PENGARUH NILAI KALOR (HEATING VALUE) SUATU BAHAN BAKAR

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, ... menggunakan bom kalorimeter oksigen di Laboratorium Teknik Mesin USU dan ketiga dengan menghitung nilai...

33 downloads 635 Views 372KB Size
Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 1 Januari 2006

PENGARUH NILAI KALOR (HEATING VALUE) SUATU BAHAN BAKAR TERHADAP PERENCANAAN VOLUME RUANG BAKAR KETEL UAP BERDASARKAN METODE PENENTUAN NILAI KALOR BAHAN BAKAR YANG DIPERGUNAKAN Farel H. Napitupulu Staf Pengajar Departemen Teknik Mesin FT USU

Abstrak: Nilai kalor bahan bakar yang dibahas dalam topik ini adalah nilai kalor minyak bakar (residu) produksi Pertamina. Harga nilai kalor ini ditentukan dengan tiga metode, yaitu pertama dengan mengambil harga nilai kalor berdasarkan spesifikasi menurut Dirjen Migas No. 03/P/DM/1986, tanggal 14 April 1986, kedua dengan memperoleh harga nilai kalor melalui hasil pengujian di laboratorium, dalam hal ini dengan menggunakan bom kalorimeter oksigen di Laboratorium Teknik Mesin USU dan ketiga dengan menghitung nilai kalor berdasarkan rumus Dulong dan Petit. Berdasarkan hasil dari ketiga metode di atas ini dapat dilihat adanya perbedaan harga nilai kalor minyak bakar (residu) yang sekaligus mempengaruhi volume ruang bakar instalasi ketel uap. Kata kunci: Ketel Uap, Volume Ruang Bakar, Minyak Bakar (Residu), Nilai Kalor

I. PENDAHULUAN Nilai kalor merupakan jumlah energi kalor yang dilepaskan bahan bakar pada waktu terjadinya oksidasi unsur-unsur kimia yang ada pada bahan bakar tersebut. Dalam perencanaan ruang bakar sebuah ketel uap, nilai kalor bahan bakar sangat menentukan. Volume ruang bakar dapat ditentukan dengan menggunakan rumus dari [1] yaitu: Vrb

=

m& bb x LHV x η ketel hrf

Di mana: Vrb = volume ruang bakar (m3) m& bb = konsumsi bahan bakar (kg/s) LHV = low heating value (nilai kalor bawah) (kJ/kg) η ketel = efisiensi ketel uap = laju pelepasan kalor (kg/ m3.s) hrf Dari rumus di atas ini dapat dilihat bahwa volume ruang bakar dapat diketahui bila nilai kalor bawah (LHV) diketahui. Nilai kalor bahan bakar terdiri dari: 1. Nilai Kalor Atas Nilai kalor atas atau highest heating value (HHV) adalah nilai kalor yang diperoleh dari pembakaran 1 kg bahan bakar dengan memperhitungkan panas kondensasi uap (air yang dihasilkan dari pembakaran berada dalam wujud cair) 60

2. Nilai Kalor Bawah Nilai kalor bawah atau lowest heating value (LHV), adalah nilai kalor yang diperoleh dari pembakaran 1 kg bahan bakar tanpa memperhitungkan panas kondensasi uap (air yang dihasilkan dari pembakaran berada dalam wujud gas/uap). II. METODE PENENTUAN HARGA NILAI KALOR Harga nilai kalor (HHV dan LHV) dapat diperoleh dengan cara berikut: 2.1. Mengambil Harga Nilai Kalor dari Literatur yang Ada 2.2. Memperoleh Nilai Kalor Melalui Pengujian di Laboratorium Nilai Kalor (heating value) suatu bahan bakar dapat juga diperoleh dengan menggunakan peralatan di laboratorium, yaitu bom kalorimeter oksigen seperti ditunjukkan pada Gambar 1 dan Gambar 2. Nilai kalor yang diperoleh melalui peralatan ini adalah nilai kalor atas atau highest heating value (HHV) dan dapat dihitung dengan rumus, yaitu: HHV = (T2 – T1 – Tkp ) x cv (kJ/kg) Sedangkan nilai kalor bawah atau lowest heating value (LHV) dihitung dengan persamaan: LHV = HHV – 3240 (kJ/kg)

