PRINT THIS ARTICLE

Download sampah untuk mengurangi beban penumpukan sampah di TPA dengan ... Dalam hal ini, penyelesaian masalah sampah membutuhkan adanya kerja sama ...

0 downloads 184 Views 252KB Size
Jurnal Teknik Industri, Vol. 11, No. 2, Desember 2009, pp. 134-147 ISSN 1411-2485

MODEL DINAMIS PENGELOLAAN SAMPAH UNTUK MENGURANGI BEBAN PENUMPUKAN Isti Surjandari, Akhmad Hidayatno, Ade Supriatna Fakultas Teknik, Departemen Teknik Industri, Universitas Indonesia Kampus UI Depok, Jakarta 16424 Email: [email protected], [email protected], [email protected]

ABSTRAK Tingginya volume sampah yang dihasilkan baik oleh industri maupun masyarakat merupakan permasalahan umum yang dijumpai di hampir semua kota, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta. Disamping dipengaruhi oleh daya beli masyarakat, permasalahan tingginya volume sampah juga dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan penduduk. Permasalahan ini semakin dipersulit dengan terbatasnya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang tersedia. Untuk itu diperlukan suatu alternatif pengelolaan sampah yang dapat menurunkan tingkat penumpukan sampah di TPA. Dalam penelitian ini dilakukan analisis pengelolaan sampah untuk mengurangi beban penumpukan sampah di TPA dengan menggunakan simulasi berdasarkan pendekatan sistem dinamis. Hasil simulasi selanjutnya akan digunakan untuk melihat kelayakan dari setiap alternatif pengelolaan sampah berdasarkan perhitungan Cost-Benefit ratio (B/C), sedangkan untuk mengetahui pandangan masyarakat terhadap alternatif pengolahan sampah (dilihat dari aspek sosial, ekonomi, lingkungan dan teknologi), maka dilakukan pula proses pembobotan dengan Analytic Hierarchy Process (AHP). Sebagai studi kasus dipilih TPA Bantar Gebang yang berfungsi untuk menampung sampah yang dihasilkan oleh DKI Jakarta. Dengan menggunakan simulasi didapatkan proyeksi sampah yang dihasilkan dan akan dibuang ke TPA Bantar Gebang untuk berbagai skenario hingga tahun 2025. Berdasarkan hasil analisa, baik dengan sistem dinamis maupun dengan Analytic Hierarchy Process (AHP) dan Benefit-Cost ratio (B/C), maka sebaiknya pengelolaan sampah di DKI dilakukan secara bertahap, pertama adalah dengan pengomposan dan kemudian dengan incenerator. Kata kunci: kompos, incenerator, recycle, simulasi, sistem dinamis.

ABSTRACT The high volume of waste generated by both industry and society is a common problem found in almost all cities, especially in big cities like Jakarta. It is influenced by purchasing power and level of population growth. This problem become worse with the limited landfill (TPA) which are available. Therefore, it is required for an alternative waste management that can reduce waste level in TPA. The objective of this study is to analyze waste management that can reduce the waste level in TPA using simulation based on dynamic system. Simulation results will then be used to look at the feasibility of each alternative waste management based on Cost-Benefit ratio (B/C), whereas to determine the public's perception of alternative waste treatment (in terms of social, economic, environmental and technological aspects), a weighting process will be done using the Analytic Hierarchy Process (AHP). TPA Bantar Gebang which serves to accommodate waste generated in Jakarta was chosen as a case study. Using simulation, projection of waste disposed to TPA Bantar Gebang for different scenarios to the year 2025 were obtained. Based on the dynamic simulation, AHP, and B/C analysis, the study shows that the waste management should be done in two stages, first is by composting and then with incenerator. Keywords: composting, incinerator, recycle, simulation, dynamic system.

134

Isti, S. et al. / Model Dinamis Pengelolaan Sampah / JTI, Vol.11, No.2, Desember 2009, pp. 134-147

