PERLUNYA PERCEPATAN PEMBANGUNAN DI ERA OTONOMI DAERAH 1

Download Perlunya Percepatan Pembangunan. Di Era Otonomi Daerah 1 oleh. Drs. Faris Ihsan, M.Si. 2. Abstraksi. Makna Otonomi Daerah adalah penyerahan...

0 downloads 342 Views 90KB Size
Perlunya Percepatan Pembangunan Di Era Otonomi Daerah 1 oleh Drs. Faris Ihsan, M.Si 2 Abstraksi Makna Otonomi Daerah adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pembangunan daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut. Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK), yang dirintis oleh Pemerintah Indonesia dirancang untuk mengatasi permasalahan pemerintahan dan kebijakan di kabupaten termiskin di seluruh Indonesia merupakan sebuah program uji coba inovatif yang cukup memberikan harapan agar adanya pemerataan pembangunan. Kata Kunci : Otonomi Daerah, Pembangunan Daerah

A. Pendahuluan

Pengalaman menunjukkan bahwa diberbagai negara bahwa ada salah satu syarat yang diperlukan untuk menunjukkan tingginya tingkat keberhasilan pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah yaitu dimulai dari mantapnya pemahaman dari para aparat terkait tentang makna indikator-indikator dan variable-variabel pembangunan serta pengertian kebijaksanaan yang diterapkan oleh pemerintah pusat dan daerah, dimana kedua kebijaksanaan tersebut harus saling melengkapi ataukan searah.

1. Telah dikoreksi oleh Tim Editor Website BKD dan Diklat Provinsi NTB 2. Widyaiswara Madya pada BKD dan Diklat Provinsi NTB

1

Pemahaman yang memadai tentang indikator pembangunan daerah ini akan mengakibatkan semakin terarahnya pelaksanaan pembangunan yang dilaksanakan dan semakin tingginya respon masyarakat dalam menyukseskan dan mencapai sasaran yang telah ditargetkan. Hal ini dianggap perlu mendapatkan perhatian terutama dari pihak-pihak pengambilan keputusan, mengingat proses panjang perjalanan bangsa ini untuk mengisi kemerdekaan harus mendapatkan perhatian kita semua. Persentase keberadaan Bangsa Indonesia belum beranjak dari starting point pada masa kita memproklamirkan kemerdekaan. Otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Implementasi otonomi daerah telah memasuki era baru setelah pemerintah dan DPR sepakat untuk mengesahkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua UU otonomi daerah ini merupakan revisi terhadap UU Nomor 22 dan Nomor 25 Tahun 1999 sehingga kedua UU tersebut kini tidak berlaku lagi. Sejalan dengan diberlakukannya undang-undang otonomi tersebut memberikan kewenangan penyelenggaraan pemerintah daerah yang lebih luas, nyata dan bertanggung jawab. Adanya perimbangan tugas fungsi dan peran antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah tersebut mengakibatkan masing-masing daerah harus memiliki penghasilan yang cukup, daerah harus memiliki sumber pembiayaan yang memadai untuk memikul tanggung jawab penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dengan demikian diharapkan masing-masing daerah akan dapat lebih maju, mandiri, sejahtera dan kompetitif didalam pelaksanaan pemerintahan maupun pembangunan daerahnya masing-masing.

2

B. Otonomi Daerah

Otonomi Daerah adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan adanya desentralisasi maka muncullah otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana didefinisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia. Desentralisasi juga dapat diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab, kewenangan, dan sumber-sumber daya (dana, manusia dan lain-lain) dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Dasar pemikiran yang melatarbelakanginya adalah keinginan untuk memindahkan pengambilan keputusan untuk lebih dekat dengan mereka yang merasakan langsung pengaruh program dan pelayanan yang dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini akan meningkatkan relevansi antara pelayanan umum dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, sekaligus tetap mengejar tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah ditingkat daerah dan nasional, dari segi sosial dan ekonomi. Inisiatif peningkatan perencanaan, pelaksanaan, keuangan, pembangunan sosial ekonomi diharapkan dapat menjamin digunakannya sumber-sumber daya pemerintah secara efektif dan efisien untuk memenuhi kebutuhan lokal. Tujuan pemberian otonomi daerah adalah sebagai berikut : 1.

Peningkatan pelayanan masyarakat yang semakin baik.

2.

Pengembangan kehidupan demokrasi.

3.

Keadilan. 3

4.

Pemerataan.

5.

Pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar daerah dalam rangka keutuhan NKRI.

6.

Mendorong untuk memberdayakan masyarakat.

7.

Menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Asas-asas Otonomi Daerah terdiri atas : a. Asas Sentralisasi adalah pemusatan seluruh penyelenggaraan pemerintah negara dengan pemerintah pusat. b.

