PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN

Download untuk Kegiatan Wisata Pantai dan Perikanan di Kecamatan Pringkuku, Kabupaten ...... dialokasikan ke penggunaan yang lebih spesifik, wilayah...

0 downloads 631 Views 24MB Size
i

PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI DAN PERIKANAN DI KECAMATAN PRINGKUKU, KABUPATEN PACITAN, PROVINSI JAWA TIMUR

ANI RAHMAWATI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengelolaan Kawasan Pesisir untuk Kegiatan Wisata Pantai dan Perikanan di Kecamatan Pringkuku, Kabupaten Pacitan, Provinsi Jawa Timur adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2013

Ani Rahmawati C252100021

ABSTRACT

ANI RAHMAWATI. Coastal Area Management for Tourism and Fisheries in Pringkuku District, Pacitan Regency, East Java Province. Under direction of ACHMAD FAHRUDIN and FREDINAN YULIANDA Pringkuku District Coastal area was been used for tourism and fisheries activities. But they were not yet been regulated and managed optimally. The objectives of this research was to analize space usage level in coastal area Pringkuku District, to analize suitable and carrying capacity for tourism, to analize area usage level from economic value for tourism, and to arrange sustainable management strategy. The result shown: (1) Area usage for tourism in Srau is about 65.67% and area usage for Watukarung is about 49,00%.(2) Srau and Watukarung area have not exceed the carrying capacity, where the suitability of the area is mostly very suitable. (3) Srau area usage level has reach about 32,26% while Watukarung just reach about 11,59%. (4) Tourism strategy management for Srau area: provide and improvement seat, toilet and trash bin; improvement the road and communication network; provide sign and marking; training for increase human resources and involve personnel for guide. Tourism strategy management for Watukarung area: provide and improvement trash bin, seat, toilet, musholla and food stall; improvement the road and communication network; provide the sign and marking; training for increase personnel human resources; provide guide and involve fisherman within tourism. Keywords :Carrying capacity, Coastal, Economic value, Management, Pringkuku District, Suitable, Usage level,

RINGKASAN ANI RAHMAWATI. Pengelolaan Kawasan Pesisir untuk Kegiatan Wisata Pantai dan Perikanan di Kecamatan Pringkuku, Kabupaten Pacitan, Provinsi Jawa Timur. Dibimbing oleh ACHMAD FAHRUDIN dan FREDINAN YULIANDA. Salah satu kawasan pesisir di Kabupaten Pacitan yang dimanfaatkan untuk kegiatan wisata maupun perikanan adalah Kecamatan Pringkuku dengan panjang garis pantai 15,779 km. Wilayah pesisirnya terdiri atas pantai pasir putih dengan batuan karst dan terdapat Tempat Pendaratan Ikan (TPI Watukarung) untuk mendaratkan hasil tangkapan nelayan. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis pemanfaatan ruang, menganalisis kesesuaian dan daya dukung kawasan untuk kegiatan wisata, menganalisis tingkat pemanfaatan kawasan dari nilai ekonomi kawasan yang dimanfaatkan untuk kegiatan wisata dan perikanan dan menyusun strategi pengelolaan kawasan pesisir Kecamatan Pringkuku. Penelitian dilaksanakan di kawasan pesisir Kecamatan Pringkuku Kabupaten Pacitan (Desa Watukarung, Desa Jlubang, Desa Dadapan, Desa Poko dan Desa Candi). Pengumpulan data di lapangan dilakukan pada bulan April-Juli 2012. Sebelumnya dilakukan survei pendahuluan pada bulan September 2011. Data yang diambil yaitu kualitas air, kesesuaian lahan, daya dukung, nilai ekonomi wisata dan perikanan, dan analisis kepuasan wistawan. Kondisi kualitas perairan masih sesuai untuk kegiatan wisata karena belum ada pengaruh yang dominan dari kegiatan manusia. Kawasan wisata Srau memiliki daya dukung ekologis sebesar 142.350 orang/tahun. Kawasan wisata Watukarung memiliki daya dukung ekologis sebesar 306.235 orang/tahun. Nilai pemanfaatan wisata aktual sebesar Rp 307.992.650.000/ha/tahun, sedangkan nilai wisata berdasarkan daya dukung sebesar Rp 954.597.159.800/ha/tahun. Tingkat pemanfaatan kawasan Srau dilihat dari nilai ekonomi sekitar 32,26%. Nilai wisata aktual kawasan Watukarung sebesar Rp 157.230.307.100/ha/tahun. Nilai wisata sesuai daya dukung Rp 1.356.099.839.000/ha/tahun. Pemanfaatan di kawasan Watukarung masih lebih rendah dibanding kawasan Srau yaitu 11,59%. Nilai perikanan aktual sebesar Rp 26.510.238.840/ha/tahun (sekitar 17,93% dari nilai produksi perikanan Kabupaten Pacitan). Tingkat kepuasan wisatawan paling tinggi terdapat pada kriteria karakteristik alam dan paling rendah pada kriteria informasi-komunikasi dan infrastruktur. Strategi pengelolaan perikanan yaitu perbaikan armada perikanan, peningkatan keterampilan pengolahan hasil perikanan dan pengembangan pemasaran hasil perikanan. Strategi pengelolaan di Kawasan Srau yaitu perbaikan fasilitas (tempat duduk, toilet, tempat sampah); perbaikan jalan; penyediaan penunjuk jalan, jaringan komunikasi dan tanda; serta pelatihan untuk peningkatan SDM petugas kawasan. Strategi pengelolaan kawasan Watukarung yaitu perbaikan dan penyediaan fasilitas (tempat duduk, toilet, tempat sampah, kios makanan, tempat ibadah); perbaikan jalan; penyediaan penunjuk jalan, jaringan komunikasi dan tanda; pelatihan untuk meningkatkan SDM petugas kawasan dan melibatkan nelayan dalam kegiatan wisata Kata kunci: Daya dukung, Kecamatan Pringkuku, Kesesuaian, Nilai ekonomi perikanan, Nilai ekonomi wisata, Pengelolaan, Pesisir.

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2013 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

PENGELOLAAN KAWASAN PESISIR UNTUK KEGIATAN WISATA PANTAI DAN PERIKANAN DI KECAMATAN PRINGKUKU, KABUPATEN PACITAN, PROVINSI JAWA TIMUR

ANI RAHMAWATI

Tesis Sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Magister Sains Pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Rahmat Kurnia, M.Si

HALAMAN PENGESAHAN Judul Tesis

: Pengelolaan Kawasan Pesisir untuk Wisata Pantai dan Perikanan di Kecamatan Pringkuku, Kabupaten Pacitan, Provinsi Jawa Timur

Nama

: Ani Rahmawati

NIM

: C252100021

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si

Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc

Ketua

Anggota

Diketahui Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA

Tanggal Ujian: 21 Juni 2013

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr

Tanggal Lulus:

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kemampuan kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Adapun tesis yang disusun berjudul “Pengelolaan Kawasan Pesisir untuk Kegiatan Wisata Pantai dan Perikanan di Kecamatan Pringkuku, Kabupaten Pacitan, Provinsi Jawa Timur”. Tesis ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pemerintah daerah setempat maupun pihak swasta dalam rangka pengembangan dan pengelolaan kawasan pesisir di Kecamatan Pringkuku Kabupaten Pacitan Jawa Timur. Penyusunan tulisan ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak, untuk itu penulis dengan setulus hati mengucapkan terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si dan Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc selaku pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan masukan. 2. Bapak Dr. Ir. Rahmat Kurnia, M.Si selaku penguji luar komisi dan Bapak Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer selaku ketua Prodi SPL atas segala masukannya demi kesempurnaan penulisan tesis ini. 3. Bapak, ibu, adik dan suamiku Adi Susanto, S.Pi, M.Si serta seluruh keluarga besar di Pacitan dan di Kuala Tungkal atas segala doa dan kasih sayangnya. 4. Keluarga Bapak Giyatno, Keluarga Bapak Jumiran, Mas Abdul, Mas Ali, Pak Hendra dan pihak-pihak lain yang telah membantu selama pengumpulan data. 5. Teman-teman SPL 2010 dan sahabatku Ardha atas dukungan dan semangatnya selama ini. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat kekurangan, karena itu kritik dan saran untuk perbaikan tesis ini sangat penulis harapkan. Semoga tesis ini bermanfaat dan dapat memberikan informasi bagi peneliti maupun mahasiswa untuk melakukan penulisan lebih lanjut.

Bogor, Juli 2013

Ani Rahmawati

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jepara pada tanggal 2 November 1986, sebagai anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Anshori, BA dan Ibu Nursiyah,S.Pd. Pendidikan formal diawali di SDN I Dadapan Kabupaten Pacitan selama 1 tahun kemudian pindah ke SDN Arjosari I Pacitan Jawa Timur hingga lulus pada tahun 1998. Pada tahun yang sama penulis diterima di SMPN I Pacitan dan menyelesaikan studi tahun 2001. Penulis melanjutkan studi di SMUN I Pacitan sampai dengan tahun 2004 dan pada tahun yang sama pula penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada program studi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan dan lulus pada tahun 2009. Penulis pernah bekerja di PT Sucofindo pada tahun 2009-2010. Pada tahun 2010 penulis melanjutkan pendidikan strata dua (S-2) pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

xix

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ....................................................................................

xxiii

DAFTAR GAMBAR ...............................................................................

xxv

DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................

xxvii

1

2

3

PENDAHULUAN .............................................................................

1

1.1 1.2 1.3 1.4 1.5

Latar belakang .............................................................................. Perumusan masalah ...................................................................... Tujuan .......................................................................................... Kerangka Pemikiran ..................................................................... Manfaat Penelitian .......................................................................

1 2 3 4 4

TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................

7

2.1 Pesisir ........................................................................................... 2.2. Pariwisata dan ekowisata ............................................................. 2.2.1 Pariwisata ........................................................................... 2.2.2 Ekowisata ........................................................................... 2.3 Perikanan ...................................................................................... 2.4 Penataan Ruang (Zonasi) ............................................................. 2.5 Daya Dukung Lingkungan ........................................................... 2.6 Sistem Informasi Geografis (SIG) ............................................... 2.7 Ekologi Ekonomi ......................................................................... 2.8 Pengelolaan berkelanjutan ...........................................................

7 9 9 13 17 19 20 22 22 23

METODE PENELITIAN .................................................................

25

3.1 Tempat dan waktu penelitian ....................................................... 3.2 Tahapan penelitian ....................................................................... 3.3 Pengumpulan data ........................................................................ 3.3.1 Data primer ......................................................................... 3.3.1 Wawancara ................................................................ 3.3.2 Observasi lapang ....................................................... 3.3.2 Data sekunder ..................................................................... 3.3.3 Data kesesuaian lahan ......................................................... 3.3.4 Data EoP (Effect on Production) ........................................ 3.3.5 Data TCM ........................................................................... 3.4 Analisis data ................................................................................ 3.4.1 Analisis kualitas air ............................................................. 3.4.2 Analisis kesesuaian kawasan .............................................. 3.4.2.1 Analisis deskriptif .................................................. 3.4.2.2 Analisis kesesuaian wilayah sebagai kawasan wisata pantai ..................................................................... 3.4.3 Daya dukung ekologis ........................................................ 3.4.4 Effect on Production (EoP) ................................................

25 25 25 27 27 28 29 29 31 31 32 32 33 33

xix

33 37 38

xx

3.4.4.1 Surplus konsumen .................................................. Metode Biaya Perjalanan (Travel Cost Method/TCM) ................ Analisis SIG (Sistem Informasi Geografis) .................................. Analisis Kesenjangan (GAP Analisis) ......................................... Analisis Kepuasan Wisatawan .....................................................

39 40 42 43 45

KONDISI UMUM .............................................................................

49

4.1 Kondisi Geografis ......................................................................... 4.2 Iklim dan Cuaca ............................................................................ 4.2.1 Curah Hujan ........................................................................ 4.2.2 Suhu udara ........................................................................... 4.2.3 Angin ................................................................................... 4.2.4 Pasang surut ......................................................................... 4.2.5 Arus dan gelombang ............................................................ 4.2.6 Batimetri .............................................................................. 4.3 Kecamatan Pringkuku .................................................................. 4.3.1 Desa Dadapan ..................................................................... 4.3.2 Desa Poko ........................................................................... 4.3.3 Desa Candi ........................................................................... 4.3.4 Desa Jlubang ....................................................................... 4.3.5 Desa Watukarung ................................................................ 4.4 Kondisi Wisata ............................................................................. 4.5 Kondisi Perikanan ........................................................................

49 50 50 51 52 53 54 54 55 55 56 56 56 57 57 59

HASIL DAN PEMBAHASAN .........................................................

67

5.1 Kawasan Pesisir Kecamatan Pringkuku ....................................... 5.1.1 Pantai Tuguragung .............................................................. 5.1.2 Kawasan Srau ...................................................................... 5.1.2.1 Pantai Pare ............................................................ 5.1.2.2 Pantai Srau ............................................................ 5.1.2.3 Pantai Wayang ....................................................... 5.1.2.4 Pantai Gampar ....................................................... 5.1.2.5 Pantai Wawaran ..................................................... 5.1.2.6 Pantai Mblue ......................................................... 5.1.3 Kawasan Watukarung ......................................................... 5.1.3.1 Pantai Kreweng ..................................................... 5.1.3.2 Pantai Seruni ......................................................... 5.1.3.3 Pantai Peden ombo ................................................ 5.1.3.4 Pantai Kasap .......................................................... 5.1.3.5 Pantai Brecak ........................................................ 5.1.3.6 Pantai Watukarung ................................................ 5.1.3.7 Pantai Sirah towo .................................................. 5.1.3.8 Pantai Jantur .......................................................... 5.1.3.9 Pantai Ngalurombo ............................................... 5.1.3.10 Pantai Waduk ........................................................ 5.1.3.11 Pantai Ngalihan ..................................................... 5.1.3.12 Pantai Bresah ........................................................ 5.1.3.13 Pantai Geben .........................................................

67 67 67 68 69 70 71 72 73 74 74 75 75 76 77 78 79 79 80 81 82 83 84

3.5 3.6 3.7 3.8 4

5

xxi

5.2 5.3 5.4 5.5

Kualitas Air .................................................................................. Analisis Kesesuaian Kawasan ...................................................... Daya Dukung Kawasan ................................................................ Analisis Ekonomi ......................................................................... 5.5.1 Nilai wisata Kawasan Srau ................................................. 5.5.2 Nilai wisata Kawasan Watukarung ..................................... 5.5.3 Nilai perikanan .................................................................... 5.6 Analisis Kesenjangan (GAP Analisis) ......................................... 5.7 Analisis Kepuasan Wisatawan ..................................................... 5.7.1 Analisis Kepuasan Wisatawan Srau .................................... 5.7.2 Analisis Kepuasan Wisatawan Watukarung ....................... 5.8 Strategi Pengelolaan Kawasan ..................................................... 5.8.1 Strategi pengelolaan perikanan ........................................... 5.8.2 Strategi pengelolaan wisata pantai ...................................... 5.8.2.1 Strategi Pengelolaan Wisata di Kawasan Srau ..... 5.8.2.2 Strategi Pengelolaan Wisata di Kawasan Watukarung ...........................................................

85 89 91 95 95 96 96 97 102 102 105 109 109 111 111

SIMPULAN DAN SARAN ...............................................................

117

5.1 Simpulan ...................................................................................... 5.2 Saran ............................................................................................

117 117

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................

119

6

112

xxii

xxiii

DAFTAR TABEL Tabel

Halaman

1. Kegiatan wisata pantai dan bahari yang dapat dikembangkan .............

16

2. Pengembangan strategi untuk peningkatan pendapatan pada kegiatan perikanan berkelanjutan .......................................................................

19

3. Jenis, sumber, dan cara pengambilan data ...........................................

30

4. Data untuk analisis kesesuaian lahan ...................................................

30

5. Jenis dan sumber data untuk Effect on Production (EoP) ....................

31

6. Data yang dibutuhkan untuk pendekatan individu ..............................

32

7. Baku mutu air laut untuk wisata bahari (Keputusan No.51/MENLH/2004) .......................................................

32

8. Kriteria kesesuaian lahan untuk wisata pantai .....................................

34

9. Potensi ekologis wisatawan (K) dan luas area kegiatan (Lt) ................

38

10. Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata ............

38

11. Pembobotan peringkat untuk manajemen prioritas ..............................

45

12. Bobot dan indeks kepuasan dari kriteria utama ....................................

46

13. Bobot dan indeks kepuasan dari sub kriteria ........................................

47

14. Perhitungan indeks kepuasan wisatawan .............................................

47

15. Curah hujan dan hari hujan di Kecamatan Pringkuku Tahun 2011 .....

51

16. Suhu udara Kabupaten Pacitan Tahun 2011 .........................................

52

17. Kecepatan dan arah angin di Kabupaten Pacitan Tahun 2011 .............

52

18. Jumlah kunjungan wisatawan (orang) Di Srau dan Watukarung tahun 2000-2011 ............................................................................................

58

19. Produksi perikanan laut (kg) Kabupaten Pacitan menurut jenis ikan (Tahun 2005-2010) ..............................................................................

60

20. Jumlah produksi perikanan tangkap Kecamatan Pringkuku tahun 2005-2011 .............................................................................................

62

21. Jumlah kapal perikanan di Kecamatan Pringkuku Tahun 2003-2010 ..

64

22. Jumlah nelayan di Kecamatan Pringkuku Tahun 2003-2010 ...............

65

23. Jumlah alat tangkap Kecamatan Pringkuku Tahun 2010 .....................

65

24. Hasil pengukuran parameter kualitas air ..............................................

86

25. Analisis kesesuaian pantai untuk wisata ..............................................

90

26. Daya dukung ekologis kawasan pantai di Kecamatan Pringkuku ........

92

27. Jenis aktivitas yang dapat dilakukan di setiap area pantai ...................

94

xxiii

xxiv

28. Prioritas pengelolaan yang merupakan perkalian skor (dengan prioritas pengelolaan) ..........................................................................................

97

29. Tingkat kepuasan wisatawan (%) dari kriteria utama ...........................

102

30. Tingkat kepuasan wisatawan (%) dari sub kriteria ...............................

103

31. Bobot dan indeks kepuasan dari kriteria utama ....................................

104

32. Bobot dan indeks kepuasan dari sub kriteria ........................................

104

33. Tingkat kepuasan wisatawan (%) dari kriteria utama ...........................

105

34. Tingkat kepuasan wisatawan (%) dari sub kriteria ...............................

106

35. Bobot dan indeks kepuasan dari kriteria utama ....................................

107

36. Bobot dan indeks kepuasan dari sub kriteria ........................................

107

xxv

DAFTAR GAMBAR

Gambar

Halaman

1. Kerangka pemikiran penelitian ............................................................

5

2. Zonasi wilayah pesisir dan laut secara horisontal dan vertikal (Nybakken 1992) ..................................................................................

8

3. Kerangka pariwisata pesisir dan bahari (Hall 2001 dan Orams diacu dalam Adrianto 1999) ..........................................................................

12

4. Peta lokasi penelitian ............................................................................

26

5. Tahapan penelitian ...............................................................................

27

6. Gambaran overlay peta ........................................................................

43

7. Diagram aksi (Costumers Satisfaction Council 1995 diacu dalam Arabatzis dan Grogoroudis 2010) .......................................................

48

8. Peta wilayah pesisir Kabupaten Pacitan (Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Pacitan 2009) ......................................................

50

9. Pasang surut yang terjadi di pesisir Kabupaten Pacitan ......................

53

10. Batimetri Pantai Selatan Jawa .............................................................

54

11. Fluktuasi kunjungan wisatawan di Kawasan Srau dan Watukarung tahun 2000-2011 .............................................................................................

59

12. MSY Kabupaten Pacitan dari jenis ikan pelagis ..................................

61

13. MSY Kabupaten Pacitan dari jenis ikan demersal ...............................

61

14. Fluktuasi produksi perikanan di Kabupaten Pacitan dan Kecamatan Pringkuku (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pacitan 2011, diolah) ..................................................................................................

62

15. TPI Watukarung dan beberapa hasil tangkapan ...................................

63

16. Perahu motor tempel: (a) perahu bercadik, (b) perahu tanpa cadik, (c) perahu jukung; perahu tanpa motor: (d) perahu dayung ......................

64

17. Kondisi Pantai Tuguragung .................................................................

67

18. Kondisi Pantai Pare .............................................................................

68

19. Buah Baringtonia asiatica; [2] Ubur-ubur; [3] Pandanus sp. ............

69

20. Kondisi Pantai Srau .............................................................................

69

21. Beberapa sumberdaya yang dijumpai di Pantai Srau ..........................

70

22. Kondisi Pantai Wayang ........................................................................

70

23. Beberapa sumberdaya yang dijumpai di Pantai Wayang. ...................

71

24. Kondisi Pantai Gampar .......................................................................

71

25. Beberapa sumberdaya yang ditemukan di Pantai Gampar. .................

72

xxv

xxvi

26. Kondisi Pantai Wawaran (Dokumentasi Pribadi 2012). .......................

72

27. [1] Batuan karang yang biasa di ambil masyarakat; [2] Alat tangkap krendet (untuk menangkap lobster) .....................................................

73

28. Kondisi Pantai Mblue ..........................................................................

73

29. [1] Kepiting; [2] Ophiuroidea; [3] Callophyllum inophyllum (Nyamplung); [4] Diadema sp. ............................................................

74

30. Kondisi Pantai Kreweng ......................................................................

75

31. Kondisi Pantai Seruni ..........................................................................

75

32. Kondisi Pantai Peden Ombo ................................................................

76

33. Kondisi Pantai Kasap ...........................................................................

76

34. [1] Pandanus sp; [2] Trochus (kerang lola); [3] Polychaeta (cacing laut); [4] Diadema sp (bulu babi) dan Ophiuroidea (bintang ular).................

77

35. Kondisi Pantai Brecak ...........................................................................

77

36. Nerita (Kelompok Moluska, Kelas Gastropoda) .................................

78

37. Kondisi Pantai Watukarung

..............................................................

78

38. [1] Clerodendrum sp.; [2] Acanthus sp..................................................

79

39. Kondisi Pantai Sirahtowo ......................................................................

79

40. Kondisi Pantai Jantur ...........................................................................

80

41. Kondisi Pantai Ngalurombo .................................................................

80

42. [1] Kepiting; [2] Ophiuroidea (bintang ular); [3] Boergesenia forbesii (alga hijau); [4] Alga hijau; [5] Polychaeta (cacing laut). ....................

81

43. Kondisi Pantai Waduk .........................................................................

82

44. Kondisi Pantai Ngalihan ......................................................................

82

45. [1] Pecahan batu karang yang dikumpulkan untuk di jual; [2] Pandanus sp. .........................................................................................................

83

46. Kondisi Pantai Bresah ..........................................................................

83

47. [1] Pulau Wayang; [2] Pulau Ledek ....................................................

84

48. Kondisi Pantai Geben ..........................................................................

84

49. Pandanus sp. di Pantai Geben .............................................................

85

50. Selisih nilai ekonomi di kawasan Srau dan Watukarung ......................

98

51. Pemanfaatan area di Kawasan Srau (Data primer diolah 2012) ...........

100

52. Pemanfaatan area di Kawasan Watukarung (Data primer diolah 2012) .....................................................................

101

53. Diagram aksi kepuasan wisatawan pada kriteria utama .......................

108

xxvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

Halaman

1. Alat dan bahan pengukuran contoh kualitas perairan ..........................

127

2. Kuisisoner untuk wisatawan .................................................................

128

3. Peta Desa Dadapan ...............................................................................

132

4. Peta Desa Poko .....................................................................................

133

5. Peta Desa Candi ....................................................................................

134

6. Peta Desa Jlubang .................................................................................

135

7. Peta Desa Watukarung .........................................................................

136

8. Peta Pantai Tuguragung ........................................................................

137

9. Peta Kawasan Wisata Srau ...................................................................

138

10. Beberapa Pulau Teras Terangkat di Kawasan Srau ..............................

139

11. Peta Kawasan Watukarung ...................................................................

140

12. Beberapa Pulau Teras Terangkat di Kawasan Watukarung .................

141

13. Titik pengambilan sampel air ...............................................................

142

14. Peta Kesesuaian wisata pantai ...............................................................

143

15. Peta kesesuaian wisata Pantai Pare ......................................................

144

16. Peta kesesuaian wisata Pantai Srau ......................................................

145

17. Peta kesesuaian wisata Pantai Wayang ................................................

146

18. Peta kesesuaian wisata Pantai Gampar .................................................

147

19. Peta kesesuaian wisata Pantai Wawaran ..............................................

148

20. Peta kesesuaian wisata Pantai Mblue ...................................................

149

21. Peta kesesuaian wisata Pantai Kreweng ...............................................

150

22. Peta kesesuaian wisata Pantai Seruni ...................................................

151

23. Peta kesesuaian wisata Pantai Peden ombo ..........................................

152

24. Peta kesesuaian wisata Pantai Kasap ....................................................

153

25. Peta kesesuaian wisata Pantai Brecak ..................................................

154

26. Peta kesesuaian wisata Pantai Watukarung ..........................................

155

27. Peta kesesuaian wisata Pantai Sirah towo ............................................

156

28. Peta kesesuaian wisata Pantai Jantur ....................................................

157

29. Peta kesesuaian wisata Pantai Ngalurombo .........................................

158

30. Peta kesesuaian wisata Pantai Waduk ..................................................

159

xxvii

xxviii

31. Peta kesesuaian wisata Pantai Ngalihan ...............................................

160

32. Peta kesesuaian wisata Pantai Bresah ...................................................

161

33. Peta kesesuaian wisata Pantai Geben ....................................................

162

34. Perhitungan Nilai Ekonomi Kawasan Srau (kondisi aktual) ................

163

35. Perhitungan Nilai Ekonomi Kawasan Srau (kondisi daya dukung) .....

165

36. Perhitungan nilai ekonomi Kawasan Watukarung (kondisi aktual) .....

167

37. Perhitungan nilai ekonomi Kawasan Watukarung (sesuai daya dukung) .................................................................................................

169

38. Perhitungan Nilai Ekonomi Perikanan .................................................

171

39. Peta Daerah Penangkapan Ikan Nelayan Watukarung .........................

173

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Kawasan pesisir merupakan ekosistem yang kompleks dan mempunyai nilai sumberdaya alam yang tinggi. Sumberdaya alam yang terdapat di kawasan pesisir antara lain perikanan, pasir, air laut, mikro organisme, mangrove, terumbu karang dan lamun (Balitbang 2003). Kabupaten Pacitan merupakan salah satu kabupaten yang memiliki kawasan pesisir yang tersebar sepanjang wilayah bagian selatan. Kabupaten Pacitan terletak di Provinsi Jawa Timur yang memiliki luas wilayah ± 1.389,87 km². Panjang garis pantai 70,709 km terbentang pada tujuh wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Sudimoro, Ngadirojo, Tulakan, Kebonagung, Pacitan, Pringkuku, dan Donorojo Wilayah pesisir Kabupaten Pacitan berbatasan langsung dengan pantai selatan Pulau Jawa yang memiliki karakteristik gelombang yang cukup besar. Rata-rata tinggi gelombang di tepi pantai melebihi 1,5 m dengan karakteristik pantainya yang berpasir dari yang landai sampai curam. Lingkup perencanaan ruang kawasan pesisir dan laut untuk wilayah daratan meliputi 951,03 km², ditambah wilayah lautan sejauh 4 mil dari batas pantai (± 523,82 km²). Berdasarkan data dari Pemerintah Kabupaten Pacitan, luas perairan laut untuk wilayah 12 mil dari batas pantai sebesar 1.571,44 km², sedangkan perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) seluas 26.190,62 km² (Balitbang 2003). Kawasan pesisir di Kabupaten Pacitan telah banyak dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas dengan melibatkan berbagai pihak. Pemanfaatan yang dilakukan berupa kegiatan wisata dan perikanan (sebagian besar penangkapan dan beberapa melakukan budidaya). Berbagai kegiatan pemanfaatan tersebut rentan terhadap benturan kepentingan antar lembaga atau sektor terkait.

Salah satu

kawasan pesisir yang dimanfaatkan untuk kegiatan wisata maupun perikanan adalah Kecamatan Pringkuku yang memiliki panjang garis pantai 15,779 km. Karakteristik wilayah pesisirnya yang terdiri atas pantai pasir putih dengan batuan karst yang dimanfaatkan untuk kegiatan wisata. Selain itu juga terdapat Tempat Pendaratan Ikan (TPI Watukarung) untuk mendaratkan hasil tangkapan nelayan.

2

Kegiatan perikanan di Kecamatan Pringkuku masih terbatas dalam skala kecil, dengan menggunakan alat tangkap yang masih tradisional (misalnya jaring dan pancing). Pemanfaatan wilayah pesisir di Kecamatan Pringkuku untuk kegiatan wisata dan perikanan masih belum diatur dan dikelola secara optimal oleh pemerintah daerah setempat. Beberapa permasalahan yang dihadapi dalam pemanfaatan wilayah di kawasan ini antara lain adanya konflik pemanfaatan wilayah, isu dan permasalahan biofisik (abrasi, kerusakan sumberdaya), keterbatasan aksesibilitas dan masalah perikanan (keterbatasan kemampuan nelayan lokal). Pemanfaatan ruang untuk kegiatan wisata dan perikanan masih bersifat alami dimana pemanfaatan ruang masih dititik beratkan di wilayah darat dan masih dalam konteks pemanfaatan jasa-jasa lingkungan sehingga potensi sumberdaya alam yang ada di wilayah ini belum dimanfaatkan secara optimal. 1.2 Perumusan Masalah Kecamatan Pringkuku memiliki potensi pantai berpasir putih yang terhampar sepanjang 15,779 km. Pantai berpasir di Kecamatan Pringkuku memiliki lingkungan yang masih alami dan memiliki potensi perikanan yang cukup baik dengan jenis ikan yang beragam. Fishing ground dan kondisi perairan yang masih baik serta potensi sumberdaya pesisir yang ada dapat dimanfaatkan untuk kegiatan wisata dan perikanan. Pemanfaatan potensi tersebut belum dilakukan dengan optimal. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya sumberdaya yang belum termanfaatkan, kurangnya fasilitas pendukung (baik dari segi kondisi maupun jumlah) serta kondisi fasilitas yang kurang terawat. Selain itu, kegiatan pemanfaatan belum banyak memberikan pengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan. Pada kegiatan perikanan, potensi yang ada juga belum dimanfaatkan dengan optimal. Hal ini dapat dilihat dari kondisi armada penangkapan dan keterampilan nelayan yang masih terbatas sehingga tingkat kesejahteraan nelayannya masih rendah. Selama ini belum dilakukan penelitian yang mendetail untuk mengkaji kondisi, potensi dan pengelolaan yang ada di kawasan pesisir Kecamatan Pringkuku. Apabila pemanfaatan dapat dioptimalkan maka akan berkontribusi terhadap kesejahteraan nelayan, dan masyarakat sekitar kawasan. Pemanfaatan

3

yang dilakukan oleh masyarakat masih bersifat tradisional dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan mengesampingkan aspek kelestarian sumberdaya dan lingkungan. Pola pemanfaatan seperti ini dalam jangka panjang akan memberikan ancaman terhadap keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan di Kecamatan Pringkuku. Untuk dapat menyusun konsep pengelolaan kawasan pesisir secara terpadu dan bertanggungjawab diperlukan data yang akurat terkait dengan pemanfaatan potensi eksisting, nilai ekonomi kawasan, kesesuaian ruang dan daya dukung lingkungan. Data yang akurat dan baru akan menentukan keakuratan konsep pengelolaan yang dihasilkan. Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan permasalahan yang akan dijawab melalui penelitian ini adalah: 1) Bagaimana tingkat pemanfaatan ruang di kawasan pesisir Kecamatan Pringkuku? 2) Bagaimana kondisi kesesuaian dan daya dukung kawasan untuk kegiatan wisata? 3) Bagaimana tingkat pemanfaatan dari nilai ekonomi kawasan pesisir di Kecamatan Pringkuku yang dimanfaatkan untuk kegiatan wisata dan perikanan? 4) Bagaimana konsep pengelolaan kawasan pesisir di Kecamatan Pringkuku yang memperhatikan kelestarian keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan? 1.3 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) Menganalisis tingkat pemanfaatan ruang di kawasan pesisir Kecamatan Pringkuku, 2) Menganalisis kesesuaian dan daya dukung kawasan untuk kegiatan wisata, 3) Menganalisis tingkat pemanfaatan kawasan dari nilai ekonomi kawasan pesisir di Kecamatan Pringkuku yang dimanfaatkan untuk kegiatan wisata dan perikanan 4) Menyusun strategi pengelolaan kawasan pesisir Kecamatan Pringkuku yang berkelanjutan.

4

1.4 Kerangka Pemikiran Pengelolaan kawasan pesisir Kecamatan Pringkuku saat ini dapat diketahui dengan terlebih dahulu melakukan identifikasi potensi (wisata dan perikanan) dan identifikasi sumberdaya alam yang terdapat di kawasan tersebut. Penilaian tingkat pemanfaatan eksisting terhadap potensi sumberdaya alam dilakukan secara ekologi dan ekonomi. Penilaian ekologi mencakup identifikasi dan analisis keseuaian ruang dengan kondisi pemanfaatan yang disertai dengan analisis dan perhitungan daya dukung ekologinya. Penilaian ekonomi dilakukan untuk menganalisis seberapa besar nilai ekonomi sumberdaya alam yang telah dimanfaatkan dan potensi peningkatan yang masih dapat dilakukan melalui pengelolaan yang optimal. Hasil analisis nilai pemanfaatan eksisting dan potensi pemanfaatan yang masih dapat dikembangkan selanjutnya dievaluasi menggunakan analisis kesejangan (GAP analisis) untuk mengetahui gap yang terjadi antara kondisi yang sesuai daya dukung dan kondisi yang tidak sesuai daya dukung. Berdasarkan hasil identifikasi potensi, daya dukung ekologi, kesesuaian ruang dan nilai ekonomi serta adanya kesenjangan antara potensi dan tingkat pemanfaatan maka selanjutnya disusun strategi pengelolaan kawasan pesisir Kecamatan Pringkuku untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi yang ada.

