PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP

Download Aspergillus niger dan Neurospora sitophila untuk Hidrolisis Tongkol Jagung. Di bawah bimbingan Liesbetini Hartoto dan Titi ... Tujuan penel...

0 downloads 633 Views 2MB Size
PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KUALITAS INOKULUM Aspergillus niger DAN Neurospora sitophila UNTUK HIDROLISIS TONGKOL JAGUNG

SKRIPSI

YULIA F34063194

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KUALITAS INOKULUM Aspergillus niger DAN Neurospora sitophila UNTUK HIDROLISIS TONGKOL JAGUNG

SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor

Oleh YULIA F34063194

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul “Pengaruh Lama Penyimpanan terhadap Kualitas Inokulum Aspergillus niger dan Neurospora sitophila untuk Hidrolisis Tongkol Jagung” adalah hasil karya saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, 15 Oktober 2010

YULIA F34063194

Judul Skripsi : Pengaruh Lama Penyimpanan terhadap Kualitas Inokulum Aspergillus niger dan Neurospora sitophila untuk Hidrolisis Tongkol Jagung Nama

: YULIA

NIM

: F34063194

Menyetujui,

Pembimbing I,

Pembimbing II,

(Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, M.S.) NIP : 19550904 198003.2.001

(Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si.) NIP : 19661219 199103.2.001

Mengetahui : Ketua Departemen Teknologi Industri Pertanian

(Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti) NIP : 19621009 198903.2.001

Tanggal Lulus : 15 Oktober 2010

RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Yulia, merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Nurhusin dan Icah Nuraisah, dilahirkan di Jakarta pada tanggal 5 Juli 1988. Pada tahun 2000 penulis menyelesaikan pendidikan tingkat dasar di SDN DUREN VIII Bekasi dan melanjutkan ke SLTPN 1 Bekasi sampai dengan tahun 2003. Pada tahun 2006 penulis menyelesaikan pendidikan SMA di SMAN 1 Bekasi. Penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2006 melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Pada tahun 2007, penulis diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, FATETA, IPB. Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis aktif menjadi pengurus organisasi di HIMALOGIN (Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri) bagian Departemen Sekretariat (2007-2008). Penulis juga aktif di berbagai kepanitiaan seperti seminar dan workshop. Selain itu, penulis pernah menjadi Asisten Praktikum Penerapan Komputer (Penkom), Praktikum Analisis Bahan Produk Agroindustri (ABPA), dan Praktikum Bioproses. Prestasi yang pernah diraih selama masa pendidikan adalah penerima dana Program Kreatifitas Mahasiswa Teknologi (PKMT) oleh DIKTI pada tahun 2008 dan anggota penerima dana hibah Program Pengembangan Kewirausahaan DPKHA IPB pada tahun 2009. Pada tahun 2009, penulis melaksanakan kegiatan Praktek Lapang di PT. Indolakto, Sukabumi dengan judul “Mempelajari Aspek Proses Produksi dan Pengawasan Mutu Susu UHT (Ultra High Temperature) di PT. Indolakto, Cicurug, Sukabumi”. Pada tahun 2010, penulis melaksanakan kegiatan penelitian dan menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Lama Penyimpanan terhadap Kualitas Inokulum Aspergillus niger dan Neurospora sitophila untuk Hidrolisis Tongkol Jagung”.

Yulia. F34063194. The Effect of Storage Time on the Quality of Aspergillus niger and Neurospora sitophila Inoculums for Corncob Hydrolysis. Under supervisory of Liesbetini Hartoto and Titi Candra Sunarti. 2010. ABSTRACT Production of Aspergillus niger and Neurospora sitophila inoculums prepared from cassava bagasse (solid waste from tapioca industry) enriched with rice bran powder, defatted peanut, and tofu solid waste substrates, were investigated the storage time effects to the spore viabilities. The mixed substrates were formulated to C/N ratio of 5, then fermented in solid-state cultivation systems (3 days for A. niger; 4 days for N. sitophila). Each dried inoculum was wrapped in polyethylene plastics and kept on room temperature (25–30°C) for 8 weeks, and evaluated the qualities weekly for spore viability and moisture content. Each inoculum with high viability was applied in the fermentation of corncob to prove the cellulolytic hydrolysis capability, that fermented in solid-state cultivation system for 9 days. Generally, storage of inoculum caused the reduction (from 100% to 91.84% for A. niger; from 100% to 82.73% for N. sitophila) of spore viability even the moisture content increased during the storage (from 6.82% to 10.04% for A. niger; from 4,16% to 7,63% for N. sitophila). The results showed that inoculum of A. niger produced from cassava bagasse and defatted peanut; and N. sitophila produced from cassava bagasse and rice bran powder could maintain the spore viabilities after 2 months storage (from 86 x 107 spore/g to 36 x 107 spore/g for A. niger; from 83 x 107 spore/g to 18 x 107 spore/g for N.sitophila). After the application of inoculum in corncob hydrolisis, it showed that crude fiber was reduced (from 68.13% to 55.82% by using A. niger inoculum; from 69.05% to 51.03% by using N. sitophila inoculum) as the effect of cellulolytic breakdown to produce oligosaccharides (DP 3.26–3.29 by using A. niger inoculum; DP 2.60–2.65 by using N. sitophila inoculum).

Keywords : Aspergillus niger, corncob, inoculum, storage, Neurospora sitophila.

Yulia. F34063194. Pengaruh Lama Penyimpanan terhadap Kualitas Inokulum Aspergillus niger dan Neurospora sitophila untuk Hidrolisis Tongkol Jagung. Di bawah bimbingan Liesbetini Hartoto dan Titi Candra Sunarti. 2010.

RINGKASAN Bahan lignoselulosik seperti tongkol jagung mempunyai potensi yang besar untuk diolah menjadi bahan yang bernilai tambah, salah satunya sebagai pakan ternak. Namun daya cerna ternak ruminansia terhadap tongkol jagung masih rendah. Hal ini disebabkan tongkol jagung banyak mengandung senyawa anti nutrisi seperti lignin dan tingginya serat kasar. Upaya pengolahan yang dapat menurunkan kadar serat kasar sangat diperlukan, salah satunya dengan hidrolisis oleh kapang selulolitik. Penggunaan galur murni kapang sulit untuk diterapkan karena membutuhkan keterampilan tertentu. Oleh karena itu, diperlukan kajian produksi inokulum kapang selulolitik untuk hidrolisis tongkol jagung yang siap digunakan secara mudah. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh inokulum A. niger dan N.sitophila yang viabilitas sporanya tertinggi pada berbagai campuran substrat. Selain itu juga untuk mengkaji pengaruh lama penyimpanan terhadap inokulum spora dan menguji perubahan kualitas tongkol jagung yang dihidrolisis dengan menggunakan inokulum tersebut. Pada penelitian ini terdapat dua tahapan penelitian yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Pada penelitian pendahuluan dilakukan penanganan tongkol jagung dan substrat untuk produksi inokulum, yaitu pengeringan dan pengecilan ukuran menjadi 40 mesh, serta dilakukan karakterisasi terhadap bahan tersebut. Pada tahap ini dilakukan analisis yang meliputi uji proksimat, yaitu uji kadar air, abu, lemak kasar, protein, serat kasar, dan karbohidrat (by difference). Produksi inokulum dilakukan dengan menggunakan substrat onggok dengan ditambah bahan lainnya, seperti bekatul, bungkil kacang tanah, dan ampas tahu. Berdasarkan hasil analisis, didapatkan perbandingan komposisi substrat campuran dengan nisbah C/N = 5, yaitu onggok dan ampas tahu (3,61 : 4,71), onggok dan bekatul (1,86 : 7,43), dan onggok dan bungkil kacang tanah (4,02 : 3,50). Inokulum dibuat dengan menggunakan kapang A.niger dan N.sitophila yang diinokulasikan ke dalam substrat campuran. Rancangan percobaan yang digunakan untuk tiap jenis kapang adalah rancangan acak lengkap kelompok dengan faktor perlakuan komposisi campuran substrat yang terdiri dari 3 taraf (onggok dan ampas tahu, onggok dan bekatul, onggok dan bungkil kacang tanah) dan faktor lama penyimpanan yang terdiri dari 9 taraf (0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8 minggu). Parameter yang diamati adalah viabilitas spora dan kadar air. Inokulum yang terbaik yang diperoleh setiap dua minggu, selanjutnya diinokulasikan ke tongkol jagung untuk mengetahui viabilitas inokulum tersebut pada hidrolisis tongkol jagung. Inkubasi dilakukan selama 9 hari pada suhu ruang, yaitu antara 25–37°C. Terhadap hasil kultivasi tongkol jagung dilakukan analisis yang meliputi uji kadar air, abu, lemak kasar, protein, serat kasar, total gula, gula pereduksi, dan pengamatan mikroskopis. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan lama penyimpanan dan perbedaan komposisi substrat inokulum kapang berpengaruh nyata terhadap kadar air dan

viabilitas spora. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa lama penyimpanan dan perbedaan komposisi substrat yang digunakan untuk inokulum kapang menghasilkan kadar air dan viabilitas spora yang berbeda nyata. Inokulum kapang mengalami kenaikan kadar air yang cukup besar hingga akhir penyimpanan (2 bulan), namun kadar air masih di bawah 12%. Inokulum tersebut dapat dikatakan baik karena kapang masih bersifat dorman. Viabilitas spora menurun selama penyimpanan inokulum, namun penurunan tersebut masih sangat rendah dan jumlah spora pada kedua inokulum kapang di berbagai komposisi substrat masih di atas 106koloni/g, sehingga inokulum kapang masih baik untuk digunakan. Pada inokulum A. niger, viabilitas yang tertinggi diperoleh dengan menggunakan substrat campuran onggok dan bungkil kacang tanah. Pada inokulum N. sitophila, viabilitas yang tertinggi diperoleh dengan menggunakan substrat campuran onggok dan bekatul. Hasil viabilitas tertinggi selanjutnya dikultivasikan dengan substrat tongkol jagung. Hasil analisis sidik ragam pada aplikasi inokulum untuk hidrolisis tongkol jagung menunjukkan bahwa lama penyimpanan inokulum tidak berpengaruh nyata, yaitu penggunaan inokulum dengan umur simpan yang berbeda menunjukkan nilai yang relatif sama terhadap parameter kualitas tongkol jagung setelah kultivasi, yang meliputi kadar air setelah kulivasi, kadar abu, protein, lemak, total gula, dan gula preduksi. Hasil analisis sidik ragam pada kadar serat menunjukkan bahwa lama penyimpanan inokulum berpengaruh nyata terhadap kadar serat tongkol jagung setelah kultivasi. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kadar serat berbeda nyata dengan lama penyimpanan (2, 4, 6, dan 8 minggu). Hal ini disebabkan jumlah spora kapang yang berkurang karena mati, sehingga mengakibatkan enzim selulase yang dihasilkan berkurang. Hasil analisis parameter kultivasi menggunakan inokulum kapang selulolitik menunjukkan bahwa kapang mampu merombak komponen serat tongkol jagung. Pada akhir kultivasi dihasilkan oligosakarida yang berfungsi sebagai prebiotik yang bermanfaat untuk pencernaan ternak. Secara umum hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulum kapang yang telah disimpan selama 2 bulan dengan penyimpanan pada suhu ruang (25–30°C) masih layak digunakan untuk menghidrolisis tongkol jagung walaupun mengalami kenaikan kadar air dan penurunan viabilitas spora selama penyimpanannya.

KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat melaksanakan penelitian dan menyelesaikan skripsinya. Skripsi ini dibuat berdasarkan penelitian penulis dengan judul “Pengaruh Lama Penyimpanan terhadap Inokulum Aspergillus niger dan Neurospora sitophila untuk Hidrolisis Tongkol Jagung“. Selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini, penulis telah mendapat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1.

Papah Nurhusin, Mamah Icah, Aa Fery, Mba Nanda, A Ipul, Nenek, Khayla, dan seluruh keluargaku yang senantiasa memberikan perhatian dan kasih sayang serta dukungan baik secara moril maupun materiil.

2.

Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, M.S. dan Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si. selaku dosen pembimbing atas bimbingan dan arahan yang telah diberikan kepada penulis.

3.

Ir. Sugiarto, M.Si. selaku dosen penguji atas masukan saran dan kritiknya yang menyempurnakan skripsi ini.

4.

Keluarga Warjo yang turut mendoakan dan Arief Rakhman Hakim, yang selalu memberi motivasi dan bantuan selama ini.

5.

Adita Dwi Nugraheni, S.Ik, Tina Maretina, S.Hut, Tri Handayani, atas kebersamaan kita yang penuh dengan keceriaan dan kehedonan.

6.

Teman–teman seperjuangan selama ngelab, Mba Cucu, Pange, Bang Ando, Siska, Nidia, Syelly, Sarfat, dan semua teman yang sama-sama berjuang di Lab atas dukungan dan kebersamaannya.

7.

Bu Ega, Pa Edi, Pa Gun, Bu Sri, Pa Sugi, Bu Rini, dan semua laboran, serta seluruh staf pengajar dan tata usaha Departemen TIN atas bantuan dan kebersamaannya.

8.

Zuli, Dewi, Nurul, Dina, Kunti, Yos, Wynda, dan seluruh teman–teman TIN 43 atas kekompakkan dan kebersamaannya selama ini.

9.

Serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

i

Penulis menyadari bahwa dalam penelitian dan penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan demi proses pembelajaran. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua insan pembelajar.

Bogor, 15 Oktober 2010

Yulia

ii

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR...................................................................................... i DAFTAR ISI..................................................................................................... iii DAFTAR TABEL............................................................................................. v DAFTAR GAMBAR........................................................................................ vi DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... vii I.

PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG............................................................................. 1 B. TUJUAN.................................................................................................. 2

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TONGKOL JAGUNG............................................................................. 3 B. PAKAN TERNAK................................................................................... 3 C. SPORA INOKULUM.............................................................................. 4 D. Aspergillus niger...................................................................................... 5 E. Neurospora sitophila................................................................................ 7 F. SUBSTRAT INOKULUM...................................................................... 10 1. Ampas Tapioka (Onggok).................................................................... 10 2. Ampas Tahu......................................................................................... 11 3. Bekatul................................................................................................. 12 4. Bungkil Kacang Tanah........................................................................ 14 G. NISBAH C/N.......................................................................................... 14 H. HIDROLISIS BAHAN LIGNOSELULOSA.......................................... 16 III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT............................................................................. 19 B. METODE PENELITIAN........................................................................ 19 1. Penelitian Pendahuluan........................................................................ 19 a. Penyiapan bahan............................................................................. 19 b. Karakterisasi komposisi proksimat tongkol jagung dan substrat inokulum......................................................................................... 20 3. Penelitian Utama.................................................................................. 21 a. Penyegaran kultur........................................................................... 21 b. Produksi inokulum.......................................................................... 21 c. Penyimpanan inokulum................................................................... 22 d. Uji viabilitas inokulum pada hidrolisis tongkol jagung.................. 23

iii

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI BAHAN................................................................. 26 1. Tongkol Jagung................................................................................... 26 2. Substrat Inokulum untuk Produksi Inokulum..................................... 27 B. PRODUKSI INOKULUM...................................................................... 30 C. PERUBAHAN KUALITAS INOKULUM SELAMA PENYIMPANAN................................................................................... 32 1. Kadar Air............................................................................................ 32 2. Viabilitas Spora................................................................................... 33 D. VIABILITAS INOKULUM PADA HIDROLISIS TONGKOL JAGUNG................................................................................................ 39 1. Kadar Air setelah Kultivasi................................................................ 42 2. Kadar Abu........................................................................................... 46 3. Kadar Protein....................................................................................... 47 4. Kadar Lemak....................................................................................... 48 5. Kadar Serat.......................................................................................... 50 6. Total Gula............................................................................................ 52 7. Gula Pereduksi..................................................................................... 53 8. Perubahan Struktur secara Mikroskopis.............................................. 55 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN....................................................................................... 59 B. SARAN................................................................................................... 60 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 61 LAMPIRAN...................................................................................................... 68

iv

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 1. Karakteristik dan komposisi tongkol jagung........................................ 3 Tabel 2. Komposisi ampas tapioka..................................................................... 10 Tabel 3. Komposisi kimia ampas tahu kering.................................................... 11 Tabel 4. Komposisi kimia bekatul pada kadar air 14%...................................... 13 Tabel 5. Komposisi zat gizi bungkil kacang tanah............................................. 14 Tabel 6. Komposisi elemen-elemen bakteri, khamir, dan fungi.......................... 15 Tabel 7. Komposisi perbandingan bobot substrat inokulum............................... 22 Tabel 8. Komposisi tongkol jagung..................................................................... 26 Tabel 9. Kandungan lignoselulosa tongkol jagung............................................. 27 Tabel 10. Komposisi proksimat pada substrat.................................................... 28 Tabel 11. Hasil perhitungan komposisi campuran substrat inokulum................ 29 Tabel 12. Parameter perubahan setelah kultivasi................................................ 42

v

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Morfologi sel Aspergillus.................................................................. 6 Gambar 2. Kurva pertumbuhan Aspergilus niger............................................... 7 Gambar 3. Neurospora sitophila......................................................................... 8 Gambar 4. Kurva pertumbuhan Neurospora sitophila....................................... 9 Gambar 5. Skema proses penggilingan gabah kering......................................... 13 Gambar 6. Diagram proses penelitian................................................................ 20 Gambar 7. Inkubator untuk produksi inokulum spora........................................ 22 Gambar 8. Proses kultivasi tongkol jagung menggunakan inokulum kapang.... 25 Gambar 9. Perubahan kadar air inokulum selama penyimpanan....................... 32 Gambar 10.Perubahan viabilitas spora inokulum selama penyimpanan untuk (a) A. niger dan (b) N. sitophila........................................................ 50 Gambar 11.Mekanisme hidrolisis selulosa.......................................................... 44 Gambar 12.Mekanisme respirasi seluler............................................................. 45 Gambar 13.Pengaruh umur simpan inokulum terhadap kadar serat tongkol jagung setelah kultivasi kapang........................................................ 50 Gambar 14. Perubahan mikroskopis tongkol jagung sebelum (a) dan setelah kultivasi menggunakan inokulum (b dan c)..................................... 56

vi

DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Prosedur pengujian........................................................................ 69 Lampiran 2. Perhitungan perbandingan komposisi substrat inokulum.............. 74 Lampiran 3. Data perubahan parameter penyimpanan inokulum....................... 77 Lampiran 4. Data perubahan parameter viabilitas terhadap hidrolisis tongkol jagung............................................................................................. 89 Lampiran 5. Perhitungan komposisi awal media kultivasi................................. 95

vii

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Tanaman jagung merupakan salah satu tanaman serelia yang tumbuh hampir di seluruh dunia dan tergolong spesies dengan variabilitas genetik terbesar. Di Indonesia, jagung merupakan bahan makanan pokok kedua setelah beras. Selain sebagai bahan makan pokok, jagung juga dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak dan bahan industri serta komoditas ekspor (Suprapto dan Rasyid, 2002). Seiring dengan kebutuhan jagung yang cukup tinggi, maka akan bertambah pula limbah yang dihasilkan dari industri yang berbahan baku jagung, yaitu tongkol jagung yang merupakan sumber bahan berlignoselulosa. Produksi jagung Indonesia mencapai 17.63 juta ton pipilan kering pada tahun 2009 (BPS, 2010). Jagung mengandung kurang lebih 30% tongkol jagung dan sisanya adalah biji dan kulit (Koswara, 1992). Dari data tersebut dapat diperkirakan bahwa produksi limbah tongkol jagung Indonesia pada tahun 2009 adalah sebesar 16.53 juta ton. Tanaman jagung termasuk jenis tanaman pangan yang diketahui banyak mengandung serat kasar, yaitu tersusun atas senyawa kompleks lignin, hemiselulosa dan selulosa (lignoselulosa), dan masing-masing merupakan senyawa yang potensial dapat dikonversi menjadi senyawa lain secara biologi. (Aguirar, 2001; Suprapto dan Rasyid, 2002). Komposisi kimia tersebut membuat tongkol jagung dapat digunakan sebagai sumber energi, bahan pakan ternak, dan sebagai sumber karbon bagi pertumbuhan mikroba untuk menghasilkan produk yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Namun daya cerna ternak terhadap tongkol jagung masih rendah. Hal ini disebabkan tongkol jagung banyak mengandung senyawa anti nutrisi seperti lignin dan tingginya serat kasar. Upaya pengolahan yang dapat menurunkan kadar serat kasar dan juga dapat meningkatkan kadar protein sangat diperlukan. Oleh karena itu, perlu dilakukan hidrolisis terhadap tongkol jagung, sehingga layak digunakan untuk pakan ternak. Hidrolisis akan membuat tingkat kecernaan tongkol jagung oleh ternak menjadi semakin tinggi. Salah satu caranya adalah pengolahan secara 1

biologis dengan cara kultivasi mikroba, yaitu dengan menggunakan kapang selulolitik. Selulosa akan dihidrolisis oleh selulase, sehingga dihasilkan senyawa sederhana yang lebih mudah dicerna oleh ternak. Menurut Chandel et al. (2007), kapang yang biasa digunakan untuk hidrolisis adalah Neurospora, Aspergillus, dan kapang lainnya yang menunjukkan adanya kemampuan aktivitas selulolitik dan hemiselulolitik yang tinggi pada proses fermentasi untuk menghasilkan gula. Penyiapan inokulum murni sulit dilakukan dan membutuhkan waktu lama. Oleh karena itu, diperlukan pembuatan inokulum untuk hidrolisis tongkol jagung, yang dapat diproduksi dalam bentuk spora dalam jumlah besar agar dapat terjadi germinasi dengan cepat (Heseltine, 1972). Untuk bergerminasi dengan cepat diperlukan spora yang memiliki kemampuan adaptasi yang cepat pada medium kultivasi, yang juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, jenis mikroba, kematangan kultur (spora), dan jenis substrat (Bilgrami dan Verma, 1978). Pembuatan inokulum dapat menggunakan substrat yang mengandung kandungan karbon dan nitrogen yang cukup, diantaranya dapat berasal dari ampas tepung tapioka (onggok), bekatul, bungkil kacang tanah, dan ampas tahu. Oleh karena itu diperlukan penelitian untuk mengetahui komposisi campuran substrat untuk produksi spora. Selain itu, diperlukan juga kajian pengaruh lama penyimpanan terhadap produktivitas inokulum, karena inokulum ini akan didistribusikan ke masyarakat.

B. TUJUAN Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh inokulum Aspergillus niger dan Neurospora sitophila yang viabilitas sporanya tertinggi dengan menggunakan campuran substrat, seperti onggok, ampas tahu, bekatul, dan bungkil kacang tanah. Selain itu juga untuk mengkaji pengaruh lama penyimpanan terhadap viabilitas inokulum spora dan menguji perubahan kualitas tongkol jagung yang dihidrolisis dengan menggunakan inokulum tersebut.

2

II. TINJAUAN PUSTAKA A. TONGKOL JAGUNG Tongkol jagung adalah tempat pembentukan lembaga dan gudang makanan untuk pertumbuhan biji. Jagung mengandung kurang lebih 30% tongkol jagung, sedangkan sisanya adalah kulit dan biji (Koswara, 1991). Panjang tongkol jagung bervariasi antara 8–12 cm (Effendi dan Sulistiati, 1991). Karakteristik dan komposisi kimia tongkol jagung dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik dan komposisi tongkol jagung Kandungan

(%)

Jumlah Nutrisi

(%)

Air

9,4

Protein, N x 6,25

2,5

Selulosa

41

Lemak, ester, dll

0,5

Hemiselulosa

36

Serat Kasar

32

Xilan

30

Abu

1,5

Lignin

6

Ekstrak nitrogen bebas

53,5

Pektin

3

Neutral Detergen Fiber (NDF)

83

Total nutrien dapat dicerna

42

Pati

0,014

Sumber : Johnson (1991)

Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui bahwa komposisi utama tongkol jagung adalah selulosa dan hemiselulosa. Dengan kandungan selulosa dan hemiselulosa yang tinggi, tongkol jagung dapat digunakan sebagai sumber energi, bahan pakan ternak dan sebagai sumber karbon bagi pertumbuhan mikroba (Irawadi, 1990). Oleh karena itu, tongkol jagung dapat dihidrolisis dengan menggunakan kapang selulolitik.