Pengaruh Nilai Kalor (Heating Value) ... Farel H. Napitupulu

Bila dilakukan pengujian 15 kali, maka: i =15

∑ HHV

HHVrata-rata =

j =1

15

(kJ/kg)

dan LHV rata-rata = HHV rata-rata – 3240 (kJ/kg) di mana: T1=Suhu air pendingin sebelum dinyalakan (oC) T2=Suhu air pendingin sesudah dinyalakan (o C) Tkp=Kenaikan suhu kawat penyala = 0,05 (o C ) cv= Panas jenis alat = 73.529,6 (kJ /kg oC)

6. Menutup bom dengan kuat setelah dipasang ring_o dengan memutar penutup tersebut. 7. Mengisi oksigen ke dalam bom dengan tekanan 30 bar. 8. Menempatkan bom yang telah terpasang ke dalam kalorimeter. 9. Memasukkan air pendingin sebanyak 1250 ml. 10. Menutup kalorimeter dengan penutupnya. 11. Menghidupkan pengaduk air pendingin selama 5 (lima) menit sebelum penyalaan dilakukan. 12. Membaca dan mencatat kembali suhu air pendingin. 13. Menghidupkan penyalaan. 14. Mengaduk air pendingin selama 5 (lima) menit setelah penyalaan berlangsung. 15. Membaca dan mencatat kembali suhu air pendingin. 16. Mematikan pengaduk. 17. Mempersiapkan kembali peralatan untuk pengujian selanjutnya. 2.3. Menghitung Nilai Kalor Bahan Bakar dengan Menggunakan Rumus Dulong dan Petit

Gambar 1. Bom Kalorimeter Oksigen

Rumus Dulong dan Petit menurut [2] adalah:



HHV =33.950C +144.200 ⎜H2 −



O2 ⎞ ⎟ + 9.400S 8⎠

LHV = HHV - 2.400(H2O + 9H2) kJ/kg

Gambar 2. Penampang Bom Kalorimeter Oksigen

Prosedur Percobaan 1. Membersihkan tabung bom dari sisa pengujian sebelumnya. 2. Menimbang bahan bakar yang akan diukur dengan timbangan. 3. Mengukur volume bahan bakar. 4. Menyiapkan kawat untuk penyala dengan menggulung dan memasangnya pada tangki penyala yang terpasang pada penutup bom. 5. Menempatkan cawan yang berisi bahan bakar pada ujung tangkai penyala.

di mana: C = komposisi karbon dalam bahan bakar H2 = komposisi hidrogen dalam bahan bakar O2 = komposisi oksigen dalam bahan bakar S = komposisi sulfur dalam bahan bakar H2O = komposisi uap air dalam bahan bakar III. HASIL PENENTUAN NILAI KALOR MINYAK BAKAR (RESIDU) 3.1 Penentuan Nilai Kalor Bahan Bakar dari Literatur Yang dimaksud literatur dalam hal ini adalah spesifikasi minyak bakar (residu) menurut Direktur Jenderal Minyak dan Gas seperti terlihat pada Tabel 3.1.

61

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 1 Januari 2006

Tabel 3.1 Spesifikasi Minyak Bakar

TEST METHODS LIMIT MIN MAKS ASTM Lain

N0 PROPERTIS (Spesifikasi-1) 1 Specific Grafity at 60/60 F 2 Viscocity Redwood 1/100 F Sec 3 Pour Point F 4 Colorofic Value Gross BTU/lb 5 Sulphur Content %wt 6 Water content % vol 7 Sediman % wt 8 Neutralization Value Strong Acid Number mgKOH/hr 9 Flash Point P.M.cc F 10 Conradson Crabon Residu %wt (Spesifikasi-2) 1 Specific Grafity at 60/60 F 2 Viscocity Redwood 1/100 F Sec 3 Pour Point F 4 Colorofic Value Gross BTU/lb 5 Sulphur Content %wt 6 Water content % vol 7 Sediman % wt 8 Neutralization Value Strong Acid Number mgKOH/hr 9 Flash Point P.M.cc F 10 Conradson Crabon Residu %wt

