PROPOSAL PENELITIAN - EPRINTS SRIWIJAYA UNIVERSITY

Download kegiatan pertanian dan perkebunan. 5. Mengidentifikasi potensi rehabilitasi sumberdaya lahan di sekitar pemukiman yang telah rusak untuk ke...

0 downloads 335 Views 2MB Size
BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sumatera Selatan mempunyai kawasan bergambut seluas 1,4 juta ha atau 16,3 % dari luas wilayah, dan kondisi tersebut merupakan salah satu sumberdaya alam yang

potensial untuk dikelola dan dimanfaatkan bagi kepentingan dan

kesejahteraan seluruh masyarakat. Pengambilan kayu di lahan gambut di era 1970 yang dikenal dengan kegiatan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Sumatera Selatan, seperti Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Musi Banyuasin, mempunyai dampak yang sangat nyata, baik terhadap kondisi fisik lahan dan sosio ekonomi masyarakat sekitarnya. Ekploitasi hutan secara besar besar pada era 1970 an menghasilkan perubahan yang cukup nyata terhadap kondisi hutan di Sumatera Selatan. Kondisi degradasi lahan gambut saat ini ditemukan tersebar di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Banyuasin, Musi Banyuasin, dan Muara Enim pada tingkat yang sangat memprihatinkan. Keterbatasan informasi dan data tentang hutan rawa gambut di Sumatera Selatan merupakan salah satu indikasi rendahnya perhatian dari seluruh pihak dan rendahnya kegiatan penelitian yang dilakukan, disisi lain database merupakan kebutuhan dasar untuk kegiatan di lahan gambut dalam mendukung pelestarian sumberdaya alam hutan rawa gambut. Potensi sumberdaya alam hutan gambut perlu dipertahankan kelestariannya, sehingga peranan hutan gambut tetap mampu mendukung kehidupan dan lingkungan. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan pada setiap kondisi dan lokasi secara tepat, terukur, terkendali, dan berkelanjutan pada suatu kondisi lahan adalah sangat berperan penting dalam proses konservasi gambut. Adanya konsep Clean Development Mechanism (CDM) yang memungkinkan dilakukannya perdagangan karbon (carbon trade) juga membuka peluang untuk memanfaatkan lahan gambut di Propinsi Sumatera Selatan yang bersifat konservasi.

1

Potensi sumberdaya alam hutan gambut dan potensi kandungan karbon di lahan gambut Kayuagung setiap tahun terus berkurang akibat dari proses kebakaran, sehingga kondisi tersebut memacu proses degradasi lahan. Oleh karena itu dampak kebakaran lahan terhadap karakteristik tanah dan gambut perlu dilakukan.

B. Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi dan menganalisis karakteristik lahan gambut setelah terjadi kebakaran di dalam kawasan hutan. 2. Mengidentifikasi dan menganalisis keragaman hayati pada lahan gambut setelah terjadi kebakaran yang berada di sekitar pemukiman dan di dalam Kawasan Hutan Produksi Terbatas Kayuagung. 3. Mengidentifikasi dan menganalisis kondisi sosioekonomi masyarakat di sekitar kawasan Hutan Produksi Terbatas Kayuagung. 4. Mengidentifikasi potensi sumberdaya lahan di sekitar pemukiman untuk kegiatan pertanian dan perkebunan. 5. Mengidentifikasi potensi rehabilitasi sumberdaya lahan di sekitar pemukiman yang telah rusak untuk kegiatan penghijauan.

C. Keutamaan Penelitian Perubahan kondisi lahan dari hutan primer menjadi hutan tersier atau tidak ada tumbuhan hutan lagi dan tumbuh menjadi tumbuhan pioner generasi baru merupakan salah satu kondisi yang saat ini banyak dijumpai di kawasan hutan Sumatera Selatan, terutama di Hutan Rawa Gambut. Kondisi ini merupakan salah satu dampak dari pemanfaatan hutan secara berlebihan pada era 1970an dan diteruskan oleh penebangan liar hingga saat ini. Dampak perubahan hutan alami menjadi hutan tersier atau tidak bervegetasi mempunyai konsekuensi akan hilangnya keanekaragaman hayati di kawasan tersebut, baik vegetasi dan biota perairannya. Kondisi lebih parah lagi adalah terciptanya iklim mikro yang cenderung bersifat negatif yakni tidak mampu menahan panas matahari, sehingga lahan mudah terbakar. Aktivitas

2

manusia terkadang mempercepat terciptanya degradasi lahan gambut baik secara langsung maupun tidak langsung. Penelitian ini perlu dilakukan untuk mengetahui dampak kebakaran hutan dan aktivitas masyarakat sekitar kawasan hutan terhadap karakteristik gambut dan keanekaragaman hayati di Hutan Produksi Terbatas Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir. Data dan informasi dasar tentang kawasan ini tidak tersedia, disisi lain potensi sumberdaya kawasan ini cukup besar untuk mendukung kehidupan dan lingkungan, meskipun kondisi kawasan tersebut telah terdegradasi akibat kebakaran lahan setiap tahunnya dan adanya pembukaan lahan oleh masyarakat untuk kegiatan pertanian dan perkebunan. Data dan informasi yang didapatkan diharapkan mampu menghasilkan suatu pikiran sebagai upaya untuk meningkatkan kondisi lingkungan baik disekitar kawasan dan dalam kawasan hutan produksi terbatas Kayuagung, serta mencarika solusi terbaik untuk masyarakat sekitar kawasan untuk kegiatan pertanian dan perkebunan secara baik, dan tidak melakukan kegiatan yang merusak di kawasan hutan.

3

BAB II. STUDI PUSTAKA

A. Hutan di Propinsi Sumatera Selatan Kawasan hutan Provinsi Sumatera Selatan yang ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No: 75/Kpts-II/2001, Tanggal 15 Maret 2001 seluas ± 4.416.837 ha. Luas kawasan hutan ini mencakup ± 40.43% dari luas Provinsi Sumatera Selatan.

Kawasan hutan ini terdiri dari Kawasan Hutan

Konservasi (16.17%), Hutan Lindung (17.22%) dan Hutan Produksi (66.61%) seperti disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kawasan Hutan di Propinsi Sumatera Selatan Fungsi Kawasan Kawasan Hutan Konservasi  Daratan  Perairan Kawasan Hutan Lindung Kawasan Hutan Produksi  Hutan Produksi Terbatas  Hutan Produksi Tetap  Hutan Produksi yang dapat Dikonversi Total

Luas Hektar

Persen

714.416 0 760.523

16.17 0 17.22

217.370 2.293.083 431.445 4.416.837

4.92 51.92 9.77 100

Sumber: Badan Planologi Departemen Kehutanan (2002). Luas kawasan hutan dalam perkembangannya telah banyak mengalami perubahan. Berdasarkan hasil tata batas pengukuhan hutan yang telah dilaksanakan sampai dengan tahun 2003, diketahui bahwa kawasan hutan di Propinsi Sumatera Selatan seluas 3.774.457 ha yang sesuai fungsinya terdiri dari kawasan hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi tetap, hutan produksi konservasi (HPK)) dan kawasan non budidaya (hutan lindung dan hutan konservasi). Ditinjau dari vegetasi yang menutupi kawasan hutan menunjukkan kecenderungan kerusakan hutan semakin meningkat. Menurut penafsiran citra landsat, luas kawasan yang berhutan saat ini tinggal 1.429.521 ha (37.87%), sedangkan sisanya seluas 2.344.936 ha (62.13%) kawasan yang tidak berhutan (non hutan). 4

Laju pengurangan hutan (deforestasi) di Propinsi Sumatera Selatan berdasarkan hasil perbandingan Peta Penutupan lahan RePProT tahun 1985 dengan Peta Penutupan Lahan hasil penafsiran citra Tahun 1998 oleh Pusat Data dan Perpetaan Badan Planologi Kehutanan diperoleh hasil bahwa selama periode waktu 12 tahun telah terjadi perubahan penutupan lahan hutan disajikan pada Tabel 2. Rata-rata laju deforestasi selama periode 1985 sampai 1998 di Sumatera Selatan ialah 192.824 ha per tahun.

Tabel 2. Deforestasi di Propinsi Sumatera Selatan Penutupan Lahan

RePPProT (1985)

Dephut (1991) Ha

Luas areal yang 10.226.300 10.236.090 ditafsir Hutan 3.562.100 3.438.140 % hutan 34.8 33.6 Sumber: Badan Planologi Departemen Kehutanan (2002).

Dephut (1998) 10.149.068 1.248.209 12.3

Data diatas mencerminkan adanya perubahan luasan kawasan hutan di Sumatera Selatan yang signifikan. Kondisi penutupan lahan kawasan hutan di Sumatera Selatan saat ini disajikan dalam Tabel 3. Luasan hutan primer dapat ditemukan di sekitar Pegunungan Bukit Barisan, hutan sekunder di Sumatera Selatan terlihat hanya pada beberapa lokasi dataran rendah di Kabupaten Musi Banyuasin, dan hutan lainnya berupa semak belukar.

5

Tabel 3. Kondisi Penutupan Lahan Kawasan Hutan Di Propinsi Sumatera Selatan.

No. 1.     2.    

Fungsi Hutan

HSA HL HPT HP Jumlah (1)

HSA HL HPT HP Jumlah (2) Luas Hutan Tetap (1+2) 3 HPK (ha) Total Luas Hutan (1+2+3) (ha)

Luas Kawasan Hutan tiap Kab/Kota per Kondisi Penutupan Vegetasi (ha) OKU, Muba dan M. Enim, Lahat, OKI dan OI OKUT, Banyuasin Prabumulih Pagaralam OKUS Luas yang Berhutan (ha) 211.089 645 724 6.777 29.770 58.771 8.289 8.656 51.372 63.596 81.295 2.817 2.888 18.985 2.882 344.742 138.988 9.742 46.413 767 696.897 150.739 22.010 123.547 97.015 Luas Non Hutan (ha) 131.390 4.183 50.226 2.663 23.059 10.052 96.870 142.365 20.328 77.504 8.101 7.069 43.043 11.120 8.999 222.179 506.112 55.940 142.702 40.980 371.722 614.234 291.574 176.813 150.542

Mura, Linggau

TOTAL

216.875 9.202 87.893 313.970

465.880 190.648 118.069 628.545 1.403.142

34.377 1.842 17.278 213.565 267.062

245.898 348.961 95.610 1.181.478 1.871.947

1.067.619

764.973

313.584

300.842

247.557

581.032

3.275.607

192.460

188.913

-

67.887

-

50.072

499.332

1.260.079

953.886

313.584

368.729

247.557

631.104

3.774.939

Sumber: Pengolahan Data Dishut Prop. Sumsel (2005) berdasarkan data dari Biphut Wil. II (2001).

6

B. Karakteristik Tanah Gambut 1. Definisi Definisi tanah gambut oleh Subagyo et al., (2000) tanah gambut terbentuk dari bahan organik, selanjutnya Wahyunto et al., (2005) menyatakan bahwa tanah gambut adalah tanah jenuh air yang tersusun dari bahan tanah organik, yaitu sisasisa tanaman dan jaringan tanaman yang melapuk dengan ketebalan lebih dari 50 cm. Tanah gambut merupakan tanah yang tersusun dari bahan organik, baik dengan ketebalan >45 cm maupun terdapat secara berlapis bersama tanah mineral pada ketebalan penampang 80 cm serta mempunyai tebal lapisan bahan organik >50 cm. Analisis laboratorium bahan organik dinyatakan dalam kadar karbon 1218% atau lebih. Makin tinggi kadar karbon, bahan organik dapat dikatakan masih segar, sedangkan makin kecil kadar karbon maka bahan organik makin lanjut pelapukannya dan disebut dengan humus (Rismunandar, 2001).

2. Sebaran Gambut Di Sumatera Selatan Cadangan gambut di Indonesia sebagian besar terletak di Pantai timur Sumatera (Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan), Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Irian Jaya. Di Sumatera Selatan sebaran gambut berada di Kabupaten OKI (500.000 ha), Muba (250.000 ha), Banyuasin (200.000 ha), Muara Enim (45.000 ha) dan Musi Rawas (35.000 ha) (Gambar 1). Luasan lahan gambut atau bergambut pada kondisi utuh dan asli penutupan vegetasinya (virgin forest) adalah identik dengan luas hutan rawa gambut, karena pada hutan primer di lahan gambut merupakan sumber utama bahan organik sebagai bahan utama gambut. Luasan hutan gambut pada saat ini cenderung semakin menurun akibat perubahan peruntukan, yakni dari hutan menjadi lahan pertanian, perkebunan dan peruntuka lainnya. Kondisi ini cukup memprihatinkan karena sebagian besar lahan gambut yang digunakan untuk kegiatan tersebut merupakan gambut dalam yakni mempunyai kedalaman lebih 3 meter.

7

Gambar 1. Peta Sebaran Gambut Di Propinsi Sumatera Selatan

3. Pembentukan Tanah Gambut Pembentukan tanah gambut secara umum dimulai dengan adanya cekungan lahan berdrainase jelek dan genangan air, sehingga memungkinkan terjadinya penumpukkan bahan organik yang sukar melapuk. Vegetasi tua yang roboh akan diganti oleh vegetasi baru yang pertumbuhannya makin dipengaruhi ketebalan bahan organik. Penumpukan bahan organik dapat berjalan terus karena sifat permeabilitas ke bawah yang rendah dari tanah-tanah jelek dan air tetap tergenang. Gambut terbentuk di daerah rawa-rawa pada zaman Holosen sebagai akibat dari peristiwa transgesi dan regresi laut karena mencairnya es di kutub. Pada zaman Pleistosen, permukaan laut kira-kira 60 m di bawah permukaan sekarang. Kenaikan air laut pada zaman berikutnya menyebabkan terbentuknya rawa-rawa sehingga vegetasi mati, kemudian mengalami dekomposisi lambat. Proses pembentukan gambut adalah sangat lama dan mencapai ribuan tahun, artinya seharusnya semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, peneliti dan lainnya perlu mengetahui dan menghargai, serta menyelamatkan gambut dari

8

kepunahan.

Disisi lain, proses kebakaran gambut yang berakibat kehilangan

gambut hanya memerlukan waktu yang relatif singkat. 4. Karakteristik Tanah Gambut Karakteristik tanah gambut sangat dipengaruhi oleh kondisi biologinya. Vegetasi alami yang tumbuh di lahan ini sangat dipengaruhi oleh salinitas, kemasaman, dan tekstur tanah. Perbedaan vegetasi sangat dipengaruhi oleh waktu dan frekuensi genangan. Kualitas tanah gambut sangat tergantung pada vegetasi yang menghasilkan bahan organik pembentuk tanah gambut, bahan mineral yang berada dibawahnya, faktor lingkungan tempat terbentuknya tanah gambut dan proses pembentukan tanahnya. Di daerah tinggi atau dingin bahan organik yang terbentuk lebih halus atau mudah melapuk daripada di dataran rendah atau pantai. 5. Vegetasi di Lahan Gambut Wilayah lahan rawa dapat dibagi atas empat mintakat, yaitu: 1). Tepian sungai yang dirajai oleh asosiasi jenis prepat atau pedada (Sonnertia sp) dan apiapi (Avicennia sp), 2). Pesisir pantai yang ditempati bakau (Rhizopora sp), 3). Wilayah kubah gambut (peat dome) yang ditempati vegetasi hutan gambut seperti ramin (Gonystylus sp), meranti (Shorea albida), terantang (Camriosperma auricurata), pulai (Alastonia sp) dan lainnya., 4). Pinggir sungai yang bersifat payau ditempati oleh vegetasi nipah (Nipa fructicans), dan 5). Wilayah yang telah dibuka kemudian ditinggalkan dan ditumbuhi vegetasi gelam (Samingan, 1979 dalam Noor, 2004) Tumbuhan di lahan gambut ini memperlihatkan komposisi dan struktur yang jelas. Komposisi hutan gambut yang spesifik di Kalimantan terdiri dari asosiasi kayu ramin. Asosiasi dalam tumbuhan dapat menghasilkan tiga lapisan tajuk yaitu: a. Tajuk atas terdiri dari kayu ramin, Shorea albida, Tetramerista gabra, Durio sp, Ctelophon sp, Dyrea sp, Palaquim sp, Kompasia malacensis, dan kayu besi (Eusideroxlon zwageri).

9

b. Tajuk tengah terdiri dari pepohonan kel;uarga Lauraceae, seperti Alseodaphhe sp, Endriandra rubescens, litsea sp, Myristica inner, Horsfeldia sp, Garcinia sp, dan keluarga Euphorbiaceae, Myristiceae, dan Ebennaceae. c. Tajuk bawah terdiri dari keluarga Annonaceae, anakan dari pohon-pohon dan semak jenis Crinus sp. (Noor, 2004). 6. Peranan Gambut Lahan gambut mempunyai peran dalam ekosistem lahan rawa gambut baik secara hidrologi, pelestarian satwa dan vegetasi. Lahan gambut memegang peranan penting dalam sistem hidrologi suatu lahan rawa, dimana salah satu sifat gambut berperan dalam sistem hidrologi adalah daya menahan air yang dimilikinya. Gambut memiliki daya menahan air sangat besar yaitu 300 hingga 800 persen dari bobotnya (Wahyunto et al., 2005). Selain kemampuannya dalam daya menahan air, gambut juga mempunyai daya melepas air yakni sejumlah air akan dilepaskan bila permukaan air diturunkan per satuan kedalaman. Semakin dalam permukaan air diturunkan akan semakin besar pula air yang akan dilepas. Pemanfaatan lahan gambut di Indonesia mulai menonjol sejalan dengan program transmigrasi dan ekstensifikasi pertanian melalui reklamasi rawa pantai atau pasang surut. Kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan gambut: 1). Keadaan lingkungan tanah gambut, 2). Ketebalan gambut dan keadaan morfologi, 3). Sifat fisik dan kimiawi, dan 4). Perkembangan tanah akibat reklamasi dan pemilihan teknologi yang tepat.

7. Kebakaran Gambut Kebakaran hutan dan lahan akibat peningkatan suhu udara baik akibat perubahan iklim dan aktivitas masusia adalah salah satu faktor penyebab kerusakan hutan dan lahan. Kebakaran merupakan permasalahan paling besar di lahan gambut pada saat ini dan mempunyai dampak sangat besar terhadap kerusakan ekosistem dan keberadaan lahan gambut di Sumatera Selatan.

10

Dampak kebakaran hutan dan lahan gambut adalah sangat luas yakni terhadap sifat fisik, kimia, biologi, hidrologi lahan dan lingkungan seperti asap, kesehatan, dan lainnya.

Gambar 2. Sebaran Kebakaran Gambut Di Propinsi Sumatera Selatan

C. Karakteristik Lahan Kering Lahan adalah bentang alam yang terdiri dari faktor tanah, iklim dan topografi. Lahan merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting untuk pengembangan usaha pertanian terutama untuk memenuhi kebutuhan sandang dan pangan. Masalah pokok yang sering dihadapi dalam pemanfaatan lahan adalah terbatasnya kemampuan lahan untuk digunakan secara terus-menerus bersamaan dengan menurunnya produktivitas lahan. Lahan kering adalah lahan yang sepanjang tahun tidak tergenangi air. Lahan kering memiliki tingkat kesuburan yang rendah karena kandungan unsur hara dan bahan organik yang sedikit sehingga menjadi kurang produktif. Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (2000), sekitar 58,5 % dari seluruh daratan Indonesia merupakan lahan kering. Luas lahan kering di Indonesia lebih kurang 70 juta hektar sehingga memberi peluang cukup besar untuk perluasan pengembangannya (Abdulrachman et al.,1988 dalam Suprapto, 2001), sedangkan di Sumatera Selatan luas lahan kering yang potensial untuk pengembangan 11

pertanian dan perkebunan mencapai 4,47 juta hektar sehingga memberi peluang cukup besar untuk

perluasan pengembangannya

(Pusat Penelitian dan

Pegembangan Tanah dan Agroklimat, 2001 dalam Kurnia, 2004). 1. Sifat Fisik Lahan Kering Lahan kering adalah lahan yang sepanjang tahun tidak tergenangi air, dengan demikian penggunaanya untuk usaha pertanian yang membutuhkan air dalam jumlah yang sedikit, karena sebagian besar lahan kering di Indonesia bergantung pada hujan untuk memenuhi kebutuhan air bagi tanaman. Tanah di kawasan tropika basah pada umumnya memperoleh energi matahari dan curah hujan yang tinggi sepanjang tahun.

Kondisi tersebut

menyebabkan tanah menjadi reaktif (peka) dan mempunyai tingkat erosi serta pencucian (leaching) yang tinggi. Temperatur dan kelembaban udara yang juga tinggi mengakibatkan dekomposisi bahan organik dan pelepasan hara berlangsung cepat (Safuan, 2002). 2. Sifat Kimia Lahan Kering Sebagian besar lahan kering terdapat pada tanah Ultisols, Inceptisols, dan Oxisols, yang umumnya mempunyai tingkat kesuburan rendah. Berdasarkan hasil analisis contoh tanah pada beberapa lahan alang-alang menunjukkan bahwa tingkat kesuburan tanah umumnya rendah, dicirikan dengan kandungan hara yang rendah terutama fosfat dan kation-kation dapat tukar seperti Ca, Mg, dan K. Tanah bersifat masam sampai agak masam, dan sebagian mempunyai kadar aluminium yang tinggi sampai sangat tinggi pada lapisan bawah sehingga dapat bersifat racun bagi tanaman. Kadar bahan organik dan Kapasitas Tukar Kation (KTK) rendah serta kejenuhan basa rendah dan sangat rendah (Mulyani et al., 2001). Pemanfaatan lahan kering akan sangat penting untuk pengembangan pertanian bila lahan subur telah beralih fungsi atau berkurang karena dipergunakan untuk keperluan di luar sektor pertanian.

12

D. Survai dan Evaluasi Lahan Survai merupakan salah satu kegiatan yang dilakukan untuk mempelajari lingkungan alam dan potensi sumber daya yang dimiliki. Survai tanah memiliki dua tujuan, yaitu memberi informasi kepada pemakai tanah tentang karakteristik tanah, bentuk wilayah dan keadaan lainnya; dan menyediakan informasi yang akan membantu dalam pengambilan keputusan tentang tanah dan rencana pengembangan wilayah yang di survai. (Hakim et al., 1986). Menurut Hakim et al., (1986), berdasarkan ketelitian, survai dibagi atas lima yaitu : 1. Survai eksplorasi, adalah survai pada tingkat lebih kasar yang membuat uraian singkat mengenai informasi daerah yang belum diketahui. Survai ini digunakan untuk tujuan survai yang bersifat sangat umum dengan skala 1:500.000-1:2.000.000. Beberapa survai eksplorasi digunakan untuk menyediakan informasi bagi peta dunia FAO – UNESCO. 2. Survai tinjau, digunakan untuk survai pada wilayah yang luas seperti: negara, profinsi, atau wilayah pada tingkat skala yang kecil. Umumnya menggunakan skala 1:250.000. survai pada tingkat ini sering digunakan untuk membuat interpretasi photo udara, pemetaan yang bervariasi pada kelas-kelas tanah kebentuk wilayah, asosiasi dan segi-segia tanah tertentu. 3. Survai semi detail, merupakan kelanjutan dari survai tinjau dengan skala peta 1:100.000-1:30.000. survai ini menggunakan kombinasi antara photo udara dan penjajakan lapangan survai. 4. Survai detail, merupakan survai pada tingkat detail dengan intensitas tinggi dengan skala 1:25.000-1:10.000. Survai ini, kegiatan dan pelaksanaan survai sebagian besar dilakukan sebagai pekerjaan lapangan. Survai ini ditujukan untuk persiapan pelaksanaan suatu proyek melalui penilaian kesesuaian lahan dari suatu daerah yang terbatas untuk suatu pengembangan tertentu. 5. Survai intensif, digunakan untuk luasan yang relatif kecil (beberapa hektar) dengan menggunakan intensitas yang sangat tinggi sehingga peta yang dihasilkan berskala lebih besar dari 1:10.000. survai ini digunakan untuk penelitian tertentu, dalam survai ini dilakukan penjelajahan keseluruh wilayah yang memungkinkan penggambaran parameter dan sifat-sifat tanah yang lebih jelas.

Tujuan dari kegiatan survai adalah mengklasifikasikan dan memetakan tanah dengan mengelompokkan tanah yang sama atau hampir sama sifatnya dalam satuan peta tanah yang sama serta melakukan interpretasi kesesuaian tanah atau melakukan evaluasi lahan dari masing-masing satuan peta tanah tersebut untuk penggunaan-penggunaan tertentu.

13

Evaluasi lahan pada hakekatnya merupakan proses menduga potensipotensi lahan untuk berbagai penggunaannya. Evaluasi lahan pada prinsipnya adalah mencocokkan (matching) antara kualitas atau karakteristik lahan dengan kebutuhan penggunan lahan tersebut (Rahman, 1990). Secara umum dikemukakan oleh Sitorus (1985), bahwa kerangka dasar evaluasi lahan adalah membandingkan persyaratan yang diperlukan untuk suatu penggunaan lahan tertentu dengan sumber daya yang ada pada lahan tersebut. Dasar pemikirannya adalah kenyataannya bahwa berbagai penggunaan lahan membutuhkan persyaratan yang berbeda-beda. Didalam pelaksanaan evaluasi lahan sering terbentur oleh faktor-faktor pembatas seperti iklim (suhu dan curah hujan), topografi (kecuraman lereng), kondisi perakaran (kedalaman efektif) dan sifat tanah (retensi unsur hara dan ketersediaan unsur hara). Iklim dan kedalaman efektif tanah merupakan faktor pembatas yang tidak dapat diubah tingkat kesesuaiannya, sedangkan sifat tanah yang menyangkut kesuburan dan beberapa sifat fisik tanah masih dapat ditolerir dengan cara pemupukan dan pengolahan tanah. Karena itu dibutuhkan data mengenai lahan tersebut yang menyangkut berbagai aspek sesuai dengan rencana yang sedang dipertimbangkan (FAO, 1976 dan Sitorus, 1985). Evaluasi lahan merupakan proses perencanan tata guna lahan. Maksud dari evaluasi lahan adalah membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan, dengan sifat-sifat atau kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan tersebut (Hardjowigeno, 2001). Dalam evaluasi kesesuaian lahan dapat dibuat beberapa asumsi jenis usaha perbaikan yang dapat dilaksanakan pada tingkat pengelolaan tertentu antara lain : a. b.

c.