Asas Desentralisasi adalah segala pelimpahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah.

c. Asas Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah gubernur sebagai wakil pemerintah dan perangkat pusat di daerah. d. Asas Pembantuan adalah asas yang menyatakan turut serta dalam pelaksanaan urusan pemerintah yang ditugaskan kepada pemerintah daerah dengan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan kepada yang memberi tugas.

C.

Peran Budaya Dalam Pembangunan

Sebagai mahluk sosial, aparatur tidak terlepas dari berbagai nilai dan norma yang ada di tempat kerjanya. Budaya organisasi dapat mempengaruhi cara aparatur bertingkah laku, cara melaksanakan pekerjaannya, cara bekerja dengan koleganya, dan cara memandang masa depan dengan wawasan yang luas ditentukan oleh norma, nilai dan kepercayaannya. Budaya organisasi menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anggota organisasi, menentukan batas-batas normatif perilaku anggota organisasi, menentukan sifat dan bentuk pengendalian dan pengawasan organisasi, 4

menentukan gaya manajerial yang dapat diterima oleh anggota organisasi, menentukan cara kerja yang tepat dan lain sebagainya (Linawati, 2003). Dalam menjalankan sebuah organisasi tidak lepas dari kontribusi para aparatur dalam mencapai tujuan organisasi, sebagaimana dikemukakan oleh Maltis & Jackson dalam Raharja (2000) bahwa sumber daya manusia pada era sekarang ini semakin besar peranannya dalam mencapai sukses organisasi. Kinerja aparatur didefinisikan sebagai suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, dan kesungguhan serta waktu, motivasi aparatur untuk bekerja, mengembangkan kemampuan dimasa lalu dan pengembangan kinerja mengacu pada prestasi aparatur yang diukur berdasarkan standar/kriteria yang ditetapkan oleh organisasi. Pengelolaan untuk mencapai kinerja aparatur yang tinggi terutama dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja organisasi keseluruhan. Kinerja telah menjadi pusat perhatian dari berbagai kalangan baik pemerintah maupun organisasi secara umum. Perhatian yang begitu besar terhadap masalah kinerja dapat dipahami karena menyangkut efisiensi dan efektifitas penggunaan sumber daya manusia dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan oleh suatu organisasi. Baik buruknya kinerja seorang aparatur dapat dilihat dari keterkaitan pekerjaan yang dilakukan, dengan misi atau sasaran organisasi. Pekerjaan aparatur yang tidak memiliki keterkaitan dengan misi atau sasaran suatu organisasi, tidak dapat dijadikan indikator kinerja aparatur tersebut terhadap organisasinya. Kinerja merupakan suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan. Untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan seseorang harus memiliki derajat kesediaan dan tingkat kesediaan tertentu. Kesediaan dan ketrampilan seseorang tidak efektif untuk mengerjakan sesuatu tanpa pemahaman yang jelas tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya (Judanto, 2002 ). Budaya organisasi yang kuat akan membantu organisasi dalam memberikan

5

kepastian kepada seluruh aparatur untuk berkembang bersama, tumbuh dan berkembangnya organisasi. Robins (2003) menyatakan bahwa budaya merupakan suatu sistem makna bersama yang dianut oleh anggota-anggota organisasi yang membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi lain. Pemahaman tentang budaya organisasi perlu ditanamkan sejak dini kepada aparatur. Bila pada waktu permulaan masuk kerja, mereka masuk kerja dengan berbagai karakteristik dan harapan yang berbeda-beda, maka melalui training, orientasi dan penyesuaian diri, aparatur akan menyerap budaya organisasi yang kemudian akan berkembang menjadi budaya kelompok, dan akhirnya diserap sebagai budaya pribadi. Bila proses internalisasi budaya organisasi menjadi budaya pribadi telah berhasil, maka aparatur akan merasa identik dengan institusinya, merasa menyatu dan tidak ada halangan untuk mencapai kinerja yang optimal. Ini adalah kondisi yang saling menguntungkan, baik bagi organisasi maupun aparatur. Kotter dan Heskett dalam Wibowo (2001) mengatakan bahwa budaya yang kuat dapat menghasilkan efek yang sangat mempengaruhi individu dan kinerja, bahkan dalam suatu lingkungan bersaing pengaruh tersebut dapat lebih besar daripada faktor-faktor lain seperti struktur organisasi, alat analisis keuangan, kepemimpinan dan lain-lain. Kemudian pada penelitian yang dilakukan Wibowo (2001) mengatakan bahwa budaya berkembang dalam organisasi berpengaruh terhadap kinerja aparatur sebagai perwujudan perilaku dan sikap kerja.. Deal dan Kennedy dalam Falih (2003) menyatakan bahwa budaya organisasi yang kuat dan stabil akan menghasilkan kinerja yang tinggi. Sebaliknya Kotter dan Heskett dalam Wibowo (2001) mendapatkan suatu kenyataan bahwa budaya organisasi yang mudah menyesuaikan dengan perubahan jaman (adaptif) adalah yang dapat meningkatkan kinerja. Budaya organisasi berpengaruh langsung terhadap kinerja aparatur, dimana dengan penerapan budaya organisasi disuatu instansi yang baik mampu mendorong

