Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004
PENGEMBANGAN ENZYME LINKED IMMUNOSORBENT ASSAY (ELISA) TEKNIK UNTUK ANALISIS AFLATOKSIN B1 PADA PAKAN TERNAK Sri Rachmawati1), A. Lee2), T.B. Murdiati1) dan I. Kennedy2) 1)
Balai Penelitian Veteriner, Bogor 2) University of Sydney, Australia ABSTRAK
Sri Rachmawati, A. Lee, T.B. Murdiati dan I. Kennedy, 2004. Pengembangan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Teknik Untuk Analisis Aflatoksin B1 pada Pakan Ternak. Kontaminasi aflatoksin pada komoditas pertanian termasuk pakan ternak di Indonesia merupakan masalah yang cukup serius terhadap kesehatan dan produktifitas ternak, dapat menyebabkan kerugian ekonomi. Untuk mengurangi akibat yang merugikan, kontrol kualitas pakan secara kontinu dan berkesinambungan menjadi penting, untuk ini diperlukan metoda analisis yang sederhana, cepat, sensitif dan murah. Makalah ini menyampaikan hasil pengembangan teknik ELISA untuk analisis AFB1 pada pakan. Kegiatan pegembangan meliputi 1) Sintesa hapten, 2) Produksi dan karakterisasi antibodi, 3) pengembangan performan tes , 4) Design prototip ELISA kit, 5) Pelatihan, 6) Uji coba lapang, studi antar laboratorium. Sintesa hapten menghasilkan senyawa AFB1-oksim, dan pada reaksi selanjutnya terbentuk aktif ester yang dapat dikonjugasi dengan protein menghasilkan AFB1-BSA dan AFB1-KLH. Hasil konjugasi diatas digunakan untuk imunisasi terhadap kelinci untuk produksi antibodi. AFB1-oksim juga direaksikan dengan peroksidase membentuk konjugat AFB1-HRPO yang digunakan pada ELISA kompetitif langsung. Imunisasi kelinci dilaksanakan sesuai dengan jadwal, darah dikumpulkan setiap bulan. Kadar IgG antibodi yang dipurifikasi berkisar antara 2,2-4,7 mg/ml. Respon antibodi pada ELISA tes cukup sensitif, antibodi pada pendarahan ke 5 digunakan seterusnya untuk studi. ELISA kompetitif langsung dipilih karena lebih sensitif dibandingkan ELISA kompetitif tidak langsung. Dengan format ELISA kompetitif langsung ,”long assay” dikembangkan dengan 45 menit inkubasi konjugat dan 30 menit substrat. Selanjutnya “rapid assay”dikembangkan dengan masa inkubasi konjugat 5 menit dan substrat 10 menit. Respon antibodi spesifik terhadap AFB1 (100%), dengan reaksi silang terhadap AFB2, 0,9%, AFG1, 3,5% dan AFG2, 1,6%. Limit deteksi 0,3 ppb, dan kisaran analisis dapat dilakukan sampai 30 ppb. Recovery ditemukan sebesar 62-87% untuk jagung dan 77-97% untuk pakan. Pereaksi immunookimia tahan terhadap methanol, dapat digunakan sampai 60% untuk ektraksi sampel. PH analisis berkisar antara 7,2-9,6. Sedikit pengaruh matrik dari bahan dasar termasuk jagung, kecuali canola dan CGM. Pengenceran dapat mengurangi efek matrik. Untuk analisis pakan pengenceran 8 kali dan jagung 2 kali dapat diaplikasikan untuk mengurangi matrik. Komposisi ELISA kit AFB1 yang dikembangkan Balivet terdiri dari 7 botol AFB1 standard (30; 10; 3,3; 1,2; 0,4; 0,12; dan 0 ppb), konjugat, substrat dan larutan penghenti, plat pencampuran dan plat yang terlapis antibodi, ditempatkan dalam bok dan disuplai dengan disket berisi Excel program untuk pengolahan data dan prosedur analisa. ELISA kit stabil disimpan dalam suhu 4oC selama 2 bulan. Pelatihan dilakukan untuk memperkenalkan cara-cara menggunakan dan analisis dengan ELISA kit AFB1. Hasil pengujian antar laboratorium menunjukkan hasil cukup akurat, perbandingan hasil analisa sampel pakan dan jagung secara ELISA dan HPLC menunjukkan hasil yang cukup tepat. Secara umum ELISA kit yang dikembangkan dapat digunakan untuk monitoring kandungan AFB1 pada pakan dan jagung, sehingga pakan yang diproduksi pabrik aman dikonsumsi ternak, ternak tumbuh baik, produksi meningkat dan akhirnya peternak mendapat keuntungan. Kata-kata kunci: aflatoksin, ELISA, analisis, pakan
ABSTRACT Sri Rachmawati, A. Lee, T.B. Murdiati dan I. Kennedy, 2004. Establishment of An Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) Technique for Detecting Aflatoxin B1 in Feedstuffs. Aflatoxin contamination of agricultural commodities including feedstuff gives serious problem to animal health and productivity, causing significant economic loss in Indonesia. To minimize the impact of such contamination to both human and animal health, a continuous monitoring of the contamination using simple, sensitive, rapid and cost-effective
133
Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004 method is greatly needed. The paper contains result of development an ELISA technique for analysis aflatoxin B1 in feedstuff. The activities includes 1) Hapten synthesis, 2) Production and characterization of antibody, 3) Development of assay performance, 4) Designing a method as prototype kit, 5) Holding a training workshop, 6) Initiating a field trial (inter laboratory study). Hapten sinthesized resulting the AFB1-oxime coumpond, and by further reaction formed the carboxy group compound and active ester and with protein conjugation, the protein conjugate (AFB1-BSA and AFB1KLH) were produced. The above protein conjugates were used to immunize rabbits for antibody production. The AFB1oxime conjugated to perosidase to form enzyme conjugate AFB1-HRPO used for direct competitive ELISA. Rabbit immunization was conducted according to schedule. And blood was continued collected every month. The IgG content of purified antibody was in the range of 2.2 to 4.7 mg/ml. The antibody response in an ELISA plate was quite sensitive, the fifth bleed of antibody AFB1-BSA was used mostly for further studies. Direct competitive ELISA format was found more sensitive compared to that indirect format. With this direct format long assay was established with fourty five minute, and thirty minutes incubation time for enzyme conjugate and substrate. Furthermore, repid assay was developed with only five and ten minutes incubation for conjugate and subtrate. Antibody respone was spesific to AFB1 (100%) with cross reactivity was 0.9%, 3.5% and 1.6% for aflatoxins B2, G1 and G2 respectively. Limit of detection of AFB1 was 0.3 ppb. The analysis range was from 0.3 ppb up to 30 ppb. The recovery found was in the range of 62% to 87 % and 77% to 97% for corn and feed respectively. The immunoreagents was tolerance to MeOH solvent, can be used up to 60% concentration to extract the AFB1 from samples. PH range at 7.2-9.6, little matrix effect from the samples ingredients, includes corn, except for cannola and corn gluten meal. Dilution of sample matrix reduced the matrix, for analysis feed the dilution factor of eight, and two for corn were found could reduce the matrix effect. For used in the field, a simple and rapid method ELISA kit has been designed by RIVS. An ELISA kit composed of seven bottles of AFB1 standards solution of 30 ppb, 10 ppb, 3.3 ppb, 1.2 ppb, 0.4 ppb, 0.12 ppb and blank (0 ppb AFB1), one bottle of 8.0 mls of conjugate of AFB1-HRPO, two bottles of substrate A of 11.0 mls and one bottle of substrate B solution of Tetramethylbenzidine (TMB), one bottle of stoping solution of sulfuric acid 1.25 M. Antibody coated plate prepared freeze dried in twelve breakable plate (96 whells) and one mixing plate, placed in a box supplied with the assay protocol and excell programe in disket for data processing. The kit was stable kept at 4°C for two months. The results was consistent when comparing the ELISA method with that standard method of HPLC. ELISA workshop was conducted, to introduce the technology and to train participants (32 persons) how to use the kit. Inter laboratory study were conducted with four laboratories. Recovery results found a bit higher for ELISA method, however still can be accepted as an accurate method. In general, the benefits of this ELISA kit would be that the aflatoxin contamination in feedstuff could be controlled more effectively. Consequently, animal feed of better quality will be available for the poultry farmers and their birds will be more productive, raising their farming income, and animal products would be safer for human consumption. Key words: aflatoxins, ELISA, analysis, feedstuffs
PENDAHULUAN Kerugian akibat pencemaran kapang dan aflatoksin merupakan masalah yang utama karena pangan dan pakan serta komponennya banyak dirusak secara fisik dan kimiawi. Kerusakan fisik terjadi oleh peningkatan pertumbuhan dan populasi kapang sehingga warna, bentuk, dan bau bahan tersebut berubah, sedangkan kerusakan kimiawi terjadi oleh adanya produksi aflatoksin dari kapang tersebut. Peluang pencemaran ini cukup besar, karena iklim tropis di Indonesia sangat mendukung. Kondisi lingkungan yang diperlukan untuk terbentuknya aflatoksin adalah minimum relatif humidity 85% dan suhu optimum 25-27o C. Aflatoksin sering terbentuk pada tanaman pangan. Jagung, kacang tanah dan biji kapuk merupakan komoditi yang beresiko tinggi terkontaminasi aflatoksin. Masalah yang paling berat akibat dari pencemaran aflatoksin adalah, karena akan berlanjut dengan timbulnya gangguan peracunan bagi pengonsumsi pangan/pakan tercemar tersebut. Data FAO menyatakan bahwa 25% suplai biji bijian didunia terkontaminasi oleh kapang dan mikotoksin. Di negara Asia Tenggara malahan ditemukan sebanyak kira kira 50% jagung dan 90% pakan ternak unggas terkontaminasi mikotoksin, yang merupakan sumber kerugian ekonomi yang utama pada industri peternakan di negara-negara tropis ini. Pencemaran aflatoksin di Indonesia terutama sering timbul pada masa penyimpanan bahan pangan atau pakan. Kerugian di bidang peternakan akibat pencemaran pakan oleh aflatoksin antara lain penurunan kualitas dan kuantitas produk peternakan. Kualitas produk menurun karena adanya residu aflatoksin pada 134
Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004