400

0,99 1250 80

18.000 3,5 0,75 0,15

D-1298 D-445 D-97 D-240 d-1551 D-95 D-473

IP 70

Nil 150 14

400

0,99 1500 80

18.000 3,5 0,75 0,15

D-93 D-189 D-1298 D-445 D-97 D-240 d-1551 D-95 D-473

IP 70

Nil 150 14

D-93 D-189

Sumber: *) Konvensi dari konematic viscosity Spesifikasi menurut Dirjen Minyak dan Gas No. 03/P /DM/Migas/1986 tanggal 14 April 1986

Menurut Tabel 3.1 di atas harga HHV minyak bakar adalah 18.000 BTU/lb atau 41.909,196 kJ/kg. Maka nilai kalor bawah adalah: LHVrata-rata = 41.909,196 – 3240 = 38.669,196 kJ/kg 3.2. Penentuan Nilai Kalor Minyak Bakar (Residu) Melalui Percobaan di Laboratorium Hasil percobaan dengan menggunakan Bom Kalorimeter Oksigen dengan 15 kali percobaan dapat dilihat pada Tabel 3.2.

62

3.3. Menentukan Nilai Kalor Minyak Bakar dengan Menggunakan Rumus Dulong dan Petit Komposisi dari minyak bakar (residu) dapat dilihat pada Tabel 3.3.

Pengaruh Nilai Kalor (Heating Value) ... Farel H. Napitupulu

Tabel 3.2 Hasil percobaan dengan Bom Kalorimeter Oksigen

Bahan Bakar

No. Percobaan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Minyak 10 Bakar 11 (Residu) 12 13 14 15 TOTAL HHV

T1 (o C ) 26,32 27,65 27,43 28,56 28,2 26,32 27,65 28,67 27,31 28,83 26,57 28,71 28,79 27,54 28,73

T2 (o C ) 26,984 28,302 28,049 29,197 28,861 26,945 28,257 29,33 27,95 29,477 27,203 29,292 29,359 28,169 29,341

Tkp (o C ) 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05 0,05

cv (kJ /kg oC) 73.529,6 73.529,6 73.529,6 73.529,6 73.529,6 73.529,6 73.529,6 73.529,6 73.529,6 73.529,6 73.529,6 73.529,6 73.529,6 73.529,6 73.529,6

HHV (kJ /kg) 45.122,368 44.234,718 41.853,694 43.149,825 44.925,753 42.258,352 40.921,648 44.853,056 43.348,536 43.889,832 46.514,915 42.798,695 41.842,748 46.275,129 44.937,847 656.927,116

Berdasarkan hasil percobaan dari Tabel 3.2 di atas maka diperoleh: HHVrata-rata = 656927,116/15 = 43.795,141 kJ/kg LHVrata-rata

= 43.795,141 – 3240 = 40555,141 kJ/kg

Tabel 3.3 Komposisi Minyak Bakar (residu) N0 Komposisi Bahan Bakar Persentase Kandungan 1 Carbon (C) 85,1 % 2 Hidrogen (H2) 10,8 % 3 Sulfur (S) 3,3 % 4 Oksigen (O2) 0,4 % 5 Nitrogen (N2) 0,20 % 6 Air (H2O) 0,16 % 7 Abu (ash) 0,04 % Total 100 % Sumber: Laboratorium PLTU Sicanang Belawan Berdasarkan komposisi minyak bakar (residu) di atas nilai kalor dapat dihitung dengan rumus berikut: HHV

LHV

= 33.950 C+ 144.200 (H – ( O2 / 8 )) + 9400 S =33.950 (0,851)+144.200(0,108–(0,004/8 )) + 9400 (0,033) = 44.703,15 kJ/kg = HHV- 2400 (H2O + 9 H2) = 44.703,15 – 2400 (0,0016 + 9 (0,108)) = 42.366,51 kJ/kg = 38.669,196 kJ/kg

IV. PERHITUNGAN VOLUME RUANG BAKAR Untuk menghitung volume ruang bakar dengan menggunakan minyak bakar (residu) sebagai bahan bakar dan sebagai contoh ditentukan konsumsi bahan bakar, m& bb = 2,57 kg/s, efisiensi ketel uap, η ketel diambil 90% dan laju pelepasan kalor, hrf diambil 581,53 kJ/m3.s.