1. PENDAHULUAN Tingkat pertumbuhan penduduk sangat berpengaruh pada volume sampah yang merupakan hasil dari konsumsi penduduk. Sebagai kota metropolitan, Jakarta pada tahun 1985 menghasilkan sampah sejumlah 18500 m3 per hari dan pada tahun 2000 meningkat menjadi 25700 m3 per hari. Jika dihitung dalam setahun, maka volume sampah tahun 2000 mencapai 170 kali besar Candi Borobudur (volume Candi Borobudur = 55000 m3). Luas lahan yang tersedia adalah 108 ha, TPA Bantar Gebang Bekasi harus menampung 6000 ton per hari (setara dengan 25650 m3). Sampah 6000 ton tersebut yang dapat di recycle atau diolah kembali hanya sebesar 1000 ton per hari dan dari 1000 ton tersebut hanya 450 ton saja yang dapat di olah kembali (Walhi, 2006). Dalam hal ini, penyelesaian masalah sampah membutuhkan adanya kerja sama yang baik antara semua pihak yang terkait. Paradigma pengelolaan sampah juga harus didasarkan pada konsep pengelolaan sampah yang mendukung prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Dalam hal ini, pemerintah sebagai regulator harus bisa memayungi permasalahan sampah dengan baik dan benar. Berkaitan dengan permasalahan sampah di DKI Jakarta, maka Pemerintah daerah (Pemda) DKI Jakarta perlu mencari alternatif pengelolaan sampah. Alternatif tersebut diharapkan dapat mempermudah Pemda DKI Jakarta untuk memperoleh kebijakan pengelolaan sampah yang bukan hanya meminimalkan penumpukan sampah tetapi juga mempertimbangkan berbagai aspek terkait, seperti sosial, ekonomi, lingkungan dan teknologi. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kebijakan yang sebaiknya diambil oleh Pemda DKI Jakarta dalam pengelolaan sampah dengan menggunakan simulasi sistem dinamis (dynamic system simulation). Sebagai studi kasus dipilih Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gebang. Hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan dalam pengelolaan sampah di TPA Bantar Gebang, sehingga tidak terjadi penumpukan sampah yang akan berakibat meningkatnya polusi air, tanah dan udara. 2. METODE PENELITIAN Penelitian ini akan menggunakan simulasi berdasarkan sistem dinamis dan Analytic Hierarchy Process (AHP) untuk menganalisis alternatif pengelolaan sampah yang dapat mengurangi tingkat penumpukan sampah di TPA Bantar Gebang. Sistem dinamis merupakan suatu cara berpikir tentang sistem sebagai jaringan yang saling behubungan yang mempengaruhi sejumlah komponen yang telah ditetapkan dari waktu ke waktu. Simulasi merupakan prosedur kuantitatif yang menggambarkan suatu proses dengan mengembangkan suatu model dan menerapkan serangkaian uji coba terencana untuk memprediksikan tingkah laku proses sepanjang waktu, sehingga analisis dapat dilakukan untuk sistem yang baru tanpa harus membangunnya atau merubah sistem yang telah ada, serta tidak perlu mengganggu operasi dari sistem tersebut. Pada umumnya simulasi digunakan untuk model-model dinamis yang melibatkan periode waktu ganda (Randers, 2000). Simulasi untuk berbagai alternatif pengelolaan sampah ini akan dilakukan dengan berbagai skenario untuk melihat proyeksi penurunan tingkat penumpukan sampah di TPA Bantar Gebang hingga tahun 2025. Hasil simulasi selanjutnya akan digunakan untuk melihat kelayakan dari setiap alternatif pengelolaan sampah berdasarkan perhitungan Break Event Point (BEP), Cost-Benefit ratio (B/C), dan Return Investment (ROI). Jika sistem dinamis hanya menggambarkan keterkaitan komponen-komponen dalam sistem pengolahan sampah tanpa mempertimbangkan keinginan masyarakat, maka AHP diharapkan dapat menutupi kelemahan ini. Kuesioner diberikan kepada beberapa responden (konsultan, manajer kontraktor pengolahan sampah, dinas kebersihan DKI Jakarta) untuk mengetahui pandangan masyarakat terhadap alternatif pengolahan sampah (dilihat dari aspek sosial, ekonomi, 135

Isti, S. et al. / Model Dinamis Pengelolaan Sampah / JTI, Vol.11, No.2, Desember 2009, pp. 134-147

lingkungan dan teknologi). Hasil kuesioner ini kemudian diolah guna mendapatkan pembobotan dengan menggunakan AHP untuk selanjutnya dilakukan analisis sensitivitas terhadap alternatif pengolahan sampah yang di pandang layak oleh masyarakat melalui bobot tertinggi (Saaty, 1999). Penggunaan sistem dinamis, AHP dan juga B/C diharapkan dapat memberikan gambaran secara utuh baik dari segi komponen pengolahan sampah, finansial maupun keinginan masyarakat. Hal ini yang membedakan penelitian ini dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang hanya melihat sistem pengolahan sampah dari sudut pandang tertentu saja dan tanpa menggunakan sistem dinamis; seperti penelitian Amurwaraharja (2003) tentang pengolahan sampah yang hanya melihat dari sudut pandang masyarakat, atau penelitian yang dilakukan oleh Fitria (Fitria et al., 2009) yang membahas mengenai penentuan rute truk pengumpulan dan pengangkutan sampah dengan menggunakan Vehicle Routing Problem. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Model Pengolahan Sampah Sebelum pembuatan model pengolahan sampah, perlu diketahui beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya timbunan sampah. Hal ini diperlukan untuk pembuatan causal loop seperti terlihat pada Gambar 1. Causal loop selanjutnya menjadi dasar kerangka berpikir dalam pembuatan model pengelolaan sampah. Model pengolahan sampah dibuat dengan menggunakan bantuan perangkat lunak Powersim. Model ini dibuat berdasarkan empat alternatif pengolahan sampah, yaitu: recycle (daur ulang), landfill, pengomposan dan incenerator (pembakaran). Diagram ini meliputi unsur (sistem proses descriptors) dan panah, yang dikenal sebagai mata rantai causal, yang menghubungkan berbagai unsur bersama-sama. Hubungan causal antara satu unsur dengan unsur lain adalah positif jika perubahan ini bersifat bersamaan, artinya jika A meningkat maka menyebabkan peningkatan B, atau sebaliknya, jika terjadi penurunan A maka akan menyebabkan penurunan B pula. Hubungan ini disebut same direction (s). Sebaliknya jika hubungan causal antara satu unsur dengan unsur lain adalah negatif, maka jika terjadi peningkatan terhadap unsur A akan menyebabkan penurunan unsur B. Hubungan ini disebut juga dengan opposite direction (o) (Deaton, 2000). Pada penelitian ini faktor-faktor yang dipilih lebih dititik beratkan pada metode pengolahan sampah. Peningkatan jumlah penduduk yang dibarengi dengan peningkatan jumlah sampah akan mempengaruhi jumlah sampah yang harus dipilah agar proses pengolahan lebih mudah, baik berdasarkan jenis sampah (sampah organik dan anorganik) maupun manfaatnya (untuk recycle, kompos, dan sebagainya). Sebagai alternatif pengolahan, recycle memanfaatkan sampah anorganik, dan proses ini sebenarnya hanya menunda atau mencegah material sampah anorganik menumpuk di TPA. Sedangkan kompos memanfaatkan sampah organik dan mampu mereduki sampah sebesar 62,5% dari total sampah (jumlah sampah anorganik dengan organik). Pembakaran atau incenerator dapat mereduksi 84% dari total sampah, dan abu hasil pembakaran dapat dimanfaatkan untuk pembuatan batako. Proses-proses ini dapat menekan laju timbunan sampah di TPA Bantar Gebang.