Rezim suhu, tidak dapat diperbaiki, sehingga tingkat kesesuaian lahannya adalah kesesuaian lahan aktual. Ketersediaan air, jenis perbaikan yang dilakukan adalah irigasi atau pengairan. Secara umum ketersediaan air merupakan faktor pembatas yang relatif tidak dapat diatasi untuk tingkat petani lokal karena memerlukan baiya yang relatif besar. Drainase, dengan perbaikan sistem drainase seperti pembuatan saluran drainase pada daerah yang tergenang yaitu dengan pembuatan saluran primer, sekunder dan tersier pada lahan tersebut. Pengelolaan pada tingkat ini memerlukan biaya yang relatif besar.

14

d. e.

f. g. h. i. j.

Tekstur, tidak dapat dilakukan perbaikan sehingga kesesuaian lahannya adalah kesesuaian lahan aktual. Kedalaman efektif, umumnya tidak dapat dilakukan perbaikan kecuali pada lapisan padas lunak dan tipis dengan membongkarnya waktu pengolahan tanah. Pengelolaan hanya dapat dilakuakn dengan modal dan biaya yang relatif besar, umumnya dilakukan oleh pemerintah atau perusahaan besar dan menengah. KTK, jenis usaha perbaikan yang dilakukan yaitu dengan pengapuran atau penambahan bahan organik sesuai kebutuhan tanah. pH, jenis usaha perbaikan yang dilakukan yaitu dengan pengapuran sesuai kebutuhan tanah. N-total, dengan melakukan pemupukan pupuk N, sesuai dosis yang dibutuhkan oleh tanaman. P2O5, dengan melakukan pemupukan pupuk P, sesuai dosis yang dibutuhkan oleh tanaman. K2O, dengan melakukan pemupukan pupuk K, sesuai dosis yang dibutuhkan oleh tanaman.

1. Kesesuaian Lahan dan Klasifikasinya Lahan terdiri dari lingkungan fisik termasuk iklim, topografi atau relief, tanah, hidrologi dan vegetasi yang semuanya berpengaruh terhadap penggunaan lahan secara potensial (FAO, 1976). Kesesuaian lahan adalah kecocokan suatu lahan untuk penggunaan (jenis tanaman dan tingkat pengelolaan) tertentu (Hardjowigeno, 2001). Adapun jenisjenis kesesuaian lahan antara lain: 1). Kesesuaian lahan aktual dan 2). Kesesuaian lahan potensial. Menurut Hadjowigeno (2001), kesesuaian lahan aktual adalah kesesuaian lahan saat ini dalam keadaan alami pada lahan tanpa mempertimbangkan usaha perbaikan dan tingkat perngelolaan yang tepat. Untuk menentukan kelas kesesuaian lahan aktual, mula-mula dilakukan penilaian terhadap masing-masing kualitas lahan berdasarkan atas karakteristik lahan terjelek atau yang memiliki kelas kesesuaian lahan tidak sesuai (N). Kesesuaian lahan potensial adalah kesesuaian lahan yang telah mempertimbangkan perbaikan pengelolaan yang dibutuhkan, upaya untuk menentukan jenis usaha perbaikan yang dapat dilakukan, maka perlu diperhatikan karakteristik lahan yang tergabung dalam masing-masing kualitas lahan.

15

Karakteristik lahan dapat dibedakan menjadi karakteristik lahan yang dapat diperbaiki dengan masukan sesuai dengan tingkat pengelolaan (teknologi) yang akan diterapkan, dan karakteristik lahan yang tidak dapat diperbaiki sehingga tidak akan mengalami perubahan kelas kesesuaian lahan. Sedangkan lahan yang karakteristik lahannya dapat diperbaiki kelas kesesuaian lahannya, dapat berubah menjadi satu atau dua tingkat lebih baik. Tujuan utama klasifikasi kesesuaian lahan adalah untuk memetakan lahan dengan mengelompokkan lahan-lahan yang sama atau hampir sama sifatnya ke dalam satuan peta lahan yang sama serta melakukan interpretasi kesesuaian untuk penggunaan-penggunan tertentu. Klasifikasi kesesuaian lahan adalah pengelompokan lahan berdasarkan kesesuaiannya untuk tujuan penggunaan tertentu. Konsep terpenting dalam klasifikasi kesesuaian lahan adalah kesesuaian lahan aktual dan potensial (Sitorus, 1985). Kelas kesesuaian lahan aktual menunjukkan kesesuaian lahan terhadap penggunaan lahan yang ditentukan tanpa ada perbaikan yang berarti. Sedangkan kesesuaian lahan potensial menunjukkan kesesuaian lahan yang ditentukan setelah dilakukan perbaikan utama yang diperlukan. Acuan evaluasi lahan menurut CSR/FAO (1983), terdapat 15 karakteristik lahan yang dikelompokkan menjadi 7 kualitas lahan yang biasa digunakan (Tabel 4).

Tabel 4. Faktor Penentu Kualitas Lahan Simbol Kualitas lahan t Regim temperatur 1. w Ketersediaan air 1. 2. r Kondisi perakaran 1. 2. 3. f Rotensi unsur hara 1. 2. n Ketersediaan unsur hara 1. 2. 3. x Tingkat keracunan 1. s Kondisi fisik lingkungan 1. 2. 3.

Karakteristik lahan Suhu rata-rata tahunan (°C) Bulan kering (<75 mm) Curah hujan rata-rata tahunan (mm) Kelas drainase tanah Kelas tekstur tanah Kedalaman perakaran (cm) KTK tanah pH tanah Nitrogen total (%) P2O5 tersedia K2O tersedia Salinitas (mmhos/cm) Kecuraman lereng (%) Batuan di permukaan Singkapan batuan 16

Penilaian kelas kesesuaian lahan ditujukan terhadap setiap Satuan Peta Tanah (SPT) pada suatu areal. Untuk keperluan evaluasi lahan maka sifat fisik lingkungan suatu wilayah dirinci ke dalam suatu kualitas lahan (land qualities) dan setiap kualitas lahan biasanya terdiri dari satu atau lebih karakteristik (land characteristic). Data karakteristik fisik lahan dideskripsi pada saat survai tanah dengan tingkat pemetaan tanah tertentu (tinjau, semi detil atau detil). Karakteristik lahan yang diperlukan dalam penilaian lahan untuk tanaman karet meliputi: curah hujan, jumlah bulan kering, lereng, kandungan batuan atau bahan kasar di dalam dan dipermukaan tanah, kedalaman efektif atau kedalaman gambut, tekstur tanah, kelas drainase, kemasaman tanah dan tingkat pelapukan gambut. Klasifikasi kesesuaian lahan adalah pengelompokan suatu lahan yang cocok untuk penggunaan tertentu, dengan menggunakan hukum minimum yaitu mencocokkan (matching) antara kualitas dan karakter lahan sebagai parameter dengan kriteria kelas kesesuaian lahan yang telah disusun berdasarkan persyaratan penggunaan atau persyaratan tumbuh tanaman yang akan dievaluasi (Pusat Peneltian Tanah dan Agroklimat, 1993). Sistem klsifikasi kesesuaian lahan menurut (CSR/FAO, 1983) ada tiga, yang merupakan tingkat generarilasi yang bersifat menurun yaitu: 1.1. Kesesuaian Lahan Tingkat Ordo Kesesuaian lahan tingkat ordo, menunjukkan jenis atau macam kesesuaian lahan atau keadaan secara umum. Kesesuaian lahan tingkat ordo dibagi menjadi dua, yaitu: 1. Ordo S (sesuai atau suitable), lahan dapat digunakan secara lestari tanpa atau sedikit kerusakan terhadap sumber daya lahannya. 2. Ordo N (tidak sesuai atau not suitable), lahan yang mempunyai faktor pembatas sedemikian rupa sehingga harus dicegah penggunaannya secara alami.

17

1.2. Kesesuaian Lahan Tingkat Kelas Kesesuaian lahan tingkat kelas terdiri dari empat kelas, yaitu : a. Kelas S1 (sangat sesuai atau highly suitable), lahan ini tidak memiliki pembatas yang berarti untuk suatu penggunaan secara lestari. b. Kelas S2 (cukup sesuai atau moderately suitable), lahan yang mempunyai pembatas cukup berarti untuk suatu penggunaan lahan secara lestari, sehingga dibutuhkan masukan. c. Kelas S3 (sesuai marginal atau marginally suitable), lahan ini memiliki pembatas yang berat untuk suatu penggunaan yang lestari sehingga diperlukan pengetahuan pengelolaan. d. Kelas N (tidak sesuai atau not suitable), jenis lahan ini memiliki pembatas yang sangat berat tapi masih mungkin untuk diatasi, tetapi membutuhkan perbaikan yang intensif dengan biaya yang cukup tinggi bila ingin mencapai kesesuaian potensial yang tinggi. 1.3. Kesesuaian Lahan Tingkat Sub Kelas Kesesuaian lahan tingkat sub kelas, menunjukkan jenis pembatas atau macam pembatas yang diperlukan dalam suatu kelas. Kesesuaian lahan tingkat sub kelas terdiri dari beberapa faktor pembatas, yaitu: s : Topografi (slope steepness) n : Ketersediaan unsur hara (nutrient availability) f : Retensi hara (nutrient retention) w : Ketersediaan air oleh curah hujan dalam bulan kering dalam setahun (water availability) t : Temperatur rata-rata suatu daerah 2. Kriteria Kesesuaian Lahan Sebagaimana telah dikemukakan terdahulu, ada beberapa faktor yang dipertimbangkan dalam menentukan kelas kesesuaian lahan, antara lain: topografi (s),

kondisi perakaran (r),

ketersediaan air (w),

retensi unsur hara (f),

ketersediaan unsur hara (n), rezim temperatur (t), CSR/FAO (1983).

2.1. Topografi Faktor topografi yang dinilai adalah faktor kecuraman lereng. Pengelolaan tanah pada lereng yang curam membutuhkan tenaga dan biaya yang besar. Pada daerah yang persen kecuraman lerengnya besar, sering terjadi erosi sehingga akan muncul lapisan sub soil kepermukaan tanah, akibatnya tanah tersebut memiliki lapisan olah tanah (top soil) yang tipis, kandungan bahan organik rendah bila 18

dibandingkan dengan tanah-tanah yang memiliki topografi bergelombang dan datar (Hakim, 1986). 2.2. Kondisi Media Perakaran Media perakaran merupakan area perkembangan akar. Media perakaran mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan akar. Faktor yang menjadi pembatas pada media perakaran adalah drainase, tekstur dan kedalaman efektif. a. Drainase Tanah Drainase tanah adalah suatu tanda dari kondisi basah dan kering suatu tanah. Drainase tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu, topografi, tekstur, struktur, permeabilitas dan ketersediaan air yang berasal dari curah hujan, rembesan atau aliran permukaan yang berasal dari daerah yang lebih tinggi (CSR/FAO, 1983). Drainase tanah bertujuan untuk menurunkan muka air tanah sehingga dapat meningkatkan kedalaman efektif daerah perakaran (Hakim, 1983). b. Tekstur Tekstur tanah adalah perbandingan relative (dalam persen) kandungan pertikel tanah berupa fraksi pasir, debu dan liat dalam satuan massa tanah (Seta, 1991). Menurut Foth (1984), tekstur merupakan ciri tanah yang penting untuk diketahui, karena tekstur dapat menetukan kecepatan resapan air, serta dapat menentukan sifat fisik dan kimia tanah. Menurut Kartasapoetra (1991), tekstur tanah adalah suatu berbandingan relatif dari berbagai golongan besar partikel di dalam tanah, terutama perbandingan fraksi pasir, debu dan liat. Tekstur tanah menunjukkan kasar halusnya tanah dan berdasarkan atas perbandingan banyaknya

butir-butir pasir,

debu dan liat

maka tanah

dikelompokkan dalam beberapa tekstur (Hardjowigeno, 1995). c. Kedalaman Efektif Tanah Kedalaman efektif tanah adalah kedalaman tanah yang masih dapat ditembus oleh akar tanaman (Hardjowigeno, 1995). Pengamatan kedalaman efektif tanah dilakukan dengan mengamati penyebaran akar tanaman, banyaknya akar tanaman besar maupun halus serta dalamnya akar tersebut dapat menembus

19

tanah,selain itu kedalaman efektif tanah juga dibatasi oleh lapisan padas atau lapisan krokos. Jenis tanaman pangan kedalaman efektif tanahnya hanya 25 cm, sedangkan pada jenis tanaman tahunan kedalaman efektif tanahnya mencapai 120 cm.

2.3. Ketersediaan Air Ketersediaan air untuk pertumbuhan tanaman ditentukan oleh faktor iklim (khususnya curah hujan), tanah dan tanaman (Hakim, 1986). Curah hujan merupakan unsur yang berperan besar terhadap ketersediaan air di dalam tanah, selain itu juga berpengaruh terhadap pola tanam. Tanaman karet menghendaki daerah dengan curah hujan yang tinggi antara 1500 sampai 4000 mm per tahun dan merata sepanjang tahun, yang terbaik antara 2500–4000 mm dengan 100–150 hari hujan (Tim Penulis Penebar Swadaya, 1992).

2.4. Retensi Hara Kemasaman tanah atau reaksi tanah merupakan perwujudan dari proses hancuran iklim dan faktor kimiawi yang berpengaruh terhadap proses pembentukan tanah. Nilai pH memiliki peran penting sebagai penduga jumlah basa dan mikroba tanah (Hakim et al., 1989). Tanah yang derajat kemasamannya mendekati normal cocok untuk ditanami karet. Derajat kemasaman yang paling cocok untuk di tanami karet adalah 5-6. Kapasitas tukar kation (KTK) merupakan kapasitas suatu tanah untuk menjerap atau memegang kation-kation dan mempertukarkan ion-ion di dalam reaksi kimia tanah. Nilai KTK tanah dipengaruhi oleh reaksi tanah, tekstur tanah, mineral liat, bahan organik, dan penguapan serta pemupukan. KTK berpengaruh dalam menentukan kadar dan konsentrasi unsur hara pada fase padatan yang mampu menggantikan atau menurunkan unsur hara yang hilang dalam larutan tanah.

20

2.5. Ketersediaan Unsur Hara Unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman berjumlah 16, yang terbagi menjadi 9 unsur hara makro dan 7 unsur hara mikro. Kedua unsur ini harus dalam keadaan seimbang, sehingga tanah dapat menjadi suburdan tanaman dapat tumbuh dengan baik (Soepardi, 1983). Pertumbuhan tanaman sangat dipengaruhi oleh ketersediaan unsur hara di dalam tanah. Keberadaan bahan organik di dalam tanah akan menunjang aktvitas mikro organisme di dalam tanah sehingga tanah akan menjadi subur dan unsur hara yang diperlukan oleh tanaman menjadi tersedia. Melalui proses dekomposisi bahan organik, akan dibebaskan unsur-unsur hara ke dalam tanah. Secara fisik bahan organik dihancurkan oleh binatang tanah kemudian diteruskan oleh mikroba tanah. Secara biokimia bahan organik menghasilkan senyawa sederhana berupa CO2, air dan energi yang dibebaskan oleh mikroba (Indranada, 1994). Lapisan olah tanah pertanian mengandung 0,02–0,4 % N. Ketersedian N di dalam tanah dipengaruhi oleh faktor lingkungan, antara lain iklim dan jens vegetasi. Faktor lingkungan tersebut dipengaruhi oleh keadaan topografi, bahan induk, aktivitas manusia, dan waktu (Nyapka et al., 1988). Tanaman karet memiliki toleran yang cukup tinggi terhadap tanah yang kesuburannya rendah. Pada tanah-tanah yang kurang subur, seperti Podsolik Merah Kuning, Latosol dan Aluvial dengan penambahan pupuk dapat dikembangkan untuk perkebunan karet (Tim Penulis Penebar Swadaya, 1992).

2.6. Rezim Temperatur Perbedaan temperatur merupakan cerminan energi panas matahari yang sampai ke suatu wilayah, sehingga berfungsi sebagai pemicu : a. Proses fisik dalam pembentukan liat dari mineral-mineral bahan induk tanah dengan mekanisme identik proses pelapukan bebatuan. b. Keaneka ragaman hayati yang aktif, karena setiap kelompok terutama mikrobia mempunyai temperatur

yang optimum spesifik, sehingga perbedaan

temperatur akan menghasilkan jenis dan populasi yang berbeda pula. c. Kesempurnaan proses dekomposisi biomass tanah hingga ke mineralisainya.

21

Tanah yang terbentuk pada temperatur rendah (daerah kutub), akan cenderung berkadar biomasa rendah dan mentah (fibrik), akibatnya tanaman yang tumbuh umumnya berbatang kecil dan lambat berkembang, dan sedikitnya populasi dan jenis mikrobia heterotrof yang aktif. Tanah yang terbentuk pada temperatur tinggi (daerah arid), juga berkadar biomass rendah tapi matang (saprik), karena cepatnya prosesmineralisasi kimiawi terhadap sisa tanaman. Tanah yang terbentuk pada daerah humid (temperatur sedang), akan mempunyai jenis dan populasi mikrobia yang ideal, maka aktivitas biologisnya dalam dekomposisi biomas dan derajad kematanganya juga sedang atau hemik (Hanafiah, 2005). Temperatur berpengaruh terhadap jenis tanaman yang dapat tumbuh pada daerah tersebut. Seperti halnya tanaman yang tumbuh di daerah dengan temperatur rendah berbeda dengan jenis tanaman yang tumbuh dengan baik pada daerah dengan temperatur sedang, walaupun ada beberapa jenis tanaman yang dapat tumbuh pada kedua temperatur tersebut. Berdasarkan penelitian Rahman (1993) di Cibodas Biosphere Reserve, antara ketinggian lahan dari permukaan laut dengan suhu udara memiliki hubungan erat. Dalam hal ini, setiap naik 200 m dpl maka suhu udara akan turun 1 º C.

E. Tanaman Karet 1. Syarat Tumbuh Tanaman Karet Dunia tumbuhan tanaman karet tersusun dalam sistematika sebagai berikut (Tim Penulis Penebar Swadaya, 1992 ): Divisi Subdivisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies

: : : : : : :

Spermatophyta Angiospermae Dicotyledoneae Euphorbiales Euphorbiaceae Hevea Hevea brasiliensis

22

1.a. Iklim a. Suhu dan Curah Hujan Tanaman karet dapat tumbuh dengan baik maka harus diperhatikan syaratsyarat lingkungan yang diinginkan oleh tanaman ini, karena lingkungan yang cocok akan menunjang pertumbuhan disamping perawatan. Apabila tanaman karet ditanam pada lahan yang tidak sesuai dengan habitat yang diinginkannya, maka pertumbuhan tanaman akan terhambat. Tanaman karet cocok ditanam padadarh beriklim tropis dan suhu harian yang diinginkan tanaman karet adalah rata-rata 25–30 oC. Sedangkan curah hujan, tanaman karet menghendaki daerah yang memiliki curah hujan yang tinggi yaitu 2000–2500 mm/tahun, dan akan lebih baik lagi apabila curah hujan itu merata sepanjang tahun (Tim Penulis Penebar Swadaya, 1992). Menurut Setyamidjaja (1993), curah hujan tahunan yang cocok untuk pertumbuhan tanaman karet tidak kurang dari 2000 mm. Optimal antara 2500– 4000 mm/tahun, yang terbagi dalam 100–150 hari hujan. Pembagian hujan dan waktu jatuhnya hujan rata-rata setahunnya mempengaruhi produksi. Daerah yang sering mengalami hujan pada pagi hari produksinya akan kurang. Keadaan iklim di Indonesia yang cocok untuk tanaman karet ialah daerah-daerah Indonesia bagian barat, yaitu Sumatera, Jawa dan Kalimantan, sebab iklimnya lebih basah.

b. Tinggi Tempat Tanaman karet tumbuh optimal di daerah dataran rendah. Ketinggian yang cocok bagi tanaman kartu adalah 0–600 mdpl (meter di atas permukaan laut), dan yang paling baik berkkisar antara 0–200 mdpl (Syarif, 1986). Jika tanaman karet ditanam di daerah yang memiliki ketinggian diatas 400 mdpl, maka pertumbuhannya menjadi lambat (Tim Penulis Penebar Swadaya, 1992). Mulai ketinggian 200 mdpl, matang sadap akan tertunda selama 6 bulan pada setiap kenaikan 100 mdpl, karena ketinggian tempat berpengaruh terhadap temperatur.

23

1.b. Tanah Tanaman karet dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, baik pada tanahtanah vulkanis muda ataupun Vulkanis Tua, Alluvial dan bahkan tanah gambut (Setyamidjaja, 1993). Tanaman karet adalah tanaman yang paling toleran terhadap tanah yang kesuburannya rendah dibandingkan dengan jenis tanaman perkebunan yang lain. Dengan bantuan pemupukan dan pengelolaan yang baik, tanah-tanah yang kurang subur dapat dikembangkan menjadi lahan perkebunan karet (Tim Penulis Penebar Swadaya, 1992). Topografi tanah sedikit banyak juga mempengaruhi pertumbuhan tanaman karet. Pada tanah datar, pemeliharaan tanaman tanaman akan lebih mudah dari pada lahan yang berbukit. Tanaman karet dapat tumbuh dengan baik pada tanah dengan kisaran pH 4,0–7,0 (Syarif, 1986). Menurut Setyamidjaja (1993), reaksi tanah yang umumnya ditanami karet mempunyai pH antara 3,0–8,0, pH tanah di bawah 3,0 atau di atas 8,0 menyebabkan pertumbuhan tanaman terhambat. Sifat-sifat tanah yang cocok untuk tanaman karet adalah sebagai berikut : - Solum cukup dalam, sampai 100 cm atau lebih, tidak terdapat batu-batuan, - Aerasi dan drainase baik, - Reah, porus dan dapat menahan air, - Tekstur terdiri atas 35% liat dan 30% pasir, - Tidak bergambut, dan jika ada tidak lebih dari 20 cm, - Kandungan unsur hara N, P dan K cukup dan tidak kekurangan unsur mikro, - pH 4,5 – 6,5, - kemiringan tidak lebih dari 16%, - permukaan air tanah tidak kurang dari 100 cm

24

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah lahan gambut pada hamparan Hutan Produksi Perbatas Kayuagung. Secara adminstrasi di sekitar lahan gambut terdapat empat kecamatan, yakni Kecamatan Kayuagung, Pedamaran, Pedamaran Timur dan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir.

Peta Kabupaten Ogan Komering

Ilir disajikan pada Gambar 3 dan 4.

Gambar 3. Lokasi Penelitian di Kecamatan Kayuagung, Pedamaran, Pedamaran Timur dan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir

25

Gambar 4. Citra landsat Lokasi Penelitian pada Bentang Lahan Gambut di Hutan Produksi Terbatas Kayuagung. Penelitian ini terdiri dari 4 aspek penelitian, yakni aspek karakteristik lahan, keanekaragaman hayati dan aspek sosioekonomi, sehingga lokasi penelitian untuk masing-masing aspek adalah disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Lokasi Penelitian No. Aspek 1 Karakteristik Gambut 2

Keanekaragaman Hayati

3

Karakteristik Tanah Sosioekonomi

Lokasi Keterangan Hutan Gambut Kec. Kayuagung; Kec. Pedamaran; Kayuagung Kec. Pedamaran Timur dan Kec. Pampangan Hutan Gambut Kec. Kayuagung; Kec. Pedamaran; Kayuagung Kec. Pedamaran Timur dan Kec. Pampangan Desa Hutan Kec. Kayuagung; Kec. Pedamaran; Kec. Pedamaran Timur dan Kec. Pampangan Desa di sekitar Kec. Kayuagung; Kec. Pedamaran; Hutan Gambut Kec. Pedamaran Timur dan Kec. Pampangan

26

Hasil pengambilan sampel pada masing-masing aspek dilanjutkan dengan kegiatan analisis laboratorium seperti disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Lokasi Analisis Laboratorium No. Aspek Sampel dan Data 1 Karakteristik Gambut Gambut 2 Keanekaragaman Keanekaragaman Hayati hayati 3 Karakteristik Tanah Tanah 4 Sosioekonomi Sosioekonomi

Laboratorium Laboratorium Jurusan Tanah Fakultas Pertanian, Unsri Analisis dilakukan di Jurusan Biologi Fakultas MIPA, Unsri. Laboratorium Jurusan Tanah Fakultas Pertanian, Unsri. Laboratorium Jurusan Sosek Fakultas Pertanian, Unsri.

B. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian pada setiap aspek kegiatan seperti disajikan pada Tabel 7 dan 8. Tabel 7. Bahan untuk Penelitian No. Aspek Bahan 1 Karakteristik pH paper, baterai alkalin, bahan untuk analisis Gambut laboratorium dan bahan lainnya. 2 Keanekaragaman pH paper, baterai alkalin, alkohol, bahan kimia untuk Hayati analisis laboratorium dan bahan lainnya. 3 Karakteristik pH paper, baterai alkalin, bahan untuk analisis Tanah laboratorium dan bahan lainnya. 4 Sosioekonomi Bahan untuk wawancara, dll

Tabel 8. Alat untuk Penelitian No. Aspek Alat 1 Karakteristik GPS, Bor gambut dan belgi, meteran, peta lokasi, kamera Lahan digital, plastik sampel, karet, kertas label, spidol permanen, karung plastik, botol plastik, alat tulis dan alat untuk analisis tanah di laboratorium. 2 Keanekaraga GPS, kamera digital, ember, jaring, plastik sampel, karet, man Hayati kertas label, spidol permanen, karung plastik, botol, alat tulis dan alat untuk analisis tanah di laboratorium. 3 Karakteristik GPS, Bor gambut dan belgi, meteran, peta lokasi, kamera Lahan digital, plastik sampel, karet, kertas label, spidol permanen, karung plastik, botol plastik, alat tulis dan alat untuk analisis tanah di laboratorium. 4 Sosioekonomi Alat tulis dan analisis laboratorium

27

C. Metodologi Penelitian Penelitian 1. Dampak Kebakaran Lahan dan Aktivitas Masyarakat terhadap Karakteristik Gambut di Hutan Produksi Terbatas Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir. Cara Kerja: Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan, yakni: 1. Pra survai Kegiatan tahap pra survai adalah studi kepustakaan, diskusi tim peneliti tentang kerangka acuan dan pengumpulan data sekunder meliputi data kondisi lokasi, data iklim, pengadaan peta dasar, membuat desain peta survai, merencanakan

titik

pengamatan,

mengurus

administrasi

dan

perizinan,

mempersiapkan peralatan, bahan dan perlengkapan survai. Peta dasar untuk kegiatan survai dibuat dari citra skala 1:80.000 dan modifikasinya dalam bentuk peta potensi kebakaran atau menggunakan peta yang telah ada dari data sekunder. Hasil interpretasi citra dan dilanjutkan dengan melakukan pengecekan di lapangan, maka peta tersebut digunakan sebagai peta dasar dalam pembuatan peta kerja untuk penelitian. Survai pendahuluan dilakukan dan bersifat penjajakan lapangan dengan menggunakan peta hasil interpretasi citra landsat. Tahapan kegiatan survai pendahuluan adalah sebagai berikut: 1. Meninjau daerah survai guna mendapatkan gambaran menyeluruh tentang kondisi lapangan, dan 2. Melakukan pengamatan penggunaan lahan dan lingkungan berdasarkan peta yang tersedia dan mempersiapkan seluruh keperluan untuk survai utama. 2. Survai Utama Kegiatan survai utama merupakan kegiatan peninjauan langsung lapangan untuk mendapatkan data primer. Kegiatan yang dilakukan adalah melakukan pengamatan pada setiap titik yang telah ditentukan dengan pengeboran gambut, mengambil dan mempersiapkan sampel tanah untuk analisis. Kegiatan survai utama adalah dengan menggunakan gabungan metode survai dan memanfaatkan peta dasar dan data penunjang yang telah tersedia, sehingga data yang didapatkan sangat mewakili kondisi lokasi, akurat, dan efisien waktu pengamatan di lapangan.

28

Kegiatan dilakukan pada tingkat survai tinjau. Batas penyebaran kebakaran lahan dan bentuk wilayah, tipe penutupan lahan dan informasi lainnya. Sungai dan anak sungai adalah sangat membantu dalam mempercepat penjelajahan dan pengamatan lapangan, sehingga akan mendapatkan data dan gambaran lokasi lebih lengkap atau menyeluruh, serta menghasilkan analisis data lebih baik. 3. Titik Pengamatan Titik pengamatan gambut pada lahan bekas terbakar adalah sangat ditentukan oleh lokasi kebakaran lahan gambut yang terjadi pada beberapa waktu lalu, yang diharapkan titik pengamatan tersebut menyebar pada lokasi Hutan Gambut Kayuagung. 2. Analisis Tanah dan Data Analisis gambut adalah sifat fisik tanah (tingkat kematangan gambut, warna gambut dan kandungan abu) dan sifat kimia tanah (pH, kandungan hara N, P, K, C-organik, Ca, Mg dan KTK). Data hasil penelitian dilakukan analisis berdasarkan hasil pengamatan seperti peta kesuburan tanah dan gambut, peta kebakaran dan peta lainnya dengan menggunaan software Arc View 3.3. Data hasil pengamatan diharapkan akan membantu perencanaan program pengelolaan lahan gambut Kayuagung.

29

Penelitian 2. Dampak Kebakaran Lahan dan Aktivitas Masyarakat terhadap Keanekaragaman hayati di Hutan Produksi Terbatas Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir. Cara Kerja: Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan, yakni: 1. Pra survai Kegitan tahap pra survai adalah studi kepustakaan, diskusi tim peneliti tentang kerangka acuan dan pengumpulan data sekunder meliputi data kondisi lokasi, data iklim, pengadaan peta dasar, membuat desain peta survai, merencanakan titik pengamatan, mengurus administrasi dan perizinan, dan mempersiapkan peralatan, bahan dan perlengkapan survai. Peta dasar untuk kegiatan survai dibuat dari citra skala 1:80.000 dan modifikasinya dalam bentuk peta potensi kebakaran atau menggunakan peta yang telah ada dari data sekunder. Hasil interpretasi citra dan dilanjutkan dengan melakukan pengecekan di lapangan, maka peta tersebut digunakan sebagai peta dasar dalam pembuatan peta kerja untuk penelitian. Survai pendahuluan dilakukan dan bersifat penjajakan lapangan dengan menggunakan peta hasil interpretasi citra landsat. Tahapan kegiatan survai pendahuluan adalah sebagai berikut:1. Meninjau daerah survai guna mendapatkan gambaran menyeluruh tentang kondisi lapangan, dan 2. Melakukan pengamatan penggunaan lahan dan lingkungan berdasarkan peta yang tersedia dan mempersiapkan seluruh keperluan untuk survai utama.

2. Survai Utama Kegiatan survai utama keanekaragaman hayati merupakan kegiatan peninjauan langsung lapangan untuk mendapatkan data primer. Kegiatan yang dilakukan adalah melakukan pengamatan pada setiap titik yang telah ditentukan dengan pengambilan contoh biota sungai, pengamatan jenis dan kerapatan vegetasi, mengambil dan mempersiapkan sampel air untuk analisis.

30

3. Titik Pengamatan Titik pengamatan keanekaragaman hayati berdasarkan peta dasar rencana kerja hasil interpretasi citra dan pengamatan pra-survai di lokasi hutan gambut Kayuagung

dipadukan dengan kondisi lapangan, yakni telah banyaknya

perubahan peruntukan lahan, yakni terdapat tanaman karet, kelapa sawit, tanaman pangan dan lainnya. Titik pengamatan dilakukan pada setiap jenis tanaman yang ada. 4. Analisis Sampel dan Data Data yang dikumpulkan antara lain biota darat yakni keragaman dan kerapatan vegetasi alami, Biota air. Analisis contoh untuk biota air dilakukan di laboratorium.

Analisis vegetasi menggunakan Nilai Penting (NP) dengan

menjumlahkan Kerapatan Relatif (KR), dan Frekuensi Relatif (FR) dan Dominasi Relatif (DR), Indeks Keanekaragaman Plankton dan Benthos, Indeks Saprobik Plankton. Hasil seluruh data dianalisis dan dibahas untuk pelaporan.

31

Penelitian 3. Evaluasi Kemampuan Lahan di Desa Hutan pada Lahan Hutan Rawa Gambut di Bentang Lahan Kayu Agung, Kabupaten Ogan Komering Ilir Cara Kerja: Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan, yakni: Pra survai Kegitan tahap pra survai adalah studi kepustakaan, diskusi tim peneliti tentang kerangka acuan dan pengumpulan data sekunder meliputi data kondisi lokasi, data iklim, pengadaan peta dasar, membuat desain peta survai, merencanakan

titik

pengamatan,

mengurus

administrasi

dan

perizinan,

mempersiapkan peralatan, bahan dan perlengkapan survai. Peta dasar untuk kegiatan survai dibuat dari citra skala 1:80.000 dan modifikasinya dalam bentuk peta potensi kebakaran atau menggunakan peta yang telah ada dari data sekunder. Hasil interpretasi citra dan dilanjutkan dengan melakukan pengecekan di lapangan, maka peta tersebut digunakan sebagai peta dasar dalam pembuatan peta kerja untuk penelitian. Survai pendahuluan dilakukan dan bersifat penjajakan lapangan dengan menggunakan peta hasil interpretasi citra landsat. Tahapan kegiatan survai pendahuluan adalah sebagai berikut: 1. Meninjau daerah survai guna mendapatkan gambaran menyeluruh tentang kondisi lapangan, dan 2. Melakukan pengamatan penggunaan lahan dan lingkungan berdasarkan peta yang tersedia dan mempersiapkan seluruh keperluan untuk survai utama.

2. Survai Utama Kegiatan survai utama merupakan kegiatan peninjauan langsung lapangan untuk mendapatkan data primer. Kegiatan yang dilakukan adalah melakukan pengamatan pada setiap titik yang telah ditentukan dengan pengeboran tanah, pengamatan boring atau profil tanah, mengambil dan mempersiapkan sampel tanah untuk analisis. Kegiatan survai utama adalah dengan menggunakan gabungan metode survai dan memanfaatkan peta dasar dan data penunjang yang telah tersedia, sehingga data yang didapatkan sangat mewakili kondisi lokasi, akurat, dan efisien waktu pengamatan di lapangan. 32

Kegiatan dilakukan pada tingkat survai tinjau. Batas penyebaran kebakaran lahan dan bentuk wilayah, tipe penutupan lahan dan informasi lainnya. Sungai dan anak sungai adalah sangat membantu dalam mempercepat penjelajahan dan pengamatan lapangan, sehingga akan mendapatkan data dan gambaran lokasi lebih lengkap atau menyeluruh, serta menghasilkan analisis data lebih baik.

3. Titik Pengamatan Titik pengamatan boring atau profil tanah berdasarkan peta dasar rencana kerja hasil interpretasi citra dan pengamatan pra-survai di desa yang mempunyai potensi pengembangan pertanian di sekitar lokasi hutan gambut Kayuagung.

3. Analisis Tanah dan Data Analisis tanah adalah sifat fisik tanah (struktur tanah, infiltrasi tanah, warna tanah, dan tekstur tanah) dan sifat kimia tanah (pH, kandungan hara N, P, K, C-organik, Ca, Mg, dan KTK). Data hasil penelitian dilakukan analisis berdasarkan hasil pengamatan seperti peta kesuburan tanah dan gambut, peta kebakaran dan peta lainnya dengan menggunaan software Arc View 3.3. Data hasil pengamatan diharapkan akan membantu perencanaan program pengelolaan lahan gambut Kayuagung.

33

Penelitian 4. Kondisi Sosioekonomi dan Aktivitas Masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terbatas Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir. Cara Kerja: Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tahapan, yakni: 1. Pra survai Kegitan tahap pra survai adalah studi kepustakaan, diskusi tim peneliti tentang kerangka acuan dan pengumpulan data sekunder meliputi data kondisi lokasi, data iklim, pengadaan peta dasar, membuat desain peta survai, merencanakan titik pengamatan, mengurus administrasi dan perizinan, dan mempersiapkan peralatan, bahan dan perlengkapan survai.

Survai pendahuluan dilakukan dan bersifat penjajakan lapangan dengan menggunakan data desa/kecamatan yang tersedia. Kegiatan survai pendahuluan adalah meninjau daerah survai guna mendapatkan gambaran menyeluruh tentang kondisi masyarakat, dan mempersiapkan seluruh keperluan untuk survai utama.

2. Survai Utama Kegiatan survai utama kondisi sosioekonomi dan aktivitas masyarakat di kawasan hutan merupakan kegiatan peninjauan langsung lapangan untuk mendapatkan data primer.

Kegiatan yang dilakukan adalah melakukan

wawancara terhadap masyarakat (pemuka masyarakat, tokok agama dan petani sebagai pelaku kegiatan di hutan) pada desa tertentu yang telah ditentukan. 3. Titik Pengamatan sampel masyarakat Titik pengamatan masyarakat pewakil berdasarkan peta dasar rencana kerja hasil

pengamatan pra-survai di desa di sekitar lokasi hutan gambut

Kayuagung. Jumlah pengamatan adalah terdiri dari pemuka masyarakat, aparat desa dan beberapa masyarakat sebagai pelaku kegiatan di hutan untuk setiap desa pewakil pada setiap kecamatan.

34

4. Analisis Tanah dan Data Data yang dikumpulkan antara lain kepadatan penduduk, pendapatan, mata pencaharian, sex ratio, pertumbuhan penduduk, adat istiadat dan kesehatan masyarakat.

35

V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Dampak Kebakaran Lahan dan Aktivitas Masyarakat terhadap Karakteristik Gambut di Hutan Produksi Terbatas Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir. Pengamatan karakteristik lahan gambut dilakukan pada beberapa titik pengamatan baik yang bersifat mengelompok dan individu sesuai dengan kondisi lahan dan tata guna lahan yang ada. Pengamatan mengelompok dilakukan pada lahan gambut Desa Cinta Jaya, sedangkan titik pengamatan lainnya yang bersifat pewakil atau individu adalah tersebar di beberapa titik pengamatan pada lahan yang pernah terbakar dan secara adminstratif tersebar pada Kecamatan Kayuagung, Pedamaran Timur dan Pedamaran.

A.1. Karakteristik Gambut Desa Cinta Jaya, Pedamaran. Lahan gambut di Desa Cinta Jaya terletak lebih kurang 5 km dari pemukiman penduduk dan dapat ditempuh melalui jalan air melewati Sungai. Masyarakat melakukan aktivitas di lahan gambut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yakni mencari kayu baikar, rumput purun (bahan baku tikar), rotan, dan kayu-kayu besar yang banyak tertimbun di bawah gambut sebagai kayu olahan. Upaya pengambilan kayu yang ada di bawah gambut dilakukan dengan menggali gambut dengan sebelumnya membakar untuk menghilangkan semak-semak dan memudahkan dalam penggalian, hal ini merupakan salah satu penyebab kerusakan lahan gambut di Desa Cinta Jaya. Hasil pengamatan boring gambut di Desa Cinta Jaya Kecamatan Kayuagung disajikan pada Tabel 9 dan sebaran ketebalan gambut disajikan pada Gambar 5. Ketebalan gambut pada lokasi penelitian berkisar antara 1,5 m hingga lebih dari 5 m. Ketebalan gambut lokasi pengamatan tergolong dalam kriteria gambut tengahan (1-2 m) sampai gambut sangat dalam (>3 m). Dari sepuluh titik pengamatan, hampir seluruhnya tergolong gambut dalam.

36

Tabel 9. Karakteristik Sifat Fisik Tanah Gambut Desa Cinta Jaya, Pedamaran. Titik Ketebalan Kedalaman Tingkat Warna Tanah Pengamatan (cm) Air (cm) Kematangan Gambut 0 – 100 Hemik 10YR 2/1 100 – 200 Hemik 10YR 3/2 1 -15 200 - 300 Hemik 10YR 3/2 300 - 400 Hemik 10YR 3/2 0 – 100 Hemik 10YR 2/1 2 100 - 200 -20 Hemik 10YR 3/2 200 - 300 Hemik 10YR 3/2 0 – 100 Hemik 10YR 2/1 3 0 100 - 150 Hemik 10YR 3/2 0 – 100 Hemik 10YR 2/1 4 100 - 200 -30 Hemik 10YR 3/2 200 - 300 Fibrik 10YR 3/2 0 – 100 Hemik 10YR 2/2 100 – 200 Hemik 10YR 3/2 5 200 – 300 -50 300 - 400 Fibrik 10YR 3/3 400 - 500 Hemik 10YR 3/2 0 – 100 Hemik 10YR 3/1 100 – 200 Hemik 10YR 3/2 6 200 – 300 -50 300 - 400 Fibrik 10YR 3/3 400 - >500 Hemik 10YR 3/3 0 – 100 Hemik 10YR 2/2 100 – 200 Hemik 10YR 3/2 7 200 – 300 -50 300 - 400 400 - >500 Hemik 10YR 3/3 0 – 100 Hemik 10YR 2/1 100 – 200 Hemik 10YR 3/2 8 200 – 300 -10 300 - 400 400 - 500 Hemik 10YR 3/2 0 – 100 Hemik 10YR 2/1 100 – 200 Hemik 10YR 3/2 9 200 – 300 -5 300 - 400 400 - 500 Fibrik 10YR 3/3 0 – 100 Hemik 10YR 2/1 100 – 200 Hemik 10YR 3/2 10 200 – 300 -5 Hemik 10YR 3/2 300 - 400 Fibrik 10YR 3/3 400 - 500 Hemik 10YR 3/2

37

Dampak dari kebakaran hutan yang sering terjadi di lokasi penelitian menyebabkan terjadinya kerusakan hutan, yakni terjadinya hilangnya tanaman asli gambut dan munculnya tanaman jenis baru. Disisi lain kondisi fisik lahan juga telah terjadi kemerosotan, yakni dengan hilangnya lapisan gambut hingga cukup dalam dan menjadikan kerusakan lahan (Gambar 6).

Gambar 5. Peta Sebaran Ketebalan Gambut Desa Cinta Jaya, Pedamaran. Hasil analisis kimia tanah gambut (Tabel 10) menunjukkan bahwa tanah gambut mempunyai reaksi sangat masam (>4,5). Rendahnya nilai pH adalah disebabkan oleh asam-asam organik, pirit, dan ion hidrogen dapat tukar (H-dd) yang tinggi terkandung dalam tanah gambut. Dekomposisi bahan organik akan

menghasilkan asam-asam organik yang terakumulasi pada tubuh tanah sehingga akan meningkatkan kemasaman pada tanah gambut. Data reaksi tanah pada lapisan atas tergolong sangat masam dan relatif tidak jauh berbeda dengan nilai pada lapisan bawahnya. Hal ini terjadi karena daya sangga gambut terhadap perubahan kemasaman tanah. Kemasaman tanah gambut berasal dari asam-asam organik yang berada dalam bentuk gugus karboksilat (-COOH) dan gugus hidroksil dari fenolat (-OH). Gugus tersebut merupakan asam lemah yang dapat terdissosiasi menghasilkan ion H+, dan 38

mampu mempertahankan reaksi tanah terhadap perubahan kemasaman tanah (Riwandi, 2001).

Gambar 6. Sebaran Kerusakan Hutan Gambut Desa Cinta Jaya, Pedamaran.

Tabel 10. Hasil Analisis Kimia Tanah Gambut Desa Cinta Jaya, Pedamaran. Contoh Kedalam Tingkat Kemasa Karbon N-total Ratio Tanah an Kematangan man Organik (%) C/N Gambut (cm) (pH) (%)

1 4 6 9

0–100 300–400 0–100 200–300 0–100 400–500 0–100 400–500

Hemik Hemik Hemik Fibrik Hemik Hemik Hemik Fibrik

3,67 3,61 3,74 3,38 3,59 3,51 3,75 3,43

35,59 31,48 27,96 26,12 32,75 32,01 36,06 30,91

0,73 0,69 0,76 0,67 0,76 0,73 0,79 0,58

49 46 37 39 43 44 46 53

Kadar Abu (%) 5,86 5,43 7,59 5,39 5,51 5,72 6,22 4,09

Hasil analisis C organik, berdasarkan kriteria penilaian sifat kimia tanah PPT (1983) menunjukkan kadar C-organik yang sangat tinggi berkisar antara 26,12 % sampai 35,59 %.

Tingginya kandungan C-organik menunjukkan

akumulasi bahan organik tinggi yang merupakan ciri tanah gambut. Kandungan

39

C-organik pada lokasi pengamatan cenderung lebih tinggi pada gambut atas dibandingkan dengan gambut bawahnya. Perbedaan kandungan karbon ini dapat disebabkan oleh perbedaan sisa jenis tumbuhan penyusun gambut atas dan gambut bawah. Hasil analisis kadar N-total (%) termasuk dalam kriteria tinggi hingga sangat tinggi. Tingginya kandungan Nitrogen dikarenakan sumber Nitrogen yang utama adalah bahan organik, Nitrogen dalam tanah berasal dari bahan organik tanah (Hardjowigeno, 1995). Meskipun kandungan Nitrogen dalam tanah gambut lokasi penelitian tergolong tinggi, namun N pada tanah gambut ini sulit tersedia untuk tanaman. Hal ini dikarenakan rasio C/N yang tergolong sangat tinggi (>25). Nilai C/N rasio lebih besar dari 30 akan terjadi immobilisasi N oleh mikrobia tanah untuk memenuhi kebutuhan metabolismenya (Barchia, 2006). Nitrogen pada gambut atas relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan Nitrogen gambut bawahnya, hal ini dikarenakan pada gambut atas terjadi proses dekomposisi yang lebih baik dibandingkan dengan gambut bawahnya yang selalu dalam kondisi jenuh air, sehingga kandungan Nitrogen dari hasil dekomposisi cenderung lebih rendah dari gambut atas. Ratio C dan N dari hasil analisis menunjukkan kriteria sangat tinggi (>25). Tingginya ratio C/N karena belum lanjutnya dekomposisi gambut pada lokasi penelitian. Dekomposisi yang belum lanjut ini dapat disebabkan oleh kondisi yang selalu jenuh dan pengaruh dari bahan penyusun tanah gambut yang berasal dari vegetasi yang sulit lapuk. Ratio C dan N pada gambut atasnya relatif lebih rendah bila dibandingkan dengan C/N gambut di bawahnya. Ini disebabkan karena proses dekomposisi yang menghasilkan nitrogen pada gambut atas berlangsung lebih baik dibandingkan gambut di bawahnya, kemudian terjadi pencucian hara oleh air menuju sungai/danau.

Kehilangan hara yang terjadi terus menerus akan mengurangi

ketersediaan hara di lapisan permukaan tanah gambut. Kadar abu tanah gambut dari lokasi penelitian berkisar antara 4,09 hingga 7,59 %. Berdasarkan kandungan kadar abunya gambut lokasi penelitian tergolong gambut mesotrofik (tingkat kesuburan sedang). Kadar abu berhubungan dengan tingkat kematangan dan kesuburan tanah gambut. Kadar abu gambut yang belum 40

terganggu tergolong rendah, peningkatan intensitas pengunaan lahan dapat meningkatkan kadar abu seiring dengan meningkatnya mineralisasi tanah. Menurut Barchia (2006), kadar abu tanah gambut berkisar antara 5-65%, dan makin tinggi kadar abu tanah gambut, makin tinggi mineral yang terkandung pada tanah gambut. Kadar abu tanah gambut atas relatif lebih tinggi dibandingkan kadar abu pada bagian bawahnya. Hal ini karena proses dekomposisi gambut yang lebih baik pada permukaan tanah gambut dibandingkan dengan bagian bawahnya. Kadar abu pada titik pengamatan enam memiliki kadar abu lapisan atas yang lebih rendah, diperkirakan lokasi gambut tersebut bmasih terjadi proses penimbunan bahan baru yang berasal dari vegetasi yang tumbuh di atasnya. Hasil analisis Natrium (Na) dari contoh tanah lokasi penelitian berkisar antara rendah (0,1-0,3) hingga sedang (0,4-0,7) (Tabel 11). Kandungan Na yang relatif rendah ini mamperjelas bahwa lokasi penelitian merupakan rawa lebak, karena tidak memperoleh pengaruh dari pasang surut air laut. Hal ini diperkuat dengan hasil uji DHL dari contoh tanah gambut lokasi penelitian yang termasuk dalam kriteria sangat rendah (<1) hingga rendah (1-2). DHL bisa dikatakan normal bila berkisar antara 0,02 - 1,500 mS cm-1 (Goldman dan Horne, 1983).

Tabel 11. Hasil Analisis Na dan EC Gambut. No. 1.

Contoh Tanah Gambut 1

2.

4

3.

6

4.

9

Kedalaman (cm) 0 – 100 300 – 400 0 – 100 200 – 300 0 – 100 400 – > 500 0 – 100 400 – 500

Na (Cmol kg-1) 0,44 0,33 0,33 0.44 0,33 0,55 0,44 0,55

DHL (mS cm-1) 0,810 1,090 0,890 1,710 1,350 1,260 1,140 1.410

41

B. Dampak Kebakaran Lahan dan Aktivitas Masyarakat terhadap Keanekaragaman hayati di Hutan Produksi Terbatas Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir. B.1. Kondisi Vegetasi Lahan Gambut Prayitno dan Bakri (2005) melaporkan bahwa tumbuhan penutup tanah pada lintasan survai jalur pengamatan titik 1 hingga 42 adalah dari Desa Tanjung Serang menuju Talang Serdang Tujuh yang dominan adalah perpat (Sonneratia sp) dan pakis (Stenochama polushis), namun kondisi vegetasi hanya tumbuhan sekunder yang mempunyai diameter batang kurang dari 20 cm. Berkurangnya jumlah kerapatan pohon di sekitar jalur pengamatan disebabkan oleh aktivitas masyarakat sekitar dengan menebang pohon untuk memenuhi keutuhan hidupnya. Dampak langsung atau tidak langsung adalah sering terjadinya kebakaran pepohonan dan gambut di musim kemarau. Berdasarkan data pengamatan lapangan vegetasi dominan adalah gelam (Melaleuca sp), perpat (Sonneratia sp) dan pakis (Stenochama polushis). Pada lahan dengan kedalaman gambut dangkal akan memungkinkan tumbuhan gelam mendoninasi lahan, namun pada lahan dengan kedalaman gambut dalam, maka tanaman perpat akan mendominasi lahan. Vegetasi gelam (Gambar 7) merupakan indikator lahan dengan gambut dangkal atau pada umumnya dapat dijumpai di pinggir dataran Alluvial. Tanaman pakis dan belidang (Gambar 7) dapat tumbuh dengan baik apabila kondisi lahan telah terbuka atau tidak mempunyai kanopi rapat.

Kedua tanaman tersebut

mampu tumbuh baik pada lahan dengan gambut dalam atau Tanah Alluvial. Kondisi vegetasi lain adalah dominan gelam (Melaleuca sp), dan alangalang (Imperata cylindra) dimana lokasi adalah tanah mineral. Topografi lokasi ini lebih tinggi dibandingkan daerah lainnya. Pada lahan gambut dalam didominasi oleh perpat (Sonneratia sp) (Gambar 8.) dan pakis (Stenochama polushis), juga ditemukan sepongol dan gelam.