Kerangka pemikiran

pengelolaan kawasan pesisir di Kecamatan Pringkuku seperti pada Gambar 1. 1.5 Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian diharapkan dapat menyediakan data potensi dan kondisi sumberdaya yang ada, informasi kesesuaian pemanfaatan ruang untuk kegiatan wisata dan perikanan yang sesuai dengan daya dukung lingkungan, menjadi masukan dan rekomendasi bagi pemerintah daerah setempat dalam penyusunan kebijakan dan program-program pengelolaan kawasan pesisir di Kabupaten Pacitan.

5

Kawasan Pesisir Kecamatan Pringkuku

Sumberdaya Alam

Pemanfaatan eksisting

Wisata

Ekologi

Kesesuaian ruang

Daya dukung ekologi

Potensi pemanfaatan

Estimasi nilai ekonomi

Nilai ekonomi

Evaluasi pemanfaatan

Strategi Pengelolaan

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.

Perikanan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pesisir Kawasan pesisir merupakan wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Arti wilayah pesisir yang digunakan di Indonesia adalah daerah pertemuan antara darat dan laut. Wilayah pesisir ke arah darat meliputi bagian daratan baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin. Wilayah pesisir ke arah laut mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto 1976 in Dahuri et al. 2004). Bengen (2001) menyatakan kawasan pesisir dari sudut ekologis sebagai lokasi dari beberapa ekosistem yang unik dan saling terkait, dinamis dan produktif. Bila ditinjau dari garis pantai (coast line), wilayah pesisir memiliki dua macam batas, yaitu batas yang sejajar garis pantai (long shore) dan batas yang tegak lurus terhadap garis pantai (cross shore) (Dahuri et al. 2004). Kawasan pesisir memiliki satu atau lebih ekosistem dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir merupakan ekosistem yang dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, di darat maupun di laut, serta saling berinteraksi antara habitat tersebut. Ekosistem pesisir dapat bersifat alami ataupun buatan (manmade). Ekosistem alami yang terdapat di kawasan pesisir antara lain terumbu karang (coral reef), hutan mangrove, padang lamun, pantai berpasir (sandy beach), formasi pes-caprae, formasi baringtonia, estuaria, laguna dan delta. Ekosistem buatan antara lain berupa tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri, agroindustri dan kawasan pemukiman (Dahuri et al. 2004). Menurut Nybakken (1992), wilayah pesisir dapat dilihat dari segi horizontal dan vertikal (Gambar 2). Secara horizontal kawasan pelagik terbagi menjadi dua yaitu laut pesisir (zona neritik) yang mencakup daerah paparan benua dan laut lepas (lautan atau zona oseanik). Ekosistem pesisir mempunyai kemampuan terbatas terhadap masukan limbah. Kemampuan tersebut sangat tergantung pada volume dan jenis limbah yang masuk. Apabila limbah tersebut

8

melampaui kemampuan asimilasi perairan pesisir, maka kerusakan ekosistem dalam bentuk pencemaran akan terjadi. Sumberdaya di kawasan pesisir terdiri dari sumberdaya alam yang dapat pulih dan sumberdaya alam yang tidak dapat pulih. Sumberdaya yang dapat pulih meliputi sumberdaya perikanan (plankton, bentos, ikan, moluska, krustacea, mamalia laut), rumput laut, padang lamun, hutan mangrove dan terumbu karang. Sumberdaya yang tidak dapat pulih dapat berupa minyak dan gas, bijih besi, pasir, timah, bauksit dan mineral serta bahan tambang lainnya. Pada kelompok sumberdaya yang dapat pulih, hidup dan berkembang berbagai macam biota laut, sehingga dengan keanekaragaman sumberdaya tersebut diperoleh potensi jasa-jasa lingkungan yang dapat dimanfaatkan untuk perkembangan wisata (Dahuri et al. 2004).

Gambar 2 Zonasi wilayah pesisir dan laut secara horizontal dan vertikal (Nybakken 1992). Wilayah pesisir menarik untuk urbanisasi, industrialisasi, wisata, tujuan liburan, perikanan, akuakultur dan banyak aktivitas lainnya. Akhir-akhir ini mulai banyak timbul keinginan untuk melindungi lingkungan alam dan alam bawah laut.

9

Di kawasan pesisir sering terjadi konflik, konflik yang berlangsung antara aktifitas manusia dan wilayah yang menjadi tempat hidup fauna. Salah satu konflik yang penting yaitu berasal dari wisata komersial dan adanya keinginan untuk melindungi alam (Bellan dan Bellan-Santini 2001). Pantai berpasir dicirikan dengan adanya pasir, gelombang dan pasang surut, dengan kisaran dari sempit dan terjal terhadap luas dan ada yang datar, pasir menjadi lebih luas saat surut dan lebih sempit saat pasang, (Short 1999, Finkl 2004 in Defeo et al. 2009). Pantai berhubungan dengan ombak dan terdapat transpor dan pergantian pasir (Komar 1998 in Defeo et al. 2009). Transpor pasir dikendalikan oleh gelombang pada sisi basah dan angin pada sisi yang kering (Defeo et al. 2009)

2.2 Pariwisata dan Ekowisata 2.2.1 Pariwisata Pariwisata dalam arti luas merupakan kegiatan rekreasi di luar domisili dengan tujuan untuk melepaskan diri dari pekerjaan rutin atau mencari suasana lain (Damanik dan Weber 2006). Pariwisata juga dapat diartikan sebagai suatu perjalanan yang dilakukan untuk sementara waktu, diselenggarakan dari suatu tempat ke tempat lain dengan maksud bukan untuk mencari nafkah di tempat yang dikunjungi, melainkan untuk menikmati perjalanan. Wisata merupakan bentuk pemanfaatan sumberdaya alam yang mengandalkan jasa alam untuk kepuasan manusia. Kegiatan manusia untuk kepentingan wisata dikenal juga dengan pariwisata (Yulianda 2007). Menurut Munasef (1995) in Sulaksmi (2007), kegiatan pariwisata terdiri dari tiga unsur utama. Tiga unsur tersebut diantaranya: 1) Manusia (man) yang merupakan orang yang melakukan perjalanan dengan maksud menikmati keindahan dari suatu tempat (alam), 2) Ruang (space) yang merupakan daerah atau ruang lingkup tempat melakukan perjalanan, 3) Waktu (time) yang merupakan waktu yang digunakan selama dalam perjalanan dan tinggal di daerah tujuan wisata.

10

Berbagai istilah dalam pariwisata telah dikenal luas oleh masyarakat. Dalam UU No 9 tahun 1990 (Menteri Sekretaris Negara 1990), beberapa istilah yang berhubungan dengan kegiatan pariwisata antara lain: 1) Wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati objek dan daya tarik wisata, 2) Wisatawan adalah orang yang melakukan kegiatan wisata, 3) Pariwisata adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata, termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut, 4) Kepariwisataan

adalah

segala

sesuatu

yang

berhubungan

dengan

penyelenggaraan pariwisata, 5) Usaha pariwisata adalah kegiatan yang bertujuan menyelenggarakan jasa pariwisata atau menyediakan atau mengusahakan objek dan daya tarik wisata, usaha sarana pariwisata dan usaha lain yang terkait di bidang tersebut, 6) Objek dan daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang menjadi sasaran wisata, 7) Kawasan pariwisata adalah kawasan dengan luas tertentu yang dibangun atau disediakan untuk memenuhi kebutuhan pariwisata. Dalam kegiatan pariwisata aspek lingkungan merupakan bagian yang harus diperhatikan (Dahuri 2003). Strategi pariwisata yang berhasil adalah terpenuhinya manfaat maksimal ketika pelestarian lingkungan terlaksana dengan dengan baik. Manfaat maksimal dari kegiatan pariwisata tersebut diindikasikan oleh adanya sejumlah kunjungan turis atau wisatawan baik dari luar maupun dalam negeri pada objek wisata yang dimaksud. Istilah “tourism” (kepariwisataan) mencakup orang-orang yang melakukan perjalanan pergi dari rumahnya dan perusahaan-perusahaan yang melayani mereka dengan cara memperlancar atau mempermudah perjalanan mereka atau membuatnya lebih menyenangkan.

Seorang wisatawan didefinisikan sebagai

seseorang yang berada jauh dari tempat tinggalnya dimana jarak jauhnya ini berbeda-beda (Lunberg et al. 1997). Marpaung (2002) sebagai berikut :

Definisi wisatawan menurut WTO in

11

1) Pengunjung adalah setiap orang yang berkunjung ke suatu negara lain dimana ia mempunyai tempat tinggal, dengan alasan melakukan pekerjaan yang diberikan oleh negara yang dikunjunginya, 2) Wisatawan adalah setiap orang yang bertempat tinggal di suatu negara tanpa memandang kewarganegaraannya, berkunjung ke suatu tempat pada negara yang sama untuk jangka waktu lebih dari 24 jam dengan tujuan perjalanannya dapat diklasifikasikan pada salah satu hal berikut: (1) memanfaatkan waktu luang untuk berekreasi, liburan, kesehatan, pendidikan, keagamaan dan olahraga, (2) bisnis atau mengunjungi kaum keluarga. Dahuri et al. (2004) menyatakan, pariwisata pesisir adalah kegiatan rekreasi yang dilakukan di sekitar pantai seperti berenang, berselancar, berjemur, berperahu, menyelam, snorkling, beachombing/reef walking, berjalan-jalan atau berlari sepanjang pantai, dan menikmati keindahan suasana pesisir. Dahuri (2003) menyatakan bahwa pariwisata pesisir diasosiasikan dengan tiga “S” (sun, sea dan sand) yaitu jenis pariwisata yang menyediakan keindahan dan kenyamanan alami dari kombinasi cahaya matahari, laut dan pantai berpasir bersih. Hall (2001) in Adrianto (2006a) mengemukakan tentang konsep pariwisata pesisir yang mencakup rentang penuh pariwisata, hiburan, dan kegiatan yang berorientasi rekreasi yang terjadi di zona pantai dan perairan pantai. Pariwisata pesisir juga termasuk di dalamnya pengembangan pariwisata pesisir seperti akomodasi, restoran, industri makanan dan infrastruktur pendukung pembangunan pesisir. Pariwisata juga mencakup kegiatan wisata seperti rekreasi berperahu, rekreasi pantai dan laut berbasis ekowisata, kapal pesiar, berenang, memancing, snorkling dan menyelam. Kelly (1996) in Sulaksmi (2007) menyatakan klasifikasi bentuk wisata yang dikembangkan berdasarkan pada bentuk utama atraksi atau daya tariknya yang kemudian ditekankan pada pemasarannya. Bentuk wisata tersebut antara lain ekowisata (ecotourism), wisata alam (nature tourism), wisata petualangan (adventure tourism), wisata berdasarkan waktu (gateway and stay) dan wisata budaya (cultural tourism). Menurut Gunn (1994) in Sulaksmi (2007), bentukbentuk wisata dikembangkan dan direncanakan berdasarkan hal-hal berikut:

12

1) Kepemilikan (ownship) atau pengelolaan areal wisata tersebut yang dapat dikelompokkan ke dalam tiga sektor yaitu sektor pemerintahan, sektor organisasi nir laba, dan perusahaan konvensional, 2) Sumberdaya (resource), yaitu alam (natural) atau budaya (cultural), 3) Perjalanan wisata/lama tinggal (touring/longstay), 4) Tempat kegiatan yaitu di dalam ruangan (indoor) atau di luar ruangan (outdoor), 5) Wisatawan utama atau wisatawan penunjang (primary/secondary), 6) Daya dukung (carrying capacity) tampak dengan tingkat penggunaan pengunjung yaitu intensif, semi intensif dan ekstensif. Konsep pariwisata pesisir (coastal tourism) merupakan hal-hal yang terkait dengan kegiatan wisata, hal-hal yang menyenangkan dan aktivitas rekreasi yang dilakukan di wilayah pesisir dan perairannya (Hall 2001 in Adrianto 2006a). Sementara itu, Orams (1999) in Adrianto (2006a) mendefinisikan pariwisata bahari (marine tourism) sebagai aktivitas rekreasi yang meliputi perjalanan dari satu tempat ke tempat lain dan fokus pada lingkungan pesisir (Gambar 3).

Aktivitas di pantai

-

Melihat pemandangan Wisata pantai dll

Aktivitas di air

-

Menyelam Berperahu Snorkling dll

Pariwisata pesisir dan bahari

Gambar 3 Kerangka pariwisata pesisir dan bahari (Hall 2001 dan Orams 1999 in Adrianto 2006a). Konsep pariwisata pesisir yang selama ini dilaksanakan telah mengalami perkembangan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lingkungan yang ada. Perkembangan keberlanjutan

konsep dalam

tersebut penerapan

telah

mendorong

pariwisata

ditekankannya

persisir.

Pariwisata

aspek pesisir

berkelanjutan (sustainable coastal tourism) adalah pariwisata yang dapat memenuhi kebutuhan wisatawan maupun daerah tujuan wisata pada saat kini,

13

sekaligus melindungi dan mendorong kesempatan serupa di masa yang akan datang. Pariwisata berkelanjutan mengarah pada pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan sedemikian rupa sehingga kebutuhan ekonomi, sosial, estetika dapat terpenuhi sekaligus memelihara integritas budaya, proses ekologi, keanekaragaman hayati dan sistem pendukung kehidupan (WTO 1980 in Marpaung 2002). Pariwisata pesisir yang berkelanjutan harus dapat memenuhi kebutuhan generasi saat ini, tanpa mengorbankan kepentingan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya. Pariwisata pantai merupakan bagian dari wisata pesisir yang memanfaatkan pantai sebagai objek dan daya tarik pariwisata yang dikemas dalam paket wisata. Pariwisata pantai meliputi semua kegiatan wisata yang berlangsung di daerah pantai seperti menikmati keindahan alam pantai, olahraga pantai, sun bathing, piknik, berkemah dan berenang di pantai. Pada perkembangannya, jenis kegiatan wisata yang dapat dilakukan di pantai sangat beragam tergantung pada potensi dan arah pengembangan wisata di suatu kawasan pantai tertentu. Jumlah wisatawan yang meningkat dapat memberikan dampak terhadap penurunan jumlah kunjungan apabila melampaui daya dukung. Dampak wisata terhadap masyarakat terdapat beberapa jenis sehingga terdapat enam kategori (Diedrich dan Garcia-Buades 2009): 1. Dampak ekonomi (seperti: bertambahnya pendapatan (uang), bertambahnya lapangan pekerjaan pekerjaan) 2. Perkembangan masyarakat (seperti: bertambahnya fasilitas, bertambahnya infrastruktur) 3. Dampak negatif sosial (seperti: kejahatan, serakah) 4. Dampak positif sosial (seperti: sadar budaya) 5. Dampak positif lingkungan (sadar lingkungan) 6. Dampak negatif lingkungan (pencemaran) 2.2.2 Ekowisata Ekowisata pertama kali diperkenalkan pada tahun 1990 oleh organisasi The Ecotourism Society, sebagai perjalanan ke daerah-daerah yang masih alami yang dapat mengkonservasi lingkungan dan memelihara kesejahteraan masyarakat setempat (Blangy dan Wood 1993 in Linberg dan Hawkins 1993). Ekowisata

14

merupakan wisata berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan sumberdaya alam dan industri kepariwisataan (META 2002). Kegiatan ekowisata dapat menciptakan dan memuaskan keinginan akan alam, tentang eksploitasi potensi wisata untuk konservasi dan pembangunan serta mencegah dampak negatif terhadap ekosistem, kebudayaan, dan keindahan (Western 1993 in Lindberg dan Hawkins 1993). Pada awalnya ekowisata dilakukan oleh wisatawan pecinta alam yang menginginkan daerah tujuan wisata tetap utuh dan lestari, dimana budaya dan kesejahteraan masyarakatnya tetap terjaga. Ekowisata berkembang karena banyak disukai oleh wisatawan yang ingin berkunjung ke daerah alami. Ekowisata kemudian didefinisikan sebagai bentuk baru dari perjalanan bertanggungjawab ke area alami dan berpetualang yang dapat menciptakan industri pariwisata (Eplerwood 1999 in Fandeli dan Muchlison 2000). Ekowisata dapat berkontribusi untuk melindungi keanekaragaman dan fungsi ekosistem dalam pengelolaan (Goosling 1999). Ekowisata merupakan kegiatan wisata yang berbasis kepada potensi keindahan alam dan secara bersamaan membantu dalam menjaga kelestarian lingkungan. Tujuan utama ekowisata adalah sebagai sumber pendapatan ekonomi baik bagi masyarakat lokal maupun pemerintah tanpa mengorbankan kelestarian lingkungan dan bersifat berkelanjutan. Beberapa prinsip penting dalam pengembangan ekowisata yaitu (1) berbasis lingkungan yang alami, (2) mendukung konservasi, (3) pemanfaatan yang merujuk pada etika, (4) meminimalkan dampak, (5) memberikan manfaat sosial-ekonomi kepada masyarakat, (6) kepuasan wisatawan dan (7) manajemen pengelolaan yang mendukung seluruh unsur-unsur tersebut (Fennell 2001 in Tsaur et al. 2006 ). Sumberdaya yang dimanfaatkan dalam ekowisata terdiri atas sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang dapat diintegrasikan menjadi komponen terpadu bagi pemanfaatan wisata. Berdasarkan konsep pemanfaatan, wisata dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok yaitu (Fandeli 2000; META 2002): 1) Wisata alam (nature tourism), merupakan aktivitas wisata yang ditujukan pada pengalaman terhadap kondisi alam atau daya tarik panoramanya,

15

2) Wisata budaya (cultural tourism), merupakan wisata dengan kekayaan budaya sebagai obyek wisata dengan penekanan pada aspek pendidikan, 3) Ekowisata (Ecotourism, green tourism atau alternative tourism), merupakan wisata berorientasi pada lingkungan untuk menjembatani kepentingan perlindungan sumberdaya alam/lingkungan dan industri kepariwisataan. From (2004) in Damanik dan Weber (2006) menyusun tiga konsep dasar tentang ekowisata. Pertama, perjalanan outdoor dan di kawasan alam yang tidak menimbulkan

kerusakan

lingkungan.

Kedua,

wisata

ini

mengutamakan

penggunaan fasilitas yang diciptakan dan dikelola oleh masyarakat kawasan wisata. Ketiga, perjalanan wisata ini menaruh perhatian besar pada lingkungan alam dan budaya lokal. Ekowisata memiliki beberapa prinsip (TIES 2000 in Damanik dan Weber 2006), yaitu sebagai berikut: 1) Mengurangi dampak negatif berupa kerusakan atau pencemaran lingkungan dan budaya lokal akibat kegiatan wisata, 2) Membangun kesadaran dan penghargaan atas lingkungan dan budaya di destinasi wisata, baik pada diri wisatawan, masyarakat lokal maupun pelaku wisata lainnya, 3) Menawarkan pengalaman-pengalaman positif bagi wisatawan maupun penduduk lokal, 4) Memberikan keuntungan finansial secara langsung bagi keperluan konservasi melalui kontribusi, 5) Memberikan keuntungan finansial dan pemberdayaan bagi masyarakat lokal dengan menciptakan produk wisata yang mengedepankan nilai-nilai lokal, 6) Meningkatkan kepekaan terhadap situasi sosial, lingkungan dan politik di daerah tujuan wisata, 7) Menghormati hak asasi manusia dan perjanjian kerja, dalam arti memberikan kebebasan kepada wisatawan dan masyarakat lokal untuk menikmati atraksi wisata sebagai wujud hak asasi, serta tunduk pada aturan main yang adil dan disepakati bersama dalam transaksi-transaksi wisata. Kegiatan wisata yang dapat dikembangkan dengan konsep ekowisata bahari dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu wisata pantai dan wisata bahari. Menurut

16

Yulianda (2007), wisata pantai merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan sumberdaya pantai dan budaya masyarakat pantai seperti rekreasi, olahraga dan menikmati pemandangan, sedangkan wisata bahari merupakan kegiatan wisata yang mengutamakan sumberdaya bawah laut dan dinamika air laut (Tabel 1). Wisata pantai lebih banyak melakukan aktivitas wisata di area pantai berpasir. Wisata bahari lebih banyak melakukan aktivitas di perairannya seperti snorkling, selam dan lainnya. Tabel 1 Kegiatan wisata pantai dan bahari yang dapat dikembangkan Wisata Pantai 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Rekreasi pantai Panorama Resort/peristirahatan Berenang, berjemur Olahraga pantai (volley pantai, jalan pantai, lempar cakram, dll) Berperahu Memancing Wisata mangrove

Wisata Bahari 1. 2. 3. 4.

Rekreasi pantai dan laut Resort/peristirahatan Wisata selam (diving) dan wisata snorkling Selancar, jet ski, banana boat, perahu kaca, kapal selam 5. Wisata ekosistem lamun, wisata nelayan, wisata pulau, wisata pendidikan, wisata pancing 6. Wisata satwa (penyu, duyung, paus, lumbalumba, burung, mamalia, buaya)

Sumber: Yulianda (2007)

Ekowisata tidak dapat dipisahkan dari wisata pesisir. Kegiatan ekowisata selain memberikan dampak positif juga dapat membawa dampak negatif terhadap lingkungan di sekitarnya, baik dampak negatif terhadap lingkungan obyek wisata alam itu sendiri maupun terhadap lingkungan sosial budaya setempat. Dampak negatif terhadap alam umumnya terjadi sebagai akibat dari perencanaan dan pengelolaan yang kurang baik, misalnya perencanaan pengembangan kegiatan wisata yang tidak memperhatikan daya dukung lingkungan dan kurangnya pengetahuan, kesadaran serta pendidikan masyarakat dan wisatawan terhadap kelestarian lingkungan (Soeriaatmaja 1997). Perkembangan ekowisata telah mampu memberikan keuntungan sosial, ekonomi dan ekologi/lingkungan pada berbagai wilayah pesisir. Kecenderungan wisatawan untuk menikmati wisata di wilayah pesisir telah mendorong pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut.

Berkembangnya kawasan pesisir

menjadi daerah ekowisata akan meningkatkan jumlah masyarakat yang terlibat dalam kegiatan pariwisata dan secara tidak langsung akan memberikan dampak positif terhadap peningkatan fasilitas dan aksesibilitas (Ulhaq 2006).

17

2.3 Perikanan Dalam UU No. 31 Tahun 2004 junto UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan, definisi perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Kegiatan perikanan di wilayah pesisir dapat dibedakan dalam 2 kategori utama yaitu perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Perikanan tangkap di Indonesia, menurut lokasi kegiatannya dikelompokkan menjadi perikanan lepas pantai, perikanan pantai dan perikanan darat. Perikanan pantai adalah kegiatan menangkap ikan, udang, kerang-kerangan dan hewan air lainnya yang secara liar hidup di perairan sekitar pantai. Komponen utama perikanan tangkap adalah unit penangkapan yang terdiri atas alat tangkap, kapal dan nelayan. Unit penangkapan tersebut merupakan satu kesatuan

yang saling mempengaruhi dan

sangat menentukan

terhadap

keberhasilan usaha perikanan tangkap. Menurut Kesteven (1973), komponenkomponen perikanan tangkap terdiri atas sarana produksi, usaha penangkapan, prasarana pelabuhan, unit pengolahan, unit pemasaran dan unit pembinaan. 1) Sarana produksi Sarana

produksi

merupakan

salah

satu

fasilitas

yang

menunjang

berlangsungnya kegiatan perikanan. Sarana produksi tersebut antara lain penyediaan alat tangkap, pabrik es, galangan, instalasi, air tawar, instalasi listrik, dan pendidikan pelatihan tenaga kerja. 2) Usaha penangkapan Usaha penangkapan terdiri dari unit penangkapan, aspek legal dan unit sumber daya. Unit penangkapan adalah kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan yang terdiri dari kapal, alat tangkap dan nelayan. Aspek legal menyangkut sistem informasi dan perijinan. Unit sumberdaya terdiri dari spesies, habitat seperti mangrove, terumbu karang dan padang lamun serta musim. 3) Prasarana pelabuhan Pembangunan pelabuhan perikanan di Indonesia merupakan tanggung jawab pemerintah. Pelabuhan perikanan berfungsi sebagai sarana penunjang untuk

18

meningkatkan produksi. Pelabuhan perikanan berfungsi sebagai pusat pengembangan masyarakat nelayan, tempat berlabuh kapal perikanan, tempat pendaratan ikan hasil perikanan, pusat pemasaran dan distribusi ikan hasil tangkapan, pusat pelaksanaan pembinaan mutu hasil perikanan serta pusat pelaksanaan penyuluhan dan pengumpulan data. 4) Unit pengolahan Unit pengolahan termasuk didalamnya pengawetan yang bertujuan untuk mempertahankan mutu dengan cara penanganan yang tepat agar ikan tetap sempurna segar atau dalam wujud olahan, secara ekonomi nilai tambah produk juga meningkat. Pengolahan tersebut dapat dilakukan secara tradisional misalnya penggaraman, pengeringan dan pengasapan ataupun dengan cara modern (Moeljanto 1996). 5) Unit pemasaran Hanafiah dan Saefuddin (1983) menyebutkan bahwa pemasaran merupakan tindakan yang berkaitan dengan pergerakan barang-barang dan jasa dari produsen ke tangan konsumen. 6) Unit pembinaan Pembinaan merupakan suatu proses untuk peningkatan produksi dan produktivitas perikanan yang merupakan salah satu tujuan pembangunan sektor perikanan. Pembinaan tersebut terdiri dari pembinaan usaha perikanan dan pembinaan mutu hasil perikanan. Pembinaan usaha perikanan bertujuan untuk pengembangan usaha di bidang perikanan yang merupakan bagian dari dunia usaha pada umumnya. Pembinaan usaha perikanan terdiri dari pembinaan kelembagaan usaha perikanan, perkreditan dan permodalan dan pembinaan perijinan usaha perikanan. Permasalahan umum dalam perikanan tangkap saat ini antara lain penurunan hasil tangkapan yang disebabkan adanya penangkapan berlebih, degradasi kualitas fisik, kimia dan biologi lingkungan perairan (Dahuri et al. 2004).

Berbagai

strategi telah dilakukan nelayan dalam rangka mempertahankan keberlanjutan usahanya. Penurunan hasil tangkapan telah mendorong nelayan untuk mencari pendapatan tambahan di luar pekerjaan utamanya menangkap ikan. Dalam upaya penguatan mata pencaharian alternatif pada kegiatan perikanan berkelanjutan,

19

Smith et al. (2005) telah mengungkap beberapa strategi seperti disajikan pada Tabel 2. Tabel 2

Pengembangan strategi untuk peningkatan pendapatan pada kegiatan perikanan berkelanjutan

No 1

Strategi Mata Pencaharian Bertahan

2

Diversifikasi semi subsisten

3

Spesialisaskbbii sebagai nelayan

4

Akumulasi diversifikasi

Fungsi mata pencaharian perikanan Subsisten (produksi makanan dan pendapatan Nutrisi (protein, mikronutrien, vitamin) Konsumsi sendiri-nutrisi dan keamanan pangan Tenaga kerja dalam pertanian Sumber keruangan Diversifikasi untuk : - Tenaga kerja dan konsumsi rokok - Pengurangan resiko - Strategi perlawanan terhadap stok Pasar (produksi dan pendapatan) Akumulasi Akumulasi Pertahanan dari strategi akumulasi diversifikasi Rekreasi

Sumber: Smith et al. (2005)

2.4 Penataan Ruang (Zonasi) Ruang merupakan wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya (Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia 2007). Penataan ruang (zonasi) merupakan pembentukan wilayah daratan dan perairan untuk dialokasikan ke penggunaan yang lebih spesifik, wilayah dibagi dalam beberapa zona dimana tiap zona direncanakan untuk penggunaan tertentu (Clark 1974). Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang (Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia 2007). Zonasi didasarkan pada konsep pemisahan dan kontrol pemanfaatan yang secara spasial tidak sesuai, diterapkan dalam berbagai situasi dan dapat di sesuaikan dengan berbagai lingkungan ekologi, sosial ekonomi dan politik (Kay dan Alder 2005). Penataan ruang merupakan kegiatan yang kompleks karena bersifat multi sektor dan multi disiplin. Aspek yang dikaji dalam penataan ruang pesisir antara lain aspek ekologi, sosial ekonomi, budaya dan kebijakan. Pada prinsipnya, sistem zonasi merupakan pengaturan ruang untuk mengatur kegiatan

20

manusia dalam kawasan sehingga dapat saling mendukung dan dapat mengakomodir semua kegiatan masyarakat di sekitar kawasan. 2.5 Daya Dukung Lingkungan Daya dukung dapat didefinisikan sebagai intensitas penggunaan terhadap sumberdaya alam yang berlangsung terus menerus tanpa merusak alam (Pearce dan Kirk 1986). Daya dukung dapat memperkirakan dampak dari perubahan lingkungan yang sesuai dengan tujuan manajemen lingkungan. Konsep daya dukung didasarkan pada pemikiran bahwa lingkungan memiliki kapasitas maksimum untuk mendukung pertumbuhan suatu organisme (Bengen 2002). Konsep ini berkembang untuk mencegah terjadinya degradasi sumberdaya alam dan lingkungan. Daya dukung dapat dibedakan atas daya dukung ekologis, daya dukung fisik, daya dukung ekonomi dan daya dukung sosial (Bengen 2002). 1) Daya dukung ekologis Merupakan tingkat maksimum penggunaan suatu kawasan dari segi jumlah maupun kegiatan yang dilakukan di dalamnya sebelum terjadi penurunan kualitas ekologis kawasan. Perhatian utama dalam daya dukung ekologis adalah jenis ekosistem yang tidak dapat pulih seperti lahan basah (rawa). Indikator kerusakan ekosistem dilakukan dengan pendekatan ekologis antara lain dapat digambarkan dengan adanya kerusakan vegetasi, habitat, degradasi tanah dan kerusakan obyek visual wisata alam. 2) Daya dukung fisik Merupakan jumlah maksimum penggunaan yang dapat dilakukan dalam kawasan tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas kawasan tersebut secara fisik kawasan yang telah melampaui daya dukung secara fisik dapat dilihat dari tingginya tingkat erosi, pencemaran lingkungan, banyaknya sampah kota, suhu kota yang meningkat, konflik sosial dan sebagainya. Terlampauinya daya dukung fisik suatu kawasan akan memberikan dampak negatif tidak hanya pada aspek fisik namun juga aspek lainnya seperti sosial, ekonomi bahkan ekologis.

21

3) Daya dukung ekonomi Merupakan tingkat produksi yang memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi. Dalam hal ini digunakan parameter kelayakan usaha (secara ekonomi). 4) Daya dukung sosial Merupakan gambaran persepsi seseorang dalam menggunakan ruang dalam waktu bersamaan. Konsep ini terkait dengan tingkat kenyamanan pemakai kawasan. Daya dukung lingkungan dapat diketahui dengan memperhitungkan semua potensi yang ada dalam kawasan yang bersangkutan serta kendala yang mempengaruhi potensi tersebut dalam jangka panjang. Daya dukung lingkungan terlampaui ditandai dengan kerusakan lingkungan. Batasan daya dukung untuk manusia adalah jumlah individu yang dapat didukung oleh luas sumberdaya dan lingkungan. Konsep daya dukung awalnya dikembangkan untuk mempelajari pertumbuhan populasi dalam suatu unit ekosistem. Penghitungan daya dukung misalnya adalah penghitungan kapasitas ekologi yaitu jumlah individu yang dapat ditampung oleh suatu habitat. Tujuan utama dari penghitungan daya dukung adalah untuk mempertahankan potensi sumberdaya alam di areal tersebut pada batas-batas penggunaan yang dimungkinkan serta untuk menentukan bentuk pengelolaan yang dapat dilakukan terhadap sumberdaya alam yang ada di suatu wilayah. Pengukuran daya dukung dibatasi untuk faktor yang bisa di ukur. Daya dukung fisik umumnya mengukur jumlah maksimum pengunjung pada waktu yang sama dimana ruang yang tersedia dapat mendukung. Faktor kuncinya yaitu jumlah pengunjung, ruang yang tersedia adalah pada satu tempat (kondisi alami) atau ditingkatkan melalui akomodasi infrastruktur atau bahkan lahan reklamasi dalam kasus ekstrim (Tejada et al. 2009). Pantai memiliki nilai yang tinggi sebagai sumberdaya wisata, oleh karena itu penentuan daya dukung perlu dilakukan sebagai faktor yang harus ada untuk dapat melakukan pemanfaatan dan pengelolaan yang memperhatikan lingkungan (Silva 2002).

22

2.6 Sistem Informasi Geografis (SIG) Perpaduan antara sub model ekologi, ekonomi maupun sosial dapat menggunakan model SIG. Konsep dasar SIG merupakan sistem yang mengorganisir perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software) dan data serta dapat mendayagunakan sistem penyimpanan, pengolahan, maupun analisis data secara simultan sehingga diperoleh informasi yang berkaitan dengan aspek keruangan (Prahasta 2004). Sistem informasi geografis dapat menampilkan dalam bentuk spasial yang dapat digunakan untuk pengelolaan dan ilmu pengetahuan. Sistem informasi geografis dapat menggambarkan secara abstrak dalam bentuk peta permukaan bumi. Jenis data SIG terdiri atas data spasial dan data atribut. Data spasial (keruangan), yaitu data yang menunjukkan ruang, lokasi atau tempat-tempat di permukaan bumi. Data spasial berasal dari peta analog, foto udara dan penginderaan jauh dalam bentuk cetak kertas. Data atribut (deskriptif), yaitu data yang terdapat pada ruang atau tempat. Atribut menjelaskan suatu informasi. Data atribut diperoleh dari statistik, sensus, catatan lapangan dan tabular (data yang disimpan dalam bentuk tabel) lainnya. Data atribut dapat dilihat dari segi kualitas, misalnya kekuatan pohon. Dan dapat dilihat dari segi kuantitas, misalnya jumlah pohon. 2.7 Ekologi Ekonomi Ekologi ekonomi mengidentifikasi pentingnya tiga konsep yang sesuai norma yaitu efisiensi ekonomi, keberlanjutan ekologi dan pemerataan sosial dalam mengelola keterkaitan antara sistem ekologi dan ekonomi (Constanza dan Folke 1997 in Wilson dan Howarth 2002). Pertanyaan penting berdasarkan perspektif pemerataan sosial adalah bagaimana seharusnya mengevaluasi jasa dan ekosistem dalam melibatkan perlakuan yang adil pada persaingan di kelompok sosial. Estimasi nilai ekonomi dapat membantu pembuat kebijakan menentukan isu dari pengelolaan konservasi, pengembangan berkelanjutan dan dukungan keuangan untuk pengelolaan (Lee dan Mjelde 2007).