Produk yang mempunyai nilai komersial dapat dijual dan menghasilkan profit sebagai pemasukan bagi pihak pengelola baik Pemda maupun swasta. Hal ini dapat pula merangsang minat swasta untuk menginvestasikan dananya dalam hal pengadaan teknologi baru pengolah sampah. Pengolahan sampah juga membutuhkan biaya operasional seperti gaji tenaga kerja. Biaya operasional ini akan mengurangi profit yang didapat (Prakosa, 2003).

136

Isti, S. et al. / Model Dinamis Pengelolaan Sampah / JTI, Vol.11, No.2, Desember 2009, pp. 134-147

Pendapatan Pemerintah Daerah

S Peraturan Pemerintah (PP) No. 16 Tahun 2005

S S

S

S

Jumlah Operator Swasta

Investasi Persampahan

Teknologi Pengolahan sampah

O

S

Perda no 3 Pasal 110 ttg Retribusi

S

S

Retribusi

UU/Perda ttg kewajiban memilah

O O

S

O

S

Minat Investasi Persampahan

Biaya Pengolahan Sampah

S S

Provitabilitas S

S S

Jumlah minat Penduduk masyarakat untuk memilah

Jumlh Sampah yg dihasilkan

Pendapatan hsl penjualan produk dr sampah

S S

Volume sampah yg terpilah

Jumlah sampah Anorganik

S

S

Jumlah masyarakat yg memilah

S

S S

S S

Jumlah sampah organik

S

sampah tak terolah

O

Jumlah Penjualan Produk dari sampah

Jumlah sampah yg dibakar

Jumlah Produk Komersial Dari Sampah

O

S

S S

Timbunan sampah di TPA/TPS S

S

Jumlah Sampah yg direcycle

S

S

JUMLAH SAMPAH DI TPA/TPS

S

jumlah abu yg dihslkan utk batako

S

Jumlah sampah yg dibuat kompos

Gambar 1. Causal loop diagram Berdasarkan causal loop di atas, maka kemudian model dibangun dari empat unsur fundamental building blocks, seperti terlihat pada Tabel 1, sedangkan Gambar 2 memperlihatkan ilustrasi untuk proses pertumbuhan sampah. Tabel 1. Fundamental building blocks untuk pembentukan model Nama Level Flows

Gambaran Komponen sistem dimana sesuatu terakumulasi. Isi dari reservoir atau level mungkin naik atau turun seiring waktu. Aktivitas yang menentukan nilai reservoir atau level.

Simbol

Rate_1

Auxilary Konstanta Link

Sistem yang menentukan tingkat proses beroperasi dan reservoir/level berubah. Variabel dasar yang merupakan nilai tetap atau tidak bervariasi, kecuali ada input kontrol. Penentuan hubungan cause effect antara komponen yang berbeda dari sistem. 137

Isti, S. et al. / Model Dinamis Pengelolaan Sampah / JTI, Vol.11, No.2, Desember 2009, pp. 134-147

Pertumbuhan Sampah

Pembuangan di sumber sampah

Pengumpulan sampah dari sumbernya

Sampah per orang Rate_1

Rate_1

Penduduk

Gambar 2. Ilustrasi pertumbuhan sampah Ilustrasi pada Gambar 2 menggambarkan akumulasi dari jumlah penduduk yang dikalikan dengan sampah per orang akan mempengaruhi pertumbuhan sampah yang terus berakumulasi pada pembuangan di sumber sampah tersebut yang selanjutnya akan dikumpulkan kembali untuk masuk pada proses selanjutnya. Pengembangan ilustrasi tersebut dengan tetap berdasarkan pada causal loop diagram yang ada, maka dibuatlah model pengolahan sampah seperti ditunjukkan pada Gambar 3, 4, 5 dan 6 berikut. 1. Pengolahan Sampah dengan Landfill Pada Landfill sebenarnya sampah tidak dimusnahkan secara langsung, namun dibiarkan membusuk menjadi bahan organik. Metode penumpukan bersifat murah dan sederhana, tetapi menimbulkan beberapa risiko antara lain: berjangkitnya penyakit menular, menyebabkan pencemaran (terutama bau dan kotoran) (Kholil, 2006).

