POLITIK HUKUM PERKAWINAN DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Oleh : Sri Wahyuni (Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
is article discusses about the politics of Indonesia marriage law, especially relates to the law of interreligious marriage. Interreligious marriage always becomes a polemic. ere is an argument says that it’s forbidden but there is another which says that there is a vacuum of law in the interreligious marriage, because it’s not regulated clearly. Furthermore, by observing to the politic of the Marriage law legislation, the legislator tended to prohibit the interreligious marriage, especially the Muslim community who regarded that the interreligious marriage is incompatible to the Islamic law. Keywords : marriage law, interreligious marriage, marriage law legislation
PENDAHULUAN Pembahasan tentang perkawinan beda agama di Indonesia merupakan suatu yang rumit. Sebelum berlakunya Undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disingkat dengan UU Perkawinan), perkawinan beda agama termasuk dalam jenis perkawinan campuran. Adapun perkawinan campuran diantur dalam Regeling op de Gemengde Huwelijk stbl. 1898 nomor 158, yang biasanya disingkat dengan GHR. Dalam Pasal 1 GHR ini disebutkan bahwa perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Menurut Sudargo Gautama, pasal tersebut mempunyai pengertian sebagai perbedaan perlakuan hukum atau hukum yang berlainan, yang didalamnya antara lain disebabkan karena perbedaan kewarganegaraan, kependudukan dalam religi, golongan rakyat, tempat kediaman atau agama.1 Setelah berlakunya UU Perkawinan, secara tegas perkawinan campuran dinyatakan dalam Pasal 57 yaitu perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, kerana perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Dengan demikian, perkawinan beda agama bukan lagi termasuk dalam perkawinan campuran. Perkawinan beda agama, akhirnya menjadi polemic tersendiri. UU Perkawinan yang tidak mengatur secara jelas tentang perkawinan beda agama, membuat pelaksanaan perkawinan beda agama tersebut menjadi relatif sulit. Dalam UU perkawinan Pasal 2 bahkan disebutkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan menurut agama dan kepercayaan masing-masing.2 Dari pasal ini dapat dinyatakan bahwa perkawinan di 1 Octavianus Eoh, Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktik, (Jakarta: Sri Gunting, 1996), hlm. 9. 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Indonesia adalah perkawinan berdasarkan hukum agama. Sehingga, perkawinan yang dilaksanakan tidak berdasarkan atau menyalahi hukum agama dianggap tidak sah. Dari pasal tersebut, biasanya ditarik pengertian juga bahwa perkawinan beda agama yang tidak diperbolehkan oleh suatu hukum agama, menjadi tidak sah pula. Di sisi lain, terdapat pemahaman bahwa terdapat kekosongan hukum tentang perkawinan beda agama ini, karena tidak diatur secara jelas. Berdasarkan Pasal 66 UU Perkawinan, maka kembali ke peraturan lama, yaitu GHR. Agar tidak terjadi kesimpangsiuran pemahaman tentang perkawinan beda agama di Indonesian ini, perlu dikaji interpretasi hukum perkawinan secara teleologis, yaitu tujuan para pembuat hukum dalam merumuskan hukum perkawinan tersebut, terutama terkait dengan pengaturan perkawinan beda agama di Indonesia. Tulisan ini membahas tentang politik hukum perkawinan di Indonesia terkait dengan perkawinan beda agama. POLITIK HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA MASA HINDIA BELANDA Larangan pernikahan antara umat Islam dengan non-Islam di Nusantara, telah ditemukan dalam buku kih paling awal. Abdurrauf Syiah Kuala telah menyebutkannya secara relatif luas dalam bukunya “Mir’at ut ullab”, sebuah buku kih yang ditulis atas permintaan Ratu Negeri Aceh Darusaalam (Sha atuddin Syah) dalam abad ke-17 Masehi. Setelah ini larangan perkawinan antaragama diberikan oleh Jalaluddin At-Turasani dalam bukunya yang berjudul “Sa nat al-Hukm Takhlish al-Khashsham.” Buku ini ditulis atas permintaan Sultan ‘Alauddin Syah, sebagai pegangan hakim di kerajaan Aceh Darussalam guna melengkapi buku “Mir’at at-ullab” yang telah ada sebelumnya. Setelah ini, Syekh Arsyad al-Banjari dalam risalah kecilnya yang diberi judul “Risalah Nikah”, dan hampir semua buku tentang
pernikahan menyebutkan adanya larangan pernikahan karena perbedaan agama.3
Semangat untuk menyebarkan agamanya tersebut semakin tinggi karena di wilayah yang baru dikunjungi ini mereka harus berhadapan dengan umat Islam, umat yang harus mereka hadapi dengan susah payah di Semenanjung Iberia. Agamanya diajarkan di Maluku dan Timor Timur. Dalam agama ini, perkawinan antara agama dianggap tidak sah dan cenderung dilarang dengan sangat keras.4
Agama Nasrani datang lebih belakangan dari agama Islam ke Nusantara, pertama kali dibawa oleh bangsa Portugis sebagai bangsa Barat pertama yang datang ke wilayah Nusantara untuk berdagang dan menjelajah pada akhir abad ke-15 Masehi. Mereka mencari jalan sendiri untuk bisa sampai ke Nusantara dengan semangat yang kelihatannya sangat tinggi, karena terdorong sekurang-kurangnya ... Belanda melakukan penelitian oleh dua hal; yaitu pertama, mereka baru berhasil mengusir umat Islam tentang hukum yang berlaku di dari Semenanjung Iberia, tahun 1492; masyarakat, dan menemukan kedua, mereka sangat terkesan dengan perjalanan Columbus yang ingin pergi bahwa hukum yang berlaku adalah ke India tetapi ternyata menemukan hukum Islam. Amerika. Lebih dari itu, perdagangan rempah -rempah yang sebelumnya menggunakan Jalan Sutera (jalan darat) dari Cina ke Eropa menjadi terganggu karena penyerangan Timur Lenk (w. 1404 M) ke berbagai wilayah Timur Tengah; dan juga kemudian kemunculan Kesulatanan Usmaniyah di Asia Kecil, yang pada abad ke-15 juga mampu merebut Konstantinopel dari tangan Romawi Timur (1453 M) dan menjadikannya sebagai ibukota Kesultanan Usmaniyah Islam. Guna mencari sumber rempah-rempah agar mendapat keuntungan yang besar, maka Portugis sejak awal kedatangannya ingin memonopoli perdagangan rempah-rempah sejak dari sumbernya di Maluku dan Route perdagangannya sampai ke Eropa. Untuk itu, mereka berusaha menguasai wilayah yang menjadi sumber dan jalur perdagangan tersebut, misalnya Kalikut dan Goa di India serta Malaka dan Timor di Nusantara serta beberapa negeri lain di Afrika. Selain untuk mengamankan jalur perdagangannya, penguasaan wilayah tersebut oleh Portugis juga digunakan untuk menyebarkan agamanya, Nasrani Katolik. 3 Alyasa Abubajar, Perkawinan Muslim Dengan Non-Muslim, (Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2008), hlm. 17.
Belanda yang datang pada akhir abad ke-16 Masehi dan berhasil mengalahkan Portugis, juga menyebarkan agama yang mereka bawa yaitu Protestan. Pada mula kedatangannya, Belanda tidak membawa nama negara atau kerajaannya secara langsung. Mereka membentuk sebuah perusahaan (perserikatan) dagang yang popular dengan sebutan VOC tahun 1602. Perusahaan ini diberi kekuasaan kekuasaan lebih luas dari sekedar berdagang. VOC selain diberi izin untuk memonopoli perdagangan, juga diberi izin untuk membuat perjanjian dengan kerajaan atau penguasa daerah-daerah yang dikunjungi dan lebih dari itu, merebut dan menguasai wilayah yang dianggap perlu, dengan demikian, VOC memiliki dua sifat, yaitu semacam badan atau kongsi untuk berdagang dan semacam badan untuk memerintah. Walaupun VOC mempunyai sifat untuk memerintah, namun ia lebih menonjolkan misi dagangnya, dari pada misi untuk penguasaan wilayah dan penyebaran agamanya, walaupun hal tersebut tidak dapat dipisahkan secara jelas sejak awal kedatangannya. Namun, mereka juga melarang perkawinan antar agama khu4
Ibid., hlm. 18–19.
susnya antara orang Eropa yang beragama Nasrani dan orang Pribumi yang beragama non-Nasrani. Karena terus merugi, perusahaan dagang ini dibubarkan pada tahun 1800 dan Pemerintah Belanda mengambil alih semua tanggungjawab dan utang-piutang VOC tersebut. Sejak itu, Belanda mencengkeramkan kuku penjajahannya secara lebih langsung dan berupaya mengukuhkan kekuasaannya sedemikian rupa, dan untuk itu mereka menaruh perhatiannya terhadap agama dan aturan hukum yang berlaku di kalangan rakyat Pribumi. Mereka mencampuri, mengubah bahkan mengganti berbagai hukum yang ada di tengah masyarakat dengan hukum Belanda atau hukum lain yang lebih menguntungkan atau memperteguh penjajahan mereka. Pada masa kolonial Belanda ini, pemisahan penduduk berdasarkan agama cenderung dilonggarkan, namun dibuat sekat baru berdasarkan asal usul, dan hukum Adat.5 Belanda setelah mengamati masyarakat Hindia Belanda, mendapati bahwa Islam telah berkembang dengan baik, terutama dalam masalah perkawinan, karena dalam Islam perkawinan adalah suatu peristiwa penting yang menjadi tanda keislaman atau sekurang-kurangnya tanda kesempurnaan keislaman seseorang. Oleh karena itu, Belanda ketika hendak mencampuri hukum yang berlaku di tengah masyarakat yaitu hukum Adat, sering sekali berhadapan dengan hukum Islam, yang telah diamalkan dengan baik di masyarakat. Kemudian, Belanda melakukan penelitian tentang hukum yang berlaku di masyarakat, dan menemukan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum Islam. Adapun kodi kasi yang pernah mereka buat dari hasil penelitian tersebut diantaranya adalah Mugharrer (Compendium der voornaamste Javaansche Wetten nauwkeuring getrokken uit het Muhammedansche Wetboek Mogharreaer) tahun 1747, dibuat sebagai pegangan pengadilan di Semarang dan Pepakem Cirebon (Cire5
Ibid., hlm. 25.
bonsche Rechtsboek) tahun 1765, dibuat sebagai pegangan pengadilan Cirebon.6 Begitu juga di Sulawesi Selatan, terdapat Compendium Indiansche Wetten bij de Hoven van Bone en Goa.7 Selanjutnya, politik hukum Belanda berusaha memisahkan antara hukum Islam dari masyarakat, yaitu yang terkenal dengan teori receptie, yakni hukum Islam baru akan berlaku sekiranya telah diterima menjadi hukum Adat oleh masyarakat yang bersangkutan. Sekiranya sebuah masyarakat Muslim belum melaksanakan hukum Islam secara efektif di tengah masyarakatnya, maka hukum Islam tersebut tidak boleh dijalankan.8 Politik hukum Belanda pada masa itu —terutama terkait dengan hukum perdata—9 adalah pengolongan penduduk dan penerapan hukum yang berbeda-beda bagi masing-masing golongan, dan di sisi lain dengan mengurangi pemberlakuan hukum Islam di masyarakat. Selain itu, pada masa awal, Belanda juga berusaha memisahkan masyarakat Hindia Belanda berdasarkan agamanya. Tampak bahwa orang-orang yang beragama Kristen disamakan dengan gologan Eropa baik itu dari Pribumi, Tionghoa ataupun Arab. Akan tetapi, pada akhirnya, pemisahan penduduk berdasarkan agama dilonggarkan. Keadaan penduduk yang beragam cenderung diberi kebebasan untuk melaksanakan hukum Adat mereka sendiri-sendiri. Begitu juga dibuat aturan penghubung antara warga dari berbagai golongan penduduk ini, terutama dalam masalah perkawinan, yaitu Peraturan Perkawinan Campuran atau Regeling op de Gemende Huwelijken (GHR). Peraturan ini 6 John Ball, Indonesian Legal History 1602 – 1848, (Australia: Chatswood NSW, 1982), hlm. 57 dan 60. Dikutip juga oleh Alyasa Abubakar, Perkawinan ...., hlm. 21–22. 7 Ratno Lukito, Islamic Law and Adat Encounter: The Experience of Indonesia, (Jakarta: Logos, 2001), hlm. 37. 8 Alyasa Abubakar, Perkawinan ..., hlm. 23. 9 Hukum rakyat yang mula sekali dicampuri adalah hukum pidana. Alasan mereka adalah alasan kemanusiaan, karena hukum mereka yang hanya mengenal pemidanaan dengan pidana penjara dan denda, dianggap lebih manusiawi dari pada hukuman pidana adat yang berlaku di masyarakat seperti pengusiran, hukum cambuk, dan hujuman mati. Ibid., hlm. 23.
dikuatkan dalam Besluit kerajaan tanggal 29 Desember 1896 Nomor 23, Stattsblaad 1898 Nomor 158. Dalam peraturan ini disebutkan: “…perbedaan asal usul dan atau kedudukan (status) hukum, tidak boleh menjadi penghalang untuk perkawinan.” Pada tahun 1901 ditambahkan aturan bahwa “Perbedaan agama tidak dapat digunakan sebagai penghalang melalukan perkawinan campuran (Pasal 7 ayat [2]). Dengan adanya peraturan ini, maka perkawinan beda agama yang masa-masa sebelumnya cenderung dilarang, menjadi diperbolehkan dan diatur secara sah.10 POLITIK HUKUM PERKAWINAN BEDA AGAMA SETELAH INDONESIA MERDEKA Pasca kemerdekaan, bangsa Indonesia berupaya untuk membentuk hukumnya sendiri yang terlepas dari hukum Belanda kolonial. Terkait dengan pembaharuan hukum perkawinanan, pada tanggal 21 November 1946 telah dikeluarkan Undang-Undang tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, yaitu Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946. Pada saat itu, bangsa Indonesia sedang menghadapi Belanda yang hendak menjajah kembali tanah air, sehingga pemberlakuan undang-undang tersebut untuk seluruh wilayah Republik Indonesia belum dapat dilakukan. Oleh karena itu, undang-undang tersebut hanya diberlakukan di Jawa dan Madura. Baru pada tahun 1954 dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954, maka undang-undang tersebut diberlakukan untuk seluruh wilayah Indonesia.11 Dalam undang-undang tersebut, tidak hanya diatur tentang pencatatan semata, akan tetapi secara eksplisit menegaskan bahwa tugas PPN (Petugas Pencatat Nikah) adalah 1) mengawasi nikah yang dilakukan menurut agama Islam; 2) mencatat nikah tersebut dan menerima pemberitahuan selanjutnya mencatat segala talak dan rujuk yang diberitahukan 10 Ibid., hlm. 26–27. 11 A. Wasit Aukawi, “Sejarah Perkembangan Hukum Islam” dalam Pengurus Pusat Ikatan Hakim Peradilan Agama, Prospek ..., hlm. 83.
kepadanya. Yang dimaksud dengan mengawasi dalam penjelasan undang-undang ini adalah a) PPN harus hadir pada saat akad nikah itu dilangsungkan, dan lalu mencatatnya, dan b) memeriksa, ketika para pihak menyatakan kehendaknya untuk menikah, apakah ada halangan/ larangan, baik menurut hukum Islam atau menurut undang-undang. Jika terdapat halangan maka PPN dapat menolak dilaksanakannya nikah tersebut.12 Tentang pencatatan perkawinan, setelah kemerdekaannya, Indonesia juga masih mewarisi system pencatatan masa colonial, terutama adanya Kantor Catatan Sipil (Burgerlijk Stand) yang dibentuk sejak tahun 1849, untuk mencatatkan perkawinan berdasarka BW yaitu bagi orangorang Eropa, Tionghoa dan perkawinan berdasarkan HOCI. Dengan demikian, dalam perkembangannya, system pencatatan perkawinan yang terpisah pun terjadi. Bagi orang Islam pencatatan perkawinan dilakukan di KUA sedangkan yang lain di Kantor Catatan Sipil.13 Tahun1950 terdapat kasus tentang perkawinan campur beda agama yang sampai diajukan ke pengadilan, yaitu kasus seorang perempuan muslim yang bernama Soemarni Soeriaatmadja yang menikah dengan seorang laki-laki Kristen yang bernama Ursinus Elias Medellu. Pihak KUA menolak untuk mencatatkan perkawinan antara seorang perempuan muslim dan seorang laki-laki non-muslim ini, karena tidak diperbolehkan menurut hukum Islam. Kemudian, Soemarni mengajukan perkaranya ke Pengadilan Negeri Daerah, dan pengadilan menyatakan tidak ada landasan hukum untuk perkawinan tersebut, sehinga pasangan tersebut melaksanakan perkawinannya di gereja Protestan. Akhirnya, ayah Soemarni yang juga menjadi pegawai Kementrian Agama, menentang perkawinan tersebut dan mengajukannya ke Pengadilan Negeri Daerah Jakarta agar dibatalkan. Pengadilan me12 Ibid., hlm. 84. 13 Mark Cammack, “Legal Aspects of Muslimnon-muslim Marriage in Indonesia” ..., hlm. 105 – 106.
nolak tuntutan tersebut. kemudian, dia mengajukan kasasi terhadap putusan tersebut ke Mahkamah Agung. Mahkamah Agung membenarkan putusan Pengadilan Negeri, dan menolak bahwa doktrin agama dapat membatasi kebebasan seseorang untuk menikah dengan orang yang berbeda agama. Jadi, putusan-putusan pengadilan tersebut menguatkan adanya perkawinan campur beda agama. Di sinilah, terjadi kontradiski antara hukum negara dan hukum agama tentang perkawinan campur beda agama. menurut pengadilan, tidak ada pembedaan agama ataupun etnisitas bagi masyarakat Indonesia, sehingga menyimpulkan bahwa pembolehan perkawinan beda agama ini secara praktis penting untuk mencegah konsekuensi-konsekuensi social yang tidak berdasarkan hukum. Menurut pengadilan, kontradiksi antara hukum negara dan hukum agama ini bukan pertentangan yang sebenarnya, karena tugas hukum negara adalah megatur kehidupan masyarakat sedangkan hukum agama secara prinsip mengajarkan keselamatan di kehidupan akhirat. Hal ini menimbulkan protes di kalangan umat Islam. September 1952, sekitar lima ribu umat Islam berkumpul di masjid Tanah Abang Jakarta untuk melakukan protes terhadap perkawinan beda agama tersebut, dan menuntut negara untuk membatalkan perkawinan tersebut. mereka membuat pernyataan dan tuntutan resmi kepada Presiden Soekarno, yang menyatakan bahwa perkawinan antara Soemarni dan Ursinus tidak sah menurut hukum Islam.14 Selanjutnya, upaya untuk melakukan reformasi hukum perkawinan terus dilakukan. Upaya ini juga datang dari kaum nasionalis yang mengupayakan unikasi hukum perkawinan Indonesia, yang berbeda dengan hukum Belanda, terutama dalam hal perkawinan dan perceraian. Hukum perkawinan ini nantinya akan menjadi hukum perkawinan nasional Indonesia yang mengakomodir aspirasi nasi14 Ibid., hlm. 107 – 107.
... sehingga menyimpulkan bahwa pembolehan perkawinan beda agama ini secara praktis penting untuk mencegah konsekuensikonsekuensi sosial yang tidak berdasarkan hukum. onal yang diterapkan untuk seluruh warga negara Indonesia tanpa melihat perbedaan asal suku, agama dan kondisi sosialnya. Usaha untuk membentuk satu hukum perkawinan nasional yang uni katif ini di mulai tahun 1950, dengan tanpa menghiraukan hukum agama. Baru tahun 1952, Menteri Agama membentuk panitia menyusun dra RUU Perkawinan dari kelompok agamawan. Kelompok ini membatalkan tujuan awalnya, dan menggantikannya dengan perumusan draf yang didasarkan hukum agama yang berbeda-beda. Tahun 1954, panitia ini menyelesaikan tugasnya. Mereka telah menyusun draf perkawinan Islam. Draf tersebut belum selesai dibahas di DPR, hingga tahun 1958, karena ada counter dari kelompok nasionalis yang netral keagamaan. Akhirnya, pembahasan deadlock. Upaya baru dilakukan pemerintah dengan menyerahkan dua draf RUU Perkawinan ke DPR. Tahun 1967, UU Perkawinan untuk Muslim dan tahun 1968 UU Perkawinan didasarkan pada prinsip-prinsip hukum agama diterapkan untuk seluruh kelompok keagamaan. Perdebatan legislatif tentang RUU Perkawinan sejak tahun 1967 hingga 1970 tidak membuahkan hasil. Kegagalan pembahasan RUU Perkawinan yang uni katif tersebut dikarenakan terjadinya kon ik kepentingan antara berbagai kelompok. Kelompok Islam ingin menarapkan hukum perkawinan Islam, sedangkan kelompok Kristen tidak menginginkan adanya pengaruh hukum Islam. Mereka menginginkan hukum perkawinan yang bisa mengakomodir kepentingan pihak minoritas yang
sesuai dengan kondisi sosial, politik dan kehidupan ekonominya. Kelompok Tionghoa juga cenderung menolak upaya unikasi tersebut, karena uni kasi tersebut akan menempatkan mereka setara dengan masyarakat Indonesia yang lain, apabila prinsip-prinsip hukum Islam juga akan diterapkan kepada mereka. Dengan kegagalan pembahasan dra RUU Perkawinan yang uni katif —arena terjadi kon ik antara berbagai kelompok kepentingan—tersebut, maka pemerintah mengajukan draf RUU Perkawinan yang baru ke DPR pada tanggal 31 Juli 1973. Pengajuan draf baru ini juga menimbulkan kontroversi lagi, terutama dari kalangan umat Islam, karena pihak umat Islam, baik dari kementrian agama maupun para tokoh pemimpin Muslim tidak diajak membicarakannya sebelumnya. Lebih dari itu, mereka merasa bahwa mayoritas pasal dalam draf RUU baru tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam, dan dianggap menghilangkan pengaruh Islam dalam negara ini; dan tidak mengherankan saat itu muncul berbagai rumor tentang adanya kristenisasi.15 a) Kontroversi dalam Pasal-Pasalnya Pasal-pasal yang dianggap kontroversial dalam RUU Perkawinan diantaranya yaitu: pertama, Pasal 2 ayat (1) yang menekankan pencatatan sipil penting untuk keabsahan perkawinan bagi umat Islam; kedua, Pasal 3 dan 40, menekankan bahwa perceraian umat Islam harus dilaksanakan di Pengadilan negeri dan poligami harus dengan izin dari Pengadilan Negeri; ketiga, Pasal 11 (2) yang menekankan bahwa perkawinan beda agama tidak dihalangi; keempat, Pasal 8 huruf (c) dan Pasal 62 yang melihat status anak adopsi sama dengan status anak kandung; kelima, Pasal 15 Azyumardi Azra, “The Indonesian Marriage Law of 1974: An Institutionalization of Social Changes,” dalam Arskal Salim dan Azyumardi Azra, ed., Shari’a and Politics in Modern Indonesia, (Singapore: ISEAS, 2003), hlm. 82. Katz & Katz, Indonesian Marriage Law, hlm. 660; Antony H. Johns, “Indonesia Islam and Cultural Pluralism,” dalam John L. Epsosito, ed., Islam in Asia: Religion, Politics and Society, (NewYork: Oxford University Press, 1987), hlm. 217-218.
13 dan 49, yang memberi legalitas untuk pertunangan dan menekankan bahwa kehamilan dalam masa pertunangan dapat diakui jika pihak laki-laki akan menikahi pihak perempuan tersebut, dan akan memberikan status anak sah bagi anak yang dilahirkan nantinya.16 Pasal-pasal tersebut dianggap tidak sesuai dengan hukum Islam. Dalam hukum Islam, keabsahan nikah hanya terletak pada terpenuhinya rukun nikah, seperti adanya kedua calon mempelai, wali bagi calon mempelai perempuan, dua orang saksi, mahar/mas kawin dan ijab kabul. Pencatatan perkawinan tidak disyaratkan pada keabsahan perkawinan dalam hukum Islam. Begitu juga dalam hal perceraian dan poligami. Bagi para Muslim, pergi ke pengadilan negeri berarti menjadikan peradilan Islam di bawah pengadilan negeri, dan itu bertentangan dengan hukum Allah. Menurut mereka, peradilan Islam merupakan simbol otoritas dan jaminan ditegakkannya syariat Islam. Kaum Muslim melihat pasal-pasal tersebut menghilangkan kekuatan Islam yang besar di Indonesia, dan menghilangkan kekuatan dan fungsi peradilan Islam di Indonesia, yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaaan Pokok Kehakiman saat itu. Kemudian, dalam pasal RUU tersebut, juga tidak diragukan adanya halangan untuk nikah beda agama. Hal tersebut di atas diangap bertentangan dengan hukum Islam. Perkawinan beda agama ini sebagaimana sudah ditolak oleh umat Islam dalam sejarah panjangnya sejak masa Hindia Belanda, yaitu dengan adanya Peraturan Perkawinan Campuran tahun 1898. Perkawinan beda agama ini ditolak oleh umat Islam karena dianggap tidak sesuai dengan Islam sebagai pedoman hidup mereka, dan dengan perkawinan ini berarti membiarkan wanita Muslim menikah dengan laki-la16 Azyumardi Azra, “The Indonesian ...., hlm. 83.
ki non-Muslim dan membiarkan upaya kristenisasi secara legal; dan akhirnya anak-anak hasil perkawinan campuran ini akan menjadi non-Muslim. Berdasarkan pemikiran ini, maka para tokoh Islam mengkritisi pasal-pasal yang diajukan ini, sebagai kristenisasi yang terselubung.17 Dua pasal yang lain yaitu tentang status anak adopsi sama dengan anak kandung juga dianggap kontroversial. Pasal ini juga melarang anak angkat untuk kawin dengan orangtua angkatnya. Oleh karena itu, umat Islam menolak pasal tersebut. begitu juga pasal-pasal tentang status pertunangan dan anak yang lahir dalam pertunangan. Umat Islam menolak memberian status sah terhadap pertunangan dan anak yang dilahirkan akibat pertunangan. Mereka menganggap anak tersebut anak luar nikah.18
Keinginan untuk menyempurnakan RUU memantul warna-warni yang indah dan bermanfaat bagi kehidupan parlementer yang demokratik.
maupun pemerintah, karena baik dalam GBHN maupun pandangan hidup bangsa Indonesia, aliran kepercayaan bukanlah agama, melainkan hanya sekedar kebudayaan, sehingga tidak dapat dijadikan dasar hukum pelaksanan perkawinan.19 Sebagai upaya untuk mencegah terjadinya deadlock dalam pengesahan RUU tersebut, maka “rumusan kompromi” tersebut diterima, yang secara prinsip tidak menyalahi maksud dari undang-undang tersebut, yakni bahwa agama sajalah yang menjadi syarat sahnya perkawinan. Akan tetapi, secara psikologis tidak merugikan kelompok yang mengusung aspirasi tersebut. Kata “kepercayaannya itu” sebagaimana juga terdapat dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, dalam keutuhan maknanya, lalu diambil dan dipandang di belakang kata “agama”, sehingga pada setiap kata “agama” selalu diikuti kata “kepercayaannya itu”. Oleh Karena itu, tambahan kata “kepercayaannya itu” di belakang kata “agama”, secara hukum tidak memberi makna apa pun, sehingga dapat dikesampingkan.20
Perdebatan juga terjadi dalam pembahasan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, tentang istilah “kepercayaannya itu” sebenarnya merupakan “rumusan kompromi” sebagai akibat dari terjadinya tarik-menarik kepentingan politik pada saat dibahasnya RUU Perkawinan di DPR. Sementara kelompok yang ingin mendesakkan keinginannya untuk menjadikan tatacara perkawinan menurut “aliran kepercayaan”, sebagaimana halnya agama, sebagai landasan penentu bagi sahnya perkawinan yang dilangsungkan oleh orang yang menganutnya. Desakan keinginan tersebut telah ditolak oleh mayoritas anggota DPR
b) Prosesi Legislasinya Sementara di dalam sidang DPR terjadi perdebatan, di luar gedung DPR juga terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh para aktivis Muslim. Gedung DPR diduduki oleh para demonstran Muslim tersebut, sehingga pemerintah sepakat untuk menerima perubahan yang fundamental dalam RUU tersebut. Presiden Soeharto akhirnya sepakat dengan Fraksi Pesatuan Pembangunan (FPP) di DPR untuk mengubah pasal-pasal yang bertentangan dengan hukum Islam. Akhirnya, revisi terhadap RUU dapat dilakukan oleh DPR hingga tanggal 22 Desember 1973, dan RUU tersebut ditandangani oleh Presiden tanggal 2 Januari 1974, sebagai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sebagai aturan pelak-
17 Ibid., hlm. 83. 18 Daniel S. Lev, Peradilan Agama Islam di Indonesia: Suatu Studi Tentang Landasan Politik Lembaga -lembaga Hukum, Terjemah, Zaini Ahmad Noeh, (Jakarta: Intermasa, 1986), hlm. 340.
19 H.M. Thahir Azhary, Menegakkan Syari’at Islam dalam Konteks Keindonesiaan: Proses Penerapan Nilai-nilai Islam dalam Aspek Hukum, Politik dan Lembaga Negara, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 93. 20 Ibid., hlm. 94.