6

aparatur untuk bekerja lebih baik. Nilai dan keyakinan tersebut akan diwujudkan menjadi perilaku keseharian dalam bekerja, sehingga akan menjadi kinerja aparatur yang meningkat. Dengan budaya kerja yang tepat waktu, bertanggung jawab pada pekerjaannya dan selalu berorientasi pada pelanggan mampu meningkatkan kinerjanya. Hal tersebut didukung oleh Kotter dan Heskett dalam Wibowo (2001) yang menyatakan bahwa pengelolaan yang baik atas budaya organisasi dapat mempengaruhi tercapainya kinerja aparatur yang tinggi. Holmes dan Mardsen dalam Simamora (2004) menyatakan bahwa budaya organisasi mempunyai pengaruh terhadap perilaku, cara kerja para pemimpin dan bawahan untuk mencapai kinerja yang baik, begitu pula dengan penelitian Chatman dan Bersade dalam Simamora (2004) menyatakan bahwa budaya organisasi yang kuat dapat meningkatkan kinerja aparatur. Budaya kerja mengacu ke sistem makna bersama yang dianut oleh anggota yang membedakan organisasi itu dari organisasi-organisasi yang lain. Budaya organisasi adalah sekumpulan norma-norma tingkah laku atau corak/warna serta nilai-nilai yang ada di dalam suatu organisasi dan merupakan aturan main yang harus ditaati dan diamalkan oleh para pelaku organisasi tersebut agar dapat berinteraksi baik terhadap faktor internal maupun eksternal. Budaya mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi organisasi, ia akan mempengaruhi setiap hal dari siapa yang dipromosikan dan keputusan apa yang dibuat. Kadang-kadang budaya tersebut terpecah-pecah dan sulit untuk dibaca dari luar. Budaya kerja juga sangat kuat dan potensif, setiap orang mengetahui tujuan organisasi dan bekerja untuk mencapainya. Melihat dampak itu, budaya juga mempunyai pengaruh yang besar terhadap kinerja dari aparatur. Organisasi akan selalu membutuhkan seorang pemimpin untuk keberhasilan organisasi. Sistem manajemen sebaik dan secanggih apapun tidak akan dapat berjalan kalau tidak ada orang yang berani menggerakkan dan memimpin proses manajemen

7

tersebut. Oleh karena itu fungsi manajemen memerlukan fungsi kepemimpinan dan begitu sebaliknya fungsi kepemimpinan juga memerlukan fungsi manajemen. Kebutuhan akan pemimpin semakin mendesak manakala muncul tuntutan-tuntutan yang baru akibat perkembangan. Seorang pemimpin harus mempunyai kapasitas untuk menciptakan suatu misi yang dapat membawa orang kesuatu yang baru dan mampu menerjemahkan visi tersebut dalam kenyataan. Sumber daya yang ada dalam organisasi akan mempengaruhi berhasilnya suatu organisasi untuk kelangsungan hidup organisasi, baik sumber daya manusia maupun modal. Disamping itu faktor yang sangat berperan yaitu faktor kepemimpinan. Pekerjaan bawahan sangat ditentukan pengaruh pimpinan artinya pekerjaan bawahan tidak akan berhasil baik tanpa adanya kepemimpinan dan partisipasi staf. Kepemimpinan harus memberikan pengarahan terhadap usaha semua pekerja staf dalam mencapai tujuan organisasi, oleh karena itu kepemimpinan sangat diperlukan bila suatu organisasi ingin sukses. Kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi dan mengubah budaya sekelompok personil didalam organisasi, agar sejalan dengan budaya organisasi untuk mencapai sukses dalam mengimplementasikan visi oranisasi (Rahardja, 2000). Pengaruh pimpinan dapat dlihat dari sikap bawahan terhadap pekerjaannya. Sikap bawahan terhadap pekerjaannya (job related attitude) termasuk didalamnya. Masalah kepemimpinan menjadi wacana yang hangat dibicarakan karena ada beberapa anggapan bahwa sifat kepemimpinan yang sudah ada dan dibawa sejak lahir. Ada anggapan bahwa pimpinan dilahirkan bukan dibuat, dengan kata lain seseorang dilahirkan dengan membawa atau tidak membawa sifat-sifat yang diperlukan sebagai pemimpin (Subkhan, 2000). Gaya kepemimpinan mengandung arti cara pemimpin mempengaruhi bawahan untuk lebih dapat berbuat atau berusaha dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Gaya kepemimpinan dapat mempengaruhi kinerja aparatur, pemimpin harus mampu

