PENGGUNAAN GENETIK MARKER MITOKONDRIA DNA DAN HUBUNGANNYA

Download menunjukkan bahwa penggunaan genetik marker mitokondria DNA dalarn kaitannya dengan sifat mengeram belum dapat dijadikan penanda genetik un...

0 downloads 513 Views 517KB Size
Seminar NasionalPeternakan dan Peteriner 2000

PENGGUNAAN GENETIK MARKER MITOKONDRIA DNA DAN HUBUNGANNYA DENGAN SIFAT MENGERAM PADA AYAM LOKAL TixE SARTncA dan BENNY GuNAwAN Balai Penelitian Ternak, P.O. Box 221, Bogor 16002

ABSTRAK Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan yang bertujuan untuk mempelajari adanya linkage gen yang terkait dengan sifat mengeram. Adapun marker genetik yang digunakan adalah D-loop mitokondria DNA (mtDNA). Penggunaan marker tersebut diasumsikan bahwa sifat mengeram hanya terjadi pada induk ayam dan mitokondria DNA sifat pewarisannya berdasarkan garis keturunan induk (maternal inheritance), selain itu mtDNA mempunysi derajat polimorfisme yang tinggi dan memiliki ukuran yang kecil sehingga mudah dipelajari. Untuk mempelajari linkage analisis, sebelumnya harus dibuat keluarga acuan (reference family) dari sifat yang kontras . Dalam hal ini digunakan 20 ekor ayam lokal yang mempunysi sifat mengeram cukup lama, dengan rataan sebesar 42,6 hari dengan produksi telur rendah (40,67 butir/ekor/6 belan) dan 10 ekor ayam ras petelur jantan (tidak mengeram, produksi telur tinggi) digunakan sebagai tetua. Sebelum analisis lebih lanjut dilakukan, antara kedua galur tersebut harus jelas mempunyai karakteristik pita DNA yang berbeda (polimorfik). Untuk itu metode PCR-RFLP dengan menggunakan 6 macam enzim restriksi 4 bssa antara lain: Alul (AGICT), HpalI (CICGG), Mboi (IGATC), Rsal (GTIAC), N1aIII (CATGI) dan Hael[I (GGICC), digunakan untuk mempelajari pola pita DNA didalam dan diantara kedua galur tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa penggunaan genetik marker mitokondria DNA dalarn kaitannya dengan sifat mengeram belum dapat dijadikan penanda genetik untuk analisis selanjutnya, karena kesemua pita DNA yang dihasilkan dari 6 macam pemotongan dengan enzim restriksi menghasilkan pola pita yang sama (monomotflk). Kats kunci: Ayani lokal, sifat mengeram, mtDNA PENDAHULUAN Pada ayam lokal yang dipelihara secara ekstensif/semi intensif, setelah ayam lokal tersebut bertelur 12-15 butir biasanya dilanjutkan dengan mengerami telumya selama 21 hsri sampai telur menetas . Pada ayam lokal yang dipelihara secara intensif (dengan kandang batere), ada yang memperlihatkan gejala mengeram adapula yang tidak mengeram. Pada ayam yang mengeram walaupun telumya diambil setiap hari, ayam lokal tersebut tetap akan menunjukkan gejala sifat mengeram dan bahkan ada yang mengeram sampai 100 hari. Adanya sifat mengeram ini jelas merugikan pada pemelihaaan ayam lokal sebagai petelur, karena produksi telur akan terhenti selama ayam lokal tersebut menunjukkan gejala mengeram dan diikuti dengan lama istirahat yang panjang (tidak bertelur) . Lama istirahat produksi telur pada ayam lokal berkisar 209-271 hari/ekor/tahun (SASTRODIHARDIO et al., 1996). Untuk meningkatkan produksi telur ayam lokal, sebaiknya sifat mengeram ini harus dikurangi atau dihilangkan sama sekali . Dari segi manajemen pemeliharaan, usaha-usaha untuk menghilangkan sifat mengeram ini telah dicoba dengan beberapa cara antara lain adalah usaha tidak memberi kesempatan mengeram dengan melakukan penyapihan dini terhadap anak ayam (DOC), maka kemampuan menghasilkan telur dapat ditingkatkan dua kali lebih besar dibandingkan dengan produksi telur dari induk yang mengeram dan mengasuh anak (RuKMIASIH dan HARDloswoRo, 1989). 164

Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 2000

Usaha lainnya untuk menghilangkan gejala mengeram adalah dengan memandikan ayam dengan cara mencelupkannya ke dalam air sewaktu ayam tersebut memperlihatkan gejala sifat mengeram (SUPRUATNA, 1993; SASTRODIHARDJO et al., 1996). Namun menghilangkan sifat mengeram dengan cara dimandikan tersebut tidak meningkatkan produksi telur (SUPRIJATNA, 1993). BLAKELY dan BADE (1991) mengemukakan bahwa sifat mengeram merupakan sifat yang menurun dan tinggi rendahnya sifat mengeram tergantung pada faktor genetis seperti bangsa atau strain ayam dan faktor lingkungan seperti tata laksana pemeliharaan . Oleh karena itu upaya menghilangkan sifat mengeram dapat dilakukan dengan memperbaiki mutu genetik dengan metode seleksi seperti yang telah dilakukan pada ayam ras petelur. Berdasarkan hasil penelitian GOoDALE et al. (1960) bahwa sifat mengeram dikontrol 61eh 2 pasang gen autosom yang dominan . Apabila kedua pasang gen tersebut muncul secara komplementer bersama-sama (A-C-) maka akan timbul sifat mengeram, sebaliknya apabila kedua gen dominan muncul sendiri (A-cc; aaC- dan aacc) sifat mengeram akan hilang . Apabila sifat mengeram dapat dikurangi atau dihilangkan melalui seleksi, maka produksi telur akan meningkat . Korelasi antara lama sifat mengeram dan total produksi telur/tahun adalah -0.56 (GOODALE et al., 1960) . Heritabilitas (h2) dari sifat mengeram adalah 0,3 (MARTOJO et al ., 1990) . Apabila sifat mengeram hanya dilakukan dengan seleksi saja akan memakan waktu yang sangat lama. Oleh karena itu dengan berkembangnya IPTEK akhir-akhir ini penggunaan genetik marker akan dapat membantu dalam mempercepat seleksi (MASIMarker Assisted Selection). Penggunaan DNA mitokondria sebagai marker telah banyak dilakukan, antara lain: digunakan untuk mendeteksi penyakit keturunan pada manusia seperti kelainan darah yang diwariskan secara maternal lineage (garis keturunan ibu). Hal lainnya dikemukakan bahwa mtDNA dapat digunakan sebagai marker dalam mendeteksi gen-gen yang berhubungan dengan sifat produksi (gen-gen QTUQuantitative Traits Loci) seperti produksi susu (ScHurz et al., 1993), karena sifat laktasi dan produksi susu pada sapi dipengaruhi oleh DNA sitoplasmik (ELEDATH dan HNES, 1996) yang terjadi pada induk . Mitokondria DNA adalah sumber dari DNA sitoplasmik . Demikian halnya sifat mengeram hanya terjadi pada induk ayam. Berdasarkan pemikiran tersebut, marker genetik mtDNA akan dicoba digunakan sebagai marker dalam mendeteksi sifat mengeram. MATERI DAN METODE Dalam penentuan linkage gen/gen yang terkait dengan sifat mengeram dengan menggunakan marker genetik, sebelumnya harus dibuat terlebih dahulu keluarga acuan (Reference family) dengan karakter yang jelas. Dalam penelitian ini digunakan induk ayam lokal sebanyak 20 ekor yang mempunyai sifat mengeram lama yaitu dengan rataan sebesar 42,6 hari dengan produksi telur selama 6 bulan cukup rendah yaitu sebesar 40,67 butir/ekor/6 bulan . Ayam lokal tersebut dipilih dari ayam seleksi populasi G1, kemudian dikawinkan dengan 10 ekor ayam jantan ras petelur (tidak mengeram, dengan produksi telur tinggi) sebagai tetua. Pengujian marker genetik mtDNA dilakukan untuk mempelajari pola pita polimorfik diantara galur tetua tersebut. Dalam hal ini sampel yang digunakan adalah DNA total yang diekstrak dari sampel darah . Jumlah sampel yang digunakan adalah 20 sampel ayam lokal betina mengeram dan 10 ekor ayam ras jantan petelur. Adapun metode yang digunakan untuk ekstraksi DNA total menggunakan metode MANIATIS et al. (1982) dengan modifikasi DURYADI (1997). Hasil purifikasi sampel DNA total kemudian diencerkan 20 kali. Amplifikasi fragmen DNA yang berisi sekuen D-loop mitokondria dilakukan dengan PCR. Primer yang digunakan untuk amplifikasi DNA D-loop adalah primer H1255 (5'-CATCTTGGCATCTTCAGTGCC-3') dan primer L16750 (5'-AGGACTACG-GCTTGAAAAGC-3') yang dapat menghasilkan fragmen D-loop mitokondria ayam sebesar 1200-1300 pb (FuMIHITO et al., 1994) . Larutan yang digunakan untuk 165

