PERANAN TERNAK KERBAU DALAM MASYARAKAT ADAT TORAJA DI SULAWESI

Download Suku Toraja merupakan salah satu etnik di. Sulawesi Selatan memiliki tradisi budaya upacara kematian “Rambu solo”. Rambu solo adalah upacar...

0 downloads 356 Views 40KB Size
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2010

PERANAN TERNAK KERBAU DALAM MASYARAKAT ADAT TORAJA DI SULAWESI SELATAN (The Role of Buffalo in Culture Toraja Ethnic in South Sulawesi) MATHEUS SARIUBANG1, R. QOMARIYAH1 dan L. KRISTANTO2 1

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan, Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 17,5, Makassar 2 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Timur, Jl. PM Noor Sempaja, Samarinda 75119

ABSTRACT Peoples of Tana Toraja ethnic is located 350 km from the capital of South Sulawesi province with a population of approximately 450 000 inhabitants, located above 700 – 1500 meter DPL (above sea level), and is popular as a major tourism attraction area in eastern Indonesia. In addition, the area is famous as a tourist destination because it has beautiful scenery, unique customs, including the rambu solo or party of funeral ceemonial, which in the event size is the number of buffalo are sacrificed. Ceremony “Rambu Solo” can be implemented based on the social status of the deceased body so that the big party can only be conducted among thetribe nobility, and the party's most high-called “Rapasan Sapu Randanan” where the party consuming one week and spend hundreds to thousands of buffaloes and pig. The purpose of writing this paper is to introduce the role of indigenous buffaloes in the Toraja in South Sulawesi. Key Words: Tana Toraja, Buffallo, “Rambu Solo” ABSTRAK Masyarakat adat Tana Toraja terletak 350 km dari ibukota Propinsi Sulawesi Selatan dengan jumlah penduduk sekitar 450 000 jiwa, terletak diatas ketinggiaan 700 – 1500 m DPL, dan terkenal sebagai daerah pariwisata utama dibagian Indonesia timur. Selain itu daerah ini terkenal sebagai daerah tujuan wisata karena memiliki pemandangan yang indah, adat istiadat unik termasuk pesta “Rambu solo” atau pesta adat kematian, dimana pada acara ini ukurannya adalah banyaknya kerbau yang dikurbankan. Upacara kematian “Rambu Solo” ini dapat dilaksanakan berdasarkan status sosial yang meninggal sehingga pesta yang besar hanya dapat dilaksanakan kalangan atas saja, dan pesta yang paling tinggi disebut “Rapasan Sapu Randanan” dimana pestanya berlangsung 1 minggu dan menghabiskan ratusan ekor kerbau dan ribuan ekor babi. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memperkenalkan peranan ternak kerbau dalam masyarakat adat Tana Toraja di Sulawesi Selatan. Kata Kunci: Tana Toraja, Kerbau, “Rambu Solo”

PENDAHULUAN Suku Toraja merupakan salah satu etnik di Sulawesi Selatan memiliki tradisi budaya upacara kematian “Rambu solo”. Rambu solo adalah upacara kematian untuk orang yang sudah meninggal. Upacara kematian ini, berbeda dengan upacara-upacara kematian lainnya. Upacara ini diadakan dengan sangat meriah dan mewah layaknya sebuah pesta akbar. Namun upacara kematian ini tidak sedikitpun melambangkan upacara kematian tetapi lebih berupa pesta perayaan. Karena itu upacara kematian ini sering disebut pesta adat.

