.333 orang (80,87 persen) Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebanyak 242 orang (8,39 persen), TNI sebanyak 11 orang (0,38 persen), Polri sebanyak 20 orang (0,69 persen), wiraswasta sebanyak 157 orang (5,44 persen), pertukangan sebanyak 41 orang (1,42 persen), dan pensiunan 81 orang (2,81 persen). Struktur mata pencaharian penduduk Kelurahan Tajur dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Struktur Mata Pencaharian Penduduk Kelurahan Tajur Tahun 2008 Struktur Mata Pencaharian Jumlah (orang) Persentase (%) Pegawai Negeri Sipil (PNS) 242 8,39 TNI 11 0,38 Polri 20 0,69 Swasta/BUMN/BUMD 2.333 80,87 Wiraswasta/pedagang 157 5,44 Pertukangan 41 1,42 Pensiunan 81 2,81 Jumlah 2.885 100,00 Sumber: Monografi Kelurahan Tajur (Juni 2008)

Pada Tabel 8 menunjukkan tingkat pendidikan penduduk di Kelurahan Tajur dapat digolongkan sebagai berikut:

Tabel 8. Lulusan Pendidikan Formal Penduduk Kelurahan Tajur Tahun 2008 Lulusan Pendidikan Umum Jumlah (orang) Persentase (%) Taman Kanak-kanak (TK) 105 2,00 Sekolah Dasar (SD) 914 17,37 SMP/SLTP/MTS 1.523 28,94 SMA/SLTA/Aliyah 2.132 40,51 Akademi /D1-D3 63 1,20 Sarjana (S1-S3) 525 9,98 Jumlah 5.262 100,00 Sumber: Monografi Kelurahan Tajur (Juni 2008)

Berdasarkan Tabel 8, sebagian besar masyarakat lulusan SMA/sederajat, yaitu sebanyak 40,51 persen. Lulusan TK, SD, dan SMP/sederajat masing-masing sebesar 2 persen, 17,37 persen, dan 28,94 persen. Lulusan Akademi (D1-D3) dan sarjana (S1-S3) masing-masing hanya sebesar 1,20 persen dan 9,98 persen.

5.3 Karakteristik Responden Karakteristik umum responden di Kelurahan Tajur RT 01 RW 06 diperoleh berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 41 warga masyarakat. Karakteristik umum responden ini dinilai dari beberapa variabel meliputi: (1) jenis kelamin; (2) umur; (3) status pernikahan; (4) pendidikan; (5) lama tinggal;

(6) jarak rumah dengan sungai; (7) jumlah tanggungan; (8) pekerjaan; (9) pendapatan. Sebaran karakteristik individu tersebut dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Sebaran Karakteristik Responden No. Karakteristik Kategori Responden 1. Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 2. Umur 25-40 tahun 41-56 tahun 57-72 tahun 73-83 tahun 3. Status Pernikahan Menikah Belum Menikah Janda 4. Pendidikan Tidak Tamat SD Tamat SD/Sederajat Tamat SMP/Sederajat Tamat SMA/Sederajat 5. Lama Tinggal 10-31 tahun 32-53 tahun 54-78 tahun 6. Jarak 1-50 meter 51-100 meter >101 meter 7. Jumlah Tanggungan Tidak Ada Tanggungan 1-2 orang 3-4 orang >5 orang 8. Pekerjaan Buruh Wiraswasta/Pedagang Pegawai/Karyawan Supir/Tukang Ojek Ibu Rumah Tangga Pensiunan 9. Pendapatan 200.000-750.000 750.001-1.300.000 1.300.001-1.800.000 Sumber : Data Primer, Diolah (N=41)

Jumlah (Orang) 16 25 12 19 6 4 38 0 3 6 22 7 6 15 21 5 25 7 9 2 10 24 5 2 8 4 3 21 3 12 21 8

Persentase (%) 39,0 61,0 29,3 46,3 14,6 9,8 92,7 0,0 7,3 14,6 53,7 17,1 14,6 36,6 51,2 12,2 61,0 17,0 22,0 4,9 24,4 58,5 12,2 4,9 19,5 9,8 7,3 51,2 7,3 29,3 51,2 19,5

Tabel 9 memperlihatkan bahwa sebagian besar responden yang masuk dalam survei adalah perempuan, yaitu berjumlah 25 orang (61,0 persen), sedangkan responden yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 16 orang (39,0 persen). Dominasi responden perempuan dikarenakan pada saat survei dilaksanakan, kepala keluarga yang seharusnya lebih diprioritaskan (karena dianggap lebih bertanggung jawab dalam pengambilan keputusan) untuk diwawancara tetapi karena tidak ada di tempat atau sedang bekerja sehingga peneliti menganggap penduduk tersebut juga layak untuk dijadikan responden. Hal ini dikarenakan pertimbangan bahwa lebih banyak aktivitas rumah tangga dilakukan oleh perempuan dengan menggunakan air sungai untuk keperluan sehari-hari seperti mencuci, mandi, menggunakan air untuk masak, membersihkan lantai, menyiram tanaman, dan sebagainya. Hal tersebut menunjukkan perempuan juga memiliki ketergantungan terhadap sungai sehingga layak dijadikan responden. Sementara itu, kepala keluarga yang berhasil ditemui umumnya tidak memiliki waktu tetap bekerja atau sedang tidak bekerja ketika wawancara dilakukan. Masyarakat yang menjadi responden dalam penelitian ini memiliki tingkat usia bervariasi. Jumlah responden tertinggi terdapat pada sebaran usia 41-56 tahun sebanyak 19 orang (46 persen). Masing-masing berada pada kisaran umur antara 25-40 tahun sebanyak 12 orang (29,3 persen), 57-72 tahun sebanyak 6 orang (14,6 persen), dan pada kisaran umur 73-83 tahun sebanyak 4 orang (9,8 persen). Sebagian besar status pernikahan responden adalah menikah sebanyak 38 orang (92,7 persen), tidak ada responden dengan status belum menikah. Status menikah tetapi sudah menjadi janda ada sebanyak 3 orang (7,3 persen).

Pendidikan didefinisikan sebagai jenjang pendidikan formal terakhir yang pernah diikuti oleh responden. Tingkat pendidikan responden bervariasi, mulai dari tidak tamat SD sampai tamat SMA. Sebagian besar responden (53,7 persen) sebanyak 22 orang hanya sampai tingkat pendidikan SD/sederajat. Berdasarkan data yang diperoleh selama penelitian diantaranya 6 orang (14,6 persen) tidak tamat SD dan 7 orang (17,1 persen) berpendidikan terakhir SMP/sederajat. Responden yang berpendidikan formal sampai tingkat SMU/sederajat berjumlah 6 orang (14,6 persen). Mayoritas responden hanya berpendidikan SD/sederajat karena ketika responden tersebut berada pada usia sekolah, kesadaran masyarakat tentang pentingnya pendidikan masih tergolong rendah sehingga anak-anak usia sekolah hanya disekolahkan sampai jenjang SD. Selain itu, kondisi perekonomian keluarga yang tidak mencukupi untuk melanjutkan sekolah. Lama tinggal responden sebagian besar masyarakat (51,2 persen) yaitu sebanyak 21 orang telah tinggal di lingkungan sekitar Sungai Cibudig ini selama kisaran waktu 32-53 tahun. Responden yang telah tinggal antara 10-31 tahun sebanyak 15 orang (36,6 persen). Hanya sebanyak 5 orang (12,2 persen) yang telah tinggal 54-78 tahun di lingkungan sekitar Sungai Cibudig. Jarak rumah responden dengan Sungai Cibudig sebagian besar (61 persen) adalah 1-50 meter sebanyak 25 orang. Sisanya 7 orang (17,1 persen) berjarak (51100 meter) dan 9 orang (22 persen) berjarak (>101 meter). Sementara itu, jumlah tanggungan responden mayoritas berada pada selang 3-4 orang yaitu sebanyak 24 orang (58,5 persen). Sisanya sebanyak 2 orang (4,9 persen) yaitu tidak ada tanggungan karena responden termasuk status janda yang tidak memiliki suami dan sudah tidak memiliki tanggungan anak karena sudah menikah yang tidak

bertempat tinggal bersama dengan orang tua. Sebanyak 10 orang (24,4 persen) memiliki jumlah tanggungan 1-2 orang dan 5 orang (12,2 persen) memiliki tanggungan sebesar >5 orang. Jenis pekerjaan responden yang dimaksud dalam penelitian ini (Tabel 9) adalah pekerjaan pokok/utama responden sehari-hari tetapi tidak termasuk pekerjaan sambilan dan pekerjaan lain (yang berasal dari istri atau suami yang juga memiliki pekerjaan). Jenis pekerjaan responden di Kelurahan Tajur bervariasi. Persentase terbesar (51,2 persen atau 21 orang) responden adalah ibu rumah tangga. Hal ini karena sebagian besar yang menjadi responden adalah perempuan sebagai ibu rumah tangga. Pekerjaan sebagai buruh sebanyak 2 orang (4,9 persen), 8 orang (19,5 persen) bekerja sebagai wiraswasta/pedagang, 4 orang (9,8 persen) bekerja sebagai pegawai/karyawan, 3 orang (7,3 persen) bekerja supir/tukang ojek, dan sebanyak 3 orang (7,3 persen) sebagai pensiunan. Berdasarkan data yang diperoleh selama penelitian, pendapatan terendah responden dalam penelitian ini adalah sebesar Rp 200.000,00 sedangkan pendapatan tertinggi sebesar Rp 1.800.000,00. Sebagian besar responden (51,2 persen) berpendapatan Rp 750.001-1.300.000 adalah sebanyak 21 orang. Hal ini terkait dengan jenis pekerjaan mayoritas responden sebagai ibu rumah tangga tetapi memiliki pekerjaan sambilan ataupun pekerjaan lain (berasal dari pekerjaan suami

bekerja)

yang

memiliki

pekerjaan

sebagai

pegawai/karyawan,

wiraswasta/pedagang, supir/tukang ojek serta pendapatan yang berasal dari pensiunan. Responden yang memiliki pendapatan pada selang Rp 200.000750.000 sebanyak 12 orang (29,3 persen) yang bekerja sebagai buruh, sedangkan responden yang berpendapatan Rp 1.300.000-1.800.000 yaitu sebanyak 8 orang

(19,5 persen) adalah responden yang bekerja sebagai wiraswasta/pedagang dengan omzet yang lebih besar.