Seminar Nasionat Peternakan dan Veteriner 2000

amplifikasi D-loop mitokondria tersebut terdiri atas PCR buffer, MgCIZ, dNTP, Taq Polymerase (Perkin Elmer/Cetus) dan DNA contrh dengan volume larutan PCR adalah 25 pl, menurut KocHER et al. (1989); FUMIHrro et al. (1994) dan DURYADI (1997). Kondisi PCR diprogram selama dua menit untuk awal denaturasi pada 94°C, dan 35 siklus yang terdiri atas: denaturasi pada 94°C selama 30 detik, annealing (penempelan) pada 60°C selama 30 detik dan ekstensi pada 72°C selama satu menit. Akhir ekstensi diperpanjang selama tujuh menit pada 72°C supaya hasil amplifikasi betulbetul sempurna. Hasil PCR disimpan pada temperatur empat derajat celsius . Hasil amplifikasi PCR dicek dengan elektroforesis gel agarose 1,2% dalam bufer 40 mM Tris Borat EDTA/TBE (pH 8,0) serta ethidium bromida sebagai pewarna . Untuk mengetahui adanya pola pita yang berbeda antara ayam lokal mengeram dengan ayam ras, digunakan metode RFLP yaitu hasil PCR dari sekuen D-loop dipotong oleh beberapa enzim restriksi yang mempunyai situs pemotongan pada D-loop mt DNA ayam. Enzim pemotong tersebut antara lain AM (AGICT), Hpall (CICGG), MboI (IGATC), Rsal (GTIAC), MaIII (CATG1) dan HaeIII (GGICC) . Polimorfisme dari hasil pemotongan dengan enzim restriksi dapat diketahui dengan memigrasikan DNA tersebut, menggunakan elektroforesis gel agarose 1,2%. Untuk memperjelas hasil pemotongan digunakan pula elektroforesis gel akrilamid 6% dengsn pewamaan perak nitrat (silver staining). HASIL KEGIATAN Besar fragmen teramplifikasi Besar fragmen mtDNA teramplifikasi dengan primer H1255 dan L16750 adalah sebesar 1320 pb, baik pada ayam lokal betina mengeram maupun ayam jantan ras petelur. Hasil amplifikasi tersebut mencakup daerah tRNAo", control region dan daerah tRNAn'. Andaikata diasumsikan daerah tRNAo'" dan tRNAP"` besarnya tidak berubah karena merupakan daerah konserve, maka besarnya fragmen mtDNA teramplifikasi tersebut terdiri dari 45 pb gen tRNA Glutamin dan 48 pb gen tRNA Phenilalanin, sehingga besarnya daerah Control regionID-loop diperkirakan sebesar 1227 pb seperti tertera pada Gambar 1.