B. PAKAN TERNAK Pakan ternak ruminansia dapat digolongkan menjadi dua bagian yaitu golongan pakan hijauan dan golongan pakan tambahan berupa konsentrat.

3

Pakan hijauan dapat diperoleh dari jenis rumput, legume (kacang-kacangan), daun pisang, daun nangka dan hijauan lain. Pakan konsentrat adalah pakan tambahan yang harganya murah dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia serta dapat diperoleh dari limbah pertanian seperti tongkol jagung, ampas bir, bekatul, pollard, onggok, dan tetes. Untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak dikenal istilah complete feed atau pakan lengkap yang merupakan pakan yang terbuat dari limbah pertanian yang diformulasikan sedemikian rupa sehingga semua kebutuhan nutrisi ternak ruminansia dapat terpenuhi (Sutirtoadi, 2009). Kandungan protein dan serat kasar yang dapat memenuhi kebutuhan ternak ruminansia masing-masing sebesar lebih besar dari 8% dan 15% (Prihatman, 2000). Bahan pakan ternak yang baik mengandung protein kasar kurang dari 20%, dengan konsentrasi serat kasar di bawah 18% (Bappenass, 2001). Kandungan serat tongkol jagung yang cukup tinggi membutuhkan suatu proses hidrolisis untuk menurunkan kadar serat, salah satunya dihidrolisis dengan kapang selulolitik. Menurut Riwantoro (2005), bahan-bahan yang biasa digunakan untuk pembuatan complete feed antara lain : (1) sumber serat kasar (jerami kedelai, tongkol jagung, pucuk tebu dan lain-lain), (2) sumber energi (pollard, dedak padi, bungkil tapioka, tetes dan lain-lain), (3) sumber protein (bungkil kopra, bungkil sawit, bungkil minyak biji kapok atau klenteng, kulit kopi, kulit kakao, urea dan lain-lain), (4) sumber mineral (tepung tulang, campuran mineral, garam dapur dan lain-lain).

C. SPORA INOKULUM Sejak awal diaplikasikannya kultivasi media padat yang melibatkan fungi, inokulum spora telah umum digunakan. Kualitas inokulum spora sangat menentukan keberhasilan kultivasi media padat (Doelle et al., 1991). Bentuk, umur dan rasio inokulum adalah faktor kritis pada sistem kultivasi media padat yang mengandalkan pada rasio jumlah inokulum yang besar untuk mengontrol kontaminasi (Jonsane et al., 1991). Inokulum yang digunakan dapat berupa spora atau miselium, atau kedua– duanya. Inokulum spora memberikan keleluasaan yang lebih besar, karena

4

viabilitas spora dapat dipertahankan untuk periode yang lama dibandingkan miselia fungi, sehingga dapat disimpan dan digunakan kapan dibutuhkan. Selain

itu,

spora

bersifat

kurang

rentan

terhadap

kesalahan

pemanenan/kultivasi. Spora memudahkan penyebaran yang merata. Namun kelemahan inokulum spora adalah perlunya waktu yang lebih lama (1–12 jam) untuk melakukan germinasi, kondisi optimal germinasi spora mungkin berbeda dengan pertumbuhan vegetatifnya atau perlu stimulasi oleh beberapa zat nutrisi atau faktor lingkungan. Inokulum dapat diproduksi baik pada media padat atau media cair. Sporulasi dari fungi umumnya lebih baik pada media padat daripada media cair (Doelle et al., 1991). Spora hasil kultivasi dapat langsung digunakan atau langsung dapat dikeringkan pada 40–50oC sampai mencapai kandungan uap air 8–12%, tanpa kehilangan viabilitas spora yang besar (Roussos, et al., 1992). Lonsane dan Ghildyan (1991) telah memproduksi spora kapang yang dikeringkan pada suhu 35–40oC dan disimpan dalam kantong polietilen selama enam bulan pada suhu ruang tanpa terjadi efek penurunan pada viabilitas spora. Densitas inokulum penting dipertimbangkan untuk berbagai kebutuhan kultivasi. Kepadatan spora yang berlebihan dari spora dapat menghambat germinasi dan perkembangannya (Doelle et al., 1991). Spora kapang merupakan bagian dorman dalam siklus hidup kapang, tetapi masih menunjukkan kemungkinan mengandung enzim dalam melakukan aktifitasnya. Inokulum yang berupa spora adalah starter yang baik dalam kultivasi (Wolf, 1949).

D. Aspergillus niger Aspergillus niger adalah kapang anggota genus Aspergillus, famili Eurotiaceae, ordo Eutiales, sub-kelas Plectomycetetidae, kelas Ascomycetes, sub-divisi Ascomycotina dan divisi Amastigmycota (Hardjo et al., 1989). Aspergillus sangat mudah dikenali, baik dari morfologi selnya maupun dari morfologi koloninya. Genus Aspergillus mempunyai morfologi sel seperti pada Gambar 1.

5

Gambar 1. Morfologi sel Aspergillus : a. Vesikel, b. Metulae, c. Spora (Malloch,1999). A. niger mempunyai kepala pembawa konidia yang besar, padat, bulat dan berwarna hitam coklat atau ungu coklat. Kapang ini mempunyai bagian yang khas yaitu hifanya bersepta, spora yang bersifat seksual dan tumbuh memanjang di alas stigma, mempunyai sifat aerobik, sehingga dalam pertumbuhannya memerlukan oksigen yang cukup. A. niger termasuk mikroba mesofilik dengan pertumbuhan maksimum pada suhu 35-37°C. Derajat keasaman untuk pertumbuhannya adalah 2,0-8,5 tetapi pertumbuhan akan lebih baik pada kondisi keasaman atau pH yang rendah (Fardiaz, 1989). A. niger dapat tumbuh dengan cepat, sehingga sering digunakan secara komersial dalam produksi asam sitrat, asam glukonat dan pembuatan berapa enzim seperti amilase, pektinase, amiloglukosidase dan selulase. A. niger dapat tumbuh pada suhu 35-37ºC (optimum), 6-8ºC (minimum), 45-47ºC (maksimum) dan memerlukan oksigen yang cukup (aerobik) (Fadli, 2009). A. niger dalam pertumbuhannya berhubungan langsung dengan zat makanan yang terdapat dalam substrat. Molekul sederhana seperti gula dan komponen lain yang terdapat di sekeliling hifa dapat langsung diserap, sedangkan molekul yang lebih kompleks seperti selulosa, pati, protein, dan minyak lemak harus dipecah dahulu sebelum diserap ke dalam sel, dengan menghasilkan beberapa enzim ekstraseluler. Bahan organik dari substrat digunakan oleh A. niger untuk aktivitas transpor molekul, pemeliharaan struktur sel dan mobilitas sel (Fadli, 2009). A. niger merupakan kapang yang dapat menghasilkan beberapa enzim ekstraseluler. A. niger merupakan kapang penghasil enzim selulosa yang banyak mengandung β-glukosidase tetapi

6

rendah akan ekso dan endoglukanase (Sternberg et al., 1979 dan Mandels, 1982). Kurva pertumbuhan kapang A. niger ditunjukkan pada Gambar 2. Pertumbuhan A. niger dimulai pada fase adaptasi pada jam ke 8, dilanjutkan dengan fase pertumbuhan cepat (eksponensial) pada jam ke 16–24. Fase pertumbuhan lambat terjadi setelah melewati jam ke 24. Kemudian diteruskan dengan fase stasioner, dimana jumlah kapang yang tumbuh sama dengan kapang yang mati pada jam ke 40–100. Pada jam diatas 100 terjadi penurunan biomassa kapang yang dinamakan fase kematian, dimana biomassa kapang yang mati lebih banyak dari pada yang tumbuh (Soeprijanto et al., 2009).

Gambar 2. Kurva pertumbuhan Aspergilus niger (Soeprijanto et al., 2009) A. niger dalam pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh ketersediaan senyawa nitrogen, baik nitrogen organik maupun nitrogen anorganik. Sumber nitrogen organik yang baik adalah pepton, sedangkan sumber nitrogen anorganik yang sering digunakan untuk pertumbuhan kapang adalah garam– garam amonium dan nitrat (Enari, 1983).

E. Neurospora sitophila Neurospora sitophila merupakan kapang yang termasuk dalam subdivisi Eumycophyta, kelas Ascomycetes, ordo Sphriales dan famili Sordoriaceae. Kapang ini mudah menyebar dan berkembang biak secara cepat terutama dengan aseksual, biasanya ditemukan pada tingkat konidia. Spora seksualnya

7

jarang ditemui karena hanya dalam jumlah sedikit (Alexopoulus dan Mims, 1996). Kapang ini dikenal sebagai kapang oncom merah (Dwidjoseputro, 1961). N. sitophila memilki konidia berwarna jingga (oranye) yang tumbuh menyebar di atas permukaan substrat. Kapang ini dapat tumbuh dengan baik pada kelembaban yang tinggi dan mempunyai suhu pertumbuhan antara 20–30oC pada kondisi aerobik (Judoamidjojo et al., 1989). Menurut Amer dan Stephen (1982), Ascomycetes sebagai “soft rot fungi” dapat mendegradasi lignin dan bahan lignoselulosik. Gambar morfologi kapang N. sitophila dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Neurospora sitophila (Karmana, 2006)

N. sitophila berkembang dengan cara menyebarkan benang–benang miselium dan dengan menghasilkan spora (konidia). Jika miselium pecah, masing–masing hifa akan membentuk miselia. Demikian juga pemisahan konidia ini akan membentuk miselium yang serupa dengan miselium parentalnya (Swanson dan McElroy, 1975). Reproduksi seksual N. sitophila berlangsung dengan cara somatogamy, yaitu melalui proses fusi dua hifa vegetatif yang kompatibel (Blod et al., 1980) atau disebut plasmogamy (Alexopoulus dan Mims, 1996). Plasmogamy (somatogamy) dapat terjadi dalam berbagai cara, suatu konidium atau mikrokonidium berperan sebagai sel jantan berhubungan dengan hifa vegetatif atau trikhogen yang berperan sebagai organ penerima betina. Plasmogamy akan membentuk peritesium (Alexopoulus dan Mims, 1996).

8

Proses plasmogamy diterangkan juga oleh Blod et al. (1980), yaitu setelah melalui tahapan miosis dan mitosis akan terbentuk spora seksual yang disebut askospora di dalam askus. Askus dewasa akan pecah dan mengeluarkan askospora yang selanjutnya akan dikeluarkan dari peritesium melalui ostiola dan siap tumbuh menjadi individu baru. Menurut Griffin (1981), laju pertumbuhan spesifik N. sitophila sebesar 0,4/jam (µmax). Pertumbuhan hifa secara memanjang berlangsung dalam laju yang linier dan pertambahan massa juga linier. Spora akan mati apabila berada pada suhu di atas 60oC. Alberghina dan Sturan (1981), mengemukakan bahwa kultur Neurospora memiliki waktu penggandaan biomassa bervariasi dari 1 sampai 8 jam. Sementara Metzenberg (1979) menyebutkan bahwa pertambahan massa dari kultur bertambah dua kalinya setelah 2,5 jam, dan laju pertambahan panjang miselia N. sitophila sebesar 0,6 cm/jam. Jadi dalam sehari bertambah panjang 10–14 cm. Konidiumnya melakukan germinasi jika berada pada nutrisi yang cocok dan setelah 2–5 jam mulai membentuk hifa. Kurva pertumbuhan yang telah didapat dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Kurva pertumbuhan Neurospora sitophila (Metzenberg, 1979) Saono dan Budiman (1981) menyatakan bahwa kapang oncom merah bersifat amilolitik kuat, tetapi lemah sifat lipolitik dan proteolitiknya. Jenis enzim amilolitik yang diproduksi oleh N. sitophila adalah α-amilase dan

9

glukoamilase. Menurut Chandel et al. (2007), mengatakan bahwa N. sitophila memiliki kemampuan aktivitas selulolitik dan hemiselulolitik yang tinggi pada proses fermentasi untuk menghasilkan gula sederhana. Menurut Moat (1979), N. sitophila tumbuh secara normal pada substrat yang hanya mengandung sumber karbon, garam organik dan biotin. Sumber karbon tersebut berupa mono-, di-, atau polisakarida.

F. SUBSTRAT INOKULUM Substrat digunakan sebagai bahan makanan bagi pertumbuhan mikroba. Beberapa bahan yang merupakan hasil samping dari industri dapat digunakan sebagai substrat inokulum. Limbah industri tersebut masih mengandung nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan mikroba. Beberapa bahan yang merupakan hasil limbah industri yang masih dapat dimanfaatkan, diantaranya adalah : 1. Ampas Tapioka (Onggok) Pada proses pengolahan ketela pohon menjadi tapioka diperoleh dua jenis limbah, yaitu limbah padat dan cair. Limbah padat terdiri dari kulit ketela pohon, sisa potongan yang tidak terparut, ampas tapioka yang merupakan sisa proses ekstraksi pati, dan lindur (elot) yang berasal dari proses pengendapan air buangan (Moertinah, 1984). Pada Tabel 2 disajikan komposisi kimia ampas tapioka.

Tabel 2. Komposisi ampas tapioka Komponen

% b.k

Bahan Kering

86,84

Protein

2,21

Lemak

0,00

Serat Kasar

17,95

Abu

1,88

Karbon

64,80

Sumber : Lahoni (2003)

10

Pemanfaatan ampas tapioka selama ini diubah menjadi tepung asia. Pembuatan tepung asia dilakukan dengan cara menjemur singkong menggunakan panas sinar matahari dan kemudian digiling sampai menjadi tepung. Kandungan pati pada ampas tapioka sekitar 60–70% dari bobot keringnya, sehingga ampas tapioka sangat potensial sebagai sumber karbon dalam proses produksi spora inokulum. Kandungan protein pada ampas tapioka cukup rendah, sehingga diperlukan penambahan bahan lagi dalam produksi inokulum spora.

2. Ampas Tahu Pada pembuatan tahu akan dihasilkan hasil samping, yaitu ampas tahu. Pada proses pembuatan tahu hanya sebagian protein yang dapat diekstrak dan diolah menjadi tahu dan sebagian protein masih tertinggal di ampasnya. Menurut Shurtleff dan Aoyagi (1979), kandungan protein ampas tahu masih mengandung 7% dari jumlah protein kedelai. Pada Tabel 3 disajikan komposisi kimia ampas tahu kering.

Tabel 3. Komposisi kimia ampas tahu kering Komponen

% b.k

Bahan Kering

86,79

Protein

21,26

Lemak

5,92

Serat Kasar

24,91

Abu

7,48

Karbon

27,32

Sumber : Lahoni (2003)

Ampas tahu yang baru dihasilkan memiliki tekstur yang kokoh walaupun mempunyai kadar air yang tinggi. Kandungan protein yang tinggi disebabkan adanya kandungan serat kasar yang mengikat air secara hidrofilik dan kompak. Ampas tahu yang berasal dari perasan bubur kedelai masak mempunyai daya tahan selama 24 jam dalam keadaan terbuka bebas. 11

Ampas tahu dapat diawetkan dengan mengubahnya menjadi tepung. Pengawetan dilakukan dengan cara ampas tahu yang segar diperas untuk mengurangi kandungan airnya, selanjutnya dijemur di bawah sinar matahari atau dikeringkan dengan bantuan oven pada suhu 45–50oC. Setelah kering kemudian ampas tahu digiling sampai menjadi tepung. Pemanfaatan ampas tahu selama ini masih terbatas sebagai makanan ternak, bahan baku oncom dan tempe ampas tahu. Melihat kandungan protein yang cukup tinggi dan jumlah ampas tahu yang tersedia cukup banyak maka ampas tahu ini dapat berpotensi digunakan sebagai campuran media untuk memproduksi spora inokulum.

3. Bekatul Gabah kering merupakan gabungan dari sekam, dedak, dan bekatul. Pada umumnya masyarakat Indonesia mengenal bekatul sebagai dedak. Persepsi tersebut kurang tepat karena dedak merupakan hasil penyosohan pertama, sedangkan bekatul merupakan hasil penyosohan kedua. Dedak lebih sesuai sebagai pakan ternak karena komponen silikanya tinggi, sedangkan bekatul berpotensi sebagai bahan pangan. Dedak terdiri atas lapisan dedak sebelah luar dari butiran padi dengan sejumlah lembaga padi. Bekatul merupakan lapisan dedak bagian dalam dan sebagian endosperm (Damardjati, 1983). Proses penggilingan gabah kering ditujukan pada Gambar 5. Bekatul merupakan hasil samping penggilingan beras. Bekatul terdiri atas lapisan perikarp, testa, dan lapisan aleuron. Selama penggilingan gabah kering dihasilkan sekam 20%, 8% bekatul, lembaga 2% dan beras sosoh 70% (Orthoefer, 2001). Komposisi kimia bekatul disajikan dalam Tabel 4. Kandungan mineral dan protein yang cukup tinggi pada bekatul berpotensi digunakan sebagai campuran media inokulum.

12

Gabah Kering

Penggilingan

Beras pecah kulit

Sekam

Penyosohan

Beras sosoh

Dedak

Penyosohan

Beras sosoh & menir

Bekatul

Gambar 5. Skema proses penggilingan gabah kering (modifikasi Damardjati, 1983)

Tabel 4. Komposisi kimia bekatul pada kadar air 14% Komponen Protein (%) Lemak (%) Serat Kasar (%) Abu (%) Karbohidrat (%) Magnesium (mg/g) Kalsium (mg/g) Fosfor (mg/g) Silika (mg/g) Seng (µg/g) Thiamin (µg/g) Riboflavin/B2 (µg/g) Tokoferol/E (µg/g) Sumber : Luh (1991)

Jumlah 12,0 – 15,6 15,0 – 19,7 7,0 – 11,4 6,6 – 9,9 34,1 – 52,3 5,0 – 13,0 0,3 – 1,2 11,0 – 25,0 5,0 – 11,0 43,0 – 258,0 12,0 – 24,0 1,8 – 4,0 149 – 154

13

4. Bungkil Kacang Tanah Bungkil kacang tanah adalah ampas yang berasal dari kacang tanah yang telah diambil minyaknya dengan proses pemerasan mekanis atau proses ekstraksi. Bungkil kacang tanah memiliki warna lebih coklat dan kandungan lemaknya lebih tinggi bila dibanding dengan bungkil kedelai, sehingga menjadikannya mudah berbau tengik. Kadar proteinnya paling tinggi diantara bungkil lain yang umum digunakan (Anonima, 2010). Bungkil kacang tanah digunakan sebagai komposisi dalam ransum konsentrat untuk sapi, babi dan ayam. Penggunaan bungkil kacang tanah perlu dibatasi jumlahnya karena kadar lemaknya yang cukup tinggi dan harganya relatif mahal. Komposisi zat gizi bungkil kacang tanah dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Komposisi zat gizi bungkil kacang tanah per 100 g bahan Komposisi Jumlah Energi (kkal) 336 Protein (g) 37,4 Lemak (g) 13 Karbohidrat (g) 30,5 Kalsium (mg) 730 Fosfor (mg) 470 Besi (mg) 30,7 Vitamin B1 (mg) 0,0 Air (g) 14 Sumber : Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI (1981)

J. NISBAH C/N Mikroba membutuhkan karbon, nitrogen, ion organik, faktor tumbuh, energi, dan air untuk metabolisme dan pertumbuhannya yang diperoleh dari media. Media yang digunakan hendaknya memenuhi kebutuhan minimum pertumbuhan, kelangsungan hidup dan tidak terkontaminasi racun atau penghambat lainnya (Fardiaz, 1992). Penggunaan nisbah C/N sebagai nilai pendekatan sistematis memberikan kemudahan untuk menganalisis komposisi media yang berhubungan dengan 14

sifat fisiologis mikroba. Menurut Walker (1999), ada beberapa dasar penting untuk mempersiapkan media, yaitu : 1. Komposisi bahan, meliputi kemurnian, perbandingan karbon dan nitrogen, perbedaan variasi tiap bagian, tersedianya kebutuhan tumbuh dan ion–ion. 2. Pengaruh dari perbedaan campuran tiap bahan, pH yang dibutuhkan sebelum dan sesudah sterilisasi, efek sterilisasi pada mineral dan garam. 3. Perubahan pada media sebelum inokulasi, suhu, aerasi, pengadukan, dan penggunaan senyawa antibusa. Komposisi elemen–elemen mikroba dapat digunakan untuk menentukan kisaran nisbah C/N media. Hal ini karena pembentukan sel–sel mikroba membutuhkan sejumlah karbon dan nitrogen. Pada pengolahan kompos dengan menggunakan mikroba aerobik dibutuhkan 15 hingga 30 bagian karbon untuk setiap bagian nitrogen (Stentiford et al., 1992). Apabila digunakan nisbah C/N yang tinggi akan menyebabkan terjadinya penurunan proses biodegradasi karena keterbatasan nitrogen dan mempengaruhi hasil kultivasi. Pada Tabel 6 disajikan komposisi elemen–elemen bakteri, khamir, dan fungi. Dengan mengetahui komponen pada kapang maka dapat dibuat media yang sesuai dengan sifat fisiologis kapang. Tabel 6. Komponen elemen–elemen bakteri, khamir, dan kapang Elemen Karbon

Bakteri (% b.k) 50 – 53

Khamir (% b.k) 45 – 50

Kapang (% b.k) 40 – 63

Hidrogen

7

7



Nitrogen

12 – 15

7.5 – 11

7 – 10

Fosfor

2.0 – 3.0

0.8 – 2.6

0.4 – 4.5

Sulfur

0.2 – 1.0

0.01 – 0.24

0.1 – 0.5

Kalium

1.0 – 4.5

1.0 – 4.0

0.2 – 2.5

Natrium

0.5 – 1.0

0.01 – 0.1

0.02 – 0.5

Kalsium

0.01 – 1.1

0.1 – 0.3

0.1 – 1.4

Magnesium

0.1 – 0.5

0.1 – 0.5

0.1 – 0.5

0.50





0.02 – 0.2

0.01 – 0.05

0.1 – 0.2

Khlorida Besi

(Doelle et al., 1992) 15

K. HIDROLISIS BAHAN LIGNOSELULOSA Serat merupakan kelompok polisakarida yang tidak dapat dicerna yang terdapat dalam tanaman. Kelompok serat yang termasuk ke dalam yang tidak dapat dicerna adalah selulosa, hemiselulosa, lignin, pektin dan gum. Pada umumnya, serat berperan sebagai bahan penyusun dinding sel. Serat ada yang bersifat larut dan ada yang tidak larut dalam air. Selulosa, lignin dan hemiselulosa termasuk serat yang tidak dapat larut, sedangkan pektin dan gum termasuk serat yang dapat larut. Didasarkan pada fungsinya di dalam tanaman, serat dibagi menjadi 3 fraksi utama, yaitu (a) polisakarida struktural yang terdapat pada dinding sel, yaitu selulosa, hemiselulosa dan substansi pektat, (b) non-polisakarida struktural yang sebagian besar terdiri dari lignin, dan (c) polisakarida non-struktural, yaitu gum dan agar-agar (Kusnandar, 2010). Kandungan serat yang tinggi pada tanaman memerlukan suatu proses untuk mendegradasi komponen serat tersebut agar dapat dimanfaatkan secara maksimal, salah satunya dengan cara hidrolisis. Hidrolisis meliputi proses pemecahan polisakarida di dalam biomassa lignoselulosa, yaitu: selulosa dan hemiselulosa menjadi monomer gula penyusunnya. Hidrolisis sempurna selulosa menghasilkan glukosa, sedangkan hemiselulosa menghasilkan beberapa monomer gula pentose (C5) dan heksosa (C6). Hidrolisis dapat dilakukan secara kimia (asam) atau enzimatik (Suhandono, 2010). Hidrolisis ini merupakan proses untuk menghasilkan gula sederhana. Gong (1981) menyebutkan bahwa hidrolisis bahan–bahan berselulosa ini akan menghasilkan campuran gula dan xilosa yang merupakan komponen yang utama. Hidrolisis kimiawi dilakukan dengan asam. Asam adalah katalis yang non spesifik, karena struktur berkristal yang sangat kuat pada selulosa, maka hanya asam kuat saja yang dapat menghidrolisis selulosa tingkat konversi yang tinggi. Kelemahan metode ini adalah kebutuhan bahan kimia tinggi serta energi yang tinggi. Selain itu, limbah cair dari hidrolisis menggunakan bahan kimia tergolong limbah yang berbahaya karena bersifat toksik, mutagenik, persisten dan bioakumulasi (Clemants et al., 1985). Hidrolisis enzimatis komplek lignoselulosa dapat menggunakan mikroba yang mampu menghasilkan ligninase dan selulase. Hidrolisis enzimatis