122

Mereka meyakini bahwa dengan mengadakan upacara adat ini roh si mati dapat diiring sampai mencapai Nirwana keabadian. Pada upacara kematian ini penggunaan simbol-simbol sangat berperan penting, salah satunya adalah penggunaan simbol kerbau sebagai syarat utama dalam upacara kematian Rambu Solo. Kata toraja berbagai versi antara lain berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas", versi lainnya mengatakan diambil dari pimpinan rombongan dalam suatu kapal dari negeri Cina pada saat perang saudara disana bernama Toraya yang terdampar dipantai timur pulau

Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011

Sulawesi. Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Akan tetapi ada satu hal yang memegang peranan yang cukup penting dalam adat istiadat masyarakat suku Toraja yakni kerbau. Kerbau adalah binatang paling penting bagi orang Toraja, salah satu etnis yang berada di Pulau Sulawesi Indonesia. Bagi etnis Toraja, kerbau adalah binatang yang paling penting dalam kehidupan sosial mereka. Kerbau atau dalam bahasa setempat tedong tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Selain sebagai hewan untuk memenuhi kebutuhan hidup sosial, ritual maupun kepercayaan tradisional, kerbau juga menjadi alat takaran status sosial, dan alat transaksi. Dari sisi sosial, kerbau merupakan harta yang bernilai tinggi bagi pemiliknya. Tidak mengherankan bila orang Toraja sangat sayang dengan kerbau mereka. Hal ini dapat dilihat dari percakapan sehari-hari, pada saat hendak bertransaksi, mengadakan pesta, dalam menjalankan ibadah keagamaan. Untuk menghormati orang tua yang telah meninggal sebagai pertanda hormat pada yang meninggal atas jasa-jasa semasa hidupnya. Sama seperti adat-adat daerah lain yang menggunakan simbol sebagai perlambang atau tanda dalam suatu upacara adat. Begitu juga masyarakat tanah Toraja yang menggunakan simbol kerbau sebagai tanda mereka. Mereka menyakini bahwa kerbau inilah yang nantinya akan membawa roh orang mati yang dipestakan menuju nirwana alam baka (roh si mati menunggangi kerbau). Kerbau di keseharian kehidupan masyarakat Toraja merupakan hewan yang sangat tinggi maknanya dan dianggap suci juga melambangkan tingkat kemakmuran seseorang jika memilikinya karena harga satu ekor kerbau bisa mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Simbol adalah sesuatu yang biasanya merupakan “tanda” kelihatan yang menggantikan gagasan atau obyek. Dalam arti yang tepat simbol adalah “citra” atau imej yang menunjuk pada suatu tanda indrawi dan realitas supra indrawi, dan dalam suatu komunitas tertentu tanda-tanda indrawi langsung dapat

dipahami, misalnya sebuah tongkat melambangkan wibawa tertinggi. Simbolisme dipakai sebagai alat perantara untuk menguraikan sesuatu. Simbolisme juga sangat berperan dalam kebudayaan tanah Toraja. Simbolisme dipakai sebagai alat tukar maupun sebagai mas kawin misalnya untuk menggadaikan sawah digunakan standar kerbau, atau pun melamar gadis digunakan kerbau sebagai ukuran yang sekaligus menunjukkan strata sosial gadis yang dilamar, tergantung jumlah kerbau yang ditentukan sebagai mas kawin yang akan dibayar bila terjadi perceraian. Keseharian masyarakat Tana Toraja, Sulawesi Selatan, tidak bisa dipisahkan dengan hewan kerbau. Ini berlangsung hingga sekarang. Bahkan, sebelum uang dijadikan alat penukaran transaksi modern, hewan bertanduk ini sudah kerap ditukar dengan benda lain. Selain memiliki nilai ekonomis tinggi, hewan bertubuh tambun ini juga melambangkan kesejahteraan sekaligus menandakan tingkat kekayaan dan status sosial pemiliknya di mata masyarakat. Kerbau di Tana Toraja memiliki ciri fisik yang khas dibandingkan dengan daerah lain, terutama pada warna kulitnya yang belang menyerupai sapi. Orang Toraja biasa menyebut jenis kerbau ini Tedong Bonga. Lantaran kulitnya yang aneh, maka kerbau belang memiliki arti penting dalam setiap ritual pesta kematian atau Rambu Solo. Kerbau ini diperlakukan secara khusus. Semenjak kecil sehingga dianggap suci sebagai hewan kurban pada upacara Rambu Solo. Tak salah jika harga kerbau setengah albino ini menjadi mahal. Harga seekor hewan yang masuk golongan kerbau lumpur (Bubalus bubalis) itu kira-kira Rp. 50 – 175 juta, tergantung kelasnya yang dinilai dari warna belang yang simetris dan jumlah tubuh yang belang maupun warna belang yang bersih dan terang. Selain kerbau belang, kerbau biasa pun juga akan dikurbankan dalam ritual Rambu Solo, dengan harga bervariasi tergantung penilaian eksterior antara lain jumlah dan letak posisi pusar sampai warna bulu yang dianggap jelek yang disebut “sambao” atau hamba kerbau dengan harga yang paling murah. Dahulu kerbau hanya sebagai hewan yang biasa-biasa saja yang dipakai untuk menggarap atau membajak sawah dan digunakan sebagai alat tarnsportasi rakyat. Kerbau sangat