Gambar 3. Model pengolahan sampah dengan landfill

138

Isti, S. et al. / Model Dinamis Pengelolaan Sampah / JTI, Vol.11, No.2, Desember 2009, pp. 134-147

Gambar 4. Model pengolahan sampah dengan recycle 2. Pengolahan Sampah dengan Recycle Merupakan salah satu strategi pengelolaan sampah padat yang terdiri atas kegiatan pemilahan, pengumpulan, pemrosesan, pendistribusian dan pembuatan produk/material bekas pakai. Proses recycle dipengaruhi oleh faktor fraksional (persentase) kemampuan memilah, waktu pengiriman dan waktu pengolahan. Sifat dari recycle adalah menunda penumpukan sampah yang sifatnya anorganik, maka lambat laun hasil atau produknya pun akan menjadi sampah kembali. Sampah anorganik yang berjumlah 44%, jika recycle sampah sebesar 25% dari jumlah sampah yang ada ditambah dengan peran pemulung yang melakukan pengangkutan untuk recycle secara informal sebesar 5 ton/bulan per orang, dan diasumsikan delay 6 bulan, maka proses recycle mampu menekan masuknya sampah yang dihasilkan masyarakat. Sebagai contoh proyeksi pada tahun 2025, sampah yang dihasilkan sebesar 83528 ton/bulan atau 1002348 ton pada tahun tersebut, hanya 636877 ton yang masuk ke TPA Bantar Gebang dengan adanya recycle. 3. Pengolahan Sampah dengan Kompos Pengolahan sampah dengan pengomposan merupakan cara penumpukan sampah pada lubang kecil dalam jangka waktu tertentu untuk menghasilkan pupuk yang alamiah atau proses dekomposisi yang dilakukan oleh mikroorganisme terhadap buangan organik yang biodegradable (Subandi, 2006). Pemanfaatannya dapat membantu DKI Jakarta yang mempunyai program hutan kota. Selain itu, lokasi tanam yang semakin berkurang di rumahrumah masyarakat membutuhkan media tanam lain sebagai penyubur tanaman. Hasil pengomposan dapat digunakan sebagai unsur hara untuk penanaman dalam pot. Kompos yang terbuat dari sampah organik dapat pula berfungsi untuk mereduksi timbunan sampah. Mengingat 55% sampah penduduk DKI Jakarta adalah sampah organik, maka pembuatan kompos akan mengurangi suplai sampah ke TPA Bantar Gebang. Sama halnya dengan recycle, pengomposan juga membutuhkan pemilahan. Perbedaannya adalah hasil ataupun produk pengomposan ini tidak kembali menjadi sampah. Komposisi sampah penduduk DKI Jakarta rata-rata menghasilkan 55,5% sampah organik dari total sampah yang dihasilkan (26264 m³/tahun). Jika sampah organik tersebut mampu diolah seluruhnya, maka akan dapat 139

Isti, S. et al. / Model Dinamis Pengelolaan Sampah / JTI, Vol.11, No.2, Desember 2009, pp. 134-147

menurunkan jumlah sampah di TPA Bantar Gebang. Sebagai contoh pada tahun 2025 diproyeksikan akan terdapat 5 ton sampah, turun sebesar 807412 ton jika dibandingkan dengan pengolahan sampah dengan landfill (pada tahun 2025 sampah di TPA sebesar 795088 ton). Artinya, pengolahan sampah menjadi kompos ini mampu mereduksi sampah di TPA sebesar 21,56%.

Gambar 5. Model pengolahan sampah dengan kompos 4. Pengolahan Sampah dengan Incenerator Cara ini mampu mengurangi timbunan sampah di TPA Bantar Gebang sebesar 62,6%. Metode ini dapat dilakukan hanya untuk sampah yang dapat dibakar habis. Harus diusahakan jauh dari pemukiman untuk menghindari pencemaran (asap dan bau) dan kebakaran. Pembakaran sampah menghasilkan dioksin, yaitu ratusan jenis senyawa kimia berbahaya, yang mampu memperpanjang umur zona landfill dari dua tahun menjadi 4,5 tahun. Pada model yang ditunjukan pada Gambar 6, terlihat bahwa incenerasi dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti waktu pengiriman dan fraksional atau persentase pembakaran. Kecepatan pengolahan sampah ini akan mengurangi beban penumpukan sampah di TPA Bantar Gebang. Jika sampah yang diolah semakin banyak maka akan mengurangi sampah yang akan dibuang ke TPA Bantar Gebang, sehingga semakin rendah suplai sampah ke TPA dan semakin lama pula zona yang akan dipakai sebagai wadah landfill. Berbeda dengan recycle dan pengomposan yang hanya bisa dilakukan terhadap sampah anorganik atau organik saja, incenerator dapat dilakukan terhadap kedua jenis sampah tersebut, kecuali anorganik yang bersifat logam dan kaca, karena itu pula penurunan jumlah sampah di TPA dengan incinerator cukup signifikan. 140