8

mendelegasikan tugas dari pimpinan kebawahan dengan komunikatif, sehingga diperlukan adanya meeting yang membahas tentang masalah-masalah yang dihadapi bawahan yang berkaitan dengan pencapaian target. Hal tersebut didukung oleh Chen (2004) yang menyatakan bahwa dukungan tinggi yang ditunjukkan oleh pimpinan institusi mampu memberikan motivasi yang tinggi dari aparatur untuk bekerja lebih baik dan mencapai target, penelitian Chen (2004) menunjukkan bahwa gaya kepemimpinan berpengaruh signifikan positif terhadap dan kinerja aparatur. Seorang pemimpin pada hakikatnya dituntut untuk mengetahui atau menebak kebutuhan (need), keinginan (want) dan harapan (expectation) bawahannya dengan mengamati perilaku mereka, kemudian memilih metode yang dapat digunakan supaya mereka mau bertindak sesuai dengan tujuan pemimpin (Handoko, 1998). Dengan demikian, semakin memahami orang-orang disekitarnya, seorang pemimpin dapat dengan mudah mengintepretasikan kebutuhan yang ada dalam diri mereka (inner needs) kedalam tindakan (action). Teori Path Goal dalam Yuki (1989) mengatakan bahwa pemimpin mendorong kinerja yang lebih tinggi dengan cara memberikan kegiatan-kegiatan yang mempengaruhi bawahannya agar percaya bahwa hasil yang berharga bisa dicapai dengan usaha yang serius. Kepemimpinan yang berlaku secara universal menghasilkan tingkat kinerja dan kepuasan bawahan yang tinggi. Teori ini mengatakan bahwa situasi yang berbeda mensyaratkan gaya kepemimpinan yang berbeda pada dua variabel situasional yang mempengaruhi gaya kepemimpinan yaitu karakteristik personal dan kekuatan lingkungan. Bawahan dengan locus of control internal nya akan lebih tinggi dengan gaya kepeimimpinan yang partisipatif sedangkan bawahan dengan locus of control eksternal nya akan lebih tinggi dengan gaya kepeimimpinan yang direktif. Motivasi seorang pekerja tergantung dari pengharapannya untuk mendapatkan hasil positif dan untuk menghindarkan diri dari hasil negatif. Teori Path Goal dalam

9

Wibowo (2001) menjelaskan tentang perilaku pemimpin direktif, suportif, partisipatif dan orientasi prestasi mempengaruhi pengharapan ini, sehingga mempengaruhi prestasi kerja bawahan dan kinerja bawahan. Dengan menggunakan salah satu dari empat gaya tersebut, seorang pemimpin harus berusaha untuk mempengaruhi persepsi para bawahan dan mampu memberikan motivasi kepada mereka pada kejelasan tugastugasnya, pencapaian tujuan, dan pelaksanaan yang efektif. Bawahan sebagai sumber daya manusia merupakan aspek yang paling merasakan dampak jika terjadi perubahan dalam organisasi. Namun perlu diingat bahwa hanya dengan keterlibatan bawahan secara penuh pula perubahan-perubahan yang diinginkan pemimpin dapat diwujudkan. Menurut Robins (2003) yang menunjukkan bahwa penerapan budaya kerja yang baik berpengaruh pada hasil. Kemajuan dan keberhasilan organisasi sangat tergantung pada para kinerja aparatur. Sejauh mana aparatur tersebut mampu dan mau bekerja keras, kreatif, inovatif, loyal, disiplin, jujur dan bertanggung jawab akan menentukan prestasi organisasi. Oleh karena itu untuk mengetahui sejauh mana kinerja para aparatur, pimpinan organisasi perlu mengetahui bagaimana sikap dan perilaku aparaturnya. Sikap akan mencerminkan perilaku seseorang. Namun untuk mengetahui bagaimana sikap seseorang tidak mudah, karena sikap dipengaruhi oleh banyak faktor seperti persepsi, motivasi, lingkungan dan lainnya. Oleh karena itu, pemimpin harus mempunyai kemampuan yang baik dalam memimpin institusi seperti: pemimpin harus proaktif dalam pemikirannya, lebih radikal, inovatif dan kreatif serta lebih terbuka terhadap ide-ide baru (Falih, 2003). Tanpa kemampuan seperti itu, orang tidak akan mau mendengarkannya. Karena pemimpin harus dapat menggugah respek orang lain. Apakah kepemimpinan dianggap penting, semua itu tergantung dari bagaimana mereka menyikapi rangsangan itu. Dari sinilah perlu adanya suatu penilaian kepemimpinan, mengenai bagaimana para aparatur menilai kepemimpinan dari pemimpin mereka

10

dengan melalui sudut pandang yang berbeda-beda. Dalam memandang kepemimpinan, akan berbeda antara satu dengan lainnya, persepsi individu terhadap kepemimpinan akan berpengaruh pada perilaku mereka dalam bekerja. Persepsi dari para bawahan digunakan untuk mengevaluasi kemampuan dari para pimpinan dan untuk menunjukkan kelemahan serta area-area perbaikan.