42

Gambar 7. Vegetasi Gelam dan Vegetasi Rumput Belidang

Gambar 8. Vegetasi Perpat (Sonneratia sp)

Lintasan survai jalur pengamatan titik 43 hingga 100 adalah dari Desa Pedamaran I menuju Desa Jungkal mempunyai kondisi lahan gambut dengan vegetasi dominan perpat (Sonneratia sp), pakis (Stenochama polushis), dan beriang. Hingga tahun 1970-an hutan primer yang merupakan vegetasi klimaks terdiri dari hutan rawa air tawar dan hutan gambut, masih dinyatakan keberadaannya seperti dilaporkan oleh Soil Research Institute (1973) dalam Rifani (1988). Kondisi vegetasi saat ini menunjukkan kecenderungan perubahan dari hutan sekunder menjadi hutan tersier atau bahkan menjadi tanaman pioner.

43

Berdasarkan data pengamatan lapangan vegetasi di titik 43-45 dominan adalah belidang, hal ini mengindikasikan gambut didaerah ini relatif lebih dangkal, ini dibuktikan dengan kedalaman gambut pada titik ini 2 m. Perpat (Sonneratia sp) dan pakis (Stenochama polushis), gelam (Melaleuca sp), beriang dan purun mendominasi titik pengamatan 47 sampai 98, kecenderung kondisi daerah lebih rendah dan gambutnya lebih dalam (Prayitno dan Bakri, 2005). Hasil analisis vegetasi jalan raya Sepucuk, Kecamatan Pedamaran Timur yang dilakukan pada areal yang didominasi oleh belukar seperti terlihat pada Tabel 11, di atas, ternyata indeks keanekaragaman vegetasi adalah sebesar 2,04. nilai indeks keanekaragaman ini, menunjukkan kondisi komunitas sedang dalam proses suksesi yang demikian kuat untuk menjaga keseimbangan, yaitu menuju nilai indeks keanekaragaman 3,0–4,0. Nilai indeks keanekaragaman sebesar 2,00 adalah menunjukkan batas keseimbangan, jadi kondisi ini sangat rentan terhadap terjadinya kerusakan, antara lain kebakaran areal gambut. Vegetasi yang dominan pada hasil analisis vegetasi ini, dapat dilihat pada indeks nilai pentingnya. Dalam hal ini ditunjukkan oleh jenis purun besar (Lepironia mucronata), dengan nilai indeks nilai penting sebesar 79,75%, disusul oleh pakis gambut (Blechnum orientale) dengan nilai indeks nilai pentingnya sebesar 56,80 dan kemudian diikuti oleh jenis pandan gambut (Pandanus ornatus) dengan indeks nilai pentingnya sebesar 44,83%. Berdasarkan harga Indeks Nilai Pentingnya (INP) setiap jenis tersebut, menunjukkan ada tiga spesies yang mendominasi vegetasi belukar di wilayah studi, berturut-turut yaitu: jenis purun besar, pakis gambut dan pandan gambut. Hasil analisis vegetasi, Jalan Raya Sepucuk Kecamatan Kayuagung, yang dilakukan pada areal hutan perepat yang didominasi oleh strata atas berupa kayu perepat dan strata bawah oleh rumput purun besar, dapat dilihat hasilnya seperti pada Tabel 12. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan dapat dilihat harga Indeks Nilai Penting (INP) dari setiap spesies yang dijumpai. Berdasarkan harga INP tiap spesies atau jenis, ternyata INP paling tinggi dijumpai pada jenis purun besar (Lepironia mucronata), yaitu sebesar 152,5 % artinya jenis ini mendominasi dari seluruh habitat di hutan perepat wilayah studi. Meskipun jenis ini merupakan vegetasi strata bawah atau rumputan, namun kemampuannya hidup pada lahan 44

bergambut yang luar biasa. Harga INP terbesar ke dua terdapat pada jenis kayu perepat (Combretocarpus motleyi), yaitu dengan harga INP sebesar 46,12. Dan harga INP terbesar ketiga terdapat pada pakis gambut (Blechnum orientale) dengan INP sebesar 20,67. Hasil analisis dengan harga INP terbesar dapat dinyatakan ada tiga spesies yang mendominasi vegetasi di wilayah studi ini, yaitu: purun besar (Lepironia mucronata), kayu perepat (Combretocarpus motleyi) dan pakis gambut (Blechnum orientale). Kondisi adanya nilai INP yang tertinggi, dalam hal ini ada tiga spesies seperti disebutkan di atas, menunjukkan bahwa ada spesies yang mendominasi kehidupan vegetasi pada ekosistem hutan rawa gambut di wilayah studi. Dengan adanya

spesies

yang

mendominasi

suatu

komunitas

dalam

ekosistem,

menunjukkan telah adanya kerusakan yang demikian besar terjadi dalam habitat wilayah studi, kemungkinan penebangan kayu secara illegal pada waktu lampau dan pernah terjadi kebakaran hutan di wilayah studi. Pernyataan ini diperkuat oleh harga Indeks Keanekaragaman komunitas vegetasi di wilayah studi (Tabel 13) sebesar 1,75, menunjukkan kondisi komunitas tidak mantap yang diindikasi dengan nilai Indeks Keanekaragaman <2,00. Jenis-jenis lainnya yang tidak dominan dapat dilihat pada Tabel 12, merupakan jenis-jenis yang ikut dalam proses suksesesi untuk menuju kepada proses keseimbangan alam. Proses keseimbangan alam sangat didukung oleh pengawasan untuk tidak mengganggu kehidupan vegetasi di wilayah studi.

45

Tabel 12. Hasil Analisis Vegetasi Belukar di Rawa Gambut, Lokasi Jalan Sepucuk, Kecamatan Pedamaran Timur No.

Nama Jenis

Hasil Analisis K

KR

F

FR

D

DR

INP

HH

1

Blechnum orientale (pakis gambut)

565.000

38.948

1,00

17,54

4435

0,313

56,80

0,315

2

Lepironia mucronata (purun besar)

700.000

48.254

1,00

17,54

197.820

13.958

79,75

0,352

3

Melaluca leucadendra (gelam rawa)

5.000

0,345

0,20

3,51

361.728

25.522

29,38

0,228

4

Pandanus ornatus (pandan gambut)

135.000

9,306

0,32

5,61

423.900

29.909

44,83

0,283

5

Uncaria longiflora (kekait)

7.500

0,517

0,42

7,37

376.800

26.586

34,47

0,249

6

Fimbristylis annua (belidang)

3.500

2,413

0,64

11,23

275

0,019

13,66

0,141

7

Aporosa microcalyx (pelangas)

2.500

0,172

0,24

4,21

20

0,001

4,38

0,062

8

Melastoma malabathricum (seduduk)

75

0,005

0,18

3,16

2.885

0,203

3,37

0,050

9

Hevea brasiliensis (karet)

100

0,007

0,80

14,04

3.847

0,272

14,32

0,145

10

Paspalum conjugatum (kumpai)

300

0,021

0,34

5,96

5.887

0,415

6,40

0,082

11

Combretocarpus motleyi (perepat gambut)

175

0,012

0,56

9,83

3.9701

2,801

12,64

0,133

1.450.650

100,0

5,70

100,0

1417298

100,0

300,0

2,04

Jumlah

46

Tabel 13. Hasil Analisis Vegetasi pada Hutan Perepat di Rawa Gambut, Lokasi Jalan Sepucuk , Kecamatan Kayuagung No.

Nama Jenis

Hasil Analisis K

KR

F

FR

D

DR

INP

HH

5.025

0,776

1,00

13,263

142.007

32,08

46,12

0,254

1.

Combretocarpus motleyi (kayu perepat)

2.

Melaleuca leucadendra (gelam rawa)

550

0,085

0,86

11,406

3.886

0,88

12,34

0,131

3.

Eugenia variifolia (kayu samak)

200

0,031

0,42

5,570

1.413

0,32

5,92

0,077

4.

Eugenia spicata (gelam tikus)

125

0,019

0,30

3,979

1.570

0,35

4,35

0,61

5.

Vitex gamosepala (leban pacat)

100

0,015

0,12

1,592

1.256

0,28

1,89

0,032

6.

Blechnum orientale (pakis gambut)

56.000

8,645

0,72

9,549

10.990

2,48

20,67

0,184

7.

Lepironia mucronata (purun besar)

520.000

80,278

1,00

13,263

261.248

59,01

152,55

0,344

8.

Axonopus compressus (rumput pait)

36.000

5,558

0,64

8,488

4.522

1,02

15,07

0,150

9.

Fimbristylis annua (belidang)

24.000

3,705

0,56

7,427

6.782

1,53

12,66

0,134

10.

Aporosa microcalyx (pelangas)

1.600

0,247

0,38

5,040

5.024

1,13

6,42

0,082

11.

Melastoma malabathricum (seduduk)

350

0,054

0,44

5,836

275

0,06

5,95

0,078

12.

Uncaria longiflora (kekait)

1.200

0,185

0,50

6,631

942

0,21

7,03

0,088

13.

Paspalum conjugatum (kumpai)

200

0,031

0,20

2,653

25

0,01

2,69

0,042

14.

Pandanus ornatus (pandan gambut)

600

0,093

0,16

2,122

1.884

0,43

2,65

0,042

15.

Asplenium longissimum (pakis panjang)

1.800

0,278

0,24

3,183

904

0,20

3,66

0,054

647.750

100,0

7,54

100,0

442.728

100,0

300,0

1,75

Jumlah

Sumber: Data Primer, Agustus, 2009.

47

B.2. Kondisi Biota Lahan Gambut B.2.1. Danau Teloko, Kecamatan Kayuagung B.2.1.1. Biota Darat Biota darat, meliputi semua makhluk hidup atau organisme yang menghuni atau hidup pada ekosistem daratan baik pada permukaan tanah maupun yang ada di dalam tanah bersifat immobil meliputi semua vegetasi maupun yang bersifat mobil meliputi semua satwa liar atau fauna yang ada. Pada masa lalu, hutan alam yang terdapat di kaki pegunungan bukit barisan hingga ke daerah pantai Pulau Sumatera adalah Hutan Primer dengan keanekaragaman yang tinggi. Namun, setelah itu, seiring dengan perkembangan kehidupan manusia, maka berlangsung pula kegiatan mengeksploitasi hutan dan penggunaan lahan oleh masyarakat maupun perusahaan, sehingga terjadilah degenerasi terhadap hutan alam tersebut dari waktu ke waktu. Sebagai akibat dari gangguan atau degenerasi ini, maka semakin bertambah jumlah spesies organisme yang berkategori langka dalam hutan alam tersebut. Apalagi, semakin hari hutan alam yang bersifat primer semakin tipis, maka masalah kelangkaan jenis flora dan fauna semakin menjadi persoalan yang sangat serius. Wilayah Danau Teloko, merupakan danau rawa yang muka airnya berfluktuasi menurut musim penghujan atau kemarau. Sebagai danau rawa, debit air sangat tergantung pada pasokan air hujan yang berasal dari sungai-sungai kecil terdekat atau aliran air dari wilayah sekitar yang topografinya lebih tinggi ketika turun hujan. Danau Teloko juga cukup luas, yaitu .. hektar (ratusan hektar) dengan kedalaman 2–5 meter pada waktu musim hujan dan <2 meter pada waktu kemarau, bahkan pada waktu kemarau panjang (>5 bulan) permukaan danau menjadi kering seperti yang terjadi pada tahun 1997. Namun demikian, kondisi penghujan atau kondisi akuatik tampaknya lebih dominan dalam bulan-bulan sepanjang tahun dibanding kondisi kering atau kemarau. Dengan kondisi seperti itu, maka Danau Teloko merupakan ekosistem akuatik yang memiliki potensi dalam pengembangan perikanan air tawar, terutama kelompok ikan berwarna gelap (blackfishes). Hal ini berkaitan dengan luasnya Danau Teloko dan proses 48

terjadinya secara alami, sehingga jenis-jenis ikan dan vegetasi yang ada dalam perairan danau rawa tersebut sudah sangat beradaptasi dengan sifat fisik dan khemis badan air danau rawa tersebut. Dengan kondisi lahan gambut yang terdapat di sekitar danau teloko, maka vegetasi yang kerap dijumpai antara lain: eceng gondok (Eichhornia crassipes), purun (Lepironia mucronata), kumpai (Panicum stagninum), teratai besar (Nelumbo nucifera),

ketanan (Polygonum pulchrum), keladi (Colocasia

esculenta), genjer (Limnocharis flava), belidang (Fimbristylis annua), petai air (Neptunia prostrata),

kangkung (Ipomoea aquatica) dan rumput ganggang

(Hydrilla verticillata). Vegetasi lainnya yang tumbuh pada tanah mengapung antara lain: senggani (Melastoma malabathricum) dan rumput pait (Axonopus compressus). Sementara itu jenis kayu yang masih ada dan bertahan pada kondisi tergenang adalah kayu gabus (Alstonia spp.). Beberapa jenis unggas yang sering dijumpai adalah unggas yang beradaptasi dengan lingkungan akuatik, sehingga makanannya berupa jenis-jenis ikan kecil dan berbagai jenis Avertebrata dari Kelas Insecta maupun Kelas Annelida. Jenis unggas akuatik tersebut antara lain:

keruwak (Amaurornis

phoenicurus), ayaman (Gallinula chloropus), raja udang (Alcedo attis), bambangan (Ixobrychus cinnamomeus), kuntul kecil (Egretta garzetta), bangau totong (Leptoptilos javanicus), belibis (Dendrocygna javanica), elang bondol (Heliastur indus) dan bodol (Lonchura leucogastra).

B.2.1.2. Biota Perairan Biota akuatik dapat dibedakan menjadi 3 kelompok umum, yaitu plankton, benthos dan nekton. Penggolongan ini didasarkan pada prilaku serta sifat yang mempengaruhi responnya terhadap habitat akuatik. Komunitas biotik baik plankton, benthos maupun nekton dapat dijadikan sebagai indikator kondisi ekologis. Perubahan komunitas biotik tersebut merupakan indikator perubahan ekosistem perairan (akuatik). Ketiga kelompok organisme tersebut saling terkait dalam menopang rantai dan jaring makanan dalam ekosistem perairan seperti Danau Teloko.

49

Komunitas plankton secara garis besar dibedakan atas dua kelompok, yaitu fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton merupakan plankton yang bersifat produsen karena bersifat autotrof, yakni berkemampuan mengolah makanan dari bahan-bahan anorganik menjadi bahan-bahan organik via energi surya. Sedangkan kelompok zooplankton memanfaatkan bahan-bahan organik yang diproduksi oleh fitoplankton. Oleh karena itu kedua kelompok plankton tersebut saling tergantung. Dalam hal ini zooplankton memanfaatkan fitoplankton sebagai sumber energinya, sedangkan zooplankton berguna menekan pertumbuhan fitoplankton agar kepadatan populasinya di alam menjadi seimbang, sehingga tidak terjadi blooming populasi. Hasil analisis komunitas plankton disajikan pada Tabel 14 dan

hasil

inventarisasi jenis-jenis nekton (terutama ikan) disajikan pada Tabel 15.

Tabel 14. Keanekaragaman dan Kelimpahan Populasi Spesies Plankton di Perairan Danau Teloko, Kabupaten Ogan Komering Ilir No.

Nama Kelompok dan Spesies

I. A.

PHYTOPLANKTON: Cyanophyceae: 1. Anabaena catenula 2. Gloeotrichia echinulata 3. Lyngbya birgei 4. Lyngbya limnetica 5. Nodularia spumigena 6. Oscillatoria splendida Chlorophyceae: 1. Ankistrodesmus falcatus 2. Ankistrodesmus spiralis 3. Chaetophopra elegans 4. Chaetophora incrassata 5. Chlorella ellipsoidea 6. Chlorella vulgaris 7. Chodatella longiseta 8. Oedogonium longiarticulatum 9. Quadrigula recustris 10. Spirogyra varians Desmidiaceae: 1. Closterium juncidum 2. Genicularia sp. Diatomae: 1. Asterionella formosa 2. Asterionella gracillima 3. Diatoma elongatum 4. Diatoma vulgare 5. Eunotia arcus

B.

C.

D.

P1

Jumlah Individu/liter P2 P3 P4

-

2 2 1

1 1 3 1

1 1 -

1 4 1 4 9 1 1

4 1 1 2 2 -

1 3 5 1 -

10 19 1 -

1 1

-

-

-

3 2 -

1 2 5 -

1 3 7 3 -

3 3 1 2 1

50

6. Eunotia gracilis 3 3 3 7. Eunotia lunaris 3 2 4 3 8. Navicula minima 1 9. Navicula pupula 1 10. Navicula spicula 2 11. Nitzschia linearis 1 3 12. Synedra acus 7 1 13. Tabellaria fenestrata 2 II. ZOOPLANKTON: A. Flagellata: 1. Anisonema ovale 4 2 5 2. Carteria crucifera 11 4 4 2 3. Carteria globosa 6 3 3 4. Chlamydomonas cingulata 8 3 11 5. Euglena acus 1 6. Lepocinclis ovum 2 2 4 7. Polytoma uvella 2 1 2 8. Phacus unguis 1 9. Oicomonas socialis 1 1 10. Trachelomonas abrupta 2 11. Trachelomonas cucurbitiformis 1 1 12. Trachelomonas curta 1 2 4 1 13. Trachelomonas cylindrica 1 14. Trachelomonas hexangulata 1 15. Trachelomonas oblonga 4 3 4 2 16. Trachelomonas pulcherrima 1 17. Trachelomonas schwiakoffii 4 18. Trachelomonas volvocina 1 5 B. Rhizopoda: 1. Astramoeba radiosa 1 2. Centropyxis aculeata 1 3. Nebela dentistoma 1 1 4. Nebela militaris 1 5. Thecamoeba verrucosa 1 1. Populasi plankton per liter: 76 51 69 93 2. Populasi phytoplankton per liter: 35 35 42 50 3. Populasi zooplankton per liter: 41 16 27 43 4. Keanekaan spesies plankton: 25 21 32 27 5. Keanekaan spesies fitoplankton: 14 14 18 13 6. Keanekaan spesies zooplankton: 11 7 14 14 7. Indeks Kemerataan (Shannon): E 2,07 2,18 2,16 2,00 8. Indeks Keanekaragaman Plankton (H): 2,89 2,88 3,24 2,86 Sumber: Data Primer, Juni 2009. Keterangan: P1: Lebak Kecil Danau Teloko; P2. Lebak Besar Danau Teloko; P3: Lebak Sungai Danau Teloko; P4: Lebak Mahang Danau Teloko.

Berdasarkan hasil analisis komunitas plankton, indeks keanekaragaman komunitas plankton pada 4 titik pengambilan sample (musim kemarau) ternyata cukup besar, yaitu jauh >2,00, yakni berkisar 2,86–3,24. Indeks keanekaragaman plankton mendekati 3,00 hingga >3,00 menunjukkan kondisi komunitas plankton adalah mendekati sangat stabil hingga sangat stabil. Indeks keanekaragaman

51

sebesar 2,86–3,24, yakni

jauh di atas 2,00 menunjukkan tidak terdapat

pencemaran dalam badan air Danau Teloko. Namun demikian, kelimpahan komunitas plankton rata-rata <100 individu/liter air menunjukkan kelimpahan sedang, yakni populasi masing-masing plankton tergolong tidak melimpah. Hal ini berkaitan dengan kondisi badan air yang rendah kandungan nutrisinya diperlihatkan dari kandungan N rendah. Hasil analisis benthos yang dilakukan, menunjukkan bahwa pada substrat lumpur dasar Danau Teloko pada lokasi yang disampling ternyata tidak dijumpai organisme benthos. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan faktor fisik dan khemis dalam badan air. Faktor fisik berkaitan dengan penetrasi cahaya yang sangat rendah, yaitu tidak mencapai ke dasar perairan. Kedalaman air >1 meter, namun penetrasi cahaya < 50 cm, sehingga bagian dasar badan air tidak mendapat cahaya, sehingga di tempat ini fotosintesis tidak optimal, sehingga pakan benthos dan ketersediaan oksigen terlarut tidak cukup untuk kebutuhan minimal komunitas benthos. Faktor khemis antara lain, kandungan oksigen terlarut, terutama pada bagian dasar perairan diperkirakan sangat rendah. Hal ini sesuai dengan kondisi bagian dasar perairan adalah gelap sesuai dengan warna air yang relatif keruh dan berwarna kecokelatan. Sesuai dengan kondisi fisik dan khemis badan air pada ekosistem badan air tergenang, maka jenis-jenis ikan yang mungkin hidup dengan baik adalah jenis-jenis ikan yang adaptif dan tolerans luas terhadap kandungan oksigen terlarut, yakni mampu hidup pada kondisi defisit oksigen. Sehingga jenis-jenis ikan yang mampu pada kondisi defisit oksigen tersebut adalah ikan-ikan berwarna gelap (blackfishes) yang memiliki alat pernapasan tambahan semacam labirin, sehingga kekurangan oksigen terlarut dapat dicukupi dengan mengambil oksigen udara di permukaan air dengan alat labirin yang dimilikinya. Jenis-jenis yang banyak dijumpai antara lain: betok (Anabas testudineus), selincah (Polyacanthus hasselti), gabus (Channa striata),

lele (Clarias

batrachus), sepat siam, sepat mata merah, tempalo lebak (Betta taeniata) dan tebakang (Helostoma temmincki). Pada kondisi air yang lebih baik pada waktu musim hujan, maka jenis-jenis ikan lainnya akan bermigrasi ke dalam perairan lebak Danau Teloko untuk memperluas jelajahnya dalam mencari pakan 52

alaminya. Berdasarkan hasil survai dan jenis-jenis ikan yang tertangkap nelayan yang mencari ikan di Danau Teloko, maka jenis-jenis ikan (nekton) yang dijumpai pada badan air di Lebak atau Danau Teloko disajikan pada Tabel 15.

Tabel 15. Jenis Nekton di Perairan Danau Teloko, Tanjung Serang, Kayuagung No. Nama lokal Nama Ilmiah Taksiran populasi 1. Baung Macrones nemurus Jarang 2. Belut Monopterus albus Banyak 3. Betok Anabas testudineus Banyak 4. Betutu Oxyeleotris marmorata Jarang 5. Bujuk Ophiocephalus melanopterus Sedikit 6. Gabus Ophiocephalus striatus Banyak 7. Lais Crypropterus lais Sedang 8. Langli Pangio semicincta Sedikit 9. Lele bintik Clarias nieuwhofi Sedikit 10. Lele kalang Clarias batrachus Banyak 11. Lele pendek Clarias melanoderma Sedikit 12. Selincah Polyacanthus hasselti Banyak 13. Seluang Rasbora argyrotaenia Sedang 14. Sepat mata merah Trichogaster trichopterus Banyak 15. Sepat siam Trichogaster pectoralis Banyak 16. Sepatung Pristolepis fasciatus Jarang 17. Serandang Ophiocephalus lucius Jarang 18. Tapah Wallago leeri Sangat jarang 19. Tebakang Helostoma temmincki Sedang 20. Tempalo lebak Betta taeniata Banyak 21. Toman Ophiocephalus micropeltes Sedikit Sumber: Data Primer, Juni, 2009. Tabel 15 tersebut di atas, terlihat paling sedikit terdapat 21 spesies nekton yang semuanya tergolong ke dalam Superkelas Piseces atau ikan. Kelimpahan dari masing-masing spesies berkisar sangat jarang hingga banyak. Jenis-jnis yang tergolong kategori banyak adalah: ikan belut, betok, gabus, lele kalang, selincah, sepat mata merah, sepat siam dan tempalo lebak. Jenis-jenis yang disebutkan ini sering dipancing atau ditangkap dengan alat tradisional untuk dijual. Sedangkan jenis lainnya meskipun dipancing atau dengan menggunakan cara penangkap ikan lainnya, ternyata jarang didapat.

53

Kondisi Danau Teloko, Desa Tanjung Serang Kecamatan Kayuagung disajikan pada Gambar 9 dan 10.

Gambar 9. Danau Teloko, cukup luas tampak air bergelombang, Juni 2009.

Gambar 10. Nelayan sedang mencari ikan di Danau Teloko, dengan latar belakang vegetasi rumput kumpai, purun dan kayu gabus, Juni 2009.