Isti, S. et al. / Model Dinamis Pengelolaan Sampah / JTI, Vol.11, No.2, Desember 2009, pp. 134-147

Gambar 6. Model pengolahan sampah dengan incenerator Kondisi normal pengolahan sampah dengan recycle memerlukan waktu pengangkutan 2 minggu sekali (0,5 bulan), waktu daur ulang satu minggu sekali (0,25 bulan) dengan asumsi sampah yang dapat diolah 100% dari sampah anorganik yang berjumlah 44% penumpukan sampah dapat dikurangi sebesar 20%. Pada skenario baru, waktu suplai di percepat yaitu satu minggu sekali atau 0,25 bulan, sedangkan waktu daur ulang dan fraksional daur ulang diasumsikan tetap. Skenario baru recycle mampu mengurangi penumpukan sampah sebesar 30,4% atau 10,4% lebih besar dari kondisi normal. Begitu pula dengan pengolahan sampah lainnya. Besar variabel antara kondisi normal dan skenario baru seperti terlihat pada Tabel 2, menghasilkan persentase pengurangan timbunan sampah di TPA Bantar Gebang yang berbeda. Perbedaan ini dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 7. 70%

66.10% 62.10%

66.10% 63.80%

63.00%

64.50%

66%

65.80% 66%

60% 52.20%

Persentase Penurunan sampah

50% 40% 30.40%

30% 20%

22.80%

21.60%

20% 10% 0% Recycle

Kompos

Incenerasi

Recycle, Recycle Recycle kompos dan dan kompos dan dan kompos Incenerasi Incenerasi Incnerasi

Alternatif Pengolahan Sampah Persentase Pengurangan Sampah Perubahan Konidisi Persentase Pengurangan Sampah Kondisi

Gambar 7. Perbandingan penurunan sampah pada kondisi normal dengan baru 141

Isti, S. et al. / Model Dinamis Pengelolaan Sampah / JTI, Vol.11, No.2, Desember 2009, pp. 134-147

Tabel 2. Skenario pengolahan sampah pada kondisi normal dan baru Alternatif pengolahan Recycle

Kompos Incenerasi Recycle, kompos dan incenerasi

Recycle dan kompos

Recycle dan incenerasi

Kompos dan incenerasi

Variabel Waktu daur ulang Waktu suplai untuk recycle Kapasitas pemulung per orang Fraksional daur ulang Waktu produksi kompos Fraksional kompos Fraksional incenerator Waktu pengiriman Waktu produksi kompos Waktu daur ulang Waktu suplai untuk recycle Fraksional daur ulang Fraksional kompos Kapasitas pemulung per orang Fraksional incenerator Waktu pengiriman Waktu produksi kompos Waktu daur ulang Waktu suplai untuk recycle Fraksional daur ulang Fraksional kompos Waktu daur ulang Waktu suplai untuk recycle Fraksional daur ulang Fraksional incenerator Waktu pengiriman Waktu produksi kompos Fraksional kompos Kapasitas pemulung per orang Fraksional incenerator Waktu pengiriman

Kondisi normal 0,25 bulan 0,5 bulan 0,01 0,04 1 bulan 55% 84% 0,25 bulan 1 bulan 0,25 bulan 0,5 bulan 2% 13% 0,01 84% 0,25 bulan 1 bulan 0,25 bulan 0,5 bulan 30 % 55 % 0,25 bulan 0,5 bulan 0,15 84% 0,25 bulan 1 bulan 15% 0,01 84% 0,25 bulan

Skenario baru 0,25 bulan 0,25 bulan 0,01 0,44 0,25 bulan 55%

84% 0,25 bulan 0,25 bulan 0,25 bulan 0,5 bulan 2% 0,13 0,001 0,84 0,25 0,25 bulan 0,25 bulan 0,5 bulan 44 % 55 % 0,25 bulan 0,25 bulan 0,15 84% 0,25 bulan 0,25 bulan 15% 0,01 84% 0,25 bulan

Tabel 3. Proyeksi tingkat penurunan sampah di TPA pada kondisi normal dan baru Alternatif pengolahan Recycle Kompos Incenerasi Recycle, kompos dan incnerasi Recycle dan kompos Recycle dan incenerasi Kompos dan incenerasi

Persentase pengurangan sampah normal 20,0 21,6 62,1 63,8 22,8 64,5 65,8

Persentase pengurangan sampah baru 30,4 52,2 66,1 66,1 63,0 66,0 66,0

Perbandingan persentase penurunan sampah di TPA pada kondisi normal dengan kondisi perubahan skenario di tunjukkan pada Gambar 7, dimana terlihat penurunan sampah yang cukup signifikan. 142