D.

Permasalahan Dalam Otonomi Daerah di Indonesia

Sejak diberlakukannya paket UU mengenai Otonomi Daerah, banyak orang sering membicarakan aspek positifnya. Memang tidak disangkal lagi, bahwa otonomi daerah membawa perubahan positif di daerah dalam hal kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri. Kewenangan ini menjadi sebuah impian karena sistem pemerintahan yang sentralistik cenderung menempatkan daerah sebagai pelaku pembangunan yang tidak begitu penting atau pinggiran. Pada masa lalu, pengerukan potensi daerah ke pusat terus dilakukan dengan dalih pemerataan pembangunan. Alih-alih mendapatkan manfaat dari pembangunan, daerah justru mengalami proses pemiskinan yang luar biasa. Dengan kewenangan tersebut tampaknya banyak daerah yang optimis bakal bisa mengubah keadaan yang tidak menguntungkan tersebut. Akan tetapi apakah di tengahtengah optimisme itu tidak terbersit kekhawatiran bahwa otonomi daerah juga akan menimbulkan beberapa persoalan yang, jika tidak segera dicari pemecahannya, akan menyulitkan upaya daerah untuk memajukan rakyatnya? Jika jawabannya tidak, tentu akan sangat naif, mengapa ? Karena, tanpa disadari, beberapa dampak yang tidak menguntungkan bagi pelaksanaan otonomi daerah telah terjadi. Ada beberapa permasalahan yang dikhawatirkan bila dibiarkan berkepanjangan akan berdampak sangat buruk pada susunan ketatanegaraan Indonesia. Masalah-masalah tersebut antara lain :

11

1. Adanya eksploitasi Pendapatan Daerah 2. Pemahaman terhadap konsep desentralisasi dan otonomi daerah yang belum mantap 3. Penyediaan aturan pelaksanaan otonomi daerah yang belum memadai 4. Kondisi aparatur pemerintahan yang belum menunjang sepenuhnya pelaksanaan otonomi daerah 5. Korupsi di daerah 6. Adanya potensi munculnya konflik antar daerah

E.

Penyelesaian Permasalahan Otonomi Daerah di Indonesia

Dampak yang negatif dari pelaksanaan otonomi daerah akan seterusnya menjadi persoalan tersendiri, terlepas dari keberhasilan implementasi otonomi daerah. Pilihan kebijakan yang tidak populer melalui intensifikasi pajak dan perilaku koruptif pejabat daerah sebenarnya sudah ada sejak lama dan akan terus berlangsung. Jika kini keduanya baru muncul dipermukaan sekarang, tidak lain karena momentum otonomi daerah memang memungkinkan untuk itu. Otonomi telah menciptakan kesempatan untuk mengeksploitasi potensi daerah dan sekaligus memberi peluang bagi para pahlawan baru menganggap dirinya telah berjasa di era reformasi. Untuk menyiasati beratnya beban anggaran, pemerintah daerah semestinya bisa menempuh jalan alternatif, selain intensifikasi pungutan yang cenderung membebani rakyat dan menjadi disinsentif bagi perekonomian daerah, yaitu (1) efisiensi anggaran, dan (2) revitalisasi perusahaan daerah. Akan tetapi, jika keduanya bukan menjadi prioritas pilihan kebijakan maka pemerintah pasti punya alasan lain. Upaya revitalisasi perusahaan daerah pun kurang mendapatkan porsi yang memadai karena kurangnya sifat kewirausahaan pemerintah. Sudah menjadi hakekatnya bahwa pemerintah cenderung melakukan kegiatan atas dasar kekuatan paksa hukum, dan tidak

12

berdasarkan prinsip-prinsip pasar, sehingga ketika dihadapkan pada situasi yang bermuatan bisnis, pemerintah tidak bisa menjalankannya dengan baik. Salah satu cara untuk mengatasi hal ini pemerintah daerah bisa menempuh jalan dengan menyerahkan pengelolaan perusahaan daerah kepada swasta melalui privatisasi. Dalam kaitannya dengan persoalan korupsi, keterlibatan masyarakat dalam pengawasan terhadap pemerintah daerah juga perlu diupayakan. Masyarakat harus turut aktif dalam menangkal perilaku korupsi dikalangan pejabat publik, yang jumlahnya hanya segelintir dibandingkan dengan jumlah rakyat pembayar pajak yang diwakilinya. Rakyat boleh menarik mandat jika wakil rakyat justru bertindak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum dan mengkhianati nurani keadilan masyarakat. Begitu juga, akhirnya seorang kepala daerah atau pejabat publik lain bisa diminta turun jika dalam melaksanakan tugasnya terbukti melakukan pelanggaran serius, yaitu korupsi dan menerima suap atau hibah dalam kaitan jabatan yang dipangkunya. Pemeritah juga seharusnya merevisi UU yang dipandang dapat menimbulkan masalah baru. Jika pemerintah dan masyarakat bersinergi mengatasi masalah tersebut, pasti kesejahteraan masyarakat segera terwujud. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan otonomi daerah di Indonesia antara lain : 1. Membuat