23

2.8 Pengelolaan berkelanjutan Suatu kegiatan dikatakan berkelanjutan apabila kegiatan tersebut secara ekologi, ekonomi dan sosial politik bersifat berkelanjutan. Berkelanjutan secara ekonomi berarti kegiatan harus dapat menumbuhkan ekonomi, pemeliharaan kapital

dan

menggunakan

sumberdaya

serta

investasi

secara

efisien.

Berkelanjutan secara ekologis berarti kegiatan dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan, dan konservasi sumberdaya alam termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity) sehingga diharapkan pemanfaatan sumberdaya dapat berkelanjutan (Cicin-Sain dan Knecht 1998). Pengelolaan merupakan indikator dalam pengembangan pengelolaan yang berkelanjutan terdiri atas empat kelompok yaitu (1) menggambarkan adanya tekanan-situasi-respons, dimana indikator spesifik terletak pada tekanan yang diterima lingkungan dan pada dampak dan respons yang terjadi pada lingkungan. (2) Indikator berdasarkan skala spasial, secara global, nasional dan lokal. (3) Berkonsentrasi pada lingkungan sebagai indikator penengah seperti udara, air, lahan dan lainnya. (4) Klasifikasi berdasarkan dimensi utama keberlanjutan seperti lingkungan, lamanya pengembangan terhadap dampak lingkungan (Tsaur 2006). Pengelolaan wilayah pesisir berkelanjutan memberikan makna bahwa wilayah peisir dengan seluruh isinya perlu dihargai dan secara berencana dapat dimanfaatkan, sehingga diperlukan upaya-upaya perlindungan makhluk hidup. Perlu dilakukan penjagaan dan pelestarian wilayah pesisir dan laut yang sangat rentan terhadap perubahan ekosistem, dimana diperlukan perhatian yang serius dalam pengembangan dan pengelolaannya agar senantiasa berjalan secara berkelanjutan dan lestari. Arah tujuan dari pengembangan dan pengelolaan potensi sumberdaya pesisir adalah untuk meningkatkan pengelolaan secara terpadu dalam pemanfaatan sumberdaya secara optimal, efisien, efektif yang mengarah pada peningkatan upaya pelestarian lingkungan. Pengelolaan

secara

berkelanjutan

berkembang

dari

pemeliharaan

sumberdaya alam untuk saat ini dan generasi yang akan datang. Pengelolaan tersebut

menekankan

nilai

yang

berhubungan

dengan

budaya

dan

keanekaragaman masyarakat, perhatian terhadap isu keadilan sosial yang

24

berorientasi terhadap stabilitas (Ahn et al. 2002). Hubungan antara pengelolaan berkelanjutan dengan wisata seringkali muncul.dua aspek: a) banyak yang tidak tahu mengenai hubungan wisata dengan lingkungan, b) masih jarang informasi empiris yang menunjukkan dengan jelas bahwa wisata bisa mempengaruhi keberlanjutan alam (Ahn et al. 2002). Wisata dan ekowisata yang berkelanjutan dikenal dengan luas sebagai peningkatan pengembangan dimana terdapat perlindungan lingkungan alam, tradisi dan warisan budaya (Carta di rimini 2001 in Sala 2010). Partisipasi pemerintah cukup bermanfaat untuk mengatasi isu pengelolaan keberlanjutan dan untuk perencanaan strategi lokal pada pengelolaan (Sala 2010).

3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Pacitan, Provinsi Jawa Timur yaitu di kawasan pesisir Kecamatan Pringkuku. Kawasan Pesisir Kecamatan Pringkuku terdiri atas lima desa pesisir yaitu Desa Watukarung, Desa Jlubang, Desa Dadapan, Desa Poko dan Desa Candi (Gambar 4). Pengambilan data lapang dilaksanakan pada bulan April-Juli 2012. Sebelumnya dilakukan survei pendahuluan pada bulan September 2011. 3.2 Tahapan Penelitian Tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi inventarisasi data, pengumpulan data, analisis dan sintesis (Gambar 5). Secara rinci diuraikan sebagai berikut: 1) Tahap identifikasi kondisi eksisting yang meliputi pengumpulan informasi kondisi potensi sumberdaya dan jasa lingkungan, pemanfaatan ruang, batas area dan permasalahan yang ada, 2) Tahap analisis meliputi analisis kesesuaian lahan dan daya dukung, analisis ekonomi yang menyangkut nilai ekonomi sumberdaya dan pemanfaatan, 3) Menganalisa pemanfaatan ruang yang menghasilkan atribut yang berpengaruh dalam pengelolaan kawasan secara berkelanjutan, 4) Menghitung nilai ekonomi dari wisata dan perikanan 5) Penyusunan

strategi

pengelolaan

yang

menghasilkan

rekomendasi

pengelolaan secara berkelanjutan. 3.3 Pengumpulan Data Secara umum data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan sekunder. Masing-masing data diperoleh dengan menggunakan metode yang berbeda. Data primer yang dikumpulkan meliputi kondisi ekologis, keadaan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat sekitar. Metode yang digunakan untuk memperoleh data primer selama penelitian adalah wawancara dan observasi lapang. Sementara itu data sekunder yang dikumpulkan meliputi keadaan umum lokasi, kebijakan pengelolaan, isu-isu serta permasalahan yang terjadi. Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka dan informasi dari instansi terkait.

Gambar 4 Peta lokasi penelitian

26

27

Data spasial

Data pemanfaatan

Sumberdaya Nilai ekonomi Analisis kesesuaian ekologis

Analisis daya dukung

Strategi Pengelolaan

Gambar 5 Tahapan penelitian 3.3.1 Data primer Data primer yang dikumpulkan meliputi keadaan umum lokasi, persepsi responden terhadap kawasan, kebijakan pengelolaan, isu-isu dan permasalahan yang terjadi serta kualitas perairan. Adapun jenis, sumber dan cara pengambilan data dapat dilihat pada Tabel 3. Metode yang digunakan untuk memperoleh data primer selama penelitian adalah wawancara dan observasi lapang. 3.3.1.1 Wawancara Wawancara bertujuan untuk memperoleh informasi lebih lanjut tentang kawasan penelitian dengan melakukan wawancara langsung kepada penduduk sekitar, petugas dalam kawasan dan dinas yang terkait dengan pengelolaan di wilayah penelitian selaku stakeholder serta kepada wisatawan. Dinas yang selama ini mengelola adalah Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Pacitan (Disparpora) dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pacitan. Penentuan responden untuk stakeholder dilakukan dengan metode purposive sampling yang terdiri dari penduduk sekitar, pengelola kawasan, dan pegawai dalam kawasan. Penentuan responden tersebut dilakukan terhadap pihak-pihak yang mengetahui mengenai pengelolaan kawasan. Tidak semua penduduk, pengelola dan pegawai kawasan diwawancara. Hanya pihak-pihak yang benar-

28

benar mengetahui mengenai pengelolaan kawasan yang diwawancara. Penentuan responden

wisatawan

dilakukan

dengan

metode

accidental

sampling.

Pertimbangan menggunakan metode purposive sampling karena metode pengambilan sampel dengan cara ini sengaja memilih responden berdasarkan kebutuhan data yang diinginkan yaitu dengan ketentuan peran serta (partisipasi) responden dalam kegiatan, pertimbangan lain adalah kemudahan dalam wawancara dan kesediaan responden untuk memberikan informasi yang dibutuhkan dalam kegiatan penelitian. Pemilihan responden wisatawan dengan metode accidental sampling untuk responden wisatawan berdasarkan kemudahan pengambilan data, yaitu dilakukan terhadap responden yang kebetulan berada di dalam kawasan dimana sampel tersebut sesuai dengan kriteria yang akan diteliti. Responden dalam penelitian ini adalah pengunjung aktual, yakni pengunjung yang ditemui secara langsung di kawasan wisata. Jumlah wisatawan yang dijadikan responden berjumlah 50 orang dari tiap kawasan. Umur responden dalam penelitian ini dibatasi, dimana pengunjung yang dijadikan responden adalah berusia di atas 15 tahun. Hal ini dikarenakan pada batas usia tersebut, mereka dianggap telah mampu untuk menentukan pengambilan keputusan dalam memilih tempat berwisata. Responden wisatawan diambil sejumlah 50 responden dianggap sudah mencukupi karena peneliti sebelumnya telah melakukan survei pendahuluan dan telah mengetahui sebaran asal wisatawan. Oleh karena itu jumlah responden tersebut sudah memenuhi sebaran data yang dibutuhkan. 3.3.1.2 Observasi lapang Observasi lapang merupakan pengumpulan data primer dengan mengamati dan melakukan pengukuran insitu pada parameter lingkungan yang diperlukan. Parameter yang dimaksud meliputi kualitas air, kondisi lingkungan maupun pemukiman penduduk. Sampel air untuk analisis kualitas air diambil dari perairan pesisir Kecamatan Pringkuku. Posisi stasiun pengambilan contoh kualitas air ditentukan dengan bantuan GPS. Pemilihan stasiun pengambilan contoh berdasarkan pada area yang banyak dimanfaatkan untuk kegiatan wisata. Posisi stasiun yang

29

menyebar sepanjang pantai diharapkan dapat mewakili karakteristik fisika, kimia perairan di sepanjang pantai di lokasi penelitian. Parameter kualitas air yang dianalisis adalah suhu, kecerahan, pH, DO (oksigen terlarut), BOD (Biochemical Oxygen Demand), bau, sampah, salinitas, TSS (Total Suspended Solid). Alat, bahan, dan pengukuran contoh kualitas perairan disajikan dalam Lampiran 1. Analisis kualitas air dilakukan di Laboratorium Produktivitas Lingkungan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 3.3.2 Data sekunder Data sekunder yang dikumpulkan meliputi keadaan umum lokasi, kebijakan pengelolaan, isu-isu serta permasalahan yang terjadi (Tabel 3). Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka dan informasi dari instansi terkait seperti Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga; Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pacitan; Bappeda Kabupaten Pacitan; BPS Kabupaten Pacitan; Badan Geospasial Indonesia serta TPI Watukarung. Sumber data sekunder yang dikumpulkan berupa buku penunjang, laporan, penelitian-penelitian sebelumnya, serta bentuk-bentuk artikel dan jurnal. Jenis data yang dikumpulkan dari sumber tersebut antara lain peta lokasi, jumlah penduduk, ketersediaan air tawar, produksi perikanan, jumlah wisatawan, pendapatan asli daerah dari sektor wisata dan sebagainya. Data sekunder ini digunakan sebagai informasi pendukung dalam melakukan penilaian kesesuaian kawasan Pesisir Kecamatan Pringkuku untuk dikembangkan sebagai kawasan ekowisata. 3.3.3 Data kesesuaian lahan Data yang dibutuhkan dalam menganalisis kesesuaian lahan untuk kegiatan wisata pantai ada sepuluh parameter. Sepuluh parameter tersebut diamati secara langsung dalam penelitian (data primer) (Tabel 4).

30

Tabel 3 Jenis, sumber dan cara pengambilan data No 1

Nama data Keadaan umum lokasi a. Batas asministrasi, luas wilayah, nama wilayah, batas wilayah studi b. Sarana prasarana

c. d. e.

f. g.

Penginapan, rumah makan, kamar mandi/WC, jalan beraspal dan tempat parkir, tempat sampah dan pembuangannya, TPI, area perkemahan Demografi Topografi wilayah Penutupan dan penguasaan lahan Oseanografi kawasan Gelombang, pasang surut, material penyusun pantai Klimatologi Pendidikan dan tenaga kerja

h. Transportasi dan komunikasi i. Kondisi wisata Banyaknya wisatawan, antusias dan perilaku wisatawan, karcis masuk j. Pembuangan limbah dan dampaknya

Sumber data

Primer

Laporan Responden, lapangan, laporan

Laporan Laporan

-

Studi pustaka

Wawancara, observasi lapang

Studi pustaka

-

Studi pustaka Studi pustaka

Lapangan, laporan

Observasi lapang

Studi pustaka

Laporan Responden, lapangan, laporan Responden, lapangan, laporan Lapangan, laporan

Wawancara, observasi lapang Wawancara, observasi lapang Observasi lapang

Studi pustaka Studi pustaka

Lapangan

Observasi lapang Wawancara, observasi lapang Wawancara, observasi lapang Wawancara, observasi lapang

k. Kondisi perikanan

Lapangan laporan

2

Sumberdaya alam (perairan dan daratan)

Lapangan laporan

3

Responden, lapangan

4

Persepsi terhadap kawasan wisata : penduduk, wisatawan dan pemda yang mengelola Kebijakan pengelolaan

5

Isu-isu dan permasalahan yang terjadi

6

Kualitas perairan : suhu, kecerahan. pH. DO, BOD, bau, salinitas, padatan tersuspensi, sampah

Responden, lapangan Responden, lapangan, laporan Lapangan

Wawancara, observasi lapang Wawancara, observasi lapang Observasi lapang

Tabel 4 Data untuk analisis kesesuaian lahan No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Kebutuhan Data Kedalaman perairan Tipe pantai Lebar pantai Material dasar perairan Kecepatan arus (m/dtk) Kemiringan pantai (o) Kecerahan perairan (m) Penutupan lahan pantai Biota berbahaya Ketersediaan air tawar

Sekunder

Jenis Data Primer Primer Primer Primer Primer Primer Primer Primer Primer Primer

Teknik Pengumpulan Survei Survei Survei Survei Survei Survei Survei Survei Survei Survei

Studi pustaka Studi pustaka

Studi pustaka Studi pustaka

Studi pustaka

31

3.3.4 Data EoP (Effect on Production) Data yang dibutuhkan untuk penghitungan EoP terdiri atas data primer dan sekunder (Tabel 5). Pengukuran EoP dilakukan untuk kegiatan perikanan. Data primer diperoleh dari berbagai fenomena di lapangan, baik berasal dari kuisioner, pengamatan langsung dan sebagainya yang mencerminkan kondisi kawasan. sementara itu data sekunder dapat diperoleh dari beberapa pustaka penting yang dapat menunjang kelengkapan data penelitian (Yulianda et al. 2010). Pengumpulan data dilakukan dengan survei pustaka dari beberapa data statistik yang relevan. Beberapa site survey kemudian dilakukan untuk mengestimasi nilai langsung (rapid rural appraisal) yang difokuskan pada nelayan dan pelaku ekonomi lainnya. Selanjutnya dilakukan wawancara yang mendalam dengan panduan kuisioner. Tabel 5 Jenis dan sumber data untuk Effect on Production (EoP). No 1 2 3 4 5 6 7

Kebutuhan Data Hasil penangkapan ikan Harga produk Pendapatan Tipologi sosek responden Frekuensi/upaya tangkap per tahun Produksi total kawasan per tahun (ikan, udang, dll) Jumlah pemanfaat kawasan (nelayan)

Jenis Data Primer, sekunder Primer Primer Primer Primer, sekunder

Teknik Pengumpulan Survei, literatur Survei Survei Survei Survei, literatur

Sekunder

Literatur

Primer, sekunder

Survei, literatur

3.3.5 Data TCM (Travel Cost Method) Data yang dikumpulkan dalam TCM antara lain biaya perjalanan, jumlah kunjungan, data demografi, lokasi wisata alternatif, dan lainnya (Lampiran 2). Selain itu ada faktor sosial ekonomi antara lain pendapatan rumah tangga, umur dan pendidikan. Pendekatan yang dilakukan dalam penghitungan TCM pada penelitian ini adalah pendekatan individu (Tabel 6). Dalam penelitian ini dilakukan pendekatan individu karena kebutuhan data sudah mencukupi dengan dilakukan pendekatan individu.

32

Tabel 6 Data yang dibutuhkan dalam pendekatan individu 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Data yang dibutuhkan Jumlah pengunjung ke lokasi pertahun Biaya perjalanan pengunjung Pendapatan rumah tangga Umur Pendidikan Lokasi wisata alternatif Opportunity cost dari waktu Lain-lain (faktor yang mempengaruhi permintaan)

Jenis data Data sekunder Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer Data primer

Sumber: Yulianda et al. 2010

3.4 Analisis data 3.4.1 Analisis kualitas air Hasil pengukuran dan analisa data kualitas perairan yang diperoleh kemudian dilakukan perbandingan dengan baku mutu kualitas air untuk pariwisata bahari. Baku mutu kualitas air tersebut berdasarkan Menteri Lingkungan Hidup Keputusan No 51/MENLH/2004 tentang baku mutu air laut (Tabel 7). Tabel 7 Baku mutu air 51/MENLH/2004)

laut

untuk

wisata

bahari

(Keputusan

No

No Parameter Satuan Baku mutu FISIKA A Alami 3 ( c ) °C Suhuc 1 a >6 meter Kecerahan 2 Tidak berbau Bau 3 20 mg/l Padatan Tersuspensi Totalb 4 Nihil1 (4) Sampah 5 KIMIA B 7 – 8,5 (d) 1 pHd >5 2 Oksigen Terlarut (DO) mg/l ‰ Alami 3 (e) Salinitase 3 Keterangan: 1. Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan (sesuai dengan metode yang digunakan) 3. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam dan musim) 4. Pengamatan oleh manusia (visual). a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman eufotik b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata musiman c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2oC dari suhu alami d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0,2 satuan pH e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman g. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-rata musiman

33

3.4.2

Analisis kesesuaian kawasan

3.4.2.1 Analisis deskriptif Data yang diperoleh dianalisa secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel, grafik atau uraian singkat terkait hasil penelitian yang diperoleh. Analisis deskriptif merupakan salah satu metode analisis data yang sederhana dan mampu memberikan informasi-informasi penting dari suatu penelitian. Penggunaan analisis jenis ini mampu menggambarkan tentang objek penelitian secara lebih rinci dan terarah. 3.4.2.2 Analisis kesesuaian wilayah sebagai kawasan wisata pantai Analisis kesesuaian wilayah sebagai kawasan wisata pantai adalah analisis untuk mengetahui kecocokan dan kemampuan kawasan menyangga segala macam aktivitas wisata. Analisis ini sangat diperlukan untuk pengembangan kawasan ekowisata yaitu untuk melakukan pengendalian, memperkirakan dampak lingkungan dan pembatasan pengelolaan sehingga tujuan wisata menjadi selaras. Menentukan kesesuaian wilayah merupakan pola pikir yang mengarah pada pertimbangan bahwa berapapun besarnya daya tarik dari suatu lokasi wisata, secara ekologis tetap memiliki keterbatasan sehingga jumlah dan frekuensi kunjungan dalam satu ruang dan waktu harus disesuaikan dengan kaidah yang berlaku. Analisis kesesuaian wilayah dikaitkan dengan kegiatan di sekitar pantai seperti berjemur, bermain pasir, wisata olahraga, berenang dan aktivitas lainnya. Analisis dilakukan dengan mempertimbangkan 10 parameter yang memiliki empat klasifikasi penilaian. Parameter tersebut antara lain kedalaman perairan, tipe pantai, lebar pantai, material dasar perairan, kecepatan arus, kemiringan pantai, kecerahan perairan, penutupan lahan pantai, biota berbahaya dan ketersediaan air tawar (Tabel 8).

34

Tabel 8 Kriteria kesesuaian lahan untuk wisata pantai. Parameter

Bobot

Katego ri SS 0–3

Skor

Katego ri S > 3-6

Skor

Kedalaman perairan (m) Tipe pantai

5

Katego ri SB >6-10

Skor

5

Pasir putih

3

Pasir putih, sedikit karang

2

Pasir hitam, berkara ng sedikit terjal 3-<10

1

Lumpur berbatu, terjal

0

Lebar pantai (m) Material dasar perairan

5

>15

3

10-15

2

1

<3

0

3

Pasir

3

2

Kecepatan arus (m/dtk) Kemiringan pantai (o) Kecerahan perairan (m) Penutupan lahan pantai

3

0-0,17

3

2

3

<10

3

Karang , berpasi r >0,17 0,34 10-25

Pasir berlum pur

1

Lumpur

0

1

>0,51

0

2

>0,340,51 >25-45

1

>45

0

1

>10

3

>5-10

2

3-5

1

<2

0

1

Lahan terbuka, kelapa

3

Semak belukar rendah, savana

2

Belukar tinggi

1

0

Tidak ada

3

Bulu babi

2

1

<0,5 km

3

< 0,5-1 (km)

2

Bulu babi, ikan pari >1-2

Hutan bakau, pemukim an,pelabu han Bulu babi, ikan pari, lepu, hiu >2 km

Biota berbahaya

1

Ketersediaan air tawar

1

3

2

1

1

Kategori Skor TS >10 0

0

0

Sumber: Yulianda (2007) Keterangan :

SS S SB TS

= = = =

Kategori sangat sesuai/ideal untuk wisata pantai Kategori sesuai untuk wisata pantai Kategori sesuai bersyarat untuk wisata pantai Kategori tidak sesuai untuk wisata pantai

Analisis kesesuaian ini diperlukan untuk melihat apakah kawasan wisata Pantai di Kecamatan Pringkuku masih memenuhi standar untuk wisata pantai. Rumus yang digunakan adalah rumus untuk kesesuaian wisata pantai (Modifikasi Yulianda 2007):

Keterangan : IKW Ni Nmaks

 Ni  IKW     x100%  Nmaks  = Indeks kesesuaian wisata = Nilai parameter ke-i = Nilai maksimum dari suatu kategori wisata

Jumlah = (Skor x Bobot) dimana nilai maksimum = 84 S1 = Sangat sesuai dengan nilai 75 – 100 %

35

S2 TS

= Sesuai dengan nilai 50-<75 % = Tidak Sesuai dengan nilai <50 %

Kelas S1 yaitu sangat sesuai menunjukkan bahwa kawasan tersebut ideal untuk kegiatan wisata pantai. Kelas S2 yaitu sesuai menunjukkan kawasan tersebut sesuai untuk kegiatan wisata pantai. Kelas TS yaitu tidak sesuai menunjukkan kawasan tersebut tidak sesuai untuk kegiatan wisata pantai. Kelas kesesuaian tersebut ditentukan dengan mempertimbangkan 10 parameter. Tiap parameter memiliki bobot yang berbeda. Kedalaman perairan, tipe pantai dan lebar pantai memiliki bobot paling besar yaitu 5. Material dasar perairan, kecepatan arus, dan kemiringan pantai memiliki bobot 3. Kecerahan perairan, penutupan lahan pantai, biota berbahaya dan ketersediaan air tawar memiliki bobot paling kecil yaitu 1. Kegiatan wisata pantai merupakan semua aktivitas yang berlangsung di kawasan pantai seperti menikmati keindahan alam pantai, olahraga, berenang, berkemah dan aktivitas lainnya. Parameter yang dijadikan kriteria kesesuaian lahan untuk wisata pantai antara lain: 1) Kedalaman perairan Perairan yang relatif dangkal merupakan kondisi yang sangat menunjang diadakannya wisata pantai dimana para wisatawan dapat bermain air maupun berenang dengan aman. Kedalaman 0–5 meter merupakan syarat yang paling sesuai untuk wisata pantai. Toleransi juga diberikan untuk kedalaman >5–10 meter, sedangkan kedalaman >10 meter dianggap kurang ideal untuk kegiatan ini. 2) Material dasar perairan Material dasar perairan sangat menentukan kecerahan perairan. Daerah di sekitar pantai dengan substrat pasir merupakan lokasi yang sangat sesuai untuk wisata pantai. Toleransi diberikan pada substrat pasir berkarang atau karang berpasir dengan hancuran karang yang relatif lebih sedikit dibandingkan dengan karangnya maupun pasir berlumpur dengan perlakuan khusus. Substrat lumpur maupun karang merupakan lokasi yang tidak sesuai untuk kegiatan berenang dan bermain air. 3) Kecepatan arus

36

Kecepatan arus berkaitan dengan keamanan wisatawan dalam melaksanakan aktivitasnya. Kecepatan arus yang relatif lemah berkisar antara 0-0,17 m/dtk merupakan syarat yang ideal untuk aktivitas berenang, bermain air dan aktivitas lainnya. Kecepatan arus 0,17–0,34 m/dtk masih masuk dalam kategori sesuai dan kecepatan arus di atas 0,51 m/dtk masuk dalam kategori tidak sesuai. 4) Kecerahan perairan Wilayah dengan kondisi perairan yang cerah merupakan lokasi yang paling sesuai untuk wisata pantai. Wisatawan dapat bermain air, berenang dan aktivitas lainnya. Kecerahan perairan >30 meter merupakan syarat yang sangat sesuai atau diinginkan untuk wisata pantai. Toleransi diberikan untuk kecerahan perairan >10 meter, sedangkan untuk kecerahan perairan <10 meter dianggap tidak sesuai untuk kegiatan wisata pantai. 5) Ketersediaan air tawar Ketersediaan air tawar merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam wisata pantai. Selain untuk konsumsi juga digunakan untuk MCK dan mandi setelah bermain air laut dan pasir pantai. Ketersediaan air tawar dilihat dari seberapa jauh sumber air tawar terhadap pantai. Jarak lokasi dengan sumber air <0,5 km merupakan syarat yang paling sesuai, sedangkan jarak >2 km merupakan jarak yang tidak sesuai untuk wisata pantai. 6) Tipe pantai Dalam kaitannya dengan wisata pantai, pantai berpasir merupakan lokasi yang paling ideal untuk wisata pantai. Wisatawan dapat berjemur, berolah raga, menikmati pemandangan, bermain dengan santai. Toleransi juga diberikan pada pantai berpasir dengan sedikit karang maupun pada daerah yang sedikit terjal, sedangkan pantai berlumpur, berkarang maupun terjal dianggap tidak sesuai untuk kegiatan ini. 7) Lebar pantai Lebar pantai berkaitan dengan luasnya lahan pantai yang dapat dimanfaatkan untuk berbagai aktivitas wisata pantai. Lebar pantai yang sangat sesuai untuk wisata pantai adalah lebih dari 15 meter, sedangkan untuk lebar pantai kurang dari 3 meter dianggap tidak sesuai untuk wisata pantai.

37

8) Kemiringan pantai Kemiringan pantai berkaitan dengan berbagai aktivitas yang dapat dilakukan di pantai. Wisatawan sebagian besar menyukai pantai yang landai karena lebih mudah untuk melakukan berbagai aktivitas. Kemiringan pantai yang kurang dari 10o dianggap paling sesuai untuk wisata pantai, sedangkan kemiringan pantai yang lebih dari 45o dianggap tidak sesuai untuk wisata pantai karena dianggap curam. 9) Biota berbahaya Lahan pantai yang nyaman untuk berbagai aktivitas adalah pantai yang aman. Pantai yang aman disini merupakan pantai yang bebas dari biota berbahaya seperti bulu babi, lepu dan hiu. 10) Penutupan lahan pantai Penutupan lahan pantai merupakan faktor sekunder pada kegiatan wisata pantai. Adanya rencana pengembangan pada suatu daerah untuk wisata pantai, penutupan lahan yang ada dapat diubah sesuai dengan perencanaan. Kecuali untuk daerah hutan lahan basah yang dilindungi, dapat dimasukkan ke dalam lokasi yang tidak sesuai untuk pengembangan wisata pantai. 3.4.3 Daya dukung ekologis Analisa daya dukung ekologis digunakan untuk merencanakan pemanfaatan potensi sumberdaya pesisir, pantai dan pulau-pulau kecil secara lestari. Penentuan daya dukung ekologis ini perlu dilakukan karena sumberdaya wisata pesisir bersifat mudah rusak dan ruang untuk wisatawan sangat terbatas. Berdasarkan Yulianda (2007), penghitungan daya dukung ekologis wisata pantai dilakukan menggunakan rumus: DDK Keterangan : DDK K Lp Lt Wt Wp

 K x

Lp Wt x Lt Wp

= Daya dukung ekologis (orang/hari) = Potensi ekologis wisatawan per satuan unit area (orang) = Luas atau panjang area yang dapat dimanfaatkan (m atau m2) = Unit area untuk kategori tertentu (m atau m2) = Waktu yang disediakan kawasan dalam 1 hari (jam) = Waktu yang dihabiskan wisatawan untuk kegiatan tertentu (jam)

38

Potensi ekologis wisatawan ditentukan oleh kondisi sumberdaya dan jenis kegiatan yang dilakukan. Luas suatu area yang dapat digunakan oleh wisatawan ditentukan dengan mempertimbangkan kemampuan alam dalam memberi toleransi kepada wisatawan sehingga keaslian sumberdaya alam akan tetap terjaga. Potensi ekologis wisatawan dan luas area kegiatan disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Potensi ekologis wisatawan (K) dan luas area kegiatan (Lt) Jenis kegiatan Rekreasi pantai Wisata olah raga Berenang Berjemur Memancing Area berkemah

K ( wisatawan) 1 1 1 1 1 5

Unit area (Lt) 50 m 50 m 50 m 50 m 10 m 100 m2

Keterangan 1 orang setiap 50 panjang pantai 1 orang setiap 50 panjang pantai 1 orang setiap 50 panjang pantai 1 orang setiap 50 panjang pantai 1 orang setiap 10 panjang pantai 5 orang setiap 100 m2

Sumber: Modifikasi Yulianda (2007)

Waktu yang dihabiskan wisatawan untuk melakukan kegiatan (Wp) dihitung berdasarkan lamanya waktu yang dihabiskan oleh wisatawan untuk melakukan kegiatan wisata. Waktu yang dihabiskan wisatawan diperhitungkan dengan mempertimbangkan waktu yang disediakan kawasan (Wt). Waktu yang disediakan kawasan adalah lama waktu areal dibuka dalam satu hari, dan rata-rata waktu kerja sekitar 10 jam (07.00 WIB-17.00 WIB). Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Kegiatan Berenang Berjemur Rekreasi pantai Wisata olah raga Memancing Berkemah

Waktu yang dibutuhkan Wp(jam) 2 2 3 2 3 24

Total waktu 1 hari Wt-(jam) 4 4 6 4 6 24

Sumber: Modifikasi Yulianda (2007)

3.4.4 Effect on Production (EoP) Pendekatan EoP memerlukan sebuah pendekatan yang integratif antara flow ekologi dan flow ekonomi karena pendekatan ini lebih memfokuskan pada aliran fungsi ekologis yang memberikan dampak pada nilai ekonomi sumberdaya alam yang dinilai (perikanan). EoP diukur dengan menggunakan harga bayangan yang

39

dihitung berdasarkan harga pasar yang telah didiskon dengan menggunakan faktor perubahan pasar atau ekuitas sosial. Dalam analisis integrasi ekologi-ekonomi (dalam konteks metode EoP) terdapat beberapa langkah (Hufschmidt et al. 1983 in Adrianto 2006b) yaitu: 1) Mengidentifikasi input sumberdaya, output (produksi sumberdaya) dan residual sumberdaya dari sebuah kebijakan/kegiatan, 2) Melakukan kuantifikasi aliran fisik dari sumberdaya, 3) Melakukan kuantifikasi keterkaitan antar sumberdaya alam, 4) Melakukan kuantifikasi aliran dan perubahan fisik ke dalam terminologi kerugian dan manfaat ekonomi. EoP merupakan nilai langsung yang digunakan untuk mengestimasi fungsi ekosistem secara tidak langsung. Teknik EoP yang digunakan dalam penelitian ini adalah surplus konsumen. 3.4.4.1 Surplus konsumen Surplus konsumen merupakan kepuasan atau kegunaan tambahan yang diperoleh konsumen dari pembayaran harga suatu barang yang lebih rendah dari harga dimana konsumen bersedia membayarnya. Pendugaan nilai ekonomi dari suatu sumberdaya memerlukan langkah-langkah: a) menduga fungsi pemintaan, b) mentransformasi intersep baru fungsi permintaan, c) mentrasformasikan kembali fungsi permintaan baru ke fungsi permintaan asal, d) menduga total kesediaan membayar, e) menduga consumer surplus, f) menduga nilai ekonomi, harga yang dibayarkan dan consumer surplus per unit sumberdaya, dan g) menduga total nilai ekonomi. 