16

memiliki beberapa keuntungan dibandingkan hidrolisis asam, antara lain tidak terjadi degradasi gula hasil hidrolisis, kondisi proses yang lebih lunak (suhu rendah, pH netral), berpotensi memberikan hasil yang tinggi, dan biaya pemeliharaan peralatan relatif rendah karena tidak ada bahan yang korosif (Taherzadeh & Karimi, 2007). Proses enzimatis merupakan proses ramah lingkungan berbahan baku terbarukan (renewable raw material). Enzim merupakan katalis yang spesifik. Dalam hal ini enzim selulase dapat menghidrolisis selulosa dengan sedikit hasil samping. Enzim selulase yang berasal dari kapang merupakan suatu campuran yang terdiri atas tiga enzim yaitu endo β-glukonase, selobiohidrolase dan β-glukosidase yang bekerja secara sinergi dalam hidrolisis selulosa berkristal menjadi glukosa (Sasaki, 1982). Selobiohidrolase menyerang struktur berkristal selulosa dan menghasilkan selobiosa (disakarida). Endo β-glukonase menghidrolisis bagian amorf selulosa menjadi senyawa–senyawa dengan bobot molekul yang lebih kecil (β-oligomer menjadi glukosa) (Sasaki, 1982). Selulosa adalah polimer glukosa yang membentuk rantai linier dan dihubungkan oleh ikatan β-1,4-glikosidik. Struktur linier ini menyebabkan selulosa bersifat kristalin dan tidak mudah larut. Selulosa tidak mudah didegradasi secara kimia maupun mekanis. Di alam, biasanya selulosa berasosiasi dengan polisakarida lain seperti hemiselulosa atau lignin membentuk kerangka utama dinding sel tumbuhan (Holtzapple, 1993). Degradasi selulosa merupakan proses pemecahan polimer anhidrogluksa menjadi molekul-molekul yang lebih sederhana. Proses tersebut akan menghasilkan oligosakarida, disakarida atau trisakarida seperti selobiosa, glukosa monomer atau produk degradasinya. Produk utama degradasi selulosa adalah glukosa dan selobiosa (Judoamidjojo et al., 1989). Hemiselulosa merupakan heteropolisakarida yang mengandung berbagai gula, terutama pentosa. Hemiselulosa umumnya terdiri dari dua atau lebih residu pentosa yang berbeda. Komposisi polimer hemiselulosa sering mengandung asam uronat sehingga mempunyai sifat asam. Hemiselulosa memiliki derajat polimerisasi yang lebih rendah, lebih mudah terhidrolisis dalam asam, mempuyai suhu bakar yang lebih rendah dibandingkan selulosa

17

dan tidak berbentuk serat-serat yang panjang. Selain itu, umumnya hemiselulosa larut dalam alkali dengan konsentrasi rendah, yaitu semakin banyak

cabangnya

semakin

tinggi

kelarutannya.

Hemiselulosa

dapat

dihidrolisis dengan enzim hemiselulase (xilanase) (Kusnandar, 2010). Lignin merupakan zat organik polimer yang penting dalam dunia tumbuhan,

karena

lignin

meningkatkan

sifat-sifat

kekuatan

mekanik

sedemikian rupa, sehingga tumbuhan yang besar seperti pohon yang tingginya puluhan meter dapat tetap berdiri. Lignin terdapat dalam jaringan vaskuler berfungsi sebagai pengangkut cairan. (Fengel dan Wegner, 1995). Mekanisme degradasi lignin oleh fungi adalah depolimerisasi dengan pemutusan ikatan molekul. Pemecahan tersebut menghasilkan senyawa fenol dengan bobot molekul rendah seperti fenol karboksilat (asam sinamat). Degradasi kemudian dilanjutkan melalui cicin aromatik (Fengel dan Wegner, 1995).

18

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tongkol jagung manis yang diperoleh dari daerah Cibanteng, onggok dan bekatul dari daerah Tapos, ampas tahu dari daerah Cibanteng, dan bungkil kacang tanah dari Pasar Bogor. Isolat Aspergillus niger dan Neurospora sitophila diperoleh dari koleksi Laboratorium Biondustri, TIN, FATETA, IPB. Bahan kimia untuk analisis, diantaranya adalah air destilata, alkohol, NaOH, H2SO4, H3BO4, kapas, katalis, dinitrosalycilic acid (DNS), fenol 5%, Pb asetat setengah basa, dan bahan-bahan lainnya. 2. Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain hammer mills, disc mills, blender, neraca analitik, pengayak 40-60 mesh, autoklaf, inkubator, jarum ose, oven, tabung reaksi, cawan petri, labu ukur, labu erlenmeyer, desikator, labu didih, tabung soxhlet, kertas saring, sudip, penjepit, mini magnet stirrer, gelas kimia, dan pipet.

B. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan penelitian, yaitu sebagai berikut (diagram proses penelitian dapat dilihat pada Gambar 7) : 1. Penelitian Pendahuluan a. Penyiapan Bahan Tongkol jagung yang sudah dikeringkan dicacah kasar kemudian digiling dengan menggunakan hammer mill dan dihaluskan dengan disc mills. Tongkol jagung hasil penggilingan kemudian diayak dengan menggunakan ayakan berukuran 40 mesh. Bahan baku untuk produksi inokulum juga mengalami perlakuan pendahuluan, berupa perlakuan fisik. Ampas tapioka dan ampas tahu 19

dikeringkan pada 45–50oC. Setelah kering, digiling dan diayak sampai menjadi tepung. Pada bekatul hanya dilakukan pengayakan, sedangkan pada bungkil kacang tanah dilakukan proses pengahancuran terlebih dahulu dengan blender kemudian diayak hingga menjadi tepung.

Karakterisasi Tongkol Jagung

Karakterisasi dan Penentuan Perbandingan Komposisi Substrat Inokulum

Penyegaran Kultur

Produksi Inokulum

Pengamatan setiap 1 minggu (kadar air dan viabilitas spora)

Kultivasi tongkol jagung setiap 2 minggu (dengan inokulum viabilitas tertinggi)

Analisis hasil kultivasi tongkol jagung Gambar 6. Diagram proses penelitian

b. Karakterisasi Komposisi Proksimat Tongkol Jagung dan Substrat Inokulum Pada tahap ini selanjutnya dilakukan analisis proksimat tongkol jagung dan bahan baku inokulum, yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar serat kasar. Selain itu pada tongkol jagung, dilakukan pula analisis kadar lignin, selulosa, dan hemiselulosa. Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 1. Hasil analisis komponen proksimat onggok, ampas tahu, bekatul, dan bungkil kacang tanah digunakan untuk menentukan nilai kisaran nisbah C/N. Nilai kadar karbon dihitung melalui pendekatan nilai kadar 20

karbohidrat, sedangkan nilai kadar nitrogen dihitung melalui pendekatan nilai kadar protein.

2. Penelitian Utama Pada penelitian utama dikaji penggunaan substrat dalam penyiapan inokulum untuk masing-masing kapang. Sumber karbon yang digunakan adalah onggok, sedangkan sumber nitrogen yang digunakan meliputi ampas tahu, bekatul, dan bungkil kacang tanah. Rasio nisbah C/N yang digunakan adalah 5 dan ditentukan berdasarkan komponen proksimat untuk masingmasing substrat inokulum yang telah dilakukan pada tahap 1.b. Tahapan penelitian utama meliputi : a. Penyegaran Kultur Penyegaran kultur dilakukan dengan menumbuhkan kapang yang berasal dari media agar miring Potato Dextrose Agar (PDA). Kapang A.niger dan N. sitophila masing–masing diinokulasikan pada tabung reaksi berisi media agar miring PDA steril secara aseptis dengan menggunakan jarum ose. Tabung reaksi kemudian ditutup dengan kapas dan diinkubasi selama 6 hari pada suhu 30–32°C. b. Produksi inokulum Sebanyak 50 g media inokulum dimasukkan dalam wadah plastik (baskom) dan ditimbang. Komposisi perbandingan media inokulum diperoleh pada tahap 1.b disajikan pada Tabel 7. Sebelumnya, media inokulum disterilisasi pada suhu 121oC selama 15 menit. Setelah dingin diinokulasi dengan suspensi spora sebanyak 20% (% v/b, bobot kering), yaitu 10 ml suspensi spora yang berasal dari agar miring PDA diinokulasikan ke dalam 50 g media. Kemudian diaduk secara aseptis dan ditutup oleh kertas buram. Selanjutnya media inokulum diinkubasi pada suhu ruang (26– 35oC). Inkubasi dilakukan selama 3 hari pada inkubator (Gambar 7). Setelah inkubasi, dikeringkan pada suhu 45–50oC selama 1 hari, kemudian dikemas dalam kantung plastik polietilen dan disimpan pada

21

tempat tertutup pada suhu 28–30oC dan kelembapan relatif (RH) sekitar 60–80%.

Tabel 7. Komposisi perbandingan bobot substrat inokulum Media Onggok+ Ampas Tahu Onggok+Bekatul Onggok+Bungkil Kacang Tanah

Perbandingan Media Inokulum Bungkil Onggok Ampas Tahu Bekatul Kacang Tanah 3,61

4,71

-

-

1,86

-

7,43

-

4,02

-

-

3,50

Gambar 7. Inkubator untuk produksi inokulum spora

c. Penyimpanan Inokulum Pada penyimpanan inokulum, selanjutnya dilakukan pengamatan setiap minggu selama 2 bulan. Pengujian yang dilakukan meliputi pengujian kadar air dan viabilitas spora (prosedur analisis disajikan pada Lampiran 1).

22

Rancangan percobaan yang digunakan pada produksi inokulum untuk masing-masing kapang adalah rancangan acak kelompok dengan faktor perlakuan komposisi campuran substrat yang terdiri dari 3 taraf (onggok dan ampas tahu, onggok dan bekatul, onggok dan bungkil kacang tanah) dan faktor lama penyimpanan yang terdiri dari 9 taraf (0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan 8 minggu). Tiap perlakuan dua kali ulangan. Model rancangan percobaan yang digunakan adalah sebagai berikut (Mattjik et al., 2000) : Yijk =µ + Rk + αi + βi + (αβ)ij +εijk Keterangan : Yijk = nilai pengamatan µ = rata-rata sebenarnya αi = pengaruh faktor ke-α (komposisi substrat) pada taraf ke-i (i=onggok+ampas tahu, onggok+bekatul, onggok+bungkil kacang tanah) βi = pengaruh faktor ke-β (lama penyimpanan) pada taraf ke-j (j=0,1,2,3,4,5,6,7,8,9 minggu) (αβ)ij = pengaruh interaksi faktor α taraf ke-i dengan faktor β taraf ke-j eijk = error Data yang dihasilkan dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) menggunakan Statistic Analysis Software (SAS) dengan tingkat kepercayaan 95%. Apabila sidik ragam menunjukkan hasil yang berpengaruh nyata maka dilakukan uji lanjut Duncan untuk mengetahui perlakuan yang berbeda.

d. Uji Viabilitas pada Hidrolisis Tongkol Jagung Inokulum dengan viabilitas spora tertinggi selama penyimpanan dua bulan, selanjutnya diinokulasikan ke tongkol jagung pada minggu ke–2, 4, 6, 8 untuk diuji kemampuan inokulum pada hidrolisis tongkol jagung. Media tongkol jagung disiapkan sebanyak 100 g dan dicampur dengan air sebanyak 150 ml. Media ini disterilisasi pada suhu 121oC selama 15 menit. Setelah dingin substrat tongkol jagung diinokulasi dengan spora yang telah ditumbuhkan pada media inokulum (15% g/g), kemudian dicampur sampai rata secara aseptis. 23

Substrat yang telah diinokulasi ini kemudian ditutup dengan kertas buram, lalu diinkubasi pada suhu ruang selama 9 hari. Setelah diinkubasi selama 9 hari dilakukan pemanenan dan pengeringan pada suhu 45–50oC selama 2 hari. Hasil pengeringan dimasukkan ke dalam plastik polietilen. Selanjutnya dilakukan analisa, meliputi uji kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar serat kasar, gula pereduksi, total gula, dan penampakan mikroskopis yang disajikan pada Lampiran 1. Proses kultivasi tongkol jagung dari inkubasi sampai pengeringan untuk mendapatkan produk yang dapat dianalisa dapat dilihat pada Gambar 8. Rancangan percobaan yang digunakan pada uji viabilitas inokulum pada hidrolisis tongkol jagung adalah rancangan acak lengkap dengan perlakuan umur simpan inokulum yang terdiri dari 4 taraf (2, 4, 6, dan 8 minggu). Tiap perlakuan dua kali ulangan. Model rancangan percobaan yang digunakan adalah sebagai berikut (Mattjik et al., 2000): Yij = µ+ αi + εij Keterangan : Yij = variabel respon hasil observasi ke j yang terjadi karena pengaruh bersama taraf ke i faktor (nilai pengamatan) µ = rata-rata sebenarnya αi = pengaruh faktor ke-α (umur simpan inokulum) pada taraf ke-i (i=2,4,6,8 minggu) eijk = error (galat perlakuan ke i pada ulangan j) Data yang dihasilkan dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA) menggunakan Statistic Analysis Software (SAS) dengan tingkat kepercayaan 95%. Apabila sidik ragam menunjukan hasil yang berpengaruh nyata maka dilakukan uji lanjut Duncan untuk mengetahui perlakuan yang berbeda.

24

a. Aspergillus niger b. Neurospora sitophila Keterangan: 1). Keadaan selama proses kultivasi 2). Keadaan ketika pemanenan setelah 9 hari dikultivasi 3). Sampel yang akan dianalisis setelah pengeringan selama 2 hari Gambar 8. Proses kultivasi tongkol jagung menggunakan inokulum kapang

25

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISASI BAHAN 1. Tongkol Jagung Pada penelitian ini dilakukan karakterisasi komposisi kimia tongkol jagung sebagai bahan baku pembuatan pakan, yaitu dengan pendekatan komponen proksimat. Nilai analisis proksimat tongkol jagung dapat berbeda–beda tergantung jenis tongkol jagung, waktu pemanenan, penanganan setelah pemanenan, dan penyimpanan (Suarni, 2005). Hasil analisis proksimat tongkol jagung yang digunakan pada penelitian ini tersaji pada Tabel 8.

Tabel 8. Komposisi tongkol jagung Komponen

(%b.b)

(%b.k)

Air

10,71

-

Abu

1,51

1,69

Protein

0,54

0,60

Lemak

2,09

2,34

Serat Kasar

70,67

79,15

Karbohidrat (by difference)

14,48

16,22

Nilai kandungan protein yang rendah menunjukkan bahwa tongkol jagung belum memenuhi gizi sebagai pakan ternak. Kandungan protein dan serat kasar pada pakan yang dapat memenuhi kebutuhan ternak ruminansia masing-masing sebesar 8% dan 15% dari bobot kering bahan. Rendahnya nilai protein tongkol jagung dalam sistem kultivasi dapat diatasi dengan melakukan penambahan inokulum dengan substrat campuran yang kandungan proteinnya relatif lebih tinggi dibandingkan dengan tongkol jagung. Kadar protein dan lemak tongkol jagung cukup rendah, namun memiliki kandungan serat yang cukup tinggi, sehingga dapat digunakan untuk bahan baku pakan ternak. Tongkol jagung mengandung selulosa, 26

hemiselulosa, dan lignin, sehingga tongkol jagung dapat digunakan sebagai sumber energi, bahan pakan ternak dan sebagai sumber karbon bagi pertumbuhan mikroba. Kandungan lignoselulosa pada tongkol jagung dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Kandungan lignoselulosa tongkol jagung Komponen

(%b.k)

Lignin

10,97

Hemiselulosa

51,41

Selulosa

34,90

Komponen lignin, hemiselulosa dan selulosa merupakan komponen dengan struktur yang kompak. Tingginya kandungan lignin pada tongkol jagung menunjukkan bahwa tongkol jagung relatif sulit untuk dicerna oleh mikroba. Hal ini diperkuat oleh Sutardi (1980) yang menyatakan bahwa kandungan lignin pada hijauan erat hubungannya dengan manfaat bahan makanan ternak. Bila kadar lignin tinggi, maka koefisien cerna bahan makanan tersebut rendah. Tingginya kandungan serat kasar pada tongkol jagung mengakibatkan kecernaan bahan tersebut rendah, karena masih memiliki dinding sel yang terselimut oleh kristal silika. Untuk mengatasi hal itu perlu dilakukan suatu pengolahan yang sesuai, sehingga bahan pakan lignoselulosik memiliki kualitas yang cukup baik sebagai pakan ternak. Oleh karena itu, diperlukan suatu proses untuk mendegradasi komponen tersebut, salah satunya adalah melalui hirolisis biologis tongkol jagung dengan menggunakan kapang selulolitik.

2. Substrat untuk Produksi Inokulum Pemillihan

bahan

inokulum

berdasarkan

pada

pertimbangan

kemudahan memperoleh bahan baku. Perlakuan pendahuluan diperlukan terhadap bahan baku yang merupakan hasil samping dari limbah industri. Perlakuan pendahuluan tersebut, diantaranya adalah mengeringkan bahan

27

dan memperkecil ukuran bahan sehingga menjadi tepung. Hal ini berdasarkan pembuatan inokulum tempe (ragi tempe) yang berbentuk tepung. Selain itu, bahan baku dibuat menjadi tepung agar penyebaran spora kapang dapat merata. Pada penelitian ini dilakukan analisis proksimat pada substrat onggok, ampas tahu, bekatul, dan bungkil kacang tanah. Hasil analisis kadar karbohidrat dan kadar protein berguna untuk menentukan nilai nisbah karbon dan protein. Onggok yang memiliki kandungan karbohidrat yang cukup besar akan dicampurkan dengan bahan-bahan yang mengandung protein yang cukup, sehingga didapat nilai C/N yang seimbang. Nilai nisbah karbon dan protein (nilai C/N) perbandingan onggok dengan ampas tahu, bekatul, dan bungkil kacang tanah yang diinginkan sesuai dengan nilai C/N pertumbuhan kapang. Pada Tabel 6, diketahui bahwa komponen penyusun kapang terdiri atas karbon sekitar 40–63% (b.k) dan protein sekitar 7–10% (b.k). Oleh karena itu, nilai C/N untuk komposisi kapang adalah 4–9. Hasil analisis proksimat onggok beserta ampas tahu, bekatul, dan bungkil kacang tanah disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Komposisi proksimat pada substrat Komponen Abu Protein Lemak Serat Kasar Karbohidrat (by difference) Rasio C/N

Onggok (%b.k) 2,17 1,94 0,33 10,18

Ampas Tahu (%b.k) 3,30 19,77 6,10 30,02

Bekatul (%b.k) 12,59 12,97 16,35 12,19

Bungkil Kacang Tanah (%b.k) 5,17 26,36 23,06 0,58

85,39

40,81

45,90

44,83

44,04

2,06

3,54

1,70

Berdasarkan hasil analisa tersebut kemudian dihitung agar didapat perbandingan C/N = 5 berdasarkan modifikasi Doelle et al. (1992). Pemilihan nisbah C/N = 5 dikarenakan perkiraan kapang tumbuh baik pada kondisi cukup karbon dan nitrogen. Apabila terlalu banyak nitrogen, kapang tidak dapat tumbuh maksimal, karena dikhawatirkan kapang tersebut akan

28

melakukan aktivitas mendegradasi komponen nitrogen tersebut bukan melakukan pertumbuhan. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Fardiaz (1992), bahwa nitrogen dari hasil pemecahan protein digunakan untuk membangun protoplasma di dalam sel, sedangkan energi yang dibutuhkan untuk sintesis tersebut terutama diperoleh dari pemecahan karbohidrat. Oleh karena itu, dibutuhkan jumlah karbohidrat yang cukup besar dibandingkan dengan jumlah protein, karena mikroba membutuhkan energi yang besar di dalam pertumbuhannya. Setelah dilakukan perhitungan, didapat perbandingan onggok dan ampas tahu (3,61 : 4,71), onggok dan bekatul (1,86 : 7,43), serta onggok dan bungkil kacang tanah (4,02: 3,50). Perhitungan ini menggunakan perbandingan karbohidrat dan protein pada komposisi bahan campuran tersebut. Hasil dari perbandingan ini yang dijadikan komposisi bahan inokulum. Perhitungan perbandingan dan komposisi substrat inokulum dicantumkan pada Lampiran 2. Hasil perhitungan komposisi campuran substrat inokulum dapat dilihat pada Tabel 11. Secara teoritis, substrat campuran akan menghasilkan nilai komposisi proksimat yang berbeda tetapi perbandingan C/N tetap 5.

