PERILAKU POLITIK EELIT & HUBUNGAN KYAI - SANTRI

Download Ulama” di Pondok Pesantren Mambaul Maarif terhadap Pemilihan Gubernur Jawa Timur. 2013. Calon pasangan gubernur .... politik Kyai beserta ...

0 downloads 585 Views 152KB Size
(Perilaku Politik Eelit & Hubungan Kyai - Santri) Dukungan Politik Pondok Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar Jombang Terhadap Pilgub Jatim 2013 Hendro Fadli Sari 0710130081 Abstrak Salah satu unsur penting dalam demokrasi adalah adanya Pemilu yang langsung, bebas, jujur dan adil. Tentu saja tujuannya adalah untuk memilih pemimpin dengan cara yang lebih demokratis. Penelitian ini membahas tentang peran dan dukungan politik Kyai “Nahdlatul Ulama” di Pondok Pesantren Mambaul Maarif terhadap Pemilihan Gubernur Jawa Timur 2013. Calon pasangan gubernur dan wakil gubernur yang tampil merupakan dua sosok yang mempunyai latar belakang yang sama, yaitu Nahdlatul Ulama. Dengan adanya tarik menarik dukungan politik itu, timbul gesekan diantara pimpinan pondok pesantren. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa efektif peran Kyai terhadap perolehan suara di sekitar Pondok Pesantren Mambaul Maarif. Pola Traditional Authority Relationship yang ada disekitar lingkungan pesantren seringkali dimanfaatkan oleh kandidat untuk memperoleh dukungan sebanyak-banyaknya. Kata Kunci :Pilgub, Nahdlatul Ulama, Pondok Pesantren, Perilaku politik Kyai Pendahuluan Pertumbuhan demokrasi yang semakin mapan di Indonesia, mendorong beberapa organisasi kemasyarakatan ataupun organisasi lainnya semakin tumbuh subur.Demokrasi yang semakin mapan ternyata tidak hanya mengakibatkan dampak positif bagi penganutnya. Nahdlatul Ulama misalnya, sebagai organisasi keagamaan Islam tebesar di Indonesia bahkan di dunia, otomatis semua sikap dan pernyataan yang dikemukakan oleh para elit-elit Nahdlatul Ulama telah menjadi pertimbangan utama bagi para pengambil keputusan (pemerintah). Dalam konteks latar belakang kesejarahannya, ulama-ulama yang tergabung dalam organisasi NU memang tidak bisa terlepas dari berbagai dinamika politik, mulai dari soal pemilihan umum maupun hingga keanggotaan partai politik. Tidak hanya permasalahan dinamika kehidupan politik yang terjadi di tubuh organisasi jam’iyah ini, namun semua sikap-sikap yang dilakukan oleh NU sendiri dalam menerapkan sebuah perkembangan politik di Indonesia, cenderung telah terjun dan terlibat praktis di dalamnya, yaitu dengan berbagai cara melalui beberapa orang-orang NU yang masuk ke partai politik maupun sebuah pernyataanpernyataan bebrapa tokoh ulama yang merupakan sebuah bentuk representasi dari organisasi

1

Penulis merupakan mahasiswa S1 Ilmu Politik, FISIP Universitas Airlangga angkatan 2010. Email : [email protected]