Menduga fungsi permintaan terhadap penggunaan suatu sumberdaya 



Q   0 X 1 1 X 2 2 ... X n Keterangan :



n

Q = Jumlah sumberdaya yang diminta (hasil tangkap) X1 = Harga X2,.Xn = Karakteristik sosial ekonomi rumah tangga

Mentransformasikan fungsi permintaan terhadap harga linier Ln Q  Ln  0   1 LnX 1   2 LnX 2  ...   n LnX n



Ln Q  (( Ln  0   2 ( Ln X 2 )  ...   n ( Ln X n ))   1 LnX 1 Ln Q   '  1 LnX 1 Transformasikan kembali fungsi permintaan ke bentuk persamaan asal

40

Q   ' X 1 

Menduga total kesediaan membayar (Nilai ekonomi sumberdaya)

U   f (Q) d (Q) a

0

Keterangan :



U a

= Utilitas terhadap sumberdaya = Batas jumlah sumberdaya dikonsumsi/diminta f(Q) = fungsi permintaan

rata-rata

yang

Menduga Consumer surplus CS  U  Pt

Pt  X 1  Q Keterangan : CS = Surplus konsumen Pt = Harga yang dibayarkan Q = Rata-rata jumlah sumberdaya yang dikonsumsi/diminta X1 = Harga per unit sumberdaya yang dikonsumsi (diturunkan dari fungsi permintaan)



Pendugaan total nilai ekonomi sumberdaya NET  CS 

N L

Keterangan : NET = Nilai ekonomi sumberdaya CS = Surplus konsumen N = Jumlah SDM yang terlibat L = Luas kawasan sumberdaya

3.5 Metode Biaya Perjalanan (Travel Cost Method/TCM) Metode biaya perjalanan (Travel Cost Method/TCM) merupakan metode yang biasa digunakan untuk memperkirakan nilai rekreasi dari suatu lokasi atau objek. Metode ini merupakan metode pengukuran secara tidak langsung terhadap barang atau jasa yang tidak memiliki nilai pasar. Teknik ini mengasumsikan bahwa pengunjung pada suatu tempat wisata menimbulkan atau menanggung biaya ekonomi, dalam bentuk pengeluaran perjalanan dan waktu untuk mengunjungi suatu tempat (Lipton et al. 1995 in Yulianda et al. 2010). Pada penelitian ini penghitungan TCM menggunakan Individual Travel Cost Model. Individual Travel Cost Model yaitu memperkirakan rata-rata kurva permintaan individu terhadap lokasi wisata, dimana dalam pendekatan ini pengunjung dikelompokkan berdasarkan pengeluaran (Grigalunas et al. 1998 in Yulianda et al. 2010).

41

Nilai wisata berhubungan dengan manfaat konsumen surplus dari pemanfaatan aktual wisata dimana nilai pelestarian dihubungkan dengan manfaat dari kepuasan. Nilai pelestarian termasuk nilai pilihan (mempertahankan peluang wisata yang mungkin digunakan di masa datang), nilai keberadaan (pengetahuan bahwa sumberdaya perlu dilestarikan) dan nilai hibah (kepuasan diturunkan dari memberikan subsidi pada generasi mendatang dengan sumberdaya alam) (Lee dan Mjelde 2007). Tujuan melakukan TCM adalah menghitung nilai ekonomi suatu kawasan wisata melalui estimasi rata-rata permintaan terhadap kunjungan wisata di lokasi tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan estimasi fungsi permintaan terhadap kunjungan wisata. Fungsi permintaan terhadap kunjungan wisata yaitu: V = f(TC,S) Dimana :

V =Jumlah kunjungan wisata TC =Biaya perjalanan pada suatu lokasi wisata S =Vektor biaya perjalanan pada lokasi wisata alternatif

Kunjungan seseorang terhadap lokasi wisata dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain: 1) Biaya waktu bagi seseorang individu ketika mengunjungi lokasi wisata (T). Biaya waktu merupakan opportunity cost yang dihadapi oleh seorang pengunjung yaitu kehilangan pendapatan karena ia melakukan perjalanan wisata. 2) Vektor dari kualitas lokasi wisata yang dirasakan (Q) 3) Pendapatan rumah tangga (Y) Dapat ditulis sebagai berikut : V = f(TC, S, T, Q, Y) Dimana :

V TC S Q T Y

= Jumlah kunjungan wisata = Biaya perjalanan pada suatu lokasi wisata = Vektor biaya perjalanan pada lokasi wisata alternatif = Vektor dari kualitas lokasi wisata yang dirasakan = Biaya waktu bagi seseorang individu ketika mengunjungi lokasi wisata = Pendapatan rumah tangga

Dalam penghitungan menggunakan TCM (Individual Travel Cost Analisis), terdapat beberapa tahapan yaitu (Grigalunas et al. 1998 in Yulianda et al. 2010): 1) Menentukan lokasi,

42

2) Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kunjungan wisata ke lokasi tersebut, 3) Menurunkan metode untuk mengestimasi opportunity cost dari waktu, 4) Merancang survei untuk mengumpulkan data tentang biaya perjalanan dan informasi lain dari pengunjung, 5) Merancang survei untuk mengumpulkan data dari sampel yang mewakili populasi pengunjung lokasi, 6) Mengestimasi hubungan permintaan biaya perjalanan, 7) Mengestimasi jumlah total pengunjung per musim, 8) Menghitung consumer surplus per individu dan untuk seluruh lokasi. Fungsi permintaan atas kunjungan wisata untuk model individual sebagai berikut (Yulianda et al. 2010): Ln Vi  ln  0   1 ln TC i   2 ln Yi   3 ln S i Keterangan : Vi = Trip kunjungan individu ke-i TCi = Biaya perjalanan individu ke-i Yi = Pendapatan individu ke-i Si = Biaya perjalanan ke lokasi wisata substitusi yang dikeluarkan oleh individu ke-i

Kemudian menentukan surplus konsumen dari pendekatan individu (Yulianda et al. 2010):

CS i  Keterangan :

Vi 1 CSi

 Vi 1

= Jumlah kunjungan individu ke-i = Total biaya perjalanan = Surplus konsumen individu ke-i

Menghitung total benefit dari pendekatan individu (Yulianda et al. 2010): TB  CS i  TV Keterangan : TB = Total manfaat ekonomi lokasi wisata CSi = Surplus konsumen individu ke-i TV = Total kunjungan per tahun (data sekunder)

3.6 Analisis SIG (Sistem Informasi Geografis) Analisis kesesuaian kawasan dilakukan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografi (SIG), yaitu sistem informasi spasial berbasis komputer dengan melibatkan perangkat lunak Arc View3.3. Pada analisis ini prinsipnya

43

berupa basis data primer maupun data sekunder seperti data biologi, data fisik dan data oseanografi. Berdasarkan data tersebut terdapat parameter sumberdaya yaitu: 1) Sumberdaya hayati: penutupan lahan pantai, biota berbahaya dan sumberdaya ikan (jenis ikan dan hasil tangkap) 2) Sumberdaya non hayati: kedalaman perairan atau batimetri, tipe atau karakteristik pantai, lebar pantai, material dasar atau sedimen perairan, kemiringan pantai Masing-masing komponen keruangan dimasukkan dalam peta tematik Rupa Bumi Indonesia) dengan skala 1:25.000 (Bakosurtanal 2007), kemudian dioverlaykan untuk mendapatkan peta komposit (peta hasil analisis dengan cara overlay antara seluruh tema peta dalam penentuan kawasan wisata pantai kategori rekreasi di Kawasan Pesisir Kecamatan Pringkuku yang sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan) (Gambar 6).

Gambar 6 Gambaran overlay peta. 3.7 Analisis Kesenjangan (GAP Analisis) GAP analisis menyediakan kesempatan untuk merefleksikan praktek yang terjadi pada petunjuk informasi dan untuk melakukan analisis dengan memperhatikan isu potensial yang terjadi. Kemudian analisis yang digunakan dalam GAP analisis ditandai dan membuat rekomendasi dari hal tersebut (Barling

44

dan Simpson 2009). Pada GAP analisis, diidentifikasi perbedaan nilai pada kondisi aktual dengan nilai pada kondisi sesuai dengan daya dukungnya. Analisis GAP disini dianalisis dengan menggunakan Trade Off Analysis. Trade off analysis dimulai dengan melakukan analisis stakeholder untuk mengidentifikasi stakeholder. Informasi dari analisis ini dapat digunakan untuk pengembangan skenario, manajemen kriteria maupun prioritas manajemen. Dalam Trade Off Analysis pertama kali yang dilakukan adalah membuat skenario pengelolaan. Skenario pengelolaan dibuat pada tahap perencanaan. Skenario pengelolaan yang dibuat mencakup dampak ekonomi, sosial budaya, dan ekologi. Penentuan skenario bagi pengembangan pariwisata (tourism development) dan pengelolaan lingkungan (environmental management) terdapat 4 skenario (A, B, C dan D) dengan 3 kriteria (ekonomi, sosial, dan ekologi) dimana masing-masing kriteria memiliki beberapa sub criteria (Brown et al. 2001). Langkah kedua yaitu menentukan kriteria dan penilaian dampak. Kriteria yang digunakan antara lain ekonomi, sosial, dan lingkungan. Penilaian dampak diperoleh dari hasil diskusi para pakar dan stakeholders yang memiliki kepentingan dalam pengambilan keputusan. Langkah ketiga yaitu menentukan skor (skoring). Kriteria yang sudah ditentukan kemudian dipilah dengan melihat kriteria yang memberikan manfaat (a benefit) atau kriteria yang membutuhkan biaya (a cost). Setiap kriteria (baik ekonomi, sosial, ekologi) memiliki skor terendah 0, dan skor tertinggi 100. Kriteria yang hasil bagusnya sedikit dinilai 0, sebaliknya yang paling banyak dinilai 100. Langkah keempat yaitu melibatkan stakeholder dalam menyusun peringkat (skenario kebijakan). Pilihan stakeholders yang berbeda dapat dilakukan dengan berbagai cara akan menghasilkan prioritas yang akan mengubah posisi ranking dari skenario sebelumnya. Data yang dikumpulkan dapat berupa data nominal, ordinal, interval atau rasio yang kemudian diubah menjadi ranking dari masingmasing skenario. Langkah kelima yaitu pembobotan peringkat. Pembobotan peringkat dapat dilakukan dalam dua tahapan: pembobotan kriteria dan pembobotan sub kriteria. Pembobotan kriteria menunjukkan prioritas dari pengelolaan, sementara itu pembobotan sub criteria menunjukkan tingkat kepentingan sub kriteria tersebut.

45

Kemudian ranking dikalikan dengan skor dari masing-masing kriteria. Penjumlahan hasil kali rangking dan skor akan menghasilkan bobot skenario. Hasil yang diperoleh adalah peringkat skenario, sehingga dapat memilih skenario yang paling diinginkan. Pembobotan peringkat untuk manajemen prioritas ditunjukkan pada Tabel 11. Tabel 11 Pembobotan peringkat untuk manajemen prioritas Prioritas Pengelolaan

Bobot 0,40 0,55 0,05

Ekonomi Ekologi Sosial

Skenario yang ada kemudian dinilai secara menyeluruh. Penilaian dilakukan dengan membandingkan kinerja dari berbagai skenario dan setelah itu dikomunikasikan dengan pengambil keputusan. Diharapkan dengan menilai skenario dapat membuat kinerja lebih baik. Tiap kriteria menghasilkan keluaran lebih baik (nilai 100) maupun kurang (nilai 0). Angka dari kolom bobot kemudian dikalikan dengan angka pada skor rata-rata (average scores).

3.8 Analisis Kepuasan Wisatawan Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menganalisis kepuasan wisatawan adalah metode MUSA (Multicriteria Satisfaction Analysis). Metode MUSA menyajikan hasil analisis dalam bentuk diagram yang dapat membantu menentukan langkah perbaikan (aksi) yang dapat dilakukan. Kombinasi antara bobot dan rata-rata indeks kepuasan akan mendukung terhadap serangkaian aksi/tindakan pengelolaan yang mungkin dikembangkan (Gambar 7). Diagram yang dihasilkan dengan metode MUSA menunjukkan posisi indikator tingkat kepuasan yang dinilai berdasarkan 2 sumbu utama yaitu tingkat kepentingan dan pemanfaatan. Melalui diagram ini akan telihat adanya kesenjangan antara potensi yang ada dengan pemanfaatan yang sudah dilakukan. Analisis kepuasan pengunjung menunjukkan kesenjangan dari apa yang pengunjung inginkan (tingkat

kepentingan)

dengan

apa

yang

pemanfaatan) (Arabatzis dan Grigoroudis 2010).

pengunjung

dapatkan

(tingkat

46

MUSA digunakan untuk mengukur dan menganalisa kepuasan pengunjung. Evaluasi dilakukan pada tingkat kepuasan pada wisatawan berdasarkan pada nilai dan ungkapan yang dipilih mereka. MUSA secara kualitatif berdasarkan pertimbahan dan pilihan pengunjung (Grigoroudis dan Siskos 2002). Analisis kepuasan wisatawan dibagi menjadi kriteria utama dan sub kriteria. Kriteria utama terbagia atas lima kriteria yaitu petugas di kawasan, karakteristik alam, infrastruktur, fasilitas dan informasi-komunikasi. Dari setiap kriteria utama tersebut terdapat sub kriteria yaitu : 1. Petugas di kawasan terdiri atas: pengetahuan, pelayanan, komunikasi dan kesopanan 2. Karakteristik alam terdiri atas: keindahan alam, pantai berpasir, dan kejernihan air, 3. Infrastruktur terdiri atas: jalan dan penginapan, 4. Fasilitas terdiri atas: pusat informasi, tempat duduk, kios, toilet, tempat sampah, dan tempat ibadah, 5. Informasi-komunikasi terdiri atas: tanda dan papan petunjuk Masing-masing kriteria utama dan sub kriteria memiliki bobot. Bobot ditentukan berdasarkan tingkat kepentingan dari tiap kriteria dan sub kriteria (Arabatzis dan Grigoroudis 2010). Bobot untuk kriteria dan sub kriteria disajikan pada Tabel 12 dan 13. Tabel 12 Bobot dan indeks kepuasan dari kriteria utama Kriteria

Bobot (%)

Petugas di kawasan

18,38a

Karakteristik alam

23,76a

Infrastruktur

20,43a

Fasilitas

19,07a

Informasi-komunikasi

18,36a

a

Keterangan: = adaptasi dari Arabatzis dan Grigoroudis 2010

Tiap kriteria dan sub kriteria dihitung indeks kepuasannya. Indeks kepuasan tersebut diperoleh dari hasil perkalian antara skor dan nilai kepuasan wisatawan yang diperoleh dari hasil wawancara. Hasil yang diperoleh yaitu nilai

47

antara 1-100. Pada sub kriteria perhitungan indeks kepuasan juga dilakukan dengan cara yang sama. Secara rinci ditunjukkan pada Tabel 14. Tabel 13 Bobot dan indeks kepuasan dari sub kriteria Sub kriteria

Bobot (%)

Pengetahuan

9,70a

Pelayanan

2,80a

Komunikasi

2,85a

Kesopanan

3,03a

Keindahan alam

7,25a

Pantai berpasir

8,38a

Kejernihan air

8,14a

Jalan (menuju kawasan)

8,52a

Penginapan

11,91a

Pusat informasi

2,28a

Tempat duduk

4,79a

Kios

3,16a

Toilet

2,53a

Tempat sampah

3,48a

Tempat ibadah

2,84a

Tanda

7,68a 10,68a

Papan petunjuk a

Keterangan: = adaptasi dari Arabatzis dan Grigoroudis 2010

Tabel 14 Perhitungan indeks kepuasan wisatawan Kriteria

Bobot

Skor 1 (Kurang)

2 (Cukup)

3 (Puas)

Total

Petugas kawasan (a)

18,38

a*1

a*2

a*3

a

Karakteristik alam (b)

23,76

b*1

b*2

b*3

b

Infrastruktur (c)

20,43

c*1

c*2

c*3

c

Fasilitas (d)

19,07

d*1

d*2

d*3

d

Informasi-komunikasi (e)

18,36

e*1

e*2

e*3

e

Sumber Keterangan

Indeks ( a x bobot) 100 ( b x bobot) 100 ( c x bobot) 100 ( d x bobot) 100 ( e x bobot) 100

: Arabatzis dan Siskos 2010 : a = petugas di kawasan b = karakteristik c = infrastruktur d = fasilitas e = informasi-komunikasi

Diagram aksi terbagi dalam 4 kuadran berdasarkan tingkat pemanfaatan (rendah sampai dengan tinggi) dan tingkat kepentingan (rendah sampai dengan

48

tinggi). Kuadran tersebut mengklasifikasikan aksi/tindakan yang dapat dilakukan bersarkan indeks kepuasan konsumen, yaitu: 1) Status Quo (pemanfaatan rendah dan kepentingan rendah): secara umum, tidak ada aksi/tindakan yang diperlukan, 2) Leverage opportunity (pemanfaatan tinggi/kepentingan tinggi): area ini dapat dikembangkan/digunakan sebagai area yang memiliki daya saing tinggi, 3) Transfer resources (pemanfaatan tinggi/kepentingan rendah): sumberdaya perusahaan yang ada dapat digunakan dengan baik dimanapun 4) Action opportunity (pelaksanaan rendah/kepentingan tinggi): kuadran yang membutuhkan perhatian untuk dikembangkan.

Gambar 7 Diagram aksi (Costumers Satisfaction Council 1995 in Arabatzis dan Grigoroudis 2010)

4 KONDISI UMUM 4.1

Kondisi Gografis Kabupaten Pacitan berada di Provinsi Jawa Timur bagian Selatan yang

secara geografis berada pada 100°55’ - 111° 25’ BT, 07° 55’ - 08° 17’ LS dengan luas wilayah 1.419,44 km². Sebagian besar wilayahnya berupa perbukitan dan tanah kapur yang merupakan bagian pegunungan kapur selatan (membentang dari Gunung Kidul hingga Trenggalek menghadap ke Samudera Hindia).

Secara

administratif, Kabupaten Pacitan dibagi menjadi 4 wilayah pembantu bupati, 12 wilayah kecamatan, 5 kelurahan dan 159 desa. Kabupaten ini merupakan pintu gerbang Provinsi Jawa Tengah serta Daerah Istimewa Yogyakarta (BPS Kab. Pacitan 2012). Adapun batas wilayah Kabupaten Pacitan sebagai berikut: Sebelah Timur

: Kabupaten Trenggalek,

Sebelah Selatan

: Samudera Hindia,

Sebelah Barat

: Kabupaten Wonogiri (Jawa Tengah),

Sebelah Utara

: Kabupaten Ponorogo.

Kabupaten Pacitan berada pada ketinggian 0-1.500 meter di atas permukaan laut (dpl) yang terdiri atas wilayah yang berada pada 7-25 meter dpl sebesar 2,62%; 25-100 meter dpl sebesar 2,67%; 100-500 meter dpl sebesar 52,68%; 5001.000 meter dpl sebesar 36,43% dan >1.000 meter dpl sebesar 5,59%. Kabupaten Pacitan memiliki jenis tanah alluvial kelabu endapan liat seluas 3.969 Ha atau 4,04%, assosiasi litosol dan mediteran merah seluas 4.629 Ha atau 4,71%, litosol campuran tuf dan bahan vulkan seluas 58.097 Ha atau 59,15% dan kompleks litosol kemerahan dan litosol seluas 31.529 Ha atau 32,10% (Balitbang Kab. Pacitan 2003). Berdasarkan tingkat kemiringannya, komposisi lahan di Kabupaten Pacitan dapat digolongkan menjadi datar (10%), berombak (10%), bergelombang (4%), berbukit (52%) dan bergunung (10%). Lahan disebut datar apabila kemiringannya ≤ 5%, berombak bila kemiringannya 6–10%, bergelombang bila kemiringannya 11–30%, berbukit bila kemiringannya 31–50% serta bergunung apabila kemiringannya >50% (Balitbang Kab. Pacitan 2003).

50

Kabupaten Pacitan memiliki tujuh kecamatan pesisir (kecamatan yang berbatasan langsung dengan laut) yaitu Kecamatan Donorojo, Kecamatan Pringkuku, Kecamatan Pacitan, Kecamatan Kebonagung, Kecamatan Tulakan, Kecamatan Ngadirojo dan Kecamatan Sudimoro. Luas laut mencapai 523,92 km², dimana panjang pantai mencapai 70.709 km (Gambar 8). Lokasi penelitian dilakukan di Kecamatan Pringkuku yang merupakan kecamatan pesisir dengan potensi perikanan dan kelautan yang sangat tinggi. Selain itu, potensi wisata bahari yang ada juga belum mampu dikelola dengan optimal sehingga manfaat ekonominya belum banyak dirasakan oleh masyarakat.

Garis pantai = 70,709 km

Gambar 8 Peta wilayah pesisir Kabupaten Pacitan (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pacitan 2009). 4.2 Iklim dan Cuaca 4.2.1 Curah hujan Kabupaten Pacitan dipengaruhi oleh iklim tropika basah yang memiliki dua musim yaitu musim hujan (Bulan Oktober-April) dan musim kemarau (Bulan

51

April-Oktober). Hal ini tidak jauh berbeda dengan daerah lain di Pulau Jawa. Begitu pula dengan Kecamatan Pringkuku, namun pada tahun 2011 musim hujan baru dimulai pada bulan November (Tabel 15). Tabel 15 Curah hujan dan hari hujan di Kecamatan Pringkuku Tahun 2011 Curah hujan (mm) Rata-rata 349 481 314 255 186 3 5 0 0 33 213 503

Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember

Hari hujan (hari) Rata-rata 23 20 26 17 10 2 2 0 0 1 15 25

Sumber: Dinas Pengairan Kabupaten Pacitan (diolah), 2011

Rata-rata curah hujan bulanan berkisar 3-503 mm. Curah hujan maksimum mencapai 503 mm terjadi pada Bulan Desember dan curah hujan minimum (3 mm) terjadi pada Bulan Juni. Musim hujan di Kecamatan Pringkuku dimulai pada bulan November dengan curah hujan kurang dari 250 mm sampai dengan bulan Mei dengan curah hujan sebesar 186 mm. 4.2.2 Suhu udara Suhu udara merupakan keadaan panas atau dinginnya suatu udara. Suhu udara berfluktuasi selama 24 jam. Fluktuasi tersebut terkait dengan proses pertukaran energi yang berlangsung di atmosfer. Suhu udara harian maksimum terjadi pada tengah hari dimana terjadi intensitas cahaya maksimum pada saat berkas

cahaya

jatuh

tegak

lurus

(Lakitan

1994).

Suhu

udara

dapat

menggambarkan kondisi kering ataupun basah dari suatu wilayah. Suhu udara saat ini semakin tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Hal ini dikarenakan adanya perubahan iklim (global warming). Suhu udara di kabupaten Pacitan masih berada pada kisaran 24-26 oC. Suhu udara rata–rata di Kabupaten Pacitan berkisar 24,3-26,9 oC dengan suhu rata-rata tahunan sebesar 26,0 oC. Suhu ratarata harian di daerah tropis relatif konstan sepanjang tahun. Suhu maksimum

52

terjadi pada bulan November-Desember yaitu sebesar 26,9 oC, sedangkan suhu paling minimum terjadi pada bulan Agustus yaitu 24,3 oC (Tabel 16). Tabel 16 Suhu udara Kabupaten Pacitan Tahun 2011 Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember

Suhu rata-rata (oC) 26,7 26,5 26,4 26,5 26,4 24,7 24,6 24,3 25,3 26,5 26,9 26,9

Sumber: Pangkalan TNI AU Iswahyudi Detasemen Pacitan (2011)

4.2.3 Angin Angin dapat mempengaruhi pembentukan gelombang, arus air, perpindahan pasir dan pembentukan gumuk pasir. Perubahan musim dapat mempengaruhi perubahan arah dan kecepatan angin. Pada saat musim kemarau angin dengan kecepatan tinggi bertiup dari timur sampai tenggara, sementara itu ketika mendekati musim hujan, angin menjadi lebih lemah dan bertiup dari barat daya sampai barat laut. Kecepatan angin relatif tinggi pada siang hari seiring dengan dengan besarnya perbedaan suhu daratan dan lautan (Sofyan 1999 in Arifin et al. 2002). Kecepatan dan arah angin di Kabupaten Pacitan tahun 2011 disajikan pada Tabel 17. Tabel 17 Kecepatan dan arah angin di Kabupaten Pacitan Tahun 2011 Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember

Kecepatan rata-rata (Knot) 6,3 6,4 6,8 5,7 5,6 6,5 7,5 8,5 8,9 8,8 7,9 6,4

Arah (o) 231 224 241 189 172 152 158 162 163 181 183 199

Sumber: Pangkalan TNI AU Iswahyudi Detasemen Klimatologi Pacitan (2011)

53

Distribusi arah dan kecepatan angin dalam setahun tergantung pada musim. Pada Bulan Juli sampai dengan Oktober, angin bertiup lebih kencang daripada Bulan Desember hingga Juni. Kecepatan angin maksimum terjadi pada Bulan September yang mencapai 8,9 knot dengan arah dominan dari tenggara (163°). Pada Bulan Mei, kecepatan angin menjadi sangat rendah (5,6 knot) dengan arah 172°. 4.2.4

Pasang surut Pasang surut (pasut) memberikan pengaruh terhadap kawasan pesisir.

Pasang surut merupakan naik dan turunnya permukaan laut secara periodik pada suatu interval waktu tertentu (Nybakken 1992). Pasang surut memiliki beberapa tipe, yaitu tipe tunggal, ganda dan campuran. Tipe pasang surut tunggal, terjadi jika dalam sehari perairan mengalami satu kali pasang dan surut. Apabila dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut, maka disebut tipe pasang surut ganda. Tipe pasang surut campuran merupakan peralihan antara tipe tunggal dan ganda. Tipe pasang surut di kawasan pesisir Kabupaten Pacitan termasuk dalam tipe campuran dominan ganda (Gambar 9).

Gambar 9 Pasang surut yang terjadi di Pesisir Kabupaten Pacitan. Sumber: Balai Penelitian dan Observasi Laut (2011)

Tipe pasang surut campuran dominan ganda yaitu tipe pasang surut dimana dalam satu hari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut. Tipe pasang surut ini diketahui setelah dilakukan penghitungan terhadap gerakan pasang surut terhadap suatu muka air. Pengamatan gerakan pasut dilakukan di Pantai Teleng Ria Kabupaten Pacitan. Hasil pengamatan tersebut diketahui tipe pasang surut perairan Kabupaten Pacitan.

54

4.2.5 Arus dan gelombang Arus permukaan (hingga kedalaman 150-200 meter) sangat dipengaruhi faktor angin.

Arah arus dominan di kawasan pesisir Kecamatan Pringkuku

umumnya adalah timur laut-barat daya dengan kecepatan rata-rata 0,25 m/dtk. Tinggi gelombangnya sekitar 2,5 m dengan periode 7,5 detik dan arah dominan dari Tenggara ke Barat Laut. DJPT (2005) mengemukakan bahwa karakteristik gelombang di Kabupaten Pacitan memiliki tinggi gelombang datang (H0) 4,8 meter dan periode gelombang (T) 10,8 detik dengan arah datang dominan dari Tenggara dan Selatan. 4.2.6 Batimetri Peta batimetri umumnya menampilkan relief dasar dengan garis-garis kontur yang biasa disebut kontur kedalaman atau isobath dan dapat memiliki informasi tambahan berupa informasi navigasi permukaan. Kontur dasar laut Pantai Selatan Jawa sangat berbeda jika dibandingkan dengan Pantai Utara Jawa. Kabupaten Pacitan yang wilayahnya merupakan bagian dari Laut Selatan Jawa memiliki kedalaman perairan yang bervariasi. Perairan di dalam Teluk Pacitan memiliki kedalaman yang relatif dangkal, sedangkan perairan yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia memiliki kontur kedalaman yang ekstrim (Gambar 10).

Gambar 10 Batimetri Pantai Selatan Jawa

55

Perubahan profil kedalaman sangat cepat seiring dengan bertambahnya jarak dari pantai. Hal ini menjadi salah satu penyebab tingginya gelombang di pesisir Selatan Jawa ketika musim barat sehingga menyebabkan nelayan tidak dapat melakukan operasi penangkapan. 4.3

Kecamatan Pringkuku Kecamatan Pringkuku merupakan salah satu kecamatan pesisir di

Kabupaten Pacitan yang memiliki panjang garis pantai 15,779 km dengan luas kewenangan 4 mil sebesar 116,89 km². Kecamatan Pringkuku memiliki 5 desa pesisir yaitu Desa Dadapan, Poko, Candi, Jlubang dan Watukarung. Namun desa utama yang menjadi pusat kegiatan pesisir (baik wisata maupun perikanan) adalah Desa Candi dan Desa Watukarung. Kecamatan Pringkuku memiliki 20 pantai berpasir baik berpasir putih maupun kecoklatan. Pantai berpasir tersebut antara lain Pantai Tuguragung, Pantai Pare, Pantai Srau, Pantai Wayang, Pantai Gampar, Pantai Wawaran, Pantai Mblue, Pantai Kreweng, Pantai Seruni, Pantai Peden Ombo, Pantai Kasap, Pantai Brecak, Pantai Watukarung, Pantai Sirahtowo, Pantai Jantur, Pantai Ngalurombo/pasir putih, Pantai Waduk, Pantai Ngalihan, Pantai Bresah dan Pantai Geben. Pada tahun 2010, jumlah penduduk di Kecamatan Pringkuku sebesar 32.166 jiwa yang terdiri atas 15.197 jiwa penduduk laki-laki dan 16.969 perempuan. Berdasarkan jumlah penduduk tersebut, kepadatan penduduk per km² adalah 242 jiwa (BPS 2011). 4.3.1 Desa Dadapan Desa Dadapan berbatasan dengan Desa Pringkuku di sebelah Utara, Samudera Hindia di sebelah Selatan, Kelurahan Sidoharjo di sebelah Timur dan Desa Poko di sebelah Barat (Lampiran 3). Desa Dadapan memiliki bentang wilayah yang berbukit-bukit. Suhu rata-rata harian desa Dadapan 32 °C dengan kelembaban udara 40%. Jarak desa Dadapan dari ibukota kecamatan sekitar 9 km, sedangkan jarak ke ibukota Kabupaten Pacitan sekitar 12 km (BPMPD 2011a). Desa Dadapan memiliki luas wilayah sekitar 137,35 ha dengan jumlah penduduk mencapai 1.797 jiwa (BPMPD 2011a). Desa yang berada sekitar 300 meter dpl

56

memiliki sebuah pantai berpasir yang cukup indah yaitu Pantai Tuguragung (BPS 2011). 4.3.2 Desa Poko Desa Poko bersebelahan dengan Desa Dadapan (Lampiran 4). Desa Poko memiliki ketinggi 100 meter di atas permukaan laut. Desa ini memiliki luas 9,58 km2 dengan jumlah penduduk 2305 jiwa (BPS 2011). Jarak Desa Poko dari kota Kecamatan yaitu 12 km. Desa Poko tidak memiliki pantai berpasir. Area yang berbatasan dengan pesisir adalah area yang terjal (berupa tebing). Mayoritas masyarakat Desa Poko bermata pencaharian petani dan beternak. Desa Poko memiliki bentang wilayah yang berbukit-bukit. Suhu rata-rata harian Desa Poko 32 °C dengan kelembaban udara 40% (BPS 2011). 4.3.3 Desa Candi Desa Candi berbatasan dengan Desa Pringkuku di sebelah Utara, Samudera Hindia di sebelah selatan, Desa Jlubang di sebelah Barat dan Desa Poko di sebelah Timur (Lampiran 5). Desa Candi merupakan salah satu desa pesisir yang memiliki cukup banyak pantai berpasir putih. Pantai berpasir putih yang terletak di desa Candi ini adalah Pantai Pare, Pantai Srau, Pantai Wayang, Pantai Nduto, Pantai Gampar, Pantai Wawaran, Pantai Mblue dan Pantai Kreweng. Pantai Pare hingga Pantai Mblue terletak dalam satu kawasan yang telah dikelola menjadi kawasan wisata yaitu kawasan wisata Pantai Srau. Desa Candi memiliki bentang alam berbukit-bukit dengan luas wilayah 16,19 km². Suhu rata-rata sekitar 22 °C dan terletak 350 meter dpl (Desa Candi 2011). Jarak Desa Candi dari ibukota kecamatan sekitar 14 km, sedangkan jarak dari ibukota kabupaten sekitar 17 km. Jumlah penduduk di desa ini sekitar 3.292 orang (BPMPD 2011b). 4.3.4 Desa Jlubang Desa Jlubang memiliki bentang wilayah yang berbukit-bukit yang didominasi oleh dataran tinggi dan pegunungan. Suhu rata-rata harian 33 °C dengan luas wilayah sekitar 954,86 ha. Desa Jlubang berbatasan dengan Desa Sobo di sebelah Utara, Samudera Hindia di sebelah Selatan, Desa Candi di

57

sebelah Timur dan Desa Sugihwaras di sebelah Barat (Lampiran 6). Jumlah penduduknya 1.837 jiwa (BPMPD 2011c) dan berada pada ketinggian sekitar 254 meter dpl (BPS 2011). Jarak Desa Dadapan dari ibukota kecamatan sekitar 12 km, sedangkan jarak ke ibukota Kabupaten Pacitan sekitar 22 km (BPMPD 2011c). Desa Jlubang memiliki Pantai Seruni sebagai salah satu tujuan wisata yang menjadi andalan masyarakat setempat setempat. Pantai Seruni tersebut masuk dalam kawasan wisata Watukarung. 4.3.5 Desa Watukarung Desa Watukarung merupakan salah satu desa di Kecamatan Pringkuku yang memiliki pantai berpasir putih. Pantai yang terdapat di desa Watukarung antara lain Pantai Peden Ombo, Pantai Kasap, Pantai Mbrecak, Pantai Watukarung, Pantai Sirah Towo, Pantai Njantur, Pantai Ngalurombo, Pantai Waduk, Pantai Ngalihan, Pantai Mbresah dan Pantai Geben. Desa Watukarung memiliki bentang wilayah yang berbukit-bukit, dengan dataran tinggi dan pegunungan sebagai bentang dominan. Desa ini berbatasan dengan Desa Dersono di sebelah Utara, Samudera Hindia di sebelah Selatan, Desa Jlubang di sebelah Timur dan Desa Sendang di sebelah Barat (Lampiran 7). Desa Jlubang memiliki luas wilayah sekitar 505,514 ha, dengan jumlah penduduk 1.582 jiwa (BPMPD 2011d) dan berada pada ketinggian sekitar 160 meter dpl (BPS 2011). Jarak desa Watukarung dari ibukota Kecamatan sekitar 15 km, sedangkan jarak ke ibukota Kabupaten Pacitan sekitar 25 km (BPMPD 2011d). 4.4 Kondisi Wisata Kabupaten Pacitan memiliki banyak obyek wisata seperti goa, pemandian air hangat dan pantai. Terdapat tujuh kecamatan pesisir yang sebagian besar dimanfaatkan untuk kegiatan wisata pantai. Kecamatan Pringkuku merupakan salah satu kecamatan pesisir yang memiliki dua kawasan wisata yang cukup terkenal yaitu Srau dan Watukarung. Srau memiliki enam pantai berpasir yang dimanfaatkan untuk kegiatan wisata. Kawasan Watukarung memiliki 13 pantai berpasir yang dapat dimanfaatkan untuk kegiatan wisata. Kawasan wisata Srau dan Watukarung menjadi tujuan wisatawan karena pantainya yang masih asli dan pemandangannya yang indah. Selain itu wisatawan mancanegara banyak yang

58

mengunjungi kawasan tersebut untuk melakukan aktivitas surfing. Biasanya mereka datang ke kawasan tersebut (terutama Watukarung) saat musim gelombang tinggi. Sebelumnya para wisatawan mancanegara mencari informasi di internet tentang musim gelombang tersebut. Jumlah wisatawan yang berkunjung di kawasan Srau dan Watukarung sebenarnya tidak jauh berbeda, namun pencatatan kunjungan di Srau lebih teratur (Tabel 18). Hal tersebut dikarenakan Srau sudah dikelola oleh Pemerintah Daerah setempat (Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga) sehingga data kunjungan wisata telah didokumentasikan lebih jelas. Pengelolaan Kawasan Watukarung masih dilakukan oleh pihak lokal (desa setempat) sehingga belum terdokumentasikan dengan baik. Tabel 18 Jumlah kunjungan wisatawan (orang) di Srau dan Watukarung Tahun 2000-2011 Tahun 2000 2001 2002 2003 2008 2009 2010 2011

Kawasan Srau 5.276 774 9.655 10.531 14.375 20.332 24.303 30.164

Watukarung 5.000 10.000 12.000 15.000

Sumber: Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga 2012 dan Data Primer Lapang 2012

Wisatawan yang melakukan kunjungan ke kedua kawasan tersebut relatif mengalami peningkatan dari tahun ke tahun (Gambar 11). Pada tahun 2001 jumlah kunjungan wiasatawan ke kawasan Srau sempat mengalami penurunan karena adanya isu yang kurang baik mengenai kawasan pesisir. Kawasan Srau mengalami peningkatan jumlah pengunjung tertinggi pada tahun 2009 yaitu sekitar 41,44%. Persentase peningkatan jumlah pengunjung tahun 2010 dan 2011 masing-masing sebesar 19,53% dan 24,12%. Persentase peningkatan jumlah pengunjung kawasan Watukarung pada tahun 2010 sebesar 20,00% dan pada tahun 2011 sebesar 25,00%. Rata-rata peningkatan jumlah pengunjung per tahun untuk kawasan Srau sekitar 28% sedangkan untuk kawasan Watukarung sekitar 22,00%

59

Gambar 11 Fluktuasi kunjungan wisatawan di Kawasan Srau dan Watukarung tahun 2008-2011 (Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga 2012 dan data primer lapang 2012, diolah). Hal tersebut tidak hanya terjadi di kawasan Srau saja namun hampir semua kawasan pesisir di Kabupaten Pacitan. Pada tahun-tahun berikutnya cenderung mengalami kenaikan karena masyarakat mulai banyak yang tertarik mengunjungi kawasan tersebut. Hingga tahun 2011 kunjungan wisatawan terus mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut dikarenakan makin banyaknya kawasan wisata di Kabupaten Pacitan yang dikelola oleh Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Pacitan. 4.5 Kondisi Perikanan Kabupaten Pacitan merupakan salah satu kabupaten pesisir yang memiliki potensi perikanan cukup beragam, terutama untuk perikanan tangkap. Produksi perikanan tangkap di laut dalam kurun waktu 6 tahun terakhir terus mengalami peningkatan (Tabel 19). Peningkatan hasil tangkapan di Kabupaten Pacitan didukung dengan dibangunnya Pelabuhan Perikanan Pantai Tamperan yang menjadi pusat kegiatan perikanan di Kabupaten Pacitan. Pelabuhan ini mampu menampung cukup banyak kapal dibandingkan sebelum dibangun pelabuhan. Armada penangkapan yang beraktivitas pun juga semakin bertambah.