Tabel 11. Hasil perhitungan komposisi campuran substrat inokulum Komponen Abu Protein Lemak Serat Kasar Karbohidrat (by difference)

Onggok+Ampas Tahu (%b.k)

Onggok+Bekatul (%b.k)

2,81 12,03 3,60 21,41

10,50 10,76 13,14 11,78

Onggok+Bungkil Kacang Tanah (%b.k) 3,56 13,31 10,91 5,71

60,16

53,81

66,51

29

B. PRODUKSI INOKULUM Setelah dilakukan perhitungan perbandingan substrat, maka dibuat substrat inokulum berdasarkan perbandingan substrat tersebut. Tujuan pembuatan inokulum adalah untuk mempermudah penggunaan inokulum oleh masyarakat, serta dapat digunakan dan didistribusikan kapan saja. Sebelum diinokulasikan dengan kapang yang berasal dari agar miring PDA, substrat terlebih dahulu diberi air kemudian disterilisasi. Hal ini bertujuan meningkatkan kandungan air bahan, sehingga mampu memenuhi kebutuhan air kapang yang digunakan untuk tumbuh dan melakukan metabolisme selama proses kultivasi. Selanjutnya bahan tersebut disterilisasi agar kontaminan yang berada dalam bahan mati. Media dimasukkan dalam wadah plastik polistirena (baskom) dan setelah dingin dilakukan inokulasi oleh suspensi spora kapang yang berasal dari agar miring PDA. Pengadukan secara aseptis dilakukan agar suspensi spora merata dalam media. Wadah ditutup dengan kertas buram untuk meminilisasi kontaminan. Kertas buram digunakan karena pori–pori dalam kertas tersebut tidak terlalu rapat, sehingga kapang dapat melakukan aktivitas metabolik-nya. Inokulum kemudian diinkubasikan selama 3 hari untuk inokulum kapang Aspergillus niger dan 4 hari untuk inokulum kapang Neurospora sitophila. Menurut Supriyati et al. (1999), laju pertumbuhan A .niger dalam substrat ampas tahu cukup cepat terlihat dari waktu inkubasi satu hari, pada permukaan substrat telah tampak miselium putih, berarti kapang telah memasuki fase eksponensial. Hari kedua inkubasi seluruh kapang telah tertutup miselium putih keabu-abuan serta mulai nampak adanya spora, dan pada hari ketiga spora berwarna hitam telah menutupi hampir seluruh permukaan sebstra. Hal ini menunjukkan pertumbuhan maksimal dari A. niger. Sebaliknya dengan N.sitophila, pertumbuhan lebih lambat karena pada hari kedua setelah inokulasi baru terlihat adanya miselium putih tipis, dan hari keempat mulai tumbuh spora yang ditunjukkan dengan terbentuknya warna oranye pada permukaan substrat. Hari ketiga inkubasi pada kapang A. niger dan empat hari pada N.sitophila mungkin telah berada pada fase stasioner pertumbuhan. Kemungkinan tersebut didasarkan pada pertumbuhan spora yang telah

30

menutupi permukaan substrat. Fase stasioner merupakan fase dimana jumlah kapang tidak bertambah akibat jumlah kapang yang tumbuh sama dengan jumlah yang mati. Menurut Fardiaz (1989) bahwa fase stasioner terjadi karena nutrien dalam medium sudah sangat berkurang juga terjadi akumulasi metabolit yang dapat menghambat pertumbuhan. Alexopolous et al. (1997) menyatakan bahwa awal pembentukan spora mengisyaratkan proses metabolisme kapang menjadi minimal serta produksi enzim juga mulai berhenti. Sporulasi merupakan respon kapang terhadap kondisi lingkungan tumbuh yang kurang menguntungkan yang dapat disebabkan oleh kekurangan nutrien, perubahan suhu, pH, dan faktor lainnya. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa waktu inkubasi tiga hari merupakan waktu yang optimum bagi pembentukan spora pada A. niger dan empat hari pada N. sitophila. Pemilihan pertumbuhan kapang pada waktu optimum, dikarenakan inokulum tersebut akan disimpan dalam bentuk spora inokulum kering, sehingga dibutuhkan kebutuhan spora yang cukup pada inokulum tersebut. Pemanenan inokulum dilakukan dengan pengeringan pada suhu 45–50oC selama satu hari. Pengeringan ini dilakukan agar kapang menjadi dorman, sehingga berhenti aktivitas pertumbuhannya. Pengeringan mengakibatkan penurunan kadar air yang mengakibatkan aktivitas kapang terhambat. Selanjutnya inokulum tersebut dikemas dalam kantung plastik polietilen dan disimpan pada suhu ruangan (28–30oC). Polietilen merupakan film yang lunak, transparan dan fleksibel, mempunyai kekuatan benturan serta kekuatan sobek yang baik. Dengan pemanasan akan menjadi lunak dan mencair pada suhu 110oC. Berdasarkan sifat permeabilitasnya yang rendah serta sifat-sifat mekaniknya yang baik, polietilen mempunyai ketebalan 0.001 sampai 0.01 inchi, yang banyak digunakan sebagai pengemas makanan, karena sifatnya yang thermoplastik, polietilen mudah dibuat kantung dengan derajat kerapatan yang baik (Sacharow dan Griffin, 1970). Selain itu, pemilihan kemasan ini berdasarkan kemudahan mendapatkannya dan agar masyarakat mudah menggunakan serta mendistribusikannya. Penyimpanan dilakukan di tempat tertutup agar meminimilisasi dari kontaminan.

31

C. PERUBAHAN KUALITAS INOKULUM SELAMA PENYIMPANAN Inokulum spora yang telah dibuat kemudian disimpan dan diamati perubahannya selama dua bulan. Perubahan tersebut akan menentukan spora tersebut masih cukup baik atau tidak digunakan untuk menghidrolisis tongkol jagung. Parameter–parameter yang diamati, meliputi perubahan kadar air dan viabilitas spora. 1. Kadar Air Hasil analisis sidik ragam kadar air (Lampiran 3.A) menunjukkan bahwa komposisi substrat serta interaksi antar faktor komposisi substrat dan lama penyimpanan memberikan pengaruh nyata pada kadar air. Uji lanjut Duncan terhadap komposisi bahan menunjukkan kadar air berbeda nyata dengan semua perlakuan komposisi substrat (onggok+ampas tahu, onggok+bekatul, dan onggok+bungkil kacang tanah). Selama penyimpanan inokulum terjadi proses penetrasi uap air dari ruang penyimpanan ke dalam kemasan inokulum yang memiliki kadar air yang relatif rendah. Oleh karena itu, inokulum akan menyerap air dari sekelilingnya sehingga semakin lama penyimpanan inokulum makan kadar air akan meningkat. Perubahan kadar air pada inokulum dapat dilihat pada Gambar 9.

(a)

(b)

Gambar 9. Perubahan kadar air inokulum selama penyimpanan untuk (a) A. niger dan (b) N. sitophila Selama penyimpanan pada suhu ruang (28-30°C) inokulum kapang mengalami kenaikan kadar air, baik pada inokulum A. niger maupun

32

inokulum N. sitophila. Peningkatan kadar air ini terjadi karena metabolisme mikroba yang diikuti oleh pelepasan air, selain itu terjadi juga penetrasi uap air melalui kemasan (Buckle, et al., 1985). Peningkatan kadar air selain terjadi akibat akumulasi air hasil mekanisme respirassi seluler pada mikroba, juga terjadi akibat minimnya transfer panas pada substrat sehingga tingkat evaporasi cenderung rendah dan mengakibatkan air, baik yang terkandung di dalam substrat maupun air hasil metabolit, terakumulasi di dalam sistem dan meningkatkan kadar air bahan. Selain itu, menurut Sacharow dan Griffin (1970), plastik polietilen mempunyai daya proteksi terhadap uap air yang cukup baik, akan tetapi kurang baik bagi gas-gas yang lain seperti oksigen. Hal ini yang menyebabkan terjadinya proses masuknya air ke dalam kemasan walaupun cukup kecil dan mengakibatkan kadar air meningkat. Penyimpanan inokulum N. sitophila dengan kadar air awal yang lebih rendah daripada inokulum A. niger, menunjukkan kenaikan kadar air yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena bahan yang berbentuk bubuk umumnya bersifat higroskopis. Bahan yang kadar airnya lebih rendah, lebih mudah

menyerap

air

karena

menyesuaikan

dengan

kelembaban

lingkungannya. Menurut Hesseltine dan Wang (1982), kapang dapat tumbuh dengan baik pada kadar air 12-35%. Kedua inokulum kapang tersebut mengalami kenaikan kadar air yang cukup besar, namun kadar air masih dibawah 12% sehingga inokulum tersebut dapat dikatakan baik karena kapang dalam keadaan dorman.

2. Viabilitas Spora Hasil analisis sidik ragam untuk viabilitas spora (Lampiran 3.B) menunjukkan bahwa komposisi substrat serta interaksi antar faktor komposisi substrat dan lama penyimpanan memberikan pengaruh nyata pada viabilitas spora. Berdasarkan uji lanjut Duncan terdapat perbedaan media penghasil spora, yaitu komposisi campuran onggok dan ampas tahu,

33

onggok dan bekatul, serta onggok dan bungkil kacang memberi pengaruh nyata terhadap viabilitas spora. Berdasarkan hasil tersebut terlihat adanya perbedaan kemampuan untuk tumbuh dari spora yang berasal dari substrat yang berbeda–beda. Perbedaan ini diduga bukan semata–mata karena perbedaan komposisi substrat yang berpengaruh pada kemampuan germinasi spora, tetapi diduga karena adanya perbedaan kematangan spora saat dipanen dan perbedaan masa fase dorman dari spora tersebut. Tingkat kematangan yang berbeda–beda akan menyebabkan berbeda pula masa dorman spora dalam hal ini constitutive dorman, dimana spora yang dorman dengan kematangan yang cukup (siap germinasi) ketika ditempatkan pada lingkungan yang cocok misalnya pada PDA lebih cepat untuk terjadinya germinasi. Sementara spora yang belum cukup matang ketika ditumbuhkan pada PDA tidak mampu langsung untuk melakukan germinasi, tetapi melakukan aktifitas metabolik untuk menyempurnakan kematangannya. Hal ini seperti yang disebutkan Bilgrami dan Verma (1978) bahwa spora fungi selama periode dorman menyempurnakan proses pematangan, atau jika telah siap matang digunakan sebagai periode menjalani istirahat sebelum bergerminasi. Jadi faktor kematangan spora diduga penyebab berbedanya jumlah spora tumbuh. Spora yang cukup matang akan bergerminasi

lebih

cepat,

sementara

yang

belum

cukup

matang

menggunakan waktu dorman untuk penyempurnaan kematangannya. Perbedaan komposisi media produksi spora kaitannya dengan kematangan spora adalah tersedianya sejumlah nutrisi untuk pembentukan spora, karena kapang dalam pembentukan dan pematangan sporanya sangat dipengaruhi oleh ketersediaan nutrisi di lingkungannya. Ilyas (2007) menambahkan bahwa secara morfologis dan fisiologis, spora yang telah matang sempurna memiliki ketahanan yang tinggi terhadap perubahan kondisi lingkungan, sehingga secara alamiah dapat melakukan proses dormansi tanpa kehilangan kemampuan viabilitasnya. Sebaliknya, penggunaan kultur yang sporanya

34

belum matang secara sempurna akan menyebabkan spora lebih rentan terhadap perubahan lingkungan sehingga mudah kehilangan viabilitasnya. Menurut Frazier (1992), spora mikroba berkurang kemampuan untuk bergerminasi, antara lain disebabkan oleh kondisi lingkungan yang tidak sesuai. Parameter-parameter kondisi lingkungan yang dimaksud adalah suhu, kelembaban, inhibitor biologis (bakteri, kutu, binatang kecil, dll.) dan berkurangnya nutrisi esensial, seperti asam amino di dalam media pertumbuhannya. Dalam hal ini, penurunan viabilitas spora diduga juga diakibatkan karena berkurangnya nutrisi pada substrat dan meningkatnya inhibitor biologis yang seiring dengan meningkatnya kadar air. Pada jenis inokulum dengan kadar air lebih tinggi, jumlah spora kapang lebih tinggi dibandingkan dengan inokulum dengan kadar air rendah. Hal ini dapat dilihat pada perbandingan kadar air inokulum A. niger yang lebih tinggi dari inokulum N. sitophila, mengakibatkan jumlah spora inokulum A. niger lebih banyak. Selain itu, hal ini diduga dari kemampuan A. niger yang mudah tumbuh dan beradaptasi jika lingkungan tumbuhnya terpenuhi, sehingga mengakibatkan jumlah spora A. niger lebih banyak dibandingkan N. sitophila. Semakin lama penyimpanan, baik inokulum N. sitophila maupun inokulum A. niger, jumlah koloni kapangnya akan menurun. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba tersebut antara lain nutrien yang tersedia, air, oksigen, suhu, pH, serta ada tidaknya komponen anti mikroba (Fardiaz, 1989). Semakin lama penyimpanan inokulum maka nutrisi yang dibutuhkan bagi pertumbuhannya semakin berkurang, sehingga jumlah koloni kedua jenis kapang yang tumbuh akan berkurang. Dengan demikian zat gizi akan menjadi faktor pembatas pertumbuhan yang menyebabkan penurunan jumlah mikroba dalam fase menuju kematian. Perbedaan kemampuan germinasi dan sporulasi dipengaruhi oleh perbedaan komposisi media yang memberikan ketersediaan nutrien yang berbeda. Karena menurut Perlman (1968), sporulasi, baik fenotip, kualitatif dan kuantitatif lebih besar tergantung pada faktor lingkungan antara lain (sumber C, N, nisbah C/N, dan mineral) dan kandungan air dalam medium

35

dan kelembapan relatif. Perbedaan substrat bahan pada inokulum akan memberikan perbedaan konsentrasi nutrisi, terutama perbedaan kandungan selulosanya sebagai sumber C. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan satu minggu sekali dapat diketahui penurunan jumlah spora kering pada tiap bahan inokulum. Hasil pengamatan viabilitas spora selama dua bulan untuk kapang A.niger menunjukkan penurunan jumlah spora dalam berbagai substrat. Pada substrat onggok+ampas tahu menurun dari 73,51 x 107 menjadi 13,89x107 atau mengalami penurunan sebesar 8,16%, onggok+bekatul menurun dari 82,91 x 107 menjadi 24,95 x 107 atau mengalami penurunan sebesar 5,86% dan onggok+bungkil kacang tanah menurun dari 91,24 x 107 menjadi 37,50 x 107 (spora/g bobot kering) atau mengalami penurunan sebesar 4,30%. Grafik viabilitas spora inokulum A. niger disajikan pada Gambar 10(a). Pada inokulum A. niger penurunan viabilitas spora sangat rendah hingga akhir pengamatan selama 2 bulan. Hal ini dapat disebabkan daya tahan hidup A. niger yang tinggi. Pada inokulum A. niger, viabilitas yang tertinggi terdapat pada campuran onggok dan bungkil kacang tanah. Hal ini dikarenakan bungkil kacang tanah mengandung protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan bahan–bahan yang lainnya. Berdasarkan perhitungan teoritis kadar protein onggok+bungkil kacang tanah (pada Tabel 2) memiliki kandungan mencapai 13,31%. Menurut Muchtadi et al. (1992), Aspergillus merupakan salah satu mikroba penghasil protease yang cukup potensial. Protease adalah enzim proteolitik yang merupakan biokatalisator untuk reaksi pemecahan protein. Lebih lanjut Fardiaz (1992) menyatakan bahwa mikroba melalui sistem enzim yang kompleks memecah protein menjadi senyawa-senyawa yang lebih sederhana dengan pola sebagai berikut : Protein  Proteosa  Pepton  Polipeptida  Peptida  Asam amino  NH3 dan elemen N

36

(a)

(b) Gambar 10. Perubahan viabilitas spora inokulum selama penyimpanan untuk (a) A. niger dan (b) N. sitophila Menurut Enari (1983),

A. niger dalam pertumbuhannya sangat

dipengaruhi oleh ketersediaan senyawa nitrogen, baik nitrogen organik maupun nitrogen anorganik. Hal ini yang menyebabkan A. niger lebih mudah tumbuh dan dapat bertahan pada campuran onggok dan bungkil kacang tanah dibandingkan dengan campuran onggok+bekatul dan onggok+ampas tahu. Walaupun pada kandungan kadar air yang cukup rendah, enzim tersebut dapat dikeluarkan, karena menurut Meyrath dan Volavsek (1975), protease dari Aspergillus tergolong enzim ekstraseluler yang dapat menghidrolisa substrat di sekitarnya. Enzim ini bersifat

37

terinduksi, artinya pada substrat yang sesuai produksinya akan meningkat. Tanpa diinduksi, enzim tetap diproduksi, tetapi dalam jumlah yang lebih kecil. Berdasarkan hasil penelitian Ilyas (2007), inokulum spora A. niger yang disimpan pada suhu 5oC, menunjukkan penurunan viabilitas yang sangat rendah. Jumlah spora yang terhitung sebanyak 4 x 107 cfu/ml. Jumlah tersebut masih cukup baik untuk digunakan sebagai spora inokulum. Oleh karena itu, dapat dikatakan penurunan viabilitas pada inokulum A.niger di semua campuran media yang disimpan pada suhu ruang masih cukup rendah, sehingga spora inokulum tersebut masih baik digunakan hingga akhir pengamatan (selama dua bulan). Hasil pengamatan menunjukkan viabilitas spora selama dua bulan untuk kapang N. sitophila juga mengalami penurunan jumlah spora dalam berbagai media. Pada media onggok+ampas tahu menurun dari 63,13 x 107 menjadi 4,33 x 107 atau mengalami penurunan sebesar 13,38%, onggok+bekatul menurun dari 83,43 x 107 menjadi 19,20 x 107 atau mengalami penurunan sebesar 7,16%, dan onggok+bungkil kacang tanah menurun dari 61,19 x 107 menjadi 2,15 x 107 (spora/g bobot kering) atau mengalami penurunan sebesar 17,26%. Grafik viabilitas spora inokulum N.sitophila disajikan pada Gambar 10(b). Pada inokulum N. sitophila, viabilitas yang cukup tinggi terdapat pada campuran onggok dan bekatul. Hal ini dikarenakan kandungan vitamin dan mineral pada onggok+bekatul yang cukup tinggi dilihat dari nilai kadar abu yang cukup tinggi, yaitu 10,50%. Menurut Luh (1991), bekatul mengandung magnesium 5,0–13,0 (mg/g), kalsium 0,3–1,2 (mg/g), fosfor 11,0–25,0 (mg/g), silika 5,0–11,0 (mg/g), seng 43,0–58,0 (µg/g), thiamin 12,0–24,0 (µg/g), riboflavin/B2 1,8–4,0 (µg/g), dan tokoferol/vitamin E 149–154 (µg/g). Nutrien yang terkandung di dalam bekatul menjadi faktor yang sangat penting dalam penyimpanan inokulum spora karena ketersediaan nutrien merupakan syarat agar mikroba tetap bertahan, selain kondisi lingkungan yang sesuai. Menurut Moat (1979), Neurospora tumbuh secara normal pada substrat yang hanya mengandung sumber karbon, garam

38

organik dan biotin. Sumber karbon tersebut berupa mono-, di-, atau polisakarida. Hal ini yang menyebabkan N. sitophila lebih mudah tumbuh dan dapat bertahan pada campuran onggok dan bekatul dibandingkan dengan campuran onggok+bungkil kacang tanah dan onggok+ampas tahu. Penelitian terhadap daya tahan simpan inokulum oncom dengan kapang Neurospora yang menggunakan substrat bungkil kacang tanah menunjukkan jumlah spora yang masih baik untuk digunakan sebesar 3,8 x 106 per gram inokulum (Anonimb, 2009). Semua inokulum, baik inokulum A. niger maupun inokulum N.sitophila di semua campuran media, masih dalam kondisi yang baik selama penyimpanan dua bulan dilihat dari jumlah sporanya yang masih baik untuk digunakan sebagai spora inokulum dan penurunan viabilitas sporanya yang sangat rendah. Jika dibandingkan dengan penelitian Rahman (1992) tentang inokulum tempe, didapatkan bahwa untuk menghasilkan tempe yang baik, jumlah sel hidup yang terdapat dalam inokulum harus berkisar antara 106-109 koloni/gram. Oleh karena itu, jumlah spora kedua inokulum masih dianggap baik karena masih berada di atas 106 koloni/gram. Substrat inokulum terbaik untuk kapang A. niger adalah onggok dan bungkil kacang tanah, sedangkan untuk inokulum N. sitophila adalah onggok dan bekatul. Selanjutnya, inokulum terbaik ini diaplikasikan pada kultivasi tongkol jagung.

D. VIABILITAS INOKULUM PADA HIDROLISIS TONGKOL JAGUNG Kultivasi tongkol jagung dilakukan dengan menggunakan inokulum kapang yang memiliki viabilitas tertinggi. Pada kapang A. niger digunakan inokulum yang substratnya adalah campuran onggok dan bungkil kacang tanah, sedangkan pada N. sitophila digunakan inokulum yang substratnya adalah campuran onggok dan bekatul. Kultivasi tongkol jagung dilakukan setiap dua minggu sekali dimulai pada minggu kedua. Kultivasi ini dilakukan untuk mengetahui viabilitas inokulum pada hidrolisis tongkol jagung. Kultivasi yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari beberapa tahap. Tahap pertama adalah persiapan media yaitu tongkol jagung diberi perlakuan

39

fisik yang bertujuan untuk memperkecil ukuran partikel tongkol jagung. Perlakuan fisik dilakukan melalui dua tahap yakni pencincangan kasar yang dilanjutkan dengan penggilingan menggunakan hammer mill dan disc mills. Hasil penggilingan dengan menggunakan disc mill kemudian diayak dengan menggunakan ayakan berukuran 40 mesh. Pengecilan ukuran ini dilakukan untuk memperluas permukaan substrat kultivasi serta memotong rantai amorf pada struktur selulosa pada bahan sehingga memudahkan penguraian oleh kapang selulolitik. Pengecilan ukuran tongkol jagung dapat mengakibatkan pengurangan fase kristalin fraksi selulosik tongkol jagung dan meningkatkan permukaan reaktif bahan (Ghose dan Kostick, 1970). Pengecilan ukuran memotong rantai amorf struktur selulosa dan memperluas permukaan substrat, sehingga penguraian oleh kapang menjadi mudah. Pada kultivasi tongkol jagung yang dilakukan, air pada sistem diakomodasi melalui proses penambahan air pada substrat tongkol jagung dengan perbandingan substrat : air (2 : 3) sehingga mencapai kadar air sekitar 60–68%. Penambahan air ini bertujuan untuk mempermudah proses homogenisasi campuran substrat-inokulum, dan juga bertujuan untuk meningkatkan jumlah air pada sistem kultivasi. Tanpa adanya air yang cukup di dalam sistem pertumbuhan kapang yang digunakan akan terhambat dan akan berpengaruh terhadap pertumbuhan biomassa. Tahap selanjutnya adalah proses sterilisasi. Proses sterilisasi dilakukan baik terhadap inkubator maupun terhadap tongkol jagung. Sterilisasi oleh Reddish (1957) didefinisikan sebagai segala proses, baik fisik maupun kimia, yang dapat merusak organisme hidup, diaplikasikan terutama pada mikroba termasuk bakteri, spora kapang, dan inaktivasi virus. Sebuah sistem yang steril merupakan sebuah sistem yang di dalamnya tidak terdapat organisme hidup baik yang bersifat mikroskopik maupun yang bersifat makroskopik. Proses sterilisasi dilakukan terutama dengan tujuan agar sistem kultivasi padat yang akan dilakukan terbebas dari kontaminasi. Proses ini menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan suatu sistem kultivasi, sehingga segala aspek yang berkaitan dengan proses ini harus dilakukan dengan baik.