54

B.2.2. Danau Air Hitam, Kecamatan Pedamaran. B.2.2.1. Biota Darat Biota darat, meliputi semua makhluk hidup atau organisme yang menghuni atau hidup pada ekosistem daratan baik pada permukaan tanah maupun yang ada di dalam tanah bersifat immobil meliputi semua vegetasi maupun yang bersifat mobil meliputi semua satwa liar atau fauna yang ada. Pada masa lalu, hutan alam yang terdapat di kaki pegunungan bukit barisan hingga ke daerah pantai Pulau Sumatera adalah Hutan Primer dengan keanekaragaman yang tinggi. Namun, setelah itu, seiring dengan perkembangan kehidupan manusia, maka berlangsung pula kegiatan mengeksploitasi hutan dan penggunaan lahan oleh masyarakat maupun perusahaan, sehingga terjadilah degenerasi terhadap hutan alam tersebut dari waktu ke waktu. Sebagai akibat dari gangguan atau degenerasi ini, maka semakin bertambah jumlah spesies organisme yang berkategori langka dalam hutan alam tersebut. Apalagi, semakin hari hutan alam yang bersifat primer semakin tipis, maka masalah kelangkaan jenis flora dan fauna semakin menjadi persoalan yang sangat serius. Danau Air Itam merupakan danau rawa yang muka airnya juga berfluktuasi menurut musim penghujan atau kemarau. Sebagai danau rawa, debit air sangat tergantung pada pasokan air hujan yang berasal dari sungai-sungai kecil terdekat atau aliran air dari wilayah sekitar yang topografinya lebih tinggi ketika terun hujan. Danau Air Itam juga cukup luas dengan kedalaman 3–6 meter pada waktu musim hujan dan <3 meter pada waktu kemarau, bahkan pada waktu kemarau panjang (>5 bulan) permukaan danau menjadi kering seperti yang terjadi pada tahun 1997. Namun demikian, kondisi penghujan atau kondisi akuatik tampaknya lebih dominan dalam bulan-bulan sepanjang tahun dibanding kondisi kering atau kemarau. Dengan kondisi seperti itu, maka Danau Air Itam merupakan ekosistem akuatik yang memiliki potensi dalam pengembangan perikanan air tawar, terutama kelompok ikan berwarna gelap (blackfishes). Hal ini berkaitan dengan luasnya Danau Air Itam dan proses terjadinya secara alami, sehingga jenis-jenis ikan dan vegetasi yang ada dalam perairan danau rawa tersebut sudah sangat beradaptasi dengan sifat fisik dan khemis badan air danau rawa tersebut. Sungai yang langsung berhubungan dengan Danau Air 55

Itam ini adalah Sungai Lempuing. Dengan kontak langsung aliran Sungai Lempuing dengan Danau Air Itam ini, maka ikan-ikan sungai dapat bermigrasi ke danau rawa tersebut dan sebaliknya. Dengan demikian, keanekaragaman jenis ikan di Danau Air Itam semakin beragam, demikian halnya terjadi pada Sungai Lempuing. Disebut dengan nama Danau atau Lebak Air Itam, karena warna airnya hitam kecokelatan oleh pengaruh air yang melalui wilayah gambut yang tebal, sehingga warna hitam tersebut merupakan kolloid. Dengan kondisi lahan gambut yang terdapat di sekitar danau Air Itam, maka vegetasi yang kerap dijumpai antara lain: rumput jae-jae (Panicum repens), rumput kusut (Paspalum distichum), eceng gondok (Eichhornia crassipes), purun (Lepironia mucronata), kumpai (Panicum stagninum), teratai besar (Nelumbo nucifera), ketanan (Polygonum pulchrum), belidang (Fimbristylis annua), petai air (Neptunia prostrata), kangkung (Ipomoea aquatica) dan rumput ganggang (Hydrilla verticillata). Vegetasi lainnya yang tumbuh pada tanah mengapung antara lain: rumput pait (Axonopus compressus). Sementara itu jenis kayu yang masih ada dan bertahan pada kondisi tergenang adalah kayu gabus (Alstonia spp.) dan kayu gelam rawa (Melaleuca leucadendra). Beberapa jenis unggas yang sering dijumpai adalah unggas yang beradaptasi dengan lingkungan akuatik, sehingga makanannya berupa jenis-jenis ikan kecil dan berbagai jenis Avertebrata dari Kelas Insecta maupun Kelas Annelida. Jenis unggas akuatik tersebut antara lain:

keruwak (Amaurornis

phoenicurus), ayaman (Gallinula chloropus), raja udang (Alcedo attis), bambangan (Ixobrychus cinnamomeus), kuntul kecil (Egretta garzetta), bangau totong (Leptoptilos javanicus), belibis (Dendrocygna javanica) dan elang bondol (Heliastur indus).

56

B.2.2.2. Biota Perairan Biota akuatik dapat dibedakan menjadi 3 kelompok umum, yaitu plankton, benthos dan nekton. Penggolongan ini didasarkan pada prilaku serta sifat yang mempengaruhi responnya terhadap habitat akuatik. Komunitas biotik baik plankton, benthos maupun nekton dapat dijadikan sebagai indikator kondisi ekologis. Perubahan komunitas biotik tersebut merupakan indikator perubahan ekosistem perairan (akuatik). Ke tiga kelompok organisme tersebut saling terkait dalam menopang rantai dan jaring makanan dalam ekosistem perairan seperti Danau Air Itam. Komunitas plankton secara garis besar dibedakan atas dua kelompok, yaitu fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton merupakan plankton yang bersifat produsen karena bersifat autotrof, yakni berkemampuan mengolah makanan dari bahan-bahan anorganik menjadi bahan-bahan organik via energi surya. Sedangkan kelompok zooplankton memanfaatkan bahan-bahan organik yang diproduksi oleh fitoplankton. Oleh karena itu kedua kelompok plankton tersebut saling tergantung. Dalam hal ini zooplankton memanfaatkan fitoplankton sebagai sumber energinya, sedangkan zooplankton berguna menekan pertumbuhan fitoplankton agar kepadatan populasinya di alam menjadi seimbang, sehingga tidak terjadi blooming populasi. Hasil analisis komunitas plankton disajikan pada Tabel 16 dan inventarisasi jenis-jenis nekton (terutama ikan) disajikan pada Tabel 17.

57

Tabel 16. Keanekaragaman dan Kelimpahan Populasi Spesies Plankton di Perairan Danau atau Lebak Air Itam, Kecamatan Pedamaran Kabupaten Ogan Komering Ilir No.

Nama Kelompok dan Spesies

I. A.

PHYTOPLANKTON: Cyanophyceae: 7. Anabaena catenula 8. Gloeotrichia echinulata 9. Lyngbya limnetica 10. Nodularia spumigena 11. Nostoc paludosum 12. Oscillatoria amphibia 13. Oscillatoria chalybea 14. Oscillatoria kawamurae 15. Oscillatoria splendida Chlorophyceae: 11. Ankistrodesmus falcatus 12. Ankistrodesmus spiralis 13. Chaetophopra elegans 14. Chaetophora incrassata 15. Chlorella ellipsoidea 16. Chlorella vulgaris 17. Oedogonium angustum 18. Platymonas elliptica 19. Quadrigula chodatii 20. Quadrigula recustris 21. Sphaeroplea annulina 22. Spirogyra varians 23. Zygnemopsis quadrata Desmidiaceae: 3. Arthrodesmus convergens 4. Closterium acerosum Diatomae: 14. Amphipleura pellucida 15. Asterionella formosa 16. Asterionella gracillima 17. Diatoma elongatum 18. Diatoma vulgare 19. Eunotia arcus 20. Eunotia gracilis 21. Eunotia lunaris 22. Navicula hasta 23. Navicula minima 24. Synedra acus ZOOPLANKTON: Flagellata: 19. Anisonema ovale 20. Carteria crucifera 21. Chlamydomonas cingulata 22. Cyanomastix morgani 23. Euglena acus 24. Gloeomonas ovalis 25. Lepocinclis butchlii 26. Lepocinclis ovum 27. Polytoma uvella 28. Phacus unguis 29. Oicomonas socialis 30. Trachelomonas abrupta 31. Trachelomonas cervicula 32. Trachelomonas curta

B.

C.

D.

II. A.

P1

Jumlah Individu/liter P2 P3

2 2 3 -

1 5 4 2 -

1 1 4 2 5 1 1

1 2 2 2 1 4 5 6 -

3 3 3 3 1 1 2 5 -

1 2 3 8 1 3

-

-

2 1

1 2 3 3 2 5 2 1 4

8 1 12 9 1 6 6 2 6

1 1 1 4 15

1 3 1 2 1 3

2 3 1 1 1 1 1 3

5 5 4 2 1 1 1 4 1 6

58

33. Trachelomonas oblonga 2 2 34. Trachelomonas volvocina B. Rhizopoda: 6. Centropyxis aculeata 2 7. Nebela dentistoma 1 8. Thecamoeba verrucosa 1 3 C. Rotifera: 1. Ploeosoma triacanthum 1 D. Copepoda: 1. Cyclops strenuus 1 1 2. Diaptomus sp. 1 E. Ostracoda: 1. Cypridopsis sp. 1 9. Populasi plankton per liter: 72 105 10. Populasi phytoplankton per liter: 53 84 11. Populasi zooplankton per liter: 19 21 12. Keanekaan spesies plankton: 32 34 13. Keanekaan spesies fitoplankton: 20 21 14. Keanekaan spesies zooplankton: 12 13 15. Indeks Kemerataan (Shannon): E 2,20 2,10 16. Indeks Keanekaragaman Plankton (H): 3,31 3,21 Sumber: Data Primer, Juni 2009. Keterangan: P1: Pangkal Lebak Itam; P2. Tengah Lebak Itam; P3: Ujung Lebak Itam

2 6 96 58 38 32 20 12 2,08 3,13

Berdasarkan hasil analisis komunitas plankton, indeks keanekaragaman komunitas plankton pada 3 stasiun (titik) pengambilan sample (musim kemarau) ternyata cukup besar, yaitu rata-rata >3,00, yakni berkisar 3,13–3,31. Indeks keanekaragaman plankton melebihi 3,00 menunjukkan kondisi komunitas plankton adalah tergolong sangat stabil. Indeks keanekaragaman sebesar 3,13– 3,31 yakni >3,00 menunjukkan tidak terdapat pencemaran dalam badan air Danau atau Lebak Air Itam. Namun demikian, kelimpahan komunitas plankton (Tabel 16) rata-rata adalah <100 individu/liter air hingga sedikit >100 individu/liter air kelimpahan sedang, yakni populasi masing-masing plankton tergolong tidak melimpah. Hal ini berkaitan dengan kondisi badan air yang rendah kandungan nutrisinya dari kandungan N total dan kandungan fosfor dalam air. Hasil analisis benthos yang dilakukan, menunjukkan bahwa pada substrat lumpur dasar Danau atau Lebak Air Itam pada lokasi yang disampling ternyata tidak dijumpai organisme benthos. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan faktor fisik dan khemis dalam badan air. Faktor fisik berkaitan dengan penetrasi cahaya yang sangat rendah, yaitu tidak mencapai ke dasar perairan. Kedalaman air >1 meter, namun penetrasi cahaya <50 cm, sehingga bagian dasar badan air tidak mendapat cahaya, sehingga di tempat ini fotosintesis tidak optimal, sehingga pakan benthos dan ketersediaan oksigen terlarut tidak cukup untuk kebutuhan 59

minimal komunitas benthos. Faktor khemis antara lain, kandungan oksigen terlarut, terutama pada bagian dasar perairan diperkirakan sangat rendah. Hal ini sesuai dengan kondisi bagian dasar perairan adalah gelap sesuai dengan warna air yang relatif keruh dan berwarna kecokelatan. Sesuai dengan kondisi fisik dan khemis badan air pada ekosistem badan air tergenang, maka jenis-jenis ikan yang mungkin hidup dengan baik adalah jenis-jenis ikan yang adaptif dan tolerans luas terhadap kandungan oksigen terlarut, yakni mampu hidup pada kondisi defisit oksigen. Sehingga jenis-jenis ikan yang mampu pada kondisi defisit oksigen tersebut adalah ikan-ikan berwarna gelap (blackfishes) yang memiliki alat pernapasan tambahan semacam labirin, sehingga kekurangan oksigen terlarut dapat dicukupi dengan mengambil oksigen udara di permukaan air dengan alat labirin yang dimilikinya. Jenis-jenis yang banyak dijumpai antara lain: betok (Anabas testudineus), selincah (Polyacanthus hasselti), gabus (Channa striata atau Ophiocephalus striatus),

lele (Clarias

batrachus), sepat siam, sepat mata merah, tempalo lebak (Betta taeniata) dan tebakang (Helostoma temmincki). Pada kondisi air yang lebih baik pada waktu musim hujan, maka jenis-jenis ikan lainnya akan bermigrasi dari Sungai Lempuing ke dalam perairan Danau atau Lebak Air Itam untuk memperluas jelajahnya dalam mencari pakan alaminya. Demikian sebaliknya pada waktu musim kemarau dimana debit air turun, maka ikan-ikan rawa lebak bermigrasi ke badan air Sungai Lempuing dengan tujuan mendapatkan kebutuhan oksigen terlarut (DO, Dissolved Oxygen) yang cocok dengan kebutuhan hidupnya. Berdasarkan hasil survei dan jenis-jenis ikan yang tertangkap nelayan yang mencari ikan di sekitarnya, maka jenis-jenis ikan (nekton) yang dijumpai pada badan air di Lebak atau Danau Air Itam disajikan pada Tabel 17.

60

Tabel 17. Jenis-jenis nekton yang dapat dijumpai di perairan Lebak atau Danau Air Itam, Juni 2009. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29.

Nama lokal Baung Belido Belut Betok Betutu Bujuk Buntal Gabus Lais Langli Lele bintik Lele kalang Lele pendek Mentilan Putak Selincah Seluang Sepat mata merah Sepat siam Sepatung Serandang Sihitam Tapah Tebakang Tempalo lebak Toman Udang satang Labi-labi Kura-kura

Nama Ilmiah Macrones nemurus Notopterus chitala Monopterus albus Anabas testudineus Oxyeleotris marmorata Ophiocephalus melanopterus Tetraodon palembangensis Ophiocephalus striatus Crypropterus lais Pangio semicincta Clarias nieuwhofi Clarias batrachus Clarias melanoderma Mastacembelus unicolor Notopterus notopterus Polyacanthus hasselti Rasbora argyrotaenia Trichogaster trichopterus Trichogaster pectoralis Pristolepis fasciatus Ophiocephalus lucius Labeo chrysopekadion Wallago leeri Helostoma temmincki Betta taeniata Ophiocephalus micropeltes Macrobrachium rosenbergii Trionyx cartilageneus Testudo elegans

Taksiran populasi Jarang Sedikit Banyak Banyak Jarang Sedikit Banyak Banyak Sedang Sedikit Sedikit Banyak Sedikit Sedikit Sedikit Banyak Sedang Banyak Banyak Jarang Jarang Sedikit Sangat jarang Sedang Banyak Banyak Sedikit Jarang Sedikit

Sumber: Data Primer, Juni, 2009. Tabel 16 tersebut di atas, terlihat paling sedikit terdapat 29 spesies nekton yang terbagi menjadi 26 jenis atau spesies tergolong ke dalam kelompok Superkelas Piseces atau ikan (No. Urut 1–26); 1 jenis tergolong Kelas Crustacea atau udang (No. Urut 27) dan 2 jenis tergolong ke dalam Kelas Reptilia atau binatang melata (No. Urut 28 dan 29). Kelimpahan dari masing-masing spesies berkisar jarang hingga banyak. Jenis-jnis yang tergolong kategori banyak adalah ikan belut, betok, buntal, gabus, lele kalang, selincah, sepat mata merah, sepat siam, tempalo lebak dan toman. Jenis-jenis yang disebutkan ini sering dipancing atau ditangkap dengan alat tradisional untuk dijual. Sedang jenis lainnya meskipun dipancing jarang didapat atau kadang-kadang.

61

Kondisi Danau Air Itam, Kecamatan Pedamaran Kabupaten Ogan Komering Ilir disajikan pada Gambar 9 dan 10.

Gambar 11. Danau Danau atau Lebak Air Itam, cukup luas tampak air bergelombang, Juni 2009.

Gambar 12. Nelayan sedang mencari ikan di Danau Air Itam, dengan latar belakang vegetasi vegetasi hutan sekunder (didominasi kayu tembesu, Fagr.

62

B.2.3. Lebak Jungkal, Kecamatan Pampangan B.2.3.1. Biota Darat Biota darat, meliputi semua makhluk hidup atau organisme yang menghuni atau hidup pada ekosistem daratan baik pada permukaan tanah maupun yang ada di dalam tanah bersifat immobil meliputi semua vegetasi maupun yang bersifat mobil meliputi semua satwa liar atau fauna yang ada. Pada masa lalu, hutan alam yang terdapat di dataran rendah, termasuk rawa-rawa

di

Pantai

Timur

Sumatera

adalah

Hutan

Primer

dengan

keanekaragaman yang tinggi. Namun, setelah itu, seiring dengan perkembangan kehidupan manusia, maka berlangsung pula kegiatan mengeksploitasi hutan dan penggunaan lahan oleh masyarakat maupun perusahaan, sehingga terjadilah degenerasi terhadap hutan alam tersebut dari waktu ke waktu. Sebagai akibat dari gangguan atau degenerasi ini, maka semakin bertambah jumlah spesies organisme yang berkategori langka dalam hutan alam tersebut. Apalagi, semakin hari hutan alam yang bersifat primer semakin tipis, maka masalah kelangkaan jenis flora dan fauna semakin menjadi persoalan yang sangat serius. Wilayah Lebak Jungkal, merupakan lebak rawa yang sangat luas (ratusan hektar) yang muka airnya berfluktuasi menurut musim penghujan atau kemarau. Sebagai danau rawa, debit air sangat tergantung pada pasokan air hujan yang berasal dari sungai-sungai kecil terdekat atau aliran air dari wilayah sekitar yang topografinya lebih tinggi ketika turun hujan. Lokasi Lebak Jungkal adalah cukup luas dengan kedalaman 1–4 meter pada waktu musim hujan dan <2 meter pada waktu kemarau, bahkan pada waktu kemarau panjang (>5 bulan) permukaan danau menjadi kering seperti yang terjadi pada tahun 1997. Namun demikian, kondisi penghujan atau kondisi akuatik tampaknya lebih dominan dalam bulanbulan sepanjang tahun dibanding kondisi kering atau kemarau. Dengan kondisi seperti itu, maka Lebak Jungkal merupakan ekosistem akuatik rawa lebak yang memiliki potensi dalam pengembangan perikanan air tawar, terutama kelompok ikan berwarna gelap (blackfishes). Hal ini berkaitan dengan luasnya Lebak Jungkal dan proses terjadi lebak ini juga secara alami, sehingga jenis-jenis ikan dan vegetasi yang ada dalam perairan

rawa lebak tersebut sudah sangat

beradaptasi dengan sifat fisik dan khemis badan air danau rawa tersebut. 63

Lebak Jungkal pada saat dilakukan studi memiliki debit yang rendah, yaitu dengan kedalaman rata-rata <1 meter. Dengan kondisi cukup dangkal seperti itu, maka terdapat vegetasi di permukaan air yang tumbuh merata, terlihat seperti pada rumput. Jenis vegetasi yang mendominasi keluarga Gramineae yang sering disebut dengan bahasa lokal rumput kumpai dengan spesies: Panicum stagninum, Panicum colonum dan Panicum reptans. Kondisi lahan di Lebak Jungkal ini juga tergolong lahan gambut. Dengan kondisi seperti itu pada waktu kemarau bagian yang kering terlihat sengaja dibakar oleh penduduk ketika dilakukan pembukaan lahan untuk kegiatan pertanian oleh penduduk lokal. Dengan kondisi lahan gambut yang terdapat di sekitar Lebak Jungkal, maka vegetasi yang kerap dijumpai antara lain: pandan rawa (Pandanus ornatus) Panicum stagninum, Panicum colonum, Panicum reptans, eceng gondok (Eichhornia crassipes), purun (Lepironia mucronata),

telipuk (Nymphoides

indica), ketanan (Polygonum pulchrum), belidang (Fimbristylis annua), petai air (Neptunia prostrata),

kangkung (Ipomoea aquatica) dan rumput ganggang

(Hydrilla verticillata). Vegetasi lainnya yang tumbuh pada tanah mengapung antara lain: senggani (Melastoma malabathricum) dan rumput pait (Axonopus compressus). Sementara itu jenis kayu yang masih ada dan bertahan pada kondisi tergenang adalah kayu gabus (Alstonia spp.). Beberapa jenis unggas yang sering dijumpai adalah unggas yang beradaptasi dengan lingkungan akuatik, sehingga makanannya berupa jenis-jenis ikan kecil dan berbagai jenis Avertebrata dari Kelas Insecta maupun Kelas Annelida. Jenis unggas akuatik tersebut antara lain:

keruwak (Amaurornis

phoenicurus), ayaman (Gallinula chloropus), raja udang (Alcedo attis), bambangan (Ixobrychus cinnamomeus), kuntul besar (Egretta alba), kuntul kecil (Egretta garzetta), bangau totong (Leptoptilos javanicus), belibis (Dendrocygna javanica), elang bondol (Heliastur indus) dan bodol (Lonchura leucogastra).

64

B.2.3.2. Biota Perairan Biota akuatik dapat dibedakan menjadi 3 kelompok umum, yaitu plankton, benthos dan nekton. Penggolongan ini didasarkan pada prilaku serta sifat yang mempengaruhi responnya terhadap habitat akuatik. Komunitas biotik baik plankton, benthos maupun nekton dapat dijadikan sebagai indikator kondisi ekologis. Perubahan komunitas biotik tersebut merupakan indikator perubahan ekosistem perairan (akuatik). Ke tiga kelompok organisme tersebut saling terkait dalam menopang rantai dan jaring makanan dalam ekosistem perairan seperti Lebak Jungkal. Komunitas plankton secara garis besar dibedakan atas dua kelompok, yaitu fitoplankton dan zooplankton. Fitoplankton merupakan plankton yang bersifat produsen karena bersifat autotrof, yakni berkemampuan mengolah makanan dari bahan-bahan anorganik menjadi bahan-bahan organik via energi surya. Sedangkan kelompok zooplankton memanfaatkan bahan-bahan organik yang diproduksi oleh fitoplankton. Oleh karena itu kedua kelompok plankton tersebut saling tergantung. Dalam hal ini zooplankton memanfaatkan fitoplankton sebagai sumber energinya, sedangkan zooplankton berguna menekan pertumbuhan fitoplankton agar kepadatan populasinya di alam menjadi seimbang, sehingga tidak terjadi blooming populasi. Hasil analisis komunitas plankton disajikan pada Tabel 17 dan

hasil

inventarisasi jenis-jenis nekton (terutama ikan) disajikan pada Tabel 18. Hasil analisis komunitas plankton, indeks keanekaragaman komunitas plankton pada 2 titik pengambilan sample (musim kemarau) ternyata cukup besar, yaitu jauh >3,00. Indeks keanekaragaman plankton >3,00 tersebut menunjukkan kondisi komunitas plankton adalah sangat stabil. Indeks keanekaragaman sebesar >3,00, menunjukkan tidak terdapat pencemaran dalam badan air Lebak Jungkal. Namun demikian, kelimpahan komunitas plankton pada Lebak Bahanan tergolong rendah, yaitu 49 individu/liter (<50 individu/liter air), sementara itu pada lokasi Lebak Betung kelimpahan komunitas planktonnya sebesar 79 individu/liter air, menunjukkan kelimpahan sedang. Dengan demikian, populasi masing-masing

65

plankton tergolong tidak melimpah. Hal ini berkaitan dengan kondisi badan air yang rendah kandungan nutrisinya N total dan fosfor (PO4.

Tabel 18.

Keanekaragaman dan Kelimpahan Populasi Spesies Plankton di Perairan Lebak Jungkal, Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Ilir

No.

Nama Kelompok dan Spesies

I. A.

PHYTOPLANKTON: Cyanophyceae: 16. Lyngbya birgei 17. Lyngbya limnetica 18. Nodularia spumigena 19. Oscillatoria splendida Chlorophyceae: 24. Ankistrodesmus spiralis 25. Chaetophopra elegans 26. Chaetophora incrassata 27. Chlorella ellipsoidea 28. Chlorella vulgaris 29. Cladophora glomerata 30. Oedogonium varians 31. Quadrigula chodatii 32. Quadrigula recustris 33. Scenedesmus bijuga 34. Scenedesmus ellipsoideus Desmidiaceae: 5. Pleurotaenium trabecula Diatomae: 25. Asterionella gracillima 26. Diatoma elongatum 27. Diatoma vulgare 28. Eunotia arcus 29. Eunotia gracilis 30. Eunotia lunaris 31. Navicula hasta 32. Navicula minima 33. Navicula spicula 34. Nitzschia linearis ZOOPLANKTON: Flagellata: 35. Anisonema ovale 36. Carteria crucifera 37. Carteria globosa 38. Chlamydomonas cingulata 39. Lepocinclis ovum 40. Trachelomonas abrupta 41. Trachelomonas cervicula 42. Trachelomonas curta 43. Trachelomonas oblonga 44. Trachelomonas volvocina Rhizopoda: 9. Astramoeba radiosa

B.

C. D.

II. A.

B.

Jumlah Individu/liter P1 P2

1 2 -

2 1 2

1 4 1 1 2

2 2 12 2 2 1 1 1 8 -

2

-

2 3 3 1 4 2 1 1

2 3 5 1 5 3 1 1 1

2 3 3 2 3 1 3 -

1 6 7 1 2 1 2

1

-

66

C.

Rotifera: 1. Philodina roseola 17. Populasi plankton per liter: 18. Populasi phytoplankton per liter: 19. Populasi zooplankton per liter: 20. Keanekaan spesies plankton: 21. Keanekaan spesies fitoplankton: 22. Keanekaan spesies zooplankton: 23. Indeks Kemerataan (Shannon): E 24. Indeks Keanekaragaman Plankton (H): Sumber: Data Primer, Juni 2009. Keterangan: P1: Lebak Bahanan, Jungkal; P2. Lebak Betung, Jungkal.

49 31 18 24 16 8 2,22 3,06

1 79 58 21 28 21 7 2,09 3,02

Hasil analisis benthos yang dilakukan, menunjukkan bahwa pada substrat lumpur dasar Lebak Jungkal pada lokasi yang disampling ternyata tidak dijumpai organisme benthos. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan faktor fisik dan khemis dalam badan air. Faktor fisik berkaitan dengan penetrasi cahaya yang sangat rendah, yaitu tidak mencapai ke dasar perairan. Kedalaman air >1 meter, namun penetrasi cahaya <50 cm, sehingga bagian dasar badan air tidak mendapat cahaya, sehingga di tempat ini fotosintesis tidak optimal, sehingga pakan benthos dan ketersediaan oksigen terlarut tidak cukup untuk kebutuhan minimal komunitas benthos. Faktor khemis antara lain, kandungan oksigen terlarut, terutama pada bagian dasar perairan diperkirakan sangat rendah. Hal ini sesuai dengan kondisi bagian dasar perairan adalah gelap sesuai dengan warna air yang relatif keruh dan berwarna kecokelatan. Sesuai dengan kondisi fisik dan khemis badan air pada ekosistem badan air tergenang, maka jenis-jenis ikan yang mungkin hidup dengan baik adalah jenis-jenis ikan yang adaptif dan tolerans luas terhadap kandungan oksigen terlarut, yakni mampu hidup pada kondisi defisit oksigen. Sehingga jenis-jenis ikan yang mampu pada kondisi defisit oksigen tersebut adalah ikan-ikan berwarna gelap (blackfishes) yang memiliki alat pernapasan tambahan semacam labirin, sehingga kekurangan oksigen terlarut dapat dicukupi dengan mengambil oksigen udara di permukaan air dengan alat labirin yang dimilikinya. Jenis-jenis yang banyak dijumpai antara lain: betok (Anabas testudineus), selincah (Polyacanthus hasselti), gabus (Channa striata atau Ophiocephalus striata),

lele (Clarias

batrachus), sepat siam (Trichogaster pectoralis), sepat mata merah (Trichogaster trichopterus) , tempalo lebak (Betta taeniata) dan tebakang (Helostoma 67

temmincki). Berdasarkan hasil survei dan jenis-jenis ikan yang tertangkap nelayan yang mencari ikan di Lebak Jungkal, maka jenis-jenis ikan (nekton) yang dijumpai pada badan air di Lebak Jungkal disajikan pada Tabel 19 berikut ini.