produk ternak tersebut. Aflatoksin terdeteksi sekali-kali pada susu, keju, produk daging, karena ternaknya mengonsumsi pakan yang mengandung aflatoksin. Dari hasil penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia terbukti bahwa 80% pakan ayam yang dikumpulkan dari berbagai daerah di Indonesia telah tercemar aflatoksin. Kadar aflatoksin B1 yang terukur bervariasi antara 10,1-54,4 ppb (Bahri et al, 1994). Residu aflatoksin pada produk ternak juga ditemukan, yaitu aflatoksin B1 dan M1 masing-masing dengan kadar rata-rata 0,007 ppb dan 12,072 ppb dalaam hati ayam, 0,002 ppb dan 7,364 ppb dalam daging ayam (Maryam, 1996). Hasil penelitian juga menyimpulkan adanya penurunan bobot badan ternak, baik pada unggas maupun ruminansia akibat pencemaran aflatoksin pada pakan yang dikonsumsinya.. Hasil penelitian Ginting, 1988, memperlihatkan bahwa pemberian 300 ppb AFB1(0,3 mg/kg bb) pada DOC broiler selama 35 hari mengakibatkan penurunan konsumsi ransum dan bobot badan (640 gram vs 1049 gram pada kontrol). Penurunan produksi telur juga terjadi pada ayam yang pakannya mengandung aflatoksin. Hasil penelitian Exarhos dan Gentry, 1982, menunjukan adanya penurunan produksi telur pada ayam yang diberi AFB1 1,0 mg/kg bb/hari selama enam minggu (40% vs 85% pada kontrol). Tercemarnya pakan ternak oleh kapang dan aflatoksin yang dihasilkannya juga dilaporkan dapat mengganggu fungsi metabolisme, absorpsi lemak, penyerapan unsur mineral, khususnya tembaga (Cu), besi (Fe), kalsium (Ca), dan fosfor (P), serta beta-karoten, penurunan kekebalan tubuh, kegagalan program vaksinasi, kerusakan kromosom, perdarahan, dan memar. Semua gangguan tersebut berakibat pertumbuhan terhambat dan kematian meningkat sehingga produksi ternak menurun (Jassar dan Balwant, 1989; Abdelhamid dan Dorra, 1990; Dass dan Aurora, 1990). Kerugian ekonomi akibat tercemarnya pakan oleh aflatoksin cukup tinggi. Hasil studi di tiga negara Asian melaporkan bahwa sebesar 400 juta dollar setiap tahunnya kerugian terjadi akibat menurunnya produktifitas ternak (Zanneli, 2000). Hasil penelitian yang dilakukan International Agency for Research on Cancer (IARC) terhadap hewan percobaan terbukti bahwa AFB1 adalah senyawa racun bersifat karsinogen. Pada tahun 1988, IARC juga menyatakan bahwa AFB1 termasuk dalam urutan senyawa karsinogen, bagi manusia. Pernyataan ini didukung oleh data studi epidemiologi yang dilakukan di negara Asia dan Afrika yang ternyata ada korelasi positif antara mengkonsumsi pangan yang mengandung AFB1 dengan kejadian kanker sel hati. Kejadian penyakit akibat aflatoksin ini dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti umur, jenis kelamin, status pangan dan atau terjadi bersama-sama dengan agen penyebab lain seperti virus hepatitis atau infeksi parasit. Mempertimbangkan beberapa masalah tersebut diatas, maka dirasakan perlunya untuk melakukan kontrol secara berkesinambungan terhadap kualitas pakan dan bahan bakunya terutama jagung, agar kadar aflatoksin tetap dalam batas-batas yang masih dapat ditolerir serta aman untuk diberikan pada ternak. Metode Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dianggap dapat dilakukan lebih mudah dan cepat serta cukup sensitif. Telah dilakukan kegiatan pengembangan ELISA kit aflatoksin B1 oleh Balai Penelitian Veteriner (2001-2004). Kegiatan penelitian ini dibiayai oleh Department for Internatinal Development, United Kingdom (DfID-UK) dan dalam hal teknis bekerjasama dengan University of Sydney Australia. Telah dapat dirakit ELISA kit aflatoksin B1 untuk analisis kandungan aflatoksin B1 pada sample pakan dan jagung. Dalam makalah ini, penulis menyajikan hasil pengembangan ELISA kit aflatoksin B1 yang dilakukan Balai Penelitian Veteriner.
BAHAN DAN METODA Tahapan kegiatan pengembangan metode ELISA yang dilakukan meliputi beberapa tahapan yaitu : 1) Sintesa hapten 2) Imunisasi kelinci, untuk produksi antibodi 3) Pengembangan format ELISA 4) Pengujian performan tes ELISA 5) Perakitan/design metode ELISA sebagai prototipe kit 6) Pelatihan dan pengujian kit di lapangan 135
Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004
Sintesa hapten Aflatoksin B1 perlu diubah menjadi senyawa aktif AFB1-oxime ((DEAN et al., 1976) selanjutnya AFB1-Oxime dikonjugasikan dengan protein Bovine Serum Albumin (BSA) dan Keyhole Limphet Haemocyanin ( KLH), mengikuti prosedur CHU and UENO, 1977. Produksi antibodi Imunisasi dilakukan dengan menyuntikan antigen AFB1-BSA dan AFB1-KLH masing-masing terhadap dua kelinci untuk mendapatkan antibodi yang akan digunakan untuk pengembangan metode ELISA. Jadwal imunisasi kelinci adalah sebagai berikut: a) Penyuntikan pertama sebanyak 0,5 mg/ml AFB1-BSA atau AFB1-KLH yang di emulsikan dalam freund’s complete adjuvant. b) Penyuntikan kedua dan ketiga adalah penyuntikan buster dengan interval waktu 2 minggu yaitu sebanyak masing-masing 0,25 mg/ml yang diemulsikan dalam volune yang sama daei incomplete adjuvant. c) Penyuntikan boster selanjutnya diberikan setiap bulan dengan dosis 0,25 mg/ml antigen AFB1BSA atau ASFB1-KLH yang diemulsikan dalam incomplete adjuvant. Selanjutnya darah dikumpulkan setiap bulan, 10 hari setelah penyuntikan boster, dipisahkan serumnya dan dilakukan pemurnian serum dengan menggunakan kolom Protein A sepharose, dan inilah antibodi AFB1-BSA atau antibodi AFB1-KLH murni yang digunakan untuk ELISA testing. Kadar IgG yang terkandung dalam antibodi selanjutnya dihitung dengan mengukur absorbansi larutan antibodi secara