Rasjidi berpendapat bahwa terdapat gerakan untuk menjadikan perkawinan beda agama sebagai sebuah praktik yang normal dan wajar, sebagaimana dinyatakan dalam RUU Perkawinan. sanaannya, ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, yang mengatur tentang prosedur pelaksanaan perkawinan dan perceraian.21 Tidaklah terpikirkan oleh pemerintah untuk melaksanakan RUU tentang Perkawinan ini tanpa peluang bagi adanya perbaikan dan penyempurnaan oleh DPR RI, karena dalam sistem ketatanegaraan RI, DPR merupakan partner pemerintah dalam proses pembentukan undang-undang. Keinginan untuk menyempurnakan RUU memantul warna-warni yang indah dan bermanfaat bagi kehidupan parlementer yang demokratik. Adanya perbedaan pendapat merupakan rahmat serta dibenarkan asalkan disertai dengan kejujuran dan kesunguhan hati. Mengenai permasalahan Pasal 2 RUU yang oleh FPP dinilai kurang sempurna sebab kurang menegaskan persyaratan keabsahan menurut agama atau yang FPDI dikemukakan seakan-akan aspek pencatatan sebagai superioritas dari kelangsungan perkawinan menurut agama. Sebenarnya, bukan demikian yang dimaksudkan oleh pemerintah, sebab dengan sangat jelas ditentukan bahwa “Perkawinan itu dilangsungkan menurut ketentuan hukum perkawinan dari pihak-pihak yang melakukan perkawinan.” Hal ini berarti bahwa bagi orang Indonesia yang beragam Islam, berlakukan hukum Islam yang telah diterima oleh Adat itu, seperti perlu hadirnya wali, beberapa saksi, pernyataan ijab kabul, adanya mahar (mas kawin) dan sebagainya.22 21 Azyumardi Azra, “The Indonesian…., hlm. 84. 22 Daniel S. Lev, Peradilan ...., hlm.330–340.
c) Pro-Kontra Seputar Legislasi RUU Perkawinan tersebut menuai berbagai respon masyarakat, baik pro maupun kontra. Majalah tempo melaporkan bahwa sejarah di Indonesia tidak pernah ada legislasi RUU yang lepas dari perhatian masyarakat. Berbagai organisasi Islam termasuk Majelis Ulama Aceh, Generasi Muda Islam Indonesia (GMII), Pelajar Islam Indonesia (PII), Ikatan Pelajar Nahdatul Ulama (IPNU), Ikatan Pelajar Putri Nahdatul Ulama (IPPNU), Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM), juga beberapa tokoh Muslim secara individual, menolak RUU Perkawinan tersebut berdasarkan keyakinan mereka bahwa perkawinan beda agama bertentangan dengan ajaran Islam. Anwar Harjono, misalnya, mengutip fatwa MUI bahwa perkawinan beda agama haram hukumnya, karena mafsadah-nya lebih banyak daripada manfaatnya.23 Menurutnya, umat Islam menolak perkawinan beda agama dalam RUU perkawinan tersebut murni berdasarkan keyakinan agamanya, bukan politis. Walaupun dalam GBHN dinyatakan bahwa penting untuk memiliki hukum yang seragam secara nasional yang mengatur seluruh warga negara Indonesia, menurutnya, bahwa sebuah hukum tidak dapat diterapkan dalam semua aspek kehidupan. Dia juga menekankan bahwa dalam masalah hukum keluarga, hukum nasional yang uni katif hanya dapat mengatur aspek-aspek kehidupan nonkeagamaan dan nonkultural, seperti tentang harta kekayaan dan kontrak-kontrak, bukan masalah yang terkait dengan aspek keagamaan seperti perkawinan, perceraian dan kewarisan.24 Rasjidi juga merupakan tokoh yang paling keras menentang RUU Perkawinan. Dalam bukunya “Kasus RUU Perkawinan 23 Anwar Harjono, “Renungan Menjelang Ramadhan,” Media Dakwah, March 1992, 6-7 dikitup dalam Fatimah Husein, Muslim-Chistian Relations in The New Order Indonesia: The Exclusivist and Inclusivist Muslims’ Perspektive, (Bandung: Mizan, 2005), hlm. 198-199. 24 “RUU Perkawinan: Mencabut & Merubah,” Tempo, 22 September 1973, 8-9 dikutip dalam Ibid.
dalam Hubungan Islam dan Kristen,” dia berpendapat bahwa perkawinan beda agama tidak diperbolehkan dalam Islam. Dia merujuk kepada kasus perkawinan di Keraton Solo, Juli 1973, beberapa bulan sebelum RUU Perkawinan diperdebatkan. Peristiwa perkawian antara Koes Supiah, putri Susuhunan (Sultan) Pakubuwono XII, yang menikah dengan seorang yang beragama Kristen yang bernama Sylvanus dari Kalimantan.
satuan Protestan, Sinar Harapan, mengekspos sebuah memorandum yang diterbitkan oleh Komite Kesatuan Generasi Muda Indonesia yang menyatakan bahwa negara tidak dapat dan tidak boleh menetapkan pelaksanaan ajaran keagamaan kepada para pemeluknya, termasuk masalah perkawinan. Dengan kata lain, negara harus menjamin kebebasan seluruh warganya untuk melaksanakan perkawinan beda agama.26
Menurut Rasjidi, fakta bahwa Koes Supiah tidak diperbolehkan menikah dengan kekasihnya Abdullah Suwarna yang beragama Islam, yang telah dikenalnya selama beberapa tahun, tetapi justru diperbolehkan menikah dengan seorang yang beragama Kristen. Hal ini merupakan bukti upaya untuk melegalkan perkawinan beda agama. Rasjidi berpendapat bahwa terdapat gerakan untuk menjadikan perkawinan beda agama sebagai sebuah praktik yang normal dan wajar, sebagaimana dinyatakan dalam RUU Perkawinan.
Dalam edisi Kompas (surat kabar milik orang Katolik) dan Sinar Harapan menanggapi isu tersebut, dan menyatakan bahwa hukum yang didasarkan pada agama tentang perkawinan akan membuka jalan bagi penerapan hukum berdasarkan agama lain pada aspek lain dalam kehidupan. Respon yang lebih serius datang dari surat yang ditandatangani oleh SAE Nabban dari DGI dan Sekretaris MAWI, Leo Soekoto SJ, tanggal 12 Desember 1973, yang berisi: 1) Berdasarkan Pasal 29 UUD 1945 bahwa negara menjamin warganya untuk memeluk agamanya dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu, berarti bahwa kebebasan untuk memilih merupakan suatu yang paling penting dalam agama. 2) Selama perdebatan tentang RUU Perkawinan di DPR, kami telah melihat bahwa negara tidak hanya akan menjamin kebebasan beragama, melainkan juga menetapkan pelaksanaan hukum agama, terutama tentang perkawinan. 3) Kami mengharap setiap warga negara akan melaksanakan perkawinan berdasarkan hukum agama masing-masing. Bagaimanapun jika kita mengangap bahwa hanya hukum perkawinan salah satu agama saja yang benar, maka banyak permasalahan yang timbul terkait dengan kebebasan beragama.27
Lebih jauh, Rasjidi menyatakan bahwa RUU tersebut hanyalah merupakan upaya untuk mengkristenkan 90% penduduk Indonesia yang beragama Islam, dan bahwa hal itu merupakan “upaya kristenisasi”. Walaupun dia juga menyatakan bahwa tidak semua umat Katolik dan Kristen berkehendak untuk menarik umat Islam masuk ke agama mereka. Rasjidi percaya bahwa terdapat missionaries Kristen yang mendukung RUU Perkawinan tersebut sebagai upaya mereka dalam rangka kristenisasi bagi umat Islam Indonesia.25 Perdebatan di DPR tentang RUU Perkawinan juga berlanjut di surat kabar, masing-masing dari Islam dan Kristen saling mempertahankan argumentasinya. Pandangan Rasjidi bahwa adanya upaya kristenisasi dimuat di beberapa surat kabar seperti KAMI, Nusantara, dan Abadi tanggal 19 Agustus 1973. Pada tanggal 12 Desember 1973, sebuah surat kabar per25 HM. Rasjidi, Kasus-Kasus RUU Perkawinan dalam Hubungan Islam dan Kristen, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), hlm. 9-12 dikutip dalam Ibid., hlm. 200.
26 Sinar Harapan, 12 Desember 1973, dikutip dalam Ibid. 27 “Negara Perlu Berikan Ruang Untuk Kawin Sah Menurut Hukum Negara,” Sinar Harapan, 19 Desember 1973, dikutip dalam Ibid., hlm. 201.
Demonstrasi besar menentang RUU Perkawinan membuat pemerintah Orde Baru khawatir, maka pemerintah membuat perubahan-perubahan yang fundamental terhadap RUU ini, yang kemudian menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 2 UU Perkawinan ini menyatakan bahwa Perkawinan adalah sah apabila dilaksanakan menurut masing-masing hukum agama dan kepercayaannya itu. Walaupun demikian, tetap masih banyak kritik terhadap rumusan baru ini. Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) mengeluarkan pernyataan bahwa revisi RUU tersebut menyimpang dari spirit Pancasila dan UUD 1945 tentang jaminan kebebasan beragama, bahwa rumusan baru ini telah memaksakan warga negara untuk melaksanakan kewajiban keagaman sebagaimana hukum perkawinan.28 Rasjidi juga menganggap bahwa penolakan keras yang dilakukan oleh orangorang Kristen terhadap revisi RUU Perkawinan tersebut sebagai oposisi terhadap hukum keluarga Muslim, dan dukungan terhadap kristenisasi. Ia percaya bahwa inti dari penolakan dari umat Katolik dan Kristen terhadap RUU Perkawinan merupakan persepsi mereka bahwa agama harusnya tidak boleh memainkan peran dalam menentukan kehidupan sosial politik masyarakat Indonesia.29
28 Ibid., hlm. 202. 29 Ibid.
PENUTUP Hukum perkawinan beda agama, yang selama menjadi polemik antara dilarang atau merupakan kekosongan hukum, ketika dilihat secara historis dalam proses legislasi undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dapat diketahui bahwa proses legislasi tersebut cenderung melarang perkawinan beda agama tersebut. Dalam proses legislasi undang-undang tersebut, terutama dari kalangan umat Islam mengajukan apsirasi pelarangan terhadap perkawinan beda agama, berdasarkan paham mereka tentang hukum Islam yang melarang perkawinan beda agama. Dalam undang-undang perkawinan Indonesia tersebut, hukum perkawinan merupakan hukum agama, sehingga perkawinan tidak boleh dilaksanakan dengan melanggar ketentuan hukum agama masing-masing. []
DAFTAR PUSTAKA Alyasa Abubajar (2008). Perkawinan Muslim Dengan Non-Muslim, Aceh: Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Anwar Harjono (2005). “Renungan Menjelang Ramadhan,” Media Dakwah, March 1992, 6-7 dikitup dalam Fatimah Husein, Muslim-Chistian Relations in e New Order Indonesia: e Exclusivist and Inclusivist Muslims’ Perspektive, Bandung: Mizan Azyumardi Azra (2003). “e Indonesian Marriage Law of 1974: An Institutionalization of Social Changes,” dalam Arskal Salim dan Azyumardi Azra, ed., Shari’a and Politics in Modern Indonesia, Singapore: ISEAS. Daniel S. Lev. (1986). Peradilan Agama Islam di Indonesia: Suatu Studi Tentang Landasan Politik Lembaga-lembaga Hukum, Terjemah, Zaini Ahmad Noeh, (Jakarta: Intermasa,. H.M. ahir Azhary (1997). Menegakkan Syari’at Islam dalam Konteks Keindonesiaan: Proses Penerapan Nilai-nilai Islam dalam Aspek Hukum, Politik dan Lembaga Negara, Bandung: Mizan John Ball (1982) Indonesian Legal History 1602 – 1848, Australia: Chatswood NSW Katz & Katz (1987). Indonesian Marriage Law, hlm. 660; Antony H. Johns, “Indonesia Islam and Cultural Pluralism,” dalam John L. Epsosito, ed., Islam in Asia: Religion, Politics and Society, NewYork: Oxford University Press Mark Cammach (2009). “Legal Aspects of Muslim-non-muslim Marriage In Indonesia” dalam Gavin W. Jones dkk (eds.), Muslim-non-muslim Marriage: Political and Cultural Contestation in Southeast Asia, Singapore: ISEAS Octavianus Eoh (1996).Perkawinan Antar Agama dalam Teori dan Praktik, Jakarta: Sri Gunting, Ratno Lukito (2001).Islamic Law and Adat Encounter: e Experience of Indonesia, Jakarta: Logos Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
MENINGKATKAN PEMBELAJARAN BERPIDATO DENGAN METODE PEMODELAN Oleh : M. Husni (STAI AlQolam Gondanglegi Malang)
One form of conversational skills are addressed. In this study, using the method of modeling speech learning. e goal of improving the process and learning outcomes addressed by the modeling method. is research method is class action research that shaped the implementation cycle, and each cycle carried out the plan, action, observation, and re ection. Data obtained from the action observation and interview, then analyzed to determine the advantages and disadvantages. Qualitatively, addressing the learning process increased, and quantitatively, addressing the learning outcomes also increased. Key words: learning speech, modeling methods, mts
Salah satu bentuk keterampilan berbicara dalam pembelajaran bahasa adalah berpidato. Keterampilan berbicara menduduki peringkat kedua dalam pembelajaran bahasa di sekolah setelah keterampilan mendengarkan. Keterampilan mendengarkan akan menjiwai keterampilan berbicara. Berdasarkan pengalaman peneliti bahwa keterampilan berbicara masih menjadi keterampilan yang kurang diminati oleh siswa, bahkan dengan cara disuruh berbicara saja kadang-kadang siswa masih enggan untuk melakukan. Keterampilan berbicara, khususnya pembelajaran berpidato dilaksanakan di kelas IX pada semester 2 yang difokuskan pada ketepatan
penggunaan intonasi dan artikulasi serta volume suara yang jelas. Standar kompetensi pelajaran bahasa Indonesia pada keterampilan berbicara untuk siswa kelas IX SMP/MTs berdasarkankurikulum berkode 10 yaitu mengemukakan pikiran, perasaan dan informasi dalam pidato dan diskusi. Standar Kompetensi ini dijabarkan ke dalam kompetensi dasar berkode 10.1 berpidato/ berceramah/ berkhotbah dengan intonasi yang tepat dan artikulasi serta volume suara yang jelas. Kompetansi dasar ini difokuskan peneliti pada pidato sambutan. Peran guru sangat penting dalam perkembangan dan kemajuan anak di-
diknya ketika berpikir dan bertindak pada pembelajaran bahasa, khususnya keterampilan berbicara. Dari sinilah guru diharapkan dapat memberikan pembelajaran dan dapat mencapai tujuan pembelajaran yang telah direncanakan, dan untuk mencapai tujuan tersebut, guru harus pandai memilih metode yang sesuai dengan kebutuhan materi dan tingkat perkembangan siswa. Akan tetapi, perlu diingat bahwa kesuksesan belajar tidak bergantung pada intelegensi saja, namun juga bergantung pada bagaimana pendidik menggunakan metode yang tepat dalam melaksanakan pembelajaran di kelas. Metode yang dipergunakan peneliti pada pembelajaran berpidato dalam penelitian ini adalah metode pemodelan. Pembelajaran berpidato dengan metode pemodelan pada siswa kelas IX-A MTs Miahul Ulum Kanigoro Pagelaran Malang dilaksanakan dalam dua siklus dan penerapan metode pemodelan dalam pembelajaran berpidato pada siklus I yaitu: (a) model melatih siswa berpidato secara klasikal tentang aspek intonasi, artikluasi, dan suara/vokal, (b) siswa secara klasikal menirukan model secara bergantian dan dilanjutkan performansi siswa di depan kelas dengan pola 3 in 1,sedangkan, penerapan metode pemodelan berpidato pada siklus II yaitu: (a) peneliti menayangkan tiga model pidato yang diputar secara bergantian, (b) siswa memperhatikan model pidato dengan tekun, (c) siswa memberikan tanggapan kepada model pidato tentang aspek intonasi, artikulasi, dan suara/vokal. Kegiatan berikutnya adalah performansi berpidato di depan kelas secara individual. Tuntutan terhadap peningkatan kualitas pendidikan muncul dengan sangat kuat ketika sistem pendidikan Nasional dengan pencapaian standar kompetensi kelulusan (SKL) yang tiap tahun selalu meningkat. Sesuai paparan pada KTSP yang dikeluarkan oleh Dirjen Pendidikan Islam1 bahwa SKL merupakan kuali ka1 Dirjen Pendidikan Islam. 2008. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. (Jakarta: MEDP, Departemen
si kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Hal ini memacu penyelengara pendidikan, baik kepala sekolah, wali kelas, maupun guru bidang studi berusaha dengan sekuat tenaga untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil belajar. Di samping itu, agar tidak bermunculan persepsi bahwa pidato itu sulit sebab diakui atau tidak lebih dari 60 % siswa merasa minder apabila harus berpidato. Fenomena ini sangat memprihatinkan bagi guru bahasa Indonesia. Betapa tidak, keterampilan berbicara adalah bagian dari empat keterampilan berbahasa yang harus diajarkan kepada siswa. Bukan pembelajaran yang bersifat teori yang harus dikuasai, namun pembelajaran bersifat praktik pun harus dikuasai. Tujuan penelitian tindakan kelas ini terdiri atas tujuan umum dan tujuan khusus. Secara umum,tujuan penelitian adalah untuk meningkatkan kompetensi pembelajaran berpidato siswa di kelas IX dengan metode pemodelan, sedangkan secara khusus tujuan penelitian ini adalah (1) meningkatkan proses pembelajaran berpidato dengan metode pemodelan di kelas IX-A MTs Miahul Ulum Kanigoro Pagelaran, dan (2) meningkatkan hasil pembelajaran berpidato dengan metode pemodelan di kelas IX-A MTs Miahul Ulum Kanigoro Pagelaran.Di samping itu, penelitian tindakan kelas ini diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu memberikan kontribusi dalam upaya meningkatkan pembelajaran keterampilan berbicara, khusunya pembelajaran berpidato di kelas IX-A MTs Miahul Ulum Kanigoro Pagelaran, baik secara teori maupun praktik yang berlaku bagi siswa, guru, dan sekolah. Pembelajaran berpidato merupakan pembelajaran berbicara di depan banyak orang, baik formal maupun nonformal. Menurut Keraf2 penyajian lisan kepada suatu kelompok masa merupakan suatu Agama RI 2 Gorys Keraf, Komposisi, (Ende-Flores: Nusa Indah, 1984), hlm.314
hal yang sangat penting, baik pada waktu sekarang maupun pada waktu-waktu yang akan datang. Mereka yang mahir berbicara dengan mudah dapat menguasai masa, dan berhasil memasarkan gagasan mereka sehingga dapat diterima oleh orang-orang lain. Menurut Saksomo3 berpidato merupakan penampilan diri seseorang di hadapan pendengar untuk menyampaikan isi hati atau buah pikiran dengan rangkaian kata-kata dengan harapan agar pendengar tergugah hati nuraninya dan tergerak pikirannya. Di samping itu, keterampilan berbicara memiliki ciri-ciri yaitu (a) berbicara itu memiliki tujuan, (b) berbicara itu bersifat interaktif, (c) berbicara itu bersifat sementara, (d) berbicara itu alpa tanda baca, (e) berbicara itu kata-katanya terbatas, dan (f) berbicara itu terjadi dalam bingkai-bingkai khusus, seperti topik yang dibicarakan, dimana pembicaraan itu berlangsung, dengan siapa berbicara, dan kapan berbicara. Proses pembelajaran akan lebih berarti jika didukung oleh adanya pemodelan yang dapat ditiru, baik yang bersifat kejiwaan (identi kasi) maupun yang bersifat sik (imitasi) yang berkaitan dengan cara untuk mengoperasikan sesuatu aktitas, cara untuk menguasai pengetahuan atau keterampilan tertentu. Pemodelan dalam pembelajaran bisa dilakukan oleh guru, siswa, atau dengan cara mendatangkan nara sumber dari luar (outsourcing), yang terpenting dapat membantu terhadap ketuntasan dalam belajar (masterylearning) sehingga siswa dapat mengalami akselerasi perubahan secara berarti. Model yang digunakan peneliti dalam tindakan siklus I adalah peneliti, sedangan pada tindakan siklus II, model yang digunakan adalah model ceramah agama Islam dalam kegiatan lomba Dai di televisi nasional. Pembelajaran berpidato dengan me3 Dwi Saksomo, Berbicara Monologis (Wicara Individual), (Malang: Universitas Negeri Malang 2009), hlm. 4
tode pemodelan pada penilitian ini merujuk pada kompetensi dasar berkode 10.1 yaitu berpidato/ berceramah/ berkhotbah dengan intonasi yang tepat dan artikulasi serta volume suara yang jelas. Jadi indikator pencapaiannya meliputi: (1) siswa mampu berpidato/ berceramah/ berkhotbah dengan intonasi yang tepat, (2) siswa mampu berpidato/ berceramah/ berkhotbah dengan artikulasi yang tepat, dan (3) siswa mampu berpidato/ berceramah/ berkhotbah dengan volume suara yang jelas. Di samping indikator pencapaian si atas, keterampilan membuka dan menutup pidato serta penyampaian isi pidato secara runtut juga menjadi target pencapaian dalam pembelajaran ini. Cara membuka dan menutup pidato tersebut bukanlah cara yang mutlak dilaksanakan oleh pembicara, melainkan hal ini dapat berubah-ubah sesuai dengan kemampuan pembicara dalam mengatur strategi membuka dan menutup pidato berdsarkan variasi dan kreativitas.4 METODE PENELITIAN Metode penelitian yang digunakan peneliti yaitu metode penelitian tindakan kelas. Menurut Santoso5, ada empat langkah penting dalam penelitian tindakan kelas, yaitu: perencanaan (plan), pelaksanaan (action), observasi (observation), dan re eksi (re ection). Tahap perencanaan, dimulai dengan penyusunan rencana pelaksanaan pembelajaran yang terdiri dari kegiatan awal, kegiatan inti, dan kegiatan akhir. Tahap pelaksanaan merupakan tahap implementasi terhadap perencanaan yang telah disusun dalam tahap perencanaan sebelumnya. Pada tahap ini penelitian dilaksanakan dalam dua siklus. Siklus I dilaksanakan dalam satu kali pertemuan dengan alokasi waktu 80 menit. Tindakan siklus I diterapkan metode pemodelan dengan mendengarkan model, setelah siswa 4 Yeti Mulyati, Keterampilan Berbahasa Indonesia SD. (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), hlm. 3 5 Anang Santoso, Reserch Designs In Language Teaching. (Malang: State University Of Malang, 2009), hlm. 44
mendengarkan dilanjutkan kegiatan menirukan model secara klasikal, kemudian dilaksanakan performansi pidato di depan kelas dengan pola 3 in 1. Pola 3 in 1, artinya satu naskah pidato dibacakan oleh tiga orang siswa, hal ini dilakukan untuk meminimalisasi kekurangberanian siswa tampil di depan kelas. Pada waktu siswa tampil dilakukan penilaian oleh siswa lain dengan format penilaian yang terlah disediakan peneliti. Siklus II dilaksanakan dalam dua kali pertemuan dengan alokasi waktu masing-masing 80 menit. Pada pertemuan 1, siswa mengamati model pidato/ ceramah sebanyak tiga model melalui tayangan LCD proyektor, pengamatan yang dilakukan siswa tentang cara membuka pidato/ ceramah yang dilakukan oleh model, cara menyampaikan isi pidato, dan cara menutup pidato yang dilandasi pada ketepatan intonasi dan artikulasi serta volume suara yang jelas. Pertemuan 2 siklus II, tindakan yang dilakukan siswa adalah performansi pidato di depan kelas secara individual. Pada tindakan ini, siswa yang tampil dilakukan pengamatan oleh lima orang siswa yang telah ditunjuk oleh peniliti dengan format pengamatan yang telah disediakan. Tahap re eksi, pada tahap ini dilakukan peninjauan kembali terhadap langkah-langkah yang telah direncanakan dan tindakan-tindakan yang terjadi pada waktu pembelajaran. Kelemahan-kelemahan yang terjadi pada waktu perencanaan dan pelaksanaan tindakan menjadi bahan untuk dire eksi, kemudian hasil re eksi tersebut dievaluasi untuk menentukan perencanaan selanjutnya. Pendekatan yang dipakai peneliti dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, sehingga hasil datanya juga dianalisis secara kualitatif. Akan tetapi, jika data yang dihasilkan berbentuk data kuantitaif, maka akan dianalisis secara kuantitif, sedangkan pendekatan pembelajaran berpidato yang digunakan peneliti adalah pendekatan komunikatif. Pendeka-
tan komunikatif merupakan pendekatan yang berlandaskan padapemikiran bahwa kemampuan menggunakan bahasa dalam berkomunikasi merupakan tujuan yang harus dicapai dalam pembelajaran bahasa. Di dalam konsep pendekatan komunikatif terdapat konsep kompetensi komunikatif yang membedakan komponen bahasa menjadi dua bagian, yaitu kompetensi dan performansi atau unjuk kerja. Hendaknya, kompetensi komunikatif dibedakan dengan performansi komunikatif karena performansi komunikatif mengarahke realisasi kompetensi kebahasaan beserta interaksinya dalam pemroduksian secara aktual dengan pemahaman terhadap tuturan-tuturan. Data penelitian ini bersumber pada siswa kelas IX-A MTs Miahul Ulum Kanigoro Pagelaran dengan jumlah siswa 40 orang, 6 siswa laki-laki dan 34 siswa perempuan ditambah guru bahasa Indonesia. Data hasil pratindakan, berupa data kuantitatif dan kualitatif, tindakan siklus I berupa data kualitatif, dan tindakan siklus II berupa data kualitatif. Adapun jenis-jenis data yang dimaksud adalah data yang berjenis (a) aspek keterampilan berbicara (intonasi, artikulasi, volume suara, cara membuka dan menutup pidato serta keruntutan isi pidato), (b) proses pembelajaran berpidato (antusiasme, efekti tas, keberanian tampil, keaktifan), (c) re eksi pembelajaran berpidato (kelemahan-kelemahan pembelajaran berpidato), (d) prosentase keberhasilan setiap aspek 80%. Data tersebut dikumpulkan melalui catatan lapangan, wawancara, dan lembar observasi/pengamatan. Kriteria keberhasilan tindakan dilihat dari dua segi, yakni proses dan produk (hasil). Dari segi proses, tindakan dikatakan berhasil jika respons tindakan dalam semua tahapan pembelajaran dilaksanakan oleh sebagian besar atau rerata respons siswa terteliti minimal 80%. Sementara itu, dilihat dari segi produk (hasil), berhasil jika keterampilan berpi-
dato seluruh siswa terteliti sekurang-kurangnya mencapai skor minimal 70 atau secara klasikal. Kriteria yang dimaksud meliputi ketepatan intonasi dan artikulasi serta volume suara dicapai skor minimal 70 (KKM), sedangkan keaktifan, keantuasiasan, dan keberanian tampil di depan kelas dicapai 80%. PEMBAHASAN PROSES DAN HASIL TINDAKAN Pembahasan pada pembelajaran berpidato berupa: (a) proses pembelajaran berpidato, dan (b) hasil pembelajaran berpidato. Keduanya dikemukakan berikut ini. 1) Proses Pembelajaran Berpidato Kegiatan siklus I dilaksanakan di dalam kelas dengan alokasi waktu 2x40 menit atau 1kali pertemuan. Kegiatan ini dilakukan di kelas IX-A MTs Miahul Ulum Kanigoro Pagelaran pada tanggal 17 Februari 2012. Kegiatan diawali dengan apersepsi terhadap pembelajaran berpidato sesuai dengan SK dan KD berupa tanya jawab peneliti-siswa tentang pengalaman siswa dalam berpidato. Kegiatan ini, peneliti menanyakan apakah pembelajaran berpidato pernah dilaksanakan. Setelah itu, peneliti menggali kelemahan-kelemahan dengan membuat rubrik yang ditulis di papan tulis, kemudian siswa mengisi rubrik sesuai dengan pernyataan yang tertera. Aspek intonasi, artikulasi, dan volume suara menjadi acuan utama sebab ketiga aspek tersebut termaktup dalam Kompetensi Dasar berkode 10.1 Berpidato/ berceramah/ berkhotbah dengan intonasi yang tepat dan artikulasi serta volume suara yang jelas. Kegiatan pembelajaran berpidato dalam siklus I dilaksanakan dengan teknik 3 in 1, yaitu satu naskah dibacakan oleh tiga siswa dengan pembagian yang ditentukan oleh siswa sendiri. Menurut Hammer, pembelajaran berbicara dengan pola 3 in 1 ini sesuai dengan prinsip-prinsip berbicara bahwa pembelajaran berpidato dapat
dilakukan dengan berantai dan saling menilai penampilan siswa lain6. Hal ini dapat dipaparkan dengan adanya bentuk penilaian yang dilakukan siswa. Berdasarkan prinsip tersebut, maka pembelajaran berpidato yang dilakukan menganut model “ADIL TAMTAMA” (Amati contoh, Diskusikan, Lengkapi dan Latihan, Tampilkan bersama, Tata kembali, Maju lagi untuk dinilai) Setelah seluruh siswa melaksanakan performansi pidato, ternyata hasil berupa skor dalam pembelajaran berpidato di kelas IX-A Madrasah Tsanawiyah Miahul Ulum Kanigoro Pagelaran Malang adalah: (1) 74.3 % aspek intonasi menduduki peringkat 1, (2) 61.5 % aspek lafal/artikulasi menduduki peringkat 2, dan (3) 58.9 % aspek volume suara menduduki peringkat 3. Hasil pembelajaran siklus I tersebut merupakan rekapitulasi dari hasil penilaian kuantitaif seluruh siswa. Oleh karena itu, peneliti berupaya memberikan sebuah metode pembelajaran berpidato yang berbeda dengan biasanya, seperti metode naskah, metode impromptu, metode menghafal, dan metode esktemporan. Adapun metode pembelajaran berpidato yang diterapkan oleh peneliti dalam penlitian tindakan kelas ini, yaitu metode pemodelan. Di mana metode ini jarang dilakukan oleh guru dalam pembelajaran berpidato. Seperti kegiatan pembelajaran berpidato pada umumnya, metode pemodelan dilakukan dalam tiga tahapan, yaitu (1) tahap mendengarkan model berpidato, (2) tahap menganalisis model berpidato, dan (3) tahap latihan berpidato. Setiap tahapan memiliki indikator pencapaian yang berbeda. Pada tahap mendengarkan model berpidato, indikator yang ingin dicapai adalah siswa mampu mengulangi model berpidato dari unsur intonasi, artikulasi, dan volume suara. Pada tahap menganalisis model berpidato, indikator yang ingin dicapai adalah siswa mampu mengungkapkan hasil pengamatannya dari kegiatan menganalisis model berpida6 Titik Harsiati, Pembelajaran Berbicara dan Pengembangan Alat Penilaian Kompetensi Berbicara. (Jakarta: Tiga A, 2009), hlm .13
to. Pada tahap latihan berpidato, indikator yang ingin dicapai adalah siswa mampu berlatih secara sungguh-sungguh baik kelompok maupun individu (terutama terkait dengan kelancaran, pemahaman isi pembicaraan, dan volume suara). Pada siklus I ini dilakukan dalam satu tahapan berpidato, yaitu tahap mendengarkan model berpidato yang dilanjutkan kegiatan menirukan model berpidato secara bergantian. Kegiatan menirukan model berpidato difokuskan pada unsur intonasi, artikulasi, dan volume suara. Pada siklus I, tindakan pembelajaran juga dipraktikkan performansi pidato dari seluruh siswa yang hadir, performan yang diterapkan memakai pola 3 in 1. Proses pembelajaran berpidato pada pertemun 1 siklus 2 berupa data kualitatif. Hal ini sesuai dengan tahapan kedua berpidato, yaitu tahap mengalisis model berpidato. Pada tahapan menganalisis model pidato ini, siswa diberikan tiga tayangan model ceramah agama Islam yang diambil dari lomba Dai di televisi Nasional. Tayangan model ceramah tersebut disesuaikan dengan keberadaan siswa yang belajar di lingkungan madrasah yang notaben pelajaran agama sangat diprioritaskan dan apabila dialokasikan waktunya sebanyak 11 jam pelajaran per kelas per minggu. Tujuan pembelajaran tahap kedua ini yaitu siswa mampu menganalisis model ceramah dilandasi pada unsur intonasi, artikulasi, dan volume suara dari model. Prinsip yang diemban pada tindakan pembelajaran siklus II pertemuan1, yaitu model” ARUVANI” (amati contoh, tirukan, variasikan, nilailah penampilanku). Model ini yang akan diterapkan pada pertemuan 2. Setelah siswa melakukan tindakan analisis model ceramah agama Islam pada pertemuan 1, selanjutnya pengalaman yang diperoleh siswa tersebut diterapkan pada pertemuan 2, yang didasarkan pada tahapan berpidato yang ketiga yaitu tahap latihan berbicara. Seperti yang disampai-
kan oleh Saksomo7 berpidato merupakan penampilan diri seseorang di hadapan pendengar untuk menyampaikan isi hati atau buah pikiran dengan rangkaian kata-kata dengan harapan agar pendengar tergugah hati nuraninya dan tergerak pikirannya.Tindakan pembelajaran berpidato pertemuan 2 difokuskan pada performansi secara individual dan setiap individu yang tampil diamati oleh pengamat yang telah ditunjuk sebelumnya. Tindakan pembelajaran berpidato dalam pertemuan 2 mengacu pada prinsip model ARUVANI, yaitu setelah siswa melakukan pengamatan terhadap contoh model, selanjutnya siswa menirukan secara individual di depan kelas dengan berbagai varian pidato sesuai keinginannya kemudian dilakukan penilaian juga secara individual. Penampilan yang diamati secara utuh, artinya pengamatan dimulai dari cara membuka, cara menyampaikan inti pidato sampai cara menutup pidato yang dilandasi unsur intonasi, artikulasi, dan volume suara. Menurut Mulyati8 cara membuka dan menutup pidato tersebut bukanlah cara yang mutlak dilaksanakan oleh pembicara, melainkan hal ini dapat berubah -ubah sesuai dengan kemampuan pembicara dalam mengatur strategi membuka dan menutup pidato berdasarkan variasi dan kreativitas. Variasi dan kreativitas yang muncul pada pembelajaran berpidato pertemuan 2 siklus II, yaitu ada tiga varian cara membuka pidato yang dilakukan siswa, diantaranya: (1) menyapa pendengar kemudian mengucapkan salam, (2) mengucapkan salam kemudian menyapa pendengar, dan (3) menyapa pendengar kemudian mengucapkan salam yang dibarengi pembukaan dengan bahasa Arab,sedangkan, cara menutup juga ada tiga varian, diantaranya: (1) menutup dengan mengucapkan “Akhir kata...”, (2) menutup dengan mengucapkan “Akhirul kalam...”, 7 8
Dwi Saksomo, Berbicara ...., hlm. 53 Yeti Mulyati, Keterampilan ..., hlm. 19
dan (3) menutup dengan mengucapkan “Akhirnya...”. Untuk cara menyampaikan inti pidato tidak terdapat varian, artinya materi yang disampaikan oleh pembicara rata-rata disampaikan secara sistematis. Materi pidato tersebut disampaikan secara berurutan mulai dari pendahuluan, isi pidato sampai kesimpulan isi pidato. Menurut Mulyati9 bahwa pidato yang disusun dengan baik dan tertib akan menarik dan membangkitkan minat pendengar, selain itu penyajian pesan dengan jelas akan mempermudah pemahaman, mempertegas gagasan pokok, dan menunjukkan perkembangan pokok pikiran yang logis. Hal senada juga disampaikan oleh Keraf10 bahwa teknik susunan ini sebenarnya mencoba untuk memanfaatkan kecenderungan alamiah yang ada pada setiap manusia, bahwa apa yang dikatakan pertama kali akan menggugah hati setiap orang, dan apa yang diucapkan terakhir akan lebih berkesan daripada bagian-bagian lainnya. 2) Hasil Pembelajaran Berpidato Hasil pembelajaran berpidato sambutan siklus I, secara kuantitatif diperoleh hasil dari pembelajaran berpidato, yaitu: (a) siswa yang memperoleh skor 70 untuk aspek volume suara sebanyak 23 anak atau sekitar 58.9%, (b) siswa yang memperoleh skor 70 untuk unsur intonasi sebanyak 29 anak atau sekitar 71,8 %, dan (c) siswa yang memperoleh skor 70 untuk unsur artikulasi sebanyak 26 anak atau sekitar 61.5 %. Jadi, unsur intonasi siswa dalam berpidato mencapai ketuntasan dan unsur artikulasi dan volume suara siswa dalam berpidato belum mencapai ketuntasan yang dipatok madrasah yaitu 70. Akan tetapi, jika dibandingkan antara hasil tindakan siklus I dengan pratindakan, maka hasilnya mengalami peningkatan. Hasil pada siklus I menunjukkan bahwa aspek keberanian tampil dicapai 100%, hal ini dimungkinkan karena siswa 9 Ibid, hlm. 17 10 Gorys Keraf, Komposisi..., hlm. 332
tidak tampil secara individu, tetapi tampil menggunakan pola 3 in 1. Walaupun waktu pembelajaran yang disediakan cukup e sien pada siklus I, tetapi dari segi hasil pembelajaran kurang maksimal. Hasil analisis dan re eksi pada siklus I memacu peneliti untuk melakukan tindakan selanjutnya, walaupun hasilnya mengalami peningkatan, akan tetapi untuk mencapai standar kompetensi yang diharapkan, peneliti merencakanan kegiatan pembelajaran berpidato yang dilakasanakan dalam dua kali pertemuan, kegiatan pembelajaran ini ditempat dalam siklus II. Tindakan penelitian siklus II dilaksanakan dalam dua kali pertemuan. Pada siklus II pertemuan I ini diawali dengan kegiatan, yaitu menyampaikan tujuan pembelajaran yang dilanjutkan dengan apersepsi terhadap pembelajaran berpidato. Kemudian dipersiapakan media pembelajaran yang relevan berupa penayangan model ceramah agama Islam yang diambil dari kegiatan lomba Dai di televisi Nasional sebanyak tiga model ceramah. Tiga model ceramah agama Islam tersebut ditayangkan secara bergantian, dan masing-masing model dilakukan pengamatan tentang intonasi, artikulasi, dan volume suara yang disampaikan oleh model dalam kaitannya dengan cara model membuka, cara model menyampaikan inti, dan cara model menutup orasinya. Pengamatan ini dilakukan oleh siswa secara langsung terhadap model ceramah. Model 1 menyampaikan orasinya selama 3 menit 33 detik dengan tema “Kemiskinan”, model 2 menyampaikan orasinya selama 3 menit 29 detik dengan tema “Peminta-minta”, dan model 3 menyampaikan orasinya selama 4 menit 33 detik dengan tema “Keutamaan Bersekah”. Hasil pengamatan yang dilakukan siswa menunjukkan bahwa: (1) model 1 memiliki kelemahan dari segi artikulasi dan suara, tetapi kelebihan dari segi intonasi dan penampilan, (2) model 2 kurang dalam segi intonasi dan penampilan, tetapi dari segi artikulasi dan suara cukup
jelas,dan (3) model 3 kurang dari segi artikulasi, tetapi ldalam hal suara, intonasi, dan penampilan sangat jelas. Variasi cara membuka, cara menyampaikan inti, dan cara menutup orasinya memberikan kesan yang berbeda, hal ini menunjukkan bahwa berorasi di depan orang memerlukan teknik dan gaya yang dapat memikat hati pendengarnya. Hal senada juga disampaikan oleh Mulyati11 dalam membuka pidato, kita tinggal memilih satu di antara cara-cara pedoman membuka pidato sesuai dengan jumlah waktu yang tersedia, topik, tujuan, situasi, dan pendengar itu sendiri.