123

Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011

membantu didalam kelangsungan hidup masyarakat. Namun seiring bergesernya nilainilai peradaban kerbau semakin dihargai karena memiliki andil besar dan berjasa didalam membantu kegiatan kerja juga kelangsungan hidup masyarakat Toraja. Selang waktu berlalu akhirnya penghargaan kepada hewan kerbau ini semakin lama semakin besar dan hewan kerbau ini didaulat dan diangkat sebagai simbol masyarakat tanah Toraja yang dianggap sangat membantu kelangsungan hidup masyarakat Tana Toraja, karena membantu mengolah dan menyuburkan tanah persawahan mereka sebagai lumbung hidup mereka. Ternak kerbau sebagai simbol status sosial dalam tradisi “Rambu Solo” Upacara kematian “Rambu Solo” ini dapat dilaksanakan berdasarkan status sosial yang meninggal sehingga pesta yang besar hanya dapat dilaksanakan kalangan atas saja, dan pesta yang paling tinggi disebut “Rapasan Sapu Randanan” dimana pestanya berlangsung 1 minggu dan menghabiskan ratusan ekor kerbau dan ribuan ekor ternak Babi. Pesta semacam ini dapat menghabiskan dana sampai puluhan milyar rupiah, dan konon kabarnya sebelum masyarakat Toraja mengenal peri kemanusiaan hamba yang meninggal ikut dikorbankan 1 orang yang akan mengawal yang meninggal sampai di ”Puya” atau Nirwana. Tempat pelaksanaan pesta semacam ini umumnya dilaksanakan di suatu lapangan yang disebut “rante” dimana pada tempat ini dibangun pondok-pondok yang dapat menampuing tamu selama pesta berlangsung. Tamu yang datang tergantung dari jumlah kerabat dan diikuti sanak saudara yang jumlahnya bisa mencapai ribuan sampai puluhan ribu orang. Pada lokasi ini juga dilengkapi dengan gelanggang tempat adu kerbau dan acara adu kerbau ini merupakan rangkaian upacara adat yang paling digemari para tamu dan undangan termasuk para wisatawan domestik dan asing. Dalam dunia modern sekarang ini yang membuat pesta adat semakin ramai dan pengorbanan kerbau semakin banyak adalah karena ada anggapan bahwa siapa yang mampu melaksanakan pesta adat yang besar maka dia dan keluarganya akan terangkat status

