PERAN NEGARA DAN BIROKRASI DALAM EKONOMI POLITIK BARU

Download 2 Lihat Chriatianto Wibisono, Demokrasi Ekonomi dalam Perspektif Ekonomi Politik, Jurnal Administrasi dan. Pembangunan Vol 2, No. 1, 1998. ...

0 downloads 436 Views 923KB Size
Peran Negara Dan Birokrasi Dalam Ekonomi Politik Baru1 Oleh. Haris Faozan

Pendahuluan

Konsep demokrasi ekonomi senantiasa menjadi wacana yang tiada habis dibicarakan. Menurut Sri Mulyani Indrawati, hal ini mungkin disebabkan oleh 2 (dua) hal. Pertama, issue demokrasi ekonomi merupakan issue klasik yang memang tak akan pernah selesai perdebatanya. Kedua, mungkin karena issue ini adalah issue yang begitu multiinterpretatif, sehingga memungkinkan masuknya semua penafsiran dan interpretasi, termasuk kekuasaan itu sendiri. Dalam konteks makalah ini, penafsiran dan interpretasi diteropong melalui kacamata ekonomi politik. Pokok-pokok kaidah negara yang fundamental yang tercantum di dalam Pembukaan UUD’45 merupakan pondasi bagi berdirinya negara Indonesia. Salah satu nilai fundamental tersebut mengamanatkan bahwa negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penjabaran dari nilai ini dituangkan dalam pasal 33 UUD’45 yang terdiri atas 3 ayat yang kesemuanya merupakan pilar-pilar demokrasi ekonomi yang mendasari mekanisme perekonomian nasional. Di dalam penjelasan pasal 33 UUD’45 dinyatakan sebagai berikut: “Produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pemimpin pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah “koperasi”. Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi, kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasi oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasnya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang seorang”. Dari penjelasan tersebut berarti UUD’45 telah mengamanatkan kepada pemerintah dan aparat birokrasinya agar berkomitmen dan melakukan intervensi dalam perekonomian nasional untuk kemakmuran rakyat banyak. Namun demikian, kenyataannya amanat tersebut belum dapat dilaksankan sebagaimana mestinya dan selayaknya perwujudan keberpihakan negara dan birokrasi kepada rakyat banyak patut terus dipertanyakan. Kecenderungan yang terjadi adalah munculnya keberpihakan negara dan birokrasi kepada perusahaan orang seorang (konglomerat dan multinasional) sehingga mengakibatkan terjadinya penguasaan sebagian besar perekonomian Indonesia di tangan mereka. Meskipun debirokratisasi dan deregulasi terus dilakukan, tetapi keadaan tersebut tetap menguntungkan birokrat dan perusahaan orang seorang, sementara usahaTerbit dalam buku “Menguak Peluang dan Tantangan Administrasi Publik: Bunga Rampai Wacana Administrasi Publik”. Sugiyanto (editor), Jakarta: Lembaga Administrasi Negara, 2002.

1

1

usaha kecil dan koperasi sulit beranjak apalagi bersaing secara sehat. Saragih (1998) menyatakan bahwa belum berkembangnya usaha-usaha kecil dan koperasi di tanah air, selain disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi juga disebabkan oleh kecenderungan oknum birokrat yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan dirinya, keluarganya, maupun kelompoknya, baik secara sendiri-sendiri maupun berkolusi dengan orang lain (pihak luar) yang biasa disebut sebagai korupsi. Kondisi sebagaimana diuraikan di atas, menunjukkan bahwa demokrasi ekonomi sebagaimana di amanatkan UUD’45 terasa berat untuk dapat diwujudkan. Hal ini akan bertambah semakin berat karena liberalisasi dan globalisasi menghendaki berfungsinya sebesar mungkin mekanisme pasar berdasarkan persaingan bebas yang lebih memberikan kesempatan kepada mereka yang memiliki daya saing tinggi, sementara di lain pihak demokrasi ekonomi menuntut diterapkannya semaksimal mungkin prinsip keadilan dalam kesempatan berusaha maupun pemerataan pendapatan. Dengan demikian, peran negara dan birokrasi yang mampu memberikan intervensi yang proporsional dalam mekanisme pasar maupun prinsip keadilan dalam kesempatan berusaha dan pemerataan pendapatan mutlak dibutuhkan. Makalah ini akan mengupas bagaimana seharusnya negara dan birokrasi berperan di dalam ekonomi politik baru (new political economy). Secara berturut-turut akan dibahas teori peran negara dalam bidang ekonomi dan teori kegagalan pemerintah (government failure). Makalah akan dilanjutkan dengan membahas peluang negara dan birokrasi dalam ekonomi politik baru dari perspektif ekonomi politik.