Akan tetapi, tindakan yang dilakukan tersebut tidak cukup dilakukan dalam satu kali pertemuan. Seperti penelitian tindakan kelas yang dilakukan oleh beberapa mahasiswa yang pernah peneliti baca, ada yang melaksanakan siklus I dalam dua kali pertemuan bahkan sampai tiga kali pertemuan. Hal ini menunjukkan bahwa Penelitian Tindakan Kelas ini membutuhkan waktu yang cukup, dikatakan cukup apabila data yang diinginkan semuanya diperoleh untuk dijadikan pembahasan yang diakhiri dengan kesimpulan hasil pembahasan tersebut.
PENINGKATAN PEMBELAJARAN BERPIDATO
2) Hasil Pembelajaran Berpidato
Bentuk peningkatan pembelajaran berpidato sambutan meliputi: (a) peningkatan proses pembelajaran berpidato sambutan, dan (b) peningkatan hasil pembelajaran berpidato sambutan. 1) Proses Pembelajaran Berpidato Proses peningkatan antara siklus I dengan siklus II terjadi, jika pada tindakan siklus I dilakukan penilaian berupa data kuantitatif seperti paparan di atas, maka pada tindakan siklus II ini ditingkatan pada kegiatan pengamatan bukan penelian sehingga data yang diperoleh adalah data kualitatif. Data kualitatif sangat sulit untuk diubah menjadi data kuantitatif, sebab keduanya memiliki perbedaan dalam menganalisisnya. Pengamatan dilakukan pada setiap individu yang berpidato dan peneliti telah menunjuk lima siswa untuk menjadi pengamat. Jadi, bentuk peningkatan pada hasil tindakan siklus I adalah kegiatan menilai penampilan berpidato setiap individu, dan pada siklus II ditingkatkan menjadi kegiatan mengamati performansi berpidato setiap individu. Pada umumnya, Penelitian Tindakan Kelas merupakan tindakan yang mengutamakan proses daripada hasil, sebab proses yang baik, tindakan yang baik pula akan mendapatkan hasil yang baik pula. 11 Yeti Mulyati, Keterampilan Berbahasa Indonesia SD. (Jakarta: Universitas Terbuka, 2007), Hlm. 319.
Peningkatan merupakan bentuk perubahan hasil tindakan dapat berupa angka-angka atau berupa tanggapan dari pengamat. Pada penelitian tindakan kelas yang difokuskan dalam kurikulum madrasah merujuk pada kompetensi dasar berkode 10.1 berpidato/berceramah/berkhotbah dengan intonasi yang tepat dan artikulasi serta volume suara yang jelas. Penerapan pembelajaran berpidato di kelas IX-A semester dua MTs Miahul Ulum Kanigoro Pagelaran Malang ini menggunakan metode pemodelan. Bentuk peningkatan pembelajaran berpidato yang telah dilaksanakan peneliti mulai dari pratindakan, tindakan siklus I, sampai tindakan siklus II menunjukkan bahwa pembelajaran berpidato dengan metode pemodelan mengalami peningkatan untuk aspek intonasi pratindakan 2,5% menjadi 74,3 % siklus I meningkat 71,8% %, aspek artikulasi pratindakan 33,3% menjadi 61,5 % siklus I meningkat 28,2%, dan aspek volume suara pratindakan 58,9% menjadi 58,9 % tidak meningkat. Jadi, bentuk peningkatan dari pratindakan ke tindakan siklus I berupa skor hasil pembelajaran berpidato. Bentuk peningkatan dari siklus I ke siklus II untuk intonasi meningkat sebesar 5,1%, artikulasi meningkat sebesar 9,9%, dan volume suara meningkat sebesar 10,3%.
SIMPULAN Berdasarkan hasil temuan dan pembahasan dapat disimpulkanberupa (a) proses pembelajaran berpidato, dan (b) hasil pembelajaran berpidato. Kedua bentuk simpulan tersebut dikemukakan berikut ini. 1) Proses Pembelajaran berpidato Secara kualitatif siklus II tepatnya pada pertemuan II diperoleh hasil bahwa: (a) tema pidato yang diorasikan siswa bersifat keagmaan, (b) terdapat tiga varian cara membuka dan menutup pidato, dan (c) penyampaian inti pidato secara sistematis, (3) Adanya peningkatan dalam pembelajaran berpidato, pada pratindakan sampai dengan siklus I, yaitu meningkat 71,8 % untuk aspek intonasi, meningkat 28,2 % untuk aspek artikulasi, sedangkan, antara siklus I dengan siklus II, diperoleh peningkatan yaitu, jika pada siklus I siswa dapat menilai kemampuan berpidato dengan siswa lain, maka pada siklus II siswa ditingkatkan siswa dapat mengamati penampilan berpidato terhadap siswa lain. 2) Hasil Pembelajaran Berpidato Hasil pembelajaran berpidato dengan metode pemodelan, pada siklus I diperoleh data kualitatif dan kuantitatif serta siklus II juga diperoleh data kualitatif dan kuantitatif. Secara kuantitatif hasil tindakan siklus I diperoleh ketuntasan (a) aspek intonasi 74,3 % siklus I, (b) aspek artikulasi 61,5 % siklus I, dan (c) aspek volume suara 58,9 %, sedangkan secara kualitatif keantusiasan, keaktifan, dan keberanian tampil di depan kelas dicapai 85%. Hal yang belum berhasil diatasi pada penelitian ini adalah e siensi waktu sampai siklus II kekurangan waktu sekitar 30 menit. Dengan kata lain, penggunaan metode pemodelan pada pembelajaran berpidato memerlukan waktu yang lebih panjang daripada alokasi yang disediakan. Dalam pembelajaran kemampuan berbahasa tepatnya standar kompetensi berbicara, khususnya Kompetensi Dasar
berkode 10.1 berpidato/ berceramah/ berkhotbah dengan intonasi yang tepat dan artikulasi serta volume suara yang jelas, agar metode yang digunakan lebih variatif. Di samping itu, penggunaan sampel kelas VII atau VIII sebab keduanya memiliki waktu yang relatif panjang. Bagi madrasah, hendaknya memberikan sarana dan prasarana yang dapat diterapkan untuk meningkatkan pembelajaran berpidato, agar siswa merasa senang untuk belajar dan termotivasi sehingga hasil pembelajaran berpidato mampu mencapai standar ketuntasan yang ditentukan oleh madrasah. Dalam proses pembelajaran berbicara, khususnya berpidato, disarankan mengikuti proses dan tindakan yang telah dirumuskan sebelumnya, dan siswa jangan merasa terbebani serta anggaplah kegiatan ini dapat memberikan manfaat yang lebih besar di kemudian hari dan memanfaatkan kesempatan yang baik ini dengan ikhlas dan bertanggung jawab. []
DAFTAR PUSTAKA Dirjen Pendidikan Islam (2008). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Jakarta: MEDP, Departemen Agama RI. Harsiati, Titik (2009). Pembelajaran Berbicara dan Pengembangan Alat Penilaian Kompetensi Berbicara, Jakarta: Tiga A Keraf, Gorys (1984). Komposisi. Ende-Flores: Nusa Indah Mulyati, Yeti (2007). Keterampilan Berbahasa Indonesia SD. Jakarta: Universitas Terbuka Saksomo, Dwi (2009). Berbicara Monologis (Wicara Individual). Malang: Universitas Negeri Malang Santoso, Anang (2009). Reserch Designs In Language Teaching. Malang: State University Of Malang
MAKNA DALAM DEIKSIS TINJAUAN SEMANTIKPRAGMATIK DAN Oleh : Muhammad Madarik Yahya (STAI AlQolam Gondanglegi Malang)
Comprehending a utterance is an urgency, textually and contextually, because the communication message has to be understood in holistic way; the words and the meanings in order to deliver the precise purpose. In fact, the message of communication process must be wholly interpretable either in the structure and the meaning for the sake of delivering the message to the receivers. Nevertheless, merely tracing the meaning through semiotic and syntactic isn’t enough without expanding the effort to semantic, pragmatic studies. In Arabic studies context, Arabic grammatical and morphology should be followed by ma’ani. Deiksis phenomenon One thing in the structure of languages that require analysis beyond the context of linguistic form is deiksis phenomenon. Understanding reference in the approach of grammatical deiksis elements (features) from the context of utterance or speech events is an inevitable step. Hence, the acquisition of deiksis chorus is very dependent on the skill and the sensitivity of someone in capturing context surrounding the spoken utterance. At this level, semantic-pragmatic study or Ma’ani (Arabic) in the context of the exploration of meaning in deiksis is a part that should not be underestimated Keywords: meaning, semantic-pragmatic, ma’ani, deiksis.
PENDAHULUAN Dalam konteks kebudayaan ataupun peradaban, paradigma perkembangan bahasa justru dapat menjadi indikasi, sejauh mana kebudayaan atau peradaban – secara posivistik – lebih maju atau lebih berkembang dari sebelumnya. Istilah-istilah baru yang muncul, atau revitalisasi makna kosa kata lama, ataupun suatu kata yang memperoleh makna baru, dapat menjadi tolak ukur tingkat penemuan dan eksplorasi pemikiran masyarakatnya sendiri.1 Wajar saja bila kemudian kajian terhadap dinamika linguistik, baik menyangkut istilah-istilah, maupun kosa kata,2 berkembang yang sepadan dengan putaran perkembangan hampir semua ilmu yang kian melaju. Kajian-kajian terhadap bahasa, dengan segala macam ragam dan bentuknya, merupakan tradisi yang oleh Chaedar3 dianggap sebagai hal yang selalu menarik, selalu memberikan nuansa-nuansa pemikiran dan interpretasi baru, yang lebih pas, segar dan mengena (baik secara tekstual ataupun kontekstual) serta membuka kemungkinan terhadap kajian interdisipliner dengan bidang-bidang ilmu yang lain. Studi bahasa dari sisi makna memang tidak pernah terlepas dari konteks peristiwa ujaran yang terjadi. Olehnya, sangat maklum terdapat beragam fungsi bahasa, seperti diuraikan oleh Hermawan4, diantaranya: (1) bahasa sebagai alat berkir. Gagasan dan ide tentu hanya merupakan angan belaka sebelum tertuangkan dalam kata. Ketika ide atau gagasan tersebut hendak diwujudkan dalam kongkrit 1 Syihabuddin Qalyubi, Stilistika al-Qur’an; Pengantar Orientasi Studi al-Qur’an (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1997), hlm. 7. 2 Penyebutan “istilah” dan “kosa kata” tidak saja teringkas pada studi linguistik dalam skala dunia sains-ilmiah belaka, tetapi melebar pada ranah penggunaan bahasa sehari-hari masyarakat dalam altar budaya lokal. Tentu saja seluruh kegiatan eksploratif kebahasaan bermuara pada sebuah aktifitas yang bersifat ilmiah yang dapat dipertanggungjawakan. 3 lihat Chaerdar Alwasilah, pengantar buku Acep Hermawan: Metodolgi Pembelajaran Bahasa Arab, ctk. II (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. viii. 4 Acep Hermawan, Metodolgi Pembelajaran,,,, hlm. 22-24.
dan nyata, maka yang dapat mewakili perwujudan itu adalah bahasa, (2) bahasa alat untuk memenuhi kebutuhan dasar. Oleh karena semua jenjang sosial dan macam kondisi, manusia memiliki segala bentuk kebutuhan dasar, maka pintu yang bisa menjembatani terciptanya seluruh aspek kebutuhan itu menjadi menganga, (3) bahasa sebagai alat berekspresi. Selain sebagai wadah ekspresi segala rasa dan emosi seseorang, bahasa juga berfungsi sebagai saluran untuk memahami dan mengerti harapan-harapan, (4) bahasa menjadi salah satu simbol agama. Tidak dapat dipungkiri bahwa pesan-pesan Tuhan disampaikan melalui bahasa, dan (5) bahasa sebagai alat pemersatu. Pada skala makro dalam banyak kenyataan, bahasa merupakan perantara persatuan. Sementara Ali Maschan Moesa5 menambahkan bahwa tokoh-tokoh mempergunakan bahasa bukan saja untuk menyatakan pendapat atau pikiran, melainkan juga menyembunyikannya. Ia harus menyembunyikan pikiran yang ada di benak, karena dibalik pikiran tersebut terdapat kepentingan yang harus dipertahankan. Kepentingan-kepentingan ini tidak hanya bersifat nasional, tetapi mungkin pula menyangkut suatu golongan atau kelompok masyarakat (partai, pressure group, kelompok pengusaha, buruh, petani, militer, agama, dan sebagainya), dan bahkan terkadang berkaitan dengan kepentingan pribadi. Untuk usaha-usaha menyelubungi berbagai kepentingan tersebut dalam forum politik, haruslah mempergunakan bahasa. Bahasa dipergunakan untuk ceramah, keputusan, resolusi, pernyataan, dan sebagainya. Semua uraian di atas menjelaskan kepada kita betapa pentingnya peran bahasa dalam kehidupan masyarakat. Bahasa sebagai penentu pergaulan kita dalam masyarakat. Dengan bahasa, kita bisa menyelesaikan kon ik-kon ik dalama 5 Ali Maschan Moesa, NU, Agama dan Demokrasi, Komitmen Muslim Tradisionalis Terhadap Nilainilai Kebangsaan (Pustaka Dai Muda bekerjasama Pustaka Putra, 2002), hlm. 240.
masyarakat, akan tetapi dengan bahasa pula kita dapat menimbulkan kon ik.6 Dalam tataran kiprah pribadi di dalam ranah publik, bahasa memiliki fungsi yang tak ternilai. Hampir seluruh kegiatan yang terselenggara selalu beriringan dengan fungsi-fungsi bahasa. Sejak awal, kemunculan bahasa segaris dengan lahirnya budaya manusia itu sendiri dengan peran dasarnya sebagai sarana komunikasi antar sesama. Kalaupun fungsi bahasa hanya berada pada kisaran dangkal dan sederhana, tetapi wujudnya begitu sangat diperlukan bagi kelangsungan kehidupan. Namun sejalan dengan perkembangan kemajuan peradaban manusia, bahasa kemudian betul-betul menjelma sebagai salah satu penentu arah kehidupan. Sesuai dengan fungsinya, bahasa telah dipergunakan untuk berbagai kepentingan, mulai dari yang bersifat individu, sampai kepada hal yang bersifat kolektif. Seberapapun tingkat keberperanan bahasa dalam laju dinamika kehidupan, pasti tidak terkelupas dari makna yang terpendam di dalamnya. Penguasaan bahasa bukan saja ditandai dengan kesanggupan mengorganisir makna melalui pendekatan makna leksikal belaka, melainkan mempergunakan kajian semantik-pragmatik merupakan keharusan. Memang diakui, butir leksikal (lexical item) merupakan makna yang secara otomatis (inheren) ada di dalam butir leksikal itu. Tetapi, dewasa ini kajian semantik banyak dilakukan orang karena sadar bahwa kajian bahasa tanpa mengkaji maknanya adalah sangat “sumbang” sebab pada hakikatnya orang berbahasa untuk menyampaikan konsep-konsep atau makna-makna. Berbahasa tanpa memperdulikan makna adalah sangat di luar nalar akal sehat.7 Dengan demikian, pencarian makna dalam setiap ujaran sesuatu yang niscaya guna dapat memahami konsep, pemikiran, ide, emosi, 6 Kata yang diucapkan oleh Penggabean; 1981. Lihat dalam Ali Maschan Moesa, NU, Agama dan Demokrasi,,, hlm. 240. 7 Lihat dalam Abdul Chaer, Kajian Makna Bahasa (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hlm. 68.
harapan, atau bahkan menemukan abstrak ekspresi dan karakter diri penutur pada setiap peristiwa dan konteks tuturan secara sistematis, logis, dan runtut. Makna, sebagai penghubung bahasa dengan dunia luar, sesuai dengan kesepakatan dan kesepemahaman pemakai bahasa itu sendiri, digambarkan oleh Samsuri,8 seperti garis hubungan:
Sejalan dengan diagram ini, makna diposisikan berada dalam tiga tingkat: Pertama, makna menjadi isi abstraksi dalam kegiatan bernalar. Kedua, makna menjadi isi dari bentuk kebahasaan. Ketiga, makna menjadi isi komunikasi yang mampu membuahkan informasi tertentu.9 Urgensitas makna semakin dirasakan oleh banyak linguistik, meskipun persoalan makna merupakan perkara yang tergolong rumit dalam ranah bahasa. Hal ini, seperti ditegaskan oleh Chaer,10 disebabkan karena hal ihwal makna sebuah ujaran bukan saja persoalan “dalam-bahasa”, melainkan juga menyangkut persoalan “luar-bahasa”. Faktor-faktor “luar-bahasa” seperti masalah agama, pandangan hidup, budaya, norma, dan tata nilai yang berlaku dalam masyarakat turut menjadikan persoalan semantik kian ruwet. Dalam konteks pencarian makna ini, makalah singkat ini mencoba mengeksplorasi makna-makna di balik deiksis dengan segala konsekuensi sejuta problematika yang akan dijumpai. Kajian kali ini menggunakan pisau semantik-pragmatik dan ma’ani sebagai pembedahnya. Walaupun demikian, kajian ini tentu saja tidak serta merta meninggalkan sintaksis, meskipun tidak secara mendalam dikupas, hanya sebatas bersinggungan. Sebab, menurut Lyons,11 kajian kebahasaan 8 Lihat dalam Aminuddin, Semantik, Pengantar Studi tentang Makna (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011), hlm. 07. 9 Ibid., hlm. 07. 10 Abdul Chaer, Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hlm. V. 11 Aminuddin, Semantik,,, hlm. 37.
dalam sistem semiotik dibedakan dalam tiga komponen sistem: (1) sintaktik, yakni komponen yang berkaitan dengan lambang (sign) serta bentuk hubungannya, (2) semantik, yakni unsur yang berkaitan dengan masalah hubungan antara lambang dengan dunia luar yang diacunya, serta (3) pragmatik, yaitu unsur ataupun bidang kajian yang berkaitan dengan hubungan antara pemakai dengan lambang dalam pemakaian. PENDEKATAN SEMANTIKPRAGMATIK Semantik mengkaji tentang makna, baik makna kata (semantik leksikal), makna frasa (semantik frasa), atau kalimat (semantik sintaksis).12 Tetapi ruang lingkup pragmatik, sebagaimana Stephen Levinson merumuskan: “Pragmatics is the study of all those aspects of meaning not captured in semantic theory”. (Pragmatik ialah kajian tentang segala aspek makna yang tak bisa dicakup dalam teori semantik).13 Namun seperti diingatkan kembali oleh Sumarsono bahwa semantik yang dimaksud di sini ialah semantik sintaksis, yaitu semantik yang mengkaji makna frasa, klausa atau susunan kalimat. Dalam gambaran yang lebih jelas dapat diabstraksikan dengan sebuah misal yang hanya mengubah bentuk kata (kalimat, paragraf, frasa): “Kamu sakit, kenapa?”, “mengapa kamu sakit?”, “apa sebab Anda sakit?” atau “Anda sakit, apa sebabnya?”. Pada ungkapan-ungkapan tersebut, dalam aspek semantik, dipandang sama maknanya. Semantik hanya bertindak pada kajian taraf kalimat-kalimat yang diungkap belaka tanpa membahas soal kalimat yang diujarkan lebih dalam lagi.14 Wilayah pembahasan semantik tentu terbatas pada makna ujaran itu dan tidak memperhatikan kaitan yang melingkupi pokok pembicaraan, seperti siapa, kepada dan untuk apa ujaran tersebut diutarakan. 12 Sumarsono, Pragmatik; Buku Ajar (Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha, 2010), hlm 15. 13 Ibid., hlm 23. 14 Ibid., hlm. 25.
Lain halnya dengan pragmatik yang memandang kalimat sekaligus konteks yang melingkari pembicaraan. Perubahan bentuk kata (kalimat, paragraf, frasa) sebagaimana dalam contoh diatas, pasti tidak terlepas dari pengaruh lingkaran penutur, mitra tutur, status keduanya, masa dan waktu kala ungkapan itu diucapkan.15 Penggunaan kata “Kamu”, dan kata “Anda” pada kalimat diatas sangat berkaitan dengan konteks penutur dan mitra tutur yang melahirkan makna yang juga berbeda sesuai maksud kata-kata tersebut diucapkan. Secara umum, semantik yang semula berasal bahasa Yunani, mengandung makna “memaknai” (to signify). Sebagai istilah teknis, smantik mengandung pengertian “studi tentang makna”. Dengan anggapan bahwa makna menjadi bagian dari bahasa, maka semantik merupakan bagian dari linguistik.16 Kata semantik ini kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandai. Atau dengan kata lain, bidang studi dalam linguistik yang mempelajari makna atau arti dalam bahasa. Oleh karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisa bahasa: fonologi, gramatika, dan semantik.17 Kendatipun dewasa ini kajian semantik mulai menyebar kepada seluruh aspek makna, seperti ditegaskan Chaer ,18 yang di mulai semenjak Chomsky melontarkan gagasannya dalam Aspect of the eory of Syntax di mana persoalan yang berhubungan dengan makna mulai dilirik dan tidak “ditelantarkan” lagi. Memang diakui bahwa makna merupakan objek dalam semantik yang terbilang sulit diamati atau paling tidak memiliki tingkat problematika yang cukup tinggi untuk diobservsi dalam tataran empiris. Bagi para linguis, 15 16 17 18
Ibid. Aminuddin, Semantik,,, hlm. 15. Abdul Chaer, Pengantar Semantik,,, hlm. 2. Ibid, hlm. 67.
berbeda dengan kajian fonologi, morfologi atau sintaksis dapat diraba secara nyata. Tetapi kesadaran bahwa kajian bahasa tanpa menyentuh makna adalah pendalaman yang dirasa sangat “miris” telah mendorong para linguis untuk sedapat mungkin memperluas kajian soal bahasa pada aspek makna. Sementara itu, pragmatik berawal dari kajian Charles Morris19 yang mengacu kepada losof pendahulunya, Jhon Locke dan Charles Peirce. Pragmatik mempelajari hubungan antara tanda (kata, frasa, kalimat) dengan penggunaannya, yaitu ketika tanda-tanda itu digunakan oleh penutur. Pragmatik mengkaji bahasa dalam bentuk tutur atau ujaran, tidak saja sekedar studi sintaktik, melainkan upaya penelusuran “makna” ujaran dalam hubungannya dengan konteks ketika kalimat tadi diujarkan. Jika dari sisi sintaktis, maka analisa terhadap tanda dalam ujaran hanya berkisar pada; (1) subjek, (2) predikat, dan (3) objek. Contoh; Mahasiswa kami tidak pernah membaca koran, secara gamblang dapat digambarkan: Mahasiswa kami tidak pernah membaca koran subjek predikat objek
Tetapi dalam analisa pragmatik mencakupi hubungan kata dengan penggunaan kata tersebut. Oleh karenanya, ragam tanda (sign) atau lambang (symbol) meliputi lambang yang terdiri dari bahasa (linguistik) dan tanda diluar bahasa (nonlinguistik). Keragaman inilah bagian dari obyek analisa pragmatik, sehingga pemaknaan betul-betul terasa komprehensip. Kajian pragmatik pada pembacaan tuturan di atas selalu memperhatikan konteks peristiwa di mana ujaran itu diutarakan. Kalimat tersebut perlu ditelusuri dari situasi yang melingkupi, seperti contoh: Wartawan : Betulkah budaya membaca mahasiswa sulit? Dosen : Betul. Apalagi buku ilmiah. Wartawan : Maksud Bapak? hlm. 2.
19 Lihat kembali dalam Sumarsono, Pragmatik,,,
Dosen : Mahasiswa kami tidak pernah membaca koran. Ungkapan ini bisa memiliki kemungkinan makna beragam, salah satu pemaknaan yang dapat dipetik ujaran itu berkonotasi “keluhan”. Senada dengan contoh di atas, sebuah ungkapan dapat dijadikan misal:
ﻫﻞ ﯾﻚ ﻧﻘﻮد؟ Apakah kamu punya uang? Ucapan ini secara tekstual bermakna sebagaimana terjemahan diatas. Tetapi dalam situasi dan konteks tertentu, ujaran tersebut dimaksudkan sebagai ungkapan seperti berikut:
!ٔﻗﺮﺿﲏ ﺑﻌﺾ اﻟﻨﻘﻮد Tolong pinjami saya uang ! Bagaimanapun ungkapan yang disajikan oleh penutur, mesti harus dilihat secara komprehensif konteks yang melingkupinya, baik konteks linguistik (linguistic context), konteks situasi (context of situation), maupun konteks budaya (context of cultural) untuk kemudian bisa diperoleh makna yang diinginkan.20 Oleh karenanya, persoalan makna dalam sebuah tuturan menjadi sangat urgen sekali, sebab maksud dan tujuan penutur sejatinya terselip di balik ujaran-ujaran itu. Di sinilah peran pragmatik dapat dirasakan dalam linguistik sebagai pisau pembedah pembongkaran suatu makna ujaran yang semestinya tidak terjangkau oleh studi semantik. Dalam proses penggalian makna, pertama-tama yang perlu dilakukan analisis pada sintaksis, terutama secara sintagmatik. Dengan analisis ini akan teridentikasi dan terpilah satuan-satuan lingual, seperti kata, frasa, klausa, dan kalimat. Dari tahap ini kemudian berlanjut pada proses analisis semantik yang pada gilirannya akan ditentukan makna satuan-satuan tadi. Pada setiap tahapan tentu saja 20 Zaka Al Farisi, Pedoman Penerjamahan, Arab Indonesia (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 104.
penggunaan nalar ketika memahami teks bahasa sangat diperlukan dengan menelusuri seluruh aspek yang bersifat semiotik. Kemudian setelah itu, analisis pragmatis untuk mendalami makna dan maksud sebuah teks yang terkandung dalam bahasa dengan memperhatikan segala konteks yang meliputinya ujaran menjadi keniscayaan yang tidak bisa dielakkan. Pada sisi ini, karena kegiatan pemaknaan merupakan akti tas yang bersifat mentalistik, proses dan tahapan harus terpatri dalam minda seseorang untuk sebisa mungkin punya perhatian yang tinggi terhadap konteks budaya, konteks sosial, interpretasi terhadap makna dan padanan.21 Pada pambacaan teks dalam bahasa diposisikan sebagai wacana yang meniscayakan adanya struktur dan tekstur tertentu yang memungkinkan sebuah kondisi wacana dilingkari oleh koherensi apapun, termasuk dari pengaruh konteks situasinya. Analisa teks bahasa melalui identi kasi kata, frasa atau klausa menjadi langkah awal sebelum betul-betul memperhatikan konteks budaya dan sosial. Langkah ini tidak boleh tidak memang menuntut kepiawaian seseorang melakukan pengungkapan arti teks bahasa dalam sisi gramatikal dengan selalu awas dan penuh pertimbangan terhadap konteks budaya dan sosial.