####

Control Region/D-loop

tRNAD'"

tRNA!* L16750

45 pb

1227 pb

104

10

48 pb

Gambar 1. Dserah fragmen DNA teramplifikasi dengan menggunakan primer H1255 dan L16750

Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 2000

Pendeteksian sifat mengeram dengan melihat polimorfisme DNA hasil pemotongan dengan enzim restriksi Pemotongan fragmen mtDNA teramplifikasi untuk mengetahui adanya polimorfisme antara ayam lokal mengeram dan pejantan ras petelur dilakukan dengan menggunakan beberapa macam enzim restriksi (metode RFLP). Dari hasil pemotongan fragmen DNA tersebut dengan enzim restriksi Alul (AGICT), temyata diantara ayam betina yang mengeram maupun dengan pejantan ayam rasnya tidak menunjukkan adanya polimorfisme (banyaknya pita DNA terpotong dan besarnya adalah sama). Enzim restriksi Alul (AGICT) memotong pada satu situs dan membagi panjang fragmen DNA menjadi 302 dan 1018 pb (Gambar 2). tRNAPhe 1018 i o~

1320 Keterangan : L= Ayam lokal betina mengeram R Ayam rasjantan petelur

Gambar 2. Situs pemotongan enzim restriksi Alul Pemotongan dengan enzim restriksi Hpall (CICGG), juga diantara ayam betina yang mengeram maupun dengan pejantan ayam rasnya tidak menunjukkan adanya polimorfisme (banyaknya pita DNA terpotong dan besarnya adalah sama) . Jumlah situs pemotongan Hpall sebanyak dua situs yaitu memotong fragmen DNA menjadi 155, 422, dan 743 pb (Gambar 3).

t

422

D-loop 1227--~ Keterangan : L= Ayam lokal betina mengeram R= Ayam ras jantan petelur

Gambar 3. Situs pemotongarrenzim restriksi Hpall Dari hasil pemotongan fragmen mtDNA dengan enzim restriksi Mbol (jGATC) diperoleh hasil yang sama yaitu diantara ayam betina yang mengeram maupun dengan pejantan ayam rasnya tidak menunjukkan adanya polimorfisme (banyaknya pita DNA terpotong dan besamya adalah sama).

167

Seminar Nasional Peternakan clan Vetertner 2000 Hasil pemotongan dengan enzim restriksi Mbol (IGATC) terdapat lima situs pemotongan yaitu memotong fragmen DNA menjadi 19, 190, 205, 205, 247, dan 454 pb seperti tertera pada Gambar 4.

9 -4 19(~1" -205 247

1 205

191 190

454

1205

1

454

00- L

Keterangan : L° Ayam lokal betina mengeram R=Ayam rasjantan petelur Gambar 4. Situs pemotongan enzim restriksi Mbol Demikian halnya pemotongan dengan enzim restriksi Rsal (GTIAC) belum menunjukkan adanya variasi pola pita DNA terpotong (monomorflik). Dari hasil pemotongan tersebut terdapat lima situs pemotongan pada ayam lokal betina mengeram maupun pada ayam ras jantan petelurnya, yaitu memotong fragmen DNA menjadi 24, 66, 72, 81, 319, clan 758 pb (Gambar 5).

81

I72 41 T~l

319

66

319

I 66

758

1

758

L

Keterangan :

mengeram R= Ayam ras jantan petelur L= Ayam lokal betina

Gambar 5. Situs pemotongan enzim restriksi Rsal Pemotongan dengan enzim NIaIII (CATG j) pun diantara ayam betina yang mengeram maupun dengan pejantan ayam rasnya tidak menunjukkan adanya polimorfisme (banyaknya pita DNA terpotong dan besarnya adalah sama). Artinya belum menunjukkan adanya pola pita DNA spesifik yang dapat dijadikan marker. Enzim restriksi NlalII " (CATG1) memotong fragmen mtDNA teramplifikasi menjadi tujuh potongan . Ukuran fragmen DNA tersebut yaitu 61, 96, 99, 115, 127, 248, dan 574 pb (Gambar 6).

Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 2000

245 248

99

61

96

11

524

R 115

it 00.

R

12

Keterangan : L= Ayam lokal betina mengeram R= Ayam ras jantan petelur Gambar 6 . Situs pemotongan enzim restriksi N1aIII Pemotongan dengan enzim restriksi HaeIII (GGICC) terjadi pada satu situs dan menghasilkan dua fragmen DNA dengan ukuran 516 dan 804 pb, baik diantara ayam betina yang mengeram maupun dengan pejantan ayam rasnya, juga tidak menunjukkan adanya polimorfisme (banyaknya pita DNA terpotong clan besarnya adalah sama). Hal ini dapat dilihat pada Gambar 7. R L 516

Keterangan : L= Ayam lokal betina mengeram R= Ayam ras jantan petelur Gambar 7. Situs pemotongan enzim restriksi

HaeIII

PEMBAHASAN Dari hasil analisis metode RFLP dengan menggunakan penanda daerah D-loop mtDNA yang dipotong oleh enam macam enzim restriksi empat basa (AIul, Hpall, Mbol, RsaI, NIalII dan HaeIII) menunjukkan bahwa diantara ayam betina yang mengeram maupun dengan pejantan ayam rasnya, tidak menunjukkan adanya polimorfisme (banyaknya pita DNA terpotong dan besarnya adalah sama) . Padahal penggunaan enzim restriksi empat basa ini dipilih berdasarkan asumsi bahwa fragmen teramplifikasi sebesar 1320 pb dapat terpotong secara random setiap 4° (256) pasangan nukleotida (PRIMROSE, 1995). Sehingga secara random dapat diasumsikan bahwa fragmen sebesar 1320 pb tersebut dapat terpotong menjadi lima potongan. Semakin banyak potongan yang didapat akan memudahkan munculnya beberapa kombinasi berbeda sehingga perbedaan haplotipe dari individu ayam yang berbeda akan mudah diamati . Dari penelitian ini didapat perbedaan jumlah potongan dari beberapa enzim empat basa yang digunakan . Hal ini disebabkan oleh distribusi dari 169

Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 2000

susunan nukleotida tidaklah seutuhnya random dan kebanyakan organisme tidak mempunyai jumlah situs yang sama untuk enzim restriksi pemotong empat basa (PRIMROSE, 1995) . Dari enzim restriksi yang digunakan pada ayam lokal terdapat hasil potongan sebanyak tujuh potongan (NlaIII), namun demikian terdapat pula potongan yang cukup rendah yaitu hanya dua potongan (HaeIII) . Tidak ditemukannya pola pita DNA spesifik pada ayam lokal mengeram dan pejantan ras petelur, kemungkinan disebabkan oleh penggunaan marker genetik yang kurang tepat. Penggunaan mitokondria DNA diasumsikan bahwa sifat mengeram diturunkan oleh garis ketrunan induk (maternal inheritance) karena sifat mengeram hanya terjadi pada induk ayam, tetapi ternyata menurut PARKHURST dan MOUNNEY (1987) bahwa sifat mengeram diturunkan secara linkage dari tetua pejantannya. Sehingga untuk tahun yang akan datang pendeteksian sifat mengeram akan dilanjutkan dengan penggunaan marker mikrosatelit yang telah terbukti mempunyai tingkat polimorfisme yang tinggi (TAKAHSHI et al., 1998; CHENG, 1994) dan sangat potensial untuk pendeteksian gen-gen QTL (Quantitative Traits Loci) yang linkage dengan sifat produksi . KESIMPULAN Dari hasil analisis genetik dengan menggunakan marker mitokondria DNA, bahwa diantara ayam-ayam lokal betina mengeram maupun ayam ras jantan petelur yang digunakan sebagai tetua populasi referencefamily belum diperoleh adanya pola pita DNA polimorfik yang dapat digunakan untuk analisis linkage gen lebih lanjut. DAFTAR PUSTAKA dan D.H. BADE., Press. Yogyakarta .