NU. Dengan keterlibatan NU dalam politik praktis, otomatis mengundang beberapa konflik yang berkepanjangan di tubuh NU sendiri. Namun seiring dengan perkembangan demokrasi maupun politik di Indonesia, terutama pada saat menjelang waktu pemilu, beberapa ulama-ulama NU atau bahkan hampir semuanya, bisa dikatakan tidak bisa terlepas dari dinamika politik praktis baik secara langsung atau tidak langsung. Sebagai contoh misalnya, saat menjelang pemilu tahun 1977, dimana saat itu NU masih berbentuk partai politik dengan cara bergabung dengan PPP. Ada peristiwa menarik, dimana seorang ulama besar yaitu Pengasuh Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang, KH. Musta’in telah menyatakan diri untuk mendukung Golkar. Adanya perbedaan pilihan politik serta dukungan politik pada Ulama ataupun tokoh-tokoh besar NU. Seakanakan telah menjadi style atau ciri khas politik ulama NU yang berulang kali menghiasi berita politik di Indonesia hingga yang terjadi pada beberapa pemilu maupun pilkada di beberapa daerah saat ini. Akhirnya karena perpecahan umat tersebut semakin meresahkan keutuhan internal NU, untuk menyatukan suara tersebut dibuatlah suatu bentuk usaha atau pendekatan suara kaum Nahdliyin dengan cara membentuk Partai Kebangkitan Bangsa menjelang pemilu tahun 1999 di akhir era pemerintahan Orde Lama dengan Gus Dur sebagai pendirinya. Pendeklarasian PKB sebagai partai politik yang berbasis masa NU dan di bidani PBNU tersebut, akan menggeser paradigma lama dimana pernyataan kembali ke khittah 1926 yang selama ini dipahami beragam akan kembali menjadi perdebatan internal NU, apalagi tampilnya KH. Abdurrahman Wahid menjadi presiden Republik Indonesia ke-4 merupakan fakta sekaligus jawaban atas perdebatan elit NU tentang keterkaitan aktifitas politik NU dan khittah 1926. (Ummatin, 2002) Dengan demikian, sikap politik dari Elit maupun ulama NU di tingkatan nasional itu juga sangat tampak berimbas pada sikap politik maupun perilaku politik ulama NU di tingkatan lokal propinsi maupun kabupaten. Sebagaimana yang terjadi saat dukungan politik ulama NU di tingkat nasional yang mendukung salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, begitu juga yang terjadi di Jawa Timur juga terjadi hal yang sama pula. Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng, KH Sholahudin Wahid, tampak biasa saja ketika melihat dan mendengar soal adanya rivalitas dua kader Nahdlatul Ulama yang telah dan akan bersaing lagi dalam Pilkada Gubernur Jawa Timur. Dimana fakta yang terjadi adalah keduanya merupakan seorang mantan pejabat NU. Pada calon yang pertama merupakan mantan Ketua Umum Gerakan Pemuda Anshor yaitu Saifullah Yusuf yang sering kita kenal sebagai Gus Ipul dan calon berikutnya merupakan mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muslimat yaitu Ibu Khofifah Indar Parawansa. Latar belakang Gerakan Pemuda Ansor adalah sayap pemuda yang tergabung dalam organisasi Nahdlatul Ulama (NU) dan dibawahi oleh NU. Sedangkan Khofifah yang memimpin Muslimat dikenal juga sebagai sayap perempuan yang juga tergabung dalam organisasi NU. Tak bisa dipungkiri bahwa kedua calon tersebut merupakan kader dan sayap organisasi NU yang sangat strategis dan menjanjikan bagi keberlangsungan internal NU. Menurut Gus Sholah yang juga merupakan adik kandung dari mantan Presiden Indonesia KH. Abdurrahman Wahid mengatakan hal serupa bahwa Warga NU memang