Tabel 19. Jenis-jenis nekton yang dapat dijumpai di perairan Lebak Jungkal No. Nama lokal Nama Ilmiah 1. Baung Macrones nemurus 2. Belut Monopterus albus 3. Betok Anabas testudineus 4. Betutu Oxyeleotris marmorata 5. Bujuk Ophiocephalus melanopterus 6. Gabus Ophiocephalus striatus 7. Lais kecik Cryptopterus limpok 8. Lais tunggul Cryptopterus cryptopterus 9. Langli Pangio semicincta 10. Lele bintik Clarias nieuwhofi 11. Lele kalang Clarias batrachus 12. Lele pendek Clarias melanoderma 13. Selincah Polyacanthus hasselti 14. Seluang Rasbora argyrotaenia 15. Sepat mata merah Trichogaster trichopterus 16. Sepat siam Trichogaster pectoralis 17. Sepatung Pristolepis fasciatus 18. Serandang Ophiocephalus lucius 19. Tapah Wallago leeri 20. Tebakang Helostoma temmincki 21. Tempalo lebak Betta taeniata 22. Tilan Mastacembelus unicolor 23. Toman Ophiocephalus micropeltes Sumber: Data Primer, Juni, 2009.

Taksiran populasi Jarang Sedikit Sedikit Jarang Sedikit Banyak Banyak Banyak Sedikit Sedikit Banyak Sedikit Banyak Sedang Sedang Sedang Jarang Jarang Banyak Sedang Banyak Sedikit Sedikit

Tabel 18 tersebut di atas, terlihat paling sedikit terdapat 23 spesies nekton yang semuanya tergolong ke dalam Superkelas Piseces atau ikan. Kelimpahan dari masing-masing spesies berkisar jarang hingga banyak. Jenis-jnis yang tergolong kategori banyak adalah: gabus, gabus, lais kecik, lais tunggul, tapah, selincah dan tempalo lebak. Jenis-jenis yang disebutkan ini sering dipancing atau ditangkap dengan alat tradisional untuk dijual. Sedangkan jenis lainnya meskipun dipancing atau dengan menggunakan cara penangkap ikan lainnya, ternyata jarang didapat.

68

Kondisi Lebak Jungkal, Kecamatan Pampangan Kabupaten Ogan Komering Ilir disajikan pada Gambar 13 dan 14 serta ikan sebagai hasil tangkapan nelayan disajikan pada Gambar 15.

Gambar 13. Lebak Jungkal, cukup luas tampak air tenang oleh air dangkal, sehingga vegetasi kumpai (Panicum sp) tampak dominan dipermukaan air, Juni 2009.

Gambar 14. Perkampungan Nelayan di Lebak Jungkal, berada di tengah Rawa Lebak Jungkal, tepatnya di Lebak Bahanan, Juni 2009. 69

Gambar 15. Sebagian dari produksi tangkapan nelayan di Lebak Jungkal, Juni 2009.

70

C. Evaluasi Kemampuan Lahan di Desa Hutan pada Lahan Hutan Rawa Gambut di Bentang Lahan Kayu Agung, Kabupaten Ogan Komering Ilir Kegiatan penelitian Evaluasi Kemampuan Lahan di Desa Hutan pada Lahan Hutan Rawa Gambut di Bentang Lahan Kayu Agung, Kabupaten Ogan Komering Ilir terdiri dari beberapa desa yang secara admistratif dalam wilayah Kecamatan Kayuagung, Pedamaran, Pedamaran Timur, Pampangan. C.1. Desa Cinta Jaya, Kecamatan Pedamaran Desa Cinta Jaya, Kecamatan Pedamaran mempunyai batas sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Kedaton Kecamatan Kayuagung; sebelah selatan berbatasan dengan Desa Tanjung Sari Kecamatan Lempuing; sebelah timur berbatasan dengan Desa Pulau Geronggang Kecamatan Pedamaran Timur; dan sebelah barat berbatasan dengan Desa Pedamaran I Kecamatan Pedamaran. Desa Cinta Jaya luas wilayahnya adalah 25.000 hektar. Penelitian ini dilaksanakan pada lahan kering di Desa Cinta Jaya Kecamatan Pedamaran Kabupaten Ogan Komering Ilir. Lahan Desa Cinta Jaya terdiri dari lahan kering dengan luas areal 1,4 % dari 25 ribu hektar, lahan rawa lebak dengan luas areal 4 % dari 25 ribu hektar dan lahan gambut dengan luas areal

94,6 % dari 25 ribu hektar. Kondisi lahan tersebut akan berpengaruh

terhadap bentuk kegiatan masyarakat yakni pertanian atau perkebunan. Lahan kering di Desa Cinta Jaya sebagian telah dimanfaatkan oleh masyarakat untuk tanaman karet dan berladang, dan sebagian masih berupa semak belukar. Kondisi tanaman karet yang ditanam oleh masyarakat belum memenuhi standar penanaman karet, yakni menggunakan sistem tradisional dan tidak dirawat. Kondisi tersebut pelu upaya pengelolaan lahan agar tanaman dapat hidup dengan baik dan mampu berproduksi dengan baik pula, maka perlu dilakukan penilaian kesesuaian lahan untuk tanaman karet. Kondisi lahan kering dan vegetasinya dapat dilihat pada Gambar 16dan 17

71

Gambar 16. Tanaman Kerat Di Desa Cinta Jaya Kecamatan Pedamaran

Gambar 17. Semak Belukar di Desa Cinta Jaya Kecamatan Pedamaran.

72

C.1.1. Sifat Fisik Tanah Desa Cinta Jaya, Kecamatan Pedamaran Menurut CSR/FAO Staff (1983), sifat fisik tanah yang dinilai adalah kelas drainase, kedalaman efektif tanah, dan tekstur tanah. Sifat fisik tanah ini berpengaruh terhadap kondisi perakaran. Berdasarkan hasil pengamatan, lokasi penelitian semuanya memiliki kelas draenase tanah yang tergolong baik, hal ini ditentukan dengan tidak ditemukannya bercak atau karat pada tanah dan tidak terdapat lahan yang tergenang pada lapisa permukaan (Hardjowigeno, 2001). Drainase yang baik merupakan kondisi yang dikehendaki oleh jenis tanaman perkebunan seperti tanaman karet. Kedalaman efektif tanah pada lokasi penelitian adalah 150cm, dengan ditemukannya lapisan krokos pada kedalaman 150 cm. Lapisan krokos merupakan salah satu faktor pembatas kedalaman efektif tanah. Lapisan krokos akan mempenaruhi perkembangan akar tanaman. Kedalaman efektif tanah merupakan faktor pembatas yang tidak dapat diperbaiki dan sangat berpengaruh pada pertumbuhan tanaman, karena menyangkut kemampuan akar dalam berkembang. Tekstur tanah pada lokasi penelitian adalah lempung berpasir dan lempung liat berpasir, tetapi didominasi oleh lempung berpasir. Hasil analisis laboratorium, diketahui bahwa di lokasi penelitian terbagi 2 (dua) kelas tekstur tanah yaitu tekstur tanah lempung berpasir dengan luas 83,3 % dari 30 hektar yang diwakili oleh titik sampel T1, T5, T8, T13, T21, T23, T26 dan T29 dan tekstur tanah lempung liat berpasir dengan luas 16,7 % dari 30 hektar yang diwakili titik sampel T11 dan T15.

C.1.2. Sifat Kimia Tanah Desa Cinta Jaya, Kecamatan Pedamaran Sifat kimia tanah yang dinilai meliputi retensi hara (pH dan KTK) dan ketersediaan hara (N, P2O5, dan K2O). Tabel N-total, P2O5, K2O, KTK dan pH dapat dilihat pada Tabel 20. Hasil analisis di laboratorium menunjukkan bahwa, pH tanah pada lokasi penelitian adalah berkisar antara 4,34 – 5,44. kisaran pH tanah pada lokasi penelitian tergolong masam sampai agak masam. Penyebab utama tanah bereaksi

73

masam adalah karena curah hujan yang tinggi yang mengakibatkan basa-basa mudah tercuci (Nyakpa., et al, 1988). Nilai KTK pada lokasi penelitian tergolong dalam kategori rendah sampai sedang yaitu antara 13,05–16, 31 cmol(+)kg-1. Nilai KTK tanah tertinggi pada lokasi penelitian ditemukan pada areal yang diwakili titik sampel T11 dengan tekstur tanah lempung liat berpasir dan nilai KTK terendah adalah pada areal yang diwakili titik sampel T26. Rendahnya nilai KTK pada lokasi penelitian, diduga karena rendahnya kadar liat pada tanah, hal ini dapat dilihat pada lahan yang memiliki tekstur tanah lempung berpasir nilai KTKnya relatif lebih rendah dibanding lahan yang memiliki tekstur tanah lempung liat berpasir. Berdasarkan hasil analisis N-total tergolong rendah sampai sedang, yaitu berkisar antara 0,15–0,29 %. Nilai N-total sedang mempunyai luasan sekitar 43,3 % dari 30 hektar (T1, T5, T8, T13, T23, dan T26), dan lahan dengan kandungan Ntotal rendah seluas 56,7 % (T11, T15, T21 dan T29). Nitrogen yang tersedia di dalam tanah yang dapat diserap akar tanaman adalah dalam bentuk ion-ion nitrat dan amonium. Kedua bentuk N ini diperoleh dari hasil dekomposisi bahan organik, baik yang berasal dari tumbuhan maupun binatang. Kandungan P2O5 pada lokasi penelitian berkisar antara 3,67 sampai 93,04 µg g-1 (sangat rendah sampai sangat tinggi). Areal T1,T5, T8, T26 dan T29 memiliki kandungan P-tersedia sangat rendah (50 % dari 30 hektar), dan areal T13 dan T21 memiliki kandungan P-tersedia rendah seluas 20 %, areal T11 memiliki kandungan P-tersedia sedang seluas 10 %, sedangkan untuk areal T15 dan T23 memiliki kandungan P-tersedia sangat tinggi seluas 20% dari 30 hektar. Unsur hara P diserap tanaman terutama dalam bentuk ortofosfat primer (H2PO4-). Menyusul kemudian dalam bentuk HPO42-. Penyerapan kedua bentuk ion ini oleh tanaman dipengaruhi oleh pH di sekitar perakaran. Pada pH yang lebih rendah, ion H2PO4lebih banyak diserap oleh tanaman dari pada ion HPO42-, sedangkan pada pH yang lebih tinggi sebaliknya (Nyakpa,.et al, 1988). Kandungan K2O dilokasi penelitian

tergolong rendah sampai tinggi,

dengan kisasaran 0,29 sampai 0,99 cmol(+)kg-1. Pada lokasi penelitian yang diwakili areal T5 dan T26 memiliki kandungan kalium rendah dengan luas 26,6 % dari 30 hektar, areal T1, T8, T13, dan T23 memiliki kandungan kalium sedang 74

seluas 36,7 % dari 30 hektar sedangkan areal T11, T15, T21 dan T29, memiliki kandungan kalium tinggi seluas 36,7 % dari 30 hektar. Ketersediaan kalium di dalam tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu: tipe koloid tanah, temperatur, keadaan basah dan kering, pH tanah, dan pelapukan. Kandungan kalium tersedia akan meningkat bila keadaan tanah yang lembab dikeringkan, terutama pada tanah-tanah dengan kadar kalium yang rendah hingga sedang (Nyakpa., et al, 1988). Tabel 20. Analisis Sifat Kimia pada Desa Cinta Jaya, Pedamaran. Titik sampel N-Total P2O5- Bray K2O KTK -1 -1 pengamatan (%) (µg g ) (Cmol(+) Kg ) (Cmol(+) Kg-1) T1 0,24 (S) 5,15 (SR) 0,42 (S) 15,23 (R) T5 0,29 (S) 9,62 (SR) 0,29 (R) 13,05 (R) T8 0,27 (S) 3,67 (SR) 0,42 (S) 14,14 (R) T11 0,16 (R) 16,03 (S) 0,57 (T) 16,31 (S) T13 0,23 (S) 14,42 (R) 0,42 (S) 14,14 (R) T15 0,18 (R) 61,83 (ST) 0,99 (T) 15,23 (R) T21 0,19 (R) 11,34 (R) 0,57 (T) 15,23 (R) T23 0,21 (S) 93,09 (ST) 0,42 (S) 12,18 (R) T26 0,21 (S) 8,93 (SR) 0,29 (R) 11,31 (R) T29 0,15 (R) 9,62 (SR) 0,57 (T) 14,14 (R)

pH 4,99 (M) 4,94 (M) 4,93 (M) 4,34 (SM) 4,77 (M) 5,44 (M) 4,96 (M) 5,03 (M) 5,10 (M) 4,87 (M)

Keterangan : SM = Sangat masam, M = Masam T = Tinggi, S = Sedang, R= Rendah, SR= Sangat rendah

C.1.3. Kesesuaian Lahan Untuk Tanaman Karet 1. Kesesuaian Lahan Aktual Berdasarkan hasil pencocokan (matching) di atas maka kelas kesesuaian lahan aktual secara umum yang diperoleh pada areal yang diwakili titik sampel pengamatan T1, T5, T8, T26 dan T29 adalah tidak sesuai (N) dengan faktor pembatas ketersediaan unsur hara Fospor (P) (N-n). Pada titik sampel T11 kelas kesesuaian lahannya adalah cukup sesuai (S2) dengan faktor pembatas ketersediaan air (curah hujan dan bulan kering), kedalaman efektif tanah, ketersediaan unsur hara Nitrogen (N) dan ketersediaan unsur hara Fospor (P) (S2wrn). Pada titik sampel T13 dan T21 adalah kurang sesuai (S3) dengan faktor pembatas ketersediaan unsur hara Fospor (P) (S3-n).

75

Pada titik sampel T15 memiliki kesesuaian lahan aktual S2-wrnf yaitu cukup sesuai yang masih sibatasi oleh ketersediaan air (curah hujan dan bulan kering), kedalaman efektif tanah, KTK dan ketersediaan unsur hara Nitrogen (N). Pada titik sampel T23 sama dengan T15 (S2) tetapi tidak dibatasi oleh Nitrogen. Kelas kesesuaian lahan aktual untuk tanaman karet dapat dilihat pada Tabel 21 dan Gambar 18. Tabel 21. Kelas Kesesuaian Lahan Aktual Tanaman Karet Kesesuaian Faktor Pembatas Aktual S2-wrn Ketersediaan air, unsur hara N, P, kedalaman efektif S2-wrnf Ketersediaan air, unsur hara N, KTK rendah, kedalaman efektif S2-wrf Ketersediaan air, KTK rendah, kedalaman efektif Ketersediaan unsur hara P S3-n Ketersediaan unsur hara P N-n

Luas 13,3% 3,4% 13,3% 20% 50%

2. Kesesuaian Lahan Potensial Kesesuaian lahan potensial merupakan kondisi yang diharapkan sesudah diberikan masukan sesuai dengan tingkat pengelolaan, sehingga dapat diduga tigkat produksi dari suatu lahan serta hasil produksi per satuan luasnya (Hardjowigeno, 2001). Upaya mengatasi faktor pembatas, diperlukan perbaikan pengelolaan guna meningkatkan tingkat kesesuaian lahan pada lokasi penelitian agar dapat lebih sesuai dengan syarat tumbuh tanaman karet. Pada lokasi penelitian, faktor pembatas kesesuaian lahan aktual seperti KTK rendah, ketersediaan unsur hara N dan P dapat diatasi dengan pemberian input/masukan berupa penambahan bahan organik dan pemberian pupuk sehingga secara potensial

menjadi S1 (sangat

sesuai); tetapi pada semua lokasi pemgamatan masih dibatasi oleh ketersediaan air (curah hujan) serta kedalaman efektif yang merupakan faktor pembatas yang sifatnya tidak dapat diperbaiki, sehingga kesesuaian potensial semua areal lokasi penelitian adalah S2-wr. Kelas kesesuaian lahan potensial untuk tanaman karet dapat dilihat pada Gambar 19. 76

3. Rekomendasi Pengelolaan Lahan Pemupukan merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan kondisi kemampuan lahan dalam suatu kegiatan pengelolaan lahan untuk tanaman karet berdasarkan analisis hara tanah. Hasil analisis tanah dan rekomendasi pemupukan adalah sebagai dasar rekomendasi pengelolaan untuk mengurangi faktor pembatas lahan. Faktor pembatas yang dijumpai adalah ketersediaan air (curah hujan dan bulan kering), kedalaman efektif, KTK dan kesuburan tanah. Upaya untuk mengurangi atau menghilangkan faktor pembatas adalah dengan penambahan bahan organik pada lahan yang mempunyai KTK rendah dan pemupukan pada lahan dengan kesuburan tanah rendah. Sedangkan untuk faktor pembatas berupa kedalaman efektif dan ketersediaan air merupakan faktor pembatas yang relatif tidak dapat diatasi untuk tingkat petani lokal secara umum. Upaya yang dilakukan untuk mengurangi faktor pembatas, akan mampu meningkatkan kemampuan tanah menjadi lebih baik untuk pertumbuhan dan perkembangan tanaman karet. Khusus untuk pemupukan pada titik pengamatan dapat dilihat pada Tabel 21.

Gambar 18. Peta Kesesuaian Lahan Aktual

77

Gambar 19. Peta Kesesuaian Lahan Potensial

Tabel 22. Kelas Kesesuaian Lahan potensial untuk Tanaman Karet No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Titik sampel pengamatan T1 T5 T8 T11 T13 T15 T21 T23 T26 T29

Kesesuaian potensial S2-wr S2-wr S2-wr S2-wr S2-wr S2-wr S2-wr S2-wr S2-wr S2-wr

Input Bahan Organik dan Pupuk Bahan Organik dan Pupuk Bahan Organik dan Pupuk Pupuk Bahan Organik dan Pupuk Bahan Organik dan Pupuk Bahan Organik dan Pupuk Bahan Organik Bahan Organik dan Pupuk Bahan Organik dan Pupuk

78

D. Kondisi Sosioekonomi dan Aktivitas Masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terbatas Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir. Secara administratif wilayah kajian penelitian berada dalam wilayah Kecamatan Kota Kayu Agung, Pedamaran, Pedamaran Timur, SP Padang, dan Pampangan. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan bahwa wilayah tersebut masih banyak terdapat lahan gambut yang diperkirakan telah berumur puluhan hingga ratusan tahun. Lahan gambut tersebut berada dalam kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan berdekatan dengan area pemukiman penduduk yang berasal dari lokal maupun penduduk pendatang. Keberadaan lahan gambut dan hutan produksi terbatas tentunya tidak luput dari campur tangan baik pemerintah setempat maupun peran serta masyarakat yang berada di sekitarnya. Diharapkan dengan adanya penelitian ini maka paling tidak akan memberikan sumbangsih berupa gambaran/potret sedikit tentang keberadaan lahan gambut dan hutan produksi terbatas diusia pada saat ini. Lahan gambut merupakan sesuatu anugrah yang diberikan Allah SWT sebagai berkah yang diberikan untuk makluk hidup ciptaannya yang ada di muka bumi. Pada hakikatnya ciptaan Tuhan yang satu ini berfungsi sebagai penyetabil kehidupan ekosistem di dalamnya. Salah satu fungsinya adalah untuk menahan debit air pada saat terjadi limpahan air diakibatkan oleh hujan atau pasang permukaan air laut, sehingga dengan adanya daya kapilaritas maka gambut ini dapat menyerap air sehingga tidak menyebabkan banjir, sedangkan pada saat terjadi musim kering maka daerah yang terdapat gambut akan mengeluarkan cadangan air sehingga dapat membantu makluk hidup untuk mendapatkan cadangan air. Selain itu lahan gambut dapat berfungsi sebagai media penyerap karbon yang efektif sehingga keberadaan cukup memberikan andil besar dalam mengantisipasi pemanasan global atau perubahan iklim yang pada saat ini terus dibicarakan orang. Oleh sebab itu sudah seharusnya manusia yang telah dikaruniai nikmat sebesar itu dapat menjaganya dengan baik. Namun sepertinya manusia masih banyak yang belum menyadari akan aset tersebut, malah sebaliknya kondisi lahan gambut sekarang ini banyak yang telah dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi tanpa memikirkan dampak/resiko yang akan terjadi dikemudian hari.

79

Fokus studi di arahkan pada kehidupan masyarakat yang bermukim di sekitar lahan gambut kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT), dengan desa yang masuk dalam kajian penelitian antara lain Desa Kedaton dan Desa Teloko Kecamatan Kota Kayu Agung, Desa Cinta Jaya dan Desa Suka Damai Kecamatan Pedamaran, Desa SP Padang dan Desa Penyandingan Kecamatan SP Padang, Desa Jungkal dan Desa Bangsal Kecamatan Pampangan. Penelitian di desain dengan metode survai dan dilaksanakan di pemukiman desa yang berada di sekitar lahan gambut kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) pada bulan Juni 2009 terhadap 40 orang warga yang bermukim di sekitar lahan gambut kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT). Pengambilan sampel dilakukan secara acak dengan asumsi sampel telah memenuhi syarat homogenitas. Desa-desa yang dipilih dalam penelitian ini mencakup Desa Kedaton dan Desa Teloko Kecamatan Kota Kayu Agung, Desa Cinta Jaya dan Desa Suka Damai Kecamatan Pedamaran, Desa SP Padang dan Desa Penyandingan Kecamatan SP Padang, Desa Jungkal dan Desa Bangsal Kecamatan Pampangan. Untuk mendapatkan data primer maupun sekunder, dilakukan wawancara dengan berpedoman pada kuisioner yang telah disusun serta pengamatan langsung terhadap aktivitas warga di sekitar kawasan hutan produsi terbatas. Peubah yang diteliti meliputi prilaku masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan HPT, Persepsi masyarakat terhadap kelestarian hutan dan Manfaat hutan produksi terbatas di Kayu Agung Kabupaten Ogan Komering Ilir, masing-masing ditetapkan sebanyak dua indikator dan setiap indikator dianalisis dengan menggunakan tabulasi frekuensi. Data yang dikumpulkan dianalisis secara deskriptif sesuai dengan distribusi frekuensi setiap indikator yang diamati. 1. Data Responden Keberadaan lahan gambut di hutan produksi terbatas di Kayu Agung merupakan salah satu wujud aset alam yang sangat dibutuhkan bagi makluk hidup yang tinggal di kawasan tersebut. Fungsinya sebagai penyeimbang kehidupan ekologi dan sekaligus sebagai penyerap/penyimpan karbon mempertegas bahwa lahan gambut tidak ada kata lain harus tetap dijaga dan dikelola dengan baik.

80

Data menunjukkan bahwa sebagian besar responden (77.5%) adalah lakilaki dan 22,5% perempuan. Sebagian besar (60%) berusia antara 33-50 tahun, 27,5% berusia kurang dari 35 tahun, dan sebagian kecil (7,5%) di atas 50 tahun. Pada jenjang usia tersebut kodisi fisik responden cukup prima, dan mampu mengambil keputusan secara cepat apalagi mereka telah memiliki pengalaman, kemampuan teknis dan manajerial tentang tugas dan fungsinya yang harus dilaksanakan serta ditunjang dengan pendidikan yang dimiliki baik formal, maupun non formal. Sebaran data pendidikan formal responden adalah 15% Tidak Tamat SD (TTSD), 60% Tamat SD (TSD), 20% tamat SMP, dan 5% Tamat SMA. Berdasarkan tingkat pendidikan formal, responden yang tergolong usia muda cenderung memiliki pendidikan lebih tinggi dibanding dengan responden yang berusia tua. Temuan di lapangan menunjukkan bahwa belum pernah ada semacam pembinaan khusus yang ditujukkan ke masyarakat yang bermukim di seputar lokasi gambut tentang bagaimana memberikan kesadaran kepada warga untuk turut menjaga kelesatarian hutan dan lahan gambut di kawasan hutan produksi terbatas. Hanya kurang dari 15% masyarakat yang memahami betul akan kelestarian hutan dan lahan gambut yang ada di sekitar tempat tinggal mereka.

1.1. Pendidikan Tingkat pendidikan sebagian besar Kepala Keluarga di wilayah studi relatif masih rendah, yakni tamat SD. Namun sekarang ini, minat untuk memberikan pendidikan yang lebih baik kepada anak umumnya cukup baik. Jenis dan jumlah sarana pendidikan di wilayah studi pada saat dilakukan penelitian dapat dilihat pada Tabel 23.

81

Tabel 23. Banyaknya Sarana Pendidikan (Negeri & Swasta) di Wilayah Studi Menurut Jenjang Pendidikan. Desa SD SMP SMA MI Kedaton 1 0 3 1 Teloko 2 0 0 0 Suka Damai 0 0 0 0 Cinta Jaya 1 0 0 0 SP Padang 1 0 0 0 Penyandingan 1 0 0 0 Jungkal 1 0 0 0 Bangsal 1 0 0 0 Sumber : Data Monografi Desa, Tahun 2008.