PENDEKATAN MA’ĀNI Pembahasan makna pragmatik dalam bahasa Arab menjadi bagian dari kajian ilmu ma’āni.22 Sebagaimana diulas oleh Al-Hasyimi,23 ilmu ma’āni adalah prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah yang 21 Ibid., hlm. 104. 22 Lihat kembali dalam Zaka Al Farisi, Pedoman Penerjamahan,,, hlm. 104. Sebenarnya dalam kata yang lebih bersifat lugas, kajian pragmatik dalam bahasa Arab tidak saja fokus studi ma’āni, tetapi merupakan salah satu bagian dari kajian ilmu badi’. Sebab persoalan deiksis dengan sekian obyek sintagmatik bertebaran diseluruh pembahasan ilmu balaghah. Sebagaimana dimaklumi, secara umum ilmu balaghah memuat tiga komponen uraian: (1) ilmu ma’ ni, (2) ilmu bay n, dan (2) Ilmu bad ’. Belum lagi, ilmu balaghah dilengkapi dengan penjelasan-penjelasan yang meng-cover standarisasi ucapan (fash hah al-kalimah, fash hah al-kal m, al-‘uy b) yang menggambarkan kajian menyeluruh; gramatika Arab (nahw), morfologi (sharf), dan semantik (dil lah). 23 Ahmad Al-Hasyimi, Jawahir al-Balaghah fi al-Ma’āni wa al-Bayan wa al-Badi’ (Surabaya: Al-Hidayah, 1960), hlm. 46.
digunakan untuk mengetahui cara agar suatu tuturan sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi, sehingga ujaran itu sejalan dengan maksud yang tersirat. Dalam rangkaian sejarahnya, ilmu ma’āni dikembangkan oleh Abd al-Qahir al-Jurjani.24 Pada perkembangan berikutnya, obyek kajian dan kaidah-kaidah yang berlaku pada ilmu ma’āni hampir sama dengan gramatika Arab (nahw). Perbedaan keduanya terletak pada wilayah garapan kajian pamaknaannya; ilmu nahw lebih bersifat mandiri pada gramatikal (murād), sedangkan ilmu ma’āni mengarah pada pemaknaan yang bersifat terpengaruh oleh faktor luar kata, frasa, klausa (tark b ). Terkait dengan persoalan upaya menghadirkan makna dalam segala aspek linguistiknya, Hassan25 mengklasi kasi makna ke dalam dua kategori, yaitu (1) al-ma’nā al-maqāli “makna tekstual”; sebuah makna yang hubungannya berkaitan fungsional dan leksikal, dan (2) al-ma’nā al-maqāmi “makna kontekstual”; suatu makna yang berkenaan dengan language in use atau performansi tuturan dengan aneka situasi yang ada dibelakangnya. Berpola tidak jauh berbeda dengan pragmatik, kajian ilmu ma’āni memuat hal-hal yang berhubungan dengan situasi dan karakteristik penyampaian tuturan. Fokus kajian soal makna mengacu pada kondisi dan konteks. Contohnya:
ٔﻫﺬا ا ي ﻣﺪﺣ ﻪ ﻛﺜﲑا Apakah ini yang sering kau puji-puji itu? Dalam kajian ma’āni, kalimat tersebut dikelompokkan sebagai contoh dengan konteks tahq r (meremehkan)26. Oleh sebab itu, terjamahan itu kurang mengena apabila dikaitkan dengan situasi yang 24 Sumber: http://riungsastra.wordpress.com/ pengertian-ilmu-maani. (kala akses, 1 April 2014) 25 Zaka Al Farisi, Pedoman Penerjamahan,,, hlm. 106. 26 Lihat dalam Ahmad Al-Hasyimi, Jawahir al-Balaghah,,, hlm. 93. Pada asalnya alf zh al-istifh m bermakna thalab al-‘ilm bi majh l . Tetapi dalam arti lain, kalimat tanya memiki makna beragam. salah satu diantaranya adalah al-tahq r.
melatarinya, karena pada misal itu nuansa “meremehkan” belum terasa menggigit dalam minda penutur dan mitra tutur. Pada titik ini, makna yang betul-betul bersesuai dengan bentuk dan diksi yang tepat agar makna dikehendaki bisa ditemukan, misalnya diterjamah: Kayak begini yang sering kau puja-puja itu? Penggunaan frasa ‘kayak begini’ dalam contoh di atas sepertinya mampu menghadirkan nuansa “meremehkan” sebagaimana yang diharapkan dalam bahasa aslinya. Kendatipun ilmu ma’āni menelisik makna dengan segenap aspek sudut pandang dan tolok ukurnya, ternyata tidak seluruh proses pemaknaan harus menggunakan ilmu ma’āni sebagai pendekatan memperoleh hasil makna yang berterima. Ada banyak fakta kalimat, frasa, klausa atau kata dalam cara pemaknaan tidak harus melalui pendekatan pragmatik, meskipun hal itu terdapat pada bingkai ilmu ma’āni. Contoh:
وﻣﻦ ب وﲻﻞ ﺻﺎﳊﺎ Barang siapa yang bertobat dan mengerjakan kebaikan.
اﺗﺒﻌﻮﱐ ﳛﺒﺒﲂ ﷲ Ikutilah aku, niscaya Allah mencintai kalian. Kedua contoh termasuk pembahasan j z, yaitu pemaknaan yang jelas dan mencakup tujuan dan maksud dalam kata yang minimal. Kedua contoh tersebut tergolong j z al-hadzf27 dimana bagian rangkaian kalimat dibuang sebab dinilai cukup tanpa wujudnya. Pada asalnya kedua contoh itu berbunyi:
وﻣﻦ ب وﲻﻞ ﲻﻼ ﺻﺎﳊﺎ اﺗﺒﻌﻮﱐ ﻓﺎٕن ﺗ ﻌﻮﱐ ﳛﺒﺒﲂ ﷲ Keberadaan kata-kata ini pada susunan kalimat di atas atau kalimat sebelumnya tidak berpengaruh banyak terhadap 27 Ibid., hlm. 222.
model terjamah yang dibuat. Kaidah dalam ilmu ma’āni tidak kemudian harus mengikat pola pemaknaan, menjadikan bentuk makna begitu lentur tanpa harus kehilangan esensi yang dikehendaki pada bahasa Arabnya. Sekaitan dengan ini, situasi dalam ujaran menjadi prasyarat yang dibutuhkan untuk melakukan analisis pragmatik atas suatu tuturan. Situasi ujaran ini mencakup beberapa unsur sebagai uraian berikut: (1) penutur, (2) mitra tutur, (3) tindak tutur, (4) tuturan sebagai produk tindak verbal, (5) konteks, (6) tujuan, (7) waktu, dan (8) tempat.28 Pada dasarnya, diluar terdapat kaitan dengan semantik, kajian pragmatik dalam penggunaan bahasa pada bingkai linguistik mencakup bahasan tentang deiksis, praanggapan, tindak tutur, dan implikatur percakapan.29 Tetapi pada kajian kali ini, pembahasan makalah hanya difokuskan pada pencarian makna deiksis dalam pendekatan semantik-pragmatik dan ma’āni. Sejurus dengan kajian ma’āni dalam persoalan makna tuturan pada konteks pemaknaan, Leech30 melihat bahwa pragmatik sebagai kajian dalam bidang linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini disebut semantisisme, yaitu semantik dipandang sebagai bagian dari hal yang komplementer dari kajian-kajian pragmatik. Oleh sebab itu, berangkat dari uraian Leech, dapat diambil simpulan bahwa semantik dan pragmatik merupakan dua bidang kajian kebahasaan yang bersifat saling melengkapi. PEMBAHASAN DEIKSIS Deiksis berasal dari kata Yunani Kuno yang berarti “menunjukkan atau menunjuk”. Berangkat dari paparan Kaswanti Purwo31 deiksis berasal dari kata deiktitos yang berarti ‘hal penunjukan 108.
28 Zaka Al Farisi, Pedoman Penerjamahan,,, hlm.
29 Asim Gunarman, Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasaan Indonesia-Jawa di Jakarta: Kajian Sosiopragmatik (Jakarta: Makalah PELLBA VII, Unika Atma Jaya, 1993), hlm. 2. 30 Ibid., hlm. 2. 31 Sumarsono, Pragmatik,,, hlm 76.
secara langsung’. Istilah ini digunakan oleh tatabahasawan Yunani dalam pengertian kata ganti penunjuk. Dari pengertian ini, deiksis dalam bahasa Indonesia dapat dicontohkan kata ini atau itu dan kalimat sesamannya. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) edisi ke-332, deiksis diartikan sebagai hal atau fungsi yang menunjukkan sesuatu di luar bahasa; kata tunjuk pronomina, ketakrifan, dan sebagainya. Berdasarkan arti ini deiksis merupakan pengejawantahan dari informasi kontektual secara leksikal maupun gramatikal yang menunjuk pada hal-hal tertentu, baik yang meliputi benda, waktu ataupun tempat. Ujaran yang menitikberatkan persoalan tersebut dalam konteks acuan disebut deiksis. Contoh yang dapat diangkat sebagai misal dalam bahasa Inggris: he, here, now merupakan ketigaungkapan untuk memberi perintah yang menunjuk konteks tertentu agar ujaran bisa dipahami dengan tegas. Deiksis masuk ke dalam ranah kajian pragmatik sebab deiksis secara langsung bertolak dari hubungan antara struktur bahasa dan konteks yang melingkari adanya deiksis di atas altar ujaran-ujaran yang digunakan.33 Oleh karena itu, sebagaimana penegasan Sumarsono tersebut deiksis pasti memiliki persinggungan erat dengan semantik pada satu sisi dan tidak bisa dilepaskan dengan kaitan pragmatik pada sisi yang lain. Bidang struktur bahasa sekaligus aspek-aspek makna tergarap secara komprehensip dalam kajian keduanya. Makanya untuk memahami deiksis harus diawali dengan pembahasan tentang makna dan acuan. Pada dasarnya deiksis merupakan suatu gejala semantis yang terdapat pada kata atau konstruksi yang acuannya dapat ditafsirkan sesuai dengan situasi pembicaraan dan menunjuk pada sesuatu di luar bahasa, seperti kata tunjuk (isy rah), pronomina (dlam r) ketakrifan (ma’rifah) dan
sebagainya. Oleh sebab itu, rujukan deiksis berganti-ganti, tidak menetap bergantung pada konteks ruang dan tempat. mempertegas dengan mencontohkan kata huwa ‘dia’, an ‘saya’, anta ‘kamu’, dan seterusnya,34 seperti:
ٔ ﻃﺎﻟﺐ ذﰾ Saya mahasiswa yang cerdas Acuan kata an ‘saya’ dalam kalimat ini tidak dapat diketahui dan dibaca secara gamblang sebelum ujaran terdeteksi situasinya; siapa, di mana, dan kapan kata-kata itu dituturkan. an ‘saya’ merujuk kepada Husni Mubarak atau Mudhafar, di kampus atau di lain tempat, sedang belajar atau pada masa tertentu bisa terlacak tatkala situasi tuturan dapat dimaklumi. Maka dapat dipahami bahwa sebuah kata yang bersifat deiktif hanya mampu ditemukan rujukan tatkala situasi pertuturan sudah tampak jelas dalam konteks percakapan. Jika dirunut dari awal persoalan acuan, maka hal yang perlu dijadikan pijakan dasar ialah pendekatan refrensial dalam bagian teori semantik agar acuan diperoleh pada deiksis dalam tataran deiksis sebagai pengendean terhadap konteks ujaran (context of uttereance). Dalam hal ini, Ogden dan Richards35 mengemukan tentang teori tanda petunjuk (refrential theory) yang digambarkan dalam sebuah bagan “segi tiga dasar”. Segi tiga itu mengandung tiga komponen makna, yaitu: (1) lambang – kata – (thought, reference, sense/al- krah, al-raj’, al-madl ) di mana isi dibalik tuturan. (2) kata (symbol, word, name/ al-ramz, al-kalimah, al-ism) yang terdiri dari bunyi. (3) unsur (referent, thing/al-syay`u al-kh ) yang terbingkai dalam peristiwa yang mengitari ujaran. Uraian ini gamblang dalam bagan di bawah ini:
34 Zaka Al Farisi, Pedoman Penerjamahan,,, hlm. 108.
32 Ibid 33 Ibid, hlm 71.
35 Mukhtar R, Ilmu al-Dilalah, ctk. I (Kuwait: Maktah Dar al-Arubah, 1982), hlm. 54.
al- krah, al-raj’, al-madl
thought, reference, sense
al-ramz, al-kalimah, al-ism
symbol, word, name Keterangan Ogden dan Richards ini diperjelaskan oleh Lyons36 bahwa sebuah lambang (bentuk kata) digambarkan dalam lambang menjadi “sesuatu” atau dirupakan semacam “konsep” yang terselip dan berada pada benak seseorang yang berkapasitas sebagai penutur tuturan; “sesuatu” atau “konsep” itulah makna dari “kata” atau “kalimat” yang diujarkan; sedangkan makna tadi merupakan abstraksi dari “sesuatu” atau rupa “benda/barang” nyata yang tidak lain menjadi acuan (referen). Alur bagan ini kemudian dapat diperjelas dengan uraian bahwa terdapat hubungan antara simbol dengan referen yang digambarkan dengan garis putus – karena keduanya memiliki hubungan tidak langsung dan semata-mata bersifat arbitrer – juga memberi bahwa simbol pada hakikatnya telah memiliki potensialitas makna tanpa adanya konseptualisasi pada sebelumnya. Pada sisi lain, terdapat hubungan tajam antara referen dengan thought serta garis hubungan dalam jalur tersendiri antara thought dengan simbol juga memberikan gambaran bahwa pada masing-masing seolah dapat dikaji secara terpisah.37 Keterangan tentang uraian bagan inilah yang disinyalir menyebabkan terjadi perbedaan pandangan dan statemen kalangan para ahli bahasa tentang mak36 Sumarsono, Pragmatik,,, hlm 73. 37 Aminuddin, Semantik,,, hlm. 82.
al-syay`u al-kh
referent, thing na. fenomena ini berangkat dari indikasi munculnya pendekatan-pendekatan seputar persoalan-persoalan penggalian makna tuturan dalam tiga madzhab besar: 1) pendekatan refrensial yang diusung oleh Jhon Dewey, 2) pendekatan ideasional yang dilatari oleh sebuah gagasan Jhon Locke, dan 3) pendekatan behavior yang ditokohi oleh Charles Osgood.38 Richards dkk. memberikan contoh kongkrit tentang gambaran tersebut di atas dengan suatu misal: a) sebuah kata “meja”, b) berikutnya memiliki makna yang terkandung dalam kata tersebut (pengertian/pemahaman) “meja”, c) lalu kata itu berwujud (dalam bayangan/gambaran/ konsep/abstrak). Dalam wujud kongkrit, konsep abstrak tentang meja nyata dalam benda yang disebut meja dengan mengacu kepada “sesuatu”/benda yang oleh banyak orang disebut meja. Secara gamblang dapat diuraikan bahwa pada item a) inilah yang disebut maksud al-ramz, al-kalimah, al-ism/symbol, word, name, sedangkan b) berarti al- krah, al-raj’, al-madl / thought, reference, sense, kemudian pada berikutnya adalah c) yang artinya adalah al-syay`u al-kh / 39 referent, thing. Di sinilah ahli bahasa membedakan antara kata (berbentuk bunyi-bunyi), makna (yang dilambangkan 38 Lihat kembali dalam Aminuddin, Semantik,,, Bab III: Pengertian Makna, Teori Pendekatan dan Pengembangannya. Diuraikan tentang pendapat, kritik dan aliran-aliran dari berbagai tokoh bahasa dalam dinamika perkembangan bahasa. 39 Mukhtar R, Ilmu al-Dilalah,,, hlm. 55-56.
oleh kata) dan acuan (hal yang diacu oleh kata). Dengan kata lain terdapat perbedaan signi kan antara makna dan acuan, meski dalam praktiknya penelusuran keduanya memerlukan ketelitian yang betul-betul matang. Hubungan antara kata dan referennya itulah, seperti ditegaskan oleh Lyons,40 disebut referensial. Setidaknya ada tiga deiksis yang secara tradisional dibicarakan oleh ahli bahasa, yaitu: (1) deiksis persona (person deixis), (2) deiksis waktu (time deixis), dan (3) deiksis tempat (place deixis).41 Tiga pembagian ini dengan asumsi mengklaim deiksis petunjuk (demonstrative deixis), deiksis wacana (discourse deixis), dan deiksis sosial (social deixis) masuk (include) pada ketiga pembagian di atas. Pada umumnya, menurut Sumarsono,42 deiksis persona diorganisasikan dengan cara pandang berpusat pada ego diri yang diabstraksikan dalam ujaran dengan menggunakan kata ganti “saya” (pengungkapan diri tergolong egosentris). Penjelasan ini berangkat dari adanya pengandaian bahwa ungkapan-ungkapan deiksis itu sebagai berlabuhnya titik-titik khusus sebuah abstrak yang tidak bertanda pada peristiwa tutur dalam konteks situasi pertuturan. Oleh karenanya, konteks pertuturan terbentuk ke dalam pusat deiksis (deictic centre) yang diasumsikan demikian: (a) sebagai persona-pusat merupakan penutur yang diwakili oleh kata “saya”, (b) waktu-pusat yang dirupakan waktu atau saat di mana tuturan diujarkan yang disimbolkan dengan “sekarang”, (c) tempat-pusat yang digambarkan sebagai lokasi penutur pada saat ia berujar yang dijargonkan dengan kata “di sini”, (d) wacana-pusat merupakan titik (baca: fenomena) di mana penutur berada pada ke-terjadi-an produksi ujaran, dan (e) sosial-pusat adalah ragam jenjang status sosial penutur.
Ketiga deiksis tersebut diurai sebagai berikut: 1. Deiksis Persona (person deixis): Deiksis ini terkait erat pengekodean peran (role) para partisipan dalam peristiwa tutur, atau lebih tegasnya penutur, mitra tutur, dan konteks tuturan, di mana ujaran diutarakan. Deiksis persona terkategorikan ke dalam tiga kelompok dasar: (1) Persona pertama merupakan eksis gramatikalisasi dari acuan penutur terhadap diri sendiri. Deiksis persona merupakan dasar orientasi bagi deiksis waktu dan tempat. Deiksis persona atau bisa juga disebut deiksis orang memakai kata ganti diri, dinamakan demikian karena fungsinya menggantikan diri orang. (2) Persona kedua ialah pengekodean acuan penutur terhadap seorang pendengar atau lebih sebagai mitra tutur. (3) Persona ketiga adalah merupakan pengekodean acuan yang bukan terdiri dari penutur atau mitra tutur, melainkan bisa orang atau sesuatu di luar penutur atau mitra tutur.43 Kategori pemberian peran dalam suatu peristiwa tutur, dalam bahasa Arab, tergolong dalam uraian pronomina (dlam r) yang dikelompokkan berdasarkan aspek: jan40 41 42 43
Sumarsono, Pragmatik,,, hlm 73. Ibid, hlm 82. Ibid, hlm 84-85. Sumarsono, Pragmatik,,, hlm 82.
tina (tadzk r wa ta’n ); aspek numeralia (‘adad); atau meliputi: tunggal (mufrad), dual (mutsann ), dan plural (jam`u); dan fungsi sintaksis (wazh fah nahwiyyah). Tentang fungsi sintaksis terdapat beberapa jenis pronomina, yaitu (1) dlam r rafa’ munfashil: posisi rafa’/nominatif, (2) dlam r nashab munfashil: posisi nashab/akusatif, (3) dlam r jarr bi al-harf: posisi jar/genitif karena preposisi, (4) dlam r jarr bi al-idl : posisi jarr karena idl f t.44 Sebagaimana dalam gramatika Arab, untuk konsonan yang berada di bagian akhir kata, dilakukan pembacaan secara sintaktik. Pembacaan sintaktik terkait dengan adanya deklensi (i`r ), yaitu perubahan pada akhir kata karena masuknya faktor-faktor tertentu dalam suatu satuan tuturan. Deklensi yang terjadi pembacaan sintaktik terdiri atas empat macam kasus, yaitu: 1- Nominatif (rafa’), 2- Akusatif (nashab), 3- Genitif (jarr), dan 4- Jusif (jazm). Bila membicarakan tentang deklensi, maka tidak bisa terlepas dari pembicaraan mengenai kategori kata dalam bahasa Arab yang terbagi menjadi tiga, yaitu: 1- Nomina (ism), 2Verb ( `l), dan 3- Partikel (harf).45 Agar lebih jelas, fungsi sintaktik pronomina diuraikan ke dalam bagan seperti berikut: Pronomina
Peran
ا
ا
رت
رك ا
ا زو أت
Jantina
Rafa’
Tunggal
Jantan
Persona III
Nashab
Dual
Jantina
Persona III
Jarr
Plural
Jantan
Rafa’
Tunggal
Jantan
Persona II
Nashab
Plural
Jantan
Persona II
Jarr
Dual
Jantina
Rafa’
Tunggal
Jantan
Nashab
Tunggal
Jantina
Jarr
Plural
Jantina
Rafa’
Tunggal
Betina
Jarr
Plural
Betina
أPersona I اPersona I
ا ل
Numerial
Persona III
أPersona II
ا ذ
Deklensi
Persona I اPersona II Persona III
Kategorisasi sintaksis ini sedikit-banyak membantu membukakan jalan agar makna dapat mudah teridenti kasi rujukan pronomina (marji’ al-dlam ir) dalam sebuah deiksis. Selain itu, pada beberapa bagian deiksis persona mempunyai ragam interpretasi makna sesuai tingkat status mitra tutur sebagaimana realitas kosakata yang dipunyai bahasa sasaran. Contoh:
ﻣﺎذا ﺗﻔﻌﻞ ؟ Seperti maklum, dalam kata taf ’ul tersirat deiksis persona anta. Oleh karenanya, realisasi acuan deiksis persona ini bergantung pada konteks peristiwa ujaran diucapkan; Jika mitra tutur lebih tinggi, maka acuannnya “Bapak”. Pemilihan diksi ini lebih tepat dengan mempertimbangkan maksim kesopanan. Apabila mitra tutur sejawat, maka refresinnya “Kamu”. Dengan alasan bahwa kedudukan mitra tutur begitu kental atau 44 Zaka Al Farisi, Pedoman Penerjamahan,,, hlm. 110. 45 Sumber: alashree.wordpress.com//vokal-konsonan-deklensia. (kala akses, 9 Maret 2014)
mungkin ada di tingkat bawah penutur. Kalau mitra tutur sejajar, maka rujukannya “Anda”. Hal demikian dilandasi oleh adanya mitra tutur yang berada pada posisi setingkat namun dekat.
a) Menunjukkan pembicaraan persona I. Contoh:
Berdasarkan kondisi ini, maka penerjamahan yang tepat disesuaikan dengan situasi peristiwa dari frasa tersebut ialah:
Rasulallah saw bersabda: Aku adalah Nabi tidak bohong
Apa yang “Bapak”/”Kamu”/”Anda” kerjakan ? Dalam kajian bahasa Arab, terdapat fungsi kata dalam kalimat yang merupakan fokus kajian sintaksis. Fungsi kata atau fungsi sintaksis bahasa Arab ada 6 (enam) macam, yaitu: (1) musnad ilayh, (2) musnad, (3) mukammil, (4) t bi’, (5) r bith, dan (6) tahw l.46 Pada pembahasan ini akan dibatasi kepada uraian tentang musnad ilayh dan musnad, terkait dengan fokus kajian seputar deiksis belaka. musnad ilayh ialah isi pembicaraan dalam kata atau frasa yang disandari oleh musnad dan dapat dibedakan dengan dengan tanda i’r b marf ’. Sedangkan musnad adalah kata atau frasa yang menerangkan musnad ilayh. Nomina dan verba merupakan kategori yang dapat mengisi fungsi ini.47 Kridalaksana48 menyebutkan deiksis sebagai hal atau fungsi yang menunjuk sesuatu di luar bahasa; kata tunjuk pronomina (dlam r), ketakrifan (ma’rifah), dan sebagainya memiliki fungsi deiktis. Terlebih dalam bahasa Arab, pemakaian deiksis persona, misalnya, dalam satu kalimat atau paragraf, bisa banyak. Terkait dengan fungsi musnad ilayh, dalam kajian ma’ ni, seharusnya pada status ketakrifan, karena musnad ilayh merupakan subfungsi subjek yang harus diketahui (ma’l m). Ketakrifan musnad ilayh yang dirupakan deiksis persona pronomina mempunyai tujuan:49 46 Syihabuddin, Penerjamahan Arab-Indonesia, Teori dan Praktek (Bandung: Humaniora, 2005), hlm. 48. 47 Al-Ghalayani, Jami’ al-Durus Lughah al-Arabiyah (Bairut: al-Maktabah Asyriyah, 1984), hlm. 284. 48 Zaka Al Farisi, Pedoman Penerjamahan,,, hlm. 109. 49 Lihat dalam Ahmad Al-Hasyimi, Jawahir al-Balaghah,,, hlm. 126-127.
ٔ اﻟﻨﱯ ﻻ:ﻗﺎل رﺳﻮل ﷲ ﺻﲆ ﷲ ﻠﯿﻪ وﺳﲅ .ﻛﺬب b) Menunjukkan pembicaraan persona II. Contoh:
ٔﻧﺖ اﻟﱵ اﺣ ﺒﺖ اﺧﳤﺎ Engkau adalah seorang yang saudaranya aku senangi c) Menunjukkan pembicaraan persona III. Contoh:
ﻫﻮ ﺻﺎﺣﱯ ﰲ اﳉﺎﻣﻌﺔ اﻟﻘﲅ اﲰﻪ ﺣﺴﲏ Dia adalah sahabatku di STAI Al-Qolam, namanya Husni Selain hal tersebut terdapat beberapa ketentuan perihal deiksis persona pronomina sebagai berikut: Pertama, pada asalnya acuan mitra tutur terdiri dari “sesuatu” yang senyatanya dan tertentu. Contoh:
. ﱔ ﲢﺐ ﺑﻨﺎﰐ.ﱔ زوﺟﱵ Dia adalah istriku. Dia menyayangi putri-putriku Tetapi terkadang refren tidak seperti mulanya, dalam beberapa hal: a) Acuan mitra tutur tidak terdiri dari “sesuatu” yang senyatanya, tetapi tergambar dalam kalbu. Contoh:
ﻻ ٕا إﻻ ٔﻧﺖ Tiada Tuhan selain Kau b) Acuan mitra tutur tidak terdiri dari “sesuatu” yang tertentu, namun bisa mencakupi setiap orang. Contoh:
اذا ٔﻧﺖ ٔ ﺮﻣﺖ اﻟﻜﺮﱘ ﻣﻠﻜ ﻪ Ketika kamu menghormati hal mulia, maka kau telah menundukkannya
Kedua, pada mulanya peletakan pronomina setelah kata atau frasa yang menjadi rujukan pronomina itu. Tetapi dalam beberapa hal, pronomina didahulukan dari kata atau frasa yang menjadi acuannya karena dilatarbelakangi faktor: a) Kemungkinan kata setelah pronomina sudah terbayang dalam kalbu mitra tutur karena rasa penasarannya. Contoh:
ﻗﻞ ﻫﻮ ﷲ ا ﺪ Katakanlah Dialah Allah Yang Maha Esa b) Klaim bahwa acuan pronomina telah terpatri dalam hati mitra tutur. Contoh:
ٔﻗ ﻞ و ﻠﯿﻪ اﻟﻬﯿﺒﺔ واﻟﻮﻗﺎر Hadapilah, kepadanya terdapat kehebatan dan ketenangan 2. Deiksis Waktu (time deixis): Deiksis ini diartikan sebagai pengungkapan ujaran kepada titik waktu tertentu pada saat suatu tuturan diujarkan. Kaitannya dengan deiksis waktu berkenaan dengan pengekodean titik-titik atau rentang waktu yang relatif pada saat ujaran diutarakan – baik dalam bentuk lisan, maupun tulisan –. Sistem deiksis dalam bahasa alami (bahasa yang biasa dipakai) tidaklah secara sewenang-wenang diorganisasikan di sekitar unsur-unsur dari berbagai jenis medium dan konteks di mana bahasa itu dipergunakan, tetapi terdapat asumsi mendasar tentang soal konteks dalam tatap muka di mana semua orang memperoleh bahasanya.50 Dasar untuk menghitung dan mengukur waktu dalam banyak bahasa tampak bersifat siklus alami dan nyata, putaran hari dan malam; siang dan malam (dalam sepekan dengan nama-nama hari), bulan (berikut nama-namanya), musim (sesuai musim yang di sebuah negara), dan tahun. Satuan-satuan waktu tersebut dapat digunakan baik sebagai ukuran ”sekian”, ataupun sebagai ”saat“ bagi peristiwa tutur.51 Contoh ukuran ”sekian” misalnya; sekian hari, sekian bulan, sekian tahun. Sedangkan misal satuan sebagai ”saat“; jam ini, hari ini, bulan ini, dan tahun ini. Secara pragmatik, jenjang rentang waktu, meskipun seluruhnya, dapat diperjelas dengan bagan sebagai berikut:
Pada persoalan acuan, deiksis berakar pada persona pertama tunggal, dan menyangkut persona, waktu, dan ruang. Waktu yang menjadi akar adalah waktu penutur menuturkan sesuatu dan waktu tersebut adalah saat kini.52 Dalam bahasa Arab deiksis kala berkaiatan dengan pemahaman waktu saat tuturan diutarakan. Termasuk dalam deiksis ini, antara lain: 53
. ﺷﻬﺮا, اﻟﺒﺎر ﺔ, ﺪا,ٔﻣﺲ
Contoh:
106.
50 51 52 53
Sumarsono, Pragmatik,,, hlm 89. Syihabuddin, Penerjamahan Arab-Indonesia,,, hlm. 84. Verhaar, Asal-usul Linguistik Umum (Jogjakarta: Gadjah Mada University Press, 2004), hlm. 398. Ahmad Al-Hasyimi, al-Qawaid al-Asasiah li al-Lughah al-Arabiah (Bairut: Daar al-Kutub al-Ilmiah, tt), hlm.