Isti, S. et al. / Model Dinamis Pengelolaan Sampah / JTI, Vol.11, No.2, Desember 2009, pp. 134-147

3.2 Analisis Sensitivitas Hasil Studi AHP Setelah disusun hirarki proses pengolahan sampah berdasarkan empat aspek (sosial, ekonomi, lingkungan dan teknologi) dengan masing-masing aspek terdiri dari empat alternatif (recycle, kompos, landfill dan incenerator) seperti terlihat pada Gambar 8, disusunlah kuesioner untuk mengetahui sudut pandang masyarakat terhadap pengolahan sampah. Kemudian dilakukan pengolahan data dengan metode AHP untuk menentukan skala prioritas pengolahan sampah menurut masyarakat dilihat dari empat aspek tersebut. Hasil pembobotan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak expert choice, memperlihatkan bahwa aspek sosial mempunyai preferensi yang paling tinggi (53,8%), diikuti dengan aspek lingkungan (26%), ekonomi (14,3%) dan teknologi (5,9%). Adapun skala prioritas alternatif pengolahan sampah yang tertinggi adalah pengomposan (42,5%), recycle (30,2%), incenerator (21,5%) dan landfill (5,8%). Hasil análisis sensitivitas memperlihatkan bahwa tidak ada perubahan pada alternatif pengolahan sampah berdasarkan pendapat masyarakat seperti ditunjukkan pada Gambar 9. Dengan kata lain, masyarakat tetap berpendapat bahwa pengomposan merupakan alternatif utama yang sebaiknya dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta dalam pengolahan sampah. Analisis sensitivitas dilakukan terhadap empat aspek, yaitu sosial, lingkungan, ekonomi dan teknologi. Jika diasumsikan di masa depan terjadi peningkatan preferensi terhadap aspek sosial sehingga nilai bobot aspek sosial mencapai 82,8%, maka alternatif pengomposan merupakan prioritas utama yang sebaiknya diterapkan dalam kegiatan pengolahan sampah di Jakarta dengan nilai bobot 41,1%. Hal ini berarti bahwa jika kondisi yang dihadapi mengharuskan penentuan teknologi pengolahan sampah dititik beratkan kepada membuka kesempatan kerja, meminimalkan potensi konflik yang mungkin terjadi, menciptakan peluang berusaha bagi masyarakat, membuka peluang kepada sektor informal dan formal untuk terlibat, serta dapat meningkatkan peran serta masyarakat, maka pengomposan adalah prioritas utama untuk diterapkan di DKI Jakarta. Keterangan A1 Penyerapan tenaga kerja A2 Potensi konflik dengan masyarakat rendah A3 Menumbuhkan lapangan usaha A4 Menumbuhkan sektor formal dan/atau informal A5 Penguatan peran serta masyarakat A6 Investasi rendah A7 Biaya operasional rendah A8 Menghasilkan PAD yang tinggi A9 Minimal dalam menimbulkan pencemaran air A10 Minimal dalam menimbulkan pencemaran udara dan bau A11 Minimal dalam menimbulkan pencemaran tanah A12 Minimal dalam menimbulkan habitat bibit penyakit A13 Minimal dalam menurunkan estetika/keindahan lingkungan A14 Kesesuaian dengan arahan pengembangan kota A15 Tingkat efektifitas dalam mengurangi tumpukan sampah A16 Dapat mengatasi masalah keterbatasan lahan A17 Ketersediaan lokasi A18 Ketersediaan teknologi A19 Kemudahan penerapan teknologi (kemudahan operasional) A20 Ketersediaan SDM yang memahami teknologi A21 Pemanfaatan sumberdaya

Gambar 8. Model AHP alternatif pengolahan sampah 143

Isti, S. et al. / Model Dinamis Pengelolaan Sampah / JTI, Vol.11, No.2, Desember 2009, pp. 134-147