40

Aktivitas biologis kapang dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan fisik seperti kadar air media, ketersediaan nutrien, konsentrasi inokulum, suhu dan kelembaban relatif ruang inkubasi serta bentuk dan ukuran partikel substrat (Moo-Young et al., 1983). Substrat tongkol jagung diinokulasikan dengan inokulum kapang sebanyak 15% dari bobot tongkol jagung. Konsentrasi ini berdasarkan penelitian Fakhruddin (1995) yang menggunakan inokulum spora untuk produksi selulase menggunakan substrat padat campuran tandan kosong dan sabut kelapa sawit. Selanjutnya ditutup dengan kertas buram untuk meminimalisasi media dari kontaminan. Suhu yang digunakan pada saat kultivasi adalah suhu ruang, yaitu sekitar 25–37oC. Suhu ruang dipilih agar mudah diaplikasilkan. Selain itu, berdasarkan Fardiaz (1989), bahwa A. niger termasuk mikroba mesofilik dengan pertumbuhan maksimum pada suhu 35°C-37°C dan N. sitophila mempunyai suhu pertumbuhan antara 20–30oC pada kondisi aerobik (Judoamidjojo et al., 1989), sehingga suhu ruang tersebut masih termasuk pada rentang suhu optimum untuk pertumbuhan kapang. Kultivasi substrat padat didefinisikan sebagai pertumbuhan mikrobial pada partikel tanpa adanya air bebas di dalam sistem (Moo-Young et al., 1983). Adanya air pada sistem kultivasi substrat padat biasanya terdapat pada ikatan kompleks di dalam matriks padat atau sebagai lapisan tipis yang terabsorbsi pada permukaan partikel atau terikat secara lemah pada daerah kapiler substrat padat. Adapun tingkat kelembaban relatif pada kultivasi substrat padat umumnya bervariasi antara 30% sampai dengan 85 % (Prior et al., 1992). Kultivasi pada tongkol jagung menggunakan kedua inokulum kapang dilakukan selama 9 hari. Hal ini berdasarkan penelitian sebelumnya bahwa kedua kapang tersebut dapat menurunkan kadar serat tertinggi pada umur 9 hari. Pada penelitian ini pengadukan tongkol jagung dan inokulum spora hanya diberikan di awal kultivasi, sehingga menyebabkan spora tidak merata pada seluruh bagian substrat inokulum dan media tongkol jagung semakin memadat pada akhir kultivasi. Gambar hasil kultivasi tongol jagung

41

menggunakan kedua jenis inokulum kapang dapat dilihat kembali pada Gambar 8. Setelah dilakukan kultivasi selama 9 hari, hasil kultivasi tersebut kemudian dipanen dan dilakukan pengeringan selama 2 hari pada suhu 50oC untuk mematikan spora. Selanjutnya, diukur beberapa parameter perubahan setelah kultivasi tongkol jagung. Hasil analisis parameter perubahan setelah kultivasi dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Parameter perubahan setelah kultivasi Komponen Kadar Air (%b.b) Kadar Abu (%b.k) Kadar Protein (%b.k) Kadar Lemak (%b.k) Kadar Serat (%b.k) Total Gula (ppm) Gula Pereduksi (ppm) Derajat Polimerisasi

Aspergillus niger (Umur Simpan Inokulum (Minggu)) 2 4 6 8

Neurospora sitophila (Umur Simpan Inokulum (Minggu)) 2 4 6 8

23,08a

24,60a

24,89a

25,87a

40,62a

41,79a

42,16a

41,91a

2,44a

2,40a

2,44a

2,40a

3,71a

3,67a

3,57a

3,41a

2,46a

2,53a

2,54a

2,50a

5,59 a

5,42a

5,60a

5,55a

2,03a

2,01a

2,01a

2,01a

2,90a

2,83a

2,89a

2,85a

54,67a

55,82b

56,34c

56,66d

46,92a

51,03b

52,62c

53,39d

39,20a

39,25a

38,63a

38,60a

37,92a

37,86a

37,85a

37,93a

11,98a

11,90a

11,78a

11,84a

14,32a

14,54a

14,44a

14,34a

3,27a

3,30a

3,28a

3,26a

2,65a

2,60a

2,62a

2,62a

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama tidak berpengaruh nyata pada taraf 5% menurut uji Duncan. Jenis inokulum kapang tidak dibandingkan. 1. Kadar Air setelah Kultivasi Hasil analisis pada Tabel 12 dan sidik ragam kadar air (Lampiran 4.A) menunjukan bahwa lama penyimpanan inokulum tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan kadar air tongkol jagung setelah kultivasi. Dengan demikian, penurunan kuantitas spora kapang pada inokulum tidak mempengaruhi aktivitas kapang selama proses kultivasi jika dilihat dari parameter kadar air.

42

Kadar air tongkol jagung sebelum kultivasi sebesar 10,24% dan terjadi peningkatan kadar air pada substrat awal sekitar 60–68% setelah penambahan air. Peningkatan kadar air ini disebabkan untuk pelaksanaan proses kultivasi, substrat harus cukup mengandung air untuk keperluan pertumbuhan kapang, sedangkan kandungan air tongkol jagung rendah, sehingga air harus ditambahkan agar terpenuhi kebutuhan air untuk pertumbuhan kapang. Menurut Chalal (1985), pada kultivasi substrat padat, substrat yang digunakan tidak larut tetapi cukup mengandung air untuk keperluan mikroba. Kebutuhan air untuk pertumbuhan kapang sekitar 60– 68%. Hasil analisis menunjukkan bahwa kadar air menurun setelah dilakukan kultivasi selama 9 hari. Penggunaan inokulum A. niger menyebabkan kadar air tongkol jagung menurun menjadi sekitar 24%, sedangkan penggunaan inokulum N. sitophila menyebabkan kadar air menurun menjadi sekitar 41%. Secara umum terjadi penurunan kadar air tongkol jagung setelah dikultivasi dibandingkan dengan substrat awal (kadar air substrat 60–68%). Penurunan ini disebabkan selama kultivasi dihasilkan energi, C02 air, dan umumnya sebagian air akan menguap dan sebagian lainnya akan tertinggal dalam produk (Fardiaz, 1989). Penurunan kadar air dapat disebabkan karena terbentuknya panas akibat proses kultivasi. Sofyan (2003) menyatakan bahwa pada kultivasi lebih dari 24 jam terjadi penguraian senyawa-senyawa organik oleh adanya aktivitas enzim yang menghasilkan senyawa sederhana, juga hasil lain dari proses metabolisme yaitu H2O dan energi dalam bentuk panas. Terbentuknya panas selama proses kultivasi akan menyebabkan suhu bahan meningkat dan air yang dihasilkan selama proses kultivasi akan menguap, sehingga terjadi penurunan kadar air. Dengan demikian semakin lama kultivasi, maka panas dari hasil metabolisme meningkat dan menyebabkan kadar air semakin menurun. Penurunan kadar air bahan juga menunjukan bahwa air pada substrat digunakan pada proses pertumbuhan kapang. Proses hidrolisis komponen selulosa substrat oleh enzim selulase ini membutuhkan air dalam jumlah yang besar (Pelczar, 1986). Air yang dihasilkan sebagai hasil samping dari

43

proses metabolisme lebih kecil dibandingkan dengan air yang dibutuhkan untuk mendegradasi serat pada substrat, sehingga mengakibatkan kadar air menurun selama kultivasi. Selain aktivitas selulase, penurunan kadar air juga terjadi akibat perubahan panas katabolik pada permukaan substrat yang mengakibatkan evaporasi air dari dalam ke luar sistem. Mekanisme hidrolisis selulosa secara lebih jelas disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11. Mekanisme hidrolisis selulosa (Campbell et al., 2006) Adanya selulase memungkinkan terjadinya hidrolisis polisakarida menjadi glukosa. Selanjutnya penguraian polisakarida menjadi glukosa diikuti oleh proses pembentukan asam piruvat melalui lintasan glikolisis. Asam piruvat kemudian teroksidasi menjadi satu molekul karbondioksida dan satu kelompok asetil. Kelompok asetil ini kemudian yang berikatan dengan koenzim A membentuk asetil KoA. Koenzim A ini merupakan senyawa gabungan hasil katabolisme lipid dan protein. Selanjutnya, Asetil KoA akan memasuki siklus asam sitrat. Siklus asam sitrat merupakan sumber biosintesis berbagai biomolekul (Campbell dan Farrell, 2006). Pada akhir siklus asam sitrat akan terbentuk asam oksaloasetat. Asam oksaloasetat ini kemudian akan kembali mengikat asetil ko-A dan kembali menjalani siklus Krebs. Siklus asam sitrat kemudian akan diikuti oleh rantai transpor elektron. Rantai transpor elektron adalah tahapan terakhir dari reaksi respirasi aerob. Mekanisme respirasi seluler ini secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 12.

44

a. Siklus Asam Sitrat

b. Rantai Transpor Elektron Gambar 12. Mekanisme respirasi seluler (Campbell et al., 2006) Pada akhir proses respirasi akan dihasilkan CO2 dan air sebagai hasil akhir (Campbell dan Farrel, 2006; Ningsih, 2010). Air yang terbentuk inilah yang terakumulasi pada substrat dan dapat mengakibatkan peningkatan kadar air pada substrat. Namun air yang dihasilkan tersebut lebih kecil

45

dibandingkan dengan air yang dibutuhkan untuk mendegradasi serat pada substrat, sehingga mengakibatkan kadar air menurun selama kultivasi.

2. Kadar Abu Kadar abu menunjukkan kandungan mineral pada suatu bahan. Nilai kadar abu suatu bahan menunjukkan besarnya jumlah mineral yang terkandung dalam bahan tersebut. Bahan-bahan yang menguap selama proses pembakaran berupa air dan bahan volatil lainnya akan mengalami oksidasi dengan menghasilkan CO2. Hasil analisis pada Tabel 12 dan sidik ragam kadar abu (Lampiran 4.B) menunjukan bahwa lama penyimpanan inokulum tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan kadar abu tongkol jagung setelah kultivasi. Dengan demikian, penurunan kuantitas spora kapang pada inokulum tidak mempengaruhi aktivitas kapang selama proses kultivasi jika dilihat dari parameter kadar abu. Hasil perhitungan secara teoritis menunjukkan kadar abu awal tongkol jagung dan inokulum A. niger (onggok+bungkil kacang tanah) adalah 1,97%,

sedangkan

tongkol

jagung

dan

inokulum

N.

sitophila

(onggok+bekatul) adalah 3,01%. Jika dibandingkan dengan kadar abu sebelum kultivasi, maka kadar abu setelah kultivasi dengan inokulum A.niger naik menjadi sekitar 2,3%, sedangkan dengan inokulum N. sitophila naik menjadi sekitar 3,5% dari kadar abu awal. Kenaikan kadar abu ini dikarenakan substrat tongkol jagung telah ditambahkan inokulum yang telah menggunakan campuran media lainnya. A. niger menggunakan campuran onggok dan bungkil kacang tanah sebagai substrat inokulum dan N.sitophila menggunakan substrat campuran onggok dan bekatul sebagai bahan dasar inokulum. Kadar abu yang meningkat disebabkan juga oleh perubahan komposisi substrat secara relatif. Peningkatan kadar abu pada kultivasi dengan menggunakan inokulum kapang berkaitan dengan terjadinya peningkatan susut bobot. Menurut Artika (2010), peningkatan susut bobot salah satunya disebabkan oleh adanya pemanfaatan komponen non-serat oleh kapang yang mengakibatkan perubahan komposisi substrat. Perubahan komposisi substrat

46

menyebabkan perbedaan dalam perhitungaan kadar abu, sehingga seolaholah pada substrat terjadi kenaikan kadar abu. Padahal, jumlah kadar abu relatif tetap. Peningkatan susut bobot yang terjadi pada masing-masing substrat mampu mengindikasikan bahwa pada kondisi selama proses terjadi pembentukan enzim ekstraseluler yang berlangsung dengan baik, sehingga mampu mendegradasi substrat dalam jumlah yang cukup banyak.

3. Kadar Protein Kadar protein sering digunakan sebagai indikator pertumbuhan biomassa kapang pada kultivasi. Kadar protein pada akhir kultivasi merupakan kombinasi dari protein yang terdapat pada substrat dan protein yang terkandung dalam biomassa kapang yang terbentuk. Griifin (1981) menyatakan bahwa pada umumnya fungi mengandung sebanyak 14–44% protein pada biomassa selnya, tergantung spesiesnya. Hasil analisis pada Tabel 12 dan sidik ragam kadar protein (pada Lampiran 4.C) menunjukan bahwa lama penyimpanan inokulum tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan kadar protein tongkol jagung setelah kultivasi. Dengan demikian, penurunan kuantitas spora kapang pada inokulum tidak mempengaruhi aktivitas kapang selama proses kultivasi jika dilihat dari parameter kadar protein. Hasil perhitungan secara teoritis menunjukkan bahwa kadar protein awal tongkol jagung dan inokulum A. niger sebelum kultivasi adalah 2,45%, sedangkan tongkol jagung dan inokulum N. sitophila adalah 2,12%. Kultivasi tongkol jagung dengan kedua jenis kapang menyebabkan terjadinya kenaikan protein kasar. Kadar protein setelah kultivasi dengan inokulum A. niger naik menjadi sekitar 2,50%, sedangkan dengan inokulum N. sitophila naik menjadi sekitar 5,50%. Menurut Stanton dan Walbridge (1969), kultivasi dapat dikatakan sebagai proses protein enrichment yang berarti proses pengayaan protein bahan dengan menggunakan mikroba tertentu. Proses ini identik dengan pembuatan Single Cell Protein atau Protein Sel Tunggal, hanya saja pada

47

proses protein enrichment tidak dilakukan pemisahan sel mikroba yang tumbuh dengan sisa substratnya. Peningkatan

kadar

protein

setelah

kultivasi

sejalan

dengan

bertambahnya miselium kapang, yakni semakin banyak miselium kapang yang terbentuk maka kadar protein semakin meningkat. Hal ini disebabkan adanya aktivitas proteolitik kapang yang menguraikan protein menjadi asam-asam

amino, sehingga nitrogen terlarutnya akan mengalami

peningkatan (Sumanti, 2005). Selain itu peningkatan kadar protein setelah kultivasi diduga disebabkan karena adanya peningkatan jumlah sel kapang (Mihiddin, 2000). Komposisi elemen kapang mengandung nitrogen sebesar 7-10% berat kering (Stanbury dan Whitaker, 1984). Selain itu penambahan inokulum yang mengandung campuran onggok dan bungkil kacang tanah untuk inokulum A. niger serta campuran onggok dan bekatul untuk inokulum N.sitophila, yang mengandung kandungan nitrogen juga diduga turut andil dalam peningkatan kadar protein. Kenaikan kadar protein setelah kultivasi pada kedua kapang masih rendah, karena menurut Prihatman (2000) kandungan protein yang bisa memenuhi kebutuhan ternak ruminansia lebih besar dari 8%. Rendahnya kadar protein yang dihasilkan pada penelitian ini disebabkan karena kadar protein yang terkandung pada bahan rendah. Selain itu juga tidak ada penambahan nitrogen anorganik pada substrat, sehingga satu-satunya sumber protein yang didapatkan oleh mikroba hanya berasal dari sumber protein organik yang terkandung di dalam substrat dan inokulum yang digunakan. Oleh karena itu, agar nilai kandungan protein meningkat, perlu adanya penambahan sumber nitrogen anorganik yang oleh mikroba akan diubah menjadi protein organik dan dapat menyebabkan peningkatan kadar protein pada tongkol jagung yang dikultivasi.

4. Kadar Lemak Hasil analisis pada Tabel 12 dan sidik ragam kadar lemak (pada Lampiran 4.D) menunjukan bahwa lama penyimpanan inokulum tidak

48

berpengaruh nyata terhadap perubahan kadar lemak tongkol jagung setelah kultivasi. Dengan demikian, penurunan kuantitas spora kapang pada inokulum tidak mempengaruhi aktivitas kapang selama proses kultivasi jika dilihat dari parameter kadar lemak. Hasil perhitungan secara teoritis menunjukkan bahwa kadar lemak awal tongkol jagung dan inokulum A. niger sebelum kultivasi adalah 3,63%, sedangkan tongkol jagung dan inokulum N. sitophila adalah 3,96%. Kadar lemak setelah kultivasi dengan inokulum A. niger turun menjadi sekitar 2,0%, sedangkan dengan inokulum N. sitophila turun menjadi sekitar 2,8%. Aktifitas lipolitik setiap kapang berbeda-beda. Semakin tinggi aktifitas lipolitik maka semakin banyak lemak yang diubah menjadi lemak yang diubah dari gliserol. Asam lemak ini sebagian digunakan oleh kapang untuk keperluan hidupnya (Shurtleff dan Ayogi, 1979). Pendapat ini juga didukung oleh Winarto (1980) bahwa untuk memenuhi kebutuhan hidupnya maka mikroba dengan bantuan enzim lipase akan menghidrolisis lemak menjadi senyawa sederhana berupa asam lemak, dan energi yang dihasilkan akan digunakan untuk hidup dan pertumbuhannya. Rusdi (1992) menambahkan bahwa perombakan lemak oleh kapang diperlukan untuk mendapatkan energi dan lemak yang telah berubah menjadi senyawa– senyawa sederhana digunakan oleh kapang untuk keperluan hidupnya. Hal ini yang menyebabkan kadar lemak setelah kultivasi mengalami penurunan. Pada dasarnya hasil kultivasi dengan menggunakan inokulum kapang N. sitophila juga mengalami penurunan yang cukup besar. Namun dalam pengujian kadar lemak dengan menggunakan pelarut heksan untuk mengekstraksi lemak, kandungan karotenoid ikut terlarut, sehingga menyebabkan seolah-olah kadar lemak hasil kultivasi menurun hanya sedikit. Inokulum N. sitophila yang berwarna oranye kemerahan merupakan kapang karotenogenik (penghasil  karoten) (Nuraini, 2005). Senyawa karoten adalah senyawa karotenoid yang berfungsi sebagai provitamin A, sebagai pemberi warna kuning pada kuning telur dan dapat menurunkan kolesterol (Kohlmeier dan Hastings, 1995).

49

5. Kadar Serat Hasil analisis sidik ragam kadar serat (Lampiran 4.E) menunjukkan bahwa lama penyimpanan inokulum berpengaruh nyata terhadap kadar serat tongkol jagung setelah kultivasi. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kadar serat berbeda nyata dengan lama penyimpanan (2, 4, 6, dan 8 minggu). Gambar 13 menunjukkan bahwa kadar serat semakin meningkat dengan bertambahnya lama penyimpanan inokulum. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama umur simpan inokulum kapang, kandungan serat yang didegradasi semakin berkurang, sehingga penurunan kandungan serat dari tongkol jagung semakin berkurang. Hal ini dikarenakan jumlah spora kapang yang berkurang karena mati. Jumlah spora yang berkurang mengakibatkan enzim selulase yang dihasilkan berkurang. Dengan demikian, penurunan kuantitas spora kapang pada inokulum mempengaruhi aktivitas kapang selama proses kultivasi jika dilihat dari parameter kadar serat.

(a) A. niger

(b) N. sitophila

Gambar 13. Pengaruh umur simpan inokulum terhadap kadar serat tongkol jagung setelah kultivasi kapang Hasil perhitungan secara teoritis menunjukkan bahwa kadar serat awal tongkol jagung dan inokulum A. niger sebelum kultivasi adalah 68,13%, sedangkan tongkol jagung dan inokulum N. sitophila adalah 69,05%. Kadar serat hasil kultivasi dengan inokulum A. niger turun menjadi sekitar 55%, sedangkan dengan inokulum N. sitophila turun menjadi sekitar 51%.

50

Hasil analisis menunjukkan bahwa tongkol jagung yang dikultivasi dengan inokulum A. niger dan inokulum N. sithopila mengalami penurunan. N. sithopila sebagai “soft rot fungi” dapat mendegradasi lignin dan bahan lignoselulosik, sedangkan menurut Mandels (1982) A.niger merupakan kapang penghasil enzim selulase yang banyak mengandung β-glukosidase tetapi kandungan ekso dan endoglukanase rendah. Oleh karena itu, kedua kapang tersebut dapat mendegradasi komponen selulosa pada tongkol jagung, karena menghasilkan enzim selulase. Penurunan kadar serat yang terjadi menandakan bahwa kemampuan kapang dalam menghasilkan selulase. Enzim ini yang mendegradasi komponen selulosa yang terdapat pada substrat tongkol jagung. Kapang memanfaatkan nutrien dalam bentuk yang sederhana terlebih dahulu dalam pertumbuhannya. Setelah nutrien dalam bentuk yang lebih sederhana tersebut habis, kapang mulai memecah serat dengan cara menghasilkan enzim ekstraseluler menjadi bentuk yang lebih sederhana, sehingga menyebabkan penurunan kadar serat substrat. Hasil penurunan kadar serat pada kultivasi tongkol jagung tidak terlalu

besar.

Hal

ini

dikarenakan

pertumbuhan

kapang

ikut

menyumbangkan serat kasar yang berasal dari miselia, sehingga semakin tinggi biomassa sel yang dihasilkan maka kandungan serat kasar pada substrat akan bertambah. Kapang merupakan organisme eukariotik yang tumbuh dengan perpanjangan hifa (Fardiaz, 1989). Kandungan serat kasar dipengaruhi oleh intensitas pertumbuhan miselia kapang, kemampuan kapang memecah serat kasar untuk memenuhi kebutuhan energi, dan kehilangan bahan kering selama fermentasi. Pertumbuhan miselia kapang dapat meningkatkan kandungan serat kasar karena terbentuknya dinding gel yang mengandung selulosa, disamping terjadinya kehilangan dari sejumlah padatan (Shurtleff dan Aoyagi, 1979). Dinding gel secara kimia terdiri dari bagian karbohidrat, seperti selulosa, hemiselulosa, pektin, dan bagian non karbohidrat (Winarno, 1980). Komponen tersebut terhitung sebagai serat kasar pada analisis proksimat. Hal ini yang mengakibatkan kandungan serat hasil kultivasi masih cukup tinggi.

51

6. Total Gula Pengukuran total gula dalam penelitian ini menggunakan metode Fenol H2SO4. Prinsip pengukuran total gula adalah semua gula sederhana, oligosakarida, polisakarida dan turunannya dapat bereaksi dengan phenol dalam asam sulfat pekat sehingga menghasilkan warna oranye kekuningan yang stabil. Hasil analisis pada Tabel 12 dan sidik ragam total gula (Lampiran 4.F) menunjukan bahwa lama penyimpanan inokulum tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan total gula tongkol jagung setelah kultivasi. Dengan demikian, penurunan kuantitas spora kapang pada inokulum tidak mempengaruhi aktivitas kapang selama proses kultivasi jika dilihat dari parameter total gula. Selama proses kultivasi terjadi penurunan total gula dari total gula tongkol jagung awal, yaitu sebesar 145 ppm. Kadar total gula setelah kultivasi dengan inokulum A. niger turun menjadi sekitar 39 ppm, sedangkan dengan inokulum N. sitophila turun menjadi sekitar 37 ppm. Penurunan total gula pada proses kultivasi disebabkan pemanfaatan gula pereduksi untuk pertumbuhan mikroba. Mikroba mengkonsumsi gula dari substrat untuk pertumbuhan dan aktivitas metaboliknya. Sampai pada tingkat tertentu, mikroba akan terus mengkonsumsi gula yang diperoleh dari hasil penguraian substrat. Hal ini yang menyebabkan akumulasi gula pada substrat menurun. Jika dibandingan nilai total gula kedua kapang kultivasi dengan menggunakan A. niger cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan N.sitophila. Hal ini disebabkan karena dalam pengukuran total gula semua gula sederhana, oligosakarida, polisakarida dan turunannya dapat bereaksi dengan fenol dalam asam sulfat pekat, sehingga hemiselulosa, selulosa dan turunannya ikut bereaksi dengan fenol, sehingga menghasilkan total gula yang lebih tinggi. Hal ini dapat dilihat dari kandungan serat A. niger yang lebih tinggi. A. niger merupakan kapang penghasil enzim selulosa yang banyak mengandung β-glukosidase tetapi kandungan ekso dan endoglukanase

52

rendah. Endoglukanase merupakan enzim yang menyerang bagian amorf serat kasar, sedangkan β-glukosidase adalah enzim yang mengubah selobiosa dan oligosakarida menjadi glukosa (Enari, 1983). Bagian amorf serat selulosa yang diserang oleh endoglukanase akan membuka jalan bagi selobiohidrolase, namun aktivitas endoglukanase ini akan terhambat apabila terjadi akumulasi selobiosa pada substrat (Hilakore, 2008). Oleh karena itu, diduga pada substrat dengan A. niger dari keseluruhan gula yang dihasilkan, sebagian besar gula yang dihasilkan adalah dalam bentuk selobiosa, dan oleh karena kandungan lignin masih tinggi, enzim yang telah dihasilkan sulit mengkonversi bentuk selobiosa menjadi glukosa dan gula yang lebih sederhana.