زرت ٔﺳﺘﺎذي ﺣﺴﲏ ٔﻣﺲ Saya mengunjungi guru saya, Husni kemarin
ﺳﻮف ﳚﻲء ﺻﺎﺣﱯ ﺣﺴﲏ ﻣﻦ ﺑﻮﻧ ﺎﻧﻚ ﺪا Sahabatku, Husni akan datang dari Pontianak besok
ﴍب اﺳﺘﺎذ ﺣﺴﲏ ا ﺎن ﻣ ﻔﺮدا اﻟﺒﺎر ﺔ Guru kita, Husni merokok sendirian tadi malam Termasuk ke dalam deiksis waktu adalah ketakrifan (de nitif) yang disebabkan oleh partikel alif-lam (al) yang memiliki fungsi untuk menunjukkan waktu tertentu terjadinya suatu peristiwa (’ahd hadl r ). Contoh:
... اﻟﯿﻮم ٔﳈﻠﺖ ﻟﲂ دﯾﻨﲂ Pada hari ini Kusempurnakan agamamu untukmu… (QS.5:3) Makna Pada hari ini dalam konteks ayat tersebut bukan pada hari ini yang sebenarnya, melainkan pada hari diturunkan ayat itu. 54 3. Deiksis Tempat (place deixis): Dalam hal kata yang memiliki referen tidak tetap pada soal tempat ini tergambar dalam contoh secara gamblang: a) Tadi dia duduk di sini, b) Hujan turun hampir setiap hari di sini, di Bogor, dan c) di sini, di Indonesia, hal seperti itu sering terjadi. Pada kalimat a) kata di sini menunjukkan tempat tertentu yang sempit sekali. Mungkin acuannya bisa sebuah bangku, sepotong papan, atau sesuatu yang dapat dijadikan tempat duduk. Sedangkan pada kalimat b) di sini merujuk pada sebuah tempat yang lebih luas, yaitu kota Bogor. Adapun kalimat yang terdapat c) kata di sini mengacu pada daerah yang meliputi seluruh wilayah Indonesia.55 Contoh lain, 54 Zaka Al Farisi, Pedoman Penerjamahan,,, hlm. 218.
55 Abdul Chaer, Pengantar Semantik,,, hlm. 67.
dalam percakapan lewat telepon antara Roby di Malang dan Rudy di Pontianak – sebut saja begitu – ada dialog: Roby : Halo, di sini aku ingin bicara dengan Rudy… Rudy : Ya, di sini aku sendiri Rob… Jelas yang dimaksud Roby dengan kata di sini adalah kota Malang, sementara kata di sini yang diucapkan Rudy merujuk pada kota Pontianak. Dalam hal ini deiksis bersambungan erat dengan pengekodean lokasi spesial (ruang) yang relatif. Kelanjutan dari penjelasan ini berhubungan dengan wujud gramatikalisasi proksimil (proximal); untuk tempat/lokasi yang dekat dengan penutur, distal (distal), dan nonproksimal (non-proximal); untuk tempat/lokasi yang dekat mitra tutur.56 Jabaran ini dicontohkan dengan kata: Ini Itu
Penunjuk (demontrative deixis)
Di sini Di situ
keterangan (adverbial deixis)
Sebagaimana klaim awal bahwa deiksis petunjuk (demonstrative deixis), deiksis wacana (discourse deixis), dan deiksis sosial (social deixis) termasuk bagian dari tiga deiksis, dalam bahasa Arab, deiksis petunjuk (ism al-isy rah). Seperti kategori uraian pronomina (dlam r) dalam pemberian peran dalam suatu peristiwa tutur, deiksis petunjuk (ism al-isy rah) memperhatikan beberapa hal: aspek jantina (tadzk r wa ta’n ), aspek numeralia (‘adad); meliputi: tunggal (mufrad), dual (mutsann ), dan plural (jam’u), dan aspek lokatif; meliputi: jauh (ba’ d), dan dekat (qar ).57
56 Sumarsono, Pragmatik,,, hlm. 82. 57 Ahmad Al-Hasyimi, al-Qawaid al-Asasiah,,, hlm. 94.
Contoh:
PENUTUP
ﻫﺬا ﺣﻘ ﻘﺔ ﺣﱯ إﻟﯿﻚ Inilah bukti cintaku kepadamu
ذا دارﺣﺴﲏ ﻣ ﺎرك اﳉﺪﯾﺪ Itu adalah rumah Husni Mubarak yang baru
Tiga komponen makna yang tercover dalam lambang – kata – (thought, reference, sense), (symbol, word, name), dan unsur (referent, thing) merupakan unsur yang wujud dalam deiksis, baik dari dimensi semantik, pragmatik, maupun ma’āni. Kendatipun dalam analisis ma’āni, sisi sintaksis – gramatika Arab (nahw) dan morfologi (sharf) – masih cukup kental, tetapi pada tataran penggalian makna deiksis sudah bisa menjawab persoalan-persoalan pelik seputar makna. Pada kajian deiksis ruang (place deixis), dalam bahasa Arab, bertalian dengan pemahaman lokasi atau tempat yang disebut penutur dan mitra tutur dalam sebuah tuturan. Kategori ruang dalam konteks deiksis ini dapat bersifat ruang; tempat (lokatif) dan penunjuk (demonstratif). Sejurus dengan sifat ruang demikian itu yang disebut deiksis penunjuk (demonstrative deixis), dalam bahasa Arab, diistilahkan penunjuk (ism al-isy rah). Deiksis semacam ini termasuk ke dalam tiga deiksis dasar: (1) deiksis persona (person deixis), (2) deiksis waktu (time deixis), dan (3) deiksis tempat (place deixis). Wallahu a’lam. []
Penguasaan bahasa bukan saja ditandai dengan kesanggupan mengorganisir makna melalui pendekatan makna leksikal belaka, melainkan mempergunakan kajian semantik-pragmatik merupakan keharusan.
DAFTAR PUSTAKA Abdul Chaer (1990). Pengantar Semantik Bahasa Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, Acep Hermawan (2011) Metodolgi Pembelajaran Bahasa Arab, ctk. II, Bandung: Remaja Rosdakarya Ahmad Al-Hasyimi (1960). Jawahir al-Balaghah fi al-Ma’āni wa al-Bayan wa al-Badi’, Surabaya: Al-Hidayah Ahmad Al-Hasyimi (tt). al-Qawaid al-Asasiah li al-Lughah al-Arabiah, Bairut: Daar al-Kutub al-Ilmiah Al-Ghalayani (1984). Jami’ al-Durus Lughah al-Arabiyah, Bairut: al-Maktabah Asyriyah, Ali Maschan Moesa (2002). NU, Agama dan Demokrasi, Komitmen Muslim Tradisionalis Terhadap Nilai-nilai Kebangsaan, Pustaka Dai Muda bekerjasama Pustaka Putra, Aminuddin (2011). Semantik, Pengantar Studi tentang Makna, Bandung: Sinar Baru Algensindo, Asim Gunarman (1993). Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasaan Indonesia-Jawa di Jakarta: Kajian Sosiopragmatik, Jakarta: Makalah PELLBA VII, Unika Atma Jaya Chaerdar Alwasilah (2011). pengantar buku Acep Hermawan: Metodolgi Pembelajaran Bahasa Arab, ctk. II, Bandung: Remaja Rosdakarya, Mukhtar R (1982). Ilmu al-Dilalah, ctk. I, Kuwait: Maktah Dar al-Arubah Sumarsono (2010). Pragmatik; Buku Ajar, Singaraja: Universitas Pendidikan Ganesha Syihabuddin (2005). Penerjamahan Arab-Indonesia, Teori dan Praktek, Bandung: Humaniora Syihabuddin Qalyubi (1997). Stilistika al-Qur’an; Pengantar Orientasi Studi alQur’an, Yogyakarta: Titian Ilahi Press Verhaar (2004). Asal-usul Linguistik Umum, Jogjakarta: Gadjah Mada University Press Zaka Al Farisi (2011). Pedoman Penerjamahan, Arab Indonesia, Bandung: Remaja Rosdakarya, alashree.wordpress.com//vokal-konsonan-deklensia. http://riungsastra.wordpress.com/pengertian-ilmu-maani.
PERLINDUNGAN HAK WARIS ANAK ANGKAT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DI INDONESIA Oleh : Mochammad Taqrib (STAI AlQolam Gondanglegi Malang)
In this age, Islam faces huge, complicated problems that demand creative responses especially through ijtihad and its methodologies. One pace has been progressively taken by the ulama (muslim scholars) and the umaro (government) in Indonesia, namely vesting inheritance right for adopted children by the mean of wasiyah wajibah which is regulated in article 209 of Islamic Law Compilation (KHI). Such right has never been regulated before in Classical Islamic law. According to classical Islamic law, adopted children have no inheritance right because they don’t have any cognation or marital relationship with the foster parents. Considering the contribution the adopted children may have to their foster parents, the ulama and the umara in Indonesia performed ijtihad and vested inheritance rights for adopted children in KHI. However, in the course of history, the article 209 could not bring justice into reality. Why? Because adopted child (or children) could only receive less inheritance than other heirs. is case may cause injustice when the adopted child has big contribution to the foster parents. Keywords : Adopted children, foster parents, KHI, justice
PERLINDUNGAN HUKUM HAK ANAK ANGKAT TERHADAP HARTA PENINGGALAN ORANG TUA ANGKATNYA Islam diyakini pemeluknya sebagai agama samawi dengan sebutan rahmatan lil’alamin dan shalihli kulli zaman wa makan. Implikasinya, berbagai ajaran dan hukum Islam harus selalu mampu merespon dan memberikan solusi terhadap persoalan yang dihadapi umat Islam. Fazlur Rohman mengatakan bahwa eksistensi suatu kaum di era modern, ditentukan oleh seberapa jauh ia mampu menghadapi tantangan-tantangan baru secara kreatif. Masyarakat yang hidup dalam romantisme masa lalu, betapapun indahnya, dan tidak berani menghadapi realitas masa kini, betapapun pahitnya, maka ia akan berubah menjadi fosil, dan mereka tidak dapat mempertahankan diri dalam waktu yang cukup lama. Begitu pula Islam.1 Berpijak pada pandangan Rahman di atas, sebagai upaya merespon berbagai problem kehidupan yang muncul, Islam memberikan kewenangan unuk melakukan ijtihad, dengan berbagai pilihan metode yang disediakan. Sebagai agama yang dianggap komprehensif oleh pemeluknya. Setiap tahap kehidupan seorang muslim telah diatur selalu membawa akibat hukum. Peristiwa kelahiran anak misalnya, akan menimbulkan hubungan hukum antara anak dan orang tua, yang berimplikasi terhadap pemenuhan hak dan kewajiban. Begitu pula dengan kematian, yang akan membawa pengaruh dan akibat hukum baik pada diri sendiri, keluarga, maupun masyarakat, salah satunya adalah masalah waris.2 meskipun telah diatur oleh aturan-aturan yang jelas, masih sering ditemui perselisihan dalam pembagian harta peninggalan di masyarakat. Terlebih jika posisi para
pihak tidak setara di dalam keluarga. Misalnya, dalam pembagian harta peninggalan untuk anak angkat yang tidak boleh lebih dari sepertiga bagian, sebagaimana diatur dalam pasal 209 Kompilasi Hukum Islam. Bagian ini diberikan karena secara normatif, anak angkat tidak memiliki hak waris, sebab menurut hukum Islam, ahli waris harus memiliki hubungan hukum dengan pewaris, baik hubungan darah maupun perkawinan.3 Meskipun dianggap lebih progress dari qh, pemberian hak anak angkat seolah-olah mencerminkan “rasa iba” para mujtahid terhadap anak angkat, tanpa memperhatikan kontribusi atau jasa yang telah diberikan oleh anak angkat terhadap orang tua angkatnya. Berdasarkan hal ini, timbullah pertanyaan dalam diri penulis, apakah bagian anak angkat memang tidak bisa dirubah dari pemikiran mainstream ulama Indonesia, dengan mempertimbangkan kontribusi yang diberikan oleh anak angkat kepada orang tua angkatnya? Apakah seorang mujtahid atau hakim dituntut mengejar adanya kepastian hukum saja, kemudian mengenyampingkan aspek keadilan yang diyakini sebagai ‘illat dalam pembagian harta pusaka?
1 Fazhur Rohman , Islamic Methodology in History , terjemah Anas Mahyuddin, Membukan Pintu Ijtihad (Bandung Pustaka, 1984), h.270 2 Suparman Usman dan Yusuf Somawinoto, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Graha Media, 2008). H.1
3 Kasuwi Saiban, Hukum Kewarisan Dalam Islam, (Malang: Unmer Press, 2011), h.8 4 Mustofa Sy, , Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama ( Jakarta: Kencana, 2008), h. 9, Andi Syamsul Alam dan Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam (Jakarta: Kencana, 2008), h.19
PENGANGKATAN ANAK Secara etimologi, pengangkatan anak disamakan dengan adopsi yang berasal dari kata adoptie dalam bahasa Belanda, adoption dalam bahasa Inggris, dan al-tabanni dalam bahasa Arab yang berarti mengangkat anak, mengambil anak angkat, atau seseorang seperti anak kandung sendiri.4 Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata adopsi berarti pengangkatan anak orang lain sebagai anak sendiri melalui catatan sipil. Menariknya, de nisi yang dikemukakan Departemen Pendidikan ini, telah melibatkan sebuah institusi yang berwenang mencatat status keperdataan
seseorang.5 Secara terminologi, Mahmud Syalthut memberikan dua pengertian yaitu: Pertama, al–tabanni adalah mengambil anak orang lain, untuk diasuh dan dididik dengan penuh kasih sayang tanpa memberikan status anak kandung kepadanya. Kedua, mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan mengubah statusnya sebagai anak kandung, sehingga ia berhak memakai nama orang tua angkatnya, berhak mewarisi, serta memiliki hak dan kewajiban lain yang muncul dari hubungan orang tua dan anak.6 Menurut Andi Syamsu Alam dan Fauzan, al–tabanni dalam pengertian yang pertama dilakukan berdasarkan keinginan seseorang untuk membantu orang tua kandung yang tidak mampu memberikan pendidikan, pemenuhan kebutuhan pokok dan perlindungan yang layak, sehingga anak tersebut tumbuh dengan baik. Hal ini bertentangan dengan hukum Islam, karena termasuk dalam katagori tolong menolong dalam kebaikan, sebagaimana rman Allah dalam Q.S. al-Maidah (5):2. Sedangkan al–tabanni dalam pengertian yang kedua cenderung menasabkan seorang anak kepada orang tua angkatnya. Hal ini dilarang oleh Islam, karena dapat mengaburkan asal-usul seseorang dan menimbulkan kesalahpahaman. Larangan ini didasarkan pada rman Allah dalam Q.S. al-Ahzab (33):4-5.7 Dengan demikian, yang dimaksud dengan anak angkat dalam khasanah hukum Islam ialah anak kandung seseorang yang diserahkan kepada orang lain untuk diasuh dan didik secara layak,8 akan tetapi ia tidak boleh dinasabkan pada orang tua angkatnya dan tidak memiliki hak-hak sebagai anak kandung.9 5 Departemen Pendidikan, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h.13 6 Abdul Aziz Dahlan (ed.) , Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. 1 (Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 1996), h. 29-30 7 Andi Syamsul Alam dan Fauzan, Hukum..., h. 22 8 A. Rahmad Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), h.187 9 Safiudin Shidik, Hukum Islam tentang Berbagai Persoalan Kontemporer, (Jakarta: Inti media Citra
Dalam literatur hukum adat, Hilman Hadi Kusuma bahwa anak angkat adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh seseorang, secara resmi menurut hukum adat setempat, untuk menjaga kelangsungan keturunan dan memelihara harta keluarga. Sedangkan Surojo Wignyodipuro mengatakan bahwa adopsi merupakan perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri, sehingga di antara keduanya timbul hubungan hukum layaknya orang tua dan anak kandung.10 J.A. Nota seperti dikutip oleh Soeroso menyatakan bahwa adopsi adalah suatu intitusi hukum yang dapat memindahkan seseorang ke dalam ikatan keluarga lain sehingga menimbulkan hubungan hukum seperti orang tua dan anak kandung, baik sebagian maupun seluruhnya.11 Berdasarkan ketiga pendapat ahli hukum adat di atas, dapat disimpulkan bahwa adopsi berkaitan dengan nasab, waris, maupun hak dan kewajiban lain. Sedangkan dalam Peraturan Perundang–undangan, de nisi pengangkatan anak dapat ditemukan dalam pasal 1 huruf h Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa anak angkat adalah anak dalam pemeliharaan untuk hidup sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan Putusan Pengadilan.12 hampir sama dengan de nisi di atas, pasal 1 poin 9 Undang-undang Nomer 23 tahun 2002 tentang Perlidungan Anak jo. Penjelasan pasal 47 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan menyatakan bahwa anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak terseNusantara, 2004), h.113 10 Mudaris Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 5 11 Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 176 12 Kompilasi Hukum Islam disebarkan Melalui Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991
but, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan dan penetapan Pengadilan. Meskipun demikian, pasaal 39 ayat (2) Undang–Undang Perlindungan Anak menghendaki bahwa pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam pasal (1) tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya.13 Menurut Musthofa Sy., secara garis besar, ada dua tujuan pengangkatan anak. Pertama, untuk mendapatkan atau melanjutkan keturunan keluarga orang tua angkat. Kedua, untuk kesejahteraan atau kepentingan terbaik bagi anak. Pasal 39 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Anak menyatakan bahwa pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan menurut ketentuan Undang-Undang yang berlaku. Untuk menjamin hak keagamaan bagi anak, pasal 39 ayat (3) memberi ketentuan bahwa calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat. Selain itu, untuk menjamin hak identitas anak, pasal 40 mewajibkan orang tua angkat memberi tahu asal usul orang tua kandungnya dengan memperhatikan kesiapan anak tersebut. SEBAB-SEBAB KEWARISAN DALAM ISLAM Dalam khasanah hukum Islam, kata waris berasal dari bahasa Arab “waritsa” yang berarti pusaka. Orang yang meninggalkan harta waris disebut muwarits. Sedangkan orang menerima harta disebut warits. Dan harta pusakanya disebut mirats.14 Adapun sumber utama waris menurut Islam terdapat dalam rman Allah dalam Q.S. al-nisa’ (4):4-12.15 Selain itu, persoalan waris juga terdapat legiti13 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak LN. Tahun 2002 Nomor 109; Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Adminitrasi Kependudukan LN. Tahun 2006 Nomor 124 14 Kasuwi Saiban, Hukum…, h.1 15 Amir Syaifudin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), h.7
masi dari Rasulullah SAW, melalui hadist riwayat Ibn Abbas yang artinya: “Berikanlah faraid (bagian-bagian yang ditentukan) itu kepada yang berhak dan selebihnya berikanlah untuk laki-laki dari keturunan laki-laki yang terdekat, “16 Menurut Ahamad Ro q, salah satu syarat yang harus dipenuhi agar seseorang berhak menerima harta waris, yaitu adanya hubungan hukum antara muwarits dengan warits.17 Secara historis, hubungan hukum antara pewaris dan ahli waris dalam hukum Islam telah mengalami pergeseran akibat perubahan situasi dan turunnya nash al-Qur’an. Dalam catatan Ahmad Ro q dan Kasuwi Saiban,18 perubahan sebab-sebab mewarisi dapat dibagi menjadi tiga periode: Pertama, sebab-sebab kewarisan yang dibenarkan dalam hukum adat masyarakat Arab Jahiliyah, antara lain: 1. Hubungan darah atau kerabat, meliputi anak laki-laki, saudara laki-laki, paman, dan anak laki-laki paman. Mereka adalah kelompok yang memiliki kekuatan sik dan sanggup berperang untuk membela serta melindungi suku. Hal inilah yang mena kan perempuan sebagai ahli waris, bahkan mereka dimasukkan dalam katagori harta pusaka itu sendiri. 2. Hubungan sumpah atau janji, hubungan ini berimplikasi terhadap hak waris sekalipun tidak memiliki hubungan kerabat atau anggota keluarga. Hak ini diabadikan dalam Q.S. al- Nisa’ (4):23. Merupakan para ahli tafsir, praktek pembagian waris karena sumpah atau janji masih dilakukan pada masa awal Islam, sebelum turunnya ayat waris. 3. Hubungan orang tua atau anak angkat, sebab perbuatan pengangkatan 16 Muslim ibn Hajjaj, Shohih Muslim, Juz 11 (Kairo: Dar al-Manar, 2003), h. 45 17 Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h.29 18 Kasuwi Saiban, Hukum…, h. 97-99
anak sudah lazim dilakukan masyarakat Arab pra-Islam. Bagi mereka status anak angkat tidak berbeda dengan status anak kandung. Transisi ini masih berlangsung hingga masa pembentukan hukum Islam. Bahkan Rasulullah SAW telah mengangkat Zaid bin Haritsah sebagai anak, dan sering disebut Zaid bin Muhammad. Kedua, sebab-sebab mewarisi pada masa perkembangan Islam tidak jauh berbeda dengan masa jahiliyah. Karena tradisi tersebut masih dipratekkan oleh umat Islam hingga ada wahyu yang mengoreksi dan menghentikan kebiasaan tersebut. Namun ada satu faktor yang belum pernah terjadi pada masa sebelumnya dan tidak berlangsung lama, yaitu hijrah dan ukhuwwah antara kaum Muhajirin dan Anshor, sebagaimana rman Allah SWT dalam Q.S. al Anfal (8):72. Hal ini dikuatkan dengan Hadist Nabi riwayat Imam al–Bukhari yang menyatakan bahwa sahabat Anshor mewarisi sahabat Muhajirin bukan karena mempunyai hubungan rahim, akan tetapi karena faktor ukhuwah di antara mereka yang dibentuk oleh Nabi Muhammad SAW. Ketiga, sebab-sebab kewarisan setelah hukum Islam turun sempurna. Sebagai agama yang eksibel, Islam merubah tujuan hukum, tidak secara langsung, akan tetapi dilakukan secara bertahap. Pewarisan melalui pengangkatan anak masih dipertahankan hingga awal berkembangnya Islam. Namun, setelah turunnya Q.S. al-Ahzab (33):4-5, dinyatakan tidak berlaku. Kedudukan anak angkat tidak lagi sama dengan anak kandung, khususnya dalam hal kewarisan. Kewarisan karena ukhuwah tidak lagi dapat dipertahankan dengan pertimbangan bahwa umat Islam telah memiliki posisi dan kekuatan. Anak-anak dan kaum perempuan juga mendapat warisan sebagaimana dalam alNisa’ (4):7-11. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan hubungan hukum antara
pewaris dan ahli waris yang diakui antara lain : 1. Hubungan kerabat, baik jalur ke atas seperti kakek, atau nenek, jalur ke bawah seperti anak atau cucu, dan jalur menyamping seperti paman dengan bagian masing-masing; 2. Hubungan perkawinan, baik suami maupun istri; 3. Hubungan pembebasan budah. Hal ini bertujuan untuk memotivasi orang-orang yang mampu untuk memerdekakan budak, sebab perbudakan sekalipun masih dipraktikkan pada masa awal Islam, bertentangan dengan semangat pembebasan yang dibawa oleh Islam; 4. Hubungan agama, jika ada seseorang yang meninggal tanpa memiliki ahli waris, maka harta peningalannya diserahkan kepada bait al-mal untuk umat Islam sebagai ahli waris. WASIAT WAJIBAH : UPAYA HUKUM UNTUK MELINDUNGI HAK ANAK ANGKAT Menurut M. Quraish Shihab, para ulama sepakat bahwa secara garis besar ada dua kemungkinan hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua angkatnya. Pertama, Orang tua yang mengangkatnya yakin bahwa anak tersebut adalah anak kandungnya. Keyakinan dan pengakuannya itu menjadikan anak tersebut sebagai anak kandung yang memiliki hak saling mewaris. Kedua, Orang tua menyadari bahwa anak yang diangkat bukan anak kandung dan tidak pula mengakuinya sebagai anak kandung. Anak ini tetap berhak dididik, dipelihara, dan orang tua angkatnya berhak bertindak sebagai wali baginya. Akan tetapi Islam tidak membenarkan menyamakan kedudukannya seperti anak kandung, seperti menisbahkan nama anak itu dengan nama orang tua angkatnya atau memiliki hubungan saling mewarisi. Meskipun demikian,
bukan berarti Islam menghendaki orang tua menelantarkan anak angkatnya. Islam membuka peluang bagi orang tua angkat memberikan sebagian hartanya melalui jalan wasiat, dengan catatan tidak lebih dari sepertiga dari harta yang ditinggalkan oleh orang tua angkatnya.19
Pada dasarnya, memberi wasiat adalah tindakan ikhtiyariyah yakni suatu tindakan yang dilakukan atas dorongan kemauan sendiri. Sependapat dengan pendapat di atas, Kasuwi Saiban menyatakan bahwa hubungan saling mewarisi melalui pengangkatan anak sudah dihapus melalui Q.S. al- Ahzab (33):4-5, sehingga nasab anak angkat harus dikembalikan pada orang tua kandungnya. Adapun hikmah larangan menasabkan anak angkat kepada orang tua angkat antara lain, pertama, menghindari kesalahpahaman dalam memandang halal dan haram. Biasanya anak angkat dianggap sebagai anak kandung sehingga seakan-akan dia merupakan mahram, padahal dia adalah orang lain yang haram disentuh dan haram dilihat auratnya; kedua, menghindari kecemburuan dari ahli waris yang merasa terkurangi haknya karena kehadiran anak angkat; ketiga, meluruskan nasab sesuai jalur yang sebenarnya sehingga tidak terjadi kerancuan dalam nasab. Meskipun demikian, dengan pertimbangan hubungan antara anak angkat dan orang tua angkatnya yang sudah sangat akrab dan juga jasa-jasa yang diberikan kepada keluarga, hukum Islam tidak menutup kemungkinan untuk memberikan sebagian harta peninggalan kepada anak angkat, dengan cara wasiat atau hibah.20 Sayyid Sabiq mende nisikan wasi19 M.Quraish Shihab, M, Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal keIslaman yang Patut Anda Ketahui (Jakarta: Lentera Hati, 2000), h. 576-578 20 Kasuwi Saiban, Hukum …, h.97-99
at sebagai pemberian seseorang kepada orang lain, berupa benda, hutang, maupun manfaat, agar si penerima memiliki harta tersebut setelah pewasiat meninggal dunia.21 Hasbi Ash-Shiddieqy mende nisikan wasiat sebagai suatu tasharruf terhadap harta peninggalan yang akan dilaksanakan sesudah meninggalnya pewasiat.22 Sedangkan para ahli hukum Islam di kalangan madzhab Maliki, Sya ’i, dan Hambali sebagaimana dikemukakan Abdurrohman al-Jaziri memberikan de nisi yang lebih rinci. Wasiat merupakan transaksi yang mengharuskan seseorang yang menerima wasiat berhak memiliki sepertiga harta peninggalan orang yang menyatakan wasiat setelah ia meninggal. Menurut abdul Manan, wasiat dibuat untuk menghindari persengketaan, perwujudan kasih saying orang yang berwasiat, atau memenuhi keinginan pewasiat yang belum terpenuhi semasa hidup.23 Sedangkan dalam ketentuan pasal 1 huruf f KHI disebutkan bahwa wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meningal dunia. Adapun jumlah harta yang boleh diwasiatkan, menurut jumhur ulama, tidak boleh lebih dari sepertiga harta pusaka, apabila memiliki ahli waris. Jika melebihi ketentuan, maka harus ada izin dari semua ahli waris. Hal ini juga diatur dalam pasal 201 KHI yang menyatakan apabila wasiat melebihi sepertiga dari harta warisan, sedangkan ahli waris ada yang tidak menyetujui, maka wasiat hanya dilaksanakan sampai sepertiga harta warisnya.24 Pada dasarnya, memberi wasiat adalah tindakan ikhtiyariyah yakni suatu tindakan yang dilakukan atas dorongan kemauan sendiri. Dalam keadaan bagaimanapun juga penguasa atau hakim tidak dapat memaksa seseorang untuk memberikan wasiat. Menurut asal hokum, 21 Sayyid sadiq, fiqh Sunah, Juz III (Beirut: Dar al – Fikr, 2008), h. 998 22 Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh Mawaris, (Semarang: Pusaka Rizki, 1999), h.273 23 Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana 2006), Hal. 150 24 Ibid, h. 170
wasiat itu adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan suka rela dalam segala keadaan, karena tidak ada dalam syari’at Islam suatu wasiat yang wajib dilakukan dengan jalan putusan hakim.25 Akan tetapi penguasa atau hakim, sebagai aparat negara tertinggi, mempunyai wewenang untuk memaksa atau memberi surat putusan wajib wasiat yang dikenal dengan wasiat wajibah. Ahmad Ro q mendi nisikan wasiat wajibah sebagai tindakan yang dilakukan penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk memaksa atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu.26 Suparman Usman dan Yusuf Somawinata menyatakan bahwa wasiat wajibah ialah wasiat yang pelaksanaannya tidak bergantung pada kemauan orang yang telah meninggal dunia, yang didasarkan pada alasan-alasan hukum yang dibenarkan.27 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis menyatakan bahwa wasiat wajibah adalah wasiat yang dianggap telah dilakukan oleh seseorang sebelum meninggal, meskipun sebenarnya ia tidak meninggalkan wasiat itu.28 Para ulama qh mende nisikan wasiat wajibah sebagai suatu wasiat yang diperuntukkan kepada para ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu halangan syara’.29 Menurut Abdul Manan, wasiat wajibah dapat berfungsi sebagi alat untuk mengalihkan hak secara waris kepada orang yang tidak ditentukan sama sekali bagiannya. Lebih lanjut, Abdul Manan menyatakan bahwa wasiat wajibah bertujuan mendistribusikan keadilan kepada 25 Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: al– Ma’arif, 1994), h.62 26 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), h.462 27 Suparman Uman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), h. 163 28 Abdul Manan, Aneka…, h. 166 29 Abdul dahlan Aziz (ed), Ensiklopedi..., Vol. VI, h. 1930
kelompok yang secara nash terhalang menerima waris, seperti orang tua atau anak angkat yang mungkin telah berjasa banyak kepada si pewaris.30 Menurut Musthafa Sya’labi, sebagaimana dikutip Ahmad Ro q, dengan adanya sistem wasiat yang diatur dalam hukum Islam, kekecewaan antara para pihak mungkin yang telah berjasa dalam kehidupan pewaris dapat diatasi.31 Kasuwi Saiban mengatakan bahwa wasiat wajibah secara har ah merupakan wasiat yang secara otomatis berlaku bagi orang-orang tertentu, misalnya, ahli waris yang berlainan agama dengan pewaris. Sedangkan dalam kasus pengangkatan anak, wasiat wajibah merupakan hasil ijtihad ulama Indonesia atas pertimbngan masalah dan kedekatan hubungan antara orang tua dan anak angkat.32 Pendapat serupa juga diajukan oleh Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan yang menyatakan bahwa ketentuan wasiat wajibah dalam KHI bertujuan mewujudkan nilai-nilai keadilan daan kemaslahatan yang berkembang di tengah masyarakat muslim Indonesia.33 Ketentuan wasiat wajibah dalam konteks pengangkatan anak diatur dalam Pasal 209 KHI. Pasal ini menyatakan bahwa harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai Pasal 193 KHI. Sedangkan orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya. Begitu pula sebaliknya, terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya. Menurut Muhammad Daud Ali, pemberian hak wasiat wajibah terhadap orang tua maupun anak angkat dalam KHI dilakukan dengan mengadaptasi nilai-nilai hukum adat secara terbatas ke dalam hukum Islam karena berpindahnya tanggung jawab orang
h. 82
30 31 32 33
Abdul Manan, Aneka…, h. 168-169 Ahmad Rofiq, Fiqh…, h. 184 Kasuwi Saiban, Hukum..., h. 100-101 Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum…,