124

sosialnya, sedangkan yang tidak mampu melaksanakan pesta adat yang besar status sosialnya terabaikan bahkan dianggap turun kelas, sehingga pesta adat dewasa ini dapat dianggap sebagai pertarungan status sosial dalam masyakat adat Toraja. Pelaksanaan pesta adat merupakan pelayanan sosial terhadap masyarakat dimana hewan yang disembelih atau dipotong dagingnya dibagikan kepada tamu-tamu, seluruh tetangga dan pemuka masyarakat serta tokoh agama dalam satu lembang/desa bahkan kadang dalam satu kecamatan. Pelaksanaan Rambu Solo lainnya dapat dilaksanakan turun satu tingkat dengan pesta diatas dengan pemotongan kerbau puluhan sampai ratusan kerbau. Dan acara yang paling kecil dengan hanya mengorbankan satu ekor kerbau dan acaranya hanya berlangsung satu hari. Dalam pelaksanaan pesta adat salah satu acara yang disukai para tamu dan para turis adalah nyanyian pujaan terhadap orang yang meninggal yang disebut ”Ma,badong” yang menyanyikan status sosial dan kebaikan atau jasa-jasa almarhum atau almarhumah semasa hidupnya. Pemotongan kerbau pada pesta Rambu solo dimaksudkan bahwa roh almarhum atau almarhumah menunggangi salah satu kerbau yang teristimewa (kerbau belang atau bonga) dan kerbau-kerbau hitam lainnya menjaga dan mengiringi, perjalanan roh si mati menuju alam nirwana keabadian dan juga semakin banyak kerbau yang dikurbankan semakin cepat dosa si mati terhapuskan dan mendapat tempat di sisi-Nya, dan makin banyak kerbau yang dikurbankan juga akan melambangkan kelayakan kehidupan sang mendiang di alam baka. Dan banyaknya kerbau yang dikurbankan selain menjaga keselamatan roh si mati menuju alam nirwana juga secara tidak langsung akan meninggalkan ketentraman batin bagi seluruh keluarga yang ditinggalkan didunia. Bahkan dipercaya bahwa kalau arwahnya sudah disucikan maka dia akan menjadi orang suci yang selalu mengawasi dan menjaga anak cucunya untuk selalu berbuat baik, mereka percaya bahwa rezeki dan hukuman selama masih hidup di dunia akan selalu diberikan oleh leluhur yang sudah hidup suci di nirwana. Klasifikasi kerbau berdasarkan penampilan eksterior dalam masyarakat adat Tana Toraja. Secara umum orang Toraja membuat klaster

Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011

kerbau berdasarkan penampilan eksterior antara lain: 1. Tedong Saleko (Kerbau belang), Merupakan jenis Kerbau yang sempurna belangnya dan posisi belangnya simetris diseluruh badan kerbau, sehingga memiliki nilai status sosial yang sangat tinggi dan nilai jualnya bisa mencapai Rp. 300.000.000 per ekor. 2. Tedong Bonga (kerbau belang), memiliki warna belang di sebagian besar tubuhnya, termasuk yang belangnya hanya sebagian kecil dibadannya. Nilai jualnya biasanya Rp. 50.000.000 – 175.000.000 tergantung distribusi belang pada tubuh kerbau. 3. Tedong Pudu, umumnya berbadan kekar dan warna hitam. Kerbau jenis ini sangat kuat dalam bertarung. Pada acara adu kerbau pada pesta kematian, kerbau pudu umumnya tampil sebagai petarung yang kuat. Harga jualnya sekitar Rp. 30.000.000 – 100.000.000. 4. Tedong Balian, kerbau betina kebiri yang memiliki panjang tanduk kurang lebih 2,5 meter. Nilai jualnya kadang lebih tinggi daripada kerbau belang Rp. 50.000.000 – 100 000.000. 5. Tedong Lotong Boko, kerbau ini memiliki ciri ciri warnanya kulitnya putih tetapi di pundaknya terdapat warna hitam yang simetris antara kiri dan kanan, harga jualnya Rp. 50.000.000 – 80.000.000. 6. Tedong sokko, kerbau ini memiliki tanduk yang arahnya turun ke bawah dan hampir bertemu dibagan rahang bawah. Harganya antara Rp. 40.000.000 – 70.000.000. 7. Tedong Tekken langi, kerbau ini memiliki tanduk satu mengarah keatas dan yang satunya menghadap kebawah. Harganya sama dengan tedong sokko yaitu antara Rp. 40.000.000 – 70.000.000. 8. Tedong Todi, kerbau berwarna hitam tetapi di kepalanya (jidat) ada warna putih. Nilainya jualnya antara Rp. 15.000.000 – 30.000.000. 9. Tedong Sambao, warna buluhnya suram tidak hitam dan tidak merah dan lazim disebut hambah kerbau. Merupakan kerbau yang paling murah. Harganya antara Rp. 6.000.000 – 10.000.000. 10. Tedong Bulan, kerbau ini keseluruhan kulitnya berwarna putih, menurut legenda setempat jika seluruh tubuhnya berwarna