5.4 Aktivitas Responden di Sungai Ketergantungan responden terhadap sungai, dalam penelitian ini diketahui melalui aktivitas-aktivitas yang biasa dilakukan responden di sungai sebelum terjadinya pencemaran air. Aktivitas responden yang biasanya dilakukan di Sungai Cibudig sebelum terjadinya pencemaran dapat dilihat pada Tabel 10. Berdasarkan Tabel 10 menunjukkan bahwa sebagian besar aktivitas yang biasanya dilakukan responden di Sungai Cibudig sebelum terjadinya pencemaran air adalah mandi (85,4 persen), buang air besar (87,8 persen), mencuci (70,7 persen). Hal ini dapat dilihat dari tingkat persentase untuk aktivitas mandi, buang air besar dan mencuci, lebih dari 50 persen artinya tingkat ketergantungan responden terhadap sungai sebelum terjadinya pencemaran air sungai adalah tinggi.

Tabel 10. Aktivitas Responden yang Umumnya Dilakukan di Sungai Cibudig Sebelum Terjadinya Pencemaran Air No. Persentase (%) Total Aktivitas (%) Ya Tidak 1 Mandi 85,4 14,6 100 2 Wudhu 48,8 51,2 100 3 Buang Air Besar 87,8 12,2 100 4 Mencuci 70,7 29,3 100 5 Memancing 34,1 65,9 100 Sumber : Data Primer, Diolah (N=41)

VI. ESTIMASI MARGINAL ABATEMENT COST (MAC)

6.2

Estimasi Nilai MAC Besar kecilnya tingkat pencemaran yang disebabkan oleh pembuangan

limbah cair ke badan penerima (sungai) dapat dilihat dari besar kecilnya konsentrasi parameter pencemar yang terkandung dalam air limbah yang dibuang ke lingkungan. Konsentrasi limbah cair yang dibuang ke lingkungan harus memenuhi syarat buangan/baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah. Besarnya upaya penanggulangan pencemaran yang dilakukan oleh suatu perusahaaan agar konsentrasi parameter limbah cair memenuhi baku mutu dapat dilihat dari besar kecilnya MAC perusahaan tersebut. Semakin besar MAC suatu perusahaan maka semakin besar pula pengurangan konsentrasi parameter pencemar limbah cair yang dibuang dan sebaliknya. Dalam penentuan persamaan MAC PT. UNITEX, diawali dengan mengestimasi rataan nilai MAC PT. UNITEX setiap 1 mg/l untuk masing-masing parameter. Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi total biaya yang dikeluarkan oleh PT. UNITEX dalam memproses air limbah setiap bulan (Total

Abatement Cost/TAC) dan tingkat konsentrasi parameter BOD dan COD (mg/l) sebelum diolah dengan IPAL (inlet) maupun setelah diolah dengan IPAL (outlet). Untuk mengestimasi nilai MAC, digunakan pendekatan biaya rata-rata (average

cost pricing) yang langkah-langkahnya sebagai berikut:

1. Rataan Nilai Konsentrasi Parameter Penggunaan nilai rataan digunakan untuk mengantisipasi variasi dalam perubahan konsentrasi parameter limbah cair. Perhitungan mengenai rataan konsentrasi yang dihasilkan oleh PT. UNITEX dapat dilihat pada Lampiran 5. Sementara itu, hasil perhitungan rataan konsentrasi inlet, outlet, maupun selisih

inlet-outlet, untuk masing-masing parameter BOD dan COD dapat dilihat pada Tabel 11. Rataan konsentrasi sebelum diolah dengan IPAL (inlet) menunjukkan tingkat pencemaran maksimum yang dapat dihasilkan oleh perusahaan sebelum adanya upaya pengolahan air limbah. Apabila dibandingkan dengan baku mutu, tingkat konsentrasi inlet tersebut melebihi syarat buangan yang ditentukan pemerintah sehingga akan memberikan dampak yang berbahaya jika dibuang ke lingkungan. Dari hasil perhitungan, diperoleh rataan konsentrasi BOD inlet dan COD inlet yang dihasilkan oleh PT. UNITEX, masing-masing 147 mg/l dan 375 mg/l. Rataan konsentrasi parameter setelah diolah dengan IPAL (outlet) mengalami penurunan dibandingkan sebelum diolah dengan IPAL (inlet). Nilai baku mutu limbah cair untuk industri tekstil yang diizinkan untuk dibuang ke lingkungan berdasarkan KepGub Jawa Barat No. 6 Tahun 1999 untuk parameter BOD maksimum sebesar 60 mg/l dan COD sebesar 150 mg/l. Jika dibandingkan dengan baku mutu limbah cair, konsentrasi limbah setelah melalui IPAL PT. UNITEX menghasilkan rata-rata BOD outlet sebesar 41 mg/l dan rata-rata COD

outlet sebesar 110 mg/l. Dari data ini terlihat bahwa konsentrasi parameter tersebut tidak ada yang melewati syarat buangan yang ditentukan. IPAL PT.

UNITEX berfungsi dengan baik karena menghasilkan kandungan/konsentrasi parameter kualitas limbah cair yang layak dibuang ke lingkungan. Nilai pengurangan konsentrasi limbah cair antara inlet dengan outlet menunjukkan besarnya tingkat pencemaran yang berhasil diturunkan oleh perusahaan setelah melalui proses pengolahan air limbah dalam IPAL dengan tujuan agar memenuhi baku mutu yang ditetapkan pemerintah. Dari hasil perhitungan selisih konsentrasi inlet-outlet yang berhasil diturunkan oleh PT. UNITEX untuk BOD inlet-outlet sebesar 106 mg/l dan COD inlet-outlet sebesar 265 mg/l.

Tabel 11. Hasil Perhitungan Rata-Rata Konsentrasi Parameter Limbah Cair Inlet, Outlet, dan Inlet-Outlet IPAL PT. UNITEX Parameter Satuan Baku Mutu Limbah Inlet Outlet InletLimbah Cair Cair Industri Tekstil Outlet BOD mg/l 147 41 106 60 COD mg/l 375 110 265 150

2. Persentase Pengurangan Konsentrasi Parameter Inlet dengan Outlet Persentase pengurangan konsentrasi parameter inlet-outlet dihitung berdasarkan distribusi selisih BOD inlet-outlet dan COD inlet-outlet PT. UNITEX. Perhitungan persentase pengurangan konsentrasi parameter inlet-outlet dapat dilihat pada Lampiran 5. Tabel 12 menunjukkan hasil perhitungan rataan dan persentase pengurangan konsentrasi masing-masing parameter limbah cair sebelum dan sesudah IPAL (inlet-outlet). Hasil perhitungan persentase pengurangan konsentrasi inlet-outlet untuk BOD inlet-outlet sebesar 28 persen dan COD inlet-outlet sebesar 72 persen. Hasil persentase ini digunakan untuk menentukan nilai MAC yang merupakan tambahan biaya yang dikeluarkan oleh

perusahaan untuk mengurangi satu-satuan (mg/l) konsentrasi parameter limbah cair.

Tabel 12. Hasil Perhitungan Rata-Rata dan Persentase Pengurangan Konsentrasi Parameter Limbah Cair Sebelum dan Sesudah IPAL (Inlet-Outlet) Parameter Limbah Cair Rata-Rata Persentase Sebelum dan Sesudah IPAL (Inlet-Outlet) (mg/l) (%) BOD inlet-outlet 106 28 COD inlet-outlet 265 72 Jumlah 371 100

3. Nilai Marginal Abatement Cost (MAC) Perhitungan MAC per 1 mg/l setiap bulan dan rataan nilai MAC per 1 mg/l dapat dilihat pada Lampiran 6. Tabel 13 menunjukkan hasil rataan MAC PT. UNITEX setiap 1 mg/l. Dari hasil perhitungan ditemukan bahwa untuk mengurangi tingkat konsentrasi parameter BOD dan COD per 1 mg/l maka perusahaan mengeluarkan tambahan biaya masing-masing sebesar Rp 599.743,00 dan Rp 647.992,00 yang digunakan untuk biaya pengolahan air limbah. Sementara itu hasil salah satu studi di Cina memperkirakan abatement cost pencemaran air untuk industri di Cina adalah sebesar $ 15 per ton BOD dan $ 30 per ton COD.4

Tabel 13. Hasil Perhitungan Rataan MAC PT. UNITEX per 1 mg/l Parameter Limbah Cair Rata-Rata MAC (Rupiah) BOD 599.743 COD 647.992

Setelah diketahui rataan MAC setiap 1 mg/l maka dapat dihitung nilai MAC untuk mencapai konsentrasi 0 mg/l (tidak ada pencemaran sama sekali), 4

Dasgupta, Susmita; Huq, Minul; Wheeler, David; Chonghua Zhang;.1996.Water Pollution Abatement By Chinese Industry : Cost Estimates And Policy Implications. Situs: http://wwwwds.worldbank.org/servlet/WDSContentServer/WDSP/IB/1996/08/01/000009265_3961214131504 /Rendered/PDF/multi_page.pdf. (diakses tanggal 18 Desember 2008)

konsentrasi maksimum inlet (tidak ada upaya pengolahan air limbah), serta outlet. Hasil perhitungannya dapat dilihat pada Tabel 14. Tambahan biaya yang dikeluarkan oleh PT. UNITEX untuk mengurangi konsentrasi BOD dan COD sampai mencapai konsentrasi nol yaitu Rp 88.162.162,00 dan Rp 242.996.995,00. Sementara itu, tambahan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan ketika tingkat pencemaran maksimum (konsentrasi ketika inlet) yaitu pada saat konsentrasi BOD sebesar 147 mg/l dan COD sebesar 375 mg/l, masing-masing sebesar Rp 0,00. Hal ini berarti tidak ada biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan Tingkat konsentrasi yang dihasilkan setelah melalui proses pengolahan air limbah dalam IPAL (outlet) mengalami pengurangan, untuk parameter BOD sebesar 41 mg/l dan COD sebesar 110 mg/l maka tambahan biaya yang dikeluarkan yaitu Rp 63.572.715,00 dan Rp 171.717.876,00.

Tabel 14.