master

plan

pembangunan

nasional

untuk

membuat

sinergi

pembangunan di daerah, agar menjadi landasan pembangunan di daerah dan membuat pemerataan pembangunan antar daerah. 2. Memperkuat peranan daerah untuk meningkatkan rasa nasionalisme dengan mengadakan kegiatan penanaman nasionalisme seperti kewajiban mengibarkan bendera merah putih.

13

3. Melakukan pembatasan anggaran kampanye karena menurut penelitian korupsi yang dilakukan kepala daerah akibat pemilihan umum berbiaya tinggi membuat kepala daerah melakukan korupsi. 4. Melakukan pengawasan Peraturan Daerah agar sinergi dan tidak menyimpang dengan peraturan di atasnya yang lebih tinggi. 5. Melarang anggota keluarga kepala daerah untuk maju dalam pemilihan daerah untuk mencegah pembentukan dinasti politik. 6. Meningkatkan kontrol terhadap pembangunan di daerah dengan memilih Menteri Dalam Negeri yang berkapabilitas untuk mengawasi pembangunan di daerah. 7. Melaksanakan Good Governence dengan memangkas birokrasi (reformasi birokrasi), mengadakan pelayanan satu pintu untuk masyarakat. 8. Melakukan efisiensi anggaran. 9. Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah dari sektor sumber daya alam dan Pajak serta mencari dari sektor lain seperti jasa dan pariwisata digunakan untuk kesejahteraan masyarakat.

E. Percepatan Pembangunan Daerah

Pada umumnya pembangunan nasional banyak pada negara-negara sedang berkembang dipusatkan pada pembangunan ekonomi melalui usaha pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, paradigma tradisional mengenai pembangunan cenderung mengidentikkan pembangunan dengan pertumbuhan ekonomi. Suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut. Saat ini pembangunan ekonomi yang paling banyak

14

diterima adalah suatu proses peningkatan output dalam jangka panjang. Maksud dari pada proses adalah berlangsungnya kekuatan-kekuatan tertentu yang saling berkaitan dan mempengaruhi. Dengan kata lain, pembangunan ekonomi lebih dari sekedar pertumbuhan ekonomi. Proses pembangunan menghendaki adanya pertumbuhan ekonomi yang diikuti dengan perubahan (growth plus change) dalam : pertama, perubahan struktur ekonomi; dari pertanian ke industri atau jasa. Kedua, perubahan kelembagaan, baik lewat regulasi maupun reformasi kelembagaan itu sendiri. Teori Pertumbuhan dan Pembangunan Ekonomi Daerah menganalisis perekonomian suatu daerah sangat sulit karena : 1. Data tentang daerah sangat terbatas terutama kalau daerah dibedakan berdasarkan pengertian daerah modal. Dengan data yang sangat terbatas sangat sukar untuk menggunakan metode yang telah dikembangkan dalam memberikan gambaran mengenai perekonomian suatu daerah. 2. Data yang tersedia umumnya tidak sesuai dengan data yang dibutuhkan untuk analisis daerah, karena data yang terkumpul biasanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan analisis perekonomian secara nasional. 3. Data tentang perekonomian daerah sangat sukar dikumpulkan, sebab perekonomian daerah lebih terbuka dibandingkan dengan perekonomian nasional. Hal tersebut menyebabkan data tentang aliran-aliran yang masuk dan kaeluar dan suatu daerah sukar diperoleh. 4. Bagi negara yang sedang berkembang, disamping kekurangan data sebagai kenyataan yang umum. Data yang ada terbatas itupun banyak yang sulit untuk dipercaya, sehingga menimbulkan kesulitan untuk melakukan analisis yang memadai tentang keadaan perekonomian suatu daerah.

15

Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan Khusus (P2DTK), adalah sebuah program uji coba inovatif yang dirintis oleh Pemerintah Indonesia sejak tahun 2005 dan dirancang untuk mengatasi permasalahan pemerintahan dan kebijakan di 51 kabupaten termiskin di seluruh Indonesia. P2DTK didasarkan pada sejumlah proyek pengembangan masyarakat lain yang telah sukses, seperti Program Pengembangan Kecamatan (PPK/KDP), untuk menyelaraskan prosedur perencanaan secara bottom-up dengan pemerintah kabupaten yang baru saja diberdayakan.