60

Tabel 19 Produksi perikanan laut (kg) Kabupaten Pacitan menurut jenis ikan (Tahun 2005-2010) Tahun

No

Jenis Ikan

1 2 3

Tuna Cakalang Bawal/Dorang

67.069

4

Kembung

5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38

Udang Lobster Udang Merah Rebon Teri Tongkol/Abon Lemuru Tengiri Layur Julung-julung Tiga Waja Ekor Kuning Ikan Kue Manyung Kurau Cucut/Kelong Pari Kakap Remang Kerapu Layang Marlin Sebelah Lemadang Kuniran Golok golok Udang jerbung Lencam Cumi cumi Peperek Kurisi Pogot Rumput laut Lain-lain

2005

2006

2007

2008

2009

2010

74.231 21.230 84.030

1.153.236 556.782 40.816

1.181.905 725.847 3.719

1.688.588 959.927

1.589.989 1.352.778

90.800

109.837

84.252

5.539

66.360

43.038

23.759 2.784 28.128 51.610 190.478 85.495 77.485 177.454 54.444 64.292 25.940 62.178 94.340 52.242 113.610 90.302 59.812 11.531 14.503 121.293

11.133 6.079 65.002 96.556 184.242 90.557 51.885 192.523 64.593 79.119 44.996 55.439 140.540 46.253 123.507 94.785 25.642 14.007 27.088 20.077 148.249

41.134 2.176 52.376 35.070 163.584 66.737 63.320 133.094 24.920 41.050 25.395 27.520 95.063 68.833 45.860 38.397 12.567 24.835 24.286 24.316 16.852 17.661 14.900 8.067 7.688 1.631 1.632 974 159 15.240 184.238

28.017 90.344 56.395 448.314 109.208 192.337 120.935 22.639 22.444 9.359 183 12.904 33.276 9.556 19.053 728 10.879 834 1.183 4.555 40.635 3.087 16 147 2.965 1.093 1.637 278.739

9.163 1.414

15.822 110 124.752 493.711 179.559 13.763 236.046 6.508 7.728 5.448 11.488 32.129

6.210

27.369 394.900 72.789 4.022 350.297 427 1.922 6.314 652 15.163 403 19.521 42.675 4.826 3.342 270.648 736 35.210 490 560 411 1.429 408 20.951 554.226

7.566 38.636 57.371 11.556 5.094 514.249 196 1.316 85.110 3.740 1.042 1.020 127.227 83.696

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan (Kabupaten Pacitan) 2011

Berdasarkan data perikanan tangkap di Kabupaten Pacitan dilakukan penghitungan CPUE. Penghitungan CPUE tersebut dikelompokkan dalam dua jenis yaitu jenis ikan pelagis dan ikan demersal. Nilai MSY untuk ikan pelagis sebesar 5.961,86 ton dan produksi aktual tahun 2012 sebesar 5.013,55 ton. Hal ini menunjukkan masih ada potensi sumberdaya ikan pelagis yang belum dimanfaatkan sebesar 948,31 ton (Gambar 12).

61

Gambar 12 MSY Kabupaten Pacitan dari jenis ikan pelagis Nilai MSY untuk ikan pelagis sebesar 2.437,82 ton dan produksi aktual tahun 2012 sebesar 1.575.71 ton. Hal ini menunjukkan masih ada potensi sumberdaya ikan pelagis yang belum dimanfaatkan sebesar 862,11 ton (Gambar 13).

Dalam mengetahui hubungan upaya dengan tangkapan digunakan

pendekatan surplus produksi. Dalam pendekatan tersebut tangkapan bergantung pada tempat menangkapnya.

Gambar 13 MSY Kabupaten Pacitan dari jenis ikan demersal Produksi perikanan di Kecamatan Pringkuku yang didaratkan di TPI Watukarung mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun (Tabel 20).

Produksi

perikanan yang dihasilkan berasal dari nelayan tradisional dengan trip penangkapan harian (one day fishing). Lama trip penangkapan yang dilakukan dalam sehari kurang lebih enam jam.

62

Tabel 20

Jumlah produksi perikanan tangkap Kecamatan Pringkuku Tahun 2005-2011 Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Produksi tangkapan (kg) 212.115 308.484 326.685 374.561 406.560 331.982 224.105

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan (Kabupaten Pacitan) 2011 Fluktuasi hasil tangkapan di Kabupaten Pacitan dan Kecamatan Pringkuku cukup berbeda (Gambar 14). Produksi perikanan Kabupaten Pacitan cenderung mengalami kenaikan dari tahun ke tahun, sedangkan di Kecamatan Pringkuku mengalami peningkatan dan penurunan.

Gambar 14 Fluktuasi produksi perikanan di Kabupaten Pacitan dan Kecamatan Pringkuku (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pacitan 2011, diolah). Peningkatan produksi perikanan di Kabupaten Pacitan dipengaruhi oleh hasil tangkapan yang didaratkan di PPP Tamperan. Armada penangkapan yang mendaratkan hasil tangkapan di PPP Tamperan tidak hanya berasal dari Pacitan, namun juga dari berbagai wilayah di luar Pacitan seperti Sulawesi dan Cilacap dengan ukuran kapal yang lebih besar, daerah penangkapan yang lebih luas dan peralatan yang lebih modern. Daerah penangkapan ikan nelayan di Kecamatan Pringkuku sebagian besar di sekitar perairan Watukarung dan Srau dengan jarak tempuh singkat dan trip bersifat harian. Hal ini menyebabkan produksi di

63

Kecamatan Pringkuku hanya mendukung sekitar 6% dari produksi perikanan di Kabupaten Pacitan. Kegiatan perikanan di Kecamatan Pringkuku ditunjang dengan dibangunnya TPI Watukarung. Penjualan hasil tangkapan tidak dilakukan dengan sistem lelang, namun langsung dijual ke tengkulak setelah dilakukan penimbangan. Kondisi TPI Watukarung dan beberapa hasil tangkapan ditunjukkan pada Gambar 15.

Gambar 15 TPI Watukarung dan beberapa hasil tangkapan Tempat Pendaratan Ikan (TPI) di Kecamatan Pringkuku terletak di muara sungai untuk memudahkan pendaratan ikan dan penambatan kapal penangkapan. Jenis kapal yang digunakan untuk kegiatan penangkapan ikan terdiri atas perahu motor tempel dan perahu tanpa motor (Gambar 16). Perahu motor tempel yang digunakan terdiri atas tiga jenis, yaitu perahu jukung, bercadik dan tanpa cadik. Sementara itu untuk perahu tanpa motor hanya ada satu jenis yaitu perahu dayung. Perahu motor tempel (bercadik) memiliki panjang 9 meter, lebar 1 meter dan kedalaman 0,60 meter. Perahu tersebut mampu menampung maksimal 3-4 orang. Perahu motor tempel (tanpa cadik) memiliki panjang 5,5 meter; lebar 1,1 meter dan kedalaman 0,4-0,5 meter. Perahu tanpa cadik mampu menampung 2-3 orang. Perahu motor tempel (jukung) memiliki panjang 4 meter; lebar 0,7 meter dan kedalaman 0,3 meter. Perahu jukung mampu menampung dua orang. Perahu tanpa motor (dayung) memiliki panjang 3,0-3,5 meter; lebar 0,5-0,6 meter dan kedalaman 0,20-0,25 meter. Perahu dayung hanya mampu menampung satu orang Jumlah kapal mengalami kenaikan dari tahun ke tahun (Tabel 21). Pada tahun 2011 jumlah kapal sama dengan tahun sebelumnya. Kenaikan tersebut

64

dipengaruhi oleh bertambahnya jumlah nelayan dari tahun ke tahun (Tabel 22) maupun penambahan kapal yang dilakukan oleh pemilik perahu (juragan).

(a)

(b)

(c)

(d)

Gambar 16 Perahu motor tempel : (a) perahu bercadik, (b) perahu tanpa cadik, (c) perahu jukung; perahu tanpa motor : (d) perahu dayung Tabel 21 Jumlah kapal perikanan di Kecamatan Pringkuku Tahun 2003-2010 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Jenis Kapal Motor tempel (buah) 75 101 106 77 103 177 215 218 218

Tanpa motor 3 5 5 5 5 5 5 5 5

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pacitan 2012

Jumlah nelayan di Kecamatan Pringkuku mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Peningkatan tersebut disebabkan datangnya nelayan dari daerah lain yang melakukan kegiatan penangkapan di wilayah perairan Watukarung. Selain

65

itu, anggota keluarga (anak) dari nelayan tersebut sebagian besar mengikuti orangtuanya untuk menjadi nelayan. Tabel 22 Jumlah nelayan di Kecamatan Pringkuku Tahun 2003-2010 Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Jumlah nelayan 598 628 619 619 619 619 673 681 681

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pacitan 2012

Kenaikan jumlah nelayan dari tahun ke tahun berpengaruh terhadap jumlah alat tangkap yang ada sehingga jumlahnya juga mengalami peningkatan (Tabel 23). Jenis alat tangkap dominan yang digunakan oleh nelayan adalah gillnet dan pancing. Umumnya dalam satu kapal nelayan mengoperasikan lebih dari satu alat tangkap yang disesuaikan dengan musim ikan yang sedang berlangsung. Hal ini dilakukan agar nelayan tetap memperoleh pendapatan dari hasil melaut sepanjang tahun. Tabel 23 Jumlah alat tangkap Kecamatan Pringkuku Tahun 2010 Jenis alat tangkap Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Jaring (unit) 30 19 17 223 202 180 164 164

Pancing (basket)

bubu (unit)

761 403 403 103 403 410 416 416

550 557 255 16 750 300 273 270

Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pacitan 2012

gillnet (unit) 1.595 1.477 1.479 1.400 1.350 1.300 1.150 1.150

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Kawasan Pesisir Kecamatan Pringkuku 5.1.1 Pantai Tuguragung Pantai Tuguragung berada di Desa Dadapan Kecamatan Pringkuku dengan lebar pantai 9,5 meter dan panjang pantai 35 m (Gambar 17). Karakteristik pantai berpasir di Pantai Tuguragung berwarna kecoklatan. Jarak yang harus ditempuh untuk menuju pantai ini cukup jauh karena melewati jalan setapak dan tegalan sawah milik masyarakat. Tepi pantainya di dominasi oleh batuan besar dan kecil. Pantai ini dimanfaatkan sebagai tempat memancing. Pantai Tuguragung belum dikelola sebagai kawasan wisata dan masyarakat memanfaatkan pantai ini sebagai lokasi untuk mencari kerang-kerangan dan ikan (Lampiran 8). Jenis kerang yang banyak diperoleh adalah jenis Turbo dan Cypraea.

Gambar 17 Kondisi Pantai Tuguragung 5.1.2 Kawasan Srau Kawasan Srau merupakan kawasan pesisir yang terletak di desa Candi (Lampiran 9). Kawasan Srau terdiri atas enam pantai berpasir. Keenam pantai berpasir tersebut adalah pantai Pare, Pantai Srau, Pantai Wayang, Pantai Gampar, Pantai Wawaran dan Pantai Mblue. Kawasan Srau memiliki satu pintu (loket masuk). Kawasan Srau dikelola oleh Pemda setempat yaitu Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Pacitan. Petugas penjaga loket masuk melibatkan masyarakat sekitar. Selain itu masyarakat sekitar juga dilibatkan dalam kegiatan wisata yaitu sebagai penjaga loket, penjaga mushola dan penjual makanan ataupun oleh-oleh. Pada kawasan Srau ini dapat dilihat beberapa pulau teras terangkat. Pulau teras terangkat merupakan pulau yang terbentuk dari proses

68

tektonik, namun pada saat pengangkatan terjadi pembentukan teras yang sebagian besar berasal dari koral (Bengen dan Retraubun 2006). Potensi air permukaan di pulau ini sedikit tetapi cukup banyak air tanahnya terutama jika batuan dasar dari pulau ini terdiri atas endapan yang kedap air sehingga memungkinkan air tersimpan di dalam akuifer batu gamping (Bengen dan Retraubun 2006). Gambaran pulau teras terangkat yang terlihat di kawasan Srau dapat dilihat pada Lampiran 10.

5.1.2.1. Pantai Pare Pantai Pare terletak di Desa Candi. Pantai ini berpasir putih dengan kondisi pantai yang cukup landai dan cukup lebar (sekitar 25 meter) dengan panjang pantai sekitar 90 meter (Gambar 18). Pada pantai ini ditemukan hamparan karang, namun sebagian besar berupa karang mati. Pantai Pare memiliki ciri batuan besar di tepi pantai yang banyak dimanfaatkan untuk tempat berpijak saat memancing. Vegetasi pantai yang tumbuh di tepi pantai antara lain Pandanus sp. dan semak belukar. Selain vegetasi tersebut, ditemukan pula jenis mangrove ikutan yaitu Baringtonia asiatica. Pada musim tertentu (bulan Juli-Agustus) sering ditemukan ubur-ubur (biru dan merah) yang cukup mengganggu aktivitas wisatawan maupun masyarakat karena apabila bersentuhan dengan anggota tubuh dapat bereaksi seperti tersengat dan menimbulkan gatal-gatal (Gambar 19).

Gambar 18 Kondisi Pantai Pare Pantai ini menjadi tempat pendaratan penyu, namun saat ini frekuensinya sudah berkurang (jarang). Pantai Pare sudah dikelola untuk kegiatan wisata yang termasuk dalam wilayah pengelolaan kawasan wisata Pantai Srau beserta enam pantai berpasir lainnya. Pantai Pare juga banyak dimanfaatkan oleh wisatawan

69

terutama mancanegara untuk aktivitas surfing karena tipe gelombangnya yang cukup besar.

1

2

3

Gambar 19 [1] Buah Baringtonia asiatica; [2] Ubur-ubur; [3] Pandanus sp. 5.1.2.2 Pantai Srau Pantai Srau terletak di Desa Candi dengan jarak sekitar 25 km dari Kota Pacitan. Pantainya landai, berpasir putih, lebar sekitar 21 meter dengan panjang pantai sekitar 331 meter (Gambar 20). Pada pantai ini ditemukan karang, dan lamun. Sumberdaya lamun hanya dapat ditemukan di pantai ini. Jenis lamun yang ditemukan di pantai ini adalah Cymodocea serrulata (Gambar 21). Pada pantai ini juga terdapat bulu babi (Diadema sp.) dan pada musim tertentu (bulan JuliAgustus) terdapat ubur-ubur (biru dan merah) yang cukup mengganggu. Hal ini dikarenakan apabila bersentuhan dengan anggota tubuh dapat bereaksi seperti tersengat.

Gambar 20 Kondisi Pantai Srau

Pantai ini dahulu merupakan tempat pendaratan penyu, namun sekarang frekuensinya sudah jarang karena penduduk banyak yang memburu penyu dan

70

mengambil telurnya. Pada tahun-tahun sebelumnya, jumlah penyu yang mendarat cukup banyak (> 10 ekor), namun saat ini hanya satu penyu dalam satu tahun. Namun pada saat penelitian dilaksanakan, tidak dijumpai adanya penyu. Pantai Srau telah dikelola untuk kegiatan wisata dengan keindahan pantai yang eksotis serta aktifitas memancing yang menjadi daya tarik unggulan pantai ini.

Gambar 21 Beberapa sumberdaya yang dijumpai di Pantai Srau. 5.1.2.3 Pantai Wayang Pantai Wayang terletak di Desa Candi, yang merupakan pantai berpasir yang masuk dalam kawasan wisata Pantai Srau. Memiliki pantai berpasir putih, pantainya cukup landai dan cukup lebar sekitar 36 meter dengan panjang pantai sekitar 269 meter (Gambar 22).

Gambar 22 Kondisi Pantai Wayang Pantai ini memiliki ciri khas yaitu lubang seperti lorong yang memanjang yang biasa disebut watu kelir (dalam bahasa Indonesia maksudnya batu kelir). Sumberdaya yang terdapat di pantai ini antara lain karang, kerang-kerangan, dan ikan karang. Pantai ini, seperti pantai Pare dan pantai Srau juga menjadi tempat pendaratan penyu walaupun sekarang sudah jarang terjadi. Jika dua pantai

71

sebelumnya (Pare dan Srau) terdapat ubur-ubur pada musim tertentu fenomena tersebut tidak terjadi di pantai ini. Selain berpasir putih, di pantai ini juga terdapat hamparan bebatuan. Pantai Wayang dicirikan dengan pasir putih dengan sedikit karang dimana terdapat vegetasi Pandanus sp. dan semak belukar di bagian tepinya. Biota yang banyak ditemukan antara lain Diadema sp. (bulu babi), Polychaeta (cacing laut), Ophiuroidea (bintang ular) dan ikan karang (Gambar 23). Pantai Wayang juga menjadi salah satu tempat pendaratan penyu, namun frekuensinya sudah jarang karena adanya penangkapan penyu oleh masyarakat. Pantai ini dilengkapi dengan dua shelter yang dapat digunakan wisatawan untuk duduk-duduk menikmati pemandangan.

Gambar 23 Beberapa sumberdaya yang dijumpai di Pantai Wayang. 5.1.2.4 Pantai Gampar Pantai Gampar terletak di desa Candi. Memiliki pantai berpasir putih, cukup landai dengan bentangan pasir yang cukup lebar sekitar 18 meter dan panjang pantai sekitar 116 meter (Gambar 24).

Gambar 24 Kondisi Pantai Gampar

72

Pantai Gampar dicirikan dengan adanya pantai berpasir putih dan batuan karang di tepinya. Pada pantai ini terdapat Diadema sp. (bulu babi), Polychaeta (cacing laut), dan kerang-kerangan (seperti Turbo, Cypraea dan Nassarius). Pada bagian tepi pantai ditumbuhi Pandanus sp. dan semak belukar (Gambar 25). Pada saat sore hari kita dapat melihat sunset yang indah di pantai ini.

Gambar 25 Beberapa sumberdaya yang ditemukan di Pantai Gampar. 5.1.2.5 Pantai Wawaran Pantai Wawaran merupakan pantai paling sempit dari enam pantai yang terdapat di kawasan wisata Pantai Srau. Pantai Wawaran ini memiliki lebar pantai 12 meter dan panjang pantai 50 meter (Gambar 26). Pantai ini cukup indah, masyarakat juga memanfaatkannya untuk mencari kerang, karang dan lobster (Gambar 27). Namun pada bagian lain yang berhadapan dengan pantai ini dibangun resort milik pihak asing yang menyebabkan masyarakat maupun wisatawan tidak leluasa untuk beraktivitas di pantai ini.

Gambar 26 Kondisi Pantai Wawaran

73

2

1

Gambar 27 [1] Batuan karang yang biasa di ambil masyarakat; [2] Alat tangkap krendet (untuk menangkap lobster) 5.1.2.6 Pantai Mblue Pantai Mblue terletak di Desa Candi. Pantai ini berpasir putih dan cukup landai. Memiliki hamparan pasir yang cukup lebar (32 meter) dan panjang pantai sekitar 216 meter (Gambar 28).

Gambar 28 Kondisi Pantai Mblue Selain itu terdapat pula hamparan batuan karang yang cukup luas serta bebatuan di bagian tepinya. Biota yang banyak ditemukan antara lain Ophiuroidea (bintang ular), Polychaeta (cacing laut), kerang-kerangan (seperti Nerita, Turbo, Nassarius, teritip dan Cypraea) serta Diadema sp. (bulu babi). Selain biota-biota yang telah tersebut juga terdapat kepiting.

Pada tepi pantai juga ditumbuhi

Pandanus sp. dan Callophyllum inophyllum (Nyamplung) dengan jumlah yang sedikit (Gambar 29). Pantai Mblue memiliki mata air tawar yang berada dekat dengan pantai. Selain itu, terdapat pertemuan antara air tawar dan air laut di pantai ini. Namun karena pasokan/debit air tawar yang terbatas, air laut menjadi lebih dominan.

74

Banyak batuan besar di sekitar karang dan pada saat air surut dapat terlihat dengan jelas. Pada Pantai Mblue telah dibangun beberapa resort milik swasta asing yang umumnya dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi maupun disewakan.

1

2

3

4

Gambar 29 [1] Kepiting; [2] Ophiuroidea; [3] Callophyllum inophyllum (Nyamplung); [4] Diadema sp. 5.1.3 Kawasan Watukarung Kawasan Watukarung terletak di Desa Watukarung dan Desa Jlubang (Lampiran 11). Kawasan ini terdiri atas 13 pantai berpasir. Kawasan Watukarung dikelola oleh masyarakat setempat yang dilakukan oleh desa Watukarung. Desa Jlubang tidak ikut mengelola karena hanya memiliki satu pantai berpasir yaitu pantai

Kreweng

sehingga

pengelolaan

wisata

diserahkan

kepada

desa

Watukarung. Masyarakat Jlubang tidak masalah dengan pengelolaan tersebut selama mereka tidak dibatasi dalam memanfaatkan pantai dalam hal pengambilan kerang dan memancing. Pada kawasan Srau dapat juga dilihat beberapa pulau teras terangkat. Gambaran pulau teras terangkat di kawasan Watukarung disajikan pada Lampiran 12. 5.1.3.1 Pantai Kreweng Pantai Kreweng berada di Desa Candi. Dicirikan dengan pantai berpasir putih, dengan relief yang cukup landai dan sempit. Lebar pantainya sekitar 9

75

meter dan panjang pantainya sekitar 18 meter (Gambar 30). Pantai ini tidak termasuk dalam kawasan wisata Pantai Srau. Pantai Kreweng didominasi oleh batuan besar, selain itu ombaknya pun cukup besar. Banyak yang memanfaatkan pantai ini untuk kegiatan memancing. Biota yang ditemukan seperti Diadema sp. (bulu babi) dan Polychaeta (cacing laut).

Gambar 30 Kondisi Pantai Kreweng 5.1.3.2 Pantai Seruni Pantai Seruni yang terletak di Desa Jlubang posisinya berdekatan dengan Pantai Kreweng yang dipisahkan oleh bukit berbatu. Pantai ini memiliki hamparan pasir putih yang landai dengan lebar pantai mencapai 20 meter dan panjangnya 89 meter (Gambar 31). Pada bagian tepi pantainya banyak ditumbuhi Pandanus sp. Biota yang terdapat di pantai ini antara lain kerang-kerangan (seperti Cypraea, Turbo dan Nerita), dan alga hijau.

Gambar 31 Kondisi Pantai Seruni 5.1.3.3 Pantai Peden Ombo Pantai Peden Ombo berada di Desa Watukarung yang letaknya bersebelahan dengan Pantai Seruni.

Pantai ini merupakan pantai berpasir putih, banyak

terdapat kerang-kerangan (seperti Cypraea, Turbo dan Nerita), dan alga hijau.

76

Kerang-kerangan tersebut sering dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk dikonsumsi pribadi. Pantai Peden Ombo memiliki lebar mencapai 35 meter dan panjang 332 meter (Gambar 32). Sepertiga bagian dari pantai ini didominasi oleh batuan yang terjal, sedangkan sisanya adalah pasir putih dengan kontur yang landai.

Gambar 32 Kondisi Pantai Peden Ombo 5.1.3.4 Pantai Kasap Pantai Kasap terletak di Desa Watukarung yang merupakan pantai berpasir putih dengan hamparan batu karang.

Hamparan pantainya tidak terlalu luas,

menyerupai teluk kecil (cekungan). Banyak terdapat Diadema sp. (bulu babi), Polychaeta (bintang ular dan cacing laut). Panjang pantai ini sekitar 91 meter dengan lebar 18 meter (Gambar 33 dan 34). Pantai Kasap bersebelahan dengan Pantai Peden Ombo

Gambar 33 Kondisi Pantai Kasap

77

1

2

3

4

Gambar 34 [1] Pandanus sp; [2] Trochus (kerang lola); [3] Polychaeta (cacing laut); [4] Diadema sp (bulu babi) dan Ophiuroidea (bintang ular). 5.1.3.5 Pantai Brecak Pantai Brecak berada di Desa Watukarung yang berukuran lebih lebar dari pada Pantai Kasap. Pantainya dicirikan dengan pasir putih yang landai. Banyak ditemukan kerang-kerangan (seperti Nerita) di sekitar pantai dan terdapat pula Pandanus sp. yang tumbuh di tepi pantai.

Lebar pantainya 27 meter dan

panjangnya 118 meter (Gambar 35 dan 36). Pantai ini menjadi tempat favorit untuk memancing.

Akses untuk menuju pantai ini cukup sulit karena harus

melewati bukit.

Gambar 35 Kondisi Pantai Brecak

78

Gambar 36 Nerita (Kelompok Moluska, Kelas Gastropoda). 5.1.3.6 Pantai Watukarung Pantai Watukarung yang terletak di desa Watukarung merupakan tempat pendaratan ikan dan berlabuhnya kapal-kapal nelayan. Di pantai ini terdapat muara sungai yang menyebabkan pasir pantainya berwarna kecoklatan (Gambar 37).

Gambar 37 Kondisi Pantai Watukarung Tempat pendaratan ikannya telah dilengkapi dengan TPI (Tempat Pelelangan Ikan) dan fasilitas pendukung lainnya. Pada daerah sekitar muara sungai terdapat beberapa vegetasi mangrove antara lain Acantus sp (Gambar 38). Vegeratsi mangrove yang terdapat di muara sungai tidak banyak. Sebagian besar mangrove masih berupa anakan karena ukurannya yang kecil dengan tinggi hanya sekitar dua meter. Mangrove di kawasan ini dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk pakan ternak. Hal tersebut yang menyebabkan vegetasi mangrove di kawasan ini hanya sedikit. Pantai yang memiliki panjang 250 meter dan lebar 40 meter ini menjadi pusat kegiatan perikanan tangkap di desa setempat.

79

1

2

Gambar 38 [1] Clerodendrum sp.; [2] Acanthus sp 5.1.3.7 Pantai Sirah Towo Pantai Sirah Towo berada di Desa Watukarung, bersebelahan dengan Pantai Watukarung yang merupakan pantai berpasir putih yang landai dengan kemiringan pantai kurang dari 10°. Lebar pantainya mencapai 20 meter dan panjangnya 124 meter. Selain memiliki pantai berpasir putih, pantai ini juga memiliki hamparan batu karang dengan lebar sekitar 30 meter (Gambar 39). Biota yang terdapat di pantai ini antara lain Diadema sp. (bulu babi), Polychaeta (cacing laut), Ophiuroidea (Bintang ular) dan kerang-kerangan (seperti Nerita, Turbo dan Cypraea).

Gambar 39 Kondisi Pantai Sirahtowo 5.1.3.8 Pantai Jantur Pantai Jantur berada di Desa Watukarung, bersebelahan dengan Pantai Sirah Towo (terpisahkan bukit). Pantai ini memiliki karakteristik yang tidak jauh berbeda dengan Pantai Sirah Towo. Biota yang ditemukanpun sebagian besar sama yaitu Diadema sp. (bulu babi), Polychaeta (cacing laut), Ophiuroidea (bintang ular) dan kerang-kerangan (seperti Nerita, Turbo, dan Cypraea). Ditemukan juga ikan jenis Lepu ayam namun masih berukuran kecil. Pantai ini

80

memiliki lebar sekitar 17 meter dan panjang 80 meter, kemiringan pantainya kurang dari 10° (Gambar 40). Pantai ini masuk dalam kawasan wisata Pantai Watukarung.

Gambar 40 Kondisi Pantai Jantur 5.1.3.9 Pantai Ngalurombo Pantai Ngalurombo berada di Desa Watukarung dan termasuk dalam kawasan wisata Pantai Watukarung. Pantai ini cukup luas dan relatif landai sehingga cukup nyaman untuk kegiatan wisata. Pantai ini banyak dimanfaatkan untuk kegiatan surfing dan berenang. Pantai inilah yang menjadi objek wisata utama dari kawasan wisata Pantai Watukarung. Pantai Ngalurombo memiliki lebar 34 meter dan panjang 532 meter. Lebar karang pada saat surut mencapai 50 meter (Gambar 41).

Gambar 41 Kondisi Pantai Ngalurombo

Vegetasi di tepi pantainya antara lain Pandanus sp., kelapa dan semak belukar. Biota yang ditemukan cukup banyak antara lain jenis Polychaeta (cacing laut), beberapa jenis alga, kerang-kerangan (seperti Turbo, Cypraea, Nerita,

81

Nassarius), ikan karang, Diadema sp. (bulu babi), dan Ophiuroidea (bintang ular) (Gambar 42).

2

1

4

3

5

Gambar 42 [1] Kepiting; [2] Ophiuroidea (bintang ular); [3] Boergesenia forbesii (alga hijau); [4] Alga hijau; [5] Polychaeta (cacing laut).

Di pantai ini juga terdapat rumput laut pada musim tertentu. Rumput laut tersebut banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk dikonsumsi atau dijual ke pengumpul. Masyarakat setempat juga banyak memanfaatkan/mencari kerang-kerangan pada saat air surut untuk dikonsumsi. Selain kerang dan rumput laut, masyarakat sekitar juga melakukan penangkapan ikan dan kepiting di sekitar karang. Batu karang yang telah mati, diambil oleh masyarakat sekitar untuk di jual dan dibuat sebagai hiasan. 5.1.3.10 Pantai Waduk Pantai Waduk yang berada di Desa Watukarung merupakan salah satu pantai yang masuk dalam kawasan wisata Pantai Watukarung. Pantai ini sempit, tidak jauh berbeda ukurannya dengan Pantai Jantur. Pantai Waduk memiliki karakteristik pantai berpasir putih dengan batuan karang. Lebar karangnya sekitar 20-30 meter. Ngalurombo.

Biota yang ditemukan tidak jauh berbeda dengan pantai

82

Lebar pantai Waduk sekitar 20 meter dan panjang 96 meter (Gambar 43). Terdapat Polychaeta (cacing laut), beberapa jenis alga, kerang-kerangan (seperti Turbo, Cypraea, Nerita dan Nassarius), ikan karang, Diadema sp. (bulu babi), dan Ophiuroidea (bintang ular). Posisi pantainya yang tersembunyi membuat pantai ini tidak seramai Pantai Ngalurombo. Beberapa bagian dari pantai ini terdapat batuan besar.