Hasil Perhitungan MAC PT. UNITEX ketika Tidak ada Pencemaran, Inlet, dan Outlet Parameter Tidak ada Inlet Outlet Pencemaran Kadar MAC Kadar MAC Kadar MAC (mg/l) (rupiah) (mg/l) (rupiah) (mg/l) (rupiah) BOD 0 88.162.162 147 0 41 63.572.715 COD 0 242.996.995 375 0 110 171.717.876

6.2 Estimasi Persamaan dan Kurva Marginal Abatement Cost (MAC) Dari hasil perhitungan di atas dapat diestimasi persamaan dan kurva MAC dari parameter BOD dan COD. Persamaan MAC untuk masing-masing parameter dalam penelitian ini diperoleh dengan pendekatan persamaan garis linier dua titik. Perhitungan persamaan MAC untuk parameter BOD dan COD masing-masing dapat dilihat pada Lampiran 9. Slope (kemiringan) dari kurva MAC adalah negatif, hal ini menunjukkan setiap pengurangan konsentrasi parameter (BOD dan

COD) akan meningkatkan tambahan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan. Persamaan dan kurva MAC untuk masing-masing parameter adalah sebagai berikut: 1. Persamaan dan Kurva MAC untuk Parameter BOD Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan persamaan MAC untuk parameter BOD sebagai berikut:

MACBOD = 88.162.162 – 599.742,5986 BOD Pada persamaan di atas, nilai 88.162.162 menunjukkan tambahan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk mengurangi konsentrasi BOD sampai mencapai 0 mg/l adalah sebesar Rp 88.162.162,00. Sementara itu, nilai – 599.743 menunjukkan apabila terjadi kenaikan konsentrasi BOD sebesar satu-satuan (mg/l), maka tambahan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan akan berkurang sebesar Rp 599.743,00. Sebagai contoh apabila terjadi kenaikan konsentrasi BOD dari konsentrasi 0 mg/l menjadi 1 mg/l maka biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan awalnya Rp 88.162.162,00 menjadi Rp 87.562.419,00. Hal ini berarti kenaikan konsentrasi BOD setiap 1 mg/l terjadi pengurangan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan sebesar Rp 599.743,00. Dengan demikian melalui persamaan tersebut dapat diketahui biaya tambahan yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk mengurangi konsentrasi parameter BOD per 1 mg/l adalah sebesar Rp 599.743,00. Hal ini sesuai dengan kriteria ekonomi lingkungan bahwa semakin tinggi konsentrasi BOD dalam air limbah maka tambahan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam proses pengolahan air limbah (MAC) akan semakin rendah.

Selanjutnya dibuat kurva MAC berdasarkan nilai MAC BOD. Gambar 21 menunjukkan kurva MAC untuk parameter BOD. Kurva MAC memiliki slope negatif yang menunjukkan semakin besar pengurangan konsentrasi limbah cair maka biaya tambahan yang dikeluarkan oleh perusahaan akan semakin besar. Kurva MAC BOD dimulai dari tingkat pencemaran maksimum (inlet) sebesar 147 mg/l. Nilai tersebut yang menunjukkan tingkat konsentrasi BOD tertinggi yang dapat dihasilkan oleh perusahaan, sebelum adanya upaya dalam proses pengolahan air limbah. Hal ini berarti tidak ada biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan. Seiring pengurangan konsentrasi BOD yang semakin besar maka MAC yang dikeluarkan juga akan semakin besar. Dengan demikian apabila perusahaan (PT. UNITEX) berupaya untuk mengurangi konsentrasi BOD sampai mencapai 0 mg/l, maka biaya tambahan yang dikeluarkan adalah sebesar Rp 88.162.162,00. MAC BOD 100000000 90000000

(0;88.162.162)

80000000 Rupiah Rupiah

70000000 60000000 50000000 40000000 30000000 (147;0)

20000000 10000000 0 0

Konsentrasi Parameter BOD (mg/l)

Gambar 21. Kurva MAC untuk Parameter BOD

2. Persamaan dan Kurva MAC untuk Parameter COD

147

Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan persamaan MAC untuk parameter COD sebagai berikut:

MACCOD = 242.996.995– 647.991,9867 COD Pada persamaan di atas, nilai 242.996.995 menunjukkan biaya tambahan yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk mengurangi konsentrasi COD sampai mencapai 0 mg/l adalah sebesar Rp 242.996.995,00 Sementara itu, nilai – 647.992 menunjukkan apabila konsentrasi COD bertambah sebesar satu-satuan (mg/l) maka tambahan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan akan berkurang sebesar Rp 647.992,00. Sebagai contoh apabila terjadi kenaikan konsentrasi COD dari konsentrasi 0 mg/l menjadi 1 mg/l maka biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan awalnya Rp 242.996.995,00 menjadi Rp 242.349.003,00. Hal ini berarti kenaikan konsentrasi COD setiap 1 mg/l terjadi pengurangan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan sebesar Rp 647.992,00. Dengan demikian melalui persamaan tersebut dapat diketahui biaya tambahan yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk mengurangi konsentrasi parameter BOD setiap 1 mg/l adalah sebesar Rp 647.992,00. Hal ini sesuai dengan kriteria ekonomi lingkungan bahwa semakin tinggi konsentrasi COD dalam air limbah maka tambahan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan dalam proses pengolahan air limbah (MAC) akan semakin rendah. Selanjutnya dibuat kurva MAC berdasarkan nilai MAC COD. Gambar 22 menunjukkan kurva MAC untuk parameter COD. Kurva MAC memiliki slope negatif yang menunjukkan semakin besar pengurangan konsentrasi limbah cair, maka biaya tambahan yang dikeluarkan oleh perusahaan akan semakin besar. Kurva MAC COD dimulai dari tingkat pencemaran maksimum (inlet) sebesar 375

mg/l yang merupakan tingkat konsentrasi COD tertinggi yang dapat dihasilkan oleh perusahaan sebelum adanya upaya dalam proses pengolahan air limbah. Hal ini berarti tidak ada biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan. Seiring pengurangan konsentrasi COD yang semakin besar maka MAC yang dikeluarkan juga akan semakin besar. Dengan demikian apabila perusahaan (PT. UNITEX) berupaya untuk mengurangi konsentrasi COD sampai mencapai 0 mg/l, maka biaya tambahan yang dikeluarkan adalah sebesar Rp 242.996.995,00 MAC COD 270000000 (0;242.996.995)

240000000 210000000

Rupiah

Rupiah

180000000 150000000 120000000 90000000 60000000 (375;0)

30000000 0 0

Konsentrasi Parameter COD (mg/l)

0 375

Gambar 22. Kurva MAC untuk Parameter COD

VII. ESTIMASI MARGINAL DAMAGE (MD)

7.1 Estimasi Nilai MD Dalam penelitian ini untuk mengetahui MD masyarakat menggunakan nilai total WTA masyarakat melalui pendekatan CVM. MD merupakan tambahan biaya kerusakan karena tambahan satu-satuan (mg/l) konsentrasi parameter limbah cair yang bersifat intangibel. Oleh karena itu, menggunakan pendekatan WTA yang digunakan untuk mengestimasi nilai kerusakan dari barang lingkungan yang dapat diukur secara ekonomi (tangibel). Dengan demikian nilai MD dapat dilihat dari total WTA masyarakat. Untuk memperoleh nilai WTA masyarakat menggunakan metode CVM yang merupakan teknik survei penilaian WTA secara langsung dengan survei dan wawancara dengan kuesioner. Hasil pelaksanaan enam langkah kerja dalam metode CVM sebagai berikut: 1. Pasar Hipotesis (Setting Up The Hypothetical Market) Untuk memberikan gambaran responden kepada masyarakat mengenai pentingnya nilai jasa lingkungan Sungai Cibudig bagi masyarakat, responden dihadapkan pada dua kondisi aktual, sebagai berikut: Kondisi I: Seluruh responden diberikan penjelasan mengenai keadaan air sungai di bagian hulu sebelum terjadinya pencemaran dan kondisi Sungai Cibudig sebelum terkontaminasi pembuangan air limbah PT. UNITEX. Selanjutnya responden diminta membandingkan kerugian yang dirasakan dari perubahan kondisi air tersebut. Kondisi II :

Seluruh responden diberikan penjelasan mengenai keadaan Sungai Cibudig yang sudah tercemar pembuangan air limbah PT. UNITEX dibandingkan dengan kondisi Sungai Cibudig sebelum terkontaminasi pembuangan air limbah PT. UNITEX. Jika ada pemberian dana kompensasi terhadap masyarakat yang merasakan perubahan kondisi air tersebut, sehubungan dengan itu, responden akan ditanyakan besarnya dana kompensasi yang dikehendaki per bulan. Dengan demikian responden memperoleh gambaran situasi pasar hipotesis mengenai dana kompensasi sebagai ganti rugi karena adanya penurunan kualitas lingkungan (pencemaran air). 2. Nilai Penawaran WTA (Obtaining Bids) Berdasarkan nilai WTA yang didapatkan dari hasil wawancara (tatap muka) dengan responden, maka diperoleh beberapa nilai dana kompensasi yang bersedia diterima responden (WTA). Dari hasil perhitungan diperoleh rata-rata nilai WTA responden sebesar Rp 86.097,56 per bulan per keluarga. 3. Rataan Nilai WTA (Estimating Mean WTA/EWTA) Dugaan rataan WTA (EWTA) responden dihitung berdasarkan data distribusi WTA responden dapat dilihat Tabel 15.

Tabel 15. Distribusi WTA Responden No. Nilai WTA (Rp/bln) Frekuensi (Orang) 1. 50.000 2 2. 60.000 3 3. 70.000 6 4. 75.000 2 5. 80.000 8 6. 85.000 2 7. 100.000 16 8. 120.000 1 9. 150.000 1 Jumlah 41

Frekuensi Relatif 0,05 0,07 0,15 0,05 0,20 0,05 0,39 0,02 0,02 1

Jumlah (Rp/bln) 2.439,02 4.390,24 10.243,90 3.658,54 15.609,76 4.146,34 39.024,39 2.926,83 3.658,54 86.097,56

Dari perhitungan di atas diperoleh dugaan rataan WTA (EWTA) sebesar Rp 86.097,56 per bulan per kepala keluarga. 4. Kurva Penawaran WTA (Bid Curve) Kurva WTA merupakan kurva yang menghubungkan antara nilai WTA yang diinginkan oleh masyarakat (Rp/bulan) dengan tingkat pencemaran masingmasing konsentrasi parameter BOD dan COD (mg/l). Dalam penelitian ini kurva penawaran WTA dijadikan sebagai kurva MD masyarakat. Dengan demikian, kurva MD masyarakat merupakan kurva yang menghubungkan antara nilai kerusakan (rupiah) dengan masing-masing konsentrasi parameter BOD dan COD (mg/l). Berdasarkan jawaban yang diperoleh dari responden, didapatkan kurva MD masyarakat untuk masing-masing parameter BOD dan COD dapat dilihat pada Gambar 23 dan 24 . 5. WTA Total (Agregating Data) Tabel 16 menunjukkan hasil perhitungan total WTA dari masyarakat (TWTA). Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh nilai total WTA dari responden sebesar Rp 3.530.000,00.

Tabel 16. Total WTA (TWTA) Responden No. Nilai WTA (Rp/bulan) Frekuensi (orang) 1. 50.000 2 2. 60.000 3 3. 70.000 6 4. 75.000 2 5. 80.000 8 6. 85.000 2 7. 100.000 16 8. 120.000 1 9. 150.000 1 Total 41

Jumlah (Rp/bulan) 100.000 180.000 420.000 150.000 640.000 170.000 1.600.000 120.000 150.000 3.530.000

Tabel 17 berikut ini menujukkan ringkasan rataan WTA responden, TWTA responden, dan TWTA masyarakat beserta tingkat konsentrasi parameter ketika kondisi sebelum ada pencemaran dan kondisi Sungai Cibudig setelah tercemar pembuangan air limbah PT. UNITEX.