terbiasa dengan perbedaan pandangan politik para tokoh maupun struktural (pengurus organisasi dalam NU) ataupun nonstruktural. NU dalam sejarahnya pun senantiasa berada dalam perbedaan pendapat, terutama menyikapi gejala-gejala sosial politik dari luar NU. Perbedaan pendapat ini berdampak pada sikap politik dan perilaku politik pemimpinnya, khususnya pemimpin riil yang dianut oleh warga nahdliyin, yakni para kiai NU sebagai sosok orang-orang paling berpengaruh dalam komunitas besar organisasi NU. Gus Sholah yang merupakan adik kandung dari Gus Dur memberikan kebebasan memilih kepada warga NU maupun pondok pesantren, termasuk Tebu Ireng, dengan kebebasan memberikan dukungan kepada kontestan mana pun, Gus Ipul maupun Khofifah. Menurutnya kini, dukungan suara massa warga NU terbelah antara pendukung Gus Ipul dan Khofifah. Dimana kedua Calon Gubernur tersebut juga sama berharganya bagi masa depan NU. Bahkan mungkin keduanya merupakan generasi muda NU yang tampak menonjol dan berpengaruh. Sebab, tak terelakkan lagi bahwa kelak mereka pasti dibutuhkan oleh NU sendiri. Nahdatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia yang terlahir di Jombang Jawa Timur menjadi sebuah keunikan dan cirri khas tersendiri dalam setiap pemilihan gubernur di Jawa Timur. Potensi massa yang bersifat mayoritas dan suara yang menjanjikan tentu sangat menarik sasaran sasaran empuk bagi partai politik dan calon gubernur serta wakilnya dalam kompetisi Pemilukada tersebut. Bukan hanya karena melimpah SDM secara kuantitas, kualitasnya pun tidak dapat diragukan lagi. Dalam perhelatan pilgub 2013 kali ini, sama seperti pilgub 2013 lalu dua kader muda terbaik NU terjun langsung untuk beradu memperoleh simpati di kalangan pesantren dengan mencari dukungan lewat Kyai pengasuh pondok pesantren dalam kompetisi Pemilukada di Jawa Timur ini, baik melalui ranah pesantren ataupun masyarakat umum. Dengan cara memanfaatkan berbagai program-program bantuan materiil ke pesantren melalui APBD. Ini menjadi salah satu bahkan satu-satunya upaya penggunaan kekuasaan yang dipraktekkan Gus Ipul untuk meraih dukungan simpati Kyai / Ulama yang salah satunya dilakukan di Jombang karena sangat kental dengan budaya tradisional pesantrennya dan masih bersifat Traditional Authority Relationship. Bisa dikatakan bahwa menyalurkan uang APBD ke pesantren-pesantren di daerah Madura, Pasuruan maupun Jombang melalui beberapa program-programnya adalah suatu bentuk pencarian dukungan atau legitimate. 4 pesantren ternama di Jombang, yakni tambak beras, tebu ireng, darul ulum dan denanyar merupakan pesantren yang dikembangkan melalui jalur perkawinan oleh generasi penerusnya. Namun siapa sangka jika dalam setiap pemilu, ke empatnya mempunyai dukungan politik yang berbeda pula. Di kawasan Denanyar misalkan, Pondok Denanyar masih menjadi kiblat masyarakat sekitar. Respon mereka cukup baik pada program rutin pondok Mamba’ul Ma’arif. Peran serta masyarakat sangat besar terhadap keberadaan pondok pesantren ini. Termasuk juga saat menjelang pemilu, Ponpes Denanyar ini masih menjadi kiblat penduduk sekitar Denanyar.