7. Gula Pereduksi Gula pereduksi merupakan golongan gula (karbohidrat) yang dapat mereduksi senyawa-senyawa penerima elektron, contohnya adalah glukosa dan fruktosa. Ujung dari suatu gula pereduksi adalah ujung yang mengandung gugus aldehida atau keton bebas. Semua monosakarida (glukosa, fruktosa, galaktosa) dan disakarida (laktosa,maltosa), kecuali sukrosa dan pati (polisakarida), termasuk sebagai gula pereduksi. Umumnya gula pereduksi yang dihasilkan berhubungan erat dengan aktifitas enzim, yaitu semakin tinggi aktifitas enzim maka semakin tinggi pula gula pereduksi yang dihasilkan. Semakin tinggi nilai absorbansi yang dihasilkan, semakin banyak pula gula pereduksi yang terkandung. Hasil analisis pada Tabel 12 dan sidik ragam gula pereduksi (pada Lampiran 4.G) menunjukan bahwa lama penyimpanan inokulum tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan gula pereduksi tongkol jagung setelah kultivasi. Dengan demikian, penurunan kuantitas spora kapang pada inokulum tidak mempengaruhi aktivitas kapang selama proses kultivasi jika dilihat dari parameter gula pereduksi. Selama proses kultivasi terjadi penurunan gula pereduksi dari gula pereduksi tongkol jagung awal, yaitu sebesar 70 ppm. Kadar gula pereduksi setelah kultivasi dengan inokulum A. niger turun menjadi sekitar 11 ppm,

53

sedangkan dengan inokulum N. sitophila turun menjadi sekitar 14 ppm. Glukosa maupun gula sederhana dimanfaatkan sebagai sumber karbon bagi kapang N. sitophila dan A. niger. Glukosa maupun gula–gula sederhana tersebut berasal dari hasil hidrolisis. Dari hasil analisis kadar gula pereduksi ini diketahui bahwa gula sederhana yang terdapat dalam media, baik yang merupakan produk enzim ekstraseluler, maupun yang sudah terdapat pada substrat sejak awal proses kultivasi dimanfaatkan oleh kapang sebagai sumber karbon. Gula merupakan nutrien yang memegang peranan penting dalam pertumbuhan organisme. Reaksi reduksi dan oksidasi gula memegang peranan penting di dalam biokimia. Oksidasi gula akan menyediakan energi bagi organisme dalam melaksanakan proses hidupnya. Energi tertinggi dihasilkan dari karbohidrat apabila gula teroksidasi sempurna menjadi CO2 dan air dalam proses aerobik. Derajat polimerisasi (DP) menyatakan jumlah unit monomer dalam suatu molekul. Hasil analisis pada Tabel 12 dan sidik ragam DP (pada Lampiran 4.H) menunjukan bahwa lama penyimpanan inokulum tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan DP tongkol jagung setelah kultivasi. Dengan demikian, penurunan kuantitas spora kapang pada inokulum tidak mempengaruhi aktivitas kapang selama proses kultivasi jika dilihat dari parameter DP. Selama proses kultivasi terjadi penurunan nilai DP, nilai DP produk karbohidrat tongkol jagung awal, yaitu sebesar 20,71. Nilai DP setelah kultivasi dengan inokulum A. niger turun menjadi sekitar 3,27, sedangkan dengan inokulum N. sitophila turun menjadi sekitar 2,65. Hasil kultivasi tongkol jagung menunjukkan penurunan DP produk karbohidrat tongkol jagung. Penurunan yang terjadi menghasilkan gula dalam bentuk oligosakarida. Oligosakarida yang terbentuk memperlihatkan terjadinya peningkatan nilai nutrisional tongkol jagung yang dikultivasi dengan menggunakan kedua jenis kapang sebagai bahan baku pakan ternak. Oligosakarida digunakan sebagai alternatif pengganti antibiotik dalam usaha

54

peningkatan produksi ternak karena berfungsi sebagai senyawa prebiotik (Van Der Kamp et al., 2004). Prebiotik

didefinisikan

sebagai

komponen

zat

makan

yang

menyebabkan kesehatan pada inangnya dengan cara secara selektif menstimulasi pertumbuhan atau aktivitas satu atau beberapa bakteri menguntungkan di dalam saluran cerna (Roberfoird, 1997). Prebiotik berbasis oligosakarida merupakan salah satu tipe serat pakan yang terfermentasi di dalam saluran pencernaan hewan. Serat pakan ini membantu pertumbuhan populasi bakteri yang mampu mengakomodasi kondisi saluran cerna yang sehat dan dapat berfungsi dengan baik (Fahey et al., 2004). Pada beberapa penelitian juga disebutkan bahwa prebiotik mampu meningkatkan kecernaan nutrien dan mineral, dan dalam jangka waktu panjang, mampu mempengaruhi morfologi saluran cerna.

7. Perubahan Struktur secara Mikroskopis Pada penelitian ini dilakukan pengamatan mikroskopis dengan menggunakan cahaya terpolarisasi perbesaran 200x. Pengamatan ini dilakukan untuk mengetahui perubahan struktur tongkol jagung sebelum dan sesudah kultivasi. Hasil analisis mikroskopis tongkol jagung yang dikultivasi dengan A.niger dapat dilihat pada Gambar 25.b dan tongkol jagung yang dikultivasi dengan N. sitophila dapat dilihat pada Gambar 25.c. Pada struktur tongkol jagung awal (Gambar 25.a) terlihat bahwa kristal selulosa masih berupa struktur yang kompleks. Pada akhir kultivasi terlihat perubahan struktur selulosa dari struktur yang kompleks menjadi struktur yang lebih longgar. Hal ini terjadi pada kedua kapang. A. niger merupakan kapang penghasil enzim selulose yang banyak mengandung β-glukosidase (Sternberg et al., 1979). Pada A. niger agak sulit mengamati struktur seratnya. Ini dikarenakan spora A. niger yang berwarna hitam menutupi serat tongkol jagung dan menempel pada serat tongkol jagung tersebut.

55

(a)

(b) A. niger

(c) N. sitophila

Gambar 25. Perubahan mikroskopis tongkol jagung sebelum (a) dan setelah kultivasi menggunakan inokulum (b dan c) Neurospora sitophila memiliki kemampuan aktivitas selulolitik dan hemiselulolitik yang tinggi pada proses fermentasi untuk menghasilkan gula-gula sederhana (Chandel et al., 2007). N. sithopila dapat mendegradasi lignin dan bahan lignoselulosik, seperti terlihat pada Gambar 25 yang membuktikan hilangnya komponen lignin yang menyisakan komponen serat yang homogen. Berkurangnya komponen lignin dapat meningkatkan daya cerna pada ternak. Serat kasar tersebut akan diubah menjadi komponen yang lebih sederhana yang selanjutnya akan digunakan sebagai sumber karbon untuk pertumbuhan kapang. Pengujian mikroskopis ini membuktikan bahwa terjadi perubahan struktur pada tongkol jagung yang telah dikultivasi. Hasil parameter kultivasi jagung menunjukkan bahwa inokulum kapang yang telah diproduksi masih layak digunakan untuk menghidrolisis tongkol jagung. Hal ini dilihat dari parameter kultivasi yang telah dibahas sebelumnya, yaitu kultivasi menyebabkan perbaikan nilai nutrisi pada tongkol jagung, meskipun peningkatan nutrisi yang terjadi pada produk akhir kultivasi masih sangat kecil. Pada akhir kultivasi dihasilkan pula

56

oligosakarida yang bermanfaat untuk sistem pencernaan ternak walaupun dalam jumlah yang relatif kecil. Oleh karena itu, diperlukan adanya penelitian

lanjutan

dengan

perlakuan-perlakuan

yang

mampu

mengakomodasi kondisi proses yang lebih baik pada kultivasi tongkol jagung, agar didapatkan peningkatan nilai nutrisi yang lebih besar. Penambahan zat-zat suplementasi diharapkan mampu merangsang mikroba untuk melakukan metabolisme dan sintesis yang lebih baik. Selain itu dapat pula dicobakan kultivasi dengan menggunakan kapang lain, atau bakteri atau jenis kultur campuran kapang dan bakteri untuk melihat perbandingan peningkatan kecernaan dan nilai nutrisi pada produk akhir kultivasi. Jika dibandingkan dengan penelitian Artika (2010) yang menggunakan kapang Trichoderma viride dan Rhizopus oryzae untuk hidrolisis tongkol jagung, penurunan kadar serat hasil kultivasi selama 9 hari, pada kultivasi dengan Aspergillus niger dan Neurospora sitophila hampir sama dengan hasil menggunakan kapang Rhizopus oryzae, yaitu sekitar 50%. Selulosa memiliki struktur molekul yang kuat dan bobot molekul yang tinggi. Hal ini menyebabkan selulosa memiliki kelarutan yang rendah sehingga sulit diserap oleh mikroba selulotik melalui dinding selnya. Mikroba selulotik baru dapat memanfaatkan selulosa sebagai sumber karbon apabila selulosa telah dihidrolisis menjadi senyawa yang lebih sederhana. Mikroba akan memproduksi selulase untuk mengkatalisis hidrolisis selulosa. Selulase terus diproduksi oleh mikroba selama kebutuhannya akan sumber karbon terpenuhi. Mekanisme pemecahan molekul selulosa dihambat oleh kristalisasi molekul selulosa serta kandungan lignin yang membungkus molekul selulosa. Hidrolisis selulosa sulit terjadi selama kristalinitas dan kandungan lignin belum dikurangi. Pada kondisi demikian produktivitas mikroba dalam menghasilkan selulase akan rendah (Irawadi, 1990). Berdasarkan hal tersebut, maka perlu juga dilakukan penelitian mengenai pengaruh proses delignifikasi sebelum kultivasi menggunakan mikroba lain atau asam, karena pada kultivasi tongkol jagung yang dilakukan pada penelitian ini kandungan lignin substrat yang tinggi menjadi

57

salah satu faktor pembatas peningkatan parameter hasil kultivasi. Selain itu, kontrol yang lebih baik terhadap kondisi proses juga diperlukan, sehingga diharapkan akan berpengaruh terhadap peningkatan parameter kultivasi.

58

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Perbedaan komposisi substrat yang digunakan untuk inokulum kapang menghasilkan viabilitas spora yang berbeda. Lama penyimpanan berpengaruh terhadap kinerja inokulum kapang. Semakin lama penyimpanan maka kadar air inokulum kapang mengalami peningkatan, sedangkan viabilitas spora mengalami penurunan yang berpengaruh pada kemampuan spora pada saat dikultivasikan dengan substrat tongkol jagung. Inokulum kapang mengalami kenaikan kadar air yang cukup besar hingga akhir penyimpanan (2 bulan), namun kadar air masih di bawah 12%, sehingga inokulum tersebut dapat dikatakan baik karena kapang masih dalam keadaan dorman. Viabilitas spora menurun selama penyimpanan inokulum, namun penurunan tersebut masih sangat rendah dan jumlah spora pada kedua inokulum kapang di berbagai komposisi substrat masih di atas 106koloni/g. Pada inokulum A. niger, viabilitas yang tertinggi berasal dari campuran onggok dan bungkil kacang tanah, sedangkan untuk N. sitophila berasal dari campuran onggok dan bekatul. Aplikasi inokulum kapang yang dikultivasi pada substrat tongkol jagung mengalami pertumbuhan, yang diperlihatkan oleh adanya perubahan komposisi substrat tongkol jagung sebelum dan setelah kultivasi. Hasil analisis menunjukkan bahwa lama penyimpanan inokulum tidak berpengaruh terhadap parameter kualitas tongkol jagung setelah kultivasi, kecuali pada kadar serat. Hasil analisis pada kadar serat menunjukkan bahwa lama penyimpanan inokulum berpengaruh terhadap kadar serat tongkol jagung setelah kultivasi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin lama umur simpan inokulum kapang (2, 4, 6, 8 minggu), kandungan serat yang didegradasi semakin berkurang, sehingga penurunan kandungan serat dari tongkol jagung semakin berkurang. Kadar serat tongkol jagung hasil kultivasi mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tongkol jagung sebelum kultivasi, yaitu dengan menggunakan inokulum A.niger menjadi sekitar 55% dan dengan inokulum N.sitophila menjadi sekitar 51%. 59

Hasil analisis parameter kultivasi menggunakan inokulum kapang selulolitik menunjukkan bahwa kapang mampu merombak komponen serat tongkol jagung. Pada akhir kultivasi dihasilkan oligosakarida yang berfungsi sebagai prebiotik yang bermanfaat untuk pencernaan ternak. Secara umum hasil penelitian menunjukkan bahwa inokulum kapang yang telah disimpan selama 2 bulan dengan penyimpanan pada suhu ruang (25–30°C) masih layak digunakan untuk menghidrolisis tongkol jagung walaupun mengalami kenaikan kadar air dan penurunan viabilitas spora selama penyimpanannya.

B. SARAN Hasil hidrolisis masih perlu ditingkatkan, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut dengan melakukan proses delignifikasi sebelum dikultivasi dengan inokulum kapang selulolitik agar hidrolisis serat tongkol jagung semakin mudah dan cepat. Selain itu, perlu dilakukan penelitian terhadap bahan lignoselulotik yang lain untuk mengetahui kemampuan inokulum kapang selulolitik dalam menghidrolisis bahan tersebut.

60

DAFTAR PUSTAKA Anonima. 2010. Terminologi Bahan Pakan dari Hasil Ikutan Industri Pangan. http:// manglayang.blogsome.com/2006/04/21/terminologi-bahan-pakan -dari-hasil-ikutan-industri-pangan/ [23 Juli 2010]. Anonimb, 2009. Ilmu Pengetahuan, Teknologi, Penelitian dan Statistik. http:// h0404055.wordpress.com/2010/04/02/ilmu-pengetahuan-teknologipenelitian-dan-statistik/ [23 Juli 2010]. Alberghina dan Sturan. 1981. Protein Engineering in Industrial Biotechnology. Delhi : Vikas Publishing House Pvt. Ltd. Aguirar, C.L. 2001. Biodegradation of Cellulose from Sugar Cane Bagasse by Fungal Cellulose. Science Technology Alignment, 3(2), 117-121. Alexopoulos, C. J. dan C. W. Mims. 1996. Introductory Mycology. New York : John Wiley & Sons. Amer, G. I. Dan Stephen W.D. 1982. Microbiology of Lignin Degradation. In : D.Perlman (ed.). Annual Report on Fermentation Processes. New York : Vol 4. Academic Press. AOAC, 1995. Official Methods Analysis The Association of Official Analytical Chemist 14thed. Virginia : AOAC, Inc. Arlinton. Apriyantono, A., D. Fardiaz, N. L. Puspitasari, Sedarnawati, dan S. Budiyanto. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor : Penerbit Institut Pertanian Bogor. Artika, A.Y.R. 2010. Kajian Hidrolisis Tongkol Jagung oleh Kapang Selulolitik menggunakan Kultivasi Media Padat untuk Produksi Pakan [skripsi]. Bogor : Departemen teknologi Industri Pertanian, IPB. Bappenas. 2001. Pakan Ternak. http://www.iptek.net.id/ind/warintek/mnu= 6&ttg=4&doc=4b4. [17 Agustus 2010]. Bilgrami, K.S. dan Verma, R.N. 1978. Physiology of Fungi. Delhi : Vikas Publishing House Pvt. Ltd. Blod, H.C., C.J. Alexopoulus dan T. Delevoryas. 1980. Morphology of Plant and Fungi. New York : Harper and Row Publishers. Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet dan M. Wootton. 1985. Ilmu Pangan. Penerjemah Hari Purnomo. Jakarta : UI Press. Campbell, M.K. dan Farrell, S.O. 2006. Biochemistry. Belmont : Thomson Learning Inc. Campbell, Reece, Mitchell. 2006. Biologi Edisi Kelima Jilid 1. Jakarta : Erlangga.

61

Champagne, E.T. 1994. Rice Chemistry and Technology. American Association of Cereal Chemists. Inc, St. Paul. Chandel, A. K., E.S. Chan., R. Rudravaram, M. L. Narasu, L. V. Rao, and P. Ravindra. 2007. Economics and Environmental Impact of Bioethanol Production Technologies : An Appraisal. Biotechnology and Molecular Biology Review Vol. 2 (1), 14-32. Clemants, L. D. Dan Beek, S. R. 1985. Best Available Technology Plant for Conversion of Cotton Gin Residues (Celulose Waste) to Etanol. Biotechnol. Bioeng. Symp. 15 : 579–598. Chalal, D.S. 1985. Solid State Fermentation with Trichoderma reseei. Appl. Environt. Microbiol. 49(1):205-210. Damardjati, D.S. 1983. Physical and Chemical Properties and Protein Characteristic of Some Indonesia Rice Varieties. Bogor : Bogor Agricultural University. Doelle, H.W. Mittchell, D.A. dan Rolz, C.E. 1991. Solid Substrate Cultivation. London : Elsevier Applied Science. Dubois, M., K.A. Gills, J.K. Hamilton, P.A. Robers and E.Smith. 1956. Methods in Microbiology (eds). J.K. Norris and D.W. Ribbons. Acad. Press London, N.Y. pp. 272. Dwidjoseputro, D. 1961. Dasar-dasar Mikrobiologi, Edisi IV, Djambatan Malang, 86-107. Effendi, S. dan Sulistiati. 1991. Bercocok Tanam Jagung. Jakarta : C.V. Yasaguna. Enari, T. M. 1983. Microbial Cellulase. In : W. M. Fogarty. 1985. Microbial Enzymes and Biotechnology. New York : Appl. Sci. Publ. Fadli, 2009. Aspergillus niger. http://linkfadliblog.blogspot.com. [25 Desember 2009]. Fahey, G.C. Jr, E.A. Flickinger, A.M. Grieshop, K.W. Swanson. 2004. The Role of Dietary Fibre in Companion Animal Nutrition. In : Van der Kamp, J.W., Jones, J.M., dan G. Schaafsma. 2004. Dietary Fibre: Bioactive Carbohydrates for Food and Feed. Wageningen : Wageningen Academic Publishers. Fakhruddin, S. 1995. Produksi Spora dari Neurospora sitophila untuk Produksi Selulase menggunakan Substrat Padat Campuran Tandan dan Sabut Kelapa Sawit [skripsi]. Bogor : FATETA, IPB. Fardiaz, S. 1989. Penuntun Praktek Mikrobiologi Pangan. Bogor : Lembaga Sumberdaya Informasi-IPB. ________._____. Fisiologi Fermentasi. Bogor : PAU IPB.

62

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. Jakarta : PAU Pangan dan Gizi IPB. Bogor bekerja sama dengan P.T. Gramedia Pustaka Utama. Fengel, D& G. Wegener. 1995. Kimia Kayu, Reaksi Ultrastruktur: Terjemahan Sastrohamidjojo, H. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Frazier, W.C. 1992. Food Microbiology. New York : McGraw-Hill Book Company, Inc. Gong, C. S., Li, F. C., Michael, C. F., dan George, T. S. 1981. Conversion of Hemicellulose Carbohydrates. In : A. Fiechter (ed.). Advances in Biochemical Engineering Vol. 20. Berlin : Springer-Verlag, Berlin Heidelberg. Ghose, T. K. and J.A. Kostick. 1970. A Mode for Continuous Enzymatic Saccharification of Cellulose with Simultaneous Removal of Glucose Syrup. Biotechnol. Bioeng. 12:1. Griffin, D.H. 1981. Fungal Physiology. New York : John Willey and Sons Publication. Hardjo, S., N.S. Indrasi, dan T. Bantacut, 1989, Biokonversi : Pemanfaatan Limbah Industri Pertanian. Bogor : PAU Pangan dan Gizi IPB. Heseltine, C. W. 1982. Investigation of Tempeh, an Indonesian Food Develop. Indus. Microbial. 4. Hilakore, M.A. 2008. Peningkatan Kualitas Nutritif Putak melalui Fermentasi Campuran Thricoderma reesei dan Aspergillus niger sebagai Pakan Ruminansia [tesis]. Bogor : Sekolah Pasca Sarjana, IPB. Holzapple M.T. 1993. Cellulose. In: Encyclopedia of Food Science., Food Technology and Nutrition, 2: 2731-2738. London : Academic Press. Ilyas, Muhammad. 2007. Uji Viabilitas Koleksi Kapang LIPI-MC dalam Ampul Penyimpanan Kering-beku L-drying setelah Satu Tahun Penyimpanan pada Suhu 5º C. Jurnal Biodiversitas Vol.8 No.1. Hal: 20-22. LIPI, Cibinong, Bogor. Irawadi, T. T. 1990. Selulase. Bogor : PAU-Biotek, Institut Pertanian Bogor. Johnson, L.A. 1991. Corn : Production, Processing, and Utilization. In : K.J. Lorentz and K. Pulp (ed). Handbook of Cereal Science and Tecnology. New York : Marcell Dekker, Inc. Josson L.M, Coronel LM, Mercado BB, De Leon ED, Mesina OG,Lozano AM,dan Bigol MB, 1992. Strain Improvement of Aspergillus oryzae for Glucoamylase Production. Asean Journal on Science and Technology for Development. 9(1): 101–116

63

Judoamidjojo, M., E. Gumbira Sa’id, dan L. Hartoto. 1989. Biokonversi. Bogor : Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi. Pusat Antar Universitas Bioteknologi Institut Pertanian Bogor. Karmana, Oman. 2006. Biologi 1A. Bandung : PT. Garfindo Media Pratama. Kohlmeier,L. and S.B. Hastings. 1995. Epidemiologic Evidence of A Role Carotenoids in Cardiovascular Disease Prevention. The American Jurnal of Clinical Nutrition 62 (6): 120 -125. Koswara, J. 1991. Budidaya Jagung. Jurusan Budidaya Pertanian. Bogor : Fakultas Pertanian, IPB. Kusnandar, Feri. 2010. Mengenal Serat Pangan. http://itp.fateta.ipb.ac.id/id/ index.php.option=com_content&task=view&id=110&Itemid=94 [17 Agustus 2010] Lahoni, E. 2003. Pengetahuan Bahan Makanan Ternak. Bogor : Fakultas Peternakan, IPB. Lidiasari, E. 2006. Produksi Tepung Ubi Kayu Berprotein: Suatu Kajian Awal Karakteristik Berdasarkan Lama Fermentasi dan Jumlah Inokulum dengan Menggunakan Ragi Tempe. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia. Vol.8, No.2, Hal. 141-146. Palembang: Fakultas Pertanian, Universitas Sriwijaya. Luh, B.S. 1991. Rice: Production and Utilization. AVI Publishing Company, Inc. Westport. Connecticut. Malloch, D.1999. Moulds, Isolation, Cultivation and Identivication Methods. Departement of Biology University of Toronto. www.botany.utoronto.ca. [23 juli 2010]. Mandels, M., R. 1982. Cellulase. In : D. Pearlman (ed.). Annual Reports on Fermentation Process. 5, 39–44. Marniza dan Samsul R. 2004. Teknologi Fermentasi. Bandar Lampung: Universitas Lampung. Mattjik A. A, Sumertajaya IM. 2000. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Bogor : IPB. Maynard, L. A. dan J. K. Loosli. 1993. Animal Nutrition. Seventh Edition. New Delhi : Hill Publishing Company Limited. Meyrath, J dan Volavsek, U. 1975. Production of Microbial Enzyme. In : Food Processing edited by Reed G. New York : Academic Press. Metzenberg, R.L. 1979. Implication of Some Genetik Control Mechanisms in Neurospora. Microbial Review 43:361-367.