Gambar 43 Kondisi Pantai Waduk 5.1.3.11 Pantai Ngalihan Pantai Ngalihan berada di Desa Watukarung dan letaknya bersebelahan dengan Pantai Waduk. Pantainya lebih lebar dan lebih panjang dibandingkan Pantai Waduk. Beberapa bagian dari pantai ini terdapat batuan di tepinya. Pantai ini memiliki kemiringan diatas 10° namun masih nyaman untuk aktivitas wisata karena pantainya yang cukup luas. Pantai Ngalihan memiliki lebar 22 meter dan panjang 392 meter (Gambar 44).

Gambar 44 Kondisi Pantai Ngalihan

83

Tepi pantai Ngalihan ditumbuhi Pandanus sp. dan semak belukar. Biota yang terdapat di pantai ini seperti Diadema sp. (bulu babi), Polychaeta (cacing laut), dan Ophiuroidea (bintang ular). Masyarakat banyak yang memanfaatkan batu karang di pantai ini untuk dijual (Gambar 45). Pantai Ngalihan merupakan salah satu bagian dari kawasan wisata Pantai Watukarung.

1

2

Gambar 45 [1] Pecahan batu karang yang dikumpulkan untuk di jual; [2] Pandanus sp. 5.1.3.12 Pantai Bresah Pantai Bresah berada di Desa Watukarung yang letaknya tidak jauh dari Pantai Ngalihan. Jalan yang dilalui untuk dapat menuju pantai tersebut berupa jalan setapak. Beberapa bagian dari pantai ini dicirikan oleh batuan di tepi pantainya. Di sekitar pantai ditumbuhi Pandanus sp. dan semak belukar. Pantai Bresah memiliki panjang pantai sekitar 149 meter dan lebar 25 meter (Gambar 46).

Gambar 46 Kondisi Pantai Bresah Pemandangan yang terlihat jelas di pantai ini adalah adanya dua pulau teras terangkat tepat di depan pantai. Pulau tersebut mendapat sebutan Pulau

84

Wayang dan Pulau Ledek (Gambar 47). Biota yang ditemukan di pantai ini antara lain Polychaeta (cacing laut), kerang-kerangan (seperti Turbo dan Cypraea), dan Diadema sp. (bulu babi).

1

2

Gambar 47 [1] Pulau Wayang; [2] Pulau Ledek 5.1.3.13 Pantai Geben Pantai Geben merupakan pantai berpasir putih, berada di Desa Watukarung yang letaknya paling ujung. Wilayah di sekitar pantai ini banyak dimanfaatkan untuk kegiatan memancing. Pantai Geben memiliki lebar sekitar 15 meter dan panjang 42 meter (Gambar 48). Pantainya cukup landai, namun jalan untuk menuju pantai cukup jauh karena masih berupa jalan setapak. Di pantai ini terdapat Polychaeta (cacing laut), kerang-kerangan (seperti Turbo, Cypraea, Nerita dan Nassarius), dan Diadema sp. (bulu babi). Masyarakat sekitar banyak yang mengambil kerang-kerangan tersebut untuk dijual. Selain itu, di tepi pantai banyak ditumbuhi Pandanus sp (Gambar 49).

Gambar 48 Kondisi Pantai Geben

85

Gambar 49 Pandanus sp.di Pantai Geben 5.2

Kualitas Air Parameter kualitas air merupakan salah satu data pendukung yang diamati

dan diukur dalam penelitian. Parameter kualitas air diambil dari 9 titik dimana masing-masing titik dilakukan tiga kali ulangan (Lampiran 13). Kualitas perairan di pesisir Kecamatan Pringkuku tergolong masih baik karena belum ada pengaruh yang dominan dari kegiatan manusia (dalam hal ini pembuangan limbah rumah tangga) dan belum adanya kegiatan industri yang berada di sekitar pantai. Parameter kualitas air yang diukur yaitu parameter fisika, kimia dan biologi perairan yang terdiri atas oksigen terlarut (DO), derajat keasaman (pH), suhu, salinitas, kecerahan, bau, sampah, BOD, TSS dan e-coli (Tabel 24). Oksigen terlarut (DO) adalah jumlah gas oksigen yang terlarut dalam air dalam mg/l. Oksigen terlarut dalam air tersebut dapat berasal dari proses fotosintesis oleh fitoplankton atau tanaman air lainnya dan difusi dari udara. Kelarutan oksigen dalam laut dipengaruhi oleh temperatur dan salinitas atau kadar Cl-. Temperatur dan salinitas yang semakin tinggi dapat menyebabkan tingkat kelarutan oksigen dalam air semakin rendah. Kisaran nilai oksigen terlarut (DO) di perairan Kecamatan Pringkuku masih sesuai dengan baku mutu air laut (KEP51/MENKLH/2004), nilainya lebih dari 5 mg/l. Nilai DO tersebut berkisar antara 5,0-10,7 mg/l. Nilai DO tertinggi (10,7 mg/l) berasal dari titik yang dekat dengan muara. Tingginya nilai DO akan berdampak terhadap kehidupan organisme perairan. Menurut Pradhan et al. (2009), nilai DO dan nitrat di daerah estuaria cenderung lebih tinggi dan akan meningkat pada saat musim hujan dan akan memiliki korelasi yang negatif terhadap salinitas dan temperatur.

86

Tabel 24 Hasil pengukuran parameter kualitas air Stasiun Pengukuran Parameter 1 DO (mg/l)

7,1-9,2 7

pH Suhu (°C) Salinitas (‰) Kecerahan (%) Kedalaman (m)

2

3

4

5

6

5,0-5,7 6,8-10,6 6,6-7,4 7,2-10,7 5,2-5,8 7

7

7

7,0-7,5

7

Baku mutu*

7

8

9

5,6-6,8

9,0-9,5

6,3-7,2

>5

7

7

7

7,0- 8,5

28,2-28,6 28,4-28,6 28,4-28,7 28,3-29,5 28,8-29,3 28,4-28,7 28,3-28,5 28,5-28,629,0-29.6

Alami

35

34-35

34

35

3-35

10

34

33-37

35

Alami

100

100

100

100

100

95

100

100

100

> 6 meter

0,5 – 2

0,5-1

1-1,5

1-1,5

1-1,5

0,5-1

0,5-1

0,5-1,5

0,5-1,5

Tidak berbau Nihil

Tidak berbau Nihil

Tidak berbau Nihil

Tidak berbau Nihil

Tidak berbau Nihil

Tidak berbau Nihil

Tidak berbau Nihil

Tidak berbau Nihil

Tidak berbau Nihil

Tidak berbau Nihil

BOD (mg/l)

-

1,25

-

-

-

3,5

1,4

-

-

10

TSS (mg/l) E coli (MPN/100 ml)

-

6

-

-

-

10

6

-

-

20

-

0

-

-

-

48

0

-

-

200

Bau Sampah

Sumber: Data primer diolah, 2012 ( * Kepmen LH No. 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut untuk wisata bahari)

Kandungan DO juga dipengaruhi oleh kandungan bahan organik yang masuk ke perairan, baik oleh aktivitas manusia dari daratan maupun masukan dari aliran sungai (Sandra 2011). Nilai DO yang masih sesuai dengan baku mutu menunjukkan bahwa pengaruh kegiatan sekitar (aktivitas manusia dan alam) sangat kecil bahkan hampir tidak ada. Nilai tersebut menunjukkan bahwa perairan di pesisir Kecamatan Pringkuku masih layak/sesuai untuk dikembangkan sebagai kawasan wisata dan masih dapat menunjang kehidupan biota laut yang ada. Derajat keasaman (pH) merupakan sifat kimia yang berperan penting untuk mengontrol tipe dan laju kecepatan reaksi beberapa bahan dalam perairan. Ikan dan organisme lainnya dapat hidup pada selang pH tertentu. Nilai pH dapat digunakan untuk menilai kesesuaian suatu perairan dalam menunjang kehidupan organisme perairan. Nilai derajat keasaman (pH) perairan di sekitar lokasi pengambilan contoh berkisar antara 7,0-7,5. Nilai yang diperoleh tersebut sesuai dengan baku mutu air laut (kisaran pH antara 7,0-8,5 merupakan daerah yang potensial sebagai tempat rekreasi). Perairan yang diinginkan untuk daerah rekreasi terutama rekreasi pantai adalah perairan yang umumnya memiliki kisaran pH antara 7,0-7,5 sehingga tidak menyebabkan iritasi mata. Aktivitas wisata pantai yang sering dilakukan adalah berenang sehingga pH perlu menjadi faktor penting

87

dalam penetapan suatu lokasi kawasan wisata pantai. Perairan di Pulau Batam yang memiliki pH 7,5-8,2 juga masih layak untuk dikembangkan menjadi kawasan wisata pantai (Garno 2001). Bagi kehidupan organisme/biota perairan, suhu merupakan salah satu faktor fisika yang sangat penting. Batas toleransi tiap organisme perairan terhadap perubahan suhu berbeda-beda. Selain suhu, biota perairan juga terpengaruh terhadap parameter lainnya (fisika dan kimia). Nontji (2005), suhu perairan dapat digunakan untuk mempelajari gejala-gejala fisika di dalam perairan laut yang terkait dengan kehidupan hewan atau tumbuhan. Adanya perubahan suhu perairan dapat mempengaruhi proses-proses biologis dan ekologis yang terjadi di dalam air. Saat proses biologi dan ekologi terpengaruh, maka komunitas biologi yang ada di dalamnya akan terpengaruh juga. Hasil pengukuran suhu di stasiun pengambilan contoh diperoleh nilai suhu perairan di pesisir Kecamatan Pringkuku berkisar 28,2-29,6 °C. Suhu permukaan laut yang diperoleh tersebut masih sesuai dengan suhu permukaan laut di perairan nusantara yang pada umumnya antara 2831,0 °C (Nontji 2005). Kisaran suhu dapat saja berubah pada waktu pengukuran yang berbeda tergantung pada cuaca dan kondisi perairan. Salinitas adalah kandungan garam yang terdapat dalam air laut. Salinitas menjadi komponen yang berperan penting untuk mengontrol densitas air laut dan juga berpengaruh terhadap biota laut. Salinitas disebut pula jumlah berat semua garam (gram) yang terlarut dalam satu liter air, dinyatakan dalam satuan ‰ (per mil, gram per liter). Salinitas di laut sebarannya dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai (Nontji 2005). Nilai salinitas di pesisir Kecamatan Pringkuku rata-rata sebesar 35‰, hanya pada daerah muara sungai yang memiliki kisaran salinitas yang lebih rendah, mencapai 3‰ dan 10‰ pada saat surut. Nilai tersebut masih berada pada kisaran nilai salinitas yang normal untuk perairan laut dan masih sesuai dengan baku mutu air laut untuk wisata bahari. Nilai salinitas yang sesuai dengan baku mutu tersebut menunjukkan bahwa perairan di Kecamatan Pringkuku sesuai untuk kegiatan wisata. Kecerahan perairan merupakan kemampuan cahaya untuk menembus lapisan air pada kedalaman tertentu. Kegiatan wisata pantai membutuhkan

88

kecerahan perairan yang baik. Hal ini dikarenakan wisatawan dapat terganggu apabila kondisi kecerahan perairan kurang baik. Nilai kecerahan yang diperoleh rata-rata sebesar 100% (kecerahan sampai dasar perairan). Kedalaman perairan pantai antara 0,5-1,5 meter. Pada kedalaman tersebut dasar perairan masih terlihat dengan jelas. Nilai tersebut menunjukkan bahwa perairan pantai di kawasan pesisir Kecamatan Pringkuku kecerahannya masih di bawah dari baku mutu. Namun kecerahan tersebut cukup baik mengingat kedalaman perairan masih terlihat dengan jelas. Selain itu, dengan tingkat kecerahan tersebut perairan pantai di pesisir Kecamatan Pringkuku masih baik untuk aktivitas berenang. Perairan pesisir di Kecamatan Pringkuku tidak berbau. Perairannya masih alami dan belum ada bahan pencemar yang masuk ke perairan sehingga kondisi ini harus harus terus dijaga dan dipertahankan. Tidak adanya bau akan membuat wisatawan merasa nyaman dan tidak terganggu saat melakukan kegiatan wisata. Hasil pengamatan menunjukkan tidak ditemukan sampah (nihil) di sepanjang pantai Kecamatan Pringkuku. Kondisi tersebut sesuai dengan baku mutu sehingga pantai-pantai di kawasan pesisir Kecamatan Pringkuku sesuai untuk kegiatan wisata. Hasil pengukuran contoh air diperoleh nilai BOD5 sebesar 1,25-3,5 mg/l. Nilai tersebut tidak melebihi baku mutu (10 mg/l). Hal tersebut menunjukkan kandungan bahan organik yang ada di pantai Kecamatan Pringkuku cukup sedikit. Bahan organik yang sedikit menyebabkan jumlah pasokan oksigen yang tersedia masih banyak. Nilai BOD5 yang diperoleh masih menunjukkan bahwa perairan pantai di Kecamatan Pringkuku masih dalam kondisi baik dan sesuai untuk kegiatan wisata. Perairan pantai di kecamatan Pringkuku tergolong jernih karena kadar TSS tidak melebihi baku mutu, yaitu berkisar antara 6-10 mg/l. Hal tersebut senada dengan kondisi kecerahan perairannya yang mencapai 100%. Kadar maksimum TSS dalam air laut untuk kegiatan wisata bahari yang ditetapkan Menteri Negara Lingkungan Hidup adalah 20 mg/l. Kadar TSS yang diperoleh sesuai dengan baku mutu sehingga kawasan pantai di wilayah ini sesuai untuk kegiatan wisata. Hasil analisis laboratorium terhadap contoh air dari perairan pantai di Kecamatan Pringkuku tidak ditemukan adanya bakteri E. Coli, kecuali dari contoh

89

air yang berasal dari muara sungai. Bakteri E. Coli yang ditemukan sebesar 48 MPN/100 ml. Nilai tersebut masih sesuai dengan baku mutu, dimana baku mutu tidak boleh melebihi 200 MPN/100 ml. Rendahnya kandungan E. Coli antara lain disebabkan oleh kondisi perairan yang berarus cukup besar, sehingga proses resirkulasi air berjalan dengan baik. Meskipun kemungkinan keberadaan bakteri E. Coli di perairan tetap ada, namun derasnya arus akan mengakibatkan terjadinya flushing yang menyebabkan bakteri terbawa arus. Tidak adanya bakteri E. Coli menunjukkan bahwa perairan pantai di Kecamatan Pringkuku cukup baik digunakan untuk kegiatan berenang. Akan tetapi kondisi arus, gelombang dan batasan area aman untuk berenang harus diperhatikan untuk menjamin kenyamanan dan keamanan wisatawan. Secara umum kualitas perairan pantai di Kecamatan Pringkuku sesuai untuk kegiatan wisata. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis kualitas air mencakup DO, pH, suhu, salinitas, kecerahan, bau, sampah, BOD, TSS dan E. Coli yang nilainya masih berada di bawah standar baku mutu untuk kegiatan wisata di kawasan tersebut. 5.3

Analisis Kesesuaian Kawasan Analisis kesesuaian peruntukan wilayah sebagai kawasan wisata pantai

dilakukan dengan menggunakan Indeks Kesesuaian Wisata (IKW). Analisis kesesuaian tersebut diukur dengan memberikan bobot dan skor pada parameter (faktor pembatas) yang telah ditentukan. Analisis kesesuaian kawasan untuk wisata pantai dilakukan pada 20 pantai berpasir (dominan putih) yang ada di kawasan pesisir Kecamatan Pringkuku (Lampiran 14). Kesesuaian wilayah untuk wisata pantai ditentukan dari aktivitas yang bisa dilakukan pada kawasan tersebut. Kegiatan yang dilakukan wisatawan untuk wisata pantai adalah berenang, berjemur, wisata olahraga, rekreasi pantai, surfing dan memancing. Untuk aktivitas surfing, sangat bergantung pada kondisi ombak dan angin di masingmasing tempat. Penghitungan IKW didasarkan pada hasil observasi dan pengukuran yang telah dilakukan pada 20 pantai terhadap kriteria tipe pantai, lebar pantai, kemiringan pantai, penutupan lahan pantai, ketersediaan air tawar, kedalaman,

90

material dasar perairan, kecepatan arus, kecerahan perairan dan biota berbahaya (Tabel 25). Tabel 25 Analisis kesesuaian pantai untuk wisata pantai No

Lokasi

Jumlah Skor

Indeks Kesesuaian Wisata (IKW)

Kelas Kesesuaian

Peta kesesuaian

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20

Pantai Tuguragung Pantai Pare Pantai Srau Pantai Wayang Pantai Gampar Pantai Wawaran Pantai Mblue Pantai Kreweng Pantai Seruni Pantai Peden Ombo Pantai Kasap Pantai Brecak Pantai Watukarung Pantai Sirah Towo Pantai Jantur Pantai Ngalurombo Pantai Waduk Pantai Ngalihan Pantai Bresah Pantai Geben

41 77 79 76 76 63 71 59 69 69 67 67 76 71 71 73 76 72 75 71

48,81 91,67 94,05 90,48 90,48 75,00 84,52 70,24 82,14 82,14 79,76 79,76 90,48 84,52 84,52 86,90 90,48 85,71 89,29 84,52

TS S1 S1 S1 S1 S1 S1 S2 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1 S1

Lampiran 8 Lampiran 15 Lampiran 16 Lampiran 17 Lampiran 18 Lampiran 19 Lampiran 20 Lampiran 21 Lampiran 22 Lampiran 23 Lampiran 24 Lampiran 25 Lampiran 26 Lampiran 27 Lampiran 28 Lampiran 29 Lampiran 30 Lampiran 31 Lampiran 32 Lampiran 33

Sumber: Data primer, diolah (2012) Keterangan : TS =Tidak sesuai S2 =Sesuai S1 =Sangat sesuai

Kedalaman pantai-pantai yang terdapat di kawasan pesisir Kecamatan Pringkuku berkisar antara 0,5-3,0 meter. Tipe pantainya sebagian besar pasir putih, hanya beberapa yang berupa pasir kecoklatan. Panjang pantai yang dapat digunakan untuk kegiatan wisata berkisar 35-532 meter. Material dasar laut sebagian besar pasir dan beberapa bagian terdapat karang. Kecepatan arusnya antara 0,20-0,25 meter/detik. Penutupan lahan pantai merupakan lahan terbuka dimana terdapat pohon kelapa, pandan dan semak belukar. Hampir di sebagian besar pantai ditemukan adanya bulu babi. Ketersediaan air tawar di pantai-pantai yang ada di kawasan pesisir Kecamatan Pringkuku memiliki jarak <0,5 km hingga >1,0 km. Sebagian besar pantai yang terdapat di kawasan pesisir Kecamatan Pringkuku memiliki kelas kesesuaian S1 (sangat sesuai) dan hanya satu pantai yang memiliki kesesuaian S2 (sesuai) (Tabel 25). Kelas kesesuaian S1 disebut

91

juga sangat sesuai, yaitu pantai yang sangat sesuai untuk kegiatan wisata (tidak ada faktor pembatas yang serius untuk melakukan kegiatan wisata). Kawasan tersebut dikatakan sangat sesuai apabila nilai IKW yang diperoleh antara 75-100. Pantai yang memiliki kelas kesesuaian sangat sesuai yaitu pantai Pare, Srau, Wayang, Gampar, Mblue, Watukarung, Sirah Towo, Jantur, Ngalurombo, Waduk, Ngalihan, Bresah, Geben, Wawaran, Seruni, Peden ombo, Kasap dan Brecak. Pantai lainnya memiliki kelas kesesuaian S2 yang biasa disebut juga dengan sesuai (terdapat beberapa pembatas untuk dapat melakukan kegiatan wisata di kawasan tersebut, namun secara umum sesuai untuk dilaksanakan kegiatan wisata). Suatu kawasan pantai dikatakan sesuai apabilai nilai IKW antar 50 - <75. Pantai yang memiliki kelas kesesuaian S2 yaitu Pantai Kreweng. Selain pantai yang memenuhi kriteria kesesuaian, terdapat satu pantai yang tidak sesuai untuk kegiatan wisata yaitu pantai Tuguragung. Aksesibilitas menuju pantai yang sulit, kondisi pantai yang sempit dan berbatu serta jaraknya yang jauh dari pusat keramaian juga menjadi pertimbangan dalam penilaian kesesuaian. Pantai yang sesuai untuk kegiatan wisata sudah seharusnya dikembangkan menjadi objek wisata andalan daerah yang dapat memberikan manfaat terutama bagi masyarakat sekitar lokasi. Beberapa kegiatan wisata pantai yang dapat dikembangkan pada pantai yang memenuhi kriteria antara lain berjemur, bermain air, berenang maupun berperahu di sekitar pantai (Senoaji 2009). Kondisi perairan yang masih jernih, hamparan pasir putih yang luas dan landai, serta kedalaman perairan yang ideal (<5 m) menjadikan kawasan pantai di Kecamatan Pringkuku sangat ideal bagi pengembangan kegiatan wisata pantai dan berenang (Fauzi et al. 2009). Peran pemerintah dalam pengembangan dan pengelolaan kawasan melalui penyediaan fasilitas wisata akan menarik minat wisatawan baik domenstik maupun mancanegara sehingga diharapkan akan meningkatkan jumlah kunjungan wisata di masa mendatang. 5.4

Daya Dukung Kawasan Daya dukung kawasan (DDK) yaitu jumlah wisatawan dalam kawasan yang

tersedia pada waktu tertentu yang dapat diterima secara fisik tanpa menimbulkan gangguan pada alam dan manusia (Yulianda 2007). Aktivitas wisata yang biasa dilakukan di pantai antara lain berenang, surfing, berjemur, rekreasi pantai (seperti

92

jalan-jalan di tepi pantai, foto-foto, menikmati pemandangan), wisata olahraga (seperti voli pantai, jogging, bersepeda) dan memancing. Supaya aktivitasaktivitas tersebut dapat dilakukan, maka dibutuhkan kondisi kawasan yang baik dan memiliki area yang cukup luas. Selain itu, tingkat kerusakan di dalam kawasan dan daya dukungnya harus selalu diperhatikan agar kawasan tersebut tetap terjaga. Daya dukung untuk tujuan wisata memiliki syarat keberlanjutan, sehingga untuk memenuhi tujuan tersebut kondisi eksisting tidak boleh melebihi daya dukung (Coccossis 2002 inDiedrich dan Garcia-Buades 2009). Hasil analisis terhadap daya dukung ekologis kawasan pantai menunjukkan bahwa setiap pantai yang dikaji memiliki DDK yang berbeda (Tabel 26). Tabel 26 Daya dukung ekologis kawasan pantai di Kecamatan Pringkuku

No

Lokasi

Kawasan Srau 1 Pantai Pare 2 Pantai Srau 3 Pantai Wayang 4 Pantai Gampar 5 Pantai Mblue Pantai 6 Wawaran Kawasan Watukarung 1 Pantai Kreweng 2 Pantai Seruni Pantai Peden 3 Ombo 4 Pantai Kasap 5 Pantai Brecak Pantai 6 Watukarung Pantai Sirah 7 Towo 8 Pantai Jantur Pantai 9 Ngalurombo 10 Pantai Waduk 11 Pantai Ngalihan 12 Pantai Bresah 13 Pantai Geben

Jenis Kegiatan (orang/hari) Rekrea OlahBerje si raga -mur Pantai Pantai

Panjang Pantai (m)

Berenang

90 331 269 116 216

4 13 11 5 9

4 13 11 5 9

4 13 11 5 9

4 13 11 5 9

50

2

2

2

18 89

1 4

1 4

332

13

91 118

DDK Meman cing

Orang/ hari

Orang/ tahun

18 66 54 23 43

34 118 98 43 79

12.410 43.070 35.770 15.695 28.835

2

10

18

6.570

1 4

1 4

4 18

8 34

2.920 12.410

13

13

13

66

118

43.070

4 5

4 5

4 5

4 5

18 24

34 44

12.410 16.060

250

10

10

10

10

50

90

32.850

124

5

5

5

5

25

45

16.425

80

3

3

3

3

16

28

10.220

532

21

21

21

21

106

190

69.350

96 396 149 42

4 16 6 2

4 16 6 2

4 16 6 2

4 16 6 2

19 79 30 8

35 143 54 16

12.775 52.195 19.710 5.840

Sumber: Data primer, diolah (2012)

Semakin panjang kawasan suatu pantai yang dapat digunakan untuk aktivitas wisata, maka daya dukung ekologisnya akan semakin tinggi, sebaliknya

93

semakin pendek kawasan pantai yang tersedia untuk aktivitas wisata maka daya dukungnya akan semakin rendah. Pantai Ngalurombo memiliki panjang pantai mencapai 532 meter, diikuti Pantai Ngalihan dengan panjang pantai mencapai 396 meter dan Pantai Peden Ombo yang memiliki panjang pantai 332 meter. Ketiga pantai tersebut merupakan kawasan yang memiliki daya dukung tertinggi dengan kisaran 118-190 orang/hari. Pantai Kreweng merupakan kawasan dengan daya dukung terendah (8 orang/hari) karena hanya memiliki panjang pantai 18 meter. Pantai yang terletak diantara bukit batu karang terjal ini memang memiliki luas area yang sempit dan aksesibilitas yang sulit. Sempitnya area yang dapat dimanfaatkan untuk aktivitas wisata menyebabkan daya dukung ekologisnya menjadi rendah. Kawasan wisata Pantai Srau yang meliputi Pantai Pare, Pantai Srau, Pantai Wayang, Pantai Gampar, Pantai Wawaran dan Pantai Mblue yang telah dikelola oleh Dinas Pariwisata secara keseluruhan memiliki daya dukung ekologis sebesar 390 orang/hari. Pada saat musim liburan sekolah dan hari besar keagamaan, jumlah wisatawan yang berkunjung ke kawasan wisata tersebut akan meningkat sehingga terjadi kepadatan wisatawan di pantai tertentu. Namun di waktu yang lainnya, terjadi kekosongan pengunjung. Zacarias et al. (2011) mengemukakan bahwa luas area yang dapat memberikan kenyamanan untuk setiap pengunjung melakukan aktivitas wisata antara 5-10 m²/orang. Aktivitas wisata yang melibatkan pengunjung akan selalu menimbulkan dampak terhadap lingkungan dengan tingkatan dampak yang berbeda. Tujuan wisatawan untuk mendapatkan kenyamanan, kepuasan dan memenuhi rasa keingintahuan hendaknya diantisipasi dengan melakukan pengelolaan dan pengaturan yang baik sehingga tidak mengakibatkan adanya kerusakan lingkungan, pengambilan sumberdaya di lokasi wisata dan tidak membahayakan bagi pengunjung (Zacarias et al. 2011). Wisatawan yang mengunjungi dan menikmati suatu area alami dapat menyebabkan kerusakan ekologi terhadap area yang mereka nikmati terutama jika melebihi daya dukung. Oleh karena itu penting memperhatikan daya dukung untuk dapat memelihara ekosistem (Kerkvliet dan Nowell 2000). Nilai daya dukung ekologis suatu kawasan wisata pantai sangat bermanfaatan dalam menyusun strategi dan kebijakan pengelolaan suatu kawasan sehingga skenario

94

pengelolaan dapat berjalan efektif dan efisien (Ribeiro et al 2011). Penggunaan nilai DDK sebagai faktor pembatas dalam pengelolaan suatu kawasan pantai bukanlah suatu nilai mutlak. Kondisi kawasan pantai yang telah berkembang menjadi destiniasi wisata akan berubah sehingga secara langsung akan berpengaruh terhadap daya dukung kawasan. Hal tersebut menyebabkan penggunaan konsep daya dukung harus dilakukan dengan lebih fleksibel, menerapkan prinsip kehati-hatian, dilakukan secara terpadu dan keberlanjutan (Silva et al. 2007) sehingga tujuan pengelolaan kawasannya dapat tercapai. Beberapa aktivitas dapat dilakukan di area pantai (Tabel 27). Jenis aktivitas yang dapat dilakukan tersebut antara lain berenang, rekreasi pantai, berjemur, olahraga pantai, memancing, surfing dan berkemah. Namun tidak semua area pantai dapat dilakukan semua aktivitas tersebut. Area pantai yang dapat dilakukan seluruh aktivitas mulai daari berenang hingga berkemah adalah Pantai Ngalurombo. Tabel 27 Jenis aktivitas yang dapat dilakukan di setiap area pantai N o

Lokasi

Kawasan Srau 1 Pantai Pare 2 Pantai Srau 3 Pantai Wayang 4 Pantai Gampar 5 Pantai Mblue 6 Pantai Wawaran Kawasan Watukarung 1 Pantai Kreweng 2 Pantai Seruni 3 Pantai Peden Ombo 4 Pantai Kasap 5 Pantai Brecak 6 Pantai Watukarung 7 Pantai Sirah Towo 8 Pantai Jantur 9 Pantai Ngalurombo 10 Pantai Waduk 11 Pantai Ngalihan 12 Pantai Bresah 13 Pantai Geben

Aktivitas yang dapat dilakukan RekOlahMeman reasi raga Surfing cing Pantai Pantai

Berenang

Berje -mur

     

     

     

     

     

            

            

            

            

            

Berkemah

   

   

 

95

5.5

Analisis Ekonomi Kegiatan wisata memberikan manfaat ekonomi pada suatu area. Kehadiran

pengunjung dapat mempengaruhi keanekaragaman hayati, khususnya jika mereka memanfaatkan lingkungan yang sensitif (Coombes dan Jone 2010). 5.5.1 Nilai wisata Kawasan Srau Nilai pemanfaatan wisata diestimasi berdasarkan pengeluaran pengunjung untuk melakukan kegiatan wisata (biaya melakukan aktivitas wisata). Hasil analisis menggunakan pendekatan individual travel cost model menunjukkan bahwa nilai wisata aktual (eksisting) berdasarkan jumlah kunjungan wisatawan tahun 2011 sebesar Rp 307.992.650.000/ha/tahun (Lampiran 34), sedangkan nilai wisata berdasarkan jumlah pengunjung sesuai daya dukung sebesar Rp 954.597.159.800/ha/tahun (Lampiran 35). Dari nilai tersebut, diketahui bahwa tingkat pemanfaatan kawasan Srau sekitar 32,26%. Artinya, masih terdapat selisih potensi nilai manfaat yang belum diperoleh sebesar Rp 646.604.509.800/ha/tahun bila seluruh kapasitas daya dukung yang ada dapat dimanfaatkan dengan optimal. Kawasan Srau dikelola oleh Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga. Dari seluruh area kawasan Srau masih ada beberapa area yang belum dimanfaatkan. Hal ini menunjukkan bahwa kegiatan wisata pantai di Kecamatan Pringkuku masih perlu dikembangkan untuk mendapatkan manfaat ekonomi yang lebih tinggi dengan tetap memperhatikan daya dukung ekologisnya. Pengelolaan suatu kawasan wisata pantai membutuhkan waktu dan upaya yang tidak sedikit. Ketersediaan sarana dan prasarana menjadi faktor penting yang harus diperhatikan. Pantai Miami di Amerika Serikat membutuhkan sedikitnya 8 tahun untuk mengundang wisatawan berkunjung dan menikmati berbagai fasilitas yang ada. Keuntungan ekonomi dari kegiatan wisata di Pantai Miami tahun 2007 bahkan mencapai 11 milyar US$ (Houston 2008). Perhatian dan peran pemerintah daerah baik melalui instansi terkait atau pelibatan pihak swasta dalam pengembangan

wisata sangat diperlukan.

Pengelolaan

yang baik akan

memberikan manfaat yang optimal baik bagi pemerintah daerah setempat maupun masyarakat yang terlibat.

96

5.5.2 Nilai wisata Kawasan Watukarung Jumlah kawasan pantai di pesisir Kecamatan Pringkuku yang belum dikelola dan dimanfaatkan sebagai tujuan wisata lebih banyak bila dibandingkan kawasan wisata Srau. Nilai wisata aktual dari seluruh kawasan Watukarung sebesar Rp 157.230.307.100 /ha/tahun (Lampiran 36). Apabila daya dukung dari seluruh

kawasan

dapat

dimanfaatkan

maka

nilai

wisata

menjadi

Rp

1.356.099.839.000/ha/tahun (Lampiran 37). Pemanfaatan di kawasan Watukarung masih lebih rendah dibanding kawasan Srau yaitu 11,59%. Masih terdapat potensi nilai

manfaat

yang

belum

diperoleh

yang

nilainya

sebesar

Rp

1.198.869.531.900/ha/tahun. Kawasan Watukarung itu sendiri dikelola oleh masyarakat sekitar. Pengelolaan yang dilakukan dalam hal penjagaan kawasan supaya tetap bersih. Penyediaan kelengkapan fasilitas masih belum dapat dilakukan karena kurangnya dana (dana hanya diperoleh dari tiket masuk kawasan dimana tiket tersebut nominalnya bersifat sukarela). Meskipun demikian, diperlukan perencanaan strategis untuk menentukan prioritas kawasan yang akan dikembangkan dengan mempertimbangkan ketersediaan aksesibilitas, potensi, sarana/prasarana dan keamanan pengunjung. 5.5.3 Nilai perikanan Aktivitas perikanan yang dilakukan di pesisir Kecamatan Pringkuku didominasi oleh perikanan skala kecil dengan armada penangkapan < 10 GT. Umumnya nelayan melakukan operasi penangkapan dengan trip harian (one day fishing). Nilai pemanfaatan perikanan dihitung dari jumlah pengeluaran nelayan dalam melakukan operasi penangkapan ikan dan pendapatan yang diperoleh dari hasil menjual hasil tangkapan. Pendapatan yang dimaksud adalah pendapatan yang diperoleh dalam waktu satu tahun yakni bulan Januari-Desember 2011. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai perikanan aktual yang diperoleh sebesar Rp 26.510.238.840/ha/tahun (Lampiran 38). Nilai tersebut sekitar 17,93% dari nilai produksi perikanan Kabupaten Pacitan. Armada penangkapan yang masih terbatas menyebabkan nelayan hanya melakukan penangkapan di sekitar pantai dan tidak mampu menjangkau perairan yang lebih jauh (Lampiran 39). Hal ini menjadi salah satu penyebab tingginya ketergantungan nelayan pada pola musim yang terjadi.