spektrofotometer pada panjang gelombang 280 nm. Antibodi untuk penyimpanan waktu yang lama perlu ditambahkan natrium azide dan disimpan beku. Pengembangan format ELISA Pengujian format ELISA dilakukan secara kompetitif tidak langsung (indirect competitive) dan competitive langsung (direct competitive) ELISA, dengan menggunakan antibodi yang telah diuji cukup sensitif. Pengujian performan tes ELISA Pengujian yang dilakukan meliputi, penetapan limit deteksi, spesifisiti tes yaitu respon antibodi terhadap jenis aflatoksin lain (AFB2, AFG1 dan AFG2), penetapan standar kalibrasi AFB1, validasi metoda termasuk ”recovery study”, efek solvent, pH, buffer dan matrik sample. Perakitan/ design metode ELISA sebagai prototipe kit Perakitan ELISA kit”rapid assay” untuk penerapan di lapangan, serta pengujian stabilitas dari ELISA kit, yang dilakukan terhadap antibodi dan konjugat AFB1-HRPO pada suhu 4oC dan suhu accelated 37oC. Pelatihan dan pengujian kit di lapangan Pelatihan dilakukan terhadap staf laboratorium dari beberapa pabrik pakan, laboratorium penyakit hewan regional I-VI, beberapa laboratorium pemerintah dan universiti, untuk memperkenalkan cara menggunakan ELISA kit yang telah di rakit Balivet, dan setelah itu dipilih 4 laboratorium untuk uji coba pengujian antar laboratorium (inter laboratory study) 136
Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004
HASIL DAN PEMBAHASAN Sintesa hapten Senyawa dengan bobot molekul lebih kecil dari 10.000, umumnya tidak dapat merangsang terbentuknya antibodi pada ternak, karena tidak bersifat immunogenik, atau sifat immunogeniknya lemah. Senyawa dengan bobot molekul rendah ini biasa disebut hapten. Agar terbentuk antibodi pada tubuh ternak jika disuntikan maka senyawa hapten tersebut harus di konjugasi secara kimiawi dengan senyawa bermolekul besar seperti protein BSA dan KLH sehingga bersifat imunogenik, dapat merangsang respon kekebalan pada ternak. Untuk keperluan kompetitor pada ELISA kompetitif langsung (direct competitive ELISA) hapten ini dikonjugasi dengan enzyme (Horse Raddish Peroxidase-HRPO). Aflatoksin B1 merupakan senyawa hapten dengan ikatan cincin yang tertutup, sehingga tidak reaktif. Untuk dapat mengikat protein atau enzyme perlu disintesa menjadi senyawa aflatoksin B1 carboxymetil oxime, dan ester aktif hydroxysuccinamida seperti reaksi pada Gambar1. Penanganan toksin harus dilakukan hati-hati, sintesa dalam jumlah yang sedikit sekali (mikro sintesis). Hasil konjugasi berupa AFB1-BSA dan/ atau AFB1-KLH digunakan immunisasi pada kelinci, untuk mendapatkan antibodi yang berguna untuk pengembangan metode ELISA, sedangkan hasil berupa AFB1-HRPO digunakan sebagai kompetitor pada penetapan ELISA kompetitif langsung.
Gambar 1. Sintesa AFB1 carboxymetil oxime
Produksi antibodi
137
Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004
Pengumpulan darah dilakukan sesuai dengan schedule dan serum dipisahkan, dan dlakukan purifikasi melalui kolom Protein A Sephaose dan pengukuran kadar IgG secara spektroskopi. Kadar IgG antibodi AFB1-BSA dan AFB1 KLH dalam kisaran 2.2- 4.7 mg/ml. Pengujian respon antibodi pada plat ELISA dilakukan dengan mentitrasi antibodi dan enzyme conjugate. Biasanya antibodi yang dikumpulkan pada perdaraan ke 5 yaitu setelah penyuntikan buster yang ke 6 kali menghasilkan antibodi yang cukup baik dengan respon yang sensitif, dimana nilai OD kontrol mencapai 0,8 - >1,0. Respon antibodi AFB1-BSA Balitvet yang dikumpulkan pada berbagai waktu perdarahan seperti pada Gambar 2 dan dilakukan dengan metode direct competitive ELISA. 100 90
% Inhibition
80 70
2BSA
60
3BSA
50
4BSA
40
5BSA
30 20 10 0 0.01
0.1
1
10
100
Aflatoxin (ppb)
Gambar 2. Respon antibodi AFB1-BSA berbagai waktu pengumpulan
Balitvet pada
Pengembangan format ELISA Setelah dapat diidentifikasi antibodi yang cukup sentitif responnya, studi diteruskan pada pengembangan format ELISA. Format untuk ELISA hapten yang dikembangkan adalah ELISA kompetitif tidak langsung (Indirect competitive ELISA) dan ELISA kompetitif langsung (Direct competitive ELISA). Dengan menggunakan antibodi AFB1-BSA) yang dikumpulkan pada perdarahan kelima (5BSA) didapatkan bahwa format direct competitive ELISA lebih sensitif dibandingkan dengan format Indirect competitive ELISA. Pengembangan pertama dilakukan untuk ‘long assay” dengan waktu inkubasi antibodi semalam, konjugat 45 menit, dan substrat 30 menit, dan pembacaan serapan warna dengan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm. Bagan format ELISA direct competitive seperti pada Gambar 3. Studi selanjutnya dilakukan dengan format direct competitive ELISA, long assay, untuk mempelajari performan tes ELISA. Gambar 3. Format direct competitive ELISA
•
Antibodi dilapis pada plate mikro
•
Enzime-konjugat dan larutan sampel ditambahkan
•
Biarkan terjadi kompetisi antara enzime konjugat dan “free” analite dalam sampel untuk berikatan dengan antibodi. 138
• •
Tahap pencucian, menghilangkan senyawa yang tidak berikatan dengan antibodi. Substrat ditanbahkan, terjadi pembentukan warna *lebih banyak aflatoksin = warna lebih pudar = OD rendah
Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004
Pengujian performan tes ELISA Limit deteksi ditetapkan pada konsentrasi AFB1 yang memberikan inhibisi 15 % yaitu 0.18 + 0.06 ppb, maka limit deteksi adalah rata-rata penetapan 10 replikat + 2 kali standar deviasi yaitu 0,3 ppb, adalah konsentrasi AFB1 yang terendah dapat dideteksi dengan metoda ELISA yang dikembangkan, dengan kisaran analisis sampai 30 ppb. Kegiatan selanjutnya, pengujian spesifitas, dengan melakukan evalusi respon antibodi AFB1 terhadap jenis aflatoksin lainnya yaitu AFB2, AFG1 dan AFG2. Ternyata bahwa antibodi memberikan respon yang spesifik terhadap AFB1, terjadi sedikit reaksi silang dengan jenis aflatoksin lainnya, seperti terlihat pada Gambar 4, Tabel 1
% Inhibition
100 90
AFB1
80
AFB2
70
AFG1
60
AFG2
50 40 30 20 10 0 0.01
0.1
1
10
100
1000
Aflatoxin (ppb)
Gambar 4. Respon antibodi terhadap AFB1, AFB2, AFG1 dan AFG2 Tabel 1. Persentasi reaksi silang antibodi AFB1(5BSA) Konsentrasi pada 50 % inhibisi (IC50) 1 2 3 AFB1 0.6 1.1 0.9 AFB2 68.0 131.0 99.0 AFG1 19.4 31.0 25.0 AFG2 48.6 55.0 54.8 * Aflatoksin disiapkan dalam 20% methanol, long assay
Jenis aflatokin*
Rata-rata IC 50 0.87 99.3 25.1 52.8
Rata-rata Kross reaktifiti (%) 100 0.9 3.5 1.6
Pengujian pengaruh pelarut, matrik dan penggangu spesifik lainnya terhadap performan uji ELISA dilakukan selanjutnya untuk mentes toleransinya terhadap beberapa pelarut seperti metanol, etanol, acetonitril, aceton yang sering digunakan untuk ektraksi AFB1 pada sampel. Ternyata bahwa OD menjadi lebih kecil pada penggunaan pelarut dengan presentasi yang tinggi dan ternyata pada tes ELISA dengan menggunakan antibodi 5 BSA dan enzime conjugate (DFID) ini hanya toleran terhadap metanol maksimum 60%, aseton dan asetonitril dapat digunakan sampai maksimum 40%, sedangkan respon terhadap etanol kurang begitu baik. Pengaruh penggunaan berbagai jenis dan konsentrasi pelarut disajikan pada Gambar 5. Pengujian ELISA hanya tahan pada pH 7,2-9,6. Pada nilai pH 4 pembentukan warna sangat rendah, sedangkan pada nilai pH 3, tidak terbentuk warna / warna hilang sehingga OD rendah sekali.
139
Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004
2 1.8
Nilai OD
1.6 1.4 1.2
MeOH
1 0.8
EtOH
Aceton CHCN
0.6 0.4 0.2 0 20
40
60
80
Persentase solvent Gambar 5. Pengaruh solvent/ pelarut terhadap nilai OD pada control tes ELISA Pengujian selanjutnya terhadap matrik sampel. Matrik sampel dapat berpengaruh terhadap sensitifiti, perubahan/penurunan nilai absorban (OD) atau kedua-duanya. Pakan tercampur dari berbagai bahan diantaranya jagung, dedak, bungkil kedelai (soyben meal-SBM), gluten (corn gluten meal-CGM), canolla, tepumg ikan (fish meal), dan komposisi yang terbanyak adalah jagung. Penggunaan jagung hampir 60% pada pakan ternak. Toleransi tes ELISA diuji terhadap larutan bahan- bahan tersebut dalam metanol. Ternyata bahwa OD dari kontrol dengan matrik jagung tidak begitu berbeda dibandingkan kontrol dalam metanol saja, yang menunjukan bahwa matrik jagung tidak begitu berpengaruh terhadap penetapan secara ELISA, sedikit pengaruh matrik dari fish meal, bungkil kedelai dan dedak, sedangkan gluten dan canolla memberikan efek matrik yang sedikit lebih besar, terjadi penurunan OD pada kontrol dengan bahan tersebut dibandingkan kontrol dalam metanol (perhatikan Gambar 6). Efek matrik pakan bervariasi, nampaknya pakan yang banyak mengandumg bahan seperti CGM dan canolla, memberikan pengaruh terhadap penurunan nilai OD.
1.2
Nilai OD
1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 H eO M
rn Co
M SB
M CG
k da De
1 lla 51 no n a a C k Pa
FM
Gambar 6. Nilai OD pada control dengan berbagai matrik bahan dasar pakan
140
Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004
Masalah pengaruh matrik dapat didekati dengan dua cara, menghilangkan pengaruhnya dengan prosedur “clean up” atau biarkan pengujian dengan efeknya. Metode yang tidak menggunakan sampel”clean up”, biasanya dilakukan dengan menganalisa sampel mengacu pada kalibrasi standards dalam matrik. Pengenceran ektrak sampel sebelum analisa, cara ini cukup efektif, jika sensitifiti penetapan mencukupi. Penambahan protein atau detergen pada pelarut dapat dilakukan untuk menghilangkan matrik efek, namun cara ini terbatas pada tingkat kecocokan antibodi dan enzime konjugat terhadap pereaksi ini. Pengaruh pengenceran sampel jagung dan pakan terhadap nilai OD disajikan pada Gambar 7. Setelah teridentifikasi pengaruh-pengaruh diatas dan telah dapat kondisi yang tepat untuk penerapan ELISA tes, maka studi pengujian selanjutnya adalah ketelitian dan ketepatan analisa, biasanya didekati dengan”recovery study”. Spike sampel dibuat dengan cara menambahkan AFB1 konsentrasi tertentu pada sampel, selanjutnya dilakukan analisis dan dihitung persentase penemuan kembali (recovery) dari AFB1 yang ditambahkan. Dari hasil studi tiga konsentrasi spiking, yaitu 10, 36 dan 252 ppb AFB1, diperoleh % recovery 62-87% untuk spike sampel jagung dan 77-97% untuk spike sample pakan.