Berdasarkan atas latar belakang diatas maka terdapat dua buah pertanyaan penelitian yang disampaikan, yakni pertama, apa yang melatarbelakangi perilaku politik Kyai NU sekaligus pengasuh pondok pesantren Mambaul Maarif Denanyar Jombang pada Pilgub Jatim 2013 (mobilisasi warga dan santri) ? Pertanyaan kedua, Bagaimana pola hubungan antara Kyai dan Santri yang ada di ponpes Mambaul Maarif dalam kaitannya dengan partisipasi politik santri asuhannya dalam pilgub jatim 2013 ? Penelitian ini memiliki manfaat untuk menambahan wawasan akademis bagi siapa saja yang ingin mengetahui tentang dukumgan politik Kyai beserta hubungannya terhadap santri yang diasuhnya. Kajian Teoritik Perilaku politik merupakan salah satu unsur atau aspek perilaku secara umum, disamping perilaku politik, masih terdapat perilaku-perilaku lain seperti perilaku organisasi, perilaku budaya, perilaku konsumen/ekonomi, perilaku keagamaan dan lain sebagainya.Perilaku politik meliputi tanggapan internal seperti persepsi, sikap, orientasi dan keyakinan serta tindakan-tindakan nyata seperti pemberian suara, protes, lobi dan sebagainya. Persepsi politik berkaitan dengan gambaran suatu obyek tertentu, baik mengenai keterangan, informasi dari sesuatu hal, maupun gambaran tentang obyek atau situasi politik dengan cara tertentu. (Fadillah, 2003) Pembahasan Perilaku Politik Elit & Hubungan Kyai – Santri Ada satu fenomena yang menarik dan unik dalam pilkada jawa timur, yang tentunya berbeda dengan pilgub lainnya di Indonesia yaitu adanya dukung-mendukung antar kyai pimpinan pondok pesantren untuk salah satu kandidat peserta pilkada. Fenomena yang sering muncul adalah mengenai calon gubernur dan wakil gubernur yang melakukan kampanye dan penggalangan dukungan suara kepada beberapa tempat sasaran seperti pasar, pondok pesantrean dan komunitas tertentu lainnya yang disinyalir mampu meraup suara yang banyak. Berikut merupakan alasan mendukung atau latar belakang perilaku politik Kyai: Ikatan kekerabatan (silsilah keluarga) dan program kerja. Ikatan darah atau kekerabatan sering kali menjadi suatu latar belakang alasan memilih dalam suatu kampanye pemilu. Ikatan kekerabatan sering kali menjadi faktor utama atau bahkan senjata yang paling ampuh untuk meraup banyak suara. Misalkan ada seorang anak Kyai yang mencalonkan diri sebagai legislatif atau kepala daerah, sering kali menggunakan senjata “ikatan darah” sebagai kekuatan untuk memperoleh suara dan legitimasi. Apabila seseorang sudah melihat ikatan darah maupun kekerabatan sebagai latar belakang memilih, maka akan timbul legitimasi atau kepercayaan atas calon tersebut karena sudah dinilai telah mengenal baik secara personal atas pribadi calon tersebut. Di dalam pilgub Jatim 2013 kemarin, biasanya yang menjadi subyek dukungan para kyai adalah kandidat yang mempunyai kedekatan historis dengan pondok pesantren. Dalam pilgub jatim terdapat dua kandidat yang memenuhi perihal tersebut yaitu Khofifah dan Gus