Pada saat musim barat, nelayan umumnya tidak dapat

97

melakukan operasi penangkapan sehingga pendapatannya menjadi menurun. Sebagian nelayan juga memiliki aktivitas lain seperti bertani dan beternak. Hasil bertani/beternak tersebutlah yang digunakan nelayan untuk membantu memenuhi kebutuhan sehari-hari apabila tidak dapat melaut. Nilai perikanan di kawasan pantai Kecamatan Pringkuku dapat ditingkatkan namun tetap dapat dipertahankan dengan perikanan skala kecil. Peningkatan yang dilakukan diharapkan dapat meningkatkan pendapatan nelayan. Peningkatan tersebut antara lain melakukan perbaikan terhadap armada tangkap. Armada dibuat lebih bersih, mengembangkan usaha pengolahan ikan (nelayan diberi pelatihan tentang pengolahan hasil perikanan (nuget, bakso, masakan dari hasil laut) sehingga hasil dapat dijual dengan harga yang lebih baik dan melibatkan nelayan dalam kegiatan wisata. Pelibatan nelayan diharapkan pendapatan nelayan bisa lebih baik lagi dan nelayan dapat terlibat dengan kegiatan wisata juga. 5.6 Analisis Kesenjangan (GAP Analisis) Analisis kesenjangan (Gap) dibuat dalam dua skenario. Skenario 1 merupakan skenario saat kondisi sesuai daya dukung dan skenario 2 saat kondisi tidak sesuai daya dukung (kurang dari daya dukung). Dua skenario yang ditentukan dilihat pengaruh dari ekonomi, sosial dan ekologi Nilai dari pembobotan peringkat yang dilakukan stakeholder terhadap prioritas pengelolaan secara ekonomi, sosial dan ekologi kemudian dimasukkan dalam masing-masing skenario. Masing-masing skenario dilakukan perhitungan yaitu perkalian antara bobot dengan skor yang diperoleh (Tabel 28). Tabel 28 Prioritas pengelolaan yang merupakan perkalian skor (dengan prioritas pengelolaan) Kriteria Ekonomi Sosial Ekologi Total rata-rata skor

Skenario 1 40 (0,40 x 100) 5 (0,05 x 100) 55 (0,55 x 100) 100

2 16 (0,40 x 39) 3 (0,05 x 65) 5 (0,55 x 100 ) 24

98

Hasil analisis gap menunjukkan bahwa prioritas pengelolaan pada skenario 1 yang memiliki nilai lebih tinggi. Skenario 1 merupakan skenario dimana semua kondisi sesuai dengan daya dukung. Atribut ekonomi terdiri atas pendapatan kawasan dan kunjungan wisatawan. Atribut ekonomi memiliki skor rata-rata 100 pada skenario 1 dan skor rata-rata 30 pada skenario 2. Atribut sosial terdiri atas mata pencaharian masyarakat lokal dan akses lokal. Atribut sosial memiliki skor rata-rata 100 pada skenario 1 dan skor rata-rata 65 pada skenario 2. Atribut ekologi terdiri atas kualitas air, kejernihan air dan kondisi pantai berpasir. Skor rata-rata dari atribut sosial pada skenario 1 dan 2 yaitu 100. Hasil total rata-rata skor dari skenario 1 dan 2 menunjukkan bahwa pengelolaan wisata di kawasan pesisir

Kecamatan

Pringkuku

masih

perlu

dioptimalkan.

Pengelolaan

mengutamakan faktor ekologi sebagai faktor utama yang menjadi daya tarik wisata. Pengoptimalan pengelolaan tersebut dengan mengembangkan akses lokal (jalan), pencaharian masyarakat lokal, pendapatan kawasan dan kunjungan wisatawan. Pengembangan yang dilakukan harus disesuaikan dengan daya dukung supaya pengelolaannya dapat berkelanjutan. Pada kawasan wisata Srau, terdapat selisih nilai ekonomi aktual dan nilai ekonomi sesuai daya dukung. Pada kedua nilai ekonomi tersebut terdapat selisih yang cukup jauh (Gambar 50).

Gambar 50 Selisih nilai ekonomi di kawasan Srau dan Watukarung

Selisih tersebut sekitar Rp 646.604.509.800/ha/tahun. Hal tersebut menunjukkan adanya potensi ekonomi cukup besar yang belum dimanfaatkan.

99

Meskipun demikian, pemanfaatan potensi tidak boleh melebihi dari daya dukung ekologisnya. Apabila melebihi dari daya dukung kawasan, akan terjadi ketidaknyamanan dan dapat mengakibatkan kerusakan dari kawasan tersebut. Adanya kerusakan dan ketidaknyamanan dapat menurunkan nilai ekonomi kawasan. Kawasan wisata Srau sudah lebih banyak dimanfaatkan dibandingkan kawasan Watukarung karena sudah dikelola oleh pemerintah daerah (Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga). Sistem tiket sudah diberlakukan berdasarkan peraturan daerah. Namun, kawasan Srau masih perlu dioptimalkan lagi pengelolaannya. Pengoptimalan tersebut dapat dilakukan dengan perbaikan fasilitas seperti tempat duduk, toilet, dan kios makanan yang ada sehingga membuat wisatawan lebih nyaman. Wisatawan banyak yang tertarik berkunjung ke Srau, mereka merasa cukup nyaman berada di kawasan tersebut sehingga untuk dapat meningkat nilai ekonominya, perlu dilakukan pelayanan dan pengelolaan yang lebih baik. Salah satu yang menjadi daya tarik di kawasan ini adalah panoramanya yang indah, pantai yang aman digunakan untuk beraktivitas dan saat surut wisatawan dapat menikmati hamparan daerah intertidal yang cukup luas. Kawasan wisata Watukarung juga memiliki selisih antara nilai ekonomi aktual dan nilai ekonomi sesuai daya dukung. Selisih nilai ekonomi kawasan Watukarung sangat jauh (Gambar 49) menunjukkan bahwa nilai ekonomi yang belum

dioptimalkan

masih

sangat

besar.

Selisih

tersebut

sekitar

Rp

1.198.869.531.900/ha/tahun, nilai selisihnya lebih tinggi dibandingkan kawasan Srau. Selisih yang jauh tersebut dikarenakan masih banyak area yang belum dimanfaatkan (Gambar 51). Selain itu pengelolaan yang dilakukan oleh masyarakat desa setempat (Desa Watukarung) masih belum optimal. Pengelolaan baru sebatas menjaga kawasan, belum ada perbaikan maupun penambahan fasilitas yang diperlukan oleh wisatawan seperti tempat duduk, gardu pandang, kios makanan maupun toilet. Tidak seperti Srau yang sudah disediakan kios makanan oleh pihak pengelola, kawasan Watukarung belum memiliki kios makanan. Masyarakat yang menjual makanan untuk wisatawan menggunakan peralatan dari mereka sendiri dengan memanfaatkan meja yang mereka punya untuk menjajakan makanan. Hal tersebut menyebabkan kawasan terlihat tidak

100

teratur. Ketidak teraturan tersebut dapat menyebabkan ketidaknyamanan wisatawan yang nantinya dapat menurunkan nilai ekonomi kawasan tersebut. Kawasan Watukarung yang memiliki nilai ekonomi sistem tiket yang diberlakukan oleh pengelola (Desa Watukarung) nominalnya masih bersifat sukarela. Hasil dari pungutan tiket tersebut digunakan untuk dana kebersihan kawasan. Hasil dari penjualan tiket belum cukup untuk pembangunan fasilitas yang dibutuhkan wisatawan. Kawasan Watukarung masih dikelola secara swadaya karena adanya perbedaan persepsi antara Dinas Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Pacitan dan Dinas Kelautan dan Perikanan. Desa Watukarung merupakan desa binaan nelayan sehingga seluruh pengelolaan kawasan diserahkan kepada Dinas Kelautan dan Perkanan. Pengelolaan yang dilakukan Dinas Kelautan dan Perikanan hanya dilakukan khusus di daerah TPI dan yang terkait perikanan tangkap saja. Hal ini seharusnya tidak perlu terjadi jika antara instansi dan stakeholder terkait lebih mengedepankan pengelolaan yang terpadu, untuk memanfaatkan potensi Desa Watukarung baik perikanan maupun wisata. Kawasan Srau memiliki total area pantai berpasir seluas 2,1886 ha dari total enam pantai berpasir. Luas area pantai berpasir yang dimanfaatkan sebesar 1,4374 ha (4 pantai berpasir) sedangkan luas area yang belum termanfaatkan sebesar 0,7512 ha (Gambar 51). Area yang belum dimanfaatkan seharusnya dapat dioptimalkan untuk mendapatkan nilai ekonomi yang lebih tinggi sesuai dengan daya dukung sehingga gap yang terjadi tidak terlalu jauh.

Gambar 51 Pemanfaatan area di Kawasan Srau (Data primer diolah 2012)

101

Sebagaimana kawasan Srau, Watukarung pun memiliki area pantai berpasir yang belum dimanfaatkan. Area yang belum dimanfaatkan tersebut sebesar 3,2262 ha, lebih besar daripada luas area yang sudah dimanfaatkan yaitu 3,1368 ha (Gambar 52). Pengoptimalan masih perlu dilakukan supaya hasil yang diperoleh bisa lebih baik lagi. Namun daya dukung tetap perlu diperhatikan. Dalam pengoptimalan pemanfaatan kawasan, perlu memperhatikan kebersihan dan meminimumkan terjadinya kerusakan. Hal ini perlu diperhatikan karena apabila terjadi kerusakan maka wisatawan semakin lama akan semakin berkurang sehingga mempengaruhi nilai ekonomi.

Gambar 52 Pemanfaatan area di Kawasan Watukarung (Data primer diolah 2012) Pemanfaatan kawasan wisata Srau selayaknya dilakukan dengan melibatkan masyarakat sekitar mengingat keterbatasan sumberdaya manusia yang dimiliki oleh dinas/instansi terkait. Pelibatan masyarakat sekitar memang sudah dilakukan, namun masih belum banyak yang terlibat. Masyarakat yang terlibat mengatakan sudah memperoleh manfaat dari keterlibatan mereka yaitu berjualan di kios makanan maupun menjaga loket. Selain itu ada juga yang terlibat dalam hal menjaga kebersihan kawasan baik area pantai, toilet maupun tempat ibadah. Masyarakat yang telah memiliki pengetahuan dan kesadaran terhadap pentingnya menjaga kelestarian alam akan sangat membantu dalam melakukan pengelolaan kawasan wisata di suatu daerah. Hal ini dilakukan karena selama ini masyarakat sekitarlah yang telah melakukan pengelolaan. Desa setempat dapat membuat Peraturan Desa mengenai

102

pengelolaan kawasan untuk wisata. Dengan dilakukannya hal tersebut diharapkan pemasukan yang diperoleh dapat digunakan untuk memperbaiki dan menambah fasilitas (tempat duduk, kios makanan dan toilet) yang dibutuhkan wisatawan selain untuk menjaga kebersihan kawasan. 5.7 Analisis Kepuasan Wisatawan 5.7.1 Analisis kepuasan wisatawan srau Pada analisis kepuasan wisatawan, analisis dilakukan terhadap persepsi wisatawan saat akan mengunjungi kawasan dan apa yang dihadapi/diperoleh ketika sampai di kawasan wisata. Persepsi kepuasan wisatawan dibagi atas lima kriteria utama dan 15 sub kriteria tambahan. Lima kriteria utama tersebut antara lain petugas di kawasan, karakteristik alam, infrastruktur, fasilitas dan informasikomunikasi (Tabel 29). Tabel 29 Tingkat kepuasan wisatawan (%) dari kriteria utama Kriteria

Kurang puas

Cukup puas

Puas

Petugas di kawasan

6,00

52,00

42,00

Karakteristik alam

1,33

24,67

74,00

Infrastruktur

76,00

17,00

7,00

Fasilitas

25,00

63,67

11,33

Informasi-komunikasi

42,00

58,00

0,00

Sumber: Data Primer diolah 2012

Analisis kepuasan diperoleh berdasarkan hasil kuesioner dan analisis MUSA untuk mendapatkan bobot dan rata-rata indeks kepuasan. Tingkat kepuasan wisatawan paling tinggi terdapat pada kriteria karakteristik alam sementara yang paling rendah terdapat pada kriteria informasi-komunikasi dan infrastruktur. Tingkat kepuasan yang rendah ditunjukkan dari kriteria informasikomunikasi, infrastruktur dan fasilitas. Karakteristik infrastruktur sebanyak 76,00% menyatakan kurang puas, karakteristik informasi-komunikasi sebanyak 42,00% menyatakan kurang puas dan dari sehi fasilitas sebanyak 25,00% yang kurang puas. Ketersediaan infrastruktur sudah cukup baik, namun kondisi beberapa jalan

yang mengalami kerusakan menimbulkan ketidakpuasan

wisatawan. Pelayanan yang diberikan oleh petugas di kawasan wisata memberikan tingkat kepuasan yang cukup bagi wisatawan (52%). Fasilitas di

103

kawasan sudah ada, namun masih belum lengkap. Kondisi dan keberadaan fasilitas membuat wisatawan cukup puas, namun sebagian besar menyatakan perlu untuk dilengkapi lagi dan diperbaiki, terutama yang mengalami kerusakan (MCK). Sub kriteria yang dianalisis ada 15 sub kriteria. Sub kriteria tersebut berasal dari lima kriteria utama. Kriteria karakteristik alam terdiri atas sub kriteria keindahan alam, pantai berpasir dan kejernihan air. Kriteria infrastruktur terdiri atas sub kriteria jalan, penginapan, dan pusat informasi. Kriteria fasilitas terdiri atas sub kriteria kios, toilet, tempat sampah dan tempat ibadah. Kriteria informasikomunikasi terdiri atas sub kriteria tanda dan papan penunjuk (Tabel 30). Dari 15 sub kriteria, tingkat kepuasan paling banyak terdapat pada sub kriteria pantai berpasir, dan kepuasan paling sedikit terdapat pada sub kriteria penginapan, tempat sampah, tanda maupun penunjuk. Tabel 30 Tingkat kepuasan wisatawan (%) dari sub kriteria Kriteria

Kurang puas 24,00

Cukup puas 66,00

Puas 10,00

Pelayanan

44,00

52,00

4,00

Komunikasi

36,00

54,00

10,00

Kesopanan

64,00

36,00

0,00

Keindahan alam

2,00

36,00

62,00

Pantai berpasir

2,00

12,00

86,00

Kejernihan air

0,00

26,00

74,00

58,00

30,00

12,00

Pengetahuan

Jalan (menuju kawasan) Penginapan

94,00

4,00

2,00

Pusat informasi

58,00

30,00

12,00

Tempat duduk

4,00

82,00

14,00

Kios

2,00

76,00

22,00

Toilet

18,00

70,00

12,00

Tempat sampah

64,00

36,00

0,00

Tempat ibadah

4,00

88,00

8,00

Tanda

46,00

54,00

0,00

Papan petunjuk

38,00

62,00

0,00

Sumber: Data primer diolah 2012

Ketersediaan fasilitas penginapan yang belum memadai baik jumlah maupun kualitasnya menyebabkan sebagian besar warga di sekitar kawasan menyediakan/menyewakan rumahnya jika ada wisatawan yang ingin menginap.

104

Wisatawan tidak jarang membuat tenda di daerah yang lapang di dekat pantai. Tempat sampah juga jarang sekali di temukan di kawasan wisata, itulah yang membuat wisatawan yang merasa sedikit tidak puas terhadap kriteria ini. Bobot diperoleh dari modifikasi kepuasan wisatawan dari hasil penelitian Arabatzis and Grigoroudis 2010. Bobot tertinggi terdapat pada elemen karakteristik alam karenakarakteristik alam merupakan merupakan daya tarik wisatawan dalam mengunjungi suatu kawasan (Tabel 31). Tabel 31 Bobot dan indeks kepuasan dari kriteria utama Kriteria Petugas di kawasan Karakteristik alam Infrastruktur Fasilitas Informasi-komunikasi

Bobot (%) 18,38a 23,76a 20,43a 19,07a 18,36a

Indeks kepuasan (%) 34,19 52,91 16,55 26,00 19,83

Keterangan: a = modifikasi Arabatzis dan Grigoroudis 2010

Indeks kepuasan tertinggi terdapat pada karakteristik alam. Karakteristik alam tersebut yang menjadi daya tarik wisatawan untuk mengunjungi kawasan. Bobot pada sub kriteria tertinggi terdapat pada kejernihan air seperti disajikan pada Tabel 32. Tabel 32 Bobot dan indeks kepuasan dari sub kriteria Sub kriteria Pengetahuan Pelayanan Komunikasi Kesopanan Keindahan alam Pantai berpasir Kejernihan air Jalan (menuju kawasan) Penginapan Pusat informasi Tempat duduk Kios Toilet Tempat sampah Tempat ibadah Tanda Papan petunjuk

Bobot (%) 9,70a 2,80a 2,85a 3,03a 7,25a 8,38a 8,14a 8,52a 11,91a 2,28a 4,79a 3,16a 2,53a 3,48a 2,84a 7,68a 10,68a

Keterangan: a = modifikasi dari Arabatzis dan Grigoroudis 2010

Indeks kepuasan (%) 13,19 3,08 3,53 2,61 15,22 19,60 18,23 8,86 6,91 2,37 7,66 5,37 3,64 2,99 4,37 7,98 11,97

105

Kejernihan air dan karakteristik alam lain penting karena menjadi daya tarik wisatawan untuk mengunjungi kawasan tersebut. Indeks kepuasan wisatawan tertinggi terdapat pada sub kriteria pantai berpasir sedangkan yang terendah terdapat pada sub kriteria penginapan. Tujuan utama wisatawan berwisata ke kawasan pantai Srau dan Watukarung memang lebih dominan untuk menikmati pemandangan alam berupa hamparan pantai pasir putihnya yang eksotis. Indeks kepuasan dan tingkat kepuasan wisatawan dapat menjadi masukan bagi pihak pengelola terkait jenis fasilitas apa saja yang perlu ditambahkan dan diperbaiki untuk membuat kawasan wisata menjadi lebih baik lagi. Pengelolaan yang baik akan meningkatkan nilai ekonomi yang diperoleh, peningkatan jumlah pengunjung dan pendapatan asli daerah juga akan meningkat. Namun pengelola juga harus memperhatikan kenyamanan pengunjung dengan tetap memperhatikan jumlah kunjungan sesuai dengan daya dukung dalam satu waktu. 5.7.2 Analisis kepuasan wisatawan Watukarung Pada analisis kepuasan wisatawan di kawasan Watukarung, analisis dilakukan terhadap persepsi wisatawan saat akan mengunjungi kawasan dan apa yang dihadapi/diperoleh ketika sampai di kawasan wisata. Persepsi kepuasan wisatawan dibagi atas lima kriteria utama dan 15 sub kriteria tambahan. Lima kriteria utama tersebut antara lain petugas di kawasan, karakteristik alam, infrastruktur, fasilitas dan informasi-komunikasi (Tabel 33). Tabel 33 Tingkat kepuasan wisatawan (%) dari kriteria utama Kriteria Petugas di kawasan Karakteristik alam Infrastruktur Fasilitas Informasi-komunikasi

Kurang puas 27,00 0,00 76,00 27,67 48,00

Cukup puas 67,00 25,33 17,00 63,00 52,00

Puas 6,00 74,67 7,00 9,33 0,00

Sumber: Data Primer diolah 2012

Analisis kepuasan diperoleh berdasarkan hasil kuesioner dan analisis MUSA untuk mendapatkan bobot dan rata-rata indeks kepuasan. Tingkat kepuasan wisatawan paling tinggi terdapat pada kriteria karakteristik alam sementara yang paling rendah terdapat pada kriteria informasi-komunikasi dan infrastruktur. Ketersediaan infrastruktur sudah cukup baik, namun kondisi

106

beberapa jalan

yang mengalami kerusakan menimbulkan ketidakpuasan

wisatawan. Pelayanan yang diberikan oleh petugas di kawasan wisata memberikan tingkat kepuasan yang cukup bagi wisatawan (67,00%). Fasilitas di kawasan sudah ada, namun masih belum lengkap. Kondisi dan keberadaan fasilitas membuat wisatawan cukup puas, namun sebagian besar menyatakan perlu untuk dilengkapi lagi dan diperbaiki, terutama yang mengalami kerusakan (MCK). Sub kriteria yang dianalisis ada 15 sub kriteria. Sub kriteria tersebut berasal dari lima kriteria utama. Kriteria karakteristik alam terdiri atas sub kriteria keindahan alam, pantai berpasir dan kejernihan air. Kriteria infrastruktur terdiri atas sub kriteria jalan, penginapan, dan pusat informasi. Kriteria fasilitas terdiri atas sub kriteria kios, toilet, tempat sampah dan tempat ibadah. Kriteria informasikomunikasi terdiri atas sub kriteria tanda dan papan penunjuk (Tabel 34). Dari 15 sub kriteria, tingkat kepuasan paling banyak terdapat pada sub kriteria pantai berpasir, dan kepuasan paling sedikit terdapat pada sub kriteria penginapan, tempat sampah, tanda maupun penunjuk. Tabel 34 Tingkat kepuasan wisatawan (%) dari sub kriteria Kriteria Pengetahuan Pelayanan Komunikasi Kesopanan Keindahan alam Pantai berpasir Kejernihan air Jalan (menuju kawasan) Penginapan Pusat informasi Tempat duduk Kios Toilet Tempat sampah Tempat ibadah Tanda Papan petunjuk

Kurang puas 10,00 22,00 26,00 50,00 0,00 0,00 0,00 58,00 94,00 74,00 4,00 2,00 18,00 64,00 4,00 46,00 50,00

Cukup puas 74,00 74,00 70,00 50,00 36,00 14,00 26,00 30,00 4,00 26,00 82,00 76,00 70,00 36,00 88,00 54,00 50,00

Puas 16,00 4,00 4,00 0,00 64,00 86,00 74,00 12,00 2,00 0,00 14,00 22,00 12,00 0,00 8,00 0,00 0,00

Sumber: Data primer diolah 2012

Ketersediaan fasilitas penginapan yang belum memadai baik jumlah maupun kualitasnya menyebabkan sebagian besar warga di sekitar kawasan menyediakan/menyewakan rumahnya jika ada wisatawan yang ingin menginap.

107

Wisatawan terkadang membuat tenda di daerah yang lapang di dekat pantai. Tempat sampah juga jarang sekali ditemukan di kawasan wisata, itulah yang membuat wisatawan yang merasa sedikit tidak puas terhadap kriteria ini. Bobot diperoleh dari adaptasi kepuasan wisatawan dari hasil penelitian Arabatzis and Grigoroudis 2010. Bobot tertinggi terdapat pada elemen fasilitas, karena fasilitas merupakan hal yang paling dibutuhkan wisatawan saat mengunjungi suatu kawasan (Tabel 35). Tabel 35 Bobot dan indeks kepuasan dari kriteria utama Kriteria Petugas di kawasan Karakteristik alam Infrastruktur Fasilitas Informasi-komunikasi

Bobot (%) 18,38a 23,76a 20,43a 19,07a 18,36a

Indeks kepuasan (%) 23,71 53,38 16,55 25,11 18,73

Keterangan: a = adaptasi dari Arabatzis dan Grigoroudis 2010

Indeks kepuasan tertinggi terdapat pada karakteristik alam. Karakteristik alam tersebut yang menjadi daya tarik wisatawan untuk mengunjungi kawasan. Bobot pada sub kriteria tertinggi terdapat pada kejernihan air seperti disajikan pada Tabel 36. Tabel 36 Bobot dan indeks kepuasan dari sub kriteria Sub kriteria Pengetahuan Pelayanan Komunikasi Kesopanan Keindahan alam Pantai berpasir Kejernihan air Jalan (menuju kawasan) Penginapan Pusat informasi Tempat duduk Kios Toilet Tempat sampah Tempat ibadah Tanda Papan petunjuk

Bobot (%) 9,70a 2,80a 2,85a 3,03a 7,25a 8,38a 8,14a 8,52a 11,91a 2,28a 4,79a 3,16a 2,53a 3,48a 2,84a 7,68a 10,68a

Indeks kepuasan (%) 15,12 3,70 3,65 3,03 15,51 19,77 18,23 8,86 6,91 1,73 7,66 5,37 3,64 2,99 4,37 7,98 10,68

Keterangan: a = Modifikasi Arabatzis dan Grigoroudis 2010

Kejernihan air dan karakteristik alam lain penting karena menjadi daya tarik wisatawan untuk mengunjungi kawasan tersebut. Indeks kepuasan wisatawan

108

tertinggi terdapat pada sub kriteria pantai berpasir sedangkan yang terendah terdapat pada sub kriteria penginapan. Tujuan utama wisatawan berwisata ke kawasan pantai Srau dan Watukarung memang lebih dominan untuk menikmati pemandangan alam berupa hamparan pantai pasir putihnya yang eksotis. Indeks kepuasan dan tingkat kepuasan wisatawan dapat menjadi masukan bagi pihak pengelola terkait jenis fasilitas apa saja yang perlu ditambahkan dan diperbaiki untuk membuat kawasan wisata menjadi lebih baik lagi. Pengelolaan yang baik akan meningkatkan nilai ekonomi yang diperoleh, peningkatan jumlah pengunjung dan pendapatan asli daerah juga akan meningkat. Namun pengelola juga harus memperhatikan kenyamanan pengunjung dengan tetap memperhatikan jumlah kunjungan sesuai dengan daya dukung dalam satu waktu. Pada diagram aksi kepuasan (Gambar 53) karakteristik alam baik kawasan Srau maupun Watukarung memiliki tingkat kepentingan dan pemanfaatan yang

Tinggi

tinggi karena merupakan elemen kunci yang menjadi daya tarik bagi wisatawan.

PEMANFAATAN

Karakteristik alam Petugas kawasan

Infrastruktur

Rendah

Fasilitas Informasi-komunikasi Rendah

KEPENTINGAN

Tinggi

Gambar 53 Diagram aksi kepuasan wisatawan pada kriteria utama Kualitas pelayanan yang diberikan pegawai kawasan masih kurang (ditunjukkan dengan indeks kepuasan yaitu 34,19% untuk kawasan Srau dan 23,71% untuk kawasan Watukarung). Tingkat kepentingannya dari pegawai kawasan sedang, namun kebutuhan wisatawan terhadap petugas kawasan cukup tinggi yaitu sebagai guide ataupun pihak pemberi informasi. Infrastruktur, fasilitas

109

dan informasi-komunikasi memiliki tingkat kepentingan yang tinggi, akan tetapi pelaksanaannya masih rendah. Pihak pengelola diharapkan dapt memperhatikan hal-hal yang terkait dengan pengelolaan yang lebih baik lagi sehingga kegiatan wisata dapat terus berkelanjutan. 5.8 Strategi Pengelolaan Kawasan Hasil analisis terhadap potensi, daya dukung, nilai ekonomi, kesenjangan pemanfaatan dan kepuasan wisatawan menunjukkan bahwa kawasan pesisir di Kecamatan Pringkuku memiliki peluang pengembangan yang cukup besar. Pengembangan tersebut dapat dilakukan untuk sektor perikanan maupun wisata. Peningkatan pemanfaatan potensi yang tersedia perlu dilakukan dengan dibuat strategi pengelolaan yang diharapkan dapat mengakomodir seluruh kepentingan yang ada di dalamnya baik yang terkait dengan aktivitas wisata, perikanan maupun pengembangan masyarakat. Strategi pengelolaan kawasan pesisir Kecamatan Pringkuku dapat dikelompokkan dalam 2 kategori utama yaitu bidang perikanan dan wisata. Strategi bidang perikanan lebih diarahkan pada perbaikan armada, pengolahan hasil perikanan dan melibatkan nelayan dalam kegiatan wisata. Strategi pengelolaan wisata lebih dititik beratkan terhadap upaya yang dapat dilakukan dalam meningkatkan aktivitas wisata dengan melibatkan masyarakat sekitar, menjaga kelestarian dan daya dukung lingkungan. 5.8.1 Strategi pengelolaan perikanan Perikanan di Kecamatan Pringkuku sebaiknya tetap dipertahankan dalam skala kecil. Hal ini disebabkan perikanan di Kabupaten Pacitan sebagian besar telah didukung dari produksi perikanan di PPP Tamperan dan TPI Sidomulyo Kecamatan Kebonagung. Selain itu apabila perikanan di Kecamatan Pringkuku diperbesar skalanya, akan ditakutkan mempengaruhi kondisi wisata di sekitarnya. Walaupun kondisi perikanan tetap dipertahankan dalam skala kecil, pendapatan nelayan tetap dapat ditingkatkan. Peningkatan pendapatan tersebut dengan melibatkan nelayan dalam kegiatan wisata yaitu mendampingi wisatawan dalam wisata memancing di laut, melibatkan keluarga nelayan dalam kegiatan wisata kuliner (dengan bahan utama hasil tangkapan nelayan) dan meningkatkan

110

keterampilan dalam hal pengolahan hasil perikanan. Pengelolaan perikanan dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pacitan berkoordinasi dengan masyarakat sekitar dimana dalam hal ini adalah nelayan. 1) Perbaikan armada perikanan Perbaikan armada perikanan yang ddapat dilakukan yaitu pengecetan, pembersihan dan pemberian tempat duduk di kapal. Pemberian tempat duduk tersebut diharapkan dapat dimanfaatkan nelayan untuk membawa wisatawan menikmati wisata memancing di laut. Perbaikan armada dapat memperlancar aktivitas nelayan dalam menangkap ikan (tidak ada alat tangkap yang rusak). 2) Peningkatan keterampilan dalam pengolahan hasil perikanan Hasil tangkapan yang diperoleh nelayan selama ini langsung dijual dalam bentuk segar. Harga ikan dalam bentuk segar lebih murah dibandingkan harga ikan yang sudah diolah. Oleh karena itu perlu diberikan keterampilan pengolahan hasil perikanan. Pengolahan yang dilakukan dapat berupa pengolahan hasil menjadi nuget, bakso skala rumah tangga (dengan melibatkan keluarga nelayan dan masyarakat sekitar) maupun pengolahan dalam bentuk makanan kuliner yang khas. Makanan kuliner tersebut dapat dijual di kios makanan yang nantinya dapat dinikmati oleh wisatawan. Adanya makanan kuliner yang khas dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. 3) Pengembangan pemasaran Nelayan melakukan aktivitas penangkapan one day fishing yang artinya penangkapan harian. Dalam sehari aktivitas penangkapan dilakukan selama enam jam dengan area penangkapan di perairan sekitar Watukarung (Lampiran 39). Selama ini penjualan dimonopoli oleh tengkulak sehingga harga jual produk tidak terlalu tinggi. Oleh karena itu pihak pengelola perlu melakukan pengaturan pasar sehingga harga tidak merugikan nelayan. Selain itu pemerintah dapat turun tangan supaya tengkulak tidak memonopoli pemasaran ikan segar. Apabila pengolahan hasil perikanan sudah dilakukan, perlu dikembangkan pemasaran untuk hasil olahan tersebut misalnya sebagai oleh-oleh khas wisatawan.

111

5.8.2 Strategi pengelolaan wisata pantai 5.8.2.1 Strategi pengelolaan wisata di Kawasan Srau Kawasan wisata Srau dikelola oleh Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga. Pengelolaan dengan melibatkan masyarakat sekitar untuk membantu menjaga kawasan, menjaga loket masuk dan menjual makanan di kios makanan. Selain melibatkan masyarakat sekitar, pengelolaan juga perlu melibatkan Dinas Pekerjaan Umum untuk perbaikan infrastruktur (jalan menuju kawasan). Hal tersebut dilakukan karena beberapa ruas jalan ada yang mengalami kerusakan sehingga cukup mengganggu perjalanan wisatawan. 1) Penyediaan dan perbaikan fasilitas Ketersediaan fasilitas yang belum memadai berpengaruh terhadap tingkat kepuasan wisatawan. Fasilitas yang ada juga tidak dirawat dengan baik sehingga menurunkan kenyamanan bagi pengunjung. Perlu dilakukan perbaikan dan penambahan fasilitas seperti tempat sampah, tempat duduk dan toilet. Tempat sampah dapat ditempatkan di tepi pantai dengan jumlah yang cukup banyak sehingga wisatawan tidak membuang sampah sembarangan. Selain itu perlu juga penyediaan penginapan. Penginapan tidak perlu terlalu bagus, namun sederhana dan bersih karena kebersihanlah yang diutamakan oleh wisatawan. 2) Perbaikan infrastruktur Kondisi jalan menuju ke lokasi wisata yang relatif sempit, beberapa berlubang, tidak dilengkapi dengan papan petunjuk arah serta penerangan jalan jalan yang mengalami kerusakan yaitu jalan menuju kawasan Srau yang terletak di Desa Candi. Beberapa ruas jalan berlubang, bahkan beberapa di tikungan ataupun belokan yang mengganggu wisatawan untuk mengunjungi kawasan. Selain itu jaringan komunikasi juga perlu ditingkatkan supaya kebutuhan wisatwan dapat terpenuhi. BTS jaringan komunikasi berada di Desa Candi (dekat dengan kantor desa). Padahal posisi kawasan Srau masih cukup jauh dari kantor desa tersebut sehingga jangkauan di Kawasan Srau menjadi terbatas. Oleh karena itu perlu dilakukan penambahan BTS di sekitar kawasan Srau supaya jaringan komunikasi wisatawan menjadi lebih lancar.