64

Muhiddin, Nurhayati H; Nuryati Juli, dan I Nyoman P. Aryantha. 2000. Peningkatan Kandungan Protein Kulit Umbi Ubi Kayu Melalui Proses Fermentasi. JMS Vol.6 No. 1 Hal 1-12 April 2001. Miller, S.R. 1959. Germination Variation and Tolerances. Proceedings of the Association of Official Seed Analysis, 51: 86-91. Moat, A.G. 1979. Microbial Physiology. A Wiley-Interscience Publication John Wiley & Sons New York. Moertinah, S.1984. Limbah Tapioka di Indonesia dan Kemungkinankemungkinan Penanganannya. Makalah pada Lokakarya Pemanfaatan Limbah Padat Industri Tapioka. Bogor, 4-5 September 1984. Pusat Studi Pengolahan Sumberdaya dan Lingkungan IPB, Bogor. Moo-Young, M., Moereira, A.R., dan Tengerdy, R.P. 1983. Principle of Solid Substrate Fermentation. In The Filamentous Fungi, vol. 4, ed. J.E. Smith, D.R. Berry and B.Kristiansen. Edward Arnold, London, pp. 117-144. Muchtadi D, Palupi N. S., Astawan M. 1992. Enzim dalam Industri Pangan. Bogor : PAU, IPB. Ningsih, N. A. Siklus Krebs dan Transpor Elektron. http://nurnaauraningsih. blogspot.com/2009/12/siklus-krebs-dan-transpor-lektron.html [17 Agustus 2010]. Nuraini, S. 2005. Isolasi kapang karotenogenik untuk memproduksi pakan kaya  karoten dan aplikasinya terhadap ayam ras pedaging dan petelur. [disertasi]. Padang : Program Pascasarjana Universitas Andalas Padang. Orthoefer, F.T. 2001. Rice bran oil. In : Champagne, E. T. (Ed). Rice Chemistry and Technology 3th edition. American Association of Cereal Chemists. Inc, St. Paul. Parajo, J. G., Garotte, J. M. Cruz dan H. Dominguez. 2003. Production of Xyloligosaccharides by Autohdrolysis of Lignocellulosic Materials. Trends in Food Science and Technology Vol. 15 : 115–120. Pelczar M. J, Chan E. C. S. 1986. Dasar-dasar Mikrobiologi. Ratna Siri Hadioetomo, editor. Terjemahan dari: Element of Microbiology. Bogor : Bagian Mikrobiologi, Fakultas Pertanian IPB. Perlman, D. 1968. Annual reports on Fermentation Process vol. II. London : Academic Press. Prihatman, Kemal. 2000. Pakan Ternak. Jakarta : Proyek Pengembangan Ekonomi Masyarakat Pedesaan, Bappenas. Prior, B.A., Du Preez, J.C dan P.W. Rein. 1992. Enviromental Parameters. In : H.W. Doelle, D.A. Mittchell, dan C.E. Rolz, editor. Solid Substrate Cultivation. London: Elsevier Applied Science. Hal : 65-68.

65

Rahman, Ansori. 1992. Pengantar Teknologi Fermentasi. Bogor : PAU IPB. Reddish, G.F. 1957. Antiseptics, Disinfectants, Fungicides, and Chemical and Physical Sterilization; 2nd edition. Philadelphia : Lea and Febiger. Riwantoro. 2005. Konservasi Plasma Nutfah Domba Garut dan Strategi Pengembangannya Secara Berkelanjutan [disertasi]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Roberfoird, M. 1997. Health Benefits of Non-Digestible Oligosaccharides, Dietary Fibre in Health and Desease edited by Kritchevsky dan Bonfield. New York : Plenum Press. Roussos J.B, Connor J.D.O, Fox D.G. Van Soest P.J, Sniffen C.J. 1992. A Net Carbohydrate and Protein System for Evaluating Cattle Diets: I. Ruminal Fermentation. J Anim Sci 70:3351-3561. Sacharow. S. and R.C. Griffin. 1980. Principles of Food Packaging. The AVI Publishing. Co. Inc. Westport. Connecticut. Sasaki, T. 1982. Enzymatic Saccharification of Rice Hull Cellulose. Trop. J. Agric. Res. Japan 16 (2) : 144–150. Saono, S. dan W. Budiman. 1981. Penggunaan Beberapa Jenis Kacang untuk Pembuatan Oncom. Bogor. Shurtleff, W dan Aoyagi. 1979. The Book of Tempeh. New York : Haper and Row Publ. Soeprijanto, Tianika Ratnaningsih, dan Ira Prasetyaningrum. 2009. Biokonversi Selulose dari Limbah Tongkol Jagung menjadi Glukosa menggunakan Jamur Aspergilus Niger. Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya. Sofyan, H.M.I. 2003. Pengaruh Suhu Inkubasi dan Konsentrasi Inokulum Rhizopus oligosporus terhadap Mutu Oncom Bungkil Kacang Tanah. Infomatek 5 (2). http://www.unpas.ac.id/pmb/home/images/ articles/ infomatek/Jurnal_V_2-2.pdf. [23 Juli 2010]. Stanburry, P.F dan Whittaker, A. 1984. Principles of Fermentation Technology. Pergamon Press. Oxford. 255 p. Stentiford, E.I dan C.M. Doods. 1992. In : Doelle et al. (ed). Solid Substrate Cultivation. London : Elsevier Sci. Publ. Sternberg, D. 1975. β-Glucosidase of Trichoderma: Its biosynthesis and role in saccharification of cellulose. J. Am. O. Microbiology. Soc. 31: 648-654. Suarni dan Widowati S. 2005. Struktur, Komposisi, dan Nutrisi Jagung. In : Jagung Teknik Produksi dan Pengembangan. Bogor : Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian.

66

Suhandono, Septian. 2010. Produksi Bioetanol Satu Tahap Menggunakan Bakteri Clostridium thermocellum dari Limbah Produksi Agar-agar Gracillaria sp. http://septiansuhandono.blogspot.com/2010/05/produksi-bioetanolsatu-tahap.html. [17 Agustus 2010]. Suprapto, H.S. dan Rasyid, M.S. (2002). Bertanam Jagung. Jakarta : Penebar Swadaya. Supriyati, Pasaribu T, Hamid H, Sinurat A. 1999. Fermentasi Bungkil Inti Sawit secara Substrat Padat menggunakan Aspergillus niger. JTIV 3:165-170. Sutardi, T. 1980. Ketahanan Protein Bahan Makanan terhadap Degradasi oleh Mikroba Rumen dan Manfaatnya bagi Peningkatan Produktivitas Ternak. Pros. Seminar Penelitian dan Penunjang Peternakan. Bogor : LPP IPB. Sutirtoadi, Anang. 2009. Evaluasi Pakan Bagi Ternak Monogastrik. http://www.scribd.com/doc/18674730/EVPAKAN. [25 Desember 2009]. Swanson, C.P. dan W.D. McElroy. 1975. Modern Cell Biology 2th. Ed. New Jersey : Prentice Hall. Inc. Taherzadeh, M.J. and Karimi, K. 2007. Acid-Based Hydrolysis Processes for Ethanol from Lignocellulosic Materials: A Review. Bioresources 2(3), pp. 472-499. Van der Kamp, J.W., Jones, J.M., dan G. Schaafsma. 2004. Dietary Fibre: Bioactive Carbohydrates for Food and Feed. Wageningen : Wageningen Academic Publishers. Walker, G. M. 1999. Media for Industrial Fermentations. In : Robinson. K dan Carl A. Batt (ed) Encyclopedia of Food Microbiology. New York : Academic Press. Wang, H.L., E.W. Swain dan C.W. Hesseltine. 1975. Mass Production of Rhizopus oligosporus Spores and Their Application in Tempeh Fermentation. J. Food Sci. Wasserman, R. A. 1984. Thermostable Enzyme Production. Food Technol 2 : 78– 89. White, P. J. dan L. A. Johnson. 2003. Corn : Chemistry and Technology. 2th edition. New York : American Association of Cereal Chemistry. Winarto, F.G., S. Fardiaz dan D. Fardiaz. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Jakarta : PT. Gramedia. Winarno, F.G. 1992. Kimia Pangan. Bogor : PAU, IPB. Wolf, I. F. Dan A. F. Wolf. 1949. The Fungi. Vol 2. New York : John Willey and Son Inc.

67

68

Lampiran 1. Prosedur pengujian 1. Kadar Air (Apriyantono et al., 1989) Cawan kosong di oven selama 15 menit kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang sebanyak 5 g sampel ditimbang kemudian dimasukkan dalam cawan. Sampel dalam cawan dioven selama 2 jam pada suhu 105oC. Setelah itu cawan dimasukkan ke desikator dan ditimbang. Pengovenan dilakukan berulang–ulang untuk mendapatkan berat konstan. Ka = W1 – W2 x 100% W1 Ket : Ka = Kadar Air (bobot basah) W1 = bobot sampel sebelum dikeringkan (g) W2 = bobot sampel setelah dikeringkan (g)

2. Kadar Abu (AOAC, 1995) Sebanyak 2 g contoh ditimbang dalam cawan porselin yang telah diketahui bobotnya (A), kemudian diarangkan dengan menggunakan pemanas bunsen hingga tidak mengeluarkan asap lagi. Cawan porselin berisi contoh (B) yang sudah diarangkan kemudian dimasukkan ke dalam tanur bersuhu 600oC selama 2 jam untuk mengubah arang menjadi abu (C). Cawan porselin berisi abu didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga mencapai bobot tetap. Kadar Abu (%) = C – A x 100% B 3. Kadar Protein (AOAC, 1995) Contoh seberat 0,1-1 g didekstruksi dengan 2,5 ml H2SO4 pekat dengan katalisator CuSO4 dan Na2SO4 sampai berwarna hijau jernih. Destilasi dilakuakn setelah menambahkan 5 ml air suling dan 10-15 ml NaOH 50% sebagai penampung digunakan 25 ml H2SO4 0,02N dan 2-3 tetes indikator mengsel hingga cairan dalam penampungan kurang lebih 50 ml. Hasil destilasi dititrasi dengan larutan NaOH 0,02N. Prosedur analisis blanko ditentukan 69

seperti diatas tanpa menggunakan bahan yang dianalisa. Kadar protein dihitung dengan rumus sebagai berikut.

Kadar Protein = a x N x 0,014 x 6,25 x 100% Bobot Contoh (g) Keterangan : a = selisih ml NaOH yang digunakan untuk mentitrasi blanko dan contoh (blanko–sampel) N = normalitas larutan NaOH

4. Kadar Lemak (AOAC, 1995) Sebanyak 2 g contoh bebas air diekstraksi dengan pelarut organik heksan dalam alat soxlet selama 6 jam. Contoh hasil ekstraksi diuapkan dengan cara diangin-anginkan dan dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC. Contoh didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga diperoleh bobot tetap. Kadar Lemak = Bobot Lemak x 100% Bobot Contoh 5. Kadar Serat Kasar (AOAC, 1995) Contoh sebanyak 5 g dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 500 ml kemudian ditambahkan 100 ml H2SO4 0,325 N dan dididihkan selama kurang lebih 30 menit. Ditambahkan lagi 50 ml NaOH 1,25 N dan dididihkan selama 30 menit. Dalam keadaan panas disaring dengan kertas Whatman No. 40 setelah diketahui bobot kringnya. Kertas saring yang digunakan dicuci berturut–turut dengan air panas, 25 ml H2SO4 dan etanol 95%. Kemudian dikeringkan di dalam oven bersuhu 100–110oC sampai bobotnya konstan. Kertas saring didinginkan dalam desikator dan ditimbang.

Kadar Serat Kasar (%) = Bobot endapan kering x 100% Bobot contoh

70

6. Kadar Lignin (AOAC, 1995) Sampel sebanyak 1 g ditimbang dalam labu erlenmeyer 250 ml kemudian ditambahkan H2SO4 20 ml. Selanjutnya didiamkan selama 2 jam dan dikocok perlahan–lahan. Sampel kemudian ditambahkan aquades sebanyak 250 ml, dipanaskan dalam waterbath pada suhu 100oC selama 3 jam. Selanjutnya dilakukan penyaringan dengan menggunakan kertas saring yang telah diketahui bobotnya (A). Erlenmeyer dan corong dibilas dengan aquades sebanyak 3 kali. Kertas saring beserta residu dioven pada suhu 105oC selama 1–2 jam atau pada suhu 50oC selama 24 jam. Kertas saring didinginkan dan ditimbang bobotnya (B). Kertas saring dengan residu diabukan dengan muffle furnace pada suhu 600oC selama 3–4 jam. Kemudian didinginkan dan ditimbang (C). Kadar Lignin (%) =

B – A – C x 100% Bobot contoh

Ket : B = bobot kertas saring dan residu setelah di oven (g) A = bobot kertas saring (g) C = bobot abu (g) 7. Kadar Hemiselulosa Metode Van Soest (Apriyantono et al., 1989) Sampel sebanyak a g dan b g masing-masing dimasukkan ke dalam gelas piala berukuran 500 ml. Sampel a g ditambahkan dengan larutan NDS dan sampel b g ditambahkan dengan larutan ADS lalu dipanaskan selama 1 jam di atas penangas listrik. Selanjutnya masing-masing sampel tersebut dicuci menggunakan aseton dan air panas serta disaring menggunakan pompa vakum dan gelas G-3 (c g dan d g). Sampel dalam gelas G-3 dikeringkan dengan menggunakan oven, didinginkan dalam desikator dan ditimbang sebagai e g dan f g. Kadar NDF = e – c x 100% a Kadar ADF = f – d x 100% b Kadar Hemiselulosa = kadar NDF – kadar ADF

71

8. Kadar Selulosa Metode Van Soest (Apriyantono et al., 1989) Residu ADF (f g) yang berada pada gelas piala G-3 diletakkan di atas nampan yang berisi air setinggi 1 cm kemudian ditambahkan H2SO4 72% setinggi ¾ bagian gelas G-3 dan dibiarkan selama 3 jam sambil diaduk-aduk. Selanjutnya sampel tersebut dicuci mengggunakan aseton dan air panas serta disaring menggunakan pompa vakum dan gelas G-3. Sampel dalam gelas G-3 dikeringkan dengan menggunakan oven, didinginkan dalam desikator dan ditimbang sebagai h g. Kadar Selulosa = h – f x 100% b 9. Penentuan Total Gula, Metode Phenol H2SO4 (Dubois et al., 1956). Sebelum melakukan pengujian sampel maka perlu diketahui kurva standar fenol yang digunakan. Pembuatan kurva standar fenol adalah sebagai berikut : 2 ml larutan glukosa standar yang mengandung 0, 10, 20, 30, 40, dan 60 µg masing–masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi, ditambahkan 1 ml larutan fenol 5% dan dikocok. Kemudian 5 ml asam sulfat pekat ditambahkan dengan cepat. biarkan selama 10 menit, kocok lalu tempatkan pada penangas air selama 15 menit. Absorbansinya diukur pada 490 nm. Pengujian sampel sama dengan pembuatan kurva standar fenol hanya 2 ml larutan glukosa diganti dengan 2 ml sampel.

10. Penentuan Gula Pereduksi Metode DNS (Miller, 1959) Perekasi DNS disiapkan, yaitu dengan mencampurkan larutan NaOH 1% dengan DNS 1%, fenol 0,2% dan natrium sulfit 0,05%. Contoh yang mengandung gula pereduksi ditambahkan dengan pereaksi tersebut, dipanaskan dengan penangas air selama 15 menit, kemudian ditambahkan larutan garam Rochelle 40% dan didinginkan pada suhu kamar. Setelah dingin dibaca OD nya dengan menggunakan spektrofotometer pada panajang gelombang 550 nm. Hasilnya dibandingkan dengan kurva baku.

72

11. Total Viabilitas Spora (Modifikasi Wang et al., 1975) Satu gram inokulum ditimbang dan dipindahkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 9 ml air suling steril. Setelah diaduk selama dua menit, dilakukan pengenceran 1:10 hingga 7 kali pengenceran. Satu milimeter suspensi hasil pengenceran dituangkan ke dalam cawan petri, kemudian 10 ml PDA suhu 30oC dituangkan juga (metode tuang). Inkubasi dilakukan pada suhu 32oC selama 20–24 jam. Dihitung jumlah koloni yang tumbuh dengan menggunakan alat penghitung Quebec.

73

Lampiran 2. Perhitungan perbandingan komposisi substrat inokulum

Komponen Protein Karbohidrat by difference C/N

Onggok (%bk) 1,94

Ampas Tahu (%bk) 19,77

Bekatul (%bk) 12,97

Bungkil Kacang Tanah (%bk) 26,36

85,39

40,81

45,90

44,83

44,04

2,06

3,54

1,70

Selanjutnya dilakukan perhitungan perbandingan : Diketahui : G = Onggok A = Ampas Tahu B = Bekatul K = Bungkil Kacang Tanah

1. Perbandingan Onggok dan Ampas Tahu (C/N = 5/1) C = 85,39 G + 40,81 A = 500 dikali 1,00 N = 1,94 G + 19,77 A = 100 dikali 2,06 Dengan metode subtitusi, didapat : 85,39 G + 40,81 A 4,00 G + 40,81 A 81,39 G + 0 A

= 500,00 = 206,46 = 293,54 G = 3,61 A = 4,71

Jadi, perbandingan onggok dan ampas tahu sebagai berikut : Komponen Abu Protein Lemak Serat Kasar Karbohidrat by difference

Onggok (%b.k)

Ampas Tahu (%b.k)

2,17 1,94 0,33 10,18 85,39

3,30 19,77 6,10 30,02 40,81

74

Sehingga pada perbandingan onggok : ampas tahu (3,61 : 4,71) diperoleh komposisi sebagai berikut : Komponen

Onggok (%b.k) Ampas Tahu (%b.k) Onggok+Ampas Tahu (%b.k)

Abu Protein Lemak Serat Kasar Karbohidrat by difference

0,94 0,84 0,14 4,42 37,07

1,87 11,18 3,45 16,99 23,09

2,81 12,03 3,60 21,41 60,16

2. Perbandingan Onggok dan Bekatul (C/N = 5) C = 85,39 G N = 1,94 G

+ 45,90 B + 12,97 B

= 500 dikali 1,00 = 100 dikali 3,54

Dengan metode subtitusi, didapat : 85,39 G 6,86 G 78,53 G

+ 45,90 B = 500,00 + 45,90 B = 353,88 + 0 B = 146,12 G = 1,86 B = 7,43

Jadi, perbandingan onggok dan bekatul sebagai berikut : Komponen

Onggok (%b.k)

Bekatul (%b.k)

2,17 1,94 0,33 10,18 85,39

12,59 12,97 16,35 12,19 45,90

Abu Protein Lemak Serat Kasar Karbohidrat by difference

Sehingga pada perbandingan onggok : bekatul (1,86 : 7,43) diperoleh komposisi sebagai berikut : Komponen Abu Protein Lemak Serat Kasar Karbohidrat by difference

Onggok (%b.k) Bekatul (%b.k) Onggok+Bekatul (%b.k) 0,43 0,39 0,07 2,04 17,10

10,07 10,37 13,08 9,75 36,71

10,50 10,76 13,14 11,78 53,81

75

3. Perbandingan Onggok dan Bungkil Kacang Tanah (C/N = 5) C = 85,39 G N = 1,94 G

+ 44,83 K + 26,36 K

= 500 dikali 1,00 = 100 dikali 1,70

Dengan metode subtitusi, didapat : 85,39 G + 44,83 K = 500,00 3,30 G + 44,83 K = 170,07 82,0924 G + 0 K = 329,93 G = 4,02 K = 3,50 Jadi, perbandingan onggok dan bungkil kacang tanah sebagai berikut : Bungkil Kacang Komponen Onggok (%b.k) Tanah (%b.k) Abu 2,17 5,17 Protein 1,94 26,36 Lemak 0,33 23,06 Serat Kasar 10,18 0,58 Karbohidrat by difference 85,39 44,83

Sehingga pada perbandingan onggok : bungkil kacang tanah (4,02 : 3,50) diperoleh komposisi sebagai berikut : Komponen Abu Protein Lemak Serat Kasar Karbohidrat by difference

Onggok (%b.k) 1,16 1,04 0,18 5,44 45,65

Bungkil Kacang Tanah (%b.k) 2,41 12,27 10,73 0,27 20,87

Onggok+Bungkil Kacang Tanah (%b.k) 3,56 13,31 10,91 5,71 66,51

76

Lampiran 3. Data Perubahan Parameter Penyimpanan Inokulum A. Perubahan Kadar Air selama Penyimpanan 1. Inokulum Aspergillus niger Perlakuan

Pengamatan (Minggu) Ulangan 1 (%) Ulangan 2 (%) Rata-Rata (%) 0 6,88 6,76 6,82 1 8,05 7,81 7,93 2 8,18 8,17 8,17 3 8,31 8,22 8,27 Onggok + Ampas Tahu 4 9,67 9,61 9,64 5 9,71 9,71 9,71 6 9,81 9,82 9,82 7 9,91 9,82 9,87 8 10,11 9,97 10,04 0 7,19 7,06 7,13 1 7,48 7,45 7,46 2 7,82 7,74 7,78 3 8,10 8,01 8,06 Onggok + Bekatul 4 9,34 9,28 9,31 5 9,35 9,48 9,42 6 9,46 9,49 9,47 7 9,56 9,49 9,52 8 9,83 9,78 9,80 0 6,88 6,80 6,84 1 7,51 7,49 7,50 2 8,04 8,01 8,02 3 8,55 8,52 8,54 Onggok + Bungkil Kacang Tanah 4 8,68 8,66 8,67 5 8,78 8,87 8,83 6 8,89 8,90 8,89 7 8,99 8,90 8,94 8 9,24 9,44 9,34

Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Ulangan 1 Bahan 2 Minggu 8 Bahan*Minggu 16

Jumlah Keragaman (JK) 0,02199 2,44684 46,06428 2,36729

Std 0,09 0,17 0,01 0,06 0,05 0,00 0,00 0,07 0,09 0,09 0,02 0,06 0,06 0,04 0,09 0,02 0,05 0,03 0,06 0,02 0,02 0,02 0,02 0,06 0,00 0,07 0,15

Mean Square (MS) F. Hitung 0,02199 5,8 1,22342 322,68 5,75804 1518,69 0,14796 39,02

*berpengaruh nyata

Terdapat pengaruh nyata, maka dilakukan uji lanjut Duncan faktor bahan : Bahan Jumlah Rata-Rata Grup Duncan* Onggok dan Ampas Tahu 18 8,92 A Onggok dan Bekatul 18 8,66 B Onggok dan Bungkil Kacang Tanah 18 8,40 C *Huruf yang sama menyatakan perbedaan yang tidak signifikan

77

Pr > F 0,0234 <,0001* <,0001* <,0001*

Terdapat pengaruh nyata, maka dilakukan uji lanjut Duncan faktor umur inokulum : Umur Simpan Inokulum (Minggu) Jumlah Rata-Rata Grup Duncan* 8 6 9,73 A 7 6 9,45 B 6 6 9,40 B 5 6 9,32 C 4 6 9,21 D 3 6 8,29 E 2 6 7,99 F 1 6 7,63 G 0 6 6,93 H *Huruf yang sama menyatakan perbedaan yang tidak signifikan

78

2. Inokulum Neurospora sitophila Perlakuan

Pengamatan (Minggu) Ulangan 1 (%) Ulangan 2 (%) Rata-Rata (%) 0 4,24 4,09 4,16 1 4,74 4,62 4,68 2 5,91 5,87 5,89 3 5,98 5,98 5,98 Onggok + Ampas Tahu 4 6,51 6,27 6,39 5 6,61 6,27 6,44 6 6,81 6,27 6,54 7 7,47 7,46 7,46 8 7,58 7,58 7,58 0 4,74 4,68 4,71 1 4,99 4,96 4,97 2 5,38 5,35 5,37 3 5,91 5,63 5,77 Onggok + Bekatul 4 6,09 6,06 6,08 5 6,18 6,06 6,12 6 6,48 6,06 6,27 7 7,48 7,26 7,37 8 7,68 7,57 7,63 0 4,55 4,26 4,40 1 4,98 4,78 4,88 2 5,02 4,87 4,94 3 5,81 5,73 5,77 Onggok + Bungkil Kacang Tanah 4 5,93 5,76 5,84 5 5,93 5,86 5,89 6 6,03 6,06 6,04 7 6,75 6,93 6,84 8 6,85 6,95 6,90