Tabel 17. Rataan WTA Responden, TWTA Responden, dan TWTA Masyarakat Beserta Tingkat Konsentrasi Masing-Masing Parameter Rataan WTA TWTA TWTA Tingkat Konsentrasi Kondisi Responden Responden Masyarakat Parameter (Rupiah) (Rupiah (Rupiah) Kondisi Sebelum Ada BOD = 2 mg/l 0 0 0 Pencemaran COD = 10 mg/l Kondisi Sungai BOD = 12 mg/l Cibudig Setelah 86.097,56 3.530.000 6.026.829,20 Tercemar Pembuangan Limbah PT. UNITEX COD = 192 mg/l

Nilai rataan WTA responden dan TWTA masyarakat terhadap kondisi sebelum ada pencemaran, masing-masing sebesar Rp 0,00 dan sebagai acuan dalam menentukan tingkat konsentrasi terhadap kondisi sebelum adanya pencemaran tersebut adalah PP RI No.82/2001 untuk klasifikasi mutu air kelas satu. Sementara itu, nilai WTA rata-rata yang diinginkan oleh responden sebesar Rp 86.097,56/KK/bulan dan TWTA responden sebesar Rp 3.530.000,00. Setelah diperoleh nilai rataan WTA responden maka dapat diduga nilai total WTA masyarakat Total WTA (TWTA) dari masyarakat sebesar Rp 6.026.829,20/bulan.

6. Evaluasi Pelaksanaan CVM Berdasarkan hasil analisis regresi berganda diperoleh model WTAi sebagai berikut:

WTAi = 85196.87– 3387,158 X1i + 55,00213X2i + 1095,041X3i – 50,14336X4i + 1334,641X5i – 0,007307X6i + 28148,90X7i +εi dimana: X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 i ε

= Tingkat pendidikan (tahun) = Lama tinggal (tahun) = Jumlah tanggungan (orang) = Jarak tempat tinggal dengan sungai (meter) = Jenis kelamin (bernilai 1 untuk “laki-laki” dan bernilai 0 untuk “perempuan”) = Tingkat pendapatan (rupiah/bulan) = Pengetahuan mengenai dampak negatif limbah (bernilai satu jika ”tahu dan bernilai nol jika ”tidak tahu”) = Responden ke i yang bersedia menerima dana kompensasi (i=1,2,…,41) = Galat

Tabel 18 menunjukkan hasil analisis nilai WTA responden. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7.

Tabel 18. Hasil Analisis Nilai WTA Responden Variabel Koefisien Prob. Keterangan C (konstanta) 85196.87 0.0000 X1 Tingkat pendidikan (tahun) -3387.158 0.0000* Berpengaruh nyata X2 Lama tinggal (tahun) 55.00213 0.7251 Tidak Berpengaruh nyata X3 Jumlah tanggungan (orang) 1095.041 0.6459 Tidak Berpengaruh nyata X4 Jarak (meter) -50.14336 0.1718*** Berpengaruh nyata X5 Dummy jenis kelamin 1334.641 0.7877 Tidak Berpengaruh nyata X6 Pendapatan (rupiah/bulan) -0.007307 0.1992*** Berpengaruh nyata X7 Dummy pengetahuan 28148.90 0.0832** Berpengaruh nyata dampak negatif limbah R-squared 0.540419 Adjusted R-squared 0.442933 F-statistic 5.543514 Prob(F-statistic) 0.000278 Keterangan: *, ** , *** = tingkat kepercayaan berturut-turut adalah 99%, 90%, dan 80%

Dari hasil pengolahan data pada Tabel 18 di atas diperoleh bahwa model yang dihasilkan tergolong baik karena R2 yang dihasilkan bernilai 54,04 persen artinya keragaman WTA responden sebesar 54,04 persen dapat diterangkan oleh keragaman variabel-variabel penjelas dalam model, sedangkan sisanya sebesar 45,96 persen dijelaskan oleh faktor lain di luar model. Nilai R2 untuk data cross

section dari survei WTA seringkali tidak tinggi sebagaimana yang diberikan model-model data cross section hasil penelitian dengan menggunakan metode selain CVM. Penelitian yang berkaitan dengan benda-benda lingkungan dapat mentolerir nilai R2 sampai 15 persen (Mitchell dan Carson, 1989 dalam Harianja, 2006). Oleh karena itu hasil pelaksanaan CVM dalam penelitian ini, masih dapat diyakini kebenarannya atau keandalannya (reliable). Secara bersama-sama, variabel-variabel bebas berpengaruh nyata terhadap model. Data yang digunakan dalam analisis ini telah diuji normalitasnya (menyebar normal) dengan uji Jarque Bera sehingga data tersebut valid untuk diolah dengan teknik regresi berganda. Model yang dihasilkan juga telah diuji multikolinearitas dan heteroskedastisitas. Dari hasil uji keduanya, tidak diperoleh pelanggaran. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 8. Variabel tingkat pendidikan secara nyata mempengaruhi model pada tingkat kepercayaan adalah 99 persen karena masing-masing memiliki nilai P-

value sebesar 0.0000 artinya bahwa variabel ini berpengaruh nyata terhadap nilai WTA responden pada taraf α = 1 persen. Nilai koefisien bertanda negatif berarti bahwa jika tingkat pendidikan responden rendah, maka responden tersebut akan memberikan nilai WTA yang lebih tinggi dan sebaliknya. Hubungan ini tidak sesuai dengan dugaan sebelumnya yaitu semakin tinggi tingkat pendidikan

responden maka nilai WTA yang diinginkan semakin besar. Ketidaksesuaian tanda tersebut disebabkan sebagian responden berpendidikan rendah tidak menghitung perbandingan biaya untuk pengolahan air limbah dan dana kompensasi, responden langsung menyebut nilai dana kompensasi yang tinggi. Variabel pengetahuan responden mengenai dampak negatif limbah berpengaruh nyata terhadap nilai WTA responden pada taraf α = 10 persen dikarenakan memiliki P-value sebesar 0.0832. Nilai koefisien menunjukkan tanda positif. Hal ini berarti jika responden mengetahui dampak negatif dari limbah maka mempengaruhi responden untuk memberikan nilai WTA yang lebih tinggi. Variabel jarak dan pendapatan secara nyata mempengaruhi model pada tingkat kepercayaan 80 persen. Variabel jarak memiliki nilai P-value sebesar 0.1718 artinya variabel ini berpengaruh nyata terhadap nilai WTA responden pada taraf α = 20 persen. Variabel jarak memiliki nilai koefisien bertanda negatif (-) artinya semakin dekat jarak tempat tinggal dengan sungai maka responden semakin merasakan langsung dampak negatif akibat pembuangan limbah terutama bau yang tidak sedap sehingga nilai WTA yang dikehendaki juga semakin tinggi. Selain itu, semakin dekat jarak sungai dengan rumah dapat menunjukkan responden semakin memiliki ketergantungan dengan sungai sehingga nilai WTA yang diinginkan juga semakin tinggi. Sementara itu, variabel tingkat pendapatan memiliki P-value sebesar 0.1992 artinya variabel ini berpengaruh nyata terhadap nilai WTA responden pada taraf α = 20 persen. Nilai koefisien menunjukkan tanda negatif, yang berarti semakin besar pendapatan responden maka semakin rendah nilai WTA. Semakin besar pendapatan maka responden semakin tidak membutuhkan dana kompensasi yang tinggi karena pendapatan yang diperoleh

dianggap dapat memenuhi biaya kebutuhan hidup. Sebaliknya, jika tingkat pendapatan responden lebih rendah diduga akan memberikan nilai WTA yang lebih tinggi.

7.2 Estimasi Persamaan dan Kurva Marginal Damage (MD) Estimasi persamaan MD untuk masing-masing parameter didapatkan dengan pendekatan persamaan garis linier dua titik. Perhitungan persamaan MD untuk parameter BOD dan COD masing-masing dapat dilihat pada Lampiran 9. Untuk mengetahui nilai MD menggunakan nilai total WTA masyarakat. Persamaan dan kurva MD untuk masing-masing parameter sebagai berikut: 1. Persamaan dan Kurva MD untuk Parameter BOD Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan persamaan MD masyarakat untuk parameter BOD sebagai berikut:

MD = -1.228.335,718+ 614.167,859 BOD Pada persamaan di atas, nilai 614.168 menunjukkan apabila terjadi peningkatan konsentrasi parameter BOD dari 2 mg/l menjadi 3 mg/l maka tambahan biaya kerusakan yang diterima oleh masyarakat meningkat menjadi sebesar Rp 614.168,00. Sebagai contoh apabila terjadi kenaikan BOD dari 2 mg/l menjadi 3 mg/l maka biaya kerusakan yang diterima masyarakat yang awalnya sebesar Rp 0,00 menjadi Rp 614.168,00. Hal ini menunjukkan kenaikan konsentrasi BOD setiap 1 mg/l terjadi peningkatan biaya kerusakan sebesar Rp 614.168,00. Dengan demikian melalui persamaan tersebut dapat diketahui biaya tambahan kerusakan yang diterima masyarakat ketika terjadi peningkatan konsentrasi BOD setiap 1 mg/l adalah sebesar Rp 614.168,00. Hal ini sesuai dengan teori ekonomi

lingkungan bahwa semakin tinggi konsentrasi BOD yang dilepaskan ke lingkungan maka semakin besar tambahan biaya kerusakannya. Persamaan di atas menunjukkan pencemaran baru terjadi ketika konsentrasi parameter BOD 3 mg/l sedangkan untuk konsentrasi BOD di bawah 3 mg/l dengan ambang batas 2 mg/l, belum terjadi pencemaran sehingga dianggap tambahan biaya kerusakan sampai mencapai ambang batas tersebut sebesar Rp 0,00. Selanjutnya dibuat kurva MD berdasarkan total WTA masyarakat. Kurva MD ini menggambarkan hubungan nilai kerusakan (Rp/bulan) dengan tingkat pencemaran. Pada gambar tersebut dimulai di sebelah kanan titik (0,0) yang berarti bahwa pencemaran baru mulai pada sejumlah konsentrasi tertentu (mg/l) kemudian kerusakan meningkat secara linier dengan bertambahnya konsentrasi. Penentuan tingkat konsentrasi ambang, berdasarkan klasifikasi mutu air kelas satu dalam PP RI No.82/2001 mengenai pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Pada kurva MD untuk parameter BOD dimulai dari konsentrasi sebesar 2 mg/l artinya kerusakan akibat pencemaran air baru terjadi setelah konsentrasi BOD sebesar 2 mg/l. Dengan demikian sampai mencapai ambang batas, tambahan kerusakan bernilai Rp 0,00 karena belum terjadi pencemaran. Seiring bertambahnya konsentrasi BOD maka tambahan kerusakan akan meningkat secara linier. Kerusakan total pada kurva tersebut ditunjukkan berdasarkan hasil analisis terhadap kondisi Sungai Cibudig setelah tercemar pembuangan air limbah PT. UNITEX untuk parameter BOD adalah sebesar 12 mg/l dengan nilai kerusakan sebesar Rp 6.026.829,20. Gambar 23 menunjukkan kurva MD untuk parameter BOD.

