Persinggahan Bocah Indigo Kumpulan Cerpen
Anaci Tnunay
Persinggahan Bocah Indigo Kumpulan Cerpen Oleh: Anaci Tnunay Copyright © 2013 by Anaci Tnunay
Model Sampul Enji Rosalin T Desain Sampul Hikmah N Rabay Katalog dalam Terbitan (KDT) TNUNAY, Anaci Persinggahan Bocah Indigo: Kumpulan Cerpen ii + 186 hal.;13 x 19 cm ISBN: 978-602-7950-05-4
Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
Penulis Menyapa Salam... Pembaca sekalian, tentu Anda pernah mengalami masa kecil, bukan? Masa ketika kau seorang bocah. Masa ketika orang hanya menganggapmu sebagai angin lalu. Masa ketika orang memandangmu hanya sebelah mata. Masa ketika kau ingin berbicara namun tak didengar. Semua itu karena kau hanyalah seorang anak kecil. Seorang bocah. Anak bau kencur. Sekarang Anda boleh beranjak ‘dewasa’. Tak disadari, terkadang suara Tuhan datang lewat seorang anak kecil. Anak kecil yang biasa kita sebut bocah. Namun karena dianggap mereka kecil dan tak tahu apa-apa, suara mereka hilang begitu saja. Tak ada yang mau mendengarkan mereka. Orang dewasa sering berpikir bahwa mereka yang berpengalaman dan lebih mengetahui tentang hidup dibanding seorang bocah. Persinggahan Bocah Indigo bermaksud menyerukan tidak semestinya ide seorang anak kecil diremehkan. Ia punya suara yang pantas didengar. Bukan sebuah kemustahilan bila ia bisa membawa
kita kepada perubahan yang lebih baik karena ide briliannya yang mulanya oleh orang dianggap sepele dan dipandang sebelah mata. Dalam buku Persinggahan Bocah Indigo banyak terdapat kisah kehidupan para bocah dengan ragam problemanya. Masa bocah hanya sebentar. Seperti sebuah persinggahan. Namun apa yang terjadi selama masa tersebut bisa meninggalkan kesan mendalam. Kesan itulah yang dibawanya hingga ia beranjak dewasa. Baik senang, sedih, haru, marah, kecewa, dan lain-lain. Sekalipun masih kecil, mereka bukanlah tidak bisa merasa dan berpikir. Sebab Tuhan sudah membekali mereka akal budi dan hati sejak dimulainya keberadaan mereka dalam kandungan seorang perempuan. Saya berharap, kisah-kisah ini dapat membangkitkan haru, iba, simpati, kesedihan, kelembutan, serta kegelisahan kreatif dari para pembaca sekalian. Tuhan mengasihimu. Selamat membaca...!!! Kupang, Maret 2013
Anaci Tnunay
Daftar Isi *1 Apa Aku Bukan Manusia? ......................................7 *2 Bocah Di Antara Hiruk Pikuk Pesta ...............25 *3 Ceramah Fakta Ketidakadilan ...........................40 *4 Suara Dari Kampung Selatan ............................55 *5 Di Bawah Tulisan Jurnal Refleksi .....................73 *6 Ibu Guru Ketika Hari Ulang Tahun Mateos.........................................................................84 *7 Jangan Kau Usik Tanah Emas Kami ..............98 *8 Mimpi Izal Pun Dikubur ...................................111 *9 Pawai Menabur Tangis .....................................121 *10 Persinggahan Bocah Indigo ..........................135 *11 Sarapan Air Asin .............................................146 *12 Senyum Damai Miss Ayu ..............................159 *13 Sepotong Adegan Paskah Di sebuah Sore .......................................................................176
*1 Apa Aku Bukan
S
Manusia? uatu hari kala matahari belum meninggi, aku yang saat itu belum usia sekolah, berjongkok di halaman belakang, di dekat
kandang babi. Aku mengamati babi betina yang sedang lahap menikmati
makanannya.