Teori Peran Negara dalam Bidang Ekonomi

Beberapa teori tentang peran negara telah dibahas oleh para ekonom dan teori-teori tersebut jauh melewati seluruh aneka warna politik (political spectrum). Berbagai upaya telah dilakukan dalam rangka mengklasifikasikan teori-teori negara. Douglas C. North (1979) berpendapat bahwa semua teori negara dapat dikategorikan ke dalam 2 (dua) kelompok, yaitu: 1) teori kontrak (a contract theory) dan 2) teori negara pemangsa atau eksploitatif (a predatory or exploitation theory). Teori kontraktarian negara melihat kondisi rasionalitas individu-individu yang masuk ke dalam kontrak sosial bersama indivudu-individu lain yang membentuk sebuah masyarakat komunal (communal society). Buchanan (1994) mengamati bahwa dalam kesepakatan untuk diperintah (agreeing to be governed), secara eksplisit atau implisit, pertukaran kebebasan individual dengan yang lain yang sama-sama menyerahkan kebebasannya dalam pertukaran untuk mendapatkan manfaat yang ditawarkan oleh sebuah rejim dicirikan oleh keterbatasan perilaku (behavioural limits). Di lain pihak, teori negara eksploitatif atau pemangsa senantiasa melihat peluang memperoleh keuntungan dan memfokuskan pada pergulatan transfer-transfer kekayaan yang dibuat serba mungkin oleh eksistensi kewenangan yang terpusat. Negara pemangsa akan menetapkan seperangkat hak milik yang memaksimalkan pendapatan kelompok di dalam kekuasaan tanpa memperhatikan dampaknya pada kemakmuran masyarakat secara keseluruhan.

2

Sehubungan dengan hal tersebut, menarik kiranya pernyataan Alt dan Chrystal yaitu bahwa negara bisa mempunyai peranan protektif atau netral, bisa produktif dan positif tapi bisa juga eksploitatif atau negatif bagi ekonomi2. Dalam teori liberal klasik, negara netral merupakan negara minimalis dengan fungsi yang terbatas pada ketertiban masyarakat, pertahanan dan keamanan. Negara produktif adalah welfare state yang menjalankan kebijakan publik sebagai upaya memperbaiki market failure. Sedangkan negara eksploitatif merupakan bentuk negara yang justru menciptakan kegagalan birokrasi karena pasar kemauan politik bertentangan dengan pasar ekonomi yang sebenarnya. Masih sejalan dengan pemikiran ini, Chang (1994) mengusulkan sebuah klasifikasi tiga pihak (a tripartite of classification) dalam teori negara, yaitu: 1) the autonomous-state approach, 2) the interest group approach, dan 3) the self-seeking bureaucrats approach. The autonomous-state approach memandang negara sebagai kekuatan yang terpisah dan independen dalam masyarakat. Kedua, the interest group approach memandang negara hanya sebagai medium bagi kelompok-kelompok kepentingan ekonomi dan pergerakan sosial yang memperebutkan porsi kebijakan publik dan alokasi yang dihasilkan fiscal reward di antara yang lain. Ketiga, the self-seeking bureaucrats approach secara langsung menyerang konsepsi ‘benevolent state’ dari paradigma kegagalan pasar dengan asumsi bahwa pegawai-pegawai pemerintah berperilaku dalam kerangka asumsi homo economicus3. Dengan kata lain birokrat mencari pemenuhan kebutuhan mereka sendiri secara maksimal daripada kesejahteraan sosial pada umumnya.