MD BOD 7000000 6000000

(12;6.026.829,20)

Rupiah Rupiah

5000000 4000000 3000000 2000000 1000000 0

(2;0) 2

12

Konsentrasi Parameter BOD (mg/l)

Gambar 23. Kurva MD untuk Parameter BOD

2. Persamaan dan Kurva MD untuk Parameter COD Berdasarkan hasil perhitungan didapatkan persamaan MD untuk parameter COD sebagai berikut:

MD = -332.056,7052 + 33.205,67052 COD Pada persamaan di atas, nilai 33.206 menunjukkan apabila terjadi peningkatan konsentrasi parameter COD dari 10 mg/l menjadi 11 mg/l maka tambahan biaya kerusakan yang diterima oleh masyarakat meningkat menjadi sebesar Rp 33.206,00. Sebagai contoh apabila terjadi kenaikan COD dari 10 mg/l menjadi 11 mg/l maka biaya kerusakan yang diterima masyarakat yang awalnya sebesar Rp 0,00 menjadi Rp 33.206,00. Hal ini menunjukkan kenaikan konsentrasi COD setiap 1 mg/l terjadi peningkatan biaya kerusakan sebesar Rp 33.206,00. Dengan demikian melalui persamaan tersebut dapat diketahui biaya tambahan kerusakan yang diterima masyarakat ketika terjadi peningkatan konsentrasi COD setiap 1 mg/l adalah sebesar Rp 33.206,00. Hal ini sesuai dengan teori ekonomi

lingkungan bahwa semakin tinggi konsentrasi COD yang dilepaskan ke lingkungan maka semakin besar tambahan biaya kerusakannya. Persamaan di atas menunjukkan pencemaran baru terjadi ketika konsentrasi parameter COD 11 mg/l sedangkan untuk konsentrasi COD di bawah 11 mg/l dengan ambang batas 10 mg/l, belum terjadi pencemaran sehingga dianggap tambahan biaya kerusakan sampai mencapai ambang batas tersebut sebesar Rp 0,00. Selanjutnya dibuat kurva MD berdasarkan total WTA masyarakat. Kurva MD ini menggambarkan hubungan nilai kerusakan (Rp/bulan) dengan tingkat pencemaran. Pada gambar tersebut dimulai di sebelah kanan titik (0,0) yang berarti bahwa pencemaran baru mulai pada sejumlah konsentrasi tertentu (mg/l) kemudian kerusakan meningkat secara linier dengan bertambahnya konsentrasi. Penentuan tingkat konsentrasi ambang, berdasarkan klasifikasi mutu air kelas satu dalam PP RI No.82/2001 mengenai pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air. Pada kurva MD untuk parameter COD dimulai dari konsentrasi sebesar 10 mg/l artinya kerusakan akibat pencemaran air baru terjadi setelah konsentrasi BOD sebesar 10 mg/l. Dengan demikian sampai mencapai ambang batas, tambahan kerusakan bernilai Rp 0,00 karena belum terjadi pencemaran. Seiring bertambahnya konsentrasi COD maka tambahan kerusakan akan meningkat secara linier. Kerusakan total pada kurva tersebut ditunjukkan berdasarkan hasil analisis terhadap kondisi Sungai Cibudig setelah tercemar pembuangan air limbah PT. UNITEX untuk parameter COD adalah sebesar 192 mg/l dengan nilai kerusakan sebesar Rp 6.026.829,20. Gambar 24 menunjukkan kurva MD untuk parameter COD.

MD COD 7000000 (192;6.026.829,20)

6000000

Rupiah Rupiah

5000000 4000000 3000000 2000000 1000000 (10;0) 0

10 192 Konsentrasi Parameter COD (mg/l)

Gambar 24. Kurva MD untuk Parameter COD

VIII. PENETAPAN NILAI PAJAK LINGKUNGAN

8.1 Estimasi Penetapan Nilai Pajak Lingkungan yang Optimal Besarnya beban pajak lingkungan dapat ditentukan dengan mengetahui persamaan Marginal Abatement Cost (MAC) dan Marginal Damage (MD). Penentuan pajak lingkungan yang optimal diperoleh melalui perpotongan antara kurva MAC dan MD (MAC = MD). Perhitungan pajak lingkungan berdasarkan perpotongan MAC dan MD untuk masing-masing parameter dapat dilihat pada Lampiran 9. Pajak lingkungan untuk masing-masing parameter sebagai berikut: 1. Pajak lingkungan untuk Parameter BOD Persamaan MAC dan MD untuk parameter BOD adalah MAC = 88.162.162 – 599.742,5986 BOD dan MD = -1.228.335,718+ 614.167,859 BOD. Hasil perpotongan kedua persamaan tersebut didapatkan nilai pajak yang optimal yaitu Rp 43.998.040,00 ketika tingkat konsentrasi BOD sebesar 74 mg/l. Jadi, ketika konsentrasi parameter 74 mg/l BOD maka perusahaan harus membayar pajak sebesar Rp 43.998.040,00. Penetapan nilai pajak lingkungan untuk parameter BOD berdasarkan titik perpotongan antara MAC dan MD dapat dilihat pada Gambar 25. Setelah diperoleh pajak lingkungan yang optimal berdasarkan efisiensi masyarakat maka dapat diduga pajak lingkungan yang optimal terhadap pencemaran per 1 mg/l untuk parameter BOD sebesar Rp 594.568,00. Hasil ini didapatkan dengan cara membagi nilai pajak lingkungan dari hasil perpotongan antara

MAC

dengan

MD

perhitungannya sebagai berikut:

(MAC=MD)

dengan

konsentrasinya.

Cara

=

Rp 43.998.040,00 74 mg/l

= Rp 594.568,00 Berdasarkan nilai pajak lingkungan per 1 mg/l, dapat diketahui pajak berdasarkan outlet PT. UNITEX. Outlet PT. UNITEX untuk parameter BOD sebesar 41 mg/l. Jadi pajak yang harus dibayarkan oleh PT. UNITEX untuk parameter BOD adalah Rp 24.377.288,00. Hasil ini diperoleh melalui perkalian antara pajak lingkungan per 1 mg/l dengan rata-rata outlet perusahaan. Cara perhitungannya sebagai berikut: = Rp 594.568,00 * 41 mg/l = Rp 24.377.288,00 BOD 100000000 90000000

MAC

80000000

MD

Rupiah Rupiah Rupiah

70000000 60000000 50000000

(74;43.998.040)

40000000 30000000 20000000 10000000 0 0

10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 130 140 150 160

Konsentrasi Parameter BOD (mg/l)

Gambar 25. Pajak Lingkungan yang Optimal ketika Efisiensi Masyarakat (MAC=MD) untuk Parameter BOD 2. Pajak Lingkungan untuk Parameter COD Persamaan MAC dan MD untuk parameter COD adalah MAC = 242.996.995– 647.991,9867 COD dan MD = -332.056,7052 + 33.205,67052

COD. Hasil perpotongan kedua persamaan tersebut didapatkan nilai pajak yang optimal yaitu Rp 11.529.265,00 ketika tingkat konsentrasi COD sebesar 357 mg/l. Jadi, ketika konsentrasi parameter 357 mg/l COD maka perusahaan harus membayar pajak sebesar Rp 11.529.265,00. Penetapan nilai pajak lingkungan untuk parameter COD berdasarkan titik perpotongan antara MAC dan MD dapat dilihat pada Gambar 26. Setelah diperoleh pajak lingkungan yang optimal berdasarkan efisiensi masyarakat maka dapat diduga pajak lingkungan yang optimal terhadap pencemaran per 1 mg/l untuk parameter COD sebesar Rp 32.295,00. Hasil ini didapatkan dengan cara membagi nilai pajak lingkungan dari hasil perpotongan MAC dengan MD (MAC=MD) dengan konsentrasinya. Cara perhitungannya sebagai berikut:

=

Rp 11.529.265,00 357 mg/l

= Rp 32.295,00 Berdasarkan nilai pajak lingkungan per 1 mg/l, dapat diketahui pajak berdasarkan outlet PT. UNITEX. Outlet PT. UNITEX untuk parameter COD sebesar 110 mg/l. Jadi pajak yang harus dibayarkan oleh PT. UNITEX untuk parameter COD adalah Rp 3.552.450,00. Hasil ini diperoleh melalui perkalian antara pajak lingkungan per 1 mg/l dengan rata-rata outlet perusahaan. Cara perhitungannya sebagai berikut: = Rp 32.295,00 * 110 mg/l = Rp 3.552.450,00

\

Gambar 26. Pajak Lingkungan yang Optimal ketika Efisiensi Masyarakat (MAC=MD) untuk Parameter COD Tabel 19 merupakan hasil ringkasan perhitungan pajak lingkungan berdasarkan prinsip efisiensi masyarakat (polluter pay principle), pajak per 1 mg/l, dan pajak berdasarkan outlet PT. UNITEX.

Tabel 19. Hasil Perhitungan Pajak Lingkungan Parameter Efisiensi Masyarakat Pajak (MAC=MD) per 1 mg/l Konsentrasi Pajak (mg/l) (rupiah) BOD 74 43.998.040 594.568 COD 357 11.529.265 32.295

Outlet PT. UNITEX Konsentrasi Pajak (mg/l) (rupiah) 41 24.377.288 110 3.552.450

Besarnya pajak lingkungan yang harus dibayar oleh PT. UNITEX untuk kedua parameter BOD dan COD adalah Rp 27.929.738,00. Hasil ini diperoleh dari penjumlahan pajak masing-masing parameter, adalah sebagai berikut:

∑ Pajak = Pajak BOD + Pajak COD = Rp 24.377.288,00 + Rp 3.552.450,00 = Rp 27.929.738,00

8.2 Pajak Lingkungan dan Retribusi Limbah Cair Besarnya nilai pajak lingkungan yang optimal dapat diketahui melalui perpotongan antara Marginal Abatement Cost (MAC) dan Marginal Damage (MD). Dari hasil perhitungan, besarnya pajak lingkungan yang harus dikeluarkan oleh PT. UNITEX untuk parameter BOD dan COD adalah sebesar Rp 27.929.738,00. Sementara itu Pemerintah Kabupaten Bogor sejak tahun 2001 telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) mengenai retribusi ijin pengolahan limbah cair (IPLC) untuk industri. Peraturan tersebut diatur dalam Perda No.14 Tahun 2001. Sejak tahun 2003 Perda tersebut mengalami perubahan menjadi Perda No.5 Tahun 2003 tentang Retribusi Pembuangan Air Limbah. Perbedaan yang mendasar antara Perda No. 14 Tahun 2001 dengan perda No. 5 Tahun 2003, pada Perda No. 14 Tahun 2001 retribusi dikenakan berdasarkan penggolongan pengolahan limbah cair sedangkan Perda No. 5 Tahun 2003, ditetapkan berdasarkan jumlah volume air limbah yang dibuang ke badan air tiap bulannya dari satu titik pembuangan (outlet IPAL). Perubahan tersebut dengan tujuan agar memenuhi prinsip keadilan Artinya semakin besar volume limbah yang dibuang maka semakin tinggi pula retribusi yang dibayarkan. Perhitungan retribusi izin pembuangan air limbah dalam Perda No. 5 Tahun 2003 ditetapkan berdasarkan jumlah volume air limbah yang dibuang setiap bulannya, indeks lokasi, dan indeks gangguan (penggolongan proses air limbah dalam IPAL). Apabila berdasarkan perhitungan retribusi tersebut diterapkan untuk PT. UNITEX yang mengeluarkan rata-rata jumlah volume air limbah yang dibuang (V) adalah sebesar 42.250 m3/bulan. Indeks lokasi (IL) PT.