1.4 1.2
Nilai OD
1 0.8
Jagung
0.6
Pakan
0.4 0.2 0 2x
4x
8x
16 x
32 x
Faktor pengenceran
Gambar 7. Nilai OD pada berbagai pengenceran matrik sampel pakan dan jagung
Perakitan/ design metode ELISA sebagai prototipe kit
Untuk penerapan di lapangan, ELISA tes dengan waktu analisis lebih cepat”rapid assay” perlu dirakit, stabiliti pereaksi perlu dipelajari untuk produksi kit dan evaluasi selanjutnya. Antibodi dilapis pada plat mikro, diblok, selanjutnya dikering bekukan sehingga tahan untuk disimpan lama. Demikian pula dengan enzim konjugat disiapkan dan dikering bekukan kemudian dilarutkan dalam pengenceran tertentu. Pemakaian konjugate untuk rapid assay biasanya lebih pekat, selanjutnya dipelajari efek penyimpanan konjugat dalam bentuk solution dan kering beku (dilarutkan pada saat akan dipakai) dan juga antibodi yang sudah dilapis ini pada penyimpanan 4oC dan suhu kamar. Penyimpanan sampai 2 bulan pada suhu 4oC (refrigerator) menunjukan respon yang masih baik. ELISA kit” rapid assay” dengan waktu analisis 5’ 10’ untuk inkubasi konjugate dan substrat telah dapat dirakit (Gambar 8). Kit berisi antibodi yang sudah dilapis pada plat mikro dan sudah dikering bekukan (coated plate), plate untuk mencampur sampel/ standard dan konjugate (mixing plate), series dari 141
Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004
standards AFB1 solution, konjugate kering beku dan diluent atau konjugate solution, substrat dan larutan penghenti reaksi (stoping solution).
Gambar 8. Aflatoksin B1 ELISA kit yang dikembangkan Balitvet
% Inhibitin
Tampilan kurva kalibrasi AFB1 seperti pada Gambar 9. Kit dilengkapi dengan disket berisi Excel program untuk pengolahan data. Tahapan prosedur pengujian AFB1 dengan menggunakan ELISA kit disajikan pada Lampiran 1.
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0.1
1
10
100
Aflatoxin B1 (ng/mL)
Gambar 9. Kurva kalibrasi standar AFB1”rapid assay” Pelatihan dan pengujian kit di lapangan Kit yang telah dikembangkan diperagakan dan dicoba pada” Pelatihan ELISA untuk mendeteksi AFB1 pada pakan” yang dilaksanakan pada tanggal 25-26, 2003, di Balai penelitian Veteriner, dan diikuti 32 peserta yang datang dari beberapa pabrik pakan, instansi pemerintah dan universiti. Dipilih 4 laboratorium untuk uji coba lebih lanjut berkaitan dengan studi validasi metode ( inter laboratory study). Hasil analisis AFB1 sample spike dan recovery yang dilakukan di empat laboratorium terpilih, dengan ELISA kit yang disuplai Balitvet seperti pada Tabel 2. Hasil analisis sampel pakan dan jagung disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4. Perbandingan hasil analisis beberapa sampel pakan dan jagung dengan metoda
142
Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004
standar khromatografi cair kinerja tinggi (High Performance Liquid Chromatography -HPLC) menunjukkan hasil yang cukup akurat (Gambar 10). Tabel 2. Hasil analisis ”sampel spike” dan ”recovery” yang dilakukan antar laboratorium No. AFB1 RECOVERY (%), jagung RECOVERY (%), pakan Lab. +kan Period Period Rata2 Period Periode 2 Rata2 e1 e2 e1 I 98.0 110.0 104.0 108.0 119.0 113.5 10 ppb II 96.8 92.8 94.8 102.8 116.0 109.4 III 106.0 109.0 107.5 98.0 110.0 104.0 IV 110.6 109.2 108.9 100.2 99.6 99.9 Rata2 103.8 + 5.5 % 106.7 + 5.2 % CV % 5.3 % 4.9 % 50 I 80.0 96.0 88.0 100.0 105.0 102.5 ppb II 93.6 98.5 96.1 98.6 109.2 103.4 III 77.6 81.6 79.6 91.8 100.2 96.0 IV 108.6 117.4 113.5 100.4 100.2 100.3 Rata2 94.3 + 12.5 % 100.5 +2.9 % CV % 13.3 % 2.8 % 250 I 77.0 96.0 87.5 84.0 86.2 85.1 ppb II 74.5 92.6 83.6 98.0 102.0 100.0 III 82.0 96.0 89.0 100.2 99.6 99.8 IV 94.0 104.0 99.0 97.0 100.4 98.7 89.8 + 5.7 % 95.9 + 6.3 % Rata2 6.3 % 6.5 % CV %
Pada tabel diatas Kadar AFB1 dalam ektrak sampel, dihitung dari persamaan garis y=ln x+a, dimana R2> 0.95, % recovery = AFB1 yang didapat – AFB1 pada sampel kontrol/ AFB1 yang di+kan x 100 %
143
Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004
Tabel 3. Kadar AFB1 pada sampel jagung dan pakan dari pabrik pakan dan dianalisa di laboratorium tersebut (metoda direct competitive ELISA , rapid assay) Lab. No. I (Pabrik Pakan I)
II (Pabrik Pakan II)