Kegagalan Pemerintah (Government Failure)

Wallis & Dollery (1999) menyatakan bahwa kegagalan pemerintah dapat diidentifikasi ke dalam 3 (tiga) bentuk utama. Ketiga bentuk tersebut diuraikan oleh mereka sebagai berikut: pertama, kegagalan legislatif (legislative failure) mengacu pada inefisiensi dalam pengalokasian yang muncul dari banyaknya persyaratan barang publik karena politisi mengejar strategi yang dirancang untuk memaksimalkan kesempatan dalam pemilihan mereka kembali ketimbang merumuskan kebijakan yang akan menghasilakan kebaikan bersama pada masa yang akan datang. Kondisi ini sedang marak terjadi di Indonesia di mana kalangan anggota DPR/MPR sedang gencar-gencarnya mencoba mencari peluang untuk mencapai kepentingan mereka sendiri. Budaya hormatmenghormati, saling asah, asih, dan asuh antara legislatif dan eksekutif (presiden) hampir tidak tampak beberapa waktu belakangan ini. Kedua, bahkan jika kebijakan-kebijakan yang bermanfaat secara sosial dapat diterapkan, kegagalan birokrasi (bureaucratic failure) akan menjamin bahwa kebijakankebijakan tersebut tidak dapat diimplementasikan secara efisien karena pegawai negeri 2

3

Lihat Chriatianto Wibisono, Demokrasi Ekonomi dalam Perspektif Ekonomi Politik, Jurnal Administrasi dan Pembangunan Vol 2, No. 1, 1998. Didik J. Rachbini (1996) mengartikan konsep homo economicus sebagai suatu bentuk kecenderungan manusia untuk memaksimalkan utilitas karena dihadapkan pada keterbatasan sumberdaya yang dimilikinya.

3

kurang cukup insentif untuk melaksanakan kebijakan secara efisien. Besarnya kuantitas PNS yang dimiliki oleh republik ini, bukan berarti jumlah tersebut mampu menerapkan berbagai kebijakan yang telah disepakati. Alasan mendasar yang sangat berbengaruh terhadap ketidakmampuan PNS adalah tidak diterapkannya manajemen kinerja (performance management) secara benar. Dengan tidak diterapkannya manajemen kinerja secara benar berarti konsep kompensasi, karir, dan disiplin tidak dilaksanakan secara benar. Ilustarsi semacam ini dapat menunjukkan betapa manajemen sumberdaya manusia di kalangan instansi pemerintah dalam keadaan sangat kronis. Bentuk ketiga kegagalan pemerintah terletak pada pemburu rente (rent-seeking) karena sebenarnya intervensi pemerintah selalu menciptakan transfer kemakmuran dan orangorang yang menjadi penyedia sumberdaya terbatas tersebut dipekerjakan dalam penciptaan kemakmuran sampai pada pendistribusian kembali kemakmuran yang ada berdasarkan selera mereka. Kondisi semacam ini, para birokrat dan para pengambil keputusan bukan lagi sebagai pihak-pihak yang bebas dari kepentingan pribadi, mereka bukan pihak netral yang berpihak pada kepentingan publik. Sebaliknya para birokrat dan para pengambil keputusan bertindak sebagai pelaku-pelaku tersendiri dengan tujuan-tujuan untuk melayani kepentingan mereka. Dalam kaitannya dengan pemburu rente ekonomi di Indonesia, Arief (1998) menengaskan bahwa perbuatan pencarian dan pemupukan rente ekonomi pemerintah bukan disebabkan oleh rendahnya pendapatan mereka, tetapi lebih berakar pada sikap budaya feodal yang telah dimanifestasikan dalam bentuk sikap budaya sang penguasa dan golongan priyayi yang mendukungnya. Sebagian kelompok birokrat dan priyayi menjalankan kekuasaan atas nama sang penguasa melalui suatu sistem pemerintahan yang sangat bersifat patrimonial.