Std 0,10 0,08 0,03 0,00 0,17 0,24 0,38 0,01 0,00 0,04 0,02 0,02 0,20 0,02 0,08 0,30 0,16 0,08 0,21 0,14 0,11 0,06 0,12 0,05 0,02 0,13 0,07

Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Keragaman (JK) MS (Mean Square) F.Hitung Pr > F Ulangan 1 0,21391 0,21391 17,22 0,0003 Bahan 2 1,59553 0,79777 64,22 <,0001* Minggu 8 46,03103 5,75388 463,16 <,0001* Bahan*Minggu 16 1,73675 0,10855 8,74 <,0001* *berpengaruh nyata

Terdapat pengaruh nyata, maka dilakukan uji lanjut Duncan faktor bahan :

Bahan Jumlah Rata-Rata Grup Duncan* Onggok dan Ampas Tahu 18 6,13 A Onggok dan Bekatul 18 6,03 B Onggok dan Bungkil Kacang Tanah 18 5,72 C *Huruf yang sama menyatakan perbedaan yang tidak signifikan

79

Terdapat pengaruh nyata, maka dilakukan uji lanjut Duncan faktor umur inokulum : Umur Simpan Inokulum (Minggu) Jumlah Rata-Rata Grup Duncan* 8 6 7,37 A 7 6 7,23 B 6 6 6,29 C 5 6 6,15 D 4 6 6,10 D 3 6 5,84 E 2 6 5,40 F 1 6 4,84 G 0 6 4,43 H *Huruf yang sama menyatakan perbedaan yang tidak signifikan

80

B. Perubahan viabillitas spora selama penyimpanan 1. Inokulum Aspergillus niger

Perlakuan

Onggok + Ampas Tahu

Onggok + Bekatul

Onggok + Bungkil Kacang Tanah

Pengamatan (Minggu) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 0 1 2 3 4 5 6 7 8 0 1 2 3 4 5 6 7 8

Ulangan 1 (Jumlah spora.107/g bobot kering) 74,05 63,00 51,18 49,05 47,59 44,30 36,59 27,74 14,45 82,91 68,08 62,90 60,91 58,44 55,20 47,50 37,58 23,28 96,61 88,65 83,72 83,09 76,65 71,29 60,37 52,72 38,61

Ulangan 2 (Jumlah spora.107/g bobot kering) 72,97 54,31 50,09 44,69 44,27 43,20 35,48 28,85 13,34 82,91 67,00 61,81 58,73 57,34 54,09 46,40 38,68 26,61 85,87 75,68 65,23 64,51 66,79 66,90 58,17 49,42 36,40

Rata-Rata 73,51 58,65 50,64 46,87 45,93 43,75 36,04 28,29 13,90 82,91 67,54 62,35 59,82 57,89 54,65 46,95 38,13 24,94 91,24 82,16 74,47 73,80 71,72 69,10 59,27 51,07 37,50

81

Jumlah spora setelah dilogaritmikkan : Perlakuan

Onggok + Ampas Tahu

Onggok + Bekatul

Onggok + Bungkil Kacang Tanah

Pengamatan (Minggu) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 0 1 2 3 4 5 6 7 8 0 1 2 3 4 5 6 7 8

Ulangan 1 8,87 8,80 8,71 8,69 8,68 8,65 8,56 8,44 8,16 8,92 8,83 8,80 8,78 8,77 8,74 8,68 8,57 8,37 8,99 8,95 8,92 8,92 8,88 8,85 8,78 8,72 8,59

Ulangan 2 8,86 8,73 8,70 8,65 8,65 8,64 8,55 8,46 8,13 8,92 8,83 8,79 8,77 8,76 8,73 8,67 8,59 8,43 8,93 8,88 8,81 8,81 8,82 8,83 8,76 8,69 8,56

Rata-Rata 8,87 8,77 8,70 8,67 8,66 8,64 8,56 8,45 8,14 8,92 8,83 8,79 8,78 8,76 8,74 8,67 8,58 8,40 8,96 8,91 8,87 8,86 8,85 8,84 8,77 8,71 8,57

82

Viabilitas inokulum spora Aspergillus niger dalam persen : Perlakuan

Pengamatan (Minggu) Ulangan 1(%) Ulangan 2(%) Rata-Rata (%) 0 100,00 100,00 100,00 1 99,21 98,55 98,88 2 98,19 98,16 98,17 3 97,98 97,60 97,79 Onggok + Ampas Tahu 4 97,84 97,55 97,69 5 97,48 97,43 97,46 6 96,55 96,47 96,51 7 95,19 95,45 95,32 8 92,00 91,67 91,84 0 100,00 100,00 100,00 1 99,04 98,96 99,00 2 98,65 98,57 98,61 3 98,50 98,32 98,41 Onggok + Bekatul 4 98,30 98,20 98,25 5 98,02 97,92 97,97 6 97,29 97,17 97,23 7 96,15 96,29 96,22 8 93,82 94,47 94,14 0 100,00 100,00 100,00 1 99,58 99,39 99,49 2 99,31 98,66 98,99 3 99,27 98,61 98,94 Onggok + Bungkil Kacang Tanah 4 98,88 98,78 98,83 5 98,53 98,79 98,66 6 97,73 98,11 97,92 7 97,07 97,31 97,19 8 95,57 95,83 95,70

Sumber Keragaman Ulangan Bahan Minggu Bahan*Minggu

Std 0,00 0,46 0,02 0,27 0,20 0,04 0,06 0,18 0,23 0,00 0,06 0,06 0,13 0,07 0,07 0,08 0,10 0,46 0,00 0,14 0,46 0,47 0,07 0,18 0,27 0,17 0,18

Derajat Bebas (DB) Jumlah Keragaman (JK) Mean Square (MS) F. Hitung Pr > F 1 0,06604 0,06604 1,39 0,2493 2 16,12574 8,06287 169,58 <,0001* 8 154,95348 19,36919 407,38 <,0001* 16 9,59750 0,59984 12,62 <,0001*

*berpengaruh nyata

Terdapat pengaruh nyata, maka dilakukan uji lanjut Duncan faktor bahan : Bahan Jumlah Rata-Rata Grup Duncan* Onggok dan Bungkil Kacang Tanah 18 98,41 A Onggok dan Bekatul 18 97,76 B Onggok dan Ampas Tahu 18 97,07 C *Huruf yang sama menyatakan perbedaan yang tidak signifikan

83

Terdapat pengaruh nyata, maka dilakukan uji lanjut Duncan faktor umur inokulum : Umur Simpan Inokulum (Minggu) Jumlah Rata-Rata Grup Duncan* 0 6 100,00 A 1 6 99,12 B 2 6 98,59 C 3 6 98,38 D 4 6 98,26 D 5 6 98,03 E 6 6 97,22 F 7 6 96,24 G 8 6 93,89 H *Huruf yang sama menyatakan perbedaan yang tidak signifikan

84

2. Inokulum Neurospora sitophila

Perlakuan

Onggok + Ampas Tahu

Onggok + Bekatul

Onggok + Bungkil Kacang Tanah

Pengamatan (Minggu) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 0 1 2 3 4 5 6 7 8 0 1 2 3 4 5 6 7 8

Ulangan 1 (jumlah spora.107/g bobot kering) 62,61 51,41 43,57 38,29 29,91 24,58 19,26 11,89 5,41 83,96 71,56 63,40 58,37 47,91 42,61 37,34 26,99 20,57 61,72 49,41 42,08 35,02 28,68 24,44 15,96 9,66 3,22

Ulangan 2 (jumlah spora.107/g bobot kering) 63,65 50,36 42,50 37,23 27,78 25,65 18,19 10,81 3,25 82,91 71,36 62,97 47,23 41,98 41,98 31,48 23,09 17,84 60,67 48,36 39,98 31,84 26,55 21,25 13,84 7,51 1,07

Rata-Rata 63,13 50,88 43,03 37,76 28,84 25,12 18,73 11,35 4,33 83,43 71,46 63,18 52,80 44,94 42,29 34,41 25,04 19,20 61,19 48,89 41,03 33,43 27,61 22,85 14,90 8,59 2,15

85

Jumlah spora setelah dilogaritmikkan : Perlakuan

Onggok + Ampas Tahu

Onggok + Bekatul

Onggok + Bungkil Kacang Tanah

Pengamatan (Minggu) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 0 1 2 3 4 5 6 7 8 0 1 2 3 4 5 6 7 8

Ulangan 1 8,80 8,71 8,64 8,58 8,48 8,39 8,28 8,08 7,73 8,92 8,85 8,80 8,77 8,68 8,63 8,57 8,43 8,31 8,79 8,69 8,62 8,54 8,46 8,39 8,20 7,99 7,51

Ulangan 2 8,80 8,70 8,63 8,57 8,44 8,41 8,26 8,03 7,51 8,92 8,85 8,80 8,67 8,62 8,62 8,50 8,36 8,25 8,78 8,68 8,60 8,50 8,42 8,33 8,14 7,88 7,03

Rata-Rata 8,80 8,71 8,63 8,58 8,46 8,40 8,27 8,05 7,62 8,92 8,85 8,80 8,72 8,65 8,63 8,54 8,40 8,28 8,79 8,69 8,61 8,52 8,44 8,36 8,17 7,93 7,27

86

Viabilitas inokulum spora Neurospora sitophila dalam persen :

Perlakuan

Pengamatan (Minggu) Ulangan 1(%) Ulangan 2(%) Rata-Rata (%) 0 100,00 100,00 100,00 1 99,03 98,84 98,94 2 98,21 98,01 98,11 3 97,57 97,35 97,46 Onggok + Ampas Tahu 4 96,35 95,91 96,13 5 95,38 95,52 95,45 6 94,18 93,82 94,00 7 91,80 91,25 91,52 8 87,91 85,32 86,62 0 100,00 100,00 100,00 1 99,22 99,27 99,25 2 98,63 98,66 98,65 3 98,23 97,26 97,75 Onggok + Bekatul 4 97,27 96,69 96,98 5 96,70 96,69 96,69 6 96,06 95,29 95,67 7 94,48 93,77 94,13 8 93,16 92,52 92,84 0 100,00 100,00 100,00 1 98,90 98,88 98,89 2 98,11 97,94 98,02 3 97,20 96,81 97,01 Onggok + Bungkil Kacang Tanah 4 96,21 95,91 96,06 5 95,42 94,81 95,12 6 93,32 92,69 93,01 7 90,84 89,67 90,25 8 85,41 80,05 82,73

Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Keragaman (JK) Mean Square (MS) F. Hitung Ulangan 1 5,14128 5,14128 8,59 Bahan 2 49,90689 24,95345 41,71 Minggu 8 746,74895 93,34362 156,04 Bahan*Minggu 16 81,80796 5,11300 8,55

Std 0,00 0,13 0,14 0,15 0,31 0,09 0,25 0,39 1,83 0,00 0,03 0,02 0,69 0,41 0,01 0,55 0,50 0,45 0,00 0,02 0,12 0,28 0,21 0,43 0,44 0,82 3,79

Pr > F 0,0069 <,0001* <,0001* <,0001*

*berpengaruh nyata

Terdapat pengaruh nyata, maka dilakukan uji lanjut Duncan faktor bahan :

Bahan Jumlah Rata-Rata Grup Duncan* Onggok dan Bekatul 18 96,88 A Onggok dan Ampas Tahu 18 95,36 B Onggok dan Bungkil Kacang Tanah 18 94,57 C *Huruf yang sama menyatakan perbedaan yang tidak signifikan

87

Terdapat pengaruh nyata, maka dilakukan uji lanjut Duncan faktor umur inokulum : Umur Simpan Inokulum (Minggu) Jumlah Rata-Rata Grup Duncan* 0 6 100,00 A 1 6 99,12 B 2 6 98,59 B 3 6 98,38 C 4 6 98,26 D 5 6 98,03 D 6 6 97,22 E 7 6 96,24 F 8 6 93,89 G *Huruf yang sama menyatakan perbedaan yang tidak signifikan

88

Lampiran 4. Data perubahan parameter viabilitas terhadap hidrolisis tongkol jagung (setelah kultivasi tongkol jagung) A. Perubahan kadar air setelah kultivasi 1. Kultivasi dengan menggunakan inokulum Aspergillus niger Umur Simpan Inokulum (Minggu) Ulangan 1 (%) Ulangan 2 (%) Rata-Rata (%) 2 23,19 22,97 23,08 4 25,02 24,18 24,60 6 24,35 25,44 24,89 8 25,22 26,53 25,87

Std 0,16 0,59 0,77 0,92

Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Keragaman (JK) MS (Mean Square) F.Hitung Umur Inokulum 3 8,0516 2,6839 5,9000 Error (Galat) 4 1,8188 0,4547 Total 7 9,8704

F.Tabel 5% 6,59

2. Kultivasi dengan menggunakan inokulum Neurospora sitophila Umur Simpan Inokulum (Minggu) Ulangan 1 (%) Ulangan 2 (%) Rata-Rata (%) 2 40,56 40,68 40,62 4 41,52 42,07 41,79 6 42,91 41,40 42,16 8 41,94 41,87 41,91

Std 0,09 0,39 1,07 0,05

Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Keragaman (JK) MS (Mean Square) F.Hitung F.Tabel 5% Umur Inokulum 3 2,7942 0,9314 2,85 6,59 Error (Galat) 4 1,3051 0,3263 Total 7 4,0993

B. Perubahan kadar abu 1. Kultivasi dengan menggunakan inokulum Aspergillus niger Umur Simpan Inokulum (Minggu) Ulangan 1 (%) Ulangan 2 (%) Rata-Rata (%) 2 2,46 2,43 2,44 4 2,28 2,52 2,40 6 2,45 2,42 2,44 8 2,44 2,36 2,40

Std 0,02 0,16 0,02 0,06

Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Keragaman (JK) MS (Mean Square) F.Hitung F.Tabel 5% Umur Inokulum 3 0,0032 0,0011 0,13 6,59 Error (Galat) 4 0,0317 0,0079 Total 7 0,0348

89

2. Kultivasi dengan menggunakan inokulum Neurospora sitophila Umur Simpan Inokulum (Minggu) Ulangan 1 (%) Ulangan 2 (%) Rata-Rata (%) 2 3,76 3,67 3,71 4 3,54 3,81 3,67 6 3,59 3,54 3,57 8 3,31 3,51 3,41

Std 0,07 0,19 0,03 0,14

Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Keragaman (JK) MS (Mean Square) F.Hitung F.Tabel 5% Umur Inokulum 3 0,1098 0,0366 2,39 6,59 Error (Galat) 4 0,0612 0,0153 Total 7 0,1710

C. Perubahan kadar protein 1. Kultivasi dengan menggunakan inokulum Aspergillus niger Umur Simpan Inokulum (Minggu) Ulangan 1 (%) Ulangan 2 (%) Rata-Rata (%) 2 2,47 2,45 2,46 4 2,49 2,56 2,53 6 2,57 2,51 2,54 8 2,50 2,51 2,50

Std 0,01 0,05 0,04 0,01

Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Keragaman (JK) MS (Mean Square) F.Hitung F.Tabel 5% Umur Inokulum 3 0,0072 0,0024 2,45 6,59 Error (Galat) 4 0,0039 0,0010 Total 7 0,0112

2. Kultivasi dengan menggunakan inokulum Neurospora sitophila Umur Simpan Inokulum (Minggu) Ulangan 1 (%) Ulangan 2 (%) Rata-Rata (%) 2 5,50 5,68 5,59 4 5,34 5,50 5,42 6 5,67 5,53 5,60 8 5,57 5,54 5,55

Std 0,12 0,11 0,10 0,02

Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Keragaman (JK) MS (Mean Square) F.Hitung F.Tabel 5% Umur Inokulum 3 0,0409 0,0136 1,45 6,59 Error (Galat) 4 0,0377 0,0094 Total 7 0,0786

90

D. Perubahan kadar lemak 1. Kultivasi dengan menggunakan inokulum Aspergillus niger Umur Simpan Inokulum (Minggu) Ulangan 1 (%) Ulangan 2 (%) Rata-Rata (%) 2 2,05 2,02 2,03 4 2,07 1,95 2,01 6 2,08 1,94 2,01 8 1,96 2,06 2,01

Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Keragaman (JK) MS (Mean Square) F.Hitung Umur Inokulum 3 0,0008 0,0003 0,04 Error (Galat) 4 0,0237 0,0059 Total 7 0,0245

Std 0,02 0,09 0,10 0,07

F.Tabel 5% 6,59

2. Kultivasi dengan menggunakan inokulum Neurospora sitophila Umur Simpan Inokulum (Minggu) Ulangan 1 (%) Ulangan 2 (%) Rata-Rata (%) 2 2,88 2,93 2,90 4 2,86 2,80 2,83 6 2,90 2,87 2,89 8 2,84 2,87 2,85

Std 0,03 0,04 0,02 0,02

Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Keragaman (JK) MS (Mean Square) F.Hitung F.Tabel 5% Umur Inokulum 3 0,0063 0,0021 2,43 6,59 Error (Galat) 4 0,0035 0,0009 Total 7 0,0098

E. Perubahan kadar serat 1. Kultivasi dengan menggunakan inokulum Aspergillus niger Umur Simpan Inokulum (Minggu) Ulangan 1 (%) Ulangan 2 (%) Rata-Rata (%) 2 54,76 54,59 54,67 4 55,81 55,82 55,82 6 56,38 56,30 56,34 8 56,56 56,77 56,66

Std 0,12 0,00 0,06 0,15

Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Keragaman (JK) MS (Mean Square) F.Hitung F.Tabel 5% Umur Inokulum 3 4,5658 1,5219 152,72 6,59 Error (Galat) 4 0,0399 0,0100 Total 7 4,6057

91

karena F.Tabel < F.Hitung, maka dilakukan uji lanjut Duncan :

Umur Inokulum Jumlah Ulangan Rata-rata Grup Duncan* 8 2 56,66 A 6 2 56,34 B 4 2 55,82 C 2 2 54,67 D *Huruf yang sama menyatakan perbedaan yang tidak signifikan

2. Kultivasi dengan menggunakan inokulum Neurospora sitophila Umur Simpan Inokulum (Minggu) Ulangan 1 (%) Ulangan 2 (%) Rata-Rata (%) 2 47,00 46,83 46,92 4 51,29 50,76 51,03 6 52,27 52,98 52,62 8 53,10 53,68 53,39

Std 0,12 0,38 0,50 0,41

Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Keragaman (JK) MS (Mean Square) F.Hitung F.Tabel 5% Umur Inokulum 3 50,0351 16,6784 114,88 6,59 Error (Galat) 4 0,5807 0,1452 Total 7 50,6158 karena F.Tabel < F.Hitung, maka dilakukan uji lanjut Duncan :

Umur Inokulum Jumlah Ulangan Rata-rata Grup Duncan* 8 2 53,39 A 6 2 52,62 A 4 2 51,03 B 2 2 46,92 C *Huruf yang sama menyatakan perbedaan yang tidak signifikan

F. Perubahan total gula 1. Kultivasi dengan menggunakan inokulum Aspergillus niger Umur Simpan Inokulum (Minggu) Ulangan 1 (ppm) Ulangan 2 (ppm) Rata-Rata (ppm) 2 39,727 38,683 39,205 4 39,774 38,735 39,255 6 38,576 38,683 38,629 8 38,566 38,644 38,605

Std 0,738 0,735 0,076 0,055

92

Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Keragaman (JK) MS (Mean Square) F.Hitung F.Tabel 5% Umur Inokulum 3 0,7534 0,2511 0,92 6,59 Error (Galat) 4 1,0935 0,2734 Total 7 1,8469 2. Kultivasi dengan menggunakan inokulum Neurospora sitophila Umur Simpan Inokulum (Minggu) Ulangan 1 (ppm) Ulangan 2 (ppm) Rata-Rata (ppm) 2 37,900 37,930 37,915 4 37,865 37,854 37,860 6 37,904 37,787 37,846 8 37,927 37,943 37,935

Std 0,022 0,008 0,083 0,012

Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Keragaman (JK) MS (Mean Square) F.Hitung F.Tabel 5% Umur Inokulum 3 0,0111 0,0037 1.98 6,59 Error (Galat) 4 0,0075 0,0019 Total 7 0,0186

G. Perubahan gula pereduksi 1. Kultivasi dengan menggunakan inokulum Aspergillus niger Umur Simpan Inokulum (Minggu) Ulangan 1 (ppm) Ulangan 2 (ppm) Rata-Rata (ppm) 2 12,004 11,949 11,977 4 11,940 11,858 11,899 6 11,794 11,776 11,785 8 11,857 11,821 11,839

Std 0,039 0,058 0,013 0,026

Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Keragaman (JK) MS (Mean Square) F.Hitung F.Tabel 5% Umur Inokulum 3 0,0405 0,0135 6,51 6,59 Error (Galat) 4 0,0057 0,0014 Total 7 0,0462

2. Kultivasi dengan menggunakan inokulum Neurospora sitophila Umur Simpan Inokulum (Minggu) Ulangan 1 (ppm) Ulangan 2 (ppm) Rata-Rata (ppm) 2 14,290 14,344 14,317 4 14,536 14,537 14,536 6 14,426 14,454 14,440 8 14,317 14,372 14,344

Std 0,039 0,001 0,019 0,039

Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Keragaman (JK) MS (Mean Square) F.Hitung F.Tabel 5% Umur Inokulum 3 0,0597 0,0199 6,56 6,59 Error (Galat) 4 0,0034 0,0008 Total 7 0,0630 93

H. Derajat polimerisasi 1. Kultivasi dengan menggunakan inokulum Aspergillus niger Umur Simpan Inokulum (Minggu) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata 2 3,310 3,237 3,273 4 3,331 3,267 3,299 6 3,271 3,285 3,278 8 3,253 3,269 3,261

Std 0,051 0,046 0,010 0,012

Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Keragaman (JK) MS (Mean Square) F.Hitung F.Tabel 5% Umur Inokulum 3 0,0015 0,0005 0,41 6,59 Error (Galat) 4 0,0049 0,0012 Total 7 0,0064

2. Kultivasi dengan menggunakan inokulum Neurospora sitophila Umur Simpan Inokulum (Minggu) Ulangan 1 Ulangan 2 Rata-Rata 2 2,652 2,644 2,648 4 2,605 2,604 2,604 6 2,627 2,614 2,621 8 2,649 2,640 2,645

Std 0,006 0,001 0,009 0,006

Sumber Keragaman Derajat Bebas (DB) Jumlah Keragaman (JK) MS (Mean Square) F.Hitung F.Tabel 5% Umur Inokulum 3 0,00255 0,00085 6,56 6,59 Error (Galat) 4 0,00016 0,00004 Total 7 0,00270

94

Lampiran 5. Perhitungan komposisi awal media kultivasi

1. Menggunakan inokulum Aspergillus niger (onggok+bungkil kacang tanah) Perbandingan jagung dan inokulm A.niger sebagai berikut : Jagung Inokulum Onggok+Bungkil Komponen (%b.k) Kacang Tanah (%b.k) Abu 1,69 3,56 Protein 0,6 13,31 Lemak 2,34 10,91 Serat Kasar 79,15 5,71 Sehingga pada perbandingan jagung : inokulum A. niger (85 : 15) diperoleh komposisi sebagai berikut : Komponen Abu Protein Lemak Serat Kasar

Media Awal Kultivasi (%b.k) 1,97 2,51 3,63 68,13

2. Menggunakan inokulum Neurospora sitophila (onggok+bekatul) Perbandingan jagung dan inokulm N. sitophila sebagai berikut : Jagung Inoukulum Onggok+Bekatul Komponen (%b.k) (%b.k) Abu 1,69 10,50 Protein 0,6 10,76 Lemak 2,34 13,14 Serat Kasar 79,15 11,78 Sehingga pada perbandingan jagung : inokulum N. sitophila (85 : 15) diperoleh komposisi sebagai berikut : Komponen Abu Protein Lemak Serat Kasar

Media Awal Kultivasi (%b.k) 3,01 2,12 3,96 69,05

95