Editorial
Penggunaan Antibiotik pada Pasien Anak
Iwan Darmansjah Mantan Ketua Panitia Evaluasi Obat, Departemen Kesehatan
Antibiotik (AB) merupakan obat yang sangat berperan dalam memerangi infeksi yang ditimbulkan oleh kuman. Walaupun pemakaian AB yang baik berlaku untuk semua umur, AB untuk populasi pediatrik perlu memperoleh perhatian khusus karena kecenderungan pemakaian yang berlebihan. Klinik dokter anak dipenuhi dengan pasien anak yang hampir setiap 1-3 minggu datang kembali – kebanyakan – dengan keluhan yang sama, yaitu demam, batuk dan pilek. Hal itu merupakan fenomen yang tidak terjadi di negara barat. Anak kecil, terutama bayi, membutuhkan pertumbuhan sehat tanpa AB bila memang tidak ada kepastian infeksi kuman. Hal yang lebih memprihatinkan lagi ialah bahwa populasi anak memang merupakan golongan umur yang tidak mempunyai data tentang pemakaiannya, karena tidak / jarang dilakukan uji klinik seperti terhadap orang dewasa. Dosis obatnya-pun bukan hasil dose-ranging studies (studi penentuan dosis yang cukup kompleks). Walaupun tidak ada peraturan yang tidak membolehkan penelitian pada anak di seluruh dunia, perijinan obat pada anak jarang diberikan secara khusus oleh Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat, dan anehnya tidak diminta oleh FDA sebagai 368
syarat perijinan pemasaran. Hal tersebut berlaku di seluruh dunia, seolah ada hambatan melakukan studi pada anak. Khusus di Jepang, perempuan juga tidak boleh (dilarang) dijadikan subyek percobaan uji klinik. Hal itu menyebabkan tidak adanya data tentang pemakaian obat pada kedua jenis manusia ini, padahal orang tua diminta datanya oleh FDA bila diperlukan, karena mereka bereaksi lain dibanding populasi muda. Selain itu, selalu dikatakan bahwa anak bukanlah orang dewasa kecil, karena mereka memiliki sifat yang dapat sangat berbeda. Semua keadaan itu menyebabkan penentuan dosis pada anak terjadi dengan perhitungan umur/12 atau berat badan anak/berat badan dewasa kali dosis dewasa. Perhitungan empirik tersebut sering tidak dapat diterapkan, karena ‘anak bukan dewasa kecil’. Mereka berbeda dalam banyak hal, seperti penyerapan usus, metabolisme obat, ekskresi obat, dan juga kepekaan reseptor dalam tubuh. Obat, seperti oseltamivir (obat flu burung), lebih mudah melewati sekat darah-otak (blood-brain barrier) pada bayi, sehingga efek samping kematian dapat mengejutkan. Hasil penelitian pada anak sulit diperoleh dan juga tidak mudah dilakukan, Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 10, Oktober 2008
Penggunaan Antibiotik pada Pasien Anak sehingga data mengenai efektivitas, efek samping dan dosis, terutama tidak ada. Jadi sungguh aneh, dokter anak harus mengobati tanpa bukti (evidence), sementara obat untuk orang dewasa sering diteliti sangat jelimet dan menghabiskan biaya luar biasa. Hal itu dapat dimengerti jika diketahui bahwa sebagian besar penelitian dibiayai pabrik obat untuk obat yang banyak dipakai seperti obat darah tinggi, diabetes, penyakit jantung, cancer, dsb. Penelitian yang mahal sekalipun sering membawa keuntungan yang sangat banyak, bila memperoleh hasil yang superior dibanding obat produksi lawannya. Satu-dua obat seperti itu, yang disebut blockbuster (sales lebih dari $ billions) sudah dapat menutupi keuntungan untuk semua obat yang dimiliki pabrik. Sejak akhir abad yang lalu dibuat undang-undang di Amerika Serikat yang disebut Pediatric Exclusivity Right yang ‘menganjurkan’ pabrik obat melakukan uji klinis pada anak dengan ‘upah eksklusif’ memperoleh waktu hak paten tambahan sepanjang ~ ½ tahun. Setelah peraturan itu, sekitar 500 obat kemudian dilakukan uji klinis baru/tambahan (terutama di Kanada dan AS) untuk anak, walaupun hanya diperlukan 1-2 uji klinis saja. Ini jelas tidak memenuhi tuntutan kebutuhan uji klinis untuk evaluasi obat yang baik. Semua itu merupakan kajian di bidang Pediatric Clinical Pharmacology yang pertama berkembang di Kanada sebelum tahun 2000-an. Di Asia dan Indonesia penelitian uji klinik untuk anak perlu sekali