Ipul. Gus Ipul yang berpasangan dengan Pak De Karwo memang mempunyai suatu bentuk ikatan kekerabatan berupa ikatan darah beberapa ulama di Jombang, utamanya pada pondok pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar Jombang. Bahkan pada saat MI (madrasah ibtida’iyah) Gus Ipul pernah mengenyam atau menimba ilmu di ponpes Denanyar tersebut. Ibuda dari Gus Ipul juga masih ada ikatan saudara (mesanan) dengan ketua Yayasan pondok pesantren Mambaul Maarif Denanyar yang juga merupakan istri dari ketua pengasuh ponpes tersebut (K.H. Imam Kharomain). Seperti diketahui oleh publik bahwasannya Khofifah, yang mengklaim dirinya sebagai calon Gubernur dari Organisasi terbesar di Indonesia “Nahdlatul Ulama” kurang begitu mendapat simpatik dari beberapa ulama. Bahwasannya beberapa Ulama lebih dekat kepada Gus Ipul yang notabene sering mengunjungi pondok pesantren, peduli terhadap keadaan pondok pesantren dan peduli terhadap ustad atau pengajar di pesantren dengan member tunjangan (HR). Kesejahteraan para guru ngaji di pedesaan yang selama ini tidak diperhatikan kini mulai meningkat. Program bantuan untuk madrasah melalui Bosda merupakan salah satu bukti nyata komitmen pasangan KarSa. Pendekatan struktural melihat bahwa kegiatan memilih sebagai hasil dari program yang ditunjukan oleh seorang kandidat. Sebenarnya pemilih dalam konteks ini sudah termasuk dalam pemilih rasional, dimana mereka memang mengharap hubungan timbal balik atas suara yang mereka berikan. Teori spasial ini mengasumsikan bahwa para pemilih memilih kandidat yang dapat mewakili posisi kepentingan dan yang dapat memaksimalkan aspirasi mereka. Hucfedlt Carmines menjelaskan bahwa perilaku memilih yang didasarkan pada pertimbanganpertimbangan rasional dan kepentingan diri sendiri disebut sebagai tradisi ekonomi politik (political economy tradition). Mobilizer yang dilakukan oleh Kyai ini sangat efektif sekali karena hampir semua TPS di sekitar pondok Denanyar dimenangkan oleh Gus Ipul dan Pakde Karwo. Hanya beberapa saja yang dimenangkan oleh Khofifah, itupun sangat tipis perbedaan suaranya. Traditional Authority Relationship Lazim diketahui, pendukung terbesar NU ada di pelosok-pelosok desa.Selain itu nahdliyin juga dikenal sebagai kelompok masyarakat yang mempunyai ketergantungan amat tinggi pada kepemimpinan seorang tokoh (Kyai) panutan (Khamami : 2010). Kewibawabaan tradisional berbeda dengan bentuk kekuasaanyang disebut sebagai imbalan atau perampasan (reward/deprivation). Tidakseperti imbalan/perampasan, kewibawaan tradisional tidak melibatkan hitung-menghitung keuntungan-keuntungan pribadi yang didapat oleh si pengikut. Dan juga tidak pula si pengikut menganggapnya sebagai perjanjian di mana iamenyediakan pelayanan tertentu sebagai tukaran bagi tingkat ganti rugi yangtelah ditetapkan lebih dahulu. Sekalipun sipemimpin mungkin telahmelakukan banyak hal bagi para pengikutnya pada waktu yang lalu. Dansekalipun ia mungkin berkewajiban untuk terus membagikan kebaikan hati dimasa yang akan datang. Konsep si pengikut menetapkan apakahmendukung atau tidak mendukung pemimpinnya secara politik atas dasarperhitungan cermat berlebihnya keuntungan di atas biaya merupakan hal yangasing pada sistem kewibawaan tradisional.

Konsep Traditional Authority Relationship memang sengaja dilestarikan oleh pihak pesantren tradisional melalui konsep Tawaddhu’. Taat juga lebih sering di samakan artinya dengan patuh maupun tunduk. Dengan demikian “taat” artinya adalah patuh ataupun tunduk terhadap perintah atau larangan seseorang atau peraturan yang berlaku. Taat lebih berkaitan dengan sikap dan tindakan seseorang dalam mentaati peraturan secara suka rela tanpa ada perasaan terpaksa, sehingga dalam menaati dan melakukan peraturan tersebut didasarkan pada rasa patuh dan tunduk terhadap peraturan yang berlaku, baik disadari maupun tidak. Bahkan tidak hanya terhadap pemimpin, tetapi juga orang-orang mempunyai yang kuasa atau kedudukan lebih tinggi, seperti anak kepada orang tua, murid kepada guru, istri kepada suami, dan masyarakat kepada pemimpin setempat. Dalam kalangan pesantren sendiri memang diwajibkan untuk menaati Kyai nya sebagai sosok yang dimulyakan dan teladan. Pertimbangan hubungan Traditional Authority Relationship antara Kyai dengan santri serta masyarakat sekitar merupakan perjuangan ataupun trik usaha dari seorang kandidat dalam pemilu dengan tujuan untuk meraup banyak pendukung yang bisa membawa calon pasangan kandidat dalam suatu pemilu memperoleh kekuasaan ataupun jabatan strategis. Peran sebagai seorang ulama atau Kyai seringkali dimanfaatkan oleh para kandidat pemilu untuk meraup dukungan suara. Ini jelas menunjukkan adanya nuansa tradisional atas kultur masyarakat dalam nuansa pesantren di setiap pemilu. Kesimpulan Berdasarkan data yang telah dianalisis dan disajikan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan beberapa poin penting dalam dukungan politik keluarga Pondok Pesantren Mambaul Maarif Denanyar Jombang terhadap Pilgub Jatim 2013 kemarin, yaitu : Ikatan kekerabatan yang masih sangat kental merupakan faktor pertama, walaupun bukan faktor utama yang menjadi sebab kedekatan antara pihak Pondok Pesantren Mambaul Maarif Denanyar dengan Gus Ipul. Kuatnya praktik politik kekerabatan yang mengatasnamakan ikatan darah dalam proses pencalonan Pilgub menandakan bahwa elite-elite politik terlihat ingin memelihara geneologi politik di kalangan anggota keluarganya sendiri. Gus Ipul merupakan keponakan dari Gus Dur dan Ketua Yayasan Ponpes Mambaul Maarif Denanyar yang juga sebagai istri dari orang yang paling disepuhkan dan disungkani dikalangan Pesantren maupun masyarakat setempat. Dengan begitu, untuk meraup suara dikalangan pesantren Gus Ipul memang mudah menjalin silaturrahmi dengan keluarga besar ponpes Mambaul Maarif maupun dengan beberapa ulama yang ada di Jawa Timur. Dalam konteks ini pilgub jatim 2013 ini, pemilih (keluarga Ponpes Mambaul Maarif Denanyar Jombang) lebih cenderung melihat pada kemanfaatan terhadap program-program yang dilakukan oleh Gus Ipul. Keluarga pondok pesantren Mambaul Maarif belum yakin apabila Khofifah terpilih menjabat sebagai Gubernur Jawa Timur masih tetap terus melanjutkan program-program Gus Ipul yang peduli terhadap kondisi pondok salaf dan nasib guru diniyah di pondok. Tentu saja masih ada sangkut pautnya dengan tradisi politik ekonomi. Selogan semacam “yang sudah baik diteruskan” merupakan salah satu keyakinan yang coba