tua kandung kepada orang tua angkat dalam pemeliharaan kehidupan dan biaya pendidikan anak.34 Berkaitan dengan pasal ini, Roihan A. Rasyid menyatakan bahwa berlakukanya wasiat wajibah terhadap anak angkat dan orang tua angkat bersifat imperatif. Meskipun ketentuan ini terinspirasi oleh Q.S. al. Baqorah (2):180, ia menyangkal bahwa anak atau orang tua angkat termasuk dalam katagori walidain dan aqrobin. Untuk mendukung argumentasinya, Roihan, mengutip Q.S. al–Ahzab (33):4-5 dan menyatakan bahwa ayat ini bersifat qath’i sehingga tidak menerima ijtihad di dalamnya.35 Pendapat ini sejalan dengan argumen Ibnu Umar dan Baidhawi yang menyatakan ketentuan dalam Q.S. alBaqorah (2):180 di nasakh dengan ayat– ayat tentang waris maupun hadist Nabi SAW. Sedangkan ulama yang lain, seperti Muhammad ibn ‘Umar al-Rozi, Sayyid Quthb, dan Ibn ’Abbas menyatakan bahwa ayat ini muhkam dan tidak di–nasakh melainkan diperjelas melalui ayat atau hadist tentang waris.36 Sebagai catatan akhir, perlu dicermati pandangan Hasbi Ash-Shiddiedy mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum melaksanakan wasiat wajibah, antara lain; pertama, harta yang akan diberikan kepada seseorang hanya dapat disalurkan melalui wasiat, bukan waris. Jika ia memperoleh harta waris, maka tidak wajib dilakukan wasiat wajibah terhadapnya. Kedua, orang yang meninggal belum memberikan harta kepada orang tersebut melalui cara yang lain, seperti hibah. Jika telah diberikan melalui hibah dan menyatakan kurang, maka wajib dipenuhi hingga sepertiga bagian.37 34 Muhammad Daud Ali, Hukum Islam dan Pengadilan Agama Kumpulan Tulisan, (Jakarta: Rajawali Press,1997), h.137 35 Roihan A, Rasyid, Pengganti Ahli Waris dan Wasiat Wajibah dalam Cik Hasan Bisri (ed), Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 93 36 Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh…, h. 164-169 37 Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Fiqh…, h. 277
Meskipun hak dan bagian masing-masing ahli waris telah tercantum dalam nash yang qath’i, tidak menutup kemungkinan persoalan waris diselesaikan secara damai. Sebagaimana diatur dalam pasal 183 KHI. Dengan cara ini pula, kesenjangan ekonomi antara ahli waris dapat dikurangi sehingga tidak timbul kon ik. Umar ibn Khattab dalam sebuah kesempatan mengatakan “kembalikan penyelesaian perkara di antara keluarga, sehingga mereka dapat melakukan perdamaian, karena sesungguhnya putusan pengadilan itu menimbulkan rasa tidak enak.”38 Nasihat Umar ibn khattab ini jika ditarik pada dunia peradilan saat ini, putusan-putusannya bersifat win-lose solution, sedangkan cara damai dapat mewujudkan putusan yang bersifat win-win solution sehingga tali persaudaraan tidak akan putus. KEADILAN DALAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN ORANG TUA ANGKAT KEPADA ANAK ANGKAT Pembagian harta waris untuk anggota keluarga, termasuk bagian anak angkat, selalu berpedoman pada asas keadilan. Menurut Agus Yudha Hermoko, suatu aturan atau norma pada hakikatnya memiliki dasar loso s dan pijakan berupa asas sebagai rohnya. Jika tidak berpijak dalam konteks operasionalnya, maka suatu norma akan janggal. Secara etimologis, asas dalam bahasa Belanda disebut dengan beginsel atau principle dalam bahasa Inggris, atau principium dalam bahasa latin39 yang berarti dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan.40 Dengan kata lain, asas merupakan pondasi di mana segala sesuatu dibangun di atasnya. Sedangkan secara terminologis, para ahli hukum memberikan beberapa de nisi. Bellefroid menyatakan bahwa asas hukum ialah norma dasar yang dijabarkan 38 Ahmad Rofiq, Fiqh…, h. 200 39 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial (Jakarta: Kencana, 2011), h. 2 40 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 94
Menurut John Rawls, keadilan adalah kebijakan utama dalam institusi sosial sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran. dari hukum positif dan oleh ilmu Hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum, atau dengan kata lain, asas hukum merupakan kristalisasi hukum positif di masyarakat. Van Eikema Hommer mende nisikan asas hukum sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk -petunjuk bagi pembentukan hukum yang berlaku. Sedangkan Paul Scholten menyatakan bahwa asas hukum adalah pikiran -pikiran dasar, yang terdapat dalam sistem hukum yang telah dirumuskan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dan putusan hakim.41 Paton menyatakan bahwa asas hukum ialah sesuatu yang tidak pernah habis kekuatannya hanya karena melahirkan suatu peraturan hukum, dan mampu melahirkan peraturan-peraturan yang lain.42 Berdasarkan berbagai de nisi di atas, Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa asas hukum bukan merupakan aturan kaidah hukum kongkrit, melainkan merupakan latar belakang munculnya peraturan konkrit, bersifat umum, dan abstrak.43 Menurut Satjipto Rahardjo, asas atau prinsip merupakan jantung hukum. Secara rinci ia menjelaskan bahwa asas hukum merupakan landasan bagi lahirnya suatu peraturan, sehingga semua peraturan pada akhirnya harus bisa dikembalikan kepadanya. Asas juga disebut sebagai alasan lahirnya suatu peraturan (rasio legis). Tanpa menemukan rasio legis, kita kurang memahami arah etis dari peraturan tersebut. Sebaliknya, dengan menemukannya, kita bisa menyusun suatu bangunan atau tatanan hukum lanjutan yang konsisten dengan peraturan -peraturan sebelumnya.44 Sedangkan menurut Sudikno Mer41 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberti, 2003), h. 34 42 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Bogor: Ghalia, 2011), h. 109 43 Sudikno Mertokusumo, Mengenal…, h. 35 44 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya bakti, 2000), h. 45-47
tokusumo, asas hukum menjadikan sebuah sistem hukum menjadi eksibel sebab ia mengakui adanya kemungkinan penyimpangan terhadap ketentuan umum.45 Menurut Marwan Mas, ada tiga fungsi pokok asas hukum dalam sistem hukum, antara lain: 1. Menjaga ketaatan asas atau konsistensi. Misalnya, dalam perkara perdata, hakim hanya mengadili perkara yang diajukan oleh para pihak kepadanya. Dengan demikian hakim menjaga konsistensi asas pasif dalam Hukum Acara Perdata; 2. Menyelesaikan kon ik yang terjadi dalam sistem hukum. Misalnya, jika terjadi pertentangan antara undang-undang dengan Peraturan Daerah, maka yang diberlakukan asas lex superior derogate lex inferior; 3. Sebagai rekayasa sosial, baik dalam peraturaan maupun sistem peradilan. Misalnya asas personalitas keislaman yang terdapat dalam Pengadilan Agama, atau asas persamaan hak dan kewajiban dalam undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Asas hukum memiliki kaitan dengan sistem hukum dan sistem peradilan, sehingga setiap terjadi pertentangan di dalam mekanisme kerjanya selalu merujuk dan diselesaikan dengan asas hukum. Asas hukum juga dapat mewujudkan pembangunan hukum nasional yang dinamis dan kondusif.46 Salah satu asas yang wajib dipedomani yaitu asas keadilan. Bahkan teori etis menyatakan bahwa tujuan utama hukum adalah mewujudkan keadilan (justice). Daniel Webster yang dikutip oleh Roscoe Pound menyatakan bahwa keadilan merupakan kepentingan manusia yang paling luhur. Pendapat serupa disampaikan oleh Muhammad Muslehuddin yang menga45 Sudikno Mertokusumo, Mengenal…., h. 36 46 Marwan Mas, Pengantar …., h. 110 – 111
takan bahwa keadilan merupakan tujuan tertinggi dalam hukum Islam.47 Meskipun demikian, menurut Achmad Ali, mende nisikan tentang adil, keadilan, dan tidak adil jauh lebih sulit daripada sekedar menyatakan bahwa tujuan hukum adalah keadilan. Sebab keadilan merupakan suatu yang abstrak, subyektif, dan berkaitan dengan nilai-nilai etis yang dipegang oleh individu. Aristoteles menyatakan bahwa justice is political virtue, by the rules of it, the state is regulated and these rules the criterion of what is right.48 De nisi yang dikemukakan oleh Aristoteles ini menekankan bahwa keadilan merupakan produk kebijakan politik, dan melalui nilai-nilai keadilan inilah Negara dijalankan dan tercemin kriteria kebenaran. Dalam pendapatnya yang lain, Aristoteles menyatakan bahwa justice consists in treating equals equally and unequals unequally, in proportion to their inequality (untuk hal-hal yang sama diperlakukan secara sama, sedangkan yang tidak sama juga diperlakukan tidak sama, sesuai dengan ketidaksetaraan mereka). Upainus menggambarkan keadilan sebagai justitia est constans et perpetua voluntas ius suumcuique tribuendi (keadilan adalah kehendak yang terus menerus dan tetap memberikan kepada masing-masing apa yang menjadi haknya). Rumusan ini menurut Agus Yudha Hernoko, dengan tegas mengakui hak masing-masing person terhadap lainnya, dan apa yang seharusnya menjadi bagiannya, demikian pula sebaliknya.48 pendapat Plato sebagaimana dikutip oleh Muhammad Muslehuddin, menyatakan bahwa justice Consists in a harmonious relation, berween the various past of the social organism. Every citizen must do his duty in his oppointed place and do the thing for which his nature in best suiled (keadilan sebagai hubungan 47 Muhammad Alim, Asas-Asas Negara Hukum Modern dalam Islam Kajian Komprehinsif Islam dan Ketatanegaraan, (Yogyakarta: LkiS, 2010), h. 316 48 Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Legisprudence), (Jakarta: Kencana, 2012 ), h. 217
harmonis berbagai organisme sosial, setiap warga Negara harus melakukan tugasnya sesuai dengan posisi dan sifat alamiahnya). Sedangkan menurut Herbert Spencer keadilan adalah kebebasan individu melakukan apa yang ia inginkan sepanjang tidak mengganggu orang lain. Pendapat ini bertolak belakang dengan pandangan Plato di atas. Meskipun demikian Spencer tetap mengakui bahwa manusia hidup secara berdampingan sehingga kebebasan manusia tidak boleh menganggu orang lain.49 Menurut John Rawls, keadilan adalah kebijakan utama dalam institusi sosial sebagaimana kebenaran dalam sistem pemikiran. Suatu teori, betapapun elegan dan ekonomisnya, harus ditolak atau direvisi jika ia tidak benar. Demikian pula dengan hukum, tidak peduli betapapun e sien dan rapinya, harus direformasi atau dihapuskan jika tidak adil. Keadilan tidak membiarkan pengorbanan yang dilakukan oleh sebagian kecil orang dan tidak diperberat oleh sebagian besar keuntungan yang dinikmati banyak orang.50 Dengan kata lain, keputusan sosial yang mempunyai akibat bagi semua anggota masyarakat harus dibuat atas dasar hak (right based weight) dari pada dasar manfaat (good–based weight). Hanya dengan itu keadilan sebagai fairness dapat dinikmati semua orang.51 Untuk mendukung gagasannya, Rawls menyatakan bahwa setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar. Menurut Agus Yudha Hernoko, konsep kesetaraan kedudukan dan hak yang diterapkan bukan dalam kesamaan hasil yang diperoleh semua orang. Sehingga keadilan tidak menuntut seseorang yang menempuh prosedur atau jalan yang sama harus mendapatkan hasil yang sama 49 Agus Yudha Hernoko, Hukum…, h.48 50 Abdul Ghapur Anshori, Filsafat Hukum Kewarisan Islam Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin, (Yogyakarta: UII-Press, 2010), h.137-139 51 John Rawls, Theory of Justice, terjemah Uzair Fauzan dan Heru Prastyo, Teori Keadilan Dasar–Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejakteraan Soaial dalam Negara, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 4
pula, sebab hasil yang diperoleh memperhatikan perbedaan-perbedaan yang secara obyektif ada pada diri individu.52 Dari berbagai pengertian di atas, Achmad Ali menyatakan bahwa keadilan yang mutlak tidak pernah ada, yang ada hanyalah sekedar pencapaian keadilan dalam kadar tertentu. N.E. Algra, sebagaimna dikutip oleh Achmad Ali, menyatakan bahwa keadilan tergantung pada sudut pandang pribadi penilai. Lebih baik seseorang tidak menyatakan bahwa sesuatu itu adil, tetapi mengatakan saya anggap adil sesuatu itu, dengan kata lain, keadilan selalu bersifat subyektif dan abstrak.53 Aristoteles membagi keadilan menjadi 2 (dua); pertama, keadilan distributif, yaitu keadilan yang memberikan bagian kepada seseorang sesuai dengan jasa-jasanya. Artinya Keadilan ini tidak menuntut supaya setiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya, melainkan kesebandingan berdasarkan prestasi dan jasa seseorang. Kedua, keadilan kumulatif, yakni keadilan yang memberikan kepada setiap orang sama banyaknya, tanpa mengingat jasa-jasa perseorangan.54 Berkaitan dengan keadilan distributif, Beauchamp dan Bawie mengajukan 6 (enam) prinsip agar keadilan ini terwujud, yaitu keadilan diberikan: 1) Kepada setiap orang diberikan bagian yang sama; 2) Kepada setiap orang sesuai dengan kebutuhan individualnya; 3) Kepada setiap orang sesuai haknya; 4) Kepada seseorang sesuai usaha individualnya; 5) Kepada seseorang sesuai kontribusinya; 6) Kepada setiap orang sesuai jasanya.55 Muhammad Alim menyatakan bahwa dalam setiap hubungan, khususnya hubungan perdata, harus ada kesamaan dalam arti tidak boleh ada unsur penindasan, pemaksaan, penipuan, bahwa ke-
khilafan untuk memperoleh keuntungan, dan hasil yang diperoleh harus seimbang dengan usaha yang dilakukan. Asas ini ditarik dari Firman Allah SWT dalam Q.S. al-Najm (53):39. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa seseorang tidak memperoleh selain dari apa yang diusahakannya.56 Menurut Fathurochman, keadilan distributif yang proporsional, sangat ideal sekaligus tidak mudah untuk diterapkan, untuk menerapkannya banyak persoalan yang harus dipenuhi, salah satunya kontribusi yang diberikan seseorang harus terukur, ketika tolak ukur antara input dan autput sudah jelas dan disepakati oleh pihak-pihak yang terlibat. Proporsi akan berubah berdasarkan upaya atau kontribusi yang diberikan seseorang. Misalnya, seorang konsultan yang memberikan saran kepada sebuah lembaga akan dibayar mahal sekalipun saran tersebut belum ada hasil yang nampak. Pembayaran yang mahal ini dikatakan adil karena sebanding dengan upaya yang dilakukan.57 Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa keadilan proporsional merupakan gabungan asas keadilan dan asas proporsionalitas. Proporsionalitas sendiri berasal dari kata proporsi dalam bahasa Indonesia, Proportion dalam bahasa Inggris, dan proportie dalam bahasa Belanda, yang berarti perimbangan atau perbandingan. Sedangkan proporsional atau proportional dalam bahasa Inggris, dan proportioneel dalam bahasa Belanda berarti sesuai dengan proporsi, sebanding, seimbang, berimbang.58 Menurut Y. Sogar Simamora, fokus dari asas proporsionalitas adalah keseimbangan dalam pembagian kewajiban. Dalam hukum kontrak, asas proporsionalitas diartikan sebagai asas yang mendasari pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai bagiannya masing-masing, yang diwujudkan dalam seluruh proses hubungan kontraktual,
52 Agus Yudha Hernoko, Hukum…, h. 59 53 Achmad Ali, Menguak…, h. 55 54 Herimanto Winarmo, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), h. 136 55 Agus Yudha Hernoko, Hukum…, h. 52
56 Muhammad Alim, Asas…, h. 370 57 Faturochman, Keadilan Perspektif Psikologi, (Yogyakarta: Pusaka Pelajar, 2002), h.36 58 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus…, h.1218
baik pada fase prakontraktual, pembentukan kontrak, dan pelaksanaan kontrak. Asas ini tidak mempersoalkan keseimbangan atau persamaan hasil, namun lebih menekankan pembagian hak dan kewajiban antara para pihak.59 Mencari makna asas proporsionalitas merupakan proses yang tidak mudah, bahkan seringkali tumpang tindih dengan asas keseimbangan. Menurut Agus Yudha Hernoko, kedua asas ini tidak dapat dipisahkan, meskipun demikian masih ada cela untuk membedakan di antara keduanya. Asas keseimbangan menekankan adanya sebanding dalam jumlah, ukuran dan posisi, sedangkan asas proporsionalitas menekankan pada pembagian hak dan kewajiban menurut proporsinya. Dengan demikian asas keseimbangan bersifat lebih abstrak daripada asas proporsionalitas.60 Menarik juga dikemukakan pendapat Peter Mahmud Marzuki yang menyebut asas proporsionalitas dengan equitability contract. Persamaan di antara para pihak tidak ada, akan tetapi persoalan ini tidak boleh dimanfaatkan oleh pihak yang dominan untuk memaksakan kehendaknya secara tidak memadai kepada pihak lain. Sehingga equitability menghendaki jaminan keseimbangan dan kepantasan hukum (aequitas preastasionis).61 Penggabungan variabel keadilan dan proporsional menghasilkan sebuah pemahaman bahwa pembagian hak dan kewajiban memperhatikan proporsi masing-masing. Dianggap adil jika seseorang mendapatkan hasil sesuai dengan upaya yang dilakukannya masing-masing, semua orang tidak harus mendapatkan bagian yang sama pula jika upayanya berbeda. Menurut Amir Syarifuddin, keadilan jika dihubungkan dengan hak memperoleh materi, khususnya kewarisan diartikan sebagai keseimbangan antara hak dan kewajiban dan keseimbangan antara perolehan dengan keperluan dan 59 Agus Yudha Hernoko, Hukum…, h. 79 60 Ibid, h. 30-32 61 Ibid, h. 86
kegunaan.62 Lebih lanjut ia menyatakan bahwa hak warisan yang diterima oleh ahli waris pada hakikatnya merupakan kontinuitas tanggung jawab pewaris terhadap keluarganyaa, sehingga jumlah bagian yang diterima ahli warispun berimbang dengan perbedaan tanggung jawab seseorang terhadap keluarganya.63 Berangkat dari pandangan Amir Syarifuddin di atas, bagian yang boleh diterima oleh anak angkat tidak mutlak dari harta peninggalan orang tua angkat akan tetapi anak angkat hanya mendapat 1/3 bagian dari total harta peninggalan orang tua angkat, bahkan bisa lebih mempertimbangkan konstribusi dan jasa yang ia berikan kepada orang tua angkat. Aristoteles dengan konsep keadilan distributifnya menyatakan bahwa bagian seseorang dalam waris diberikan sesuai dengan jasa–jasanya. Artinya, keadilan ini tidak menuntut supaya setiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya, melainkan kesebandingan berdasarkan prestasi dan jasa seseorang. Meskipun anak angkat tidak memiliki hubungan hukum maupun darah dengan si pewaris dipandang tidak adil jika ia hanya diberikan “wasiat wajibah” dari total harta pusaka, padahal ia turut merawat orang tua angkatnya sampai meninggal dunia, termasuk mecari modal atau turut serta mengembangkan usaha milik orang tua angkatnya. Seseorang mendapatkan hasil sesuai dengan upaya yang dilakukannya masing-masing, semua orang tidak harus mendapatkan bagian yang sama pula jika upaya yang ia dilakukan berbeda. Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa asas hukum, termasuk asas keadilan proporsional dapat menjadikan sebuah sistem hukum menjadi eksibel, tidak rigid, dan mampu mewujudkan kebahagiaan manusia, sebab asas hukum mengakui adanya kemungkinan penyimpangan terhadap ketentuan umum. Model pembagian di atas boleh dikatakan sebagai 62 Amir Syarifuddin, Hukum…., h. 24 63 Ibid
penyimpangan terhadap ketentuan, yang lazimnya anak angkat hanya mendapat 1/3 bagian dari harta pusaka. Contoh nyatadi lapangan sesuai dengan putusan Pengadilan Agama Kabupaten Malang di Kepanjen, pada tanggal 20 Januari 2014 Masehi, bertepatan dengan tanggal 18 Rabiul Awal 1435 Hijriah. Perkara nomor 3255/ Pdt.G/2013/PA. Kab. Malang, menyatakan “hibah tanah sawah yang diberikan oleh Supiani kepada Sutrani (anak angkat) yang sah menurut hukum adalah 1/3 dari bagian Supiani yang di peroleh dari harta peninggalan almarhum Senawi adalah seluas 2.172.5 M2 X 1/3 dibulatkan seluas 724 M2. Sedangkan sisanya seluas 216 M2 kembali kepada ahli waris Supiani”. Sebagai penutup pembahasan, menarik apa yang disampaikan oleh Jalaluddin Rakhmat yang menyatakan “tinggalkan qh jika qh itu bertentangan dengan akhlak.” Argument ini dibangun di atas sebuah dasar bahwa semua madzhab dipandang benar. Kita tidak akan sulit meninggalkan qh demi menjaga persaudaraan di antara kaum muslim. Boleh jadi kita meyakini qh yang kita anut adalah pendapat yang kuat, tetapi dalam aplikasinya kita harus menyesuaikan dengan apa yang lazim diamalkan ditengah-tengah masyarakat. Lebih lanjut Rakhmat mengutip pendapat Imam Abu Hanifah yang menyatakan bahwa “perkataanku hanyalah pendapat, itulah yang lebih baik yang dapat kami capai. Jika ada orang yang datang dengan pendapat yang lebih baik daripada perkataan kami, itulah yang lebih benar untuk diikuti.” Dalam riwayat lain, Abu Hanifah mengatakan bahwa “ini adalah pendapat kami, dan kami tidak akan memaksa orang untuk mengikutinya.”64 Kaitanya dengan persoalan waris harta orang tua angkat terhadap anak angkatnya, boleh jadi bagian anak angkat lebih kecil daripada bagian ahli waris yang lainnya. Demi menjaga keutuhan keluarga dan persaudaraan sesama muslim, bagian 64 Jalaluddin Rakhamt, Dahulukan Akhlak di Atas Fiqih, (Banding: Mizan 2007), h. 68
anak angkat ini bisa ditambah sesuai dengan jasa anak angkat kepada orang tua angkat. Apalagi masalah pembagian harta orang tua angkat dapat diselesaikan secara kekeluargaan dan perdamaian, alangkah indahnya hidup ini dan didasari keikhlasan, keimanan dan ketaqwaan para ahli waris kepada Allah SWT, tentunya akan membantu pewaris di alam kubur dan alam barzah (akhirat) lebih tenang, senang dan bahagia karena terhindar dari siksa. Oleh karena itu para ahli waris dianjurkan bahkan diwajibkan untuk banyak-banyak mendo’akan kepada pewaris yang ada di alam lain. KESIMPULAN Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa asas perlindungan hukum hak waris anak angkat terhadap harta peninggalan orang tua angkat, menurut para ijtihad ulama dan umaro di Indonesia dapat menggunakan dasar hukum Kompilasi Hukum Indonesia (KHI). KHI dapat menjadi dasar pertimbangan hukum Pengadilan Agama untuk membuat putusan bagi orang-orang yang beragama Islam pencari keadilan, khususnya dalam pembagian harta peninggalan orang tua angkat kepada anak angkat yang disebut dengan “wasiat wajibah” yang tercantum dalam pasal 209 KHI. Dengan demikian, hak waris anak angkat dapat terlindungi oleh hukum positif di Indonesia. Ada juga yang berpendapat bagian waris anak angkat terhadap harta peninggalan orang tua angkatnya bisa diberi lebih dari apa yang telah ditetapkan oleh hukum positif Indonesia dalam pasal 209 KHI. Namun demikian, penyimpangan ini tentunya harus diikuti dengan syaratsyarat bahwa anak angkat tersebut telah memberi jasa-jasa dan konstribusi kepada orang tua angkat. Keadilan proporsional sebagai frame hukum akan menjadikan hukum eksibel dan dapat mewujudkan kebahagian bagi manusia khususnya anak angkat. []
DAFTAR PUSTAKA Rahmad Budiono (1999). Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Bandung Citra Aditya Bakti Abdul Azis Dahlan (ed) et.al (1996). Ensiklopedi Hukum Islam, Vol. I. Jakarta: Ichtiyar Baru Van Hoeve Abdul Ghafur Anshori (2010). Filsafat Hukum Kewarisan Islam Konsep Kewarisan Bilateral Hazairin. Yogyakarta: UII Press Abdul Manan (2006). Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Achmad Ali (2002). Menguak Teori Hukum (Legal eory) dan Teori Peradilan (Legisprudennce), Jakarta: Kencana, Agus Yudha Hernoko (2001). Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Jakarta: Kencana Ahmad Ro q (2000). Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Gra ndo Persada ______ (2002). Fiqh Mawaris, Jakarta: Raja Gra ndo Persada Amir Syaifuddin (2008). Hukum Kewarisan Hukum Islam, Jakarta: Kencana Amir Syamsu Alam dan M. Fauzan (2008). Hukum Pengangkatan Anak Perpektif Islam, Jakarta: Kencana Departemen Pendidikan Nasional (2008). Kamus Bahasa Indonesia Jakarta: Pusat Bahasa Fatchur Rahman (1994). Ilmu Waris, Bandung: al-Ma’arif Faturachman (2002). Keadilan Perspektif Psikologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Fazlur Rahman (1984). Membuka Pintu Ijtihad Terjemahan oleh Anas Mahyuddin, Bandung: Pustaka Herimanto Winarno (2009). Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, Jakarta: Bumi Aksara Jalaluddin Rakhmat (2007). Dahulukan Akhlak di Atas Fiqh, Bandung: Mizan John Rawls (2011). Teori Keadilan Dasar-dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, Terjemahan oleh Uzair Fauzan Heru Prasetyo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Kasuwi Saiban (2011). Hukum Pewarisan dalam Islam, Malang: Unmer Press M.Quraish Shihab (2008). M. Quraish
Shihab Menjawab 1001 Soal KeIslaman yang Patut Anda Ketahui, Jakarta: Lentera Hati Marwan Mas (2011). Pengantar Ilmu Hukum, Bogor: Graha Mudaris Zaini (2006). Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Jakarta: Sinar Gra ka Muhammad Alim (2010). Asas-Asas Negara Hukum Modern dalam Islam dan Ketatanegaraan, Yogyakarta: LkiS Muhammad Daud Ali (1997). Hukum Islam dan Peradilan Agama Kumpulan Tulisan, Jakarta: Rajawali, Press Muhammad Hasbi Ash–Shiddieqy (1999). Fiqh Mawris, Semarang: Pustaka Rizki Muslim ibn Hajjaj (2003). Shahih Muslim, Juz II, Kairo: dar al-Manar Mustofa Sy. (2008). Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, Jakarta: Kencana Roihan A, Rasyad (1999). Pengganti Ahli Waris dan Wasiat Wajibah, dalam Cik Hasan Bisri (ed.) Kompilasi Hukum Islam dan peradilan Agama Islam dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: LOGOS Wacana Ilmu Sa uddin Shidik (2004). Hukum Islam tentang Berbagai Pesoalan Kontemporer, Jakarta: Inti Media Citra Nusantara Satjipto Rahardjo (2000). Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya bakti Sayyid Sabiq (2008). Fiqh Sunnah, Juz III, Beirut: Dar al-Fikri Soeroso (2005). Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: Sinar Gra ka Sudikno Mertokusumo (2003). Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberti Suparman Usman dan Yusuf Somawinata (2008). Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Gaya Media Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pelindungan Anak LN Tahun 2002 Nomor 109. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan LN Tahun 2006 Nomor 124 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Hukum Acara Peradilan Agama jo undang-undang nomor 3 tahun 2006 Amandemen Hukum Acara Peradilan Agama
PERANAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM MENINGKATKAN MORAL BANGSA Oleh : Badriyah (STAI AlQolam Gondanglegi Malang)
Humanistic education is expected to improve human spirituality by sending the humankind back to their nature as the superior creature. ‘humanistic human’ produced by humanistic education is supposed to be able to think, feel, sense and act based on the humane noble values, instead of individualism and egoism. e youth have courage, open-mind as well as abundant of vitality and dynamics. at’s why they’re called the hope of the nation. e development of morality and creativity of the youth can be conducted simultaneously with the development of Islamic education in family, school, and community in order to create supportive, educative atmosphere. is, in turn, re ects the ideal, integral, humanistic, and culturally rooted Islamic education. is can also liberate the youth from the shackle of in delity, poverty, violence, as well as immorality. It’s the duty of the youth to have intelligent capability, braveness, honesty and loyalty towards the values of the truth. e youth are the future leaders, the hold the destiny of the nation. Keywords: Islamic education, humanist, youth PENDAHULUAN Manusia yang menyandang gelar Khalifatulloh dimuka bumi ini pada dasarnya diberikan kemerdekaan untuk mengaktualisasikan dirinya dalam keimanan suci. Terdapat bukti dalam Al-Quran yang menunjukkan bahwa manusia adalah mahluk merdeka dengan kemampuan untuk memilih antara yang benar dan yang salah. Meskipun benar dan salah merupakan kecenderungan yang ditentukan sebelumnya dalam skema penciptaan
tetapi manusia diwajibkan untuk memilih karena nilai kebebasan yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Kemampuan membuat pilihan dan berinisiatif yang memungkinkan manusia membuat perubahan pada dirinya atau lingkungannya menjadi lebih baik atau lebih buruk.1 Dalam Khasanah Ilmu Pengetahuan, persoalan pemuda bukanlah topik yang baru, melainkan merupakan topik klasik 1 M. Athiyah Al-Abrasyi, .Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, diterjemahkan oleh H.Bustomi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), hlm. 36
yang masih aktual dibicarakan. Pemuda umumnya bersifat idealis dan memegang peran serta harapan yang tinggi dimasa yang akan datang. Pemuda berjuang untuk mewujudkan dunia ideal mereka menjadi peninjau kritis pembaharuan. Masa muda (remaja) adalah masa yang penuh dengan kontradiksi, stabilitas psikisnya masih labil dan emosi terkadang tidak terkendali. Sebagian orang menyatakan masa muda adalah masa yang paling indah masa yang penuh romantika tapi juga dikatakan sebagai masa badai dan topan karena masa muda merupakan masa transisi. Oleh karena itu pemuda ditandai dengan ketidakmampuan pemuda dengan berpindah-pindah dari perilaku atau norma-norma lama kepada norma baru. Ketidakmampuan itulah merupakan indikasi belum matang kepribadiannya.
terdapat satu hal yang menjadi sorotan adalah selama ini mutu pendidikan dinilai dengan prestasi belajar, output yang diterima di perguruan tinggi unggulan, dan sebagainya. Sudah selayaknya hal tersebut ditambah dengan indikator nilai-nilai religius yang terinternalisasi dalam diri peserta didik. Karena tanpa nilai-nilai religius yang terinternalisasi dalam diri peserta didik, walaupun peserta didik tersebut mempunyai prestasi setinggi langit, pada akhirnya akan menjadi Gayus Tambunan baru. Bertolak dari hal tersebut, maka maka sangat penting sekali lembaga pendidikan, khususnya pendidikan di Indonesia untuk menginternalisasikan nilai-nilai religius ke dalam diri peserta didik dengan menggunakan pembiasaan pendidikan yang religius terutama pendidikan Islam agar dapat meningkatkan moral bangsa.
Pendidikan yang humanistik diharapkan dapat mengembangkan hati manusia dengan mengembalikan manusia kepada trahnya sebagai sebaik-baik mahluk. Manusia yang manusiawi yang dihasilkan oleh pendidikan yang humanistik diharapkan bisa ber kir, berkemauan dan bertindak sesuai dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang bisa mengganti sifat individualistik, egoistik dengan sifat kasih sayang. Telah menjadi trah manusia mempunyai sifat inovatif kreatif yang melekat kuat perannnya dalam perubahan sosial tanpa dibatasi ruang dan waktu. Yang harus dipijaki oleh pemuda adalah ketrampilan intelegensia, keberanian, kejujuran dan selalu berpijak pada nilai-nilai kebenaran. Pemuda adalah pemimpin masa depan, sesungguhnya di tangan generasi mudalah nasib suatu bangsa.