putih (termasuk matanya) maka kerbau ini tidak akan bisa hidup, dan masih banyak lagi jenis kerbau yang sangat dihargai dan dihormati oleh masyarakat Toraja, dan tentu juga kerbau tersebut memiliki nilai jual yang tinggi dibandingkan dengan kerbau yang dijumpai. Kerbau sebagai ternak aduan Agar tubuh kerbau menjadi kekar dan kuat, susu dan belasan butir telur ayam menjadi santapannya sehari-hari. Kekuatan dan postur tubuhnya akan sangat berpengaruh pada nilai jual serta daya tempur kerbau di arena adu kerbau. Kerbau yang sering muncul sebagai pemenang memiliki penggemar tersendiri di arena pertandingan yang digunakan sebagai ajang hiburan rakyat serta pertaruhan uang antarwarga tersebut (Oase.kompas). Apabila seseorang yang meninggal dan jiwanya keluar dari jasadnya dan kemudian masuk dalam phase kehidupan baru di alam puya (alam baka), dan bertemu dengan penguasa alam puya bernama Puang lalodongna, yang mendapat kekuasaan penuh dari Puang matua (Tuhan), untuk mengatur dan menertibkan kehidupan arwah-arwah manusia yang sudah meninggal. Pada saat arwah si mati menghadap puya, ia akan ditanya sudah seberapa baikkah upacara kematianmu dilaksanakan dengan baik sesuai aturan yang berlaku? Yaitu dengan banyaknya kurban kerbau-kerbau yang dipersembahkan. Jika ternyata belum selesai dan tidak sesuai aturan yang benar maka arwah si mati tidak diperbolehkan memasuki puya (alam baka) dan harus kembali ke dunia semula dan hidup dalam dunia antara kematian dan kehidupan (maya) dan arwah-arwah yang ditolak inilah yang bergentayangan dan mengganggu manusia disekelilingnya. Konsep ajaran orang Toraja tak melihat kematian sebagai sesuatu yang harus ditakuti. Bagi mereka, kematian adalah bagian dari ritme kehidupan yang wajib dijalani. Walau boleh ditangisi, kematian juga menjadi kegembiraan yang membawa manusia kembali menuju surga, asal-muasal leluhur. Dengan kata lain, mereka percaya adanya kehidupan setelah kematian. Di dalam upacara kematian Rambu Solo kesedihan tidak terlau tergambar di wajah-wajah keluarga yang berduka, sebab

125

Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011

mereka punya waktu yang cukup untuk mengucapkan selamat jalan kepada si mati, sebab jenazah yang telah mati biasanya disimpan dalam rumah adat (tongkonan), disimpan bisa mencapai hitungan tahun. Maksud dari jenazah disimpan ada beberapa alasan: 1). Menunggu sampai keluarga bisa atau mampu untuk melaksanakan upacara kematian Rambu Solo, 2). Menunggu sampai anak-anak dari si mati datang semua untuk siap menghadiri pesta kematian ini. Karena mereka menganggap bahwa orang yang telah mati namun belum diupacarakan tradisi Rambu Solo ini dianggap belum mati dan dikatakan hanya sakit, karena statusnya masih “sakit“. Orang yang sudah meninggal tadi harus dirawat dan diperlakukan sebagai orang yang masih hidup. Pada masyarakat pemeluk Aluk Todolo (agama kepercayaan masyarakat terdahulu), juga pada sebagian keluarga yang telah menjadi kristen atau katolik, perlakuan tadi termasuk menyediakan makanan, minuman, rokok dan sirih. Pihak keluarga juga harus selalu menjaga agar “si sakit“ tidak mendapat gangguan dalam bentuk apapun, termasuk menjaganya pada malam hari sampai pada diupacarakan baru bisa dikatakan “mati atau meninggal”. Karena lamanya jenazah disimpan dan ada bersama diantara orang-orang hidup dalam keluarga maka sedikit demi sedikit aroma kesedihan itu terkikis dan akhirnya sampai pada upacara kematiannya kesedihan tidak terlalu tergambar pada wajah-wajah keluarga yang berduka. KESIMPULAN Kerbau yang dikorbankan dalam pesta Rambu Solo sesungguhnya hanyalah sebuah simbol. Simbol dari sebuah tradisi yang turun temurun. Sebab, dalam pelaksanaan upacara ini, ada yang lebih penting, yaitu makna yang terkait erat dengan kepercayaan masyarakat. Bagi sebagian orang, tradisi ini bisa jadi dinilai sebagai pemborosan. Sebab, demikian besar biaya yang harus dikeluarkan untuk penyelenggaraannya. Bahkan, ada yang sampai tertunda berbulan-bulan untuk mengumpulkan biaya pelaksanaan upacara ini; bahkan ada yang menyatakan, orang Toraja mencari kekayaan hanya untuk dihabiskan pada pesta kematian.