Ekonomi Politik Baru

Pengertian ekonomi politik baru (new political economy) mulai dikaji sejak dasa warsa 1970-an. Dengan pakar-pakar seperti Anthony Downs, Mancur Olson, James Buchanan, Gordon Tullock, dan Douglas North. Perspektif teori New Political Economy (NPE) dikenal dengan sebutan Rational Choice atau Public Choice. Perspektif NPE berupaya untuk menjembatani ilmu ekonomi denga fenomena dan kelembagaan non pasar (nonmarket institutions) pada bidang-bidang di luar ekonomi. Dalam membahas NPE layak kiranya mengutip sebuah buku yang bertitel ‘Politics and Policy Making in Developing Countries’, karya Gerald Meier yang menguraikan proses perumusan dan pengambilan keputusan kebijakan publik yang mana terbagi dalam dua model, yaitu 1) society-centered forces dan 2) state-centered meliputi teknokrat dan birokrat4. Pada society-centered forces model maka masyarakat berada dalam kelas, interest group dan partai politik. Masyarakat sebagai voter, memegang peranan penting dalam mempengaruhi para pengambil keputusan. Sebaliknya dalam state-centered forces model, masyarakat tidak memiliki peran signifikan dalam pengambilan keputusan. Sementara itu di pihak lain, Stephan Haggard juga menulis ‘Pathways from 4

Lihat Christianto Wibisono (1998), op.cit.

4

the Periphery: The Politics of Growth in the Newly Industrializing Countries’. Kedua pakar dan guru besar ekonomi internasional tersebut menyajikan gambaran yang komprehensif mengenai kebijakan publik di negara maju dan berkembang yang dibandingkan secara empiris dengan pola perumusan kebijakan di negara maju yang telah mapan sistem politik dan demokrasinya5. Dari tulisan kedua pakar tersebut, dapat disimpulkan sementara bahwa ekonomi politik baru lebih dapat dirasakan dalam negara yang berkiblat pada masyarakat (societycentered forces) dan sulit diterapkan pada negara-negara berkembang. Menurut Olson (1982), hal ini mungkin dapt disebabkan oleh keberadaan rent-seeker yang tidak akan dengan suka rela melepaskan kepentingannya yang telah mapan untuk memperbaiki kepentingan umum. Sementara itu Buchanan et al. (1980) mengemukakan bahwa proses politik dalam suatu negara bisa merupakan suatu proses yang disebut sebagai a complex competitive game. Dalam proses politik ini berbagai pelaku ekonomi berusaha mempertahankan dan bahkan memperluas kepentingan mereka yang kebanyakan saling bertentangan. Para pelaku ekonomi kuat dan memiliki dana yang banyak dapat melakukan lobbying untuk mempengaruhi para policy maker. Hubungan yang kuat antara rent-seeker dengan policy makers tersebut tercipta suatu koalisi, yang dalam pemikiran Olson (1982) dicetuskan dalam konsep distributional coalition. Koalisi yang dibangun merupakan jejaring sejenis kartel yang bertujuan untuk meraup rente ekonomi semaksimal mungkin bagi anggota-anggota kartel tersebut. Di pihak lain Mitchel & Simmons (1994) telah mengembangkan model representative democracy (Lihat Gambar 1). Model politik ini pada esensinya mengurangi kompleksitas kehidupan politik dalam masyarakat industrialisasi secara kontemporer menuju pada mekanisme politik untuk mengalokasikan sumberdaya terbatas yang sejalan dengan mekanisme pasar.

Peluang Negara dan Birokrasi dalam Ekonomi Politik Baru Kegagalan pasar (market failure) tejadi karena beberapa aspek mendasar yang harusnya dipenuhi –keseimbangan pelaku-pelaku ekonomi, keadilan kesempatan berusaha, kejelasan aturan main- belum dapat disediakan. Rachbini (1996) menyatakan bahwa mekanisme pasar bukanlah problem solver dalam segenap masalah-masalah ekonomi, dan tidak jarang pasar menimbulkan dampak eksternalitas.

5

Lihat Christianto Wibisono (1998), ibid.