F. Tindakan Afirmatif Terhadap Ketertinggalan

Kebijakan pembangunan dan pemerintahan yang sentralistik kemudian berubah menjadi berdasarkan otonomi daerah seiring dengan Reformasi. Namun sembilan tahun reformasi berlalu, otonomi daerah, yang memberikan daerah hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan, belum berhasil menjawab permasalahan ketertinggalan sejumlah daerah dalam suatu Daerah Otonom. Di sisi lain, reformasi ketatanegaraan telah menjadikan pemilihan kepala daerah berdasarkan pada sistem pemilihan langsung oleh penduduk daerah yang bersangkutan. Namun realita demografi menunjukkan bahwa keterisolasian sejumlah wilayah dalam suatu daerah membuat wilayah tersebut tidak signifikan sebagai kantong suara dalam proses pemilihan kepala daerah, yang sangat menekankan kepraktisan politik belaka. Demikianlah banyak daerah di Indonesia seolah terjebak dalam keterisolasian pembangunan dan politik, dan terus tertinggal. Kondisi ini harus mendapatkan perhatian yang cermat, serius, dan sesuai dengan dinamika ketatanegaraan serta hukum yang ada, sehingga negara tidak gagal dalam kewajibannya memenuhi hak-hak konstitusional setiap warga negara. Di sisi yang lain, dalam alam kemerdekaan, hak setiap warga negara untuk menjadi sejahtera dan cerdas

16

dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidak boleh terpasung. Dengan mempertimbangkan juga perkembangan regional terutama di Asia Tenggara, maka suatu kebijakan nasional untuk percepatan pembangunan sejumlah daerah tertinggal sebagai suatu tindakan-afirmatif (affirmative action) merupakan suatu langkah strategis yang sudah sangat mendesak. Tujuan percepatan pembangunan daerah tertinggal adalah untuk: 1. Memberikan dan menjamin pemenuhan hak dan kesempatan kepada setiap warga negara dan daerah tertinggal untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan agar setara dengan daerah lainnya dalam wilayah NKRI; 2. Memberdayakan masyarakat daerah tertinggal melalui pembukaan atau peningkatan akses dalam berbagai bidang sehingga mereka mampu menjaga harkat dan martabat sebagaimana warga negara Indonesia lainnya; 3. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, namun tidak terbatas pada kesehatan, pendidikan, dan lapangan pekerjaan; 4. Meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana di dalam daerah tertinggal, antara lain energi (listrik), transportasi, telekomunikasi, dan sarana perdagangan 5. Mempercepat terciptanya keseimbangan pembangunan daerah tertinggal dengan daerah lainnya, sehingga terjadi harmonisasi kehidupan antarmasyarakat. Kebijakan nasional ini perlu diambil agar terdapat suatu koordinasi yang baik, dan tidak menegasikan otonomi daerah yang sudah berjalan. Mengingat kebijakan nasional tersebut akan mengatur tentang pemenuhan hak-hak konstitusional dan hak-hak asasi, serta hak dan kewajiban warga negara, maka sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan kebijakan nasional

17

tersebut seyogyanya berupa suatu undang-undang percepatan pembangunan daerah tertinggal (UU PPDT). Usaha percepatan pembangunan daerah tertinggal tunduk pada Pasal 18B ayat 2 UUD 1945, yakni “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.” Pengakuan dan penghormatan ini penting, paling tidak untuk dua hal. Pertama, percepatan pembangunan bukanlah untuk mengeksploitasi sumber daya alam daerah bersangkutan, tapi memberikan hak yang sama kepada setiap warga negara untuk maju dan berkembang dalam kerangka NKRI. Oleh karena itu, masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya tidak boleh terkooptasi oleh pembangunan, apalagi termarjinalkan. Kedua, budaya dan adat di Indonesia demikian beraneka ragam dan tidak semua masyarakat hukum adat memiliki orientasi dan penerimaan yang sama tentang pembangunan. Sebagian menerima pembangunan, sementara sebagian lain memutuskan untuk meneruskan pola kehidupan yang ajeg dan memilih untuk tidak ikut menerima pembangunan. Keputusan dan pilihan yang demikian harus dihormati. Hal yang penting di sini adalah Negara telah memenuhi kewajibannya memberikan hak-hak konstitusional kepada setiap warga negara. Hak warga

negara

yang

bersangkutan

untuk

memilih

mengeksekusi

hak-hak

konstitusionalnya. Dilihat dari jenis urusan pemerintahan yang hendak diatur, maka UU PPDT merupakan suatu pengaturan dalam rangka penajaman, koordinasi dan sinkronisasi program pemerintah, yang telah diidentifikasikan oleh UU No. 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara sebagai urusan pembangunan kawasan atau daerah tertinggal. Meskipun UU tersebut menyatakan bahwa untuk urusan daerah tertinggal tidak perlu