didorong karena banyak obat tidak jelas kegunaannya dan besar dosisnya. Penentuan dosis obatjadi (dewasa dan anak) dilakukan oleh industri dengan menyontek dosis anak di negara penemu obat, yang juga ditentukan begitu saja tanpa penelitian. Kita tidak pernah dapat menakar dosis pada anak dengan benar. Misalnya saja, dosis untuk obat dasar yang banyak dipakai pasien anak, seperti parasetamol, efedrin, CTM, atau kodein jelas terlalu besar. Hal itu menyebabkan dokter yang sadar tentang overdose, yang sebenarnya terjadi di seluruh dunia, merasa perlu membuat resep racikan yang lebih sesuai. Bila anak diberi parasetamol dan kemudian berkeringat banyak, hal itu berarti dosis terlalu besar, namun tidak semua kasus overdose dapat memiliki tanda seperti ini. Di negara maju, obat untuk anak hanya sedikit digunakan karena anak sebenarnya merupakan mahluk yang jarang sakit, terutama bila diberi air susu ibu cukup karena ASI mengandung bahan imunitas tubuh alami. Walaupun demikian, pertumbuhan anak dihadang oleh berbagai penyakit yang belum ada daya imunitasnya, terutama virus. Penyakit virus sebagian besar tidak berbahaya karena bersifat sembuh sendiri dan anak yang sehat segera akan membuat zat anti (imunitas) yang tangguh. Jadi mengisolasi anak di rumah saja tidaklah bijak, sebaliknya membawa anak
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 10, Oktober 2008
bermain di mall memungkinkan pemaparan terhadap banyak jenis virus sekaligus. Sekolah pun menye-babkan pemaparan yang sangat intens karena hubungan dengan teman-teman baru – yang sering menularkan lewat jalan napas. Virus yang biasa menimbulkan penyakit anak seperti cacar air, gondongan, measles, flu, dsb. Setelah periode pertumbuhan di SD maka anak menjadi lebih tahan terhadap penyakit virus. Pemaparan terhadap berbagai virus merupakan ‘pembelajaran’ sistem imun tubuh anak yang tidak dapat dihindarkan dan harus terjadi dalam proses tumbuh kembang anak. Data National Center for Health Statistics di AS (JAMA 1998) memperlihatkan bahwa AB merupakan obat yang paling sering dipakai untuk anak, yaitu 75% dari semua klinik rawat jalan (outpatient visits). Di Canada angka tersebut juga sebesar 74%. AB dipakai untuk 5 penyakit utama yaitu: otitis media, sinusitis, bronkhitis, faringitis, dan infeksi saluran napas atas nonspesifik (virus). Data itu diperoleh sebelum 1998, dan kini data tersebut berubah karena telah dibuktikan dalam banyak uji klinik di banyak negara bahwa AB untuk semua penyakit di atas memberikan hasil sama dengan plasebo, alias tidak efektif. Di negara Barat lainnya sekarang AB untuk kelima penyakit virus anak itu tidak dipakai lagi karena evidence-nya sangat lemah. Diperlukan obat simtomatik (mengurangkan gejala seperti pilek dan batuk, atau demam) untuk mempercepat penyembuhan dan mengurangi penderitaan si sakit, sambil istirahat. Di Indonesia peresepan AB untuk penyakit virus masih marak (mungkin ~ 90%), menimbulkan terhambatnya pembentukan imunitas anak, yang justru memperpanjang lamanya penyakit, membunuh kuman yang baik dalam tubuh (tanpa adanya kuman yang jahat), efek samping AB bertambah banyak, menimbulkan resistensi kuman terhadap AB yang merugikan seluruh masyarakat dan diri sendiri. Kemungkinan komplikasi lebih besar dan kembalinya anak ke dokter lebih sering karena terulang penyakitnya, serta menghabiskan biaya secara mubazir. Penyakit virus tidak perlu diobati dengan AB bila tidak ada komplikasi. Antibiotik, misalnya amoksisilin juga tidak tepat untuk dipakai rutin sebagai obat pencegah komplikasi karena komplikasi sangat jarang terjadi (mungkin ~ 2 - 3 %) dan kalaupun terjadi antibiotiknya harus yang terpilih khas dan khusus efektif untuk kuman yang akan menghinggap, dan itu tidak dapat diramalkan. Sebagai kesimpulan, AB untuk gondongan, measles, atau cacar air dan 5 jenis penyakit virus yang disebut di atas sebaiknya tidak dipakai lagi secara rutin oleh dokter dan masyarakat hendaknya jangan justru meminta AB kepada dokter yang akan mengobatinya.
SS
369