1.2. Kepadatan dan Pertumbuhan Penduduk Berdasarkan data statistik di wilayah studi pada tahun 2008 (Tabel 24), tingkat kepadatan penduduk rata-rata masih tergolong rendah (kurang dari 50 jiwa/ha), sedangkan di Desa Kedaton pendudukanya sudah cukup banyak namun kondisi topografi yang menyebabkan masyarakat yang bermukim di sisni cenderung mengumpul disatu daerah, misalnya di pinggir sungai, jalan, atau daerah strategis lainnya. Sedangkan untuk dua desa lainnya yaitu Cinta Jaya dan Desa Jungkal memang pada dasarnya penduduknya masih sedikit dan cenderung untuk memencar untuk mencari tempat tinggal, biasanya berdomisili di dekat kebun, atau sungai.

Tabel 24. Data Kepadatan Penduduk di Wilayah Studi tahun 2008. Desa

Jumlah Penduduk (Jiwa) 5.046

Luas

Kedaton 900 Ha Teloko Cinta Jaya 1.935 102,24 Km2 Suka Damai SP Padang Penyandingan Jungkal 1.485 315 Ha Bangsal Sumber : Data Monografi Desa di Wilayah Studi, 2008.

Kepadatan Penduduk 5,61 jiwa/Ha 18,93 jiwa/km2

4,71 jiwa/Ha

82

Desa Kedaton merupakan desa yang lokasinya berdekatan dengan pusat pemerintahan kecamatan sekaligus menyatu dengan pusat pemerintahan Kabupaten Ogan Komering Ilir. Di samping itu daya tarik lain di Desa Kedaton terdapat banyak industri-industri berskala rumah tangga seperti industi tikar purun dan industri kerupuk/kelempang, bahkan hasil industri rumah tangga ini sudah terkenal dan dipasarkan keluar daerah seperti jambi, medan, bangka, dan di wilayah Pulau Jawa. Sehingga daerah ini menjadi pusat perkembangan ekonomi yang baru di Kecamatan Kota Kayu Agung, khususnya perekonomian masyarakat sekitarnya. Penyebaran penduduk di wilayah studi pada umumnya mempunyai pola terpusat di desa yang mengikuti pola pinggiran jalan atau aliran sungai. Lahan pertanian umumnya berada di luar area pemukiman. 1.3. Sosial Ekonomi dan Budaya 1.3.1. Ekonomi Rumah Tangga Sumber pendapatan masyarakat di wilayah studi, khususnya di Kecamatan Kota Kayu Agung beranekaragam. Pada umumnya sebagai petani dengan mengusahakan sebagian di industri rumah tangga seperti usaha Tikar Purun, kelempang, kerupuk, dan sebagainya. Mata pencaharian lainnya yaitu kebun karet dan kelapa sawit. Usaha pertanian tersebut umumnya masih dilakukan secara tradisional. Untuk menambah penghasilan, sebagian masyarakat juga berusaha di bidang peternakan dan perikanan. Selain itu, sebagian penduduknya berusaha di sektor perdagangan dan jasa seperti industri kecil, saw mill, mebel, perbengkelan, jasa transportasi, toko dan rumah makan. Hal ini desa yang masuk di wilayah Kecamatan Kayu Agung berdekatan dengan perlitasan jalan lintas timur. Tingkat pendapatan masyarakat sangat bervariasi, umumnya berkisar antara Rp. 500.000,sampai Rp. 2.000.000,-. Ini terlihat dari beragamnya usaha di masyarakat, dengan tingkat penghasilan yang berbeda. Jumlah penduduk miskin di Kecamatan Kota Kayu Agung adalah 2.061 keluarga atau 10,9 % dari jumlah keluarga.

83

1.3.1. Perekonomian Lokal dan Regional Pola penggunaan lahan di wilayah studi cukup bervariasi. Meskipun masih didominasi oleh wilayah perkebunan dengan kondisi tanah sebagian besar adalah tanah gambut, maka lahan yang ada mulai diolah untuk tanaman yang cocok dengan keadaan tanah tersebut. Secara umum perekonomian lokal di wilayah studi tumbuh cukup pesat. PDRB per kapita juga menunjukkan kenaikan yang signifikan dari tahun ke tahun. Menurut data statistik, PDRB Kecamatan di kota Kayu Agung pada tahun 2005 secara umum tumbuh 22,54 %. Sektor industri, perdagangan dan jasa juga tumbuh cukup pesat. Fasilitas umum yang terdapat di wilayah studi berupa kawasan perkantoran Pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ilir. Disamping itu juga terdapat fasilitas ekonomi seperti sarana perdagangan (kios/toko/ warung/ruko), SPBU, dan sarana kelembagaan ekonomi yakni 1 buah KUD. Fasilitas sosial yang ada meliputi sarana kesehatan, sarana olahraga berupa 1 buah lapangan sepak bola, dan 2 buah lapangan Bola Volley, serta sarana keagamaan berupa 8 buah mesjid, 8 buah musholla dan majelis taklim, remaja mesjid, kelompok kesenian Islam (kompangan/rebana). Adapun sarana pendidikan yang ada di Desa Bukit Baling meliputi 2 buah TK, 3 buah SD, 1 buah SMP dan 2 buah MI.

1.3.2. Budaya/Adat Istiadat Masyarakat di wilayah studi hampir semuanya beragama Islam, sehingga corak budayanya dipengaruhi oleh agama yang dianut. Adat istiadat dominan yang dianut oleh masyarakat tersebut adalah adat istiadat suku Ogan dan Komering. Hal ini dikarenakan sebagai besar masyarakat adalah Suku Melayu Komering. Suku bangsa lain juga banyak dijumpai terutama adalah Jawa. Di samping itu dijumpai juga Suku Padang, Batak, dan Palembang. Sekarang desadesa yang masuk dalam Kecamatan Kayu Agung

merupakan daerah yang

heterogen, Mengingat daerah ini adalah pusat pemerintahan, sekaligus akan menjadi pusat perekonomian, maka keragaman penduduk tidak menimbulkan permasalahan, karena masyarakat setempat juga mesti membuka diri terhadap masyarakat pendatang.

84

Proses akulturasi, asimilasi dan integrasi berlangsung secara wajar. Ini terbukti dengan banyaknya pernikahan dengan orang yang berbeda suku. Apalagi letak wilayah studi yang berada di jalur jalan lintas timur Sumatera dengan tingkat keramaian yang semakin tinggi, semakin memudahkan proses sosial yang berlangsung. Namun ada hal-hal tertentu yang bisa menimbulkan sentimen emosional dari masyarakat, misalnya menyangkut masalah kecelakaan lalu lintas atau masalah keagamaan. Tetapi dengan semakin membaiknya tingkat pendidikan masyarakat, terbukanya wilayah, lancarnya transportasi dan komunikasi, menyebabkan faktor-faktor yang bisa menyulut konflik sosial bisa dieliminir. Warisan sosial budaya secara fisik di wilayah studi hampir tidak ditemukan lagi, mengingat dulunya wilayah ini adalah wilayah pertanian murni yang kemudian beralih menjadi desa perdagangan. Sebagian besar bentuk fisik desa menyerupai bentuk fisik desa semi modern, dengan pola bangunan sudah ada yang menyerupai pola bangunan umum sekarang yakni dengan rumah beton / kayu dan atap seng / genteng, namun masih banyak juga terlihat bentuk rumah panggung dan terlihat kurang memenuhi standar rumah sehat dengan corak kayu dan atap dari daun purun, pemandangan tersebut banyak dijumpai disepanjang pinggiran sungai dan di pinggiran kota. Secara non fisik, warisan budaya yang masih ada berupa upacara pernikahan yang masih menggunakan atribut daerah, meskipun dengan penyesuaian-penyesuaian. Budaya yang lain seperti kehidupan sosial, misalnya gotong royong, meskipun masih ada, tetapi berangsur-angsur mulai hilang sejalan dengan globalisasi yang semakin individualis dan materialistis.

1.4 Prilaku Masyarakat terhadap Aktifitas Masyarakat di Lahan Gambut Hutan Produksi Terbatas Dalam penelitian ini, faktor prilaku masyarakat (Tabel 25) yang diamati adalah Status pekerjaan (jenis pekerjaan), tujuan mendatangi lahan gambut, dan Intensitas kunjungan ke lahan gambut. Hasil penelitian menunjukkan ada dua kemungkinan masyarakat pergi ke hutan yaitu untuk mencari kayu bakar atau untuk berladang. Sebagian besar (55 %) responden memanfaatkan waktunya ke

85

hutan untuk mencari kayu bakar. Kayu bakar tersebut diperoleh dengan cara menebang pohon baik yang berdiameter sedang atau kecil, atau hanya mengambil ranting-ranting yang sudah jatuh ke tanah. Batang kayu yang masih basah biasanya langsung di jemur di depan rumah atau di kebun. Setelah kering kayu bakar tersebut di potong-potong hingga berdiameter kurang lebih 3 – 4 cm dan dipotong sepanjang kurang lebih 40–50 cm. Satu ikat kayu bakar biasa di jual dengan harga Rp 12.000,- hingga Rp 15.000,-. Selain mengambil kayu bakar aktifitas masyarakat di kawasan hutan produksi terbatas adalah berladang (30 %). Usahatani yang dilakukan adalah menanam sawit, padi, karet, dan sebagian kecil ada yang mengusahakan umbi-umbian. Sistem pembukaan lahan yang digunakan dengan cara membakar. Sebagian lagi tujuannya adalah mencari sejenis daun purun (15%) yang digunakan untuk industri rumah tangga. Mengingat salah satu lokasi studi yang sedang teliti ini merupakan basis kerajinan Tikar Purun. Kerajinan tikar purun ini sudah ada sejak nenek moyang mereka, dan produknya sampai sekarang sudah sangat terkenal baik lokal maupun luar daerah. Tikar purun biasa digunakan penduduk untuk alas tidur, membuat topi, kerajinan tangan, dan sebagainya. Namun di tengah himpitan ekonomi dan kurangnya regenerasi muda untuk menekuni kerajinan ini maka pengrajin tikar purun yang ada di Desa Kedaton saat ini tinggal sedikit dan bisa dihitung dengan jari.

Tabel 25. Prilaku Masyarakat Terhadap Aktivitas Masyarakat di Lahan Gambut Kawasan Hutan Produksi Terbatas. Prilaku Masyarakat Kategori Jumlah % Status pekerjaan Memiliki pekerjaan tetap 2 5 Tidak memiliki pekerjaan tetap 38 95 Tujuan ke hutan Mencari kayu bakar 22 55 Berladang 12 30 Mencari bahan baku membuat kerajinan 6 15 RT Jalan – jalan 0 0 Intensitas kunjungan < 1 kali/minggu 22 55 2 – 3 kali/minggu 6 15 > 3 kali/minggu 12 30

86

Status pekerjaan masyarakat yang bermukim di kawasan hutan produksi terbatas berpengaruh terhadap prilaku masyarakat dalam beraktivitas di hutan tersebut. Dari hasil penelitian ditemukan indikasi bahwa penduduk yang tidak memiliki

mata

pencaharian

tetap

cenderung

untuk

sering

beraktivitas

mengunjungi hutan dengan tujuan untuk mencari penghasilan tambahan yang didapat dari mengumpulkan kayu, ranting, memancing, dan sebagainya. Aktivitas tersebut didorong oleh kebutuhan hidup yang harus dipenuhi dan tidak ada pilihan lain. Sedangkan yang memiliki pekerjaan tetap cenderung untuk menyatakan jarang ke hutan untuk beraktivitas. Alasannya karena mereka untuk mencukupi kehidupan sehari-hari sudah ada. Disamping hasilnya lebih besar maka aktivitas mencari kayu bakar di hutan sangat melelahkan dan proses untuk mendapatkan hasil relatif lambat. Intensitas responden mengunjungi lahan gambut hutan produksi terbatas cukup bervareatif hal ini paling tidak bisa diketahui dari kasibukan dan waktu luang warga masyarakat yang ada. Biasanya warga yang tidak memiliki pekerjaan yang tetap/mapan biasanya bisa menghabiskan waktu seharian (>8 jam) sehari (dari pagi sampai sore). Dengan frekuensi kunjungan rata-rata 2 kali setiap minggu (Tabel 24). Hal tersebut dapat dipahami karena tidak setiap hari kayu bakar bisa diperoleh di hutan, atau menunggu kayu yang sudah di peroleh laku terjual.

1.5. Persepsi Masyarakat terhadap Kelestarian Lahan gambut di Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Menurut

Rachmat

(2002),

persepsi

adalah

proses

mental

yang

menghasilkan bayangan pada diri individu, sehingga dapat mengenal suatu objek dengan jalan assosiasi suatu ingatan tertentu, baik secara indera penglihatan, perabaan maupun yang lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari manusia cenderung untuk melihat kondisi lingkungan terdekat potensi apa yang bisa dimanfaatkan untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dalam hal ini masyarakat yang bermukim di sekitar lahan gambut akan cenderung untuk melakukan pekerjaan yang dapat menghasilkan sesuatu yang dapat membantu mencukupi kebutuhan hidupnya. Kegiatan tersebut diantaranya 87

mencari kayu bakar, mencari ikan, burung, mengelola lahan gambut untuk ditanami, mencari daun purun untuk dijadikan barang kerajinan, dan sebagainya. Tentunya aktivitas masyarakat semacam ini akan menimbulkan semacam fenomena tersendiri yaitu antara kebutuhan hidup dan pelestarian alam. Persepsi masyarakat terhadap keberadaan lahan gambut di kawasan hutan produksi terbatas dapat dilihat dari penilaian responden terhadap keberadaan lahan gambut di sekitar kawasan hutan produksi terbatas dapat dilihat pada Tabel 25. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sebagian masyarakat di wilayah studi memang sebgaian hidupnya masih ada yang menggnatungkan dari keanekaragaman yang dimiliki oleh hutan. Hutan sebagai kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati yang luar biasa, sebagian hasilnya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar untuk dijadikan sebagai mata pencaharian, baik utama maupun sampingan Keragaman hayati dapat menjadi alasan kenapa masyarkat di sekitar lokasi penelitian sering melakukan aktivitas sehari-hari di kawasan hutan.

Hasil

penelitian menunjukkan bahwa 70% responden menyatakan alasan sering melakukan aktivitas di hutan karena hutan memiliki banyak keragaman hayati yang menjanjikan sesuatu untuk dapat dimanfaatkan sebagai sumber mata pencaharian dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan responden tidak memiliki pilihan lain dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebanyak 30% responden menyatakan saat ini hutan sudah sedikit sekali memiliki keragaman hayati yang dapat dimanfaatkan untuk menambah pendapatan rumah tangga, oleh sebab itu maka mereka banyak mencari mata pencaharian alternatif dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Perbandingan di atas menunjukkan bahwa pada dasarnya masyarakat di kawasan hutan produksi terbatas dalam beraktivitas di lahan gambut hutan produksi terbatas semata-mata hanya untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Maka dari itu hal ini dapat menjadi perhatian pemerintah setempat dalam upaya menanggulangi kemiskinan terutama di seputar wilayah penduduk yang bermukim di dekat kawasan hutan (Tabel 26).

88

Tabel 26. Persepsi Masyarakat Terhadap Keberadaan Lahan Gambut di Kawasan Hutan Produksi Terbatas Penilaian responden tehadap lahan gambut Jumlah % (orang) Keragaman hayati yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat 28 70 - mempunyai banyak keragaman yang dihasilkan untuk dapat membantu manambah kebutuhan hidup seharihari karena tidak ada alternatif pilihan untuk mencari pekerjaan lainnya 12 30 - tidak memiliki banyak keragaman yang dapat dihasilkan dari lahan gambut namun memiliki usaha lain dalam memenuhi kebutuhan hidup Kemampuan mengelola lahan gambut untuk dapat diusahakan - responden mengetahui jenis tanaman yang dapat 23 57.5 hidup dilahan gambut - responden memahami cara mengelola tanah di lahan 10 25 gambut - responden mengetahui cara menanggulangi hama & 5 12.5 penyakit tanaman di lahan gambut - responden dapat memabandingkan biaya yang 2 5 dibutuhkan untuk mengelola tanaman di lahan gambut Pemanfaatan teknologi dalam mengelola lahan gambut - menggunakan teknologi modern dalam mengelola 2 5 lahan gambut - hanya menggunakan teknologi sederhana 17 42.5 (tradisional) 21 52.5 - tidak menggunakan teklogi dalam mengelola lahan gambut

Selain keragaman hayati, kemampuan responden dalam mengelola lahan gambut juga dapat mempengaruhi aktivitas di lahan gambut di kawasan hutan produksi terbatas. Berkaitan dengan kemampuan responden dalam mengelola lahan, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (57,5 %) responden sangat memahami tanaman-tanaman apa yang dapat hidup dilahan gambut, sehingga dalam mengelola lahan gambut petani tidak sembarangan memilih jenis tanaman yang akan dibudidayakan. Tentu saja lahan gambut sangat selektif sekali dalam memilih tanaman yang dapat hidup di lingkungannya. Separuh lebih (25 %) responden menyatakan memahami cara mengelola tanah di lahan gambut. 89

Pengelolaan tanah biasanya dengan cara diberi perlakukan seperti membuat gundukan yang tinggi agar akar tanaman muda yang baru tumbuh tidak menyentuh tanah gambut, karena jika tidak diberi perlakuan seperti itu tanaman akan mudah mati karena tidak memiliki cadangan bahan organik, mengingat di dalam lahan gambut banyak terdapat zat-zat yang dapat meracuni/merusak akar tanaman tertentu. Selain kandungan zat-zat yang dapat merusak tanaman, maka di area lahan gambut juga sangat rentan terhadap bahaya serangan hama dan penyakit tanaman. Hama yang sering merusak tanaman adalah babi, tikus, ulat, dan sebagainya. Data penelitain menunjukkan sebanyak 12.5 % responden menyatakan mengetahui cara menanggulangi masalah hama dan penyakit tanaman yang ada di area lahan gambut. Pemanfaatan teknologi dalam mengelola lahan gambut tergolong cukup bervareatif, hal ini logis karena penggunaan teknologi dalam beraktivitas akan berimbas pada penambahan biaya yang dikeluarkan dalam suatu kegiatan. Dalam penelitian ini penggunaan teknologi digolongkan kedalam dua kategori yaitu penggunaan dan penguasaan teknologi modern, penggunaan teknologi semi modern

(sederhana),

dan

secara

tradisional/naluri.dari

hasil

penelitian

menunjukkan bahwa sebanyak 5% masyarakat yang beraktivitas di lahan gambut sudah ada yang menggunakan teknologi modern, seperti menggunakan mesin pertanian (hand Traktor, bolduser, dsb) dalam mengelola usahatani di lahan gambut. Sedangkan sebagian besar (52.5%) responden hanya mengandalakan peralatan yang sederhana, seperti ; cangkul, arit, parang, gergaji, dan sebagainya. Kendala yang dihadapi oleh responden pada umumnya adalah masalah keterbatasan biaya/dana. Dengan biaya yang terbatas mereka hanya mampu mengandalkan tenaga dan peralatan yang sederhana.

1.6. Manfaat Lahan Gambut di Kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) Tanah gambut merupakan tanah yang tersusun dari bahan organik, baik dengan ketebalan >45 cm maupun terdapat secara berlapis bersama tanah mineral pada ketebalan penampang 80 cm serta mempunyai tebal lapisan bahan organik >50 cm. Pembentukan tanah gambut secara umum dimulai dengan adanya cekungan lahan berdrainase jelek dan genangan air, sehingga memungkinkan 90

terjadinya penumpukkan bahan organik yang sukar melapuk. Vegetasi tua yang roboh akan digantikan oleh vegetasi baru yang pertumbuhannya makin dipengaruhi ketebalan bahan organik. Lahan gambut memiliki peran dalam ekosistem lahan rawa gambut baik secara hidrologi, pelestarian satwa dan vegetasi. Lahan gambut memegang peranan penting dalam sistem hidrologi suatu lahan rawa, dimana salah satu sifat gambut berperan dalam sistem hidrologi adalah menahan air yang dimilikinya. Gambut memiliki daya menahan air sangat besar yaitu 300 hingga 800 persen dari bobotnya (Wahyunto et al., 2005). Selain itu gambut juga mempunyai daya melepas air pada saat permukaan air turun. Pemanfaatan lahan gambut mulai menonjol sejalan dengan program transmigrasi dan ekstensifikasi pertanian melalui reklamasi rawa pantai atau pasang surut. Kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan gambut antara lain; keadaaan lingkungan tanah gambut, ketebalan gambut, sifat fisik dan kimiawi, dan perkembangan tanah akibat reklamasi dan pemilihan teknologi yang tepat. Lahan gambut di kawasan hutan produksi terbatas keberadaanya sangat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat yang bermukim di sekitarnya, terbukti dari 85% responden yang menyatakan bahwa lahan gambut memberi andil dalam siklus hidrologi di kawasan tersebut, selain itu keanekaragaman hayati yang terkandung di dalam hutan membantu masyarakat untuk menambah pendapatan rumah tangga. Hal ini selain disebabkan oleh faktor kemiskinan maka masyarakat yang bermukim di kawasan hutan produksi terbatas pada umumnya tidak memiliki mata pencaharian yang mapan/tetap. Keadaan ini menunjukkan bahwa lahan gambut sebagai penyeimbang siklus kehidupan, selain berperan dalam siklus hidrologi dan penyerapan karbon, juga berperan dalam pemenuhan kebutuhan hidup manusia yang tinggal di sekitarnya. Sehubungan dengan peran dan manfaat lahan gambut di kawasan hutan produksi terbatas di lihat dari persepsi masyarakat, menunjukkan bahwa 85% responden menyatakan bahwa lahan gambut sangat bermanfaat bagi kelestarian lingkungan dan dapat dimanfaatkan sebagai tempat untuk mendapatkan tambahan penghasilan rumah tangga bagi penduduk yang bermukim di sekitarnya. Sebanyak 10% responden menyatakan lahan gambut sangat bermanfaat dalam kelestarian dan siklus hidrologi namun keberadaannya kurang dapat dimanfaatkan sebagai 91

lahan untuk berusaha tani dalam rangaka menambah pendapatan rumah tangga. Sedangkan sebanyak 5% responden menyatakan lahan gambut kurang memberikan manfaat bagi kelangsungan hidupnya.

92

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan A. 1. Dampak Kebakaran Lahan dan Aktivitas Masyarakat terhadap Karakteristik Gambut di Hutan Produksi Terbatas Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir. 1. Lahan gambut merupakan ekosistem yang marjinal dan rapuh sehingga mudah rusak. Lahan gambut yang telah mengalami kerusakan akan sulit untuk diperbaharui. Kecamatan Pedamaran adalah salah satu kecamatan di Kabupaten OKI yang memiliki lahan gambut yang sebagian besar terdapat di Desa Cinta Jaya. Oleh karena itu pengelolaanya memerlukan perencanaan yang matang. 2. Hasil penelitian, gambut Desa Cinta Jaya hampir seluruhnya tergolong gambut sangat dalam (> 3 m). Tanah mineral yang berada di bawah lapisan gambut bertekstur liat dan mengandung pirit. Nilai pH tanah gambut berkisar antara 3,38 hingga 3,75 dan tergolong sangat masam. Nitrogen total sangat tinggi berkisar antara 0,58% hingga 0,79%. Rasio C/N sangat tinggi berkisar antara 37 hingga 53. 3. Berdasarkan kadar abu tanah gambutnya, gambut lokasi penelitian tergolong gambut dengan tingkat kesuburan mesotrofik. Tingkat dekomposisi hemik, namun dibeberapa bagian tergolong fibrik dengan bahan asal penyusun gambut berupa rumput dan kayu-kayuan.

93

A.2.