18

harus dibentuk suatu kementerian sendiri, dalam kenyataannya Pemerintah telah mendirikan Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal. Letak dan materi muatan UU PPDT harus memperhatikan hukum positif yang ada dan otonomi daerah, sehingga kepastian hukum dapat tercapai, dan ketumpangtindihan kewenangan dan pengaturan, serta inefisiensi alokasi sumber daya dapat menjadi minimal. Mencermati hal-hal tersebut, maka kewenangan Kementerian dan UU PPDT seyogianya bersifat koordinatif terhadap kementerian-kementerian, pemerintahpemerintah daerah, dan sejumlah undang-undang yang sudah ada. Percepatan pembangunan daerah tertinggal dimulai dengan pengidentifikasian daerah tertinggal dengan menggunakan kriteria sebagai berikut: 1. Perekonomian suatu daerah memiliki Produk Domestik Bruto dan pendapatan per kapita yang rendah, dan tingkat kemiskinan yang tinggi; 2. Sumber daya manusia daerah memiliki Indeks Pembangunan Manusia yang rendah; 3. Sarana dan prasarana yang minim di bidang transportasi, energi, kesehatan, pendidikan, telekomunikasi dan perekonomian; 4. Kemampuan keuangan daerah mempunyai Pendapatan Asli Daerah dan Penerimaan dari Pemerintah rendah.

G. Penutup

Otonomi Daerah adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. dengan adanya desentralisasi maka muncullah otonomi bagi suatu pemerintahan daerah.

19

Pembangunan daerah

adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan

masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut. Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal merupakan program uji coba inovatif yang dirintis oleh pemerintah dirancang untuk mengatasi permasalahan pemerintahan dan kebijakan di kabupaten termiskin di seluruh Indonesia.

20

Daftar Pustaka

Buku : Chen, 2004, Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi Kedua, BPFE UGM, Yogyakarta Djojohadikusumo, Sumitro, 1994, Perkembangan Pemikiran Ekonomi: Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan, Gramedia, Jakarta Falih Suaedi, 2003, Motivasi Kerja, Struktur Organisasi, Budaya Organisasi, Kepemimpinan dan Aliansi Strategi Terhadap Inovasi Dan Kinerja Organisasi, Jurnal Ekonomi dan Bisnis No 2, Vol 7. Fuad Mas’ud, 2004, Survei Diagnosis Organisasional, BP UNDIP, Semarang Gibson, James L et al, 1996, Organisasi dan Manajemen: Perilaku, Struktur, Proses, Edisi Keempat, Terjemahan, Erlangga, Jakarta Handoko, T. Hani, 1992, Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. Edisi Kedua, BPFE UGM, Yogyakarta Handoko, T. Hani, 1998. Kepemimpinan Perusahaan, BPFE UGM, Yogyakarta, Ida Ayu Brahmasari dan Agus Suprayitno, 2004, Pengaruh Motivasi Kerja, Kepemimpinan dan Budaya Organisasi Terhadap Kepuasan Aparatur Serta Dampaknya Pada Kinerja Perusahaan (Studi Kasus Pada PT. Pei Hai International Wiratama Indonesia), Pasca Sarjana Universitas 17 Agustus, Surabaya. Judanto, 2002. Aspek Manusiawi dalam Organisasi, Erlangga, Jakarta Kuncoro, Mudrajad, 2007, Ekonomi Pembangunan : Teori, Masalah, dan Kebijakan, BPFE UGM, Yogyakarta Linawati, 2003, Sikap Organisasi, Edisi ke 3, BPFE UGM, Yogyakarta, Raharja, 2000, Organisasi Yang Visioner, Gramedia, Jakarta Robins, Stephen P., 2003, Perilaku Keorganisasian Jilid 1 Edisi 9. PT Indeks Kelompok Gramedia, Jakarta Simamora, Henry, 2004, Manajemen Sumber Daya Manusia, BP STIE YKPN, Yogyakarta Subkhan, 2000, Kepemimpinan, Gramedia, Jakarta Susanto, AB., 1997, Budaya Institusi : Seri Manajemen Dan Persaingan Bisnis, Cetakan Pertama, Elex Media Komputindo, Jakarta Wibowo, 2001, Budaya Kerja Organisasi, Yogyakarta, BPFE UGM, Yogyakarta Yuki, 1989, Kepemimpinan dan Budaya Kerja. Cetakan Pertama, Elex Media Komputindo, Jakarta Dokumen : Undang undang Dasar Tahun 1945 Undang-undang nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah Undang-undang nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah Undang-undang nomor 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Undang-undang nomor 39/2008 tentang Kementerian Negara

Akses Internet : Website BKD dan Diklat Provinsi NTB : http:///bkddiklat.ntbprov.go.id (diakses 15 Juli 2014).

21