5

Gambar 1 Public Choice Model of Politics Security Maximation BURAEUCRATS

Utility Maximation

Profit Maximation

CONSUMERS

PRODUCERS

POLITICIANS

Vote Maximation Sumber: W.C. Mitchel and R.T. Simmons (1994), Beyond Politics, Westview Press, SF. dalam Joe Wallis and Brian Dollery (1999) Sementara itu kegagalan pemerintahan (government failure) dapat dipengaruhi oleh beberapa aspek mendasar diantaranya adalah kegagalan legislatif, birokrasi, dan keberadaan rent-seeking. Kedua kubu tersebut –kegagalan pasar dan kegagalan pemerintahan- pada dasarnya dapat dijadikan peluang oleh negara untuk memperbaiki kondisi keduanya. Untuk melihat konseptualisasi peranan negara sesuai dengan kapabilitasnya, World Bank Development Report (1997) mengilustrasikan dalam Gambar 2. Sebagaimana telah diuuraikan di muka bahwa negara memiliki potensi untuk bertindak positif maupun negatif dalam bidang ekonomi. Oleh karena itulah dalam kerangka ekonomi politik baru peran negara dan birokrasi perlu diperbaiki dan dioptimalkan sehingga ekonomi politik yang dihasilkan dapat memberikan manfaat yang besar kepada rakyat banyak. Dalam konteks ini Rachbini (1996) menyatakan bahwa tugas-tugas birokrasi dalam bidang ekonomi harus mempertimbangkan perspektif teori-teori ekonomi yang mengarah pada pasar, efisiensi, pencapaian keuntungan yang optimal, dan kesejahteraan anggota masyarakat secara umum. Alasan-alasan pentingnya peran pemerintah dalam sistem ekonomi pasar dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Dengan adanya market failure dalam sistem ekonomi, negara memiliki peluang untuk berperan dalam mendukung mekanisme pasar secara lebih efektif. Efektivitas mekanisme pasar yang tercipta dapat memberikan peluang terhadap tercapainya kesejateraan para pelaku pasar secara lebih baik. Yang perlu mendapat perhatikan secara seksama adalah sejauhmana negara mampu berperan sesuai dengan kapasitasnya agar eksistensi pasar dapat meningkat lebih baik bukannya justru bertambah buruk.

6

Gambar 2 Peranan Negara

Minimal function

Intermediate function

Addressing market failure Providing pure public goods: Defense Law and Order Property Right Macroeconomics management Public Health Addressing externalities:

Improving Equity Protecting the poor: Antipoverty programs Disaster relief

Basic Education Environmental protection

Utility regulation Antitrust policy

Regulating monopoly:

Overcoming imperfect information: Insurance (health, life, pensions) Financial regulation Consumer protection

Providing social insurance: Redistribution pensions Family allowan ces Unemployment insurance

Coordinating Redistribution: private activity: Fostering Asset markets redistribution Cluster initiatives Sumber: World Bank Development Report (1997) dalam Wallis & Dollery (1999) Activist function

2. Untuk dapat memasuki ekonomi pasar secara aman –tidak berdampak buruk terhadap pasar itu sendiri- pemerintah perlu memiliki basis teori tentang pemerintah dan perlu mengetahui bagaimana seharusnya berperilaku dalam sistem ekonomi pasar. Kondisi demikian bukan saja akan sangat membantu publik dalam menumbuhkan sistem ekonomi tetapi juga dapat mengembalikan kredibilitas pemerintah di dalam sistem ekonomi pasar. 3. Tidak bekerjanya pasar secara sempurna dan minimnya informasi dapat menyebabkan ketidakadilan dalam pengalokasian sumber-sumber ekonomi. Dalam konteks ini pemerintah memiliki peran yang sangat penting, karena pasar tidak mampu menciptakan distribusi sumber-sumber ekonomi secara adil dan merata, dan bahkan lebih jauh pasar tidak mampu membimbing para pelaku pasar bertindak berdasarkan etik dan moral.

7

Referensi Arief, Sritua. 1998. Teori dan Kebijaksanaan Pembangunan, PT. Pustaka CIDESINDO, Jakarta. Buchanan, James M. et al. (eds). 1980. Toward a Theory of Rent-Seeking Society, Texas A & M University, College Station, Texas. Jurnal Administrasi dan Pembangunan Vol 2, No. 1, 1998. Olson, Mancur. 1982. The Rise and Decline of Nations, Yale University, New Haven, Connecticut. Rachbini, Didik J. 1996. Ekonomi Politik: Paradigma, Teori dan Perspektif Baru, CIDES-INDEF, Jakarta. Wallis, Joe and Brian Dollery. 1999. Market failure, government failure, leadership and public policy, St. Martin’s Press, Inc., NY.

8