PENDIDIKAN ISLAM
Mutu pendidikan Islam akan tercapai apabila didukung oleh seluruh komponen pendidikan yang terorganisir dengan baik. Beberapa komponen tersebut meliputi input, proses dan output, dan ini perlu mendapatkan dukungan sepenuhnya dari pihak yang mempunyai peran penting dalam lembaga pendidikan. Namun
Ahmad D. Marimba menyatakan Pendidikan Islam merupakan Bimbingan Pribadi Muslim yakni bimbingan jasmani-rohani berdasarkan hukum-hukum agama Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran Islam. Kepribadian Utama merupakan kepribadian yang berkarakterkan nilai-nilai Islam yang akan muncul setiap saat, sewaktu mereka ber kir, bersikap dan berperilaku. Sedangkan Syahminan Zaini menyatakan bahwa Pendidikan Islam merupakan pengembangan trah manusia atas dasar ajaran-ajaran Islam. Dengan trah tersebut diharapkan manusia dapat hidup secara sempurna baik lahir maupun bathin. Dengan demikian, pendidikan Islam merupakan usaha mengembangkan trah manusia dengan ajaran agama Islam agar terwujud kehidupan yang makmur dan bahagia.2 Pendidikan Islam juga merupakan proses transformasi dan internalisasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai melalui pengajaran, bimbingan, latihan dan pengabdian yang dilandasi dan dinafasi oleh 2 Syahminan Zaini, Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1986), hlm. 47
ajaran Islam sehingga terbentuk muslim sejati, mampu mengontrol, mengatur dan merekayasa kehidupan. Dari beberapa telaah dapat diketahui bahwa Pendidikan Islam yang ada dalam Al-Quran memberikan pelajaran dan peringatan kepada terbinanya kesadaran hati/perasaan dan sekaligus terlatihnya akal pikiran atau daya intelektual seseorang. Dengan anugerah yang berupa akal, manusia dapat memuaskan daya nalarnya sesuai dengan kapasitas trah yang dimilikinya. Dengan akalnya pula manusia akan mampu mencapai apa yang mereka inginkan sepanjang mengikuti ketetapan/sunnah Allah. Pendidikan Islam juga merupakan bimbingan jasmani-rohani menurut hukum Islam menuju terbentuknya kepribadian yang utama menurut Islam, yang berarti menitik beratkan kepada bimbingan jasmani-rohani berdasarkan ajaran Islam dalam membentuk akhlak mulia. Hamani Ikhsan dalam bukunya yang berjudul Filsafat Pendidikan Islam menyatakan bahwa menurut Syekh Muhammad A.Naquib al-Atas Pendidikan Islam merupakan usaha yang dilakukan pendidik terhadap anak didik untuk pengenalan dan pengakuan tempat-tempat yang benar dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan akan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan Kepribadian. Musthafa al-Ghulayaini menyatakan bahwa Pendidikan Islam adalah menanamkan akhlak yang mulia di dalam jiwa anak pada masa pertumbuhannya dan menyiraminya dengan air petunjuk dan nasehat sehingga akhlak itu menjadi salah satu kemampuan (meresap) dalam jiwanya kemudian berwujud keutamaan, kebaikan dan cinta bekerja untuk memanfaatkan tanah air sehingga terwujud kehidupan manusia yang bahagia dan makmur. TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM Pendidikan Islam yang sesuai dengan Al-Quran dapat membentuk manusia
Sehingga para pemuda juga diharapkan mempunyai kemampuan daya kir dan dzikir serta kecakapan di bidang ilmiah. sejati, yang selalu mendekatkan diri kepada Allah swt, meletakkan sifat-sifat Allah dalam perkembangan pribadi manusia serta dapat merealisasikan sifat-sifat Allah dalam setiap menjalankan fungsi-fungsi kehidupan. Sosok manusia terutama para pemuda bangsa yang dilengkapi dengan trah, roh, badan, kemauan bebas dan akal. Manusia yang mampu mengintegrasikan dan mengembangkan unsur-unsur tersebut serta mengaplikasikannya dalam segala sektor kehidupan, berupa pola pikir, pola sikap dan perilaku yang dinafasi oleh nilai kemanusiaan. Pendidikan Islam dapat membentuk manusia yang berpribadi sempurna, serasi dan seimbang, tidak saja mampu dibidang keagamaan dan keilmuan tetapi juga mempunyai kecakapan khusus beruapa ketrampilan untuk bekerja. Dengan pendidikan Islam yang perlu dilakukan adalah, pertama, para pemuda diharapkan mampu membenahi akhlaqnya karena dengan akhlaq merupakan kunci utama bagi keberhasilan manusia dalam menjalankan tugas kehidupan. Kedua, melalui pengendalian akal karena dengan olah akalnya segala kebutuhan manusia dapat dicapai (aliran rasionalisme). Ketiga, dengan pendidikan Islam diharapkan segala kegiatan yang dilakukan dalam proses pendidikan dapat bermanfaat bagi pemenuhan kebutuhan manusia dan dapat menjawab masalah-masalah kehidupan.3 Keempat, dengan idealisasi pemikiran dan penggalian berbagai dimensi keilmuan Pendidikan Islam bagi perbaikan Moral pemuda bangsa harus bisa mencetak pemuda yang mempunyai pemikiran kritis, kreatif dan inovatif.Ilmu yang ditransformasikan 3 H.M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1996), hlm. 28
kepada yang bersebrangan den pemuda bukanlah hasil tiruan peradaban lain yang bersebrangan dengan kebudayaan Islam, tetapi benar-benar ilmu yang dinafasi oleh nilai-nilai Islam. Sehingga para pemuda juga diharapkan mempunyai kemampuan daya kir dan dzikir serta kecakapan di bidang ilmiah . Pada dasarnya, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bisa terlepas dari dorongan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya agar dapat mempertahankan eksistensi dirinya, terutama sewaktu berinteraksi dengan lingkungan hidup. Dengan kata lain, dikembangkannya ilmu pengetahuan dan teknologi oleh manusia adalah sebagai alat untuk menjalankan fungsi-fungsi kehidupan di dunia, yaitu fungsi kodrati manusia, berkenaan dengan fungsi pengabdian, kekhalifahan, kerisalahan dan ihsanisasi. Dikembangkannya ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan manusia selalu dekat kepada Allah swt, bisa mengelola dan memanfaatkan segala kekayaan yang terkandung di alam untuk kepentingan seluruh umat. Ia juga menjadikan manusia selalu berupaya mewariskan nilai kepada sesamanya agar secara bersama-sama bisa mengembangkan dalam kehidupan serta menjadikan manusia selalu berbuat kebajikan dan kebenaran sesuai dengan hakekat (esensi) keberadaan ilmu pengetahuan dan teknologi sendiri. Dilangsungkannya pendidikan Islam di berbagai tempat tak lain merupakan misi dakwah, yaitu dakwah Islamiyah sebagaimana dilakukan oleh Rasullullah saw dan para pendahulu muslim. Dengan adanya pendidikan Islam inilah diharapkan nilai-nilai Islam dapat diwariskan kepada setiap manusia, membantu membentuk karakter dalam dirinya dan di realisasikan dalam perilaku kehidupan sehari-hari. Bila nilai-nilai Islam telah melembaga pada masing-masing individu maka agama tersebut dapat menjadi tegak di dunia, tersebar di seluruh lapisan dunia. Dengan demikian, fungsi agama Islam
sebagai rahmatan lil alamin dapat direalisasikan. Pendidikan Islam yang mengarahkan kesatuan dan keseimbangan pada pribadi pemuda dan peserta didik juga diharapkan bisa berimbas kepada kepribadian masyarakat secara keseluruhan. Kesatuan dalam menatap masalah ritual, sosial, politik dan berbagai persoalan hidup lainnya yang selanjutnya akan mempengaruhi dan menentukan keharmonisan kehidupan dalam segala aspek kehidupan. Pada akhirnya dari berbagai uraian di atas, tujuan pendidikan Islam diharapkan dapat menciptakan para pemuda bangsa yang mempunyai pribadi muslim sejati, membentuk kepribadian, akhlak, mengembangkan trah dan semua potensi manusia secara maksimal sesuai dengan ajaran Islam. Dengan demikian, pemuda diharapkan menjadi manusia yang baik, memiliki kedalaman ilmu, memiliki pola pikir yang logis-kritis, ketajaman pemikiran dan keluasan pandangan, serta kekuatan iman dan taqwa. Pada gilirannya, ia dapat berguna bagi diri sendiri dan lingkungan, memiliki kemampuan berkarya melalui kerja kemanusiaan serta dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat sesuai dengan ajaran Islam.4 PENTINGNYA PEMBINAAN MORAL DAN KREATIVITAS PEMUDA Persepektif moral dalam Islam merupakan moral yang berdasarkan pada kepercayaan terhadap Tuhan dan kehidupan akhirat sesuai dengan konsep moral yang bersifat keagamaan yang ditentukan oleh bentuk gagasan manusia mengenai Tuhan dalam kehidupan. Adapun Moral dalam Islam adalah bersifat absolut dan universal. Kebenaran moral Islam bersifat mutlak, mempunyai wujud dan bentuk-bentuk tertentu. Humaidi Tatapangarsa menyatakan bahwa Moral dalam Islam adalah menjauhi dunia dan mengutamakan akhirat, dengan tujuan memanfaatkan hal-hal 4 Hasan Langgulung, Manusia dan Pendidikan, (Jakarta: PT. Alhusna Zikro, 1995), hlm. 12
yang di dunia ini untuk kebahagiaan hidup kekal di akherat.5 Akhlaq adalah mustika hidup yang membedakan manusia yang diciptakan Tuhan dengan makhluk yang lain. Dengan ilmu pengetahuan, memang, dalam batas -batas tertentu, bisa mengetahui yang baik dan yang buruk. Menurut Hasan Basri, akhlaq merupakan sesuatu yang mempunyai taraf kesadaran yang tinggi, mempunyai motivasi yang kuat, mempunyai tanggung jawab yang besar. Oleh sebab itu, pemuda harus mempunyai sifat-sifat jujur, adil, disiplin yang tinggi, amanah, taat, berani menegakkan kebenaran dan memperjuangkannya. Dalam situasi dan kondisi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta tuntutan dari pembangunan, di kalangan generasi muda perlu dikembangkan rasa percaya pada diri sendiri, profesionalisme, kewirausahaan, dan kreativitas. Seperti dinyatakan oleh Carl Roger bahwa inti kreativitas itu adalah “Baru” dengan cirinya yang cerdas, menarik dan imajinatif, di samping juga cepat, eksibel dan prospektif, efektif dari segi sosial serta dominan dari segi pribadi. 6 Era Globalisasi yang ditandai dengan persaingan kualitas atau mutu, menuntut semua pihak dalam berbagai bidang dan sektor pembangunan untuk senantiasa meningkatkan kompetensinya. Hal tersebut mendudukkan pentingnya upaya meningkatkan kualitas pendidikan baik secara kuantitatif maupun kualitatif yang harus dilakukan terus-menerus. Dengan demikian, pendidikan, terutama pendidikan Islam, dapat digunakan sebagai wahana dalam membangun watak bangsa. Pembinaan moral dan kreativitas manusia dapat dilakukan melalui pembinaan budaya religius yang ada di lembaga pendidikan yang biasanya bermula penanaman nilai-nilai religius secara istiqomah. Begitu juga penciptaan suasana religius 5 Harmaidi Tatapangarsa, Pengantar Kuliah Akhlaq, (Surabaya: Bina Ilmu, 1990), hlm. 20 6 Hasan Basri, Remaja Berkwalitas (Problem dan Solisinya), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), hlm. 31
dan mengadakan kegiatan keagamaan di lingkungan lembaga pendidikan. Apabila tidak diciptakan dan dibiasakan, maka budaya religius tidak akan terwujud. Kegiatan-kegiatan yang dapat menumbuhkan budaya religius (religious culture) di lingkungan lembaga pendidikan meliputi; pertama, melakukan kegiatan rutin, yaitu pengembangan kebudayaan religius yang berlangsung pada hari-hari belajar biasa di lembaga pendidikan. Kegiatan rutin tersebut dilakukan dalam kegiatan sehari-hari yang terintegrasi dengan kegiatan yang telah diprogramkan, sehingga tidak memerlukan waktu khusus. Pendidikan agama merupakan tugas dan tanggungjawab bersama bukan hanya guru agama saja melainkan juga tugas dan tanggungjawab guru-guru atau dosen-dosen bidang lainnya. Pendidikan agamapun tidak hanya terbatas pada aspek pengetahuan, tetapi juga meliputi pembentukan sikap, perilaku dan pengalaman keagamaan. Maka dari itu, pembentukan sikap, perilaku dan pengalaman keagamaanpun tidak hanya dilakukan oleh guru atau dosen agama, tetapi perlu juga dilakukan oleh guru atau dosen bidang studi lainnya. Kedua, menciptakan lingkungan lembaga pendidikan yang mendukung dan menjadi laboratorium bagi penyampaian pendidikan agama, sehingga lingkungan dan proses kehidupan semacam ini bagi para peserta didik benar-benar bisa memberikan pendidikan tentang cara belajar beragama. Dalam proses tumbuh kembangnya, peserta didik dipengaruhi oleh lingkungan lembaga pendidikan, selain lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat. Suasana lingkungan lembaga pendidikan dapat menumbuhkan budaya religius (religious culture). Lembaga pendidikan mampu menanamkan sosialisasi dan nilai yang dapat menciptakan generasi–generasi yang berkualitas dan berkarakter kuat, sehingga menjadi pelaku-pelaku utama kehidupan di masyarakat. Suasana lingkungan lembaga ini dapat membimbing peserta didik agar mempunyai akhlak
mulia, perilaku jujur, disiplin, dan semangat sehingga akhirnya menjadi dasar untuk meningkatkan kualitas dirinya. Ketiga, pendidikan agama tidak hanya disampaikan secara formal dengan pelajaran agama dalam suatu proses pembelajaran, namun dapat pula dilakukan diluar proses pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari. Guru atau dosen bisa memberikan pendidikan agama secara spontan ketika menghadapi sikap atau perilaku peserta didik yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Manfaat pendidikan secara spontan akan menjadikan peserta didik langsung mengetahui dan menyadari kesalahan yang dilakukannya dan langsung mampu memperbaikinya.
Oleh karena itu, guru maupun dosen harus mampu menciptakan dan memanfaatkan suasana keberagaman dengan menciptakan suasana dalam peribadatan seperti sholat, puasa dan lain-lain. Keempat, menciptaka situasi atau kegiatan religius. Tujuannya untuk mengenalkan kepada peserta didik tentang pengertian agama dan tata cara pelaksanaan agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Juga menunjukkan pengembangan kehidupan religius di lembaga pendidikan yang tergambar dari perilaku sehari-hari. Selain itu juga menunjukkan pengembangan kehidupan religius di lembaga pendidikan yang tergambar dari perilaku sehari-hari dari berbagai kegiatan yang dilakukan oleh guru atau dosen dan peserta didik. Oleh karena itu, keadaan atau situasi keagamaan di sekolah atau kampus yang dapat diciptakan antara lain pengadaan peralatan peribadatan seperti tempat untuk sholat (masjid atau musholla), alat-alat sholat seperti sarung, peci, mukena, saja-
dah atau pengadaan al-Quran. Di ruangan kelas bisa pula ditempelkan kaligra , sehingga peserta didik dibiasakan selalu melihat sesuatu yang baik. Kelima, memberikan kesempatan kepada peserta didik sekolah maupun universitas untuk mengekspresikan diri, menumbuhkan bakat, minat dan kreativitas pendidikan agama dalam ketrampilan dan seni, seperti membaca al-Quran, adzan, sari tilawah serta mendorong peserta didik untuk mencintai kitab suci, dan meningkatkan minat peserta didik untuk membaca, menulis serta mempelajari isi kandungan al-Quran. Agar lebih jelas dalam membahas materi pelajaran maka guru maupun dosen hendaknya selalu diperkuat oleh nas-nas keagamaan yang berlandaskan pada al-Quran dan Hadist Rasulullah saw, tidak hanya ketika mengajar saja tetapi dalam setiap kesempatan guru atau dosen harus mengembangkan kesadaran beragama dan menanamkan jiwa keberagaman yang benar. Oleh karena itu, guru maupun dosen harus mampu menciptakan dan memanfaatkan suasana keberagaman dengan menciptakan suasana dalam peribadatan seperti sholat, puasa dan lain-lain.7 NILAI-NILAI ISLAM DALAM PEMBENTUKAN KARAKTER Ajaran Islam sarat dengan nilai-nilai yang dapat membentuk karakter kuat dalam menghadapi kehidupan. Terlebih lagi, Rasulullah saw terlahir ke dunia ini dan diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia. Salah satu nilai yang diajarkan dan telah dicontohkan oleh para Rasul adalah sifat-sifat shiddiq, amanah, fathonah dan tabligh. Siddiq merupakan sebuah kenyataan yang benar tercermin dalam perkataan, perbuatan atau tindakan, dan keadaan bathinnya.Pengertian siddiq dapat dijabarkan sebagai berikut: 7 Muhaimin, Arah Baru pengembangan Pendidikan Islam, Pemberdayaan, pengembangan kurikulum Hingga Redinivisi Islamisasi Pengetahuan, (Bandung: Nuansa, 2003), hlm. 69
a) Memiliki sistem keyakinan untuk merealisasikan visi, misi, dan tujuan. b) Memiliki kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlaq mulia. Amanah merupakan sebuah kepercayaan yang harus diemban dalam mewujudkan sesuatu yang dilakukan dengan penuh komitmen, kompeten, kerja keras, dan konsisten yang dapat dijabarkan sebagai: a) Rada memiliki dan tanggung jawab yang tinggi b) Memiliki kemampuan potensi secara optimal c) Memiliki kemampuan mengamankan dan menjaga kelangsungan hidup d) Memiliki kemampuan membangun kemitraan dan jaringan. Fathonah merupakan sebuah kecerdasan, kemahiran, atau penguasaan yang mencakup kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual yang dapat dijabarkan sebgai berikut: a) Memiliki kemampuan yang adaptif terhadap perkembangan dan perubahan zaman b) Memiliki kecerdasan intelektual c) Memiliki kompetensi yang unggul, bermutu dan berdaya saing. Tabligh merupakan upaya merealisasikan pesan atau misi tertentu yang dilakukan dengan pendekatan atau metode tertentu. Yang dapat dijabarkan sebagai berikut: a) Memiliki kemampuan merealisasikan pesan atau misi b) Memiliki kemampuan berinteraksi secara efektif c) Memiliki kemampuan menerapkan pendekatan dan metodik dengan tepat.
PENUTUP Pendidikan pada para generasi muda sangat penting terutama Pendidikan Islam yang mengutamakan pendidikan Moral yang mencakup seluruh aspek kehidupanya yang ramah kognisi, ramah afeksi dan ramah psikomotorik. Pada akhirnya, diharapkan para gemerasi muda atau pemuda dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia-manusia yang utuh secara jasmani, rohani dan sosial sehingga siap hidup di tengah-tengah masyarakat yang kompleks. Realita kehidupan yang dihadapi para pemuda amatlah komplek sehingga diperlukan individu-individu yang berkepribadian tangguh dengan karakter kuat yang akan mampu menjalani persaingan hidup dan kehidupan. Bekal yang harus dimiliki tidak cukup sekedar ilmu pengetahuan, penguasaan teknologi, dan ketrampilan khusus, tetapi lebih dari itu pemuda harapan bangsa adalah pemuda yang memiliki sifat, moral, akhlaq untuk membentuk karakter guna berinterkasi dengan sesama di tingkat lokal maupun global. Dengan memberikan budaya religius, akan memberikan ruang belajar bagi para pemuda, yang juga peserta didik, untuk menahan emosi dan membentuk karakter yang baik. Apabila pemuda dan peserta didik sudah mempunyai nilai religius yang included dalam dirinya, maka secara otomatis akan terbiasa dengan disiplin dan akan terbiasa menyatukan pikir dan dzikir. Dengan demikian, selalu mendekatkan diri pada Allah secara istiqomah. Pada gilirannya, pembiasaan pendidikan Islam akan membentuk manusia yang berprestasi karena dengan istiqomah akan mampu menjadikan manusia yang cerdas, beriman berprestasi dan bermanfaat bagi diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara. []
DAFTAR PUSTAKA
M. Athiyah Al-Abrasyi (1993). Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam, Jakarta: Bulan Bintang Ari n, H.M. (1996). Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja Gra ndo Dwi purwokerto (1993). Pemuda Islam Di Pentas Nasional, Jakarta: Bina Cipta Harmaidi Tatapangarsa (1990). Pengantar Kuliah Akhlaq, Surabaya: Bina Ilmu. Hasan Basri (1995). Remaja Berkwalitas (Problem dan Solisinya), Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ibnu Maskawih (1994).Menuju Kesempurnaan Akhlaq, Bandung: Mizan Hasan Langgulung (1995). Manusia dan Pendidikan, Jakarta: PT. Alhusna Zikro Muhaimin (2003). Arah Baru pengembangan Pendidikan Islam, Pemberdayaan, pengembangan kurikulum Hingga Redinivisi Islamisasi Pengetahuan. Bandung: Nuansa Rohmat Mulyana (2004). Mengartikulasikan Pendidikan Nilai, Bandung: Alfabeta. Tau k Abdullah (1991). Pemuda Dan Perubahan Sosial, Jakarta: LP3ES Syahminan Zaini (1986). Prinsip-prinsip Dasar Konsepsi Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia. Zakiyah Darajad (1973). Membina Nilai-Nilai Moral Di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang.
TUHAN DALAM FILSAFAT DIALOG MARTIN BUBER Oleh : Muhammad Hilal (Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta)
Martin Buber is one of those prominent philosophers who offer alternatives to the problem of the distanced or separated view of objects. is view has rooted in the Eastern world, thanks to the Cartesian modern philosophy and the increasingly development of science. e Philosophy of Dialogue is Buber’s proposal to overcome the problem of subject-object distancedness and separatedness. e Philosophy of Dialogue argues that reality is “relation”. ere are two kind of relations, according to Buber: I-ou and I-It relation. e I-ou relation is human experience as a totality; an original, spontaneous, unpretended and uninterested one that gives effect to the subject and the object as such. e I-It relation, on the contrary, is a distanced and power-pretended relation. It is the later relation that dominates philosophy and science in nineteenth century. Human has a central and fundamental place in Buber’s metaphysical concept of “relation” because the whole beings exist in human’s encounter toward them. Buber’s view about human nature, therefore, is the most basic of his entire philosophical thought. is philosophical standpoint enables Buber to begin his formulation on philosophy of religion. Buber expresses God as e Eternal ou. With this expression, e Eternal ou, Buber wants to move beyond all manifestations of human’s belief of God because it is not the understanding about God that Buber is pointing at, but the dialogical moment between man and God. Buber also argues that the only way to express the encounter with e Eternal ou is by using paradoxical language. Only this paradoxical language can touch the most sublime side of that encounter. Keywords: Martin Buber, Filsafat Dialog, Relasi I-ou dan I-It, e Eternal ou, Bahasa Paradox
BIOGRAFI SINGKAT Mordechai Martin Buber lahir di Wina pada 8 Februari 1878. Oleh karena kedua orang tuanya bercerai pada usia 3 tahun, dia diasuh oleh kakeknya di Lemberg, Galicia, yang pada saat itu masih menjadi bagian dari Austria. Di daerah itu Buber cilik dibesarkan hingga umur 14 tahun, lalu dia kembali ke rumah bapaknya di Galicia Timur. Pada tahun 1897 dia mulai memasuki gedung universitas di bidang lsafat dan sejarah seni di Wina. Setelah itu, dia masuk sebuah universitas di Leipsig, lalu mendapat gelar doktor di Universitas Berlin pada 1904. Pada 1899, dia bertemu Paula Winkler, seorang penganut Katolik Bavarian dan seorang penulis, yang kemudian pindah agama dan menjadi istri tunggal Buber sepanjang hayatnya. Di sekitar awal pernikahannya ini Buber merasakan pentingnya ajaran-ajaran Hasidisme. Dia membaca kumpulan kata mutiara Rabi Israel ben Eliezer, pendiri Hasidisme, dengan penuh semangat. Perjumpaan mistik dengan Hasidisme di usianya yang ke-25 ini membuatnya menyingkir dari kesibukan lain dan memusatkan 5 tahun berikutnya dalam mempelajari teks-teks Hasidisme. Persis pada saat dia merasakan arah yang lebih terang dalam kehidupannya, Buber keluar dari isolasi ini dan siap memulai kehidupan barunya yang lebih nyata sebagai seorang penulis, penceramah dan pendidik.1 Martin Buber adalah salah satu pendiri rumah penerbit Yahudi Jerman, Jüdischer Verlag. Pada tahun 1903, Buber, bersama dengan Chaim Weizmann dan Berthold Feiwel, mengajukan proposal untuk mendirikan Universitas Yahudi yang kemudian mendapat perhatian luas di sepanjang Eropa. Pada tahun-tahun jelang Perang Dunia I, Buber semakin tertarik dengan problem-problem sosial, sebuah ketertarikan yang merekah sebagian karena dia lama bergelut dalam Zionisme dan 1 Arthur A. Cohen, Martin Buber, (London: Bowes & Bowes Publishers, Ltd., 1957), hlm. 31-32.
karena tuntutan kaum muda Yahudi untuk memperkokoh akar tradisi dan mempererat komunitas. Pada tahun 1913, dia membantu mengorganisasi pembangunan perguruan tinggi Yahudi di Jerman yang dia harapkan akan memberikan pengaruh ke seluruh lingkungan Yahudi demi pembaharuan budaya dan agama (tapi akhirnya tak mendapat hasil yang menggembirakan). Tak lama setelah itu, Martin Buber berpartisipasi dalam sekelompok gur intelektual penting di Eropa yang melakukan pertemuan di Potsdam selama tiga hari untuk mendiskusikan problem-problem dan kemungkinan-kemungkian penyatuan internasional. Di antara peserta lain dari kelompok ini adalah Gustav Landauer, Frederik van Eeden, dan Florens Christian Rang; namun, karena ledakan Perang Dunia I, usaha ini berantakan di tengah jalan.2
Dalam pandangan Buber, seharusnya manusia bisa memasuki pengalaman langsung terhadap Tuhan, sesama manusia, dan alam. Pada 1916, Buber mendirikan De Jude, sebuah surat kabar periodis yang dia edit hingga 1924 dan pada saat dia memimpin menjadi salah satu organ Yahudi yang paling terkenal di Jerman. Sejak 1926 hingga 1930, dia bersama dengan Catholic Joseph Wittig dan Viktor von Weiźäcker menerbitkan Die Kreatur, sebuah surat kabar periodis mengenai problem sosial dan pendidikan agama. Selama periode ini, Buber telah mengajar lsafat agama Yahudi dan sejarah agama-agama di Universitas Frankfurt. Kebanyakan waktu dari tahun-tahun ini juga dia habiskan untuk menyelesaikan terjemahannya yang monumental terhadap Bibel Yahudi ke dalam bahasa Jerman bersama koleganya, Franz Rosenzweig. Sejak 1933 hingga 1938, Buber amat terkenal karena usahanya atas nama kaum Yahudi Jerman melawan 2 Anonim, http://plato.stanford.edu/entries/ buber, download 1 Juni 2012
terhadap meningkatnya sikap anti-semitisme yang dimotori oleh kaum Nazi.3 Tahun 1938 dia menerima posisi sebagai professor di bidang sosiologi dan lsafat sosial di Hebrew University di Jarusalem, buah dari emigrasinya dari Jerman ke Palestina. Pada 1951, Buber pensiun dari posisinya di Hebrew University, tapi dia tetap bergiat di wilayah pendidikan orang dewasa (Friedmann, 1956: 9). Di tahun-tahun ini, dia isi dengan kegiatan menulis, mengajar di sejumlah tempat di sepanjang benua Eropa dan Amerika, dan mengupayakan solusi kon ik Arab-Yahudi di Palestina. Martin Buber meninggal pada 13 Juni 1936, di usianya yang ke-67.4
Dilthey melakukan pembedaan radikal antara cara mengetahui Geisteswissenschaen—studi-studi mengenai manusia seperti lsafat, ilmu sosial, dan psikologi—dan cara yang tepat untuk mengetahui Natuurwissenschaen—ilmu-ilmu kealaman. Pada pihak yang pertama, seseorang tidak bisa sekadar berperan sebagai pengamat yang berjarak dengan objek tapi juga harus berpartisipasi, sebab melalui partisipasilah dia bisa menyibak sisi tipikal dan unik dalam kehidupan manusia yang sedang dia amati.6 Filosof lain yang berpengaruh terhadap pemikiran Buber adalah Frederick Nietzsche. Dalam salah satu artikelnya, Buber menyebut Nietzsche sebagai PERJUMPAAN DENGAN PEMIKIRAN “pemandu pertama menuju budaya SEBELUMNYA baru,” “seorang penggugah dan pencipta Melalui Immanuel Kant, Buber nilai-hidup dan rasa-dunia yang baru.” belajar tentang bagaimana ‘realitas’ sesNietzsche mempengaruhi Buber dalam ungguhnya berada di luar kemampuan hal dinamisme, kreativitas dan keagungan, capaian manusia, karena realitas tidak tekanan terhadap sisi konkret dan aktual akan menampak kecuali dalam kerangka ketimbang sisi abstrak dan ideal, manfaat ruang dan waktu. Filsafat kon ik, serta tekanannya Martin Buber, seperti yang terhadap nilai dorongan Bagi Simmel, ‘percaya’ hidup dan keseluruhan akan kita lihat nanti, berusaha melampai lsafat (believe) kepada Allah realitas ketimbang kepada Idealisme Transendental berarti tidak sekedar sobekan-sobekan inteletu-7 ala Kant ini, namun pada alitas yang terpisah-pisah. keyakinan rasional saat yang sama dia tidak Namun, di antara terhadap eksistensiingin terjebak pada pansemuanya itu, pengaruh dangan ‘objektif ’ yang Nya, melainkan juga terbesar terhadap Buber naif pra-Kantian terhadap suatu hubungan batin adalah dari pemikiran alam semesta. Dalam panterhadap-Nya, sikap seorang eksistensialis: dangan Buber, seharusnya Søren Kierkegaard. Pemanusia bisa memasuki pasrah terhadap rasa dan mikiran Kierkegaard pengalaman langsung arah hidup. bahwa terdapat hubungan terhadap Tuhan, sesama langsung antara seorang 5 manusia, dan alam. individu dengan Tuhan menginspirasi Melalui Wilhelm Dilthey, Buber Martin Buber. Kierkegaard menyebut memperoleh cara pandang baru untuk Tuhan dengan sebutan ‘ou’, seorang menyelesaikan persoalan yang tidak bisa individu yang gelisah dan tak tersembunyi diselesaikan oleh Idealisme Transendental. sebagai seorang individu, konsep knight 3 Maurice Friedmann, Martin Buber The Life of Dialogue, (Chicago: The University of Chicago Press, 1956), hlm. 8. 4 Maurice Friedmann, Encounter on The Narrow Ridge: A Life of Martin Buber, (New York: Paragon House, 1991), hlm. 457. 5 Maurice Friedmann, Encounter on The Narrow Ridge…. hlm. 17.
of faith (ksatria iman) yang tidak bisa berlindung pada yang universal melainkan se6 Maurice Friedmann, Martin Buber The Life … hlm. 34. 7 Maurice Friedmann, Encounter on The Narrow Ridge…. hlm. 18-19.