Sensitivitas Terhadap Peningkatan Preferensi Aspek Sosial

Sensitivitas Terhadap Peningkatan Preferensi Aspek Teknologi

Sensitivitas Terhadap Peningkatan Preferensi Aspek Lingkungan

Sensitivitas Terhadap Peningkatan Preferensi Aspek Ekonomi

Gambar 9. Analisis sensitifitas aspek sosial, lingkungan, ekonomi dan teknologi Jika diasumsikan terjadi peningkatan preferensi aspek lingkungan sedemikian rupa sehingga secara kuantitif nilai bobotnya mencapai 52,3% dari preferensi awal (26,0%), ternyata pengomposan tetap memiliki nilai bobot tertinggi yaitu 42,5%. Hal ini menunjukkan, jika pada suatu saat pertimbangan terpenting dalam menentukan jenis pengolahan sampah di Jakarta adalah aspek lingkungan, yang berarti pula aspek sosial, ekonomi, dan teknis relatif tidak menjadi masalah, maka pengomposan merupakan teknologi yang menjadi prioritas utama untuk diterapkan. Demikian pula pada analisis sensitifitas terhadap aspek teknologi dan ekonomi, analisis sensitivitas yang dilakukan terhadap aspek teknologi menunjukkan bahwa jika nilai bobot aspek tersebut meningkat dari 5,9% menjadi 50%, maka nilai bobot pengomposan akan mencapai 42% dan merupakan prioritas utama. Kondisi seperti ini mengindikasikan aspek teknis menjadi pertimbangan yang paling utama dalam menentukan teknologi. Analisis sensitivitas yang dilakukan terhadap aspek ekonomi menunjukkan bahwa jika nilai bobot aspek ekonomi meningkat dari 14,3% hingga mencapai 50%, maka nilai bobot pengomposan akan mencapai 46,4% dan merupakan prioritas utama. Hal ini menunjukkan bahwa pertimbangan ekonomi sangat kuat mendominasi keputusan penentuan pengolahan sampah. Meningkatnya preferensi aspek ekonomi akan meningkatkan nilai bobot pengomposan. Jika pertimbangan investasi yang rendah, biaya operasional yang rendah, dan kemungkinan menghasilkan PAD menjadi titik berat penentuan teknologi pengolahan sampah di DKI Jakarta, maka prioritas utama alternatif pengolahan sampah jatuh pada pengomposan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa skala prioritas penentuan pengolahan sampah di Jakarta relatif tidak sensitif terhadap peningkatan preferensi aspek ekonomi. 144

Isti, S. et al. / Model Dinamis Pengelolaan Sampah / JTI, Vol.11, No.2, Desember 2009, pp. 134-147

3.3 Cost to Profit Sebuah perkembangan dalam pengelolaan sampah adalah merubah paradigma dari pembiayaan menjadi profit atau sarana untuk mendapatkan keuntungan. Dengan demikian pengolahan sampah harus menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bukan hanya untuk mereduksi jumlah sampah untuk mengurangi pencemaran air, udara dan tanah,akan tetapi juga dapat bermanfaat terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat. Ada beberapa pengolahan sampah yang dapat dikembangkan untuk menghasilkan produk yang mempunyai nilai jual, yaitu pengomposan, recycle (daur ulang), dan waste to energy (sampah untuk energi). Tabel 4 memperlihatkan hasil perhitungan kelayakan untuk pengomposan, recycle, dan waste to energy. Secara keseluruhan biaya operasi atau produksi untuk membuat satu ton kompos adalah sebesar Rp 355.500, sedangkan harga kompos Rp 500/kg. Dalam hal ini, kondisi Break Event Point (BEP) dapat dicapai jika penjualannya mencapai 711 ton. Sedangkan dilihat dari sudut Benefit-Cost ratio (B/C) yang merupakan perbandingan hasil penjualan dengan biaya operasi adalah sebesar 1,41%, artinya dengan biaya operasi Rp 355.500 akan mendapatkan keuntungan 1,41 kalinya. Hal ini menunjukkan bahwa pengomposan sangat layak dilaksanakan. Sedangkan ditinjau dari Return of Invesment (ROI) yang merupakan ukuran perbandingan antara keuntungan dengan biaya operasi, didapatkan nilai ROI sebesar 0,406, artinya untuk setiap Rp 100 yang dikeluarkan akan didapatkan keuntungan Rp 0,406. Jika diasumsikan 55% atau 330 ton (55% x 6000 ton) sampah penduduk DKI Jakarta dijadikan kompos, maka akan didapat keuntungan sebesar Rp 867.000 dalam sehari. Pemda DKI Jakarta bukan hanya dapat mereduksi timbunan sampah tetapi dapat menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD). Untuk sampah organik, maka alternatifnya adalah mengolah kembali menjadi suatu produk. Hal ini sudah dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta dengan pilot project di daerah Cempaka Putih dan Rawa Sari. Tabel 4 memperlihatkan hasil perhitungan kelayakan jika daur ulang dilaksanakan. Tabel 4 memperlihatkan bahwa Benefit-Cost ratio (B/C) untuk recycle mempunyai nilai lebih kecil dari 1, artinya recycle lebih baik tidak dilaksanakan karena biaya operasional lebih besar dari hasil penjualan. Selisih hasil penjualan dengan biaya operasi adalah –Rp 9.945.947 sehingga jika akan dilaksanakan harus mendapatkan subsidi sebesar Rp 10.000 yang bisa didapat dari retribusi kebersihan. Terdapat dua alternatif untuk pengolahan sampah menjadi energi, yaitu energi yang memanfaatkan gas methana (yang dihasilkan akibat penumpukan sampah), dan yang kedua adalah energi yang dihasilkan dengan memanfaatkan panas dari hasil pembakaran atau incenerator. Perhitungan kelayakan pelaksanaan waste to energy dilakukan dengan alternatif yang kedua. Hal ini dikarenakan alternatif pertama tidak memberikan dampak pada reduksi sampah di TPA dan gas methana yang dihasilkan relatif lama (± 3 tahun). Keseluruhan biaya operasi atau produksi untuk membuat satu MWatt listrik adalah sebesar Rp 433.000.000 dengan harga listrik Rp 450/kg. Satu MWatt listrik yang dihasilkan mampu memenuhi 10.000 pelanggan dengan pemakaian rata-rata 100 Kwh per bulan dan voltase rumah tangga 450 – 900 VA. Keuntungan yang akan didapat adalah sebesar Rp 16.000.000. Dilihat dari Benefit-Cost ratio (B/C) yang merupakan perbandingan hasil penjualan dengan biaya operasi adalah 1,037%, artinya dengan biaya operasi sebesar Rp 433.000.000 akan didapatkan keuntungan 1,037 kalinya. Sehingga waste to energi sangat layak dilaksanakan. Sedangkan ditinjau dari Return of Invesment (ROI) yang merupakan ukuran perbandingan antara keuntungan dengan biaya operasi, didapatkan nilai ROI sebesar 3,687; artinya untuk setiap Rp 100 yang dikeluarkan akan didapatkan keuntungan Rp 3,687. 145