Kode sampel (jagung)
AFB1 (ppb)
Local, ex storage Local,East Java Local, ex bin Local, Lampung 1 Local, Lampung A Local, Lampung B Thailand A Thailand B Thailand C China Corn 2 Corn 3 Corn 4 Corn 5 Corn 6 Corn 7 Corn 8 Corn 9 Corn 10 Corn no 50 Corn no 51 Corn no 52 Corn no 53 Corn no 54 Corn no 56 Corn no 57 Corn no 58 Corn no 59 Corn no 60 Corn no 61 Corn no 14 Corn no 16 Corn no 17 Corn no 15 Local Corn no 15A Corn no 31
165* 123* 157* 24.5 96 131* 74.6 47.3 62.5 1.8 2.1 4.2 76.2 91.6 72.0 2.1 37.8 67.7 69.3 0.9 <0.3 <0.3 <0.3 <0.3 0.7 1.0 0.8 1.2 0.9 0.9 0.3 0.4 0.7 1.2 32.1 0.4 1.2
144
AFB1 (ppb)
Kode sampel (pakan) BR 21 BR 21 B Feed 1 Feed 2 Feed 3 Feed 4 Feed I Feed J Feed K Feed L Feed M
125.2** 175.1** 7.5 121.3** 10.3 13.6 30.7 18.8 1.52 100.8** 0.96
No 174 No 715 No 721 No 723 B 1005 E 315 No 151 B 100 S 170 FHR B 325 T 2045 No 2045 B 201 STR 164 C2P 165
2.1 2.2 3.0 2.7 1.4 1.1 3.1 0.3 26.0 3.7 2.4 5.2 4.0 8.7 1.5
Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004
Tabel 4. Kadar AFB1 pada sampel jagung dan pakan yang dianalisa pada kolaboratif laboratorium (direct competitive ELISA, rapid assay) Lab. No. III# ( Lab. diagnostik)
Kode sampel (jagung)
AFB1 (ppb)
No 33 A No 12 D A2 B G H No 1 No 2
<0.3 16.0 1.9 <0.3 37.0 30.3 18.1 3.1 11.2 2.2
C1 38.4 C2 0.5 C3 55.3 C4 48.7 C5 17.7 C6 113.3* C7 136.5* C8 29.6 C9 182.9* C10 178.9* C11 65.6 C12 46.1 # Sampel datang dari beberapa propinsi di Indonesia ## Sampel diperoleh dari toko penjual pakan ternak ** > 50 ppb
IV## ( lab. diagnostik)
145
Kode sampel (pakan) No 16 No 6 No 78 No 13 No 10 No 20 No 4 No 02 No 9 No 15 No 8 No 0 F No 32 No 363 A A LT 24 Lk 24 BP 12 BP 11 FA FA layer F layer F BRI FBRI 2 F PAR F1 F2 F3 F4 F5 F6 F7 F8 F9 F10 F11 F12
AFB1 (ppb) 7.8 2.2 2.8 0.3 43.1 0.3 1.6 2.9 16.0 70.6 5.1 1.5 123.3** 43.5 61.4 70.6 <0.3 1.8 2.6 20.1 4.8 <0.3 4.4 7.2 1.6 10.0 9.3 4.0 12.8 4.2 2.0 38.0 6.5 2.0 19.7 10.0 5.9 7.1
Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004
300
ELISA HPLC
250
AFB1 (ppb)
200
150
100 y = 0.8239x + 5.8162 R2 = 0.992
50
0 0
50
100
150
200
250
300
AFB1 (ppb)
Gambar 10. Perbandingan hasil analisis AFB1 pada sampel jagung dan pakan secara ELISA dan HPLC KESIMPULAN Balai Penelitian Veteriner telah melakukan pengembangan metode ELISA untuk analisis AFB1 pada pakan dan jagung dan telah dapat merakit ELISA kit yang telah didemontrasikan pada pelatihan dan telah dilakukan validasi, dengan hasil yang cukup akurat. Diharapkan ELISA kit AFB1 ini dapat digunakan secara luas untuk kontrol kandungan AFB1 pada pakan, baik pakan yang diproduksi pabrik-pabrik di Indonesia, juga pakan-pakan yang beredar dipasaran, sehingga pakan aman dikonsumsi ternak, produktifitas ternak meningkat, dan peternak medapat keuntungan. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada Department for International Development (DFID), Center for Tropical Veterinary Medicine (CTVM), University of Edinburgh, United Kingdom atas bantuan anggaran yang telah diberikan dengan proyek No.R 7999, untuk terlaksananya kegiatan ini. DAFTAR PUSTAKA Abdelhamid, A.M., and T.M. Dora. 1990. Study on effect of feeding laying hens on separate mycotoxins (aflatoxins, patulin, or citrinin)-contaminated diets on the egg quality and tissue constituents. Arch. Anim Nutr. 40 (4): 305-16. Bahri, S., Yuningsih, R. Maryam dan P. Zahari. 1994. Cemaran aflatoksin pada pakaan ayam yang diperiksa di Laboratorium Toksikologi Balitvet tahun 1988-1991. Peny. Hewan 47: 39-42. 146
Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004