Dampak Kebakaran Lahan dan Aktivitas Masyarakat terhadap Keanekaragaman hayati di Hutan Produksi Terbatas Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir

A.2.1. Danau Teloko, Kecamatan Kayuagung Wilayah Danau Teloko, merupakan danau rawa yang muka airnya berfluktuasi menurut musim penghujan atau kemarau. Sebagai danau rawa, debit air sangat tergantung pada pasokan air hujan yang berasal dari sungai-sungai kecil terdekat atau aliran air dari wilayah sekitar yang topografinya lebih tinggi ketika turun hujan. Danau Teloko juga cukup luas, yaitu .. hektar (ratusan hektar) dengan kedalaman 2–5 meter pada waktu musim hujan dan < 2 meter pada waktu kemarau. Vegetasi dominan di danau teloko, eceng gondok (Eichhornia crassipes), purun (Lepironia mucronata), kumpai (Panicum stagninum), teratai besar (Nelumbo nucifera), ketanan (Polygonum pulchrum), keladi (Colocasia esculenta), genjer (Limnocharis flava), belidang (Fimbristylis annua), petai air (Neptunia prostrata), kangkung (Ipomoea aquatica) dan rumput ganggang (Hydrilla verticillata). Vegetasi lainnya yang tumbuh pada tanah mengapung antara lain: senggani (Melastoma malabathricum) dan rumput pait (Axonopus compressus). Sementara itu jenis kayu yang masih ada dan bertahan pada kondisi tergenang adalah kayu gabus (Alstonia spp.). Beberapa jenis unggas yang sering dijumpai adalah unggas yang beradaptasi dengan lingkungan akuatik, sehingga makanannya berupa jenis-jenis ikan kecil dan berbagai jenis Avertebrata dari Kelas Insecta maupun Kelas Annelida. Jenis unggas akuatik tersebut antara lain: keruwak (Amaurornis phoenicurus), ayaman (Gallinula chloropus), raja udang (Alcedo attis), bambangan (Ixobrychus cinnamomeus), kuntul kecil (Egretta garzetta), bangau totong (Leptoptilos javanicus), belibis (Dendrocygna javanica), elang bondol (Heliastur indus) dan bodol (Lonchura leucogastra). hasil analisis komunitas plankton, indeks keanekaragaman komunitas plankton pada 4 titik pengambilan sample (musim kemarau) ternyata cukup besar, yaitu jauh >2,00, yakni berkisar 2,86–3,24. Indeks keanekaragaman plankton mendekati 3,00 hingga >3,00 menunjukkan kondisi komunitas plankton adalah mendekati sangat stabil hingga sangat stabil. Indeks keanekaragaman sebesar 2,86–3,24, yakni jauh di atas 2,00 menunjukkan tidak terdapat pencemaran dalam badan air Danau Teloko. Namun demikian, kelimpahan komunitas plankton rata-rata <100 individu/liter air menunjukkan kelimpahan sedang, yakni populasi masing-masing plankton tergolong tidak melimpah. Hal ini berkaitan dengan kondisi badan air yang rendah kandungan nutrisinya diperlihatkan dari kandungan N rendah. Jenis-jenis ikan yang mampu pada kondisi defisit oksigen tersebut adalah ikan-ikan berwarna gelap (blackfishes) yang memiliki alat pernapasan tambahan semacam labirin, sehingga kekurangan oksigen terlarut dapat dicukupi dengan mengambil oksigen udara di permukaan air dengan alat labirin yang dimilikinya. Jenis-jenis yang banyak dijumpai antara lain: betok (Anabas testudineus), selincah (Polyacanthus hasselti), gabus (Channa striata), lele (Clarias batrachus), sepat siam, sepat mata merah, tempalo lebak (Betta taeniata) dan tebakang (Helostoma temmincki). 94

A.2.2. Danau Air Hitam, Kecamatan Pedamaran 1. Danau Air Itam merupakan danau rawa yang muka airnya juga berfluktuasi menurut musim penghujan atau kemarau. Debit air sangat tergantung pada pasokan air hujan yang berasal dari sungai-sungai kecil terdekat atau aliran air dari wilayah sekitar yang topografinya lebih tinggi ketika terun hujan. Danau Air Itam juga cukup luas dengan kedalaman 3–6 meter pada waktu musim hujan dan <3 meter pada waktu kemarau, bahkan pada waktu kemarau panjang (>5 bulan) permukaan danau menjadi kering seperti yang terjadi pada tahun 1997. 2. Vegetasi danau Air Itam dominan yakni rumput jae-jae (Panicum repens), rumput kusut (Paspalum distichum), eceng gondok (Eichhornia crassipes), purun (Lepironia mucronata), kumpai (Panicum stagninum), teratai besar (Nelumbo nucifera), ketanan (Polygonum pulchrum), belidang (Fimbristylis annua), petai air (Neptunia prostrata), kangkung (Ipomoea aquatica) dan rumput ganggang (Hydrilla verticillata). Vegetasi lainnya yang tumbuh pada tanah mengapung antara lain: rumput pait (Axonopus compressus). Sementara itu jenis kayu yang masih ada dan bertahan pada kondisi tergenang adalah kayu gabus (Alstonia spp.) dan kayu gelam rawa (Melaleuca leucadendra). 3. Beberapa jenis unggas yang sering dijumpai adalah unggas yang beradaptasi dengan lingkungan akuatik, sehingga makanannya berupa jenis-jenis ikan kecil dan berbagai jenis Avertebrata dari Kelas Insecta maupun Kelas Annelida. Jenis unggas akuatik tersebut antara lain: keruwak (Amaurornis phoenicurus), ayaman (Gallinula chloropus), raja udang (Alcedo attis), bambangan (Ixobrychus cinnamomeus), kuntul kecil (Egretta garzetta), bangau totong (Leptoptilos javanicus), belibis (Dendrocygna javanica) dan elang bondol (Heliastur indus). 4. Hasil analisis komunitas plankton, indeks keanekaragaman komunitas plankton pada 3 stasiun (titik) pengambilan sample (musim kemarau) ternyata cukup besar, yaitu rata-rata >3,00, yakni berkisar 3,13–3,31. Indeks keanekaragaman plankton melebihi 3,00 menunjukkan kondisi komunitas plankton adalah tergolong sangat stabil. Indeks keanekaragaman sebesar 3,13–3,31 yakni > 3,00 menunjukkan tidak terdapat pencemaran dalam badan air Danau atau Lebak Air Itam. 5. Jenis-jenis ikan yang mampu pada kondisi defisit oksigen tersebut adalah ikanikan berwarna gelap (blackfishes) yang memiliki alat pernapasan tambahan semacam labirin, sehingga kekurangan oksigen terlarut dapat dicukupi dengan mengambil oksigen udara di permukaan air dengan alat labirin yang dimilikinya. Jenis-jenis yang banyak dijumpai antara lain: betok (Anabas testudineus), selincah (Polyacanthus hasselti), gabus (Channa striata atau Ophiocephalus striatus), lele (Clarias batrachus), sepat siam, sepat mata merah, tempalo lebak (Betta taeniata) dan tebakang (Helostoma temmincki). 6. Kelimpahan dari masing-masing spesies berkisar jarang hingga banyak. Jenisjnis yang tergolong kategori banyak adalah ikan belut, betok, buntal, gabus, lele kalang, selincah, sepat mata merah, sepat siam, tempalo lebak dan toman.

95

A.2.3. Lebak Jungkal, Kecamatan Pampangan 1. Lebak Jungkal merupakan lebak rawa yang sangat luas, muka airnya berfluktuasi menurut musim penghujan atau kemarau, dan debit air sangat tergantung pada pasokan air hujan yang berasal dari sungai-sungai kecil terdekat atau aliran air dari wilayah sekitar yang topografinya lebih tinggi ketika turun hujan. Lebak Jungkal juga cukup luas, yaitu .. hektar (ratusan hektar) dengan kedalaman 1–4 meter pada waktu musim hujan dan <2 meter pada waktu kemarau, bahkan pada waktu kemarau panjang (>5 bulan) permukaan danau menjadi kering. 2. Jenis vegetasi yang mendominasi keluarga Gramineae yang sering disebut dengan bahasa lokal rumput kumpai dengan spesies: Panicum stagninum, Panicum colonum dan Panicum reptans. 3. Vegetasi Lebak Jungkal adalah pandan rawa (Pandanus ornatus) Panicum stagninum, Panicum colonum, Panicum reptans, eceng gondok (Eichhornia crassipes), purun (Lepironia mucronata), telipuk (Nymphoides indica), ketanan (Polygonum pulchrum), belidang (Fimbristylis annua), petai air (Neptunia prostrata), kangkung (Ipomoea aquatica) dan rumput ganggang (Hydrilla verticillata). Vegetasi lainnya yang tumbuh pada tanah mengapung antara lain: senggani (Melastoma malabathricum) dan rumput pait (Axonopus compressus). Sementara itu jenis kayu yang masih ada dan bertahan pada kondisi tergenang adalah kayu gabus (Alstonia spp.). 4. Jenis unggas yang sering dijumpai adalah unggas yang beradaptasi dengan lingkungan akuatik, sehingga makanannya berupa jenis-jenis ikan kecil dan berbagai jenis Avertebrata dari Kelas Insecta maupun Kelas Annelida. Jenis unggas akuatik tersebut antara lain: keruwak (Amaurornis phoenicurus), ayaman (Gallinula chloropus), raja udang (Alcedo attis), bambangan (Ixobrychus cinnamomeus), kuntul besar (Egretta alba), kuntul kecil (Egretta garzetta), bangau totong (Leptoptilos javanicus), belibis (Dendrocygna javanica), elang bondol (Heliastur indus) dan bodol (Lonchura leucogastra). 5. Hasil analisis komunitas plankton, indeks keanekaragaman komunitas plankton pada 2 titik pengambilan sample (musim kemarau) ternyata cukup besar, yaitu jauh >3,00. Indeks keanekaragaman plankton >3,00 tersebut menunjukkan kondisi komunitas plankton adalah sangat stabil. Indeks keanekaragaman sebesar >3,00, menunjukkan tidak terdapat pencemaran dalam badan air Lebak Jungkal. Namun demikian, kelimpahan komunitas plankton pada Lebak Bahanan tergolong rendah, yaitu 49 individu/liter (<50 individu/liter air), sementara itu pada lokasi Lebak Betung kelimpahan komunitas planktonnya sebesar 79 individu/liter air, menunjukkan kelimpahan sedang. Dengan demikian, populasi masing-masing plankton tergolong tidak melimpah. Hal ini berkaitan dengan kondisi badan air yang rendah kandungan nutrisinya N total dan fosfor (PO4). 6. Jenis-jenis yang banyak dijumpai antara lain: betok (Anabas testudineus), selincah (Polyacanthus hasselti), gabus (Channa striata atau Ophiocephalus striata), lele (Clarias batrachus), sepat siam (Trichogaster pectoralis), sepat mata merah (Trichogaster trichopterus) , tempalo lebak (Betta taeniata) dan tebakang (Helostoma temmincki).

96

A.3. Evaluasi Kemampuan Lahan di Desa Hutan pada Lahan Hutan Rawa Gambut di Bentang Lahan Kayu Agung, Kabupaten Ogan Komering Ilir 1. Faktor pembatas pertumbuhan tanaman pada lokasi penelitian curah hujan dan kedalaman efektif yang tidak dapat diperbaiki dan tergolong dalam kelas kesesuaian S2 (cukup sesuai), 2. Secara aktual, pada lokasi penelitian terdapat 3 kelas kesesuaian untuk tanaman karet, yaitu kelas kesesuaian N (tidak sesuai) pada areal titik pengamatan T1, T5, T8, T26, dan T29 yang dibatasi ketersediaan unsur hara P, kelas kesesuaian S3 (kurang sesuai) pada areal T13 dan T21 yang dibatasi oleh ketersediaan unsur hara P, dan S2 (cukup sesuai) pada titik T11 yang dibatasi oleh ketersediaan air, ketersediaan hara N dan P serta kedalaman efektif, S2 pada areal T15 yang dibatasi oleh ketersediaan air, ketersediaan hara N, KTK rendah dan kedalaman efektif; dan S2 pada T23 yang dibatasi oleh ketersediaan air, KTK rendah dan kedalaman efektif. 3. Secara potensial, seluruh areal penelitian tergolong dalam kelas kesesuaian S2 (cukup sesuai) yang dibatasi oleh ketersediaan air (curah hujan) serta kedalaman efektif. 4. Pengelolaan yang diperlukan untuk mengurangi faktor pembatas adalah dengan melakukan pemupukan, misalnya pupuk urea pada areal T29 dengan dosis 43,47 kg/ha dan pupuk SP36 pada titik T8 dengan dosis 201,23 kg/ha.

97

A.4. Kondisi Sosioekonomi dan Aktivitas Masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terbatas Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir 1. Prilaku masyarakat di sekitar lahan gambut kawasan hutan produksi terbatas tergolong cukup positif. Sebagian besar responden ke hutan untuk mencari kayu bakar (55 %), berladang (30 %), dan mengambil daun purun untuk dijadikan bahan pembuat kerajinan tikar purun (15 %), walaupun intensitas kunjungan tergolong terbatas. 2. Persepsi masyarakat terhadap kelestarian lahan gambut di kawasan hutan produksi terbatasi tergolong positif, walaupun dari segi kemampuan dalam mengelola sumber daya di lahan gambut masih perlu ditingkatkan lagi. 3. Sebagai pemegang peranan penting dalam sistem hidrologi suatu lahan rawa, dimana salah satu sifat gambut berperan dalam sistem hidrologi adalah menahan air yang dimilikinya maka sebagian besar masyarakat menyadari hal tersebut dengan cara memelihara/menjaga dari kerusakan dengan tidak merusak vegetasi yang ada. 4. Saat ini masyarakat lebih banyak beraktifitas di luar hutan dibandingkan dengan menebang kayu di hutan, seperti mencari ikan, buka warung, membuat industri rumah tangga, buruh bangunan, jasa ojek, dan sebagainya. Hal ini tidak terlepas dari dukungan dan partisipasi pemerintah untuk lebih memperhatikan tingkat kehidupan masyarakat yang bermukim di sekitar lahan gambut hutan produksi terbatas dengan cara membimbing dan memberikan pengarahan secara intensif.

98

B. Saran B.1. Dampak Kebakaran Lahan dan Aktivitas Masyarakat terhadap Karakteristik Gambut di Hutan Produksi Terbatas Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir. Lahan gambut pada lokasi pengamatan termasuk dalam kawasan non budidaya, sehingga diperlukan sosialisasi tentang fungsi dan manfaat lahan gambut kepada penduduk sekitar lahan gambut oleh Pemerintah Daerah dan menjadi tanggung jawab semua pihak. Pada lahan yang termasuk kawasan budidaya dapat dilakukan pengelolaan yang melibatkan peran serta masyarakat desa sekitar lahan gambut, sehingga peningkatan potensi sumberdaya lahan yang berwawasan lingkungan dan berbasis kemasyarakatan dapat tercapai. B.2. Dampak Kebakaran Lahan dan Aktivitas Masyarakat terhadap Keanekaragaman hayati di Hutan Produksi Terbatas Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir Perlu dikaji bagaimana sistem pengembangan dan peningkatan kelimpahan komunitas plankton di Danau Lebak Jungkal untuk memacu produksi optimal perikanan rawa lebak gambut. Perlu dilakukan aplikasi pengembangan perikanan rawa lebak dengan pengembangan kultur plankton dari jenis-jenis yang diidentifikasi dalam penelitian ini.

B.3. Evaluasi Kemampuan Lahan di Desa Hutan pada Lahan Hutan Rawa Gambut di Bentang Lahan Kayu Agung, Kabupaten Ogan Komering Ilir Upaya yang diperluka untuk mendapatkan hasil yang optimal, perlu di adakannya perbaikan kondisi lahan dengan memberikan masukan/input berupa pemupukan dan penambahan bahan organik pada areal dengan titik pengamatan tertentu. B.4. Kondisi Sosioekonomi dan Aktivitas Masyarakat di Kawasan Hutan Produksi Terbatas Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir Pemberian bantuan berupa pinjaman modal atau pengadaan semacam pelatihan kewirausahaan dapat membantu masyarakat memiliki sumber mata pencaharian alternatif selain memilih beraktifitas di dalam hutan untuk memenuhi kebutuhan sehari hari. Pemberian rambu-rambu atau tanda larangan akan depat meningkatkan kesadaran warga untuk dapat ikut berpartisipasi dalam menjaga kelestarian lahan gambut di kawasan hutan produksi terbatas.

99

DAFTAR PUSTAKA Adinugroho, W.C., IN. N. Suryadiputra., Bambang Hero Saharjo dan Labueni Siboro. 2005. Panduan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut. Proyek Cliate, Forests and Peatlads in Indonesia. Wetlands International – Indonesia Programe dan wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia. APHA. 1980. Standard Methods for The Examination of Water and Wastewater, 15 th Edition. APHA Inc., New York. 1134 p. Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Barchia, M.F. 2006. Gambut, Agroekosistem dan Transformasi Karbon. Gadjah Mada University Press. Barnes R.S.K. and K.H. Mann. Fundamentals of Aquatic Ecosystems. Blackwell Scientific Publications. Oxford London Edinburgh Boston Melbourne. 229 p. Budianta D. 2003. Strategi Pemanfataan Hutan Gambut Yang Berwawasan Lingkungan. Makalah dalam: Lokakarya Pengelolaan Lahan Gambut Secara Bijaksana dan berkelanjutan di Indonesia. Bogor CCFPI. 2005. Pemanfaatan Lahan Gambut secara Bijaksana untuk Manfaat Berkelanjutan. Seri Prosiding 08. Ditjen Bina Bangda – Depdagri, Ditjen PHKA – Dephut, Pemprop. Kalimantan Tengah, Pemprop. Riau, Wetlands International – Indonesia Programme, Wildlife Habitat Canada, Global Environment Centre, WWF – Indonesia, Care International – Indonesia, Yayasan BOS – Mawas, LP3LH. Bogor CSR/FAO Staf. 1983. Reconnainssance Land Resourch Survey 1 : 2500 Scale Atlas Format Procedurs. Center for Soil Resourch. Bogor. Darmawijaya, M.I. 1990. Klasifikasi Tanah : Dasar Teori Bagi Peneliti Tanah dan Pelaksanaan Pertanian di Indonesia. Universitas Gajah Mada Press. Yogyakarta. Davis, C.C. 1955. The Marine and Fresh-Water Plankton. Michig-an State University. 562 p. Dent, D. 1986. Acid Sulphat Soils: a baseline for reserch and development. ILRI. Wagenigen. Publ. No. 39 The Netherlands. Direktorat Jendral Perkebunan. 1984. Pedoman Bercocok Tanam dan Pengolahan Karet. Departemen Pertanian Jakarta. Jakarta. Dresscher, TGN and H. van der Mark (1976). A Simplified method for the assessment of quality of fresh & Slightly Brakish Water. Hydrobiologia, Vol. 48, 3 pp. 199-201. Edmondson, W.T. 1959. Fresh-Water Biology. University of Washington, Seattle. Printed in the University States of America. 1248 p. Effendi H.M.I. 2002. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusantara. 163 hal. FAO. 1976. A Famework for Land Evaluation. FAO Soil Bull. No. 32, Romer, 72 pp: and ILRI Publication No. 22 Wageninge, 87 pp. Foth, H.D. 1984. Fundamentals of Soil Science. 7th Edition. Jhon Wiley and Son Inc. USA.

100

Go, B.H. 1978. Tanah Rawa Lebak dalam Simposium Pemanfaatan Potensi Daerah Lebak. Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya. Palembang. Goldman, C.R., and A.J. Horne, 1983. Limnologi. McGraw-Hill International Book Company, Singapore. Goldman, C.R., and A.J. Horne, 1983. Limnologi. McGraw-Hill International Book Company, Singapore. Gouyon, A. H. de Foresta dan P. Levang. 1993. Kebun Karet Campuran Di Jambi Dan Sumatera Selatan. “Does "jungle rubber" deserve its name? An analysis of rubber agroforestry systems in southeast Sumatra.” Agroforestry Systems Volume 22: 181-206. Hakim, N., Nyapka, M.Y., Lubis. A.M., Nugroho, S.G., Diha, M.A., Saul, M.R., Go Ban Hong., Bailey, H.H. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Universitas Lampung. Lampung. Hanafiah, A. 2005. Dasar-dasar Ilmu Tanah. PT. Raja Grafindo Persada.Jakarta. Hansen, V.E., Israelsen, O.W., Stringham, G.E., Tachen, E.P, Dalam Soetjipto. 1986. Dasar-Dasar dan Praktek Irigasi. Penerbit Erlangga. Jakarta. Hardjowigeno, S. 1986. Sumber Daya Fisik Wilayah dan Tata Guna Lahan : Histosol. Fakultas Pertanian Bogor. Hardjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah. PT. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta. Hardjowigeno, S dan Widiatmaka. 2001. Kesesuaian Lahan dan Rencana Tata Guna Lahan. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kartasapoetra, G.A.G dan M.M. Sutedjo. 1991. Teknologi Konservasi Tanah dan Air. PT. Bina Aksara. Jakarta. Kerkut, G.A. 1963. The Invertebrata – A Manual For The Use Of Students. Fourth Edition Revised. Cambridge At The University Press. 419 p. Kurnia, U. 2004. Prospek Pengairan Pertanian Tanaman Semusim Lahan Kering. Balai Penelitian Tanah. Jalan Ir H. Djuanda No 93. Bogor. Global Resources. IPS-GSF. Lappalainen. E. 1996. Gemeral Riew on World Peatland and Peat Resources. Lembar Informasi Pertanian (LIPTAN) LPTP Koya Barat. 1995. Usaha Konservasi Pada Lahan Kering. loka Pengkajian Teknologi Pertanian Koya Barat. Irian Jaya. No. 03/95. Media Indonesia. 2007. Sidang ke-62 Majelis Umum PBB tentang Perubahan Iklim (IPCC). No.9758. Jakarta. Mulyani, A., Sukarman., A. Hidayat dan A. Abdurachman. 2001. Peluang Pemanfaatan Lahan Tidur untuk Meningkatkan ProduksiTanaman Pangan di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian, 20(1). Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Jl. Ir. H. Juanda No. 98, Bogor. Najiyati, S., M. Lili., N. S. I Nyoman. 2005. Panduan Pengelolaan Lahan Gambut Untuk Pertanian Berkelanjutan. Wetlands International Indonesia Programme. Bogor. Noor, M. 2000. Rawa Lebak, Ekologi, Pemanfaatan dan Pengembangannya. Rajawali Pers. Jakarta. Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut dan Kendala. Konisius. Yogyakarta. Noor, M. 2004. Lahan Rawa, Sulfat dan Pengelolaan Tanah Bersifat Sulfat Masam. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 101

Notohadikusumo, T. 2000. Seminar Nasional Pengembangan Ilmu Tanah Berwawasan Lingkungan. Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta. Nyakpa, M. Y, A. M. Lubis, M. A. Pulung, A. Ghaffar Amrah, Ali Munawar, Go Ban Hong, N. Hakim. 1988. Kesuburan Tanah. Penerbit Universitas Lampung. Lampung. Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. Third Edition. W.B. Sounders Company. Philadelphia, London, Toronto. Toppan Company, Ltd. Tokyo, Japan. 574 p. Marschner. 1986. Mineral Nutrition of Higher Plants. Academic Press. Harcourt Brace Javanovic, Publishers, London. McConnaughey and R. Zottoli. 1983. Pengantar Biologi Laut. The C.V. Mosby Company. St. Louis. Toronto. London. 860 p. Mizuno, T. 1979. Illustrations of The Freshwater Plankton of Japan. Hoikusha Publishing Co., Ltd. 353 p. Needham, J.G. and D. R. Needham. 1963. A guide to study of freshwater biology, 15th Edition. Holden Day Inc., Inc. San Fransisco. 108 p. Nybakken, J.W. 1992. Biologi Laut. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 442 hal. Pennak, R.W. 1978. Freshwater invertebrates of the united states. Jhon Wiley and Sons. New York. 803 p. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat Edisi Revisi. 2000. Kriteria Keadaan Lahan dan Komoditas Pertanian Badan Penelitian dan Pembangunan Pertanian Departemen Pertanian. Jakarta. Rahman, Dj. 1993. Land Evaluation for tea plantation on sloping Areas (CS in the bufer zone of CBR); Thesis. Rural & Land Ecologi Survey, ITC, Ensc, The Netherlands. Rahman, Dj. 1999. Penilaian Kesesuaian Lahan Untuk Arahan Pengembangan Pertanian di Kabupaten Muara Enim Sumatera Selatan. Disampaikan Pada Seminar dan Kongres Nasional VII HITI. Bandung. Rahman, Dj. 2000. Evaluasi Sumber Daya Lahan untuk Arahan Pengembangan Karret di Sumatera Selatan. Seminar Pengkajian Teknologi Pertanian Spesifik Lokasi Sumatera Selatan, tgl 1 – 2 maret 2000 di Palembang. Riwandi. 2001. Kajian Stabilitas Gambut Tropika Indonesia Berdasarkan Analisis Kehilangan Karbon Organik, Sifat Fisiko Kimia dan Komposisi Bahan Gambut. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Sachez, P.A. 1993. Sifat dan Pengelolaan TANAH Tropika. Penerbit ITB. Bandung. Safuan, L.O. 2002. Kendala Pertanian Lahan Kering Masam Daerah Tropoika dan Pengelolaannya : Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS702) Program Pasca Sarjana / S3. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sachlan, M. 1980. Planktonologi. Fakultas Peternakan dan Perikanan. UNDIP Semarang. 103 hal. Sachlan, M. 1980. Planktonologi. Fakultas Peternakan dan Perikanan. UNDIP Semarang. 103 hal.

102

Seta, A.K. 1991. Pelestarian Lingkungan Hidup Melalui Pengendalian Erosi Tanah. Universitas Sriwijaya. Indralaya. Setiawan, H.K. 1991. Akibat Pemampatan atas Sifat-sifat Gambut Sehubungan dengan Tingkat Perombakan. Tesis Sarjana. Dep. Ilmu Tanah. FP. UGM. Setyamidjaja, D. 1993. Karet. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Sitorus, S.R.P. 1985. Evaluasi Sumber Daya Lahan. Penerbit Taristo. Bandung. Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soil Survey Staff. 1990. Keys to soil taxonomy. 4th ed. Soil Management Support. Virginia Polytech. Inst. And State Univ. Blacksburg. Suprapto. 2001. Pengkajian System Usahatani di Lahan Kering Di Kecamatan Gerogak Kabupaten Buleleng, Bali. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Denpasar, Bali. Syarief, S.E. 1985. Konservasi Tanah dan Air. Penerbit C.V. Pustaka Buana. Bandung. Tim Penulis Penebar Swadaya. 1992. Karet. PT. Penebar Swadaya. Jakarta. Triana. 2003. Warta Konservasi Lahan Basah : Mengapa Alam/Lingkungan Selalu Menjadi ”Korban”. Wetlands International, Vol XI :3. Bogor. Tjahjono, J.A. Eko. 2006, Kajian Potensi Endapan Gambut Indonesia Berdasarkan Aspek Lingkungan. Prociding Pemaparan Hasil-hasil Kegiatan Lapangan dan Non Lapangan. Pusat Sumber Daya Geologi. Google. Diakses Tanggal 7 Juni 2009. Wahyunto., Sofyan Ritung., Suparto., H. Subagjo. 2005. Sebaran Gambut dan Kandungan Karbon di Sumatera dan Kalimantan. Watlands International. Bogor. Welch, P.S. 1962. Limnologcal Methods. Mc. Graw-Hill Book Company Ltd., New York. 381 p. Wijaya Adhi, IPG., IGM Subiska PH dan B. Radjguguk. 1989. Pengelolaan Tanah dan Air Lahan Pasang Surut, Studi Kasus Karang Agung. Sumatera Selatan. Dalam Usaha Tani di Lahan Pasang Surut dan Rawa. Risalah Seminar Proyek-proyek Swamps II. Bogor.

103