Makanan
encer
yang
ditaruhkan ibu dalam baki. Ada jagung yang sudah berkutu, sisa-sisa sayuran, air cucian beras juga ikan, serta sisa makanan basi lain. Babi betina itu sendiri dalam kandangnya, terpisah dari anak-anaknya yang sudah besar di kandang lain. Entah dari mana dan bagaimana, tiba-tiba sesuatu terbersit dalam benakku. Lantas aku meraba keningku, tanganku, dan berbisik pada diriku sendiri, 7
“Akhh, untung saja aku tidak terlahir sebagai babi. Aku beruntung jadi manusia.” Aku bukan babi yang makan di baki yang tak pernah dicuci. Aku juga tak harus dimandikan di genangan air yang keruh. Makanan yang aku makan tak harus menumpuk dengan tahiku sendiri. Dalam pikiran kanak-kanakku, aku begitu bangga aku bukan babi. Babi itu tak bisa bicara. Ia hanya mengeluarkan suara “nguik… nguikk….” ketika kelaparan atau membaui sesuatu yang bisa masuk ke perutnya. Tidak seperti anjing yang walau sama-sama binatang, ia sedikit-sedikit dapat disuruh membantu tuannya menjaga rumah, atau membersihkan lantai rumah dari tahi kuning encer bayi, atau disuruh menggigit betis musuh tuannya, babi hanya tinggal dalam kandang (ah… tapi bagiku sama saja. Mereka tetap binatang, sedang aku… aku anak manusia. Aku lebih dari mereka).
8
Kalau tidak di kandang yang kira-kira 2,5 x 2.0 meter persegi, babi itu akan diikat di sebuah pohon. Mondar-mandir saja di situ. Babi hanya bisa memandang ke luar dari celahcelah papan yang tersusun kuat atau menatap nanar makhluk-makhluk yang bebas lewat. Babi di kandang atau yang terikat, tidak melakukan apa-apa selain menguik, makan, tidur, berak,
kencing
dan
mondar-mandir
di
kotak
sempitnya. Menguik lagi, makan lagi dan tidur lagi. Babi tak ke sekolah. Ia tak bisa belajar, karena tak bisa bicara, atau baca tulis. 9
Aku tersenyum. Kupikir diriku, seorang yang beruntung. Aku anak manusia. Kalau umurku pas, aku bisa ke sekolah. Aku akan belajar di sana. Tentang babi punya kami ini, biasanya dikasih makan banyak-banyak. Minum juga banyak. Karena kata ibu, kalau ia banyak makan dan minum, ia akan terlihat gemuk sehat. Badannya berlemak-lemak, perutnya menggantung bulat di bawah punggungnya. Dan kalau sudah begitu, saat dijual nanti, harganya tidak akan murah. Aku dan mama akan punya banyak uang. Bisa untuk beli makanan enak, baju baru, dan pesiar-pesiar keliling kota. Suatu hari, kala matahari dalam perjalanannya menuju siang, seorang lelaki tinggi besar dengan bola mata
berwarna
merah
datang
ke
rumah.
Ia
mengenalkan dirinya sebagai om Rufus. Datang mencari babi. “Mau beli,” katanya. Aku yang sedang berkubang dengan debu merah di halaman berhenti, lalu beranjak memanggil ibu di dapur. Rupanya, ibu sedang di halaman 10
belakang, mengurus babi betina itu. Si pembeli babi pun ke sana. Dengan ibu, terjadi tawar menawar harga babi. Tetapi entah karena babi, entah karena ibu atau aku, beberapa hari berikutnya, kulihat om Rufus selalu mendatangi rumah kami. Bahkan bermalam satu dua hari. Sampai… akhirnya beberapa minggu setelah tawar menawar babi itu, ia terus bermalam di rumah. Dan tanyaku ini barulah terjawab setelah ibu memintaku dengan kata-katanya yang manis-manis air gula, jangan panggil dia om lagi. “Panggil saja bapak,” pintanya. “Iya, Feti?” Ibu seperti mendesak melihat aku tak bereaksi. “Ya!” aku mengangguk pelan. “Bilang apa?” lagi-lagi ibu belum puas. “Bapak,” sahutku pelan. Ibu tersenyum. Hari-hari pun berlalu. Aku yang semula bermimpi untuk ke sekolah melihat anak-anak seusiaku berlarian gembira ke dan 11
dari sekolah, kini sirna sudah. Karena ketika maksud itu kuutarakan, bapak malah menentang. “Kamu, Fet. Anakku. Tak usah sekolah! Kamu kan perempuan, nanti juga kerjanya di dapur,” tanggapnya cepat tanpa menoleh. Ia sedang menyalakan rokoknya. “Tapi aku ingin seperti mereka!” protesku setengah merengek. “Mereka siapa?” kulihat ia mengerutkan dahi. “Teman-teman sebayaku yang ke sekolah itu.” “Ah..! Biarkan. Perempuan, balik-baliknya duduk di depan tungku, berteman dengan abu dapur,” katanya sambil menepis tangan kirinya. “Fet!” Setelah berdiam beberapa saat, “Kamu itu, sekarang, yang penting, makan cukup biar sehat! Jaga tubuhmu, biar terawat. Kalau kamu sudah cantik, siapa sih laki-laki yang tak bakalan melirik kamu? Nona manis cantik begini?” Ia tersenyum. Senyum yang dipaksakan.
12