UNITEX bernilai 5 karena berada didekat pemukiman masyarakat. Sementara itu, dikarenakan penggolongan pada proses air limbah yang diolah dalam satu unit IPAL PT. UNITEX termasuk kimia non logam sehingga indeks gangguan (IG) bernilai 4. Cara Pengukuran retribusi berdasarkan Perda No. 5 Tahun 2003 selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 10. Berikut ini perhitungan retribusi izin pembuangan air limbah berdasarkan jumlah volume limbah yang dibuang dari

outlet IPAL PT. UNITEX dapat dilihat pada Tabel 20.

Tabel 20.

Rumus dan Hasil Perhitungan Retribusi Limbah Cair Perda Kabupaten Bogor No. 5 Tahun 2003 Volume limbah cair Rumus Perhitungan Hasil Perhitungan Retribusi (V) Retribusi 0-100 m3/bulan V1x IL x IG x Rp 250,00 100x5x4xRp 250,00= Rp 500.000,00 101-1000 m3/bulan V2x IL x IG x Rp 75,00 900x5x4xRp75,00= Rp 1.350.000,00 > 1000 m3/bulan V3x IL x IG x Rp 25,00 41.250x5x 4xRp 25,00= Rp 20.625.000,00 Jumlah Rp 22.475.000,00

Berdasarkan hasil perhitungan, retribusi yang dibayarkan oleh PT. UNITEX lebih rendah yaitu sebesar Rp 22.475.000,00 dibandingkan dengan pajak lingkungan yang dibayarkan sebesar Rp 27.929.738,00. Hal ini dikarenakan dalam penetapan retribusi tidak diperhitungkan besarnya dampak pencemaran yang diterima oleh masyarakat karena pembuangan air limbah ke lingkungan. Sementara pada penentuan pajak lingkungan, ikut diperhitungkan dampak pencemaran yang diterima masyarakat. Pada penentuan pajak lingkungan ini dilihat baik dari sisi perusahaan maupun masyarakat sehingga selain dipertimbangkan biaya penanggulangan pencemaran yang dikeluarkan oleh perusahaan juga memperhitungkan dampak pencemaran yang diterima oleh masyarakat.

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

9.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Estimasi tambahan biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk mengurangi satu-satuan konsentrasi parameter limbah cair (MAC/Marginal Abatement

Cost) untuk parameter BOD sebesar Rp 599.743,00 per mg/l dan parameter COD sebesar Rp 647.992,00. 2. Estimasi tambahan biaya kerusakan yang diterima masyarakat akibat pencemaran air sungai (Marginal Damage/MD), rata-rata responden sebesar Rp 86.097,00/bulan dan MD masyarakat sebesar Rp 6.026.829,20/bulan. Faktor yang mempengaruhi nilai MD tersebut adalah tingkat pendidikan, jarak tempat tinggal dengan sungai, pendapatan, dan pengetahuan mengenai dampak negatif limbah. 3. Nilai pajak lingkungan yang optimal terhadap pencemaran limbah cair industri tekstil berdasarkan polluter pays principle (MAC=MD) untuk parameter BOD sebesar Rp 43.998.040,00 ketika tingkat konsentrasi BOD sebesar 74 mg/l. Sementara itu, untuk parameter COD hasil perpotongan persamaan (MAC=MD) didapatkan tingkat pajak yang optimal yaitu Rp 11.529.265,00 ketika tingkat konsentrasi COD sebesar 357 mg/l. Pajak lingkungan yang optimal terhadap pencemaran per 1 mg/l untuk parameter BOD sebesar Rp 594.568,00 per mg/l dan parameter COD sebesar Rp 32.295,00 per mg/l.

Pajak lingkungan yang seharusnya dibayarkan oleh PT. UNITEX berdasarkan parameter BOD dan COD sebesar Rp 27.929.738,00 per bulan.

9.2 Saran Adapun saran yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah: 1. Sebaiknya pemerintah menetapkan dasar pungutan pajak lingkungan berdasarkan tingkat pencemaran (polluter pays principle) bukan omzet perusahaan. 2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai implikasi/dampak pengenaan pajak lingkungan tersebut terhadap harga dan jumlah produksi perusahaan. 3. Penelitian ini mengenai penetapan nilai pajak lingkungan pada industri tekstil untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya pengambilan sampel melibatkan beberapa industri sepanjang aliran sungai, termasuk industri besar yang memiliki IPAL maupun industri kecil yang tidak memiliki IPAL. Pengujian air sungai sebaiknya dilakukan secara periodik pada musim hujan dan kemarau, sehingga dapat diketahui rata-rata tingkat pencemaran sungai. 4. Penelitian lanjutan lain yang dapat dilakukan yaitu penentuan pajak lingkungan berdasarkan jumlah limbah cair yang dibuang. Hal ini dikarenakan dalam penelitian ini indikator pencemaran berdasarkan atas konsentrasi parameter yang terkandung dalam limbah cair.

DAFTAR PUSTAKA Arianti, N. N. 1999. Analisis Pilihan Sumber Air Bersih dan Kesediaan Membayar Bagi Perbaikan Kualitas dan Kuantitas Air di Kodya Bengkulu. Tesis. Program Studi Ilmu Perencanaan dan Pembangunan Wilayah dan Pedesaan. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Dadan K. 2006. Industri Manufaktur Bakal Dikenakan Pajak Lingkungan 0,5%. Situs: http://www.detikfinance.com/ (diakses tanggal 21 Maret 2008). Dhewanthi, L dan Apriani, A. 2006. ‘Pengenaan Pajak Lingkungan: Telaah terhadap RUU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah’. Jurnal Ekonomi Lingkungan. Edisi 19. Hal. 1-8. Disperingadkop. 2007. Perkembangan Industri di Kota Bogor Tahun 2002-2007. Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Kota Bogor. Bogor. Fachruddin, K. 2007. Peranan Pajak Emisi Gas CO2 Bahan Bakar Fosil Dalam Mengurangi Dampak Lingkungan “Suatu Perspektif untuk Indonesia”. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Field, B. C. 1994. Environmental Economics : An Introductory. McGraw-Hill. Inc. Singapura. Firdaus, M. 2004. Ekonometrika Suatu Pendekatan Aplikatif. Bumi Aksara. Jakarta. Hanley, N dan C. L Spash. 1993. Benefit Cost Analysis and The Environment. Edward Elgar. England. Harianja, V. M. 2006. Analisis Willingness To Accept Masyarakat Terhadap Tempat Pembuangan Akhir Sampah Bantargebang dengan Pendekatan Contingent Valuation Method (Kasus Kelurahan Ciketing Kecamatan Bantargebang Kota Bekasi). Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kurnianto, A. T. 2006. Analisis Ekonomi Lingkungan Pengelolaan Limbah Industri Kecil Tapioka/Aci: Pendekatan Contingent Valuation Method (CVM). Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Mangkoesoebroto, G. 1993. Ekonomi Publik Edisi 3. BPFE. Yogyakarta.

Monografi Kelurahan. 2008. Monografi Kelurahan Tajur Kecamatan Bogor Timur Kota Bogor Jawa Barat. Potter, C., M. Soeparwadi, dan A. Gani. 1994. Limbah Cair Berbagai Industri di Indonesia: Sumber Pengendalian dan Baku Mutu. EMDI-Bapedal. Jakarta. Purnamasari, R. S. 2001. Pengaruh Penggunaan Faktor-Faktor Produksi Terhadap Jumlah dan Debit serta Aspek Finansial Pengolahan Limbah Cair Industri Tekstil. Skripsi. Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Qomariah, S. 2005. Analisis Willingness To Pay dan Willingness To Accept Masyarakat terhadap Pengelolaan Sampah (Studi Kasus TPA Galuga, Cibungbulang, Bogor). Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sitorus, R. 1993. Studi Aspek Teknologi Penanganan Limbah Cair Industri Tekstil di PT. UNITEX Bogor. Laporan Praktek Lapangan. Jurusan Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suparmoko, M dan M. R. Suparmoko 2000. Ekonomika Lingkungan, Edisi Pertama. BPFE. Yogyakarta. Tim INDEF (Institute of Development of Economics and Finance). 2007. ‘Kajian Pengembangan Sistem Insentif Ekonomi bagi Pengelolaan Lingkungan Hidup’. Jurnal Ekonomi Lingkungan. Edisi 21. Hal. 35-52. Umar, H. 2005. Metode Penelitian untuk Tesis dan Bisnis. PT Grafindo Persada. Jakarta. Utari, A. Y. 2006. Analisis Willingness To Pay dan Willingness To Accept Masyarakat terhadap Tempat Pembuangan Akhir Sampah Pondok Rajeg Kabupaten Bogor. Skripsi. Program Studi Ekonomi Pertanian dan Sumberdaya. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Wardhana, W. A. 2007. Dampak Pencemaran Lingkungan. ANDI. Yogyakarta. Yuwono, R dan E. Adinugroho. 2006. Buku Pegangan Manajer Pengendalian Pencemaran Air (MPPA), Cetakan I. Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Jawa Barat dengan bantuan teknis dari Japan Trade Organization (JETRO).