Chu, F.S., and I. Ueno. 1977. Appl. Environ of Microbiol. 33:1125-1128 Dass, R.S., and S.P. Aurora. 1994. Effect of aflatoxins on immunoglobulin level in blood and growth of buffalo calves. Buffalo Bull. 13 (2): 37-41. Dean, P.D.G., P.H. Rowe and D. Esley. 1976. Steroid Lipids Res. 3: 82-85 Exarhos, C.C and R.E Gentry. 1982. Effect of aflatoxin on egg production. Avian. Des. 26: 191-195. Ginting, Ng. 1983. Aflatoksikosis pada ternak itik. Wartazoa 1: 1-3. Ginting, Ng .1988. Sumber dan pengaruh aflatoksin terhadap pertumbuhan dan performan ayam broiler. Desertasi. Universitas Pajajaran, Bandung. Groopman, J.D., L.G. Cain and T.W. Kensler. 1988. Aflatoxins exposure in human populations measurement andralationship to cancer. Crit. Rev. Toxicol. 19 (2): 113-45. Jassar, B.S., Balwant-Singh. 1989. Immunosupressive effect of aflatoxin in broiler chicks. Indian J Anim Sci. 59 (1): 61-2. Kawamura, A.O., S. Nagayama, S. Sato, K. Ohtani, I. Ueno and Y. Ueno. 1988. Mycotoxin Research 4: 7678 Maryam, R., 1996. Residu aflatoksin dan metabolitnya dalam daging dan hati ayam. Proc. Temu Ilmiah Nasional Bidang Veteriner. Balai Penelitian Veteriner, Bogor: 336-9. Stubble Field, R., D.J. Greer, O.L. Skotwell and A.M. Aikens. J Assoc off Anal. Chem. 74 (3): 530-532 Truckness, M.W., E.S. Michael, S. Nesheim, D.L. Park and A.E. Pohland. 1989. J. Assoc of Anal. Chem. 22 (6): 957-961 Zanelli. 2000. Mould, Bacteria and Solution. Feed Industry Service (FIS). Italy: 2
147
Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004
Lampiran 1. Prosedur analisis AFB1 dengan ELISA kit Balitvet A. Preparasi ekstrak sampel 1. Buat 100 ml metanol 60 % dengan mencampur 60 ml methanol pa dengan 40 ml aquadest 2. Timbang 25 gram sampel jagung atau pakan ternak, masukkan kedalam erlenmeyer 250 ml, tambahkan 50 ml methanol 60 % 3. Shaker selama 30 menit 4. Sentrifuse pada 3000 rpm 15 menit, ambil larutan jernih 5. Untuk sampel jagung, larutan jernih dapat langsung dianalisa, sedangkan untuk ekstrak sampel pahan, perlu diencerkan 1: 4 MeOH 60 %, total faktor pengenceran 8. B. Preparasi larutan substrat Untuk pengembang warna pada mikroplate sebelum tahap penambahan substrat, kedalam botol berisi larutan substrat A masing-masing 11 ml telah disiapkan dalam kit perlu ditambahkan sebanyak 330 ul larutan substrat B (TMB). C. Cara kerja 1. Kondisikan semua bahan pada temperatur kamar Kedalam plate pencampuran, dibuat pencampuran antara standar AFB1 dan konjugat serta ekstrak sampel dan konjugat 2. Pipet 100 ul larutan standar blank, masukkan pada sumur deret A 1 (untuk blank) dan 100 ul pada sumur H 1 (untuk kontrol) Selanjutnya memasukan standar AFB1 dimulai pada konsentrasi yang terkecil 3. Pipet 100 ul larutan standar 6 (0,12 ppb) kedalam sumur G 1, 100 ul larutan standar 5 (0,37 ppb) kedalam sumur deret F1, 100 ul larutan standar 4 (1,1 ppb) kedalam deret sumur E1, 100 ul larutan standar 3 (3,3 ppb) kedalam sumur deret D1, 100 ul larutan standar 2 (10 ppb) kedalam sumur deret C1 dan 100 ul larutan standar 1 (30 ppb) kedalam sumur deret B1. Untuk ekstrak sampel pakan atau sampel jagung 4. Pipet 100 ul ekstrak sampel 1, masukan kedalam sumur A2, sampel 2 kedalam B2, ekstrak sampel 3 kedalam sumur C2, dst 5. Tambahkan 100 ul larutan konjugat AFB1-HRPO kedalam deret sumur 1 (B-H) kecuali sumur A1(untuk blank standar) dan kedalam sumur yang berisi ekstrak sampel (A2 sampai H2 dst). Kedalam sumur A1 ditambahkan 100 ul aquadest atau metanol. 6. Campur larutan dengan cara memutar mutar plate. Kedalam plat yang terlapis antibodi (coated antibodi plate) 7. Dengan menggunakan multichannel pipet, pipet sebanyak 75 ul larutan yang telah dicampur dalam plat pencampur dan masukkan kedalam mikrowell plate yang sudah dilapis antibodi (coated antibodi) sumur A1 sampai H1, lakukan 2 kali untuk duplikatnya (A2 sampai H2). 8. Untuk sampel, masukan 75 ul larutan sampel ekstrak (A2-H2) yang sudah dicampur dengan konjugate pada plat pencampuran dan masukan kedalam sumur A3 sampai H 3, lakukan sekali lagi (A4-H4), sehingga diperoleh 2 ulangan 9. Inkubasikan, dan biarkan selama 5 menit. 10. Buang larutan dan cuci plat dengan 3 kali pencucian dalam air . 11. Persiapkan larutan substrat, dengan mencampurkan substrat B (330 ul) kedalam 1 botol larutan substrat A (11 ml). 12. Tambahkan 100 ul larutan substrat yang sudah dicampur (substrat A+ substrat B) dan biarkan 10 menit. Pada tahap ini akan terbentuk warna hijau, semakin tinggi konsentrasi AFB1 pada plat mikro atau semakin tinggi konsentrasi AFB1 pada sampel, maka pembentukan warna semakin pudar. 13. Tambahkan 50 ul larutan penghenti, warna larutan pada plat mikro berubah menjadi kuning, selanjutnya intensitas warna dibaca pada ELISA reader (450 nm).
148