ditanam oleh K.H. Imam Kharomain selaku Kyai yang paling disepuhkan di Pondok Pesantren Mambaul Maarif Denanyar Jombang dan banyak ulama di Jawa Timur yang mendukung program-program dari KarSa. Dengan melihat kinerja yang telah dilakukan selama empat tahun terakhir yang sudah cukup bagus dan layak untuk diteruskan lagi, ternyata juga terdapat perhatian kepada kaum perempuan yang cukup tinggi dengan adanya upaya untuk meningkatkan pemberdayaan ekonomi perempuan melalui koperasi wanita (Kopwan). Hubungan antara Kyai dengan santri masih cenderung bersifat Traditional Authority Relationship. Dimana dalam fenomena yang terjadi di pesantren ini santri sangat tunduk kepada Kyai sebagai pihak yang dijadikan sebagai panutan hidup bermasyarakat. Bahkan ketika Pilgub Jatim kemarin, tanpa ada mandat atau perintah dari sang Kyai, santri-santri tanpa berfikir lagi ikut memberikan dukungan terhadap orang yang didukung oleh pihak Kyai, yaitu KarSa. Diantara usaha-usaha elit (Kyai) dalam mempertahankan dan melebarkan kekuasaannya dalah dengan cara : melibatkan system kekerabatan dan mengembangkan sistem perkawinan endogamous sesama keluarga Kyai. Tentu saja dengan hubungan yang tidak seimbang tersebut melahirkan apa yang disebut menguasai (Kyai) dan dikuasai (Santri) secara sadar maupun tidak sadar. Efektivitas mobilizer Kyai Imam Kharomain terbukti dengan dimenangkannya perolehan suara di kawasan Pondok Pesantren Mambaul Maarif Denanyar Jombang.

DAFTAR PUSTAKA Fadillah, Putra. (2003), Partai politik dan kebijakan publik : analisis terhadap kongruensi janji politik partai dengan realisasi produk kebijakan publik di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Khamami, Zada. (2010), Dinamika Ideologi dan Politik Kenegaraan Nahdlatul Ulama.Jakarta: Kompas Media. Ummatin, Khoiru. (2002), Perilaku Politik Kiai. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.