Lampiran 1. Hasil Analisa Laboratorium Kualitas Air Sungai

Lampiran 2. Laporan Proses Air Limbah PT. UNITEX Periode Agustus 2006

Lampiran 3. Hasil Pemeriksaan Mutu Limbah Cair PT. UNITEX Periode Juli 2005

Lampiran 4. Hasil Pemeriksaan Mutu Limbah Cair PT. UNITEX Periode Agustus 2005

Lampiran 5. Rincian Konsentrasi Parameter Limbah Cair PT UNITEX Bulan/tahun Januari 2002 Mei 2002 Januari 2003 Maret 2003 Mei 2003 Juli 2003 September 2003 Noember 2003 Januari 2004 Maret 2004 Mei 2004 Juli 2004 September 2004 November 2004 Januari 2005 Maret 2005 Mei 2005 Juli 2005 September 2005 November 2005 Januari 2006 Maret 2006 Mei 2006 Juli 2006 September 2006 November 2006 Januari 2007 Maret 2007 Mei 2007 Juli 2007 September 2007 November 2007 Januari 2008 Maret 2008 Mei 2008 Juli 2008 Jumlah Rata-rata Pembulatan Rata-rata

BOD inlet Bi 198 163 158 165 158 142 165 148 152 147 163 168 136 146 142 138 140 125 156 142 132 128 128 128 158 168 128 142 119 134 210 125 136* 132* 132* 124* 5276 146.556

COD inlet Ci 466 198 392 420 398 362 438 382 395 378 420 440 352 380 368 360 364 324 406 369 340 330 337 330 416 446 334 376 310 360 578 332 358** 351** 353** 330** 13493 374.806

BOD outlet Bo 56 45 49 42 41 42 42 43 45 46 46 39 44 37 46 42 48 36 42 45 40 41 42 40 39 37 40 35 30 28 40 38 38* 36* 37* 33* 1470 40.8333

COD outlet Co 148 119 130 110 108 110 115 116 118 124 122 103 114 98 120 110 125 95 114 124 108 110 112 102 106 102 106 96 82 76 124 102 104* 98* 103* 89* 3943 109.528

BOD in-out Bi-o 142 118 109 123 117 100 123 105 107 101 117 129 92 109 96 96 92 89 114 97 92 87 86 88 119 131 88 107 89 106 170 87 98 96 95 91 3806 105.7222

COD in-out Ci-o 318 79 262 310 290 252 232 266 277 254 298 337 238 282 248 250 239 229 292 245 232 220 225 228 310 344 228 280 228 284 454 230 254 253 250 241 9550 265.278

371.00

147

375

41

110

106

265

371

0,28 28 %

0,72 72 %

1 100 %

Frekuensi Relatif Persentase

keterangan: * = Peramalan dengan Metode Dekomposisi Aditif ** = Peramalan dengan Metode Dekomposisi Multiplikatif

Total

Lampiran 6. Rincian Biaya Proses Pengolahan Air Limbah PT UNITEX Bulan/tahun Januari 2002 Mei 2002 Januari 2003 Maret 2003 Mei 2003 Juli 2003 Sep-03 Nov-03 Januari 2004 Maret 2004 Mei 2004 Juli 2004 Sep-04 Nov-04 Januari 2005 Maret 2005 Mei 2005 Juli 2005 Sep-05 Nov-05 Januari 2006 Maret 2006 Mei 2006 Juli 2006 Sep-06 Nov-06 Januari 2007 Maret 2007 Mei 2007 Juli 2007 Sep-07 Nov-07 Januari 2008 Maret 2008 Mei 2008 Juli 2008

Total Abatement Cost (TAC) 236223648 256458327 219830756 235053288 242605894 200847174 195514279 213182269 196576107 228066879 214913679 225809926 226337051 241403673 193871664 196941342 215395393 238215729 240379335 190395469 188578862 215244037 223784633 227431087 257154234 225571638 210646416 220576687 248641285 256807007 207853557 211407505 200747154* 218376663* 225896576* 228122142*

BOD

COD

28%x TAC

72%x TAC

66142621 71808332 61552612 65814921 67929650 56237209 54743998 59691035 55041310 63858726 60175830 63226779 63374374 67593029 54284066 55143576 60310710 66700404 67306214 53310731 52802081 60268330 62659697 63680704 72003185 63160059 58980997 61761472 69619560 71905962 58198996 59194101 56209203 61145466 63251041 63874200

170081027 184649996 158278144 169238367 174676243 144609965 140770281 153491234 141534797 164208153 154737849 162583147 162962677 173810645 139587598 141797766 155084683 171515325 173073121 137084738 135776781 154975706 161124936 163750383 185151048 162411579 151665420 158815214 179021725 184901045 149654561 152213404 144537951 157231197 162645535 164247942 Jumlah; Rataan MAC per 1 mg/l

Keterangan: *

= Peramalan dengan Metode Dekomposisi Aditif

MACBOD MACCOD (Rp per 1 mg/l) (Rp per 1mg/l) 465793 608545 564703 535081 580595 562372 445073 568486 514405 632265 514323 490130 688852 620120 565459 574412 655551 749443 590405 549595 573936 692739 728601 723644 605069 482138 670239 577210 782242 678358 342347 680392 573563 636932 665800 701914 21590734

534846 2337342 604115 545930 602332 573849 435821 577035 510956 646489 519255 482443 684717 616350 562853 567191 648890 748975 592716 559530 585245 704435 716111 718203 597261 472127 665199 567197 785183 651060 329636 661797 569047 621467 650582 681527 23327712

599743

647992

Lampiran 7. Hasil Regresi Berganda Nilai WTA Responden Dependent Variable: WTA Method: Least Squares Date: 01/26/09 Time: 19:39 Sample: 1 41 Included observations: 41

Variable C Pendidikan Lama tinggal Jumlah tanggungan Jarak Dummy jenis kelamin Pendapatan Dummy pengetahuan dampak negatif limbah R-squared Adjusted R-squared S.E. of regression Sum squared resid Log likelihood Durbin-Watson stat

t-Statistic 4.895968 -4.750199 0.354628 0.463752 -1.396912 0.271557 -1.310161 1.786760

Prob. 0.0000 0.0000 0.7251 0.6459 0.1718 0.7877 0.1992 0.0832

Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion F-statistic Prob(F-statistic)

86097.56 19413.66 22.17345 22.50781 5.543514 0.000278

Coefficient Std. Error 85196.87 17401.44 -3387.158 713.0561 55.00213 155.0983 1095.041 2361.262 -50.14336 35.89586 1334.641 4914.778 -0.007307 0.005577 28148.90 15754.16 0.540419 0.442933 14489.76 6.93E+09 -446.5558 2.200486

Lampiran 8. Uji Statistik Hasil Regresi Berganda Nilai WTA

1. Uji Normalitas 10 Series: Residuals Sample 1 41 Observations 41

8

Mean Median Maximum Minimum Std. Dev. Skewness Kurtosis

6

4

-6.43E-13 -9.79E-10 34406.61 -26996.01 13160.98 0.288199 2.822414

2 Jarque-Bera Probability

0 -20000

0

0.621442 0.732918

20000

2. Uji Multikolineritas

WTA WTA Pendidikan LamaTinggal JmlTangg. Jarak Jenis Kelamin Pendapatan Pengetahuan DampakNgtf

1.000000 -0.652521 0.042184 -0.048743 -0.226146 -0.137053 -0.372740 0.215191

Pendidikan -0.652521 1.000000 0.126203 0.093697 0.098925 0.186297 0.304279 0.023565

Lama Tinggal 0.042184 0.126203 1.000000 -0.090508 0.087217 0.099840 -0.150648 0.282258

Jumlah Tangg. -0.048743 0.093697 -0.090508 1.000000 0.028933 -0.061809 0.208464 -0.007818

Jarak -0.226146 0.098925 0.087217 0.028933 1.000000 -0.025518 0.101957 0.060371

Jenis Kelamin -0.137053 0.186297 0.099840 -0.061809 -0.025518 1.000000 0.109028 -0.197642

3. Uji Heteroskedastisitas White Heteroskedasticity Test: F-statistic Obs*R-squared

0.664602 Probability 9.089144 Probability

0.769321 0.695298

Pendaptn Pengetahuan DampakNgtf -0.372740 0.215191 0.304279 0.023565 -0.150648 0.282258 0.208464 -0.007818 0.101957 0.060371 0.109028 -0.197642 1.000000 -0.043747 -0.043747 1.000000

Lampiran 9. Perhitungan Persamaan MAC, MD, dan Pajak Lingkungan 1. Parameter BOD Persamaan MAC untuk Parameter BOD

Persamaan MD untuk Parameter BOD

MAC BOD

MD BOD

100000000

7000000

90000000

(0;88.162.162) 6000000

80000000

5000000 R u p ia h R u p ia h

Ru p ia hh R u pia

70000000

(12;6.026.829,20)

60000000 50000000 40000000 30000000

4000000 3000000 2000000

(147;0)

20000000

1000000

10000000

(2;0) 0

0 0

Konsentrasi Parameter BOD (mg/l)

2

147

12

Konsentrasi Parameter BOD (mg/l)

Dua titik perpotongan yaitu: (147;0) dan (0;88.162.162)

Dua titik perpotongan yaitu: (10;0) dan (11,813; 6.026.829,2)

Y − Y1 X − X1 = Y 2 − Y1 X 2 − X1 Y−0 X − 147 = 88.162.162 0 − 147 Y X − 147 = 88.162.162 − 147

Y − Y1 X − X1 = Y 2 − Y1 X 2 − X1 Y−0 X−2 = 6.026.829,2 11,813 - 2 Y X−2 = 6.026.829,2 9,813

-147 Y = 88.162.162 (X-147) -147 Y = -12.959.837.814 + 88.162.162 X Y= 88.162.162 – 599.742,5986 X MAC = 88.162.162 – 599.742,5986 BOD

9,813 Y = 6.026.829,2 (X-2) 9,813 Y = -12.053.658,4 + 6.026.829,2 X Y = -1.228.335,718+ 614.167,859 X MD = -1.228.335,718+ 614.167,859 BOD

Perpotongan MAC dan MD untuk Parameter BOD BOD 100000000 90000000

MAC

80000000

MD

Rupiah R u p ia hh R u p ia

70000000 60000000 50000000

(74;43.998.040)

40000000 30000000 20000000 10000000 0 0

10

20 30

40

50

60 70

80

90 100 110 120 130 140 150 160

Konsentrasi Parameter BOD (mg/l)

MAC 88.162.162 – 599.742,5986 BOD 88.162.162 + 1.228.335,718 89.390.497,72 BOD* MAC

= = = = = = = = = MD = = = =

MD -1.228.335,718+ 614.167,859 BOD 599.742,5986 BOD + 614.167,859 BOD 1.213.910,458 BOD 73,63846084 ≈ 74 88.162.162 – 599.742,5986 BOD* 88.162.162 – 599.742,5986 (73,63846084) 88.162.162 – 44.164.121,86 43.998.040,14 ≈ Rp 43.998.040,00 -1.228.335,718+ 614.167,859 BOD* -1.228.335,718+ 614.167,859 (73,63846084) -1.228.335,718 + 45.226.375,83 43.998.040,12 ≈ Rp 43.998.040,00

Pajak lingkungan dikenakan ketika BOD* = 74 mg/l dan perusahaan harus membayar pajak sebesar Rp 43.998.040,00.