63

Jurnal Sistem Teknik Industri Volume 7, No. 1 Januari 2006

Bila digunakan LHV berdasarkan spesifikasi minyak bakar (residu) menurut Dirjen Minyak dan Gas, yaitu 38.669,196 kJ/kg, maka: m x LHV x η ketel Vrb = bb hrf di mana: = 2,57 kg/s m& bb = 581,53 kJ/ m3 s hrf LHV = 38.669,196 kJ/kg η ketel = 90 % maka diperoleh: Vrb = 2 , 57 x 38.669,196

x 0 ,9

581 , 53

= 153,804 m3 Bila ditetapkan panjang (P) ruang bakar sebesar 5 m dan lebar (L) ditetapkan maka tinggi ruang bakar diperoleh sebesar: T = Vrb P xL

= 153,804 5x4

= 7,69 Bila digunakan harga LHV yang diperoleh dari hasil laboratorium dengan menggunakan Bom Kalorimeter Oksigen, yaitu 40.555,141 kJ/kg, maka: m& x LHV x η ketel Vrb = bb hrf di mana: = 2,57 kg/s m& bb = 581,53 kJ/ m3 s hrf LHV = 40.555,141 kJ/kg η ketel = 90 %

Bila ditetapkan panjang (P) ruang bakar sebesar 5 m dan lebar (L) ditetapkan maka tinggi ruang bakar diperoleh sebesar: T = Vrb P xL

= 161,3 5x4 = 8,06 m Bila digunakan harga LHV yang diperoleh dengan menggunakan rumus Dulong dan Petit yaitu 42.366,51 kJ/kg, maka: m& x LHV x η ketel Vrb = bb hrf di mana: = 2,57 kg/s m& bb = 581,53 kJ/ m3 s hrf LHV = 42.366,51 kJ/kg η ketel = 90 % maka diperoleh: 2,57 x 42.366,51 x 0,9 Vrb = 581,53 = 168,51 m3 Bila ditetapkan panjang (P) ruang bakar sebesar 5 m dan lebar (L) ditetapkan maka tinggi ruang bakar diperoleh sebesar: T = V rb P xL

=

168,51 5 x 4

= 8,42 m Kemudian berdasarkan perhitungan di atas dapat dilihat hubungan nilai kalor minyak bakar (residu) dengan tiga harga nilai kalor yang berbeda dengan volume ruang bakar seperti ditunjukkan Tabel 4.1.

maka diperoleh: 2,57 x 40.555,141kJ/kg x 0,9 Vrb = 581,53 3 = 161,3 m Tabel 4.1 Hubungan Nilai Kalor dengan Volume Ruang Bakar Sumber Data Low Heating Value (LHV) Volume Ruang Bakar Pertamina 38.669,196 kJ/kg 153,804 m3 Minyak Bakar (Residu) Bom Kalori Oksigen 40.555,141 kJ/kg 161,3 m3 Rumus Dulong 42.366,51 kJ/kg. 168,51 m3 Bahan Bakar

64

Pengaruh Nilai Kalor (Heating Value) ... Farel H. Napitupulu

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1. Dari analisis di atas dapat dilihat bahwa penentuan nilai kalor dari satu jenis bahan bakar dalam hal ini minyak bakar (residu) menghasilkan tiga harga nilai kalor yang berbeda dan mengakibatkan volume ruang bakar yang berbeda pula. 2. Sampel minyak bakar (residu) yang diambil dari lapangan dan diuji di laboratorium mempunyai nilai kalor yang tidak sesuai dengan spesifikasi minyak bakar atau residu menurut Dirjen Migas. Demikian juga komposisi minyak bakar atau residu yang dibuat di laboratorium PLTU Sicanang Belawan 3. juga tidak sesuai dengan spesifikasi menurut Dirjen Migas.

5.2 Saran 1. Dalam menentukan volume ruang bakar harus mengacu pada kondisi fisik bahan yang akurat agar diperoleh efisiensi ruang bakar yang maksimal. 2. Dianjurkan agar selalu menggunakan bahan bakar yang sesuai dengan spesifikasi perencanaan agar diperoleh efektivitas ruang bakar yang optimal. DAFTAR PUSTAKA Skrotzki, Bernad D, Penerjemah Zulkifli Harahap, “Power Station Enginering and Economy ”, Mc Graw Hill Publishing Book Company Ltd, New Delhi, 1979. hal. 170. Culp Archie W, “Prinsip-Prinsip Konversi Energi“, Cetakan ketiga Penerbit Erlangga, Jakarta , 1991. hal. 44.

65