BLAKELY, J CHENG,

H.H.

1994 .

1991 .

11mu Peternakan (Tedemahan). Edisi keempat . Gajah Mada University

Microsatellite markers for genetic Mapping in the chicken . Poultry Sci. 73 :539-546 .

D. 1997. Isolasi dan Purifikasi DNA Mitokondrion (mt DNA). Laboratorium Molekuler Biotrop, Bogor. Tidak diterbitkan.

DURYADI,

F.M. and H.C. HINES. 1996 . Detection of nucleotide variations in the D-loop region of bovine mitochondria) DNA using polymerase chain reaction-based methodologies. Anim. Genetics 27:333-336 .

ELFAATH,

Sums, M. TAKADA, S. OHNo, and N. KoNDO. 1994 . One subspecies of the red junggle fowl (Gallus gallus gallus) suffices as the matriarch ic ancestor of all domestic breeds. Proc . Nod.

FUMIHITO, A., T. MIYAKE, S.

Acad. Sci. USA.

91 :12505-12509.

and CARD . 1960. Broodiness. In: Poultry Breeding . Bulletin No. ofAgriculture, Fisheries and Food. London.

GOODALE, H.D ., R. SAMBORN,

146.

Ministry

KocHER, T.D ., W.K. THOMAS, A. MEYER, S.V . EDwARDs, S. PAABO, F.X. VILLABLANCA, and A.C. WILSON. 1989. Dynamic of mitochondria) DNA evolution in animals : Amplification and sequencing with primer

conserved. Proc. Natl. Acad. Sci. USA

E.F. New York.

MANIATIS, T., MARTOJO,

H.,

FRITSCH,

and

J. SAMBROOK. 1982.

P.H. HuTABARAT,

Bioteknologi, IPB .

86 :6196-6200.

dan S.S.

Molecular Cloning. Cold Spring Harbor Publications,

MANs1OER.

1990 .

11m u Pemuliaan Unggas . Diktat . PAU

C.R. and G. J. MOUNTNEY. 1987 . Poultr y Meat and Egg Production . An AVI Book, Published by Van Nostrand Reinhold, New York, USA.

PARKHuRsT,

170

Seminar Nasional Peternakan dan Feteriner 2000 ppIIROSE, S.B . 1995 . Principles of Genome Analysis. A Guide to Mapping and Sequencing DNA from Different Organisms. Blackwell ScienceLtd, Australia.p . 38-54. RUKMIAsiH dan P.S . HARDJOSWORO, 1989 . Usaha Peningkatan Produksi Telur Ayam Kampung Melalui Peniadaan Kesempatan Mengeram dan Mengasuh Anaknya. Laporan penelitian, Fakultas Peternakan IPB, Bogor. SASTRODIHARDJO, S., A.G. NATAAMUAYA, R. DHARSANA, S. ISKANDAR, Y. SAEPUDIN, dan Y. NURDIANI . 1996. Peranan Hormon Prolaktin Ayam Buras Terhadap Sifat Lama Istirahat Produksi Telur. Laporan Penelitian, Balitnak. SCHUTZ, M.M ., A.E . FREEMAN, D.C . BErrz, and J.E . MAYFIELD . 1993 . The importance of maternal lineage on milk yield traits of dairy cattle. J. Dairy Sci. 75 :1331-1341 . SupRUATNA, E. 1993 . Pengaruh cara menghilangkan sifat mengeram secara tradisonal terhadap performans ayam buras. Pros. Sem. Nas. Pengembangan ternak ayam buras melalui wadah koperasi menyongsong PJPT II, UNPAD, Bandung. TAKAHAsHI, H., K. NaA.cAwA, Y. NAGAMm, M. Tsumum, and Y. YAMAMO'ro.1998. Genetic relationships among Japanese native breeds of chicken based on microsatellite DNA polymorphisms. J. Heredity (89)6:543-546.