2. Parameter COD Persamaan MAC untuk Parameter COD

Persamaan MD untuk Parameter COD

MAC COD

MD COD 7000000

270000000 (0;242.996.995)

240000000

R u ia R u pp ia hh

5000000

Rupiah

180000000 Rupiah

(192;6.026.829,20)

6000000

210000000

150000000 120000000

4000000 3000000 2000000

90000000 60000000

1000000 (375;0)

30000000

(10;0) 0

0 0

Konsentrasi Parameter COD (mg/l)

0 375

10 192 Konsentrasi Parameter COD (mg/l)

Dua titik perpotongan yaitu: (375;0) dan (0;242.996.995)

Dua titik perpotongan yaitu: (10;0) dan (191,5; 6.026.829,2)

Y − Y1 X − X1 = Y 2 − Y1 X 2 − X1 Y−0 X − 375 = 242.996.995 0 − 375 Y X − 375 = 242.996.995 − 375

Y − Y1 X − X1 = Y 2 − Y1 X 2 − X1 Y−0 X−2 = 6.026.829,2 191,5 - 2 Y X−2 = 6.026.829,2 181,5

-375 Y = 242.996.995 (X-375) -375 Y = -91.123.873.125 + 242.996.995X Y= 242.996.995– 647.991,9867X MAC = 242.996.995– 647.991,9867 COD

181,5Y = 6.026.829,2 (X-10) 181,5Y = - 60.268.292 + 6.026.829,2 X Y = -332.056,7052 + 33.205,67052 X MD = -332.056,7052 + 33.205,67052 COD

Perpotongan MAC dan MD untuk Parameter COD

= = = = = = = = = MD = = = =

MAC 242.996.995– 647.991,9867 COD 242.996.995+ 332.056,7052 243.329.051,7 COD* MAC

MD -332.056,7052 + 33.205,67052 COD 647.991,9867 COD + 33.205,67052 COD 681.197,6572 COD 357,2077049≈ 357 242.996.995– 647.991,9867 COD* 242.996.995– 647.991,9867(357,2077049) 242.996.995– 231.467.730,4 11.529.264,65 ≈ Rp 11.529.265,00 -332.056,7052 + 33.205,67052 COD* -332.056,7052 + 33.205,67052 (357,2077049) -332.056,7052 + 11.861.321,36 11.529.264,65 ≈ Rp 11.529.265,00

Pajak lingkungan dikenakan ketika COD* = 357 mg/l dan perusahaan harus membayar pajak sebesar Rp 11.529.265,00.

Lampiran 10. Cara Pengukuran Retribusi Berdasarkan Perda Kabupaten Bogor Nomor 5 Tahun 2003 Berdasarkan Perda Kabupaten Bogor Nomor 5 Tahun 2003 Tentang Retribusi Izin Pembuangan Air Limbah. Cara pengukuran retribusi izin pembuangan air limbah ditetapkan berdasarkan : a. jumlah volume air limbah yang dibuang tiap bulannya; b. indeks lokasi; c. indeks gangguan. Indeks lokasi ditetapkan berdasarkan pembagian peruntukan sesuai dengan tata ruang daerah, meliputi:

No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.

Peruntukan/Lokasi Kawasan lindung Kawasan pemukiman perkotaan Kawasan pengembangan perkotaan Kawasan pengembangan pedesaan Kawasan pariwisata Waduk/situ/danau Kawasan lahan basah Kawasan lahan kering Kawasan tanaman tahunan Zona tambang Hutan produksi Kawasan produksi

Indeks Lokasi (IL) 5 5 5 5 5 5 4 4 4 3 3 3

Indeks gangguan ditetapkan berdasarkan penggolongan pada proses air limbah yang diolah dalam satu unit Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), meliputi:

No. 1. 2. 3. 4.

Penggolongan Proses Air Limbah Kimia logam Kimia non logam Biologi Fisika

Indeks Gangguan (IG) 5 4 3 2

Struktur tarif retribusi ditetapkan berdasarkan jumlah volume air limbah yang dibuang ke air atau sumber air tiap bulannya, dari satu titik pembuangan (outlet IPAL). Besarnya tarif retribusi izin pembuangan air limbah ditetapkan sebagai berikut:

No. 1. 2. 3.

Volume Air Limbah (V) 0 - 100 m3/bulan (V1) 101-1000 m3/bulan (V2) > 1000 m3/bulan (V3)

Tarif (Rupiah) 250 75 25

Cara Perhitungan retribusi yaitu dengan mengalikan tarif dengan indeks lokasi dan indeks gangguan, sebagai berikut:

No. 1. 2. 3.

Volume Air Limbah (V) 0 - 100 m3/bulan (V1) 101-1000 m3/bulan (V2) > 1000 m3/bulan (V3)

Cara Perhitungan Retribusi V1x IL x IG x Rp 250,00 V2x IL x IG x Rp 75,00 V3x IL x IG x Rp 25,00

Lampiran 11. Hasil Peramalan Data BOD inlet, COD inlet, BOD outlet, COD outlet, dan TAC (Total Abatement Cost) Identifikasi Pola Data Time Series BOD inlet Autocorrelation Function: BOD inlet Lag ACF T LBQ 1 -0.048495 -0.27 0.08 2 -0.070229 -0.38 0.25 3 0.055706 0.30 0.36 4 -0.099439 -0.54 0.72 5 0.299022 1.61 4.16 6 0.136048 0.67 4.90 7 0.021535 0.11 4.92 8 -0.006073 -0.03 4.92 Autocorrelation for BOD inlet

Identifikasi Pola Data Time Series COD inlet Autocorrelation Function: COD inlet Lag ACF T LBQ 1 -0.089202 -0.49 0.26 2 -0.123706 -0.67 0.79 3 0.037057 0.20 0.84 4 -0.132765 -0.71 1.49 5 0.296199 1.56 4.86 6 0.107046 0.52 5.32 7 -0.024490 -0.12 5.34 8 -0.037333 -0.18 5.40 Autocorrelation for COD inlet

Time Series Decomposition for BOD inlet Additive Model

Time Series Decomposition for COD inlet Multiplicative Model

Data Length NMissing

Data Length NMissing

BOD inlet 30 0

COD inlet 30 0

Fitted Trend Equation Yt = 155.781 - 0.607406*t

Fitted Trend Equation Yt = 398.830 - 1.12801*t

Seasonal Indices Period Index 1 -1.4653 2 -4.0486 3 -3.7569 4 -11.0069 5 16.0764 6 4.2014 Accuracy Measures MAPE 7.294 MAD 11.009 MSD 246.790 Forecasts Period Forecast 31 135.487 32 132.296 33 131.980 34 124.123

Seasonal Indices Period Index 1 0.98493 2 0.96632 3 0.97540 4 0.91420 5 1.12859 6 1.03056 Accuracy Measures MAPE 7.74 MAD 30.69 MSD 2028.80 Forecasts Period Forecast 31 358.378 32 350.518 33 352.711 34 329.549

Time Series Decomposition Plot for BOD inlet Decomposition - Component Analysis for BOD inlet Decomposition - Seasonal Analysis for BOD inlet

Time Series Decomposition Plot for COD inlet Decomposition - Component Analysis for CODinlet Decomposition - Seasonal Analysis for COD inlet

Identifikasi Pola Data Time Series BOD outlet Autocorrelation Function: BOD outlet

Identifikasi Pola Data Time Series COD outlet Autocorrelation Function: COD outlet

Lag ACF T 1 0.358638 1.96 2 0.375725 1.84 3 0.154814 0.68 4 0.269487 1.17 5 0.093217 0.39 6 0.136048 0.62 7 0.148975 0.51 8 0.059348 0.24 Autocorrelation for BOD outlet

Lag ACF T 1 0.158117 0.87 2 0.195047 1.04 3 0.073778 0.38 4 0.180861 0.93 5 0.049531 0.25 6 0.124064 0.62 7 0.027697 0.14 8 0.035810 0.18 Autocorrelation for COD outlet

LBQ 4.26 9.10 9.95 12.63 12.97 13.85 14.51 14.66

LBQ 0.83 2.13 2.33 3.53 3.63 4.24 4.28 4.33

Time Series Decomposition for BOD outlet Additive Model

Time Series Decomposition for COD outlet Additive Model

Data Length NMissing

Data Length NMissing

BOD outlet 30 0

COD outlet 30 0

Fitted Trend Equation Yt = 45.6017 - 0.307638*t

Fitted Trend Equation Yt = 119.631 - 0.660095*t

Seasonal Indices Period Index 1 2.20833 2 -0.16667 3 1.87500 4 -2.58333 5 -0.41667 6 -0.91667 Accuracy Measures MAPE 6.6353 MAD 2.5404 MSD 10.8583 Forecasts Period Forecast 31 38.2733 32 35.5906 33 37.3247 34 32.5587

Seasonal Indices Period Index 1 4.36806 2 -0.92361 3 4.74306 4 -8.09028 5 0.49306 6 -0.59028 Accuracy Measures MAPE 6.3674 MAD 6.6223 MSD 87.2842 Forecasts Period Forecast 31 103.537 32 97.585 33 102.591 34 89.098

Time Series Decomposition Plot for BODoutlet Decomposition - Component Analysis for BOD outlet Decomposition - Seasonal Analysis for BODoutlet

Time Series Decomposition Plot for COD outlet Decomposition - Component Analysis for COD outlet Decomposition - Seasonal Analysis for COD outlet

Identifikasi Pola Data Time Series Total Abatement Cost Autocorrelation Function: Total Abatement Cost

Lag ACF T LBQ 1 0.249648 1.37 2.06 2 -0.303328 -1.57 5.22 3 -0.304705 -1.46 8.52 4 -0.007405 -0.03 8.52 5 0.166133 0.74 9.58 6 0.136434 0.60 10.33 7 -0.009453 -0.04 10.33 8 -0.132397 -0.58 11.09 Autocorrelation Function: Total Abatement Cost Time Series Decomposition for Total Abatement Cost Additive Model Data Length NMissing

Total Abatement Cost 30 0

Fitted Trend Equation Yt = 217698796 + 167899*t Seasonal Indices Period Index 1 -22156507 2 -4694897 3 2657117 4 4714784 5 18673785 6 805718 Accuracy Measures MAPE 6.32257E+00 MAD 1.38007E+07 MSD 3.13579E+14 Forecasts Period Forecast 31 200747154 32 218376663 33 225896576 34 228122142 Time Series Decomposition Plot for Total Abatement Cost Decomposition - Component Analysis for Total Abatement Cost Decomposition - Seasonal Analysis for JTB+Total Air

Lampiran 12. Kondisi Sungai Cibudig Kelurahan Tajur

Aktivitas-Aktivitas Masyarakat di Sungai Cibudig

Kondisi Sungai Cibudig yang Kotor Karena Sampah

Pemukiman Penduduk Sempadan Sungai Cibudig

Sungai Cibudig Sebelum Terkena Pembuangan Air Limbah UNITEX

Lokasi Pembuangan Air Limbah PT UNITEX ke Sungai Cibudig