Isti, S. et al. / Model Dinamis Pengelolaan Sampah / JTI, Vol.11, No.2, Desember 2009, pp. 134-147

Tabel 4. BEP, B/C rasio, ROI untuk pengomposan, recycle dan waste to energy (WTE) Uraian Bahan baku Tenaga kerja Listrik Bahan bakar Maintenance Depresiasi unit Biaya produksi Harga /kg Hasil penjualan Saldo BEP B/C ROI

Pengomposan Rp Rp Rp Rp Rp Rp Rp

74.500 20.000 100.000 150.000 10.000 10.000 355.500

/ ton / ton / ton / ton / ton / ton / ton

Rp 500.000 / ton Rp 144.500 / ton 711 1,406469761 0,406

Jumlah Recycle Rp 1.684.000 Rp 15.000.000 Rp 1.400.000 Rp 750.000 Rp 650.000 Rp 461.970 Rp 19.945.970 Rp 10.000 10.000.000 (9.945.970) 1.994,60 0,50 (49,86)

Waste to energy Rp 8.500.000 Rp 30.000.000 Rp 280.000.000 Rp 112.500.000 Rp 3.000.000 Rp 434.000.000 Rp 450 Rp 450.000.000 Rp 16.000.000 1.000.000 1,037 3,687

4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisa, baik dengan sistem dinamis maupun skala prioritas AHP serta Benefit-Cost ratio (B/C), maka sebaiknya pengelolaan sampah yang dilakukan oleh pemerintah daerah DKI Jakarta dilakukan secara bertahap, pertama adalah dengan pengomposan. Hal ini didasarkan pada pertimbangan dari permasalahan yang ada (pencemaran, penolakan dari masyarakat, dan lain sebagainya), dan pertimbangan dari setiap kriteria dari semua aspek (terutama aspek sosial yang mempunyai preferensi terbesar dibanding dengan aspek yang lain yaitu 53,8%), dan juga berdasarkan kelayakan investasi (B/C rasio sebesar 1,41), serta faktor penurunan tumpukan sampah yang cukup tinggi. Kedua adalah dengan incenerator. Pengolahan sampah dengan incenerator dapat dilakukan setelah adanya sosialisasi kepada masyarakat, sehingga potensi konflik dapat diredam disamping potensi pemanfaatan yang positif baik dilihat dari kelayakan investasi dengan nilai Benefit-Cost ratio (B/C) lebih besar dari satu (1,04) maupun efektivitas penurunan timbunan sampah (66%). DAFTAR PUSTAKA Amurwaraharja, I. P., 2003. Analisis Teknologi Pengolahan Sampah dengan Proses Hirarki Analitik dan Metoda Valuasi Kontingensi, Tesis Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Subandi, D., 2006, Sampah, sesuatu yang “terlupakan” namun berdaya guna, Working Paper K3LH, PT. Pupuk Kaltim, TBK. Deaton M. L., and Winebrake, J. J., 2000. Dynamic Modeling of Environmental System, Springer Verlag Publication, New York. Fitria, L., Susanty, S. dan Suprayogi, 2009, ”Penentuan Rute Truk Pengumpulan dan Pengangkutan Sampah di Bandung.” Jurnal Teknik Industri, Vol. 11, No. 1, pp. 51-60.

Kholil, 2005. Rekayasa Model Dinamik Untuk Pengolahan Sampah Berbasis Zero Waste Studi Kasus di Jakarta Selatan, Disertasi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 146

Isti, S. et al. / Model Dinamis Pengelolaan Sampah / JTI, Vol.11, No.2, Desember 2009, pp. 134-147

Prakosa, D., 2003. ”Partisipasi Masyarakat Kawasan Terbangun terhadap Kebijakan Pengelolaan Sampah Pemerintah Kota Semarang (Studi Kasus Perumahan Aryamukti Semarang).” Jurnal Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro, Vol. 1, No. 2, pp. 15-24.

Randers, J., 2000. Guidelines for Model Conceptualization, Modeling for Management 11: Simulation in Suport of System Thinking, Darmouth Publishing Co. Ltd. Vermount, USA. Saaty, T. L., 1999. The Seven Pillars of the Analytic Hierarchy Process, University of Pittsburgh, USA. Walhi, 2006. Sampah, Sesuatu yang Terlupakan, diunduh dari http://www.walhi.or.id, pada 25 Oktober 2006.

147