lalu menghadapi risiko di dalam keunikan konkret dari setiap situasi baru, dan pentingnya realisasi keimanan seseorang di dalam kehidupan sehari-hari, semua ini adalah konsep-konsep Kierkegaard yang menginspirasi dan mempengaruhi Martin Buber.8 Lebih dari itu semua, tidak bisa dilupakan pengaruh Ludwig Feuerbach dan Georg Simmel di sini. Tidak seperti Immanuel Kant yang mempostulatkan keseluruhan aspek manusia sebagai permulaan ber lsafat, manusia di sini oleh Feuerbach dimaksudkan bukan manusia sebagai individu, melain manusia dengan manusia—sebuah relasi I-ou dalam Martin Buber. Georg Simmel juga berbicara soal relasi ini dan membekaskan pengaruh tertentu terhadap Martin Buber. Bagi Simmel, ‘percaya’ (believe) kepada Allah berarti tidak sekedar keyakinan rasional terhadap eksistensi-Nya, melainkan juga suatu hubungan batin terhadap-Nya, sikap pasrah terhadap rasa dan arah hidup. Dan cara yang sama, ‘percaya’ (believe) kepada sesama manusia berarti memiliki suatu relasi kepercayaan (trust) terhadap manusia secara keseluruhan, sebuah hubungan yang mengatasi segala hujah apapun mengenai kualitas partikularnya— sebuah relasi I-ou dalam pandangan Martin Buber.9 PEMIKIRAN FILOSOFIS Martin Buber kadang dianggap sebagai seorang losof, kadang seorang mistikus, kadang seorang pujangga prosais, dan kadang pula dianggap sebagai seorang teolog. Mengenai anggapan yang terakhir ini, Buber menyangkal sendiri dan mengatakan bahwa dirinya tidak pernah menyodorkan suatu doktrin apapun, melainkan hanyalah sejumlah observasi-observasi eksperimental mengenai relasi manusia dengan Tuhan. Buber menjelaskan sendiri hasil pemikirannya sebagai atipikal, tak berciri 8 Maurice Friedmann, Martin Buber The Life … hlm. 35-36. 9 Ibid, hlm. 48.
apapun. Namun, bila seseorang hendak melabelkan dirinya, dia lebih suka dianggap sebagai seorang losof karena dalam mengelaborasi pengalaman-pengalamannya, akal menempati posisi yang amat kuat di sana.10 Dalam padangan Martin Buber, eksistensi itu tak bisa dipahami kecuali dalam relasi. “All real living is meeting,” katanya. Relasi itu, dalam pandangan Buber, terbagi menjadi dua model, yakni relasi I-ou dan I-It. Pengertian dari dua cara ini kerap disalahartikan bahwa I-ou digunakan untuk berhubungan dengan sesama manusia atau Tuhan, sedangkan hubungan I-It diartikan sebagai hubungan dengan hewan atau benda-benda. Padahal perbedaan antara keduanya itu tidak terletak pada objek relasinya, melainkan dalam relasi itu sendiri, dalam cara berhubungan itu sendiri. Dua model relasi ini sudah dia tegaskan sejak awal dari bukunya: To man the world is twofold, in accordance with his twofold attitude. e attitude of man is twofold, in accordance with the twofold nature of the primary words which he speaks. e primary words are not isolated words, but combined words. e one primary word is the combination I-ou. e other primary word is the combination I-It; wherein, without a change in the primary word, one of the words He and She can replace itu.11 Dari kutipan di atas, Buber kemudian menjelaskan bahwa dua model relasi itu mengindikasikan dua cara seseorang berhubungan dengan apapun yang sedang atau mungkin akan dia hadapi. Hubungan I-ou dicirikan dengan mutualitas (mutuality), keadaan langsung (directness), hadir (presentness), kuat (intensity) dan tak-terlukiskan (ineffability). Kata ou 10 Robert Wood, Martin Buber’s Ontology: An Analysis of I and Thou, (United States of America: Northwestern University Press, 1969), hlm. 27. 11 Martin Buber, I And Thou, penj. Ronald Gregor Smith, (Edinburgh: T. & T. Clark, 1984), hlm. 3
dalam relasi I-ou tidak terbatas pada manusia, bisa jadi ia berupa pohon di depan bangunan ini, kucing tetangga, bukubuku yang berjejer di rak perpustakaan, sepatu yang kita kenakan, dan tentu saja juga Tuhan yang Buber sebut sebagai e Eternal ou. Sedangkan relasi I-It, Martin Buber menjelaskan bahwa relasi ini mendominasi kebanyakan eksistensi manusia. Alam It didasarkan pada pengalaman seseorang, namun pengalaman itu sendiri berarti relasi dengan hanya sebagian dari sesuatu. Relasi I-It adalah relasi mengalami dan menggunakan, dan oleh kerena itu berupa hubungan subjek-objek. Relasi ini juga bisa berlangsung dengan sesama manusia, dengan benda-benda, dan dengan Tuhan sekalipun..12 Buber mengatakan: I perceive something. I am sensible to something. I imagine something. I will something. I feel something. I think something. e life of human beings does not consist of all this and the like alone. is and the like together establish the realm of It. But, the realm of ou has a different basis.13 Sebaliknya, alam ou muncul di kala I berelasi dengan sesuatu dalam keadaan yang paling penuh, dalam keseluruhannya sebagai ada. Contohnya, Pohon yang sedang saya hadapi ini bukanlah ou sebelum saya berhadapan dengannya. Bila saya menghadapinya tanpa membandingkannya dengan pohon lain, tanpa memperhitungkan apakah ia pohon Jati atau pun Pohon Kamboja, tanpa mengira-kira berapa balok yang akan saya hasilkan darinya, pada saat itulah saya bisa mengadakan relasi I-ou dengannya. Begitu pula halnya dengan manusia, dia bukanlah sesosok ou bagi saya apabila saya belum melakukan perjumpaan, mengadakan suatu hubungan, dengannya. Tindakan 12 Maurice Friedmann, Martin Buber The Life … hlm. 57. 13 Martin Buber, I And Thou…. hlm. 4.
apapun yang saya lakukan atau yang orang lain itu lakukan, jika tidak berlangsung secara dua arah (mutuality), relasi I-ou tidak bisa berlangsung. Namun, dengan pembagian ini Martin Buber tidak hendak menghimbau untuk mengunggulkan yang satu dan meninggalkan sama sekali yang lain. Dua model relasi ini, bagi Martin Buber, menempati posisi yang saling melengkapi dan bergonta-ganti satu sama lain. Seseorang tidak bisa bersikukuh mengadakan hanya relasi I-ou di dalam semua aspek kehidupannya. Dalam hidupnya akan selalu ada relasi I-It. Hanya dengan menginginkan terus-menerus untuk mengadakan hubungan langsung dengan alam It (It-World atau realm of It) dia memaknai dunianya, dan dengan pergantian relasi inilah eksistensi manusia menjadi otentik. Pada saat It menjadi terlalu dominan dan menghalangi jalan kembali menuju relasi I-ou, eksistensi manusia menjadi labil dan tidak sehat, sehingga kehidupan sosial dan personalnya pun tidak otentik. Akan tetapi, Buber menambahkan, keseluruhan I dan juga ou tidak terdapat dalam keterpisahannya satu sama lain. Jika keduanya terisolasi satu sama lain, masing-masing tidak memiliki makna di dalam dirinya. Justru dalam relasi dengan dengan ou, I mendapatkan keadaannya yang paling penuh, dan juga sebaliknya. Bagaimana kita akan melacak aspek ontologis dari pemikiran Martin Buber ini? Jika dilacak secara historis, kehidupan Martin Buber ini sezaman dengan Martin Heidegger. Pemikiran kedua losof Jerman ini tentu memiliki keterkaitan erat. Dalam esainya berjudul What is Man?, Buber melancarkan sebuah kritik terhadap pandangan Heidegger tentang manusia. Sebaliknya, dalam serangkaian kuliah yang Heidegger sampaikan pada musim panas 1927, yang kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku e Basic Problems of Phenomenology, Heidegger pun mengritik pemikiran I-ou Martin Buber. Na-
mun, meskipun memiliki kaitan erat dalam pemikiran, kedua losof ini berbeda dalam hal titik tolak pemikiran lsafatnya. Martin Buber berkebalikan dari Martin Heidegger yang berusaha mencari fundamen ontologis dari makna Being secara umum dan berusaha menghadirkan dan memformulasikan ontologi fundamental. Dalam beberapa esainya, Buber memang sepintas kilas menunjukkan dan menjelaskan signi kansi ontologis dari perjumpaan I-ou dan dialog. Tapi semua itu bukanlah sebuah upaya membangun sebentuk ontologi fundamental sebagaimana yang telah dilakukan oleh Heidegger.14
Dalam proyek lsafatnya, Heidegger berusaha kembali ke ontologi fundamental, mendobrak kelupaan akan Ada. Untuk menemukan basis ontologis pemikiran Martin Buber, perlu dijelaskan problem loso s yang sedang mengemuka pada saat itu dan hendak diselesaikan olah Martin Buber. Pada permulaan abad ke-20, problem utama yang dihadapi oleh lsafat adalah, pertama, kebuntuan antara subjektivisme dan objektivisme, dan kedua, tegangan antara jiwa dan kehidupan. Menghadapi dua sentral problem dalam pemikiran lsafat zamannya ini, Buber mengajukan sebuah perspektif yang dia munculkan dari hasil permenungannya sendiri. Dalam pandangan Buber, akar problem itu terdapat dalam relasi subjek -objek, di mana subjek adalah “sesuatu di sini” sementara objek adalah “sesuatu di sana” atau paling tidak mengonstitusi keduanya. Melangkah lebih jauh dan memotong dikotomi subjek-objek ini, Buber lantas mengikat subjek dan objek ini dalam sebuah ikatan identitas-dalam-perbedaan yang dia sebut sebagai relasi I-ou dan mengonstitusi sebuah wilayah yang dia 14 Haim Gordon, The Heidegger-Buber Controversy: the status of I-Thou, (United State of America: Greenwood Press, 2001), hlm. 116.
sebut Between (das Zwischen). Between yang teraktualisasi dalam relasi ini merupakan sentral pemikiran Martin Buber. Gagasan ini mengandung dua elemen penting. Pertama, ia mengacu pada karakter trensendensi diri dari tindakan sehingga seseorang bisa berhubungan dengan ou. Kedua, ia mengacu pada keadaan tertutup mutlak, yakni keliyanan sejati dari ou. Sama seperti Heidegger, Buber berusaha kembali ke dasar meta sika. Dalam proyek lsafatnya, Heidegger berusaha kembali ke ontologi fundamental, mendobrak kelupaan akan Ada. Demikian pula Buber, meskipun dia mengaku tidak memiliki sistem meta sika, namun dia mengklaim suatu meta sika. Meta sika bagi Buber adalah suatu pernyataan tentang yang transeksperiensial, sesuatu yang lebih dalam dari pengalaman manusia. Yang transeksperiensial tidak lain adalah Between, dan oleh karena itu ontologi bagi Buber harusnya berupa tindakan perjumpaan sejati dengan liyan. Between ini, yakni pertemuan antara I yang sadar dengan liyan yang manifes ini, adalah tempatnya Being dan oleh karenanya merupakan lokus ontologi Buber.15 ANTROPOLOGI FILOSOFIS Meta sika Martin Buber amat menekankan posisi dan peran manusia dalam total cakrawala eksistensi. Sejak awal dari bukunya, Martin Buber belum apa-apa telah menyebut manusia dan menyatakan bahwa “to man the world is twofold”. Dengan pernyataan ini, Buber menekankan pentingnya manusia dalam penyelidikan meta sis dan menganggap bahwa dunia sebagai totalitas riil tidaklah berada di sana dalam dirinya sendiri, melainkan dalam penampakannya di hadapan manusia. Dengan demikian, titik pijak I and ou bukanlah meta sika ataupun teologi, melainkan antropologi loso s, problem manusia. Oleh karena itulah, maka semua 15 Robert Wood, Martin Buber’s Ontology…. hlm. 111-112.
karyanya mengarah pada totalitas dalam ... problem yang hendak dipecahkan relasinya dengan manusia—sebagaimaoleh antropologi loso s bukanlah na ia menampak bagi manusia.16 problem rasionalitas manusia itu, Dalam menyelidiki hakikat masebagai kontras dari makhluknusia, Buber menjalankan dua manuver sekaligus. Pertama, menggambarkan makhluk lain atau bagian-bagian nonmanusia bukan dalam kategori substan- rasional dari diri manusia, melainkan si, sebagaimana dilakukan oleh losof sebuah upaya melihat manusia modern pendahulunya, melainkan dalam totalitasnya. dalam kategori relasi. Kedua, dengan menspesi kasi pola relasi itu. Demi meakal manusia ini tidak bisa ditilik seperti mahami pandangan antropologi loso s itu, melainkan harus dilihat sebagai penMartin Buber, dua pasangan postulat ini dukung aspek kemanusiaan saja. Dengan musti dicamkan betul, mengingat hal inidemikian, problem yang hendak dipelah yang membedakan pemikiran Buber cahkan oleh antropologi loso s bukanlah tentang manusia dari lainnya. problem rasionalitas manusia itu, sebagai Dalam risalahnya, What is Man?, kontras dari makhluk-makhluk lain atau Martin Buber menyebutkan bahwa pada bagian-bagian non-rasional dari diri mamasa itu antropologi loso s telah mennusia, melainkan sebuah upaya melihat capai masa dewasanya.17 Berusaha memanusia dalam totalitasnya. Inilah penmahami pernyataan ini berarti kita harus gertian negatif dan reaktif dari antropologi melacak aspek sosio-historis antropologi loso s di atas.18 loso s, dan dengan demikian akan terSedangkan pengertian positif dari jawab pula apa maksud antropologi loantropologi loso s sebagaimana terdapat so s dalam pandangan Buber. Penyataan dalam benak Buber adalah upayanya tersebut mengandung aspek sosiologis dan melacak benang merah dari pemikiran psiko-sosial sekaligus, namun Buber menitikberatkan penyelidikannya pada aspek Immanuel Kant. Menurut Kant, secara universal lsafat adalah upaya menjawab loso s. Dalam bidang loso s, dua penempat pertanyaan utama: (1) Apakah gertian bisa disibak, yang negatif maupun yang bisa saya ketahui? (2) Apakah yang positif. harus saya lakukan? (3) Apakah yang bisa Alasan peningkatan studi antroposaya harapkan? (4) Apakah manusia itu? logi loso s pada masa itu merupakan Secara berurutan, keempat pertanyaan reaksi terhadap pola penjelasan tradisional itu bisa dilihat dengan meta sika, etika, yang terlalu menekankan pada karakter agama dan antropologi. Tapi, Buber segerasional dari manusia. Pola tradisional ini ra melanjutkan bahwa Kant mengajukan menyatakan bahwa sisi rasional-spekupertanyaan-pertanyaan ini dengan sangat lati ah yang membedakan manusia dari tepat sekali, hanya saja dia tidak menjawab hewan lain, meskipun mengakui kekuapertanyaan yang terakhir dengan jawaban tan-kekuatan lain. Anggapan ini ditolak yang memuaskan. Bahkan, demikian Maroleh Buber. Bagi Buber, aspek rasional tin Buber, pertanyaan keempat ini, what memang memiliki peran yang amat tinggi is man?, telah banyak dielakkan, disadalam kehidupan manusia, namun bukan lahpahami, dan dijawab dengan cara yang berarti bahwa ia adalah satu-satunya pekeliru dan serampangan oleh kebanyakan nanda esensi manusia, bukan satu-satunya pemikir sejamannya. penentu hakikat kemanusiaan. Persoalan 16 Ibid, 34. 17 Martin Buber, Between Man and Man, penj. Ronald Gregor Smith, (London: Routledge Classics, 2002), hlm. 168.
18 Philip Wheelright, “Buber’s Philosophical Anthropolical” dalam Paul Arthur Schlipp dan Maurice Friedmann (eds.), The Philosophy of Martin Buber, (United States of America: The Library of Living Philosophers, Inc., 1991), hlm. 72.
Jika kita lacak dari awal sejarah penyelidikan tentang manusia, kebanyakan pemikir menganggap watak manusia sebagai problem yang objektif. Manusia adalah benda di antara benda -benda alam (Aristoteles); manusia adalah garis pembatas antara alam spiritual dan alam sik (omas Aquinas); manusia adalah makhluk yang melaluinya cinta Tuhan bisa manifest (Baruch Spinoza); manusia tercipta sendiri dengan kesadaran akan ‘kelemahan tak terbatas’ dalam kaitannya dengan alam semesta yang sangat besar dan tak dapat diduga (Blais Pascal); manusia, kendati merupakan satu momen dalam dialektika sejarah, adalah prinsip di mana akal universal mencapai kesadaran diri dan kesempurnaannya (G. W. F. Hegel); melalui reduksi terhadap gambaran Hegelian mengenai alam semesta, keseluruhan kehidupan manusia terbatas pada masyarakatnya (Karl Marx); manusia adalah wujud sentral dan problematis di dalam alam semesta, dan karena sifatnya yang problematis itu bentuk dan capaian nalnya masih belum baku dan tak-terprediksi (Frederick Nietzsche); manusia adalah makhluk yang esensialitas eksistensinya, sungguhpun dia hidup dengan orang lain, adalah kesepian (Martin Heidegger). Salah satu alasan kekeliruan ini adalah karena mereka tidak berusaha menilik apa yang kemudian disebut dengan wilayah interhuman. Alasan lain yang bisa disebutkan di sini adalah karena sulitnya membuat penjelasan tentang manusia secara keseluruhan. Hal ini terbukti dengan kenyataan bahwa pendekatan sainti k, dan juga beberapa losof, selalu membidik satu bagian saja dari manusia. Misalnya, psikolog dan losof telah mendiskusikan psikologi imajinasi dari manusia. Salah satu cara mendiskusikan manusia yang telah dilakukan oleh sebagian pemerhati, namun oleh Buber tetap dianggap tidak bisa menyelesaikan problem di atas, adalah mendiskusikan manusia sebagai ba-
gian dari keseluruhan yang lebih besar.19 Dua cara itu mewakili dua kutub pemikiran tentang manusia, yakni individualisme dan kolektivisme. Bagi Buber, keduanya tidak menjelaskan apa-apa mengenai manusia karena dalam kutub pertama manusia direduksi dalam kesendiriannya yang terpisah dari entitas lain, sementara dalam kutub kedua manusia semata-mata diasimilasikan dalam masyarakat. Menurut Martin Buber, kedua kutub ini mendistorsi hakikat manusia. Dari berbagai tanggapan terhadap lsafat manusia sebelumnya inilah Buber lantas mengajukan sebuah cara pandang yang ditopang oleh gagasannya mengenai ‘perjumpaan’ I-ou. e fundamental fact of human existence is man with man, demikian kata Martin Buber. Bukanlah dalam keterisolasiannya dalam dirinya sendiri, bukan pula asimilasinya dalam sebuah kelompok, melainkan dalam relasilah manusia bisa menangkap gambaran utuh mengenai dirinya. Kedua kutub ekstrem itu tidak saja menutupi manusia dari kebenaran, bahkan, dalam pandangan Buber, ia menutup manusia dari manusia lainnya. ‘Perjumpaan’ itu bukan sekadar keikutsertaan manusia dalam sebuah kelompok komunal saja, sebab yang mengikat manusia satu sama lain bukanlah kesepakatan pragmatis saja, melainkan, lebih dari itu, berbagi suatu porsi dari hakikat kemanusiaan itu sendiri—entah ia mau disebut cinta, simpati, atau saling percaya. Dengan demikian, ‘Perjumpaan’ itu berada di luar jangkauan dua ekstrem yang disebutkan di atas itu, karena peristiwa ‘perjumpaan’ adalah peristiwa yang spontan, kebetulan, dan tanpa intensitas. Namun, pada saat ‘perjumpaan’ itu berlangsung, peristiwa itu tidak lagi sebuah kebetulan, melainkan sebuah peristiwa keberlangsungan garis nasib.20 Martin Buber mengumpamakan wa19 Haim Gordon, The Heidegger-Buber Controversy… hlm. 151-152. 20 Arthur A. Cohen, Martin Buber…. hlm. 92-94.
tak ‘perjumpaan’ yang melampaui kutub subjektif dan kutub objektif itu dengan perumpamaan narrow ridge, sebuah jalan sempit di punggung bukit yang terjal. Di kedua sisi narrow ridge itu terbentang jurang berbatu tajam, mewakili rasionalitas dan imajinasi. Memilih satu dari kedua sisi narrow ridge itu, berarti rasionalitas atau imajinasi, sama saja dengan bunuh diri. Dengan perumpamaan narrow ridge ini, Buber ingin mengatakan bahwa peristiwa perjumpaan tidak bisa dilihat dalam sudut pandang objektivitas yang didukung sepenuhnya oleh akal, tidak bisa pula direduksi dalam getaran perasaan pribadi yang subjektif. Lebih dari itu, ‘perjumpaan’ haruslah melampaui keduanya, yakni rasional sekaligus imajinatif. Buber mencontohkan peristiwa ‘perjumpaan’ semacam ini dengan perjumpaan Musa dengan Tuhan.21 MARTIN BUBER DAN FILSAFAT KETUHANAN Telah disebutkan di muka bahwa Martin Buber tidak ingin disebut sebagai seorang teolog meskipun dia memiliki pemahaman keagamaan yang mendalam dan telah menelaah problem-problem agama secara rasional. Di atas juga sudah dijelaskan bagaimana pemikiran meta sika Martin Buber serta terapannya terhadap konsep manusia. Berikut ini adalah implikasi pandangan meta sis Buber terhadap teologi dan konsep ketuhanan. Di atas telah disebutkan bahwa Martin Buber menyebut Tuhan dengan e eternal ou. Dalam kata-kata Buber sendiri: In every sphere in its own way, through each process of becoming that is present to us we look out toward the fringe of the eternal ou; in each we are aware of a breath from the eternal ou; in each ou we address the eternal.22 21 Donald J. Moore, Martin Buber; Prophet of Religious Secularism, (New York: Fordham University Press, 1996), hlm. xxviii-xxx. 22 Martin Buber, I And Thou…. hlm. 6.
Buber menggunakan istilah the eternal ou ini bukan dalam rangka menggantikan istilah Tuhan sebagaimana terdapat dalam kitab-kitab suci, melainkan justru dalam rangka menklari kasi pengertian yang dimaksudkan oleh orangorang beriman ketika mereka menggunakan kata Tuhan. ou ini mengacu pada Tuhan dengan nama atau konsep apapun Dia ditunjuk, bahkan oleh orang yang tidak percaya akan adanya Tuhan sekalipun. Menurut Buber, untuk melakukan “perjumpaan” dengan e Eternal ou, seseorang harus menjadi dirinya yang paling penuh. Selain itu, “pertemuan” ini meniscayakannya untuk mengesampingkan alam indera seakan-akan semua itu hanyalah ilusi dan melampaui pengalaman inderawi. Model “perjumpaan” dengan e Eternal ou seperti yang diajukan oleh Buber ini bukanlah sebuah laku mistik, melainkan sebuah pandangan yang sepenuhnya loso s.23 e eternal ou bisa dialamatkan terhadap setiap tipe perjumpaan I-ou karena ia adalah kekuatan yang mendorong berlangsungnya perjumpaan dialogis, yakni sebuah relasi yang meriung dan merangkul segenap liyan. Dengan demikian, seseorang bisa melakukan ‘perjumpaan’ I-ou dengan makhluk tak-sadar seperti pohon—pohon itu berlandaskan pada Tuhan, yang sebagai the eternal ou, merupakan latar dari segala relasi I-ou. Penyajian Buber mengenai the eternal ou ini mencerminkan dilema tradisional dari teisme. Jika yang ditekankan adalah karakter personal Tuhan, sebagaimana Buber tekankan sendiri ketika dia menyatakan bahwa Tuhan adalah … the ou that by its nature cannot be It (ou yang wataknya tidak bisa menjadi It), muncul kekhawatiran mereduksi Tuhan ke dalam tatanan makhluk terbatas, pribadi di antara pribadi-pribadi. Di sisi lain, jika yang 23 Maurice Friedmann, Martin Buber The Life…. hlm. 70-73.
ditekankan adalah karakter transenden dari Yang Absolut, sebagaimana ketika Buber menyebutnya sebagai the eternal ou, muncul bahaya mereduksi Tuhan ke dalam status ide di mana dimensi personal dari pengalaman keagamaan kemudian hilang. Buber sendiri menolak pandangan bahwa Tuhan itu cuma sekedar ide, bahkan yang paling sublim sekalipun. Bagi Buber, solusi menjembatani dilema antara karakter personal dan transenden Tuhan ini adalah dengan menggunakan bahasa paradoksal, yakni dengan menyebut-Nya sebagai absolute personality, pribadi absolut.24 Paradoks adalah asumsi operatif yang sifatnya fundamental dalam pemikiran Buber. Menurutnya, terdapat korelasi antara bahasa dan pengalaman, tapi korelasi itu berlapis ganda sehubungan dengan karakter ganda dari tindakan I-It dan I-ou. Bahasa koheren memang mencukupi untuk mengekspresikan pengalaman I-It, namun pada saat yang sama ia mendistorsi dimensi terdalam dari realitas yang bisa terungkap dalam perjumpaan Iou. Pikiran bisa mere eksikan dimensi ini secara akurat hanya dengan kesadaran bahwa ia ditransendensikan ke dalam dimensi itu. Oleh karena itu, tak ada jalan lain selain mengakui bahwa semua itu harus direkonsiliasikan dengan bahasa paradoks. Dengan bahasa paradoks, Buber mengungkapkan: Of course God is the “Wholly Other”; but He is also the Wholly Same, the Wholly Present. Of course He is the Mysterium Tremendum that appears and overthrows; but He is also the Mystery of the self-evident, nearer to me than my I.25 ‘Perjumpaan’ haruslah dijalani ketimbang sekedar dipikirkan. Tuhan bisa benar-benar dipahami dalam perjumpaannya dengan the eternal ou. Dengan 24 Martin Buber, I And Thou…. hlm. 242. 25 Ibid, hlm. 79.
demikian, rumusan paradoksal mustilah dekat sebisa mungkin dengan bahasa kitab suci. Dalam hal ini, Buber cukuplah konsisten dengan pendiriannya—bahasa paradoksal dari ‘perjumpaan’ itu adalah ungkapan yang paling tepat dari relasi manusia dengan Tuhannya ketimbang bahasa koheren-rasional. KESIMPULAN Filsafat ketuhanan Martin Buber amat dekat dengan Søren Kirkegaard. Namun keduanya tidak bisa dikatakan identik sebab berangkat dari titik pijak dan konteks keprihatinan yang sangat berbeda. Martin Buber mengawali lsafatnya melalui sebuah upaya untuk menyelesaikan persoalan loso s yang dihadapi oleh jaman modern, di mana perkembangan sains dan teknologi melesat dengan cepatnya. Implikasi perkembangan ini memberikan dampak yang sangat besar terhadap manusia dan kehidupannya, tak terkecuali terhadap kehidupan keagamaan manusia dan relasinya dengan Tuhan. Bagi Buber, perkembangan sains dan teknologi berpusat kepada cara pandang subjek-objek terhadap realitas. Implikasinya, manusia benar-benar berjarak dengan segala sesuatu yang dihadapinya. Lebih dari itu, perlakuan manusia terhadap objek-objek itu pun bertujuan untuk menguasai dan mengeksploitasi—yang oleh Buber sebut sebagai relasi I-It. Hal ini juga berlaku dalam hubungan manusia dengan Tuhannya. Alam pikir dan cara pandang sainti k ini telah merasuk ke segenap kehidupan manusia. Untuk itu, tawaran relasi I-ou oleh Martin Buber adalah sebuah jawaban yang diharapkan bisa menyelamatkan hidup manusia yang terkungkung dalam cara pandang sainti k yang berjarak itu. Tak terkecuali pula dalam hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia telah menjadikan-Nya berada jauh di sana, berjarak, dan tak saling terhubung. Bagi Buber, Relasi I-ou adalah jembatan perjumpaan antara manusia dan Tuhan. []
DAFTAR PUSTAKA Buber, Martin. (1984). I And ou (terjemahan Inggris oleh Ronald Gregor Smith). Edinburgh: T. & T. Clark. ___________. (2002). Between Man and Man (Terjemahan Inggris oleh Ronald Gregor Smith). London: Routledge Classics. Cohen, Arthur A. (1957). Martin Buber. London: Bowes & Bowes Publishers, Ltd. Friedmann, Maurice. (1956). Martin Buber e Life of Dialogue. Chicago: e University of Chicago Press. ___________. (1991). Encounter on e Narrow Ridge: A Life of Martin Buber. New York: Paragon House. Gordon, Haim. (2001). e Heidegger-Buber Controversy: the status of I-ou. United State of America: Greenwood Press. Diamond, Malcolm L. (1991). “Dialogue and eology” dalam Paul Arthur Schlipp dan Maurice Friedmann (eds.). e Philosophy of Martin Buber. United States of America: e Library of Living Philosophers, Inc. Moore, Donald J. (1996). Martin Buber; Prophet of Religious Secularism. New York: Fordham University Press. Wheelright, Philip. (1991). “Buber’s Philosophical Anthropolical” dalam Paul Arthur Schlipp dan Maurice Friedmann (eds.). e Philosophy of Martin Buber. United States of America: e Library of Living Philosophers, Inc. Wood, Robert. (1969). Martin Buber’s Ontology: An Analysis of I and ou, United States of America: Northwestern University Press. Zack, Naomi. (2010). e Handy Philosophy Answer Book. United States of America: Visible Ink Press. “Martin Buber” dalam http://plato.stanford.edu/entries/buber, diunduh pada 1 Juni 2012
PEDOMAN PENULISAN JURNAL PUSAKA: MEDIA KAJIAN DAN PEMIKIRAN ISLAM STAI AL-QOLAM GONDANGLEGI MALANG 1. Penulis bertanggung jawab terhadap isi naskah. Korespondensi mengenai naskah Dialamatkan kepada penulis dengan mencantumkan institusi, alamat institusi, dan email salah satu penulis; 2. Naskah dapat ditulis dalam Bahasa Indonesia, Bahasa Arab atau Bahasa Inggris. ditulis rapi dengan program Microso Word menggunakan font Times New Roman 12, spasi 1,5 pada kertas berukuran A4, dengan margin 2,5 cm, jumlah halaman maksimal 20. Adapun naskah berbahasa Arab menggunakan font Traditional Arabic 14. 3. Naskah yang ditulis dalam Bahasa Indonesia mencantumkan abstrak dalam Bahasa Inggris, sedangkan naskah yang menggunakan Bahasa Arab atau Bahasa Inggris mencamtumkan abstrak dengan Bahasa Indonesia. jumlah kata antara 150 sampai 200. Kata kunci harus dipilih untuk menggambarkan isi makalah dan paling sedikit 3 (tiga) kata kunci 4. Sistematika artikel meliputi: (a) judul, (b) nama penulis (tanpa gelar akademik), nama lembaga/institusi, dan email, (c) abstrak, (d) kata kunci, (e) pendahuluan, (f) bahasan utama, (g) simpulan dan saran, (i) daar rujukan/pustaka (hanya memuat sumber yang dirunjuk), dan (j) lampiran (bila ada) 5. Perujukan dan pengutipan menggunakan teknik rujukan foot-note (catatan kaki) dengan mencantumkan nama penulis, judul rujukan, kota terbit, nama penerbit, tahun, dan halaman. Contoh: M. Amin Abdullah, Studi Agama; Normativitas atau Historisitas?, IV, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hal. 12 6. Penulisan daar pustaka mencantumkan nama penulis, tahun, judul referensi, kota terbit, dan nama penerbit. Contoh: Sayyid Sabiq (2008). Fiqh Sunnah, Juz III, Beirut: Dar al-Fikri Naskah dikirim berupa so copy ke email
[email protected] dan/atau
[email protected]. Penulis menerima bukti pemuatan berupa hasil cetak lepas sebanyak 2 (dua) eksemplar. Naskah yang tidak dimuat tidak akan dikembalikan, kecuali atas permintaan penulis.