112

3) Penyediaan penunjuk jalan dan tanda Penunjuk jalan dan tanda menuju kawasan maupun di dalam kawasan masih minim. Penunjuk jalan perlu ditambahkan jumlahnya mulai dari Pacitan Kota hingga ke kawasan. Penunjuk jalan dibuat dengan menunjukkan keterangan kurang berapa kilometer lagi menuju kawasan. Penunjuk jalan dibuat di pusat kota Kabupaten Pacitan, di Desa Sidoharjo (dekat Pantai Teleng Ria), di Desa Dadapan (pertigaan Dadapan), Desa Candi (Pertigaan antara Kawasan Srau dan Watukarung), Desa Candi (pertengahan jalan menuju kawasan Srau) di Kawasan Srau yang menunjukkan posisi masing-masing pantai. Tanda di dalam kawasan pun penting supaya wisatawan lebih teratur dan nyaman. Tanda yang dibuat dapat menunjukkan tempat yang aman untuk berenang dan tidak. 4) Pelatihan untuk peningkatan SDM dan keterlibatan penjaga kawasan sebagai guide Peningkatan SDM perlu dilakukan mengingat komunikasi pegawai kawasan masih kurang. Komunikasi terutama terhadap wisatawan mancanegara. Pelatihan antara lain pelatihan bahasa yang diharapkan dapat mempermudah pegawai dalam berkomunikasi dengan wisatawan terutama wisatawan mancanegara. Hal tersebut dapat mendukung kegiatan wisata. Kawasan Srau dilakukan penjagaan (untuk tiket masuk) setiap hari. Pegawai kawasan selain menjaga kawasan dapat berperan juga sebagai guide (perlu ada pembagian tugas). Wisatawan saat mengunjungi kawasan banyak yang tidak tahu tempat-tempat yang sesuai untuk memancing, berenang, mencari makan dan sebagainya. Oleh karena itu perlu disediakan guide untuk mendampingi ataupun menjadi penunjuk bagi wisatawan untuk melakukan kegiatan wisata. Apabila penjaga kawasan tidak mampu menjadi guide, dapat menunjuk orang (masyarakat sekitar) yang mampu menjadi guide. Penyediaan informasi atau pengumuman untuk menghubungi nomor guide yang dapat mendampingi dalam memancing, wisata yang lain bahkan menunjukkan tepat untuk membeli makan sangat penting. Pelayanan tersebut akan membuat wisatawan terbantu dan nyaman dalam berwisata. 5.8.2.2 Strategi pengelolaan wisata di Kawasan Watukarung Kawasan Watukarung dikelola oleh masyarakat desa setempat (Desa Watukarung). Hal ini terjadi karena Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan

113

Olahraga selaku pengelola hampir di sebagian besar tempat wisata di Kabupaten Pacitan tidak ikut andil mengelola kawasan. Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga menganggap kawasan Watukarung merupakan Desa binaan nelayan dibawah pengelolaan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pacitan. Oleh karena itu masyarakat desa sekitar (Desa Watukarung) berinisiatif mengelola. 1) Penyediaan dan perbaikan fasilitas Fasilitas di kawasan ini masih sedikit. Hanya ada beberapa tempat duduk dan toilet yang tersedia. Tidak ditemukan adanya tempat sampah. Tempat sampah perlu ditambahkan dan di tempatkan di tepi pantai maupun di tepi jalan ke arah masuk pantai. Tersedianya tempat sampah dapat membuat wisatawan tidak membuang sampah sembarangan. Penambahan tempat duduk, toilet, tempat ibadah dan kios makanan juga sangat diperlukan mengingat hal tersebut dibutuhkan wisatawan. Toilet dapat dibuat di sekitar kawasan yang dapat dijangkau wisatawan. Selain itu dalam pembuatan kios makanan, masyarakat dapat dilibatkan untuk menjual makanan khas untuk kuliner. Makanan kuliner tersebut dapat menjadi daya tarik wisatawan. 2) Perbaikan infrastruktur Jalan menuju kawasan beberapa mengalami kerusakan. Jalan yang mengalami kerusakan tersebut antara lain menuju kawasan Watukarung yang melalui Desa Candi perbatasan dengan Desa Jlubang. Selain itu beberapa ruas jalan yang melalui Desa Watukarung juga ada yang berlubang. Jalan-jalan tersebut perlu dilakukan perbaikan. Selain itu jalan dari Ngalurombo ke pantai Waduk, Ngalihan, Mbresah dan Geben masih berupa jalan setapak yang sebagian besar dari tanah. Perlu dibuat jalan yang lebih bagus, walaupun pembuatan jalannya tidak lebar, namun nantinya wisatawan dapat dengan mudah menuju pantai tersebut. Jalan dari Pantai Ngalurombo ke Pantai Sirahtowo dan Jantur juga masih jalan dari tanah. Jalan tersebut sebaiknya diperbaiki dan dibuat lebih bagus sehingga wisatawan mudah menjangkaunya. Jalan dari Pantai Watukarung menuju Pantai Mbrecak, Kasap, Peden ombo, Seruni dan Kreweng beberapa juga masih berupa jalan tanah dan jalan setapak. Perlu dibangun jalan yang lebih baik untuk memudahkan akses wisatawan. Hal tersebut dikarenakan banyaknya pilihan

114

tujuan wisatawan. Apabila jalan-jalan tersebut tidak dibangun, pantai yang lain tidak dapat dimanfaatkan dan dinikmati wisatawan. 3) Penyediaan penunjuk jalan, jaringan komunikasi dan tanda Sebagaimana kawasan Srau, kawasan Watukarung pun memiliki penunjuk tanda dan jalan yang sangat sedikit. Kurangnya penunjuk jalan tersebut cukup mengganggu wisatawan karena wisatawan perlu banyak bertanya untuk menemukan kawasan ini. Penunjuk jalan diletakkan mulai dari kota Kabupaten Pacitan, pertigaan dekat Kawasan Pantai Teleng Ria, Pertigaan Desa Dadapan, Pertigaan antara kawasan Srau dan Watukarung, Pertigaan Desa Jlubang dan Watukarung hingga telah memasuki kawasan. Selain itu penunjuk jalan untuk ke pantai lain selain pantai Ngalurombo juga perlu disediakan. Penunjuk jalan tersebut antara lain ke Pantai Sirahtowo, Jantur, Waduk, Ngalihan, Mbresah, Geben, Mbrecak, Kasap, Peden ombo, Seruni dan Kreweng. Selain itu tanda di dalam kawasan sangat penting untuk kenyamanan wisatawan. Tanda yang dibuat misalnya area yang sesuai untuk surfing, toilet, mushola, area yang sesuai untuk memancing, dan sebagainya. Hal tersebut memudahkan wisatawan dalm akses dan kenyamanan dalam berwisata. Jaringan komunikasi juga penting bagi wisatawan. BTS komunikasi terdekat terletak di Desa Candi, BTS tersebut cukup jauh dari kawasan sehingga jaringan yang diperoleh di kawasan pun sangat minim. Oleh karena itu perlu penambahan BTS di dekat kawasan Watukarung supaya wisatawan dapat mudah berkomunikasi. 4) Pelatihan untuk meningkatkan SDM pegawai kawasan Pelatihan perlu dilakukan dalam hal bahasa. Hal ini penting mengingat kawasan ini banyak dikunjungi wisatawan mancanegara. Keahlian bahasa penting dalam berkomunikasi dengan wisatawan terutama wistawan mancanegara sehingga pelayanan yang diberikan pun akan lebih baik. 5) Penyediaan guide Penjagaan kawasan watukarung tidak dilakukan setiap hari. Wisatawan saat mengunjungi kawasan banyak yang tidak tahu tempat-tempat yang sesuai untuk memancing, berenang, mencari makan dan sebagainya. Oleh karena itu perlu disediakan guide untuk mendampingi ataupun menjadi penunjuk bagi wisatawan untuk melakukan kegiatan wisata. Guide tidak perlu standby di kawasan.

115

Penyediaan informasi atau pengumuman untuk menghubungi nomor guide yang dapat mendampingi dalam memancing, wisata yang lain bahkan menunjukkan tempat untuk membeli makan sangat penting. Pelayanan tersebut akan membuat wisatawan terbantu dan nyaman dalam berwisata. 6) Pelibatan nelayan dalam kegiatan wisata Aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan nelayan biasanya pada dini hari dan mendarat pada pagi hari. Oleh karena itu banyak waktu yang dapat dimanfaatkan nelayan untuk aktivitas lainnya. Aktivitas yang dapat dilakukan tersebut dengan terlibat dalam kegiatan wisata. Wisatawan banyak yang tertarik untuk berwisata memancing di laut. Wisatawan yang tertarik tidak hanya wisatawan domestik. Wisatawan mancanegara pun banyak yang melakukannya dan mereka berani membayar lebih untuk dapat memancing di laut (sport fishing). Nelayan banyak yang mengetahui tempat-tempat yang cocok untuk memancing ikan. Oleh karena itu nelayan perlu terlibat dalam kegiatan wisata tersebut. Nelayan yang terlibat dalam kegiatan wisata harus memiliki kapal yang bersih dimana tersedia tempat sampah dan tempat duduk untuk wisatawan. Selain itu nelayan juga dapat dilengkapi seragam supaya terlihat lebih rapi. Keterlibatan nelayan membuat nelayan dapat memanfaatkankan waktunya untuk memperoleh pendapatan lain selain dari aktivitas penangkapan ikan. Pelibatan nelayan dalam menyediakan sport-fishing merupakan daya tarik. Konsentrasi dan fasilitas nelayan semakin meningkat untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan dengan aktivitas sport fishing (Jensen 1997 inBellan dan Bellan-Santini 2007).

6 SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan 1) Kawasan Srau memiliki tingkat pemanfaatan ruang untuk kegiatan wisata mencapai 65,67%. Kawasan Watukarung memiliki tingkat pemanfaatan area untuk kegiatan wisata sekitar 49,00%. 2) Kunjungan wisatawan di kawasan Srau dan Watukarung masih belum melampaui daya dukung. Sebagian besar kawasan Srau dan Watukarung memiliki kelas kesesuaian sangat sesuai dengan beberapa pantai memiliki kesesuaian sesuai . 3) Jika dilihat dari nilai ekonomi wisata berdasarkan aspek daya dukung ekologis sebagai faktor pembatas, tingkat pemanfaatan kawasan Srau baru mencapai 32,26% sedangkan tingkat pemanfaatan kawasan Watukarung baru mencapai 11,59%. Pemanfaatan perikanan baru mendukung sekitar 17,93% dari produksi perikanan Kabupaten Pacitan. 4) Strategi pengelolaan bidang perikanan yang dapat dilakukan yaitu perbaikan armada perikanan, peningkatan keterampilan dalam pengolahan hasil perikanan dan pengembangan pemasaran hasil perikanan. Strategi pengelolaan di Kawasan Srau yaitu melakukan perbaikan fasilitas seperti tempat duduk, toilet, tempat sampah; perbaikan jalan; penyediaan penunjuk jalan, jaringan komunikasi dan tanda; serta pelatihan untuk peningkatan SDM petugas kawasan. Sementara itu pengelolaan kawasan Watukarung yaitu perbaikan dan penyediaan fasilitas seperti tempat duduk, toilet, tempat sampah, kioas makanan, tempat ibadah; perbaikan jalan; penyediaan penunjuk jalan, jaringan komunikasi dan tanda; pelatihan untuk meningkatkan SDM petugas kawasan dan melibatkan nelayan dalam kegiatan wisata.

6.2. Saran Penelitian mengenai daya dukung perikanan di Kecamatan Pringkuku perlu dilakukan. Selain itu perlu dilakukan kajian lebih mendalam mengenai pemanfaatan ombak untuk surfing. Dilakukannnya kajian tersebut diharapkan dapat mengetahui tempat yang benar-benar sesuai untuk aktivitas surfing sehingga menarik wisatawan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahn BY, Lee BK, Shafer CS 2002. Operationalizing Sustainability in Regional Tourism Planning : An Application of The Acceptable Change Framework. Tourism Management 23: 1-15 Adrianto L. 2006a. Peluang Pariwisata Bahari di Pulau – Pulau Kecil. Disampaikan pada Diskusi Pengembangan Pariwisata Bahari di PulauPulau Kecil, Program Pasca Sarjana Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika, IPB. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian Bogor. Bogor Adrianto L. 2006b. Pengantar Penilaian Ekonomi Sumberdaya Pesisir dan Laut. Manuskrip. PKSPL-IPB Arabatzis G, Grigoroudis E. 2010. Visitor’s Satisfaction and Gap Analysis: The Case of Dadia-Lefkimi-Souflion National Park. Forest Policy and Economics 12: 163-172 Arifin T, Bengen DG, Pariwono JI. 2002. Evaluasi Kesesuaian Kawasan Pesisir Teluk Palu untuk Pengembangan Pariwisata Bahari. Jurnal Pesisir dan Lautan Vol. 4. No. 2. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa [BPMPD]. 2011a. Data Profil Desa Dadapan, Kabupaten Pacitan Jawa Timur. Pemerintah Kabupaten Pacitan. Pacitan . 2011b. Data Profil Desa Candi, Kabupaten Pacitan Jawa Timur. Pemerintah Kabupaten Pacitan. Pacitan . 2011c. Data Profil Desa Jlubang, Kabupaten Pacitan Jawa Timur. Pemerintah Kabupaten Pacitan. Pacitan . 2011d. Data Profil Desa Watukarung, Kabupaten Pacitan Jawa Timur. Pemerintah Kabupaten Pacitan. Pacitan Badan Pusat Statistik [BPS]. 2011. Kecamatan Pringkuku dalam Angka. Kabupaten Pacitan. Pacitan Badan Pusat Statistik [BPS]. 2012. Kabupaten Pacitan dalam Angka. Kabupaten Pacitan. Pacitan Balai Penelitian dan Observasi Laut. 2011. Data Pasang Surut Kabupaten Pacitan. Bali Bakosurtanal. 2007. Peta Rupa Bumi Indonesia. Bakosurtanal. Bogor Badan Penelitian dan Pengembangan [Balitbang] Kabupaten Pacitan. 2003. Studi Kelayakan dan Penyusunan Model Perencanaan Kawasan Industri dan Pariwisata di Teluk Pacitan. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang

120

Barling D, Simpson D. 2009. GAP Analysis: Matching Quality Standards with signal needs. Transparent Food. City University. London Bellan GL, Bellan-Santini DR. 2001. A Review of Littoral Tourism, Sport and Leisure Activities: Consequences on Marine Flora and Fauna. Aquatic Conservation: Marine and Freshwater Ecosystem 11: 325-333 Bengen D G. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Bengen D G. 2002. Pengembangan Konsep Daya Dukung Dalam Pengelolaan Lingkungan Pulau-Pulau Kecil. Kantor Kementerian Lingkungan Hidup RI dan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Bengen D, Retraubun ASW. 2006. Menguak Realitas dan Urgensi Pengelolaan Berbasis Eko-sosio Sistem Pulau-pulau Kecil. Pusat Pembelajaran dan Pengembangan Pesisir dan Laut. Jakarta Brown K, Tompkins E, Adger WN. 2001. Trade-off Analysis for Participatory Coastal Zone Decision-Making. Overseas Development Group. University of East Anglia. Norwich Cicin-Sain B, Knecht RW. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management Concept and Practices, (Washington DC Island Press 1998). p 39 Clark J. 1974. Coastal Ecosystem: Ecological Consideration For Management of The Coastal Zone. The Conservation Foundation, Washington DC. 178p Coombes EG, Jone AP. 2010. Assessing The Impact of Climate Change on Visitor Behaviour and Habitat Use at The Coast: A UK Case Study. Global Environmental Change 20: 303-313 Dahuri R. 2003. Paradigma Baru Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Orasi Ilmiah : Guru Besar Tetap Bidang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Cresent. Bogor Dahuri R., Rais J, Ginting, SP, Sitepu MJ. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Edisi Revisi. Pradnya Paramita. Jakarta Damanik J, Weber HF. 2006. Perencanaan Ekowisata. Pusat Studi Pariwisata (PUSPAR) UGM dan ANDI. Yogyakarta Defeo O, McLachlan A, Schoeman DS, Schlacher TA, Dugan J, Jones A, Lastra M, Scapini F. 2009. Treats to Sandy Beach Ecosystem : A review. Estuarine, Coastal and Shelf Science 81: 1-12 Departemen Kelautan dan Perikanan Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap [DJPT]. 2005. Review Detail Desain PPI Tamperan Kabupaten Pacitan. Aria Jasa, Konsultan Teknik dan Manajemen. Surabaya Diedrich A, Garcia-Buades E. 2009. Local Peception of Tourism as Indicators of destination Decline. Tourism Management 30: 512-521

121

Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga. 2012. Data Kunjungan Wisatawan di Kabupaten Pacitan. Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Pacitan. Pacitan Dinas Kelautan dan Perikanan 2009. Profil Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pacitan. Pacitan Dinas Kelautan dan Perikanan 2011. Profil Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pacitan. Pacitan Dinas Kelautan dan Perikanan 2012. Profil Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pacitan. Pacitan Fandeli C, Muchlison. 2000. Pengantar Ekowisata. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Jogjakarta Garno YS. 2001. Kandungan Beberapa Logam Berat di Perairan Pesisir Timur Pulau Batam. Jurnal Teknologi Lingkungan 2 (3) : 281-286 Global Mapper. 2011. Batimetri Pantai Selatan Jawa. Gössling S. 1999. Ecotourism: a means to safeguard biodiversity and ecosystem function?. Ecological economic 29: 303-320 Grigoroudis E, Siskos Y. 2002. Preference Disaggregation for Measuring and Analysing Customer Satisfaction: The MUSA Method. European Journal of Operational Research 143: 148-170 Hanafiah A, Saefuddin AM. 1983. Tata Niaga Hasil Perikanan. Universitas Indonesia Press. Jakarta Houston JR. 2008. The Economic Value of Beaches-A 2008 Update. Shore and Beach 76 (3) : 22-26 Kay R, Alder J. 2005. Coastal Planning and Management. E & FN Spon, London and New York Kerkvliet J, Nowell C. 2000. Tools for Recreation Management in Parks : The Case of The Greater Yellowstone’s Blue-ribbon Fishery. Ecological Economic 34: 89-100 Kesteven GL. 1973. Manual of Fisheries Science Part I. An Introduction to Fisheries Science. FAO Fisheries Technical Paper. No 118. Rome Lakitan B. 1994. Dasar-dasar Klimatologi. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada Lee CK, Mjelde JW. 2007. Analysis Valuation of Ecotourism Resources Using a Contingent Valuation Method: The Case of The Korean DMZ. Ecological Economics 63: 511-520 Linberg K and D E Hawkins. 1993. Ekoturisme : petunjuk untuk perencana dan pengelola. The Ecotourism Society. North Bernington, Vermont Lunberg D E, M H Stavenga, dan M Krishnamoorthy. 1997. Ekonomi pariwisata. Diterjemahkan oleh : Jusuf S. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Marpaung H. 2002. Pengetahuan kepariwisataan. Penerbit Alfabeta. Bandung

122

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. 2007. UU RI No 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. Jakarta Menteri Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. JakartaMenteri Lingkungan Hidup. 2004. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Jakarta Menteri Sekretaris Negara. 1990. Undang – undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan dalam http://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/4056/node/1060/uu-no-9tahun-1990-kepariwisataan [10 – 12 – 2012 : 15.00] META 2002. Planning for Marine Ecotourism in The Ue Atlantic Area. University of the West England, Bristol. Moeljanto. 1996. Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta Nontji, A. 2005. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta Nybakken JW. 1992. Biologi laut : suatu pendekatan ekologis. H M Eidman, D G Bengen, Malikusworo H., and Sukristijono S., Penerjemah. Terjemahan dari : Marine Biology : An Ecological Approach. PT Gramedia. Jakarta Pearce D G, Kirk R M. 1986. Carrying Capacities For Coastal Tourism. Ind, Environ 9: 3-7 Pradhan, UK., Shirodkar PV, Sahu BK, 2009. Physico-Chemical Characteristics of The Coastal Water off Devi Estuary, Orissa and Evaluation of Its Seasonal Changes Using Chemometric Techniques. Current Science, 96: 1203-1209. Prahasta E. 2004. Sistem Informasi Geografis. Tool dan Plug-Ins. Informatika. Bandung Remoundou K, Koundouri P, Kontogianni A, Nunes PALD, Skourtos M. 2009. Review Valuation of Natural Marine Ecosystem : An Economic Perspective. Environmental Science and Policy 12: 1040-1051 Ribeiro MF, Ferreira JC, Silva CP. 2011. The Sustainable Carrying Capacity as a Tool for Environmental Beach Management. Coastal Research 64 : 14111414 Sala VCS. 2010. Ssustainable Performance Index for Tourism Policy Development. Tourism Management 31: 871-888 Sandra IK. 2011. Kualitas Perairan Pantai di Kabupaten Badung yang Dimanfaatkan sebagai Aktivitas Pariwisata. Jurnal Bumi Lestari 11: 227233. Senoaji G. 2009. Daya Dukung Lingkungan dan Kesesuaian Lahan dalam Pengembangan Pulau Enggano Bengkulu. Jurnal Bumi Lestari 9: 159-166 Silva CP. 2002. Beach Carrying Capacity Assessment : How Important is it?. Coastal Research 36: 190-197

123

Silva CP , FL Alves and R Rocha. 2007. The Management of Beach Carrying Capacity: The Case of Northern Portugal. Coastal Research 50: 135-139 Smith LED, Khoa SN, Lorenzen K. 2005. Livelihood function of inland fisheries: policy implication in developing countries. Water Policy 7:359-383 Soeriaatmadja RE. 2000. Strategi Pengembangan Wisata Bahari Indonesia. Pusat Keparawisataan Indonesia. Jakarta Sulaksmi R. 2007. Analisis dampak pariwisata terhadap pendapatan dan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan taman wisata alam laut pulau weh kota sabang. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor Tejada M, Malvares GC, Navas F. 2009. Indicator for The Assessment of Physical Carrying Capacity in Coastal Tourist Destinations. Coastal Research 56: 1159-1163 Tsaur SH, Lin YC, Lin JH. 2006. Evaluating Ecotourism sustainability From The Integrated Perspective of Resource, Community and Tourism. Tourism Management 27: 640-653 Ulhaq MZ 2006. Strategi pengelolaan wisata pesisir di senandang biru Kabupaten Malang Provinsi Jawa Timur. Tesis. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor Wilson MA, Howarth RB. 2002. Discourse-based Valuation of Ecosystem Service: Establishing Fair Outcomes Through Group Deliberation. Ecological Economic 41: 431-443 Yulianda F. 2007. Ekowisata bahari sebagai alternatif pemanfaatan sumberdaya pesisir berbasis konservasi. Makalah. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor Yulianda F, Fahrudin A, Adrianto L, Hutabarat AA, Harteti S, Kusharjani, Kang HS. 2010. Kebijakan Konservasi Perairan Laut dan Nilai Valuasi Ekonomi. Pusdiklat Kehutanan, SECEM. Bogor Zacarias DA, Williams AT, Newton A. 2011. Recreation Carrying Capacity Estimations to Support Beach Management at Praia de Faro, Portugal. Applied Geography 31: 1075-1081

125

LAMPIRAN

126

127

Lampiran 1. Alat dan bahan pengukuran contoh kualitas perairan

Parameter 1. Fisika a. Suhu

Insitu

Laboratorium

Pengukuran dilakukan dengan menggunakan termometer. b.Kecerahan Pengukuran dilakukan dengan menggunakan Secchi disc sebanyak tiga kali ulangan c. Bau Pengukuran bau dilakukan dengan menggunakan indera penciuman d. Padatan Air sampel diambil di setiap Alat dan bahan : kertas saring milipore (0,45 Tersuspens stasiun menggunakan µm), tabung erlenmeyer, gelas ukur, pipet, i Total Kemmerer Water Sampler. oven merk Emmert, mangkuk porselen, (TSS) desikator, vacuum pump, akuades, air contoh dan timbangan digital merk And tipe ER-120A. e. Sampah Pengukuran secara visual menggunakan indera penglihatan.

2. Kimia a. pH

b. DO (Oksigen terlarut) c. BOD5 d. Salinitas

Pengukuran dilakukan menggunakan pH-Indicator Strips, Contoh air diambil dari tiap stasiun masing – masing kemudian dilakukan titrasi.

Alat: Refraktometer Atago tipe S/Mill-E

merk

-

-

Pada hari ke nol diukur nilai DO dengan menggunakan DO meter merk Orion model 862. -

128

Lampiran 2 Kuisisoner untuk wisatawan

129

Lampiran 2 (lanjutan)

130

Lampiran 2 (lanjutan)

131

Lampiran 2 (lanjutan)

132

Lampiran 3 Peta Desa Dadapan

133

Lampiran 4 Peta Desa Poko

134

Lampiran 5 Peta Desa Candi

135

Lampiran 6 Peta Desa Jlubang

136

Lampiran 7 Peta Desa Watukarung

137

Lampiran 8 Peta Pantai Tuguragung

138

Lampiran 9 Peta Kawasan Wisata Srau

139

Lampiran 10 Beberapa Pulau Teras Terangkat di Kawasan Srau

140

Lampiran 11 Peta Kawasan Watukarung

141

Lampiran 12 Gambaran Pulau Teras Terangkat di Kawasan Watukarung

142

Lampiran 13 Titik pengambilan sampel air

143

Lampiran 14 Peta Kesesuaian wisata pantai

144

Lampiran 15 Peta kesesuaian wisata Pantai Pare

145

Lampiran 16 Peta kesesuaian wisata Pantai Srau

146

Lampiran 17 Peta kesesuaian wisata Pantai Wayang

147

Lampiran 18 Peta kesesuaian wisata Pantai Gampar

148

Lampiran 19 Peta kesesuaian wisata Pantai Wawaran

149

Lampiran 20 Peta kesesuaian wisata Pantai Mblue

150

Lampiran 21 Peta kesesuaian wisata Pantai Kreweng

151

Lampiran 22 Peta kesesuaian wisata Pantai Seruni

152

Lampiran 23 Peta kesesuaian wisata Pantai Peden ombo

153

Lampiran 24 Peta kesesuaian wisata Pantai Kasap

154

Lampiran 25 Peta kesesuaian wisata Pantai Brecak

155

Lampiran 26 Peta kesesuaian wisata Pantai Watukarung

156

Lampiran 27 Peta kesesuaian wisata Pantai Sirah towo

157

Lampiran 28 Peta kesesuaian wisata Pantai Jantur

158

Lampiran 29 Peta kesesuaian wisata Pantai Ngalurombo

159

Lampiran 30 Peta kesesuaian wisata Pantai Waduk

160

Lampiran 31 Peta kesesuaian wisata Pantai Ngalihan

161

Lampiran 32 Peta kesesuaian wisata Pantai Bresah

162

Lampiran 33 Peta kesesuaian wisata Pantai Geben

163

Lampiran 34 Perhitungan Nilai Ekonomi Kawasan Srau (kondisi aktual) Regression Statistics Multiple R

0.792743

R Square

0.628441

Adjusted R Square

0.566515

Standard Error

0.59892

Observations

50

ANOVA df

SS

MS

7

25.4815

3.640215

Residual

42

15.06563

0.358706

Total

49

40.54714

Regression

> restart; > b0:= 5.173381439 ; > b1:= -1.036036292 ; > b2:= 0.64854538 ; > b3:= 2.651279613 ; > b4:= -0.181173362 ; > b5:= -0.055993808 ; > b6:= -0.005405804 ; > b7:= 0.666858313 ; > rata_lnA:= 3.285501637 > rata_lnEd:= 2.615023542 > rata_lnF:= 0.606847131 > rata_lnI:= 14.3867794 > rata_lnP:= 0.526814427 > rata_lnT:= 0.415910879 > Vrata:= 4.8800 ; > N:= 30164 ; > L:= 1.4374 ;

; ; ; ; ; ;

F 10.1482

Significance F 2.32E-07

164

> lna:=b0+b2*rata_lnA+b3*rata_lnEd+b4*rata_lnF+b5*rata_lnI+b6*rata_lnP+b7*rata_lnT; > a:=exp(lna); > b:=b1; Lampiran 34 (lanjutan)

> f(Q):=(Q/a)^(1/b1);

> plot(f(Q),Q=0..Vrata);

> U:=int(f(Q),Q=0..Vrata); > P:=(Vrata/a)^(1/b); > C:=P*Vrata; > CS:=U-C; > Nilai_Ekonomi:=CS*N/L; >

>

165

Lampiran 35 Perhitungan Nilai Ekonomi Kawasan Srau (kondisi daya dukung) Regression Statistics Multiple R

0.792743

R Square

0.628441

Adjusted R Square

0.566515

Standard Error

0.59892

Observations

50

ANOVA df

SS

MS

7

25.4815

3.640215

Residual

42

15.06563

0.358706

Total

49

40.54714

Regression

> restart; > b0:= 5.173381439 ; > b1:= -1.036036292 ; > b2:= 0.64854538 ; > b3:= 2.651279613 ; > b4:= -0.181173362 ; > b5:= -0.055993808 ; > b6:= -0.005405804 ; > b7:= 0.666858313 ; > rata_lnA:= 3.285501637 > rata_lnEd:= 2.615023542 > rata_lnF:= 0.606847131 > rata_lnI:= 14.3867794 > rata_lnP:= 0.526814427 > rata_lnT:= 0.415910879 > Vrata:= 4.8800 ; > N:= 142350 ; > L:= 2.1886 ;

; ; ; ; ; ;

F 10.1482

Significance F 2.32E-07

166

> lna:=b0+b2*rata_lnA+b3*rata_lnEd+b4*rata_lnF+b5*rata_lnI+b6*rata_lnP+b7*rata_lnT; > a:=exp(lna); > b:=b1; > f(Q):=(Q/a)^(1/b1); > plot(f(Q),Q=0..Vrata); Lampiran 35 (lanjutan)

> U:=int(f(Q),Q=0..Vrata); > P:=(Vrata/a)^(1/b); > C:=P*Vrata; > CS:=U-C; > Nilai_Ekonomi:=CS*N/L; >

>

167

Lampiran 36 Perhitungan nilai ekonomi Kawasan Watukarung (kondisi aktual) Regression Statistics Multiple R

0.847778342

R Square Adjusted R Square

0.718728117

Standard Error

0.67184947 0.53633815

Observations

50

ANOVA df Regression

SS

MS

F

Significance F

15.331674

9.1802E-10

7

30.872015

4.4102879

Residual

42

12.081662

0.2876586

Total

49

42.953677

> restart; > b0:= 5.517193833 ; > b1:= -1.022380417 ; > b2:= 0.181544069 ; > b3:= 0.89780067 ; > b4:= 0.12602102 ; > b5:= 0.329802741 ; > b6:= -0.046817436 ; > b7:= 0.826197428 ; > rata_lnA:= 3.39495404 > rata_lnEd:= 2.699069922 > rata_lnF:= 0.694647027 > rata_lnI:= 14.5354042 > rata_lnP:= 0.613075103 > rata_lnT:= 0.443636766 > Vrata:= 4.8200 ; > N:= 15000 ; > L:= 3.1368 ;

; ; ; ; ; ;

> lna:=b0+b2*rata_lnA+b3*rata_lnEd+b4*rata_lnF+b5*rata_lnI+b6*rata_lnP+b7*rata_lnT;

168

> a:=exp(lna); > b:=b1; > f(Q):=(Q/a)^(1/b1);

Lampiran 36 (Lanjutan) > plot(f(Q),Q=0..Vrata);

> U:=int(f(Q),Q=0..Vrata); > P:=(Vrata/a)^(1/b); > C:=P*Vrata; > CS:=U-C; > Nilai_Ekonomi:=CS*N/L; > Nilai Wisata = Rp 157.230.307.100 /ha/tahun >

169

Lampiran 37 Perhitungan nilai ekonomi Kawasan Watukarung (sesuai daya dukung) Regression Statistics Multiple R

0.847778342

R Square Adjusted R Square

0.718728117

Standard Error

0.67184947 0.53633815

Observations

50

ANOVA SS

MS

F

Significance F

7

30.872015

4.4102879

15.331674

9.1802E-10

Residual

42

12.081662

0.2876586

Total

49

42.953677

df Regression

> restart; > b0:= 5.517193833 ; > b1:= -1.022380417 ; > b2:= 0.181544069 ; > b3:= 0.89780067 ; > b4:= 0.12602102 ; > b5:= 0.329802741 ; > b6:= -0.046817436 ; > b7:= 0.826197428 ; > rata_lnA:= 3.39495404 > rata_lnEd:= 2.699069922 > rata_lnF:= 0.694647027 > rata_lnI:= 14.5354042 > rata_lnP:= 0.613075103 > rata_lnT:= 0.443636766 > Vrata:= 4.8200 ; > N:= 262435 ; > L:= 6.363 ;

; ; ; ; ; ;

170

> lna:=b0+b2*rata_lnA+b3*rata_lnEd+b4*rata_lnF+b5*rata_lnI+b6*rata_lnP+b7*rata_lnT; > a:=exp(lna); > b:=b1; > f(Q):=(Q/a)^(1/b1); Lampiran 37 (lanjutan)

> plot(f(Q),Q=0..Vrata);

> U:=int(f(Q),Q=0..Vrata); > P:=(Vrata/a)^(1/b); > C:=P*Vrata; > CS:=U-C; > Nilai_Ekonomi:=CS*N/L; > Nilai Wisata = Rp 1.356.099.839.000 /ha/tahun

>

171

Lampiran 38 Perhitungan Nilai Ekonomi Perikanan Regression Statistics Multiple R

0.996313957

R Square

0.992641501

Adjusted R Square Standard Error

0.99106468 0.071383708

Observations

35

ANOVA df

SS

MS

F

6

19.24683929

3.207807

629.5206207

Residual

28

0.142677746

0.005096

Total

34

19.38951703

Regression

> restart;

Significance F 1.61527E-28

172

> Lna:=b0+b2*Rata_LnA+b3*Rata_LnEd+b4*Rata_LnF+b5*Rata_LnEx+b6*Rata _LnI; > > >

> Lampiran 38 (Lanjutan)

> > > > > >

173

Lampiran 39 Peta Daerah Penangkapan Ikan Nelayan Watukarung