126

Pandangan lain menyatakan, sungguh berat acara itu dilaksanakan. Sebab, orang yang kedukaan justru harus mengeluarkan biaya besar untuk pesta. Untuk diketahui, hewanhewan yang dikorbankan dalam upacara itu, ternyata bukan hanya dari kalangan keluarga yang meninggal, tetapi juga merupakan bantuan dari semua keluarga dan kerabat. Selain itu, hewan yang dikorbankan itu juga dibagi-bagikan, termasuk disumbangkan ke rumah-rumah ibadah. Pesta ini sesungguhnya menjadi simbol dari upaya melestarikan tradisi tolong-menolong dan gotong-royong. Bagi masyarakat Toraja, berbicara pemakaman bukan hanya berbicara upacara, status, jumlah kerbau yang dipotong, tetapi juga soal malu (siri'). Makanya, upacara Rambu Solo juga terkait dengan tingkat stratifikasi sosial. Dulunya, pesta meriah hanya menjadi milik bangsawan kelas tinggi dalam masyarakat ini. Akan tetapi, sekarang mulai bergeser. Siapa yang kaya, itulah yang pestanya meriah. Dalam upacara Rambu Solo ini simbol kerbau berperan sangat penting didalam membentuk konsep kelas sosial atau strata sosial di mata masyarakat Toraja dan masyarakatnya mempercayai bahwa dengan banyaknya kerbau-kerbau yang dikurbankan akan lebih cepat mengantarkan roh si mati menuju nirwana keabadian, karena kerbaukerbau inilah yang akan mengiringi perjalanan roh si mati menuju alam baka. Dan sama sekali tidak ada kesenjangan sosial pada masyarakat kalangan bawah yang tidak dapat melaksanakan upacara Rambu Solo ini karena dengan adanya upacara kematian ini juga membawa berkah bagi rakyat kalangan bawah karena mendapat bagian daging dari kerbau-kerbau yang dipotong atau disembelih. Jadi dengan adanya kerbau sebagai simbol adat dengan kehidupan masyarakat Toraja dan terlebih dalam ritual kematian Rambu Solo ini dapat menjelaskan eksistensi dari penggelar ritual ini dengan mengedepankan kerbau sebagai simbol status dari pemiliknya. DAFTAR PUSTAKA ABDUL, A.S. 2004. Simbolisme Tradisional Toraja. Yogyakarta.

Seminar dan Lokakarya Nasional Kerbau 2011

BADRIE, H.M.G. 1997. Aluk todolo dan tradisi simpan mayat di Tana Toraja. Bandar Gunung Pesagi, Lampung.

SAID, A.A. 2004. Simbolisme unsur visual rumah tradisional Toraja dan perubahan aplikasinya pada desain modern.

LIPUTAN 6 SCTV. 2005. Makna Kerbau di Tana Toraja. Jakarta.

SUARA MERDEKA. 2005. Upacara Kematian Rambu Solo. Jakarta.

PASTOR, B.S. dan U.S.D.R. MARDI. 2005. Tradisi Aluk Todolo Tana Toraja. Yogyakarta.

YEHUDA PANDU. Yogyakarta.

2004.

Pemerhati

Budaya.

127